tr spondilosis ankolosing ddi
Post on 29-Dec-2015
72 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Ankylosing Spondylitis (spinal osteoarthritis) adalah suatu gangguan degeneratif yang
dapat menyebabkan hilangnya struktur dan fungsi normal tulang belakang. Proses vical,
thoracal, dan atau lumbal dari tulang belakang memngaruhi diskus intervertebralis dan
facet join.
Spondylosis mempengaruhi 0,1-1,0 % dari populasi dunia. Penyakit ini paling umum
pada orang Eropa utara dan paling lazim banyak ditemukan di Afrika.
Ankylosing spondylosi dihubungkan dengan genetic umum ( antigen leukosit manusia /
HLA). HLA B 27 dan proses patologi pada umumnya. Kasus Spondylitis pertama kali
didokumentasikan pada tahun1691
Pasien ankylosing spondylitis cenderung memiliki tubuh condong ke depan, dan
berpostur menekuk ke depan karena gravitasi. Tulang belakang bisa dikoreksi melalui
prosedur pembedahan kompleks yang berisiko cedera neurologis.
Ankylosing spondylitis juga merupakan penyakit rematik sistemik yang dapat
menyebabkan peradangan sendi dan organ-organ lain, seperti jantung, paru-paru, dan
ginjal. Ankylosing spondylitis paling umum pada pria usia muda.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Ankylosing spondylitis adalah bentuk artritis langka yang menyebabkan
peradangan pada tulang belakang dan sendi-sendi sakroiliaka. Kondisi ini ditandai
dengan kekakuan progresif dari sekelompok sendi dan ligamen di tulang belakang,
menyebabkan rasa sakit kronis dan gangguan mobilitas tulang belakang. Ketika tulang
belakang pasien menjadi lebih kaku, beberapa fraktur stres kecil dapat berkembang dan
patah tulang ini dapat sangat menyakitkan. Jika parah, ankylosing spondylitis juga
dapat menyebabkan fusi (penggabungan) ligamen tulang belakang dengan
cakram/diskus antar vertebra.
B. EPIDEMIOLOGI
Ankylosing spondylitis menyerang 0,1-0,2% populasi di Amerika. Sementara di
dunia sebanyak 0,1-1,0% populasi. Penyakit ini menyerang pada pria di banding wanita
sebanyak 3:1. Onset dimulainya penyakit dimulai pada usia dewasa muda sampai usia
awal dewasa. Sementara pada usia lebih dari 45 tahun jarang ditemukan.
C. PATOFISIOLOGI
Ankylosing spondylitis adalah penyakit inflamasi kronis yang melibatkan sendi
sakroiliaka, kerangka aksial, dan sendi perifer. Etiologinya tidak diketahui tetapi
melibatkan interaksi faktor genetic dan lingkungan.
Patologi utama dari Ankylosing spondylitis adalah proses peradangan kronis,
termasuk CD4, CD8, limfosit T dan makrofag. Sitokin, terutama tumor necrosis
factor-α (TNF-α) dan Transforming Group Factor-β (TGF-β), juga penting dalam
proses inflamasi dengan menyebabkan fibrosis dan pengerasan di tempat terjadinya
peradangan.
2
D. GAMBARAN KLINIS DAERAH YANG TERKENA
1. Diskus Intervertebralis
Ketika orang menua terjadi perubahan biokimiawi tertentu yang mempengaruhi
jaringan di seluruh tubuh. Pada tulang belakang, struktur dari diskus intervertebralis
(annulus fibrosus,lamellae, dan nucleus pulposus) mungkin dapat mengalami
perubahan biokimiawi tersebut. Annulus fibrosus tersusun dari 60 atau lebih pita
yang konsentris dari serabut kolagen yang dinamakan lamellae. Nucleus pulposus
adalah suatu bahan seperti gel didalam diskus intervertebralis yang dibungkus oleh
annulus fibrosus. Serabut kolagen membentuk nukelus bersama dengan air dan
proteoglikan.
