uin syarif hidayatullah jakarta official...
Post on 07-Nov-2020
12 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGANGKATAN ANAK BAGI WARGA MUSLIM
DI PENGADILAN NEGERI PASCA UNDANG-UNDANG NOMOR
3 TAHUN 2006
(Analisis Penetapan Nomor: 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh
Eka Dita Martiana
NIM: 1110044100032
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1435 H / 2014 M
ABSTRAK
Eka Dita Martiana,1110044100032, Fakultas Syariah dan Hukum, Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui pengaturan pengangkatan anak, pelaksanaan
pengangkatan anak di Pengadilan Negeri khususnya pengangkatan anak bagi warga
muslim pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, karena pada saat ini,
masyarakat kurang mengetahui dan memahami tentang kewenangan peradilan dalam
pengangkatan
Penelietian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analisis dan
apabila jenisnya termasuk dengan penelitian hukum normatif. Jenis data yang
dipergunakan adalah data sekunder, primer dan tersier. Teknik pengumpulan data
yang digunakan yaitu melalui studi kepustakaan, studi dokumen, wawancara. Analisis
data menggunakan analisis data kualitatif dengan model secara non statistik.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengangkatan anak yang memutuskan
hubungan darah(nasab) diharamkan dalam hukum Islam, maka yang diperbolehkan
adalah pengangkatan anak dalam pengertian, pemeliharaan, pengasuh anak, yang
diperbolehkan tanpa memutuskan hubungan darah antara anak dan orang tua
kandung. Sedangkan pengangkatan anak dalam Undang-Undang Republik Indonesia
No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, bahwa pengangkatan anak
merupakan pengalihan hak dari orang tua kandungnya kepada orang tua angkat
dengan prinsip demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan
terakhir. Proses pengangkatan anak bagi warga muslim berdasarkan hukum Islam
dilakukan di Pengadilan Agama, sedangkan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri
dengan dasar SEMA Nomor 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA Nomor 2
Tahun 1979 tentang pemeriksaan permohonan pengangkatan anak di Indonesia dan
atas dasar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Implikasi teoritis penelitian ini adalah adanya pembaharuan hukum di bidang
pengangkatan anak di Indonesia, sedangkan implikasi praktiknya yaitu memberi
informasi kepada berbagai pihak yang terkait dengan pengangkatan anak serta
masyarakat pada umumnya.
Kata Kunci : Pengangkatan Anak , Kewenangan Peradilan Agama.
Pembimbing : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H.,M.A.
Daftar Pustaka : 1981-2012
i
KATA PENGANTAR
Puji serta syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini, Shalawat serta salam senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW, pembawa Syariahnya yang universal bagi semua umat manusia
dalam setiap waktu dan tempat hingga akhir zaman.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ibunda Hj. Nur Halimah dan
Ayahanda H. Agus Cahyono, Eko Wiyono yang selalu memberikan dorongan,
bimbingan, kasih sayang, dan doa tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah
senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang penulis
temukan, namun syukur Alhamdulillah berkat rahmat dan inayah-Nya, kesungguhan,
serta dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, baik langsung maupun tidak
langsung segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya sehingga pada akhir
skripsi ini dapat terselesaikan.Oleh karena itu, sudah sepantasnya pada kesempatan
kali ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Phil JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A.,
selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A., selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing penulis.
4. Bapak Nur Rohim Yunus, L.LM yang telah membantu membimbing dalam
mengoreksi penulisan skripsi ini.
5. Segenap Bapak dan Ibu Dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program
Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan.
6. Segenap jajaran staf dan karyawan akademik Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakaan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Bapak Sarwono, S.H., M.Hum., selaku Ketua Pengadilan Negeri Wonosobo
dan seluruh jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
dalam mencari data-data sebagai bahan rujukan skripsi.
8. Ibu Femina Mustikawati, S.H., MH., selaku Hakim yang memutus perkara
yang telah penulis teliti dan telah senatiasa memberikan wejangan dan
bimbingan pada penulis selama penulis melakukan wawancara.
9. Bapak Bawon, S.H., selaku Wakil Panitera di Pengadilan Negeri Wonosobo
yang senantiasa membantu penulis selama mencari data dan membimbing
penulis.
iii
10. Doa dan harapan penulis panjatkan kepada adinda Balya Malkan, Reza Tri,
Dela Sahera dan Disa Elthufa yang senantiasa memberikan support sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi.
11. Sahabat sahabat seperjuangan penulis Defi Uswatun Hasanah, Arini Zidna,
dan Eka Kurnia Maulida
12. Semua teman-teman Peradilan Agama Angkatan 2010 yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu yang telah mensupport penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
13. Serta terima kasih kepada calon imamku Muhammad Dail Makky yang telah
memberikan support dan selalu membantu agar tidak mudah menyerah dalam
menyelesaikan studi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun senantiasa penulis harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, 28 April 2014
Penulis
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...........................................................................................................
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ................................................... 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6
D. Metode Penelitian........................................................................ 8
E. Review Studi ............................................................................... 12
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 15
BAB II PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Pengangkatan Anak .................................................. 16
B. Sejarah Singkat............................................................................ 20
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak ............................................. 22
D. Tujuan Pengangkatan Anak ........................................................ 27
E. Tata Cara Pengangkatan Anak .................................................... 29
F. Lembaga Pengangkatan Anak ..................................................... 32
G. Kewenangan Absolut dan Relatif Pengadilan ............................ 36
BAB III PROFIL PENGADILAN NEGERI WONOSOBO
A. Kedudukan Peradilan Negeri di Indonesia .................................. 38
B. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Negeri di Indonesia ..... 40
C. Sejarah Singkat Pengadilan Negeri ............................................ 42
D. Profil Pengadilan Negeri ............................................................ 44
BAB IV PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN
A. Duduk perkara ............................................................................. 46
B. Bentuk Kewenangan Peradilan Pasca Undang-Undang No.3
Tahun 2006 ................................................................................. 49
C. Dasar Pertimbangan Hakim dalam menetapkan Perkara
No.151/Pdt.P/2013/PN. Wnsb..................................................... 53
D. Dampak Hukum Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim di
Pengadilan Negeri Wonosobo ..................................................... 59
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................. 66
B. Saran ............................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 69
LAMPIRAN
1. Surat Permohonan Dosen Pembimbing
2. Surat Permohonan Data/ Wawancara Hakim Pengadilan Negeri Wonosobo
3. Surat Keterangan Pengadilan Negeri Wonosobo dan HasilWawancara
4. Lembar Penetapan Nomor: 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan salah satu cara yang telah ditetapkan oleh Allah SWT
untuk memperoleh anak dan memperbanyak keturunan, serta melangsungkan
kehidupan manusia.1 Dalam suatu hadist diterangkan salah satu tujuan pernikahan
yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Habban, yang menganjurkan kaum laki-laki untuk
menikahi perempuan-perempuan yang dicintai dan yang subur, karena perempuan
yang subur akan menghasilkan keturunan.2
Anak merupakan amanah sekaligus karunia Allah SWT, bahkan anak dianggap
sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan kekayaan harta benda
lainnya. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan masa,
sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang,
berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi
serta hak sipil dan kebebasan.3
Agar setiap anak kelak mampu memikul tanggung jawab, perlu mendapat
kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik
fisik, mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu pula dilakukan upaya
1 Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1995, Cet.
Pertama), h.42.
2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antar Fiqih Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2007, Cet.2), h. 44.
3 Lihat ketentuan umum mengenai penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
2
perlindungan serta untuk mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan
jaminan terhadap pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.4
Melihat tingginya frekuensi perceraian, poligami, dan pengangkatan anak yang
dilakukan dalam masyarakat merupakan akibat dari perkawinan yang tidak
menghasilkan keturunan, jadi seolah-olah apabila suatu perkawinan tidak
memperoleh keturunan, maka tujuan perkawinan tidak tercapai. 5
Memang semula yang mempunyai kewenangan absolut dalam memberikan
penetapan pengangkatan anak adalah Pengadilan Negeri hal ini didasari oleh SEMA
Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979,
pengangkatan anak yang dilakukan oleh golongan tionghoa melalui notaris tidak
dibenarkan tetapi harus melalui pengadilan.6
Umat Islam melakukan hubungan-hubungan baik yang bersifat vertikal maupun
horizontal. Fitrahnya ketika umat Islam melakukan hubungan tersebut tidak akan
terlepas atau keluar dari keluarga hukum Islam, oleh karena itu bagi orang yang
beragama Islam yang ingin melakukan hubungan-hubungan horizontal dalam hal ini
ialah melakukan pengangkatan anak yang sesuai dengan pandangan dan kesadaran
hukumnya yaitu berdasarkan hukum Islam. Sesuai dengan penafsiran Prof. Hazairin
terhadap Pasal 29 ayat 1 UUD 1945 bahwa negara republik Indonesia wajib
4 Soefyanto, Perlindungan Anak dalam Pengadilan Anak, (Jakarta: Universitas Islam Negeri,
2007), h.1.
5 Soerjono Soekanto dan Soleman B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV.
Rajawali, 1986, Cet. III), h. 275.
6 Musthofa, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, (Jakarta: kencana, 2008),
h. 56.
3
menjalankan dalam makna menyediakan fasilitas hukum agama yang dipeluk bangsa
Indonesia sepanjang pelaksanaannya memerlukan bantuan penyelenggaraan negara.7
Dalam penafsiran tersebut demi mendapatkan kepastian hukum mengharuskan orang
yang beragama Islam dengan memulai mengajukan permohonan pengangkatan anak
tersebut kepada peradilan agama. Peradilan Agama hanya berwenang di bidang
perdata tertentu, tidak termasuk bidang pidana dan hanya untuk orang-orang Islam di
Indonesia, serta dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu dan tidak mencakup
seluruh perdata Islam.8
Dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, menyatakan:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang a. Perkawinan..............”.9
Penjelasan huruf a Pasal 49 ini, antara lain, menyatakan:
“Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam
atau berdasarkan Undnag-Undang mengenai perkawinan yang berlaku
yang dilakukan menurut Syari’ah antara lain.......penetapan asal-usul
anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam;........”
Dalam Peraturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan
Agama dalam pasal 49 bahwa yang dimaksud dengan pengangkatan anak
7 Abdul Jamil, Print Out Mata Kuliah Peradilan Agama Fakultas Hukum UII, (Yogyakarta:
2012) 8 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta:Amzah, 2012), h.7.
9 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006, Mahkamah Agung RI direktorat
Jenderal Badan Peradilan Agama Tahun 2006, h. 20.
4
berdasarkan hukum Islam disini adalah bahwa tata cara pengangkatan yang ada di
Peradilan Agama berdasarkan hukum Islam yang akibat hukumnya tidak
menasabkan atau tidak memberi status anak tersebut menjadi anak kandung dan
merupakan ketentuan yang sesuai dengan hukum Islam.
Pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai pengangkatan
anak menurut hukum Islam. Memberikan pengertian bahwa” anak angkat adalah anak
yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan pengadilan”.10
Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 yang telah diperbarui
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama ruang
lingkup kewenangan absolute Peradilan Agama untuk memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama
Islam dan dalam hal ini pun termasuk masalah pengangkatan anak. Akan tetapi sejak
lahirnya Undang-Undang tersebut masih ada masyarakat atau pegawai pengadilan
negeri yang masih menerima bahkan telah memberikan putusan/penetapan kepada
orang yang beragama Islam termasuk hal permohonan pengangkatan anak, padahal
itu sudah tidak berlaku lagi untuk Pengadilan Negeri.
Oleh karena itu, berawal dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk
menganalisa lebih jauh dengan melakukan penelitian dengan mengangkat judul
10
Republik Indonesia, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum
Islam, Pasal 171 huruf h.
5
Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim di Pengadilan Negeri Pasca Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 (Analisis Penetapan Nomor: 151
/Pdt.P/2013/PN.Wnsb.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Studi ini difokuskan pada kajian peran Peradilan Umum terhadap
pengangkatan anak, serta di mana letak persinggungan wewenang Peradilan
Umum dengan Peradilan Agama terhadap pengangkatan anak. Khususnya pasca
lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
Studi ini difokuskan untuk mencoba menjelaskan tentang kewenangan
Peradilan Agama setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
dalam hal ini lebih khusus mengenai kewenangan menangani perkara
pengangkatan anak. Yang dimaksud kewenangan disini adalah kewenangan
mengenai memeriksa, mengadili serta menyelesaikan perkara antar orang-orang
yang beragama Islam atau orang dan badan hukum yang dengan sukarela
menundukkan diri kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kompetensi absolut peradilan agama sesuai dengan penjelasan Pasal 49 Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
6
2. Rumusan Masalah
Menurut Peraturan bahwa pengangkatan anak merupakan kewenangan
absolut Peradilan Agama, akan tetapi kenyataan di lapangan, masih ada Peradilan
Negeri mengambil hak absolut Peradilan Agama tentang Pengangkatan Anak.
Berdasarkan rumusan tersebut penulis merinci dalam bentuk pertanyaan
sebagai berikut:
a. Bagaimana bentuk kewenangan Peradilan Negeri dalam perkara pengangkatan
anak pasca lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama ?
b. Apa landasan hukum yang dijadikan sebagai pertimbangan hukum oleh hakim
Pengadilan Negeri Wonosobo dalam memutus perkara pengangkatan anak bagi
pemohon yang beragama islam ?
c. Bagaimana dampak hukum pengangkatan anak bagi warga muslim di
Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Wonosobo?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui bentuk kewenangan Peradilan Negeri dalam pengangkatan
anak, pasca lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
7
b. Untuk mengetahui landasan hukum sebagai pertimbangan hukum yang
digunakan hakim Pengadilan Negeri Wonosobo dalam memutus perkara
pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama Islam.
c. Untuk mengetahui dampak hukum pengangkatan anak bagi warga muslim di
Pengadilan Negeri khususnya Pengadilan Negeri Wonosobo.
2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini di kualifikasi menjadi dua manfaat yakni manfaat
teoritis dan manfaat praktis. Kedua manfaat tersebut dijabarkan sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a Menambah wawasan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya
pada bidang hukum keluarga mengenai konsep pengangkatan anak di dalam
Islam.
b. Memiliki gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan dari pengangkatan
anak dan akibat hukumnya melalui Pengadilan.
c. Memberikan konsepsi teoritis mengenai hal ihwal yang berkaitan dengan
hukum permasalahan pengangkatan anak.
d. Menjadikan konstruksi pengangkatan anak dan varianya sebagai dialog
intelektual akademis.
2. Manfaat Praktis
a. Sebagai wujud kontribusi positif penulis terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan, khususnya pada bidang hukum dan ilmu perundang-undangan
di Indonesia.
8
b. Memberikan satu karya ilmiah yang bermanfaat bagi civitas akademika
Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
c. Sebagai bahan acuan bagi masyarakat umum untuk mewujudkan kepastian
hukum dalam pengangkatan anak di Pengadilan Agama.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
kualitatif yakni proses penelitian yang difokuskan untuk menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang dijadikan
sumber informasi dan perilaku yang dapat diamati11
, untuk penganalisaan data
secara non- statistik.
2. Metode Pendekatan
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan yuridis
normatif yakni dengan kajian perundang-undangan (statute approach). Dengan
pendekatan ini dilakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan tema sentral penelitian ini.12
3. Sumber data
11
Nurul Zuhriah, Metedologi penelitian Sosial dan Pendidikan :Teori- Aplikasi, (Jakarta: PT.
Bumi Aksara, 2007), Hal. 92.
12
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Jakarta: Bayumedia,
2008), h. 295 dan 302.
9
Data yang digunakan terdiri dari data primer, sekunder, dan tersier.13
Data
primer terdiri dari beberapa peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
b. Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- Undang
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
c. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak
d. Undang-Undang Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
e. Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum
Islam
f. Surat Edaran Mahkamah Agung No. 6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan
Surat Edaran No. 2 tahun 1979 mengenai pengangkatan anak.
g. Penetapan Pengadilan Negeri Wonosobo (Nomor 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.)
Data sekunder14
bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer. Bahan hukum sekunder dalam penelitian ini yaitu hasil karya dari para
13
Johnmy Ibrahim membagi sumber data pada penelitian yuridis normative menjadi 3 (tiga)
macam, yakni sumber primer, sekunder, dan tersier. Di mana sumber primer merupakan bahan hukum
yang diurut berdasar hierarki perundang-undangan, sumber sekunder adalah bahan dan data yang
didapatkan dari buku-buku, jurnal-jurnal, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi,
dan hasil symposium mmutakhir yang berkaitan dengna topic penelitian. Adapun sumber tersier
merupakan bahan hukum yang member petunjuk atau penjelasan terhadap ban\han hukum primer dan
juga sekunder. Lihat Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta:
Bayumedia, 2008), h. 295-296, lihat juga Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:
Kencana, 2007), h. 144-146.
14
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), h. 52.
10
akademisi hukum, makalah, seminar, majalah, kamus, ensiklopedia, artikel hukum
serta hasil penelitian yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Adapun data tersier yang digunakan pada penelitian ini yaitu bahan yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan
sekunder, seperti kamus hukum dan ensiklopedia.
4. Subjek dan Objek Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Wonosobo. Adapun yang
menjadi objek dalam penelitian ini adalah penetapan Pengadilan Negeri
Wonosobo Nomor 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb terkait dengan pengangkatan anak
dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Sehubungan dengan itu maka
respondennya adalah hakim Pengadilan Negeri Wonosobo.
5. Alat Pengumpul Data
Untuk memperoleh semua data yang dibutuhkan, digunakan alat pengumpul
data sebagai berikut;
a. Studi dokumen, baik bahan primer berupa peraturan perundang-undangan
terkait dan bahan-bahan yang mengikat. Dalam hal ini berupa putusan
Pengangkatan Anak dengan nomor perkara 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb , maupun
bahan skunder berupa buku, literatur, jurnal, dan tulisan lainnya yang mengkaji
seputar peraturan perundang-undangan tersebut, serta bahan tersier berupa
kamus hukum.
