tradisi ngadiukeun dalam perkawinan adat sunda...
Post on 12-Apr-2019
306 Views
Preview:
TRANSCRIPT
TRADISI NGADIUKEUN DALAM PERKAWINAN ADAT SUNDA
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT
(Studi di Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan Kabupaten-Bogor)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Siti Latifah
NIM : 1110043100025
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1438 H/2017 M
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 29 Mei 2017
Siti Latifah
ABSTRAK
Siti Latifah. NIM (1110043100025) Tradisi Ngadiukeun dalam
Perkawinan Adat Sunda Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Adat
(Studi di Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor).
Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Jakarta. 1438 H/2017 M. 73 Halaman + 10 Lampiran
Penelitian ini bermaksud untuk mengungkap beberapa hal, yaitu
bagaimana tradisi Ngadiukeun pada perkawinan masyarakat Desa Gunung Sari,
apa makna yang disimbolkan dari benda-benda tradisi Ngadiukeun pada
masyarakat Desa Gunung Sari dan bagaimana pandangan hukum Islam dan
hukum adat terhadap tradisi Ngadiukeun pada perkawinan masyarakat Desa
Gunung Sari.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Sumber data yang dipergunakan
terdiri dari sumber data primer dan sumber data sekunder. Sedangkan untuk
teknik pengumpulan data, penulis melakukan wawancara langsung dengan orang
yang pernah melakukan tradisi Ngadiukeun, dukun yang memiliki ilmu
Ngadiukeun, Tokoh Adat dan Tokoh Agama di Desa Gunung Sari, observasi
lapangan, dan juga studi dokumentasi. Setelah data-data berhasil didapatkan maka
penulis menganalisis data-data tersebut untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan,
adapun teknik analisis yang penulis gunakan adalah teknik deskriptif-analisis.
Hasil dari penelitian ini penulis mendapatkan beberapa kesimpulan di
antaranya adalah Tradisi Ngadiukeun pada perkawinan masyarakat Desa Gunung
Sari dilakukan dengan dua tahapan, yaitu tahap persiapan dan tahap pelaksanaan.
Pada tahap persiapan dilakukan persiapan sesajen dan persiapan untuk orang yang
akan Ngadiukeun harus wudhu terlebih dahulu. Sedangkan pada tahap
pelaksanaan dilakukan sholat hajat, tahlil, shalawat nariyah, do’a dan dzikir.
Makna dari benda-benda tradisi Ngadiukeun adalah merupakan simbol budaya
yang dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat, bahwa dalam hidup
haruslah seimbang. Dalam tradisi Ngadiukeun terdapat dua keyakinan antara
keyakinan kepada Allah SWT dan keyakinan terhadap roh nenek moyang. Dengan
demikian tradisi Ngadiukeun ini tidak sesuai dengan hukum Islam. Sedangkan
ditinjau dari hukum adat, tradisi Ngadiukeun merupakan adat atau kebiasaan yang
telah mengakar di dalam masyarakat Desa Gunung Sari yang bersifat Religio-
Magis. Masyarakat Desa Gunung Sari mayoritas menganut agama Islam dalam
kenyataannya masih ada sebagian masyarakat yang melakukan ritual sesajen maka
berlaku teori “Receptio in Complexu” bahwa bagi pemeluk agama tertentu
berlaku hukum agamanya.
Kata Kunci : Perkawinan, Ngadiukeun, Hukum Islam
Pembimbing : Dr. Hj. Mesraini, SH, M.Ag dan M. Yasir, M.H
Daftar Pustaka : Tahun 1973 s.d Tahun 2014
V
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat, taufik, dan
hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beserta
salam senantiasa melimpah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya,
sahabat serta seluruh umat yang menjadi penerus perjuangannya.
Penulis mempersembahkan skripsi ini secara khusus kepada kedua orang
tua tercinta yaitu: Bapak Ujang Subrata dan Ibu Uniah, yang selalu memberikan
bimbingan, kasih sayang dan bersusah payah memberikan dorongan yang sangat
besar, yang tak mungkin terbalas dengan apapun.
Dalam penulisan skripsi ini, tidak sedikit kesulitan dan hambatan yang
penulis jumpai, namun syukur Alhamdulillah berkat Rahmat dan Hidayahnya,
kesungguhan, kerja keras dan kerja cerdas, disertai dukungan dan bantuan dari
berbagai pihak, baik yang langsung maupun tidak langsung, segala kesulitan dapat
teratasi dengan sebaik-baiknya, yang pada akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan.
Teriring doa Jazakumullah khairan katsiran kepada:
1. Bapak Dr. H. Asep Saepuddin Jahar, M.A, sebagai Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Muhammad Fahmi Ahmadi, M.Si dan Ibu Hj. Siti Hanna, S.Ag.,
Lc., MA, sebagai ketua dan sekretaris Program Studi Perbandingan
Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum
vi
3. Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag Selaku Kepala Jurusan Perbandingan
Mazhab Fakultas Syariah dan Hukum
4. Pembimbing I, Ibu Dr. Hj. Mesraini, SH, M.Ag dan Pembimbing II, Bapak
M. Yasir, M.H, yang penuh kesabaran dan ketelitian serta memberikan
saran sehingga selesainya skripsi ini
5. Segenap jajaran staf dan karyawan Akademik, Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum serta Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak membantu dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujuakan skripsi
6. Para narasumber yang telah meluangkan waktu dan turut mendukung
suksesnya penelitian ini: Bapak Warja selaku Tokoh Adat Kampung
Manggasari, Bapak H. Udin Selaku Tokoh Masyarakat dan Bapak U.
Hermawan selaku SEKDES Desa Gunung Sari
7. Kakak, keponakan-keponakan, serta kerabat-kerabat yang selalu
memberikan motivasi terutama doa yang kalian panjatkan dengan penuh
keikhlasan
Demikianlah penulis ucapkan terimakasih semoga amal baik dari semua
pihak yang telah membimbing dan membantu penulis, mendapat balasan yang
berlimpah ruah dari Allah SWT. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Jakarta, 07 Juni 2017
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
PERSETUJUAN PEMBIMBING
LEMBAR PENGESAHAN
LEMBAR PERNYATAAN .............................................................................iii
ABSTRAK .........................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ......................................................................................v
DAFTAR ISI .....................................................................................................vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................... 4
C. Batasan dan Rumusan Masalah ...................................................5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................5
E. Review Studi Terdahulu .............................................................7
F. Metode Penelitian .......................................................................8
G. Teknik Penulisan ........................................................................12
H. Sistematika Penulisan .................................................................12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN AL-‘URF
(ADAT)
A. Sekilas Tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan ...............................................................14
2. Rukun dan Syarat Perkawinan ....................................................19
3. Dasar Hukum Perkawinan ...........................................................20
4. Tujuan dan Hikmah Perkawinan ................................................21
B. Al-„Urf atau Adat
1. Pengertian „Urf ....................................................................... 25
2. Macam-macam „Urf ................................................................27
3. Penyerapan „Urf (Adat) dalam Hukum ...................................28
4. Kedudukan „Urf dalam Menetapkan Hukum .........................30
BAB III KONDISI OBJEKTIF WILAYAH PENELITIAN
A. Letak Geografis Desa Gunung Sari ............................................34
B. Kondisi Umum Masyarakat Desa Gunung Sari .........................35
C. Tradisi Ngadiukeun dalam Perkawinan Adat Sunda ...................40
viii
BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT
TERHADAP TRADISI NGADIUKEUN DI DESA GUNUNG
SARI
A. Prosesi Ngadiukeun di Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor ........................................................................46
B. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Adat terhadap Tradisi
Ngadiukeun di Desa Gunung Sari ..............................................55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................70
B. Saran ...........................................................................................72
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................73
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah negara yang dibangun oleh pilar-pilar keragaman. Baik
itu etnik, budaya, adat maupun agama. Untuk yang terakhir, agama di Indonesia
lahir dan berkembang dengan segala norma yang mengikat setiap penganutnya.
Selanjutnya, norma ini mulai menyerap dalam institusi masyarakat. Masyarakat
muslim, diatur perilakunya oleh hukum Islam. Baik itu yang berkaitan dengan
hubungan sosial, maupun hubungan vertikal. Titik fungsional hukum Islam terus
menerus membentuk struktur sosial masyarakat muslim dalam menjalani
kehidupan sosialnya.1 Karena harus ada norma yang harus dipatuhi dalam
kehidupan bersama, norma-norma melekat kuat sebagai fakta di dalam
realitasnya.2
Mengenai pernikahan, memang banyak adat yang mengatur di setiap
daerah, baik itu yang bertentangan dengan syariat Islam maupun tidak. Tidak
dapat kita pungkiri bahwa pernikahan harus mengikuti adat yang berlaku di
daerah tersebut. Pernikahan memanglah salah satu adat yang berkembang
mengikuti berkembangnya masyarakat, namun kepercayaan untuk berpegang
teguh kepada hukum adat masih berlaku di dalam sebuah adat pernikahan
tersebut. Karena hukum akan efektif apabila mempunyai basis sosial yang relatif
1 Yayan Sopyan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam Hukum
Nasional, (Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012), h. 11 2 Hans Kelsen, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita Yusron, (Bandung:
Nusa Media, 2009), Cet. II, h. 214
2
kuat. Artinya hukum adat tersebut dipatuhi oleh warga masyarakat secara
sukarela.3
Islam telah mengatur tata cara pelaksanaan dalam membina rumah tangga.
Jika seluruh umat Islam mengikutinya, insya Allah akan tercipta keturunan yang
baik, manusia yang mulia di muka bumi ini.4 Pernikahan juga memiliki unsur-
unsur ibadah. Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan
agar tidak terjerumus dari hal-hal yang diharamkan.5 Melaksanakan perkawinan
berarti melaksanakan sebagian dari ibadah dan berarti pula telah
menyempurnakan sebagian dari agama.6
Kehidupan masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat sunda, masih
banyak mempertahankan adat istiadat atau tradisi yang mengagungkan roh nenek
moyangnya melalui upacara (ritual). Hal ini merupakan sebagai alat untuk
menyampaikan permohonan mereka dalam usaha dan mengadu nasib lainnya,
baik itu dalam keadaan aman maupun ketika datang malapetaka. Mereka
menganggap bahwa roh leluhur memiliki kekuatan ghaib di luar jangkauan
manusia, walaupun tindakan tersebut bukanlah tindakan yang rasional, mereka
melaksanakan ritual tersebut dengan rutin atau ketika mereka akan memasuki fase
3 Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003), h.
340 4 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer, (bandung:
Penerbit Angkasa, 2005), h. 134 5 Wahbah al-Zuhaili, Al-fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-fikr, 2004), h.
6516 6 Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1974), h. 5
3
kehidupan yang baru, seperti fase perkawinan, fase kehamilan, sampai fase
kematian.
Sehubungan dengan hal ini di Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor ada sebuah tradisi, yang disebut tradisi Ngadiukeun, hal ini
biasanya dilakukan ketika akan menghadapi fase kehidupan, yaitu fase
perkawinan. Adapun maksud dari tradisi Ngadiukeun adalah untuk menghormati
dan memohon restu serta untuk mendapatkan berkah dari leluhur, sehingga ketika
melaksanakan resepsi (hajatan) perkawinan mendapat restu serta keselamatan dari
leluhur dan roh-roh halus tidak mengganggu. Tradisi Ngadiukeun merupakan
tradisi masyarakat sunda, khususnya masyarakat Kampung Mangga Sari Desa
Gunung Sari yang sudah lama berkembang serta mempunyai nilai-nilai adat untuk
kebutuhan masyarakat setempat.
Di dalam melaksanakan Ngadiukeun ada beberapa benda, berupa sesajen
yang memiliki simbol-simbol adat yang memiliki nilai, adapun ritual ini
dilakukan di tempat orang yang mempunyai hajat, yaitu di sebuah ruangan, di
mana biasanya makanan yang akan dihidangkan disimpan dan dilaksanakan oleh
seseorang yang memiliki ilmu Ngadiukeun (dukun).
Melihat kondisi masyarakat Desa Gunung Sari dengan mayoritas
menganut agama Islam, namun dalam hal ini mereka masih mempercayai roh
leluhur dan makhluk halus lainnya dengan mengadakan ritual tersebut. Tradisi
yang menggunakan sesajen inipun mungkin sudah dikatakan tidak sesuai lagi
dengan ajaran agama Islam dan pola pikir masyarakat yang sudah berpikir
4
rasional, mobilitas masyarakat yang cukup tinggi, sedangkan tradisi ini sesuatu
yang menyimpang dan irasional, kadang masyarakat yang berpendidikan
tinggipun masih mengadakan tradisi ini.
Melihat fenomena tersebut penulis merasa tertarik untuk mengkaji lebih
mendalam mengenai masalah tersebut dan hasilnya dituangkan dalam bentuk
skripsi dengan judul “Tradisi Ngadiukeun dalam Perkawinan Adat Sunda
Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Adat” (Studi di Desa Gunung Sari
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor)
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas,
beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan Ngadiukeun dan tujuan dilaksanakannya
Ngadiukeun?
2. Apa manfaat Ngadiukeun bagi masyarakat?
3. Bagaimana cara pelaksanaan Ngadiukeun di Desa Gunung Sari?
4. Bagaimana pendapat tokoh Adat dan juga tokoh Agama tentang tradisi
Ngadiukeun?
5. Apakah pemerintah perlu untuk melestarikan tradisi Ngadiukeun?
6. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dan Hukum Adat terhadap tradisi
Ngadiukeun?
5
C. Batasan dan Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah di atas, dan kemudian supaya
pembahasan lebih terfokus sesuai dengan judul skripsi yang penulis kemukakan
maka penulis memberikan batasan masalah mengenai Tradisi Ngadiukeun
Ditinjau dari Hukum Islam dan Hukum Adat pada Perkawinan di Desa Gunung
Sari Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor . Hal ini diharapkan agar rumusan
masalah tidak menyimpang dari pokok bahasan.
Permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana prosesi Ngadiukeun pada perkawinan masyarakat Desa
Gunung Sari Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor?
2. Apa makna yang disimbolkan dari benda-benda Ngadiukeun pada
perkawinan masyarakat Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum adat terhadap tradisi
Ngadiukeun pada perkawinan masyarakat Desa Gunung Sari Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari latar belakang dan perumusan masalah yang telah dipaparkan,
maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:
6
1. Untuk mengetahui prosesi Ngadiukeun pada perkawinan masyarakat
Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
2. Untuk mengetahui makna yang disimbolkan dari benda-benda
Ngadiukeun pada perkawinan masyarakat Desa Gunung Sari
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
3. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan hukum adat terhadap
tradisi Ngadiukeun pada perkawinan masyarakat Desa Gunung Sari
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis
Untuk memperkaya ilmu pengetahuan di bidang hukum dengan
mempelajari literatur yang ada. Hasil penelitian ini diharapkan juga
dapat dijadikan suatu referensi dan akan memperkaya pengetahuan
hukum bagi masyarakat dan khususnya bagi mahasiswa fakultas
Syariah dan Hukum.
b. Secara praktis
1. Dapat dijadikan bahan rujukan untuk menjawab permasalahan-
permasalahan yang berkaitan dengan adat perkawinan
2. Memberikan sumbangan pemikiran di bidang Ilmu Fiqih dan
juga Hukum Adat
7
3. Untuk memberikan masukan dan informasi bagi masyarakat
luas
4. Hasil penelitian ini sebagai bahan ilmu pengetahuan dan
wawasan bagi penulis, khususnya bidang Ilmu Fiqih.
