teori evolusioner dan psikologi evolusioner dalam psikologi belajar
Post on 25-Jun-2015
2.515 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Teori Evolusioner dan Psikologi Evolusioner
Pendidikan Guru Sekolah Dasar Sekolah Tinggi Keguruan Dan Ilmu Pendidikan
STKIP Hamzanwadi Pancor
Rifqi dan Intan Cahya Mentari
3/13/2014
PEMBAHASANTEORI EVOLUSIONER dan PSIKOLOGI EVOLUSIONER
A. Teori Darwin dan Psikologi Evolusioner
a. Seleksi Alam
Seleksi alam atau biasa disebut dengan natural selection adalah karya dari Darwin.
Sebenarnya para ahli biologi sudah sejak lama memikirkan tentang perubahan dalam struktur
biologis, namun Darwin lah yang mempopulerkan konsep seleksi alam ini.
Konsep seleksi alam dalam relevansinya dengan psikologi evolusioner akan dijelaskan dibawah
ini :
a. Variabititas, variabilitas disini ditekankan pada aktivitas visual, kekuatan fisik dan dalam
kecepatan belajar. Perbedaan-perbedaan individulah yang menjadi unsur pokok dalam
terjadinya variabilitas ini.
b. Hanya beberapa perbedaan individu yang dapat diwariskan artinya bahwa hanya
beberapa sifat atau perbedaan yang dapat diturunkan dari orangtua ke anaknya dan
seterusnya. Variasi yang disebabkan oleh mutasi genetik atau oleh kejadian lingkungan
yang tidak menguntungkan, tidak akan di turunkan ke keturunan berikutnya. Demikian
pula variasi dalam perilaku dalam perilaku belajar, entah itu menguntungkan atau tidak
akan diteruskan ke generasi berikutnya melalui belajar, tetapi tidak diwarisakan.
Interaksi antar individu dengan tuntutan lingkungan tempat tinggal akan memungkinkan
terjadinya seleksi alam.
b. Adaptasi
Adaptasi diartikan sebagai cara bagaimana individu mengatasi tekanan lingkungan
sekitarnya untuk bertahan hidup. Individu yang mampu beradaptasi akan bertahan hidup,
sedangkan yang tidak mampu beradaptasi akan menghadapi kepunahan atau kelangkaan jenis.
Pada dasarnya adaptasi adalah cara untuk mempertahankan keberadaan. Dilihat dari latar
belakang perkembangannya, pada mulanya adaptasi diartikan sama dengan penyesuaian diri.
Padahal adaptasi ini pada umumnya lebih mengarah pada penyesuaian diri dalam arti fisik,
fisiologis atau biologis. Misalnya seseorang yang pindah tempat dari daerah panas ke daerah
dingin harus beradaptasi dengan iklim yang berlaku di daerah dingin tersebut. Dengan demikian,
dilihat dari dari sudut pandang ini, penyesuaian diri cenderung diartiakan sebagai usaha
mempertahankan diri secara fisik.
B. Teori Belajar Bolles
Robert C. Bolles lahir di Sacramento, California, pada 1928. Dia bekerja di U.S. Naval
Radiological Defence Laboratory di dekat Fransisco, California. Bolles bergabung dengan
Garcia dalam program studi psikologi di Berkeley dimana keduanya belajar dibawah bimbingan
Tolman. Pada masa ini Lewis Petrinovich melakukan eksperimen awal yang menimbulkan minta
Bolles pada teori belajar evolusioner (Bolles & Petrinovich, 1954; Petrinovich & Bolles, 1954).
Pada 1964 dia ke University Washington dan mengajar di sana sampai dia meninggal pada 8
April 1994 karena serangan jantung. Sepanjang kariernya Bolles menulis lebih dari 160 artikel
riset dan tiga buku teks yang berpengaruh, termasuk teks tentang teori belajar. Dia bekerja
sebagai editor Animal Learning and Behavior tahun 1981 sampai 1984.
Konsep Teoritis Utama
1. Expekstasi
Menurut Bolles, belajar melibatkan pengembangan expectancies
(ekspektasi,pengharapan). Yakni, organisme belajar satu jenis kejadian yang mendahului
kejadian lainnya.
