tugas teori akuntansi syariah.doc
Post on 12-Aug-2015
103 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
PILIHAN KEBIJAKAN AKUNTANSI DALAM KERANGKA SYARIAH
ISLAMIYAH
ABSTRAK
Pilihan kebijakan akuntansi dan pelaporan mempengaruhi oleh alokasi dan distribusi
pendapatan kepada pengadu yang bermacam-macam dalam hubungan berdasarkan perjanjian
suatu perusahaan. Pendekatan pembuatan kebijakan konvensional gagal menunjukkan
keadaan yang lengkap tentang realita perusahaan karena pendekatan tersebut hanya terfokus
pada teknis dan penjelasan ekonomi. Pendekatan ini mengabaikan hal yang telah dicanangkan
oleh manajer dalam hubungan melebihi diri manusia yang mungkin akan mempengaruhi dan
memaksa pilihan mereka. Yang lebih penting, beberapa pendekatan mengabaikan moral dan
keagamaan yang mempengaruhi tingkah laku mereka. Penulis memberikan alasan
berdasarkan Konsep Uqud (kontrak) dalam Islam, prinsip syariah Islamiyah seharusnya
mengendalikan kebijakan akuntansi dan pelaporan bagi manajer Muslim. Sejak menganut
syariah Islamiyah sebagai bentuk ibadah, manajer harus menyeimbangkan antara alokasi
kekayaan kepada pengadu perusahaan dan untuk satu orang dengan mengambil dalam akun
kesejahteraan antara manusia dan juga lingkungan ketika membuat pilihan kebijakan
akuntansi dan pelaporan. Dengan demikian, manajer Muslim dapat melaksanakan kewajiban
kepada Allah, masyarakat, lingkungan, dan dirinya serta mencapai Al-Adl (keadilan sosio
ekonomi) dan Al-Falah (keberhasilan di dunia dan akhirat).
1. PENGANTAR
Beberapa masyarakat Islam (seperti Arab Saudi, Iran, Pakistan, Malaysia, dan Brunei)
mengikuti aturan Islam dalam kehidupannya. Penelitian terakhir menunjukkan hubungan
antara keagamaan dan akuntansi dan masalah akuntansi Islam. Satu aspek yang diterima
adalah berlakunya prinsip akuntansi konvensional pada institusi keuangan Islam dan
implikasinya. Persoalan lain yang didiskusikan pada buku-buku termasuk harmonisasi
standar akuntansi internasional pada negara Islam, usulan untuk membentuk laporan
perusahaan Islam, tinjauan filsafat pembentukkan etika ilmu akuntansi dan menggunakan
syariah Islamiyah sebagai pedoman dalam mengembangkan teori akuntansi dan memilih
kebijakan akuntansi dalam lingkungan bebas riba.
Dalam Islam, para sarjana merasa bahwa akuntansi sebagai “fungsi asuransi untuk
menciptakan Al-Adl (keadilan sosio ekonomi) dan Al-Falah (keberhasilan di dunia dan
akhirat) melalui pemformalan prosedur, rutinitas, pengukuran obyektif, pengendalian dan
pelaporan yang sesuai dengan syariah Islamiyah”. Selanjutnya, menurut Hayashi akuntansi
Islam adalah adalah “sebuah teori yang memikirkan bagaimana mengalokasikan sumber daya
dengan adil”. Oleh karena itu, satu hal yang dapat disimpulkan bahwa akuntansi lebih dari
kegiatan teknis. Akuntansi merupakan suatu alat dan mempunyai kekuatan untuk mencapai
keadilan dalam masyarakat.
Praktek akuntansi dan pelaporan suatu perusahaan dibentuk dengan perjanjian dari
berbagai pihak. Perspektif akuntansi Islam menyampaikan hubungan kontrak perusahaan
kepada Allah dan semua ciptaan-Nya. Politik, ekonomi, sosial, dan keagamaan
menggambarkan semua bentuk keputusan dalam masyarakat. Hal tersebut mengakui adanya
hubungan perjanjian dengan Allah dan ciptaan-Nya, yang disebut dengan Konsep Uqud
(kkad), yang menentukan tingkah laku individu dan perusahaan dalam bisnis Islam.
Kemudian, obyektifitas dalam paper ini ditujukan pada kebijakan akuntansi dan pelaporan
yang seharusnya diterapkan oleh perusahaan untuk memenuhi konsep uqud dalam bisnis
yang Islami.
2. TEORI KEBIJAKAN AKUNTANSI
Memilih kebijakan akuntansi dan pelaporan merupakan hal yang penting karena hal
itu akan mempengaruhi pada alokasi dan distribusi kekayaan dan juga menunjukkan
akuntabilitas perusahaan untuk pengambilan keputusan. Kepercayaan dalam kekuatan pasar
untuk melindungi kepentingan pengadu, standar akuntansi yang diperkenalkan untuk
mempengaruhi dan memaksa pilihan kebijakan akuntansi dan pelaporan. Teori-teori dalam
membuat kebijakan disarankan dalam buku tetapi hanya difokuslan pada dua teori utama,
yaitu rasionalis (positif) dan pandangan sosial serta bagaimana kedua teori tersebut tidak
sesuai dengan prinsip bisnis Islam.
Pandangan teori rasionalis memperlakukan pengambilan keputusan sebagai rangkaian
proses yang terdiri atas empat langkah, yaitu mencari tujuan atau masalah, merumuskan
objek untuk disempurnakan, memilih alternatif objek yang disempurnakan, dan melakukan
evaluasi. Pemilihan alternatif ditujukan pada memaksimalkan nilai pengambil keputusan.
Dalam konteks akuntansi, keputusan sering didasarkan pada rasionalitas ekonomi,
konsentrasi pada memaksimalkan kekayaan pemegang saham dengan mempertimbangkan
biaya dan manfaat informasi akuntansi. Ekstrimnya, filosofi rasional Barat tidak
mempertimbangkan sebagai moral jika melemah hingga mengakibatkan pengembalian
maksimum.