Efek degeneratif dari penuaan dapat melemahkan struktur dari annulus fibrosus
yang menyebabkan bantalan melebar dan robek. Isi cairan didalam nucleus
menurun sesuai dengan usia, mempengaruhi kemampuannya untuk melawan efek
kompresi (peredam getaran). Perubahan struktural karena degenerasi dapat
mengurangi ketinggian diskus dan meningkatkan risiko herniasi diskus.
2. Facet Joint
Sendi facet disebut juga dengan zygapophyseal joints. Masing-masing korpus
vertebrae memiliki empat sendi yang bekerja seperti engsel. Ini adalah persendian
tulang belakang yang dapat menyebabkan ekstensi, fleksi, dan rotasi. Seperti sendi
lainnya, permukaan sendi dari tulang memiliki lapisan yang tersusun dari kartilago.
Kartilago adalah jenis jaringan konektif tertentu yang memiliki permukaan gesekan
rendah karena memiliki lubrikasi sendiri. Degenerai facet joint menyebabkan
hilangnya kartilago dan pembentukan osteofit. Perubahan ini dapat menyebabkan
hipertrofi atau osteoarthritis, dikenal juga sebagai degenerasi joint disease.
3. Tulang dan ligament
Osteofit dapat terbentuk berdekatan dengan lempeng pertumbuhan tulang,
sehingga dapat mengurangi aliran darah ke vertebra. Kemudian permukaan
pertumbuhan tulamg dapat kaku, terjadi suatu penebalan atau pengerasan tulang
dibawah lempeng pertumbuhan. Ligament adalah pita dari jaringan ikat yang
menghubungkan struktur tulang belakang dan melindungi dari hiperekstensi.
3
Namun demikian, perubahan degeneratif dapat menyebabkan ligament kehilangan
kekuatannya.
4. Tulang Cervical
Kompleksitas anatomi dan pergerakan yang luas membuat segmen ini rentan
terhadap gangguan yang berkaitan dengan perubahan degeneratif. Nyeri leher
sering terjadi. Nyeri dapat menjalar ke bahu ata ke lengan kanan. Ketika suatu
osteofit dapat mengakibatkan kompresi akar syaraf, kelemahan tangan mungkin
tidak disadari. Pada kasus yang jarang, osteofit pada dada dapat mengakibatkan
susah menelan (disfagia).
5. Vertebra Thorakalis
Nyeri yang berkaitan dengan penyakit degeneratif sering dipicu oleh fleksi kedepan
dan hiperekstensi. Pada diskus vertebrae torakalis nyeri dapat disebabkan oleh
fleksi facet join yang hiperekstensi.
6. Vertebra Lumbalis
Spondylosis sering kali mempengaruhi vertebra lumbalis pada orang diatas usia 40
tahun. Nyeri dan kekakuan badan merupakan keluhan utama. Biasanya mengenai
lebih dari satu vertebrae. Vertebrae lumbalis menopang sebagian besar berat badan.
Oleh karenanya, gerakan dapat merangsang serabut saraf nyeri pada annulus
fibrosus dan facet joint. Pergerakan berulang seperti mengangkat dan membungkuk
dapat meningkatkan nyeri.
4
E. DIAGNOSIS
1. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik menyeluruh mengungkapkan banyak tentang kesehatan dan
keadaan umum pasien. Pemeriksaan termasuk ulasan terhadap riwayat medis dan
keluarga pasien. Palpasi untuk menentukan kelainan tulang belakang, daerah
dengan nyeri tekan, dan spasme otot.
5
2. Pemeriksaan neurologis
Pemeriksaan neurologis dengan memeriksa gejala-gejala pasien termasuk nyeri,
kebas, paresthesias, sensasi, motoris, spasme otot, kelemahan, gangguan perut, dan
kandung kemih. Pemeriksaan range of motion, mengukur tingkatan sampai sejauh
mana pasien dapat melakukan gerak fleksi, ekstensi, miring ke lateral, dan rotasi
tulang belakang.