E. Review Studi Terdahulu
Penelitian seputar tradisi Ngadiukeun belum banyak penelitian yang
dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Dari hasil penelusuran, penulis hanya
menemukan “Persepsi Masyarakat terhadap Upacara Adat Ngadiukeun pada
Perkawinan Masyarakat di Desa Gunung Sari”. Peneliti ini ditulis oleh Siti
Marfu‟ah mahasiswa Jurusan Sosiologi Agama Fakultas Ushuludin Universitas
Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung Tahun 2007. Penelitian ini
mengidentifikasikan penelitiannya pada wilayah kajian Ilmu Sosiologi yang
dilakukan di Kampung Lokapurna. Isi dari temuan dan analisisnya meliputi:
kebudayaan, makna yang disimbolkan dan persepsi masyarakat terhadap Upacara
Adat Ngadiukeun pada perkawinan di Desa Gunung Sari.
Sedangkan dari katalog yang penulis cari di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah (UIN) Jakarta, karya mengenai prosesi upacara adat
Ngadiukeun pada perkawinan di Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan
Kabupaten Bogor belum dibahas. Namun demikian penulis tetap meringkas
skripsi yang ada kaitannya dengan adat yang masih mengagungkan roh leluhur
dari nenek moyang, yaitu:
8
Nia Nihayah, Perbandingan Mazhab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
2015, Tradisi Memitu di Masyarakat Desa Pusakaratu Kecamatan Pusakanagara
Kabupaten Subang dalam Perspektif Hukum Adat dan Hukum Islam. Skripsi ini
membahas tentang relasi antara hukum adat dan hukum Islam adalah relasi yang
baik. Keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, walaupun
ada sedikit perbedaan keduanya saling melengkapi.
Abiyati Atnan Nitiono, Peradilan Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2014, Prosesi Pernikahan Suku Adat Atoni dalam Perspektif Hukum Islam.
Skripsi ini membahas tentang prosesi perkawinan yang terjadi di suku adat Atoni
yang bertentangan dengan ajaran syariat agama Islam, karena dalam melakukan
perkawinan masyarakat suku adat Atoni cenderung menggunakan tua, none
(minuman arak yang memabukan) sebagai cara atau syarat pengabsahan jalannya
perkawinan.
Berbeda dengan yang dibahas oleh penulis, yaitu penulis lebih membahas
bagaimana pelaksanaan prosesi Ngadiukeun dalam perkawinan di desa Gunung
Sari kecamatan Pamijahan kabupaten Bogor dan bagaimana tinjauan hukum Islam
dan hukum adat mengenai tradisi Ngadiukeun tersebut.
F. Metode Penelitian
1. Jenis dan Pendekatan Penelitian
Ditinjau dari jenis data yang diteliti, penilitian ini termasuk
penelitian lapangan (Field Research). Penelitian lapangan yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara pengumpulan data-data dari lapangan yaitu
9
dengan cara observasi dan wawancara.7 Selain data dilapangan penulis
juga melakukan penelitian kepustakaan (Library research) yaitu penelitian
yang dilakukan dengan cara pengumpulan data-data, buku-buku, atau teks-
teks tertulis.
Adapun metode yang dipakai adalah metode penelitian kualitatif.
Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku
yang dapat diamati.8 Metode penelitian kualitatif sering disebut metode
penelitian naturalistic karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang
alamiah (natural-setting).9
Penelitian ini merupakan tipe penelitian deskriptif yaitu penelitian
yang menggambarkan dan menjelaskan masalah-masalah yang ada
sekarang dengan cara mengumpulkan data, menyusun, mengklasifikasi,
menganalisis dan menginterpretasikan.
2. Sumber Data
Yang dimaksud sumber data dalam penelitian adalah subyek
darimana data diperoleh.10
Sumber data yang diperlukan dalam penulisan
skripsi ini terdiri data primer dan data sekunder, yaitu:
7 M. Nasir, Metode Penelitian, (Jakarta : Ghakia Indonesia, 1985), h. 53
8 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005, cet. Kesepuluh), h. 4 9 Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat :
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010 Cet. Ke 1), h. 54 10
Suharsimi Arikunto “ Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik” (Jakarta : PT.
Rineka Cipta, 1993), h. 102
10
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan guna
memperoleh data yang berhubungan dengan perumusan masalah
melalui wawancara yang dilakukan dengan responden yang telah
ditetapkan.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang penulis dapatkan berdasarkan studi
kepustakaan (library research), untuk mencari konsep-konsep, teori-
teori, pendapat-pendapat, ataupun penemuan-penemuan yang
berhubungan erat dengan pokok-pokok masalah.
3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penulisan ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut:
a. Observasi memiliki makna lebih dari sebuah tehnik pengumpulan data.
Namun pada konteks ini observasi lebih difokuskan sebagai upaya
penelitian mengumpulkan data dan informasi dari sumber data primer
dengan mengoptimalkan pengamatan peneliti. Dalam hal ini penulis
melakukan pengamatan yang mendalam (observasi) terhadap
masyarakat Desa Gunung Sari yang sedang melakukan prosesi upacara
adat ngadiukeun.
11
b. Interview atau wawancara dalam pendekatan kualitatif bersifat
mendalam. Wawancara dan observasi bisa dilakukan bersamaan.
Wawancara dapat digunakan untuk menggali lebih dalam dari data
yang diperoleh saat observasi.11
Dalam hal ini penulis mewawancarai
beberapa unsur, yaitu; orang yang pernah melakukan tradisi
ngadiukeun, dukun yang memiliki ilmu ngadiukeun, tokoh adat dan
tokoh agama di desa Gunung Sari.
c. Menganalisis hasil interview atau wawancara dengan para responden
dan dikaitkan pada Al-qur‟an, Al-Hadits, Undang-Undang, Kompilasi
Hukum Islam, dan peraturan-peraturan lainnya, buku-buku karya
ilmiah serta buku-buku yang berkaitan dengan masalah ini.
4. Teknik Analisis Data
Tehnik analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam
bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Dalam
menganalisis data yang telah dihimpun, penulis menggunakan metode
deskriptif analisis yaitu suatu teknis analisis data di mana penulis
menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil wawancara di lapangan
kemudian menganalisis dengan merujuk pada Al-Qur‟an, Hadits dan
buku-buku yang berkaitan dengan masalah ini.
11
Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati “ Metodologi Penelitian “ (Bandung : PT.
Refika Aditama, 2014, Cet. Ke 1), h. 134-136
12
G. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2014”.
H. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penelitian ini lebih terarah, penulis menjadikan
sistematika penulisan dalam lima bab, yang mana dalam kelima bab tersebut
terdiri dari sub-sub bab yang terkait. Sistematika penulisan sebagai berikut:
Bagian pertama adalah pendahuluan, dalam bab ini akan memuat tentang
latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan.
Selanjutnya bagian kedua akan membahas sekilas tentang perkawinan dan
Al-Urf. Mengenai perkawinan akan dibahas mulai dari pengertian perkawinan,
rukun dan syarat perkawinan, dasar hukum perkawinan, tujuan dan hikmah
perkawinan. Sedangkan Al-Urf akan dibahas mulai dari pengertian Urf, macam-
macam al-„urf, penyerapan „urf atau adat dalam hukum Islam dan kedudukan „urf
dalam menetapkan hukum.
Adapun bagian ketiga yaitu membahas tentang kondisi objektif wilayah
penelitian yang terdiri dari data letak geografis Desa Gunung Sari, kondisi umum
13
masyarakat Desa Gunung Sari dan tradisi Ngadiukeun dalam perkawinan adat
sunda
Selanjutnya bab keempat yaitu membahas tentang prosesi Ngadiukeun
ditinjau dari hukum Islam dan hukum adat, mulai dari tradisi Ngadiukeun menurut
pandangan hukum Islam dan tradisi Ngadiukeun menurut hukum adat
Bagian terakhir adalah penutup. Penulis akan menyimpulkan berkaitan
dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah
yang penulis gunakan dalam bab pendahuluan. Uraian terakhir adalah saran yang
dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah
penulis kaji.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERKAWINAN DAN AL-‘URF (ADAT)
A. Sekilas Tentang Perkawinan
1. Pengertian Perkawinan
Perkawinan adalah sebuah perjanjian jika dipandang dari seluruh sistem
hukum, tetapi merupakan jenis khusus dari perjanjian karena syarat-syaratnya
telah dibuat sebelum memasuki perkawinan. Tidak ada ruang bagi persyaratan
individual, kecuali jika hukum membolehkannya. Fiqih juga tidak mempunyai
pengecualian terhadap generalisasi ini. Namun demikian, di dunia muslim, fiqih
bukanlah satu-satunya hukum, tetapi ada juga adat yang terkadang harus pula
dihadapi.12
Perkawinan adalah suatu perbuatan yang dilakukan sejak zaman Nabi
Adam as. dan dilakukan manusia secara turun temurun. Hal itu dikarenakan
perkawinan merupakan salah satu pokok kebutuhan manusia yang dituntut secara
naluri, selain itu perkawinan merupakan jalan mencari kebutuhan dan
ketentraman jiwa.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Ruum ayat 21:
Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kebesaran karunia-Nya (Allah)
dikaruniakan-Nya bagimu dari jenismu sendiri pasangan hidup (istri/suami) agar
kamu merasa tentram dengannya…” (QS. Ar-Ruum: 21)
12
Quraish Shihab, M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-Fatwa dan Perubahan
Sosial, (Jakarta: Teraju, 2002), cet ke- 1, h. 197
15
Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa perkawinan merupakan
sunatullah yang memang menjadi kebutuhan hidup untuk mencapai kebahagiaan
dunia akhirat.13
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Perkawinan berasal dari kata
“kawin” yang menurut bahasa artinya adalah membentuk keluarga dengan lawan
jenis, bersuami atau beristri, menikah atau melakukan hubungan kelamin
(bersetubuh).14
Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan
(coitus), juga untuk arti akad nikah.15
Di dalam literatur fiqh yang berbahasa arab Perkawinan atau Pernikahan
disebut dengan dua kata, yaitu nikah نكاح() dan zawaj (زواج) kedua kata ini sangat
erat sekali dengan kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak juga terdapat
dalam Al-Qur‟an dan Hadits Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-
Qur‟an dengan arti kawin. Secara arti kata nikah atau zawaj berarti “bergabung”
Dalam arti .(عقد) ”dan juga berarti “akad (وطء) ”hubungan kelamin“ ,(ضم)
terminologis dalam kitab-kitab fiqh banyak diartikan dengan:
Yang artinya: Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan
hubungan kelamin dengan menggunakan lafaz na-ka-ha atau za-wa-ja.16
Perkawinan dalam Islam merupakan sunatullah yang sangat dianjurkan
karena perkawinan merupakan cara yang di pilih Allah SWT untuk melestarikan
13
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta: CV. Indah Press, 1996) 14
Dep Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), cet ke-1, edisi ke-4, h. 639 15
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), cet
ke-3, h. 29 16
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2003), h. 73-74
16
kehidupan manusia dalam mencapai kemaslahatan dan kebahagiaan hidup.17
Dengan perkawinan itu khususnya baagi manusia (laki-laki dan perempuan)
Allah SWT menghendaki agar mereka mengemudikan bahtera kehidupan rumah
tangganya.
Allah SWT berfirman dalam surat Ad-Dzariyat ayat 49
Artinya: “Dan segala sesuatu itu kami (Allah) jadikan berpasang-pasangan,
agar kamu semua mau berfikir”. (QS. Ad-Dzariyat: 49)
Allah SWT juga berfirman dalam surat Yaa Siin ayat 36
Artinya: “Maha suci Allah yang telah menciptakan segala sesuatu berpasang-
pasangan, baik (pada) tumbuh-tumbuhan maupun diri mereka sendiri (manusia)
dan lain-lain yang tidak mereka ketahui”. (QS. Yaa Siin: 36)
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, diantaranya adalah:
Artinya: “Perkawinan menurut syara‟ yaitu akad yang ditetapkan syara‟ untuk
membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perempuan dan
menghalalkan bersenang-senang perempuan dengan laki-laki”.18
Menurut Hanafiyah, kawin adalah akad yang memberi faedah untuk
melakukan mut‟ah secara sengaja, artinya kehalalan seorang laki-laki untuk
bertistimta‟ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor yang menghalangi
17
As-Sayid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Anabi, 1973), 11:6 18
Abdur Rahman Al-Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003), h. 7-8
17
sahnya perkawinan tersebut secara syar‟i. Selain itu, menurut Hanabilah kawin
adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna tazwij dengan
maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.19
Golongan Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa kata nikah itu berarti akad
dalam arti yang sebenarnya (hakiki), dapat berarti juga untuk hubungan kelamin,
namun dalam arti sebenarnya (arti majazi). Penggunaan kata untuk bukan arti
sebenarnya itu memerlukan penjelasan di luar kata itu sendiri. Ulama golongan
Syafi‟iyah ini memberikan definisi sebagaimana disebutkan di atas melihat
kepada hakikat dari akad itu bila dihubungakan dengan kehidupan suami istri
yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan sebelum akad tersebut
berrlangsung di antara keduanya tidak boleh bergaul.20
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1, perkawinan adalah:
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang perempuan sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pertimbangannya ialah sebagai Negara
yang berdasarkan pancasila dimana sila yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang
Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama atau
kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir atau
jasmani, tetapi unsur batin atau rohani juga mempunyai peranan yang penting.21
19
Abdurrahman, al-Jaziri, Kitab „ala Mazhab al-Arba‟ah, (t.tp: Dar Ihya al-Taurus al-
Arabi, 1986), Juz IV, h. 3 20
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 37 21
M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind-Hillco, 1990), h. 2
18
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 pasal 1 merumuskan bahwa ikatan
suami istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, perkawinan merupakan
perikatan yang suci. Perikatan tidak dapat terlepas dari agama yang dianut suami
istri. Dalam KUHPerdata dikatakan undang-undang memandang soal perkawinan
hanya dalam hubungan perdata dan dalam pasal 81 KUHPerdata dikatakan bahwa
tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan, sebelum kedua pihak
membuktikan kepada pejabat agama mereka, bahwa perkawinan dihadapan
pegawai pencatat sipil telah berlangsung.22
Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa
penting bagi mereka yang masih hidup saja, tetapi perkawinan juga merupkan
peristiwa yang sangat berarti serta sepenuhnya mendapat perhatian dan di ikuti
oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak. Dengan demikian, perkawinan
menurut hukum adat merupakan suatu hubungan kelamin antara laki-laki dengan
perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu antara kelompok kerabat
laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain. Hubungan yang terjadi ini ditentukan dan diawasi oleh sistem norma-
norma yang berlaku di dalam masyarakat itu.23
Menurut Djaren Saragih, S.H., sebagaimana dikutif oleh Tolib Setiady,
dinyatakan bahwa “Hukum perkawinan adat adalah keseluruhan kaidah hukum
yang menentukan prosedur yang harus ditempuh oleh dua orang yang bertalian
22
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Lihat juga Hilman Hadikusuma, Hukum
Perkawinan Indonesia, Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar
Maju, 1990), h. 7 23
Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2005), h. 154
19
kelamin dalam menciptakan kehidupan bersama dalam suatu rumah tangga
dengan tujuan untuk meneruskan keturunan.24
2. Syarat dan Rukun Perkawinan
Dalam Islam diatur tata cara tentang prosesi akad nikah yang terdiri dari,
syarat pernikahan dan rukun pernikahan yang menentukan suatu perbuatan
hukum, terutama yang menyangkut sah dan tidaknya perbuatan tersebut dari segi
hukum. Dalam hal ini Amir Syarifuddin menjelaskan bahwa kedua kata tersebut
mengandung arti yang sama, yakni bahwa keduanya merupakan sesuatu yang
harus diadakan, dalam arti perkawinan tidak sah bila keduanya tidak ada atau
tidak lengkap.25
Menurut ulama Syafi‟iyah syarat perkawinan itu adakalanya menyangkut
shighat, wali, calon suami istri, dan juga syuhud (saksi). Sedangkan berkenaan
dengan rukunnya, bagi mereka ada 5 (lima), yaitu: calon suami istri, wali, dua
orang saksi, dan shighat. Sedangkan menurut Malikiyah adalah termasuk mahar
dan tidak menempatkan saksi sebagai rukun.26
Ulama Hanafiyah melihat perkawinan itu dari segi ikatan yang berlaku
antara pihak yang melangsungkan perkawinan. Oleh karenanya yang menjadi
rukun dalam sebuah perkawinan hanyalah akad nikah yang dilakukan oleh kedua
24
Tolib Setiady, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian Kepustakaan), (Bandung:
Alfabeta, 2003), cet ke-3, h. 225 25
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, h, 63 26
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana,
2006), ed. 1, cet ke- 1, h. 61)
20
belah pihak yang berrsangkutan, sedangkan di luar daripada itu seperti kehadiran
saksi dan mahar bukan termasuk rukun melainkan sebagai syarat perkawinan.27
3. Dasar Hukum Perkawinan
Hukum nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis
antarjasmani, dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat
perkawinan tersebut.28
Berikut ini dijelaskan mengenai dasar hukum dari sebuah
perkawinan
a. Al-Qur‟an
Terdapat banyak ayat dalam al-Qur‟an yang mengatur masalah
pernikahan, seperti penegasan bahwa Allah menciptakan makhluk hidup
berpasang-pasangan, baik manusia, binatang, ataupun tumbuh-tumbuhan
untuk kelangsungan jenis masing-masing, diantara ayat-ayat al-Qur‟an
tentang pernikahan adalah:
QS. Al-Hujurat ayat 13
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
27
Amir Syarifuddin, h. 59-60 28
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, Kajian Fiqh Nikah Lengkap,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 12
21
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah
orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah maha
mengetahui lagi maha mengenal”.
