strategi komunikasi persuasif terapis kepada...
Post on 30-Dec-2020
18 Views
Preview:
TRANSCRIPT
STRATEGI KOMUNIKASI PERSUASIF TERAPISKEPADA PENYANDANG TUNA WICARA
DALAM MENINGKATKAN KEMAMPUANBERINTERAKSI SOSIAL PADA KLINIK BINA
WICARA JAKARTA PUSAT
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
M Dwiki Firmansyah
NIM. 11140510000097
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H/2020 M
i
ASBTRAK
M Dwiki FirmansyahStrategi Komunikasi Persuasif Terapis kepadaPenyandang Tuna wicara dalam MeningkatkanKemampuan Berinteraksi Sosial pada Klinik Bina WicaraJakarta Pusat.
Setiap pasien yang terdapat dalam klinik akanmendapatkan proses terapi, yang dalam bentuk prosesnyaberbeda-beda pada jenis tuna wicaranya. Selain untukmengatasi gangguan bicara, proses terapi yang diberikan jugauntuk meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial denganlingkungannya. Berdasarkan hal tersebut Terapis perlumelakukan strategi komunikasi persuasif yang efektif danbaik, dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka munculpernyataan, pertama, yaitu bentuk strategi komunikasipersuasif yang dilakukan oleh Terapis Klinik Bina Wicaradalam memberikan pemahaman kepada penyandang tunawicara. Kedua, yaitu berupa faktor penghambat danpendukung yang dihadapi Terapis Klinik Bina Wicara saatmenghadapi pasien dalam proses komunikasi persuasif.
Model yang digunakan dalam penelitian ini adalahmodel persuasi yang di populerkan oleh Carl Hovland. Modelini membahas 5 tahap yaitu perhatian, pemahaman,pembelajaran, penerimaan dan pengulangan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif,dengan paradigma konstruktif. Tehnik pengumpulan datadalam penelitian ini melalui observasi langsung, wawancaramendalam dan dokumentasi.
Hasil penelitian ini yaitu strategi komunikasi persuasifTerapis kepada penyandang tuna wicara dalam meningkatkankemampuan berinteraksi sosial dengan 5 tahap, yaituperhatian, pemahaman, pembelajaran, penerimaan danpengulangan. Terdapat faktor pendukung dan faktorpenghambat dalam mempengaruhi proses terapi.
Kata kunci: Strategi Komunikasi, Terapis, Pasien,Berinteraksi Sosial, tuna wicara.
ii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirobbil ‘Alamin. Segala puji bagi Allah
SWT atas segala limpahan rahmat, kasih sayang, dan
karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga selalu Allah curahkan kepada
Nabi besar, Nabi Muhammad SAW semoga kita termasuk
umatnya yang mendapatkan syafaatnya kelak di hari kiamat.
Puji syukur peneliti haturkan atas pertolongan petunjuk
Allah SWT sehingga peneliti mampu menyelesaikan tugas
akhir skripsi yang berjudul “Strategi Komunikasi Persuasif
Terapis kepada Penyandang Tuna wicara dalam
Meningkatkan Kemampuan Berinteraksi Sosial pada Klinik
Bina Wicara Jakarta Pusat” yang merupakan syarat untuk
memperolehj gelar Sarjana Sosial dari Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis selalu
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Baik itu berupa pikiran,
tenaga, dorongan moril maupun materiil. Maka dari itu
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu memperlancar penyelesaian
skripsi ini.
iii
1. Dr. Suparto M.Ed, Ph.D selaku Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Dr. Siti Napsiyah, MSW
selaku Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Siti
Napsiyah, MSW., Dr. Sihabudin Noor, M.Ag selaku
Wakil Dekan Bidang Administrasi Umum, Drs. Cecep
Sastrawijaya, MA selaku Wakil Dekan Bidang
Kemahasiswaan, Alumni dan Kerjasama.
2. Dra. Armawati Arbi, M.Si selaku Ketua Jurusan
Komunikasi dan Penyiaran Islam, Dr. H. Edi Amin, MA
selaku Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran
Islam.
3. Dr. Yopi Kusmiati, M.Si, selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia membimbing dan banyak memberikan
masukan serta saran kepada penulis selama proses
penulisan ini berlangsung. Penulis mengucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada beliau. Semoga
Allah SWT senantiasa memberikan keberkahan,
kesehatan, dan kebaikan setiap saat kepada beliau beserta
keluarga.
4. Dr. Suhaimi, M.Si., selaku Dosen Penasehat Akademik
KPI B angkatan 2014 yang telah memberi masukan dan
dukungan dalam pembuatan skripsi ini.
5. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang telah memberikan beragam ilmu dan
pengalaman kepada penulis selama perkuliahan.
iv
6. Ibu Hilda Sofia Hanafi, A.Md. T.W. selaku Kepala Klinik
Bina Wicara dan seluruh pengurus Yayasan Bina Wicara
yang telah memberikan izin kepada penulis, sehingga
penelitian ini dapat dilaksanakan.
7. Anjarsari Sulistyowati, A.Md. T.W., Erni Maisari, A.Md.
T.W., Hairani, A.Md. T.W., Diana Martini, S.Pd, A.Md.
T.W., dan Darsenih, A.Md. T.W. selaku Terapis Klinik
Bina Wicara sekaligus informan dalam penelitian ini.
Terima Kasih telah berkenaan memberikan informasi
yang penulis butuhkan.
8. Untuk Orang tua yang telah mendukung secara totalitas
Ayah Satrija Prabawa, S.E dan Ibu Ulya Abdullah
Sungkar, yang telah mendidik, menyayangi, mendoakan,
mengasihi dan tidak pernah lelah menyemangati anak-
anaknya. Serta adik penulis Tara Nur Tsania dan
Muhammad Farras Ilhamsyah yang sudah memberikan
semangat setiap saat kepada penulis untuk segera
menyelesaikan skripsi ini.
10. Abdul Mukhlis Al Arofi S.Sos, Rahmadika Arga Sulistya
S.Sos dan Syarif Hidayatullah S.Sos yang telah
memberikan semangat dan masukan. Terima kasih telah
meluangkan waktu dan telah membantu penulis dikala
semangat yang naik turun.
11. Teman-teman seperjuangan KPI 2014, terutama KPI B
2014 yang telah membersamai semasa perkuliahan.
v
12. Untuk Indonesian Stuttering Community yang telah
memberikan dukungan, masukan dan perspektif baru
dalam pengerjaan skripsi.
Demikian ucapan terima kasih yang dapat penulis
sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu
mulai dari awal penulisan hingga skripsi ini dapat
terselesaikan, semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan mereka dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat
bagi penulis dan seluruh pihak yang membaca.
Tangerang Selatan. 07 Januari 2020
M Dwiki Firmansyah
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK………………………………….………....….i
KATA PENGANTAR…………………………..….…...ii
DAFTAR ISI……………………….………………...…vi
DAFTAR TABEL……………………………..….….…ix
DAFTAR GAMBAR…………………….........……..….x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah..........................................1
B. Identifikasi Masalah..............................................12
C. Batasan Masalah....................................................12
D. Rumusan Masalah..................................................12
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian.............13
F. Tinjauan Kajian Terdahulu....................................14
G. Metodologi Penelitian…........................................17
H. Sistematika Penulisan............................................24
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Konseptual……………………..….…..27
1. Strategi Komunikasi.........................................27
2. Komunikasi Persuasif.......................................35
3. Pengertian Tuna wicara dan Terapis.................40
4. Pengertian Interaksi Sosial................................43
5. Teori Kredibilitas…………………………….46
B. Kerangka Berpikir………….................................54
vii
BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI
PENELITIAN
A. Sejarah Yayasan Bina Wicara...............................55
B. Sejarah Klinik Bina Wicara…………...................31
C. Sarana dan Prasarana….........................................58
D. Struktur Yayasan Bina Wicara..............................60
E. Jumlah Terapis dan Penyandang Tuna wicara......62
F. Profil Informan……………………………….….63
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Strategi Komunikasi Persuasif Terapis yang
dilakukan oleh Terapis Klinik Bina Wicara dalam
memberikan pemahaman kepada Penyandang
Tuna wicara………………………………..….…65
B. Faktor Pendukung dan Penghambat yang dihadapi
Terapis Klinik Bina Wicara saat berhadapan dengan
Pasien dalam Proses Komunikasi Persuasif……..83
BAB V PEMBAHASAN
A. Strategi Komunikasi Persuasif Terapis yang
dilakukan oleh Terapis Klinik Bina Wicara dalam
memberikan pemahaman kepada Penyandang
Tuna wicara……………………………………..90
B. Faktor Pendukung dan Penghambat yang dihadapi
Terapis Klinik Bina Wicara saat berhadapan dengan
Pasien dalam Proses Komunikasi Persuasi…..…101
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. SIMPULAN………………………………….....108
viii
B. IMPLIKASI……………………………….……112
C. SARAN…………………………………………113
DAFTAR PUSTAKA………………………….………116
LAMPIRAN………………………………………...….122
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Proses Komunikasi Persuasif model Hovland
antara Terapis terhadap penyandang Tuna
wicara Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat…………82
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Persuasi Hovland……………...,..…40
Gambar 2.2 Kerangka Berpikir…………………………54
Gambar 3.1 Struktur Lembaga……………………..…...62
Gambar 5.1 Model Persuasi Hovland…………….…….92
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan yang terjadi dalam dunia kesehatan,
membuat perubahan yang signifikan pada segala aspek. Salah
satu aspek yang saat ini sedang berlangsung di Indonesia,
yaitu pentingnya peran dalam menanggapi kaum disabilitas,
seperti halnya tuna rungu (tuli), tuna daksa (cacat fisik), tuna
wicara (bisu, gagap), tuna netra (buta), tuna grahita
(keterbelakangan mental), tuna laras (cacat pengendalian diri)
dan tuna ganda (cacat kombinasi). Dari sekian banyaknya
disabilitas, yang menarik untuk dikaji adalah tuna wicara. Erat
kaitannya seorang Terapis dalam tuna wicara dengan strategi
komunikasi yang terbangun diantara keduanya, karena
indikator keberhasilan dalam proses terapi dapat membuahkan
hasil maksimal, apabila seorang Terapis mampu
menyampaikan pesan ke penyandang tuna wicara dengan
baik. Subjek yang biasanya dilakukan saat proses terapi
adalah anak-anak, walaupun begitu kalangan remaja maupun
dewasa bisa menerima proses terapi ini.
Penulis pun mengkaji pada bentuk proses komunikasi
persuasif yang dibangun oleh seorang Terapis kepada
penyandang tuna wicara, dengan mengetahui lebih spesifik
mengenai jenis komunikasi yang dibangun diantara keduanya.
2
Faktor komunikasi sangat mendukung dalam perkembangan
proses terapi. Adanya komunikasi yang baik akan
menimbulkan hal yang positif. Komunikasi yang baik antara
Terapis dan pasien penyandang tuna wicara akan tercipta
proses terapi yang tepat. Bahasa yang diberikan oleh guru
dalam mengajar mempunyai pesan yang sangat penting
bahkan jika muridnya adalah anak yang berkebutuhan khusus
(anak tuna wicara).
Anak merupakan makhluk yang mulia, yang
keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT
melalui proses penciptaan. Anak penyandang disabilitas tuna
wicara mempunyai kekurangan dari segi perkembangan
kecerdasan, karena faktor yang menyebabkan seorang anak
menderita tuna wicara dan sulit untuk berinteraksi dengan
lingkungan sekitar maupun keluarganya. Hal ini yang perlu
adanya pendidikan khusus untuk anak penyandang tuna
wicara agar kecerdasan dalam berkomunikasinya berkembang
dan bisa berinteraksi dengan orang lain. Kemudian terdapat
ayat yang menjelaskan makna seorang orang anak.
Allah SWT telah berfirman dalam QS. Al. Ghafir: 67
3
67. Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanahkemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpaldarah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seoranganak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamusampai kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkankamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yangdiwafatkan sebelum itu (kami perbuat demikian)supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dansupaya kamu memahami (Nya).
Sebagai titipan Allah SWT yang kelak akan
memakmurkan dunia, dapat diartikan pula bahwa anak
merupakan cikal bakal lahirnya generasi baru penerus cita-cita
sebuah bangsa dan sumber daya manusia bagi pembangunan
nasional. Anak adalah aset bangsa, masa depan bangsa dan
negara pun berada di setiap tangan anak. Anak adalah aset
maka dimaksudkan anak yang berbakat, mereka mempunyai
potensi yang unik bila dibina dan dikembangkan dengan
benar akan memberikan sumbangsih ke dunia ini. Kecacatan
yang dialami anak tuna wicara membuat anak tersebut
berbeda dengan anak normal lainnya. Penyandang tuna wicara
memiliki keterbatasan dalam menjalani aktivitasnya sehari-
hari dan berinteraksi dengan orang lain. Hal ini yang
4
menyebabkan para penyandang disabilitas tuna wicara susah
untuk bersosialisasi di lingkungan sekitarnya.
Untuk mendukung penelitian ini, maka dilengkapi
dengan data Tahun 2015 dari Badan Pusat Statistik (BPS)
yang menerbitkan data Disabilitas yang diolah dari hasil
SUPAS 2015 meliputi kesulitan melihat, mendengar,
menggunakan tangan, mengingat/berkonsentrasi, gangguan
perilaku/emosional, berbicara, serta mengurus diri sendiri.
Menurut data SUPAS 2015 terdapat 8,56 persen
penduduk yang terdeteksi disabilitas, kemudian tiga provinsi
dengan penyandang disabilitas terbanyak adalah Sulawesi
Utara, Gorontalo, dan Sulawesi Tengah. Sementara tiga
provinsi dengan penyandang disabilitas paling sedikit adalah
Banten, Kalimantan Timur, dan Kepulauan Riau.1Jika dilihat
pada kesulitan melihat, terdapat 0,13 persen penduduk yang
sama sekali tidak bisa melihat, 0,72 persen yang memiliki
tingkat kesulitan melihat yang berat, serta 5,51 persen yang
sedikit mengalami kesulitan melihat.
Persentase penduduk yang mengalami kesulitan
mendengar adalah 0,09 persen yang sama sekali tidak
mendengar, 0,57 persen yang mengalami banyak kesulitan
mendengar serta 2,69 persen yang mengalami sedikit
kesulitan mendengar. Persentase penduduk yang mengalami
1Badan Pusat Statistik. Jumlah Disabilitas berdasarkan SurveiPenduduk Antar Sensus (SUPAS) (2015),http://www.bps.go.id/publication/2016/11/30/41ccbadf0b914534f5c08a62/pendudukindonesia-hasil-supas-2015.html
5
kesulitan berjalan/naik tangga adalah 3,76 persen, sedangkan
penduduk yang mengalami kesulitan menggerakkan
tangan/jari adalah sebesar 1,31 persen.
Kesulitan Berbicara atau memahami orang lain.
Penduduk yang mengalami kesulitan berbicara dan atau
memahami/ berkomunikasi dengan orang lain secara nasional
sebesar 1,52 persen. Penduduk yang sama sekali tidak bisa
memahami/dipahami/berkomunikasi sebesar 0,13 persen; 0,34
persen banyak mengalami kesulitan; dan 1,05 persen sedikit
mengalami kesulitan. Semakin tua umur, semakin tinggi
persentase penduduk yang mengalami kesulitan berbicara dan
atau memahami/berkomunikasi dengan orang lain.
Peningkatan persentase penduduk yang mengalami kesulitan
berbicara atau memahami/berkomunikasi dengan orang lain
mulai terlihat besar pada penduduk lanjut usia.
Kesulitan mengurus diri sendiri persentase penduduk
usia 10 tahun ke atas yang mengalami kesulitan mengurus diri
sendiri sebesar 1,02 persen, dengan 0,23 persen sama sekali
tidak bisa mengurus diri sendiri; 0,22 persen mengalami
banyak kesulitan, dan 0,57 persen yang mengalami sedikit
kesulitan. Secara nasional, penduduk laki-laki usia 10 tahun
ke atas yang mengalami kesulitan mengurus diri sendiri
sebesar 0,84 persen, sementara itu penduduk perempuan lebih
tinggi persentasenya yaitu sebesar 1,20 persen.2
2Badan Pusat Statistik. Jumlah Disabilitas berdasarkan SurveiPenduduk Antar Sensus (SUPAS) (2015),
6
Walaupun demikian, data statistik menunjukkan
bahwa masih besarnya agenda yang harus dilakukan untuk
melibatkan penyandang disabilitas masuk ke sektor formal di
Indonesia. Dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti
penyandang tuna wicara pada gangguan irama/kelancaran
(Gagap), maka penulis mengambil penyandang disabilitas
dengan tuna wicara dikarenakan sesuai dengan kriteria pada
Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
Untuk memahami lebih lanjut, tuna wicara adalah
adalah seseorang yang mengalami kesulitan dalam
mengungkapkan pikiran melalui bahasa verbal, sehingga sulit
bahkan tidak dapat dimengerti oleh orang lain. Kelainan
wicara dapat bersifat fungsional dimana mungkin disebabkan
karena ketunarunguan dan organik yang memang disebabkan
adanya ketidak sempurnaan organ wicara maupun adanya
gangguan pada organ motoris yang berkaitan dengan wicara.3
Menurut Muljono Abdurrachman tuna wicara adalah suatu
kerusakan gagasan dari suara, artikulasi dari bunyi bicara atau
kelainan berbicara.4
Kemudian pengertian terapi wicara adalah suatu ilmu
yang mempelajari perilaku komunikasi normal atau abnormal
http://www.bps.go.id/publication/2016/11/30/41ccbadf0b914534f5c08a62/penduduk-indonesia-hasil-supas-2015.html.
3Purwanto. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. (DirektoratJendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2007), 12-13.
4Sudjadi. Pendidikan Luar Biasa Umum. (Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan, 1994), 9.
7
yang dipergunakan untuk memberikan terapi pada penderita
gangguan perilaku komunikasi dalam hal gangguan
keterlambatan bicara, yaitu kelainan kemampuan bahasa,
bicara, suara, irama/kelancaran, sehingga penderita tidak
mampu berinteraksi dengan lingkungan secara wajar. Secara
etimologis terapi wicara merupakan gabungan dari kata terapi
yang berarti cara mengobati suatu penyakit atau kondisi
patologis, dan kata wicara yang berarti media komunikasi
secara oral yang menggunakan simbol-simbol linguistik,
dimana dengan media ini seseorang dapat mengekspresikan
ide, pikiran dan perasaan.5
Dengan demikian istilah terapi wicara memiliki
pengertian yaitu cara atau teknik pengobatan terhadap suatu
kondisi patologis di dalam memformulasikan ide, pikiran dan
perasaan ke bentuk ekspresi verbal atau media komunikasi
secara oral. Secara terminologis bahwa terapi wicara diartikan
sebagai suatu ilmu yang mempelajari tentang gangguan
bahasa, wicara dan suara yang bertujuan untuk digunakan
sebagai landasan membuat diagnosis dan penanganan.
Kemudian, didalam terapi wicara terdapat Terapis yang di
ibaratkan seperti dokter, yaitu membantu pasiennya yang
membutuhkan pertolongan.6 Kemudian, Terapis dapat di
5Setyono, Pengantar Speechtherapy. (Jakarta: SekolahTinggiSpeechtherapy. Indonesia, 1988), 28.
6Setyono, Pengantar Speechtherapy. (Jakarta: Sekolah TinggiSpeechtherapy. Indonesia, 1988), 29.
8
definisikan sebagai perantara untuk menyembuhkan klien dan
berhubungkan dengan hadist dibawah ini.
Imam Nawawi dalam kitab al-Majmû’ Syrahul
Muhadzdzab (Kairo: Darul Hadits, 2010) menuturkan
beberapa hadits yang disabdakan oleh Rasulullah di
antaranya:
واء وجعل لكل داء دواء فتداووا ولا اء والد إن الله تعالى أنزل الد
بالحرامتداووا
Artinya: “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakitdan obatnya dan menjadikan bagi setiap penyakit adaobatnya. Maka berobatlah kalian, dan jangan kalianberobat dengan yang haram.” (HR. Abu Dawud dariAbu Darda)Dari hadits di atas bisa diambil satu kesimpulan bahwa
ketika Allah memberikan satu penyakit kepada hamba-Nya
maka kepadanya pula akan diberikan obat yang bisa
menyembuhkannya. Tentunya orang yang sakit dituntut untuk
berusaha mendapatkan obat tersebut agar teraih
kesembuhannya.
Gangguan bicara pada anak disebabkan karena
kelainan organic yang mengganggu beberapa sistem tubuh
seperti otak, pendengaran, dan fungsi motoric lainnya.
Beberapa penelitian menunjukkan penyebab gangguan bicara
adalah gangguan hemisfer dominan. Penyimpangan ini
biasanya mendominasi ke otak kiri. Penyimpangan ini
biasanya mendominasi ke otak kiri. Pada beberapa anak juga
9
ditemukan penyimpangan belahan otak kanan, korpus
kalosum dan lintasan pendengaran yang saling berhubungan.
Adapun beberapa penyebab gangguan atau
keterlambatan bicara yaitu: Gangguan pendengaran, kelainan
organ bicara, retardasi mental, genetik, kelainan sentral (otak),
autisme, mutisme selektif, gangguan emosi, alergi makanan
dan lingkungan. Kemampuan komunikasi seorang anak
dianggap terlambat jika kemampuan bicara atau bahasa anak
tersebut jauh di bawah kemampuan bicara/bahasa anak
seusianya.
Keterampilan berkomunikasi merupakan keterampilan
sangat penting yang dibutuhkan dalam perkembangan anak
seperti membaca, menulis, bahasa tubuh, mendengarkan dan
berbicara, semuanya merupakan bentuk berbahasa, sebuah
simbol atau kode yang digunakan untuk mengkomunika
sikan pendapat dan pikiran.7
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan
dari komunikator kepada komunikan baik itu secara langsung
maupun secara tidak la2222ngsung. Menurut Onong Uchjana
Effendy komunikasi sebagai upaya menyampaikan pesan dari
seseorang kepada orang lain dengan tujuan memberitahu,
merubah sikap atau perilaku, baik itu secara lisan atau tidak
langsung melalui media.8
7Wulandari, Teknik Mengajar Siswa dengan Gangguan Bicara danBahasa (Yogyakarta: Imperium, 2013), 49.
8Effendy, Dinamika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,2008), 20
10
Jadi, komunikasi persuasif dapat dipahami sebagai
suatu proses mempengaruhi sikap, pendapat, dan perilaku
orang lain secara verbal maupun non verbal.9Dalam kegiatan
menyampaikan pesan kepada para pasiennya, menjadi sangat
penting bagi para Terapis agar pesan diterima dengan baik.
Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan oleh Yayasan
Bina Wicara sangatlah berpengaruh pada perubahan
pasiennya.
Dari berbagai macam komunikasi yang berpengaruh
adalah komunikasi persuasif. Komunikasi persuasif sebagai
komunikasi yang bertujuan untuk mempengaruhi orang lain
dengan usahanya untuk mengubah pendapat, perilaku dan
sikapnya sesuai dengan yang diharapkan oleh komunikator
sebagai lawan komunikan. Selanjutnya strategi komunikasi
persuasif menjadi pendukung bagi Terapis yang ada didalam
Yayasan Bina Wicara.
Teori yang digunakan dalam mendukung penelitian ini
adalah Model Persuasi Hovland & Teori Kredibilitas, dimana
model & teori ini menjelaskan peran komunikator yang harus
yang harus memiliki kapasitas dalam memberikan sesi terapi
kepada penyandang agar proses terapi yang diberikan efektif,
jika seorang Terapis tidak baik dalam berkompeten dan
kredibel, maka dikhawatirkan proses terapi tidak berjalan
dengan baik.
9Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2007),154-155.
11
Hal yang menarik menurut penulis mengenai Yayasan
Bina Wicara adalah sebuah lembaga yang terbilang masih
jarang terlihat di masyarakat, kemudian cara yang mereka
gunakan dalam membantu para tuna wicara juga dapat
diterapkan dengan sederhana, sehingga ada kemungkinan
ketika siapa saja yang nanti membaca skripsi ini dapat
mengambil pelajaran dan ilmu agar bisa diterapkan ketika
bertemu atau mempunyai sanak saudara yang menyandang
tuna wicara.
Berdasarkan dari latar belakang itulah penulis memilih
judul skripsi “Strategi Komunikasi Persuasif Terapis Kepada
Penyandang Tuna wicara Dalam Meningkatkan Kemampuan
Berinteraksi Sosial Pada Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat”
untuk dijadikan bahan penelitian sebagai sebuah terapi yang
menarik untuk dibahas dalam proses pelaksanaannya dan
manfaat yang diperoleh.
B. Identifikasi Masalah
1. Masih minimnya cara dan wadah untuk menangani
penyandang tuna wicara dikarenakan kurangnya
kesadaran sosial serta minimnya pengetahuan.
2. Para penyandang tuna wicara memiliki masalah dalam
berkomunikasi yang berdampak pada aspek sosial,
ekonomi dan psikologisnya, khususnya dalam
berinteraksi sosial di kehidupan sehari-hari.
12
C. Batasan Masalah
Untuk mempermudah dalam menganalisa hasil
penelitian, maka membatasi masalah agar terarah dan tidak
meluas. Penelitian ini difokuskan pada strategi komunikasi
persuasif Terapis terhadap penyandang tuna wicara dalam
meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial dan faktor
yang mempengaruhi saat proses terapi dilaksanakan.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis
merumuskan masalah penelitian ini dengan pertanyaan
sebagai berikut:
1. Bagaimana strategi komunikasi persuasif yang
dilakukan oleh Terapis Klinik Bina Wicara dalam
memberikan pemahaman kepada penyandang tuna
wicara?
2. Apa saja faktor penghambat dan pendukung yang
dihadapi Terapis Klinik Bina Wicara saat menghadapi
pasien dalam proses komunikasi persuasif?
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana strategi komunikasi
persuasif yang dilakukan oleh Terapis Klinik Bina
Wicara Yayasan Bina Wicara dalam memberikan
pemahaman ke penyandang tuna wicara.
13
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan apa saja hambatan
yang dihadapi oleh pengajar atau Terapis Klinik Bina
Wicara Yayasan Bina Wicara saat memberikan
pemahaman kepada penyandang tuna wicara dalam
proses komunikasi persuasif.
Kemudian manfaat dari penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Manfaat teoritis
a. Diharapkan mampu menambah ilmu pengetahuan
yang terkait dengan ilmu dakwah dan komunikasi
di lingkungan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, khususnya berkaitan dengan
komunikasi persuasif.
b. Dari hasil penelitian ini agar berguna untuk
peningkatan dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan bermanfaat pula bagi peneliti-peneliti lainnya.
