tinjauan pustaka - eprints.undip.ac.ideprints.undip.ac.id/72419/3/2_bab_ii.pdf · penggantian...
Post on 26-Aug-2019
236 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Produksi Bersih
2.1.1 Pengertian Produksi Bersih
Paradigma pengelolaan lingkungan mulai mengalami perubahan ke arah
yang preventif atau pencegahan hingga terus berkembang menjadi sebuah konsep
produksi bersih. Produksi bersih menurut UNEP (2003) merupakan sebuah
strategi pengelolaan lingkungan yang bersifat preventif dan terpadu yang perlu
diterapkan secara terus menerus pada proses produksi dan daur hidup produk
dengan tujuan mengurangi resiko terhadap manusia dan lingkungan (sebagaimana
dikutip dalam Indrasti & Fauzi (2009)). Produksi bersih adalah desain produk dan
proses produksi yang harmonis dengan siklus ekologi alam, menggunakan sumber
daya yang tersedia secara efisien dan mencari penggunaan zat yang tidak
berbahaya dalam proses produksi. Produksi bersih melampaui pencarian untuk
mengurangi efek merugikan dari perusahaan pada manusia dan lingkungan, juga
berusaha untuk meningkatkan efisiensi produksi dan tingkat keberlanjutan.
Produksi bersih fokus pada eliminasi dan minimalisasi limbah dan emisi yang
dihasilkan dalam sumbernya, daripada mencoba untuk bertindak pada akhir proses
(end-of-pipe). Produksi bersih memiliki penekanan pada masalah lingkungan
dalam semua fase desain dan proses manufaktur, yaitu dari bahan mentah,
manufaktur, produksi, dan pembuangan limbah (Filho et al., 2018).
Perbandingan antara pengelolaan lingkungan dengan menggunakan konsep
konvensional dan produksi bersih untuk suatu industri dapat dilihat pada Tabel 2.
8
Tabel 2. Perbandingan antara konsep konvensional dan produksi bersih
(UNEP, 2001)
Bahan
PertimbanganKonvensional Produksi Bersih
Desain proses Tidak dirancang
untuk pencegahan
limbah
Dirancang untuk limbah
minimum atau zero waste
Perencanaan desain
tata letak (lay-out)
Tidak didesain Dirancang untuk meminimalkan
pergerakan dalam pekerjaan
Pemilihan bahan
baku
Menggunakan bahan
baku termurah
Menggunakan bahan baku yang
kurang berpengaruh pada
lingkungan
Produk sampingan Tidak memanfaatkan
produk sampingan
Penggunaan produk sampingan
Produk Kurang
memperhatikan
lingkungan
Peduli terhadap dampak
lingkungan
Pengolahan Dengan teknologi
end-of-pipe
Teknologi pengendalian
pencemaran
Berdasarkan tabel di atas maka menurut Polprasert (2007), industri yang
mempraktekkan produksi bersih dapat mencapai manfaat sebagai berikut:
1. Peningkatan produk dan proses
2. Menghemat bahan baku dan energi, serta biaya produksi
3. Meningkatkan daya saing melalui penggunaan teknologi baru dan lebih baik
4. Mengurangi keperluan pada peraturan-peraturan lingkungan
5. Mengurangi risiko dari pengolahan di dalam dan di luar lokasi, penyimpanan
dan pembuangan limbah beracun dan jenis limbah lainnya
6. Peningkatan kesehatan dan keselamatan karyawan
7. Peningkatan semangat staf, yang mengarah ke produktivitas yang lebih baik
8. Meningkatkan citra publik industri, dan
9
9. Mengurangi biaya solusi end-of-pipe
2.1.2 Prinsip Produksi Bersih
Dalam Purwanto (2009), pola pendekatan produksi bersih dalam melakukan
pengurangan limbah menggunakan strategi IE4R (Elimination, Reduce, Reuse,
Recycle, Recovery/ Reclaim) (UNEP, 1999), sedangkan dalam Kebijakan Nasional
Produksi Bersih (KLH, 2003) berupa 5R (Re-think, Re-use, Reduction, Recovery,
Recycle), dengan pola pendekatan sebagai berikut:
1. Re-think (berpikir ulang), adalah suatu konsep pemikiran yang harus dimiliki
pada saat awal kegiatan akan beroperasi, dengan implikasi:
a. Perubahan dalam pola produksi dan konsumsi berlaku baik pada proses
maupun produk yang dihasilkan sehingga harus dipahami betul analisis
daur hidup produk.
b. Upaya produksi bersih tidak dapat berhasil dilaksanakan tanpa adanya
perubahan dalam pola pikir, sikap, dan tingkah laku dari semua pihak
terkait yaitu pemerintah, masyarakat, maupun kalangan usaha.
2. Elimination (pencegahan) adalah upaya untuk mencegah timbulan limbah
langsung dari sumbernya, mulai dari bahan baku, proses produksi sampai
produk.
3. Reduce (pengurangan) adalah upaya untuk menurunkan atau mengurangi
timbulan limbah pada sumbernya.
4. Reuse (pakai ulang/ penggunaan kembali) adalah upaya yang memungkinkan
suatu limbah dapat digunakan kembali tanpa perlakuan fisika, kimia, atau
biologi.
5. Recycle (daur ulang) adalah upaya mendaur ulang limbah untuk
memanfaatkan limbah dengan memprosesnya kembali ke proses semula
melalui perlakuan fisika, kimia, dan biologi.
6. Recovery/ Reclaim (pungut ulang/ ambil ulang) adalah upaya mengambil
bahan-bahan yang masih mempunyai nilai ekonomi tinggi dari suatu limbah,
kemudian dikembalikan ke dalam proses produksi dengan atau tanpa
perlakuan fisika, kimia, dan biologi.
10
Meskipun prinsip produksi bersih dilakukan dengan strategi 5R, namun
perlu ditekankan bahwa strategi utama adalah penerapan pencegahan dan
pengurangan. Apabila strategi 2R pertama masih menimbulkan pencemar atau
limbah maka dilakukan strategi 3R berikutnya (reuse, recycle, recovery) sebagai
suatu strategi pengelolaan limbah (Purwanto, 2004).
2.1.3 Tindakan Produksi Bersih
Menurut Purwanto (2009), tindakan dan kegiatan produksi bersih adalah
sebagai berikut:
1. Tata kelola yang baik (Good housekeeping)
Perbaikan penanganan bahan, pencegahan kebocoran, perbaikan jadwal
produksi, perbaikan prosedur kerja, pengendalian penyediaan bahan,
pelatihan, segregasi aliran, serta segregasi limbah.