QS. Az-Zariyat ayat 49
Artinya: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah”
b. Hadits
Terdapat banyak hadits Rasulullah SAW yang menganjurkan pernikahan,
diantara hadits-hadits tersebut adalah:
Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Wahai generasi muda, barang siapa diantara kalian telah mampu serta
berkeinginan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah. Karena
sesungguhnya pernikahan itu dapat menundukan pandangan mata dan
memelihara kamaluan”. (Muttafaqun „Alaih)29
c. Ijmak Ulama
Menurut jumhur ulama hukum menikah adalah sunnah, sedangkan
menurut golongan dzahiri, menikah hukumnya wajib.30
4. Tujuan dan Hikmah Perkawinan
a. Tujuan Perkawinan
Sebagaimana hukum-hukum yang lain ditetapkan dengan tujuan
tertentu sesuai dengan tujuan terbentuknya, demikian pula halnya dengan
29
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,
1998), cet ke-1, h. 376-377 30
Ibnu Rusyd al-Qurtuby al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid, juz II, Beirut, Libanon: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, t.t., h, 196
22
syari‟at Islam. Mensyari‟atkan perkawinan dengan tujuan-tujuan tertentu
pula, diantaranya tujuan-tujuan itu ialah:31
1) Melanjutkan keturunan yang merupakan sambungan hidup dan
menyambung cita-cita, membentuk keluarga dan dari keluarga-
keluarga dibentuk umat, ialah umat Nabi Muhammad SAW umat
Islam;
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nahl ayat 72
Artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu
sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak
dan cucu-cucu, dan memberimu rizki dari yang baik-baik. Maka
mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari
nikmat Allah”.
2) Untuk menjaga diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah
SWT mengerjakannya
3) Untuk menimbulkan rasa cinta antar suami istri, menimbulkan rasa
kasih sayang antar orang tua dengan anaknya dan antara seluruh
anggota keluarga. Rasa cinta dan kasih sayang dalam keluarga ini
akan dirasakan pula dalam masyarakat atau umat, sehingga
terbentuklah umat yang diliputi cinta dan kasih sayang.
31
Kamal Mukhtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang perkawinan, h. 12-15
23
4) Untuk menghormati atau mengikuti sunnah Rasulullah SAW,
beliau mencela orang-orang yang berjanji akan puasa setiap hari,
akan bangun beribadah setiap malam dan tidak akan kawin-kawin
sebagaimana sabda beliau:
Artinya: “Maka barang siapa yang benci kepada sunnahku
bukanlah ia termasuk (umatku), HR. Bukhari Muslim
5) Untuk membersihkan keturunan. Keturunan yang bersih, yang jelas
ayah, kakek, dan sebagainya. Semua itu hanya dapat diperoleh
dengan perkawinan. Dengan demikian akan jelas pula orang-orang
yang bertanggung jawab terhadap anak-anak yang akan
memelihara dan mendidik sehingga menjadilah ia seorang muslim
yang dicita-citakan.
Adapun tujuan perkawinan bagi masyarakat hukum adat yang bersifat
kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut
garis ke Bapakan atau ke Ibuan atau ke Ibu-Bapakan, untuk kebahagiaan rumah
tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai-nili adat budaya dan kedamaian,
dan untuk mempertahankan kewarasan. Oleh karena itu sistem keturunan dan
kekerabatan antara suku bangsa Indonesia yang satu dan lain berbeda-beda,
termasuk lingkungan hidup dan agama yang dianut berbeda-beda, maka tujuan
perkawinan adat bagi masyarakat adat juga berbeda antara suku bangsa yang satu
24
dan daerah yang lain, begitu juga dengan akibat hukum dan upacara
perkawinannya.32
b. Hikmah Perkawinan
Hikmah perkawinan menurut Ali Ahmad Al-Jurjawi hikmah-hikmah
perkawinan itu banyak antara lain:
1) Dengan pernikahan maka banyaklah keturunan. Ketika keturunan itu
banyak, maka proses memakmurkan bumi berjalan dengan mudah, karena
suatu perbuatan yang harus dikerjakan bersama-sama akan sulit jika
dilakukan secara individual.
2) Keadaan hidup manusia tidak akan tentram kecuali jika keadaan rumah
tangganya teratur. Kehidupannya tidak akan tenang kecuali dengan
adanya ketertiban rumah tangga. Ketertiban tersebut tidak mungkin
terwujud kecuali harus ada perempuan yang mengatur rumah tangga itu.
Dengan alasan itulah maka nikah disyari‟atkan, sehingga keadaan kaum
laki-laki menjadi tentram dan dunia semakin makmur.
3) Pernikahan dapat menjaga kehormatan diri sendiri dan pasangan agar
tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang diharamkan. Juga berfungsi untuk
menjaga komunitas manusia dari kepunahan, dengan terus melahirkan dan
mempunyai keturunan.
4) Berguna untuk menjaga kesinambungan garis keturunan, menciptakan
keluarga yang merupakan bagian dari masyarakat, dan menciptakan sikap
bahu membahu di antara sesama. Sebagaimana telah diketahui
32
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Pandangan Hukum
Adat, Hukum Agama, (Bandung: Mandar Maju, 1990), h. 23
25
bahwasanya pernikahan merupakan bentuk bahu membahu antara suami
istri untuk mengemban beban kehidupan. Juga merupakan sebuah akad
kasih sayang dan tolong menolong di antara golongan, dan penguat
hubungan antar keluarga. Dengan pernikahan itulah berbagai
kemaslahatan masyarakat dapat di raih dengan sempurna.33
B. AL-‘Urf atau Adat
1. Pengertian ‘Urf dan Adat
Kata „urf berasal dari kata „arafa ( عرف) , ya‟rifu )يعرف) sering diartikan
dengan “al-ma‟ruf” )المعروف) dengan arti “sesuatu yang dikenal”. Pengertian
dikenal ini lebih dekat kepada pengertian “diakui oleh orang lain”. Kata „urf juga
terdapat dalam Al-Qur‟an dengan arti “ma‟ruf” )معروف) yang artinya kebajikan
(berbuat baik), seperti dalam surat al-A‟raf ayat 199
Maafkanlah dia dan suruhlah berbuat ma‟ruf
„Urf dan adat termasuk dua kata yang sering dibicarakan dalam literatur
Ushul Fiqih. Keduanya berasal dari bahasa Arab. Kata „adat sudah diserap ke
dalam bahasa Indonesia yang baku.
Arti Urf secara harfiyah adalah suatu keadaan, ucapan, perbuatan, atau
ketentuan yang telah dikenal manusia dan telah menjadi tradisi untuk
33
Wahbah az-Zuhaili; Penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqh Islam wa
Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), cet ke-1, h. 40-41
26
melaksanakannya atau meninggalkannya. Dikalangan masyarakat, „urf ini sering
disebut sebagai adat.34
Menurut Abudl Wahab Khallaf, „urf adalah apa yang dikenal oleh manusia
dan menjadi tradisinya; baik ucapan, perbuatan atau pantangan-pantangan.
Menurut istilah ahli syara, tidak ada perbedaan antara „urf dan adat. Adat
perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar menukar
secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan, seperti kebiasaan
manusia untuk tidak mengucapkan kata “daging” sebagai “ikan”. Adat terbentuk
dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu.35
Musthafa Ahmad al-zarqa‟ (guru besar fiqih Islam di Universitas „Amman,
Jordania), mengatakan bahwa „urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih
umum dari „urf. Suatu „urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di
daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan „urf bukanlah
kebiasaan alami sebagaimana yang berlaku di kebanyakan adat, tetapi muncul dari
suatu pemikiran dan pengalaman. Yang dibahas para Ulama Ushul Fiqih, dalam
kaitannya dengan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara‟ adalah „urf
bukan adat.36
34
Rahmat Syafe‟i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), h. 128 35
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka
Amani, 2003), h. 117 36
Nasrun Harun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 138-139
27
2. Macam-Macam ‘Urf
Ahmad Fahmi Abu Sunnah dan Ahmad Musthafa al-Zarqa‟ serta para Ulama
Ushul Fiqih membagi „urf menjadi tiga macam:37
a. Dari segi objeknya, „urf dibagi kepada:
1. Al-„urf al-lafdzi (kebiasaan yang menyangkut ungkapan), adalah
kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal/ungkapan tertentu
dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah
yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya kata
daging yang berarti daging sapi, padahal kata daging mencakup
seluruh daging yang ada.
2. Al-„urf „al-amali, adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan
perbuatan biasa atau muamalah keperdataan. Yang dimaksud
perbuatan biasa adalah perbuatan masyarakat dalam masalah
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain,
seperti kebiasaan masyarakat dalam memakai pakaian tertentu dalam
acara khusus.
b. Dari segi cakupannya, „urf dibagi kepada:
1. Al-„urf al-„am, adalah kebiasaan tertentu yang berlaku secara luas di
seluruh masyarakat dan di seluruh daerah. Misalnya, bila memasuki
pemandian umum (kolam renang) yang memungut bayaran, orang
hanya membayar seharga tarif masuk yang ditentukan tanpa
37
Nasrun Harun, Ushul Fiqih, h. 139-141
28
memperhitungkan berapa banyak air yang dipakainya dan berapa lama
ia menggunakan pemandian tersebut.
2. Al-„urf al-khash, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat dan di
daerah tertentu. Misalnya, orang Sunda menggunakan kata “paman”
hanya untuk adik dan ayah, dan tidak digunakan untuk kakak dari
ayah; sedangkan orang Jawa menggunakan kata “paman” itu untuk
adik dan untuk kakak dari ayah.
c. Dari segi keabsahannya dari pandangan syara‟, „urf dibagi kepada:
1. Al-„urf al-shahih, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang
tidak bertentangan dengan nash, tidak menghilangkan kemaslahatan
mereka, dan tidak pula membawa mudharat kepada mereka. Misalnya,
mengadakan acara halalbihalal (silaturahmi) saat hari raya, memberi
hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
2. Al-„urf al-fasid, adalah kebiasaan yang berlaku di masyarakat yang
bertentangan dengan dalil-dalil syara‟ dan kaidah-kaidah dasar yang
ada dalam syara‟. Misalnya, kebiasaan yang berlaku di kalangan
pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang sesama
pedagang.
3. Penyerapan ‘Urf (Adat) dalam Hukum
Islam datang dengan seperangkat norma syara‟ yang mengatur kehidupan
muamalah yang harus dipatuhi umat Islam sebagai konsekuensi dari keimanannya
kepada Allah dan Rasulnya. Sebagian dari adat lama itu ada yang selaras dan ada
yang bertentangan dengan hukum syara‟ yang datang kemudian. Adat yang
29
bertentangan itu dengan sendirinya tidak mungkin dilaksanakan oleh umat Islam
secara bersamaan dengan hukum syara‟. Pertemuan antara adat dan syariat
tersebut terjadilah perbenturan, penyerapan, dan pembauran antara keduanya.
Dalam hal ini yang diutamakan adalah proses penyeleksian „adat yang dipandang
masih diperlukan untuk dilaksanakan. Adapun yang dijadikan pedoman dalam
menyeleksi adat lama itu adalah kemaslahatan menurut wahyu. Berdasarkan hasil
seleksi tersebut, adat dapat dibagi kepada 4 kelompok yaitu sebagai berikut:38
1. Adat yang lama secara substansial dan dalam hal pelaksanaannya
mengandung unsur kemaslahatan. Maksudnya dalam perbuatan itu
terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharatnya, atau unsur
manfaatnya lebih besar dari unsur mudharatnya. Adat dalam bentuk ini
diterima sepenuhnya dalam hukum Islam.
2. Adat lama yang pada prinsipnya secara substansial mengandung unsur
maslahat (tidak mengandung unsur mafsadat atau mudharat), namun
dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik oleh Islam. Adat dalam bentuk
ini dapat diterima dalam Islam, namun dalam pelaksanaan selanjutnya
mengalami perubahan dan penyesuaian.
3. Adat lama yang pada prinsip dan pelaksanaannya mengandung unsur
mafsadat (merusak). Maksudnya, yang dikandung hanya unsur perusak
dan tidak memiliki unsur manfaatnya, atau ada unsur manfaatnya tetapi
unsur perusaknya lebih besar.
38
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 393-394
30
4. Adat atau „urf yang telah berlangsung lama, diterima oleh orang banyak
karena tidak mengandung unsur mafsadat (perusak) dan tidak
bertentangan dengan dalil syara yang datang kemudian, namun secara jelas
belum terserap ke dalam syara‟, baik secara langsung atau tidak langsung.
Adat atau „urf dalam bentuk ini jumlahnya banyak sekali dan menjadi
perbincangan di kalangan ulama. Bagi kalangan ulama yang mengakuinya
berlaku kaidah
محكمة العادة
Adat itu dapat menjadi dasar hukum
4. Kedudukan ‘Urf dalam Menetapkan Hukum
Seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum, menurut Imam al-
Qarafi, harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat
setempat, sehingga hukum yang ditetapkan itu tidak bertentangan atau
menghilangkan suatu kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut.