Pengikut pendekatan rasonalis memandang manajer sebagai beroperator pada kuasi
pasar yang sempurna dimana hubungan sosial menjadi tidak penting. Pandangan tersebut juga
menyarankan bahwa perusahaan memilih sesuatu yang akan dijual yang dipengaruhi oleh
kompensasi manajemen, biaya kontrak dan biaya politik. Dalam jangka waktu pendek,
manajer dari suatu perusahaan menerima manfaat rasional yang memaksimalkan yang
mengikuti kepentingannya tipu daya. Faktor ekonomi dan non sosial merupakan pengaruh
utama terhadap tingkah laku mereka. Pandangan ini menunjukkan hal yang ekstrim dan
dipercaya dengan konsep “batasan rasionalitas”, dengan karakteristik kepuasan melebihi
tingkah laku. Bagaimanapun, filosofi dasar kepentingan pribadi, seperti mengurangi fokus
dimensi yang namyak melemahnya hubungan kontrak denagn menangkap realitas sosial yang
mengabaikan hal yang dicanangkan manajer yang individu dan web sosialita. Lagipula, hal
tersebut tidak menyediakan pedoman terpadu yang jelas bagi pengambil keputusan ketika
dihadapkan dengan konflik antara norma rasionalitas dan moralitas (Nida-Rumelin, 1997).
Konsep manfaat berdasarkan perspektif sosialis berbeda dengan perspektif rasionalis.
Pendekatan sosial, individual, institusi, dan hubungan sosial mempengaruhi konsepsi manfaat
(Neu, 1992). Pendekatan ini menyebutkan adanya hubungan timbal balik dan hubungan
personal yang mempengaruhi pihak lain dengan praktek akuntansi yang dipilih termasuk
faktor sosial dan ekonomi dengan mempertimbangkan praktek akuntansi yang dipilih.
Kesamaannya, hubungan yang erat, hubungan ketergantungan, keinginan untuk memelihara
legitimasi dan menganut norma sosial. Bagaimanapun, pendekatan dalam mengakui
hubungan melebihi hubungan dengan sesama dan Allah yang akan mempengaruhi kebijakan
akuntansi dan tingkah laku. Hal ini merupakan hubungan yang terpisah antara spiritual dan
hubungan sementara dibentuk dalam budaya timur.
Seperti dapat dilihat, pendekatan terhadap pembuatan kebijakan telah berkembang di Barat
membatasi kegunaannya dalam menjelaskan pengaruh dan kendala terhadap pilihan
kebijakan akuntansi untuk manajer Muslim. Dua pendekatan tampaknya berada di dua ujung
yang berbeda yaitu rasionalisme dan sosialisme sekuler ekonomi. Namun, Islam
menyarankan konsep al-Wasathiyah (jalan tengah) sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an:
Artinya: "Demikianlah Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat yang adil dan
seimbang supaya kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. "(Al-Baqarah ayat 143).
Ini berarti bahwa manajer muslim harus menyeimbangkan antara pemenuhan
kepentingan ekonomi penuntut utama mereka dan kepentingan masyarakat serta memastikan
bahwa kegiatan usaha tidak akan membahayakan keseimbangan ekosistem yang ditetapkan
oleh Allah. Mengingat keterbatasan teori-teori Barat dalam pembuatan kebijakan, ada
kebutuhan untuk pendekatan alternatif. Manajer perusahaan dalam lingkungan Islam perlu
mengadopsi Syariah Islamiyah, yang mempelajari perilaku individu dalam konteks sistem
sosial. Metodologi ilmu sosial Islam harus teosentris, yang bertentangan dengan konsepsi
manusia dan alam di Barat.
3. Konsep Uqud (Akad)
Konsep uqud dalam Islam penting bagi umat Islam karena memberikan pemahaman
yang komprehensif tentang berbagai hubungan akad yang ada dalam kehidupan manusia.
Bahkan, satu surat dalam Al Qur'an kadang-kadang dikenal sebagai 'Surat Akad' (Surat Al-
Maidah), menyebutkan berbagai jenis akad dan bagaimana kewajiban harus dipenuhi. Ayat
pertama dari Surah dimulai dengan: "Hai orang yang beriman! penuhilah akad-akad itu"(Al-
Maidah ayat 1), menunjukkan pentingnya berbagai akad bahwa laki-laki diharapkan untuk
memenuhi hidup ini. Beberapa akad mengungkapkan dan tersirat dalam kehidupan manusia
meliputi perkawinan, perdagangan, peperangan, tatanan sosial dan perilaku dll, dan ini semua
mendapat perhatian besar dalam Qur'an selain akad tersebut berhubungan dengan Allah.
Konsep uqud dalam Islam melampaui hubungan kontraktual di luar diri manusia
kepada Allah dan ciptaan-Nya, sehingga memberikan sebuah dimensi baru dalam memahami
motivasi dan kendala pilihan kebijakan akuntansi dan pelaporan dalam lingkungan bisnis
Islam. Aqad (bentuk tunggal dari uqud) atau kovenant antara manusia dan Allah adalah untuk
terus menyembah-Nya seperti yang dinyatakan dalam Al Qur'an: "Katakanlah:
Sesungguhnya, doaku dan pengorbanan pengabdianku, hidupku dan matiku, semuanya untuk
Allah, Tuhan semesta alam" (Al-An'am ayat 162).
Oleh karena itu, aqad antara manusia dan Allah adalah untuk mengabdi maksud
syariah Islamiyah yang menghubungkan dunia (kehidupan duniawi) dengan akhirah
(akhirat), menjadikan satu dini (urusan agama) dan duniawi (urusan duniawi), mendamaikan
nafs (diri) dan ummah (masyarakat), mengintegrasikan ‘aql (akal) dengan akhlaq (moralitas)
dan penghubung ‘ilm (pengetahuan) dengan ‘amal (tindakan). Dengan kata lain, sifat
teosentris syariah Islamiyah menujukan tiga dimensi yang saling berhubungan yang lebih
luas daripada fokus pendekatan pembuatan kebijakan di Barat: i) mencari keridhoan Allah
sebagai tujuan utama dalam membangun keadilan sosio-ekonomi, ii) melimpahkan manfaat
pada masyarakat yaitu memenuhi kewajiban kepada masyarakat dan iii) mengejar
kepentingan pribadi yaitu memenuhi kebutuhan sendiri. Singkatnya, pengukuran keberhasilan
kegiatan usaha berdasarkan perspektif akuntansi Islam adalah memenuhi tugas dan kewajiban
seperti yang ditentukan oleh syariah Islamiyah yang dijelaskan secara singkat di bawah ini.