2. Manfaat praktis
a. Menambah pengetahuan bagi pengembangan ilmu
komunikasi dan penyiaran islam khususnya
mengenai penanganan pada tuna wicara dan
wawasan baru bagi seluruh mahasiswa/mahasiswi
yang tertarik terhadap permasalahan dan sebagai
tambahan bahan bacaan bagi yang berminat
membahas keterlambatan bicara pada anak atau
penyandang disegala usia.
14
b. Untuk memberi pemahaman kepada masyarakat
ketika berhadapan dengan penyandang tuna wicara.
c. Sebagai bahan pertimbangan bagi pengurus Klinik
Bina Wicara Yayasan Bina Wicara dalam rangka
meningkatkan kualitas pelayanan sosial sehingga
dapat meningkatkan kesejahteraan dan
pengembangan potensi pasiennya.
F. Tinjauan Kajian Terdahulu
Untuk menyatakan keaslian penelitian ini, maka perlu
adanya kajian pustaka dari penelitian yang terdahulu yang
relevan dengan penelitian yang penulis kaji. Adapun
penelitian tersebut diantaranya adalah:
1. Skripsi Fatmah Nur mahasiswi, Jurusan Bidang Kajian
Manajemen Komunikasi Fakultas Komunikasi
Universitas Islam Bandung yang berjudul
“Komunikasi Persuasi pendekatan interaksi simbolik
mengenai komunikasi persuasi ibu dan anak dalam
membentuk perilaku beribadah ritual
khususnya sholat fardhu lima waktu dan aktivitas
belajar Al-Qur’an pada anak". Penelitian ini bertujuan
melihat bagaimana komunikasi persuasi ibu dan anak
dalam membentuk perilaku beribadah yang
dilaksanakan anak atas kesadarannya sendiri dan
mampu konsisten dalam pelaksanaannya. Dapat
disimpulkan bahwa fokus dalam penelitian adalah
dikhususkan pada pelaksanaan ibadah yang telah
15
dipahami anak usia sekolah dasar. Spesifiknya ialah
sholat wajib lima waktu dan aktifitas membaca Al-
Qur’an.
Kemudian, yang menjadi kritikan bagi skripsi ini,
seharusnya penulis menyampaikan pada judul
skripsinya agar mencantumkan lokasi yang
digunakan untuk meneliti, sehingga memperjelas
lokasi saat penelitian berlangsung. Perbedaan pada
penelitian yang dilakukan penulis terletak pada objek
dan subjek yang digunakan, sedangkan persamaan
terletak pada penggunaan komunikasi persuasif yang
digunakan dalam penelitian.
2. Skripsi Sri Rahayu Jurusan Kesejahteraan Sosial
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009 dengan judul
"Evaluasi Pelaksanaan Program Terapi Wicara dalam
Meningkatkan Perkembangan Anak Terlantar di
Yayasan Sayap Ibu Kebayoran Baru Jakarta Selatan".
Penelitian ini menyelidiki tentang pelaksanaan terapi
wicara dalam meningkatkan perkembangan anak.
Kesimpulannya proses terapi wicara yang dilakukan
sangat besar pengaruhnya dalammembantu anak yang
mengalami keterlambatan bicara dan sangat
bermanfaat bagi perkembangan anak.
Kemudian, yang menjadi kritik bagi skripsi ini adalah
kurangnya informan yang diperuntukkan untuk
16
melengkapi hasil analisis. Perbedaan pada penelitian
yang dilakukan penulis terletak pada teori yang
digunakan dan lokasi yang dituju, sedangkan
persamaannya terletak pada subjeknya yaitu
penyandang tuna wicara.
3. Skripsi Lianti Meida, Jurusan Komunikasi dan
Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2017 dengan judul "Komunikasi Persuasif
Komunitas Sedekah Rombongan DKI Jakarta
dalam Mengajak Masyarakat Bersedekah Melalui
Program Pendamping Pasien". Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui bagaimana komunitas
dapat mengajak orang lain ikut bersedekah dengan
komunikasi persuasif.
Kemudian, yang menjadi kritik bagi skripsi ini adalah
kurang mendetail dalam menggunakan pendekatan
yang digunakan dalam proses komunikasi persuasif.
Perbedaan pada penelitian yang dilakukan penulis
terletak pada objek yang digunakan, sedangkan
persamaan terletak pada teori komunikasi persuasif
yang digunakan.
4. Thesis Muhammad Radhi, Jurusan Komunikasi Islam
Program Pascasarjana UIN Sumatra Utara Medan
tahunn 2016 dengan judul “Strategi Komunikasi
Pimpinan Yayasan Rumah Al Qur’an Rabbani Medan
17
dalam Memotivasi Kaum Ibu Belajar Al Qur’an di
Kecamatan Medan Area”. Untuk mengetahui
bagaimana strategi komunikasi Pimpinan Yayasan
Rumah Alquran Rabbani Medan dalam
memotivasi kaum ibu belajar Alquran di Kecamatan
Medan Area.
Kemudian, yang menjadi kritikan bagi thesis ini
adalah kurang mendetail analisis yang disampaikan,
sehingga kecocokan antara konsep dan teori yang
dipakai dengan hasil di lapangan menjadi kurang.
Perbedaan pada penelitian yang dilakukan penulis
terletak pada subjek yang digunakan,
sedangkan persamaan terletak pada strategi
komunikasi yang sama-sama dijadikan teori sebagai
rujukan.
G. Metodologi Penelitian
1. Subjek dan objek
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 6 orang
informan yang terdiri dari pihak anggota atau yang
berpengaruh di Klinik Bina Wicara, diantaranya adalah
Kepala Klinik Bina Wicara dan 5 Terapis. Kemudian,
objek difokuskan pada strategi komunikasi persuasif.
2. Jenis dan pendekatan metode penelitian
Jenis penelitian yang peneliti lakukan adalah
penelitian kualitatif, karena beberapa pertimbangan yaitu
bersifat terbuka, serta masalah yang dalam penelitian
18
kualitatif masih bersifat sementara, tentatif dan akan
berkembang atau berganti setelah peneliti berada di
lapangan. Dengan menggunakan pendekatan kualitatif ini
didapatkan hasil penelitian yang menyajikan data yang
akurat dan digambarkan secara jelas dari kondisi
sebenarnya.
Dalam penelitian kualitatif seperti yang telah
dikemukakan, rumusan masalah yang merupakan fokus
penelitian masih bersifat sementara dan akan berkembang
setelah peneliti masuk lapangan atau situasi sosial tertentu.
Oleh karena itu, penelitian ini merupakan penelitian jenis
deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang
berorientasi lapangan (field research). Penelitian lapangan
merupakan penelitian yang dilakukan di lingkungan
masyarakat tertentu, baik lembaga-lembaga dan organisasi
kemasyarakatan, maupun lembaga-lembaga pendidikan
dan lingkungan masyarakat. Penelitian tersebut
mendeskripsikan dan menganalisis proses komunikasi
persuasif pada Terapis. Penulis melakukan penelitian
berdasarkan data yang valid saat di lapangan, kemudian
data yang diperoleh terbagi menjadi dua macam data,
yaitu:
a. Data primer, yakni data yang diperoleh langsung dari
lapangan atau sumber data yang langsung
memberikan data kepada pengumpul data.
19
b. Data sekunder, yakni sumber yang tidak langsung
memberikan data kepada pengumpul data, semisal
lewat orang lain atau dokumen.10
3 . Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Dalam penelitian ini metode yang peneliti gunakan
yaitu metode observasi (pengamatan). Metode observasi
adalah metode pengumpulan data yang dikumpulkan
secara sistematis dan sengaja melalui pencatatan dan
pengamatan terhadap gejala objek yang diteliti langsung
di lapangan, karena metode observasi merupakan salah
satu teknik penelitian yang sangat penting bagi seorang
peneliti yang meneliti secara langsung di lapangan.
Peneliti memilih jenis observasi partisipatif lengkap
yaitu dalam melakukan pengumpulan data, peneliti
sudah terlibat sepenuhnya terhadap apa yang dilakukan
sumber data, jadi suasananya sudah natural sehingga
peneliti tidak seperti terlihat melakukan penelitian.11
Penulis melakukan pengamatan secara langsung di
lapangan dengan berpartisipasi secara langsung dalam
kegiatan terapi yang dilakukan oleh Terapis yang
bertujuan memahami secara mendetail proses
pelaksanaan terapi.
10Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D(Bandung: alfabeta, cv, 2009), 225.
11Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D(Bandung: alfabeta, cv, 2009), 227.
20
b. Wawancara
Wawancara yang dilakukan peneliti dilakukan dalam
bentuk wawancara terstruktur, menurut Esterberg dalam
buku Sugiyono bahwa, wawancara terstruktur
digunakan bila peneliti atau pengumpul data telah
mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang
akan diperoleh. Dalam melakukan wawancara,
pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian
berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif
jawabannya pun telah dipersiapkan. Selain harus
membawa instrumen sebagai pedoman untuk
wawancara, maka pengumpul data juga dapat
menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar
dan material lain yang dapat membantu pelaksanaan
menjadi lancar.12
Peneliti membagi dua kategori terhadap narasumber
yaitu: pertama, mewakili Terapis wicara. Kedua,
Kepala Klinik Bina Wicara. Jika diperlukan, maka
informan dapat ditambah mahasiswa Akademi Terapi
Wicara atau pasien penyandang tuna wicara. Instrumen
yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah
manusia atau peneliti itu sendiri. Manusia menjadi
bagian yang sangat penting dan segalanya dari seluruh
proses penelitian.
12Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D(Bandung: alfabeta, cv, 2009), 233.
21
c. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang
sudah berlalu. Dokumentasi bisa berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Studi dokumentasi merupakan pelengkap dari
penggunaan metode observasi dan wawancara. Dengan
metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup
tetapi benda mati. Dalam menggunakan metode
dokumentasi ini penulis memegang check-list untuk
mencari variabel yang sudah ditentukan.
Dalam studi dokumentasi foto lebih banyak
digunakan sebagai alat penelitian kualitatif karena dapat
dipakai dalam berbagai keperluan.13Foto menghasilkan
data yang deskriptif yang cukup berharga dan sering
digunakan untuk menelaah segi-segi subjektif dan
hasilnya sering dianalisis secara induktif. Terdapat
kategori foto yang dihasilkan oleh orang dan foto yang
dihasilkan oleh peneliti sendiri.14Peneliti mencari
informasi seputar riwayat hidup klien dari data yang ada
di lembaga sejak awal melakukan terapi beserta
kemajuan yang dialami klien selama mendapat terapi
dari lembaga.
4. Teknik Analisis Data
13Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D(Bandung: alfabeta, cv, 2009), 240.
14Bogdan dan Biklen, Metodologi Penelitian Kualitatif (1982) 102.
22
Pengolahan data dalam penelitian ini menggunakan
analisis deksriptif kualitatif, yakni penyusunan data-data
kemudian dijelaskan dan dianalisis serta dilakukan
bersamaan dengan pengumpulan data. Proses analisis data
ditempuh melalui proses reduksi data, sajian data,
penarikan kesimpulan dan verifikasi.
Mereduksi data diartikan sebagai proses pemilihan,
pemusatan perhatian, pengabsahan dan transformasi data
kasar yang muncul dari catatan-catatan yang muncul di
lapangan. Data-data tersebut dipisahkan sesuai dengan
permasalahan yang dimunculkan, kemudian
dideskripsikan, diasumsi, serta disajikan dalam bentuk rupa
sehingga kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan
diverifikasikan.15
Langkah-langkah yang dilakukan peneliti dalam analisis
data kualitatif sebagai berikut:
a. Reduksi Data
Reduksi data disini yaitu dimana data yang didapatkan
dari observasi dan pengamatan lebih lanjut, dilakukan
pengelompokkan terhadap kategori-kategori yang sesuai
dengan arah penelitian.
b. Penyajian Data
Penyajian data kualitatif biasanya bersifat naratif,
dilengkapi dengan matriks agar informasi tersusun
dalam satu bentuk yang mudah dipahami. Data-data ini
15Rohidi, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: Penerbit UI, 1992), 45.
23
diperoleh dari beberapa tehnik pengumpulan data
kemudian penulis menafsirkannya kedalam sebuah
bentuk laporan tertulis yang sudah disistematisasi.
c. Menarik Kesimpulan
Menarik kesimpulan yaitu proses pemaknaan atas
benda-benda, keteraturan-keteraturan, pola-pola,
penjelasan dan alur sebab akibat pada penyajian data.16
d. Uji Keabsahan Data
Dalam uji keabasahan data peneliti menggunakan
Triangulasi adalah tehnik pemeriksaan keabsahan data
dengan memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu
dan untuk keperluan pengecekan atau sebagai
pembanding terhadap data tersebut.17
5. Jadwal Penelitian
Dalam penelitian yang akan peneliti lakukan, penelitian
akan dilaksanakan langsung di Klinik Bina Wicara
(Yayasan Bina Wicara) yang terletak di Jakarta Pusat dan
tempat Kepala Klinik Bina Wicara untuk meluangkan
waktu dan tempat guna dilakukan wawancara, sedangkan
waktu penelitian yang peneliti butuhkan untuk
mewawancara dan observasi adalah sekitar bulan Juni
16Miles, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: Universitas Indonesia UIPress, 2009), 16-21.
17Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: RemajaRosdakarya), 330.
24
hingga Juli. Secara keseluruhan penelitian akan dilakukan
dari bulan Mei hingga Desember 2019.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memperoleh pembahasan skripsi ini secara
sistematis, peneliti membagi penulisannya ke dalam enam bab
yang terdiri atas sub-sub bab. Adapun sistematik penulisannya
adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini pendahuluan meliputi latar
belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metodologi penelitian, tinjauan
pustaka, sistematika penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini berisi penjelasan tentang
strategi komunikasi, penjelasan komunikasi
persuasif dan penjelasan tentang definisi
Terapis, penyandang tuna wicara, klinik, serta
model Hovland.
BAB III GAMBARAN UMUM
Dalam bab ini membahas mengenai profil
umum Klinik Bina Wicara, seperti sejarah
berdirinya klinik, sarana dan prasarana,
struktur kepengurusan, dan jumlah Terapis
yang ada di Klinik Bina Wicara.
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
25
Dalam bab ini berisi penyajian data dan
temuan wawancara, observasi, dan
dokumentasi yang dilakukan di Klinik Bina
Wicara. Data dan temuan tersebut berkaitan
dengan strategi komunikasi persuasif antara
Terapis terhadap penyandang tuna wicara dan
faktor pendukung serta faktor penghambat
dalam proses terapi.
BAB V PEMBAHASANDalam bab ini berisi uraian data yang
dikaitkan dengan latar belakang dan teori.
Terkait penguraian strategi komunikasi
persuasif antara Terapis dengan penyandang
tuna wicara dalam meningkatkan kemampuan
berinteraksi sosial dan faktor pendukung serta
faktor penghambat yang diuraikan secara
sederhana.
BAB VI PENUTUP
Dalam bab ini meliputi simpulan, implikasi,dan saran atas penelitian yang telah dibahasdalam skripsi ini.
26
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Konseptual1. Strategi Komunikasi
a. StrategiKata strategi berasal dari bahasa Yunani Strategia berarti
“Keahlian Militer”. Strategi adalah konsep yang mengacu
pada sebuah jaringan yang kompleks dari pemikiran, ide-ide,
pengertian yang mendalam, pengalaman, sasaran, keahlian,
memori, persepsi, dan harapan yang membimbing untuk
menyusun suatu kerangka pemikiran umum agar kita dapat
memutuskan tindakan-tindakan yang spesifik bagi
tercapainya tujuan.18
Kemudian, strategi menurut Onong Uchjana Effendy
dalam bukunya yang berjudul Ilmu Komunikasi Teori dan
Praktek, didefinisikan sebagai perencanaan untuk mencapai
suatu tujuan. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan tersebut,
strategi tidak berfungsi sebagai peta jalan yang hanya
menunjukkan arah saja melainkan harus mampu
menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya.19
Joseph A. Ilardo mendefinisikan strategi yang dikutip
sebagai berikut: “A Strategy is a carefully plan or series of
maneuvers designed to achieve a specific goal, strategi
adalah rencana terpilih yang bersifat teliti dan hati-hati atau
18Liliweri, Komunikasi Serba Ada Serba Makna (Jakarta: KencanaPrenada Media, 2011), 239.
19Effendy, Ilmu Komunikasi Teori Dan Praktek (Bandung: PT RemajaRosdakarya, 2007) Cet. ke 21, 32.
27
seragkaian manuver yang telah dirancang untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.”20
Dengan kemampuan merumuskan strategi seseorang
mampu mengutarakan maksud keinginannya dengan
sistematis dan tepat sasaran sehingga lawan bicara dapat
menyetujui keinginannya dan segala yang dimaksud
diharapkan tanpa harus melawan.21
Dari berbagai definisi yang telah diungkapkan diatas,
penulis menyimpulkan bahwa strategi adalah perencanaan
yang telah dirancang berupa konsep, tindakan, serta taktik
pelaksanaan yang dibuat untuk mencapai suatu tujuan yang
telah ditetapkan.
b. Komunikasi
Berdasarkan penelusuran penulis dalam memahami
komunikasi, secara etimologis komunikasi atau dalam bahasa
Inggris “communication” berasal dari bahasa Latin
“communicatio”, bersumber dari “communis” yang berarti
“sama”. Sama di sini adalah dalam pengertian “sama
makna”. Komunikasi minimal harus mengandung “kesamaan
makna” antara kedua belah pihak yang terlibat.22Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, komunikasi diartikan
sebagai pengiriman atau penerimaan pesan atau berita antara
20Soemirat, dkk. Komunikasi Persuasif (Jakarta: Universitas Terbuka,2007), 8-24.
21Nugroho. Strategi Komunikasi Untuk Sukses Menjalin Relasi (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2012), 16.
22Ilaihi, Komunikasi Dakwah (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2010),4.
28
dua orang atau lebih, sehingga pesan yang dimaksud dapat
dipahami.23
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa komunikasi
yang dilakukan hendaknya disampaikan dengan makna dan
pengertian yang dipahami secara sama antara seseorang yang
memberi pesan dan orang yang menerima pesan. Sebab
dengan begitu komunikasi akan berlangsung secara efektif,
dan sebaliknya bila terjadi kesalahan makna dan pengertian,
maka komunikasi tidak akan efektif, sedangkan pengertian
komunikasi menurut istilah banyak dijelaskan oleh para ahli,
antara lain:
1) Hovland, Janis dan Kelley, mengatakan bahwa
komunikasi adalah suatu proses melalui mana seseorang
(komunikator) menyampaikan stimulus (biasanya dalam
bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau
membentuk prilaku orang lainnya (khalayak).24
2) Definisi lain mengenai Komunikasi dikemukakan oleh
Harold Laswell yang dikutip oleh Mohammad Zamroni
memberikan pengertian komunikasi dalam pernyataan:
Who says what in with channel to whom with what effect.
Komunikasi sebagai suatu proses penyampaian pesan dari
komunikator yang ditujukan kepada komunikan melalui
media atau saluran yang menimbulkan efek tertentu.25
23Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa IndonesiaPusat Bahasa,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2013), Cet. Ke 7, 721.
24Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Syarif HidayatullahJakarta Pers, 2007), 21 .
25Zamroni, Filsafat Komunikasi (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), 5.
29
Berdasarkan beberapa pengertian diatas mengenai
komunikasi dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah
proses dimana penyampaian pesan dilakukan oleh
komunikator sebagai pemberi pesan kepada komunikan
sebagai penerima pesan, baik itu secara langsung maupun
tidak langsung melalui media dengan tujuan untuk
memberitahu, merubah sikap, atau merubah pendapat.
c. Strategi Komunikasi
Strategi komunikasi merupakan paduan dari perencanaan
komunikasi (communication) dan manjemen komunikasi
(communication management) untuk mencapai suatu tujuan
(goal). Untuk mencapai tujuan tersebut strategi komunikasi
harus dapat menunjukkan bagaimana operasionalnya, secara
praktis harus dilakukan dalam arti kata bahwa pendekatan
(approach) bisa berbeda sewaktu-waktu tergantung kepada
situasi dan kondisi.26 Dalan pengertian lain, strategi
komunikasi diartikan sebagai proses penyampaian pesan
secara cermat mengenai kegiatan untuk mencapai sasaran
khusus yang patut dikerjakan demi kelancaran komunikasi.27
Strategi komunikasi secara makro (planned multimedia
strategy) maupun secara mikro (single communication
medium strategy) mempunyai fungsi ganda yang
menyebarluaskan pesan informasi yang bersifat informatif,
persuasif, dan instruktif, secara sistematis kepada sasaran
26Effendy, Ilmu, Teori, Filsafat Komunikasi (Bandung: Aditya Bakti,2004), 36.
27Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Indonesia, e.3-cet.3(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), 1092.
30
untuk memperoleh hasil yang optimal. Jadi untuk mencapai
tujuan strategi komunikasi tidak hanya berfungsi sebagai
peta jalan yang hanya menunjukkan arah saja, tetapi
menunjukkan bagaimana taktik operasionalnya.28
Dalam strategi komunikasi, peran komunikator sangatlah
penting. Oleh sebab itu, seorang komunikator harus memiliki
kredibilitas dan attactiveness. Kredibilitas adalah persepsi
komunikan tentang sifat-sifat komunikator yang terdiri dari
unsur, yaitu keahlian dan kepercayaan.29 Kemudian terdapat
dua hal yang menjelaskan mengenai proses strategi
komunikasi dengan terperinci, yaitu:
1) Perencanaan Strategi Komunikasi
Menurut Kuefman (1972), perencanaan adalah suatu
proses untuk menetapkan kemana kita harus pergi dengan
mengidentifikasi syarat apa yang harus dipenuhi untuk
sampai ke tempat tersebut dengan cara yang paling efisien
dan efektif, dengan kata lain perencanaan sebagai
penetapan spesifikasi tujuan yang ingin dicapai termasuk
cara-cara yang akan digunakan untuk mencapai tujuan
tersebut.30
Perencanaan diperlukan karena adanya keyakinan
bahwa manusia dalam hidupnya tidak boleh menyerah
pada keadaan, baik pada lingkungan fisik maupun
28Effendy, Dinamika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),28.
29Rahmat, Psikologi Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001),255.
30Cangara, Perencanaan dan Strategi Komunikasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 22.
31
lingkungan sosialnya. Manusia sebagai makhluk rasional,
yang memiliki potensi untuk mengubah kehidupannya
dari cara yang tradisional menjadi modern, dari yang sulit
hingga cara hidup yang lebih mudah dan menyenangkan.
Keinginan manusia yang ingin mengubah hidupnya inilah
yang menjadi landasan filosofi perencanaan, bahwa
perubahan itu dilakukan untuk memperoleh kepuasan
dengan hasil yang optimal, serta adanya upaya untuk
melakukan penyesuaian jika terjadi kendala dalam
mencapai tujuan yang diinginkan.31
Dalam menangani masalah komunikasi, para perencana
dihadapkan pada sejumlah persoalan, terutama dalam
kaitannya dengan strategi penggunaan sumber daya
komunikasi yang tersedia untuk mencapai tujuan, alasan
mencapai hasil yang diperoleh, sasaran yang menjadi
target, bagaimana cara mencapai tujuan, siapa aktor
komunikator, dan evaluasi proses komunikasi.
Pemilihan strategi merupakan langkah krusial yang
memerlukan penanganan secara hati-hati dalam
perencanaan komunikasi, sebab jika pemilihan strategi
salah atau keliru maka hasil yang diperoleh bisa fatal,
terutama kerugian dari segi waktu, materi dan tenaga.
Oleh karena itu strategi juga merupakan rahasia yang
harus disembunyikan oleh para perencana.32
31Cangara, Perencanaan, dan Strategi Komunikasi (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 22.
32Cangara, Perencanaan dan Strategi Komunikas (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013), 62.
32
2) Langkah-Langkah Strategi Komunikasi
Pada hakikatnya komunikasi bertujuan untuk
menyampaikan ide, pikiran, perasaan, dan lain-lain agar
terjadi perubahan, yaitu33:
a. Perubahan sikap (attitude change), baik berupa
positif maupun negatif,
b. Perubahan pendapat (opini change),
c. Perubahan perilaku (behavior change),
d. Perubahan sosial (social change).
Tujuan sentral strategi komunikasi menurut R. Wayne
Pace, Bent D. Peterson, dan M. Dallas Burnett dalam
bukunya Techniques for Effective Communication,
menyatakan bahwa tujuan sentral kegiatan berkomunikasi
terdiri atas 3 tujuan utama, yaitu34:
a. to secure understanding
b. to establish acceptance
c. to motivate action
Tujuan pertama adalah to secure understanding,
memastikan bahwa komunikan mengerti pesan yang
diterimanya. Apabila ia sudah dapat mengerti dan
menerima, maka penerimanya itu harus dibina (to
establish acceptance). Pada akhirnya dimotivasikan (to
motivate action).
33Wijaya, Komunikasi dan Hubungan Masyarakat (Jakarta: Bina Aksara,1986), 128.
34Effendy, Ilmu, Teori, Filsafat Komunikasi (Bandung: Aditya Bakti,2004), 32.
33
Rogers (1989) memberikan batasan pengertian strategi
komunikasi sebagai suatu rancangan yang dibuat untuk
merubah tingkah laku manusia dalam skala yang lebih
besar melalui transfer ide-ide baru. Seorang pakar
perencana komunikasi Middleton (1980) membuat
defenisi dengan mengatakan “Strategi komunikasi adalah
kombinasi yang terbaik dari semua elemen komunikasi
mulai dari komunikator, pesan, saluran (media), penerima
sampai pada pengaruh (efek) yang dirancang untuk
mencapai tujuan komunikasi yang optimal".35
2. Komunikasi Persuasif
Komunikasi tidak hanya bertujuan memberikan informasi,
akan tetapi komunikasi juga bertujuan untuk mempengaruhi
orang lain. Komunikasi berguna untuk merangsang minat,
mengurangi permusuhan dan menggerakkan masyarakat
untuk melakukan suatu tugas atau mendidik perilaku. Dapat
dikatakan bahwa tujuan lain dari komunikasi adalah untuk
mempengaruhi orang lain sesuai dengan keinginan kita
dengan menggunakan komunikasi yang disampaikan.36
Berdasarkan penelusuran penulis dalam memahami
komunikasi persuasif, secara singkat dan sederhana, yaitu
atas persuasi (persuasion) berasal dari bahasa Latin:
Persuasio. Kata kerjanya adalah: persuadere yang dalam
35Hafied Cangara, Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi(Jakarta: Rajawali Pers. 2009), 292.
36Mita Lestari. “Strategi Komunikasi Persuasif Dalam Menarik MinatKreditur Untuk Melakukan Kredit Di PT. Adira Finance Pekanbaru”. JomFISIP Volume 4 No.2 (2017): 4.