Seluruh ulama mazhab, menurut imam Syaitibi dan imam Ibnu Qayim al-Jauziah,
menerima dan menjadikan „urf sebagai dalil syara‟ dalam menetapkan hukum,
apabila tidak ada nash yang menjelaskan hukum suatu masalah yang dihadapi.39
Ada beberapa alasan „urf dapat dijadikan dalil, diantaranya yaitu:40
39
Nasrun Harun, Ushul Fiqih, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 142 40
Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metode Hukum Islam, (Jakarta: PT Grafindo
Persada, 2000), h. 186-187
31
Artinya: Dari Abdullah bin Mas‟ud berkata bahwa sesungguhnya Allah ada
dalam hati hamba, hati yang paling baik adalah hati Nabi Muhammad, hamba
seorang mukmin adalah sebaik-baiknya hati, mereka akan memilih sesuatu yang
baik untuk agamanya dan mereka akan berperang demi agamanya, maka apa
yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah
dan apa yang dianggap buruk oleh orang-orang Islam, maka hal itu buruk pula di
sisi Allah. (HR. Thabrani)
Secara umum „urf atau adat itu diamalkan oleh semua ulama fiqih
terutama di kalangan ulama mazhab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Hanafiyah
menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu bentuk istihsan itu adalah
istihsan al-„urf (istihsan yang menyandar pada „urf). Oleh ulama Hanafiyah, „urf
itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga didahulukan atas nash yang umum,
dalam arti „urf itu men-takhsis umum nash. Ulama Malikiyah menjadikan „urf
atau tradisi yang hidup di kalangan ahli Madinah sebagai dasar dalam menetapkan
hukum dan mendahulukannya dari hadits ahad.
Ulama Syafi‟iyah banyak menggunakan „urf dalam hal-hal tidak
menemukan ketentuan batasannya dalam syara‟ maupun dalam penggunaan
bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut:41
“Setiap yang datang dengannya syara secara mutlak, dan tidak ada ukurannya
dalam syara maupun dalam bahasa, maka dikembalikan kepada „urf
41
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 399
32
Para ulama yang mengamalkan „urf itu dalam memahami dan meng-
istinbath-kan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk menerima „urf
tersebut, yaitu:42
1. Adat atau „urf itu bernilai maslahat dan dapat diterima akal sehat. Syarat
ini merupakan kelaziman bagi adat atau „urf yang shahih, sebagai
persyaratan untuk diterima secara umum.
2. Adat atau „urf itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang yang
berada dalam lingkungan adat itu, atau di kalangan sebagian besar
warganya.
3. „Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah ada
(berlaku) pada saat itu, bukan „urf yang muncul kemudian. Hal ini berarti
„urf itu harus telah ada sebelum penetapan hukum. Kalau „urf itu datang
kemudian, maka tidak diperhitungkan.
4. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara yang ada atau
bertentangan dengan prinsip yang pasti.
Sebenarnya persyaratan ini hanya menguatkan persyaratan penerimaan
adat shahih, karena kalau adat itu bertentangan dengan nash yang ada atau
bertentangan dengan prinsip syara yang pasti, maka ia termasuk adat yang
fasid yang telah disepakati ulama untuk menolaknya.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa „urf atau adat itu digunakan sebagai
landasan dalam menetapkan hukum. Namun penerimaan ulama atas adat itu
bukanlah karena semata-mata ia bernama adat atau „urf. „Urf atau adat itu
42
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih, h. 401-402
33
bukanlah dalil yang berdiri sendiri. Adat atau „urf itu menjadi dalil karena ada
yang mendukung, atau ada tempat sandarannya, baik dalam bentuk ijma‟ atau
maslahat. Adat yang berlaku di kalangan umat berarti telah diterima sekian lama
secara baik oleh umat.
34
BAB III
KONDISI OBJEKTIF WILAYAH PENELITIAN
A. Letak Geografis Desa Gunung Sari
Desa Gunung Sari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor, dengan luas wilayah 683,240 Ha, dengan dibatasi
oleh beberapa wilayah antara lain:43
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pamijahan
Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Gunung Picung
Sebelah Selatan berbatasan dengan Gunung Salak (Kabupaten Sukabumi)
Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ciasihan
Orbitasi dan waktu tempuh dari ibu kota kecamatan 0,005 km dengan
waktu tempuh 10 menit dan dari ibu kota kabupaten 57 km dengan waktu tempuh
120 menit.44
Dilihat dari topografi dan kontur tanah, Desa Gunung Sari Kecamatan
Pamijahan secara umum berupa sawah dan daratan yang berada pada ketinggian
antara 600 M – 800 M di atas permukaan laut dengan suhu rata-rata berkisar
antara 22℃ – 28℃. Intensitas curah hujan cukup tinggi, yaitu jumlah hari dengan
curah hujan 275 hari/tahun dengan banyak curah hujan sekitar 2000 – 3000 MM/t.
43
Data diperoleh dari U. Hermawan, Sekretaris Desa Gunung Sari dalam bentuk Photo
Kopi “Profile Desa” 44
Data diperoleh dari U. Hermawan, Sekretaris Desa Gunung Sari dalam bentuk Photo
Kopi “Profile Desa”
35
Adapun bentuk wilayah Desa Gunung Sari terdiri dari 20% datar sampai
berombak, 30% berombak sampai berbukit dan 50% berbukitan sampai
bergunung.45
Dalam kelembagaan Desa, Desa Gunung Sari terbagi ke dalam tiga dusun
yaitu: Dusun Lokapurna, Dusun Cipendeuy dan Dusun Nangkasari. Jumlah
Rukun Warga adalah 9 buah dan 43 buah Rukun Tangga.46
B. Kondisi Umum Masyarakat Desa Gunung Sari
Jumlah penduduk Desa Gunung Sari sebanyak 12.369 jiwa yang terdiri
dari 6.432 laki-laki dan 5.937 perempuan dengan jumlah kepala keluarga
sebanyak 3.154 KK.47
Adapun perincian komposisi penduduk menurut penganut
agama, menurut usia, menurut mata penceharaian, dan pendidikan, dapat dilihat
dari table-tabel di bawah ini:
TABEL 1
Penduduk Berdasarkan Agama yang Dianut
No Agama Jumlah
1 Islam 12.650
2 Katolik 4
3 Protestan -
4 Hindu -
5 Budha -
6 Konghuchu -
Jumlah 12.654
45
Data diperoleh dari U. Hermawan, Sekretaris Desa Gunung Sari dalam bentuk Photo
Kopi “Profile Desa” 46
Data diperoleh dari U. Hermawan, Sekretaris Desa Gunung Sari dalam bentuk Photo
Kopi “Profile Desa” 47
Data diperoleh dari U. Hermawan, Sekretaris Desa Gunung Sari dalam bentuk Photo
Kopi “Profile Desa”
36
Jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut oleh masyarakat Desa
Gunung Sari mayoritas menganut agama Islam. Berdasarkan observasi yang
peneliti lakukan menunjukkan bahwa mayoritas agama yang dianut penduduk
Desa Gunung Sari adalah agama Islam.
TABEL 2
Penduduk Berdasarkan Usia
No Umur Jumlah Jiwa Jumlah
1 0 – 1 tahun 161 150 311
2 2 – 5 tahun 320 291 611
3 6 – 12 tahun 262 225 487
4 13 – 15 tahun 696 607 1.303
5 16 – 18 tahun 271 290 561
6 19 – 21 tahun 303 283 586
7 22 – 25 tahun 594 590 1.184
8 26 – 30 tahun 602 553 1.155
9 31 – 35 tahun 554 502 1.056
10 36 – 40 tahun 527 510 1.037
11 41 – 45 tahun 534 491 1.025
12 46 – 50 tahun 449 434 883
13 51 – 55 tahun 460 386 846
14 56 – 60 tahun 355 317 672
15 61 – 65 tahun 282 267 549
16 66 tahun ke atas 193 195 388
Jumlah 6.563 6.091 12.654
Mata pencaharian atau pekerjaan merupakan sumber pendapatan untuk
keluarga yang juga merupakan faktor penting dalam meningkatkan kesejahteraan
keluarga. Untuk mengetahui keanekaragaman mata pencaharian penduduk Desa
Gunung Sari. Dari tabel di bawah ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penduduk Desa Gunung Sari menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian, ini
terbukti dengan jumlah hampir 6.139 penduduk mengandalkan sektor pertanian.
37
TABEL 3
Penduduk Berdasarkan Matapencaharian
No Jenis Pekerjaan Jumlah
1 Petani 3.254
2 Buruh Tani 2.885
3 Pedagang 820
4 PNS 45
5 TNI/Polri 2
6 Karyawan Swasta 386
7 Wirausaha Lainnya 941
Jumlah 8.333
Pendidikan merupakan unsur penting bagi kehidupan seseorang, karena
dengan pendidikan kualitas hidup seseorang bias meningkat. Semakin tinggi
tingkat pendidikannya semakin luas wawasan berpikirnya. Untuk mengetahui
lebih jelas keadaan tingkat pendidikan masyarakat Desa Gunung Sari dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
TABEL 4
Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan
No Tingkat Pendidikan Jumlah
1 Belum Tamat SD 625
2 Tamat SD 1.245
3 Tamat SLTP 612
4 Tamat SLTA 532
5 D1 - D2 -
6 D3 / Sarjana Muda 86
7 Sarjana 176
8 Pasca Sarjana 2
Jumlah 3.278
Adapun penyediaan sarana dan prasarana bagi seluruh kegiatan dan
kesejahteraan penduduk di Desa Gunung Sari, selain mendapat bantuan dari
38
pemerintah juga sarana dan prasarana yang didapatkan dari swadaya masyarakat.
Pemenuhan sarana dan prasarana ini ada di bawah bidang pembangunan. Sarana
umum yang ada di lingkungan Desa Gunung Sari terdiri dari sarana peribadatan
(kegiatan keagamaan), sarana pendidikan, sarana ekonomi dapat dilihat pada
tabel-tabel berikut:
TABEL 5
Sarana Peribadatan
No Tempat Ibadah Jumlah
1 Masjid 25
2 Musholla 43
3 Majlis Ta‟lim 43
4 Pondok Pesantren 3
5 Gereja -
6 Vihara/Pura -
Jumlah 114
Kualitas kehidupan beragama di Desa Gunung Sari dapat dilihat dari
kesadaran masyarakat untuk mengimplementasikan ajaran agama, menciptakan
kerukunan dan toleransi antar umat beragama dalam kehidupannya. Kondisi
tersebut menciptakan hubungan yang harmonis dan kondusif. Hal-hal tersebut
dapat menunjang kesalehan sosial di masyarakat. Namun untuk memperoleh
kesalehan sosial yang optimal, masih diperlukan peningkatan pemahaman,
penghayatan dan pengamalan ajaran agama dikalangan masyarakat terutama di
kalangan peserta didik sehingga dapat menanamkan suatu pondasi yang kuat
untuk menangkal pengaruh negatif yang datangnya dari dalam maupun dari luar.
39
TABEL 6
Sarana Pendidikan
No Sarana Pendidikan Jumlah
1 Taman kanak-kanak / PAUD 1/1 buah
2 Sekolah Dasar Negeri 4 buah
3 Madrasah Ibtidaiyah -
4 SLTP/MTs 3 buah
5 SLTA/SMK 3 buah
Jumlah 11 buah
Saran dan prasarana sangat penting dalam dunia pendidikan karena
sebagai alat penggerak suatu pendidikan. Sarana dan prasarana pendidikan dapat
berguna untuk menunjang penyelenggaraan proses belajar mengajar, baik secara
langsung maupun tidak langsung dalam suatu lembaga dalam rangka mencapai
tujuan pendidikan.
TABEL 7
Sarana/Prasarana Perekonomian dan Kesehatan
No Sarana/Prasarana Perekonomian
dan Kesehatan
Jumlah
1
Perekonomian
- Koperasi -
- Perusahaan Kecil 3
- Pasar 1
- BUMDES 1
- Industri Rumah Tangga 2
2 Kesehatan
- Jumlah Dokter 1
- Jumlah Paramedis 2
- Jumlah Bidan 1
Jumlah 11
40
C. Tradisi Ngadiukeun dalam Perkawinan Adat Sunda
1. Pengertian Tradisi
Kata tradisi merupakan terjemahan dari kata turats yang berasal dari
bahasa Arab, terdiri dari unsur huruf wa-ra-tsa. Kata ini berasal dari bentuk
mashdar yang mempunyai arti segala yang diwarisi manusia dari kedua orang
tuanya, baik berupa harta maupun pangkat dan keningratan.48
Tradisi atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah
sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu
kelompok masyarakat, biasanya dari suatu kebudayaan, waktu, atau agama yang
sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang
diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa
adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Selain itu, tradisi juga dapat diartikan
sebagai kebiasaan bersama dalam masyarakat manusia, yang secara otomatis akan
mempengaruhi aksi dan reaksi dalam kehidupan sehari-hari para anggota
masyarakat itu.49
Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun dari nenek moyang yang
masih dijalankan di masyarakat. Sejak dahulu tradisipun telah ada dan menjadi
kebiasaan yang dijalani oleh masyarakat saat ini. Dalam hukum Islam istilah
tradisi lebih dikenal dengan „Urf. Urf secara etimologi merupakan sesuatu yang
dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminologi,
48
Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi, (Yogyakarta: Ar-Ruz, 2007), h. 119 49
Mulfiblog, “Pengertian Tradis”, http://tasikuntan.wordpress.com, diakses pada tanggal
11 Januari 2017
41
seperti dikemukakan Abdul Karim Zaidan, istilah Urf berarti sesuatu yang tidak
asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan yang menyatu dengan
kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan.50
2. Ngadiukeun dalam Perkawinan Adat Sunda
Ngadiukeun dalam arti bahasa adalah “menetapkan sesuatu”, sedangkan
menurut istilah adalah meminta izin kepada karuhun (roh leluhur/nenek moyang),
agar segala sesuatu selama proses pelaksanaan hajatan berjalan dengan lancar
sesuai dengan cita-cita.51
Adapun isi Ngadiukeun itu ada hadiah/tahlil, bakar kemenyan dan
menyediakan sesajen.52
Sesajen merupakan warisan kepercayaan animisme dan
dinamisme yaitu kepercayaan bahwa benda-benda atau tempat-tempat tertentu di
alam raya ini memiliki kekuatan ghaib (magic) yang dapat mencelakai seseorang
atau menolong serta memenuhi hajatnya. Agar penguasa tempat atau benda-benda
tersebut tidak mengganggu, maka harus diberi persembahan berupa sesajen.53
Penggunaan sesajen dalam tradisi Ngadiukeun merupakan simbol atau
lambang yang bermakna. Simbol dan lambang tersebut mengandung norma dan
mencerminkan nilai atau berupa nasehat untuk dijadikan pedoman dalam
menjalani hidup, khususnya dalam fase kehidupan seperti perkawinan. Di dalam
50
Satria Effendi, M. Zain, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana Perdana Media Group, 2005), h.