Pengkondisian klasik sebagai ekspektasi yang dipelajari yang ketika diberi satu stimulus
(CS) akan menimbulkan stimulus lain (US). Dalam kehidupan sehari-hari, melihat kilat dan
berharap ada suara petir adalah contoh dari jenis ekspektasi stimulus-stimulus atau S-S ini.
Pengkondisian operan dan Instrumental melibatkan pengembangan ekspektasi respons-
stimulus atau R-S (Bolles, 1972). Misalnya seekor tikus belajar mengharapkan bahwa jika ia
menekan tuas dalam kotak, maka akan muncul makanan. Dalam kehidupan sehari-hari, berharap
mendengar suara bel ketika tombol bel di pintu ditekan adalah contoh dari ekspektasi R-S.
2. Predisposisi Bawaan
Penekanan Bolles pada ekspektasi menunjukkan pengaruh dari Tolman. Akan tetapi, ada
perbedaan penting antara kedua teoritisi itu. Tolman berkosentrasi pada ekspektasi S-S dan R-S
yang dipelajari, sedangkan Bolles menekankan pada ekspektasi S-S dan R-S bawaan ( innate)
dalam analisisnya terhadap perilaku, dan penekanan pada S-S dan R-S bawaan inilah yang
menempatkannnya segolongan denga psikolog lain yang tertarik pada penjelasan perilaku dari
prespektif evolusi. Contoh dari dari hubungan S-S bawaan adalah ketika bayi menunjukkan
ketakutan akan suara yang keras, mengisyaratkan bayi tersebut memperkirakan peristiwa yang
berbahaya untuk diikuti. Ekspektasi R-S bawaan dicontohkan oleh perilaku stereotip yang
banyak dilakukan spesies saat menghadapi makanan, minuman, bahaya, dan objek atau kejadian
biologis yang signifikan lainnya.
Menurut Dojman (1997), cacat dalam teori belajar tradisional, seperti teori Thorndike,
Watson, Skinner, Hull, adalah asumsinya yang dikenal sebagai empirical principle of
equipotentiality (prinsip ekuipotensialitas empiris) (jangan tertukar dengan hukum
ekuipotensialitas-nya Karl Lashley). Prinsip ekuipotensialitas empiris ini menyatakan bahwa
hukum belajar “berlaku secara ekual untuk setiap tipe stimulus dan setiap tipe respons”. Jadi,
prinsip eekuipotensialitas empiris menyebabkan menyebabkan periset mempelajari belajar dalam
satu spesies tertentu tanpa mempertimbangkan sejarah evolusi dari spesies itu. Selain itu, ketika
anggota spesies tidak belajar melakukan suatu respons dalam kondisi yang ditentukan, hasil yang
mengecewakan akan dinisbahkan ke disfungsi peralatan atau kesalahan eksperimenter, atau
dianggap sebagai “gangguan” yang tidak bisa dijelaskan.
3. Motivasi Membatasi Fleksibilitas Respons
Beberapa teoritis telah meminimalkan atau menolak peran motivasi dalam proses belajar
(misalnya, Guthrie dan Tolman). Teoritisi lainnya (misalnya, Hull) mementingkan motivasi
organisme. Menurutnya, motivasi dan belajar tidak bisa dipisahkam. Namun, dalam pandangan
Bolles, seseorang harus tau baik itu keadaan motivasional itu. Menurut Bolles (1979, 1988),
organisme mungkin fleksibel dalam hal ekspektasi S-S, ekspektasi R-S mungkin lebih terbatas
sebab motivasi menghasilkan bias respon. Artinya, hewan akan kesulitan mempelajari perilaku
yang berkonflik dengan perilaku yang terjadi secara alami dalam situasi tersebut. Misalnya,
organisme tidak akan belajar perilaku yang berhubungan dengan tindakan membebaskan diri
guna mendapatkan makanan, atau tidak akan belajar perilaku tertentu untuk bisa bebas dari
stimulus yang menyakitkan atau berbahaya.