34
bahasa Inggris: to persuade, to induse, to believe, atau dalam
bahasa Indonesia: membujuk, merayu37, sedangkan
Jamaluddin Kafie menambahkan pengertian dengan
“meyakinkan”.38
Soleh Soemirat, Hidayat Satari dan Asep Suryana dalam
bukunya “Komunikasi Persuasif” mendefinisikan persuasi,
yakni melakukan upaya untuk mengubah sikap, pendapat dan
perilaku seseorang melalui cara-cara yang mudah,
manusiawi, dan halus, dengan akibat munculnya kesadaran,
kerelaan, dan perasaan senang serta adanya keinginan untuk
bertindak sesuai dengan yang dikatakan persuader.39
Dalam Ensiklopedia Umum dikatakan bahwa persuasif
adalah suatu cara dalam psikoterapi, yaitu dokter mencoba
menjelaskan kepada pasien bahwa gejala-gejala penyakitnya
ada hubungannya yang erat dengan keadaan lingkungan dan
keadaan sikap tingkah lakunya sendiri yang telah
menimbulkan kesulitan-kesulitan tertentu baginya. Persuasi
pada dasarnya mengajak intelek dan perasaan pasien lebih
meneliti dirinya dan lebih mengikuti jalan fikiran dari
Dokter.40
Dalam kamus populer, kata persuasif diartikan sebagai
“sebuah pendekatan untuk dapat meyakinkan, membujuk
dengan sebuah argumen yang menguraikan suatu masalah
37Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN Jakarta Pers, 2007),154.38Jamaluddin Kafie, Psikologi Dakwah (Surabaya, Depag, 1993), 76.39Soleh Soemirat, dkk, Komunikasi Persuasif (Jakarta: Universitas
terbuka, 2007), 1-26 .40Pringgodigdo, dkk, Ensiklopedi Umum (Yogyakarta: Kanisius, 1987),
Cet. Ke 7, 874.
35
atau keadaan yang dibuktikan dengan data-data dan fakta-
fakta yang bertujuan untuk mempengaruhi dan agar mereka
mau mengikuti atau melakukan sebagaimana yang
diharapkan”.41 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia,
diartikan “persuasif adalah ajakan kepada seseorang dengan
cara memberikan alasan dan prospek baik yang
meyakinkannya, yakni bujukan halus. Persuasif bersifat
membujuk secara halus supaya menjadi yakin”.42
Secara mendalam komunikasi persuasif banyak
dikemukakan oleh para tokoh komunikasi yang dikutip oleh
Dedy Malik dalam kata pengantar bukunya Komunikasi
Persuasif diantaranya:
“Ronald L. Applbaum dan Karl W. E Anatolmengartikan, persuasi adalah komunikasi yangkompleks, ketika individu atau kelompokmengungkapkan pesan (sengaja atau tidak disengaja)melalui cara-cara verbal dan non verbal untukmemperoleh respon tertentu dari individu ataukelompok lain, sedangkan Bettinghous, mengartikanpersuasif adalah komunikasi manusia yang dirancanguntuk mempengaruhi orang lain dengan usahamengubah keyakinan, nilai atau sikap mereka. Burkemenyatakan bahwa persuasif dipandang penciptaanbersama dari suatu pernyataan identifikasi ataukerjasama diantara sumber pesan dengan penerima pesan
yang diakibatkan oleh penggunaan simbol- simbol.43”Para ahli komunikasi sering kali menekankan bahwa
persuasif adalah kegiatan psikologis (tradisi behavioristik).
41Barry,dkk, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 1994), 593.42Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), cet. Ke-2 edisi 3, 864.43Irianto. Komunikasi Persuasif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994),
v-vi.
36
Penekanan ini dimaksudkan untuk mengadakan perbedaan
dengan koersi (coercion), namun tujuan di antara keduanya
(persuasif dan koersif) adalah sama yakni untuk mengubah
sikap, pendapat atau perilaku, hanya saja persuasif dilakukan
dengan halus, luwes dan perikemanusiaan, sedangkan koersif
mengandung sanksi atau ancaman.44
Hovland dan peneliti lainnya juga berusaha mempelajari
tiga faktor yang berperan penting penting dalam proses
persuasi yang dapat menimbulkan perubahan pendapat pada
diri audien, yaitu: siapa (sumber pesan), apa (isi pesan) dan
kepada siapa (karakteristik atau sifat audien).45 Faktor 'siapa'
mencakup dua sifat penting pada diri sumber pesan, yaitu
keahlian dan kepercayaan. Faktor 'apa' mengacu pada
argumentasi yang dikemukakan dan kekhawatiran yang
timbul dari pesan dan 'kepada siapa' mencakup hal-hal,
seperti kepribadian audien dan mudah atau tidaknya audien
untuk dipengaruhi.
Dalam penelitian ini, Hovland mengukur perubahan
pendapat sebagaimana yang ditunjukkan oleh skala
perubahan sikap yang diberikan sebelum dan sesudah
penerimaan pesan.46
Komunikasi persuasif sebagai upaya mempengaruhi opini,
pendapat, sikap atau perilaku seseorang, tentunya
44Effendy Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung: Cipta Aditya,1993), 18.
45Barran, Introduction to Mass Communication (Mayfield PublishingCompany, 2001), 324.
46Morissan, Psikologi Komunikasi (Bogor: Penerbit Ghalian Indonesia,2010), 234-235.
37
membutuhkan suatu proses. Hovland dalam buku ‘Dynamics
of Persuasion’ mengemukakan sebuah konsep mengenai
proses komunikasi persuasif yang berfokus pada
pembelajaran dan motivasi. Untuk dapat terpengaruh oleh
komunikasi persuasif, seseorang harus memperhatikan,
memahami, mempelajari, menerima dan menyimpan pesan
persuasif tersebut.47
The Hovland/Yale Model Of Persuasion
Gambar 2. 1 Model Persuasi Hovland
Pada bagan tersebut, dijelaskan bahwa dalam proses
komunikasi persuasif, ada tahap dimana komunikan
mempelajari pesan persuasif dari komunikator. Dalam proses
47Perloff, The Dynamics of Persuasion; Communication and Attitudes inthe 21st Century ( New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publisher, 2003),121.
Acceptance
Retention
Communication Message
Learning
Attitude Change
Attention
Comprehension
Learning
38
belajar tersebut terdapat beberapa tahapan, yakni attention
(perhatian), comprehension (pemahaman), learning
(pembelajaran), acceptance (penerimaan) dan retention
(penyimpanan). Tahapan yang dikemukakan Hovland ini
merupakan proses sebelum komunikan akhirnya
memutuskan untuk merubah sikapnya, setelah mendapatkan
paparan informasi atau argumen dari komunikator.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa persuasif
adalah suatu proses mempengaruhi sikap, pendapat, serta
perilaku dengan cara yang halus sehingga timbul kesadaran
untuk berubah mengikuti apa yang dikatakan persuader atau
orang yang mempersuasi.
3. Pengertian Tuna wicara dan Terapis
a. Definisi Tuna wicara
Tuna wicara adalah individu yang mengalami gangguan
atau hambatan dalam komunikasi verbal sehingga mengalami
kesulitan dalam berkomunikasi. Hal ini dapat disebabkan oleh
kurang atau tidak berfungsinya alat-alat bicara, seperti rongga
mulut, lidah, langit-langit bicara seperti rongga mulut, lidah,
dan pita suara, selain itu kurang atau tidak berfungsinya oran
pendengaran, yang mengakibatkan keterlambatan
perkembangan bahasa. Dibawah ini terdapat faktor-faktor
yang menyebabkan seseorang mengalami tuna wicara, yaitu:
1) Hereditas ( keturunan)
Apabila anak tuna wicara dalam kandungan karena
diantara keluarga terdapat tuna wicara atau membawa gen
39
tuna wicara sehingga ketika lahir anak tersebut memiliki
gangguan tuna wicara.
2) Gangguan neo natal
Bayi-bayi prematur yang lahir tidak normal dan lahir
dengan organ tubuh yang belum sempurna kadang
mengakibatkan kebisuan disertai ketulian.
3) Gangguan pos natal
Sudah dilahirkan anak menderita infeksi campak yang
menyebabkan tuli preseftik, virus akan menyerang cairan
koklea, menyebabkan anak menderita otitis media akibat
yang sama akan terjadi bila anak menderita scarlet fever,
difteri batuk atau tertular sifilis.
4) Infeksi saluran pernafasan
Seorang dapat menjadi tuna wicara apabila terjadi
gangguan pada organ pernafasan sperti paru-paru, liring, atau
gangguan pada mulut dan lidah.48
Seorang anak yang terlahir kedunia ini memiliki
keunikannya masing-masing, keunikan-keunikan yang
dimilikinya ini memberikan warna tersendiri terhadap
komunikasi yang dilakukan didalam proses pembentukan
makna yang akan dipahami oleh masyarakat awam,
komunikasi non verbal menjadi suatu keunikan yang dialami
oleh anak tuna wicara didalam interaksi yang dilakukannya
terhadap lingkungannya.
48Sutjihati. Psikologi Anak Luar Biasa (Bandung: PT Refika Aditama,2007), 95.
40
Suparno didalam bukunya yang berjudul Pendidikan Anak
Berkebutuhan Khusus menyatakan pengertian anak tuna
wicara atau kelainan bicara adalah sebagai berikut:
“Tuna wicara atau kelainan bicara adalah seseorang yangmengalami kesulitan dalam mengungkapkan pikiranmelalui bahasa verbal, sehingga sulit bahkan tidak dapatdimengerti oleh orang lain. Kelainan wicara dapat bersifatfungsional dimana mungkin disebabkan karenaketunarunguan dan organik yang memang disebabkanadanya ketidak sempurnaan organ wicara maupun adanyagangguan pada organ motoris yang berkaitan denganwicara.49”Anak tuna wicara yang mengalami kelainan bicara ini
menjadi sebuah kasus yang dapat dianalisa mengenai
komunikasi yang mereka lakukan, melalui penganalisaan
komunikasi yang mereka jalani ini dapat terlihat banyak hal
dan salah satunya adalah kebutuhan yang mereka butuhkan,
karena kekurangan yang dimilikinya ini tidak lantas
membuat orang-orang terdekatnya untuk mengurangi kasih
sayang yang dimilikinya dan juga mengurangi pemberian
kebutuhan yang seharusnya dimiliki oleh sang anak.
b. Pengertian Terapis
Terapis wicara adalah profesi seseorang yang tugasnya
merawat jenis penyakit atau cacat mental atau fisik tertentu,
biasanya dengan jenis terapi tertentu, seperti Terapis bicara
atau Terapis seni.50Seseorang yang terampil dalam jenis
49Purwanto. Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus (Direktorat JendralPendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, 2007), 12-13.
50Definition of therapist. (Cambridge Advanced Learner's Dictionary &Thesaurus Cambridge University Press 2019)https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/therapist
41
terapi tertentu dan sudah memiliki sertifikat atau bisa
didefinisikan sebagai seseorang yang merawat masalah
psikologis, yaitu seorang psikoterapis.51
4. Pengertian Interaksi Sosial
Manusia hidup bermasyarakat, dan akan saling
berhubungan dan saling membutuhkan satu sama lain.
Kebutuhan itulah yang dapat menimbulkan suatu proses
interaksi sosial. Interaksi sosial dapat diartikan sebagai
hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial
yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang
satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu
dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan
individu. Interaksi sosial dapat terjadi bila antara dua individu
atau kelompok terdapat kontak sosial dan komunikasi.
Kontak sosial merupakan tahap pertama dari terjadinya
hubungan sosial. Komunikasi merupakan penyampaian suatu
informasi dan pemberian tafsiran dan reaksi terhadap
informasi yang disampaikan. Menurut Soekanto interaksi
sosial merupakan hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang perorangan, antara
kelompok–kelompok manusia, maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia. Interaksi sosial antara
kelompok–kelompok manusia terjadi antara kelompok tersebut
sebagai suatu kesatuan dan biasanya tidak menyangkut pribadi
51Definition of therapist. (English Oxford Living Dictionaries, OxfordUniversity Press 2019) https://en.oxforddictionaries.com/definition/therapist.
42
anggota–anggotanya. Interaksi sosial antara kelompok–
kelompok manusia terjadi pula di dalam masyarakat.
Interaksi tersebut lebih dominan dilihat apabila terjadi
benturan antara kepentingan perorangan dengan kepentingan
kelompok. Interaksi sosial hanya berlangsung antara pihak–
pihak apabila terjadi reaksi terhadap dua belah pihak. Interaksi
sosial tak akan mungkin terjadi apabila manusia mengadakan
hubungan yang langsung dengan sesuatu yang sama sekali
tidak berpengaruh terhadap sistem sosial sebagai akibat
hubungan termaksud.
Homans mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian
ketika suatu aktivitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap
individu lain diberi ganjaran atau hukuman dengan
menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi
pasangannya.52 Konsep yang dikemukakan oleh Homans ini
mengandung pengertian bahwa interaksi adalah suatu tindakan
yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi merupakan
suatu stimulus atau perangsang bagi tindakan individu lain
yang menjadi pasangannya.
Hamdi memberikan pengertian tentang interaksi sosial
adalah merupakan proses hubungan timbal balik antara
individu dengan individu, individu dengan kelompok,
kelompok dengan kelompok yang saling mempengaruhi antara
satu dengan yang lainnya.53 Ahli psikologi lainnya Gerungan
52Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas (Jakarta: CV Rajawali,2002), 15.
53Hamdi. Psikologi Sosial (Jakarta: PT Rafika Aditama, 2004), 20.
43
menyatakan interaksi sosial adalah merupakan hubungan
antara dua atau lebih individu, manusia, dimana kelakuan
individu yang satu mengubah atau mempengaruhi kelakuan
individu yang lain, atau sebaliknya. Kelangsungan interaksi
sosial sekalipun dalam bentuk yang sederhana, ternyata
merupakan proses yang kompleks.54
Pendapat lain dikemukakan oleh Shaw dimana interaksi
sosial adalah suatu pertukaran antar pribadi yang masing–
masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain.55 Hal
senada juga dikemukakan Thibaut dan Kelley bahwa interaksi
sosial sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain
ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka
menciptakan suatu hasil satu sama lain atau berkomunikasi
satu sama lain. Jadi dalam kasus interaksi, tindakan setiap
orang bertujuan untuk mempengaruhi individu yang lainnya.56
Berdasarkan definisi-definisi atau pendapat tersebut di
atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa interaksi sosial
adalah suatu hubungan antar sesama manusia yang saling
mempengaruhi satu sama lain, baik dalam hubungan antara
individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun
kelompok dengan kelompok.
5. Teori Kredibilitas
Penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan
oleh Hovland, Janis dan Kelley yaitu Teori Kredibilitas
54Gerungan. Psikologi Sosial (Jakarta : PT Eresco Bandung, 2003), 31.55Shaw. Psikologi Sosial (Bandung : Rosdakarya, 2010), 46.56Kelley, dkk. Teori Sosiologis Edisi Keenam (Jakarta : Rineka Cipta,
2008), 65.
44
Sumber (Source Credibility Theory) dalam buku
Communication and Persuasion. Asumsi dasar dari teori ini
adalah menyatakan bahwa seseorang dimungkinkan lebih
mudah dipersuasi jika sumber-sumber persuasinya cukup
kredibel. Kita biasanya akan lebih percaya dan cenderung
menerima dengan baik pesan-pesan yang disampaikan oleh
orang yang memiliki kredibilitas di bidangnya.
“High credibility sources had a substantially greater
immediate effect onthe audience’s opinions than low
credibility sources”57. Maksud dari kutipan diatas, bermakna
bahwa sumber dengan kredibilitas tinggi memiliki dampak
besar terhadap opini audiens daripada sumber dengan
kredibilitas rendah. Sumber yang memiliki kredibilitas tinggi
lebih banyak menghasilkan perubahan sikap dibandingkan
dengan sumber yang memiliki kredibilitas rendah. Ketika
penerimaan bisa diterima dengan argumen dalam mendukung
pandangan, maka keahlian dan kehandalan komunikator bisa
menentukan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Keahlian komunikator adalah kesan yang dibentuk
komunikan tentang kemampuan komunikator dalam
hubungannya dengan topic yang dibicarakan. Komunikator
yang dinilai tinggi pada keahlian dianggap sebagai cerdas,
mampu, ahli, tahu banyak, berpengalaman, atau terlatih.
Kepercayaan, kesan komunikan tentang komunikator yang
57Hovland. Definisi Komunikasi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,2007), 207.
45
berkaitan dengan sumber informasi yang dianggap tulus,
jujur, bijak dan adil, objektif, memiliki integritas pribadi,
serta memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi58.
Seorang komunikator dalam proses komunikasi akan
sukses apabila berhasil menunjukan source credibility,
artinya menjadi sumber kepercayaan bagi komunikan.
Kepercayaan kepada komunikator mencerminkan bahwa
pesan yang diterima komunikan dianggap benar dan sesuai
dengan kenyataan.
Kepercayaan bagi komunikan kepada komunikator
ditentukan oleh keahlian komunikator dalam bidang tugas
pekerjaannya dan dapat tidaknya ia dipercaya. Kredibilitas
komunikator terbentuk oleh keahlian komunikator dalam
menguasai informasi mengenai objek yang dimaksud dan
memiliki keterpercayaan terhadap derajat kebenaran
informasi yang ia sampaikan.
Teori kredibilitas sumber (source of credibility) sering
dikaitan dengan komunikasi persuasif. Adapun dalam
konteks penelitian, khususnya yang berkaitan dengan
penelitian layanan perpustakaan teori kredibilitas banyak
dipakai sebagai landasan teori, baik untuk penelitian yang
mengunakan pendekatan kuantitatif seperti jenis penelitian
deskriptif, korelasi, komparatif maupun penelitian yang
58Venus. Manajemen Kampanye (Bandung: Simbiosa Rekatama Media,2009), 57.
46
menggunakan pendekatan kualitatif serta penelitian
campuran (mix method).59
Berbicara tentang kredibilitas dalam kajian ilmu
komunikasi sebenarnya bukanlah merupakan sesuatu hal
yang baru, karena pada abad keempat sebelum masehi pun,
Aristoteles telah menggunakan istilah “ethos” untuk
menyebut sifat-sifat pribadi seseorang komunikator yang
memengaruhi khalayak. Lebih jauh tentang hal ini
Aristoteles mengatakan bahwa: Persuasi tercapai karena
karakteristik personal pembicara, yang ketika ia
menyampaikan pembicaraannya kita menganggapnya dapat
dipercaya. Kita lebih cepat percaya pada orang-orang baik
daripada orang lain.
Ini berlaku umumnya pada masalah apa saja dan secara
mutlak berlaku ketika tidak mungkin ada kepastian dan
pendapat terbagi. Tidak benar, anggapan sementara penulis
retorika bahwa kebaikan personal yang diungkapkan
pembicara tidak terpengaruh apa-apa pada kekuatan
persuasinya, sebaliknya, karakternya hampir bisa disebut
sebagai alat persuasi yang paling efektif yang dimilikinya.60
Pendapat dari Aristoteles diatas, juga diamini oleh
Onong Uchjana Effendy yang mengatakan bahwa, dalam
bentuk proses komunikasi seorang komunikator akan sukses
59Yunus Winoto, Penerapan Teori Kredibilitas Sumber (Source ofCredibity) Dalam Penelitian-Penelitian Layanan Perpustakaan, JurnalPencerahan,Tahun 5, Volume 5 No. 2 November 2015.
60Rakhmat. Psikologi Komunikasi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,1998), 255.
47
apabila ia berhasil menunjukkan source of credibility, artinya
menjadi sumber kepercayaan bagi komunikan kepada
komunikator ditentukan oleh keahlian komunikator dalam
bidang pekerjaannya serta dapat tidaknya dipercaya.61
Selanjutnya Onong Uchjana Effendy menyebutkan,
bahwa faktor penting pada komunikator pada saat melakukan
kegiatan komunikasi adalah sumber daya tarik (source
attractiveness) dan sumber kepercayaan (source credibility),
yaitu sebagai berikut62:
a. Sumber daya tarik
Seorang komunikator akan berhasil dalam berkomunikasi,
akan mampu mengubah sikap, opini dan perilaku komunikan
melalui mekanisme daya tarik jika komunikan bersedia taat
pada isi pesan yang dilancarkan komunikator.
b. Sumber kepercayaan
Faktor kedua yang bisa menyebabkan komunikasi berhasil
adalah kepercayaan komunikan pada komunikator.
Kepercayaan ini banyak bersangkutan dengan profesi atau
keahlian yang dimiliki seorang komunikator. Selain dari
kedua pendapat di atas pengertian kredibilitas juga
dikemukakan beberapa pakar komunikasi. Jalaluddin
Rakhmat dalam sebuah bukunya yang berjudul “Psikologi
Komunikasi”, mengartikan kredibilitas adalah seperangkat
61Effendy. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek (Bandung : PT RemajaRosda Karya, 1997), 305.
62Effendy. Ilmu, teori dan Filsafat Komunikasi (Bandung : PT CitraAditya Bakti, 2003), 43.
48
persepsi komunikate atau khalayak mengenai sifat-sifat
komunikator.
Dalam hal ini menurut Rakhmat menegaskan bahwa
kredibilitas mengandung dua hal: pertama, kredibilitas
merupakan persepsi khalayak jadi dalam konteks ini
kredibilitas tidak inhern atau melekat dalam diri
komunikator, kedua kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat
komunikator.63
Dari berbagai pendapat pakar komunikasi, dalam
kredibilitas terdapat tiga komponen kredibilitas sumber,
yakni keahlian (expertise) yang merupakan kesan yang
dibentuk penerima tentang kemampuan sumber komunikasi
persuasi berkaitan dengan topik yang dibicarakan, dapat
dipercaya (trustworthiness) yang merupakan kesan penerima
tentang sumber komunikasi yang berkaitan dengan wataknya
seperti kejujuran, ketulusan, bersikap adil, bersikap sopan,
berperilaku etis atau sebaliknya serta faktor daya tarik
komunikator (attractiveness) yang meliputi daya tarik fisik
maupun non fisik dari komunikator.
Faktor keahlian adalah tingkat penguasaan sumber
yang dipersepsi khalayak mengetahui jawaban yang benar
dan tepat pada pokok permasalahan. Keahlian bergantung
pada keterlatihannya, pengalamannya, kemampuannya dan
status sosialnya, jadi seorang sumber dikatakan ahli adalah
63Rakhmat. Psikologi Komunikasi (Bandung : PT Remaja Rosdakarya,1998), 257.
49
seeseorang yang pengetahuannya diakui dan dipercaya
tentang pokok permasalahan.
Menurut McCroskey dalam Tubbs dan Moss
mengatakan bahwa keahlian itu sama artinya dengan
keotoritarifian, yaitu keahlian komunikator mengenal subjek
yang disajikan, bagaimana pendapat khalayak mengenai
kecerdasan komunikator. Informasi yang dimilikinya,
kompetensinya dan kewibawaannya.64
Pustakawan yang kaya akan pengetahuan dan
pengalaman akan lebih mudah dalam menjelaskan pesan-
pesan komunikasinya serta akan lebih mudah dalam memberi
ilustrasi atau contoh-contoh pada pesannya. Dengan kata
lain, pustakawan yang baik adalah pustakawan yang
menguasai cara menyampaikan pesan yang ada dipikirannya
ketika menjelaskan materi kepada khalayak pengguna baik
dalam kegiatan layanan perpustakaan maupun dalam
kegiatan perpustakaan lainnya. Kemudian, mengenai faktor
keterpercayaan dapat diartikan sebagai tingkat pengakuan
sumber yang dipersepsi sebagai yang memotivasi untuk
mengkomunikasikan pendiriannya tanpa prasangka.
Oleh sebab itu, sumber yang dipercaya adalah suatu
sumber yang objektif, suatu sumber yang terpercaya
dipersepsi juga oleh khalayak yaitu yang tidak memiliki
maksud untuk memanipulasi dan tidak mengambil
keuntungan bila khalayak menerima rekomendasi pesan.
64Moss. Human Communication: Prinspi-Prinsip Dasar, (Bandung: PTRemaja Rosdakarya, 1996), 61.
50
Berkaitan dengan faktor keterpercayaan Effendy mengatakan
bahwa kepercayaan terhadap komunikator ditentukan oleh
keahliannya dan dapat tidaknya ia dipercaya, lebih dikenal
dan disenangi komunikator oleh komunikan, lebih cenderung
komunikan untuk mengubah kepercayaannya ke arah yang
dikehendaki oleh komunikator.65
Kepercayaan pada komunikator mencerminkan bahwa
pesan yang diterima komunikan dianggap benar dan sesuai
dengan kenyataan. Dalam konteks layanan perpustakaan,
faktor keterpercayaan ini terkait dan dengan hal-hal yang
melekat atau inheren dengan diri pustakawan seperti
pengetahuan, keahlian, pengalaman, otoritas, integritas
moral, kejujuran maupun yang tidak melekat dalam diri
pustakawan seperti faktor persepsi khalayak terhadap
pustakawan.
Misalnya, seorang pustakawan yang akan memberikan
pelatihan tentang literasi informasi dan literasi media,
berpenampilan dengan memakai celana jeans lusuh dan
sobek di kedua lututnya, berambut gondrong akan merubah
persepsi khalayak/peserta terhadap pustakawan kendati pun
pustakawan tersebut memiliki pengetahuan, pengalaman,
integritas, dll.
Jadi faktor persepsi khalayak atau komunikan akan
mengganggu keterpercayaan terhadap sumber (pustakawan)
65Effendy. Dinamika Komunikasi (Bandung: Remaja Rosdakarya. 2004),43-44.
51
jika penampilan pustakawan tidak sesuai gambaran atau
harapan dari khalayak atau peserta.
Faktor berikutnya adalah daya tarik adalah sebagai
salah satu komponen pelengkap dalam pembentukan
kredibilitas sumber. Apabila sumber merupakan individu
yang tidak menarik atau tidak disukai, persuasi biasanya
tidak efektif. Kadang-kadang efek persuasi yang
disampaikan komunikator yang tidak menarik bahkan dapat
mengubah ke arah yang berlawanan dengan yang
dikehendaki.66
66Saifuddin. Sikap Manusia: Teori dan pengukurannya (Yogyakarta:Liberty, 2000), 76.
52
B. Kerangka Berpikir
Adapun kerangka berpikir yang digunakan penulis dalam
merumuskan masalah ini adalah sebagai berikut:
Strategi Komunikasi Persuasif
Terapis kepadaPenyandang Tuna wicara
Model PersuasiHovland, terdiridari 5 tahapan,yaitu:1. Perhatian2. Pemahaman3. Pembelajaran4. Penerimaan5. Penyimpanan
Faktor yangmempengaruhi dalamproses terapi, yaitu:1. Faktor Pendukung
a. Sarana danPrasarana.
b. KredibilitasTerapis.(Teori Kredibilitas)
c. Terapis yangberpengalaman.
d. Kerjasama denganorang tua.
2. Faktor Penghambata. Kesulitan dalam
mengkondisikanpasien.
b. Strategi yang tidakcocok.