153-154 51
Wawancara dengan Tokoh Adat Kampung Manggasari Desa Gunung Sari, Bapak
Warja, Pada Tanggal 26 Maret 2017, Pukul 16.00 WIB, di Tempat Tinggalnya 52
Wawancara dengan Tokoh Adat Kampung Manggasari Desa Gunung Sari, Bapak
Warja 53
http://ummiyun.blogspot.com, Sesajen dalam Pandangan Islam, diakses pada tanggal
27 Mei 2017
42
simbol yang mengandung pesan-pesan dan nilai-nilai luhur tersebut ditujukan
kepada masyarakat khususnya yang mempunyai hajat. Nilai, norma atau aturan
yang terkandung dalam simbol tersebut tidak saja berfungsi sebagai pengatur
perilaku antara individu dalam keluarga dan masyarakat, akan tetapi berfungsi
juga sebagai penata hubungan manusia dengan yang Maha Tinggi dan Maha
Kuasa.
Nilai dan makna yang terdapat di dalam simbol ritual Ngadiukeun adalah
salah satu bentuk penghambaan manusia kepada yang khalik. Akan tetapi hal
tersebut sifatnya tidak formal, yaitu tidak dibakukan secara tertulis, melainkan
hidup dalam alam pikiran manusia, diakui, dan dipatuhi oleh sebagian besar
anggota masyarakat.54
3. Sejarah Tradisi Ngadiukeun
Tradisi Ngadiukeun merupakan tradisi atau kebiasaan yang sering
dilakukan oleh masyarakat Desa Gunung Sari. Tradisi ini bukanlah suatu hal yang
baru di lingkungan masyarakat. Hal ini tebukti sebagian masyarakat ada yang
masih mengadakan ritual ini ketika menjelang hajatan perkawinan.
Namun tidak ada sejarah dari mana asal usul adanya ritual Ngadiukeun ini,
kapan? Siapa yang memulai? Hal inipun sesuai dengan apa yang diungkapkan
Bapak Obay, beliau mengatakan bahwa tidak ada catatan sedikitpun mengenai
sejarah Ngadiukeun, baik secara tulisan maupun lisan. Tapi yang pasti tradisi
54
Wawancara dengan Tokoh Adat Kampung Manggasari Desa Gunung Sari, Bapak
Warja
43
Ngadiukeun adalah salah satu warisan dari para leluhur atau nenek moyang yang
diturunkan dari generasi ke generasi.55
Menurut Bapak Warja ritual Ngadiukeun ini sebenarnya sudah ada sejak
dulu sebelum islam gelarpun ritual Ngadiukeun ini sering dilakukan pada acara-
acara tertentu. Seperti saat menjelang panen dan ketika akan membangun
bangunan baru. Ritual sesajen ini sebenarnya sudah ada pada zaman Hindu yang
sampai saat ini masih di yakini dan dilakukan oleh kalangan orang tua.56
Tradisi Ngadiukeun adalah sebuah kegiatan ritual dari salah satu
komunitas suku sunda yang ada di Jawa Barat, termasuk di Kabupaten Bogor.
Upacara ini dilaksanakan sehari sebelum hajatan perkawinan dimulai, dengan
segala peraturan yang harus dipatuhi, terutama larangan dan pantangan yang harus
dihindari dari ritual ini.
Pada dasarnya ritual Ngadiukeun merupakan salah satu cara memohon
pertolongan dan perlindungan kepada Allah SWT, dimana dalam melaksanakan
hajatan tidak diganggu atau ada sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi. Menurut
salah satu warga setempat mengatakan bahwa selain kita yang hidup di alam jagad
raya ini ada makhluk lain yang mengisi alam ini, seperti hal-hal ghaib, roh-roh,
makhluk-makhluk halus dan sebagainya.57
Bahkan menurut tokoh setempat Bapak H. Udin mengatakan bahwa tradisi
Ngadiukeun sudah menjadi adat atau kebiasaan yang sudah lama ada dalam
55
Wawancara dengan Rukun Tangga (RT) Kampung Manggasari Desa Gunung Sari,
Bapak Obay, Tanggal 26 Maret 2017, Hari Minggu Pukul 15.00 WIB di Tempat Tinggalnya 56
Wawancara dengan Tokoh Adat Desa Gunung Sari, Bapak Warja 57
Wawancara dengan warga setempat, Ibu Rodiah, pada tanggal 26 Maret 2017
44
masyarakat, sehingga sangat sulit menelusuri kembali sejarah atau asal muasal
tradisi Ngadiukeun ini.58
4. Manfaat Ngadiukeun
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa di dalam pelaksanaan
Ngadiukeun terdapat sesajen, yang merupakan warisan budaya Hindu dan Budha
yang biasa dilakukan untuk memuja para dewa, roh tertentu atau penunggu tempat
(pohon, batu, persimpangan) dan lain-lain yang mereka yakini dapat
mendatangkan keberuntungan dan menolak kesialan. Bakar kemenyan, yang
bertujuan untuk mengusir roh jahat, untuk mendapatkan berkah, atau untuk tujuan
keselamatan, dan hadiah/tahlil.
Di dalam pelaksanaan Ngadiukeun terdapat beberapa manfaat
diantaranya:59
a. Bisa bersedekah kepada yang membutuhkan
b. Mendo‟akan orang-orang yang sudah meninggal
c. Berbakti kepada orang tua (seorang anak mendo‟akan kedua orang
tuanya yang sudah meninggal)
Dari berbagai macam sesaji yang disediakan dalam ritual Ngadiukeun
adalah sebagai saksi dan wujud permohonan do‟a atau permintaan kepada yang
58
Wawancara dengan Tokoh Masyarakat Kampung Manggasari, Desa Gunung Sari,
Bapak H. Udin, pada tanggal 26 Maret 2017, Hari Minggu Pukul 11.00 WIB di Tempat
TInggalnya 59
Wawancara dengan Tokoh Adat, Bapak Warja
45
maha kuasa agar dalam proses hajatan perkawinan berjalan dan seterusnya dapat
terjalin keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.
Namun, sebagaimana yang diungkapkan Bapak Warja, sesajen tersebut
merupakan persembahan kepada leluhur atau kerabat yang sudah meninggal.
Sesajen merupakan bagian dari adat yang sudah ada. Jika sesajen ditiadakan, hal
tersebut telah menyalahi adat yang telah berlaku turun menurun.
Adapun sanksi bila dalam sebuah keluarga yang akan mengadakan hajatan
perkawinan tidak melaksanakan ritual Ngadiukeun ini hanya sebatas dikucilkan,
dicemooh, dan jadi bahan omongan tetangga, karena jika tidak melaksanakan
Ngadiukeun ini ada saja gangguan dari roh-roh jahat pada saat resepsi perkawinan
yang berakibat pada si pengantin ataupun keluarganya dan hidangan yang akan
dihidangkan.
46
BAB IV
PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT TERHADAP
TRADISI NGADIUKEUN DI DESA GUNUNG SARI
A. Prosesi Ngadiukeun di Desa Gunung Sari
1. Persiapan
Upacara Adat Ngadiukeun yang dilaksanakan satu hari sebelum acara
hajatan perkawinan tentunya ada persiapan khusus, baik yang mempunyai hajat
maupun orang yang akan Ngadiukeun. Yang mempunyai hajat mempersiapkan
sesajen dalam tampir atau pisin (piring kecil) tergantung sesajen yang digunakan,
apabila sesajennya lengkap seperti kopi manis, kopi pahit, air putih, daging ayam,
berbagai potongan kue dan rokok. Tapi kalau sesajennya hanya berupa daging
ayam, cukup disimpan di atas bakul. Perlengkapan lainnya adalah pasir, garam,
dan air dalam botol.60
Adapun persiapan orang yang akan Ngadiukeun diantaranya harus suci
dari hadats kecil dan besar, untuk itu orang yang akan Ngadiukeun harus terlebih
dahulu berwudhu.
2. Waktu dan Tempat
Waktu pelaksanaan prosesi upacara adat Ngadiukeun adalah sehari
sebelum hajatan dimulai. Biasanya tempat untuk upacara ini sudah disiapkan oleh
yang mempunyai hajat, yaitu ditempatkan di sebuah ruangan atau kamar, di mana
60
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kampung Manggasari Desa Gunung Sari,
Bapak Warja, Tanggal 26 Maret 2017, Hari Minggu Pukul 16.00 WIB di Tempat TInggalnya
47
dalam ruangan itu dipakai untuk menyimpan segala macam makanan yang akan
dihidangkan (masyarakat setempat menyebutnya gowah), dan tidak boleh ada
satupun orang yang melihatnya atau mengganggunya karena bisa mengganggu
kekhusyuan dalam ritual tersebut.61
3. Tahapan-Tahapan Prosesi Upacara Adat Ngadiukeun
Dalam prosesi upacara adat Ngadiukeun ternyata berbeda, hal ini
tergantung kepada pemakaian yang mempunyai hajat, masyarakat menyebutnya
makekeun. Peneliti hanya menggambarkan dua cara dari prosesi upacara adat
Ngadiukeun, yaitu yang tidak menggunakan bahasa Jangjawokan62
dan yang
menggunakan bahasa Jangjawokan.
Cara pertama dalam prosesi upacara adat Ngadiukeun yang tidak
menggunakan bahasa Jangjawokan yaitu:63
a) Sholat hajat dua rakaat
b) Hadiah puji/tahlil
61
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kampung Manggasari Desa Gunung Sari,
Bapak Warja 62
Yang dimaksud Jangjawokan adalah bahasa sunda zaman dulu (zaman nenek moyang) 63
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kampung Manggasari Desa Gunung Sari,
Bapak Warja
48
Dilanjutkan membaca:
Surat Al-Ikhlas 3 kali
Surat Al-Falaq 3 kali
Surat An-Nass 3 kali
Surat Al-Fatihah dilanjutkan membaca surat Al-Baqarah (ayat 1-5) dan
membaca ayat 163. Membaca ayat qursi, dilanjutkan membaca ayat dalam
surat Al-Baqarah diantaranya ayat 284, 285, 286, dan dilanjutkan do‟a
tahlil.
c) Membaca Sholawat Nariyyah 11 kali yang berbunyi:
49
Artinya: “Ya Allah, limpahkanlah rahmat dan keselamatan yang
sempurna kepada junjungan kami Nabi Muhammad SAW., yang menjadi
sebab terlepasnya ikatan dan hilangnya kesusahan (kesempitan),
didatangkannya berbagai hajat, tercapainya segala yang diinginkan, dan
baiknya penutup kehidupan serta diturunkannya hujan dari awan, dengan
keagungan dan kemuliaan nabi beserta para keluarganya dan
sahabatnya, dalam setiap lirikan mata, hembusan nafas sebanyak
bilangan yang engkau ketahui”.64
d) Membaca surat Al-Fatihah, Al-Fatihah ini dibaca sebanyak 330 kali
sambil dibaca di depan segenggam pasir yang nantinya pasir ini
ditebarkan di depan rumah yang mempunyai hajat. Adapun tujuannya
adalah supaya acara hajatan lancer dan tidak terganggu oleh cuaca, yaitu
supaya tidak turun hujan.
e) Membaca ياصمد sebanyak 1140 kali sambil menggenggam garam.
Tujuannya adalah supaya apa-apa yang dimasak menjadi barokah, karena
garam merupakan unsur yang paling vital dalam mengolah masakan.
f) Membaca
Adapun tujuan membaca dzikir ini adalah agar hasil dari undangan
barokah
g) Membaca do‟a sholat hajat
64 Drs. Abu Taufiqurrahman, Terjemah Majmu‟ Syarif, (Semarang: PT Karya Toha Putra,
1989), h. 467
50
Artinya: Tiada Tuhan yang berhak disembah dengan sebenarnya
melainkan Allah SWT, maha penyantun lagi maha mulia, aku mohon
kepadamu hal-hal yang menyebabkan rahmatmu dan memantapkan hati
untuk memperoleh ampunanmu. Dan saya bermohon pula untuk
memperoleh seluruh kebaikan serta selamat dari melakukan seluruh dosa.
Janganlah hendaknya engkau meninggalkan dosa kepadaku, melainkan
engkau mengampuninya, dan meninggalkan kesusahan, melainkan
engkau melapangkannya, tiada hajat yang engkau ridhai kecuali engkau
kabulkan. Wahai Tuhan yang paling pengasih dan penyayang.65
Selanjutnya berdo‟a memohon pertolongan kepada Allah SWT apa
yang menjadi maksud atau hajat, kemudian orang yang memiliki ilmu
Ngadiukeun pindah tempat yaitu ke para rumah untuk melakukan
ngemat66
.
h) Ngemat dengan membaca;
Ngemat merupakan salah satu rangkaian yang bertujuan supaya
para undangan yang diundang oleh yang mempunyai hajat dapat hadir,
yaitu dengan meminta kehadiran para leluhur atau turunan yang telah
mendahului kita dengan mengucapkan;
65
Drs. Abu Taufiqurrahman, Terjemah Majmu‟ Syarif, (Semarang: PT Karya Toha Putra,
1989), h. 434 66
Yang dimaksud ngemat adalah mengikrarkan
51
Bacaan di atas dibaca 11 kali ke sebelah kulon (barat), 11 kali ke sebelah
wetan (timur), 11 kali ke sebelah kidul (utara) dan 11 kali ke sebelah kaler
(selatan).
Adapun jumlah dzikirnya tergantung jumlah undangan yang
diundang, pada waktu dzikir ini tempatnya yaitu ke atap rumah, dan tidak
boleh pindah tempat sebelum tahap ini selesai.
i) Tahap akhir adalah menyebarkan pasir ke sekeliling rumah yang
mempunyai hajat
Cara kedua dalam prosesi upacara adat Ngadiukeun yang menggunakan
bahasa Jangjawokan adalah sebagai berikut:67
Upacara Adat Ngadiukeun dengan cara kedua hampir sama dengan prosesi
cara yang pertama, yaitu diawali sholat hajat, tahlil. Adapun yang
membedakannya adalah cara yang kedua memakai bahasa Jangjawokan, sesajen
dan botol yang berisi air. Bahasa Jangjawokan adalah bahasa sunda karuhun yang
berupa mantera yang dibaca pada waktu upacara adat Ngadiukeun, bunyinya
adalah sebagai berikut:
Gunung aing gunung langibuana diteundeun di gunung serpong
Mihape teundeunan aing mihape ulah ditoel ulah diciwit
Ulah diganggu teundeunan aing bagian maneh di gunung serpong
Cicing-cicing baji ngajula dicangreud ku bendungan ti sajagat pajajaran
67
Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kampung Manggasari Desa Gunung Sari,
Bapak Warja
52
Iyeu naon ulung-ulung iyeu naon nu ngagulung
Iyeu naon sajagat nu timana dikumpulkeun dicangreud dipangbeasan
Ulah mundur ulah maju kalah diundang sajagat
Tah didinya teuteundeunan aing
Balangsir kade balangsir
Lamun aing nyiuk sia ulah nyiuk aya bagian nana
Bagian sia dipisin aya bagian nana
Digembrong tujuh kali aya panyampakan nana
Sajelli pangambaran midang wong sajagat kabeh
Nu diraksa ku kami, tong ngaganggu kana teuteundeunan
Abdi menta tulung kami kaharekatan kami ulah nepi diganggu
Kahareupan kami teuteundeunan kami nyalindung
Ulah aya nu ngagganggu kana teuteundeunan kami
Minta tulung ka satria gumilang68
Makna dari bacaan di atas secara garis besar adalah apa yang disimpan
oleh yang mempunyi hajat, berupa makanan yang akan dihidangkan pada acara
resepsi jangan sampai diganggu atau diambil oleh balangsir. Balangsir adalah
makhluk halus yang suka menyerap makanan yang dihidangkan, sehingga apa
yang dihidangkan akan menjadi boros. Balangsir sudah disediakan oleh yang
mempunyai hajat yaitu sesajen. Bacaan di atas juga untuk mengikat para
undangan agar dapat hadir semua.