2. Penggantian bahan baku
Penggantian dengan bahan yang tidak atau kurang berbahaya dan beracun,
pemakaian bahan baku yang lebih murni, bahan baku yang ramah lingkungan.
3. Perbaikan proses dan teknologi
Perubahan tata letak, otomatisasi, perbaikan kondisi operasi, pengendalian
proses yang baik, perbaikan proses dan modifikasi peralatan.
4. Penggantian teknologi
Mengganti dengan teknologi baru yang dapat mengurangi pemakaian bahan
dan energi dan menurunkan timbulan limbah.
5. Penyesuaian spesifikasi produk
Merancang produk yang mempunyai dampak negatif lingkungan lebih rendah
dengan menggunakan bahan yang kurang berbahaya dan menimbulkan sedikit
limbah, memperpanjang umur produk, dan desain produk moduler.
2.1.4 Penerapan Produksi Bersih di Industri
Secara sistematis menurut Purwanto (2009), penerapan produksi bersih di
industri meliputi lima langkah, yaitu:
11
1. Perencanaan dan organisasi
Perusahaan perlu mengembangkan visi dan misi terkait pengelolaan dan
pencegahan pencemaran. Alokasi waktu yang cukup untuk merencanakan
program produksi bersih dan melakukan komunikasi kepada karyawan
mengenai keuntungan yang diperoleh dengan melaksanakan produksi bersih
sangat diperlukan.
2. Kajian peluang produksi bersih
Terdiri dari kajian awal dan kajian rinci:
a. Kajian awal menggunakan diagram alir proses dan peninjauan lapangan
Diagram alir proses
Salah satu metode terbaik untuk memperoleh informasi pada setiap
langkah baik input (bahan baku, bahan penunjang, air, listrik) dan
output (produk, produk samping, limbah).
Peninjauan lapangan
Pengamatan setiap langkah proses untuk mengidentifikasi timbulan
limbah, pemborosan, dan menemukan peluang perbaikan. Kegiatan
pengamatan langsung pada industri dengan mencermati pengelolaan
pabrik, kondisi tata kelola, sumber kebocoran, ceceran bahan, dan tata
letak peralatan yang kurang efisien.
b. Kajian rinci digunakan untuk mengevaluasi kinerja lingkungan, efisiensi
pemakaian bahan, dan timbulan limbah. Informasi yang diperlukan seperti
informasi perusahaan, peraturan perundangan dan standar lingkungan,
neraca massa dan energi, serta struktur biaya produksi.
3. Analisis kelayakan
a. Kelayakan teknik
Layak secara teknik bila dengan modifikasi maupun penggunaan teknologi
baru mampu menjamin kualitas produk atau bahkan menaikkan kualitas.
b. Kelayakan ekonomi
Apabila penerapan produksi bersih memerlukan biaya untuk penyediaan
maupun modifikasi fasilitas produksi maka perlu dihitung investasi yang
diperlukan, waktu pengembalian modal, dan besarnya penghematan dari
12
penerapan. Pay-back period adalah penilaian suatu investasi yang
didasarkan pada return of investment (pengembalian biaya investasi) oleh
net benefit. − = Biaya investasiKeuntunganc. Kelayakan lingkungan
Berkaitan erat dengan jaminan produksi bersih dapat mengurangi limbah
baik ditinjau dari segi kuantitas maupun jenis limbah.
Menurut Indrasti & Fauzi (2009) beberapa peluang penerapan produksi bersih
dapat diberikan skor 1 sampai dengan 3 untuk masing-masing penilaian baik
teknis, ekonomi, dan lingkungan, seperti dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Skoring analisis kelayakan penerapan produksi bersih
Skala Teknis Ekonomi Lingkungan
1 Sulit untukdilaksanakan
Investasi lebih dariRp.15.000.000,- potensipenghematan/ keuntungankurang dari Rp.1.000.000,-per tahun dengan pay-backperiod lebih dari 1,5 tahun
Tidak signifikan,mengurangilimbah atau emisikurang dari 20%
2 Relatif mudahuntukdilaksanakan
Investasi sedang antaraRp.10.000.000,- hinggaRp.15.000.000,- berpotensipenghematan/ keuntunganRp.1.000.000,- hinggaRp.10.000.000,- per tahundengan pay-back period 1-1,5 tahun.
Signifikan,mengurangilimbah atau emisiantara 20%-50%.
3 Mudah untukdilaksanakan
Investasi rendah kurangdari Rp.10.000.000,-,berpotensi penghematan/keuntungan lebih dariRp.10.000.000,-per tahun,pay-back period kurangdari 1 tahun.
Sangat signifikanmengurangilimbah atau emisilebih dari 50%.
Sumber: Indrasti & Fauzi, 2009 yang dimodifikasi
13
4. Implementasi peluang produksi bersih
Meliputi penyediaan dukungan pembiayaan, kesiapan tim pelaksana yang
melibatkan karyawan sebagai bagian dari pekerjaan rutinnya, pembuatan
jadwal pelaksanaan, sistem monitoring, dan pengukuran keberhasilan
5. Monitoring dan evaluasi
Dilakukan monitoring capaian penerapan secara terjadwal dan periodik.
Evaluasi dan tinjauan ulang dilakukan terhadap capaian yang telah diperoleh
dibandingkan dengan sasaran yang diprogramkan.
2.1.5 Kendala Penerapan Produksi Bersih
Dalam penerapan produksi bersih pada suatu industri akan dihadapi
beberapa kendala. Menurut Indrasti & Fauzi (2009) beberapa kendala tersebut
antara lain:
1. Kendala ekonomi
Sulit bagi suatu manajemen perusahaan untuk menerapkan produksi bersih
apabila tidak memberikan keuntungan. Kendala ekonomi yang timbul
contohnya adalah:
a. Biaya tambahan peralatan
b. Besarnya modal atau investasi dibanding kontrol pencemaran secara
konvensional sekaligus penerapan produksi bersih
2. Kendala teknologi
a. Kurangnya sosialisasi atau penyebaran informasi tentang konsep produksi
bersih
b. Penerapan sistem baru memiliki kemungkinan tidak sesuai dengan yang
diharapkan, bahkan berpotensi menyebabkan gangguan atau masalah baru
c. Tidak memungkinkan adanya penambahan peralatan akibat terbatasnya
ruang kerja atau produksi
3. Kendala sumberdaya manusia
a. Kurangnya dukungan dari pihak manajemen puncak
b. Keengganan untuk berubah, baik secara individu maupun organisasi
c. Lemahnya komunikasi internal tentang proses produksi yang baik
d. Pelaksanaan manajemen organisasi perusahaan yang kurang fleksibel
14
e. Birokrasi yang sulit, terutama dalam pengumpulan data primer
f. Kurangnya dokumentasi dan penyebaran informasi
2.2 Kotoran Ternak Sapi (Manure)
Limbah peternakan selalu menjadi masalah yang perlu dipecahkan terutama
untuk peternakan skala besar, karena daya dukung alam tidak sebanding dengan
limbah ternak yang dihasilkan. Limbah ternak atau sering disebut manure sangat
bervariasi baik dari segi bentuk, warna, bau, dan komposisi kimianya. Manure
merupakan sumber nutrien bagi tanaman dan dapat digunakan untuk
meningkatkan produktivitas tanah (Triatmojo et al., 2016).
