skripsi tinjauan hukum islam terhadap seserahan dalam adat
Post on 28-Apr-2022
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
SKRIPSI
TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP SESERAHAN DALAM ADAT SUNDA
(Studi Kasus di Desa Tegal Yoso Kecamatan Purbolinggo
Kabupaten Lampung Timur)
Oleh:
Tri Retno Pratiwi
14117573
JURUSAN AKHWALUS SYAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI(IAIN) METRO
T.A 1440 H/2019
TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP SESERAHAN DALAM ADAT SUNDA
(Studi Kasus di Desa Tegal Yoso Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung
Timur)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
TRI RETNO PRATIWI
NPM. 14117573
Pembimbing I : Dr. Hj. Siti Nurjanah, M.Ag
Pembimbing II : H. Azmi Siradjuddin, Lc. M.Hum
Jurusan Akhwalus Syakhsiyah (AS)
Fakultas Syari’ah
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO
T.A 2019
ABSTRAK
TINJAUAN HUKUM ISLAM
TERHADAP SESERAHAN DALAM ADAT SUNDA
(Studi Kasus Desa Tegal Yoso Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung
Timur)
Oleh:
TRI RETNO PRATIWI
14117573
perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita, sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Indonesia terdiri dari berbagai suku dan
adat, salah satunya adalah adat seserahan yang menjadi tradisi saat akan
melangsungkan pernikahan, seserahan merupakan penyerahan calon pengantin laki-
laki ke pihak mempelai perempuan untuk dinikahkan pada sore hari sehari sebelum
akad nikah dilakukan. Pada saat dilakukannya seserahan disertakan juga barang
bawaan berupa seperangkat alat tidur, kambing, makanan, alat dapur, seperangkat alat
masak, pakaian, uang, alat rias dan perlengkapan sesaji.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tinjauan hukum Islam
terhadap seserahan adat Sunda. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
lapangan (field reaserch), sifat dari penelitian ini adalah deskriptif kualitatif.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data dengan wawancara dan
dokumentasi. Wawancara dilakukan kepada tokoh adat, pemuda, dan tokoh agama
Desa Tegal Yoso Kec. Purbolinggo, Kab. Lampung Timur. Teknik analisis data
dengan menggunakan cara perfikir induktif.
Berdasarkan hasil penelitian, seserahan sudah dilakukan di Desa Tegal Yoso
sejak zaman dahulu, seserahan merupakan adat kebiasaan masyarakat memberikan
barang-barang yang telah disepakati kedua belah pihak, status dalam pemberian
barang tersebut hanyalah sebagai hadiah kepada pihak wanita dan hal tersebut
diperbolehkan untuk dilakukan, namun dalam melaksanakan seserahan masyarakat
masih menyertakan perlengkapan sesaji yang dipersembahkan kepada awah nenek
moyang yang dipercaya dapat melancarkan acara, hal ini yang menjadikan seserahan
dilarang untuk dilakukan karena mengandung unsur syirik dan harus di tinggalkan
dalam pemberian perlengkapan sesaji.
Kata kunci: Seserahan, Adat, Hukum Islam
MOTTO
“Boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh
jadi kamu menyukai sesuatu padahal itu tidak baik bagimu dan Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui”.1 (QS. Al Baqarah: 216)
1 Kementerian Agama RI, al-Qur’anulkarim Tajwid Warna Terjemah Perkata dan Transliterasi
Latin, (Bekasi: Dinamika Cahaya Pustaka, 2017), h. 34.
PERSEMBAHAN
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya yang terus mengiringi langkah peneliti mencapai cita-cita, hasil studi
peneliti dipersembahkan kepada:
1. Kepada kedua orang tua tercinta, Ibunda Ninik Wahyuni dan Ayahanda Wagiman,
yang selalu memberi kasih sayang, semangat serta berjuang dan mendoakan untuk
keberhasilanku.
2. Kepada dua kakak tersayang, kak Nurhadi Kuncoro dan kak Wahyu Prasetyo yang
selalu memberikan dukungan, motivasi serta semangat dalam menggapai cita-cita.