3. Pencitraan
Radiografi (x-rays) dapat memperlihatkan berkurangnya diskus vertebralis dan
osteofit. Namun tidak sejelas CT-scan atau MRI. CT-scan dapat digunakan untuk
mengungkap adanya perubahan tulang yang berhubungan dengan spondylosis. MRI
mampu memperlihatkan kelainan diskus, ligament, dan nervus.
4. Kriteria Diagnosis
Untuk memudahkan menegakkan diagnosis telah dibuat kriteria-kriteria
tertentu; umumnya berdasarkan atas gejala klinis dan pemeriksaan radiologis.
Kriteria diagnostik pertama yang dibuat adalah kriteria Roma yang dibuat pada
tahun 1961, kemudian disusul dengan munculnya kriteria New York pada tahun
1966 dan akhirnya muncul kriteria yang terakhir yaitu kriteria New York yang
mengalami modifikasi pada tahun 1984.
Modifikasi kriteria New York (1984) terdiri dari :
Nyeri pinggang paling sedikit berlangsung selama 3 bulan, membaik dengan
olah raga dan tidak menghilang dengan istirahat.
Keterbatasan gerak vertabra lumbal pada bidang frontal rnaupun sagital.
Penurunan relatif derajat ekspansi dinding dada terhadap umur dan jenis
kelamin.
Sacroiliitas bilateral grade 2-4.
Sacroiliitis unilateral grade 3-4.
Diagnosis ankylosing spondylitis definitif apabila terdapat sacroiliitis unilateral
grade 3-4 atau sacroiliitis bilateral grade 2-4 disertai dengan salah satu gejaia klinis
di atas.
6
F. PENEGAKAN DIAGNOSIS RADIOLOGI
Radiografi yang paling penting teknik pencitraan untuk deteksi, diagnosis, dan
tindak lanjut pemantauan pasien dengan ankylosing spondylitis. Morfologi tulang
secara keseluruhan dan kalsifikasi halus dan ossifications bisa ditunjukkan baik secara
radiografi. Diagnosis dapat dibuat jika fitur radiografi khas dari ankylosing spondylitis
hadir.
1. X foto polos:
Sakroiliitis terjadi di awal perjalanan dari ankylosing spondylitis dan dianggap
sebagai ciri dari penyakit.Radiografi, tanda paling awal adalahkesuraman dari
sendi. Sendi awalnya melebar sebelum akhirnya menyempit.Erosi tulang
subchondral di sisi iliaka dari sendi terlihat, ini diikuti oleh sclerosis subchondral
dan proliferasi tulang (lihat gambar di bawah).
Gambar. Bilateral sakroiliitis. Radiograf frontal menunjukkan erosi sacroiliac bilateral
bersama dan iliaka sclerosis sisi subchondral.
Sakroiliitis yang terlihat di Ankylosing Spondylosis biasanya bilateral, simetris,
dan secara bertahap progresif selama bertahun-tahun.Lesi menunjukkan perubahan
progresif yaitu “blurring” pada permukaan tulang subchondral menjadi erosi
ireguler pada tepi sendi sakroiliaka (pseudowidening) untuk sclerosis, penyempitan,
dan akhirnya fusi.
7
Erosi tulang subchondral dari sendi sakroiliaka biasanya terlihat dini di bagian
bawah sendi (karena bagian ini dipagari oleh sinovium) dan di sisi iliaka (karena
tulang kartilago ini meliputi sisi sendi).
Tanda-tanda radiografi Ankylosing Spondylosis adalah akibat enthesitis,
terutama dari anulus fibrosus. Tanda-tanda radiografi awal termasuk “squaring”
dari badan vertebra yang disebabkan oleh erosi dari margin superior dan inferior,
yang mengakibatkan hilangnya kontur cekung normal dari permukaan anterior
badan vertebra (lihat gambar bawah). Lesi inflamasi pada entheses tulang belakang
dapat mengakibatkan sclerosis dari margin superior dan inferior badan vertebra,
disebut sudut mengkilap (Romanus lesi).