Syariah Islamiyah didasarkan pada dua sumber pokok, yaitu Al Qur'an (firman Allah)
dan Hadits (perkataan, persetujuan dan tindakan Nabi Muhammad selama hidupnya). Muslim
juga mengandalkan dua sumber tambahan, Ijma’ dan Qiyas. Ijma', sebuah konsensus dari
ulama Muslim, hanya diterapkan tanpa adanya jawaban eksplisit untuk masalah yang
bersangkutan. Qiyas terdiri dari pemotongan analogis dari tiga sumber lain untuk isu-isu
kontemporer yang tidak secara langsung disebutkan dalam sumber-sumber tersebut, tetapi
memiliki karakteristik yang sama yaitu yang ada di masa lalu. Setelah keputusan dibuat oleh
Ijma' atau Qiyas, hal tersebut menjadi wajib dan tidak dapat ditolak oleh generasi mendatang.
Tujuan utama syariah Islamiyah adalah untuk mendidik individu, membangun
keadilan dan memberikan manfaat kepada orang-orang di dunia dan di akhirat atau al-falah
dan dengan demikian, segala sesuatu yang berangkat dari keadilan terhadap penindasan, belas
kasihan terhadap kekerasan, kesejahteraan terhadap kemiskinan dan kebijaksanaan terhadap
kebodohan, bertentangan dengan prinsip syari'ah Islamiyah. Beberapa konsep penting dalam
memahami pandangan Islam yang berhubungan dengan kegiatan komersial termasuk tawhid
(keesaan Allah), khalifah (kekhalifahan), ibadah (ibadah), kegiatan halal (diperbolehkan) dan
haram (dilarang), ummah (masyarakat) dan maslahah (manfaat publik).
Tawhid, yang menandakan penerimaan keesaan Allah, menyediakan satu arah tunggal
dalam menjamin semangat bersatu dalam mengikuti syari'ah Islamiyah. Dengan kata lain,
dengan menerima keesaan Allah, semua kegiatan komersial harus mematuhi syariah
Islamiyah dan yang tidak sesuai dengan syariah Islamiyah akan mendapatkan dosa. Konsep
tawhid juga menandakan peran manusia sebagai khalifatullah (khalifah) di muka bumi (QS
Al-Baqarah ayat 30). Sebagai khalifah, umat manusia tidak bebas tapi bertanggung jawab
kepada Allah.
Dalam Islam, Allah adalah pemilik utama kekayaan dan manusia adalah wali. Al Quran
menyatakan: "Bagi Dia milik kerajaan langit dan bumi dan segala urusan kembali kepada
Allah" (Al-Hadid ayat 5). Kepemilikan harta benda oleh individu adalah sebuah amanah
(kepercayaan). Ini mengarah kepada konsep akuntabilitas yang baru dan lebih luas (yaitu di
luar akuntabilitas pribadi dan sosial) tidak diketahui dengan sistem Barat. Syariah Islamiyah
menentukan makna dan cara meraih akuntabilitas. Dalam hal ini, secara individu manusia
bertanggungjawab atas tindakan mereka dengan apa yang mereka telah dipercayakan kepada
mereka pada hari kiamat (QS Al-An'am ayat 165, Al-Hadid ayat 7). Hal ini menambahkan
dimensi baru terhadap penilaian sesuatu dan perbuatan diperbandingkan untuk mewujudkan
dalam laporan keuangan Barat.
Oleh karena itu, peran khalifah terdiri dari pemenuhan tugas dan kewajiban karena
secara langsung kepada Allah (Haqq Allah) dan tugas dan tanggung jawab untuk diri sendiri,
sesama dan kreasi lainnya (haqq al-'ibad). Dengan demikian, ia menekankan peran individu
dalam konteks sosial yang lebih luas dan kewajiban tidak menguntungkan dengan
mengorbankan orang lain ketika melakukan bisnis. Semua transaksi dalam bisnis harus yang
sah, adil dan adil dan mencapai tingkat keuntungan yang wajar. Keuntungan yang wajar
dalam Islam adalah yang puas dengan apa yang tersisa setelah kami telah membayar orang
lain karena mereka seperti yang dinyatakan oleh Khalifah Umar Al-Khattab: "Diceritakan
Abdul Wahab: Aiyub mengatakan: Muhammad (semoga damai besertanya) mengatakan, ada
salahnya dalam penjualan selama sebelas apa yang Anda beli untuk sepuluh, dan Anda
diijinkan untuk mengambil keuntungan untuk biaya. "keuntungan berlebihan dianggap
sebagai sama saja dengan eksploitasi. Pandangan keuntungan dalam konflik langsung
dengan yang dari dunia Barat, di mana tingkat keuntungan yang tinggi mengindikasikan
efisiensi dalam penggunaan sumber daya. Selanjutnya, umat Islam percaya bahwa alam
semesta diciptakan oleh Allah adalah murni dan harus tetap demikian. Oleh karena itu, tanah,
udara dan air dianggap sebagai elemen suci. Bahkan dalam dunia Barat, perdebatan telah
lama berlalu ketika berpendapat bahwa satu-satunya sosial tanggung jawab bisnis adalah
untuk meningkatkan laba dalam 'aturan main'. Para pendukung klaim tanggung jawab sosial
keuntungan yang seharusnya tidak menjadi satu-satunya kriteria untuk menilai kinerja
perusahaan sebagaimana didalilkan Wartick dan Cochran (1985):
"Karena perilaku perusahaan sangat penting untuk realisasi tujuan sosial seperti sama
peluang, keselamatan kerja dan kesehatan, dan perlindungan lingkungan, sosial
dimensi ditambahkan ke kinerja perusahaan. Untuk melihat perusahaan modern
dalam pengertian ekonomi yang ketat adalah untuk mengabaikan kenyataan, dan
untuk menunjukkan bahwa tanggung jawabnya hanya meliputi kewajiban
ekonomi"(p: 740).
Dalam Islam, pelaksanaan setiap tanggung jawab dan kewajiban luhur diakui sebagai ibadah
(ibadah atau layanan kepada Allah). Konsep ibadah bukan hanya sekedar ritual atau spesifik
bentuk doa tetapi hidup doa terus menerus dan tak henti-hentinya ketaatan kepada Allah
dalam semua kegiatan kehidupan spiritual, sosial, ekonomi dan politik (Moten, 1990).