Kotoran sapi merupakan kotoran yang banyak mengandung air dan lendir.
Kotoran sapi memiliki kadar N (Nitrogen), P (Phospor), dan K (Kalium) yang
tinggi sehingga dapat mensuplai unsur hara yang dibutuhkan tanah secara
maksimal (Nisa, 2016). Menurut (Prihandini & Purwanto, 2007) kotoran yang
baru dihasilkan sapi tidak dapat langsung diberikan sebagai pupuk tanaman, tetapi
harus mengalami proses pengomposan terlebih dahulu. Beberapa alasan mengapa
bahan organik seperti kotoran sapi perlu dikomposkan sebelum dimanfaatkan
sebagai pupuk tanaman antara lain adalah:
1. Bila tanah mengandung cukup udara dan air, penguraian bahan organik
berlangsung cepat sehingga dapat mengganggu pertumbuhan tanaman
2. Penguraian bahan segar hanya sedikit sekali memasok humus dan unsur hara
ke dalam tanah
3. Struktur bahan organik segar sangat kasar dan dayanya terhadap air kecil,
sehingga bila langsung dibenamkan akan mengakibatkan tanah menjadi sangat
remah
4. Kotoran sapi tidak selalu tersedia pada saat diperlukan, sehingga pembuatan
kompos merupakan cara penyimpanan bahan organik sebelum digunakan
sebagai pupuk
Produksi kotoran sapi sebagai limbah peternakan untuk kepentingan
perancangan dapat diasumsikan secara langsung dengan bobot badan ternak.
Limbah ternak lebih baik dinyatakan dalam persen bobot hidup, hal ini
15
dikarenakan ternak memiliki beragam bobot dan ukuran tubuh yang tergantung
pada umurnya (Triatmojo et al., 2016). Menurut Polprasert (2007), jumlah dan
komposisi kotoran hewan yang diekskresikan per satuan waktu juga sangat
bervariasi. Mereka bergantung pada berbagai faktor seperti total berat hidup
hewan (total live weight of the animal/ TLW), spesies hewan, ukuran dan usia
hewan, pakan dan asupan air, iklim, dan manajemen, dll. Untuk tujuan
perencanaan, Taiganides (1978) mengemukakan bahwa kotoran ternak sapi
(manure) dari sapi potong (feedlot beef) adalah 4,6% TLW/hari sedangkan untuk
sapi perah (dairy cattle) adalah 9,4% TLW/hari.
2.3 Pupuk Organik
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 Tentang
Pupuk Organik, Pupuk Hayati dan Pembenah Tanah menyebutkan bahwa pupuk
organik adalah pupuk yang berasal dari tumbuhan mati, kotoran hewan dan/ atau
bagian hewan dan/ atau limbah organik lainnya yang telah melalui proses
rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat diperkaya dengan bahan mineral dan/
atau mikroba, yang bermanfaat untuk meningkatkan kandungan hara dan bahan
organik tanah serta memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Dalam
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 64/Permentan/OT.140/5/2013 Tentang
Sistem Pertanian Organik disebutkan bahwa pupuk organik sering juga disebut
kompos, istilah ini lebih dikenal luas karena telah digunakan oleh petani sejak
jaman dahulu.
Penerapan produksi bersih dalam pengelolaan limbah ternak sapi dapat
menggunakan teknik pengomposan. Perundang-undangan saat ini tentang
pengelolaan limbah padat telah menyoroti pentingnya daur ulang dan memulihkan
limbah padat organik sebagai praktik manajemen berkelanjutan untuk
menggantikan pembuangan akhir konvensional melalui pembakaran dan
landfilling (Mejias et al., 2017). Pengomposan dapat menurunkan biaya
pembuangan produk sampingan organik dan residu, serta memberikan
penghasilan, karena kompos dapat memiliki sifat kimia-fisik yang cukup menarik
untuk digunakan sebagai penghalus tanah (Proietti et al., 2016).
16
Pengomposan adalah penguraian aerobik bahan organik oleh
mikroorganisme di bawah kondisi yang terkendali untuk menghasilkan zat seperti
humat. Selama pengomposan, mikroorganisme mengkonsumsi oksigen (O2) saat
menggunakan bahan organik yang biodegradable (kotoran ternak, jerami, daun,
sisa makanan, dan lain-lain) sebagai sumber makanan mereka (Gambar 1.). Materi
yang digunakan untuk pengomposan biasanya disebut sebagai “bahan baku”.
Selain panas, proses pengomposan melepaskan uap air dan karbon dioksida
(CO2). Setidaknya 50% karbon dalam material organik hilang (sebagai hasil dari
respirasi mikroba) dan senyawa nitrogen diubah menjadi bentuk organik yang
lebih stabil. Akibatnya, ada pengurangan substansial dalam volume bahan, dan
kompos yang dihasilkan secara fisik dan biokimia berbeda dari bahan asli (NSFA,
n.d.). Kompos yang dihasilkan adalah campuran yang stabil, kaya humus, dan
kompleks yang dapat meningkatkan sifat fisik tanah (Lim et al., 2016).
Pengomposan dianggap sebagai proses ramah lingkungan yang melibatkan
transformasi aerobik materi organik dan penghancuran patogen dan gulma. Proses
ini dianggap sebagai penyumbang besar untuk mempromosikan perputaran sistem
pertanian karena memungkinkan stabilisasi limbah organik dan produksi pupuk
organik yang dapat digunakan sebagai kondisioner tanah, di kebun atau sebagai
media tumbuh dalam budidaya yang tidak tercemar. Model pengelolaan limbah
organik, berdasarkan produksi dan penggunaan kompos berkualitas tinggi,
didorong untuk berkontribusi mengurangi emisi karbon ke atmosfer (Cáceres et
al., 2018).