3. Kepada teman-teman yang selalu memberikan semangat.
4. Almamater IAIN Metro.
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Bimbingan Skripsi
2. Surat Izin Pra Survey
3. Surat Balasan Pra Survey
4. Surat Tugas Research
5. Surat Izin Research
6. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian
7. Surat Keterengan Bebas Pustaka
8. Outline
9. Alat Pengumpul Data
10. Kartu Konsultasi Bimbingan Skripsi
11. Foto Wawancara
12. Riwayat Hidup
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... ii
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................ iii
HALAMAN MOTTO .................................................................................... iv
HALAMAN ORISINILITAS ........................................................................ v
HALAMAN PERSEMBAHAN..................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
NOTA DINAS ................................................................................................. viii
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................................... 5
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian ........................................................... 5
D. Penelitian Relevan ................................................................................ 5
BAB II LANDASAN TEORI
A. Seserahan Dalam Hukum Islam ........................................................... 8
1. Pengertian Seserahan ..................................................................... 8
2. Pemberian Hadiah Dalam Perkawinan........................................... 8
3. Seserahan Dalam Islam .................................................................. 12
4. Seserahan Dalam Adat Sunda ........................................................ 14
5. Upacara Seserahan Dalam Adat Sunda .......................................... 18
6. Sesajen Dalam Islam ...................................................................... 20
B. Pinangan Dalam Hukum Islam ............................................................ 22
1. Pengertian Pinangan ....................................................................... 22
2. Dasar Hukum Pinangan.................................................................. 23
3. Akibat Hukum Pinangan ................................................................ 29
4. Syarat Pinangan .............................................................................. 29
5. Rukun Pinangan ............................................................................. 30
6. Batasan Tubuh Wanita yang Boleh Dilihat .................................... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Dan Sifat Penelitian..................................................................... 32
1. Jenis Penelitian ............................................................................... 32
2. Sifat Penelitian .............................................................................. 32
B. Sumber Data ......................................................................................... 33
1. Sumber Data Primer ....................................................................... 33
2. Sumber Data Sekunder ................................................................... 33
C. Teknik Pengumpulan Data ................................................................... 34
1. Wawancara ..................................................................................... 34
2. Dokumentasi ................................................................................. 35
D. Tehnik Analisa Data ............................................................................. 35
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Desa Tegal Yoso .................................................... 37
1. Sejarah Singkat Desa Tegal Yoso .................................................. 37
2. Gambaran secara Umum Desa Tegal Yoso ................................... 38
3. Geografis dan Demografis Desa Tegal Yoso ................................. 39
B. Pelaksanaan Seserahan Dalam Adat Sunda di Desa Tegal Yoso ........ 44
a. Barang-barang Bawaan .................................................................. 45
b. Pelaksanaan Seserahan di Desa Tegal Yoso .................................. 49
C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Seserahan Dalam Adat Sunda di Desa Tegal
Yoso ..................................................................................................... 51
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 56
B. Saran ..................................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menurut fikih, nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling
utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna, pernikahan bukan
hanya mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, akan tetapi
perkenalan antara suatu kaum dengan kaum yang lainnya.2 “perkawinan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita, sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa”.3
Secara etimologis kata nikah atau zawaj berati bergabung “hubungan
kelamin” dan juga “akad” dalam kata fikih banyak di artikan dengan akad
atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin
dengan menggunakan lafaz nakaha atau zawaja.4“Pernikahan memiliki tujuan
yang hendaknya dipahami oleh calon suami atau istri, agar terhindar dari
keretakan rumah tangga yang biasanya berakhir dengan perceraian, salah satu
tujuan dalam pernikahan adalah sebagai penenteram jiwa”5, Allah berfirman:
2 Muhammad Dahlan, Fikih Munakahat, (Yogyakarta: Budi Utama, 2015), h. 31. 3 Undang-Undang Nomor 1 tahun1974 Tentang Perkawinan Pasal 1. 4 Siti Zulaikha, Fiqih Munakahat 1, (Yogyakarta: Idea Press Yogyakatra, 2015), h. 2. 5 Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Prenada Media Group,
2006), h. 13-14.
“Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan
pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan diantaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
(kebesaran Allah)bagi kaum yang berfikir”.6
Islam mengatur kehidupan manusia agar berpasang–pasangan melalui
jenjang perkawinan yang ketentuannya di rumuskan berdasarkan aturan
hukum Islam dan di tetapkan untuk mewujudkan suatu kesejahteraan secara
pribadi maupun masyarakat, dunia dan akhirat. Kesejahteraan akan terwujud
dengan terbinanya keluarga yang sejahtera, demikian sebaliknya hal ini
senada dengan masyarakat adat yang memandang perkawinan sebagai tujuan
untuk membangun dan membina hubungan kekerabatan yang damai serta
rukun, sehingga perkawinan merupakan urusan kekerabatan, persekutuan, dan
martabat.7
Indonesia terdiri dari berbagai suku serta adat yang berbeda-beda,
termasuk dalam adat perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam
hukum perkawinan adat bukan hanya soal mengenai orang-orang yang
bersangkutan sebagai suami istri, melainkan kepentingan seluruh keluarga
bahkan masyarakat adatpun ikut dalam kepentingan perkawinan tersebut.
6 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan,
2006), h. 572. 7 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 2000), cet 4, h. 107.
Dalam hukum adat, perkawinan merupakan perbuatan yang tidak hanya
bersifat keduniaan, melainkan bersifat kebatinan dan keagamaan, tujuan
perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah untuk
mempertahankan serta meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan
masyarakat adatnya.8
Saat melakukan perkawinan, terdapat tradisi-tradisi yang dilakukan
oleh setiap suku yang ada, salah satunya adalah tradisi seserahan yang
merupakan adat atau kebiasaan yang digunakan oleh setiap suku di Indonesia,
sebagian besar suku di Indonesia melakukan seserahan sebelum melaksanakan
acara perkawinan, salah satu suku yang menggunakan seserahan adalah suku
Sunda.
Desa Tegal Yoso Kecamatan Purbolinggo contohnya, desa atau daerah
yang mayoritas penduduknya adalah suku Sunda ini, setelah melaksanakan
acara lamaran atau khitbah, mereka melakukan acara adat yang disebut
sebagai seserahan, dimana pihak laki-laki selain menyiapkan mahar, pihak
laki-laki juga membawa barang-barang yang telah disepakati kedua belah
pihak dalam proses lamaran sebelumnya.
Masyarakat desa Tegal Yoso telah melakukan tradisi seserahan sejak
zaman dahulu, orang-orang tua pada zaman dahulu mewarisi tradisi yang
hingga saat ini masih dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai pelestarian
8Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia “Pro-Kontra
Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi”, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2013), h.
64.
adat yang terus menerus di warisi kepada keturunan-keturunan mereka.
Barang-barang yang dibawa pada saat proses seserahan seperti, meja, kursi,
kasur, lemari, bantal, beras, perabotan dapur, bumbu dapur lengkap, pakaian
jadi untuk calon istri, hijab, seperangkat alat shalat, sepatu, tas, sandal, alat
rias, payung, kambing, kelapa, kain, uang, serta pelengkapan sesajen.
Seserahan yang dilakukan oleh masyarakat desa Tegal Yoso pada
umumnya sama dengan sebagian suku di Indonesia yang juga melakukan
proses seserahan, namun terdapat sesuatu yang ada dalam barang seserahan di
desa Tegal Yoso, yakni perlengkapan sesajen masih digunakan oleh
masyarakat desa Tegal Yoso sebagai salah satu barang untuk seserahan,
sesajen dipercaya oleh masyarakat sebagai bentuk penghormatan kepada
arwah leluhur agar acara perkawinan yang akan dilaksanakan berjalan dengan
lancar.
Seserahan yang dilakukan oleh masyarakat mengandung unsur magis
karena terdapat sesajen yang disertakan dalam proses seserahan yang
masyarakat sangat mempercayai adanya arwah leluhur yang turut hadir dalam
proses perkawinan yang akan dilakukan yang dapat memperlancar acara.
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian di sebagian masyarakat suku Sunda khususnya dalam masyarakat
Tegal Yoso, Kecamatan Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur, dengan
judul “tinjauan hukum Islam terhadap seserahan dalam adat Sunda (Studi
Kasus di Desa Tegal Yoso Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung
Timur)”.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, yang menjadi
pertanyaan penelitian adalah: Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap
seserahan dalam adat Sunda di Desa Tegal Yoso Kecamatan Purbolinggo
Kabupaten Lampung Timur?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap
seserahan dalam adat Sunda di Desa Tegal Yoso Kecamatan Purbolinggo
Kabupaten Lampung Timur.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini secara teoritis, diharapkan dapat mengembangkan
pengetahuan mengenai seserahan dalam perkawinan yang telah
berkembang dimasyarakat serta agar dapat memperkaya khasanah
keilmuan perkawinan serta adat yang terjadi ditengah masyarakat.
b. Penelitian ini secara praktis, untuk memberikan informasi, bahan
masukkan serta referensi yang berguna bagi masyarakat.