68
Terjemahan Bahasa Indonesia:
gunung saya gunung langit jagat raya disimpan di gunung subur
Tolong simpan saya tolong jangan disentuh jangan dicubit
Jangan diganggu simpanan saya bagian kamu di gunung subur
Diam-diam wahai pengganggu dibelenggu oleh bendungan sejagat pajajaran
Ini apa yang menumpuk-numpuk
Ini apa sejagat dari mana dikumpulkan dibelenggu ditempat beras
Jangan mundur jangan maju malah diundang sejagat
Nah, disitu simpanan saya
Anak-anak hati-hati anak-anak
Kalau saya ngambil kamu dengan sendok
Jangan mengambil sembarangan karena ada bagiannya
Bagian kamu ada dipiring, ada bagiannya
Digerumut tujuh kali ada bagian waktu bertemunya
Sekarang ada bagian yang cukup seperti sejagat semua
Yang dirasakan oleh kami, jangan mengganggu pada simpanan kami
Saya minta tolong agar kami diberkahi supaya kami tidak diganggu
Kedepankan kami simpanan kami berlindung
Jangan ada yang mengganggu pada simpanan kami
Mohon tolonglah kepada satria alam
53
Selanjutnya akan dikemukakan makna dan nilai-nilai yang terkandung di
dalam simbol upacara adat Ngadiukeun, diantaranya adalah sebagai berikut:69
1. Potongan kecil daging. Maksud dan tujuannya adalah supaya daging
yang akan dihidangkan tidak boros
2. Macam-macam potongan kue kecil yang akan dihidangkan. Maksud
dan tujuan sama dengan poin nomor satu
3. Kopi pahit, kopi manis, air putih, dan rokok. Maksud dan tujuannya
adalah menyuguhi para karuhun, makhluk halus, dan roh-roh. Adapun
makna dari kopi pahit adalah bahwa tidak selamanya kehidupan itu
dengan kebahagiaan tapi ada kalanya hidup itu diuji dengan musibah,
sedangkan kopi manis bermakna bahwa manusia itu tidak selamanya
hidup dalam kesusahan, suatu saat pasti ada kesenagan. Sedangkan air
putih bermakna bahwa manusia hidup harus menjaga kesucian baik
lahir maupun batin
4. Air dalam botol yang bertujuan supaya para undangan yang belum
datang dapat hadir/menyusul
5. Pasir, bertujuan untuk mencegah terjadinya hujan dengan cara
menyebarkan pasir itu di sekeliling rumah
6. Daging ayam dan potongan ayam seperti; ceker, kepala dan tunggir.
Maksud dan tujuannya adalah supaya apa yang dimakan oleh roh-roh
atau balangsir hanya memakan sebagian ujung dari tubuh hewan yang
disembelih untuk hajat, bukan bagian tengah dari tubuh hewan tadi.
69 Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kampung Manggasari Desa Gunung Sari,
Bapak Warja
54
Adapun maknanya adalah bahwa dalam menjamu tamu kita harus
menyuguhkan sesuatu itu yang paling baik.
7. Membakar kemenyan, bertujuan untuk memberikan jalan kepada
balangsir, baik waktu datang maupun pulang agar tidak tersesat.
Pada simbol-simbol yang telah dikemukakan di atas dalam upacara adat
Ngadiukeun, ternyata masyarakat masih memegang teguh adat kebiasaannya,
yaitu nilai akan tradisi yang telah diwarisi turun temurun dari generasi ke generasi
sebelumnya. Apalagi simbol-simbol tersebut mempunyai makna yang mendalam
yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan, khususnya dalam
kehidupan keluarga yang akan mengadakan perkawinan termasuk di dalamnya
pantangan atau larangan yang harus dihindari.
Adapun pantangan atau larangan untuk keluarga serta orang-orang yang
terlibat dalam acara hajatan, pantangannya antara lain adalah sebagai berikut:70
a. Dalam memasak, masakan yang akan dihidangkan dilarang mencicipi
masakan menggunakan tangan, tapi harus menggunakan piring
b. Orang yang pertama undangan dengan beras harus disimpan di dalam
pendaringan (tempat beras) dan jangan sampai digunakan. Karena hal
ini berhubungan dengan kalimat “dicangreud dina pambeasan” yang
artinya diikat dalam pendaringan.
c. Sahibul bait, keluarga dan pihak yang terlibat dalam acara hajatan
tidak boleh sembarangan menumpahkan atau menyiramkan air. Karena
70 Wawancara Pribadi dengan Tokoh Adat Kampung Manggasari Desa Gunung Sari,
Bapak Warja
55
hal ini berhubungan dengan pasir yang telah disebarkan di sekeliling
rumah, yang menurut kepercayaannya apabila sembarangan
menumpahkan air akan terjadi hujan.
B. Pandangan Hukum Islam dan Hukum Adat Terhadap Tradisi Ngadiukeun
1. Pandangan Menurut Hukum Islam
Tradisi Upacara Adat Ngadiukeun pada perkawinan di Desa Gunung Sari
Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor ini berakar pada adat istiadat serta
kepercayaan yang sejak dahulu kala, sebelum agama Islam masuk di Indonesia
telah diturut dan senantiasa dilakukan.71
Ajaran nenek moyang tersebut sampai saat ini masih melekat dan dijalani.
Salah satu bentuk nyata ajaran mewujudkan rasa syukur dan terima kasih tersebut
adalah menghaturkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada
arwah leluhur dengan disertai selametan atau membuat sesaji.72
Untuk mengetahui bagaimana tradisi upacara adat Ngadiukeun dalam
hukum Islam maka penulis di sini akan menjelaskan hubungan yang mendalam
antara Ngadiukeun dengan keimanan atau kepercayaan. Karena keduanya saling
berkaitan, sehingga dalam penjelasan ini akan dapat dikatakan apakah
Ngadiukeun bertentangan atau tidak dengan hukum Islam.
Kepercayaan adalah ideologi yang mendasar pada diri seseorang atau
masyarakat berupa suatu sudut pandang yang berdasarkan keyakinan, logika dan
71
Wawancara pribadi dengan Tokoh Adat Kampung Mangga Sari Desa Gunung Sari,
Bapak Warja 72
Wahyana Giri, Sesajen dan Ritual Orang Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2009), cet-1, h.
43-44
56
wawasan tertentu serta didukung oleh penalaran sistematis yang berkaitan dengan
masalah yang ghaib ataupun kebendaan dan masalah keyakinan (iman).
Sedangkan iman adalah keyakinan, ketetapan hati, keteguhan hati atau percaya
terhadap Allah SWT, malaikat, kitab-kitabnya, para utusannya, hari akhir dan
baik buruknya takdir.73
Sebagaimana dijelaskan dalam hadits Umar yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim mengenai pengertian iman yaitu:
Artinya: “Iman ialah jika engkau beriman kepada Allah SWT, para malaikatnya,
kitab-kitabnya, utusan-utusannya, hari akhirat, beriman kepada qadar dan yang
baik dan buruk”.
Menurut Hasbi Ash-Shidieqy, iman yaitu menyatu padukan ucapan lidah
dengan pengakuan hati dan mengikrarkan dengan lidah, membenarkan yang
diikrarkan lidah itu dengan hati dan melaksanakan keduanya dengan anggota
tubuh.75
Adapun dalil-dalil yang berkaitan dengan iman dan syirik diantaranya:
QS. Al-Baqarah ayat 165
73
Ibnu Taimiyah, Al-Iman, Darul Falah Jakarta Timur, 1998, h. 2 74
Adib Bisri Mustofa, Terjemah Shohih Muslim, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), h. 1 75
Hasbi Ash-Shidieqy, Al-Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), h. 41
57
Artinya: “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-
tandingan selain Allah SWT. mereka mencintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah SWT. adapun orang-orang yang berriman dzalim itu mengetahui
ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat) bahwa kekuatan itu kepunyaan
Allah SWT semuanya. Dan bahwa Allah SWT amat berat siksanya (niscaya
mereka menyesal)”. (QS. Al-Baqarah: 165)
Dalam surat Al-Baqarah ayat 165 ini sangat jelas, bahwa bagi umat
muslim yang menyembah, mengharap pertolongan dan mencintai tandingan-
tandingan Allah SWT dengan menyamakan kepada Allah SWT, berarti mereka
telah melakukan perbuatan yang sangat dilarang oleh Allah SWT dan
mendapatkan dosa yang amat besar karena telah berbuat syirik.
Dalam surat An-Nisaa ayat 48 Allah SWT berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia
akan mengampuni segala dosa yang selain syirik, bagi siapa yang
dikehendakinya. Barang siapa yang mempersekutukannya (Allah SWT) maka
sungguh dia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. An-Nisaa: 48)
Dalam ayat ini terlihat dengan jelas, bahwa kemurkaannya terhadap umat
muslim yang menyembah tandingan-tandingannya, tidak ada ampunan bagi diri
mereka, tetapi Allah SWT mengampuni perbuatan dosa selain syirik.
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukan iman mereka
dengan kedzaliman (syirik). Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan
58
keimanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk”. QS. Al-
An‟am: 82
Pada pendapat yang lain definisi syirik ialah syirik berasal dari kata
syarika, secara harfiah berarti kongsi, sekutu, rekan atau mengambil bagian
pemegang andil. Menurut syariah, syirik mempunyai arti kemusyrikan atau
pemujaan berhala. Sejak seseorang menghubungkan makhluk-makhluk lainnya
dengan Allah, dia disebut musyrik. Lawan dari syirik adalah tauhid, yang dapat
diartikan penolakan tehadap segala rupa persekutuan dengan Allah SWT.76
Pada dasarnya budaya dan ritual Ngadiukeun ini tidak terlepas dari nuansa
dan muatan kesyirikan. Kesyirikan tersebut tampak nyata ketika melakukan ritual
sesajen yang diyakini oleh masyarakat bila tidak ada sesajen maka banyak
gangguan dari roh-roh jahat yang berakibat pada sang pengantin dan keluarga
yang mempunyai hajat serta gangguan cuaca berupa datangnya hujan pada saat
acara resepsi perkawinan.
Dalam hal ini, lurus berakidah dan bertauhid, serta agama yang toleran
pada sisi amal perbuatan dan pembuatan syariat. Lawan dari dua hal ini (agama
yang berttauhid dan toleransi) adalah syirik dan mengharamkan yang halal.
Sebagaimana hadits berikut ini:
76
Muhammad Ibrahim, H.i. Surty, Al-Qur‟an Membasmi Syirik, (Jakarta: Panjimas,
1987), cet ke-1, h. 20
59
Artinya: “Seseungguhnya aku telah menciptakan hamba-hambaku dengan agama
yang lurus. Namun, kemudian datanglah syaithon dan membolehkan agama
mereka, dengan mengharamkan apa yang telah aku halalkan, dan menyuruh
mereka untuk mempersekutukan aku dengan apa yang aku tidak memberikan
kepadanya kekuasaan sedikitpun”. (HR. Ahmad)78
Islam sebagai agama wahyu (agama samawi) yang mempunyai tujuan
“Rahmatan lil al-„alamin”, mempunyai tingkat apresiasi (penghargaan) yang
tinggi terhadap “tradisi” masyarakat, selama tradisi tersebut tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Hal itu sangat ma‟qul (logis), mengingat
kedudukan Islam sebagai agama global, yang dakwahnya menyentuh masyarakat
dunia tanpa kecuali, sekaligus sebagai agama akhir (penutup) yang membingkai
kehidupan manusia sampai hari kiamat, dengan segala perkembangan kemajuan
dan dinamika peradabannya, termasuk segala bentuk tradisi lokal dan nasional
yang berkembang sepanjang waktu dan disemua tempat.
Dalam kajian ushul fiqh, masalah tradisi (al-„urf) mendapat perhatian
cukup besar. Di antara empat mazhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hambali)
dua diantaranya, yaitu mazhab Hanafi dan Maliki yang yang luas sekali
menggunakan tradisi sebagai landasan/dalil Istimbath dan memandangnya sebagai
prinsip dasar pijakan berijtihad, selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan
nash yang pasti (nash qoth‟i). dalam mazhab Syafi‟i, tradisi (al-„urf) juga
77
Al-Hafidz Abi Al-Qosim At-Thabrani, Mu‟jam Al-Kabir Lithabrani, (Maktabah al-
Ulum Wa Hukum, 1983), Juz 17, h. 358, no Hadits 987 78
Yusuf Al-Qardhawi, Halal Haram dalam Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana,
2005), cet ke-2, h. 29
60
diperhatikan apabila tidak terdapat nash atau dasar-dasar lain berupa ijma‟ atau
qiyas yang dapat dijadikan pijakan dalam melakukan ijtihad. Hal yang serupa juga
berlaku pada mazhab Hambali. Masalah apresiasi terhadap tradisi sebagai acuan
dan pijakan istimbath ini.79
Fiqih memang tidak menjelaskan mengenai tradisi Ngadiukeun. Tradisi
Ngadiukeun hanya dijelaskan di dalam salah satu adat di Indonesia khususnya di
Jawa Barat. Meskipun demikian, pada dasarnya adat yang sudah memenuhi syarat
dapat diterima secara prinsip.80
Bahkan di dalam kaidah fiqh menyebutkan bahwa:
“Kebiasaan (tradisi) itu bisa menjadi hukum”
Ulama sepakat dalam menerima adat. Adat yang dalam perbuatan itu
terdapat unsur manfaat dan tidak ada unsur mudharat atau unsur manfaatnya lebih
besar dari unsur mudharatnya serta ada yang pada prinsipnya secara substansial
mengandung unsur maslahat, namun dalam pelaksanaannya tidak dianggap baik
oleh Islam. Adat dalam bentuk itu dikelompokkan kepada adat atau Urf yang
shahih.82
Ulama yang mengamalkan adat sebagai dalil hukum menetapkan 4 syarat dalam
pengamalannya:83
a. Adat itu bernilai maslahat
79
Muhammad Tolhah Hasan, Ahlussunnah Wal Jama‟ah, dalam Persepsi dan Tradisi
NU, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), cet ke-3, h. 209-210 80
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 74 81
Ahmad Sudirman Abbas, Qawa‟id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Radar
Jaya Offset, 2004), h. 155 82
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 395 83
Amir Syarifuddin, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, h. 74
61
b. Adat itu berlaku umum dan dan merata dikalangan orang-orang yang
berada dalam lingkungan tertentu
c. Adat itu telah berlaku sebelum kasus yang akan ditetapkan hukumnya
d. Adat itu tidak betentangan dengan nash84
Melihat dari segi penilaian baik dan buruknya, adat atau Urf terbagi
menjadi dua macam, yaitu Urf Shahih dan Urf Fasid. Urf Shahih ialah sesuatu
yang telah saling dikenal oleh manusia dan tidak bertentangan dengan dalil syara‟,
juga tidak menghalalkan yang haram dan juga tidak membatalkan yang wajib.85
Sedangkan Urf Fasid yaitu apa yang saling dikenal orang, tapi berlainan dari
syariat, atau menghalalkan yang haram, atau membatalkan yang wajib.86
Apabila ketentuan tersebut dipraktikan pada tradisi Ngadiukeun di Desa
Gunung Sari maka dapat dianalisis bahwa tradisi Ngadiukeun tersebut termasuk
Urf yang Fasid, karena Urf tersebut bertentangan dengan nash yang melarang
berbuat syirik. Sedangkan dalam pelaksanaan tradisi Ngadiukeun terdapat unsur
kesyirikan.