Tujuan ibadah adalah semata-mata untuk mencari ridha Allah (Maududi, 1980). Dengan
demikian, ekonomi atau kegiatan usaha di Islam adalah bentuk ibadah. Hal ini membutuhkan
umat Islam untuk mencari nafkah melalui cara-cara yang sah (halal). melarang penggunaan
riba (riba al-nasi'ah) dan bunga (riba al-fadl) dan mendorong berpartisipasi dalam kegiatan
pembagian keuntungan. Selain itu, umat Islam diharapkan untuk menghormati komersial
kontrak (uqud), menjaga account yang tepat (istiqamat al-daftar), menghindari pemborosan
(israf), dan menjadi konsummen sederhana (i'tidal). Mereka diwajibkan untuk memenuhi
kewajiban kepada masyarakat dengan membayar zakat dan pajak lainnya diperlukan oleh
negara, serta memberikan amal. Mereka juga harus menghindari penipuan (ihtiyal),
ketidakjujuran (khiyana), kolusi (tanajush), perjudian (qimar), dan segala bentuk spekulatif
(gharar) kegiatan dalam transaksi bisnis. Ini semua ditujukan untuk mencapai keadilan
ekonomi berdasarkan kesetaraan dan keadilan.
Konsep umat (masyarakat) dalam Islam berarti persatuan dan harmoni sosial, ekonomi dan
urusan politik. Mengutip Al-Faruqi (1982, p: 153), deskripsi umat: "bangunan baik dan
mapan,kondisi adalah bagian yang masing-masing penopang yang lainnya "dan" tubuh yang
bereaksi dengan ketidaknyamanan dan demam setiap kali bagian dari itu terluka ". seperti,
Islam memberikan preferensi untuk kebutuhan umat melebihi kepentingan individu. Kapan
saja konflik kepentingan muncul, kebutuhan umat harus dipenuhi terlebih dahulu (maslahah).
Oleh karena itu, tujuan ekonomi harus dikejar untuk kemajuan umat. Namun, ini tidak berarti
bahwa individu tidak harus bekerja untuk kebaikan mereka sendiri dan menjadi kaya. Dalam
Islam, menjadi baik bisa diterima asalkan kekayaan yang dihasilkan melalui mematuhi
persyaratan Islami'iah Syari'ah. Islam mewajibkan umatnya untuk tunduk kepada Allah SWT
dan hidup sederhana, tetapi tidak sejauh mengabaikan kepentingan pribadi sama sekali.
Dengan mengikuti Syariah Islami'iah, manusia mampu mewujudkan manfaat bagi umat
melalui penghapusan kesulitan (raf al- Haraj), pencegahan terlarang (daf al-darar) dan
berjuang untuk kebenaran (haqiqiyah) sebelum mengejar kepentingan pribadi. Promosi
seperti kesetaraan dan kebajikan dalam masyarakat akan menjamin pencapaian al-adl
(keadilan) dan al-Falah (Abdalati, 1975).
Ringkasnya, Syariah Islami'iah mengatur setiap aspek kehidupan seorang Muslim, baik itu
politik, ekonomi atau sosial. Ini membawa seluruh spektrum kehidupan manusia di bawah
yurisdiksi absolut moral yang penghakiman karena pelabuhan perusahaan dalam wahyu Allah
(Manzoor, 1984). Demikian holistik dan pandangan terpadu memberikan pendekatan yang
lebih baik dalam menangani akuntansi dan pelaporan kebijakan yang akan diadopsi oleh
manajer Muslim karena memperhitungkan aspek material, moral dan spiritual dan
keseimbangan antara faktor-faktor dan kekuatan.
4. Syariah Islami'iah dan Pilihan Kebijakan Akuntansi
Sekarang kita lanjutkan dengan menghubungkan prinsip-prinsip Syariah Islami'iah
berdasarkan konsep uqud untuk kebijakan akuntansi pilihan. Sebuah perusahaan dapat dilihat
sebagai perhubungan kontrak, yaitu, organisasi dapat menjadi sebagian besar dijelaskan oleh
seperangkat kontrak itu masuk ke dalam. Hubungan kontraktual adalah esensi perusahaan,
tidak hanya dengan karyawan tetapi juga dengan pemasok, pelanggan, kreditur dan pihak
lainnya (Jensen dan Meckling, 1976). Asumsi umum dalam akuntansi adalah bahwa
perusahaan cenderung meminimalkan biaya yang berkaitan dengan kontrak, seperti biaya
negosiasi, pemantauan, mungkin kembali negosiasi, dan biaya yang diharapkan dari
kegagalan kepailitan atau lainnya. Sebuah pertimbangan biaya kontrak akuntansi dan
pelaporan perusahaan 'kebijakan. Dengan kata lain, perusahaan akan mempertimbangkan
biaya dan manfaat dari mengadopsi kebijakan tertentu akuntansi dan pelaporan.
Perusahaan dalam masyarakat Islam tidak berbeda dari rekan-rekan mereka di Barat. Mereka
juga mengakui hubungan kontrak dalam kegiatan bisnis. Seperti disebutkan sebelumnya,
mereka
diperlukan untuk mempertimbangkan hubungan kontraktual di luar diri sendiri dan sesama
makhluk hidup untuk menyertakan Allah dan lingkungan berdasarkan aqad mereka dengan
Allah, untuk mematuhi syari'ah Islami'iah. seperti, pengukuran dan pengungkapan masalah
dan pilihan perusahaan 'akuntansi dan pelaporan kebijakan harus ditangani dalam hubungan
kontrak yang ada dalam pedoman yang ditentukan oleh Syariah Islami'iah.
4. Shari’ah Islami’iah dan Pilihan Kebijakan Akuntansi
Untuk dapat menunjukkan sebuah tanggungjawab dan akuntabilitas kepada Allah,
masyarakat dan ligkungan, seorang Manajer Muslim harus berusaha untuk dapat
menyediakan produk/jasa yang baik dan halal kepada masyarakat, mengambil keuntungan
yang sewajarnya, mencapai tujuan dari sebuah usaha bisnis, membayar upah dengan adil dan
peduli terhadap karyawan, bersikap toleran terhadap debitur, memastikan sebuah aktivitas
bisnis yang berkelanjutan secara ekologis, serta menyadari bahwa bekerja merupakan bentuk
dari ibadah (Haniffa, 2002). Di lain sisi, untuk menunjukkan keterbukaan dalam aktifitas
bisnis, seorang manajer Muslim harus menyediakan informasi yang dapat dipercaya dan
relevan mengenai semua kegiatan yang dilakukan baik yang halal ataupun haram disertai
alasan melakukan kegiatan tersebut , serta informasi mengenai kebijakan yang berhubungan
dengan keuangan, investasi, karyawan, hubungan dengan masyarakat, debitur, kreditur,
penggunaan sumber daya dan perlindungan terhadap lingkungan.
4.1 Model Pembiayaan Islam
Di bawah Shari’ah Islami’ah, semua praktek bisnis yang mengandung riba sangat dilarang,
sebagaimana yang dinyatakan dalam Al Qur’an:
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya
orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba),
maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (Al-
Baqarah2:275).
