supervisi klinis non direktif
Post on 21-Oct-2015
208 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1. MODEL & PENDEKATAN DALAM SUPERVISI PENDIDIKAN STAIMUS
November 2013
Model Supervisi ini dimaknai sebagai : Bentuk atau Kerangka sebuah
konsep atau Pola supervisi , ( Kerangka konseptual yang digunakan
sebagai pedoman atau acuan daam melakukan sebuah kegiatan
supervisi).2. MODEL
3. Model Menurut Sahertian (2008) Ada Beberapa Model Supervisi yang
berkembang, yaitu :
4.
5.
6. Supervisi Artistik mempunyai beberapa ciri khusus yg harus diperhatikan
oleh supervisor, yaitu : a. b. c. d. e. f. g. h. Memerlukan perhatian khusus
agar lebih banyak mendengarkan daripada banyak bicara Memerlukan
tingkat perhatian yang cukup dan keahlian yg khusus utk memahami apa
yg dibutuhkan oleh orang lain. Mengutamakan sumbangan yg unik dari
guru guru untuk mengembangkan pendidikan bagi generasi muda.
Menuntut utk memberi perhatian yg lebih banyak thd proses pembelajaran
di kelas dan di observasi pd waktu waktu tertentu. Memerlukan laporan yg
menunjukkan bahwa dialog antara supervisor dan supervisee yg
dilaksanakan atas dasar kepemimpinan dari kedua belah pihak
Memerlukan kemampuan berbahasa ttg cara mengungkapkan apa yg
dimilikinya thd orang lain. Memerlukan kemampuan utk menafsirkan
makna dari peristiwa yg diungkapkan sehingga memperoleh pengalaman
dan mengapresiasi dari apa yg dipelajarinya. Menunjukkan fakta bahwa
sensivitas dan pengalaman merupan instrumen utam yg sigunakan
sehinga situasi pendidikan itu diterima dan bermakna bagi orang yg
disupervisi.
7.
Supervisi klinis adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada
peningkatan mengajar dengan melalui siklus yang sistematik, dalam
perencanaan, pengamatan serta analisis yang intensif dan cermat tentang
penampilan mengajar yang nyata, serta bertujuan mengadakan perubahan
dengan cara yang rasional. (R. Willem dalam Archeson dan Gall, 1980 : 1 /
terjemahan S.L.L Sulo, 1985). K.A. Archeson dan M.D. Gall (1980 : 25)
terjemahan S.L.L Sulo, 1985 : 5, mengemukakan supervisi klinis adalah
proses membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku
mengajar yang nyata dengan dengan tingkah laku mengajar yang ideal.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
supervisi klinis adalah suatu proses pembimbing dalam pendidikan yang
bertujuan membantu pengembangan profesional guru dalam pengenalan
mengajar melalui observasi dan analisis data secara objektif serta teliti
sebagai dasar untuk usaha mengubah perilaku mengajar guru. 8.
Beberapa Pembatasan tentang Supervisi Klinis.
9. Ada beberapa ciri supervisi klinis 1) Bantuan yang diberikan bukan
bersifat instruksi atau memerintah. Tetapi tercipta hubungan manusiawi,
sehingga guru-guru memiliki rasa aman. 2) Apa yang akan disupervisi itu
timbul dari harapan dan dorongan dari guru sendiri karena dia memang
membutuhkan bantuan itu. 3) Satuan tingkah laku mengajar yang dimiliki
guru merupakan satuan yang terintegrasi. 4) Suasana dalam pemberian
supervisi adalah suasana yang penuh kehangatan, kedekatan, dan
keterbukaan. 5) Supervisi yang diberikan tidak saja pada keterampilan
mengajar tapi juga mengenai aspek-aspek kepribadian guru, misalnya
motivasi terhadap gairah mengajar. 6) Instrumen yang digunakan untuk
observasi disusun atas dasar kesepakatan antara supervisor dan guru. 7)
Balikan yang diberikan harus secepat mungkin dan sifatnya objektif. 8)
Dalam percakapan balikan seharusnya datang dari pihak guru lebih dulu,
bukan dari supervisor.
10. Prinsip-Prinsip Supervisi Klinis a. Supervisi klinis yang dilaksanakan
harus berdasarkan inisiatif dari para guru lebih dahulu. b. Menciptakan
hubungan manusiawi yang bersifat interaktif dan rasa kesejawatan. c.
Menciptakan suasana bebas di mana setiap orang bebas mengemukakan
apa yang dialaminya. d. Objek kajiannya adalah kebutuhan profesional
guru yang riil yang mereka sungguh alami. e. Perhatian dipusatkan pada
unsur-unsur yang spesifik yang harus diangkat untuk diperbaiki.
11. 1. 2. 3. Tahap Pertemuan awal (Perencanaan) Tahap Pelaksanaan
(Observasi) Tahap Akhir (Analisis dan Diskusi Balikan )
12. PENDEKATAN DALAM SUPERVISI PENDIDIKAN
Pendekatan yg digunakan dlm menerapkan SP sering didasarkan atas
prinsip2 Psikologis. Suatu Pendekatan sangat bergantung pada Prototype
Guru. 13. Pendekatan
Komitmen Berfikir Abstrak. (A) 14. Menurut Glickman, Setiap guru
mempunyai 2 kemampuan dasar, yaitu : & Kepedulian . (K)
1. 2. 3. 4. Ada 4 Prototype Guru : Guru Professional = daya abstrak tinggi
(A+) , Komitmen Tinggi (K+) Guru Yg Suka Mengkritik = Daya abstrak
tinggi (A+) , Komitmen rendah (K-) Guru Yg terlalu sibuk = Daya abstrak
rendah (A-) , tetapi Komitmen Tinggi (K+) Guru yg tidak bermutu = Daya
abstrak rendah (A-) , Komitmen rendah (K-).15. Menurut Glickman dalam
Sahertian (2008) :
Seorang Supervisor, perlu memahami prototype guru, dengan harapan
guru mendapatkan arahan dan bimbingan yg memadai utk memperbaiki
kinerjanya, melalui pendekatan2 yang cocok dengan kondisi riil prototype
guru.16. Prototype Guru ...
17. Sebagai contoh.. 1. 2. Guru berprototype Professional (A+, K+),
pendekatan yg digunakan : Non Direktif. Guru berprototype Tukang Kriti
/terlalu sibuk (A+, K-), dengan pendekatan yang digunakan
18. Penggunaan Pendekatan Supervisi dengan pertimbangan Prototype
Guru Prototype Guru 1 Professional (A+ , K+) . 2 Tukang Kritik (A+,K-) . 3
Terlalu sibuk (A- , K+) . 4 Tidak bermutu (A-, K- ) . Pendekatan Non Direktif
Kolaboratif Kolaboratif Direktif
adalah cara pendekatan terhadap masalah yang bersifat langsung, shg
pengaruh perilaku supervisor lebih dominan. Pendekatan direktif ini
berdasarkan pemahaman terhadap psikologi behaviorisme. Prinsip
behaviorisme ialah bahwa segala perbuatan berasal dari refleks, yaitu
respons terhadap rangsangan stimulus,. Oleh karena guru ini mengalami
kekurangan, maka perlu diberikan rangsangan agar ia bisa bereaksi.
Supervisor dapat menggunakan penguatan (reinforcement) atau hukuman
(punish-ment). 19. 1. Pendekatan Langsung (Direct Approach) :
Menjelaskan Menyajikan Mengarahkan Memberi contoh Menetapkan tolak
ukur Menguatkan 20. Direct Approach = (A- , K-) Perilaku
Supervis or
Yang dimaksud dengan pendekatan tidak langsung (non-direktif) adalah
cara pendekatan terhadap permasalahan yang sifatnya tidak langsung.
Perilaku supervisor tidak secara langsung menunjukkan permasalahan,
tapi ia terlebih dulu mendengarkan secara aktif apa yang dikemukakan
guru-guru. Ia memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada guru untuk
mengemukakan permasalahan yang mereka alami. Oleh karena pribadi
guru yang dibina begitu dihormati, maka ia lebih banyak mendengarkan
permasalahan yang dihadapi guru-guru. Guru mengemukakan
masalahnya. Supervisor mencoba mendengarkan, memahami apa yang
dialami guruguru. 21. 2. Pendekatan Tidak Langsung (Non-Direct
Approach) :
Mendengarkan Memberi penguatan Menjelaskan Menyajikan
Memecahkan masalah Supervis or 22. Non-Direct Approach =
( A+,K+) Perilaku
Yang dimaksud dengan pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan
yang memadukan cara pendekatan direktif dan non-direktif (cara
pendekatan baru). Pada pendekatan ini baik supervisor maupun guru
bersama-sama, bersepakat untuk menetapkan struktur, proses dan kriteria
dalam pelaksanaan proses percakapan terhadap masalah yang dihadapi
guru Pendekatan ini didasarkan pada psikologi kognitif. Psikologi kognitif
beranggapan bahwa belajar adalah hasil paduan antara kegiatan individu
dengan lingkungan pada gilirannya nanti berpengaruh dalam pembentukan
aktivitas individu. Pendekatan dalam supervisi berhubungan pada dua
arah. Dari atas ke bawah (Top-Down) dan dari bawah ke atas (Bottom-
UP). Perilaku Supervisor dilakukan secara bertahap , mulai dari
pertanyaan awal sampai dengan mengemukakan permasalahan dan
negoisasi bersama sama dan dicari 23. 3. Pendekatan Kolaboratif
(Collaborative Approach)
Menyajikan Menjelaskan Mendengarkan Memecahkan masalah
Negoisasi 24. Collaborative Approach = (A+,K- / Tukang Kritik dan
A-,K+ / Terlalu sibuk ) Perilaku Supervis or
Setiap supervisor pasti menginginkan keberhasilan dalam melaksanakan
supervisi pendidikan. Seorang Supervisor Pendidikan hendaknya
menguasai dan mampu mengimplementasikan rangkaian kegiatan
supervisi mulai dari pendekatan,metode, teknik serta mampu
mengembangkan model supervisi pendidikan, dengan harapan supervisor
pendidikan menjalankan fungsi fungsi supervisi sebagai aktualisasi dari
tugas dan tanggung jawabnya. Dengan demikian upaya peningkatan mutu
pada 25. Kesimpulan
Jasmani dkk. 2013. Supervisi Pendidikan Terobosan Baru dalam
Peningkatan Kinerja Pengawas Sekolah dan Guru, Yogyakarta : Ar Ruzz
Media Hasan, Yusuf, dkk., Pedoman Pengawasan, Jakarta: CV. Mekar
Jaya, 2002. A. Sahertian, Piet, Drs. Prinsip dan Teknik Supervisi
Pendidikan, Usaha Nasional, Surabaya, 1981. 26. Referensi :
PENDEKATAN DAN MODEL-MODEL SUPERVISI PENDIDIKAN
Apr25* Pengertian Model Supervisi Pendidikan
Pendekatan yang digunakan dalam menerapkan supervisi modern didasarkan pada prinsip-
prinsip psikologis. Suatu pendekatan atau teknik pemberian supervisi, sangat bergantung
kepada prototipe guru. Beberapa pendekatannya antara lain :
1. Pendekatan langsung (direktif)
Yang dimaksud dengan pendekatan direktif adalah cara pendekatan terhadap masalah yang
bersifat langsung. Supervisor memberikan arahan langsung. Sudah tentu pengaruh perilaku
supervisor lebih dominan. Pendekatan direktif ini berdasarkan pemahaman terhadap
psikologi behaviorisme.
Prinsip behaviorisme ialah bahwa segala perbuatan berasal dari refleks, yaitu respon
terhadap rangsangan / stimulus. Oleh karena guru ini mengalami kekurangan, maka perlu
diberikan rangsangan agar ia bereaksi. Supervisor dapat menggunakan penguatan
(reinforcement) atau hukuman (punishment). Pendekatan seperti ini dapat dilakukan
dengan perilaku supervisor seperti : menjelaskan, menyajikan, mengarahkan, memberi
contoh, menetapkan tolak ukur, menguatkan.
2. Pendekatan tidak langsung (Non-Direktif)
Yang dimaksud pendekatan tidak langsung (non-direktif) adalah cara pendekatan terhadap
permasalahan yang sifatnya tidak langsung. Perilaku supervisor tidak secara langsung
menunjukkan permasalahan, tapi ia terlebih dulu mendengarkan secara aktif apa yang
dikemukakan guru-guru. Ia memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada guru untuk
mengemukakan permasalahan yang mereka alami. Pendekatan non-direktif berdasarkan
pemahaman terhadap psikologi humanistik.
Psikologi Humanistik sangat menghargai orang yang akan dibantu. Oleh karena pribadi guru
yang dibina begitu dihormati, maka ia lebih banyak mendengarkan permasalahan yang
dihadapi guru-guru. Guru mengemukakan masalah, Supervisor mencoba mendengarkan,
memahami apa yang dialami guru-guru. Perilaku supervisor dalam pendekatan non-direktif
adalah seperti: mendengarkan, memberi penguatan, menjelaskan, menyajikan,
memecahkan masalah.