11
b. Wawancara, berupa indeept interview (wawancara yang mendalam) terhadap
beberapa orang informan yang hal ini dilakukan pada hakim yang menangani
langsung perkara Nomor 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.
6. Metode Analisis Data
Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif-kualitatif. Deskriptif
yaitu metode analisa dengan memilih data yang menggambarkan keadaan sebenarnya
di lapangan. Selanjutnya semua bahan dan data dianalisa secara deduktif, yakni suatu
bentuk penalaran yang berpangkal dari suatu proposisi umum yang kebenarannya
telah diketahui atau diyakini (self-evident) dan berakhir suatu pengetahuan baru yang
bersifat khusus.15
Dalam penelitian ini proposisi umum tersebut berupa kaedah-
kaedah hukum. Sedangkan metode kualitatif adalah metode analisa data yang
mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian menurut
kualitas dan keberadaannya, yang terdiri dari dua variable. Pertama mengenai
Pengangkatan Anak Bagi Warga Muslim di Pengadilan Negeri Pasca Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 . Kedua, landasan hukum dalam pertimbangan hukum
yang diambil oleh hakim Pengadilan Negeri Wonosobo kemudian dihubungkan
dengan teori-teori yang diperoleh dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban
atas permasalahan yang diajukan.
E. Review Studi Terdahulu
15
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2003), h. 4
12
NO IDENTITAS SUBSTANSI PERBEDAAN
1.
Usman
(108044100044)
Konsentrasi Peradilan
Agama Program Studi
Hukum Keluarga UIN
Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2012
Judul Skripsi:
“Problem Sengketa
Kewenangan
Penetapan
Pengangkatan Anak
(Analisa Kasus Kajian
Putusan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat
dan Pengadilan
Negeri Kediri) ”.
Menganalisa
mengenai penetapan
pengangkatan anak
berdasarkan hukum
Islam oleh peradilan
agama
Menganalisa
mengenai akibat
hukum penetapan
anak dalam lingkup
Pengadilan Agama
dan Pengadilan
Negeri
Penulis menganalisa
mengenai
pengangkatan anak
bagi warga muslim
di Pengadilan Negeri
pasca Undang-
undang Nomor 3
Tahun 2006
Menganalisa tentang
penetapan
Pengadilan Negeri
Wonosobo Nomor
Nomor 151
/Pdt.P/2013/PN.
2. M. Haris Barkah
(105044101372)
Konsentrasi Ahwal
Mengenai batasan atas
kewenangan
Pengadilan Agama
Mengenai batasan
atas kewenangan
Pengadilan Negeri
13
Al-Syakhshiyyah
Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Tahun 2010 dengan
judul “ Kewenangan
Peradilan Agama
dalam Penetapan
Pengangkatan Anak
(Studi Krisis
Terhadap Undang-
Undang Nomor 3
Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas
Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan
Agama dan Undang-
Undang Nomor 12
Tahun 2006 Tentang
Kewarganegaraan
dalam bidang
penetapan
pengangkatan anak
yang bukan hanya
berada dalam lingkup
kesamaan agama
Islam
Mengenai
pengangkatan anak
yang melibatkan
anatar negara maka
perkara tersebut tidak
lagi menjadi
kewenangan
Pengadilan Agama
melainkan Pengadilan
Negeri, walaupun
yang menjadi anak
angkat ataupun orang
tua angkat sama-sama
beragama Islam.
dalam pengangkatan
anak bagi warna
muslim pasca
Undang-Undang
Nomor 3 Tahun
2006
Mengenai
pengangkatan anak
yang melibatkan
antar warga muslim
maka perkara
tersebut tidak lagi
menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri
Melainkan
kewenangan
Pengadilan Negeri,
walaupun yang
menjadi anak angkat
atau orang tua
angkat sama-sama
14
Republik Indonesia)”. beragama Islam.
3. Reyza Amalia
(103044228122)
Konsentrasi Ahwal
Al-Syakhshiyyah
Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
Tahun 2007 dengan
judul “ Pengangkatan
Anak dalam UU No. 3
Tahun 2006 dan
Akibat Hukumnya.
Menganalisa
mengenai prosedur
pengangkatan anak
yang berlaku di
Pengadilan Negeri
dengan melihat
sebelum dan sesudah
adanya Undang-
Undang No.3 Tahun
2006, dimana
pengadilan agama
memiliki kewenangan
absolut untuk
menerima,
memeriksa, dan
mengadili perkara
permohonan anak
berdasarkan hukum
Islam
Menganalisa
mengenai prosedur
pengangkatan anak
yang berlaku di
Pengadilan Negeri
Wonosobo sesudah
adanya Undang-
Undang Nomor 3
Tahun 2006, dimana
pengadilan agama
memiliki
kewenangan absolut
untuk menerima,
memeriksa, dan
mengadili
permohonan anak
berdasarkan hukum
Islam pengangkatan
anak berdasarkan
hukum Islam
15
F. Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima (5) bab, di mana masing-masing bab berisikan
pembahasan yang berkesinambungan sebagai berikut;
Bab pertama berisikan pendahuluan menguraikan latar belakang masalah,
batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian,
tinjauan (review) kajian terdahulu, teori konseptual dan sistematika penulisan.
Bab kedua menjelaskan tinjauan umum tentang pengangkatan anak yang
meliputi pengertian, sejarah singkat, tujuan pengangkatan anak, dasar hukum
pengangkatan anak, tata cara pengangkatan anak dan pengangkatan anak menurut
lembaga yang berwenang dalam permohonan pengangkatan anak.
Bab ketiga menguraikan tentang profil terhadap peradilan negeri Wonosobo.
Bab keempat didalam bab ini akan menjelaskan tentang hasil penelitian dan
pembahasan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri, yang berisikan analisis
Penetapan Pengadilan Negeri Wonosobo dengan nomor perkara 151
/Pdt.P/2013/PN.Wnsb, dan analisis akibat hukum penetapan pengangkatan anak serta
analisis penulis.
Bab kelima adalah bagian akhir dari penulisan skripsi ini, yang di dalamnya
akan berisikan kesimpulan dari penelitian dan saran yang bersifat kontribusi
membangun bagi dunia akademis sebagai bab penutup.
16
BAB II
PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Pengangkatan Anak
1. Secara Etimologis
Istilah “Pengangkatan Anak” bukan hanya berkembang di Indonesia, namun
dalam masyarakat Arab, kini pengangkatan anak sudah menjadi tradisi, yang dikenal
dengan istilah “اَلتَبَنِّى “yang berarti mengambil anak.1
Dalam kamus al-Munawir, istilah tabani diambil dari kata al-Tabanni yang
berasal dari bahasa arab تَبَنَّي –يَتَبَنِّي -تَبَيِنًّا , mempunyai arti mengambil,mengangkat
anak atau mengadopsi. Sedangkan dalam Ensiklopedia Hukum Islam, tabanni disebut
dengan “adopsi” yang berarti “pengangkatan anak orang lain sebagai anak orang
lain”.2
Pengangkatan anak sering diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari kata
Adoptie dalam bahasa Belanda atau adoption dalam bahasa Inggris. Adoption artinya
pengangkatan, pemungutan, adopsi, dan untuk sebutan pengangkatan anak disebut
adoption of a child.3
1Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 95.
2Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 1 (Jakarta : Ichtiar baru Van Hoeve,
1996), h. 28.
3Jhon M. Echols dan Hasan Sadly, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1981), h. 13.
17
Tabanni diartikan mengambil anak. Sedangkan di dalam kamus bahasa
Indonesia istilah pengangkatan anak disebut juga dengan adopsi yang berarti
pengambilan (pengangkatan) anak orang lain secara sah menjadi anak
sendiri.4Maksud dari pengangkatan anak disini adalah mengangkat anak untuk
dijadikan anak kandung sendiri secara hukum di hadapan masyarakat.
2. Secara Terminologis.
Beberapa ahli telah memberikan rumusan tentang pengertian pengangkatan
anak sebagai mana berikut:
a. Menurut Wahbah al-Zuhaili, Secara terminologis tabanni menurut
Wahbah al-Zuhaili adalah pengangkatan anak (tabanni) “Pengambilan anak
yang dilakukan oleh seorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian
anak itu dinasab-kan kepada dirinya.”5
b. Mahmud Syaltut, Ia mengemukakan setidaknya ada dua pengertian
“pengangkatan anak.” Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh
dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status
“anak kandung” kepadanya; hanya diperlakukan oleh orang tua angkatnya
sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak
sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak
memakai nama keturunan (nasab) orang tua angkatnya dan saling mewarisi
4Depdikbud, “Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 11.
5Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqhal-Islami wa al-Adilatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr al-Ma‟ashir,
1997, Cet. IV), Juz 9 h. 271.
18
harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak
angkat dan orang tua angkatnya.6
c. Surojo Wignjodipuro, Konsepsi pengangkatan anak menurutnya
didasarkan kepada hukum adat.7
d. Muderis Zaeni, yang mengatakan bahwaAdopsi adalah cara untuk
mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam
pengaturan perundang-undangan dan untuk mendapat pewaris atau untuk
mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak mempunyai keturunan atau
anak.8
Berdasarkan pengertian tersebut, adopsi lebih cenderung kepada pengertian
anak asuh dalam rangka membantu orang tua kandung si anak. Boleh juga
karenaorang tua angkatnya dengan alasan tidak mempunyai keturunan dan belas
kasihan kepada anak karena orang tua tidak mampu membiayai anaknya.9 Tujuan
6Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana,
2008), h. 21.
7Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, (Jakarta: Gunung Agung,
1982), h.118.
8Muderis Zaeni, Adopsi Suatu Tinjauan Dari tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2002), h .4. Lihat juga Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak , (Jakarta: Akademika Pressindo CV,
1984), h. 44.
9Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990,
Ed.1. Cet. 1), h. 36.
19
mengangkat disini adalah untuk mendidik agar menjadi anak berguna di masa
depan.10
3. Menurut Perundang-undangan Republik Indonesia
Pengertian anak angkat dalam perundang-undangan Republik Indonesia dapat
ditemukan dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak dan dalam Pasal 47 ayat (1) Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Administrasi Kependudukan.11
Bahwa yang dimaksud dengan anak angkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.12
4. Pengertian Menurut Hukum Islam
Menurut hukum Islam Pengangkatan Anak adalah mengambil anak orang lain
untuk diasuh dan dididik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, dan diperlukan
oleh orang tua angkatnya seperti anaknya sendiri, tanpa memberi status anak kandung
10
Yaswirman, Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat Dalam
Masyarakat Matrilineal Minangkabau, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), h. 251-252.
11
Pengertian atau Batasan Pengangkatan Anak tersebut sama dengan pengertian atau batasan
anak angkat yang diatur dalam Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan anak, bahwa Anak Angkat ialah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan
keptusan atau penetapan pengadilan.
12
Musthofa, Pengangkatan Anak kewenangan Peradilan Agama, )Jakarta: Kencana, 2008), h.
17.
20
kepadanya dan tidak menimbulkan akibat hukum diantara keduanya seperti hak
pewarisan dan perwalian. Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam itu sendiri
yang bersumber pada Al-Qur‟an dan Sunnah serta hasil Ijtihad yang berlaku di
Indonesia yang diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik
dalam bentuk fikih, fatwa, putusan pengadilan, maupun peraturan perundang-
undangan, termasuk di dalamnya Kompilasi Hukum Islam tercantum dalam pasal 209
ayat (1) dan ayat (2) Kompilasi Hukum Islam.13
. B.Sejarah Singkat
Tradisi pengangkatan anak sebenarnya dipraktikan oleh masyarakat dan
bangsa-bangsa lain sebelum kedatangan Islam, seperti yang dipraktikan bangsa
Yunani, Romawi, India, dan beberapa bangsa pada zaman kuno.14
Di kalangan bangsa
Arab sebelum Islam (masa jahiliyah) istilah pengangkatan anak dikenal dengan at-
tabanni, dan sudah ditradisikan secara turun temurun.15
Nabi Muhammad SAW. pernah melakukan pengangkatan anak sebelum masa
kenabiannya. Anak angkatnya bernama Zaid bin Harisah, tetapi kemudian tidak lagi
dipanggil Zaid berdasar nama ayahnya (Harisah) melainkan diganti dengan panggilan
Zaid bin Muhammad. Nabi Muhammad SAW. Mengumumkan di hadapan kaum
Quraisy dan berkata: “Saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia
13
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji.Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: 2003), h.94.
14
Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 22.
15
Muderis Zaeni, Adopsi Suatu Tinjauan Dari tiga Sistem Hukum , h. 53.
21
mewarisiku, dan aku pun mewarisinya”. Sikap Nabi Muhammad SAW tersebut
merupakan cerminan tradisi yang ada pada waktu itu. Oleh karena Nabi menganggap
sebagai anaknya, maka para sahabat pun memanggilnya dengan Zaid bin
Muhammad.16
Setelah Nabi Muhammad SAW. menjadi Rasul, turun surat al-Ahzab ayat 4,
ayat 5, dan ayat 40 yang pada intinya melarang pengangkatan anak dengan akibat
hukum memanggilnya sebagai anak kandung dan saling mewarisi seperti yang telah
dilakukan Nabi Muhammad SAW. Ulama sepakat bahwa ayat itu turun berkenaan
dengan peristiwa Zaid bin Harisah. Melalui peristiwa asbab an-nuzul ayat al-Qur‟an
tersebut dapat dipahami bahwa pengangkatan anak itu boleh dilakukan, karena nabi
Muhammad SAW.telah mempraktikannya, tetapi pengangkatan anak itu tidak
mengubah status nasab seseorang, karena Allah SWT. Telah menyatakannya dalam
Al-Qur‟an bahwa status nasab Zaid tidak boleh dinisbahkan kepada Nabi Muhammad
SAW.dalam peristiwa selanjutnya, ternyata bahwa Nabi Muhammad SAW pernah
melakukan pernikahan dengan bekas istri anak angkatnya menegaskan bahwa adanya
hubungan pengangkatan anak tidak serta merta menciptakan hubungan nasab yang
mengakibatkan statusnya sama dengan anak kandungnya, karena menikahi bekas istri
anak angkat itu dibolehkan, sedangkan menikahi bekas istri anak kandung
diharamkan untuk selama-lamanya.17
16
Nasroen Haron, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), h. 29-
30. 17
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah Kontemporer,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), h. 108.
22
Adopsi yang telah dikenal jauh pada masa Nabi Seperti Nabi Ilyas as, Nabi
Musa as. serta masa pra Islam. Pada masa Pra Islam Masyarakat jahiliyah sudah lebih
dahulu mengenal adopsi daripada masyarakat Islam setelahnya.18
Tradisi Arab jahiliyah juga memiliki kebiasaan, yaitu jika seorang ibu tidak
mampu menyusui anaknya sendiri, maka dicarikan pengganti (inang penyusu), Nabi
Muhammad saw pun diserahkan kepada seorang inang penyusu, yaitu sayyidah
Halimah setalah ibunya (aminah) tidak mampu menyusui anaknya. Hal itu dalam
masyarakat arab sering disebut dengan pengangkatan anak.19
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
1. Peraturan Perundang-undangan
a. Pasal 2 Ayat 3 dan 4.20
Pasal 12 Ayat 1 dan 3 Undang-Undang RI Nomor 4
Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak. 21
b. Pasal 55 dan 57 Undang–Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia.
c. Pasal 2, 9, dan 49 Undang–Undang RI Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan
Agama.
18
Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, (Bandung:
Mizan, 1991, cet. Ke-1), h. 132.
19
Munawar Ahmad Annes, Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia, h. 54.
20
Republik Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Kesejahteraan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, cet-IV), h. 98.
21
Republik Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak Nomor 4 Tahun 1999 tentang
Kesejahteraan Anak, h. 101.
23
d. Pasal 5 Ayat 2 dan Pasal 21 ayat 2 Undang–Undang RI Nomor 12 Tahun 2006
Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.22
e. Pasal 1 angka 9, 6, dan Pasal 39 ayat 1,2,3,4,dan 5, Pasal 40,41, dan 42
Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.23
f. Pasal 47,48, dan 90 Undang–Undang RI Nomor 23 Tahun 2006 Tentang
Admnistrasi Kependudukan.24
g. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA) Nomor 3
Tahun 2005 Tentang Pengangkatan Anak, berlaku mulai 8 Februari 2005,
setelah terjadinya bencana alam gempa bumi dan gelombang Tsunami Aceh
dan Nias.25
h. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun
1979 Tentang Pengangkatan Anak.
i. Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1983 Tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979.26
22
Republik Indonesia, Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009, cet-III), h. 4.
23
Kumpulan Perundangan Perlindungan Hak Asasi Anak, (Yogyakarta: Pustaka Yustisia,
2006), h. 113.
24
Republik Indonesia, Undang-Undang Administrasi Kependudukan, ( Jakarta: Sinar Grafika,
2007), h. 22.
25
Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-
undangan (JDI-HUKUM), Edisi 2005 No 32, h.363.
26
Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-
undangan (JDI-HUKUM), Edisi 2005 No 32, h.365.
24
j. Staatsblad 1917 Nomor 129, Pasal 5 sampai Pasal 15 mengatur masalah
adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW, dan khusus
berlaku untuk golongan masyarakat keturunan Tionghoa.27
2. Hukum Islam
Dalam Islam Istilah Tabbani memang sudah ada hal ini berdasarkan pada
kejadian pada masa Nabi Muhammad SAW tanpa menasabkan kepada orang tua
angkatnya, akan tetapi implikasi terhadap peraturan perundangan yang ada di
Indonesia atau hukum positif bahwa pengangkatan anak bertujuan untuk
perlindungan anak di mata hukum.
a. Al- Quran Adapun landasan hukum yang berasal dari al-Qur‟an dan Sunnah
adalah sebagai berikut:
Allah SWT telah mencantumkan dalam surat al-Ahzab ayat 4-5 :
Artinya :
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam
rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar28
itu
sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak
kandungmu (sendiri).yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja.dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang
benar)
27
Musthofa ,Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 10.