8
Gambar. Antero posterior radiografi tulang belakang pasien dengan
ankylosing spondylitis. Pengerasan fibrosus anulus di berbagai tingkat dan
squaring dari badan vertebra dapat
Radiograf lateral menunjukkan erosi sudut anterior pada T12 dan L1 tubuh
vertebralis.Tanda sudut khas mengkilap (atau lesi Romanus) hadir (panah).
2. CT scan
St scandari sendi Sakroiliaka, tulang belakang, dan sendi perifer dapat
mengungkapkan bukti sakroiliitis awal, erosi, dan enthesitis yang tidak jelas pada
radiografi standar. Fitur seperti erosi sendi, sclerosis subchondral (lihat gambar
bawah),dan ankilosis tulang yang divisualisasikan lebih baik pada CT scan dari
pada radiografi, namunbeberapa varian normal sendi sacroiliaka dapat
mensimulasikan fitur sakroiliitis
3. MRI
MRI mungkin memiliki peran dalam diagnosis awal sakroiliitis. Deteksi
peningkatan sinovial pada MRI ditemukan berkorelasi dengan aktivitas penyakit,
9
Ektasia dural. Aksial postmyelographic CT scan menunjukkan dural menonjol
ektasia dengan scalloping dari vertebra yang berdekatan.
Bilateral sakroiliitis. Aksial CT scan menunjukkan erosi dan iliaka sclerosis sisisubchondral sendi-sendi sac
roiliac
yang diukur dengan penanda laboratorium inflamasi.MRI telah ditemukan untuk
menjadi lebih unggul CT scan dalam mendeteksi perubahan tulang rawan, erosi
tulang, dan perubahan tulang subkondral. MRI juga sensitif dalam penilaian
aktivitas penyakit yang relatif dini
MRI lebih sensitif dibandingkan baik radiografi atau CT scan dalam mendeteksi
perubahan awal tulang rawan dan edema sumsum tulang dari sendi-sendi
sacroiliaka. Meskipun sensitif dalam mendeteksi sakroiliitis, MRI tidak spesifik
untuk mendiagnosis ankylosing spondylitis sebagai penyebab sakroiliitis.
4. Nuclear Imaging
Skintigrafi tulang mungkin membantu untuk pasien dengan ankylosing
spondylitis yang disarankan dalam temuan foto toraks normal atau samar-samar.
Skintigrafi memiliki sensitivitas yang tinggi tetapi spesifisitas rendah dalam
diagnosis sakroiliitis.
10
Pseudoarthrosis. Sagital T1-tertimbang MRI menunjukkan lesi T11-T12 diskovertebral menonjol (panah)
dengan keterlibatan elemen posterior (kepala panah)
Pseudoarthrosis (pasien yang sama seperti pada gambar
sebelumnya).
G. MEDIKASI
Tidak ada tindakan pencegahan atau pengobatan definitif untuk individu dengan
Ankylosing spondylosis. Diagnosis dini dan pendidikan pasien yang tepat adalah
penting.Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) biasanya digunakan untuk
mengurangi nyeri dan mengurangi peradangan.Pembedahan diarahkan untuk resolusi
komplikasi yang berhubungan dengan Ankylosing Spondylosis.Tidak ada
pengobatan bedah kuratif.Pengobatan konservatif berhasil dalam 75% dari seluruh
waktu
a. Pengobatan konservatif
Pengobatan ini terdiri dari analgesik dan memakai korset lumbal yang mana
dengan mengurangi lordosis lumbalis dapat memperbaiki gejala dan meningkatkan
jarak saat berjalan. Pada beberapa kelompok pasien, perbaikan yang mereka
rasakan cukup memuaskan dan jarak saat berjalan cukup untuk kegiatan sehari-hari.