Dengan demikian, dalam Islam penggunaan obligasi berbunga dan saham preferen dilarang.
Demikian pula dengan penggunaan bunga dalam transaksi leasing, wesel tagih, dan wesel
bayar. Dengan kata lain, manajer perusahaan tidak boleh terlibat dalam kontrak hubungan
kerjayang mengandung riba di dalamnya. Mereka harus menggunakan model pembiayaan
yang bebas dari unsur riba, seperti murabahah, mudharabah, musharakah, ijarah, dan bay’
al- Salam, seperti yang telah diringkas dalam tabel 1.
Table 1 menunjukkan bahwa sifat dalam pembiayaan islam dapat dikategorikan dalam tiga
bentuk utama, yaitu: (a) bagi hasil melalui mudarabah dan musharakah, (b) leasing atau
ijarah, (c) pembiayaan utang melalui murabahah dan bay’al-Salam. Kelima instrumen
pembiayaan yang ada di Tabel 1 ini mempengaruhi kontrak hubungan kerja serta pilihan
kebijakan investasi dan pembiayaan perusahaan.
Tabel 1: Ringkasan Fitur Utama dari Tenik Pembiayaan Islam
FiturTeknik
Mudharabah(bagi hasil)
Musharakah(bagi hasil)
Ijarah(leasing)
Murabahah(berdasarkan
mark up)
Bay’al Salam(berdasarkan
mark up)Sifat dari pembiayaan
Berdasarkan investasi
Tidak diwajibkan untuk membayar kembali jumlah total dari pembiayaan
Berdasarkan Investasi
Sama seperti dalam mudharabah
Berdasarkan leasing
Hanya sewa yang dibayar
Kombinasi dari perdagangan dan utang
Diwajibkan untuk membayar kembali seluruh pembiayaan
Kombinasi dari utang dan pedagangan
Sama seperti dalam murabahah
Peran dari penyedia modal dalam pengelolaan dana
Nol Kontrol penuh Kontrol penuh terhadap penggunaan keuangan
Sama seperti dalam ijarah
Nol
Tanggungan resiko pemberi modal
i. Sejauh besarnya modal maupun kesempatanbiaya modal
ii. Untuk seluruh periode kontrak/akad
Sejauhproporsimodal dalam totalinvestasiperusahaan
Sama seperti dalam mudharabah
Sama seperti dalam mudharabah
Sampai aset habis umur ekonomisnya atau akhirnya tidak terpakai
Sejauh besarnya modal
Hanya untuk periode yang singkat, sampaibarangdibeli dandiambil alih olehpengguna keuangan
Sama seperti dalam mudharabah
Setiap kontrak/akad selesai sampai barang akhirnya diberikan/tidak dipakai
Ketidakpastian tingkat pengembalian
Menyempurnakan ketidakpastian
Sama seperti dalam mudharabah
Sama seperti dalam mudharabah
Ketidakpastian a hanya untuk periode jangka pendek kontrak/akad
Sama seperti dalam mudharabah
Biaya modal Ketidakpastian sebelumnya/Ex-ante
Sama seperti dalam mudharabah
Ditentukan dan tetap
Sama seperti dalam ijarah
Sama seperti dalam mudharabah
Implikasi pada pilihan pembiayaan perusahaan
Diantara dua metode bagi hasil tersebut, musharakah memiliki keuntungan lebih atas mudharabah, yaitu dalam kasus sebelumnya, sebagai pemilik modal memiliki hak untuk ikut serta dalam pengelolaan/manajemen dan memiliki suatu kendali atas masalah yang diciptakan olehadanya asimetri informasi dan bahaya moral.
Diantara kedua teknik biaya modal tetap tersebut, ijarah memiliki keuntungan lebih atas murabahah, yaitu dalam kasus sebelumnya, sebagai pengguna modal pertanggung jawaban hanya pada pembayaran biaya modal dan tidak bertanggungjawab atas modal barang mereka sendiri.
Bay’ al-Salam memberi keuntungan bagi penjual, yaitu adanya penerimaan uang di muka dan bagi pembeli, yaitu biaya penjualan yang lebih rendah
4.2 Penilaian Aset
Suatu kontrak penting antara manusia dan Allah adalah pembayaran zakat, yang merupakan
salah satu dari lima pilar dalam Islam. Zakat adalah sesuatu yang penting karena
berhubungan dengan distribusi kekayaan., merupakan bentuk spesial dari perpajakan islam,
serta merupakan suatu bentuk ibadah. Uthman (1997,p.33-34) menguraikan beberapa fitur
utama dari sistem zakat, yaitu:
“Sistem zakat menghindari in rem pajak, karena pajak dikenakan kepada pemilik aset bukan
kepada aktivitas atau objeknya, seperti. . . Sistem zakat lebih sesuai dengan teori kemampuan
membayar pajak. Karena dalam Islam setiap jenis kekayaan memiliki takaran tersendiri untuk
zakat. Dapat dikatakan bahwa orang-orang yang memiliki jenis kekayaan yang sama akan
dikenakan pajak yang sama. Ini memberikan suatu ekuitas horisontal....Juga, mereka yang
memiliki kemampuan membayar lebih. Ini memberikan suatu ekuitas vertikal. Hal ini lebih
tepat untuk menunjukkan suatu ukuran perpajakan dari sudut pandang Islam (yang
proposional) sesuai dengan gagasan pengorbanan vertikal, yaitu yang sama dan proposional.
Dalam keadaan normal, setiap individu diperlakukan secara individual. Indeks kemampuan
membayar zakat bukanlah pada besarnya pendapatan atau konsumsi. Tetapi, berdasarkan
stok persediaan yang tidak dikonsumsi, atau apa yang tidak diperdagangkan, atau apa yang
tidak dibelanjakan.
Perpektif akuntansi Islam mendorong metode penilaian yang akan meningkatkan pembayaran
zakat di atas ambang batas yang ditetapkan oleh hadis. Penilaian aset yang relevan untuk
zakat adalah berdasarkan perhitungan aset, bukan perhitungan pendapatan. Dalam
pengelolaannya, metode penilaian aset yang disukai adalah berdasarkan biaya perolehannya.