28
Zhihar ialah Perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu Haram bagiku seperti
punggung ibuku atau Perkataan lain yang sama maksudnya. adalah menjadi adat kebiasaan bagi
orang Arab Jahiliyah bahwa bila Dia berkata demikian kepada Istrinya Maka Istrinya itu haramnya
baginya untuk selama-lamanya. tetapi setelah Islam datang, Maka yang Haram untuk selama-lamanya
itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda).
25
Artinya :
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama
bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-
saudaramu seagama dan maula-maulamu.29
Dan tidak ada dosa atasmu terhadap
apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja
oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
b. Petunjuk Rasulullah SAW yaang tertuang dalam Al Sunnah adalah sebagai
berikut:30
Hadis Muslim dan Bukhari
- Sesungguhnya Zaid bin Harisah adalah maula Rasullulah SAW.dan kami
memanggilnya dengan Zaid bin Muhammad, sehingga turun ayat :
Panggillah mereka dengan nama ayah (kandungnya ), maka itulah yang lebih
adil di sisi Allah, lalu Nabi bersabda ; “ engkau adalah Zaid bin Harisah”.31
29
Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang
telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
30
Hadits-hadits tersebut penulis kutip dari Buku Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia
halaman 333.Oleh MUI Hadits tersebut dijadikan dasar hukum fatwanya mengenai Hukum
Pengangkatan Anak Menurut Islam.
31
Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Sahih al Bukhari, (Ttp : Dar Thauqatunnajah, 1422 H),
Nomor. 5088, Juz.7, h.7.
26
- Dari Abu Dzar r.a. bahwa ia mendengar Rasullulah SAW.Bersabda “ tidak
seorangpun yang mengakui ( membangsakan diri ) kepada orang yang bukan
bapak yang sebenarnya, sedangkan ia mengetahui benar bahwa orang itu
bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur. Dan barang siapa yang telah
melakukan hal itu, maka bukan dari golongan kami (kalangan kaum
muslimin ) dan hendaklah dia menyiapkan sendiri tempatnya dalam api
neraka.32
- Muhammad Ali As-Shabuni mengatakan: “Sebagaimana Islam telah
membatalkan zihar, demikian pula halnya dengan “Tabanni” . Syariat Islam
telah mengharamkan tabanni yang menisbatkan seorang anak angkat kepada
yang bukan bapaknya, hal itu termasuk dosa besar yang mewajibkan
pelakunya mendapatkan murka dan kutukan Allah SWT.”33
c. Kompilasi Hukum Islam Pasal 98,99, 100, 101, 106, 107 huruf h dan 20934
3. Fatwa MUI
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang pengangkatan anak pada Maret 1984
atau Jumadil Akhir 1405 Hijriah mengemukakan sebagai berikut:
1. Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah ialah anak yang lahir dari
perkawinan (pernikahan).
32 Muslim bin Hajjaj, Sahih al Muslim, (Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-„Arabî, tt), Nomor
Hadist.2425, h.1884.
33
Muhammad Ali As-Shabuni, Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash- Shabuni 2 ( Surabaya:
PT. Bina Ilmu Offset,t.tp), h. 363.
34
Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam
dan Penyelenggaraan Haji.Kompilasi Hukum Islam.
27
2. Mengangkat anak dengan pengertian anak tersebut putus hubungan
keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya adalah bertentangan
dengan syariat Islam.
3. Adapun pengangkatan anak dengan tidak mengubah status nasab dan
agamanya, dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara,
mengasuh, dan mendidik mereka dengan penuh kasih sayang seperti anak
sendiri adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal salih yang
dianjurkan oleh agama Islam.
4. Pengangkatan anak Indonesia oleh warga Negara asing selain
bertentangan dengan UUD 1945 juga merendahkan martabat bangsa.35
D. Tujuan Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak dikalangan masyarakat Indonesia mempunyai beberapa
tujuan dan motivasi diantaranya:
1. Untuk meneruskan keturunan, bilamana di dalam suatu perkawinan tidak
memperoleh keturunan.
2. Sebagai pancingan (di jawa) yakni dengan mengangkat anak, keluarga yang
mengadopsi akan dikarunia anak kandung sendiri.36
Atau dengan
mengangkat anak akan mungkin ketularan mendapat anak kandung.37
35
Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak 1975, (Jakarta:
Erlangga, 2011), h. 333.
36
Sudharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat (BW),
Hukum Islam, dan Hukum Adat, (Jakarta: Sinar Grafika,2004). H. 172.
28
3. Menambah jumlah keluarga, dengan maksud agar si anak angkat mendapat
pendidikan yang baik, sebagai misi kemanusiaan dan pengalaman ajaran
agama.38
4. Pengangkatan anak ini dilakukan guna memenuhi instingtif manusia yang
berkehendak menyalurkan kasih sayangnya kepada anak yang dirasakan
akan merupakan kelanjutan hidupnya.39
5. Untuk mensejahterakan anak dan melindunginya dari kekerasan dan
diskriminasi serta memberikan kehidupan yang layak bagi seorang anak
dengan memberikan perhatian dan kasih sayang, tanpa menjadikannya
sebagai anak kandung sendiri diperbolehkan dalam Islam. Alasan–alasan
orang melakukan pengangkatan pengangkatan anak adalah bermacam-
macam, tetapi terutama yang terpenting adalah :Rasa belas kasihan terhadap
anak terlantar atau anak yang orang tuanya tidak mampu memeliharanya.
Tidak mempunyai anak dan ingin mempunyai anak untuk menjaga dan
memeliharanya di hari tua. Untuk mempertahankan ikatan perkawinan /
kebahagiaan keluarga.40
37
B. Sebastian Tafal, Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat serta akibat-akibat hukumnya
di kemudian hari, (Jakarta : Rajawali, 1989, Cet. 2), h. 71. 38
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary, Problematika Hukum Islam Kontemporer Buku
Pertama, h. 147.
39
Ahmad Azhar Basyir, Kawin Campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam, (Bandung: PT. Al-
Ma‟rif, 1972). H. 19.
40
Djaja. S. Meliala, Pengangkatan Anak (adopsi) di Indonesia, (Bandung : Tarsito, 1982), h.3.
29
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan pengangkatan anak
dapat digolongkan menjadi dua macam yaitu:
1. Untuk mendapatkan atau melanjutkan keturunan keluarga orang tua
angkat.
2. Untuk kesejahteraan atau kepentingan bagi anak.
3. Begitu pula dalam pengangkatan anak juga harus dilihat dari orang tua
kandung anak yang akan diangkat .41
E. Tata Cara Pengangkatan Anak di Pengadilan
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak disebutkan mengenai prosedur
pengangkatan anak antar WNI yang dalam Pasal 19 menyebutkan bahwa:
“Pengangkatan anak secara adat kebiasaan dilakukan sesuai dengan tata cara yang
berlaku di dalam masyarakat yang bersangkutan”.42
Dalam SEMA No.6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun
1979 tentang Pengangkatan Anak, ada beberapa tahap dan persyaratan pengangkatan
anak antar warga Negara Indonesia, ataupun antar warga-negara asing, namun yang
41
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak , (Jakarta: Sinar Grafika,
2000), h. 28.
42
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departeman Hukum dan HAM RI,
Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, h. 8
30
akan diuraikan oleh penulis adalah prosedur pengangkatan anak antar-warga Negara
Indonesia, yang tahap dan persyaratannya sebagai berikut :43
i. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan
1. Sifat surat permohonan bersifat voluntair.
2. Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila ternyata
telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan undang-
undangnya.
3. Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau tertulis
berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.
4. Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditandatangani oleh
pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.
5. Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada ketua Pengadilan
Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Pemohon yang beragama Islam
yang bermaksud mengajukan permohonan pengangkatan anak
berdasarkan Hukum Islam, maka pemohonnya diajukan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal pemohon.
ii. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak
1. Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara jelas
diuraikan motivasi yang mendorong niat untuk mengajukan permohonan
pengangkatan anak.
2. Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan anak,
terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau kepentingan
calon anak angkat, didukung dengan uraian yang memberikan kesan
bahwa calon orang tua angkat benar-benar memiliki kemampuan dari
berbagai aspek bagi masa depan anak angkat menjadi lebih baik.
43
Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h. 210, SEMA
No.6 Tahun 1983 tentang penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan
Anak
31
3. Isi petitium permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu hanya
memohon “agar bernama A ditetapkan sebagai anak angkat dari B”, tanpa
ditambahkan permintaan lain, seperti: “agar anak bernama A ditetapkan
sebagai ahli waris dari si B”.
iii. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak antar WNI44
1. Syarat bagi calon orang tua angkat/pemohon, berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antar orang tua kandung
dengan orang tua angkat (private adoption) diperbolehkan.
b. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang tidak terkait
dalam perkawinan sah/belum menikah diperbolehkan.45
c. Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.46
2. Syarat bagi calon anak angkat47
a. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan.48
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak.49
d. Memerlukan perlindungan khusus.50
44
Andi Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, h.211.
45
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983, dan Lihat Musthofa Sy,
Pengangkatan Anak Kewenangan Peradilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 86.
46
Kumpulan Perundangan perlindungan Hak Asasi Anak,(Yoyakarta: Pustaka Yustisia, 2006),
h. 89. 47
Rusli Pandika, Hukum Pengangkatan Anak, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), h. 113.
48
Anak terlantar atau ditelantarkan adalah anak yang tidak dipenuhi kebutuhannya secara
wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.(UU Perlindungan Anak; Pasal 1 Butir 6; Permen
Sosial Pengangkatan Anak; Pasal 1 Butir 13).
49
Lembaga pengasuhan anak adalah lembaga atau organisasi sosial atau yayasan yang
berbadan hukum yang menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin dari
menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak (PP Pengangkatan Anak; Pasal 1 Butir 5).
32
e. Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu yayasan
sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri Sosial bahwa
yayasan yang bersangkutan telah diizinkan bergerak di bidang kegiatan
anak.
f. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial, maka
harus punya izin tertulis dari Menteri Sosial atau pejabat yang ditunjuk
bahwa anak tersebut diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.
Dengan demikian menurut ulama fiqih, tata cara pengangkatan anak adalah
dasar ingin mendidik dan membantu orang tua kandungnya agar anak tersebut bisa
mandiri di masa mendatang, dan tidak dikenal yang namanya perpindahan nasab dari
ayah kandung ke ayah angkatnya. Ia tetap bukan mahram dari orang tua angkatnya,
sehingga tidak ada larangan kawin tetapi tidak saling mewarisi. Apabila
pengangkatan anak diiringi dengan perpindahan nasab anak dari ayah kandung ke
ayah angkatnya, maka konsekuensinya, antara dirinya dengan ayah angkatnya ada
larangan kawin, sehingga apabila anak tersebut ingin menikah maka yang menjadi
wali nikahnya adalah orang tua angkatnya.51
F. Lembaga yang Berwenang dalam Pengangkatan Anak
Anak angkat sebagaimana yang telah yang dikemukakan, adalah seseorang
yang bukan keturunan dua orang suami istri yang dipelihara dan diperlakukan sebagai
50
Anak yang memerlukan perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada
anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan hukum, anak dari minoritas, dan terisolasi, anak
yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi
korban dari penyalahgunaan narkoba, alcohol, psikotropika, dan zat adiktif(napza), anak korban
penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan, baik fisik dan/ atau mental, anak yang
menyandang cacat dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. (Permen sosial pengangkatan
anak;Pasal 1 Butir 14). 51
Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, h. 29.
33
anak angkat keturunannya sendiri. Akibat hukum terhadap pengangkatan anak ini
ialah bahwa anak itu mempunyai kedudukan hukum terhadap yang mengangkatnya,
yang bagi beberapa daerah di Indonesia mempunyai kedudukan hukum yang sama
dengan anak keturunannya sendiri, juga termasuk hak untuk mewarisi kekayaan yang
ditinggalkan orang tua angkatnya pada waktu meninggal dunia. Oleh karena itu
adanya akibat hukum yang terlalu jauh dan luas ini, di samping faktor-faktor lain dari
pengangkatan anak itu sendiri, seperti faktor sosial, faktor psikologis dan lain-lain,
maka tidak jarang akibat pengangkatan anak menimbulkan berbagai problema dalam
masyarakat.52
Hukum perkawinan di Indonesia di atur dalam Undang-Undang RI Nomor 1
tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah menentukan pengadilan agama sebagai
pengadilan yang berwenang mengadili perkara-perkara bidang perkawinan bagi
mereka yang beragama Islam dan pengadilan umum bagi lainnya. Lembaga
pengangkatan anak merupakan bagian dari hukum perkawinan, sehingga sepanjang
pengangkatan anak itu dilakukan oleh mereka yang beragama Islam atau memenuhi
asas personalitas keislaman, maka pengangkatan anak itu menjadi kewenangan
pengadilan agama.
Lembaga pengangkatan anak tidak diatur dalam Undang-Undang RI Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tidak diaturnya lembaga pengangkatan anak
tersebut dalam sejarah proses pembuatan hukum (law making process) Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan karena alasan sosial dan politik
52
Muderis Zaini, Adopsi suatu Tinjauan dari Tiga sistem Hukum, h. 22.
34
pada saat itu. Namun demikian, pengangkatan anak merupakan bagian dari bidang
perkawinan dan sesuai ketentuan Pasal 63 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang menegaskan bahwa pengadilan agama sebagai pengadilan
yang berwenang mengadili perkara bidang perkawinan bagi mereka yang beragama
Islam dan pengadilan umum bagi lainnya, maka kewenangan yang berkaitan dengan
pengangkatan anak dilakukan oleh orang-orang yang beragama Islam seharusnya
menjadi kewenangan pengadilan agama.53
Kesadaran dan kepedulian semangat masyarakat muslim yang makin meningkat
telah mendorong semangat untuk melakukan koreksi terhadap hal-hal yang
bertentangan dengan syariat Islam antara lain masalah pengangkatan anak. Kemudian
aturan pengangkatan anak masuk dalam Kompilasi Hukum Islam yang menjadi
pedoman hukum materiil peradilan agama. Kendati pengaturan tersebut sebatas
pengertian, namun telah memberikan perubahan yang signifikan bagi masyarakat
muslim Indonesia dalam memandang lembaga pengangkatan anak.54
Kebutuhan hukum orang-orang beragama Islam untuk melakukan perbuatan
hukum pengangkatan anak sesuai dengan pandangan hidup dan kesadaran hukumnya,
yaitu berdasarkan hukum Islam yang seharusnya menjadi kewenangan pengadilan
agama itu, akhirnya ditegaskan dalam Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2006
bahwa pengangkatan anak antara orang-orang yang beragama Islam menjadi
53
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota
ABRI.POLRI.PEGAWAI KEJAKSANAAN, PNS, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007,Cet-VII), h.
20. 54
Musthofa , Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 58
35
kewenangan pengadilan agama dan pengadilan agama memberikan penetapan
pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.55
Kewenangan absolut Peradilan Agama telah dirumuskan dalam Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Sebagai berikut: Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di
tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam salah satunya di bidang
perkawinan, bahwa yang dimaksud dengan bidang perkawinan adalah hal-hal yang
diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku
menurut syariat Islam adalah salah satunya pada point 20 tentang penetapan
pengesahan anak berdasarkan hukum Islam.56
Pada Pasal 49 ayat (1) tersebut, telah secara jelas menyatakan bahwa akidah
Islam yang melekat pada jiwanya, maka menjadi patokan untuk menyelesaikan
persoalan sengketa hukum perdata kekeluargaannya dengan hukum Islam sebagai
hukum yang hidup (positif) bagi keluarga muslim itu. Kehadiran anak angkat di
dalam keluarga tidak dapat dipisahkan dari sebuah cita-cita keluarga ideal.57
55
Musthofa , Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h. 60 56
Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktik Pada
Peradilan Agama,(Yogyakarta: UII Press 2009), h. 15-16.
57
Ahmad Kamil dan Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi, (Jakarta : Kencana,
2008), H. 144.
36
G. Kewenangan Absolut dan Relatif Pengadilan
Dalam Pasal 50 UU No.8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang
No.2 Tahun 1986 tentang peradilan umum yang bahwasanya menyatakan
“Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.”58
Jadi dapat diberikan
sebuah kesimpulan dasar dan mempunyai maksud bahwa Peradilan Negeri menerima
semua perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan peradilan umum(asas lex
generalis).59
Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menentukan
bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan peradilan dalam
lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan asas lex specialis. Apabila
kedua asas tersebut berhadapan maka lex specialis (asas ketentuan khusus)
tersebutlah yang lebih diutamakan.60
Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.61
Kewenangan terhadap pengangkatan anak belum ada pelimpahan kepada pengadilan
58
Republik Indonesia, Undang-Undang Peradilan Umum dan PTUN Tahun 2004, (Jakarta:
CV. Tamita Utama, 2004), h. 48. 59
Ahmad kamil dan M fauzan “ Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2008), h.1 liat juga Yahya Harahap, “ Hukum Perdata tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010) , h. 189.
60
Ahmad kamil dan Fauzan, “ hukum perlindungan dan pengangkatan anak di Indonesia h.1
liat juga yahya harahap, “ hukum perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan
putusan pengadilan”, h. 1.
61
Pasal 50 Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 2 tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, Lihat Undang-Undang Peradilan Umum dan PTUN
Tahun 2004, h. 48.