3. Pendekatan Kolaboratif
Yang dimaksud dengan pendekatan kolaboratif adalah cara pendekatan yang memadukan
cara pendekatan direktif dan non-direktif menjadi cara pendekatan baru. Pada pendekatan
ini baik supervisor maupun guru bersama-sama sepakat untuk menetapkan struktur, proses
dan kriteria dalam melaksanakan proses percakapan terhadap masalah yang dihadapi guru.
Pendekatan ini berdasarkan pada psikologi Kognitif.
Psikologi Kognitif beranggapan bahwa belajar adalah hasil paduan antara kegiatan individu
dengan lingkungan pada gilirannya nanti berpengaruh dalam pembentukan aktivitas
individu. Dengan demikian pendekatan dalam supervisi berhubungan pada dua arah. Dari
atas ke bawah dan dari bawah ke atas. Perilaku supervisor dalam pendekatan kolaboratif
seperti: menyajikan, menjelaskan, mendengarkan, memecahkan masalah, negosiasi.
* Pengembangan Model Supervisi Pendidikan
Yang dimaksud dengan model dalam uraian ini ialah suatu pola, misalnya : acuan dari
supervisi yang diterapkan. Ada empat model pengembangan dalam supervisi yang
berkembang saat ini, yaitu :
1. Model Supervisi yang Konfensional (tradisional)
Model ini tidak lain dari refleksi kondisi masyarakat pada suatu saat. Pada saat kekuasaan
yang otoriter dan feodal, akan berpengaruh pada sikap pemimpin yang otrokrat dan
korektif. Pemimpin cenderung untuk mencari-cari kesalahan. Perilaku supervisi ialah
mengadakan inspeksi untuk mencari kesalahan dan menemukan kesalahan. Kadang-kadang
bersifat memata-matai (snoopervision), atau sering disebut supervisi yang korektif. Lebih
sulit untuk melihat segi-segi positif dalam hubungan dengan hal-hal baik dari pada hanya
mengoreksi kesalahan orang lain.
Menurut Briggs, jika adanya supervisor hanya ditujukan untuk mencari kesalahan maka
dianggap menjadi pemulaan yang tidak berhasil. Karena hanya mencari-cari kesalahan
dalam membimbing adalah bertentangan dengan prinsip dan tujuan supervisi pendidikan.
Akibatnya guru-guru merasa tidak puas dan ada dua sikap yang tampak dalam kinerja guru
yaitu acuh tak acuh (masa bodoh) dan menantang (agresif).
2. Model Supervisi yang Bersifat Ilmiah (Scientifict)
Supervisi yang bersifat ilmiah memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a) Dilaksanakan secara berencana dan kontinu
b) Sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu
c) Menggunakan teknik pengumpulan data.
d) Ada data yang objektif yang diperoleh dari keadaan yang riil.
Dengan menggunakan skala penilaian atau check list para siswa atau mahasiswa menilai
proses kegiatan belajar-mengajar guru/dosen di kelas. Hasil penelitian diberikan kepada
guru-guru sebagai balikan terhadap penampilan mengajar guru pada semester yang lalu.
3. Model Supervisi Klinis
Richard Waller memberikan definisi tentang supervisi klinis sebagai berikut: Supervisi klinis
adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar dengan melalui siklus
yang sistematis dalam perencanaan, pengamatan serta analisis yang intensif dan cermat
tentang penampilan mengajar yang nyata, serta bertujan mengadakan perubahan dengan
cara rasional.
Keith Archeson dan Meredith D. Gall mengemukakan bahwa Supervisi Klinis adalah proses
membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata
dengan tingkah laku yang ideal.
Dari kedua definisi tersebut di atas, John J. Bolla menyimpulkan Supervisi Klinis adalah suatu
proses pembimbingan dalam pendidikan yang bertujuan membantu pengembangan
professional guru, khususnya dalam penampilan mengajar, berdasarkan observasi dan
analisis data secara teliti dan objektif.
Beberapa ciri Supervisi Klinis:
a) Fokus supervise klinis adalah perbaikan cara mengajar, bukan mengubah kepribadian
guru.
b) Dalam supervisi klinis, bantuan yang diberikan bukan bersifat intruksi atau memerintah.
Tetapi tercipta hubungan manusiawi, sehingga guru-guru memiliki rasa aman. Dengan
timbulnya rasa aman diharapkan adanya kesediaan untuk menerima perbaikan.
c) Ada kesepakatan antara supervisor dengan guru yang akan disupervisi tentang aspek
prilaku yang akan diperbaiki.
d) Satuan tingkah laku mengajar yang dimiliki guru merupakan satuan yang terintegrasi.
Harus dianalisa sehingga terlihat kemampuan apa, keterampilan apa yang spesifik yang
harus diperbaiki.
e) Ada unsur pemberian penguatan terhadap prilaku guru terutama yang sudah berhasil
diperbaiki, sehingga muncul kesadaran betapa pentingnya bekerja dengan baik serta
dilakukan secara berkelanjutan.
f) Suasana dalam pemberian supervisi adalah suasana yang penuh kehangatan, kedekatan,
dan keterbukaan.
g) Supervisi yang diberikan tidak saja pada keterampilan mengajar tapi juga mengenai
aspek-aspek kepribadian guru, misalnya motivasi terhadap gairah mengajar.
Adapun prinsip supervisi klinis berdasarkan pada inisiatif para guru. Pelaku supervisor harus
teknis sehingga guru-guru terdorong untuk berusaha meminta bantuan kepada supervisor
dan bisa menciptakan hubungan yang bersifat interaktif dan sejawat. Secara umum
supervise klinis bertujuan untuk memberikan tekanan pada proses pembentukan dan
pengembangan professional guru.
4. Model Supervisi Artistik
Mengajar adalah suatu pengetahuan (knowledge), mengajar itu suatu keterampilan (skill),
tapi mengajar juga suatu kiat (art). Sejalan dengan tugas mengajar supervisi juga sebagai
kegiatan mendidik dapat dikatakan bahwa supervisi adalah suatu pengetahuan, suatu
keterampilan dan juga suatu kiat.
Supervisi itu menyangkut bekerja untuk orang lain, bekerja dengan orang lain, bekerja
melalui orang lain, dalam hubungan bekerja dengan orang lain maka suatu rantai hubungan
kemanusiaan adalah unsur utama. Hubungan manusia dapat tercipta bila ada kerelaan
untuk menerima orang lain sebagaimana adanya. Hubungan itu dapat tercipta bila ada
unsur kepercayaan. Saling mengerti saling menghormati, saling mengakui, saling menerima
seorang sebagaimana adanya. Hubungan tampak melalui pengungkapan bahasa, yaitu
supervisi lebih banyak menggunakan bahasa penerimaan ketimbang bahasa penolakan
(Thomas Gordon, 1985). Supervisor yang mengembangkan model artistik akan menampak
dirinya dalam relasi dengan guru-guru yang dibimbing sedemikian baiknya sehingga para
guru merasa diterima. Adanya sikap seperti mau belajar mendengarkan perasaan orang
lain, mengerti orang lain dengan problema-problema yang dikemukakan, menerima orang
lain sebagaimana adanya, sehingga menjadi dirinya sendiri. Itulah supervisi artistik.
Dalam bukunya Supervision of Teaching, Sergiovanni Th.J, menyamakan beberapa ciri yang
khas tentang model supervisi yang artistik, antara lain:
a) Supervisi yang artistik memerlukan perhatian agar lebih banyak mendengarkan dari pada
banyak berbicara.
b) Supervisi artistik memerlukan tingkat pengetahuan yang cukup/keahlian khusus, untuk
memahami apa yang dibutuhkan seseorang yang sesuai dengan harapannya.
c) Supervisi yang artistik sangat mengutamakan sumbangan yang unik dari guru-guru
dalam rangka mengembangkan pendidikan bagi generasi muda.
d) Model artistik terhadap supervisi, menuntut untuk memberi perhatian lebih banyak
terhadap proses kehidupan kelas dan proses itu diobservasi sepanjang waktu tertentu,
sehingga diperoleh peristiwa-peristiwa yang signifikan yang dapat ditempatkan dalam
konteks waktu tertentu
e) Model artistik terhadap supervisi memerlukan laporan yang menunjukkan bahwa dialog
antara supervisor yang supervisi dilaksanakan atas dasar kepemimpinan yang dilakukan
oleh kedua belah pihak.
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENERAPKAN STRATEGI PEMBELAJARAN “THINK-TALK-WRITE” SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA PADA WILAYAH SMA BINAAN DI KABUPATEN DOMPU MELALUI SUPERVISI KOLABORATIF”
A. Judul
“MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENERAPKAN STRATEGI
PEMBELAJARAN “THINK-TALK-WRITE” SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA PADA
WILAYAH SMA BINAAN DI KABUPATEN DOMPU MELALUI SUPERVISI KOLABORATIF”
B. Latar Belakang
Peningkatan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas pembelajaran merupakan
salah satu cara yang dapat ditempuh dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan di
sekolah. Peningkatan kualitas pembelajaran juga memiliki makna strategis dan berdampak
positif, berupa (1) peningkatan kemampuan dalam menyelesaikan masalah pendidikan dan
pembelajaran yang dihadapi secara nyata, (2) peningkatan kualitas masukan, proses dan
hasil belajar, (3) peningkatan keprofesionalan pendidik, dan (4) penerapan prinsip
pembelajaran berbasis penelitian (Mastur, 2006: 50).
Komunikasi dan pemecahan masalah matematis merupakan bagian dari berpikir matematis
tingkat tinggi yang bersifat kompleks, karena itu pembelajaran yang berfokus pada
kemampuan tersebut memerlukan prasyarat konsep dan proses dari yang lebih rendah.
Artinya kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematis siswa tidak ada tanpa
kemampuan pemahaman yang baik. Hal ini meliputi materi maupun cara mempelajari atau
mengajarkannya. Untuk itu dalam pembelajaran perlu dipertimbangkan tugas matematika
serta suasana belajar yang mendukung untuk mendorong kemampuan tersebut.
Pertimbangan ini menyangkut pengambilan keputusan pembelajaran yang digunakan di
kelas yang diambil oleh guru.
Salah satu keputusan yang perlu diambil guru tentang pembelajaran adalah pemilihan
pendekatan dan strategi yang digunakan . Masih banyak guru matematika pada sekolah-
sekolah binaan penulis, yang menganut paradigma transfer of knowledge, yang
beranggapan bahwa siswa merupakan objek dari belajar. Dalam paradigma ini guru
mendominasi dalam proses pembelajaran. Kenyataan ini telah diungkapkan oleh
Ruseffendi (1991:328), bahwa matematika yang dipelajari siswa di sekolah sebagian besar
tidak diperoleh melalui eksplorasi matematika, tetapi melalui pemberitahuan oleh guru.
Walaupun dominasi guru dalam proses pembelajaran matematika tidak selamanya tidak
baik, karena terdapat guru yang karena ketegasannya di kelas membuat siswa menjadi
lebih bersungguh-sungguh. Namun menurut Sutiarso (2000) kondisi seperti ini menjadikan
siswa pasif dalam belajar. Pembelajaran pada kondisi ini berpusat pada keterampilan dasar
yang menekankan pada latihan mengerjakan soal rutin (drill) dengan mengulang prosedur
serta lebih banyak menggunakan rumus atau algoritma tertentu. Model pembelajaran
seperti ini menurut Brooks & Brooks (Ansari, 2004) disebut pembelajaran mekanistik atau
konvensional.
Kondisi pembelajaran dimana siswa belajar secara pasif, jelas tidak menguntungkan
terhadap hasil belajarnya. Untuk itu perlu usaha guru agar siswa belajar secara aktif.
Sriyono (1992) mengatakan bahwa salah satu cara untuk meningkatkan mutu pendidikan
adalah dengan mengaktifkan siswa dalam belajar. Dan proporsi aktivitas siswa dalam
belajar akan lebih produktif apabila siswa belajar dalam kelompok. Sejalan dengan
pendapat tersebut Sumarmo (2000) mengatakan agar pembelajaran dapat memaksimalkan
proses dan hasil belajar matematika, guru perlu mendorong siswa untuk terlibat secara aktif
dalam diskusi, bertanya serta menjawab pertanyaan, berpikir secara kritis, menjelaskan
setiap jawaban yang diberikan, serta mengajukan alasan untuk setiap jawaban yang
diajukan. Pembelajaran yang diberikan pada kondisi ini ditekankan pada penggunaan
diskusi, baik diskusi dalam kelompok kecil maupun diskusi dalam kelas secara
keseluruhan. Meskipun kesimpulan tersebut diambil berdasarkan penelitian yang dilakukan
terhadap siswa sekolah dasar, namun pengembangannya sangat mungkin untuk siswa
pada jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Malone dan Krismanto (1997) mengatakan penggunaan kegiatan kelompok dalam belajar
matematika direkomendasikan secara tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk mendorong
motivasi siswa dalam pembelajaran. Salah satu cara pengelompokkan yang disukai siswa
adalah berdasarkan keheterogenan siswa, sehingga pada tiap-tiap kelompok terdapat
siswa yang pandai. Diharapkan mereka yang pandai ini dapat membantu siswa lainnya
yang kemampuannya lebih rendah.