Pelarangan penggunaan net present value (nilai sekarang bersih) dan net realisable value
(nilai realisasi bersih) untuk mengevaluasi kepengurusan/ stewardship karena penuh dengan
masalah teoritis. Alasan lain pelarangan dalam penggunaan net present value adalah umat
Muslim percaya bahwa masa depan ada di tangan Allah SWT. Oleh karena itu, penggunaan
net present value sebagai hedging terhadap fluktuasi nilai mata uang asing dilarang. Penulis
membahas masalah penilaian yang memiliki implikasi baik secara langsung dan tidak
langsung terhadap pilihan kebijakan pelaporan. dan akuntansi.
4.2.1 Akuntansi dan Pembayaran Zakat
Penilaian aset untuk menetukan besarnya zakat merupakan masalah yang penting. Uthman
(1997,p. 35) menentukan ada enam syarat umum yang diperlukan dalam pengumpulan zakat,
yaitu adanya kepemilikan mutlak, pertambahan/akresi, nisa'b (atau batas minimal kewajiban
untuk berzakat/kadar zakat) yang berbeda dari setiap jenis kekayaan, kelebihan atas
kebutuhan dasar seseorang, absolvency dari utang, dan elapsing satu tahun periode atas
saham yang dikenakan pajak. Untuk menghitung jumlah zakat, dibutuhkan penilaian set
secara kontemporer, bukan berdasarkan biaya perolehan. Dengan demikian, sebuah
perusahaan terkadang perlu mengadopsi sebuah kebijakan untuk menilai kembali aset utama
mereka. Dalam akuntansi konvensional, sejumlah utang yang diragukan dikurangkan dari
jumlah bruto piutang. Namun, untuk perhitungan zakat, hanya jumlah aktual dari hutang yang
tidak terpakai yang dipotong. Dalam kasus kepailitan, pemilik perusahaan tidak bertanggung
jawab untuk zakat, jika kreditor tetap dibayar. Penilaian aset untuk tujuan zakat harus
mengikuti haol (periodesitas), yaitu satu tahun penuh periode kepemilikan aset, kecuali
untuk pertanian dan pertambangan di mana zakat harus dibayar segera. Singkatnya,
pilihan kebijakan akuntansi untuk zakat sepenuhnya berbeda dengan pilihan bisnis dari Barat,
dimana untuk meminimalkan pajak dengan cara melakukan tindakan yang dapat mengurangi
beban pajak. Dalam Islam, kebijakan tersebut bertujuan untuk memurnikan dan memberikan
kontribusi kesejahteraan bagi penerima manfaat dalam mencapai keadilan sosial ekonomi.
Oleh karena itu untuk menentukan besarnya pembayaran zakat atas aset yang dimiliki,
penilaian aset harus berdasarkan pada nilai saat ini. Zakat dihitung pada nilai aset dalam
waktu yang kontemporer. Oleh karena itu, kas dan setara kas saat ini adalah satu-satunya nilai
yang relevan untuk pembayaran zakat atas aset yang dimiliki.
4.2.2 Akuntansi dan Stewardship
Fungsi manajer pengelolaan/stewardship harus menjadi fokus perhatian akuntan dalam
membuat pelaporan kepada pihak eksternal, seperti yang ditekankan oleh Paton dan Littleton
(1940). Tujuan pengelolaan dari akuntansi biaya perolehan menyoroti hubungan kontraktual
antara perusahaan dan mereka yang menyediakan sumber daya, dimana penggunaannya
kemungkinan akan berlanjut. Ada beberapa alasan menggunakan biaya perolehan untuk
tujuan pengelolaan. Yang pertama adalah fakta bahwa biaya perolehan merupakan model
yang secara obyektif mencerminkan nilai aset pada saat akuisisi. Yang kedua, biaya
perolehan merupakan model yang paling tepat karena kontrak/akad biasanya ditulis sebesar
biaya perolehannya. Akhirnya, biaya perolehan merupakan sebuah teknologi yang efisien dan
telah teruji.
Kedudukan biaya perolehan sesuai dengan konsep Islam dan cenderung menjadi dasar untuk
perhitungan akuntansi, hal itu karena biaya perolehan memiliki karakteristik yang spesifik
dari suatu perusahaan, sumber terpercaya tentang informasi aset perusahaan, utang swasta,
kinerja operasional perusahaan dan manajemen kas.
Biaya historis sesuai dengan konsep Islam dan kemungkinan menjadi dasar untuk
perhitungan akuntansi. Hal tersebut dikarena biaya historis memiliki karakteristik dari suatu
perusahaan, sumber terpercaya tentang informasi aset perusahaan, utang swasta, kinerja
operasional perusahaan dan manajemen kas. Dibandingkan dengan metode nilai yang
membutuhkan prediksi tentang masa depan, metode biaya perolehan lebih murah dan
sederhana dalam memahami dan menggunakannya. Terdapat kelemahan dalam sistem biaya
historis, seperti masalah alokasi dan konservatisme, sehingga tidak mungkin untuk membuat
sistem yang sama sekali tidak relevan.
Dalam Islam, penggunaan harga jual cenderung untuk melengkapi sistem biaya historis.
Terdapat dua alasan mengenai hal tersebut. Pertama, harga jual pasar tidak melibatkan
prediksi dan membuat penilaian subjektif tentang masa depan, seperti penyetaraan kas (CCE)
yang diusulkan oleh Chambers (1966). Dalam Islam, membuat prediksi tentang masa depan
tidak disarankan. Kedua, penggunaan nilai realisasi dapat diharapkan ketika sebuah bisnis
dibeli, dijual atau dilikuidasi. Metode ini juga kemungkinan akan digunakan ketika aset
utama digantikan atau arus harga pasar secara substansial menjadi berbeda dari biaya
historisnya. Jika tidak, biaya historis akan lebih tepat digunakan karena menunjukkan harga
sebenarnya yang dibayar untuk memperoleh aset.
Secara ringkas, sistem akuntansi Islam cenderung menggunakan nilai historis dan harga jual
pasar. Sistem ganda dari valuasi aset digunakan untuk memungkinkan perusahaan dalam
mengakomodasi kontrak. Hal ini juga memungkinkan dalam melaksanakan kewajiban sosial,
terutama pembayaran zakat.