4. Argumen Tempat
Bolles (1988) mengatakan bahwa pemahaman atas belajar harus diiringi dengan pemahaman atas
sejarah evolusi organisme. Dia mengatakan bahwa, hewan punya kewajiban, dorongan, untuk
belajar dan untuk tidak belajar, tergantung pada tempat mereka berada dan bagaimana
menyesuaikan diri dengan keseluruhaan skema. Kita dapat memperkirakan beberapa jenis
pengalaman akan direfleksikan dalam belajar, dan sebagian lainnya tidak... tugas belajar yang
melanggar komitmen biologis terhadap tempatnya dapat diperkirakan akan menghasilkan
perilaku anomali. Sebuah tugas belajar yang menguatkan predisposisi hewan untuk berperilaku
dengan cara tertentu akan lebih besar kemungkinannya untuk sukses. Ini adalah argumen tempat.
C. Batas BiologisRobert C. Bolles
Batas Biologis dari Belajar
Kita telah melihat bahwa teori Bolles dibangun berdasarkan ide bahwa predisposisi
bawaan akan membatasi asosiasi yang bisa dipelajari organisme dan respon yang akan diberikan
organisme dalam situasi spesifik. Ide ini didukung oleh Seligman (1970) yang berpendapat
bahwa beberapa spesies belajar asosiasi dengan lebih mudah dibanding spesies lainnya sebab
mereka secara biologis sudah lebih siap untuk melakukannya. Jadi tempat asosiasi pada
preparedness continuum (kontinum kesiapan) akan menentukan seberapa mudah asosiasi itu
akan dipelajari.
1. Pengkondisian Instrumental
Dalam eksperimennya Bolles`menggunakan satu kelompok tikus untuk menguji teorinya,
tikus-tikus itu dibuat kehausan dan kelaparan. Mereka diperkuat dengan air dan makanan
kemanapun mereka berbelok. Dalam studi ini tikus yang lapar yang mencari makanan
melakukan tugas dengan lebih cepat ketimbang tikus haus yang mencari air. Penjelasan evolusi
bisa menerangkan bahwa tikus berkembang sebagai hewan omnivora dan suka keluyuran, maka
mereka mungkin akan menyimpang dalam mewncari makanan di lokasi yang sama sedangkan
air adalah sumber yang lebih stabil. Dengan kata lain tikus siap untuk pergi ke tempat yang sama
untuk mencari air tetapi tidak mereka tidak siap untuk pergi ke tempat yang sama untuk
menemukan makanan.
Melarikan diri dan menghindar. Organisme mungkin menunjukkan tingkat fleksibilitas
respon dan eksplorasi dalam hal mendapatkan makanan dan minuman. Misalnya tikus lapar
mungkin menekan tuas, menelusuri jalur teka-teki, mengendus cangkir kecil dan sebagainya.
Bolles mengakui bahwa hewan melarikan diri dari predator harus bisa dilakukan dalam satu kali
tindakan agar ia bisa bertahan hidup.
Strategi tikus adalah menggunakan pola perilaku yang tepat untuk melindungi dirinya se4ndiri
yanmg disebut sebagai reaksi defensif spesifik-spesifik (SSDR).
2. Pengkondisian Operan
Bolles,Reley,Cantor dan Duncan (1974) menunjukkan bahwa semua tikus akan belajar
mengantisipasi makanan jika ia disajikan pada jadwal penguatan interval tetap (F1) (sekali per
hari) namun mereka tidak siap untuk mempelajari setrum listrik yang menyakitkan jika setrum
itu terjadi pada jadwal F1 sama. Menurut Bolles tikus dapat dengan mudah lari maju mundur
untuk ,menghindari setrum tetapi mereka kesulitan menekan tuas untuk menghindari setrum.