Gambar 1. Proses kompos (diadaptasi dari Rynk, 1992)
O2
PanasAir
Pile/ tumpukan kompos
Kompos matang
Bahan organik
Mineral
Air
Mikroorganisme
Bahan baku
Bahanorganik;
mineral; air;mikroba
CO2
17
Dampak yang paling menguntungkan dari aplikasi kompos sebagai pupuk
organik di tanah ditunjukkan pada Tabel 4, sebagaimana dikemukakan oleh
Sánchez et al. (2017).
Tabel 4. Manfaat kompos sebagai pupuk organik di dalam tanah
Aspek Manfaat
Fisik Ukuran partikel dalam kompos berkontribusi untuk
menghasilkan ruang yang memfasilitasi retensi air dan
pertukaran udara
Peningkatan struktur tanah yang membantu melestarikan
keseimbangan fisikokimia dan mikrobiologi di tanah
Peningkatan horizon A (lapisan tanah subur)
Peningkatan pergerakan nutrisi di dalam tanah
Kimia Masukan bahan organik ke tanah untuk meningkatkan
kesuburan
Stabilisasi dan mineralisasi bahan organik
Generasi prekursor zat humat
Pengurangan konsentrasi pestisida dalam tanah dengan
membentuk ikatan dengan molekul organik kompos
Mikrobiologi Pasokan mikroorganisme yang berkontribusi pada
pembentukan tanah dan pergerakan nutrisi
Peningkatan pertumbuhan akar dan mikroorganisme di
rhizosfer
Bioremediasi oleh mikroorganisme yang berkontribusi
terhadap degradasi agen beracun
Pemulihan dan pencegahan penggurunan tanah
Pasokan mikroorganisme menguntungkan yang
mengendalikan patogen tanaman
Sumber: Sánchez et al., 2017
18
Menurut Setiawan, A. I. (2014), pupuk organik dari pengomposan kotoran
ternak (manure) pada kondisi matang mempunyai tanda-tanda fisik yaitu jika
diraba terasa dingin dan jika diremas mudah rapuh serta menurut Rynk (1992),
kompos yang sudah matang seharusnya tidak memiliki bau yang tidak
menyenangkan, warna bahan menjadi coklat tua sampai hitam, dan ukuran
partikel berkurang dan konsisten seperti tekstur tanah (kurang dari 1/2” (13 mm)).
Persyaratan teknis minimal pupuk organik padat diatur Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 70/Permentan/SR.140/10/2011 Tentang Pupuk Organik, Pupuk
Hayati dan Pembenah Tanah, Lampiran I, seperti dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Persyaratan teknis minimal pupuk organik padat
No. Parameter Satuan
Standar Mutu
Granul/Pelet Remah/Curah
MurniDiperkaya
mikrobaMurni
Diperkaya
mikroba
1. C – organik % min15 min15 min15 min15
2. C/N rasio 15 - 25 15 - 25 15 - 25 15 - 25
3. Bahan ikutan
(plastik,kaca,
kerikil)
% Maks 2 Maks 2 Maks 2 Maks 2
4. Kadar air*) % 8 – 20 10 – 25 15 - 25 15 - 25
5. Logam berat:
As ppm maks 10 maks 10 maks 10 maks 10
Hg ppm maks 1 maks 1 maks 1 maks 1
Pb ppm maks 50 maks 50 maks 50 maks 50
Cd ppm maks 2 maks 2 maks 2 maks 2
6. pH 4 - 9 4 - 9 4 - 9 4 - 9
7. Hara makro
(N + P2O5 +
K2O)
% Min 4
19
No. Parameter Satuan
Standar Mutu
Granul/Pelet Remah/Curah
MurniDiperkaya
mikrobaMurni
Diperkaya
mikroba
8. Mikroba
kontaminan:
E.coli MPN/g maks.
102
maks. 102 maks.
102
maks. 102
Salmonella sp MPN/g maks.
102
maks. 102 maks.
102
maks. 102
9. Mikroba
fungsional:
Penambat N cfu/g - min. 103 - min. 103
Pelarut P cfu/g - min. 103 - min. 103
10. Ukuran butiran
2-5 mm
% min. 80 min. 80 - -
11. Hara mikro:
Fe total atau ppm maks.
9.000
maks.
9.000
maks.
9.000
maks.
9.000
Fe tersedia ppm maks.
500
maks. 500 maks.
500
maks. 500
Mn ppm maks.
5.000
maks.
5.000
maks.
5.000
maks.
5.000
Zn ppm maks.
5.000
maks.
5.000
maks.
5.000
maks.
5.000
12. Unsur lain:
La ppm 0 0 0 0
Ce ppm 0 0 0 0
*) Kadar air atas dasar bobot basah
20
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi panjangnya proses pengomposan
dalam pengolahan pupuk organik adalah C/N rasio, kelembaban, sifat bahan baku,
ketersediaan oksigen, dan teknologi pengomposan. Secara umum proses
pembuatan pupuk organik seperti yang disajikan pada Gambar 2. dengan
penjelasannya adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Skema proses produksi pupuk organik melalui pengomposan
(diadaptasi dari Schaub & Leonard, 1996)
1. Bahan baku dan penunjang
a. Bahan baku
Bahan baku utama dalam pembuatan pupuk organik dari limbah
peternakan sapi adalah kotoran sapi (manure) yang relatif kaya nitrogen.
Desain teknik pengomposan
Bahan baku
Proses aktif pengomposan(active phase)
Penyortiran, pencacahan,dan pencampuran
Proses pematangankompos (curing phase)
Penyaringan
Pengemasan
21
b. Bulking agent
Berbagai macam bulking agent (misalnya sekam padi, serpihan kayu,
serbuk gergaji, dan kulit kacang) umumnya ditambahkan ke bahan organik
untuk meningkatkan porositas dan rasio C/N bahan baku sebelum
pengomposan (Onwosi et al., 2017). Bulking agent selalu diperlukan untuk
memodifikasi sifat-sifat kotoran hewan selama pengomposan karena
kandungan kelembaban yang tinggi, rasio C/N rendah, dan kepadatan
kotoran hewan yang tinggi (Guo et al., 2012). Rasio C/N dari berbagai
bahan atau limbah organik ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rasio C/N beberapa bahan organik
Bahan organik Rasio C/N Referensi
Kotoran sapi (manure) 18 Golueke (1972) seperti
dikutip dalam Polprasert
(2007)
Potongan rumput 12-15 Golueke (1972) seperti
dikutip dalam Polprasert
(2007)
Serbuk gergaji 200-750 Rynk (1992) seperti dikutip
dalam Tchobanoglous &
Kreith (2002)
Sekam padi 113–1120 Rynk (1992) seperti dikutip
dalam Tchobanoglous &
Kreith (2002)
c. Inoculating agents atau bioaktivator
Terlepas dari kenyataan bahwa pengomposan adalah proses yang
berkembang secara alami, terdapat laporan yang menyebutkan bahwa
penambahan agen inokulasi dapat menghasilkan peningkatan laju
degradasi bahan organik (Cerda et al., 2018). Selain mempercepat
pengomposan, kelebihan penggunaan bioaktivator adalah kualitas produk
lebih terjamin dan proses produksinya relatif sederhana. Kini telah banyak
22
bioaktivator yang diproduksi secara komersial dan sudah tersedia di
pasaran, antara lain adalah EM-4, OrgaDec, StarDec, Boisca/ Propuri, dan
Promi (Suwahyono, 2014).