D. Penelitian Relevan
Penelitian mengenai proses seserahan dalam perkawinan telah
dilakukan oleh beberapa peneliti terdahulu diantaranya, Retno Windyarti
dalam skripsinya yang berjudul “Makna Simbolik Serah-Serahan Dalam
Upacara Perkawinan Adat Jawa Didesa Tanjung Belit Kecamatan Siak Kecil
Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau”, dalam skripsi tersebut membahas
mengenai arti dari simbolik barang serah-serahan dalam perkawinan adat
jawa, skripsi tersebut membahas semua barang yang biasa ada dalam
seserahan seperti cincin, makna simbol pisang sanggan, makna simbol suruh
ayu, simbol seperangkat busana putri, makna simbol makanan tradisional,
buah-buahan serta uang. Skripsi tersebut memfokuskan pada makna-makna
simbol barang serah-serahan dalam adat Jawa.9
Penelitian mengenai seserahan atau serah-serahan telah dilakukan juga
oleh Titiek Suliyati yang berjudul “Adat Perkawinan Tionghoa di Pecinan
Semarang”, dalam tulisan tersebut yang dibahas hanya seserahan yang
dilakukan oleh adat Tionghoa di Semarang yang disebut dengan sebutan sanjit
didalam adat Tionghoa, serah-serahan berupa buah-buahan dan makanan yang
dimasukan kedalam tenong (tempat makanan yang terbuat dari bambu) jumlah
buah dan makanan tersebut harus berjumlah genap. Selain makanan dan buah-
buahan, seserahan juga berisikansepatu, sandal, make-up, accessories,
pakaian, perhiasan, danuangsusu yang dimasukkan ke dalam kertas berwarna
merah (angpao) yang nanti akan dikembalikan kepada pihak mempelai laki-
9 Retno Windyarti, “Makna Simbolik Serah-serahan Dalam Upacara Perkawinan Adat Jawa di
Desa Tanjung Belit Kecamatan Siak Kecil Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau” dan penerbit
Universitas Riau, No.2/Oktober 2015.
laki. Seserahan yang dilakukan hampir sama dengan yang dilakukan oleh
masyarakat pada umumnya yang membedakan hanya uang susu.10
Penelitian mengenai seserahan telah dilakukan oleh Meli Pitria dalam
skripsinya yang berjudul “Sesan Dalam Masyarakat Adat Lampung Pepadun
Ditinjau Dari Perspektif Hukum Islam (studi kasus di Desa Gunung Sugih
Raya Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah)”, dalam
skripsinya membahas mengenai sesan dalam bahasa Lampung atau yang
dikenal dengan seserahan, faktor-faktor apa yang melatarbelakangi masih
dilakukannya tradisi sesan dalam adat Lampung Pepadun serta menganilisis
bagaimana sesan dalam adat Lampung Pepadun ditinjau dari perspektif
hukum Islam. Dijelaskan bahwa dalam sesan adat Lampung Pepadun pihak
perempuanlah yang menyiapkan barang bawaan untuk dibawa kerumah calon
mempelai laki-laki bersamaan dengan penyerahan calon mempelai perempuan
secara adat kepada keluarga pihak laki-laki.11
Diketahui bahwa peneliti memiliki kajian yang sama dengan penelitian
terdahulu yakni sama-sama membahas tentang seserahan yang terjadi di
masyarakat, sedangkan perbedaan dengan penelitian sebelumnya yakni
penelitian ini membahas tentang tinjauan hukum Islam terhadap seserahan
10 TitiekSuliyati, “AdatPerkawinanTionghoa di Pecinaan Semarang”, Skripsi Tahun 2000
(tidak dipublikasikan). 11 Meli Pitria, “Sesan Dalam Masyarakat Adat Lampung Pepadun Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Islam (studi kasus di Desa Gunung Sugih Raya Kecamatan Gunung Sugih Kabupaten
Lampung Tengah)”, (Lampung: Institut Agama Islam Negeri Raden Intan, 2016).