3. Autoshaping
Bolles (1979) menyatakan bahwa autoshaping melibatkan belajar S-S namun tidak terjadi
belajar rerspon baru. Dia menginterpretasikan perilaku mematuk itu sebagai respon bawaan
terhadap stimulus yang karena kontiguitas temporalnya dengan menyajikan makanan
mendapatkan properti yang terkait dengan makanan. Dalam eksperimen autoshaping pematukan
mereduksi tingkat penguatan namun pematukan kunci terus berlanjut. Evolusi tidak selalu
melahirkan kemajuan, adaptasi yang mungkin sukses di tempat tertentu (EEA) mungkin akan
bermasalah dalam lingkungan modern atau dalam laboratorium.
4. Pengkondisian Klasik
Di dalam riset Garcia mengidentifikasikan bahwa di dalam suatu spesies, asosiasi tertentu
akan lebih mudah dibentuk ketimbang asosiasi lainnya karena adanya sejarah evolusi spesies itu.
Karena itu para penulis berpendapat bahwa spesies akan bisa sangat adaptif jika (sebagian besar)
organisme dapat belajar menghindari berdasarkan aroma bukan berdasarkan bentuk,warna atau
struktur dari makanan atau minuman yang membuat mereka sakit. Seperti respon yang
dikondisikan lainnya aversi cita rasa yang dipelajari dapat mengalami pelenyapan (extinction).
Dengan kata lain jika aroma (CS) disajikan berkali-kali tanpa diikuti rasa sakit (UR) organisme
akan mendekati dan mengonsumsi substansi yang pernah dihindarinya.
5. Behaviorisme Biologis
Karya yang lebih baru dari William Timberlake memperluas dan mengelaborasikan
argumen Bolles. Timberlake memuji tradisi behavioral atas perannya dalam membangun metobe
standar dan teknik pengukuran standart untuk meneliti belajar dan dia mengakui logika dari
percobaan yang terkontrol yang telah matang pada masanya behaviorisme. Tetapi seperti Bolles,
Timberlake berpendapat bahwa usaha untuk mengungkap prinsip belajar yang umum dan abstrak
cenderung mengabaikan perbedaan spesifik-spesifik dalam kesiapan belajarnya. Jadi jika kita
tidak memahami organisme dari prespektif bioevolusi fenomena seperti yang diamati dalam
autoshaping atau “misbehavior” sering dianggap sebagai kesalahan dan membuat kita mungkin
menolak teori atau metode lain yang mungkin lebih berguna.
D. Aplikasi Psikologi Evolusioner dalam Perilaku Manusia
Psikologi evolusioner telah di aplikasikan secara luas untuk memahami perilaku manusia.
Wilson menyajikan basis biologis dari perilaku sosial manusia. Dia berpendapat bahwa baik itu
pikiran manusia atau kultur manusia terus berkembang lantaran hal-hal tersebut membantu
kelangsungan hidup manusia. Peran psikologi dalam sintesis baru ini dikemukakan dalam akalah
Wilson yang disampaikan pada pertemuan nasional American Psicological Association di Boston
pada tahun 1999. Dalam pembahasan dibawah nanti kita akan membatasi diri pada pengaruh
persiapan belajar terhadap perkembangan fobia, seleksi pasangan, parenting, kekerasan keluarga,
“altruisme”, dan perilaku moral, serta perkembangan bahasa, tapi ada bidang lain dimana prinsip
evolusi telah diaplikasikan, seperti agresi dan perang; pemerkosaan, incest, dan bunuh diri;
penghindaran incest; dan agama.
1. Perkembangan Fobia
Fobia pada manusia, yang berupa rasa takut berlebihan terhadap suatu stimuli seperti ular
atau laba-laba, sulit untuk dijelaskan dalam term pengkondisian klasik. Penjelasan evolusioner
tentang perkembangan fobia dibawah ini diberikan oleh Lumsden dan Wilson (1981) dan
penjelasan ini sesuai dengan konsep kesiapan Seligman:
Kesiapan belajar manusia paling jelas dimanifestasikan dalam kasus fobia, yang berupa
rasa takut yang disebabkan oleh kombinasi dari beberapa hal. Fobia memberikan respons yang
ekstrem. Fobia biasanya muncul dengan seutuhnya setelah ada satu penguatan negatif dan
biasanya sulit untuk dihilangkan. Yang menarik adalah fenomena yang menimbulkan reaksi ini
(ruang tertutup, ketinggian, badai, air deras, ular dan laba-laba) secara konsisten mengandung
beberapa bahayayang mengancam lingkungan manusia sedangkan pistol, pisau, mobil, stop
kontak listrik, dan peralatan teknologi lainnya yang berbahaya jarang menimbulkan fobia. Maka,
adalah masuk akal untuk menyimpulkan bahwa fobia dalah kasus ekstrem dari reaksi ketakutan
irasional yang menyebabkan rasa takut menjadi berlebihan. Seseorang terkadang lebih suka
menjauhi bukit ketimbang berjalan diatasnya.