d. Bahan tambahan
Kapur pertanian yang mengandung kalsium karbonat (CaCO3) merupakan
bahan penunjang yang dapat ditambahkan sebagai alternatif untuk
meningkatkan pH saat proses pengomposan (Onwosi et al., 2017).
2. Penyortiran, pencacahan, dan pencampuran
Tahap persiapan pengomposan selanjutnya adalah memilah dan memisahkan
bahan organik biodegradable (kotoran ternak, jerami, daun, dan lain-lain) dari
material yang bersifat susah tergredasi (kayu, kulit, polimer) atau anorganik
(kotoran, kaca, keramik, dan logam). Agar proses pengomposan berjalan lebih
cepat, sebaiknya bahan baku kompos terutama yang memiliki bentuk panjang
dan kasar (rumput, jerami, dan lain-lain) dicacah terlebih dahulu agar menjadi
halus (Djaja, 2010). Ukuran partikel memiliki pengaruh besar pada
pemeliharaan porositas yang memadai untuk aerasi yang tepat. Ukuran
partikel substrat untuk pengomposan tidak boleh terlalu besar karena akan
membusuk secara perlahan. Ukuran partikel juga tidak boleh terlalu kecil
karena dapat membentuk massa padat dan mengurangi porositas substrat
kompos (Onwosi et al., 2017). Formulasi yang harus diperhatikan dalam
pencampuran bahan baku kompos adalah rasio karbon/ nitrogen (C/N) dari
campuran awal bahan baku 30-35:1 untuk memastikan kondisi yang tepat bagi
mikroorganisme saat menguraikan dan mengubah bahan organik meskipun
nilai ke bawah sampai 25 dapat digunakan tetapi dengan resiko peningkatan
keseluruhan waktu pengomposan. Demikian juga, untuk pengembangan
mikroorganisme yang memadai, kelembaban (MC) bahan baku harus berada
dalam kisaran 55-65% (Sánchez et al., 2017). Menurut Rynk (1992), kisaran
yang wajar (reasonable range) untuk rasio C/N 20-40:1 dan kelembaban
(MC) 40-65% serta kisaran yang diminati (preferred range) untuk rasio C/N
25-30:1 dan kelembaban (MC) 50-60%. Nilai pH optimum pengomposan
berkisar dari 5,5 hingga 8 (Chen et al., 2015). Bahan baku utama dalam
23
pembuatan pupuk organik dari limbah peternakan sapi adalah kotoran sapi
(manure) yang relatif kaya nitrogen, sehingga kandungan nitrogen yang
rendah (seperti dalam kasus banyak bahan asal tumbuhan seperti sekam padi
atau serbuk gergaji) biasanya ditambahkan untuk mencapai rasio C/N yang
sesuai. Dengan rumus umum campuran bahan kompos (Rynk, 1992), maka
data %C-organik, %N total, kadar air (MC), dan massa bahan baku yang
terdiri dari kotoran sapi (manure) dan bulking agent dapat digunakan untuk
merencanakan formulasi bahan pengompos.
= ( × ) + ( × ) +⋯+ +⋯/ = % × × (1 − ) + % × × (1 − ) +⋯% × × (1 − ) + % × × (1 − ) +⋯
dimana:
a, b,... = Total massa bahan a, b,...
ma, mb,... = Kadar air atau moisture content (MC) bahan a, b,...
%Ca, Cb,... = % carbon bahan a, b,... (% bobot kering)
%Na, Nb,... = % nitrogen bahan a, b,... (% bobot kering)
Hasil pencampuran bahan baku selanjutnya diaplikasikan ke metode
pengomposan yang umum digunakan untuk menangani limbah ternak seperti
windrow, aerated static piles, dan sistem in-vessel. Dalam pengomposan
windrow (sistem konvensional), material padat ditumpuk dalam baris paralel
panjang dan dibalik untuk meningkatkan suplai oksigen dan porositas,
mencampur atau menghilangkan kelembaban, dan mendistribusikan kembali
bagian yang lebih dingin dan lebih panas dari tumpukan. Pile windrows dapat
berbentuk trapesium atau segitiga bergantung pada fitur peralatan yang
digunakan untuk mencampur tumpukan. Tumpukan (pile) harus dilakukan
pembalikan satu atau dua kali dalam seminggu untuk memberikan oksigen ke
mikroorganisme (Sánchez et al., 2017). Sistem aerated static piles
menggunakan sistem distribusi udara diwakili oleh pipa berlubang di bagian
bawah tumpukan; sistem ini memungkinkan pengurangan area yang
24
diperlukan untuk pengomposan karena material tidak harus dipindahkan ke
tempat lain untuk diangin-anginkan (Sánchez et al., 2017). Ada dua jenis
sistem aerated static piles yaitu passively aerated windrow system (PAWS)
dan forced aerated static piles (FAS). PAWS atau natural ventilation static
pile (NVS) menempatkan pipa berlubang di dasar setiap pile untuk mendorong
aliran udara konvektif di seluruh tumpukan. Kunci untuk sistem ini adalah
mencampur bahan baku sebelum dipasang pada pipa berlubang. Juga, pile
perlu diinsulasi dengan kompos yang sudah jadi untuk memastikan suhu
termofilik mencapai ujung luar. Forced aerated static piles (FAS) mirip
dengan sistem PAWS, tetapi blower dipasang di ujung pipa berlubang atau
saluran udara. Aliran udara dapat disesuaikan dengan mengubah frekuensi dan
durasi dari blower (Cooperband, 2002). Secara teoritis dalam sistem aerated
static piles tidak diperlukan pembalikan material kompos namun sesekali
dilakukan pembalikan untuk menambah porositas, mendistribusikan
kelembaban, dan mengoptimalkan dekomposisi. Keuntungan sistem ini adalah
lebih sedikit waktu pengomposan dibandingkan dengan sistem yang pasif
(Alberta, 2001). Sistem in-vessel bergantung pada penggunaan bioreaktor
solid-state, sebagian besar berbentuk silinder. Secara teoritis, sistem ini
memungkinkan kontrol suhu, kelembaban, dan suplai oksigen. Namun,
pengendalian parameter operasi untuk bioreaktor skala besar ini cukup sulit
karena kendala hidrodinamik yang timbul ketika ukuran meningkat, sehingga
sistem ini lebih disukai digunakan untuk penelitian di laboratorium dan skala
pilot (Sánchez et al., 2017).