Dengan mempertimbangkan beberapa pendapat di atas, penulis melakukan sebuah
penelitian kolaboratif bersama guru-guru matematika di lingkungan SMA binaan Dinas
Dikpora Kabupaten Dompu, dengan judul
“MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU DALAM MENERAPKAN STRATEGI
PEMBELAJARAN “THINK-TALK-WRITE” SEBAGAI ALTERNATIF PEMECAHAN
MASALAH MATEMATIKA PADA WILAYAH SMA BINAAN DI KABUPATEN DOMPU
MELALUI SUPERVISI KOLABORATIF”
Strategi pembelajaran yang digunakan ini mengharuskan siswa terlibat berpikir,
berbicara, dan menulis dalam proses pembelajaran. Sedangkan model yang dipilih adalah
pembelajaran dalam kelompok kecil dengan anggota 4 sampai 6 orang siswa yang
dikelompokkan secara heterogen menurut kemampuan matematikanya. Pengelompokkan
seperti ini dimaksudkan agar semua siswa terlibat secara aktif dalam proses pembelajaran.
Kenyataan rendahnya hasil belajar siswa, yang terlihat dari hasil evaluasi hasil belajar mata
pelajaran matematika pada siswa SMA wilayah binaan Kabupaten Dompu, seperti tampak
pada tabel 1. Data pad tabel 1 menunjukkan bahwa nilai mata pelajaran Matematika siswa
SMA di wilayah binaan masih jauh dari standar ketuntasan belajar, yang menunjukkan pula
bahwa penguasaan siswa pada materi pelajaran matematika yang diajarkan guru tidak
mencapai 60%, apalagi memenuhi standar ketuntasan belajar yang telah ditetapkan. Hal ini
jelas menunjukkan bahwa diperlukan upaya-upaya pendampingan secara intensif kepada
guru-guru di sekolah binaan penulis secara kolaboratif dalam upaya peningkatan pross dan
hasil belajar matematika pada siswa SMA termasuk pada Wilayah SMA binaan kabupaten
Dompu
Tabel 1.
Nilai Rata-Rata Hasil Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2009/2010 pada SMA Wilayah
Binaan Kabupaten Dompu
No Nama Sekolah Rerata UN Rerata Nilai Matematika
1 SMA Negeri 1 Dompu 5.95 5,73
2 SMA Negeri 1 Kempo 6.45 6,06
3 SMA Negeri 2 Kempo 5.71 5,06
4 SMA Negeri 1 Woja 6.27 5,78
5 SMA Tri Dharma Kosgoro Dompu 5.10 4,29
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Dompu Tgn 2010
Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa nilai mata pelajaran matematika siswa SMA masih
jauh dari standar ketuntasan belajar, yang menunjukkan pula bahwa penguasaan siswa
pada materi pelajaran matematika yang diajarkan guru tidak mencapai 50% nya, apalagi
memenuhi standar ketuntasan belajar yang telah ditetapkan rata-rata 65%. Hal ini jelas
menunjukkan bahwa diperlukan adanya upaya-upaya peningkatan hasil belajar matematika
pada siswa SMA khususnya di wilayah binaan peneliti.
Tabel 2
Persentase Rata-Rata Ketuntasan Siswa SMA Binaan Pada Mata pelajaran Matematika
Hasil UKK Tahun Pelajaran 2009/2010
No Nama Sekolah Prosentase Rerata Ketuntasan Siswa (sebelum remedial)
KKM
1 SMA Negeri 1 Dompu 58,50 68
2 SMA Negeri 1 Kempo 56,25 68
3 SMA Negeri 2 Kempo 53,50 60
4 SMA Negeri 1 Woja 58,46 68
5 SMA Tri Dharma Kosgoro 54,15 60
Rata-Rata 56,17
( Sumber: Rekap Nilai UKK Semester Genap Thn 2009/2010 )
Berdasarkan rekap ketuntasan/kelulusan menurut mata pelajaran, ternyata KD
( Kompetensi Dasar ) pelajaran matematika yang tuntas hanya 56,17%, sementara itu
43,83 % siswa dinyatakan tidak tuntas , harus mengikuti peembelajaran remedial .
Perhatikan gambar berikut.
Gambar 1. Persentase Rata-Rata Ketuntasan Siswa SMA Binaan Pada Mata
pelajaran Matematika Hasil UKK Tahun Pelajaran 2009/2010 (Sumber: Rekap Nilai pada
guru Matematika )
Hal tersebut menunjukkan hasil yang memprihatinkan, dan mungkin dipengaruhi oleh
beberapa faktor, di antaranya adalah perencaaan pengajaran yang kurang, penggunaan
metode yang tidak tepat dapat menimbulkan kebosanan, dan kurang kondusifnya pada
sistem pembelajaran, sehingga kurangnya menyerap materi pelajaran.
Pendampingan Pengawas dalam bentuk supervisi kolaboratif terhadap guru matematika
dalam pengelola pembelajaran matematika menjadi sangat penting sehingga guru benar-
benar dapat mengelola pembelajaran dengan sebaik-baiknya mulai dari perencanaan
(materi, model belajar, media belajar, metode, sumber belajar, dan evaluasi), pelaksanaan
pembelajaran sampai dengan evaluasi hasil belajar siswa.
C. Perumusan Masalah
Masalah yang mendasar pada penelitian ini adalah rendahnya prestasi belajar siswa pada
mata pelajaran matematika terutama pada aspek Pemecahan masalah ( C3 ,C4) . Salah
yang diduga menjadi penyebab rendahnya kemapuan guru terutama dalam pengelolaan
pengajaran yang relatif monoton, kurang variatif, tidak terencana dengan baik, yang pada
akhirnya proses pembelajaran bersifat konvensional, monoton dan terkesan guru hanya
“asal menjalankan tugas” saja. Selain itu juga guru kurang inovatif dalam pengelolaan
model pembelajaran ..
Rendahnya hasil belajar tersebut merupakan tanggung jawab bersama pengelola
pendidikan. Pengawas sebagai supervisor guru turut bertanggung jawab untuk melakukan
upaya-upaya peningkatan kinerja guru sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan proses
dan hasil belajar siswanya.
Jelas bahwa hasil belajar siswa dapat ditingkatkan melalui peningkatan pengelolaan
pembelajaran yang lebih aktif dan kondusif sehingga siswa benar-benar dapat menguasai
materi-materi pelajaran yang harus dikuasainya. Peningkatan pengelolaan pembelajaran
dapat dilakukan oleh guru didampingi oleh pengawas sebagai supervisor yang dapat
membantu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh guru sehingga
guru dapat mengelola pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Selanjutnya rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut.
1. Apakah pembimbingan dalam bentuk supervisi kolaboratif oleh pengawas terhadap
guru mata pelajaran matematika dapat meningkatkan kinerja guru matematika dalam
merencanakan dan menerapkan strategi pembelajaran “think-talk-wite ‘?
2. Apakah pembelajaran dengan strategi think-talk-write dalam kelompok kecil dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa?
D. Hipotesis Tindakan
Hipotesis dalam penelitian tindakan ini adalah diduga bahwa pembimbingan dalam bentuk
supervisi kolaboratif oleh pengawas terhadap guru mata pelajaran matematika dalam
merencanakan dan menerapkan strategi pembelajaran think-talk-write pada kelompok kecil
dapat meningkatkan kinerja guru dan prestasi belajar siswa..
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah
a. untuk meningkatkan kinerja guru dalam merencanakan , melaksanakan dan
menerapkan pembelajaran dengan strategi peebelajaran ”think-talk-write” dalam kelompok
kecil
b. Meningkatkan kolaborasi yang sinergis antara pengawas dan guru-guru pada sekolah
binaan dalam merencanakan dan menerapkan pembelajaran dengan strategi think-talk-
write pada kelompok kecil sebagai alternatif pemecahan masalah-masalah dalam
pembelajaran matematika.
c. Meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa .
3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat memberikan manfaat terutama adalah:
a. Guru menemukan pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk lebih me-ningkatkan
hasil belajar siswa.
b. Siswa lebih bebas mengekspresikan kemampuan komunikasi matematiknya, sehingga
kemampuannya dalam pemecahan masalah matematika menjadi lebih baik.
c. Sekolah mendapatkan dampak positif dari terselenggaranya penelitian ini, karena
kualitas siswa, guru dan pembelajaran semakin meningkat, yang sekaligus dapat
meningkatkan kinerja sekolah
.
E. Kajian Teori
1. Supervisi Pendidikan terhadap Guru
a. Arti dan Pentingnya SupervisiAda bermacam–macam konsep supervisi. Good Cartel dalam Sahertian (2000: 17)
memberi pengertian bahwa supervisi adalah usaha dan petugas–petugas sekolah dalam
memimpin guru-guru dan petugas-petugas lainnya dalam memperbaiki pengajaran,
termasuk menstimulasi, menyelesaikan pertumbuhan jabatan dan perkembangan guru-guru
serta merevisi tujuan-tujuan pendidikan.
Menurut Boardman dalam Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1990: 68), supervisi adalah
suatu kegiatan menstimulir, mengkoordinasi, dan membimbing secara kontiyu pertumbuhan
guru–guru sekolah, baik secara individual maupun secara kolektif, agar lebih mengerti, dan
lebih efektif dalam mewujudkan seluruh fungsi pengajaran, sehingga dengan demikian
mereka mampu dan lebih berpartisipasi dalam masyarakat moderen.
Pendapat lain yang dikemukakan oleh Ngalim Purwanto (1997: 76) bahwa supervisi adalah
segala bantuan dari para pemimpin sekolah, yang tertuju kepada perkembangan
kepemimpinan guru-guru dan personel sekolah lainnya di dalam mencapai tujuan–tujuan
pendidikan. Supervisi berupa dorongan, bimbingan, dan kesempatan dalam usaha dan
pelaksanaan pembaharuan–pembaharuan dalam pendidikan dan pengajaran, pemilihan
alat-alat pelajaran dan metode-metode mengajar yang lebih baik, cara-cara penilaian yang
sistematis terhadap frase seluruh proses pengajaran, dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat–pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa supervisi adalah suatu
aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah
lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif.
b. Tujuan Supervisi Pendidikan
Tujuan supervisi pendidikan menurut Suharsimi Arikunto (1993: 154) bahwa supervisi
pendidikan adalah pembinaan yang diberikan kepada seluruh staff sekolah, khususnya
guru, agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar
mengajar dengan lebih baik. Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1990: 69) berpendapat
bahwa tujuan supervisi pendidikan ialah untuk mengetahui situasi mengukur tingkat
perkembangan kegiatan sekolah dalam usahanya mencapai tujuan.
Ngalim Purwanto (1997: 77) berpendapat bahwa tujuan supervisi pendidikan yaitu: (a)
membangkitkan dan merangsang semangat guru-guru dan pegawai sekolah lainnya dalam
menjalankan tugasnya masing-masing dengan sebaik-baiknya, (b) berusaha mengadakan
dan melengkapi alat-alat perlengkapan termasuk macam-macam media instruksional yang
diperlukan bagi kelancaran jalannya proses belajar mengajar yang lebih baik, (d) membina
kerja sama yang baik dan harmonis antara guru, murid, dan pegawai sekolah, antara lain
dengan mengadakan workshop, seminar, inservice-training, atau up-grading.
Kata kunci dari supervisi ialah memberikan layanan dan bantuan kepada guru-guru, maka
tujuan supervisi adalah memberikan layanan dan bantuan untuk mengembangkan situasi
belajar-mengajar yang dilakukan guru di kelas yang pada gilirannya meningkatkan kualitas
belajar siswa. Pendapat ini diuraikan oleh Sahertian (2000: 19) yang menyatakan bahwa
tujuan sipervisi pendidikan ialah: (a) mengembangkan kurikulum yang sedang dilaksanakan
di sekolah, (b) meningkatkan proses belajar mengajar di sekolah, (c) mengembangkan
kinerja sekuruh staf sekolah, termasuk para guru.
c. Fungsi Supervisi Pendidikan
Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1990: 70) menjelaskan secara singkat bahwa fungsi atau
tugas supervisor ialah (a) menjalankan aktivitas untuk mengetahui situasi adaministrasi
pendidikan, sebagai kegiatan pendidikan di sekolah dalam segala bidang, (b) menentukan
syarat-syarat yang diperlukan untuk menciptakan situasi pendidikan di sekolah, (c)
menjalankan aktivitas untuk mempertinggi hasil dan untuk menghilangkan hambatan-
hambatan. Dalam penjelasan rinci, dikemukakan bahwa supervisi mempunyai beberapa
fungsi yaitu (a) fungsi pelayanan, yaitu kegiatan pelayanan untuk peningkatan
profesionalnya, (b) fungsi penelitian, yaitu untuk memperoleh data yang obyektif dan
relevan, misalnya untuk menemukan hambatan belajar, (c) fungsi kepemimpinan, yaitu
usaha memepengaruhi orang lain agar yang disupervisi dapat memecahkan masalah
sendiri sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, (d) fungsi manajemen, yaitu
supervisi dilakukan sebagai control atau pengarah, sebagai aspek manajemen, (e) fungsi
evakuasi, yaitu supervisi dilakukan untuk mengevaluasi hasil atau kemajuan yang dipeoleh,
(f) fungsi bimbingan, (g) fungsi pendidikan dalam jabatan (inservice education) khususnya
bagi para guru muda.