37
lain pada saat itu. Oleh karenanya semua perkara yang berkaitan dengan
pengangkatan anak menjadi kewenangan Pengadilan Negeri.
Ruang lingkup kewenangan absolut peradilan agama untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragamaa Islam di bidang: Perkawinan, Waris, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat,
Infaq, Shadaqah danEkonomi syariah.62
Yang dimaksud dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur dalam
berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku dan dilakukan
menurut syariat Islam. Salah satu diantaranya adalah dalam Pasal 49 Point 20 tentang
Penetapan asal usul anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum
Islam.63
Sehingga dalam perkara-perkara tersebut dilakukan oleh orang yang selain
beragam Islam dan tidak dengan hukum Islam atau tidak berlandaskan dengan hukum
Islam maka perkara tersebut secara absolut bukan kewenangan peradilan agama
melainkan kewenanangan peradilan negeri/umum.64
62
Pasal 49 UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
63
Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI, Informasi Peraturan Perundang-
undangan (JDI-HUKUM),Edisi 2006 No 34, h.323.
64
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama dan Mahkamah Syari’ah
di Indonesia (Jakarta: IKAHI 2008, Cet.1), h. 118.
38
BAB III
PROFIL PENGADILAN NEGERI WONOSOBO
A. Kedudukan Peradilan Negeri di Indonesia
Keberadaan peradilan umum telah ditegaskan secara rinci di dalam UU No. 2
Tahun 1982 dalam penjelasan umum bahwa di Negara Republik Indonesia sebagai
Negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
keadilan, kebenaran, kepastian hukum, dan ketertiban penyelenggaraan sistem
hukum merupakan hal-hal pokok untuk menjamin kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.1
Pengaturan-pegaturan baru tentang pengadilan dan peradilan diakui memang
harus diadakan terutama sebagai akibat dari tuntutan reformasi yang tercemin dalam
perubahan UUD 1945 dan juga UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.2
Adapun penyelenggara atau pelaksana dari kekuasaan kehakiman tersebut
sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan yang dikutip di atas adalah Mahkamah
agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan Tata Usaha Negara,
dan Mahkamah Konstitusi. Hal ini juga ditegaskan kembali dalam pasal 10 ayat (1)
1Sudarsono, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan Peradilan Tata
Usaha Negara, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1994), h. 517.
2Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), h. 227.
39
dan (2) UU. No. 4 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-Undang no. 48
tahun 2009 Tentang kekuasaan Kehakiman:3
Peradilan umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang
Peradilan Umum, sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 8 Tahun
2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986. Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2004 tersebut menentukan: “ Peradilan Umum adalah salah
satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.”4
Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota, dan daerah
hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota. Pembinaan teknis peradilan, organisasi,
administrasi dan financial pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.Pembinaan
tersebut tidak boleh mengurangi kekuasaan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara.5
Menurut Pasal 14 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum
tersebut, untuk dapat diangkat menjadi hakim, seseorang harus lebih dahulu menjadi
pegawai negeri yang terdaftar sebagai calon hakim. Namun dalam pasal 12 ayat (1),
3Bagir Manan, Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005), h. 88.
4Dalam penjelasan pasal ini dinyatakan disamping Pengadilan Umum yang berlaku bagi
rakyat pencari keadilan pada umumnya mengenai perkara perdata dan pidana, pelaku kekuasaan
kehakiman lain yang merupakan peradilan khusus bagi golongan rakyat tertentu, yaitu Pengadilan
Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara. Yang dimaksud dengan rakyat mencari
keadilan adalah setiap orang baik warga Negara Indonesia maupun orang asing yang mencari keadilan
pada pengadilan di Indonesia.
5Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004 Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1) dan (2), pasal 13
aayat (1) dan (2).
40
dinyatakan bahwa hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan
kehakiman.6
Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas
usul Menteri Kehakiman berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung.Ketua
dan Wakil pengadilan diangkat oleh Ketua Mahkamah Agung.Tentang
pemberhentian dengan hormat diatur dalam pasal tersendiri.
B. Ruang Lingkup Kewenangan Peradilan Negeri
Berbicara tentang kekuasaan Peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara
Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “Kekuasaan Relatif” dan
“Kekuasaan Absolut”, sekaligus dibicarakan pula didalamnya tentang tempat
mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan
Pengadilan.7 Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili
berdasarkan materi hukum(hukum materi).8 Sedangkan Kompetensi relatif adalah
kekuasaan mengadili berdasarkan wilayah atau daerah. Kewenangan Pengadilan
Agama sesuai tempat dan kedudukannya.
Di dalam Pasal 50 UU No.8 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-
Undang No.2 Tahun 1986 tentang peradilan umum yang bahwasanya menyatakan“
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
6Jaenal Arifin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, h. 228.
7Erfaniah Zuhriah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut,
(Malang: UIN- Malang Press, 2008), h.193.
8Musthofa, Kepaniteraan Pengadilan Agama, (Jakarta: Kencana, 2005), h. 9.
41
perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.”9Jadi dapat diberikan sebuah
kesimpulan dasar dan mempunyai maksud bahwa Peradilan negeri bahwa semua
perkara pidana maupun perdata menjadi kewenangan peradilan umum(asas lex
generalis).10
Akan tetapi ada ketentuan lain dalam undang-undang yang menentukan
bahwa terhadap perkara-perkara tertentu menjadi kewenangan peradilan dalam
lingkungan peradilan khusus yang dinamakan dengan asas lex specialis. Maka apabila
kedua asas tersebut berhadapan maka secara lex specialis asas ketentuan khusus
tersebutlah yang lebih diutamakan.11
Arti penting suatu daerah hukum bagi Pengadilan Negeri adalah hubungan
dengan kewenangan nisbi (kompetensi relatif ) dalam mengadili suatu perkara. Yang
berwenang mengadili suatu perkara pidana adalah Pengadilan Negeri yang daerah
hukumnya meliputi tempat terjadinya suatu tindak pidana (locus delicti).Dalam
perkara perdata, daerah hukum Pengadilan Negeri berat hubunganyya dengan tempat
tinggal penggugat dan tergugat dalam hal pengajuan gugatan.12
9Republik Indonesia, Undang-Undang Peradilan Umum dan PTUN Tahun 2004, (Jakarta:
CV. Tamita Utama, 2004), h. 48.
10
Ahmad kamil dan M fauzan “ Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,2008), h.1 liat juga Yahya Harahap, “ Hukum Perdata tentang
Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010) h. 189.
11
Ahmad kamil dan Fauzan, “ hukum perlindungan dan pengangkatan anak di Indonesia h.1
liat juga yahya harahap, “ hukum perdata tentang gugatan, persidangan, penyitaan, pembuktian, dan
putusan pengadilan”, h. 1.
12
Wantjik Saleh, Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri, (Jakarta:
Bina Aksara, 1981), h. 207.
42
C. Sejarah Singkat Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri Wonosobo sejak zaman Belanda sudah ada dengan nama
Landraad, akan tetapi nama ini mengalami perubahan sesuai dengan situasi pada
waktu itu, perubahan tersebut dapat dilihat pada zaman Belanda bernama
LANDRAAD WONOSOBO atau sebagai Judex Factio, pada masa kemerdekaan ada
perubahan nama menjadi PENGADILAN EKONOMI dan menempati gedung di
JalanPemuda No.6 Wonosobo, bangunan gedung didirikan pada tahun 1918,
kemudian pada tanggal 7 Juni 1983 gedung Pengadilan Negeri Wonosobo berpindah
ke gedung yang baru terletak di Jalan Tumenggung Jogonegoro No.38 Wonosobo,
Kel.Jaraksari, Kec. / Kab. Wonosobo dengan nama PENGADILAN NEGERI
WONOSOBO dengan luas tanah dan bangunan secara keseluruhan kurang lebih
4.000 m2 hingga saatini.13
Gedung Pengadilan Negeri Wonosobo yang baru diresmikan pada tahun 1983
oleh Bapak H.OESMAN SAHIDI, SH jabatan Kepala Kantor Wilayah Departemen
Kehakiman R.I Propinsi Jawa Tengah.Pada tahun 1985 terjadi REUISLAGH yaitu
tanah dan bangunan gedung Kantor Pengadilan Negeri Wonosobo yang terletak di
Jalan Pemuda No.6 Wonosobo menjadi milik Pemerintah Daerah Kabupaten
Wonosobo yang kemudian dijadikan kantor BAPPEDA Kabupaten Wonosobo dan
Pengadilan Negeri Wonosobo mendapatkan ganti rugi berupa tanah dan bangunan
perumahan yang terdiri dari :
13
“SejarahPengadilanNegeriWonosobo” artikel diakses pada 10 Maret 2014 dari http://pn-
wonosobo.go.id/profil/tentang-kami/sejarah.
43
- Rumah Dinas Ketua Pengadilan Negeri Wonosobo yang terletak di Jalan
Tata Bumi No.1 Wonosobo.
- Rumah Dinas Panitera/SekretarisPengadilanNegeriWonosobo yang terletak
di Jalan Tata Bumi No.2 Wonosobo.
- Rumah Dinas Pejabat Struktural Pengadilan Negeri Wonosobo No.3 s/d
No.8 yang terletak di Jalan Tata Bumi No.3 s/d No.8 Wonosobo.
- Bangunan RuangSidang II.
- Bangunan RuangArsip.
- Bangunan No.4 dan No.5 terletak di kantor Pengadilan Negeri Wonosobo
Jalan Tumenggung Jogonegoro no.38 Wonosobo.14
Adapun wilyah hukum Pengadilan Negeri Wonosobo terdiri dari 15 Kecamatan
yang meliputi :
1. Kecamatan Wadastilang
2. Kecamatan Kalibawang
3. Kecamatan Kepil
4. Kecamatan Sapuran
5. Kecamatan Kaliwiro
6. Kecamatan Leksono
7. Kecamatan Watumalang
8. Kecamatan Mojotengah
14“SejarahPengadilanNegeriWonosobo” artikel diakses pada 10 Maret 2014 dari http://pn-
wonosobo.go.id/profil/tentang-kami/sejarah.
44
9. Kecamatan Sukohardjo
10. Kecamatan Garung
11. Kecamatan Selomerto
12. Kecamatan Kalikajar
13. Kecamatan Kejajar
14. Kecamatan Kertek
15. Kecamatan Wonosobo.15
D. Profil Pengadilan Negeri Wonosobo
STRUKTUR ORGANISASI
PENGADILAN NEGERI WONOSOBO.16
15“SejarahPengadilanNegeriWonosobo” artikel diakses pada 10 Maret 2014 dari http://pn-
wonosobo.go.id/profil/tentang-kami/sejarah. 16
“Pimpinan” artikel diakses pada 10 Maret 2014 dari http://pn-wonosobo go.id /
kesekretariatan/kepegawaian/struktur-organisai.
KETUA
SARWONO, SH., MHum.
WAKIL KETUA
FEMINA M., SH., MH.
HAKIM - HAKIM
1. ASNI MERIYENTI, SH.
2.MULYADI ARIBOWO.,SH.
3. ANNISA NOVIYATI, SH.
4. DEDI ADI SAPUTRO, SH.,
M.HUM.
5. WAHYU BINTORO, SH.
6. YUNITA, SH.
7. LENNY KUSUMA M., SH.,
M.HUM.
PANITERA / SEKRETARIS
NGADENAN, SH., MH
45
PANMUD PERDATA
PRAYOGO., SH
PANMUD HUKUM
HADIYANTO.,SH
WAKIL SEKRETARIS
SARWADI, SH
KAUR KEPEGAWAIAN
ISMU
KAUR UMUM
SIGIT K. A., SH
PANITERA PENGGANTI
1. BAWON, SH. 7. HERMIARSI K.
2. WAHYUNI SRI REJEKI, SH. 8. BARKAH
3. PRAYOGO, SH. 9. SUYONO A.
4. HADIYANTO, SH. 10. TIYASMIYARTI
5. MACHMUD FAUZI 11. SRI WALUYO
6. HERY SUGIANTO 12. SUMARLI T. R.
JURUSITA / JURUSITA PENGGANTI
1. M. ZAENAL WARNO 4. AGUS SUTOPO
2. SUKO WIDODO 5. MURSIDJO
3. KUSNO SUGIHARJO 6. SUGIYO
WAKIL PANITERA
BAWON, SH
PANMUD PIDANA
WAHYUNI S., SH
KAUR KEUANGAN
AGUSTIN., SH
46
BAB IV
PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN
A. Duduk Perkara
Dalam penetapan ini yang dianalisis adalah perkara pengangkatan anak yang
dimohonkan oleh Subari, adalah seorang yang berjenis kelamin laki-laki yang berusia
49 tahun, dan beragama Islam yang bekerja sebagai karyawan swasta, yang beralamat
di Dusun larangan RT.004 RW. 003, kelurahan Bomerto, kecamatan Wonosobo,
kabupaten Wonosobo,dan yang disebut sebagai pemohon I.1
Sugiyah, adalah seorang yang berjenis kelamin perempuan yang berusia 37
tahun, dan beragama Islam yang bekerja sebagai ibu rumah tangga, yang beralamat di
Dusun larangan RT.004 RW. 003, kelurahan Bomerto, kecamatan Wonosobo,
kabupaten Wonosobo, dan yang disebut sebagai pemohon II.2
Yang tentang duduk perkara, sebagai berikut:3
1. Bahwa, pemohon I telah melangsungkan pernikahan yang sah dengan
pemohon II dihadapan pegawai pencatat nikah KUA di kecamatan
Wonosobo, terbukti dari kutikan akta nikah tanggal 17 November 2004,
Nomor: 622/12/XI/2004;
1Hasil Permohonan Data Pengadilan Negeri Wonosobo, Penetapan
No.151/Pdt.P/2013/PN.Wnsb, Tanggal 27 Februari 2014.
2 Salinan Penetapan No. 151/Pdt.P/ 2013/PN. Wnsb.
3 Salinan Penetapan No. 151/Pdt.P/ 2013/PN. Wnsb.
47
2. Bahwa, dari perkawinan tersebut para pemohon (suami isteri) belum
dikarunia anak pun hingga sekarang, maka para pemohon bermaksud
mengangkat dan menerima penyerahan terhadap anak seorang anak laki-laki
yang bernama: AKHMAT RASYIT MUBAROK, yang lahir pada tanggal 07
Juli 2012 dari ibu kandungnya bernama: SALIMAH, yang bertempat tinggal
di Kalierang RT.002 RW.004, Desa Kalierang, Kecamatan Selomerto,
Kabupaten Wonosobo, sebagaimana dalam surat penyerahan Anak
NURAINI ARISWARI, Amd, Ketua Opipa GOW Wonosobo (bukti
terlampir);4
3. Bahwa, anak tersebut telah diserahkan kepada para pemohon sejak tanggal 9
Oktober 2012 tanpa ada paksaan dari pihak manapun yang dituangkan
didalam surat pernyataan penyerahan anak yang bermaterai cukup dan
disaksikan oleh tiga orang saksi (bukti terlampir);
4. Bahwa, pengangkatan anak tersebut diatas dilakukan oleh para pemohon dari
NURAINI ARISWARI, Amd Ketua Upipa GOW Wonosobo tersebut sejak
tanggal 9 Oktober 2012 dan anak tersebut telah dipelihara serta dirawat,
diasuh oleh para pemohon tersebut diatas seperti layaknya anak kandung
sendiri hingga sampai sekarang;5
5. Bahwa, maksud dari penyerahan anak tersebut diatas dilakukan oleh Para
Pemohon adalah demi masa depan dan juga demi kepentingan bagi anak
4 Salinan Penetapan No. 151/Pdt.P/ 2013/PN. Wnsb.
5 Salinan Penetapan No. 151/Pdt.P/ 2013/PN. Wnsb.
48
tersebut yang diharapkan nantinya dapat mengasuh dan merawat para
pemohon dihari tuannya nanti, yang juga diharapkan pula dapat meneruskan
kehidupan keluarga Para Pemohon tersebut;
6. Bahwa, untuk itu para pemohon memerlukan adanya penetapan pengesahan
anak angkat tersebut diatas yang diperoleh dari Pengadilan Negeri
Wonosobo.6
Pada permohonan anak di Pengadilan Negeri Wonosobo ini bahwa Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Wonosobo memberikan/penetapan yang berstatus “
Mengabulkan Permohonan” yang berlandaskan: Pasal 1 angka 1 UU Nomor 23
Tahun 2002; Pasal 12 dan 13 PP Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak.7
Berkaitan dengan pengajuan permohonan perkara, sesuai dengan undang-
undang kekuasaan kehakiman, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.8
Pengadilan tidak boleh menolak permohonan tersebut meskipun bukan termasuk
wilayah kompetensinya, melainkah harus menggali hukum dari aturan yang berlaku
dan yang sesuai dengan kebutuhan kehidupan masyarakat.
6Hasil Permohonan Data Pengadilan Negeri Wonosobo, Penetapan
No.151/Pdt.P/2013/PN.Wnsb, Tanggal 27 Februari 2014.
7Hasil Permohonan Data Pengadilan Negeri Wonosobo, Penetapan
No.151/Pdt.P/2013/PN.Wnsb, Tanggal 27 Februari 2014.
8 Lihat Pasal 10 (1) undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
49
B. Analisis bentuk kewenangan Peradilan pasca lahirnya Undang-Undang No. 3
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989
Tentang Peradilan Agama
Pengadilan negeri adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaiakn perkara pidana dan perdata di tingkat pertama, kecuali
perundang-undangan memberikan kewenangan secara khusus kepada pengadilan lain.
Pengadilan dimaksud untuk pengangkatan anak pada saat itu adalah pengadilan
negeri sebagai pengadilan tingkat pertama di lingkungan peradilan umum.