Dari sini akan muncul suatu pertanyaan yaitu mengapa tradisi Ngadiukeun
masih tetap dilakukan masyarakat Desa Gunung Sari walaupun di dalamnya
terdapat unsur-unsur kemusyrikan?
Pertanyaan di atas penting dikemukakan di sini karena di satu sisi
masyarakat Desa Gunung Sari mempercayai suatu kebenaran agamanya, akan
84
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1996), h. 144 85
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah:
Noer Iskandar al-Barsany, Moh. Tolhah Mansoer, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h.
131 86
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah: Halimuddin, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2005), h. 105
62
tetapi di sisi lain mereka mempercayai bahwa tradisi Ngadiukeun merupakan
suatu keharusan dan kewajiban bagi masyarakat Desa Gunung Sari akan
kepercayaan nenek moyangnya.
Adapun sebab mengapa Ngadiukeun masih dipercayai dan dilaksanakan
oleh masyarakat Desa Gunung Sari dalam acara perkawinan adalah karena
masyarakat Desa Gunung Sari mempercayai bahwa apabila telah melaksanakan
upacara adat Ngadiukeun pada acara resepsi pernikahannya akan berjalan dengan
lancar dan mendapat berkah dari roh leluhur/nenek moyang.
Dari uraian di atas dapat kita lihat bahwa dalam tradisi Ngadiukeun
terdapat manfaat dan mudharatnya. Di antara mudharatnya ialah bahwa dalam
tradisi Ngadiukeun terdapat dua keyakinan antara keyakinan kepada Allah SWT
dan keyakinan terhadap roh nenek moyang mereka serta mempercayai bahwa
ketika tidak melaksanakan tradisi Ngadiukeun maka roh-roh akan mengganggu.
Hal ini dikhawatirkan membawa dampak kemusyrikan bagi pelakunya. Dengan
demikian prosesi upacara adat Ngadiukeun yang dilakukan masyarakat Desa
Gunung Sari apapun alasannya itu tidak dibenarkan karena masyarakat Desa
Gunung Sari mayoritas beragama Islam. Begitu juga ditinjau dari segi „urf sebagai
dalil hukum, tradisi Ngadiukeun termasuk ke dalam urf fasid karena bertentangan
dengan nash. Oleh karena itu, kebiasaan masyarakat Desa Gunung Sari ini harus
diubah sesuai dengan ajaran Islam dalam Al-Qur‟an, Hadits, dan Fiqh.
63
2. Tradisi Ngadiukeun menurut Hukum Adat
Dalam kamus istilah fiqh “adat” adalah himpunan kaidah sosial dalam
masyarakat luas, tidak termasuk hukum syara‟ (agama). Kaidah-kaidah tersebut
ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, seolah kehendak atau peraturan nenek
moyang mereka, bahkan seolah sesuatu itu bersumber dari Tuhan.87
Hubungannya dengan “hukum” adalah bahwa adat atau kebiasaan dapat
menjadi atau dijadikan hukum dengan syarat tidak bertentangan dengan
kepentingan umum. Di dalam pengantar Ilmu Hukum kita ketahui bahwa adat
atau kebiasaan adalah merupakan salah satu dari sumber hukum.88
Dengan
diterimanya dan dipakainya istilah hukum adat yang kemudian menjadi salah satu
cabang Ilmu Hukum, maka timbul beberapa definisi yang merumuskan istilah
tersebut.
Beberapa pengertian mengenai hukum adat, diantaranya yaitu sebagai
berikut:89
a. Hardjito Notopuro
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan
dengan ciri khas yang merupakan pedoman kehidupan rakyat dalam
menyelenggarakan tata keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan
bersifat kekeluargaan.
b. Cornelis van Vollenhoven
87
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi‟ah, Kamus Istilah Fiqh, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2002), cet ke-3, h. 3 88
http://artikelfakta.blogspot.com Makalah Hukum Adat, diakses pada tanggal 27 Mei
2017 89
Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1976), h. 22
64
Hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku bagi
orang pribumi dan Timur asing pada satu pihak mempunyai sanksi
(karena bersifat hukum), dan pada pihak lain berada dalam keadaan
tidak dikodifikasikan (karena adat).
c. Ter Haar
Hukum adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam
keputusan-keputusan dengan penuh wibawa yang dalam
pelaksanaannya “diterapkan begitu saja”, artinya tanpa adanya
keseluruhan peraturan yang dalam kelahirannya dinyatakan mengikat
sama sekali.
d. Prof. Dr. Soepomo
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis di dalam peraturan
tidak tertulis, meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak
ditetapkan oleh yang berwajib tetapi ditaati dan didukung oleh rakyat
berdasarkan atas keyakinan bahwasanya peraturan-peraturan tersebut
mempunyai kekuatan hukum.
Di lihat dari batasan-batasan pengertian di atas maka dapat
terbentuk unsur-unsur hukum adat diantaranya:90
a. Adanya tingkah laku yang terus menerus dilakukan oleh
masyarakat
b. Tingkah laku tersebut teratur dan sistematis
90
http://muhajirinsyukurmaruapey.blogspot.com, Sejarah, Pengertian, dan Istilah Hukum
Adat di Indonesia, diakses pada tanggal 25 April 2017
65
c. Tingkah laku tersebut mempunyai nilai sacral
d. Adanya keputusan kepala adat
e. Adanya sanksi/akibat hukum
f. Tidak tertulis
g. Ditaati dalam masyarakat
F. D. Holleman di dalam pidato inagurasinya yang berjudul de commune
trek in het Indonesische rechtsleven (corak ke gotong royongan di dalam
kehidupan hukum Indonesia) menyimpulkan bahwa ada 4 sifat umum hukum adat
Indonesia yaitu:91
1. Sifat Religio-Magis. Khususnya mengenai sifat ini Dr. Koentjaraningrat di
dalam tesisnya menulis bahwa, alam pikiran religio-magis itu mempunyai
unsur-unsur:
a. kepercayaan kepada makhluk-makhluk halus yang menempati seluruh
alam semesta, dan gejala-gejala alam, tumbuh-tumbuhan, binatang dan
tubuh manusia
b. kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam
semesta
c. anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dapat dipergunakan
sebagai “Magische Kracht” (kekuatan magis dalam berbagai ilmu
gaib, untuk mencapai kemauan manusia atau menolaknya.
91
http://artikelfakta.blogspot.com Makalah Hukum Adat, diakses pada tanggal 27 Mei
2017
66
d. Anggapan bahwa kekuatan sakti dalam alam semesta menyebabkan
krisis, timbulnya berbagai macam bahaya gaib atau untuk
menghindarkannya.
Prof. Bushar Muhammad mengatakan orang Indonesia pada dasarnya
berpikir dan bertindak didorong oleh kepercayaan kepada tenaga-tenaga
gaib yang mengisi, menghuni seluruh alam semesta.
2. Sifat Komunal
Merupakan salah satu segi atau corak yang khas dari suatu masyarakat
yang masih hidup terpencil dan kehidupannya sehari-hari sangat
tergantung kepada tanah atau alam pada umumnya. Dalam masyarakat
semacam itu selalu terdapat sifat lebih mementingkan keseluruhan dan
lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individual.
3. Sifat Kontan
Mengandung pengertian bahwa dengan sesuatu perbuatan nyata, suatu
perbuatan simbolis atau suatu pengucapan, perbuatan/tindakan hukum
yang dimaksud telah selesai seketika itu juga. Dengan demikian segala
sesuatu yang terjadi sebelum dan sesudah perbuatan simbolis itu adalah di
luar akibat-akibat hukum dan dianggap tidak ada sangkut pautnya atau
sebab akibatnya menurut hukum
4. Sifat Nyata
Untuk sesuatu yang dikehendaki atau diinginkan akan ditransformasikan
atau diwujudkan dengan sesuatu benda, diberi tanda yang kelihatan baik
67
langsung (sesungguhnya) maupun hanya menyerupai obyek yang
dikehendaki.
Adapun analisis teori-teori hubungan hukum adat dengan hukum Islam di
Indonesia adalah sebagai berikut:92
1. Teori “Receptio in Complexu”
Secara bahasa, Receptio in Complexu berarti “penerimaan secara
utuh” (meresepsi secara sempurna)”. Mr. Lodewijk Willem Christian Van
Der Berg, sebagai pencetus teori ini mengatakan bahwa bagi pemeluk
agama tertentu berlaku hukum agamanya. Untuk kaum Hindu berlaku
hukum Hindu, untuk kaum Keristen berlaku hukum Keristen dan untuk
kaum Islam berlaku hukum Islam.
Menurut ajaran Van der Berg, hukum pribumi ikut agamanya. Jika
memeluk suatu agama, maka harus juga mengikuti hukum-hukum agama
itu dengan setia. Jika dapat dibuktikan bahwa satu atau beberapa bagian,
adat-adat seutuhnya atau bagian-bagian kecil sebagai kebalikannya, maka
terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam hukum agama itu, yaitu
ajaran agama yang telah berasimilasi dengan tradisi lokal, seperti upacara
kematian dan perkawinan.
2. Teori “Resepsi” (Receptie Theory)
Teori resepsi adalah kebalikan dari teori “receptio in complex”.
Secara bahasa berarti “penerimaan, pertemuan”. Hukum adat sebagai
92
Yaswirman, Hukum Keluarga; Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam dan Adat
dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013), h. 63
68
penerima, hukum Islam sebagai yang diterima. Jadi, hukum Islam baru
bisa berlaku jika telah diterima atau masuk ke dalam hukum adat, maka
secara lahirnya ia bukan lagi hukum Islam, tetapi sudah menjadi bagian
dari hukum adat. Menurut teori ini, bangsa Indonesia pada hakikatnya
bukan bangsa yang tidak punya tatanan hukum atau aturan, kendati baru
dalam bentuk yang sederhana. Tatanan hukum atau aturan itu sebenarnya
telah ada sejak lama, yang berasal dari tradisi yang telah mengakar di
dalam masyarakat. Tradisi itu disebut dengan adat kebiasaan, yang
kemudian menjadi “Hukum Adat”.
3. Teori “Receptio a Contrario”
Secara bahasa teori Receptio a Contrario berarti “penerimaan yang
tidak bertentangan”. Hukum yang berlaku bagi umat Islam di Indonesia
adalah hukum Islam, hukum adat baru bisa berlaku kalau tidak
bertentangan dengan hukum Islam.
Dari hasil penelitian yang penulis temukan dapat dianalisis bahwasanya
Ngadiukeun merupakan budaya lokal yang ada di masyarakat Desa Gunung Sari.
Kepercayaan terhadap tradisi Ngadiukeun sudah merupakan bagian dari kebiasaan
masyarakat Desa Gunung Sari yang tidak boleh ditinggalkan meskipun dalam
bentuk upacara yang sangat sederhana. Tradisi Ngadiukeun ini adalah adat atau
kebiasaan yang telah mengakar di dalam masyarakat Desa Gunung Sari yang
bersifat Religio-Magis kepercayaan masyarakat yang tidak mengenal pemisahan
antara dunia lahir (nyata) dengan dunia ghaib yang ke duanya harus seimbang.
69
Menurut teori resepsi, bangsa Indonesia pada hakikatnya bukan tidak
punya tatanan hukum atau aturan, kendati baru dalam bentuk yang sederhana.
Tatanan hukum atau aturan itu sebenarnya telah ada sejak lama, yang berasal dari
tradisi yang telah mengakar di dalam masyarakat. Tradisi itu disebut dengan adat
kebiasaan, yang kemudian menjadi hukum adat. Dengan demikian tradisi
Ngadiukeun yang telah mengakar di dalam Masyarakat Desa Gunung Sari sudah
menjadi adat kebiasaan yang kemudian bisa menjadi hukum adat.
Masyarakat Desa Gunung Sari yang mayoritas menganut agama Islam
masih melaksanakan ritual sesajen yang sebenarnya ritual sesajen ini merupakan
kebiasaan yang dilakukan oleh para leluhur sebelum Islam atau budaya Hindu
yang masih dibawa sampai saat ini dan masih sering dilakukan oleh para orang tua
di Desa Gunung Sari, maka dalam hal ini berlaku teori Receptio in Complexu
bahwa bagi pemeluk agama tertentu berlaku hukum agamanya. Untuk kaum
Hindu berlaku hukum Hindu dan untuk kaum Islam berlaku hukum Islam.
Namun dalam kenyataannya diantara kedua hukum itu sebagian
masyarakat masih memegang teguh adat kebiasaan yang didasarkan pada
keyakinan yang sudah mengakar secara turun temurun dan di sebagian masyarakat
tradisi Ngadiukeun sudah hilang karena dengan seiringnya waktu dan zaman yang
semakin modern serta dibantu dengan kuatnya dakwah Islam sehingga banyak
generasi muda yang lebih memahami tentang hukum Islam.
70
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian di Desa Gunung Sari tentang tradisi
Ngadiukeun penulis menyimpulkan bahwa:
1. Prosesi Ngadiukeun pada perkawinan di Desa Gunung Sari Kecamatan
Pamijahan Kabupaten Bogor dilakukan dengan dua tahapan, yaitu:
pertama tahap persiapan dan kedua tahap pelaksanaan. Pada tahap
persiapan dilakukan persiapan sesajen dan persiapan untuk orang yang
akan Ngadiukeun diantaranya harus suci dari hadats kecil dan hadats besar,
untuk itu orang yang akan Ngadiukeun harus terlebih dahulu berwudhu.
Sedangkan pada tahap pelaksanaan dilakukan sholat hajat, tahlil, membaca
sholawat nariyah, membaca surat al-fatihah, membaca yaa somadu,
membaca yaa kafi yaa goniyu yaa fatahu yaa razaku, membaca do‟a sholat
hajat dan dzikir, ngemat dan menyebarkan pasir disekeliling rumah.
2. Makna dari benda-benda yang dipakai pada saat ritual Ngadiukeun
perkawinan di Desa Gunung Sari Kecamatan Pamijahan Kabupaten Bogor
adalah simbol budaya. Simbol budaya tersebut mengandung makna yang
dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat, bahwa dalam hidup
haruslah seimbang antara hubungan manusia dengan manusia, manusia
dengan alam, dan manusia dengan Allah SWT.
71
3. Ditinjau dari perspektif hukum Islam bahwa pada tradisi Ngadiukeun
terdapat manfaat dan mudharatnya. Diantara mudharatnya ialah bahwa
dalam tradisi Ngadiukeun terdapat dua keyakinan antara keyakinan kepada
Allah SWT dan keyakinan terhadap roh nenek moyang mereka serta
mempercayai bahwa ketika tidak melaksanakan tradisi Ngadiukeun maka
roh-roh jahat akan mengganggu dan tidak mendapat berkah dari para
karuhun. Dengan demikian tradisi Ngadiukeun ini tidak sesuai dengan
hukum Islam karena dalam Islam dilarang menyembah, berharap
pertolongan dan mencintai tandingan-tandingan Allah SWT dengan
menyamakan kepada Allah SWT karena itu disebut syirik atau musyrik.