25
3. Proses aktif pengomposan (active phase)
Gambar 3. Profil waktu dari suhu tumpukan rata-rata selama proses
pengomposan (Sánchez et al., 2017)
Proses aktif pengomposan materi organik seperti pada Gambar 3. terjadi pada
fase mesophilic, thermophilic, dan cooling. Sánchez et al. (2017) memberikan
penjelasan tentang kondisi yang terjadi pada ketiga fase tersebut, yaitu:
a. Fase pertama atau mesophilic dimulai dengan pemecahan awal bahan
organik yang dilakukan oleh mikroorganisme mesophilic seperti bakteri
milik famili Pseudomonaceae, Erythrobacteraceae, Comamonadaceae,
Enterobacteriaceae, Streptomycetaceae, dan Caulobacteraceae yang
tumbuh antara 15 °C dan 35 °C. Mikroorganisme ini memanfaatkan
senyawa yang larut dan mudah diasimilasi seperti gula, asam amino, dan
lipid yang ada dalam bahan baku yang digunakan untuk membuat kompos.
b. Aktivitas metabolik mikroba menghasilkan reaksi eksotermik yang dapat
meningkatkan suhu pengomposan mencapai 65–85 °C. Dalam kondisi ini,
populasi mikroorganisme mesophilic menjadi kurang kompetitif dan
digantikan oleh mikroorganisme thermophilic. Selama tahap ini, disebut
fase thermophilic, proliferasi actinobacteria (sebagian besar milik famili
Thermoactinomycetacea, Thermomonosporaceae, dan
Pseudonocardiaceae) dan thermophiles lainnya terjadi. Mikroorganisme
26
ini memiliki enzim yang mendegradasi molekul kompleks seperti selulosa,
lignin, hemiselulosa, dan protein. Dengan cara yang sama, eliminasi agen
patogen dan benih yang dapat berkecambah terjadi ketika suhu meningkat.
c. Kemudian, sumber energi habis dan tumpukan kompos mencapai suhu
antara 15 °C dan 35 °C mengarah pada kolonisasi kompos kedua oleh
mesofil. Selama tahap ini, yang dikenal sebagai fase cooling
(pendinginan), mikroorganisme mesophilic memecah jumlah sisa gula,
selulosa, dan hemiselulosa.
4. Proses pematangan kompos (curing phase)
Pada fase ini ditandai dengan aktivitas mikroba rendah dan suhu konstan,
dekat dengan nilai-nilai ambien serta prekursor zat humat terbentuk (Bernal et
al., 2017).
5. Penyaringan
Penyaringan atau pengayakan dilakukan untuk memisahkan partikel kasar dari
partikel halus. Partikel kasar bisa digunakan kembali pada proses
pengomposan. Hasil dari proses penyaringan diharapkan dapat mempermudah
pengemasan agar tempat kemasan pupuk organik tidak mudah sobek akibat
tergesek partikel kasar.
6. Pengemasan
Pengemasan merupakan cara pengamanan terhadap hasil produksi pupuk
organik agar sampai ke konsumen dengan kondisi kualitas dan kuantitas tidak
berubah. Kompos yang sudah matang dengan indikator temperatur,
kelembaban, dan derajat keasamannya relatif tidak berubah lagi dimasukkan
ke dalam kemasan dan direkatkan. Menurut Setiawan, B. S. (2014), tujuan
dari pengemasan pupuk organik adalah:
a. Melindungi pupuk organik dari kontaminasi yang merugikan
b. Membuat umur simpan pupuk organik lebih panjang
c. Agar tidak kontak langsung dengan air maupun udara lebih (terutama
udara panas)
d. Memudahkan dalam distribusi
27
e. Menambah nilai jual pupuk organik dengan diberi nama perusahaan dan
informasi terkait komposisi serta kandungan pupuk organiknya
Pupuk organik padat biasanya dikemas dengan menggunakan plastik
atau karung. Secara umum bahan pengemas harus bersifat permeabilitas
(kemampuan melewatkan udara yang sesuai dengan pupuk organik dalam
kemasan), tidak bereaksi dengan pupuk organik, kedap air, mudah dikerjakan
secara massal, serta harganya relatif murah.
2.4 Keluaran Bukan Produk (KBP/ NPO)
2.4.1 Pengertian KBP/ NPO
Keluaran bukan produk didefinisikan sebagai seluruh materi, energi, dan air
yang digunakan dalam proses produksi namun tidak terkandung dalam produk
akhir (GTZ-ProLH, 2009). Pemahaman atas keluaran bukan produk (KBP) atau
Non Produk Output (NPO) merupakan langkah awal dalam melakukan analisis
sebelum penerapan konsep produksi bersih. Dengan melihat keluaran KBP
merupakan pendekatan yang efektif untuk mengidentifikasi peluang perbaikan
lebih lanjut. Bentuk keluaran bukan produk diidentifikasi sebagai berikut:
a. Bahan baku yang kurang berkualitas
b. Barang jadi yang ditolak atau diluar spesifikasi produk yang ditentukan
c. Pemrosesan kembali (reprocess)
d. Limbah padat (B3 maupun non B3)
e. Limbah cair (keseluruhan air yang tidak terkandung dalam produk akhir)
f. Energi yang tidak terkandung dalam produk akhir
g. Emisi (termasuk kebisingan dan bau)
h. Kehilangan dalam penyimpanan
i. Kerugian pada saat penanganan dan transportasi
j. Pengemasan barang
k. Klaim dari pelanggan dan trade return
l. Kerugian karena kurangnya perawatan
m. Kerugian karena permasalahan kesehatan dan lingkungan
28
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam merencanakan
perhitungan keluaran bukan produk (KBP), yaitu:
a. Pikirkan apa yang akan direduksi bila KBP dikurangi
b. Lebih baik perkiraan secara kasar tetapi benar daripada terlalu hati-hati tetapi
salah
c. Terdapat kemungkinan berbeda dalam mengalokasikan biaya KBP
d. Mencegah terjadinya perhitungan ganda
e. Tidak perlu berlebihan dalam memperkirakan penghematan
2.4.2 Lindi
Masalah polusi utama yang terkait dengan produksi pupuk organik pada pile
pengomposan adalah produksi lindi (leachate) yang dicirikan oleh kadar garam
yang tinggi dan NH4–N (Ammonia nitrogen) serta muatan organik yang tinggi
(Romero et al., 2013). Pengomposan kotoran ternak (manure) mungkin
melibatkan pembentukan lindi karena beberapa alasan yaitu: kandungan air (MC)
yang tinggi dari kotoran dan kompresi yang disebabkan oleh kolom materi di
atasnya, aplikasi air untuk menjaga kadar air dari bahan yang sedang
dikomposkan dalam kisaran yang sesuai, dan curah hujan yang terjadi selama
proses pengomposan (Cáceres et al., 2015).