Kewenangan terhadap perkara pengangkatan anak belum ada pelimpahan
kepada pengadilan lain pada saat itu, oleh karenanya semua perkara yang berkaitan
dengan pengangkatan anak menjadi kewenangan pengadilan negeri. 9
Sejauh ini meskipun para pihak beragama Islam, mereka memiliki kebebasan
untuk memilih hukum, dan sejauh ini perkara permohonan pengangkatan anak sudah
menjadi wewenang pengadilan negeri untuk memberikan dalam hal penetapan
pengangkatan anak dan ibu hakim sejauh ini tidak mengetahui wewenang baru yang
dimiliki oleh pengadilan agama, yaitu pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam
dan sejauh ini belum ada complain atau teguran dari pihak pengadilan agama dan
surat edaran mahkamah agung yang menyatakan bahwa pengadilan negeri sudah
tidak berwenang untuk menerima dan memeriksa perkara pengangkatan anak.10
9 Musthofa, Pengangkatan Anak kewengan Pengadilan Agama, h.57.
10
Wawancara pribadi dengan Femina Mustikawati, Wakil Ketua Pengadilan Negeri
Wonosobo, sebagai Hakim yang memutus perkara tersebut, Wonosobo, 27 Februari 2014.
50
Menurut teori umum hukum acara perdata Peradilan umum (tentang tempat
pengajuan gugatan), apabila penggugat mengajukan gugatannya ke pengadilan negeri
mana saja, diperbolehkan dan pengadilan negeri tersebut masih boleh memeriksa dan
mengadili perkaranya sepanjang tidak ada eksepsi (keberatan) dari pihak lawannya.
Juga boleh saja orang (penggugat dan tergugat) memilih untuk berperkara di muka
pengadilan negeri mana saja yang mereka sepakati. (Lihat HIR pasal 118 ayat 4). Hal
ini berlaku sepanjang tidak tegas-tegas dinyatakan lain. Pengadilan negeri dalam hal
ini, boleh menerima pendaftaran perkara tersebut disamping boleh pula menolaknya.
Namun, dalam praktek, pengadilan negeri sejak dari semula sudah tidak berkenaan
menerima gugatan/permohonan semacam itu, sekaligus memberikan saran ke
pengadilan negeri mana seharusnya gugatan/permohonan itu diajukan. Ketentuan
umum peradilan umum tersebut berlaku juga untuk peradilan agama sebagaimana
ditunjuk oleh UU Nomor 7 Tahun 1989.11
Bahwa terkait perbedaan kewenangan antara pengadilan negeri dan pengadilan
agama harus jelas, akan tetapi selama ini pengadilan negeri wonosobo masih
menerima perkara permohonan pengangkatan anak dan untuk selanjutnya di
kemudian hari perlu diadakan wacana untuk mendiskusikan tentang kewenangan
antara pengadilan negeri dan pengadilan agama, apakah oleh undang-undang
memang benanr-benar menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang untuk
menerima dan memeriksa perkara permohonan penetapan pengangkatan anak. Perlu
11
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama Edisi Baru, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), h. 26-27
51
diketahui bahwa terjadinya penggolongan kewenangan antara pengadilan negeri dan
pengadilan agama, pengadilan negeri menerima dan memeriksa perkara umum seperti
pidana dan perdata, akan tetapi pengadilan agama menerima dan memeriksa perkara
yang berdasarkan syariat Islam seperti perceraian yang dilakukan oleh orang yang
beragama Islam. Dalam hal permohonan pengangkatan anak, hakim mengatakan”
kalau pengadilan agama memandang syariat Islam itu berdasarkan subjek yang
berdasarkan agama Islam mengapa tidak dari dulu undang-undang peradilan agama
mengatur bahwa permohonan pengangkatan anak kewenangannya dimiliki oleh
pengadilan agama.12
Pasal 63 Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan telah
menegaskan dengan membagi kewenangan pengadilan agama dan pengadilan umum.
Pengadilan agama berwenang mengadili perkara bagi mereka yang beragama Islam,
sedangkan pengadilan umum bagi perkara lainnya.13
Oleh karena pengangkatan anak
tidak diatur dalam Undang-Undang tersebut, maka kewenangan mengenai
pengangkatan anak meskipun dilakukan oleh mereka yang beragama Islam tetap
menjadi kewengan pengadilan negeri.
Mengenai perkara pengangkatan anak belum lama menjadi kewenangan absolut
Peradilan agama sejak diundangkannya UU No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas
12
Wawancara pribadi dengan Femina Mustikawati, Wakil Ketua Pengadilan Negeri
Wonosobo, sebagai Hakim yang memutus perkara tersebut, Wonosobo, 27 Februari 2014.
13
Undang-Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk Anggota
ABRI.POLRI.PEGAWAI KEJAKSANAAN, PNS, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2007, Cet-VII), h.
20.
52
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang diumumkan
pada tanggal 20 maret 2006. Pengadilan Agama secara yuridis format telah memiliki
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak sesuai
dengan hukum Islam.14
Sebelum adanya Undang-Undang No.3 Tahun 2006, perkara
pengangkatan anak hanya menjadi kewenangan absolut Pengadilan Negeri.
Penetapan pengangkatan anak tidak bersifat sengketa, sehingga kata“antara”
dalam kewenangan penetapan pengangkatan anak ini tidak dapat dimaknai demikian.
Permohonan pengangkatan anak hanya ada satu pihak yaitu pihak pemohon. Asas
personalitas keislaman diukur dari pihak pemohon. Apabila orang yang beragama
Islam akan melakukan pengangkatan anak, maka menjadi kewenangan pengadilan
agama.
Analisis penulis, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama yang diumumkan pada tanggal 20 maret 2006, ada satu penambahan
kewenangan sub bidang perkawinan, yaitu pengangakatan anak berdasarkan hukum
Islam sebagaiman disebutkan dalam Penjelasan Pasal 49 Huruf (a) angka (20), dan
kewenangan ini tidak disebutkan dalam Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1989.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 merupakan kewenangan Absolut dari
Pengadilan Agama yang masih berlaku sampai sekarang, dan dalam Undang-Undang
nomor 50 Tahun 2009 amandemen ketiga tentang Peradilan Agama bahwa
14
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia :Gemuruhnya Politik Hukum(hk. Islam, Hk.
Barat,dan Hk, Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama PasangSsurut Lembaga Peradilan Agama
hingga lahirnya Peradilan Syariat Islam, (Jakarta: Kencana, 2006, Cet-2), h. 263.
53
kewenangan pengadilan agama dalam pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam
tidak dirubah. Dengan adanya UU No, 3 Tahun 2006 maka kewenangan Pengadilan
Negeri dalam menerima dan memeriksa dalam pengangakatan anak bagi warga yang
beragama Islam sudah tidak menjadi kewenangannya Pengadilan Negeri, akan tetapi
ada beberapa hakim Pengadilan Negeri yang belum mengetahui adanya Undang-
Undang tersebut, dan sebagai solusinya oleh karenanya perlu adanya sosialisasi
mengenai Undang-Undang tersebut ke berbagai Pengadilan Negeri yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung sebagai Peradilan tertinggi dari peradilan negeri dan
Peradilan Agama, dan supaya ada ketegasan mengenai pembagian kewenangan antara
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam pengangkatan anak.
C. Analisis Dasar Pertimbangan hakim dalam menetapkan Perkara
No.151/Pdt.P/2013/PN. Wnsb.
Perkawinan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun
kelompok. Dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan
terjadi secara terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang
berkehormatan. Pergaulan hidup rumah tangga dibina dalam suasana damai, tentram,
dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil perkawinan
yang sah menghiasi kehidupan keluarga sekaligus merupakan kelangsungan hidup
manusia secara bersih dan berkehormatan.15
Keluarga mempunyai peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat kecil yang terdiri dari seorang
15
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, (Yogyakarta: UII Press,1999), h. 1.
54
ayah, ibu, dan anak akan tapi tidak selalu ketiga unsur ini terpenuhi, karena ada
keluarga yang tidak mempunyai atau belum mempunyai anak. Sebab seorang anak
merupakan generasi muda penerus bangsa yang memiliki peran penting dan vital
serta untuk menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan Negara di masa depan.
Oleh karena itu, apabila ada keluarga, suku atau kerabat yang khawatir
menghadapi kenyataan tidak mempunyai anak, maka berbagai usaha akan dilakukan.
Untuk menghindari hal tersebut, salah satu usaha yang mereka lakukan adalah
mengangkat anak.
Dalam perkara pengangkatan anak Nomor 151/Pdt.P/2013/PN.Wnsb yang
ditangani oleh Pengadilan Negeri Wonosobo, hal ini telah sesuai dengan pasal 39 UU
No. 23 tahun 2002 .16
Maka dalam mempertimbangkan permohonan yang diajukan oleh para
pemohon, maka dasar hukum dalam menetapkan perkara seorang hakim merujuk
pada Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
perlindungan anak menyebutkan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan hukum adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.17
Adapun pengertian anak sebagaimana dimaksudkan dalam undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 tersebut, Pasal 1 angka 1 disebutkan, anak adalah seorang
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan.
16
Lihat Pasal 39 undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
17
Lihat Pasal 39 undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
55
Bahwa disamping diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002,
mengenai pengangkatan anak Hakim Pengadilan Negeri Wonosobo juga merujuk
pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 54 Tahun 2007 tentang
pelaksanaan pengangkatan anak, dimana diatur dalam pasal 12 dan 13 dari peraturan
pemerintah tentang syarat anak angkat dan orang tua angkat.18
Berdasarkan pada proses pembuktian dalam persidangan, majelis hakim juga
sudah mengacu pada SEMA Nomor 6 Tahun 1983 Jo. Surat Edaran MA RI Nomor 2
Tahun 1979 Tentang pengangkatan anak .19
Dengan mengacu pada peraturan tentang persyaratan bagi calon orang tua
angkat diatas, perkara pengangkatan anak tersebut telah sesuai dengan Pasal 13 point
a sampai PP No.54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatn anak. Akan tetapi
dalam Pasal 6 ayat 10 dan 2 PP No.54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan
anak juga menyatakan bahwa ”orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak
angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya dengan memperhatikan
kesiapan anak yang bersangkutan”.
Hakim pengadilan negeri wonosobo yang memeriksa perkara permohonan
pengangkatan anak tersebut dalam menetapkan perkara tersebut, sebelumnya
menimbang berdasarkan keterangan saksi yang dihubungkan dengan surat-surat bukti
dan melihat aturan-aturan yang mengatur tentang pengangkatan anak, pertimbangan
18
Lihat PP No.54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak dan Syarat bagi Orang Tua
Angkat. 19
Lihat SEMA Nomor 6 Tahun 1983 Jo.Surat Edaran MA RI Nomor 2 Tahun 1979 Tentang
Pengangkatan Anak.
56
hakim pemeriksa bahwa landasan hukum yang dipakai adalah aturan mengenai aturan
perlindungan anak yaitu dalam pasal 39 uu nomor 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Mengenai pengangkatan anak telah pula diatur dalam peraturan
pemerintah PP No. 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak dimana
diatur dalam pasal 12 dari pp tersebut, dan mengingat surat edaran mahkamah agung
nomor 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak. Bahwa pengangkatan anak hanya
dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak, bahwa calon anak angkat
harus seagama dengan agam yang dianut oleh calon anak angkat, dan apabila asal
usul anak tidak diketahui maka agama anak disesuaikan dengan agama mayoritas
penduduk setempat, bahwa pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing hanya
dapat dilakukan sebagai upaya terakhir (ultitum remedium).20
Dalam surat permohonan pada kasus ini tidak terdapat dalil bahwa pemohon
wajib memberitahukan status anak yang akan diangkat. Bahkan dalam pasal 13 huruf
k, j dan m menyatakan perlunya laporan sosial bahwa calon orang tua angkat itu telah
mengasuh anak angkat tersebut sejak izin pengasuhan diberikan dan memperoleh izin
menteri dan/atau kepala instansi sosial.21
Ketentuan diatas, tidak terlaksana dalam
kasus ini. Hal ini dikarenakan pengangkatan anak dilakukan oleh pemohon secara
langsung. Hakim seharusnya memerintahkan dinas sosial setempat untuk melakukan
pengecekan. Tetapi, dalam kasus ini hakim mengeluarkan penetapan tanpa
20
Wawancara pribadi dengan Femina Mustikawati, Wakil Ketua Pengadilan Negeri
Wonosobo, sebagai Hakim yang memutus perkara tersebut, Wonosobo, 27 Februari 2014.
21
Lihat Pasal 13 PP. No.54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Jo. Pasal 7
PERMENSOS RI No. 110/HUK/2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
57
memeriksa ulang berbagai ketentuan yang seharusnya dipenuhi olehh orang tua
angkat.
Bila dilihat dari pemohon I dan pemohon II keduanya adalah orang yang
beragama Islam dan wajib bahkan ada ketentuan harus mengajukan permohonan
tersebut ke pengadilan agama dan pengadilan negeri telah mengambil kewenangan
peradilan agama mengenai kewenangan absolut peradilan agama sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 yang telah diamandemen ke Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan agama yang telah jelas disebutkan dalam
Pasal 2 yang berbunyi:
“peradilan agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana
dimaksud dalam undnag-undang ini”.22
Menurut analisis penulis bahwa, pertimbangan hukum dalam menetapkan
perkara permohonan pengangkatan anak yang dilakukan oleh hakim yang
menyidangkan perkara permohonan pengangkatan anak ini, sebagian sudah mengacu
pada peraturan yang ada seperti, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak, Pasal 12 dan 13 Peraturan Pemeritah Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan anak, dan mengingat SEMA Nomor 6 Tahun 1983
Jo. Surat Edaran MA RI Nomor 2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak. Akan
tetapi belum sepenuhnya mengacu pada peraturan yang ada, khususnya Undang-
22
Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia :Gemuruhnya Politik Hukum(hk. Islam, Hk.
Barat,dan Hk, Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama PasangSsurut Lembaga Peradilan Agama
hingga lahirnya Peradilan Syariat Islam, h. 237.
58
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama dan peraturan pemerintah
nomor 54 Tahun 2007 Pasal 6 ayat 10 dan 2 tentang pelaksanaan pengangkatan anak.
Sehingga, berdasarkan tinjauan yuridis diatas, apabila dikaji lebih jauh, hakim
sebaiknya tidak mengabulkan permohonan penetapan pengangkatan anak ini. Sesuai
dengan asas hirarki peraturan perundang-undangan, asas yang menyatakan bahwa
Peraturan yang lebih baru mengesampingkan peraturan yang sebelumnya (lex
posterior derogat legi apriori) dan Peraturan yang lebih khusus mengesampingkan
peraturan yang bersifat lebih umum (lex specialis derogate legi generali). Hal ini
berkaitan dengan hukum mana yang harus dipakai untuk dijadikan sebagai
pertimbangan hukum yang berlaku dan dipakai oleh hakim yang digunakan untuk
menetapkan penetapan tersebut. Hakim Pengadilan Negeri Wonosobo yang memutus
perkara tersebut tanpa melihat aturan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama karena menurut hakim tersebut bahwa tujuan penetapan
pengangkatan yang dilakukan oleh pemohon hanya untuk perlindungan anak dimata
hukum.
Selain berkenaan dengan asas, dikarenakan ada beberapa hal yang mendasar
yang tidak dipenuhi oleh pemohon, diantaranya bahwa pemohon dan majelis hakim
telah mengambil kewenangan Absolut Pengadilan Agama, sebagiamana diketahui
bahwa para permohon beragama Islam, maka apabila orang yang beragama Islam
akan melakukan pengangkatan anak, maka itu menjadi kewenangan dari Pengadilan
Agama Pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-
59
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang peradilan Agama maka Peradilan Umum sudah
tidak berwenang lagi.
D. Analisis dampak hukum pengangkatan anak bagi warga muslim di
Pengadilan Negeri Wonosobo Pasca UU No.3 Tahun 2006.
Pengaturan kewenangan pengadilan agama terhadap pengangkatan anak dalam
UU No.3 Tahun 2006 merupakan peraturan yang merubah peraturan kewenangan
mengadili yang telah ada. Dengan adanya UU tersebut, maka kewenangan untuk
mengadili permohonan pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama Islam
berubah menjadi kewenangan Pengadilan agama.
Dengan demikian penempatan kewenangan pengadilan agama terhadap
pengangkatan anak dalam penjelasan pasal 49 UU No.3 Tahun 2006, (dalam pasal ini
tidak dirubah pada UU No 50 tahun 2009 tentang peradilan agama),23
Sudah tepat
apabila kewenangan mengadili permohonan pengangkatan bagi pemohon yang
beragama Islam diberikan kepada Pengadilan Agama, karena pengangkatan anak
melalui pengadilan negeri menimbulkan akibat hukum yang bertentangan dengan
ketentuan hukum agama Islam yang dianut oleh sebagaian besar rakyat Indonesia.
Namun demikian pemberian wewenang itu harus mempunyai dasar hukum yang kuat
dan jelas, sehingga tidak menimbulkan kekaburan hukum.