Ngalim Purwanto (1997: 86) menjelaskan secara rinci fungsi-fungsi sipervisi pendidikan
yang penting diketahui, yaitu sebagai berikut:
a. Dalam bidang kepemimpinan: (1) menyusun rencana dan kebijaksanaan bersama,
(2) mengikutsertakan anggota-anggota kelompok (guru-guru, pegawai) dalam berbagai
kegiatan, (3) memberikan bantuan kepada anggota kelompok dalam menghadapi dan
memecahkan masalah, (4) membangkitkan dan memupuk semangat kelompok atau
memupuk moral yang tinggi kepada anggota kelompok, (5) mengikutsertakan semua
anggota dalam menetapkan putusan-putusan, (6) membagi dan medelegasikan wewenang
dan tanggung jawab kepada anggota sesuai, dengan fungsi-fungsi dan kecakapan masing-
masing, (7) mempertinggi daya kreatif pada anggota kelompok, (8) menghilangkan rasa
malu dan rasa rendah diri pada anggota kelompok sehingga mereka berani mengemukakan
pendapat demi kepentingan bersama.
b. Dalam hubungan kemanusiaan: (1) memanfaatkan kekeliruan yang dialaminya untuk
dijadikan pelajaran demi perbaikan selanjutnya, bagi diri sendiri maupun bagi anggota
kelompoknya, (2) membantu mengatasi kekurangan atau kesulitan yang dihadapi anggota
kelompok, seperti dalam hal kemalasan, merasa rendah diri, acuh tak acuh, pesimis, (3)
mengarahkan anggota kelompok kepada sikap-sikap yang demokratis, (4) memupuk rasa
saling menghormati di antara sesama anggota kelompok dan sesama manusia, (5)
menghilangkan rasa curiga-mencurigai antara anggota kelompok.
c. Dalam pembinaan proses kelompok: (1) mengenai masing–masing pribadi anggota
kelompok, (2) memelihara sikap saling mempercayai, (3) memupuk sikap saling menolong,
(4) memperbesar tanggung jawab, (5) bertindak bijaksana dalam menyelesaikan
pertentangan atau perselisihan pendapat di antara anggota kelompok, (6) menguasai teknik
memimpin rapat dan pertemuan.
d. Dalam bidang administrasi personel: (1) memilih personel yang memenuhi syarat
untuk suatu pekerjaan, (2) menempatkan personel pada tempat dan tugas yang sesuai
dengan kemampuan, (3) mengusahakan susunan kerja yang menyenangkan dan
meningkatkan daya kerja serta hasil maksimal.
e. Dalam bidang evaluasi: (1) menguasai dan memahami tujuan-tujuan pendidikan
secara khusus dan terinci, (2) menguasai dan memiliki normat/ukuran yang akan digunakan
sebagai kriteria penilaian, (3) menguasai teknik pengumpulan data, (4) menafsirkan dan
menyimpulkan hasil penilaian sehingga dapat digunakan untuk perbaikan.
d. Supervisi yang Efektif
Agus Dharma (2000: 13) menyebutkan bahwa para supervisor bertanggung jawab atas
kualitas kinerja para personel/karyawan yang dipimpinnya. Dapat dinyatakan bahwa
kemampuan supervisor untuk bawahannya akan sangat mempengaruhi produktivitas unit
kerjanya. Efektivitas kepemimpinan seorang supervisor diukur oleh dua faktor utama, yaitu
faktor keluaran (output) dan faktor manusia. Faktor keluaran adalah tingkat hasil yang di
capai unit kerja yang merupakan petunjuk seberapa baik pencapaian sasaran yang telah
direncanakan. Faktor output ini mencakup produktivitas, kualitas, kemampulabaan
(profitability), dan efektivitas biaya. Faktor manusia menunjukkan tingkat kerja sama di
kalangan karyawan dan kepuasan bekerja di perusahaan/instansi yang bersangkutan. Ini
termasuk kadar kegairahan, jumlah dan jenis komunikasi, tinggi rendahnya motivasi,
komitmen terhadap tujuan perusahaan/instansi, serta tingkat konflik antar pribadi dan antar
kelompok.
Agar dapat memimpin secara efektif, seorang supervisor harus mampu berkomunikasi
dengan jelas, mengharapkan yang terbaik dari orang-orangnya, berpegang pada tujuan,
dan berusaha memperoleh komitmen.
e. Pengembangan Model Supervisi
Sahertian (2000) lebih lanjut menyebutkan bahwa model-model supervisi adalah model
konvensional, model ilmiah model klinis, dan model artistik.
1) Model supervisi yang konvesional (tradisional)
Model ini adalah model supervisi yang hanya untuk mengkoreksi kesalahan seseorang
yang dilakukan supervisor adalah hanya untuk mencari kesalahan dalam membimbing,
namun demikian model ini sangat bertentangan dengan prinsip dan tujuan supervisi
pendidikan.
2) Model supervisi yang bersifat ilmiah.
Supervisi yang bersifat ilmiah memiliki ciri-ciri: dilaksanakan secara berencana dan kontinu,
sistematis dan menggunakan prosedur serta teknik tertentu, menggunakan instrument
pengumpulan data, dan ada sda data yang obyektif yang diperoleh dari kesalahan yang riil.
3) Model Supervisi Klinis.
Supervisi klinis adalah bentuk supervisi yang difokuskan pada peningkatan mengajar
dengan melalui siklus yang sistematik, dalam perencanaan, pengamatan serta analisis
yang intensif dan cermat tentang penampilan mengajar yang nyata, serta bertujuan
mengadakan perubahan dengan cara yang rasional. supervisi klinis adalah proses
membantu guru-guru memperkecil kesenjangan antara tingkah laku mengajar yang nyata
dengan dengan tingkah laku mengajar yang ideal. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas
dapat disimpulkan bahwa supervisi klinis adalah suatu proses pembimbing dalam
pendidikan yang bertujuan membantu pengembangan profesional guru dalam pengenalan
mengajar melalui observasi dan analisis data secara objektif, teliti sebagai dasar untuk
usaha mengubah perilaku mengajar guru.
Adapun ciri-ciri sSupervisi klinis adalah
a) Dalam supervisi klinis, bantuan yang diberikan bukan bersifat instruksi atau
memerintah. Tetapi tercipta hubungan manusiawi, sehingga guru-guru memiliki rasa aman.
Dengan timbulnya rasa aman diharapkan adanya kesediaan untuk menerima perbaikan.
b) Apa saja yang akan disupervisi itu timbul dari harapan dan dorongan dari guru sendiri
karena dia memang membutuhkan bantuan itu.
c) Satuan tingkah laku mengajar yang dimiliki guru merupakan satuan yang terintegrasi.
Harus dianalisis sehingga terlihat kemampuan apa, ketrampilan apa yang spesifik yang
harus diperbaiki.
d) Suasana dalam pemberian supervisi adalah suasana yang penuh kehangatan,
kedekatan dan keterbukaan.
e) Supervisi yang diberikan tidak saja pada keterampilan mengajar tapi juga mengenai
aspek-aspek kepribadian guru, misalnya motivasi terhadap gairah mengajar.
f) Instrument yang digunakan untuk observasi disusun atas dasar kesepakatan antara
supervisor dan guru.
g) Balikan yang diberikan harus secepat mungkin dan sifatnya obyektif.
h) Dalam percakapan balikan sehausnya datang dari pihak guru lebih dulu, bukan dari
supervisor.
4). Model Supervisi Artistik
Mengajar adalah suatu pengethauan (Knowledge), mengajar itu suatu keterampilan (Skill),
tapi mengajar juga suatu kiat (art). Sejalan dengan tugas mengajar supervisi juga sebagai
kegiatan mendidik. Dapat dikatakan bahwa supervisi adalah suatu pengetahuan, suatu
keterampilan dan juga suatu kiat.
Supervisi itu menyangkut bekerja untuk orang lain (working for the others), bekerja dengan
orang lain (working with the others), bekerja melalui orang lain (working though the others).
Dalam hubungan bekerja dengan orang lain maka suatu rantai hubungan kemanusiaan
adalah unsur utama. Hubungan manusia dapat tercipta bila ada kerelaan untuk menerima
orang lain sebagaimana adanya hubungan itu dapat tercipta bila ada unsur kepercayaan.
Saling percaya saling mengerti, saling menghormati, saling mengakui, saling menerima
seseorang sebagaimana adanya. Hubungan tampak melalui pengungkapan bahasa, yaitu
supervisi lebih banyak menggunakan bahasa penerimaan ketimbang bahasa penolakan.
Supervisor yang mengembangkan model artistik akan menampak dirinya dalam relasi
dengan guru-guru yang dibimbing sedemikian baiknya sehingga para guru merasa diterima.
Adanya perasaan aman dan dorongan positif untuk berusahauntuk maju. Sikap seperti mau
belajar mendengarkan perasaan orang lain., mengerti orang lain dengan problema-
problema yang dikemukakan, menerima orang lain sebagaimana adanya, sehingga orang
dapat menjadi dirinya sendiri. itulah supervisi artistik. Dalam bukunya Supervision of
Teaching.(Sahertian, 2000: 34-44)
f. Pendekatan Supervisi Pendidikan
Pendekatan yang digunakan dalam menerapkan supervisi modern didasarkan pada prinsi-
prinsip psikologis. Suatu pendekatan atau teknik pemberian supervisi, sangat bergantung
kepada prototipe guru. Ada satu paradigma yang dikemukakan Glickman untuk memilah-
milah guru dalam empat prototipe guru. Ia mengemukakan setiap guru memiliki dua
kemampuan dasar, yaitu berpikir abstrak dan komitmen serta kepedulian.
Pendekatan dan perilaku serta teknik yang diterapkan dalam memberi supervisi kepada
guru-guru berdasarkan prototipe guru seperti yang disebut di atas. Bila guru profesional
maka pendekatan yang digunakan adalah non-direktif.
Perilaku supervisor (1) mendengarkan, (2) memberanikan, (3) menjelaskan, (4)
mmnyajikan, (5) memecahkan masalah. Teknik yang diterapkan dialog dan mendengarkan
aktif.
Bila gurunya tukang kritik atau terlalu sibuk, maka pendekatan yang diterapkan adalah
kolaboratif. Perilaku supervisi (1) menyajikan, (2) menjelaskan, (3) mendengarkan, (4)
memecahkan masalah, (50 negosiasi. Teknik yang digunakan percakapan pribadi, dialog
menjelaskan.
Bila gurunya tidak bermutu, maka pendekatan yang digunakan adalah direktif. Perilaku
supervisor (1) menjelaskan, (2) menyajikan, (3) mengarahkan, (4) memberi contoh, (5)
menetapkan tolak ukur, dan (6) menguatkan.
Berdasarkan uraian singkat tentang paradigma kategori di atas, maka dapat diterapkan
berbagai pendekatan teknik dan perilaku supervisi berdasdar data mengenai guru yang
sebenarnya yang memerlukan pelayanan supervisi. Berikut ini akan disajikan beberapa
pendekatan supervisor.
(1) Pendekatan Langsung (Direktif)
Pendekatan direktif adalah cara pendekatan terhadap masalah yang bersifat langsung.
Supervisor memberikan arahan langsung. Sudah tentu pengaruh perilaku supervisor lebih
dominan. Pendekatan direktif ini berdasarkan pemahaman terhadap psikologi
behaviorisme. Prinsip behaviorisme ialah bahwa segala perbuatan berasal dari refleks,
yaitu respons terhadap rangsangan/stimulus. Oleh karena guru ini mengalami kekurangan,
maka perlu diberikan rangsangan agar ia bisa bereaksi. Supervisor dapat menggunakan
penguatan (reinforcement) atau hukuman (punishment). Pendekatan seperti ini dapat
dilakukan dengan perilaku supervisoradalah: menjelaskan, menyajikan, mengarahkan,
memberi contoh, menetapkan tolak ukur, dan menguatkan.
(2) Pendekatan Tidak Langsung (Non-direktif)
pendekatan tidak langsung (non-direktif) adalah cara pendekatan terhadap permasalahan
yang sifatnya tidak langsung. Perilaku supervisor tidak secara langsung menunjukkan
permasalahan, tapi ia terlebih dulu mendengarkan secara aktif apa yang dikemukakan
guru-guru. Ia memberi kesempatan sebanyak mungkin kepada guru untuk mengemukakan
permasalahan yang mereka alami. Pendekatan non-drektif ini berdasarkan pemahaman
psikologis humanistik. Psikologi humanistik sangat menghargai orang yang akan dibantu.