Percobaan dalam 3 bulan direkomendasikan sebagai bentuk pengobatan awal
kecuali terdapat defisit motorik atau defisit neurologis yang progresif. Terapi
konservatif untuk stenosis spinalis lumbalis dengan gejala-gejala permanen jarang
sekali berhasil untuk waktu yang lama, berbeda dengan terapi konservatif untuk
herniasi diskus.
11
Kuantitatif skintigrafi
Terapi medis dipergunakan untuk mencari penyebab sebenarnya dari gejala
nyeri punggung dan nyeri skiatika:
Jangan menyimpulkan bahwa gejala pada pasien berhubungan dengan
osteofitosis. Carilah penyebab sebenarnya dari gejala pada pasien.
Jika muncul gejala terkenanya akar saraf, maka diindikasikan untuk bed rest
total selama dua hari. Jika hal tersebut tidak mengatasi keluhan, maka
diindikasikan untuk bedah eksisi.
Pengobatan tidak diindikasikan pada keadaan tanpa komplikasi.
12
b. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan diindikasikan jika terapi konservatif gagal dan adanya gejala-
gejala permanen khususnya defisit mototrik. Pembedahan tidak dianjurkan pada
keadaan tanpa komplikasi.
Bedah eksisi dilakukan pada skiatika dengan bukti adanya persinggungan
dengan nervus skiatika yang tidak membaik dengan bed rest total selama 2 hari.
Penekanan saraf dari bagian posterior osteofit adalah penyulit yang mungkin
terjadi hanya jika sebuah neuroforamen ukurannya berkurang 30% dari
normal.
Reduksi tinggi discus posterior sampai kurang dari 4 mm atau tinggi
foramen sampai kurang dari 15 mm sesuai dengan diagnosis kompresi saraf
yang diinduksi osteofit.
Jika spondilosis lumbalis mucul di canalis spinalis, maka stenosis spinalis
adalah komplikasi yang mungkin terjadi.
Jika osteofit menghilang, carilah adanya aneurisma aorta. Aneurisma aorta
dapat menyebabkan erosi tekanan dengan vertebra yang berdekatan. Jika
osteofit muncul kembali, tanda yang pertama muncul seringkali adalah erosi
dari osteofit-osteofit tersebut, sehingga tidak nampak lagi.
Terdapat kasus adanya massa tulang setinggi L4 yang menekan duodenum.
Terapi pembedahan tergantung pada tanda dan gejala klinis, dan sebagian
karena pendekatan yang berbeda terhadap stenosis spinalis lumbalis, tiga
kelompok prosedur operasi yang dapat dilakukan anatara lain:
Operasi dekompresi
Kombinasi dekompresi dan stabilisasi dari segmen gerak yang tidak
stabil
Operasi stabilisasi segmen gerak yang tidak stabil
Prosedur dekompresi adalah: dekompresi kanalis spinalis, dekompresi
kanalis spinalis dengan dekompresi recessus lateralis dan foramen
intervertebralis, dekompresi selektif dari akar saraf.
13
a. Dekompresi kanalis spinalis
Laminektomi adalah metode standar untuk dekompresi kanalis spinalis bagian
tengah. Keuntungannya adalah biasanya mudah dikerjakan dan mempunyai angka
kesuksesan yang tinggi. Angka kegagalan dengan gejala yang rekuren adalah ¼
pasien setelah 5 tahun. Terdapat angka komplikasi post operatif non spesifik dan
jaringan parut epidural yang relatif rendah.
Secara tradisional, laminektomi sendiri diduga tidak menganggu stabilitas spina
lumbalis, selama struktur spina yang lain tetap intak khususnya pada pasien manula.
Pada spina yang degeneratif, bagian penting yang lain seperti diskus
intervertebaralis dan facet joint seringkali terganggu. Hal ini dapat menjelaskan
adanya spodilolistesis post operatif setelah laminektomi yang akan memberikan
hasil yang buruk.