Ohman dan Mineka (2001, 2003) mengatakan bahwa beberapa fobia diperoleh secara
cepat karena mereka dimediasi oleh proses belajar otomatis yang tak disadari. Untuk
mengeksplorasi bagaimana belaja r tanpa sadar ini bekerja, Ohman dan rekannya menggunakan
prosedur yang dinamakan backward masking. Dalam prosedur ini , sebuah stimulus visual
ditampilkan sebentar, mungkin hanya 20 atau 30 milidetik. Stimulus ini di ikuti dengan tayangan
visual kedua. Penayangan visual kedua ini tampaknya mencampuri atau “menutupi” pemrosesan
visual secara sadar terhadap stimulus. Jadi, stimulus kedua ini adalah satu-satunya yang
dipersepsi secara sadar. Prosedur ini dapat digambarkan dalam diagram berikut:
Psikolog evolusioner juga mendiskusikan xenophobia atau rasa takut terhadap orang
asing. Fobia ini , kata mereka berasal dari tendensi primitif untuk mendikotomisasikan orang
sebagai anggota satu kelompok (klan, desa, atau suku) dengan orang diluar anggota kelompok.
Anggota dalam kelompok hidup sesuai dengan keyakinan dan aturan yang sama (misalnya
prinsip agama) dan umumnya dianggap sebagai kawan, sedangkan orang luar kelompok hidup
berdasarkan aturan dan prinsip berbeda dan dianggap sebagai setidaknya musuh potensial.
Dalam xenophobia seseorang mungkin melihat adanya kecenderungan natural kearah prasangka.
2. Seleksi Pasangan
Dari sudut pandang psikologi evolusioner pemilihan pasangan, banyak standar yang
ditransmisikan secara sosial sebenarnya adalah standar buatan. Banyak standar sosial sebenarnya
dengan daya tarik bisa berubah-ubah: misalnya, standar gaya rambut, riasan wajah, gaya pakaian,
dan bahkan bentuk tubuh, semuanya bisa berubah. Bagi psikolog evolusioner, harus ada kriteria
seleksi pasangan yang lebih mendasar ketimbang standar sosial untuk daya tarik fisik di dalam
satu kultur dan kriteria ini bersifat universal. Karenanya perspektif evolusioner menunjukkan
bahwa pasangan yang menarik akan memiliki karakteristik yang mungkin tidak ada
hubungannya dengan daya tarik fisik. Contoh karakteristik itu misalnya sifat pengasih dan
pengasuh, subur reproduksinya, pantas jadi pasangan dan orang tua, dan sebagainya..
Karakteristik paling penting yang diidentifikasikan oleh pria atau wanita adalah kebaikan
dan pemahaman, kemudian kecerdasan, yang semua faktor itu penting bagi kelangsungan hidup
kita, pasangan kita, dan keturunan kita. Walau ada kemiripan antara pria dan wanita namun ada
dua pengecualian. Lelaki cenderung meletakkan urutan “daya tarik fisik” di tingkat lebih tinggi
ketimbang wanita, dan wanita cendering meletakkan “kemampuan mencari nafkah yang baik”
lebih tinggi ketimbang lelaki. Penjelasan evolusi untuk perbedaan ini adalah bahwa perempuan
menghabiskan banyak sumber daya biologis untuk melahirkan dan mengasuh anak, dan karena
wanita, sampai saat ini, masih merupakan satu-satunya pihak yang bisa mengandung bayi. Jadi,
wanita lebih menekankan pada kemampuan pria untuk melindungi dan memberi nafkah
keluarga. Sebaliknya, lelaki memberi penekanan lebih pada daya tarik fisik karena dianggap
sebagai prediktor kemampuan reproduksi wanita.