MeningkatkanKemampuan
Bernteraksi Sosial
53
BAB III
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Sejarah Yayasan Bina Wicara
Yayasan Bina Wicara adalah sebuah yayasan yang
bergerak dalam penanganan terhadap tuna wicara. Berdiri
sejak tahun 1967 dan menaungi Akademi Terapi Wicara
sebagai sarana dalam mempelajari ilmu-ilmu yang berkaitan
dalam tuna wicara, menangani dan mencarikan solusi bagi
klien serta mencetak Terapis Wicara sebagai profesi tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi melakukan penanganan
untuk gangguan bahasa, wicara, suara, irama kelancaran dan
gangguan menelan.
Akademi Terapi Wicara (Yayasan Bina Wicara)
diawali dengan penyelenggaraan Kursus Speech Correction A
dan B pada tahun 1971-1972 (masing–masing 6 bulan).
Dorongan penyelenggaraan kursus tersebut adalah kenyataan
bahwa di masyarakat dijumpai orang–orang yang mengalami
gangguan berkomunikasi belum atau tidak mendapatkan
pelayanan sesuai kebutuhan. Di sekolah–sekolah Luar Biasa
juga ditemukan siswa–siswa yang mengalami gangguan
perkembangan bahasa dan bicara yang tidak mungkin
ditangani oleh guru–guru. Karena memang guru–guru sesuai
dengan latar belakang pendidikannya dipersiapkan/dididik
untuk menjadi guru bukan untuk menjadi Terapis Wicara.
Peserta kursus umumnya guru–guru SLB dengan
54
pertimbangan mereka telah memiliki pengetahuan dasar dan
pengalaman memberikan pelayanan kepada anak berkelainan.
Akhir tahun 1972 dilakukan evaluasi terhadap
penyelenggaraan dan hasil kursus. Akhirnya diputuskan pada
awal tahun 1973 kursus ditingkatkan menjadi program
pendidikan 3 tahun dengan latar belakang pendidikan peserta
didik SLTA. Pelaksanaannya pada awal tahun 1973 dibuka
penerimaan mahasiswa baru untuk mahasiswa tahun pertama
dan mereka yang dinyatakan lulus Kursus Speech Corection
A dan B dapat melanjutkan dan diterima sebagai mahasiswa
tahun kedua.
Institusi penyelenggara yaitu Lembaga Pendidikan
Bina Wicara “Vacana Mandira” Yayasan Bina Wicara.
Tenaga pengajar yaitu tenaga ahli (Speech Therapist) dari
India, Linguist dari Negeri Belanda dan tenaga pengajar untuk
mata kuliah dasar dari Fak. Kedokteran UI, Fak. Psikologi UI,
dan Fak. PLB UNJ (IKIP Jakarta).
Hari jadi ATW-YBW berdasarkan amanat Ibu J.S
Nasution sebagai salah satu pendiri YBW ditetapkan tanggal
14 Februari sebagaimana tertuang pada akte pertama YBW
yaitu Akte Notaris Kartini Mulyadi, SH Nomor: 120 tahun
1976.ATW-YBW berdiri berdasarkan Surat Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor: 221/Kep/Diknakes/XII/88
tanggal 22 Desember 1988.67
67Sejarah,https://atw-ybw.ac.id/web/id/profil/sejarah
55
B. Sejarah Klinik Bina Wicara
Awal terbentuk Klinik Bina Wicara, didasari atas
masih minimnya sarana dalam uji coba praktek yang
dilakukan mahasiswa Akademi Terapi Wicara, selain itu
Klinik Bina Wicara dulunya adalah sebuah laboratorium yang
berfungsi sebagai sarana praktek mahasiswa pertama kali
sebelum praktek di lapangan, selain itu untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari saat mahasiswa
berkuliah di Akademi Terapi Wicara Jakarta Pusat.
Berangsur-angsur dan dari waktu ke waktu
laboratorium beralih fungsi menjadi Klinik dalam menangani
permasalahan kepada masyarakat umum yang membutuhkan,
kemudian berangkat dari pandangan salah satu pendiri yang
melihat belum banyak tersedia sarana yang memudahkan
masyarakat dalam mencari solusi bagi anak atau saudaranya
yang membutuhkan pertolongan khusus dalam menangani hal
yang berkaitan dengan tuna wicara, gangguan komunikasi,
autisme dan lain-lain.
Klinik Bina Wicara didominasi Terapis yang berasal
dari Akademi Terapi Wicara, yang merupakan dalam satu
wadah yang sama, yaitu dibawah naungan Yayasan Bina
Wicara, walaupun begitu ada sebagian Terapis yang berasal
dari Akademi yang lain. Terapis Wicara adalah Profesi tenaga
kesehatan yang memiliki kompetensi melakukan penanganan
untuk gangguan bahasa, wicara, suara, irama kelancaran dan
gangguan menelan, sebagian contoh kondisi individu yang
56
membutuhkan terapi wicara seperti autism, tuna rungu, mental
retardasi, down syndrome, celah bibir langit-langit, post
stroke, gagap dan latah, sehingga para Terapis pun akan
menghadapi berbagai macam kasus yang terjadi pada
masyarakat, para Terapis diharapkan mampu menghadapi
berbagai macam kasus dengan sebaik mungkin tanpa
merugikan pasien dan orang tua. 68
Seperti yang terdapat dalam tujuan Akademi Terapi
Wicara, yaitu diharapkan mampu menghasilkan tenaga Ahli
Madya Terapi Wicara yang berkompeten, beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila,
berperiakal, berperirasa, berperilaku, kreatif, dinamis,
inovatif, memiliki integritas dan kepribadian tinggi, terbuka,
cepat tanggap terhadap pembaharuan, kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta tanggap terhadap seni dan
berbagai masalah di masyarakat, khususnya yang berkaitan
dengan bidang terapi wicara.69
Hal yang menarik adalah Klinik Bina Wicara menjadi
salah satu Klinik yang tertua di Indonesia yaitu telah berjalan
dari tahun 1973. Kemudian, isu disabilitas menjadi hal
perhatian pemerintah beberapa waktu belakangan ini, dengan
adanya slogan “Menuju Indonesia Inklusi”, sehingga dengan
adanya penelitian ini ikut menyertai perkembangan isu yang
68Tentang Akademi Terapi Wicara, https://atw-ybw.ac.id/web/id/profil/visi-dan-misi.
69Visi dan Misi, https://atw-ybw.ac.id/web/id/profil/visi-dan-misi.
57
ada, khususnya pada penyandang tuna wicara. Hal lainnya
yang menjadi alasan, yaitu bentuk proses terapi wicara yang
berbeda dari terapi-terapi lainnya, dimana setiap Terapis
dituntut dalam menghadapi berbagai macam jenis klien dan
Terapis sangat diperlukan dalam menjawab isu disabilitas.
C. Sarana dan Prasarana
1. Ruang Terapi
Dalam ruangan ini Terapis bersama pasien berada
dalam satu ruangan yang sama, kemudian Terapis
memberikan berbagai macam bentuk terapi yang
disesuaikan dengan kebutuhan pasien, seperti memberikan
mainan dan peralatan lainnya yang menunjang
keberhasilan proses terapi.
2. Free Wifi
Fasilitas akses internet melalui wifi atau hot spot yang
tersedia di area tempat menunggu, ditunjukkan untuk para
pekerja dan orang tua yang menunggu anak atau
saudaranya ketika menjalani proses terapi. Fasilitas ini
disediakan secara gratis, demi membuat kenyamanan bagi
pengunjung maupun pekerja.
3. Kantin
Karakter masyarakat Indonesia yang sangat menyukai
hidangan kuliner, membuat kantin pada Akademi Terapi
Wicara melayani berbagai macam hidangan. Kantin
Akademi Terapi Wicara selain menjadi tempat untuk
58
nongkrong dan makan, juga digunakan mahasiswa sebagai
tempat belajar maupun tempat bagi para orang tua yang
sedang menunggu anaknya ketika menjalani proses terapi.
4. Parkiran Motor dan Mobil
Yayasan Bina Wicara juga menyediakan tempat yang
aman dan nyaman untuk para mahasiswa Akademi Terapi
Wicara maupun karyawan dari Yayasan Bina Wicara dan
Klinik Bina Wicara.
5. Mushola
Tidak hanya menyediakan fasilitas untuk belajar,
Yayasan Bina Wicara juga menyediakan fasilitas beribadah
bagi para orang tua maupun mahasiswa yang mayoritas
beragama Islam.
6. Aula
Fasilitas lain yang disediakan oleh pihak Yayasan
Bina Wicara adalah Aula. Pihak Yayasan menyediakan
aula untuk digunakan mahasiswa Akademi Terapi Wicara
maupun orang tua pasien dari Klinik Bina Wicara. Aula ini
memiliki fungsi untuk menyelenggarakan kegiatan dalam
ruangan seperti, seminar, lokakarya, kuliah umum,
orientasi penerimaan mahasiswa baru dan lain-lain, yang
membutuhkan tempat luas dan tertutup. Pihak Klinik Bina
Wicara beberapa kali mengadakan sosialisasi terhadap
orang tua pasien dalam berbagai macam tema.70
70Fasilitas Kampus, https://atw-ybw.ac.id/web/id/profil/tentang-atw.
59
D. Struktur Yayasan Bina Wicara
Struktur yang terdapat dalam Yayasan Bina Wicara
sangat beragam penempatan kerja dan anggotanya, yaitu ada
Prof. dr Teguh A.S Ranakusuma, Sp.S(K) yang bertindak
sebagai Pengawas, kemudian Prof. dr. H. Hendarto
Hendarmin, Sp.THT yang bertindak sebagai Pembina,
selanjutnya dalam kepengurusan terdapat dua nama, yaitu
Tonny Marwati sebagai Ketua dan Dudung Abdurrachman,
S.Pd., A.Md T.W sebagai Sekretaris.
Pengelola Akademi Terapi Wicara terdiri dari
beberapa jajaran jabatan, yaitu Hikmatun Sa’diah, A.Md
T.W., M.Pd sebagai direktur. Terdapat 3 Wakil Direktur
dalam membantu tugas Direktur, yaitu Puji Astuti, A.Md
T.W, S.Pd bertindak sebagai Wakil Direktur I, kemudian
Yulidar A.Md T.W, S.Pd bertindak sebagai Wakil Direktur II
dan Nunung Lestari A.Md T.W, S.Pd bertindak sebagai Wakil
Direktur III.
Selanjutnya, terdapat beberapa nama yang menjabat
sebagai Staff Unit yaitu Edy Sumardi, Deni Alamsyah, SE,
Sopiyati, A.Md T.W, Arif Wahyu Hidayat, A.Md T.W, Bayu
Saputro, A.Md T.W dan Jamilah. Terdapat perpustakaan yang
di kelola oleh Mustakim, S. IPust dan terakhir terdapat
Laboratorium yang dikelola oleh Dewi Mulyati, A.Md T.W,
S.Pd. Dalam hal ini Laboratorium digunakan sebagai tempat
60
penelitian selain itu diperuntukkan sebagai Klinik Bina
Wicara.71
Gambar 3.1 Struktur Lembaga
E. Jumlah Terapis dan Penyandang Tuna wicara
Seiring berjalannya waktu, Klinik Bina Wicara
berkembang dan semakin banyak dicari masyarakat, karena
jasanya dalam menangani persoalan yang berkaitan dengan
71Stuktur Organisasi, https://atwybw.ac.id/web/id/profil/struktur-organisasi
61
terapi wicara, seperti autisme, tuna rungu, mental retardasi,
down syndrome, celah bibir langit-langit, post stroke, gagap
dan latah. Para Terapis dibekali dengan keilmuan yang terbaik
untuk memuaskan klien. Dalam perjalanannya Klinik Bina
Wicara telah menerima 150 klien dan beragam jenis persoalan
yang berkaitan dengan terapi wicara telah dilaksanakan. Rata-
rata para Terapis melakukan proses terapi 3-6 bulan bahkan 1
tahun, karena disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi
pasiennya.
Jumlah Terapis saat ini hanya terdapat 30 orang dan
bekerja dari Senin hingga Sabtu. Biasanya setiap Terapis
menangani satu klien, namun terkadang satu pasien harus
diatasi hingga 2 Terapis, tergantung dari kondisi yang dialami
pasien, karena terkadang ada pasien hyperactive atau autisme
yang terkadang berontak sehingga harus diatasi beberapa
Terapis agar proses terapi berjalan sesuai yang diinginkan.
F. Profil Informan
Berikut ini nama-nama orang yang telah peneliti
wawancara beserta jabatan dan riwayat pendidikannya:
1. Informan 1
Nama: Hilda Sofia Hanafi, A.Md T.W
Jabatan: Kepala Klinik Bina Wicara
Riwayat Pendidikan: D3 Akademi Terapi Wicara
2. Informan 2
Nama: Anjarsari Sulistyowati, A.Md T.W.
62
Jabatan: Terapis Wicara
Riwayat Pendidikan: D3 Akademi Terapi Wicara
3. Informan 3
Nama: Erni Maisari, A.Md T.W.
Jabatan: Terapis Wicara
Riwayat Pendidikan: D3 Akademi Terapi Wicara
4. Informan 4
Nama: Darsenih, A.Md T.W.
Jabatan: Terapis Wicara
Riwayat Pendidikan: D3 Akademi Terapi Wicara
5. Informan 5
Nama: Diana Martini, A.Md T.W., S.Pd
Jabatan: Terapis Wicara
Riwayat Pendidikan: D3 Akademi Terapi Wicara
6. Informan 6
Nama: Hairani, A.Md T.W.
Jabatan: Terapis Wicara
Riwayat Pendidikan: D3 Akademi Terapi Wicara
63
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Strategi Komunikasi Persuasif yang dilakukan oleh
Terapis Klinik Bina Wicara dalam memberikan
pemahaman kepada Penyandang Tuna wicara
Strategi komunikasi persuasif yang diterapkan Terapis
Klinik Bina Wicara sebagai upaya dalam memberikan solusi
terhadap masalah yang berkaitan dengan tuna wicara, yaitu
memberikan stimulus agar pasien mengikuti apa yang
diperintah Terapis. Para Terapis sudah melakukan komunikasi
sejak pertama kali melakukan assessment di awal pertemuan
bersama orang tua, kemudian Terapis melakukan komunikasi
dengan pasien agar mengetahui seperti apa kondisinya,
sehingga akan mempermudah dalam menganalisa kebutuhan
pasien, sehingga dapat disesuaikan dalam menggunakan
metodenya. Komunikasi yang dilakukan antara Terapis dan
pasien dilakukan 1-2 kali dalam seminggu.
Para Terapis melakukan komunikasi yang secara
berkala agar dapat mengetahui metode yang cocok, karena
pasien terkadang akan berontak dan tidak mengikuti apa yang
diperintah Terapis, sehingga seorang Terapis dituntut untuk
teliti dalam memberikan metode yang tepat. Hal tersebut
dilakukan agar Terapis dapat melakukan proses terapi yang
disesuaikan dengan standar Klinik Bina Wicara, yaitu
64
normalnya 6-12 bulan dan harapannya sesuai yang diharapkan
orang tua yaitu anaknya berkembang dengan maksimal.
Strategi komunikasi persuasif antara Terapis dengan
pasien dapat berjalan dengan baik apabila Terapis tepat dalam
menerapkan tehnik dan metodenya terhadap pasien, jika tidak
sesuai maka proses persuasif akan berjalan lama yang
berujung pada kegagalan dan harus merubah strategi baru
sesuai kesepakatan Terapis dan orang tua. Berdasarkan hasil
penelitian yang telah peneliti lakukan strategi komunikasi
persuasif menggunakan model Hovland dalam
mengkombinasikan antara data dengan temuan penelitian.
Seluruh informan Terapis yang peneliti lihat melakukan
langkah-langkah yang terdapat dalam strategi komunikasi
persuasif model Hovland. Disamping itu, aspek kredibilitas
juga ditekankan oleh setiap Terapis dalam proses terapi yang
akan dijabarkan lebih mendalam.
Dalam bab 2 telah dijelaskan bahwa dalam proses
komunikasi persuasif, ada tahap dimana komunikan
mempelajari pesan persuasif dari komunikator. Dalam proses
belajar tersebut terdapat beberapa tahapan, yakni attention
(perhatian), comprehension (pemahaman), learning
(pembelajaran), acceptance (penerimaan) dan retention
(penyimpanan). Tahapan yang dikemukakan Hovland ini
merupakan proses sebelum komunikan akhirnya memutuskan
untuk merubah sikapnya, setelah mendapatkan paparan
65
informasi atau argumen dari komunikator. Dalam hal
komunikan sebagai pasien dan komunikator sebagai Terapis.
Kemudian hasil dari strategi komunikasi persuasif
antara Terapis dengan klien ,pada akhirnya akan berujung
pada perubahan yang dialami klien. Dalam strategi
komunikasi terdapat 4 perubahan, yaitu perubahan sikap,
perubahan pendapat, perubahan perilaku dan perubahan
sosial. Ketika proses terapi berjalan dengan maksimal, klien
akan mengalami 4 perubahan tersebut dan berproses secara
terus menerus.
Berdasarkan penelitian yang telah peneliti lakukan di
lapangan maka peneliti menggunakan model Hovland sebagai
dasar dalam menganalisa, yaitu terdapat beberapa tahapan
attention (perhatian), comprehension (pemahaman), learning
(pembelajaran), acceptance (penerimaan) dan retention
(penyimpanan). Seluruh informan yang peneliti temui
mempunyai cara masing-masing dalam memberikan terapi
kepada pasien, sehingga hasil dari analisis akan beragam.
Berikut ini merupakan strategi komunikasi persuasif yang
peneliti temukan pada informan Terapis terhadap pasien
Klinik Bina Wicara antara lain sebagai berikut:
1. Attention (Perhatian)
Pengamatan yang dilakukan peneliti, menunjukkan
seorang Terapis sangat membutuhkan perhatian dari pasien.
Perhatian yang ditunjukkan oleh pasien bertujuan agar proses
terapi menjadi berjalan lancar dan jika sebaliknya seorang
66
Terapis akan mengalami hambatan serta membutuhkan proses
terapi yang panjang serta membutuhkan strategi baru.72
Proses perhatian menjadi awal dalam memulai sebuah
percakapan, dengan awalan yang baik akan menghasilkan
respon yang positif terhadap lawan bicara. Dalam hal ini
perhatian maksudnya, ketika orang yang dibujuk tidak
mengindahkan pesan yang disampaikan kepadanya, maka
mereka tidak bisa dipersuasi oleh pesan itu. Sama halnya
seperti strategi komunikasi yang dilakukan seorang Terapis,
untuk pertama kali ketika berhadapan dengan klien, harus
mengkondisikan dirinya agar bisa berkomunikasi yang
menarik dan bisa membujuk klien agar mengikuti apa yang
diperintah Terapis.
Seperti halnya menghadapi anak austime, seorang
terapi harus mampu mencari berbagai macam cara agar
mendapatkan respon yang positif, karena jika sebaliknya
maka anak autisme akan berontak. Terapi dapat menerapkan
pendekatan dengan menyesuaikan kemampuan anaknya dan
mengikuti apa yang diinginkan anak sebagaimana
diungkapkan oleh informan A sebagai salah satu Terapis di
Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat, “Jadi cara pendekatan
ketika anak-anak pertama kali datang masih maunya sendiri,
kemudian kita biarkan dulu untuk kita ikutin gimana maunya,
72 Hasil pengamatan peneliti dengan ibu Hilda Sofia Hanafi padaRabu, 24 Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
67
nah setelah itu kita adakan pendekatan yaitu dengan
melakukan terapi sesuai dengan kemampuannya saat itu”73
Dalam hasil wawancara terhadap informan A, terlihat
pada proses perubahan sosial, dimana pasien berusaha untuk
diterima oleh Terapis agar bisa dimengerti, klien berusaha
untuk bisa bersosial dengan cara melakukan apa yang dia
inginkan tanpa diganggu Terapis saat di awal pertemuan.
Akan berbeda hasilnya jika klien direspon dengan penuh
ketidaksabaran, klien akan menolak dan lambat dalam proses
perubahan sosialnya.
Begitu juga dengan informan B yang merupakan salah
satu Terapis di Klinik Bina Wicara. Pada saat itu kebetulan
informan dalam waktu senggang. Kemudian informan B
mempunyai cara yang berbeda, yaitu mencari perhatian klien
ketika dalam kondisi yang menangis maupun berontak,
dengan cara memberikan mainan agar mudah dalam diberikan
proses terapi dan diajak dalam berkomunikasi. Jika seorang
Terapis tidak mampu mengkondisikan klien agar tenang maka
akan membuat proses terapi berjalan lama serta membutuhkan
strategi yang harus dikonsultasikan antara Terapis dengan
orang tua dan jika orang tua tidak puas maka orang tua dapat
berkonsultasi dengan Kepala Bina Wicara, sebagaimana yang
diungkapkan oleh informan B, sebagai salah satu Terapis di
Klinik Bina Wicara yaitu, “Jadi ketika di awal masuk,
73 Wawancara peneliti dengan ibu Hilda Sofia Hanafi pada Rabu,24 Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
68
biasanya kita beri mainan kalo dia nangis, kita ajak main kaya
gitu, biasanya untuk interaksi awal untuk proses adaptasi,
kalo main juga biasanya seperti main puzzle.”74
Dalam hasil wawancara terhadap informan B, proses
perubahan sosial terlihat disini, yaitu ketika Terapis mengajak
main dan dimulai interaksi antara keduanya, sehingga secara
tidak langsung anak belajar dalam proses perubahan sosial,
dimana anak belajar dalam berinteraksi dengan Terapis secara
berkala dan akan membentuk ikatan di antara keduanya serta
mempermudah proses terapi. Anak pun akan belajar dalam
bersosialisasi di tahap ini.
Informan selanjutnya adalah informan C yang
merupakan salah satu Terapis di Klinik Bina Wicara.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti,
informan C kurang lebih sama seperti informan B, yaitu
mencari perhatian klien ketika dalam kondisi menangis
maupun berontak, dengan cara memberikan mainan agar
mudah dalam diberikan proses terapi dan diajak
berkomunikasi, selain itu informan C menegaskan agar ketika
di awal memahami kliennya terlebih dahulu, dengan
memahami dari vokalnya klien masuk kedalam kategori
seperti apa. Hal tersebut diungkapkan oleh informan C
sebagai salah satu Terapis di Klinik Bina Wicara yaitu,
“Biasanya sih kita memahami kliennya dulu, misalkan dari
74 Wawancara peneliti dengan ibu Anjarsari Sulistyowati padaRabu, 24 Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
69
vokalnya seperti apa, supaya klien tau maksud yang kita
sampaikan, baru setelah itu dilanjut lagi ke komunikasinya”75
Dalam hasil wawancara terhadap informan C, proses
perubahan sosial terlihat disini, dimana tidak terlalu beda jauh
dengan hasil wawancara terhadap informan B, yaitu ketika
Terapis mengajak main dan dimulai interaksi antara
keduanya, sehingga secara tidak langsung anak belajar dalam
proses perubahan sosial, dimana anak belajar dalam
berinteraksi dengan Terapis secara berkala dan akan
membentuk ikatan di antara keduanya serta mempermudah
proses terapi. Anak pun akan belajar dalam bersosialisasi
ditahap ini.
2. Comprehension (Pemahaman)
Saat berada di lapangan peneliti mendapatkan,
bahwasanya setiap pasien akan memahami secara maksimal
apa yang dikatakan oleh Terapis apabila Terapis mampu
membuat kondisi yang nyaman dan interaktif, sehingga pasien
menjadi mudah dalam menerima proses terapi yang diberikan.
Kemudian, pemahaman yang didapatkan oleh pasien akan
menjadi salah satu faktor dalam keberhasilan proses terapi.76
Pemahaman merupakan bagian dari karakteristik yang
disampaikan oleh Hovland. Pemahaman akan menjadi sangat
75 Wawancara peneliti dengan ibu Hairani pada Rabu, 24 Juli2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
76 Hasil pengamatan peneliti dengan Hairani pada Rabu, 24 Juli2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
70
penting ketika komunikator menyampaikan sesuatu ke
komunikan, dengan memberikan pemahaman yang sederhana
komunikan mampu menerima sesuatu yang disampaikan,
sebaliknya jika orang yang dipersuasi tidak memahami pesan,
maka mereka tidak bisa dipersuasi oleh pesan itu. Oleh karena
itu, sangat penting seorang komunikator meramu pesan agar
mampu dipahami oleh komunikan, kemudian akan menjadi
hal yang harus dipertimbangkan dalam menyampaikan pesan
agar pesan yang disampaikan mampu diaplikasikan dengan
mudah oleh komunikan.
Seperti halnya ketika seorang Terapis mampu
memberikan pemahaman yang baik kepada orang tua maupun
pasien, seorang Terapis dituntut untuk kreatif dalam
menyampaikan pesan, khususnya kepada pasien berkebutuhan
khusus, karena akan berbeda penanganan di awal dengan
pasien gagap. Pasien berkebutuhan khusus memerlukan cara
yang berbeda, seorang Terapis harus mempunyai strategi
komunikasi yang beragam agar pasien mampu memahami apa
yang disampaikan agar anak antusias dan tidak banyak
bergerak, dibanding pasien gagap yang akan lebih mudah
diberikan terapi karena cenderung pendiam dan mudah dalam
menerima masukan dan arahan dari Terapis. Kemudian,
seorang Terapis harus melihat dari suatu aspek agar mampu
memahami dan menerima kondisi anak sehingga mampu
menjalankan proses terapi, sebagaimana yang diungkapkan
oleh informan D:
71
“Jadi pendekatannya itu ada bermacam-macamcaranya, ada yang melalui visual, melalui pendengarandan ada yang melalui rasa. Jadi kalau misalkan anak-anak yang apa namanya, lemah salah satunya yaadidukung, jadi pendekatannya semua harus didukung,jadi ibaratnya anak-anak misalnya gimana caranyaanak-anak itu memahami, nah kita ngajarinnya secaravisual dulu, secara rasa baru setelah itu digabungin,nah terus setelahnya pendengaran itu otomatiskan pendengaran juga dilakukan.”77
Dalam hasil wawancara terhadap informan D, terlihat
pada proses perubahan sosial, yaitu anak berusaha memahami
apa yang diajarkan oleh Terapis dan secara langsung anak
merespon semampunya. Dalam observasi yang dilakukan
peneliti beberapa anak ketika diberikan stimulus, berusaha
untuk memahami terapi dengan gerakan gestur tubuh dan
komunikasi yang terbatas, dapat dikatakan anak mengalami
proses perubahan sosial dalam skala kecil yaitu
berkomunikasi secara rutin kepada Terapis, di samping itu
terapi dilakukan secara berkala tiap minggu, maka
kemungkinan besar anak mengalami proses perubahan sosial
yang besar yaitu mampu berkomunikasi dengan baik.