Kegagalan untuk mengontrol limpasan lindi dari pile pengomposan dapat
menyebabkan masalah manajemen dan lingkungan, termasuk genangan air, bahan
pengomposan yang jenuh, kondisi lokasi berlumpur dan limpasan lindi yang
berlebihan dari lokasi. Lindi dapat diminimalkan dengan mengontrol kelembaban
selama proses pengomposan (NSFA, n.d.). Pilihan paling murah dalam
pengelolaan lindi adalah merancang fasilitas pengomposan sedemikian rupa untuk
mengurangi dan menggunakan kembali semua kelebihan air, sehingga pengolahan
lindi hanya diperlukan sebagai upaya terakhir. Untuk mencegah produksi lindi,
fasilitas harus dirancang untuk memisahkan curah hujan dari limbah organik dan
kompos. Kemudian, campuran yang tepat dari bahan baku kompos harus
digunakan, campuran ideal bahan baku kompos ini termasuk tidak menggunakan
bahan yang terlalu basah atau menambah banyak air ke dalam campuran. Untuk
29
mencapai tujuan ini, kadar air kompos tidak boleh melebihi 65% (Roy et al.,
2018).
Nitrifikasi pada pengolahan lindi yang terbentuk selama pengomposan
kotoran ternak juga dapat digunakan lebih lanjut sebagai pupuk cair (Cáceres et
al., 2015). Dalam penelitian (Novitasari et al., 2016), lindi dapat dimanfaatkan
sebagai bahan EM-4 dalam proses pengomposan. Lindi juga dapat digunakan
untuk membasuh bahan yang masih dalam tahap pengomposan aktif, hal ini
dianggap dapat mengembalikan nutrisi tanaman yang dapat larut ke batch kompos
berikutnya (Phillips, 2002).
2.4.3 Emisi Gas Rumah Kaca
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2011 Tentang
Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional menyebutkan bahwa
Gas rumah kaca yang selanjutnya disebut GRK adalah gas yang terkandung dalam
atmosfer, baik alami maupun antropogenik, yang menyerap dan memancarkan
kembali radiasi inframerah, sedangkan emisi GRK adalah lepasnya GRK ke
atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu. GRK sebagaimana
dimaksud pada Peraturan Presiden Republik IndonesiaNomor 71 Tahun 2011
meliputi senyawa karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dinitro oksida (N2O),
hidrofluorokarbon (HFCs), perfluorokarbon (PFCs), dan sulfur heksafluorida
(SF6).
Kotoran ternak (manure) adalah sumberdaya yang berharga untuk nutrisi
dan amandemen tanah yang sangat baik untuk meningkatkan kualitas tanah,
produksi, dan produktivitas. Gas rumah kaca utama yang dipancarkan oleh
kotoran ternak adalah metana (CH4), yang dipancarkan saat dekomposisi bahan
organik anaerobik (tanpa oksigen) selama penyimpanan dan nitrous oxide (N2O),
yang dipancarkan selama penyimpanan dan aplikasi ke tanah. Pengelolaan pupuk
merupakan praktik penting dalam meminimalkan emisi gas rumah kaca yang
disebabkan oleh aktivitas mikroba selama dekomposisi pupuk. Faktor-faktor yang
mempengaruhi emisi gas rumah kaca dari kotoran termasuk suhu, tingkat oksigen
(aerasi), kelembaban, dan sumber nutrisi (Alberta, 2004).
30
Karbon dioksida (CO2), metana (CH4) dan dinitro oksida (N2O) semuanya
merupakan produk sampingan dari proses pengomposan. Kemampuan setiap
perangkap GRK untuk panas tergantung pada kapasitasnya untuk menyerap dan
memancarkan radiasi dan pada berapa lama gas itu tetap berada di atmosfer, hal
ini disebut sebagai potensi pemanasan global (GWP). Untuk membandingkan
emisi GRK dari gas yang berbeda, GWP dikalikan dengan jumlah masing-masing
gas yang dipancarkan untuk mendapatkan satuan CO2 equivalents (CO2e)
(Alberta, 2001). Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
atau Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim, kemampuan potensi
pemanasan global atau Global Warming Potensial (GWP) gas rumah kaca dapat
dilihat pada Tabel 7., dimana CO2 paling kecil (sebagaimana dikutip dalam KLH
(2012a)).
Tabel 7. Jenis-jenis gas rumah kaca di peternakan dan nilai potensi pemanasanglobal
Gas Rumah Kaca Rumus Kimia Nilai Potensi PemanasanGlobal
Karbon dioksida CO2 1
Metana CH4 25
Dinitro oksida N2O 298
Sumber: Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC)
Emisi yang timbul dari pengolahan kotoran sapi (manure) menjadi pupuk
organik dapat bersumber pada konsumsi energi bahan bakar untuk operasional
dan kegiatan pengomposan. Emisi GRK dari sektor peternakan dihitung dari emisi
metana yang berasal dari fermentasi enterik ternak, dan emisi metana dan dinitro
oksida yang dihasilkan dari pengelolaan kotoran ternak. Emisi CO2 dari
peternakan tidak diperkirakan karena emisi CO2 diasumsikan nol karena CO2
diserap oleh tanaman melalui fotosintesis dikembalikan ke atmosfer sebagai CO2
melalui respirasi (KLH, 2012c). Perhitungan emisi pada kegiatan pengelolaan
limbah kotoran ternak sapi (manure) menjadi pupuk organik di PT. Tri Nugraha
Farm dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
31
1. Emisi yang dihasilkan dari konsumsi energi secara langsung seperti
pemakaian bahan bakar fosil.