4.3. Hubungan Bisnis
Perdagangan sangat dihormati dalam Islam. Alquran menyatakan: "Hai orang yang
beriman!... biarkan ada di antara kalian lalu lintas dan perdagangan dengan saling
berkemauan baik" (An-Nisa 4:33). Al-Qur'an juga menekankan pentingnya kontrak
komersial, "Tetapi ambillah saksi setiap kali kamu membuat kontrak komersial, dan
janganlah penulis dan saksi menderita kerugian. Jika kamu lakukan (yang demikian), itu akan
menjadi kefasikan pada dirimu "(Al-Baqarah 2:282). Namun, dasar kontrak manusia dengan
Allah, adalah untuk mematuhi Syariah Islami'iah, Jenis kegiatan usaha dibatasi untuk hanya
yang halal (dibolehkan) saja. Keterlibatan dalam kegiatan terlarang atau haram yaitu dosa.
Hikmah di balik melarang melakukan bisnis tertentu yaitu membahayakan dan tidak
diinginkan bagi manusia dan lingkungan. Kegiatan ini cenderung menimbulkan berbagai
masalah sosial dan kerusakan lingkungan. Menghindari kegiatan tersebut juga membantu
dalam memenuhi kontrak dengan Allah dan masyarakat dengan menyalurkan sumber daya
dalam kegiatan yang akan membawa manfaat terbesar bagi masyarakat. Oleh karena itu,
pilihan kegiatan usaha tidak hanya harus dalam batas Syariah Islami'iah tetapi juga
dipengaruhi oleh maslahah (manfaat terbesar bagi masyarakat).
Selain menghindari keterlibatan dalam produk atau jasa yang dilarang, Islam juga mengutuk
manipulasi harga dan penimbunan karena membuat keuntungan tinggi tetapi tidak masuk
akal. Demikian pula, teknik menipu dalam penjualan (marketing) seperti iklan yang tidak
akurat juga dianggap berdosa. Cara lain yang umum untuk menipu pelanggan yaitu melalui
pengukuran penilaian atau berat yang salah, aspek ini sangat ditekankan dalam Al-Qur'an:
"Celakalah para penipu yang ketika mereka mengambil ukuran dari orang-orang
mengambilnya secara penuh, tetapi ketika mereka mengukur untuk mereka, maka
memberinya secara singkat. Apakah mereka tidak menyadari bahwa mereka akan
dibangkitkan lagi pada hari perkasa, suatu hari ketika umat manusia akan berdiri di hadapan
Tuhan semesta alam?"(Al-Mutaffifeen 83:1-6).
Singkatnya, manajer muslim harus jujur, benar dan memiliki iman yang kuat, melampaui
keuntungan duniawi ketika terlibat dalam kegiatan bisnis.
4.4. Kebijakan Pengungkapan (Disclousure)
Pengungkapan dari perspektif Islam akuntansi berarti mengungkapkan informasi yang
akan membantu ekonomi maupun pengambilan keputusan agama. Informasi harus memiliki
kualitas yang relevan, obyektif dan material. Dengan cara yang sama, kendala biaya dan
kerahasiaan harus diperhatikan. Pengungkapan secara penuh tidak berarti bahwa perusahaan
perlu mengungkapkan segalanya, yang tentu saja tidak praktis. Ini berarti mengungkapkan
informasi yang dianggap relevan dan seharusnya menjadi hak yang diberikan kepada umat
untuk memfasilitasi dalam ekonomi dan pengambilan keputusan agama. Informasi Akuntansi
dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pihak yang terlibat dalam usaha ekonomi telah
memenuhi kontrak (tugas dan kewajiban) kepada Allah, masyarakat, individu yang
bersangkutan dan lingkungan. Bagi umat Islam, objektivitas memiliki makna yang jauh lebih
dalam di luar membangun keadilan dalam pengukuran (Qur'an, Al-Hadid 57:25). Hal ini
terkait dengan memiliki hati nurani yang jelas kepada Allah, terutama ketika memenuhi tugas
menyangkut masalah keuangan seperti mengukur zakat, keuntungan, hutang atau transaksi
keuangan lainnya. Dalam perspektif akuntansi islam, materialitas berkaitan dengan informasi
yang akan menunjukkan keadilan dalam penilaian dan pemenuhan hak-hak Allah, masyarakat
dan individu yang bersangkutan. Misalnya, informasi yang menunjukkan bahwa entitas
tersebut tidak terlibat dalam kegiatan yang melanggar hukum (misalnya riba, bunga,
perjudian dll), pembayaran zakat yang telah dilakukan sesuai dengan Syariah Islami'iah dan
pemenuhan tujuan mendirikan bisnis, semua dianggap sebagai material.
Selain melaporkan urusan keuangan sebuah entitas, manajer perusahaan juga akan
mengungkapkan kontribusi perusahaan dalam kegiatan sosial. Henderson dan Peirson
berpendapat bahwa ada keluhan masyarakat tentang pencemaran lingkungan hidup; keluhan
pelanggan tentang produk yang diduga rusak atau tidak aman, dan keluhan oleh karyawan
mengenai tidak adanya fasilitas karyawan.
Menurut lembaga Amerika dari Komite Akuntan Publik dalam Pengukuran Sosial (1977),
tujuan dari informasi sosial adalah untuk menentukan dan berkomunikasi dengan kelompok-
kelompok pengguna dampak sosial yang relevan dari kegiatan bisnis. Dengan cara yang
sama, Gray, Owen dan Maunders (1987) menganggap akuntabilitas menjadi tujuan mendasar
dari akuntansi sosial. Selanjutnya, Fetyko (1975) dan Van den Bergh (1976) menyatakan
bahwa pemanfaatan informasi sosial harus membantu manajemen dalam menentukan kinerja
sosial perusahaan dan dalam menetapkan tujuan masa depan dan prioritas untuk program-
program sosial.
Teori akuntansi sosial telah mengidentifikasi bidang kepedulian social, kinerja sosial atau
mungkin tidak diukur dalam satuan keuangan, yang harus dimasukkan dalam laporan
tahunan. Asosiasi Nasional Akuntan Komite Akuntansi Kinerja Sosial Perusahaan
mengidentifikasi dan menjelaskan empat bidang utama dari kinerja sosial (dengan berbagai
kategori dalam setiap wilayah): keterlibatan masyarakat, sumber daya manusia, sumber daya
fisik dan kontribusi lingkungan, dan kontribusi produk atau jasa. Selain mengidentifikasi
tanggung jawab sosial yang harus dimasukkan dalam laporan tahunan, tantangan untuk
banyak teori akuntansi sosial berkaitan dengan pengukuran biaya sosial dan audit sosial.