Begitu juga dengan informan E yang merupakan salah
satu Terapis di Klinik Bina Wicara. Seorang Terapis
semestinya mampu menyampaikan pemahaman dalam
beberapa aspek saat proses terapi, khususnya ketika anak
77 Wawancara peneliti dengan ibu Diana Martini pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
72
rewel atau menangis, maka terapi harus bisa memberikan
pemahaman dan menenangkan agar anak tenang, sebagaimana
yang diungkapkan informan E:
“Biasanya kalau ketika anak dateng nangis-nangis yaakita ajak main dulu, trus kita tanya sama yang nganterbiasanya suka main apa. Misalkan yang dateng anaklaki-laki biasanya kan ke mainan mobil-mobilan atauhewan, kalau yang dateng perempuan ohh ini sukamasak, nah kita ada miniatur alat-alat masak.”78
Dalam hasil wawancara terhadap informan E, yaitu
terlihat perubahan perilaku, Terapis berusaha memahami
kondisi pasien ketika menangis agar diberikan mainan yang
disukai, anak yang sebelumnya perilaku susah untuk
diarahkan saat menjalani proses terapi, akan menjadi mudah
ketika Terapis berusaha memahami kondisinya dengan cara
memberikan mainan agar perilaku pasien ke Terapis berjalan
dengan baik. Dapat dikatakan proses perubahan perilaku
terlihat secara sederhana disini.
3. Learning (Pembelajaran)
Ketika berada di lapangan peneliti mendapatkan, saat
pasien menjalankan proses terapi akan menerima
pembelajaran dalam bentuk materi yang disajikan oleh
Terapis secara mudah untuk dipraktekkan oleh pasien. Dalam
proses belajar, pasien akan mempelajari cara dalam berbicara
78 Wawancara peneliti dengan ibu Erni Maisari pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
73
yang lebih baik dengan mengikuti satu per satu kata yang
diucapkan Terapis.79
Proses belajar menjadi sangat penting dalam sebuah
proses terapi, khususnya pada anak, yaitu ketika anak mampu
mengikuti arahan Terapis dengan antusias dan semangat,
secara perlahan anak belajar dalam mengontrol dirinya agar
mampu berbicara dan berperilaku dengan baik. Proses belajar
yang dilakukan akan berjalan maksimal, apabila Terapis juga
didukung oleh orang tua, karena salah satu tolak ukur yang
disampaikan mulai dari informan A hingga informan F adalah
pentingnya kerjasama orang tua dengan Terapis, karena ketika
peneliti mewawancarai salah satu informan, ada yang
mengatakan bahwasanya orang tua hanya mengandalkan
proses belajar di Klinik saja tanpa dipraktekkan di rumah,
sehingga akan menghambat pembelajaran anak, sebagaimana
diungkapkan informan A sebagai salah satu Terapis di Klinik
Bina Wicara:
“Keberhasilan itu diliat antara kerjasama orang tua,pasien dan Terapis, jadi gini keberhasilan itu didukungoleh orang tua, kalo kita sebagai Terapis kerjakeras untuk melatih anak ternyata dari orang tua hanyadiam saja dan tidak ada dukungan sertamemperhatikan anak otomatis kemajuan itu tidak adatapi kalau orang tuanya semangat mengantar anaknyaterapi, tetapi Terapisnya tidak mendukung itu samasaja tidak akan berhasil. Hal lain yangmempengaruhi keberhasilan yaitu, jika yang diajarkan
79 Hasil pengamatan peneliti dengan ibu Hilda Sofia Hanafi padaRabu, 24 Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
74
di tempat terapi tidak diulang-ulang oleh orang tua,maka akan mempengaruhi proses terapi pada anak.Oleh karena itu keberhasilan berkat kerjasama antaraorang tua, anak dan Terapis, karena kalo anaknyasemangat dan orang tuanya tidak peduli, itu susahdalam mengharapkan kemajuan, karena banyak kasusdisini ketika orang tuanya cuek maka keberhasilannyalama, karena secara psikologis mungkin anak itumerasa orang tuanya tidak peduli kepadanya dan tidakmemperhatikan, tetapi kalo orang tuanya melatih terussecara berulang-ulang di rumah mengenai apa yangditerapi di klinik, insyaa Allah tingkat keberhasilannyaakan tinggi.”80
Dalam hasil wawancara terhadap informan A, yaitu
terlihat perubahan perilaku, perubahan sikap dan perubahan
sosial. Ketika dalam proses belajar yang diberikan Terapis,
ketika anak sudah merasa nyaman maka anak akan lebih
mudah dalam menyerap materi yang disampaikan. Dampak
positifnya akan terjadi proses perubahan perilaku, maksudnya
anak yang tadinya di awal pertemuan tidak bisa diatur, seiring
berjalannya waktu anak mudah diatur. Kemudian, proses
perubahan sosial pun terjadi, anak yang nyaman perlahan-
lahan akan mampu berkomunikasi dua arah dan membantu
dalam percepatan terapi, sampai sini terlihat proses perubahan
sosial yang terjadi, yaitu anak mampu merespon apa yang
dikatakan Terapis.
80 Wawancara peneliti dengan ibu Hilda Sofia Hanafi pada Rabu,24 Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
75
Selanjutnya, dalam proses belajar akan terjadi proses
perubahan sikap, maksudnya setelah sekian kali Terapis
memberikan terapi, anak akan mengalami perubahan dalam
sikapnya, dalam satu kesempatan peneliti mengobservasi
adanya sikap yang positif ditunjukkan anak kepada Terapis,
yaitu dalam bentuk merapihkan jilbab yang dikenakan Terapis
selagi proses, memang unik disini, karena anak menyikapi
dengan positif, dibeberapa kasus anak bisa saja negatif dengan
memukuli Terapis, oleh karena itu ketika proses terapi
berjalan dengan konsisten maka anak mengalami perubahan
sikap yang signifikan.
4. Acceptance ( Penerimaan)
Ketika berada di lapangan, peneliti menemukan dalam
kasus pasien gagap yang datang pertama kali memahami
dirinya memerlukan penerimaan terapi wicara dan ketika
proses terapi berjalan penerimaan juga terjadi di saat pasien
menerima pembelajaran dari Terapis dan pasien menerima
pembelajaran bahwasanya penting baginya untuk di
praktekkan saat di klinik maupun di rumah. Dalam kasus
pasien autisme, peneliti mendapatkan bahwasanya setiap
pasien akan mampu menerima segala macam proses terapi
jika dilakukan terapi saat berada di rumah serta dan didukung
oleh orang tua. Kemudian, terdapat faktor lain dalam
memaksimalkan penerimaan terhadap pasien gagap, apabila
76
anak sudah mampu berkomunikasi dua arah dan bisa
merespon Terapis dengan baik.81
Dikatakan apabila orang yang dipersuasi menolak
pesan yang disampaikan meski mereka memperhatikan dan
memahami pesan yang disampaikan, mereka tidak mungkin
bisa dipersuasi oleh pesan tersebut. Dalam aspek ini
penerimaan dimaksudkan, ketika komunikator memberikan
pemahaman kepada komunikan secara berkala, kemudian
komunikan memperoleh proses pembelajaran dan komunikan
mampu menerima hasil dari pembelajaran dengan baik.
Berkaitan dengan hubungan Terapis dengan pasien,
maka yang dapat dijabarkan, Terapis memberikan terapi yang
dilakukan selama 3 bulan hingga 1 tahun kepada pasien,
dalam waktu sekian lama pasien menjalani proses terapi dan
mengalami proses belajar, pasien yang sebelumnya tidak
mampu menerima dan merespon dengan baik karena
keterbatasannya, kemudian dengan proses belajar yang
berkesinambungan dalam diri pasien terjadi penerimaan
bahwasanya dirinya memerlukan terapi dan dapat mengikuti
proses terapi dengan baik, selain itu didukung oleh motivasi,
metode dan strategi yang diterapkan Terapis dengan penuh
kesabaran, hingga menghasilkan penerimaan diri yang
optimal pada diri pasien untuk tetap mengikuti proses terapi.
81 Hasil pengamatan peneliti dengan ibu Diana Martini padaRabu, 24 Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
77
Selain itu penerimaan yang diterima dalam diri anak
didukung oleh orang tua yang ikut serta dalam proses terapi.
Kemudian hal lain yang dapat memaksimalkan penerimaan
terhadap anak, yaitu Terapis apabila anak bisa mengenali dan
dapat berkomunikasi 2 arah, ketika pas sudah bisa
berkomunikasi 2 arah maka anak akan lebih mudah dalam
menerima segala hal baru saat menjalani proses terapi,
sebagaimana yang diungkapkan oleh informan D sebagai
salah satu Terapis:
“Jadi seorang Terapis wicara itu kan membutuhkanilmu untuk menangani anak-anak seperti ini,jadi ga sekedar pengalaman, pengalaman bertahun-tahun kalo misalnya memang dia tanpa ilmu jadi diajuga jadi percuma, jadi kalo misalkan bisa yaaberilmu dan juga berpengalaman. Seorang Terapiswicara yang menangani anak, dia juga harus taupsikologi anak bagaimana, psikologi menghadapiorang lain seperti apa, jadi ga hanya denganpengalaman tetapi juga ada ilmu yang saling berkaitan,begitu. Terus kalo misalnya bisa dikatakan berhasilitu kalo misalnya anak itu kenal sama kita, dalamartian yang tadinya tidak kenal kita, tidak mengertikita, terus tau- tau dia mengatakan “haii ibu Diana..”,terus kenal siapa orang, kan tadinya mereka cuek ajagitu dan tau-tau dia bisa bermain denganlingkungannya, trus yang tadinya dia ga bisakomunikasi ibaratnya, tau-tau dia bisaberkomunikasi dengan lingkungannya.”82
82 Wawancara peneliti dengan ibu Diana Martini pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
78
Dalam hasil wawancara yang dilakukan peneliti
terhadap informan D, dalam penyampaian yang diberikan,
terdapat perubahan perilaku dan perubahan sosial, ketika anak
sudah mampu menerima apa yang diberikan Terapis dan anak
mampu berkomunikasi 2 arah, perubahan perilaku terlihat
yaitu anak yang ketika di awal pertemuan berperilaku rewel
dan tidak bisa diatur, dengan proses terapi yang dilakukan
secara berkala anak mengalami perubahan perilaku dalam
dirinya. Kemudian perubahan sosial yang terjadi adalah ketika
anak mampu merespon sebuah kalimat kepada Terapis dan
terjadi komunikasi 2 arah, perubahan ini didukung oleh proses
terapi yang dilakukan secara berkala.
5. Retention ( Penyimpanan)
Pengamatan yang dilakukan, ditemukan beberapa pasien
yang sudah menjalani proses terapi, kemudian ketika pasien
datang untuk yang kesekian kalinya, Terapis memastikan
anak menyimpan pembelajaran yang dilakukan saat hari-hari
sebelumnya, dengan cara merangsang pasien autisme untuk
mempraktekkan satu pembelajaran yang telah diberikan
sebelumnya. Jika pasien mempraktekkan dengan baik, maka
dipastikan pasien menyimpan informasi yang telah
diberikan.83
Dalam banyak kasus, manusia kadang menunda
perubahan sikapnya setelah mendapat dan memahami sebuah
83 Hasil pengamatan peneliti dengan ibu Diana Martini padaRabu, 24 Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
79
pesan, di samping itu mereka harus mampu mengingat pesan-
pesan itu dan mau menyimpannya di memori mereka sampai
mereka rasa itulah saatnya melakukan tindakan. Ketika
komunikator menyampaikan sesuatu kepada komunikannya
secara berkala, terukur dan menyampaikan materi dengan
baik, maka komunikan akan lebih mudah memahami materi
yang disampaikan. Penyimpanan yang diterima komunikan
akan maksimal, apabila komunikator menyampaikan materi
dengan komunikatif dan kreatif, namun akan berlaku
sebaliknya yaitu komunikan membutuhkan waktu lebih dalam
memahami materi.
Berkaitan dengan Terapis dan pasien, ketika seorang
Terapis memberikan terapi dengan terukur, strategi yang
matang dan didukung oleh pasien yang antusias, maka dengan
proses terapi yang dilakukan dalam beberapa bulan, pasien
akan menyimpan segala macam hal yang diberikan oleh
Terapis. Penyimpanan materi dari proses terapi juga didukung
oleh motivasi dan dukungan orang tua ketika di rumah. Selain
itu terdapat tolak ukur yang akan mendukung anak dalam
proses penyimpanan materi, sebagaimana yang diungkapkan
oleh informan C sebagai salah satu Terapis:
“Yaa itu, anak bisa berkomunikasi seperti tanya jawab,menjawab pertanyaan, kaya gitu. Tolak ukurjuga berbeda pada setiap anak, karena tergantung beratringannya kasus dalam masa penanganan, misalnyaanak sudah mampu berbicara dalam artikulasinyaaja paling cuma berapa bulan dan kalo sama sekali ga
80
bisa komunikasi bisa sampe tahunan, jadi tergantungberat ringannya.”84
Dalam wawancara yang dilakukan terhadap informan
C, terdapat perubahan sosial, yaitu pasien mudah dalam
menjawab pertanyaan dan tanya jawab yang diajukan Terapis,
pasien menjadi lebih mudah dalam berkomunikasi kepada
Terapis, tidak sedikit pasien-pasien ketika datang di awal
sangat susah dalam merespon materi, sehingga penyimpanan
materi pasien didukung oleh perubahan sosial yang berjalan
secara berkala, oleh karena itu dalam proses ini Terapis yang
menyampaikan materi dengan baik akan menghasilkan hasil
akhir yang memuaskan orang tua dan anak pun mampu
merasakan hasil akhir dari terapi.
Untuk mengetahui lebih jelas mengenai proses
komunikasi persuasif antara Terapis terhadap pasien Klinik
Bina Wicara yang dikaitkan dengan proses komunikasi model
Hovland peneliti menyajikan tabel 4.1 sebagai berikut:
Tabel 4.1
Proses Komunikasi Persuasif model Hovland antara
Terapis terhadap penyandang tuna wicara Klinik Bina
Wicara Jakarta Pusat
No Proses Komunikasi
Persuasif
Dilakukan oleh
84 Wawancara peneliti dengan ibu Hairani pada Rabu, 24 Juli2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
81
1 Perhatian - Informan A
- Informan B
- Informan C
2 Pemahaman - Informan D
- Informan E
3 Belajar - Informan E
4 Penerimaan - Informan D
5 Penyimpanan - Informan C
B. Faktor Pendukung dan Penghambat yang dihadapiTerapis Klinik Bina Wicara saat berhadapandengan Pasien dalam Proses Komunikasi Persuasif
Dalam strategi komunikasi, seorang komunikator akan
berhadapan dengan berbagai macam hal, seperti menghadapi
berbagai macam karakter komunikan, kemudian penyampaian
pesan komunikator akan maksimal apabila didorong oleh
faktor pendukung dan faktor penghambat akan dijadikan
bahan evaluasi.
Berkaitan dengan hubungan antara Terapis dengan
pasien pada Klinik Bina Wicara, faktor pendukung akan
menjadi tolak ukur kebeerhasilan seorang Terapis dalam
menjalani proses terapinya dan faktor penghambat akan
dijadikan pembelajaran dan evaluasi di masa yang akan
datang, sebagaimana tercantum dibawah ini:
82
1. Faktor Pendukung
Faktor pendukung menjadi hal yang penting
karena menjadi penunjang dalam keberhasilan proses
terapi yang dilakukan, terdapat 2 faktor yang berkaitan
erat, yaitu:
a) Berdasarkan temuan yang peneliti temukan
pada website Akademi Terapi Wicara dan saat
berada di lapangan, sarana yang disediakan sangat
mendukung, terdapat lebih dari 5 ruangan sebagai
penunjang proses terapi beserta peralatan yang
diperlukan dalam memudahkan proses terapi,
seperti mainan untuk anak.85
Sarana dan prasarana yang memadai seperti
tempat yang nyaman ketika proses terapi
dilaksanakan, tersedianya fasilitas mainan bagi
anak yang ingin bermain dll.86 Ruangan yang
disediakan dalam proses terapi pun terdapat lebih
dari 5 ruangan, dimana setiap ruangan menampung
Terapis dan pasien beserta peralatan memadai yang
sewaktu-waktu diperlukan dalam melakukan
asesmen kepada pasien.
b) Saat sesi wawancara yang dilakukan ke
beberapa Terapis, mayoritas mengemukakan bahwa
85 Hasil pengamatan peneliti saat mengobservasi pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
86 Fasilitas Kampus, https://atw-ybw.ac.id/web/id/profil/tentang-atw.
83
pentingnya aspek kredibel sebagai landasan dalam
melakukan proses terapi dan menjadi Terapis
membutuhkan pembelajaran yang sudah bisa
dipelajari di Akademi Terapi Wicara berdasarkan
penuturan Terapis.87
Terapis yang mempunyai kredibilitas yang
baik dan jelas, yaitu dituntut untuk menjalani masa
pendidikan D3 di Akademi Terapi Wicara,
sebagaimana yang diungkapkan informan F sebagai
salah satu Terapis pada Klinik Bina Wicara:
“Begini, menurut saya seorang Terapis dapatdikatakan berhasil apabila pasien mampuberkomunikasi 2 arah dan mengikutipendidikan di sekolah dengan baik. Mampuberkomunikasi 2 arah dimaksudkan untukmemastikan anak mampu berbaur dilingkungannya dengan mudah, harapannyaanak mampu bersosialisasi dengan temansebayanya. Seorang Terapis juga harusmempunyai kredibilitas yang baik mas, yaa digedung sebelah kan juga ada sekolahnya yaituAkademi Terapi Wicara, jadi kredibilitasTerapis dapat dinilai dari sekolah yangdiikutinya dan tidak bisa menjadi Terapissecara otodidak.”88
c) Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
peneliti saat di lapangan, salah satu Terapis
memaparkan bahwasanya mahasiswa Akademi
87 Hasil pengamatan peneliti saat mengobservasi pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
88 Wawancara peneliti dengan ibu Darsenih pada Rabu, 24 Juli2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
84
Terapi Wicara telah dibekali dengan pengalaman
yang mereka dapatkan sebelum terjun ke dunia
kerja, sehingga sudah dipersiapkan agar menjadi
Terapis yang berkompeten serta berpengalaman.89
Terapis yang sudah berpengalaman saat sebelum
kelulusan, karena tidak hanya mendapatkan teori
tetapi juga praktek langsung di lapangan.
Peneliti mendapatkan info dari salah satu
mahasiswa, bahwasanya ketika semester 3 dan 5
mereka praktek di lapangan dan mencari objek
yang dibutuhkan untuk dijadikan laporan, sehingga
Terapis yang telah lulus dan telah bekerja tidak
akan kesulitan dalam bekerja, sebagaimana yang
diungkapkan informan E sebagai salah satu Terapis:
“Kemudian, seorang Terapis jelas-jelas haruskredibel dan itu ditunjukkan dengan carabelajar 3-5 tahun dan sekolahnya tepat beradadi sebelah gedung ini mas, yaitu AkademiTerapi Wicara. Mereka yang kuliah disinitelah dibekali dengan keilmuan yang terbaik,mereka juga sudah dipersiapkan sebelumkelulusan, yaitu saat semester 3 merekaditugaskan untuk turun ke lapangan untukmengobservasi berbagai macam jenis pasien.Dengan ditugaskan seperti ini, mahasiswaakan memiliki pengalaman dan bukan hanya
89 Hasil pengamatan peneliti saat mengobservasi pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
85
sekedar teori di kelas, sehingga akan menjadiTerapis yang siap bertugas saat lulus.”90
d) Ketika melakukan sesi wawancara, hasil
pengamatan menunjukkan hampir semua informan
memaparkan pentingnya kerjasama antara Terapis,
orang tua dan pasien yang ditunjukkan untuk
memaksimal proses terapi.91 Dalam proses terapi,
Terapis tidak bisa bekerja sendiri, perlu dukungan
orang tua ketika berada di rumah untuk tetap
berlatih, sebagaimana yang diungkapkan informan
B sebagai salah satu Terapis di Klinik Bina Wicara:
“Yang pasti harus bekerjasama dengan orangtuanya yaa, kalau orang tuanya tidak bisadiajak kerjasama percuma kan soalnya samaTerapis kan hanya satu jam dan di rumah lebihbanyak waktunya, begitu. Selain itu jugadibutuhkan psikolog untuk membantu dalamproses terapi, tetapi tidak ada disini dan dilaintempat, karena berkesinambungan denganproses terapi yang kita lakukan.”92
2. Faktor Penghambat
a) Dalam proses wawancara yang dilakukan
terhadap beberapa informan, adanya kesulitan
Terapis dalam mengkondisikan anak, khususnya
terhadap pasien autisme dan hyperactive, dimana
pasien kurang merespon dengan baik apa yang
90 Wawancara peneliti dengan ibu Erni Maisari pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
91 Hasil pengamatan peneliti saat mengobservasi pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
92 Wawancara peneliti dengan ibu Anjarsari Sulistyowati padaRabu, 24 Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
86
diarahkan Terapis sehingga membutuhkan waktu
lebih dalam mengkondisikan pasien.93 Ketika
Terapis mendapati anak yang hyperactive, maka
akan mempersulit Terapis saat proses terapi. Oleh
karena itu Terapis harus mampu membuat anak
senyaman mungkin, sebagaimana yang
diungkapkan oleh informan F sebagai salah satu
Terapis di Klinik Bina Wicara:
“Kalau saya pribadi, biasanya denganmemberikan penjelasan secara sederhanamungkin mengenai pentingnya untuk terapi,anak diberikan stimulus agar mudah dalammemahami atau misalkan ketika anakmulai rewel maupun menangis, biasanyadiiming-imingi terlebih dahulu denganmainan yang dia sukai terhadap anak autismmaupun hyperactive. Dalam kasus terhadaporang gagap, biasanya kita mengkondisikanpasien agar termotivasi agar bisa berbicaradengan lebih lancar dan mengatakan agarberbicara dengan pelan-pelan, sehinggaakan sangat penting bagaimana mempersuasipasien agar senyaman mungkin dengankita dengan disesuaikan kondisi dangangguannya.”94
b) Mayoritas Terapis menyatakan ketika
mendapatkan pasien yang membutuhkan
penanganan khusus, maka diharuskan merubah
strategi di awal pertemuan dengan strategi yang
93 Hasil pengamatan peneliti saat mengobservasi pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
94 Wawancara peneliti dengan ibu Darsenih pada Rabu, 24 Juli2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
87
lebih efektif dan komprehensif.95Strategi yang tidak
cocok akan memperlama proses terapi. Ketika
dilakukan proses terapi selama sekian bulan dan
dirasa tidak cocok, maka Terapis harus merubah
strateginya, sebagaimana yang diungkapkan oleh
informan F sebagai salah satu Terapis di Klinik
Bina Wicara:
“Biasanya kita kalo mengevaluasi melihat darikemajuan dalam beberapa bulan yaa,istilahnya kita punya program 3 bulan dan per3 bulan itu kita harus evaluasi sejauhmana si anak maju gitu, istilahnyaberkembang dan memang tidak seoptimalorang normal tapi setidaknya dia bisaberkomunikasi dengan orang, walaupunmemang terkadang ada yang kurang jelasdan jelas tapi ada juga yang istilahnnya per 3bulan itu dia baru bisa satu dua hal, yangdimana bisa dilaporkan ke orang tua.Program akan berlanjut hingga 1 tahunapabila pasien tidak memperlihatkan kemajuanyang signifikan.”96
95 Hasil pengamatan peneliti saat mengobservasi pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat
96 Wawancara peneliti dengan ibu Diana Martini pada Rabu, 24Juli 2019 di Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat.
88
BAB V
PEMBAHASAN
A. Strategi Komunikasi Persuasif yang dilakukan oleh
Terapis Klinik Bina Wicara dalam memberikan
pemahaman kepada Penyandang Tuna wicara
Strategi komunikasi persuasif merupakan aspek yang
terpenting dalam sebuah hubungan antara komunikator
dengan komunikan, khususnya dalam memberikan
pemahaman yang mudah kepada komunikan, yaitu dengan
berbagai macam karakter dan sifatrnya, sehingga dituntut agar
lebih komprehensif ketika melakukan asesmen. Dalam hal ini
Terapis sebagai komunikator dan penyandang tuna wicara
sebagai komunikan. Seorang Terapis dituntut agar
menerapkan strategi komunikasi persuasif yang dilakukan
saat diawal pertemuan dan ini menentukan cepat atau
lambatnya pasien dalam menjalani proses terapi.
Hal mendasar bagi dalam proses terapi ini adalah
berawal dari kondisi keberadaan fasilitas dalam membantu
penyandang tuna wicara yang minim, menjadi hal yang
menarik untuk diangkat, dalam mengetahui bentuk strategi
komunikasi yang dibangun antara Terapis dengan penyandang
tuna wicara agar mengetahui bentuk komunikasi yang unik
diantara keduanya, karena setiap jenis tuna wicara memiliki
penanganan yang berbeda dan akan memberikan pemahaman
baru kepada masyarakat, khususnya penulis dalam
89
mengetahui bentuk strategi yang dibangun diantara keduanya.
Selain itu strategi komunikasi Terapis dikupas secara
mendalam untuk menjawab masalah pada penyandang tuna
wicara dan bisa menggambarkan proses terapi dengan
penjelasan yang sistematis. Kemudian, difokuskan pada tuna
wicara jenis latah, gagu dan gagap.
Soleh Soemirat, Hidayat Satari dan Asep Suryana
dalam bukunya “Komunikasi Persuasif” mendefinisikan
persuasi, yakni melakukan upaya untuk mengubah sikap,
pendapat dan perilaku seseorang melalui cara-cara yang
mudah, manusiawi, dan halus, dengan akibat munculnya
kesadaran, kerelaan, dan perasaan senang serta adanya
keinginan untuk bertindak sesuai dengan yang dikatakan
persuader.97 Berkaitan dengan strategi yang dilakukan
Terapis, maka seorang Terapis mengupayakan untuk
mengubah sikap, pendapat dan perilaku pasien secara
bertahap, dengan metode-metode yang telah teruji.
Para Terapis di Klinik Bina Wicara harus mempunyai
syarat-syarat sebagai komunikator, yaitu memiliki kredibilitas
yang baik, memiliki keterampilan berkomunikasi, memiliki
sikap yang baik terhadap komunikan dan memiliki daya tarik,
dimaksudkan Terapis memiliki kemampuan untuk melakukan
perubahan sikap, perilaku, pendapat hingga sosial. Jika
Terapis telah mencukupi syarat-syarat tersebut, maka strategi
97 Soemirat, dkk, Komunikasi Persuasif (Jakarta: Universitasterbuka, 2007), 1-26 .
90
komunikasi persuasif yang dilakukan agar berjalan dengan
maksimal.