Sumber emisi gas rumah kaca (GRK) hasil pembakaran bahan bakar
dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kategori utama, yaitu sumber tidak bergerak
(stasioner) dan sumber bergerak (KLH, 2012b). Dengan mengacu pada IPCC,
perhitungan konsumsi energi bahan bakar dinyatakan dalam perhitungan emisi
gas-gas rumah kaca (GRK) atau sering disebut dengan gas CO2e, didasarkan
pada jenis penggunaan bahan bakar dengan menggunakan pendekatan faktor
emisi. Persamaan yang digunakan untuk estimasi emisi GRK dari pembakaran
bahan bakar sumber tidak bergerak (stasioner) adalah sebagai berikut:
Emisi GRK kgthn = Konsumsi Energi TJthn x Faktor Emisi kgTJKonsumsi energi (TJ) = Konsumsi Energi (sat. Fisik)x Nilai Kalor TJsat.Emisi GRK dari pembakaran bahan bakar pada sumber bergerak adalah emisi
GRK dari kegiatan transportasi, dengan persamaan sebagai berikut:Emisi = Konsumsi BB ×Faktor Emisidimana:
Emisi = Emisi CO2 atau CH4 atau N2O
Konsumsi BBa = Faktor emisi CO2 atau CH4 atau N2O menurut jenis
bahan bakar (kg gas/TJ), default IPCC 2006
Faktor emisia = Faktor emisi CO2 atau CH4 atau N2O menurut jenis
bahan bakar (kg gas/TJ), default IPCC 2006
a = Jenis bahan bakar (premium, solar)
2. Emisi yang dihasilkan dari konsumsi energi secara tidak langsung seperti
penggunaan listrik.Emisi (kg CO ) = Konsumsi listrik (kWh) x Faktor Emisi (kg CO /kWh)
32
Faktor Emisi GRK Sistem Interkoneksi Tenaga Listrik Tahun 2016 Jamali
(Jawa, Madura, Bali) adalah 0,877 kg CO2/kWh
3. Emisi dari kegiatan pengelolaan kotoran ternak
Kotoran ternak baik padat maupun cair memiliki potensi untuk mengemisikan
gas metana dan dinitro oksida selama proses penyimpanan, pengolahan, dan
penumpukan/pengendapan. Faktor utama yang mempengaruhi jumlah emisi
adalah jumlah kotoran yang dihasilkan dan bagian kotoran yang
didekomposisi secara anaerobik. Emisi ditentukan oleh jenis dan pengolahan
kotoran ternak (KLH, 2012c). Estimasi emisi CH4 dan N2O dari pengelolaan
kotoran ternak dilakukan dengan menggunakan persamaan dari IPCC (2006),
sebagai berikut:
Emisi metana dari pengelolaan kotoran ternak:CH = (EF × N )10dimana:
CH4 manure = Emisi metana dari pengelolaan kotoran ternak, Gg CH4 yr-1
EF(T) = Faktor emisi populasi jenis ternak tertentu, kg CH4 head-1 yr-1
N(T) = Jumlah populasi jenis/ kategori ternak tertentu
T = Jenis/ kategori ternak
Estimasi emisi N2O langsung dari pengelolaan kotoran ternak.
N O ( ) = N( ) ∙ Nex( ) ∙ MS( , ) ∙ EF ( ) ∙ 4428dimana:
N2OD(mm) = Emisi N2O dari pengelolaan kotoran ternak, kg N2O yr-1
N(T) = Jumlah populasi jenis/ kategori ternak tertentu, jumlah ternak
Nex(T) = Rata-rata tahunan ekskresi N per ekor jenis/kategori ternak,
kg N ternak-1 yr-1
MS(T,S) = Fraksi dari total ekskresi nitrogen tahunan dari jenis ternak
tertentu yang dikelola pada sistem pengelolaan kotoran
33
ternak
EF3(S) = Faktor emisi langsung N2O dari sistem pengelolaan kotoran
tertentu S, kg N2O-N/kg N
S = Sistem pengelolaan kotoran ternak
T = Jenis/kategori ternak
44/28 = Konversi emisi (N2O)-N)(mm) ke dalam bentuk N2O(mm)
Rata-rata tahunan ekskresi N per ekor jenis/kategori ternak (Nex(T)) dilakukan
dengan persamaan: Nex( ) = Nrate( ) × TAM1000 × 365dimana:
Nex(T) = Eksresi N tahunan untuk jenis ternak T, kg N/ekor/tahun
Nrate(T) = Nilai default laju eksresi N, kg N/1000 kg bobot ternak/ hari
TAM = Bobot ternak untuk jenis ternak T, kg/ekor
Estimasi emisi N2O tidak langsung dari pengelolaan kotoran ternak dari
penguapan N dalam bentuk ammonia (NH3) dan NOx (N2OG(mm)) dihitung
dengan menggunakan persamaan berikut:
N O ( ) = (N × EF ) × 4428dimana:
N2OG(mm) = Emisi tidak langsung N2O akibat dari penguapan N dari
pengelolaan kotoran ternak, kg N2O yr-1
Nvolatilization-MMS = Jumlah kotoran ternak yang hilang akibat volatilisasi
NH3 dan NOx, kg N per tahun
EF4 = Faktor emisi N2O dari deposisi atmosfir nitrogen di
tanah dan permukaan air, kg N2O-N (kg NH3-N + NOx-
N tervolatisasi)-1 ; default value IPCC adalah 0,01 kg
N2O-N (kg NH3-N + NOx-N tervolatisasi)-1
Jumlah kotoran ternak yang hilang akibat volatilisasi NH3 dan NOx
(Nvolatilization-MMS) dilakukan dengan persamaan:
34
N = N × Nex( ) ×MS( , ) × Frac100 ,dimana:
N(T) = Populasi jenis/kategori ternak tertentu, ekor
Nex(T) = Rata-rata tahunan N yang dieksresikan per jenis/ kategori
ternak tertentu, kg N/ekor/tahun
MS(T,S) = Fraksi N yang dieksresikan untuk setiap jenis kategori ternak
berdasarkan jenis pengelolaan limbah ternak
FracgasMS = Persen limbah N yang tervolatisasi untuk jenis ternak
tertentu yang tervolatisasi menjadi NH3 dan NOx pada
sistem pengelolaan limbah ternak S,%
top related