Oleh karena pribadi guru yang dibina begitu dihormati, maka ia lebih banyak mendengarkan
permasalahan yang dihadapi guru-guru. Guru mengemukakan masalahnya supervisor
mencoba mendengarkan, memahami, apa yang dialami guru-guru. Perilaku supervisor
dalam pendekatan non-direktif adalah: mendengarkan, memberi penguatan, menjelaskan,
menyajikan, dan memecahkan masalah
(3) Pendekatan Kolaboratif
Yang dimaksud dengan pendekata koplaboratif adalah cara pendekatan yang memadukan
cara pendekatan direktif dan non–direktif menjadi pendekatan baru. Pada pendekatan ini
baik supervisor maupun guru bersama-sama, bersepakat untuk menetapkan struktur,
proses dan kriteria dalam melaksanakan proses percakapan terhadap masalah yang
dihadapi guru. Pendekatan ini didasarkan pada psikologi kognitif. Psikologi kognitif
beranggapan bahwa belajar adalah hasil panduan antara kegiatan individu dengan
lingkungan pada gilirannya nantui berpengaruh dalam pembentukan aktivitas individu.
Dengan demikian pendekatan dalam supervisi berhubungan pada dua arah. Dari atas ke
bawah dan dari bawah ke atas. Perilaku supervisor adalah sebagai berikut: menyajikan,
menjelaskan, mendengarkan, memecahkan masalah, dan negosiasi. (Sahertian, 2000:44-
52).
g. Teknik-Teknik Supervisi Pendidikan
Suharsimi Arikunto (1993: 172) menjelaskan tahap-tahap dalam teknik supervisi untuk
pemecahan masalah sebagai berikut: (a) identifikasi masalah, yaitu mengidentifikasi celah
antara keadaan yang sekarang ada dengan keadaan yang diharapkan, (b) diagnosis
penyebab, yaitu penelitian mengenai kemungkinan sebab- sebab timbulnya masalah
dengan cara menguji faktor- faktor penghambat maupun faktor penunjang, (c)
mengembangkan rencana kegiatan, yaitu mengembangkan strategi untuk bertindak dengan
secara rinci menealaah setiap alternative yang ada, mengantisipasikan akibat- akibat yang
mungkin timbul, mempertimbangkan untuk kemudian memilih salah satu untuk
dilaksanakan, (d) melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan dengan
menterjemahkan setiap langkah perencanaan dengan prosedur khusus, (e)
mengevakuasikan rencana kegitan, yaitu melihat kembali keterlaksanaan, dan lain- lain
yang perlu di pertimbangkan di dalam pelaksanaan nanti.
Ahmad Rohani dan Abu Ahmadi (1990: 79) menjelaskan secara operasional teknik- teknik
supervisi yang lazim dan secara teratur dapat dilakukan oleh setiap sekolah yaitu: rapat
sekolah, kunjungan kelas, musyawarah, atau pertemuan perseorangan.
Sahertian (2000: 52) menyebutkan teknik-teknik supervisi pendidikan secara garis besar
menjadi dua bagian yaitu teknik yang bersifat individual dan teknik yang bersifat kelompok.
Teknik yang bersifat individual yaitu: (a) kunjungan kelas, (b) observasi kelas, (c)
percakapan pribadi, (d) saling mengunjungi kelas (intervisitasi), (e) penyeleksi berbagai
sumber materi untuk mengajar, (f) menilai diri sendiri. Adapun teknik yang bersifat
kelompok, yaitu teknik yang digunakan bersama-sama oleh supervisor dengan sejumlah
guru dalam satu kelompok yaitu: teknik yang digunakan bersama-sama oleh supervisor
dengan sejumlah guru dalam satu keompok yaitu: (a) pertemuan orientasi bagi guru baru,
(b) panitia penyelenggara, (c) rapat guru, (d) studi kelompok antar guru, (e) diskusi sebagai
proses kelompok, (f) tukar menukar pengalaman, (g) lokakarya (workshop), (h) diskusi
panel, (i) symposium, (j) demonstrasi mengajar, (k) perpustakaan jabatan, (l) bulletin
supervisi, (m) membaca langsung, (n) mengikuti kursus, (o) organisasi jabatan, (p)
laboratorium kurikulum, (q) perjalanan sekolah untuk angota staf.
2. Kemapuan / Kinerja Guru
a. Pengertian Kinerja Guru
Keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan tidak dapat dilepaskan dari peranan para
anggotanya, dan kelangsungan organisasi ditentukan oleh kinerja anggotanya. Kinerja
menurut Gibson, J.L.dkk (1996) adalah perilaku yang ditunjukkan oleh individu dalam
mengerjakan suatu tugas yang dibebankan. Kinerja adalah ungkapan kemajuan yang
didasari oleh pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam menghasilkan sesuatu. Namun
menurut Yaslis Ilyas (2001) mengatakan kinerja adalah penampilan hasil karya personel,
baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi. Dengan demikian kinerja adalah
perilaku individu sebagai ungkapan kemajuan dalam menghasilkan sesuatu yang diperoleh
dengan mendayagunakan pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang dimiliki.
Masih menurut Yaslis Ilyas (2001), deskripsi kinerja menyangkut 3 (tiga) komponen penting
yaitu tujuan, ukuran dan penilaian. Penentuan tujuan dari setiap unit organisasi merupakan
strategi untuk meningkatkan kinerja. Tujuan ini akan memberikan arah dan mempengaruhi
bagaimana seharusnya perilaku kerja yang diharapkan organisasi terhadap setiap personil.
Walaupun demikian, penentuan setiap tujuan saja tidaklah cukup, sebab itu dibutuhkan
ukuran apakah seorang personil telah mencapai kinerja yang diharapkan. Untuk itu ukuran
kuantitatif dan kualitatif standar kinerja untuk setiap tugas dan jabatan personil memegang
peranan penting.
Dalam bidang pendidikan, kinerja personil dalam konteks ini adalah guru selalu menjadi
perhatian karena guru merupakan faktor penentu dalam meningkatkan prestasi belajar dan
berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Supriadi (1998) mengartikan kinerja
guru adalah usaha guru dalam meningkatkan prestasi belajar siswa melalui pengajaran.
Tidak berbeda dengan pendapat di atas, Raka Joni (1991) mengartikan kinerja guru adalah
kemampuan guru dalam mengelola kegiatan belajar-mengajar. Dalam keputusan
Mendikbud R.I. No. 025/O/1995, tentang Petunjuk Teknis Ketentuan Pelaksanaan Jabatan
Fungsional Guru dan Amgka Kreditnya, mengistilahkan kinerja guru sebagai prestasi kerja
guru yang artinya hasil kerja dan kemajuan yang telah dicapai seorang guru dalam bidang
tugasnya. Lebih lanjut dijelaskan dalam kepurusan tersebut, bahwa guru mata pelajaran
wajib melaksanakan tugas sebagai berikut: (1) penyusunan program pengajaran, (2)
menyajikan program pengajaran-pengajaran, (3) mengevaluasikan belajar, (4) menganalisis
hasil evaluasi belajar, (5) menyusun dan melaksanakan program perbaikan dan
pengayaan, (6) membuat karya tulis/ katya ilmiah dalam bidang pendidikan, (7)
mengembangkan kurikulum.
Guru mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas dan kuantitas
pengajaran yang telah ditentukan. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat
perencanaan secara rutin dan terprogram dalam usaha meningkatkan kualitas mengajar
dan kesempatan belajar bagi siswa. Untuk itu dituntut adanya inovasi dalam pengelolaan
kelas. Guru sebagai penanggung jawab kegiatan belajar mengajar harus penuh inisiatif dan
kreatif dalam kegiatan belajar mengajar, karena gurulah yang mengetahui secara pasti
situasi dan kondisi kelas terutama keadaan anak dengan segala latar belakangnya. Tolok
ukur utama dalam menilai guru adalah kualitas kegiatan belajar mengajar yang terjadi di
kelas, kegiatan itu disebut juga kinerja guru.
b. Tugas Pokok Guru
Kinerja guru ditunjukkan dalam aktifitas kerjanya. Aktifitas disini secara langsung dapat
dikaitkan dengan tugas dan tanggung jawab yang dilaksanakan guru dalam melaksanakan
tugasnya. Tugas dan kegiatan pokok guru adalah melaksanakan pengajaran. Tugas ini
dapat dicapai dengan baik apabila seorang guru mengetahui secara jelas maksud dan
tujuan pengajaran yang akan dilaksanakan, serta mengelola pengajran itu sebaik mungkin.
Pengelolaan pengajaran yang menjadi tugas guru meliputi: (1) Menyusun rencana program
pengajaran; (2) Menyajikan dan melaksanakan program pengajaran; (3) Melakukan
evaluasi belajar; (4) Melakukan analisis hasil evaluasi belajar; dan (5) Menyusun program
perbaikan (Sukari, 1999: 51). Gagne da Berliner yang dikutip Ibrahim Bafadal (1992: 26)
menjelaskan ada tiga fase pengajaran, yaitu (1) fase sebelum pengajaran, (2) fase saat
pengajaran, dan (3) fase sesudah pengajaran. Tugas guru sebelum mengajar adalah
bagaimana merencanakan suatu sistem pengajaran yang baik. Tugas guru saat mengajar
adalah menciptakan suatu kondisi pengajaran yang sesuai dengan yang direncanakan.
Sedangakan tugas guru setelah mengajar adalah bagaimana menentukan keberhasilan
pengajaran yang telah dilakukan dan mengadakan perbaikan. Ketiga tugas besar ini saling
berhubungan dalam mencapai efektifitas dan efisien pengajaran.
Tugas pertama, merencanakan pengajaran merupakan tugas pertama guru sebagai
pengajar. Merencanakan pengajaran berarti merencanakan suatu sistem pengajaran.
Sistem pengajaran merupakan suatu sistem yang kompleks, sehingga tugas merencanakan
pengajaran bukanlah tugas yang mudah bagi seorang guru, karena guru dituntut memiliki
kemampuan berpikir yang tinggi untuk memecahkan masalah pengajaran. Lebih dari itu,
guru juga dituntut memiliki kemampuan yang tinggi untuk mengidentifikasi unsur-unsur
pengaajaran dan menghubungkan satu sama lainnya.
Tugas guru di bidang pengajaran sama dan relevan dengan langkah-langkah dalam proses
perencanaan pengajaran. Dick dan Carey (1985:3) mengatakan bahwa komponen-
komponen dalam proses belajar mengajar yang perlu diperhatikan yaitu: (1) Melakukan
identifikasi tujuan instruktional umum; (2) Melakukan analisis instruksional; (3) Melakukan
identifikasi perilaku dan karakteristik awal siswa; (4) Menulis tujuan kompetensi; (5)
Melakukan revisi kegiatan instrusional; (6) Mengembangkan butir tes acuan patokan; (7)
Mengembangkan strategi instruksional; (8) Mengembangkan dan memilih bahan
instruksional; (9) Mendesain dan melaksanakan evaluasi formatif; (10) Mendesain dan
melaksanakan evaluasi sumatif. Kemp (1977: 27) pernah mengembangkan tujuh langkah
dalam perencanaan pengajaran, yaitu, (1) Memahami tujuan, mendaftar topik, dan
menetapkan tujuan umum bagi setiap topik; (2) Mengidentifikasi pokok murid-murid; (3)
Menspesifikasi tujuan khusus pengajaran yang akan dicapai dalam bentuk hasil perilaku
murid yang bisa diukur; (4) Mendaftarkan subyek isi yang mendukung pencapaian tujuan;
(5) Mengembangkan pengukuran awal untuk menentukan topik; (6) Menyelesikan aktivitas-
aktivitas belajar mengajar dan sumber-sumber pengajaran yang akan menyampaikan
subyek isi sehingga murid bisa mencapai tujuan pengajaran; (7) Mengkoordinasikan
layanan-layanan pendukung, seperti anggaran, personil, fasilitas, jadwal untuk
melaksanakan rencana pengajaran; dan (8) Mengembangkan alat evaluasi belajar dengan
kemungkinan revisi dan penilaian kembali semua langkah perencanaan dan perlu
pengembangan..
Tugas kedua adalah mengajar atau mengimplementasikan rencana pengajaran yang
dibuat. Tugas ini merujuk pada bagaimana seseorang guru menciptakan suatu sistem
pengajaran yang sesuai dengan apa yang telah direncanakan sebelumnya. Tugas ini
mencakup, menyampaikan tujuan pengajaran, menyampaikan materi pelajaran,
menggunakan metode-metode sera alat-alat tertentu sesuai dengan rencana, menilai
keberhasilan belajar murid, memotivasi, membantu memecahkan belajar murid. Thomas
Green yang dikutip oleh Ibrahim Bafadal (1992: 31), mengklasifikasi aktivitas-aktivitas
pengajaran menjadi tiga kelompok, yaitu: (1) Aktivitas logik; (2) Aktivitas strategik, dan (3)
Aktivitas instruksional. Aktivitas logik pengajaran adalah segala aktivitas yang berhubungan
dengan pemikiran dalam melakukan pengajaran, seperti menjelaskan, menyimpulkan,
merangkum, dan mendemostrasikan. Aktivitas strategis pengajaran adalah segala aktivitas
yang mengacu pada perencanaan atau strategi dalam pengajaran, seperti memotivasi’
bimbingan, pendisiplinan, dan bertanya. Sedangkan aktivitas instruksional pengajaran
adalah segala aktivitas yang merupakan bagian dari pengorganisasian kerja guru oleh
institusi sekolah. Aktivitas-aktivitas ini meliputi pengumpulan dana, pengarsipan laporan,
memonitor murid, dan konsultasi dengan orang tua murid.