Klinik Bina Wicara merupakan klinik yang membina
serta memberikan terapi kepada pasien tuna wicara, dimana
Terapis berperan penting dalam menerapkan strategi
komunikasi persuasif agar proses terapi berjalan lancar. Dari
hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menggunakan Yale
Model Of Persuasion dalam menganalisa strategi komunikasi
persuasif yang dilakukan antara Terapis dengan pasien
penyandang tuna wicara. Di bawah ini terdapat bagan dalam
menjelaskan model Hovland yang didapatkan dari buku The
Dynamics of Persuasion; Communication and Attitudes in the
21st Century.
The Hovland/Yale Model Of Persuasion
Communication Message
Learning
Attitude Change
Attention
Comprehension
Learning
Acceptance
Retention
91
Gambar 5. 1 Model Persuasi Hovland
Berikut ini merupakan hasil dari analisa strategi
komunikasi persuasif yang peneliti dapatkan pada informan
Terapis terhadap pasien Klinik Bina Wicara, antara lain
sebagai berikut:
1. Attention (Perhatian)
Proses perhatian menjadi awal dalam memulai sebuah
percakapan, dengan awalan yang baik akan menghasilkan
respon yang positif terhadap lawan bicara. Kemudian,
komunikasi persuasif sebagai upaya mempengaruhi opini,
pendapat, sikap atau perilaku seseorang, tentunya
membutuhkan suatu proses. Hovland dalam buku ‘Dynamics
of Persuasion’ mengemukakan sebuah konsep mengenai
proses komunikasi persuasif yang berfokus pada
pembelajaran dan motivasi. Untuk dapat terpengaruh oleh
komunikasi persuasif, seseorang harus memperhatikan,
memahami, mempelajari, menerima, dan menyimpan pesan
persuasi tersebut.98 Seorang Terapis harus bisa menarik
perhatian pasien agar ketika diawal pertemuan mampu
memberikan kesan yang baik dan pasien nyaman dalam
menjalani proses terapi.
`98 Perloff, The Dynamics of Persuasion; Communication andAttitudes in the 21st Century ( New Jersey: Lawrence Erlbaum AssociatesPublisher, 2003), 121.
92
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Klinik
Bina Wicara dalam rangka untuk mengetahui strategi
komunikasi persuasif diantara Terapis dengan penyandang
tuna wicara, perhatian menjadi salah satu hal penting. Orang
yang menduduki sentral dalam strategi komunikasi persuasif
ini adalah Terapis. Pada strategi komunikasi persuasif ini
Terapis yang bertindak sebagai komunikator memberikan
rangsangan serta arahan kepada pasien tuna wicara sebagai
komunikan. Misalnya dalam kasus autisme, yaitu jenis
gangguan perkembangan serius yang mengganggu
kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi, ketika seorang
Terapis berhadapan dengan pasien autisme, maka ketika di
awal pertemuan Terapis harus mencari cara untuk menarik
perhatian pasien, karena pasien autisme cenderung sulit diajak
berkomunikasi, sehingga Terapis harus kreatif dalam menarik
perhatian.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menafsirkan
bahwa perhatian menjadi salah satu indikator penting dalam
mengimplementasikan strategi komunikasi persuasif kepada
pasien. Setiap Terapis dituntut untuk kreatif dalam menarik
perhatian pasien, misalkan dengan cara mendengarkan apa
yang pasien katakan dengan antusias dan memberikan apa
yang diinginkan pasien agar menuruti arahan Terapis.
Kemudian, ketika observasi peneliti mendapatkan Terapis
Attention
93
dengan sesekali menyentuh pasien agar membangun
keakraban, sehingga mudah dalam menarik perhatian pasien.
2. Comprehension (Pemahaman)
Pemahaman merupakan bagian dari karakteristik yang
disampaikan oleh Hovland. Pemahaman akan menjadi sangat
penting ketika komunikator menyampaikan sesuatu ke
komunikan, dengan memberikan pemahaman yang sederhana
komunikan mampu menerima sesuatu yang disampaikan,
sebaliknya jika orang yang dipersuasi tidak memahami pesan,
maka mereka tidak bisa dipersuasi oleh pesan itu.99
Selain perhatian dimana menjadi salah satu indikator
penting dalam proses berjalannya strategi komunikasi
persuasif, selain itu pemahaman juga menjadi hal penting
ketika proses terapi berlangsung. Ketika Terapis
menyampaikan sesuatu dalam proses terapi, seorang Terapis
harus bisa memastikan pasien memahami apa yang dikatakan
Terapis. Misalkan dalam kasus autisme, Terapis memberikan
stimulus dengan meletakkan permainan yang mengasah
motorik, yaitu meletakkan 2 buah kartu, dimana satu kartu
bergambar dan satu kartu yang lain berupa kata-kata, pasien
diarahkan untuk mencocokkan antara kedua kartu tersebut.
Ketika pasien mampu mencocokkan maka Terapis bisa
melanjutkan metode selanjutnya, jika pasien belum bisa
99 Perloff, The Dynamics of Persuasion; Communication andAttitudes in the 21st Century ( New Jersey: Lawrence Erlbaum AssociatesPublisher, 2003), 121.
Comprehension
94
terlihat anak belum memahami dan Terapis mengulang arahan
hingga beberapa kali.
Berdasarkan penjelasan di atas, peneliti menafsirkan
bahwa pemahaman menjadi salah satu indikator penting
dalam mengimplementasikan strategi komunikasi persuasif
kepada pasien selain perhatian. Terapis dituntut untuk teliti
dalam memastikan jika anak sudah mampu melakukan apa
yang diarahkan Terapis, agar proses terapi berjalan dengan
progresif.
3. Learning (Pembelajaran)
Proses belajar menjadi sangat penting dalam sebuah
proses pembelajaran, ketika komunikator mampu
menyampaikan pesan secara komunikatif kepada komunikan,
maka proses pembelajaran akan berjalan dengan optimal.100
Dalam hal ini proses pembelajaran diantara Terapis dengan
pasien penyandang tuna wicara, kemudian Terapis harus
menyesuaikan proses pembelajaran dengan kondisi pasien.
Selain itu harus merangkai kata-kata agar lebih mudah
dipahami pasien.
Kemudian, pemahaman sebagai salah indikator saling
berkaitan dengan pembelajaran, yaitu Terapis harus
menyampaikan arahan secara sederhana kepada pasein saat di
100 Perloff, The Dynamics of Persuasion; Communication andAttitudes in the 21st Century ( New Jersey: Lawrence Erlbaum AssociatesPublisher, 2003), 121.
Learning
95
klinik, selain itu proses pembelajaran juga dilakukan di
rumah, karena peran orang tua sangat penting di tahap ini.
Misalnya dalam kasus gagap, pasien yang mengalami
gangguan komunikasi ini harus menjalani proses
pembelajaran yang secara berkala. Ketika di klinik anak
diberikan latihan olah vokal, latihan dalam mengatur
pernafasan, latihan dalam menyebutkan huruf konsonan dan
lain-lain. Kemudian proses terapi di klinik hanya berjalan
selama 1 jam perhari, sehingga membutuhkan waktu lebih
untuk berlatih, disini peran orang tua sangat diharapkan agar
mampu berlatih dengan maksimal saat di klinik maupun di
rumah. Jika peran orang tua disini kurang maksimal, maka
pembelajaran akan berjalan lamban, sehingga dampaknya
akan memakan proses terapi yang lebih lama.
Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menafsirkan
strategi komunikasi persuasif dalam proses belajar sangat
penting. Dalam tahapan ini kerjasama antara Terapis dengan
orang tua saling berkaitan. Orang tua tidak bisa
mengharapkan terapi hanya dilakukan saat di klinik saja, oleh
karena itu proses belajar akan berjalan dengan optimal dan
cepat apabila orang tua dengan Terapis membangun strategi
bersama.
4. Acceptance ( Penerimaan)
Dikatakan apabila orang yang dipersuasi menolak
pesan yang disampaikan meski mereka memperhatikan dan
memahami pesan yang disampaikan, mereka tidak mungkin
96
bisa dipersuasi oleh pesan tersebut. Seperti yang terdapat
dalam buku Hovland, yang berjudul ‘Dynamics of
Persuasion’, untuk dapat terpengaruh oleh komunikasi
persuasif, seseorang harus memperhatikan, memahami,
mempelajari, menerima dan menyimpan pesan persuasi
tersebut.101 Dalam aspek ini penerimaan dimaksudkan, ketika
komunikator memberikan pemahaman kepada komunikan
secara berkala, kemudian komunikan memperoleh proses
pembelajaran.
Dalam aspek ini, penerimaan dalam diri yang
dilakukan pasien dimaksudkan agar pasien menerima segala
macam proses terapi dengan baik. Sebaliknya jika pasien
tidak mampu menerima dalam dirinya, ditunjukkan dengan
menolak dan menunjukkan emosinya, maka akan terasa sulit.
Proses belajar dan penerimaan dalam diri pasien saling
berkaitan, yaitu proses belajar yang dilakukan secara
konsisten, persisten, dan komunikatif akan memudahkan
pasien dalam menerima pesan yang disampaikan oleh Terapis
dan mampu dilakukan oleh pasien.
Misalnya dalam kasus pasien gagap, ditahap awal
seorang Terapis diharuskan untuk meyakinkan dan
memberikan motivasi kepada pasien, yaitu dengan proses
101 Perloff, The Dynamics of Persuasion; Communication andAttitudes in the 21st Century ( New Jersey: Lawrence Erlbaum AssociatesPublisher, 2003), 121.
Acceptance
97
terapi yang dijalankan akan berdampak positif apabila
mengikuti arahan Terapis, selain itu orang tua juga harus
memotivasi pasien bahwasanya dengan menjalankan proses
terapi dengan rajin dan tidak malas akan memberikan hasil
yang positif, yaitu bisa mengontrol cara bicaranya hingga
normal. Di tahap penerimaan ini, pasien akan berhasil
menerima bahwa dirinya dapat berhasil apabila yakin
terhadap dirinya sendiri dan yakin terhadap dukungan orang
tua serta Terapis.
Berdasarkan penjelasan yang peneliti paparkan di atas,
dapat dikatakan salah satu strategi komunikasi persuasif yaitu
proses penerimaan terhadap diri pasien sangat penting. Akan
berbeda hasil akhirnya apabila pasien tidak dapat menerima
keterbatasan yang ada dalam dirinya, sehingga proses
penerimaan tidak bisa dilewatkan dan menjadi salah satu
indikator penting dalam keberhasilan proses terapi.
5. Retention ( Penyimpanan)
Dalam aspek penyimpanan, seorang komunikator
dituntut ketika menyampaikan pesan ke komunikan secara
berkala, terukur dan menyampaikan dengan baik, sehingga
komunikan akan lebih mudah dalam memahami materi yang
disampaikan. Seperti yang terdapat dalam buku Hovland,
yang berjudul ‘Dynamics of Persuasion’, untuk dapat
terpengaruh oleh komunikasi persuasif, seseorang harus
memperhatikan, memahami, mempelajari, menerima, dan
98
menyimpan pesan persuasi tersebut.102 Penyimpanan sangat
berkaitan dengan kemampuan daya pikir dan daya serap
pasien yang beragam jenisnya, dimana akan berbeda jangka
waktu untuk setiap pasien dalam menjalankan proses terapi,
hingga akhirnya sesuatu yang didapatkan saat di klinik dapat
diterapkan dimanapun pasien berada.
Dalam kasus gagap, ketika pasien menjalankan masa
terapi yang hingga berbulan-bulan didukung oleh aspek
penerimaan akan memudahkan pasien dalam berinteraksi
langsung di kehidupan nyata. Pasien yang sebelumnya
kesulitan untuk berbaur dengan orang lain karena cemas
dengan cara bicaranya, akan berbeda dengan setelah
mengikuti rangkaian terapi. Dengan proses pembelajaran dan
penerimaan yang baik akan membangun mental yang kuat
pada diri anak, didukung juga oleh motivasi yang diberikan
Terapis maupun orang tua. Pasien dapat berbaur dengan
menggunakan beragam macam tehnik, seperti
mengkondisikan dirinya agar bisa mengkondisikan dirinya
untuk tenang, relaks dan mengucapkan kata per kata dengan
pelan-pelan, dimana berjalan secara otomatis dikarenakan
proses terapi yang intensif.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan aspek
penyimpanan menjadi hasil akhir yang menentukan pasien
agar dapat berbaur dengan baik di kehidupan nyata. Pasien
102 Perloff, The Dynamics of Persuasion; Communication andAttitudes in the 21st Century ( New Jersey: Lawrence Erlbaum AssociatesPublisher, 2003), 121.
99
yang sebelumnya cemas dengan cara bicaranya, kemudian
dengan proses pembelajaran dan penyimpanan yang dilatih
baik di klinik maupun di rumah secara berkala, mampu
memberikan dampak yang lebih baik. Selain itu poin penting
lainnya, motivasi dalam diri yang membara akan membantu
pasien dalam mengaplikasikan apa yang telah didapatkan saat
proses terapi.
Dari 5 tahap yang dilakukan Terapis, ditemukan pada
tahap perhatian yang menjadi acuan awal dalam proses terapi
dan hasil wawancara pada 6 informan menunjukkan tahap
perhatian menjadi aspek yang dominan dilakukan setiap
Terapis, sehingga pada tahap perhatian menjadi tahap yang
penting dalam mengkondisikan beragam jenis klien yang
kondisinya beragam. Pada tahap perhatian ini, setiap Terapis
harus kreatif dalam menarik perhatian agar klien mudah di
ajak komunikasi dan bisa menjalankan proses terapi dengan
nyaman.
Berikut ini adalah penerapan 5 tahap pada kasus anak
gagu. Pada tahapan pertama, terapis harus mencari cara untuk
menarik perhatian anak agar nyaman, seperti mengajak bicara
dengan pasien agar tenang dan tercipta hubungan , kemudian
terapis memberikan pemahaman agar klien memahami setiap
perkataan yang disampaikan, seperti dalam memberikan
stimulus berupa permainan yang mengasah motorik, dimana
satu kartu bergambar dan satu kartu yang lain berupa kata-
kata, klien pun diarahkan untuk mencocokkan kata-kata
100
tersebut. Ketika klien mampu mencocokkan maka Terapis
bisa melanjutkan metode selanjutnya. Kemudian, melanjutkan
ke tahap pembelajaran, dalam tahap ini setiap Terapis akan
memberikan materinya secara praktek agar diikuti klien dan
bisa diterapkan di rumah bersama orang tua.
Dalam tahap selanjutnya yaitu penerimaan, setiap
Terapis akan meyakinkan kliennya untuk menerima proses
terapi dan menyadari akan pentingnya setiap proses yang
berjalan, sehingga klien gagu akan termotivasi dalam
menjalani terapi. Tahapan terakhir yaitu penyimpanan, dalam
tahap ini Terapis akan memastikan klien gagu memahami
segala macam bentuk terapi yang dilakukan, dengan
mengulang kembali dan menstimulus klien dalam
menerapkan tehnik yang sudah diajarkan selama sekian bulan,
sehingga Terapis mampu melihat perkembangan positif dari
proses terapi yang telah dilakukan.
Dapat dikatakan ke 5 aspek di atas saling melengkapi
satu sama lain, dimana setiap aspek mampu mendukung
dalam strategi komunikasi persuasif yang dilakukan oleh
Terapis, setiap aspek menjelaskan secara komprehensif
mengenai proses apa saja yang diterapkan oleh Terapis
kepada pasien autisme, gagap, hyperactive dan lain-lain.
Kemudian, strategi komunikasi persuasif yang baik akan
berjalan optimal apabila didukung oleh kemampuan Terapis
dalam berkomunikasi secara interaktif tanpa memberikan
tekanan yang berlebih kepada pasien, sehingga pasien
101
menjadi nyaman dalam menerima proses terapi yang
diberikan.
Dari 5 tahap yang dilakukan Terapis, ditemukan pada
tahap perhatian yang menjadi awal mulai dalam proses terapi
dan hasil wawancara pada 6 informan menunjukkan tahap
perhatian menjadi aspek yang dominan dilakukan setiap
Terapis, sehingga pada tahap perhatian menjadi tahap yang
penting dalam mengkondisikan beragam jenis klien yang
kondisinya beragam. Pada tahap perhatian ini, setiap Terapis
harus kreatif dalam menarik perhatian agar klien mudah di
ajak komunikasi dan bisa menjalankan proses terapi dengan
nyaman.
B. Faktor pendukung dan penghambat yang dihadapiTerapis Klinik Bina Wicara saat berhadapandengan pasien dalam proses komunikasi persuasif
Hal yang mendasar dalam keberhasilan proses
komunikasi persuasif, dapat diukur dari faktor pendukung dan
faktor penghambat. Berkaitan dengan proses komunikasi
persuasif antara Terapis dengan pasien, erat kaitannya faktor
pendukung untuk memberikan keberhasilan pada proses
terapi, karena dengan beberapa faktor ini akan mempercepat
proses terapi. Kemudian faktor penghambat sebagai
pembelajaran dan pemicu agar seorang Terapis dapat
memberikan hasil yang lebih baik. Kemudian dalam proses
komunikasi persuasif pasien akan mendapatkan terapi secara
maksimal apabila ada kerjasama yang optimal diantara
102
Terapis dengan orang tua, jika sebaliknya besar kemungkinan
proses terapi berjalan gagal atau berjalan lamban.
Berdasarkan hasil penelitian yang peneliti lakukan terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi proses komunikasi
persuasif yang dilakukan Terapis terhadap pasien, yaitu terdiri
dari beberapa faktor.
1. Faktor Pendukung
a) Sarana dan Prasarana
Hal yang mendasar dalam memberikan proses
terapi adalah sarana yang memadai, karena akan
mempermudah Terapis dalam menjalankan
rangkaian proses terapi yang intensif. Didukung
oleh perlengkapan yang memadai seperti papan
tulis, mainan dan lain sebagainya, yang akan
mempermudah Terapis dalam membujuk pasien
agar mudah dalam menjalankan proses terapi. Pada
kasus pasien dewasa, lingkungan yang nyaman
akan memberikan kemudahan kepada mereka untuk
terbuka kepada Terapis, karena pasien harus
memberikan informasi mengenai dirinya secara
maksimal tanpa tertutup. Sarana yang diberikan
Klinik Bina Wicara, yaitu ruangan kecil
mendukung dalam proses terapi.
b) Kredibilitas Terapis
Berdasarkan wawancara Terapis dengan
beberapa narasumber, ditemukan bahwasanya
103
sangat penting seorang Terapis mempunyai
kredibilitas yang baik, yaitu ditunjukkan dengan
mengikuti perkuliahan di D3 Akademi Terapi
Wicara Jakarta Pusat, dimana akademi ini masih
dalam satu naungan dengan Klinik Bina Wicara
Jakarta Pusat. Dimaksudkan agar seseorang yang
memberikan proses terapi memiliki keilmuan yang
berkualitas, sehingga tidak bisa belajar secara
ototidak dan tidak bisa membuka jasa praktek
maupun membuka klinik praktek sendiri.
Kemudian, 2 aspek penting yang disebutkan
oleh Onong Uchjana Effendy dalam melakukan
kegiatan komunikasi yaitu sumber daya tarik
(source attractiveness) dan sumber kepercayaan
(source credibility), dimana sumber daya tarik
sebagai suatu hal yang harus diutamakan Terapis
dalam menyampaikan pesannya dan sumber
kepercayaan yaitu kepercayaan dari keahlian yang
dijalankan Terapis saat menempuh pendidikan D3
Akademi Terapi Wicara.
Selanjutnya Onong Uchjana Effendy
menyebutkan bahwa faktor penting pada
komunikator pada saat melakukan kegiatan
komunikasi adalah sumber daya tarik (source
104
attractiveness) dan sumber kepercayaan (source
credibility), yaitu sebagai berikut103:
a. Sumber daya tarik
Seorang komunikator akan berhasil dalam
berkomunikasi, akan mampu mengubah sikap,
opini dan perilaku komunikan melalui mekanisme
daya tarik jika komunikan bersedia taat pada isi
pesan yang dilancarkan komunikator.
b. Sumber kepercayaan
Faktor kedua yang bisa menyebabkan
komunikasi berhasil adalah kepercayaan
komunikan pada komunikator. Kepercayaan ini
banyak bersangkutan dengan profesi atau keahlian
yang dimiliki seorang komunikator. Selain dari
kedua pendapat di atas pengertian kredibilitas juga
dikemukakan beberapa pakar komunikasi.
Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah bukunya yang
berjudul “Psikologi Komunikasi”, mengartikan
kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikate
atau khalayak mengenai sifat-sifat komunikator.
Dalam hal ini, sumber daya tarik melekat pada
strategi komunikasi persuasif yang
dimplementasikan oleh Terapis dan sumber
kepercayaan melekat pada keilmuan yang dimiliki
103 Onong Uchjana E. Ilmu, teori dan Filsafat Komunikasi(Bandung ; PT. Citra Aditya Bakti, 2003), 43.
105
setiap Terapis, dimana mereka tempuh dalam
pendidikan D3 di Akademi Terapi Wicara. Kedua
aspek ini saling berkaitan erat dalam keberhasilan
selama proses terapi.
Kemudian, 2 aspek penting yang disebutkan
oleh Onong Uchjana Effendy dalam melakukan
kegiatan komunikasi yaitu sumber daya tarik
(source attractiveness) dan sumber kepercayaan
(source credibility), dimana sumber daya tarik
sebagai suatu hal yang harus diutamakan Terapis
dalam menyampaikan pesannya dan sumber
kepercayaan yaitu kepercayaan dari keahlian yang
dijalankan Terapis saat menempuh pendidikan D3
Akademi Terapi Wicara.
c) Terapis yang berpengalaman
Setiap Terapis sebelum terjun ke ruang lingkup
pekerjaan, telah menjalani masa pendidikan. Dalam
masa pendidikan yang berlangsung 3 tahun di
Akademi Terapi Wicara tidak hanya sekedar belajar
teori dan mahasiswa diberikan kesempatan untuk
Praktik Kerja Lapangan, sehingga mahasiswa
sebelum lulus telah mengetahui kondisi nyata di
lapangan. Oleh karena itu setiap Terapis yang lulus
telah memiliki pengalaman yang cukup untuk
langsung melamar kerja diberbagai lembaga yang
membutuhkan Terapis. Selain itu Terapis yang
106
mempunyai pengalaman akan lebih mudah dalam
menghadapi pasien pertamanya.
d) Kerjasama dengan orang tua
Salah satu hal terpenting dalam keberhasilan
proses komunikasi persuasif dengan adanya
dukungan orang tua yang ikut membantu Terapis,
dengan ini proses terapi akan berjalan dengan baik.
Peneliti menemukan saat melakukan wawancara
terhadap 6 orang informan, mereka menyatakan ada
banyak orang tua yang ikut membantu proses terapi
saat dirumah dan ada juga yang hanya
mengharapkan terapi saat di klinik, sehingga
berbeda hasil akhirnya dengan orang tua membantu
Terapis.
2. Faktor Penghambat
a) Kesulitan dalam mengkondisikan pasien
Kondisi pasien dalam Klinik Bicara Wicara
sangat beragam jenis tuna wicaranya dan beragam
pula karakter serta sifat pasien. Seperti kasus anak
yang hyperactive, beberapa anak yang Terapis
hadapi terkadang sulit untuk diajak duduk dan
dominan untuk bermain dan berlarian, sehingga
Terapis harus mampu dalam mengajak anak dengan
lembut dan tidak terbawa emosi. Oleh karena itu,
dalam hal ini menjadi perhatian penting, karena
107
setiap Terapis harus siap dalam mengatasi berbagai
macam pasien yang sangat beragam jenisnya.
b) Strategi yang tidak cocok.
Ketika di awal pertemuan, Terapis akan
melakukan assessment, yaitu proses untuk
mengetahui kemampuan seseorang, terhadap suatu
kompetensi, berdasarkan bukti-bukti yang
ditemukan saat bertemu dengan pasien dan orang
tua. Strategi yang direncanakan saat awal bisa saja
tepat, tetapi ketika ditengah proses terapi beberapa
Terapis menyatakan pendapat bahwasanya
ditemukan dalam beberapa kasus strategi terpaksa
harus diubah, karena dirasa tidak cocok.
Dampaknya masa proses terapi berjalan hingga
lama, bahkan peneliti menemukan saat melakukan
wawancara dengan salah satu Terapis, terdapat
beberapa pasien yang sudah melangsungkan proses
terapi hingga 3 tahun, disebabkan pasien
membutuhkan penanganan khusus.
Oleh karena itu, ketika Terapis menemukan
strategi yang tidak tepat, maka akan dilakukan
evaluasi dengan orang tua dan jika diperlukan
Kepala Klinik Bina Wicara akan ikut ambil bagian
dalam mencari solusi yang terbaik.
108
BAB VI
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. SIMPULAN
Berdasarkan hasil temuan dan analisis data maka peneliti
menyimpulkan tentang Strategi Komunikasi Persuasif Terapis
kepada Penyandang Tuna Wicara dalam Meningkatkan
Kemampuan Berinteraksi Sosial pada Klinik Bina Wicara Jakarta
Pusat sebagai berikut:
1. Strategi komunikasi persuasif Terapis kepada penyandang
tuna wicara dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi
sosial pada Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat antara lain:
a. Attention (Perhatian)
Pada tahap perhatian, menjadi awal bagi setiap Terapis
dalam mengawali proses terapi, menjadi hal yang pasti
dilakukan setiap Terapis agar setiap pasien mampu
mengikuti proses terapi dengan antusias. Terapis pun
diharapkan dapat dengan mudah dan kreatif mengambil
perhatian pasien yang beragam jenisnya. Tahap ini di
lakukan oleh semua informan.
b. Comprehension (Pemahaman)
Pada tahap pemahaman, Terapis untuk memberikan
pemahaman yang sederhana dan mudah diserap oleh
pasien. Hal yang penting bagi setiap Terapis untuk
meramu pesan agar setiap pasien mampu memahami apa
yang dikatakan Terapis, selain itu dalam memberikan
pemahaman disesuaikan dengan kondisi pasien yang
109
beragam. Dalam tahapan ini dilakukan oleh setiap
informan.
c. Learning (Pembelajaran)
Pada tahap pembelajaran, Terapis memberikan
pemahaman secara sederhana dan mempraktekkan hal
apa saja yang harus diikuti dan diulang oleh pasien
selama menjalani proses terapi di klinik. Tahap ini juga
didukung oleh kerjasama dengan orang tua saat berada
di rumah agar optimal dalam menjalani proses terapi.
Dalam tahap ini ditemukan oleh setiap informan.
d. Acceptance (Penerimaan)
Pada tahap penerimaan, setiap Terapis akan memastikan
pasien menerima pembelajaran yang diberikan, selain itu
penerimaan dimaksudkan agar pasien memahami bahwa
dirinya perlu diberikan terapi, sehingga setiap Terapis
dituntut untuk memotivasi pasien mengenai pentingnya
menerima rangkaian proses terapi. Dalam tahap ini pun
ditemukan oleh setiap informan.
e. Retention ( Penyimpanan)
Dalam tahap penyimpanan, menjadi tahapan terakhir dan
setiap Terapis mengoptimalkan dalam memberikan
stimulus kepada pasien untuk memastikan mengingat
pesan yang diberikan saat proses terapi yang telah
diberikan selama beberapa kali pertemuan, kemudian
dalam tahapan ini peran orang tua menjadi faktor
penentu bahwa pasien mampu memahami pesan yang
telah disampaikan Terapis.