3. Parenting
Walaupun peran spesifik orang tua dalam mendidik, mensosialisasikan, dan
mendisiplinkan anak akan dipengaruhi oleh kultur, mereka juga merefleksikan pengaruh
biologis. Bagi psikolog evolusioner, tugasnya adalah menjelaskan mengapa dua orang dewasa
mungkin menghabiskan sumber daya fisik dan biologisnya (dan melakukan kegiatan yang
berisiko) untuk orang lain (yakni si anak) yang jarang mengatakan “terimaksih” dan mungkin
tidak menyadar pentingnya tindakan pengorbanan orang tua selama bertahun-tahun.
Seleksi Kerabat, penjelasan evolusi tentang parenting dimulai dengan prinsip seleksi kerabat
Neo-Darwinian, yakni ide bahwa kesesuaian evolusioner membutuhkan kelangsungan bukan
hanya gen-gen kita, tetapi juga gen-gen dari individu yang memiliki hubungan dengan kita
(kecocokan inklusif). Hamilton’s Rule (kaidah Hamilton) menunjukkan hal ini berkaitan dengan
altruism (altruisme), yakni tindakan pengorbanan diri tanpa pamrih demi kebaikan pihak lain.
Secara spesifik kaidah itu mengatakan bahwa perilaku altruistik terjadi ketika rB > C dan:
B = Manfaat yang didapat oleh penerima tindakan altruistik
C = Biaya yang mesti di tanggung pelaku tindak altruistik
r = Proporsi gen yang sama-sama dimiliki oleh aktor dan resipian tindakan altruistik.
Dengan cara ini psikolog evolusioner memandang parenting bukan sebagai perilaku yang
dipelajari, tetapi sebagai tindakan yang dipengaruhi oleh prisip seleksi kerabat. Keturunan kita
akan banyak di untungkan karena mereka termasuk dalam orang yang paling mungkin
mendapatkan bantuan tanpa pamrih dari kita. Seperti dikatakan Krebs (1998), orang tua “sekedar
melakukan apa yang mereka harus lakukan untuk memperbanyak gen mereka sendiri.”
Perbedaan Jenis Kelamin. Barash (1979) menunjukkan bahwa parenting kebanyakan adalah
tugas perempuan: “ belum ada dalam sejarah manusia, baik dimasa lalu maupun kini, ada
perempuan yang tidak memiliki tanggung jawab utama untuk pengasuhan anak. Parenting adalah
pekerjaan yang berkaitan dengan jenis kelamin. Menurut psikolog evolusioner, ada dua alasan
utama mengapa wanita cenderung lebih terlibat dalam parenting ketimbang pria. Pertama, wanita
memiliki lebih banyak “investasi” pada anak ketimbang lelaki. Barash menjelaskan bahwa
“Telur di buahi oleh sperma, bukan sebaliknya. Dan yang hamil adalah wanita, bukan pria. Yang
kedua, seperti dikemukakan Buss (1998): “tidak pernah wanita merasa ragu bahwa anak yang
dilahirkannya adalah anaknya sendiri. Sebaliknya, lelaki boleh jadi tidak yakin bahwa bayi itu
adalah hasil spermanya.”
Kekerasan keluarga, implikasi penting dari kaidah Hamilton dan seleksi kerabat secara umum
adalah perilaku kekerasan tidak mungkin diarahkan kepada orang-orang yang memiliki gen sama
dengan kita. Karenanya, kekerasan dalam keluarga, seharusnya jarang terjadi. Namun,
kenyataannya kekerasan dalam keluarga hampir terjadi setiap hari. Secara spesifik, seleksi
kerabat menguatkan perilaku kekerasan terhadap anggota keluarga yang tidak terkait secara
genetik. Misalnya dalam kompilasi data pembunuhan di Detroit, Daly dan Wilson menemukan
bahwa tindak pembunuhan yang dilakukan terhadap pasangan (kerabat yang tidak punya
hubungan genetik), atau individu lain yang bukan kerabat dekat, besarnya lebih banyak 20 kali
lipat ketimbang pembunuhan terhadap orang tua, anak, atau kerabat yang punya hubungan
genetik.