Sedangkan tinjauan menurut hukum adat, tradisi Ngadiukeun ini
adalah adat atau kebiasaan yang telah mengakar di dalam masyarakat Desa
Gunung Sari yang bersifat Religio-Magis. Masyarakat Desa Gunung Sari
yang mayoritas menganut agama Islam maka berlaku teori “Receptio in
Complexu” bahwa bagi pemeluk agama tertentu berlaku hukum
agamanya. Dalam kenyatannya di antara kedua hukum tersebut sebagian
masyarakat masih memegang teguh adat kebiasaan yang didasarkan pada
keyakinan yang sudah mengakar secara turun temurun dan di sebagian
masyarakat tradisi Ngadiukeun sudah hilang seiringnya waktu dan zaman
serta kuatnya dakwah Islam.
72
B. Saran
Mengingat tradisi upacara adat Ngadiukeun pada masyarakat Desa
Gunung Sari yang dalam tata cara dan prakteknya tidak sejalan dengan nilai-
nilai hukum Islam, maka saran penulis adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pemahaman tentang tradisi/adat yang sesuai dengan
tuntunan syari‟at Islam, baik dengan pendekatan keluarga, maupun
dengan cara pengajian-pengajian atau ceramah (dakwah) kepada
masyarakat Desa Gunung Sari tentang tradisi-tradisi dalam Islam.
2. Penggunaan sesajen dalam ritual Ngadiukeun dapat di ubah atau
dihilangkan dengan cara sholat hajat, doa, dzikir, dan hadiah/tahlil tanpa
harus menggunakan sesajen
3. Bersosialisasi pada masyarakat mengenai adat pernikahan dan
ketauhidan/keimanan kepada Allah SWT dan memberikan pendidikan
agama kepada anak-anak dan generasi muda melalui pengajian-pengajian,
pendidikan di sekolah, dan terutama pendidikan dalam keluarga oleh
kedua orang tua.
73
DAFTAR PUSTAKA
Sopyan, Yayan, Islam Negara: Transformasi Hukum Perkawinan Islam
Dalam Hukum Nasional, Jakarta: PT. Wahana Semesta Intermedia, 2012
Kelsen, Hans, Dasar-Dasar Hukum Normatif, Penerjemah Nurulita
Yusron, Bandung: Nusa Media, 2009
Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia Jakarta:Raja Grafindo
Persada, 2003
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah: Kajian Islam Kontemporer,
Bandung: Penerbit Angkasa, 2005
Mukhtar, Kamal, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta:
PT. Bulan Bintang, 1974
M. Nasir, Metode Penelitian, Jakarta : Ghakia Indonesia, 1985
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Arifin, Metode Penelitian Hukum
Ciputat : Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010
Arikunto Suharsimi “ Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik”
Jakarta : PT. Rineka Cipta, 1993
Rully Indrawan dan Poppy Yaniawati “ Metodologi Penelitian “ Bandung
: PT. Refika Aditama, 2014
Quraish Shihab, M.B. Hooker, Islam Mazhab Indonesia, Fatwa-Fatwa dan
Perubahan Sosial, Jakarta: Teraju, 2002
Departemen Agama, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Jakarta: CV. Indah
Press, 1996
Dep Diknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2008
Al-Zuhaili, Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuh, Beirut: Dar al-Fikr,
1989
Sabiq, As-Sayid, Fiqh Al-Sunnah, Beirut: Dar al-Kitab al-„Anabi, 1973
Abdur Rahman Al-Ghazaly, Fiqh Munakahat, Bogor: Kencana, 2003
Abdurrahman, al-Jaziri, Kitab „ala Mazhab al-Arba‟ah, t.tp: Dar Ihya al-
Taurus al-Arabi, 1986
74
Syarifuddin, Amir Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana, 2007
Ramulyo M. Idris, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Ind-Hillco, 1990
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974. Lihat juga Hilman Hadikusuma,
Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Pandangan Hukum Adat, Hukum Agama,
Bandung: Mandar Maju, 1990
Purwadi, Upacara Tradisional Jawa, Menggali Untaian Kearifan Lokal,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
Setiady, Tolib, Intisari Hukum Adat Indonesia (Dalam Kajian
Kepustakaan), Bandung: Alfabeta, 2003
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 1
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, UU No. 1/1974
sampai KHI Jakarta: Kencana, 2006
H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat, Kajian Fiqh Nikah
Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers, 2009
Syaikh Kamil Muhammad „Uwaidah, Fiqh Wanita, Jakarta: Pustaka Al-
Kautsar, 1998
Ibnu Rusyd al-Qurtuby al-Andalusi, Bidayah al-Mujtahid, juz II, Beirut,
Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Pandangan
Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Mandar Maju, 1990
az-Zuhaili Wahbah; Penerjemah, Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Fiqh
Islam wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani, 2011
Syafe‟i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqh, Bandung: Pustaka Setia, 2007
Khallaf Wahab Abdul, Ilmu Ushul Fiqih, Kaidah Hukum Islam, Jakarta:
Pustaka Amani, 2003
Harun Nasrun, Ushul Fiqih, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997
Djazuli dan Nurol Aen, Ushul Fiqih Metode Hukum Islam, Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2000
Syarifuddin Amir, Ushul Fiqih, Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2008
Riyadi Ali Ahmad, Dekonstruksi Tradisi, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2007
75
Mulfiblog, “Pengertian Tradis”, http://tasikuntan.wordpress.com,
M. Zain Satria Effendi, , Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana Perdana Media
Group, 2005
http://ummiyun.blogspot.com, Sesajen dalam Pandangan Islam,
Drs. Abu Taufiqurrahman, Terjemah Majmu‟ Syarif, Semarang: PT Karya
Toha Putra, 1989
Giri Wahyana, Sesajen dan Ritual Orang Jawa, Yogyakarta: Narasi, 2009
Taimiyah Ibnu, Al-Iman, Darul Falah Jakarta Timur, 1998
Mustofa Bisri Adib, Terjemah Shohih Muslim, Semarang: CV. Asy-Syifa,
1992
Ash-Shidieqy Hasbi, Al-Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1987
Surty Ibrahim, H.i Muhammad., Al-Qur‟an Membasmi Syirik, Jakarta:
Panjimas, 1987
At-Thabrani Abi Al-Qosim Al-Hafidz, Mu‟jam Al-Kabir Lithabrani,
Maktabah al-Ulum Wa Hukum, 1983
Al-Qardhawi Yusuf, Halal Haram dalam Islam, (Jakarta: Akbar Media
Eka Sarana, 2005
Hasan Tolhah Muhammad, Ahlussunnah Wal Jama‟ah, dalam Persepsi
dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005
Syarifuddin Amir, Garis-Garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2012
Abbas Sudirman Ahmad, Qawa‟id Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh,
Jakarta: Radar Jaya Offset, 2004
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2009
Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh 1, Jakarta: Logos, 1996
Khallaf Wahab Abdul, Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Ilmu Ushul Fiqh,
Penerjemah: Noer Iskandar al-Barsany, Moh. Tolhah Mansoer, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002
Khallaf Wahab Abdul, Ilmu Ushul Fiqh, Penerjemah: Halimuddin,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005
Mujieb M. Abdul, Mabruri Tholhah, Syafi‟ah, Kamus Istilah Fiqh,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002
http://artikelfakta.blogspot.com Makalah Hukum Adat
76
Muhammad Bushar, Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita,
1976
http://muhajirinsyukurmaruapey.blogspot.com, Sejarah, Pengertian, dan
Istilah Hukum Adat di Indonesia,
http://artikelfakta.blogspot.com Makalah Hukum Adat,
Yaswirman, Hukum Keluarga; Karakteristik dan Prospek Doktrin Islam
dan Adat dalam Masyarakat Matrilineal Minangkabau Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2013
Wawancara Tokoh Adat Desa Gunung Sari Bapak Warja
Wawancara Tokoh Agama Desa Gunung Sari Bapak H.Udin
77
LAPORAN WAWANCARA
DENGAN TOKOH ADAT DESA GUNUNG SARI
BAPAK WARJA, S
1. Apa yang dimaksud dengan Ngadiukeun?
Jawab: Ngadiukeun dalam arti bahasa adalah “menetapkan sesuatu”.
Sedangkan menurut istilah adalah meminta izin kepada karuhun (roh
leluhur/nenek moyang), agar segala sesuatu selama proses pelaksanaan
hajatan berjalan dengan lancar sesuai dengan cita-cita
2. Bagaimana prosesi atau tahapan dalam ritual Ngadiukeun?
Jawab: dalam tahapan ritual Ngadiukeun ini tergantung kepada pemakaian
yang mempunyai hajat (makekeun), ada yang menggunakan bahasa
Jangjawokan da nada juga yang tidak. Tahapan yang menggunakan bahasa
jangjawokan yaitu dengan cara mempersipkan sesajen dan mngucapkan
mantera-mantera. Sedangkan yang tidak menggunakan bahasa
jangjawokan yaitu dengan cara sholat hajat, hadiah puji/tahlil, membaca
sholawat nariyah, membaca doa sholat hajat, ngemat, menyebarkan pasir
disekeliling rumah
3. Bagaimana sejarah Ngadiukeun?
Jawab: tradisi Ngadiukeun sebenarnya sudah ada sebelum Islam datang.
Tradisi Ngadiukeun sudah ada sejak zaman Hindu. Namun tidak ada
catatan sedikitpun mengenai sejarah Ngadiukeun, baik secara tulisan
maupun lisan, yang pasti tradisi Ngadiukeun adalah salah satu warisan dari
78
para leluhur atau nenek moyang yang diturunkan dari generrasi ke
generasi
4. Kapan dilaksanakannya ritual Ngadiukeun?
Jawab: ritual Ngadiukeun dilaksanakan satu hari sebelum hajatan dimulai,
tempatnya sudah disiapkan sama yang mempunyai hajat yaitu ditempatkan
di sebuah ruangan atau kamar (gowah). Di mana dalam ruangan itu
dipakai untuk menyimpang segala macam makanan yang akan
dihidangkan
5. Apa makna yang disimbolkan dari benda-benda ritual Ngadiukeun?
Jawab: Potongan kecil daging. Maksud dan tujuannya adalah supaya
daging yang akan dihidangkan tidak boros, Kopi pahit, kopi manis, air
putih, dan rokok. Maksud dan tujuannya adalah menyuguhi para karuhun,
makhluk halus, dan roh-roh. Adapun makna dari kopi pahit adalah bahwa
tidak selamanya kehidupan itu dengan kebahagiaan tapi ada kalanya hidup
itu diuji dengan musibah, sedangkan kopi manis bermakna bahwa manusia
itu tidak selamanya hidup dalam kesusahan, suatu saat pasti ada
kesenagan. Sedangkan air putih bermakna bahwa manusia hidup harus
menjaga kesucian baik lahir maupun batin. Air dalam botol yang bertujuan
supaya para undangan yang belum datang dapat hadir/menyusul. Pasir,
bertujuan untuk mencegah terjadinya hujan dengan cara menyebarkan
pasir itu di sekeliling rumah. Daging ayam dan potongan ayam seperti;
ceker, kepala dan tunggir. Maksud dan tujuannya adalah supaya apa yang
dimakan oleh roh-roh atau balangsir hanya memakan sebagian ujung dari
79
tubuh hewan yang disembelih untuk hajat, bukan bagian tengah dari tubuh
hewan tadi. Adapun maknanya adalah bahwa dalam menjamu tamu kita
harus menyuguhkan sesuatu itu yang paling baik. Membakar kemenyan,
bertujuan untuk memberikan jalan kepada balangsir, baik waktu datang
maupun pulang agar tidak tersesat.
6. Apakah ada pantangan atau larangan bagi yang mempunyai hajat pada
waktu pelaksanaan perkawinan?
Jawab: Dalam memasak, masakan yang akan dihidangkan dilarang
mencicipi masakan menggunakan tangan, tapi harus menggunakan piring.
Orang yang pertama undangan dengan beras harus disimpan di dalam
pendaringan (tempat beras) dan jangan sampai digunakan. Karena hal ini
berhubungan dengan kalimat “dicangreud dina pambeasan” yang artinya
diikat dalam pendaringan. Sahibul bait, keluarga dan pihak yang terlibat
dalam acara hajatan tidak boleh sembarangan menumpahkan atau
menyiramkan air. Karena hal ini berhubungan dengan pasir yang telah
disebarkan di sekeliling rumah, yang menurut kepercayaannya apabila
sembarangan menumpahkan air akan terjadi hujan.
7. Adakah sanksi bagi orang yang mempunyai hajat bila tidak melaksanakan
ritual Ngadiukeun?
Jawab: dikucilkan, dicemooh dan jadi bahan omongan tetangga
80
LAPORAN WAWANCARA
DENGAN TOKOH AGAMA DESA GUNUNG SARI
BAPAK H. UDIN
1. Bagaimana kehidupan keagamaan di Desa Gunung Sari?
Jawab: Alhamdulillah baik, bisa dilihat dari kelompok pengajian yang
ada
2. Menurut Bapak seberapa kuatkah masyarakat di Desa Gunung Sari
memegang adat istiadat?
Jawab: masih sangat kuat, karena masyarakat Desa Gunung Sari
sampai sekarang masih menggunakan tradisi zaman dahulu
3. Apa yang bapak ketahui tentang tradisi Ngadiukeun?
Jawab: tradisi Ngadiukeun ini sudah menjadi adat kebiasaan yang
sudah lama ada dalam masyarakat. Dalam ritual Ngadiukeun
disediakan sesajen dan doa yang berupa mantera-mantera khusus untuk
para karuhun
4. Apakah dalam Islam mengenai Ngadiukeun diberlakukan?
Jawab: sebenarnya dalam Islam tidak diberlakukan adanya ritual
Ngadiukeun dalam bentuk sesajen, karena persembahan sesajen untuk
karuhun atau orang-orang yang sudah meninggal dan masih
mempecayai akan adanya kekuatan ghaib itu sama saja dengan syirik
atau musyrik
5. Bagaimana pandangan hukum Islam mengenai Ngadiukeun?
81
Jawab: hukum Islam jelas melarang yang namanya ritual sesajen dan
menyembah nenek moyang ataupun orang-orang yang sudah
meninggal. Namun, dalam hal mendoakan orang yang sudah
meninggal tidak jadi masalah asal tidak dibarengi dengan penggunaan
sesajen
6. Apakah menurut Bapak Ngadiukeun dalam tata caranya ada
penyelewengan dari agama?
Jawab: jelas ada, yaitu dari penggunaan sesajen dan doa yang berupa
mantera khusus
7. Bagaimana menurut Bapak, apakah adat ini perlu dihapuskan atau
tidak?
Jawab: perlu, tapi sulit selama masih ada generasi penerus yang
dianggap memiliki ilmu Ngadiukeun. Hal seperti ini kembali lagi
kepada akidah atau keyakinan masyarakat tersebut. Karena tradisi
Ngadiukeun sudah mengakar sangat lama dalam masyarakat jadi
sangat sulit untuk ditiadakan atau dihapuskan. Hanya saja sedikit demi
sedikit tradisi ini bisa di ubah sesuai dengan ajaran Islam yang sesuai
dengan Al-Qur‟an dan Hadits.
82
Gambar 1.1. Orang yang Ngadiukeun
83
gambar 2.2. Sesajen Ngadiukeun
84
Gambar.3.3
Gambar. 4.4
top related