110
2. Faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi Terapis
Klinik Bina Wicara saat berhadapan dengan Pasien dalam
proses komunikasi persuasif, antara lain:
a. Faktor Pendukung
a) Sarana dan Prasarana
Pihak klinik sudah sangat maksimal dengan
memberikan pelayanan yang terbaik bagi setiap
pasien dan fasilitas yang disediakan sudah
mendukung dalam proses terapi serta ruangan yang
nyaman akan mempermudah proses terapi
b) Kredibilitas Terapis
Setiap Terapis sudah dipastikan mempunyai
kredibilitas yang baik, didukung oleh keilmuan yang
didapatkan, yang salah satunya mendalami keilmuan
terapi wicara di Akademi Terapi Wicara Jakarta
Pusat.
c) Terapis yang berpengalaman
Pada faktor ini, menjadi hal yang dimiliki setiap
Terapis, karena ketika terjun dilapangan setiap
Terapis dituntut untuk bekerja dengan maksimal,
dengan pengalaman yang dimiliki saat menjalani
perkuliahan dapat mengoptimalkan setiap Terapis
saat menjalankan proses terapi.
d) Kerjasama dengan orang tua
Sudah seharusnya setiap orang tua yang
mengharapkan kesembuhan pada anaknya juga ikut
terlibat dalam proses terapi. Tidak hanya
111
mengandalkan Terapis saat di klinik, melainkan orang
tua diharapkan mampu bekerjasama dengan Terapis
agar mempercepat proses penyembuhan pada pasien.
b. Faktor Penghambat
a) Kesulitan dalam mengkondisikan pasien
Setiap Terapis dituntut untuk menghadapi beragam
kondisi yang ada pada setiap pasien, kesulitan
menjadi hal yang sering dialami dan wajar, dengan
pengalaman dari waktu ke waktu akan menambah
jam terbang para Terapis dan akan mempermudah
kedepannya dalam menangani berbagai macam
kondisi yang dialami pasien.
b) Strategi yang tidak cocok
Setiap Terapis akan berhadapan dengan berbagai
macam jenis kondisi saat di lapangan, kondisi yang
terjadi apabila mendapati pasien yang membutuhkan
penanganan khusus seperti autisme, sehingga ketika
mendapati pasien yang membutuhkan penanganan
khusus, Terapis dengan cepat menambah atau
merubah strategi lain agar menemukan proses terapi
yang lebih tepat.
B. IMPLIKASI
Berdasarkan hasil penelitian tersebut dapat dikemukakan
implikasi secara teoritis dan praktis sebagai berikut:
1. Implikasi Teoritis
Peneliti membenarkan strategi komunikasi persuasif
sebagai proses yang dilakukan Terapis terhadap
112
penyandang tuna wicara yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial pada
lingkungannya.
Adapun model Hovland sebagai dasar dalam
menunjukkan bentuk komunikasi persuasif Terapis, dimana
ketika dikaji dapat terbagi menjadi beberapa macam bagian
yang dikupas secara mendalam. Penelitian ini juga dapat
menjadi panduan bagi Klinik Bina Wicara dan para Terapis
untuk menerapkan strategi komunikasi persuasif yang lebih
baik dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial
pada setiap pasien di Klinik Bina Wicara.
3. Implikasi Praktis
Hasil penelitian ini digunakan sebagai masukan bagi
klinik dan para Terapis. Selain itu, untuk menambah
pengetahuan sehubungan dengan proses terapi yang
diberikan, serta strategi yang lebih tepat dalam memberikan
sesi terapi ke setiap pasien, di samping itu diharapkan
mampu dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi
sosial setiap penyandang tuna wicara.
C. SARAN
Setelah melakukan penelitian mengenai Strategi
Komunikasi Persuasif Terapis kepada Penyandang Tuna wicara
dalam Meningkatkan Kemampuan Berinteraksi Sosial pada
Klinik Bina Wicara Jakarta Pusat, maka peneliti memiliki
beberapa saran, antara lain:
1. Saran Akademis
113
Penelitian ini kiranya dapat memberikan saran untuk
pengembangan ilmu komunikasi khususnya mengenai
Strategi Komunikasi Persuasif Terapis kepada Penyandang
Tuna wicara di Klinik Bina Wicara. Harapan peneliti
dengan diketahui strategi komunikasi persuasif seperti apa
yang dilakukan Terapis kepada penyandang tuna wicara
dalam meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial dapat
membantu Terapis dalam mengevaluasi proses terapi secara
mendalam agar lebih optimal. Diharapkan penelitian ini
dapat dijadikan acuan untuk penelitian sejenis dan dapat
diteliti lebih lanjut.
2. Saran Praktis
a. Kepada Klinik Bina Wicara
Agar strategi komunikasi persuasif Terapis kepada
penyandang tuna wicara dapat berjalan dengan lebih baik
dan maksimal, pihak klinik diharapkan dapat lebih intens
dengan lebih intensif dalam memberikan pemahaman
kepada orang tua atau wali, bahwasanya terapi akan
berjalan dengan optimal dengan cara mempertemukan para
orang tua atau wali dalam sebuah pertemuan khusus agar
dapat diberikan pemahaman dengan lebih mendalam
perihal pentingnya kontribusi orang tua dalam proses terapi
dan tidak hanya mengharapkan peran Terapis ketika berada
di klinik. Selain itu pihak Klinik Bina Wicara harus
memberikan edukasi ke masyarakat dengan lebih masif,
mengenai pentingnya membawa sanak keluarganya yang
membutuhkan terapi wicara, karena sosialiasi jadi hal
114
penting mengenai adanya terapi wicara yang masih
diketahui segelintir orang, sehingga menjadi hal yang
penting bagi pihak klinik untuk menyosialisasikan secara
luas dengan mengoptimalkan pada penggunaan sosial
media atau media yang lain.
b. Kepada Terapis Klinik Bina Wicara
Kepada para Terapis di Klinik Bina Wicara
diharapkan dapat lebih kreatif dalam berinteraksi, dapat
lebih sabar dalam setiap prosesnya serta meningkatkan cara
pengajaran agar lebih menggugah pasien dan lebih
semangat untuk mengikuti setiap rangkaian terapi.
115
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Abdurrachman, Muljono, dan Sudjadi. Pendidikan Luar BiasaUmum. Jakarta: Departemen Pendidikan danKebudayaan. 1994.
Applebaum, R.L dan Anatol, K.W.E. Strategies for PersuasiveCommunication. Ohio: A Bell & Howell, Co. 1974.
Barran, Stanley J. Introduction to Mass Communication,Mayfield Publishing Company, 2001.
Bulaeng, Andi. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer.Yogyakarta: Andi Offside. 2004.
Burhan, Bungin. Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada. 2001.
Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2002.
--------------------. Komunikasi Politik: Konsep, Teori danStrategi. Jakarta: Rajawali Pers. 2009.
--------------------. Perencanaan dan Strategi Komunikasi.Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2013.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar BahasaIndonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT GramediaPustaka Umum. 2013. Cet. Ke 7.
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen PendidikanNasional, 2007.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar BahasaIndonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2002. Cet. Ke-2 edisi3.
116
Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi.Bandung: Cipta Aditya. 1993.
----------------. Ilmu Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.2001.
----------------. Ilmu Komunikasi. Teori dan Praktek.nBandung:PT Remaja Rosdakarya, 2008. Cet. Ke 21
----------------. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung:Aditya Bakti 2004.
----------------. Dinamika Komunikasi. Bandung: RemajaRosdakarya. 2004.
Gerungan, W. A. Psikologi Sosial. Jakarta: PT ErescoBandung. 2003
Hamdi H, Abu. Psikologi Sosial. Jakarta: PT RafikaAditama. 2004.
Hovland, Carl, L. Definisi Komunikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2007.
Ilaihi, Wahyu. Komunikasi Dakwah. Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2010.
Liliweri, Alo. Komunikasi Serba Ada Serba Makna.Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011.
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, Analisis DataKualitatif, Jakarta: Universitas Indonesia UI-Press,
2009.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PTRemaja Rosdakarya, 2007.
Morissan, M.A. Psikologi Komunikasi. Bogor: PenerbitGhalian Indonesia. 2010.
Moss, Sylvia. Human Communication: Prinsip-Prinsip Dasar,(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1996
117
Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi. Bandung: PT RemajaRosdakarya. 2012.
Nugroho, Vincent. Strategi Komunikasi Untuk SuksesMenjalin Relasi. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2012.
Partanto, Pius A, dan M. Dahlan Barry. Kamus Ilmiah Populer.Surabaya: Arkola, 1994.
Pringgodigdo, Mr. AG. Ensiklopedi Umum. Yogyakarta:Kanisius. 1987. Cet. Ke 7.
Rahmat, Jalaluddin. Metode Penelitian Komunikasi.Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 1995.
Rahmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung:Remaja Rosdakarya. 2001.
Rohidi, Tjetjep Rohendi, Analisis Data Kualitatif, Jakarta:Penerbit UI, 1992.
Roudhonah. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN Jakarta Pers, 2007.
Kafie, Jamaluddin, Psikologi Dakwah. Surabaya: Depag, 1993.
Soemantri, Sutjihati. Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung:Refika Aditama, 2007.
Saifuddin, Azwar. Sikap Manusia: Teori danpengukurannya. Yogyakarta: Liberty, 2000.
Shaw. Psikologi Sosial. Bandung : Rosdakarya, 2010.
Soemirat, Soleh, dkk. Komunikasi Persuasif. Jakarta:Universitas terbuka, 2007.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas.Jakarta : CV Rajawali, 2002.
Setiono, Kusdwiratri. Psikologi Keluarga. Bandung: PT.Alumni, 2011.
118
Purwanto, Heri, Suparno, dan Edi. Pendidikan AnakBerkebutuhan Khusus, 2007.
Smith, Mark K. dkk. Teori Pembelajaran dan Pengajaran;Mengukur Kesuksesan Anda dalam ProsesBelajar dan Mengajar Bersama Psikolog PendidikanDunia. terj. Abdul Qodir Shaleh. Mirza MediaPustaka. Yogyakarta. 2009.
Thibaut, Kelley. Teori Sosiologis Edisi Keenam. Jakarta:Rineka Cipta, 2008.
Venus, Antar. Manajemen Kampanye. Bandung: SimbiosaRekatama Media, 2009.
Yosal Irianto, Dedy Jamaluddin Malik. Komunikasi Persuasif.Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994.
Zamroni, Muhammad. Filsafat Komunikasi. Yogyakarta: GrahaIlmu, 2009.
Sumber Jurnal
Rusuli, Izzatur,“Refleksi Teori Belajar Behavioristik DalamPerspektif Islam", Jurnal Pencerahan,Volume 8, Nomor 1,Juli– Desember (2014).
Lestari,Mita,“Strategi Komunikasi Persuasif Dalam MenarikMinat Kreditur Untuk Melakukan Kredit Di PT. AdiraFinance Pekanbaru”. Jom FISIP Volume 4 No.2(2017).
Winoto, Yunus,“Penerapan Teori Kredibilitas Sumber(Source of Credibity) Dalam Penelitian-penelitianLayanan Perpustakaan”, Jurnal Pencerahan Tahun 5,Volume 5 No. 2 Nopember (2015).
Sumber Internet
Badan Pusat Statistik. Jumlah Disabilitas berdasarkan SurveiPenduduk Antar Sensus (SUPAS),
119
http://www.bps.go.id/publication/2016/11/30/41ccbadf0b914534f5c08a62/penduduk-indonesia-hasil-supas-2015.html.
Definition of therapist, The Cambridge Advanced Learner'sDictionary & Thesaurus Cambridge University Press2019,https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/therapist.
Definition of therapist, English Oxford Living Dictionaries,Oxford University Press 2019,https://en.oxforddictionaries.com/definition/therapist.
120
LAMPIRAN
Transkrip Wawancara Penelitian
Penulis : M Dwiki Firmansyah
Narasumber : Hilda Sofia Hanafi, A.Md. T.W
Jabatan : Kepala Klinik Bina Wicara
Hari/Tanggal : Rabu, 24 Juli 2019
Waktu wawancara : 11.15 WIB
Tempat wawancara : Klinik Bina Wicara
Tipe wawancara : Wawancara Tatap Muka
Penulis : Bagaimana cara Terapis dalam meramu pesan
kepada pasien Klinik Bina Wicara supaya
mereka mampu memahami dan mampu
menerapkan apa yang diajarkan Terapis untuk
berkomunikasi lebih baik?
Informan : Cara pendekatan ketika anak-anak pertama
kali datang masih maunya sendiri, kemudian
kita biarkan dulu untuk kita ikutin gimana
maunya, nah setelah itu kita adakan
pendekatan yaitu dengan melakukan terapi
sesuai dengan kemampuannya saat itu.
Transkrip 01
Penulis : Siapa saja yang berperan penting dalam
merumuskan strategi dalam lembaga Klinik
Bina Wicara ini?
Informan : Kalau dia datang ke klinik khusus terapi
wicara berarti yang berperan kepala klinik dan
Terapis wicaranya, kalo dia datang ke klinik
tumbuh kembang berarti yang berperan ada
psikolog, dokter rehab, tenaga terapi wicara
serta penunjang yang lain dengan kebutuhan
anaknya, misalkan anaknya selain bicara butuh
penanganan lain dia bisa dirujuk untuk
penanganan yang lain.
Penulis : Bagaimana langkah Klinik Bina Wicara
dalam mengevaluasi strategi dan apa yang
menjadi prioritas dalam proses evaluasi
tersebut?
Informan : Biasanya begini, setelah anak di terapi kita
mencari program yang tepat seperti apa, nah
setelah di evaluasi tidak ada perubahan yang
signifikan atau kemampuannya seperti itu jadi
kita mengambil cara lain supaya anak itu
dengan cara yang lain agar anak itu bisa maju,
caranya kita mencari program lain, jadi setiap
anak kan kemampuannya berbeda-beda,
sehingga ketika dengan cara ini tidak
bisa, maka dengan cara A baru dia bisa, jadi
ditentukan sebelum terapi itu ada jangka
pendek dan jangka panjang. Ketika jangka
pendek ini berhasil maka dilanjutkan jangka
panjang dan jika rencana jangka panjang juga
tidak berhasil maka dicari cara yang lain untuk
langkah selanjutnya agar anak itu ada
kemajuan.
Penulis : Tindakan apa yang dilakukan oleh Terapis
Klinik Bina Wicara setelah mengetahui hasil
evaluasi dari strategi tersebut?
Informan : Yaa kalo misalnya ternyata program yang
kita lakukan tidak cocok dengan anak atau
tidak sesuai dan tidak ada perubahan, kita
melakukan dengan cara yang lain, supaya anak
itu bisa lebih masuk dan mudah menerima
program terapi.
Penulis : Bagaimana upaya Klinik Bina Wicara dalam
menghasilkan proses persuasif yang berhasil
antara kedua belah pihak?
Informan : Upaya antara klinik dan Terapis sama, untuk
keberhasilan kepada pasien. Biasanya setiap
anak kan beda-beda, ada yang kita bujuk dia
bisa, dan ada juga yang tidak bisa dibujuk, nah
kalo dia berhasil melakukan sesuatu kita
biasanya memberikan reward dalam bentuk
benda ataupun tepukan tangan atau ucapan
bagus/pintar.
Penulis : Apa yang menjadi tolak ukur dalam
keberhasilan proses persuasif antara kedua
belah pihak?
Informan : Keberhasilan itu diliat antara kerjasama orang
tua, pasien dan Terapis, jadi gini keberhasilan
itu didukung oleh orang tua, kalo kita
sebagai Terapis kerja keras untuk melatih anak
ternyata dari orang tua hanya diam saja dan
tidak ada dukungan serta memperhatikan anak
otomatis kemajuan itu tidak ada tapi kalo orang
tuanya semangat mengantar anaknya terapi
tetapi Terapisnya tidak mendukung itu sama
saja tidak akan berhasil. Kemudian, jika yang
diajarkan di tempat terapi tidak diulang-
ulang oleh orang tua. Oleh karena itu,
keberhasilan berkat kerjasama antara orang
tua, anak dan Terapis. Jika anaknya semangat
dan orang tuanya tidak peduli, itu susah dalam
mengharapkan kemajuan, karena banyak kasus
disini ketika orang tuanya cuek maka
keberhasilannya lama, karena secara psikologis
mungkin anak itu merasa orang tuanya tidak
peduli kepadanya dan tidak memperhatikan,
tetapi kalo orang tuanya melatih terus secara
berulang-ulang dirumah mengenai apa yang di
terapi di klinik, in syaa Allah tingkat
keberhasilannya akan tinggi.
Penulis : Hambatan apa yang dihadapi Terapis saat
menerapkan proses komunikasi persuasif
kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Kadang-kadang hambatannya kalau mood
anaknya kurang bagus, terus kadang-kadang
apa namanya marah-marah nahh itu menjadi
hambatan bagi saya sebagai Terapis wicara
untuk bisa berkomunikasi dengan anak, karena
dia tidak mengerti apa yang dia ingin katakan
tapi dia hanya bisa menangis dan marah-
marah untuk mengungkapkan keinginan dia,
jadi yang agak sulit yang tiba-tiba marah,
nangis atau tiba-tiba tidak mau mengikuti
program yang diarahkan Terapis wicara.
Penulis : Apakah pernah gagal dalam menjalani masa
proses persuasif tersebut dan mengapa?
Informan : Kegagalan pasti ada, tapi biasanya kita cari
cara lain untuk menerapkan program terapi lain
kepada anak, misalkan cara ini tidak bisa, kita
coba cari cara lain, biasanya seperti itu.
Biasanya kita menentukan program A tetapi
kok tidak bisa, nah berusaha menemukan cara
lain, biasanya program itu sampai 3 atau 6
bulan dan jika tidak ada perubahan maka kami
melakukan evaluasi bersama orang tua untuk
terapi tindak lanjut yang harus dilakukan.
Penulis : Menurut pandangan Terapis, seberapa penting
interaksi sosial pasien dengan lingkungan
sekitar saat pasien sedang menjalani proses
terapi dalam kurun waktu tertentu?
Informan : Penting untuk para klien untuk bisa
berkomunikasi dengan lingkungan luar, karena
kalau nanti dia tidak bisa berkomunikasi
dengan lingkungan luar, nanti akan timbul
putus asa, kesal karena tidak bisa
mengungkapkan apa yang dia inginkan, yang
ada timbulnya jadi marah-marah, jadi penting
banget klien untuk bisa berkomunikasi
dengan lingkungan luar, kemudian cara dia
bisa bersosialisasi itu dengan di sekolahkan
atau dengan dia berbaur dengan lingkungan di
rumah, begitu.
Penulis : Bagaimana seorang Terapis dapat disebut
berhasil dan kredibel dalam menjalani proses
terapi kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Kalau untuk terapi wicara kita kan ada
akademinya, kalau dia sembarang menjadi
terapi wicara itu mah tidak mungkin, karena
dia tidak mampu untuk melakukan terapi
kepada pasien. Kemudian, dikatakan Terapis
bisa dibilang berhasil ketika pasien datang ke
kita dia tidak bisa berkomunikasi atau tidak
bisa bicara dan ketika datang kesini sudah bisa
sedikit lancar ngomong dan berkomunikasi
menentukan keinginannya dengan terbata-bata
atau dia sudah mengerti maksudnya Terapis
bagi saya sudah berhasil, karena setiap anak itu
berbeda-beda, misalnya si A kemampuannya
tidak bisa berbicara yang artikulasinya tidak
tepat, dateng ke klinik dia sudah bisa
mengucapkan satu kata dengan jelas walaupun
kemampuan lain belum mengikuti usianya
tetapi setidaknya sudah berhasil bagi saya,
karena yang awalnya tadi datang nangis,
marah, ngamuk dan dia sudah bisa
mengikuti pelajaran dengan duduk tenang serta
patuh, itu bagi saya sudah keberhasilan
walaupun belum maksimal, karena anak
berkebutuhan khusus tidak bisa disamakan
dengan anak yang normal, oleh karena itu jika
kemampuannya sudah mendekati sesuai usia
tumbuh kembangnya sudah mengerti apa yang
dibicarakan oleh orang lain, buat saya itu sudah
berhasil.
Informan,
Transkrip Wawancara Penelitian
Peneliti : M Dwiki Firmansyah
Narasumber : Anjarsari Sulistyowati, A.Md. T.W
Jabatan : Terapis Wicara
Hari/Tanggal : Rabu, 24 Juli 2019
Waktu wawancara : 11.40 WIB
Tempat wawancara: Klinik Bina Wicara
Tipe wawancara : Wawancara Tatap Muka
Penulis : Bagaimana cara Terapis dalam meramu pesan
kepada pasien Klinik Bina Wicara supaya
mereka mampu memahami dan mampu
menerapkan apa yang diajarkan Terapis untuk
berkomunikasi lebih baik?
Informan : Biasanya sih kita memahami kliennya dulu,
misalkan dari vokalnya seperti apa, supaya
klien tau maksud yang kita sampaikan, baru
setelah itu dilanjut lagi ke komunikasinya.
Penulis : Siapa saja yang berperan penting dalam
merumuskan strategi dalam lembaga Klinik
Bina Wicara ini?
Transkrip 02
Informan : Yang pasti harus bekerjasama dengan orang
tuanya yaa, kalau orang tuanya tidak bisa
diajak kerjasama percuma kan soalnya sama
Terapis kan hanya satu jam dan dirumah lebih
banyak waktunya, begitu. Selain itu juga
dibutuhkan psikolog untuk membantu dalam
proses terapi, tetapi tidak ada disini dan dilain
tempat, karena berkesinambungan dengan
proses terapi yang kita lakukan.
Penulis : Bagaimana langkah Klinik Bina Wicara
dalam mengevaluasi strategi dan apa yang
menjadi prioritas dalam proses evaluasi
tersebut?
Informan : Yang penting si anak udah bagus dalam
pemahamannya, trus udah bisa meniru atau
kalau ditanya sudah bisa berkomunikasi dua
arahnya, udah bagus gitu. Biasanya kita
evaluasi 3 bulan sekali, itu juga kalau
orang tuanya minta dan kalo tidak yaa tidak
kita lanjut, yaa paling setelah proses terapi kita
sampaikan aja mengenai apa aja yang
dilakukan didalam.
Penulis : Tindakan apa yang dilakukan oleh Terapis
Klinik Bina Wicara setelah mengetahui hasil
evaluasi dari strategi tersebut?
Informan : Yaa dilanjutkan lagi program jangka panjang
untuk 6 bulan kedepan, soalnya kita disini ada
proses jangka pendek, terus jangka panjang
dalam waktu yang lama dengan tujuan anak itu
bisa berkomunikasi, anak bisa paham.
Penulis : Bagaimana upaya Klinik Bina Wicara dalam
menghasilkan proses persuasif yang berhasil
antara kedua belah pihak?
Informan : Jadi ketika diawal masuk, biasanya kita beri
mainan kalo dia nangis, kita ajak main kaya
gitu, biasanya untuk interaksi awal untuk
proses adaptasi, kalo main juga biasanya
seperti main puzzle.
Penulis : Apa yang menjadi tolak ukur dalam
keberhasilan proses persuasif antara kedua
belah pihak?
Informan : Yaa itu, anak bisa berkomunikasi seperti
tanya jawab, menjawab pertanyaan, kaya gitu.
Tolak ukur juga berbeda pada setiap anak,
karena tergantung berat ringannya kasus dalam
masa penanganan, misalnya anak sudah
mampu berbicara dalam artikulasinya aja
paling cuma berapa bulan dan kalo sama
sekali ga bisa komunikasi bisa sampe tahunan,
jadi tergantung berat ringannya.
Penulis : Hambatan apa yang dihadapi Terapis saat
menerapkan proses komunikasi persuasif kepada
pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Yaa itu tadi balik lagi, kalo kasusnya berat
yaa susah, ga cukup setahun mungkin bisa
bertahun-tahun penanganannya, tergantung
berat atau ringan kasusnya.
Penulis : Apakah pernah gagal dalam menjalani masa
proses persuasif tersebut dan mengapa?
Informan : Ada, pasien saya ada yang sudah 3 tahun
tetapi masih terus diterapi, jadi karena IQnya
rendah dan ketika dirumah kurang diajak
stimulasi oleh orang tua.
Penulis : Menurut pandangan Terapis, seberapa penting
interaksi sosial pasien dengan lingkungan
sekitar saat pasien sedang menjalani proses
terapi dalam kurun waktu tertentu?
Informan : Penting, karena mereka harus belajar bermain
dengan yang lain dan berbaur sama yang lain,
tidak menyendiri, penting banget sih interaksi,
emang tujuan terapi juga supaya anak juga
mudah dalam berinteraksi sosial, sehingga
tidak sibuk dengan dunianya sendiri, begitu.
Penulis : Bagaimana seorang Terapis dapat disebut
berhasil dan kredibel dalam menjalani proses
terapi kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Yaa saat anak itu sudah mampu
berkomunikasi, sudah bisa paham, sudah bisa
berinteraksi sosial. Kemudian, Terapis itu
harus mempunyai kredibel yang baik, secara
kita juga ada sekolahnya, jadi engga main-main
, jadi harus bener-bener belajar.
Informan,
Transkrip Wawancara Penelitian
Peneliti : M Dwiki Firmansyah
Narasumber : Hairani, A.Md. T.W
Jabatan : Terapis Wicara
Hari/Tanggal : Rabu, 24 Juli 2019
Waktu wawancara : 12.15 WIB
Tempat wawancara : Klinik Bina Wicara
Tipe wawancara : Wawancara Tatap Muka
Penulis : Bagaimana cara Terapis dalam meramu pesan
kepada pasien Klinik Bina Wicara supaya
mereka mampu memahami dan mampu
menerapkan apa yang diajarkan Terapis untuk
berkomunikasi lebih baik?
Informan : Biasanya sih kita memahami kliennya dulu,
misalkan dari vokalnya seperti apa, supaya
klien tau maksud yang kita sampaikan, baru
setelah itu dilanjut lagi ke komunikasinya.
Penulis : Siapa saja yang berperan penting dalam
merumuskan strategi dalam lembaga Klinik
Bina Wicara ini?
Transkrip 03
Informan : Yang pasti harus bekerjasama dengan orang
tuanya yaa, kalau orang tuanya tidak bisa
diajak kerjasama percuma kan soalnya sama
Terapis kan hanya satu jam dan dirumah lebih
banyak waktunya, begitu. Selain itu juga
dibutuhkan psikolog untuk membantu dalam
proses terapi, tetapi tidak ada disini dan dilain
tempat, karena berkesinambungan dengan
proses terapi yang kita lakukan.