Sehubungan dengan hal ini menurut hakim pengadilan negeri Wonosobo
pendapat terhadap permohonan pengangkatan anak: hakim berpendapat bahwa
23
Lihat Undang-Undang No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
60
pengadilan negeri berwenang memeriksa, dan memutus permohonan pengangkatan
anak yang diajukan oleh pemohon yang beragam Islam ke pengadilan negeri
wonosobo dengan tujuan untuk menjadikan anak angkat sah di mata hukum. Hal ini
jelas dapat menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi masyarakat, karena
ketika seorang anak angkat diangkat oleh orang tua angkat melalui Pengadilan Negeri
maka akibat hukumnya akan berdampak kepada anak angkat tersebut salah satunya
adalah mengenai nasab anak, yang menjadikan anak angkat tersebut bersatus anak
kandung tanpa melihat aturan yang sesuai dengan Islam atau berdasarkan Hukum
Islam. Padahal sesuai dengan teori tujuan hukum, tujuan dikeluarkannya hukum salah
satunya adalah untuk meberikan kepastian hukum bagi masyarakat.24
Berdasarkan pengamatan dan pengalaman di beberapa Pengadilan Negeri dan
khususnya Pengadilan Negeri Wonosobo ternyata sebagian hakim Pengadilan Negeri
Wonosobo, khususnya hakim yang memutuskan perkara ini, berpendapat bahwa
walaupun UU no. 3 Tahun 2006 telah memberikan kewenangan kepada pengadilan
agama untuk mengadili permohonan penetapan anak berdasarkan hukum Islam,
pengadilan negeri masih mempunyai kewenangan untuk mengadili permohonan
pengangkatan anak bagi pemohon yang beragama Islam. Hanya sebagian kecil hakim
yang secara tegas menyatakan bahwa pengadilan negeri sudah tidak mempunyai
kewenangan untuk mengadili permohonan pengangkatan anak. Dapat disimpulkan
ternyata kebanyakan hakim pengadilan negeri lebih tunduk pada pedoman
24
Wawancara pribadi dengan Femina Mustikawati, Wakil Ketua Pengadilan Negeri
Wonosobo, sebagai Hakim yang memutus perkara tersebut, Wonosobo, 27 Februari 2014.
61
pelaksanaan tugas dan administrasi peradilan yang dikeluarkan oleh Mahkamah
Agung dari ketentuan Undang-Undang.
Perlu diketahui bahwa terjadinya penggolongan kewenangan antara pengadilan
negeri dan pengadilan agama, pengadilan negeri menerima dan memeriksa perkara
umum seperti pidana dan perdata, akan tetapi pengadilan agama menerima dan
memeriksa perkara yang berdasarkan syariat Islam seperti perceraian yang dilakukan
oleh orang yang beragama Islam. Dalam hal permohonan pengangkatan anak, hakim
mengatakan “kalau pengadilan agama memandang syariat islam itu berdasarkan
subjek yang berdasarkana agam Islam mengapa tidak dari dulu undang-undang
peradilan agama mengatur bahwa permohonan pengangkatan anak kewenangannya
dimiliki oleh pengadilan agama, dan menurut hakim tersebut,bahwa akibat hukum
dengan adanya penetapan tersebut secara formil sah, karena itu merupakan produk
dari Peradilan yang melalui proses beracara yang ada di pengadilan negeri walaupun
dalam Undang-Undang ada penggolongan antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Agama”.25
Putusan-putusan pengadilan telah mengisi kekosongan hokum (rechvacuum)
dalam perkembangan lembaga pengangkatan anak. Pengangkatan anak melalui
pengadilan akan memberikan perlindungan kepentingan anak dan kepastian hukum.
Di samping itu, meskipun peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pengangkatan anak belum mencukupi, telah ada garis hukum bahwa
25
Wawancara pribadi dengan Femina Mustikawati, Wakil Ketua Pengadilan Negeri
Wonosobo, sebagai Hakim yang memutus perkara tersebut, Wonosobo, 27 Februari 2014.
62
“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”26
bahkan Pasal 22AB
(Algemence Bepalingen van wetgeving vor Indonesia) secara tegas menentukan
bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara dengan alasan bahwa
peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menyebutkan, tidak jelas
atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk dihukum karena menolak
mengadili.27
Hakim pemeriksa menyatakan bahwa dikabulkannya permohonan tersebut
karena tidak bertentangan undang-undang, dan perkara pengangkatan anak ini sesuai
dengan aturan yang berlaku berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim yang
dicantumkan dalam penetapan yang dimohonkan oleh Subari dan Sugiyah yaitu
undang-undang tentang perlindungan anak dan peraturan lain yang masih berlaku.
Tapi hakim pemeriksa menyatakan “kenapa terjadi benturan kewenangan antara
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama setelah diundangkannya undang-undang
nomor 3 tahun 2006 dan peraturan-peraturan yang lain seperti SEMA hanya mengatur
terkait pelaksanaan tata cara pengangkatan anak di pengadilan tanpa menyebutkan
26
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 16 ayat (1)
27
Ahmad Kamil, Kaidah-Kaidah Yurisprudensi, (Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 9.
63
pengadilan mana yang berwenang untuk memeriksa perkara pengangkatan anak bagi
warga muslim atau non muslim”.28
Maka sejak adanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut hukum
pengangkatan anak yang dianut oleh pengadilan negeri tidak lagi mengacu pada
hukum perdata barat, dan walaupun undang-undnag pengangkatan anak tidak
dibentuk secara khusus, tetapi peraturan perundang-undangan yang didalamnya
mengatur tentang pengangkatan anak, kiranya sudah mencukupi sebagai dasar hukum
hakim dalam menetapkan pengangkatan anak.
Dalam menjatuhkan penetapan pengangkatan anak seorang hakim harus
memperhatikan arahan yang diberikan oleh mahkamah agung yang tercantum dalam
undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Yang perlu
diperhatikan yaitu bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk
kepentingan terbaik anak, dan tidak diperbolehkan pengangkatan anak yang bertujuan
komersial.
Setelah terjadinya pengangkatan anak maka timbulah hukum baru yang melekat
pada anak angkat dan orang tua angkat yaitu mengenai perwalian dan pewarisan.
Mengenai perwalian, sejak dikeluarkannya penetapan pengangkatan anak oleh
majelis hakim, orang tua angkat secara sah telah ditetapkan sebagai wali dari anak
angkat. Hak dan kewajiban orang tua kandung telah berpindah alih kepada orang tua
angkat dalam hal nafkah, pembiayaan sekolah, serta pendidikan agama. Berbeda
28
Wawancara pribadi dengan Femina Mustikawati, Wakil Ketua Pengadilan Negeri
Wonosobo, sebagai Hakim yang memutus perkara tersebut, Wonosobo, 27 Februari 2014
64
dengan perwalian yang dilakukan dalam hal perkawinan, apabila si anak adalah anak
perempuan maka yang menjadi wali dalam pernikahannya yaitu orang tua
kandungnya. Hal ini sesuai dengan pasal 8 huruf f undang-undang nomor 1 tahun
1974 tentang perkawinan yang tertera yang berbunyi” yang mempunyai hubungan
yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin”.
Sesuai dengan sifat perkara yang diajukan adalah bentuknya permohonan
penetapan, yahya harahap menjelaskan bahwa sifat gugat permohonan ada volunter
dengan ciri dan berbagai asas yang melekat pada diri sipemohon. Tujuanya hanya
menetapkan suatu keadaan atau status tertentu bagi diri pemohon. Mengenai asas
yang melekat pada putusan penetapan, yaitu asa kebenaran yang melekat pada
putusan hanya “kebenaran sepihak”. Kebenaran yang terkandung di dalam penetapan
hanya kebenaran yang bernilai untuk diri pemohon, kebenaranya tidak menjangkau
orang lain dan kekuatan mengikat penetapan hanya berlaku pada diri pemohon saja.29
Mengenai bentuk pertimbangan hukum oleh hakim yang tidak tepat secara formil
akan berakibat tidak tercapainya kepastian hukum yang tepat, akan tetapi secara
dalam pelaksanaan pengangkatan anak menurut hukum Islam sudah tercapai, karena
baik para pemohon maupun anak yang akan diangkat adalah sama-sama beragama
Islam.
Menurut Penulis, agar terciptanya kepastian hukum solusinya komisi yudisial
lebih jeli dalam melihat kasus ini karena akan berdampak fatal dan adanya kepastian
29
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2001), h .306.
65
hukum dan memberikan saksi terhadap hakim ataupun pegawai yang telah menerima
perkara tersebut dikarenakan sudah tidak berwenang lagi pengadilan negeri
memutuskan perkara tersebut dan merubah pikiran hakim yang punya pendapat
seperti itu, dikarenakan sudah tidak berwenang lagi pengadilan negeri dalam
menerima, memeriksa serta memutuskan perkara tersebut bagi orang Islam yang
ingin mengajukan perkara tersebut.
Selanjutnya Mahkamah Agung sebagai kekuasaan kehakiman tertinggi di
Indonesia seharusnya mengeluarkan peraturan berbentuk sema atau perma tentang
batasan kewenangan antara pengadilan agama dan pengadilan negeri agar tidak
adanya benturan kewenangan di antara kedua pengadilan tersebut yang mengakibatan
adanya kekaburan hukum dan tidak adanya kepastian hukum kepada masyarakat.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan kajian yuridis terhadap pasal 49 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang
Peradilan Agama dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), maka
dapat disimpulkan beberapa point sebagai berikut:
1. Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, eksistensi kewenangan
absolut Peradilan negeri terhadap permohonan pengangkatan anak bagi warga
muslim di Pengadilan Negeri tidak mutlak dan utuh lagi menjadi kewenangan
Peradilan Negeri dalam perkara ini. Melainkan wewenang tersebut menjadi mutlak
Peradilan Agama, artinya yang dulu sebelum adanya UU No. 3 tahun 2006
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, muncul dualisme kewenangan antara dua lembaga litigasi ini. Peradilan
Negeri tetap memiliki kewenangan tentang pengangkatan anak berdasarkan
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 12 dan
13 Peraturan Pemeritah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
anak, dan mengingat SEMA Nomor 6 Tahun 1983 Jo. Surat Edaran MA RI Nomor
2 Tahun 1979 Tentang Pengangkatan Anak. Sementara Peradilan Agama
berwenang melaksanakan putusan tentang permohonan pengangkatan anak bagi
warga muslim berdasarkan hukum Islam berlandaskan pada Pasal 49 Huruf (a)
angka (20), Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 merupakan kewenangan
67
Absolut dari Pengadilan Agama yang masih berlaku sampai sekarang, dan dalam
Undang-Undang nomor 50 Tahun 2009 amandemen ketiga tentang Peradilan
Agama bahwa kewenangan pengadilan agama dalam pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam tidak dirubah.
2. Sengketa kewenangan antara dua lembaga peradilan ini menimbulkan beberapa
implikasi sebagai berikut:
a. Mengarah kepada ketidakpastian hukum (legal uncertainty), karena satu
wewenang kompetensi absolut yang sama dipegang oleh dua lembaga
peradilan.
b. Menimbulkan kerancuan pada lembaga Peradilan sebagai badan
Kekuasaan Kehakiman ketika akan mendaftarkan gugatan/permohonan ke
pengadilan, karena terkadang kedua belah pihak yang bersengketa tidak
sepakat dalam menentukan lembaga peradilan yang akan digunakan.
c. Membingungkan para akademisi dalam memahami tata peraturan
Indonesia, karena peraturan yang saling tumpang tindih.
3. Upaya penyelesaian perkara kewenangan yang muncul dari perundang-undangan
tersebut dapat terjawab dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
secara tidak langsung menyatakan bahwa dengan lahirnya pasal 49 huruf a angka
(20) undang-undang hasil amandemen ke-dua tentang peradilan agama yang
menyatakan bahwa mengenai permohonan pengangkatan anak bagi warga muslim
merupakan kewenangan absulut Peradilan Agama.
68
B. Saran
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, terdapat beberapa saran yang ingin
direkomendasikan:
1. Kepada komisi non yudisial Mahkamah Agung, mengingat Undang-Undang No. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989,
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 merupakan kewenangan Absolut dari
Pengadilan Agama yang masih berlaku smapai sekarang, telah memberikan
kekuasaan mutlak kepada Peradilan Agama untuk menyelesaikan perkara
permohonan pengangkatan anak bagi warga muslim di Pengadilan Agama, maka
semestinya wewenang absolut pengangkatan anak bagi warga muslim kompetensi
mutlak Peradilan Agama saja.
2. Bagi personil aparat Peradilan Agama dan juga insan akademis Fakultas Syariah
dan Hukum, serta semua pihak yang mendukung keberadaan permohonan
pengangkatan anak pada umumnya, dan permohonan pengangkatan anak bagi
warga muslim berdasarkan hukum Islam khususnya sebagai bagian dari
kompetensi absolut Peradilan Agama, sudah seharusnya untuk lebih tanggap dan
fokus mempersiapkan diri menerima amanat Undang-Undang ini. Karena disadari
atau tidak, sekali lagi Peradilan Agama sudah kecolongan wewenang terhadap
permohonan pengangkatan anak bagi warga muslim yang dilakukan di pengadilan
negeri.
3. Kepada insan akademis khususnya spesialis politik hukum, sangat diharapkan
untuk mengkaji hal ini dari sisi politiknya, karena keterbatasan penelitian ini
belum mengcover hal tersebut.
69
DAFTAR PUSTAKA
Djaelani, Abdul Qadir. Keluarga Sakinah. Jakarta: PT. Bina Ilmu Offset,1995.
Cet. 1
Syarifuddin, Amir.Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antar Fiqih Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana,2007. Cet. 2
Soefyanto. Perlindungan Anak dalam Pengadilan Anak.Jakarta: Universitas Islam
Negeri, 2007.
Soekanto, dan Taneko B.Soleman dan Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Jakarta:
CV. Rajawali,1986.
Syamsu, Andi dan Fauzan. Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam. Jakarta:
Kencana,2008.
Budiarto. Pengangkatan Anak ditinjau dari Segi Hukum. Jakarta: CV. Akademika
Pressindo,1985.
Musthofa. Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama. Jakarta:
Kencana,2008.
Djalil, Basiq.Peradilan Agama di Indonesia :Gemuruhnya Politik Hukum (hk.
Islam, Hk. Barat,dan Hk, Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang
Surut Lembaga Peradilan Agama hingga lahirnya Peradilan Syariat Islam,
Jakarta: Kencana, 2006.
--- Peradilan Islam.Jakarta:Amzah, 2012.
Zuhriah, Nurul. Metedologi Penelitian Sosial dan Pendidikan:Teori-Aplikasi.
Jakarta: PT. Bumi Aksara,2007.
Ibrahim,Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.Jakarta:
Bayumedia Publishing, 2007
Marzuki, Peter Muhammad. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana,2007.
Waluyo, Bambang. Penelitian Hukum dalam Praktek. Jakarta: Sinar
Grafika,2008.
Asikin, Zainal dan Amiruddin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT.
Raja Grafindo,2003.
Echols, Jhon M. Dan Hasan Sadly. Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama,1981.
70
Depdikbud.KamusBesarBahasa Indonesia PusatBahasa.Jakarta: PT.
GramediaPusaka Utama,2008.
Yanggo, T. Chuzaimah dan Hafiz Anshary. Problematika Hukum Islam
Kontemporer Buku pertama. Jakarta: Penerbit Pusaka,2008. Cet. 5
Wignjodipuro, Surojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung
Agung,1982.
Zaini, Muderis. Adopsi Suatu Tinjauan dari tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar
Grafika,2002.
Gosita, Arif. Masalah Perlindungan Anak, Jakarta: CV.Akademika
Pressindo,1984.
Yaswirman. Hukum Keluarga Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada,2011.
Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: Bumi
Aksara,1990
Kamil, Ahmad dan fauzan. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di
Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo,2008.
Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedia Hukum Islam Jilid 1. Jakarta: Ichtiar baru Van
Hoeve,1996.
Al-Zuhaili, Wahbah. Al-fiqhah-Islami wa al-adilatuhu,juz 9. Beirut: Dar al-Fikr
al-Ma’ashir,1997. Cet.4
Haron, Nasroen. Ensiklopedia Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar baru Van
Hoeve,1996.
Hasan, M.Ali. Masail Fiqhiyah Al-Haditsah pada Masalah-masalah
Kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada,1997.
Annes, Ahmad Munawar. Islam dan Masa Depan Biologis Umat Manusia.
Bandung: mizan,1991. Cet.1
Soimin, Sudharyo. Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata
Barat(BW) Hukum Islam dan Hukum Barat. Jakarta: Sinar Grafika,2004.
Basyir, Ahmad Azhar. Kawin campur, Adopsi, Wasiat Menurut Islam. Bandung:
PT. Al-Ma’rif,1972.
--- Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press,1999.
71
Tafal, B. Sebastian. Pengangkatan Anak menurut Hukum Adat serta akibat-akibat
Hukumnya di kemudian hari. Jakarta: Rajawali,1989.
Meliala,S. Djaja. Pengangkatan Anak (adopsi) di Indonesia. Bandung:
Tarsito,1982.
Soimin, Soedaryo. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar
Grafika,2000.
As-Shabuni, Muhammad Ali. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni 2.
Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset.
Ismail al-Bukhari bin, Muhammad . al al-Jâmi’ al-Musnad al-Shohîh al-Mukhtashar min
Umûr Rasulullah saw wa Sunanihi Wa Ayyamihi No. Hadist 5088. Dar
Thauqatunnajah: 1422 H Juz.7.
Hajjaj bin, Muslim. al-Musnad al-Shahîh al-Mukhtashar bi Naql al-‘Adl ‘an Adl Ila
Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Beirut: Dâr Ihyâ al-Turâts al-‘Arabî, tt,
Nomor Hadis 2425.
Pandika, Rusli. Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar Grafika,2012.
Rasyid, Chatib dan Syaifuddin. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik
pada Peradilan Agama. Jakarta: UII Press, 2009
Sudarsono. Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, Mahkamah Agung dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Rineka Cipta,1994.
Aripin, Jaenal. Peradilan Agama Dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008
Manan, Bagir. Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia dalam
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004.Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2005.
Zuhriah, Erfaniah. Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan
Pasang Surut. Malang: UIN-Malang Press,2008.
Musthofa. Kepaniteraan Pengadilan Agama. Jakarta: Kencana,2005.
Harahap, M. Yahya. Hukum Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
--- Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta: Sinar
Grafika,2001.
Saleh, Wantjik. Mahkaah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.
Jakarta: Bina Aksara,1981.
72
Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Peradilan Agama Edisi baru. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,2003.