Laminektomi dikerjakan pada keadaan adanya spondilolistesis degeneratif atau
jika terdapat kerusakan operatif dari diskus atau facet joint. Terdapat insiden yang
tinggi dari instabilitas post operatif. Dengan menjaga diskus bahkan yang sudah
mengalami degenerasi, nampaknya membantu stabilitas segmental (Goel, 1986).
Untuk alasan inilah maka discectomy tidak dianjurkan untuk stenosis spinalis
lumbalis dimana gejalanya ditimbulkan oleh protrusio atau herniasi, kecuali diskus
yang terherniasi menekan akar saraf bahkan setelah dekompresi recessus lateralis.
Jaringan parut epidural muncul setelah laminektomi dan kadang-kadang
berlokasi di segmen yang bersebelahan dengan segmen yang dioperasi. Jika
jaringan parut sangat nyata, hal ini disebut dengan “membran post laminektomi”.
Autotransplantasi lemak dilakukan pada epidural oleh beberapa ahli bedah untuk
mengurangi fibrosis. Walaupun beberapa telah berhasil, pembengkakan lemak post
operatif dapat mengakibatkan penekanan akar saraf.
Dekompresi harus dilakukan pada pasien dengan osteoporosis. Sebaiknya dilakukan
dengan hati-hati karena instabilitas post operatif sangat sulit diobati.
Laminektomi dengan facetectomy parsial adalah prosedur standar stenosis
laminektomi tunggal cukup untuk stenosis kanalis spinalis, sehingga biasanya
digabungkan dengan beberapa bentuk facetectomy parsial. ”Unroofing” foramen
14
vertebralis dapat dikerjakan hanya dari arah lateral sebagaimana pada herniasi
diskus foramina. Kemungkinan cara yang lain dikerjakan adalah prosedur
laminoplasti dengan memindahkan dan memasukkan kembali lengkung laminar dan
processus spinosus.
b. Dekompresi selektif akar saraf
Kecuali terdapat penyempitan diameter sagital kanalis spinalis, dekompresi
selektif akar saraf sudah cukup, khususnya jika pasien mempunyai gejala unilateral.
Facetectomy medial melalui laminotomi dapat dikerjakan. Biasanya bagian medial
facet joint yang membungkus akar saraf diangkat.
Komplikasi spesifik prosedur ini antara lain insufisiensi dekompresi, instabilitas
yang disebabkan oleh pengangkatan 30-40% dari facet joint, atau fraktur fatique
dari pars artikularis yang menipis.
c. Dekompesi dan stabilisasi
Laminektomi dapat digabungkan dengan berbagai metode stabilisasi. Sistem
terbaru menggunakan skrup pedikuler, sebagaimana pada sistem yang lebih lama
seperti knodt rods, harrington rods dan Luque frame dengan kawat sublaminer.
Laminektomi spondilolistesis degeneratif dan penyatuan prosesus intertranvesus
dengan atau tanpa fiksasi internal adalah prosedur standar. Untuk alternatifnya
dapat dilakukan penyatuan interkorpus lumbalis posterior atau penyatuan
interkorpus anterior. Beberapa ahli mengatakan, laminektomi dengan penyatuan
spinal lebih baik daripada laminektomi tunggal karena laminektomi tunggal
berhubungan dengan insiden yang tinggi dari spondilolistesis progresif.
Komplikasi prosedur stabilisasi termasuk di dalamnya kerusakan materi
osteosintetik, trauma neurovaskuler, fraktur prosesus spinosus, lamina atau pedikel,
pseudoarthrosis, ileus paralitik, dan nyeri tempat donor graft iliakus. Degenerasi
dan stenosis post fusi dapat muncul pada segmen yang bersebelahan dengan yang
mengalami fusi yang disebabkan oleh hipermotilitas. Walaupun hasil percobaan
mendukung teori ini, efek klinis dari komplikasi ini masih belum dapat diketahui.