Penulis : Bagaimana langkah Klinik Bina Wicara
dalam mengevaluasi strategi dan apa yang
menjadi prioritas dalam proses evaluasi
tersebut?
Informan : Yang penting si anak udah bagus dalam
pemahamannya, trus udah bisa meniru atau
kalau ditanya sudah bisa berkomunikasi dua
arahnya, udah bagus gitu. Biasanya kita
evaluasi 3 bulan sekali, itu juga kalau
orang tuanya minta dan kalo tidak yaa tidak
kita lanjut, yaa paling setelah proses terapi kita
sampaikan aja mengenai apa aja yang
dilakukan didalam.
Penulis : Tindakan apa yang dilakukan oleh Terapis
Klinik Bina Wicara setelah mengetahui hasil
evaluasi dari strategi tersebut?
Informan : Yaa dilanjutkan lagi program jangka panjang
untuk 6 bulan kedepan, soalnya kita disini ada
proses jangka pendek, terus jangka panjang
dalam waktu yang lama dengan tujuan anak itu
bisa berkomunikasi, anak bisa paham.
Penulis : Bagaimana upaya Klinik Bina Wicara dalam
menghasilkan proses persuasif yang berhasil
antara kedua belah pihak?
Informan : Jadi ketika diawal masuk, biasanya kita beri
mainan kalo dia nangis, kita ajak main kaya
gitu, biasanya untuk interaksi awal untuk
proses adaptasi, kalo main juga biasanya
seperti main puzzle.
Penulis : Apa yang menjadi tolak ukur dalam
keberhasilan proses persuasif antara kedua
belah pihak?
Informan : Yaa itu, anak bisa berkomunikasi seperti
tanya jawab, menjawab pertanyaan, kaya gitu.
Tolak ukur juga berbeda pada setiap anak,
karena tergantung berat ringannya kasus dalam
masa penanganan, misalnya anak sudah
mampu berbicara dalam artikulasinya aja
paling cuma berapa bulan dan kalo sama
sekali ga bisa komunikasi bisa sampe tahunan,
jadi tergantung berat ringannya.
Penulis : Hambatan apa yang dihadapi Terapis saat
menerapkan proses komunikasi persuasive
kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Yaa itu tadi balik lagi, kalo kasusnya berat
yaa susah, ga cukup setahun mungkin bisa
bertahun-tahun penanganannya, tergantung
berat atau ringan kasusnya.
Penulis : Apakah pernah gagal dalam menjalani masa
proses persuasif tersebut dan mengapa?
Informan : Ada, pasien saya ada yang sudah 3 tahun
tetapi masih terus di terapi, jadi karena IQnya
rendah dan ketika dirumah kurang diajak
stimulasi oleh orang tua.
Penulis : Menurut pandangan Terapis, seberapa penting
interaksi sosial pasien dengan lingkungan
sekitar saat pasien sedang menjalani proses
terapi dalam kurun waktu tertentu?
Informan : Penting, karena mereka harus belajar bermain
dengan yang lain dan berbaur sama yang lain,
tidak menyendiri, penting banget sih interaksi,
emang tujuan terapi juga supaya anak juga
mudah dalam berinteraksi sosial, sehingga
tidak sibuk dengan dunianya sendiri, begitu.
Penulis : Bagaimana seorang Terapis dapat disebut
berhasil dan kredibel dalam menjalani proses
terapi kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Begini, kita mengambil dari sini, KBW
adalah Klinik Bina Wicara yang dimana
terdapat Terapis wicara, yang dimana
semuanya sudah mempunyai sumpah dalam
menangani anak-anak yang mempunyai
gangguan komunikasi, sedangkan kalau bisa
disebut berhasil adalah pandangan objektif dari
orang tua kalau anak ini sudah bisa ngomong,
bisa jadi dengan lancar dan bisa jadi dengan
mereka sudah mengeluarkan kata, walaupun
mereka berkata-kata tapi padahal dalam
pandangan Terapis terdapat tingkatan kata,
wacana nanti ke komunikasi dua arah, begitu,
tapi kalau sudah mengeluarkan kata bisa
dianggap oh yaa bisa nih, setidaknya
kemajuannya sudah ada.
Informan,
Transkrip Wawancara Penelitian
Peneliti : M Dwiki Firmansyah
Narasumber : Diana Martini, Amd. TW
Jabatan : Terapis Wicara
Hari/Tanggal : Rabu, 24 Juli 2019
Waktu wawancara : 12.40 WIB
Tempat wawancara : Klinik Bina Wicara
Tipe wawancara : Wawancara Tatap Muka
Penulis : Bagaimana cara Terapis dalam meramu pesan
kepada pasien Klinik Bina Wicara supaya
mereka mampu memahami dan mampu
menerapkan apa yang diajarkan Terapis untuk
berkomunikasi lebih baik?
Informan : Jadi pendekatannya itu ada bermacam-macam
caranya, ada yang melalui visual, melalui
pendengaran dan ada yang melalui rasa. Jadi
kalau misalkan anak-anak, lemah salah satunya
yaa didukung, jadi pendekatannya semua harus
didukung, jadi ibaratnya anak-anak misalnya
gimana caranya anak-anak itu memahami, nah
Transkrip 04
kita ngajarinnya secara visual dulu, secara rasa
baru setelah itu digabungin, nah terus
setelahnya pendengaran itu otomatis kan
pendengaran juga dilakukan.
Penulis : Siapa saja yang berperan penting dalam
merumuskan strategi dalam lembaga Klinik
Bina Wicara ini?
Informan : Kalau ketika proses terapi hanya Terapis nya
saja yang merumuskan, kalau secara
keseluruhan memang kan kalo misalnya
metodologi itu misalnya metode buat terapi
untuk anak, biasanya kita yang
melakukan observasi, wawancara kemudian
ada assessment itu dari Terapis wicara, nanti
biasanya kalo misalnya kalau memang ada
orang tua yang mau konsultasi sama kepala
klinik yaa boleh, tapi biasanya sih konsultasi
sama kita gitu, mengenai apa sih yang mau kita
lakukan dirumah, biasanya gitu nanya nya
sama Terapisnya.
Penulis : Bagaimana langkah Klinik Bina Wicara
dalam mengevaluasi strategi dan apa yang
menjadi prioritas dalam proses evaluasi
tersebut?
Informan : Biasanya kita kalo mengevaluasi melihat dari
kemajuan dalam beberapa bulan yaa, istilahnya
kita punya program 3 bulan dan per 3 bulan itu
kita harus evaluasi sejauh mana si anak maju
gitu, istilahnya berkembang dan memang tidak
seoptimal orang normal tapi setidaknya dia bisa
berkomunikasi dengan orang, walaupun
memang terkadang ada yang kurang jelas dan
jelas tapi ada juga yang istilahnnya per 3 bulan
itu dia baru bisa satu dua hal, yang dimana bisa
dilaporkan ke orang tua.
Penulis : Tindakan apa yang dilakukan oleh Terapis
Klinik Bina Wicara setelah mengetahui hasil
evaluasi dari strategi tersebut?
Informan : Biasanya kita kan melakukan program
selanjutnya, misalnya anak itu tidak mampu
melakukan misalnya A dengan ajakan kepada
anak untuk ngomong mengenal angka 1 atau
mencoba menirukan ketika Terapis
mengucapkan kata-kata “buku” gitu, ternyata
ini anak baru bisa mengeluarkan awalan kata B
(mengucapkan behh), yang dimana Terapis
akan mengulang perkaatan yang sama kepada
anak, misalkan Terapis mengatakan “Ayo kita
ulangi lagi, kita pake vokalnya gimana,
sebutkan kata-kata Buh buu buku”. Oh yaa ada
lanjutannya mas, jadi kalo misalkan kita
ngomong itu misalkan satu gabisa gitu, jadi
urutannya dari bunyi, suku kata, frase dan
sintaksiskan kalimat.
Penulis : Bagaimana upaya Klinik Bina Wicara dalam
menghasilkan proses persuasif yang berhasil
antara kedua belah pihak?
Informan : Biasanya kalo misalkan anak-anak itu sudah
bisa diajak komunikasi dua arah, jadi misalkan
kita tanya ini dan dia sudah bisa menjawabnya,
kita nilai dia udah termasuk lulus sih, seperti
halnya dalam komunikasi ada decoding-
endcoding-feedback, nah disini ketika anak
sudah bisa merespon maka sudah baik.
Penulis : Apa yang menjadi tolak ukur dalam
keberhasilan proses persuasif antara kedua
belah pihak?
Informan : Tolak ukur gimana yaa, pokoknya ada
kerjasama ya ada kooperatif antara anak dan
Terapis itu seperti apa, misalkan dalam kasus A
saya harus membuat anak ini mermproduksi
kalimat 3 kata, nah dari situ tolak ukur saya
dengan 3 kata itu secara komunikasi dan si
anak bisa, nah itu sebagai tolak ukurnya, udah
gitu sebenarnya umur 2 tahun itu kan
seharusnya udah komunikatif yah, walaupun
rata-rata anak disini tuh melebihi dari umur,
jadi umur 7 tahun kadang baru bisa 2 kata,
belum bisa kalimat.
Penulis : Hambatan apa yang dihadapi Terapis saat
menerapkan proses komunikasi persuasif
kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Rata-rata anak-anak ini sebenernya paham,
ada juga yang engga, dilalahnya mereka untuk
komunikasi mengekspresikan apa yang dia
mau itu kurang, jadi kaya misalnya dia mau ini
tapi kita ga paham apa yang dia mau, nah itu
dia jadinya kaya orang marah, kaya orang
pengen sesuatu tapi susah gitu, kadang itu yang
bikin hambatan. Jadi memang masing-masing
anak kan berbeda ya, jadi ada yang ngamuk,
ada yang gigitin diri sendiri, bahkan Terapisnya
sendiri di pukul.
Penulis : Apakah pernah gagal dalam menjalani masa
proses persuasif tersebut dan mengapa?
Informan : Saya pernah merasa hopeless, jadi saya
pengennya anak seperti ini gitu tapi ternyata
kemampuan dia tuh ga bisa seperti itu,
makanya saya balik lagi sama Allah, jadi yaa
maunya saya seperti tapi anaknya tidak bisa
yaa saya jalankan saja prosesnya yaa mas.
Penulis : Menurut pandangan Terapis, seberapa penting
interaksi sosial pasien dengan lingkungan
sekitar saat pasien sedang menjalani proses
terapi dalam kurun waktu tertentu?
Informan : Penting banget, karena mereka kan akan
terjun dalam lingkungan masyarakat dan lebih
banyak di jamnya mereka itu berada di
lingkungan rumah, seperti halnya ada orang
tua, lingkungan sekitar. Nah disini juga Terapis
kan hanya bertemu sama anak cuma satu jam
dan seminggu 2 kali, nah tanpa dukungan
orang terdekat dan lingkungan dia ga ada
istilahnya kemajuan sama sekali. Seperti
halnya ada kasus, anak cuma diantar jemput
sama orang tuanya tanpa komunikasi yang baik
gabisa anak itu maju, kaya gitu. Jadi kalau bisa
sih diperlukan kerjasama orang tua dengan
Terapis dan lingkungan sekitar, jadi saling
mendukung, istilahnya simbiosis mutualisme
gitu mas, karena tanpa dukungan sama aja
boong gitu.
Penulis : Bagaimana seorang Terapis dapat disebut
berhasil dan kredibel dalam menjalani proses
terapi kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Jadi seorang Terapis Wicara itu kan
membutuhkan ilmu untuk menangani anak-
anak seperti ini, jadi bukan sekedar
pengalaman, pengalaman bertahun-tahun kalo
misalnya memang dia tanpa ilmu jadi dia juga
jadi percuma, jadi kalo misalkan bisa yaa
berilmu dan juga berpengalaman. Seorang
Terapis Wicara yang menangani anak, dia juga
harus tau psikologi anak bagaimana, psikologi
menghadapi orang lain seperti apa, jadi ga
hanya dengan pengalaman tetapi juga ada ilmu
yang saling berkaitan, begitu. Terus kalo
misalnya bisa dikatakan berhasil itu kalo
misalnya anak itu kenal sama kita, dalam artian
yang tadinya tidak kenal kita, tidak mengerti
kita, terus tau-tau dia mengatakan “haii ibu
Diana..”, terus kenal siapa orang, kan tadinya
mereka cuek aja gitu dan tau-tau dia bisa
bermain dengan lingkungannya, trus yang
tadinya dia ga bisa komunikasi ibaratnya, tau-
tau dia bisa berkomunikasi dengan
lingkungannya.
Informan,
Transkrip Wawancara Penelitian
Peneliti : M Dwiki Firmansyah
Narasumber : Erni Maisari, Amd. TW
Jabatan : Terapis Wicara
Hari/Tanggal : Rabu, 24 Juli 2019
Waktu wawancara : 13.15 WIB
Tempat wawancara : Klinik Bina Wicara
Tipe wawancara : Wawancara Tatap Muka
Penulis : Bagaimana cara Terapis dalam meramu pesan
kepada pasien Klinik Bina Wicara supaya
mereka mampu memahami dan mampu
menerapkan apa yang diajarkan Terapis untuk
berkomunikasi lebih baik?
Informan : Biasanya saya lihat usianya terlebih dahulu,
jadi pasienku itu rata-rata diatas 10 tahun dan
kalau sesuai teori 7 tahun itu tahap
perkembangan ya, kalau misalkan masuk ke
usia 7 tahun, kita lihat kemampuannya seusia
berapa, ketika dilihat oh ini anak umur 10
tahun tapi kemampuannya seperti umur 1
Transkrip 05
tahun, nah itu dulu yang dikejar dalam proses
terapi, yaitu menterapi anak agar
kemampuannya sesuai dengan umurnya.
Penulis : Siapa saja yang berperan penting dalam
merumuskan strategi dalam lembaga Klinik
Bina Wicara ini?
Informan : Biasanya dalam prosesnya itu antara Terapis
dengan orang tua.
Penulis : Bagaimana langkah Klinik Bina Wicara
dalam mengevaluasi strategi dan apa yang
menjadi prioritas dalam proses evaluasi
tersebut?
Informan : Biasanya gini, disini itu kita lakukan untuk
jangka pendek dulu dalam terapi yaitu sekitar 3
bulan, kemudian kita lihat dalam 3 bulan ini
bisa gak anak berkembang, tapi biasanya kalo
aku pegang anak itu, kadang pertama kali
dateng anak nangis-nangis gitu ya dan ketika 3
kali pertemuan anak udah diem trus orang tua
bilang anaknya udah mulai mengeluarkan kata-
kata ini bu. Biasanya yang nangis-nangis ini
anak umur 3-5 tahun dan ketika masuk
pertemuan 2-3 anak udah diem mas, mungkin
karena udah nyaman, begitu.
Penulis : Tindakan apa yang dilakukan oleh Terapis
Klinik Bina Wicara setelah mengetahui hasil
evaluasi dari strategi tersebut?
Informan : Jadi biasanya begini, tadi kan sudah dibilang
3 bulan yaa, trus orang tua merespon ketika
anaknya udah bisa begini begitu meskipun
cuma 1-3 kata. Jadi kalo sudah begini, Terapis
melihat program ini bagus trus kita lanjut ke
program atau metode selanjutnya.
Penulis : Bagaimana upaya Klinik Bina Wicara dalam
menghasilkan proses persuasif yang berhasil
antara kedua belah pihak?
Informan : Biasanya kalau ketika anak dateng nangis-
nangis yaa kita ajak main dulu, trus kita tanya
sama yang nganter biasanya suka main apa.
Misalkan yang dateng anak laki-laki biasanya
kan ke mainan mobil-mobilan atau hewan,
kalau yang dateng perempuan ohh ini suka
masak, nah kita ada miniatur alat-alat masak.
Penulis : Apa yang menjadi tolak ukur dalam
keberhasilan proses persuasif antara kedua
belah pihak?
Informan : Jadi, kembali lagi ke pembahasan awal tadi
yang 3 bulan, misalnya anaknya masih nangis-
nangis tetep kita sambil bermain, nanti dalam
bermain itu kan hmm kan ada beberapa
masukan bahasa misalkan bola nih, Terapis
mengajak “Yuk kita main bola” bola kan bisa
dilempar, ditendang, ditangkap, nah trus kita
olah kata dilempar itu dengan memberikan
perintah kepada anak seperti “Yuk katakan
lempar bola, lempar bolanya”, “Ada bola hijau
nih, yuk kita ambil bola hijau” bahasa juga kan,
yaitu bola adalah kata benda, lempar termasuk
kata kerja dan hijau kata sifat. Dari situ kan
kita melihat anak mulai nih dan kita teruskan
dengan mengganti metode hingga anak bisa
menunjukkan kemajuan.
Penulis : Hambatan apa yang dihadapi Terapis saat
menerapkan proses komunikasi persuasif
kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Ada tuh biasanya pasien dateng udah nangis,
mungkin udah capek dari sekolah, trus tiduran
atau rewel, yaudah diemin dia dulu 5-10 menit,
biasanya aku begitu, nanti kalau udah tenang
baru kita kasih yang dia suka, baru mulai enjoy
dan bisa dimulai terapi. Jadi biasanya aku dapet
pasien yang masih TK, SD, SMP bahkan yang
belum sekolah dan engga mau disekolahin
orang tuanya, jadi hanya mengandalkan terapi
disini aja loh, padahal mereka udah seharusnya
sekolah gitu, kemudian ada orang tua yang
bilang “engga ah, anak saya trauma”. Jadi,
kadang orang tuanya juga yang melebih-
lebihkan yaa, padahal mereka tuh engga tau,
yaa kebanyakan disini yang dari SLB. Ada juga
orang tua yang mengatakan “engga mau ah
anak saya di SLB, gurunya suka ada yang
cuekkin” padahal orang tuanya belum tentu tau
seperti apa kondisinya.
Penulis : Apakah pernah gagal dalam menjalani masa
proses persuasif tersebut dan mengapa?
Informan : Alhamdulillah, sejauh ini banyak orang tua
yang menyatakan bahwasanya yang tadinya
baru terapi 2 bulan udah mulai membaik,
kadang ada juga orang tua yang menanyakan
“Bu, bisa ga nih anak saya bicara dalam waktu
3-4 bulan? “eh ternyata baru 2-3 kali
pertemuan, tau-tau dapet kabar dari orang tua
yaitu anaknya sudah bisa begini begitu.
Penulis : Menurut pandangan Terapis, seberapa penting
interaksi sosial pasien dengan lingkungan
sekitar saat pasien sedang menjalani proses
terapi dalam kurun waktu tertentu?
Informan : Penting banget, karena seharusnya anak itu
harus bisa bersosialisasi, biasanya kemajuan itu
terlihat 2-3 bulan. Misalkan begini, kalau ada
anak yang sesuai dan gangguannya sama,
biasanya kita gabungin, jadi didalam satu
ruangan diajarkan mengenai belajar yang biasa
kita kasih atau dengan latihan motorik,
misalnya bermain bersama. Jadi yang tadinya
anaknya malu-malu bisa jadi senang, makanya
ketika menemukan dua pasien yang sama,
sangat bisa untuk digabung dalam satu ruangan
yang sama selama proses terapi.
Penulis : Bagaimana seorang Terapis dapat disebut
berhasil dan kredibel dalam menjalani proses
terapi kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Begini, misalnya anak itu tidak bisa bilang A,
kemudian bagaimana sih caranya ngeluarin
huruf A? gitu kan, nah trus biasa dalam
beberapa kali pertemuan untuk beberapa bulan,
oh udah keluar nih, berarti Alhamdulillah udah
berhasil mengeluarkan huruf A. Trus orang tua
bilang “Bu, kok udah bisa ya selain huruf A”
Nah, berartikan kan disini bisa dikatakan ada
kemajuan dan berhasil, kemudian kita juga bisa
menggunakan 2 Terapis dalam satu anak,
mungkin cara Terapis yang satu begini dan
Terapis satu lagi begitu, yang penting dalam
satu tujuan anak ada kemajuan dan bisa,
maksudnya bisa adalah materi yang diberikan
Terapis dapat dicerna dengan baik. Kemudian,
seorang Terapis jelas-jelas harus kredibel dan
itu ditunjukkan dengan cara belajar 3-5 tahun
dan sekolahnya tepat berada disebelah gedung
ini mas.
Informan,
Transkrip Wawancara Penelitian
Peneliti : M Dwiki Firmansyah
Narasumber : Darsenih, Amd. TW
Jabatan : Terapis Wicara
Hari/Tanggal : Rabu, 24 Juli 2019
Waktu wawancara : 13.40 WIB
Tempat wawancara : Klinik Bina Wicara
Tipe wawancara : Wawancara Tatap Muka
Penulis : Bagaimana cara Terapis dalam meramu pesan
kepada pasien Klinik Bina Wicara supaya
mereka mampu memahami dan mampu
menerapkan apa yang diajarkan Terapis untuk
berkomunikasi lebih baik?
Informan : Begini mas, setiap Terapis kan mempunyai
pendekatannya masing-masing dan bergantung
kondisi pasien yaa, kalau saya dengan cara
menginstruksikan sederhana mungkin ke anak,
maksudnya ketika diawal mengikuti apa yang
inginkan dan mencoba satu per satu metode,
dan ketika metode tersebut cocok maka saya
Transkrip 06
berusaha menginstruksikan sesederhana
mungkin, agar anak mudah dalam mencerna
pesan yang saya sampaikan.
Penulis : Siapa saja yang berperan penting dalam
merumuskan strategi dalam lembaga Klinik
Bina Wicara ini?
Informan : Biasanya dalam prosesnya itu antara Terapis
dengan orang tua, dan ini kita bahas dari awal
pertemuan.
Penulis : Bagaimana langkah Klinik Bina Wicara
dalam mengevaluasi strategi dan apa yang
menjadi prioritas dalam proses evaluasi
tersebut?
Informan : Biasanya gini, misalkan ketika sudah
menjalani beberapa kali pertemuan Terapis
akan menilai kemajuan anak, standarnya
mengevaluasi itu 6 bulan hingga 1 tahun dan
misalnya dalam kasus autism, yang menjadi
prioritas itu percepatan bagaimana caranya agar
anak mampu mengucapkan 1-3 kata hingga
akhirnya membentuk kalimat, nah ketika di
proses ini terjadi perlambatan maka dilakukan
evaluasi dalam merombak strateginya mas.
Penulis : Tindakan apa yang dilakukan oleh Terapis
Klinik Bina Wicara setelah mengetahui hasil
evaluasi dari strategi tersebut?
Informan : Jadi biasanya begini, tadi kan sudah dibilang
6 bulan hingga 1 tahun yaa, nah kita melihat
dan mengobservasi pasien kesehariannya
dalam terapi di klinik maupun di rumah,
Terapis akan bertindak untuk memfokuskan
pada satu hal, misalkan bagaimana caranya
agar anak mampu mengucapkan 1-3 kata
dengan metode berbeda yang telah dilakukan
sebelumnya.
Penulis : Bagaimana upaya Klinik Bina Wicara dalam
menghasilkan proses persuasif yang berhasil
antara kedua belah pihak?
Informan : Kalau saya pribadi, biasanya dengan
memberikan penjelasan secara sederhana
mungkin mengenai pentingnya untuk terapi,
anak diberikan stimulus agar mudah dalam
memahami atau misalkan ketika anak mulai
rewel maupun nangis, biasanya diiming-imingi
terlebih dahulu dengan mainan yang dia sukai.
Dalam kasus terhadap orang gagap, biasanya
kita mengkondisikan pasien agar termotivasi
agar bisa berbicara dengan lebih lancar dan
mengatakan agar berbicara dengan pelan-pelan,
sehingga akan sangat penting bagaimana
mempersuasi pasien agar senyaman mungkin
dengan kita dengan disesuaikan kondisi dan
gangguannya.
Penulis : Apa yang menjadi tolak ukur dalam
keberhasilan proses persuasif antara kedua
belah pihak?
Informan : Secara sederhana aja mas dari saya, yaitu
anak mampu berkomunikasi 2 arah, maksudnya
anak sudah mampu merespon dengan baik apa
yang saya tanyakan.
Penulis : Hambatan apa yang dihadapi Terapis saat
menerapkan proses komunikasi persuasif
kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Informan : Beragam sih ya hambatan yang saya terima
hingga saat ini, seperti miss communication
dengan anak sehingga apa yang saya
sampaikan terkadang harus berulang-ulang
disampaikan agar anak paham apa yang
dimaksud Terapis, sehingga pesan yang
disampaikan bisa anak serap dan ikuti, karena
kadang anak suka tidak mau mendengarkan
sehingga membuat susah dalam proses terapi.
Penulis : Apakah pernah gagal dalam menjalani masa
proses persuasif tersebut dan mengapa?
Informan : Sering, tetapi dari situ saya banyak belajar
untuk kedepanya agar mengurangi gagal dalam
proses ini, karena biasanya karena pasien yang
sulit untuk diatasi sehingga memperlama
proses terapinya.
Penulis : Menurut pandangan Terapis, seberapa penting
interaksi sosial pasien dengan lingkungan
sekitar saat pasien sedang menjalani proses
terapi dalam kurun waktu tertentu?
Informan : Penting banget, karena seharusnya anak itu
harus bisa bersosialisasi, biasanya kemajuan itu
terlihat 2-3 bulan. Misalkan begini, kalau ada
anak yang sesuai dan gangguannya sama,
biasanya kita gabungin, jadi di dalam satu
ruangan diajarkan mengenai belajar yang biasa
kita kasih atau dengan latihan motorik,
misalnya bermain bersama. Jadi yang tadinya
anaknya malu-malu bisa jadi senang, makanya
ketika menemukan dua pasien yang sama,
sangat bisa untuk digabung dalam satu ruangan
yang sama selama proses terapi.
Penulis : Bagaimana seorang Terapis dapat disebut
berhasil dan kredibel dalam menjalani proses
terapi kepada pasien Klinik Bina Wicara?
Jawaban : Begini, menurut saya seorang Terapis dapat
dikatakan berhasil apabila pasien mampu
berkomunikasi 2 arah dan mengikuti
pendidikan disekolah dengan baik. Mampu
berkomunikasi 2 arah dimaksudkan untuk
memastikan anak mampu berbaur di
lingkungannya dengan mudah, harapannya
anak mampu bersosialisasi dengan teman
sebaya nya. Seorang Terapis juga harus
mempunyai kredibilitas yang baik mas, yaa di
gedung sebelah kan juga ada sekolahnya yaitu
Akademi Terapi Wicara, jadi kredibiltas
Terapis dapat dinilai dari sekolah yang
diikutinya dan tidak bisa menjadi Terapis
secara otodidak.
Informan,
FOTO-FOTO DOKUMENTASI
Dokumentasi dengan para Terapis Klinik Bina Wicara
Jakarta Pusat
top related