Asosiasi Akuntansi Amerika, Komite Biaya Sosial merumuskan tiga tingkat pengukuran
untuk digunakan dalam audit sosial: identifikasi dan deskripsi; pengukuran dari segi non-
keuangan, mengukur biaya / manfaat kepada pemilik perusahaan dan atau konstituen selain
pemilik perusahaan, dan pengukuran dalam hal biaya keuangan / manfaat bagi pemilik
perusahaan dan atau konstituen lainnya. Lembaga Amerika bersertifikat akuntan publik
mengusulkan penggunaan sistem pengukuran berdasarkan pada teori pengukuran sosial yaitu
tindakan bisnis yang memiliki dampak terbesar pada kondisi sosial, mendukung pengukuran
yang paling berguna terhadap unit yang tersedia, kualitatif atau kuantitatif, keuangan atau
non-keuangan.
Hal ini jelas bahwa ada upaya untuk mengembangkan teori normatif akuntansi sosial dan
pelaporan sosial. Pengungkapan dalam laporan tahunan diharapkan menyertakan kontribusi
entitas untuk kesejahteraan karyawan, kualitas produk, kesehatan dan keselamatan publik,
perlindungan lingkungan, dan aspek sosial yang terkait. Daerah-daerah pelaporan sosial juga
relevan untuk perspektif akuntansi Islam tetapi cenderung lebih rinci daripada di masyarakat
Barat karena perhatian yang lebih besar harus dibayar dalam menunjukkan tanggung jawab,
akuntabilitas dan transparansi di luar masyarakat untuk menyertakan Allah dan lingkungan.
Selain itu, laporan tersebut juga harus menunjukkan bahwa keuntungan yang dihasilkan
berada dalam kesesuaian dengan prinsip-prinsip i'tidal (moderasi) dan halal (diperbolehkan)
dan bahwa kegiatan usaha yang berkelanjutan secara ekologis. Manipulasi nilai aset dan hasil
kinerja harus dihindari di semua biaya. Singkatnya, selain penekanan pada laporan laba rugi,
neraca, dan laporan arus kas, juga harus disediakan cukup banyak informasi tentang
pelaporan sosial. Akun yang rinci disediakan untuk dana zakat, qardh, dan kontribusi amal.
5. Kesimpulan
Pemilihan kebijakan akuntansi dan pelaporan yang diterapkan oleh perusahaan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap alokasi sumber daya dan distribusi pendapatan. Islam
menekankan distribusi yang adil dan kekayaan merata dalam masyarakat. Memang, ekuitas
dalam distribusi kekayaan disebutkan empat puluh enam kali dalam ayat yang berbeda dalam
Qur'an (Haniffa, 2002). Ini merupakan panggilan untuk fokus pada pengembangan kebijakan
akuntansi dan pelaporan yang harus diikuti secara bisnis Islam.
Akuntansi bukanlah tujuan akhir. Sebaliknya, akuntansi adalah alat untuk mencapai tujuan.
Menurut Littleton dan Zimmerman (1962), akuntansi tidak logis karena filosofis atau ide
secara persuasif disimpulkan, tetapi karena nikmat, di antara ide-ide alternatif, dinilai paling
mungkin untuk memberikan kontribusi terbaik untuk diakui. Littleton dan Zimmerman
menunjukan dua kelemahan utama dalam dua pendekatan pembuatan kebijakan di Barat yaitu
rasionalis dan perspektif sosialis dalam merefleksikan realitas dalam konteks Islam. Pertama,
penekanan yang berlebihan pada rasionalitas ekonomi tidak memiliki panduan yang jelas
bagi para pengambil keputusan ketika dihadapkan dengan konflik antara norma-norma
rasionalitas dan moralitas. Kedua pembatasan rasionalitas dan kepentingan pribadi masih
didasarkan pada rasionalisme ekonomi. Kedua, perspektif sosialis gagal untuk mengatasi
hubungan kontrak di luar diri manusia dan sesama makhluk hidup, khusus untuk Allah dan
ciptaan-Nya.
Pemilihan akuntansi dan kebijakan pelaporan berdasarkan konsep uqud dipengaruhi dan
dibatasi oleh ajaran Syariah Islami'iah. Islam dengan tegas melarang penggunaan bunga atau
riba, sehingga melanggar prinsip keadilan sosial yang mendasari semua kegiatan ekonomi
dalam Islam. Islam berusaha untuk pertumbuhan dengan pemerataan. Dengan demikian,
akuntansi dan pelaporan dalam masyarakat Islam cenderung untuk mengecualikan kegiatan
pembiayaan yang melibatkan penggunaan riba. Islam mengusulkan pengaturan alternatif
pendanaan seperti mudharabah, murabahah, musharakah, ijarah dan bay'al-Salam. Beberapa
jenis transaksi bisnis yang dilarang Syariah Islami'iah memberikan perbedaan yang jelas
antara kegiatan yang halal (diperbolehkan) dan haram (dilarang). Penilaian Isu-isu penting
karena dua alasan: pembayaran zakat dan pelayanan. Muslim tidak banyak perhatian untuk
masa depan karena semua sudah di atur oleh Allah SWT. Dengan demikian, nilai prediktif
aset perusahaan tidak penting dalam perspektif akuntansi Islam. Selain itu, sumber daya
moneter dan fisik perusahaan hanya dalam kepercayaan manajer.
Pengungkapan (disclousure) dalam laporan keuangan di lembaga syariah memiliki beberapa
pertimbangan. Penggunaan biaya historis untuk penilaian aset memenuhi tujuan pelayanan.
Di sisi lain, untuk menghitung dan membayar zakat, penggunaan harga jual pasar akan
sesuai. Harus ada perbedaan antara transaksi halal dan haram dan bagaimana keuntungannya
(misalnya, uang yang diberikan untuk amal). Harus ada pengungkapan tambahan yang
substansial tentang kinerja sosial dari operasi perusahaan, termasuk alokasi dan pemanfaatan
dana zakat.
Singkatnya, manajer perusahaan dalam masyarakat Islam cenderung mengadopsi kebijakan
yang konsisten dengan persyaratan Syari'ah Islami'iah. Kebijakan akuntansi perlu memenuhi
kewajiban kontrak kepada berbagai pihak, termasuk umat manusia, lingkungan dan kepada
Allah. Peraturan akuntansi dalam masyarakat Islam bersifat umum dan fleksibel, dan tidak
seperti peraturan barat. Peraturan rinci dan kompleks cenderung membebankan biaya pada
perusahaan dan akhirnya pada masyarakat yang membutuhkan pelayanan. Kombinasi
pendekatan dari preskriptif dan deskriptif untuk mengembangkan kebijakan akuntansi dan
pelaporan Islam, sangat diperlukan.
top related