Kerangka berpikir Green mendeskripsikan antara aktivitas-aktivitas pengajaran dan
aktivitas-aktivitas guru. Aktivitas logik dan aktivitas strategik lebih menuju pada aktivitas
pengajaran guru di kelas, sedangkan aktivitas instruksional lebih menuju pada aktivitas
guru di luar kelas/pengajaran. Menurut Mc Pherson dikutip oleh Ibrahim Bafadal (1992: 32),
apabila seseorang ingin mengembangkan pengajaran guru, maka harus difokuskan pada
pengembangan aktivitas-aktivitas logik dan strategik. Aktivitas logik pengajaran ditujukan
guru selama satu kali pengajaran, sedangkan aktivitas-aktivitas strategik pengajaran
ditujukan guru dalam waktu yang lebih lama, misalnya selama satu semester.
Konsekuensinya, menurut MC. Pherson, apabila kepala sekolah maupun supervisor ingin
mngukur kemampuan guru dalam melakukan aktivitas-aktivitas logik, maka bisa melalui
satu kali observasi kelas. Namun apabila guru dalam melaksanakan aktivitas-aktivitas
strategik, maka sebaiknya melalui serangkaian observasi, diskusi, dan review, sehingga
menghasilkan penilaian yang tepat. Dalam pelaksanaan program-program pengajaran
dalam melaksanakan secara efektif dan efisien tentu banyak aspek ketrampilan mengajar
yang dituntut bagi seorang guru. Proses pengajaran akan efektif, apabila guru dapat
berkomunikasi secara efektif, dapat menrncanakan isi pengajaran, mampu menggunakan
alat bantu secara maksimal, mahir dalam menggunakan metode pengajaran yang
bervariasi, penampilan yang menarik, dapat memotivasikan minat belajar siswa, mampu
menciptakan seni bertanya yang efektif dan mampu mengadalkan evaluasi.
Tugas ketiga guru adalah menilai pengajaran. Tugas ini merujuk bagaimana guru menilai
keberhasilan proses belajar mengajar yang telah dikelolanya. Tugas menilai pengajaran
adalah menilai bagian-bagian yang tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Beberapa hal yang dapat merangsang tumbuhnya motivasi belajar aktif pada diri peserta
didik, antara lain :
a. Penampilan guru yang hangat dan menumbuhkan partisipasi positif
Sikap guru tampil hangat, bersemangat, penuh percaya diri dan antusias, serta dimulai dan
pola pandang bahwa peserta didik adalah manusia-manusia cerdas berpotensi, merupakan
faktor penting yang akan meningkatkan partisipasi aktif peserta didik. Segala bentuk
penampilan guru akan membias mewarnai sikap para peserta didiknya. Bila tampilan guru
sudah tidak bersemangat maka jangan harap akan tumbuh sikap aktif pada diri peserta
didik. Karena itu hendaknya seorang guru dapat selalu menunjukkan keseriusannya
terhadap pelaksanaan proses belajar mengajar, serta dapat meyakinkan bahwa materi
pelajaran serta kegiatan yang dilakukan merupakan hal yang sangat penting bagi peserta
didik, sehingga akan tumbuh minat yang kuat pada diri para peserta didik yang
bersangkutan.
b. Guru memberitahu maksud dan tujuan pembelajaran
Bila peserta didik telah mengetahui tujuan dari pembelajaran yang sedang mereka ikuti,
maka mereka akan terdorong untuk melaksanakan kegiatan tersebut secara aktif. Oleh
karena itu pada setiap awal kegiatan guru berkewajiban memberi penjelasan kepada
peserta didik tentang apa dan untuk apa materi pelajaran itu harus mereka pelajari serta
apa keuntungan yang akan mereka peroleh. Selain itu hendaknya guru tidak lupa untuk
mengadakan kesepakatan bersama dengan para peserta didiknya mengenai tata tertib
belajar yang berlaku agar kegiatan pembelajaran dapat berlangsung lebih efektif.
c. Guru menyiapkan fasilkitas, sumber belajar, dan lingkungan yang mendukung
Bila di dalam kegiatan pembelajaran telah tersedia fasilitas dan sumber belajar yang
“menarik” dan “cukup” untuk mendukung kelancaran kegiatan belajar mengajar maka hal
itu juga akan menumbuhkan semangat belajar peserta didik. Begitu pula halnya dengan
faktor situasi dan kondisi lingkungan yang juga penting untuk diperhatikan, jangan sampai
faktor itu memperlunak semangat dan keaktifan peserta didik dalam mengikuti kegiatan
belajar.
d. Adanya prinsip pengakuan penuh atas pribadi setiap peserta didik
Agar kesadaran akan potensi, eksistensi, dan percaya diri pada diri peserta didik dapat
terus tumbuh, maka guru berkewajiban menjaga situasi interaksi agar dapat berlanagsung
dengan berlandaskan prinsip pengakuan atas pribadi setiap individu. Sehingga kemampuan
individu, pendapat atau ggasan, maupun keberadaannya perlu diperhatikan dan dihargai.
Dan yang penting lagi guru hendaknya rajin memberikan apresiasi atau pujian bagi para
peserta didik, antara lain dengan mengumumkan hasil prestasi, mengajak peserta didik
yang lain memberikan selamat atau tepuk tangan, memajang hasil karyanya di kelas atau
bentuk penghargaan lainnya.
e. Adanya konsistensi dalam penerapan aturan atau perlakuan oleh guru di dalam
proses belajar mengajar
Perlu diingat bahwa bila terjadi kesalahan dalam hal perlakuan oleh guru di dalam
pengelolaan kelas pada waktu yang lalu maka hal itu berpengaruh negatif terhadap
kegiatan selanjutnya. Penerapan peraturan yang tidak konsisten, tidak adil, atau kesalahan
perlakuan yang lain akanmenimbulkan kekecewaan dari para peserta didik, dan hal ini akan
berpengaruh terhadap tingkat keaktifan belajar peserta didik. Karena itu di dalam
memberikan sanksi harus sesuai dengan ketentuannya, memberi nilai sesuai kriteria, dan
memberi pujian tidak pilih kasih.
f. Adanya pemberian “penguatan” dalam proses belajar-mengajar
Penguatan adalah pemberian respon dalam proses interaksi belajar mengajar baik berupa
pujian maupun sanksi. Pemberian penguatan ini dimaksudkan untuk lebih meningkatkan
keaktifan belajar dan mencegah berulangnya kesalahan dari peserta didik. Penguatan
yang sifatnya positif dapat dilakukan dengan kata-kata; bagus! baik!, betul!, hebat! Dan
sebagainya, atau dapat juga dengan gerak; acungan jempol, tepuk tangan, menepuk-nepuk
bahu, menjabat tangan dan lain-lain. Ada pula dengan cara memberi hadiah seperti
hadiah buku, benda kenangan atau diberi hadiah khusus berupa; boleh pulang duluan atau
pemberian perlakuan menyenangkan lainnya.
g. Jenis kegiatan Pembelajaran menarik atau menyenangkan dan menantang
Agar peserta didik dapat tetap aktif dalam mengikuti kegiatan atau melaksanakan tugas
pemebelajaran perlu dipilih jenis kegiatan atau tugas yang sifatnya menarik atau
menyenangkan bagi peserta didik di samping juga bersifat menantang. Pelaksanaan
kegiatan hendaknya bervariasi, tidak selalu harus di dalam kelas, diberikan tugas yang
dikerjakan di luar kelas seperti di perpustakaan, dan lain-lain. Penerapan model “belajar
sambil bekerja” (learning by doing) sangat dianjurkan, di jenjang sekolah dasar antara lain
dilakukan belajar sambil bernyanyi atau belajar sambil bermain. Untuk lebih mengaktifkan
peserta didik secara merata dapat diterapkan pemberian tugas pembelajaran secara
individu atau kelompok belajar (group learning) yang didukung adanya fasilitas/sumber
belajar yang cukup. Sekiranya tersedia dianjurkan penggunaan media pembelajaran
sehingga pelaksanaan pembelajaran dapat lebih efektif.
h. Penilaian hasil belajar dilakukan serius, obyektif, teliti dan terbuka
Penilaian hasil belajar yang tidak serius akan sangat mengecewakan peserta didik, dan hal
itu akan memperlemah semangat belajar. Karena itu, agar kegiatan penilaian ini dapat
membangun semangat belajar para peserta didik maka hendaknya dilakukan serius, sesuai
dengan ketentuannya, jangan sampai terjadi manipulasi, sehingga hasilnya dapat obyektif.
Hasil penilaiannya diumumkan secara terbuka atau yang lebih baik dibuatkan daftar
kemajuan hasil belajar yang ditempel di kelas. Dari daftar kemajuan belajar tersebut setiap
peserta didik dapat melihat prestasi mereka masing-masing tahap per tahap.
Dari teori-teori di atas dapat dirumuskan bahwa kinerja guru adalah perilaku nyata guru
yang dapat diamati dalam tugasnya sebagai guru. Perilaku guru sebagaimana dimaksud
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengelolaan pengajaran dan pengembangan profesi
meliputi kegiatan-kegiatan: (1) Mampu menyusun program atau praktek, (2) mampu
menyajikan program pengajaran, (3) mampu melaksanakan evaluasi belajar, (4) mampu
melaksanakan analisis hasil evaluasi belajar atau praktek, (5) mampu menyusun dan
melaksanakan program perbaikan dan pengayaan, (6) mampu membuat karya tulis/karya
ilmiah di bidang pendidikan, (7) mampu mengembangkan kurikulum. Kegiatan-kegiatan
tersebut akan diukur dengan angket yang di kerjakan oleh guru tersebut.
3. STRATEGI PEMBELAJARAN THINK-TALK-WRITE
Strategi mengajar menyangkut pemilihan cara yang dipilih guru dalam menentukan ruang
lingkup, urutan bahasan, kegiatan pembelajaran, dan lain-lain dalam menyampaikan materi
matematika kepada siswa di dalam kelas (Hudoyo, 1990: 11).
Dalam kegiatan pembelajaran matematika sering ditemui bahwa ketika siswa diberikan
tugas tertulis, siswa selalu mencoba untuk langsung memulai menulis jawaban. Walaupun
hal itu bukan sesuatu yang salah, namun akan lebih bermakna jika dia terlebih dahulu
melakukan kegiatan berpikir, merefleksikan dan menyusun ide-ide, serta menguji ide-ide itu
sebelum memulai menulisnya. Strategi think-talk-write yang dipilih pada penelitian ini
dibangun dengan memberikan waktu kepada siswa untuk melakukan kegiatan tersebut
(berpikir, merefleksikan dan untuk menyusun ide-ide, dan menguji ide-ide itu sebelum
menulisnya).
Tahap pertama kegiatan siswa yang belajar dengan strategi think-talk-write adalah think,
yaitu tahap berfikir dimana siswa membaca teks berupa soal (kalau memungkinkan dimulai
dengan soal yang berhubungan dengan permasalahan sehari-hari siswa atau kontekstual).
Dalam tahap ini siswa secara individu memikirkan kemungkinan jawaban (strategi
penyelesaian), membuat catatan kecil tentang ide-ide yang terdapat pada bacaan, dan/atau
hal-hal yang tidak dipahaminya sesuai dengan bahasanya sendiri.
Tahap kedua adalah talk (berbicara atau diskusi) memberikan kesempatan kepada siswa
untuk membicarakan tentang penyelidikannya pada tahap pertama. Pada tahap ini siswa
merefleksikan, menyusun, serta menguji (negosiasi, sharing) ide-ide dalam kegiatan diskusi
kelompok. Kemajuan komunikasi siswa akan terlihat pada dialognya dalam berdiskusi baik
dalam bertukar ide dengan orang lain ataupun refleksi mereka sendiri yang
diungkapkannya kepada orang lain.
Tahap ketiga adalah write, siswa menuliskan ide-ide yang diperolehnya dari kegiatan tahap
pertama dan kedua. Tulisan ini terdiri atas landasan konsep yang digunakan, keterkaitan
dengan materi sebelumnya, strategi penyelesaian, dan solusi yang diperolehnya. Huinker
dan Laughlin (1996) mengatakan bahwa strategi ini terlihat secara khusus efektif ketika
siswa ditugaskan untuk merencanakan, meringkas, atau merefleksikan dan mereka bekerja
dalam grup heterogen yang terdiri dari 2-6 siswa. Grup heterogen dimaksudkan agar
dalam grup tersebut terdapat siswa yang dapat membantu anggota lain dalam
menyelesaikan masalah. Diskusi dimulai dari kelompok kecil kemudian ukuran
kelompoknya diperbesar sehingga siswa menjadi lebih mampu dengan proses
pembelajaran tersebut.