4. Altruisme dan Perilaku Moral
Jenis altruisme yang didikusikan di atas dinamakan kin altruism (altruisme kerabat) dan
kemunculannya ditentukan oleh Kaidah Hamilton. Psikolog evolusioner juga mendiskusikan
reciprocal altruism (altruime resiprokal), yakni tindakan membantu yang dilakukan oleh
individu yang tidak punya hubungan secara genetik dengan yang dibantu. Altruime resiprokal
didasarkan pada fakta bahwa manusia yang bekerja sama lebih mungkin untuk bertahan hidup
ketimbang mereka yang tidak mau bekerja sama (misalnya, dalam berburu atau berperang).
Altruisme resiprokal di dasarkan pada asumsi bahwa jika seseorang membantu anggota
komunitas , maka suatu saat nanti, anggota itu, atau anggota lain dari komunitas itu, akan
membalas dengan memberi pertolongan pula. Altruisme ini mengikuti pepatah : “Berbuatlah
kepada orang lain sebagaimana anda ingin orang lain berbuat kepada diri anda sendiri.”
5. Bahasa
Menurut psikolog evolusioner, belajar bahasa mungkin mengilustrasikan kesiapan
biologis dalamproses belajar manusia secara lebih dramatis ketimbang fenomena lain yang kita
diskusikan.
Pinker (1994) mengakui bahwa masih banyak yang harus dipelajari tentang evolusi bahasa,
perkembangan bahasa, dan peran otak manusia dalam fenomena ini, dia sangat mendukung
perspektif psikologi evolusioner:
Setiap diskusi menunjukkan kompleksitas naluri bahasa yang adaptif. Bahasa banyak
terdiri banya: sintaksis, dengan kombinasi frasanya morfologi, sistem kombinasi kedua:
leksikon, vokal, kaidah fonologi dan struktur fonologi, persepsi ucapan, algoritma, algoritma
belajar. Bagian-bagian itu secara fisik diketahui sebagai sirkuit neural yang rumit. Sirkuit ini
mempunyai kemampuan penting, kemampuan untuk menyampaikan berbagai macam struktur
pemikiran dari kepala ke mulut.”
E. Pandangan Psikologi Evolusioner tentang Pendidikan
Psikologi evolusioner tidak memiliki implikasi untuk teknik pengajaran spesifik, tetapi
memiliki implikasi untuk kurikulum pendidikan secara umum. Psikolog evolusioner juga
percaya bahwa manusia secara biologis siap untuk belajar hal-hal yang dinilai positif oleh suatu
kultur. Misalnya, karena manusia cenderung bisa menguasai bahasa, maka sekolah harus
menekankan pada belajar bilingual di tahap awal pendidikan.
Psikolog evolusioner mengingatkan pendidikan untuk menghindari “nothing-butism”,
yakni asumsi bahwa perilaku ditentukan oleh gen atau oleh kultur saja. Menurut mereka,
perilaku manusia selalu merupakan fungsi dari keduanya. Realisasi ini mungkin secara khusus
penting ketika menghadapi problem perilaku seperti prasangka atau agresi.
F. Evaluasi Psikologi Evolusioner
Pada prinsipnya setiap teori yang dikemukakan oleh para ahli adalah benar dalam bingkai-
bingkai tertentu. Sementara implementasi yang dituntut saat ini adalah kemampuan pengajar dalam
menghargai pembelajar sebagai manusia yang bersifat individual dan sosial. Kaitannya dengan
analisis teori belajar evolusioner dapat dilihat pada tabel di bawah ini
No Teori Belajar Konsep Dasar Keunggulan Kelemahan
1 Evolusioner Perilaku manusia selalu merupakan fungsi dari gen dan dan kultur
- Kecerdasan adalah sifat genitas yang dimili manusia
- Dominasi kultural yang harus dihindari
- Mengabaikan kegiatan yang dilakukan berulang-ulang oleh satu individu yang dapat meningkatkan pemahaman objek yang diulangi.