Kamil, Ahmad. Kaidah-Kaidah Yurisprudensi. Jakarta: Prenada Media,2005.
SumberdariPerundang-undangan:
Undang- Undang Pokok Perkawinan Beserta Peraturan Perkawinan Khusus Untuk
Anggota ABRI.POLRI.PEGAWAI KEJAKSANAAN, PNS, Jakarta: Sinar
Grafika Offset, 2007 Cet-VII.
Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Sejak
1975,2011
Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 Tentang Kesejahteraan Anak
Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang kewarganegaraan Republik
Indonesia
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Admnistrasi Kependudukan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentangPerubahanUndang-Undang No. 7
Tahun 1989 tentangPeradilan Agama
Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Negeri.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Negeri
Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentangKekuasaanKehakiman
Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung RI. Informasi Peraturan
Perundang-undangan (JDI-HUKUM) edisi 2005 No. 32
----- Edisi 2006 N0. 34
Kompilasi Hukum Islam Inpress No.1 tahun 1991
Kumpulan PerundanganperlindunganHakAsasiAnak
Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007 Tentang pelaksanaan Pengangkatan
Anak.
73
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 Jo. Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 Tahun 1979 Tentang
Pengangkatan Anak
Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentangPerubahanKeduaAtasUndang-
Undang No. 7 Tahun 1989 tentangPeradilan Agama
Sumberdari Internet:
http://pn-wonosobo.go.id/profil/tentang-kami/sejarah
http://pn-wonosobo go.id / kesekretariatan/kepegawaian/struktur-organisai.
PEDOMAN WAWANCARA
Nama : Eka Dita Martiana
Tanggal Wawancara :27-28 Februari 2014
Responden : Hakim Pengadilan Negeri Wonosobo, Femina Mustikawati SH.,MH
Tempat : Ruangan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Wonosobo
1. Bagaimana proses beracara dalam perkara permohonan pengangkatan anak di Pengadilan
Negeri Wonosobo?
Jawaban : Permohonan pengangkatan anak di pengadilan negeri sama saja dengan yang lain
dan tidak ada perbedaan dengan perkara yang lain, baik mulai dari pendaftaran yang
dilakukan oleh orang yang berperkara, dengan melakukan biaya perkaya, kemudian berkas itu
diberikan kepada ketua pengadilan untuk ditentukan hari siding, dan pada wkatu sidang
proses pemeriksaanya sama dengan proses sidang pemeriksaan pada perkara lain yang mana
terdapat acara pembuktian, berpa pembuktian surat dan saksi-saksi kemudian dibahas dan
ditetapkan jadi intinya dalam hal berperkara pada sidang permohonan penganangkatan anak
tidak ada perbedaanya pada sidang acara lainnya.
2. Bagaimana pendapat ibu hakim terkait permohonan penetapan pengangkatan anak bagi warga
muslim yang diajukan ke Pengadilan Negeri Wonosobo?
Jawaban : Sejauh ini meskipun para pihak beragama Islam, mereka memiliki kebebasan untuk
memilih hukum, dan sejauh ini perkara permohonan pengangkatan anak sudah menjadi
wewenang pengadilan negeri untuk memberikan dalam hal penetapan pengangkatan anak dan
ibu hakim sejauh ini tidak mengetahui wewenang baru yang dimiliki oleh pengadilan agama,
yaitu pengangkatan anak berdasarkan hukum islam dan sejauh ini belum ada complain atau
teguran dari pihak pengadilan agama dan surat edaran mahkamah agung yang menyatakan
bahwa pengadilan negeri sudah tidak berwenang untuk menerima dan memeriksa perkara
pengangkatan anak.
3. Mengapa Pengadilan Negeri Wonosobo menerima permohonan pengangkatan anak bagi
warga muslim tersebut?
Jawaban : Bahwa selama ini hakim pemeriksa perkara belum memperdalami masalah
kewenangan antara pengadilan negeri dan pengadilan agama dalam hal pengangkatan anak,
akan tetapi dalam kebiasannya permohonan pengangkatan anak itu diajukan dan diperiksa di
pengadilan negeri.
4. Bagaimana ibu hakim menanggapi adanya pembagian kewenangan yang dimiliki oleh
Peradilan Negeri dan Peradilan Agama, khususnya terkait dalam hal permohonan
pengangkatan anak bagi warga muslim?
Jawaban : Bahwa terkait perbedaan kewenangan antara pengadilan negeri dan pengadilan
agama harus jelas, akan tetapi selama ini pengadilan negeri wonosobo masih menerima
perkara permohonan pengangkatan anak dan untuk selanjutnya di kemudian hari perlu
diadakan wacana untuk mendiskusikan tentang kewenangan antara pengadilan negeri dan
pengadilan agama, apakah oleh undang-undang memang benanr-benar menyatakan bahwa
pengadilan negeri tidak berwenang untuk menerima dan memeriksa perkara permohonan
penetapan pengangkatan anak.
5. Bagaimana dampak atau akibat hukum dengan adanya penetapan tersebut? (secara formil)
Jawaban : Perlu diketahui bahwa terjadinya penggolongan kewenangan antara pengadilan
negeri dan pengadilan agama, pengadilan negeri menerima dan memeriksa perkara umum
seperti pidana dan perdata, akan tetapi pengadilan agama menerima dan memeriksa perkara
yang berdasarkan syariat Islam seperti perceraian yang dilakukan oleh orang yang beragama
islam. Dalam hal permohonan pengangkatan anak, hakim mengatakan” kalau pengadilan
agama memandang syariat islam itu berdasarkan subjek yang berdasarkana agam islam
mengapa tidak dari dulu undang-undang peradilan agama mengatur bahwa permohonan
pengangkatan anak kewenangannya dimiliki oleh pengadilan agama, dan menurut hakim
tersebut,bahwa akibat hukum dengan adanya penetapan tersebut secara formil sah, karena itu
merupakan produk dari Peradilan yang melalui proses beracara yang ada di pengadilan negeri
walaupun dalam Undang-Undang ada penggolongan antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan
Agama.
6. Apa pertimbangan hukum yang digunakan ibu hakim dalam menetapkan permohonan
pengangkatan anak tersebut?
Jawaban : Hakim pengadilan negeri wonosobo yang memeriksa perkara permohonan
pengangkatan anak tersebut dalam menetapkan perkara persebut, sebelumnya menimbang
berdasarkan keterangan saksi yang dihubungkan dengan surat-surat bukti dan melihat aturan-
aturan yang mengatur tentang pengangkatan anak, pertimbangan hakim pemeriksa bahwa
landasan hukum yang dipakai adalah aturan mengenai aturan perlindungan anak yaitu dalam
pasal 39 uu nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Mengenai pengangkatan anak
telah pula diatur dalam peraturan pemerintag PP No. 54 tahun 2007 tentang pelaksanaan
pengangkatan anak dimana diatur dalam pasal 12 dari pp tersebut, dan mengingat surat edaran
mahkamah agung nomor 6 tahun 1983 tentang pengangkatan anak.
7. Mengapa hakim mengabulkan permohonan tersebut?
Jawaban : Hakim pemeriksa menyatakan bahwa dikabulkannya permohonan tersebut karena
tidak bertentangan undang-undang, dan perkara pengangkatan anak ini sesuai dengan aturan
yang berlaku berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hakim yang dicantumkan dalam
penetapan yang dimohonkan oleh subari dan sugiyah yaitu undang-undang tentang
perlindungan anak dan peraturan lain yang masih berlaku. Tapi hakim pemeriksa
menyatakan” kenapa terjadi benturan kewenangan antara pengadilana negeri dan pengadilan
agama setelah diundangkannya undang-undang nomor 3 tahun 2006 dan peraturan-peraturan
yang lain sperti sema hanya mengatur terkait pelaksanaan tata cara pengangkatan anak di
pengadilan tanpa menyebutkan pengadilan mana yang berwenang untuk memeriksa perkara
pengangkatan anak bagi wrga muslim atau non muslim.
P E N E T A P A N
Nomor : 151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb.
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”
Pengadilan Negeri Wonosobo yang mengadili perkara perdata dalam
tingkat pertama , telah menetapkan seperti tersebut dibawah ini dalam
Perkara Permohonan, yang diajukan oleh :
1. S U B A R I,Umur 49 tahun,Pekerjaan Karyawan Swasta ;
2. S U G I Y A H, umur 37 tahun, pekerjaan Mengurus Rumah Tangga ;
Mereka berdua bertempat tinggal di Dusun Larangan RT.004
RW.003 Kelurahan Bomerto, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten
Wonosobo, yang selanjutnya disebut sebagai : PARA
PEMOHON ;
PENGADILAN NEGERI tersebut;
Telah membaca Surat Permohonan Para Pemohon;
Telah membaca surat-surat bukti yang diajukan oleh Para Pemohon;
Telah mendengar keterangan Saksi-saksi di muka persidangan;
Menimbang, bahwa Para Pemohon dengan Surat Permohonannya
tertanggal 31 Januari 2013 yang terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Negeri
Wonosobo pada tanggal 11 Pebruari 2013 dengan Register Perkara Nomor :
151 /Pdt.P/2013/PN.Wnsb. telah mengajukan permohonan sebagai berikut :
Bahwa Para pemohon dalam perkawinannya yang berlangsung di
Wonosobo sebagaimana dalam kutipan Akta Nikah tertanggal 17
Nopember 2004,Nomor : 622/12/XI/2004 belum dikaruniai seorang
anakpun hingga sekarang (bukti terlampir) ;
Bahwa karena Para Pemohon dalam perkawinannya tersebut belum
dikaruniai seorang anakpun hingga sekarang, maka Para Pemohon
bermaksud mengangkat dan menerima penyerahan terhadap seorang
anak laki-laki yang bernama : AKHMAT RASYIT MUBAROK yang lahir
2
pada tanggal 07 Juli 2012 dari ibu kandungnya bernama : SALIMAH,
bertempat tinggal di Kalierang Rt 002 Rw.004,Desa
Kalierang,Kecamatan Selomerto,Kabupaten Wonosobo, sebagaimana
dalam surat Penyerahan Anak NURAINI ARISWARI, Amd, Ketua
Opipa GOW Wonosobo (bukti terlampir) ;
Bahwa anak tersebut telah diserahkan kepada Para Pemohon sejak
tanggal 9 Oktober 2012 tanpa ada paksaan dari pihak manapun yang
dituangkan didalam Surat Pernyataan Penyerahan anak yang
bermeterai cukup dan disaksikan oleh tiga orang saksi (bukti
terlampir);
Bahwa pengangkatan anak tersebut diatas dilakukan oleh para
Pemohon dari NURAINI ARISWARI,Amd Ketua Upipa GOW
Wonosobo tersebut sejak tanggal 9 Oktober 2012 dan anak tersebut
telah dipelihara serta dirawat, diasuh oleh Para Pemohon tersebut
diatas seperti layaknya anak kandung sendiri hingga sampai sekarang
Bahwa maksud dari penyerahan anak tersebut diatas dilakukan oleh
Para Pemohon adalah demi masa depan dan juga demi kepentingan
bagi anak tersebut yang diharapkan nantinya dapat mengasuh dan
merawat Para pemohon dihari tuanya nanti, yang juga diharapkan pula
dapat meneruskan kehidupan keluarga Para pemohon tersebut ;
Bahwa untuk itu Para Pemohon memerlukan adanya penetapan
pengesahan anak angkat tersebut diatas yang diperoleh dari
Pengadilan Negeri Wonosobo ;
Bahwa selain itu pula segala biaya yang timbul dalam permohonan ini
dibebankan kepada Para Pemohon ;
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas dengan ini Para pemohon mohon
kepada Bapak Ketua Pengadilan Negeri Wonosobo untuk berkenan
memeriksa dan memanggil Para Pemohon tersebut yang selanjutnya
memberikan penetapan sebagai berikut :
3
1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon ;
2. Menyatakan sah demi hukum pengangkatan anak yang
dilakukan oleh Para Pemohon ( SUBARI dan SUGIYAH )
terhadap seorang anak laki-laki bernama AKHMAT RASYIT
MUBAROK pada tanggal 07 Juli 2012 di Wonosobo anak
dari seorang ibu bernama SALIMAH bertempat tinggal di Desa
Kalierang Rt 002 Rw.004,Kecamatan Selomerto,Kabupaten
Wonosobo tersebut diatas ;
3. Menghukum biaya permohonan ini kepada Para Pemohon ;
Menimbang, bahwa pada hari sidang yang telah ditetapkan, Para
Pemohon datang sendiri dipersidangan yang telah ditetapkan tersebut dan
setelah dibacakan Surat Permohonannya, maka Para Pemohon menyatakan
tetap pada permohonannya;
Menimbang, bahwa untuk membuktikan dan menguatkan
permohonannya, Para Pemohon telah mengajukan bukti-bukti surat yang
telah dicocokkan dengan aslinya dan telah bermaterai cukup yang berupa :
1. Foto copy Kartu tanda Penduduk (KTP) atas nama SUBARI, surat bukti
diberi tanda : P.1
2. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama SUGIYAH, surat bukti
diberi tanda : P.2 ;
3. Foto copy Kutipan Akta Nikah No.622/12/XI/2004 tanggal 22 Nopember
2004 yang dibuat dan dikeluarkan oleh KUA Kecamatan Wonosobo yang
menerangkan bahwa pada tanggal 17 Nopember 2004 telah berlangsung
akad nikah antara SUBARI dengan SUGIYAH, surat bukti diberi tanda :
P.3 ;
4. Foto copy Surat Penyerahan Anak tertanggal 09 Oktober 2012 dari
NURAINI ARISWARI,Amd Ketua Upipa GOW Wonosobo kepada SUBARI
dan SUGIYAH, surat bukti diberi tanda : P.4 ;
4
5. Foto copy Kartu Keluarga Nomor : 3307091601080356,tertanggal 05
September 1012 atas nama Kepala Keluarga WARSITO, Alamat
Larangan Rt 004 Rw.003 Desa Bomerto,Kecamatan
Wonosobo,Kabupaten Wonosobo, surat bukti diberi tanda : P.5 ;
6. Foto copy Kutipan Akta Kelahiran atas nama AKHMAT RASYIT
MUBAROK, surat bukti diberi tanda : P.6 ;
7. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama SALIMAH,surat bukti
diberi tanda:P.7
8. Foto copy Surat Keterangan Kepala Desa Kalierang Nomor :
470/046/I/2013 tertanggal 23 Januari 2013,yang menerangkan bahwa
SALIMAH warga Desa kalierang dan belum pernah menikah, surat bukti
diberi tanda : P.8 ;
9. Foto copy Surat Keterangan Kepala Desa Kalierang Nomor :
450/047/I/2013 tertanggal 23 januari 2013,yang menerangkan bahwa
SALIMAH telah melahirkan seorang anak pada tanggal 7 Juli 2012 diluar
nikah, surat bukti diberi tanda : P.9 ;
10. Foto copy Kartu Keluarga Nomor : 3307061711072446 tertanggal 06-09-
2012 atas nama Kepala Keluarga ROHMADI,Alamat Kalierang Rt.002
Rw.004 Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo surat bukti diberi
tanda : P.10 ;
11. Foto copy Surat keterangan Kepala Desa Bomerto No.460/391/X/2012
tanggal 25 September 2012,yang menerangkan bahwa Subari penduduk
Desa Bomerto dan menurut norma sosial dan hukum adat berkelakuan
baik, surat bukti diberi tanda : P.11 ;
12. Foto copy Surat keterangan Kepala Desa Bomerto No.460/389/X/2012
tanggal 25 September 2012, yang menerangkan bahwa Subari penduduk
Desa Bomerto dan mampu secara ekonomi untuk mengadopsi anak, surat
bukti diberi tanda : P.12 ;
5
13. Foto copy Rekomendasi Nomor : 474.1/897/2012 tanggal 11 Oktober
2012 tentang Recomendasi kepada Subari terhadap pengangkatan anak
atas nama AKHMAT RASYIT MUBAROK, surat bukti diberi tanda P.13 ;
14. Foto copy Surat Recomendasi dari Kepala Dinas Sosial Kabupaten
Wonosobo Nomor : 463/075/2013, surat bukti diberi tanda dengan : P.14;
15. Foto Surat Pernyataan Penyerahan Anak yang bernama AKHMAT
RASYIT MUBAROK dari ibu kandung anak bernama SALIMAH kepada
NUR AINI ARISWARI,Amd Ketua Upipa GOW Wonosobo disaksikan
saksi-saksi pada tanggal sembilan2012 Selanjutnya , surat bukti diberi
tanda : P.15;
Menimbang, bahwa foto copy surat-surat bukti tersebut setelah diperiksa,
diteliti dan dicocokkan dengan surat aslinya ternyata cocok dan sesuai
serta telah dibubuhi bea meterai cukup dan telah dilegalisasi oleh yang
berwenang sehingga sehingga surat-surat bukti tersebut dapat
dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dan selanjutnya diberi tanda P.1
sampai P.15 ;
Menimbang, bahwa selain surat-surat bukti tersebut diatas, Para
Pemohon di muka persidangan juga telah mengajukan 3 (tiga) orang Saksi
yaitu 1. SALIMAH (Ibu Kandung Anak), 2. NURAINI ARISWARI, 3.