Menurut Silver dan Smith (1996:21), peranan dan tugas guru dalam usaha mengefektifkan
penggunaan strategi think-talk-writeadalah mengajukan dan menyediakan tugas yang
memungkinkan siswa terlibat secara aktif berpikir, mendorong dan menyimak dengan hati-
hati ide-ide yang dikemukakan siswa secara lisan dan tertulis, mempertimbangkan dan
memberi informasi terhadap apa yang digali siswa dalam diskusi, serta memonitor, menilai,
dan mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif. Tugas yang disiapkan diharapkan
dapat menjadi pemicu siswa untuk bekerja secara aktif yaitu soal-soal yang mempunyai
jawaban divergen atau open ended task.
Untuk mewujudkan pembelajaran yang sesuai dengan harapan diatas, dirancang
pembelajaran yang mengikuti langkah-langkah berikut:
1. Guru membagi teks bacaan berupa Lembar Kerja Siswa yang dimulai dengan
soal-soal yang berhubungan dengan lingkungan sehari-hari siswa (kontekstual) dan jika
diperlukan diberikan sedikit petunjuk.
2. Siswa membaca teks dan membuat catatan kecil secara individu (think). Kegiatan
ini bertujuan agar siswa dapat membedakan atau menyatukan ide-ide yang terdapat pada
bacaan untuk kemudian diterjemahkan kedalam bahasa sendiri.
3. Siswa berdiskusi dengan teman dalam kelompok membahas isi catatan yang
dibuatnya (talk). Dalam kegiatan ini mereka menggunakan bahasa dan kata-kata yang
mereka sendiri untuk menyampaikan ide-ide matematika dalam diskusi. Pemahaman
dibangun melalui interaksinya dalam diskusi. Diskusi diharapkan dapat menghasilkan solusi
atas soal yang diberikan.
4. Dari hasil diskusi, siswa secara individu merumuskan pengetahuan berupa
jawaban atas soal (berisi landasan dan keterkaitan konsep, strategi dan solusi) dalam
bentuk tulisan (write) dengan bahasanya sendiri. Pada tulisan itu siswa menghubungkan
ide-ide yang diperolehnya melalui diskusi.
5. Kegiatan akhir pembelajaran adalah membuat refleksi dan kesimpulan atas materi
yang dipelajari. Sebelum itu dipilih beberapa (atau satu) orang siswa sebagai perwakilan
kelompok untuk menyajikan jawabannya, sedangkan kelompok lain diminta memberikan
tanggapan.
Selama kegiatan pembelajaran guru bertindak sebagai mediator dan jika diperlukan dapat
memberikan arahan, petunjuk, serta dorongan.
4. Belajar dalam Kelompok Kecil (Cooperative Learning)
Cooperative Learning merupakan model pembelajaran yang disetting secara sistematis
mengelompokkan siswa agar tercipta pembelajaran yang efektif serta dapat
mengintegrasikan keterampilan sosial siswa yang bermuatan akademis. DalamCooperative
Learning, siswa dibagi dalam kelompok kecil yang saling bekerja sama untuk
menyelesaikan suatu masalah atau suatu tugas dalam mencapai tujuan bersama (Turmudi,
2001).
Dalam pembelajaran dengan Cooperative Learning siswa berlatih mendengar dan
menghargai pendapat orang lain, saling membantu dalam membangun pengetahuan baru
dengan mengintegrasikan pengetahuan lama masing-masing individu. Sehingga
diharapkan dapat meningkatkan sikap positif siswa terhadap matematika serta dapat
menerapkan nilai-nilai kerja sama dalam kehidupan sehari-hari.
Malone dan Krismanto (1997) mengatakan bahwa terdapat fakta bahwa siswa mempunyai
perkembangan sifat positif dan persepsi yang baik tentang belajar matematika dengan
pengelompokan. Bahkan berdasarkan penelitian yang mereka lakukan, penggunaan
kegiatan kelompok dalam belajar matematika direkomendasikan secara tinggi untuk
mendorong motivasi siswa dalam pembelajaran. Pada penelitian lain Duren dan
Cherrington (1992) menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dalam ingatan
jangka panjang siswa (student’s long-term retention) antara siswa yang dalam belajarnya
mengerjakan latihan secara kelompok dibandingkan dengan siswa yang bekerja secara
sendiri. Dengan memberikan soal kepada dua kelompok siswa tersebut beberapa bulan
setelah proses pembelajaran, diperoleh bahwa siswa yang dalam belajarnya bekerja dalam
kelompok ternyata lebih mampu menguasai materi pelajaran dibandingkan dengan siswa
yang dalam belajarnya bekerja secara individu.
Terdapat dua teori yang mendukung bahwa prestasi siswa yang dalam belajarnya bekerja
dalam kelompok lebih baik dari siswa yang belajar secara tradisional yaitu Teori
Motivasional dan Teori Kognitif (Slavin, 1995: 16).
Menurut teori motivasional terdapat tiga jenis motivasi orang dalam belajar yaitu: (1)
kooperatif, yaitu seseorang yang dalam mencapai tujuan belajarnya diarahkan untuk
mendukung pencapaian tujuan (usaha) orang lain; (2) kompetitif, yaitu seseorang yang
dalam mencapai tujuan belajarnya diarahkan untuk menghalangi usaha orang lain dalam
mencapai tujuannya; dan (3) individualistik, yaitu seseorang yang dalam mencapai tujuan
belajarnya tidak mempengaruhi pencapaian tujuan belajar orang lain.
Menurut pandangan teori motivasional, belajar kooperatif menciptakan situasi dimana satu-
satunya cara anggota kelompok agar tidak mengutamakan tujuan pribadinya adalah jika
kelompoknya berhasil dengan baik. Oleh karena itu, keberhasilan kelompok harus
diusahakan secara bersama dengan maksimal. Untuk mempertemukan tujuan dari masing-
masing individu yang berbeda tersebut, setiap anggota kelompok harus membantu
kelompoknya mengerjakan apapun yang dapat membuat kelompok itu sukses dan
mendorong kelompoknya untuk berusaha secara maksimal.
Teori kognitif menekankan pengaruh dari kerja kelompok terhadap diri masing-masing
anggota kelompok yaitu apakah kelompoknya sedang berusaha mencapai tujuan bersama
yang merupakan gabungan dari tujuan masing-masing individu tersebut. Terdapat
beberapa teori kognitif, yang secara garis besar dapat dibedakan atas: Teori
Perkembangan Mental dan Teori Elaborasi Kognitif.
Menurut teori perkembangan mental pembelajaran terjadi saat anak bekerja pada suatu
zona yang disebut zona perkembangan proksimal (zone of proximal development), yaitu
suatu tingkat perkembangan sedikit berada diatas tingkat perkembangan seseorang saat
ini. Vigotsky (Slavin, 1995:17; Kariadinata, 2001) mendefinisikan zona perkembangan
proksimal sebagai jarak antara level perkembangan nyata yang ditandai dengan
kemampuan problem solving independent dan level perkembangan potensial ditentukan
melalui pemecahan masalah dibawah bimbingan atau kolaborasi dengan orang yang lebih
mampu. Untuk mencapai zona tersebut tugas guru adalah memberikan scaffolding, yaitu
sejumlah bantuan kepada anak pada tahap awal pembelajaran, dan berangsur-angsur
menguranginya untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk bekerja secara mandiri
pada saat mereka sudah mampu. Bantuan dimaksud dapat berupa petunjuk, peringatan,
dorongan, mengaitkan masalah dengan langkah-langkah penyelesaian masalah, memberi
contoh, atau hal-hal lain yang memungkinkan anak untuk tumbuh mandiri.
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa untuk mendapatkan keuntungan belajar
dengan Cooperative Learning tidaklah cukup dengan siswa duduk berkelompok kemudian
mengerjakan tugasnya secara individu, atau menugaskan seseorang dalam kelompoknya
untuk menyelesaikan seluruh tugas kelompoknya. Pelaksanaan model ini haruslah didasari
oleh filosofis getting better together, yang artinya untuk mendapatkan hasil belajar yang
terbaik hendaklah dilakukan secara bersama-sama.
Johnson & Johnson (Astuti, 2000: 20) mengemukakan syarat agar belajar kooperatif dapat
berhasil, yaitu:
1. Adanya saling ketergantungan yang positif. Hal ni menuntut guru untuk
menciptakan suasana belajar mendorong siswa untuk saling membutuhkan.
2. Adanya interaksi tatap muka secara langsung sehingga dapat melakukan dialog
dan dapat mengembangkan komunikasi yang efisien.
3. Adanya akuntabilitas individu. Artinya setiap individu dituntut memberikan andil
bagi keberhasilan kelompok.
4. Adanya keterampilan menjalin hubungan interpersonal, yang berupa
keterampilan sosial berupa: tenggang rasa, bersikap sopan terhadap teman, mengkritik ide
orang lain secara benar, berani mempertahankan pikiran dengan logis, dan berbagai
keterampilan lain yang bermanfaat untuk menjalin hubungan antar individu.
Untuk memenuhi tujuan tersebut perlu dipenuhi dalam Cooperative Learning hal-hal
sebagai berikut bahwa para siswa yang tergabung dalam kelompok harus merasa bahwa:
1) mereka adalah bagian dari tim dan tujuan yang hendak dicapai adalah tujuan bersama,
2) masalah yang mereka hadapi adalah masalah kelompok dan berhasil tidaknya kelompok
menjadi tanggung jawab bersama, 3) untuk mencapai hasil maksimal mereka harus
berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang mereka hadapi, dan 4) setiap
pekerjaan siswa berakibat langsung pada keberhasilan kelompoknya (Turmudi, 2001).
Dalam membentuk kelompok Malone dan Krismanto (1997) mengusulkan salah satu cara
yang dalam penelitiannya terbukti disukai siswa adalah berdasarkan keheterogenan
kemampuan siswa dalam kelompok, sehingga pada setiap kelompok terdapat siswa pandai
yang dapat membimbing atau membantu siswa lain dalam kelompok yang berkemampuan
kurang. Sebaliknya siswa yang lemah tidak merasa enggan untuk berdiskusi dengan siswa
yang pandai, sehingga dapat terjadi kolaborasi antar siswa tanpa melihat perbedaan latar
belakang.
5. Kemampuan
Pemecahan Masalah Matematika
Kemampuan pemecahan masalah matematika adalah kemampuan:
Mengidentifikasi unsur-unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan kecukupan unsur yang
diperlukan
Merumuskan masalah matematik atau menyusun model matematik
Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah (sejenis dan masalah baru)
dalam atau di luar matematika
Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal
Menggunakan matematika secara bermakna.
F. Kerangka Berpikir
Upaya peningkatan hasil belajar matematika siswa SMA di wilayah binaan kabupaten
Dompu sudah merupakan hal yang sangat perlu untuk diupayakan sehingga siswa
mendapatkan hasil belajar yang maksimal, upaya itu dapat dilakukan dengan berbagai
cara, salah satunya adalah dengan peningkatan kinerja guru dalam mengelola
pembelajaran yang inovatif, mulai dari persiapan perencanaan pengajaran,
metode,strategi, media, sumber belajar, alat evaluasi, pelaksanaan kegiatan belajar
mengajar, sampai dengan evaluasi hasil belajar.
Guru sering kali mendapatkan masalah dan kesulitan dalam merencanakan dan
melaksanakan pengelolaan pembelajaran yang inovatif, yang menjadi tugas dan tanggung
jawabnya, karena berbagai keterbatasan, oleh karena itu diperlukan pendampingan
terhadap guru mulai dari perencanaan pengajaran, pelaksanaan pembelajaran sampai
dengan evaluasi hasil belajar. Jika upaya ini dilakukan dengan baik diduga dapat
memberikan kontribusi yang tinggi dalam peningkatan hasil kinerja guru dan prestasi
belajar siswa. Untuk lebih jelasnya kerangka pemikiran ini dapat digambarkan sebagai
berikut.
Gambar 2. Kerangka Berpikir
G. Rencana Tindakan
1. Desain Penelitian Tindakan
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan disain penelitian tindakan (action
research) yang dirancang melalui tiga siklus melalui prosedur: (1)
perencanaan (planning), (2) pelaksanaan tindakan (action), (3)
pengamatan (observation), (4) refleksi(reflecsion) dalam tiap-tiap siklus.
Gambar 3. Disain penelitian tindakan (action research)
Sumber: S Kemmis and R McTaggart, 1986)
2. Subjek Tindakan
Penelitian dilaksanakan terhadap semua guru matematika pada SMA yang menjadi binaan
peneliti di Kabupaten Dompu seperti pada tabel berikut.
Tabel 2. Daftar sampel penelitian tindakan
No Nama Sekolah Gr Matematika Siswa
1 SMA Negeri 1 Dompu 1 orang Kelas XI IPA
2 SMA Negeri 1 Kempo 1 orang Kelas XI IPA
3 SMA Negeri 2 Kempo 1 orang Kelas XI IPA
4 SMA Negeri 1 Woja 1 orang Kelas XI IPA
5 SMA Tri Dharma Kosgoro 1 orang Kelas XI IPA
Jumlah 5 orang
H. Metode dan Pelaksanaan Tindakan
Penelitian ini akan dilaksanakan pada semester gasal tahun pelajaran 20010/2011.
Pelaksanaan penelitian dilaksanakan sebanyak tiga Siklus yang akan dilaksanakan pada
bulan Juli sd Nopember 2010.