Berbeda dari spondilolistesis degeneratif dimana dekompresi dan stablisasi
adalah prosedur yang dianjurkan, tidak terdapat konsensus bahwa hal ini merupakan
15
pengobatan yang paling efektif. Stenosis spinalis lumbalis diterapi dengan
pembedahan dalam rangkaian operasi yang banyak dengan hasil jangka pendek
yang baik. Namun demikian, setelah lebih dari 40 tahun, penelitian dna pengalaman
dalam terapi, etiologinya masih belum dapat dimengerti secara jelas dan juga,
definisi dan klasifikasi masih belum jelas karena derajat stenosis tdak selalu
berhubungan dengan gejala-gejalanya.
Protokol pembedahan yang dianjurkan antara lain:
Pada pasien dengan gejala-gejala permanen yang bertambah saat berdiri atau
menyebabkan claudicatio intermitten neurogenik dekompresi dan
stabilisasi
Pada pasien tanpa gejala-gejala yang permanen tapi dengan gejala
intermitten yang jelas berhubungan dengan postur dilakukan prosedur
stabilisasi, terutama jika keluhan membaik dengan korset lumbal
Penurunan berat badan dan latihan untuk memperbaiki postur tubuh dan
menguatkan otot-otot abdominal dan spinal harus dikerjakan bersama dengan
pengobatan baik konservatif maupun pembedahan.
H. PROGNOSIS
Hasil pada pasien dengan ankylosing spondylitis umumnya baik dibandingkan
pada pasien dengan rheumatoid arthritis. Pasien sering membutuhkan terapi anti-
inflamasi jangka panjang. Cacat fisik parah tidak umum di antara pasien dengan AS.
Masalah dengan mobilitas terjadi pada sekitar 47% pasien. Cacat ini berkaitan dengan
durasi penyakit, perifer arthritis, tulang belakang keterlibatan serviks, usia yang lebih
muda saat onset gejala, dan penyakit hidup bersama. Kecacatan telah ditunjukkan untuk
meningkatkan dengan jangka waktu latihan atau koreksi bedah keterlibatan tulang
perifer bersama dan serviks4
16
BAB III
KESIMPULAN
1. Ankylosing spondylitis adalah proses degeneratif yang dapat mengenai daerah cervical,
thoracal, dan lumbal dari tulang belakang dengan mempengaruhi diskus intervertebralis
dan facet joint.
2. Pada pemeriksaan radiografi (x-ray) dapat memperlihatkan berkurangnya tebal diskus
intervertebralis dan tampak adanya osteofit.
3. Pemeriksaan ct-scan dilakukan jika pada x-foto polos tampak
normal. Erosi sendi, sclerosis subchondral, dan ankilosistulang yang divisualisasikan
lebih baik pada CT scan daripada radiografi.
4. MRI lebih unggul dari CT scan dalam mendeteksi perubahan tulang rawan, erosi
tulang, dan perubahan tulang subkondral. MRI juga sensitif dalam penilaian aktivitas
penyakit yang relatif dini.
17
REFERENSI
1. Hanson JA, Mirza S. Predisposition for spinal fracture in ankylosing spondylitis. AJR Am J Roentgenol. Jan 2000;174(1):150
2. Wilfred CG Peh, MD, MBBS, FRCP. Imaging in Ankylosing Spondylitis.http://emedicine.medscape.com/article/386639-overview#showall
3. Lawrence H Brent, MD. Ankylosing Spondylitis and Undifferentiated Spondyloarthropathy http://emedicine.medscape.com/article/332945-overview
4. S Craig Humphreys, MD. Ankylosing Spondylitis in Orthopedic Surgeryhttp://emedicine.medscape.com/article/1263287-overview
5. Hanson JA, Mirza S. Predisposition for spinal fracture in ankylosing spondylitis. AJR
Am J Roentgenol. Jan 2000;174(1):150
6. Wilfred CG Peh, MD, MBBS, FRCP. Imaging in Ankylosing Spondylitis.
http://emedicine.medscape.com/article/386639-overview#showall
18
top related