- Akselarasi kultur yang berimplikasi
pada tingkat keragaman kultural
Kontribusi
Psikologi evolusioner membedakan antara proximate explanations dengan ultimate
explanations tentang prilaku. Proximate explanations merujuk pada kondisi deprivasi, stimuli
lingkungan yang dapat diamati, kontingensi penguatan, dan sejarah belajar organisme. Ultimate
explanations menekankan pada ciri bawaan dan prilaku organisme yang dibentuk oleh seleksi
alami.
Kritik
Mungkin kritik paling umum terhadap psikologi evolusioner, dan terhadap teori evolusi,
adalah klaim bahwa argumen evolusioner bersifat sirkular ( memutar). Artinya, pengkritik
mengatakan bahwa adaptasi yang sukses didefinisikan sebagai ciri bawaan fisik atau behavioral
yang menjaga seleksi alam ( dan karenanya direproduksi); karenanya, jika suatu perilaku eksis
dalam satu generasi, ia pasti dipilih dan karenanya akan menjadi adaptasi yang sukses.
Kritik kedua mangatakan bahwa penjelasan evolusi tentang perilaku mencakup doktrin
determinisme genetik. Yakni, jika kita adalah produk dari warisan genetik, maka kita mewarisi
gen yang serakah dan mementingkan diri sendiri.
Ketiga, pengkritik khawatir bahwa psikology evolusioner menyebabkan kembalinya
Darwinisme sosial, doktrin yang menjustifikasi nepotisme, rasisme, dan mungkin bahkan
pembiakan selektif.
Keempat, kritikus mengklaim bahwa predisposisi genetik tidak mencakup proses belajar
akibatnya pengkritik ini mengatakan bahwa jika suatu perilaku adalah hasil dari proses genetik,
maka perilaku itu tidak dipelajari. Situasi hanya memunculkan perilaku; jadi, semua perilaku
dideskripsikan sebagai gugusan respon yang tidak dikondisikan.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut teori evolusioner perilaku manusia selalu merupakan fungsi dari gen dan dan kultur.
Teori evolusioner lebih menekankan pada sejarah evolusi proses belajar organisme. Paradigma ini
lebih berfokus pada cara di mana proses evolusi mempersiapkan organisme untuk beberapa jenis
belajar tetapi membuat jenis belajar lain menjadi sulit atau mustahil. Penerimaan teori evolusi oleh
komunitas ilmiah menandai pukulan telak terhadap ego manusia. Evolusi mengembalikan
kontiunitas antara manusia dan hewan lain yang telah diabaikan selama berabad-abad. Kehadiran
karya Darwin (1859-1958) On the Origin of Species by Means of Natural Selection, yang
mempopulerkan konsep natural selection (seleksi alam) sebagai dasar dari perubahan tersebut.
B. Saran
Agar proses belajar berlangsung secara sukses maka diperlukannya perilaku eksis sebagai
proses adaptasi. Kecerdasan bawaan yang diyakini dapat mempengaruhi dalam proses
pembelajaran dapat ditingkatkan melalui kultur yang ada dalam lingkungannya itu. Kami
harapkan dengan adanya pemahaman mengenai teori-teori pembelajaran ini, dapat
mempermudah para konselor atau guru BK dalam melaksanakan pembelajaran di kelas.
PSIKOLOGI BELAJAR
TEORI EVOLUSIONER DAN PSIKOLOGI EVOLUSIONER
(TEORI C. BOLLES)
Dosen Pengampu : BQ. Shofa Ilhami, MA
OLEH :
KELOMPOK VI (6)
RIFQI
INTAN CAHYA MENTARI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)
SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
( STKIP HAMZANWADI SELONG )
2014
DAFTAR PUSTAKA
Hergenhahn, B.R., Olson M.H. (2008). Theory of Learning, Edisi ke-tujuh. Jakarta: Kencana
top related