Subjek penelitian ini adalah guru yang mengajar matematika pada siswa Kelas XI IPA, SMA
di Wilayah sekolah binaan peneliti. Sedangkan Siswa yang menjadi obyek penelitian
memiliki karakteristik yang beragam, baik dari segi kemampuan, motivasi maupun latar
belakang pengetahuannya. Itulah sebabnya penulis tertarik melakukan penelitian pada
kelas tersebut.
1. Faktor yang Diteliti
Untuk berhasilnya tujuan penelitian, maka beberapa faktor yang diteliti dalam penelitian ini
adalah:
a. Faktor Guru
Karena penelitian ini bersifat kolaboratif, maka hal-hal yang diamati selama berlangsungnya
pembelajaran dalam penelitian ini adalah: apakah guru berhasil dalam menyampaikan
konsep, membimbing dan memotivasi siswa.
b. Faktor Pembelajaran
Faktor yang diteliti dalam hal pembelajaran adalah: apakah perencanaan, metode atau
pendekatan pembelajaran dapat berjalan sesuai yang direncanakan.
c. Faktor Siswa
Siswa menjadi sentral utama dari penelitian ini. Semua kegiatan siswa selama
berlangsungnya pembelajaran diamati dan dicatat perkembangannya untuk selanjutnya
dilakukan perbaikan-perbaikan pada siklus pembelajaran selanjutnya.
Aktivitas siswa selama berlangsungnya pembelajaran diamati dengan menggunakan
instrumen Lembar Observasi.
d. Peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Peningkatan pemecahan masalah matematika siswa adalah hasil akhir yang diharapkan
terlihat setelah pemberian perlakuan. Oleh karena itu setiap akhir siklus, kemampuan ini
diukur dengan instrumen tes kemampuan pemecahan masalah matematika untuk
mengetahui apakah tujuan penelitian telah tercapai.
e. Ketuntasan Belajar
Prosentase ketuntasan belajar siswa merupakan bagian penting yang diamati dalam
penelitian ini. Siswa dianggap tuntas belajar apabila penguasaan materinya lebih dari atau
sama dengan KKM yang telah ditetapkan , atau sesuai dengan Kriteria Ketuntasan Minimal
yang ditetapkan dalam kurikulum SMA yang menjadi binaan peneliti..
Tahapan-tahapan yang akan dilakukan dalam Penelitian ini meliputi perencanaan,
pelaksanaan, pengamatan dan refleksi dalam tiga siklus. Setiap siklus terdiri dari.
1. Siklus I
a. Perencanaan (Planning)
Dalam tahap perencanaan disiapkan hal-hal sebagai berikut: (a) Menyiapkan bahan,
inventarisasi kebutuhan dan inventarisasi masalah/kesulitan guru matematika dalam
mengelola pembelajaran yqng inovatif. (b) berdiskusi dengan guru (Fokus Group
Discussion) tentang hal-hal yang terkait dengan pembelajaran dengan strategi think-talk-
write dalam kelompok kecil yang dapat dilakukan untuk peningkatan kualitas pembelajaran
matematika. (c) menyiapkan jadwal pelaksanaan supervise pendapingan pada setiap guru
disesuaikan dengan kesiapan setiap guru. (d) Menyiapkan bahan dan alat yang dibutuhkan
dalam pendampingan supervise.
b. Pelaksanaan Tindakan (Action)
Pada tahap ini dilaksanakan supervise pada setiap guru secara kolaborativ sesuai dengan
jadwal yang telah direncanakan, yaitu: (a) Bimbingan /Pendampingan terhadap guru dalam
perencanaan pembelajaran Think-talk-write : mulai dari menyusun rencana pengajaran:
menyiapkan metode, membuat media belajar, menyiapkan sumber belajar, dan
menyiapkan alat evaluasi. (b) Pendampingan terhadap guru saat melaksanakan kegiatan
belajar mengajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas, sesuai dengan pokok bahasan
dan materi yang akan diajarkan. (c) Pendampingan terhadap guru saat mengevaluasi hasil
belajar terhadap siswa.
c. Pengamatan (Observation)
Pengamatan dilakukan pada setiap tahap penelitian, mulai dari tahap perencaaan dan
pelaksanaan tindakan, kejadian dan hal-hal yang terjadi direkam dalam bentuk catatan-
catatan hasil observasi, dan didokumentasikan sebagai data-data penelitian.
d. Refleksi (Reflection)
Pada akhir tiap siklus diadakan refleksi berdasarkan data observasi, dengan Refleksi ini
dimaksudkan agar peneliti dapat melihat apakah tindakan yang dilakukan dalam penelitian
ini dapat meningkatkan kinerja guru dan hasil belajar siswa, kendala-kendala apa yang
menghambat, faktor apa saja yang menjadi pendorong, dan alternatif apa sebagai
solusinya. Pada penelitian ini refleksi yang dilakukan adalah dari hasil pengamatan input
dan output kinerja guru dan hasil belajar siswa.
Sumber data penelitian ini adalah siswa, guru ekonomi, peneliti. Jenis data yang
dikumpulkan berupa data kuantitatif dan kualitatf, yang mencakup (a) rencana
pendampingan, (b) pelaksanaan pendampingan, (c) data hasil observasi, (d) kinerja guru,
(e) hasil belajar mata pelajaran matematika, (e) perubahan guru dan sikap siswa dalam
mengikuti mata pelajaran matematika.
2. Siklus II
Kegiatan tindakan pada siklus II didasarkan atas temuan-temuan hasil dari siklus I, adapun
langkah-langkah tindakan yang dikalukan sama dengan pada siklus I.
3.Siklus III
Berdasarkan hasil refleksi dari kegiatan pembelajaran pada siklus kedua, maka
perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran pada siklus ketiga diarahkan untuk semakin
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika. Masalah-masalah semakin
dibuat sulit agar siswa tertantang untuk mengerahkan segala kemampuan matematiknya
untuk dapat menjawab masalah tersebut
2. Teknik Pengumpulan Data & Instrumen Penelitian
Teknik pengumpulan data meliputi panduan observasi, panduan wawancara, jurnal
kegiatan guru dan siswa, tes kinerja guru, dan tes pengukuran hasil belajar siswa.
Instrumen pengumpul data meliputi:
(1) Pedoman observasi dan pengamatan (observasi), sebagai data untuk melihat kondisi
guru Matematika dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajarnya.
(2) Instrumen penilaian kinerja guru, untuk melihat kemajuan kinerja guru.
(3) Instrumen penilaian hasil belajar siswa, sebagai salah satu indikator keberhasilan
belajar mengajar guru.
(4) Alat-alat dokumentasi seperti kamera dan tape recorder, sebagai perekam data-data
penelitian yang dibutuhkan.
3. Teknik Analisis Data
Data yang terkumpul dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Data
kualitatif dianalisis dengan menggunakan analisis kategorial dan fungsional melalui model
analisis interaktif (interactive model), yakni analisis yang dilakukan melalui empat
komponen analisis: reduksi data, penyandian, dan verifikasi dilakukan secara simultan.
Data kuantitatif dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif.
I. JADWAL PENELITIAN
Jadwal penelitian adalah seperti pada tabel berikut.
Tabel 2. Jadwal Penelitian
NO KEGIATAN JUNI JULI AGTS SEPT OKT
MINGGU KE-
1 Penyusunan Proposal 1 2 3 4 1 2 3 4
2 Persiapan Tindakan 1 2 3 4
3 Tindakan Siklus I 2 3 4
4 Analisis Data Hasil Siklus I 3 4
5 Tindakan Siklus II 1 2 3 4
6 Analisis Data Hasil Siklus II 3 4
7 Penyusunan Laporan Hasil Penelitian 3 4
8 Pelaporan Hasil
Daftar Pustaka
Adam, H.F. & Frank. G. 1959. Basic Principles Supervision. New York: American Book
Company.
Agung, I. G. N. 1992, Metode Penelitian Sosial: Pengertian dan Pemakaian
Praktis. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama.
Bafadal, Ibrahim. 1992. Supervisi Pengajaran: Teori dan Aplikasinya dalam Membina
Profesional Guru. Jakarta: Bumi Aksara.
Boardman, et. al. 1953. Democratic Supervision In Scondary School. Massachusetts:
Houghton Miffin Company.
Carr, W., & Kemmis, S. (1986). Becoming critical: education, knowledge and action
research. Brighton, Sussex: Falmer Press.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1998. Alat Penilaian Kemampuan Guru. Jakarta:
Dirjen Pendidikan dasar dan Menengah.
Douglass, Hari. 1961. Democratic Supervision in Secindary School. Boston: Ginn and
Company.
Fatah, N. 1996. Landasan Manajemen Pendidikan Bandung: Remaja Rosdakarya.
Hadikusumo, Kunaryo., Sadjad Sayuti, Achmad Rifai, Agus Salim dan Budiyono.
1995. Pengantar Pendidikan. Semarang: IKIP Semarang Press
Hamalik, Oemar. 1992. Administrasi dan Supervisi Pengembangan
Kurikulum. Bandung: CV. Mandar Maju.
Imron Ali. 1995. Pembinaan Guru Di Indonesia. Malang: Pustaka Jaya.
Kember, D. 2000. Action learning and action research: Improving the quality of teaching and
learning. London: Kogan Page.
Kemmis, S. and R McTaggart, 1988. Action Research – some ideas from The Action Research Planner, Third edition, ed. Deakin University.
Nurtain. 1989. Supervisi Pengajaran (Teori dan Prektek). Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti –
P2LPTK.
Oliva, P.F.1984. Supervision for to Days School. New York: Tomas J. Crowell Company.
Pidarta, Made. 1992. Pemikiran Tentang Supervisi Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara.
Purwanto, Ngalim. 1988. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Remaja
Rodakarya.
Sahertian, Piet. 1994. Profil Pendidik Profesional. Yogyakarta: Andi Offset.
Sahertian, Piet. 2000. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam rangka
Pengembangan Sumberdaya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Samana A. 1994. Profesionalisme Keguruan. Yogyakarta: Kanisius.
Segiovanni, T. J. 1991. The Principals: A Reflective Practice Perspective. (2rd Ed) Boston :
Allyn and Bacon.
Sergiovani, T. J. 1971. Emerging Paterns Of Supervision: Human Perspective. New York:
Mc Graw – Hill Book Company.
Sevilla, C.G., Ochave, J.A., Punsalan, T.G., Regala, B.P. & Uriarte, G.G. 1993. Pengaturan
Metode Penelitian. Alih Bahasa oleh Alimudin Tuwu. Jakarta : UI Press.
Undang-Undang RI Nomor 20. 2003. Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Depdiknas.
Wiles, K. 1955. Supervision For Better Schools. New York: Printince Hall Inc.
Ansari, B.I (2004). Menumbuhkembangkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi
Matematik Siswa SMU Melalui StrategiThink-Talk-Write. Disertasi Doktor PPS UPI
Bandung: Tidak dipublikasikan.
Astuti, W.W. (2000). Penerapan Strategi Koperatif Tipe STAD pada Pembelajaran
Matematika Kelas II MAN Magelang. Tesis pada PPS UPI Bandung: tidak dipublikasikan.
Duren, P.,E. dan Cherrington, A. (1992). “The Effective of Cooperative Group Work Versus
Independent Practice on the Learning of Some Problem Solving Strategies”. Official
Journal of School Science and Mathematics, 92 (2). 80-83.
Hudoyo, H. (1990). Strategi Mengajar Belajar Matematika. Malang: IKIP Malang.
Huinker, D. dan Laughlin, C. (1996). “Talk Your Way into Writing”. Dalam Communication in
Mathematicss K-12 and Beyond, 1996 year book. National Council of Teachers of
Mathematics.
Kariadinata, R. (2001). Peningkatan Pemahaman dan Kemampuan Analogi Matematika
Siswa SMU melalui Pembelajaran Kooperatif. Tesis PPS UPI Bandung: tidak
dipublikasikan.
Malone, J.A. dan Krismanto, A. (1997). “Indonesian Students’ Attitudes and Perceptions
Towards Small-Group Work in Mathematics”. Journal of Science and Mathematics
Educations in Southeast Asia. XVI (2). 97-103
Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan
Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung:
Tarsito.
Silver, E.A. dan Smith, M.S. (1996). “Building Discourse Communities in Mathematics
Classrooms: A Worthwhile but Challenging Journey”. dalam Communication in
Mathematicss K-12 and Beyond. 1996 year book. National Council of Teachers of
Mathematics.
Slavin, R. E. (1994). Educational Psychologi: Theory and Practice. Massachusetts: Allyn
and Bacon Publisher.
Sriyono (1992). Teknik Belajar Mengajar dalam CBSA. Jakarta: Rinika Cipta.
Sumarmo, U. (2000). Pengembangan Model Pembelajaran Matematika untuk
Meningkatkan Kemampuan Intelektual Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Dasar. Laporan
Penelitian. Bandung: Lembaga Penelitian UPI.
Sutiarso, S. (2000). Problem Posing, Strategi Efektif Meningkatkan Aktivitas Siswa dalam
Pembelajaran Matematika. Bandung: tidak diterbitkan.
Turmudi (Ed)(2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer, UPI Bandung: JICA,
FPMIPA-UPI.
top related