BAHRODIN dan 4. SUPRAT
yang masing-masing memberikan keterangan dipersidangan dibawah
sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut :
SAKSI 1 : SALIMAH :
Bahwa Saksi tahu jika Para Pemohon mengajukan permohonan
Pengangkatan Anak;
Bahwa yang diangkat anak oleh Para Pemohon adalah anak laki-laki
Saksi yang bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK ;
6
Bahwa alasan Para Pemohon mengangkat anak adalah karena sudah
8 (delapan) Tahun usia perkawinan Para Pemohon belum mempunyai
keturunan (anak) sampai dengan sekarang;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK anak kandung saksi seorang
anak laki-laki lahir di Wonosobo pada tanggal 07 Juli 2012 dan
sekarang berumur ± 7 (tujuh) bulan;
Bahwa benar Saksi belum pernah menikah dan anak yang bernama
AKHMAT RASYIT MUBAROK adalah anak diluar nikah
Bahwa alasan Saksi menyerahkan anaknya yang bernama AKHMAT
RASYIT MUBAROK kepada Para Pemohon karena Saksi keadaan
ekonominya tidak mampu dan berkeinginan agar masa depannya
terjamin jika ikut, diasuh dan dirawat Para Pemohon ;
Bahwa benar selama mengandung sampai melahirkan Saksi
ditampung di Lembaga Perlindungan Ibu dan Anak (LPPIA) Upipa
GOW Kabupaten Wonosobo ;
Bahwa benar Saksi melahirkan dibantu Bidan dan segala biaya
persalinan,perawatan, dan pembuatan akta kelahiran anak ditanggung
Upipa GOW Kabupaten Wonosobo ;
Bahwa benar anak Saksi yang bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK
diserahkan kepada Para Pemohon sejak lahir tanpa ada tekanan
ataupun paksaan dari pihak siapapun ;
Bahwa Saksi kenal dengan Para Pemohon karena Saksi dipertemukan
oleh Bu NURAINI ARISWARI Ketua Upipa GOW Kabupaten
Wonosobo dan menurut pengamatan saksi keadaan ekonomi Para
pemohon mampu ;
Bahwa Saksi telah menandatangani surat pernyataan penyerahan
anaknya yang bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK kepada Bu
NURAINI ARISWARI dan Para pemohon ;
7
Bahwa Saksi tahu dengan konsekuensi hukum atas diserahkannya
anak Saksi yang bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK kepada
Para Pemohon;
Bahwa Saksi tahu dan mengerti dengan Surat Bukti P.6.P.7,P.8,P.9,
P.10 dan P.15
Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi tersebut diatas Para
Pemohon menyatakan benar dan tidak keberatan;
SAKSI 2 : NURAINI ARISWARI ;
Bahwa Saksi tahu jika Para Pemohon mengajukan permohonan
Pengangkatan Anak;
Bahwa yang diangkat anak oleh Para Pemohon adalah seorang anak
laki-laki yang bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK ;
Bahwa alasan Para Pemohon mengangkat anak karena perkawinan
mereka sudah berjalan selama kurang lebih 8 (delapan) tahun belum
dikaruniai anak ;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK adalah anak dari Saksi
SALIMAH yang sejak kehamilannya saksi tampung di Lembaga LPPIA
milik GOW Kabupaten Wonosobo ;
Bahwa alasan Saksi mempertemukan dan mengenalkan Saksi
SALIMAH yang waktu itu dalam keadaan mengandung 7 (tujuh) bulan
kepada Para Pemohon karena Para Pemohon pernah berpesan
kepada Saksi untuk dicarikan seorang anak untuk diadopsi ;
Bahwa Saksi mengetahui jika Saksi SALIMAH sedang hamil karena
SALIMAH datang langsung ke Lembaga LPPIA dan memberitahukan
langsung kepada Saksi;
Bahwa Para Pemohon sudah mempunyai niat baik mengangkat anak
Saksi SALIMAH yang sejak dalam kandungan tujuh bulan ;
8
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK diserahkan kepada Para
Pemohon sejak lahir ;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK seorang anak laki-laki yang
lahir di Wonosobo pada tanggal 07 Juli 2012 ;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK adalah anak diluar perkawinan
yang karena keadaan ekonomi Saksi SALIMAH tidak mampu dan
demi terjaminnya masa depan anaknya itu maka diserahkan kepada
Para Pemohon;
Bahwa Para Pemohon telah mengumumkan kepada para tetangganya
sewaktu mengadakan syukuran selamatan atas pengangkatan
AKHMAT RASYIT MUBAROK sebagai anak nya di rumah Para
Pemohon yang dihadiri pula oleh anggota keluarga Saksi SALIMAH ;
Bahwa biaya persalinan dan pengurusan akta dibiayai oleh Lembaga
LPPIA Upipa Gow Kabupaten Wonosobo dan dibantu oleh Para
Pemohon;
Bahwa Lembaga LPPIA Upipa GOW Kabupaten Wonosoobo
mendapat dana bantuan dari APBD Kabupaten Wonosobo ;
Bahwa Para Pemohon dalam merawat, mengasuh dan mendidik
AKHMAT RASYIT MUBAROK anak angkatnya itu dengan penuh kasih
sayang layaknya anak kandung sendiri terlebih lagi keadaan
ekonominya mampu, sehingga masa depan anak akan terjamin ;
Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi tersebut diatas Para
Pemohon menyatakan benar dan tidak keberatan;
SAKSI 3 : B A H R O D I N :
Bahwa Saksi tahu jika Para Pemohon mengajukan permohonan
Pengangkatan Anak;
Bahwa yang diangkat anak oleh Para Pemohon adalah seorang anak
laki-laki yang bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK ;
9
Bahwa alasan Para Pemohon mengangkat anak karena perkawinan
mereka sudah berjalan selama kurang lebih 8 (delapan) tahun belum
dikaruniai anak ;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK adalah anak dari Saksi
SALIMAH yang sejak kehamilannya saksi tampung di Lembaga LPPIA
milik GOW Kabupaten Wonosobo ;
Bahwa alasan Saksi mempertemukan dan mengenalkan Saksi
SALIMAH yang waktu itu dalam keadaan mengandung 7 (tujuh) bulan
kepada Para Pemohon karena Para Pemohon pernah berpesan
kepada Saksi untuk dicarikan seorang anak untuk diadopsi ;
Bahwa Saksi mengetahui jika Saksi SALIMAH sedang hamil karena
SALIMAH datang langsung ke Lembaga LPPIA dan memberitahukan
langsung kepada Saksi;
Bahwa Para Pemohon sudah mempunyai niat baik mengangkat anak
Saksi SALIMAH yang sejak dalam kandungan tujuh bulan ;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK diserahkan kepada Para
Pemohon sejak lahir ;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK seorang anak laki-laki yang
lahir di Wonosobo pada tanggal 07 Juli 2012 ;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK adalah anak diluar perkawinan
yang karena keadaan ekonomi Saksi SALIMAH tidak mampu dan
demi terjaminnya masa depan anaknya itu maka diserahkan kepada
Para Pemohon;
Bahwa Para Pemohon telah mengumumkan kepada para tetangganya
sewaktu mengadakan syukuran selamatan atas pengangkatan
AKHMAT RASYIT MUBAROK sebagai anak nya di rumah Para
Pemohon yang dihadiri pula oleh anggota keluarga Saksi SALIMAH ;
10
Bahwa biaya persalinan dan pengurusan akta dibiayai oleh Lembaga
LPPIA Upipa Gow Kabupaten Wonosobo dan dibantu oleh Para
Pemohon;
Bahwa Lembaga LPPIA Upipa GOW Kabupaten Wonosoobo
mendapat dana bantuan dari APBD Kabupaten Wonosobo ;
Bahwa Para Pemohon dalam merawat, mengasuh dan mendidik
AKHMAT RASYIT MUBAROK anak angkatnya itu dengan penuh kasih
sayang layaknya anak kandung sendiri terlebih lagi keadaan
ekonominya mampu, sehingga masa depan anak akan terjamin ;
Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi tersebut diatas Para
Pemohon menyatakan benar dan tidak keberatan;
SAKSI 4 : S U P R A T :
Bahwa Saksi tahu jika Para Pemohon mengajukan permohonan
Pengangkatan Anak karena para Pemohon pernah bercerita kepada
Saksi;
Bahwa yang diangkat anak oleh Para Pemohon adalah seorang anak
laki-lakiyang bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK dan waktu itu
masih bayi;
Bahwa alasan Para Pemohon mengangkat anak karena selama 8
(delapan) tahun usia perkawinan belum dikaruniai seorang anak;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK adalah anak seorang ibu yang
bernama SALIMAH ;
Bahwa SALIMAH belum pernah menikah ;
Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK diserahkan kepada Para
Pemohon karena keadaan ekonomi Saksi SALIMAH (ibu kandung
anak) tidak mampu dan demi terjaminnya masa depan anaknya itu ;
Bahwa Para Pemohon telah mengadakan selamatan atas
pengangkatan AKHMAT RASYIT MUBAROK di rumah Para Pemohon
11
dengan mengundang tetangga sekitar serta keluarga Para Pemohon
dan keluarga SALIMAH ;
Bahwa Para Pemohon dalam merawat, mengasuh dan mendidik
AKHMAT RASYIT MUBAROK tersebut penuh dengan rasa kasih
sayang layak anak kandungnya sendiri
Bahwa Saksi tidak tahu dengan Surat-surat bukti yang diajukan oleh
Para Pemohon tetapi pernah mendengar tentang surat penyerahan
anak;
Menimbang, bahwa atas keterangan Saksi tersebut diatas Para
Pemohon menyatakan benar dan tidak keberatan;
Menimbang, bahwa selanjutnya Para Pemohon tidak mengajukan
sesuatu lagi dan mohon Penetapan;
Menimbang, bahwa untuk mempersingkat uraian Penetapan ini segala
sesuatu yang terjadi dipersidangan dianggap telah termuat didalam
Penetapan ini;
PERTIMBANGAN HUKUM
Menimbang, bahwa maksud dan tujuan Para Pemohon adalah
sebagaimana tersebut diatas;
Menimbang, bahwa berdasarkan Keterangan Saksi-Saksi tersebut
diatas yang dihubungkan dengan Surat-surat bukti, maka diperoleh fakta-
fakta hukum sebagai berikut :
- Bahwa pokok dari Permohonan Para Pemohon adalah Pengangkatan
Anak;
- Bahwa anak yang dimaksudkan oleh Para Pemohon untuk diangkat
adalah bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK, seorang anak laki-laki
yang lahir di Wonosobo, tanggal 07 Juli 2012, anak dari seorang ibu yang
bernama SALIMAH ;
12
- Bahwa Para Pemohon sebagai calon orang tua angkat adalah pasangan
suami istri yang sah yaitu SUBARI, berusia 49 (empat puluh sembilan)
tahun dan SUGIYAH, berusia 37 (tiga puluh tujuh) tahun;
- Bahwa Para Pemohon menikah pada tanggal 17 Nopember 2004 di
Wonosobo sebagaimana dalam Kutipan Akta Nikah tertanggal 22
Nopember 2004 Nomor : 622/12/XI/2004 dan sampai dengan sekarang ±
8 (delapan) tahun belum dikaruniai seorang anak;
- Bahwa telah ada persetujuan dari ibu kandung dari calon anak angkat dan
kesanggupan Para Pemohon untuk merawat, mengasuh dan mendidik
serta memberikan perlindungan kepada AKHMAT RASYIT MUBAROK
sebagai Calon Anak Angkat sebagaimana layaknya anak kandung;
- Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK telah diserahkan oleh ibu
kandungnya kepada Para Pemohon sejak lahir ;
- Bahwa AKHMAT RASYIT MUBAROK diserahkan kepada Para Pemohon
karena keadaan ekonomi dari Saksi SALIMAH sebagai ibu kandungnya
kurang mampu dan berkeinginan agar masa depan anaknya terjamin;
- Bahwa telah diadakan selamatan pengangkatan AKHMAT RASYIT
MUBAROK sebagai anak angkat Para Pemohon dengan mengundang
tetangga sekitar dan keluarga dari AKHMAT RASYIT MUBAROK ;
Menimbang, bahwa mengenai Perlindungan Anak yaitu dalam Pasal
39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan Pengangkatan Anak hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat
kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
Menimbang, bahwa adapun pengertian anak sebagaimana
dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tersebut, pada
Pasal 1 angka 1 disebutkan, Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak dalam kandungan;
13
Menimbang, bahwa disamping diatur dalam Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2002, mengenai Pengangkatan Anak telah pula diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, dimana diatur dalam Pasal 12 dari
Peraturan Pemerintah itu, bahwa syarat-syarat anak yang akan diangkat,
yaitu :
1. Belum berusia 18 (delapan) belas tahun;
2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak;
4. Memerlukan perlindungan khusus;
Menimbang, bahwa dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak bahwa Calon
Orang Tua Angkat harus memenuhi syarat-syarat antara lain :
1. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima
puluh lima) tahun;
2. Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
3. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki 1 (satu) orang
anak;
4. Memperoleh persetujuan tertulis dari orang tua atau wali anak;
5. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan fakta
dipersidangan, anak yang dimohonkan oleh Para Pemohon untuk diangkat
adalah seorang anak laki-laki bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK yang
lahir di Wonosobo, pada tanggal 07 Juli 2012, dan sekarang berusia kurang
lebih 7 (tujuh) bulan sebagaimana dalam Kutipan Akta Kelahiran (sesuai
dengan surat bukti P-6) yang merupakan anak dari seorang ibu yang
bernama SALIMAH ;
14
Menimbang, bahwa Pemohon SUBARI, telah berusia 49 (empat
puluh sembilan) tahun lahir pada tanggal 14 Agustus 1973 dan Pemohon
SUGIYAH lahir pada tanggal 10 Juni 1975 (sesuai dengan surat bukti P-1,
P-2, P-3, P-4, P-5, P-11, P-12) dan merupakan pasangan suami istri yang
sah (sesuai dengan surat bukti P-3);
Menimbang, bahwa berdasarkan Keterangan Saksi Salimah, Saksi
Nuraini Ariswari, Saksi Bahrodin, Saksi Suprat dan Para Pemohon, AKHMAT
RASYIT MUBAROK berada dalam asuhan Para Pemohon sejak lahir hal
mana telah disepakati dalam bentuk surat pernyataan bersama (sesuai
dengan surat bukti P-4 dan P.15) ;
Menimbang, bahwa tujuan Para Pemohon mengangkat anak adalah
demi masa depan dan juga kepentingan anak tersebut yang akan diasuh oleh
Para Pemohon layaknya anak kandung sendiri dan Salimah selaku ibu
kandung AKHMAT RASYIT MUBAROK menyerahkan anaknya kepada Para
Pemohon karena keadaan ekonominya tidak mampu sedangkan Para
Pemohon dipandang dari keluarga yang keadaan ekonominya mampu dan
telah 8 (delapan) tahun belum dikaruniai anak;
Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan para Saksi
dipersidangan, maka Pengadilan berpendapat bahwa kehidupan Para
Pemohon secara sosial ekonominya cukup baik sehingga dapat menjamin
masa depan AKHMAT RASYIT MUBAROK akan menjadi lebih baik atau
setidak-tidaknya kehidupannya tidak akan terlantar;
Menimbang, bahwa dengan diangkatnya AKHMAT RASYIT MUBAROK
menjadi anak angkat Para Pemohon, apakah tidak akan menimbulkan konflik
hukum dikemudian hari ?
Menimbang, bahwa pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang /
keluarga yang berkewarganegaraan Indonesia asli sebagaimana
pengangkatan anak yang dilakukan oleh Para Pemohon terhadap seorang
anak laki-laki yang bernama AKHMAT RASYIT MUBAROK tersebut
15
menurut Pengadilan pada hakekatnya cukup sah setelah dipenuhinya
syarat-syarat dan tata cara tertentu menurut adat istiadat setempat dan
peraturan perundangan yang bersangkutan;
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut
diatas, tercermin adanya kepentingan yang pantas dari Para Pemohon yang
kepentingan mana menurut hemat Pengadilan tidak bertentangan dengan
kepentingan umum;
Menimbang, bahwa oleh karenanya permohonan Para Pemohon cukup
beralasan sehingga patut untuk dikabulkan;
Menimbang, bahwa karena perkara ini bersifat permohonan maka
sudah sepantasnya Para Pemohon dibebani untuk membayar biaya dalam
perkara ini;
Mengingat, Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan
lainnya yang bersangkutan dengan perkara ini;
M E N E T A P K A N
Mengabulkan Permohonan Para Pemohon tersebut;
Menyatakan sah demi hukum pengangkatan anak yang dilakukan
oleh Para pemohon terhadap seorang anak laki-laki bernama : AKHMAT
RASYIT MUBAROK yang lahir pada tanggal 07 Juli 2012 di Wonosobo,
anak dari seorang ibu yang bernama : SALIMAH, bertempat tinggal di Desa
Kalierang Rt. 002 Rw.004 Kecamatan Selomerto, Kabupaten Wonosobo;
Membebankan biaya perkara yang timbul dari permohonan ini kepada
Para Pemohon sejumlah Rp. 153.000,00 (seratus lima puluh tiga ribu rupiah);
Demikianlah Penetapan ini ditetapkan pada hari : Rabu, tanggal 27
Pebruari 2013, oleh Kami : FEMINA MUSTIKAWATI, SH.MH, Hakim
Tunggal Pengadilan Negeri Wonosobo. Penetapan mana diucapkan pada
hari itu dalam sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum oleh Hakim
16
tersebut diatas, dengan dibantu oleh HADIYANTO,SH sebagai Panitera
Pengganti pada Pengadilan Negeri Wonosobo dan dihadiri oleh Para
Pemohon;
PANITERA PENGGANTI
Ttd
HADIYANTO,SH
HAKIM
Ttd
FEMINA MUSTIKAWATI, SH.MH
Perincian Biaya Perkara:
1. Pencatatan/Pendaftaran(PNBP) :Rp 30.000,00
2. BAPP :Rp 50.000,00
3. Pemanggilan :Rp 57.500,00
4. Sumpah :Rp 4.000,00
5. Redaksi Penetapan :Rp. 5.000,00
6. Materai Penetapan :Rp 6.000,00 +
Jumlah :Rp. 152.500,00
(seratus lima puluh dua ribu lima ratus rupiah)
top related