dalam adat Sunda di desa Tegal Yoso kecamatan Purbolinggo kabupaten
Lampung Timur yang telah lama terjadi di tengah masyarakat.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Seserahan Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Seserahan
a. Seserahan Menurut Etimologi
Seserahan dalam kamus besar bahasa Indonesia, berasal dari
kata serah yang artinya menyerahkan, sedangkan seserahan memiliki
makna upacara penyerahan sesuatu sebagai tanda ikatan untuk kedua
calon pengantin.12
b. Seserahan Menurut Terminologi
Menurut terminologi, seserahan adalah penyerahan calon pengantin
laki-laki ke pihak mempelai perempuan untuk dinikahkan pada sore hari
sehari sebelum akad nikah dilakukan. Pada saat dilakukannya seserahan
disertakan juga barang bawaan berupa seperangkat alat tidur, kambing,
makanan, alat dapur, seperangkat alat masak, dan pakaian.13
2. Pemberian Hadiah Dalam Perkawinan
Pemberian hadiah pada saat peminangan, jika pembatalan pinangan
dilakukan oleh pihak peminang, maka tidak ada hak bagi peminang untuk
meminta kembali hadiah peminangan yang telah diberikan kepada pihak
12 Departemen Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka,
1989), h. 822. 13 Sumarsono, Budaya Masyarakat Perbatasan: Studi tentang corak dan pola interaksi sosial
pada masyarakat kecamatan Langendari Provinsi Jawa Barat, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1999), h. 73.
yang dipinang, meskipun pihak yang dipinang mampu untuk
mengembalikannya. Akan tetapi, jika pembatalan pembatalan dilakukan
oleh pihak yang dipinang atau lantaran ada sesuatu sebab yang berasal
darinya, maka pihak yang dipinang hendaklah mengembalikan hadiah
tersebut jika sanggup, atau dalam bentuk nilai uang yang sepadan jika
hadiah tersebut sudah tidak ada atau sudah dimanfaatkan.14
Demikian sisi keadilan yang hendaknya diperhatikan, agar pada diri
pihak yang memberi hadiah tidak ada perasaan sakit akibat dibatalkannya
peminangan dan tidak ada pula perasaan memiliki piutang materil, jika
pembatalan peminangan dilakukan oleh pihak yang dipinang.15
Saat khitbah berlangsung biasanya pihak calon mempelai laki-laki
memberikan aneka macam hadiah dan bingkisan pada pihak calon
mempelai wanita, dalam menanggapi status hadiah ini, para ulama fikih
memiliki beberapa pendapat, diantaranya:
يالخطبة:اهد
الهدايففيهأ راءفقهية: ارد أم
هبته–١ ف جع ير أن وللواهب ، هبة الخطبة هداي : الحنفية قال
و ءأووجودالز ذاوجدامانعمنموانعالرجوعبلهبةكهلكالشا
ذاكنماأهداهالخاطبموجوذاكنقدجية.فا
داده.وا است دافل
14 Muhammad Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Madzhab, (Bandung: Ahsan Publishing,
2010), h. 276. 15 Ibid.,
الطعا ،وأك كنضاعالخات أوحدثفيهتغيير، تل أواس هل
. دادبدل قللخاطباست م.وصنعالقماشثوب،فلي
المالكي–٢ وذكر بي ر تتشط فيه أو واج الز عقد قبل الهداي أن : ة
طةحكا، امشت ط؛لن ت،أولمتشت جل،سواءاشتط المرأةوالر
رماأهدىللزوجةبعدالعقدفيكون لها.وليتشط
طب–٣ الخا با يرجع العقد قبل الهداي أن لا : بل الحنا وذهب
كلهبة جوع الر مل زال ذافا العقد، بقاء ط بش وهب ه ن ل عليه؛ وترد
ابعدال طالثواب،وأم عقدفحكهحكالمهر.بش
أنفق–٤ ما ن ل ؛ أهداه بما جوع الر طب للخا أن : افعية الش ورأى
نتلف.ا نبقي،وببدل
جعا جا،فير 16لجلتزو
Hadiah lamaran, hukum pengembalian hadiah lamaran terdapat
beberapa pendapat yang diantaranya, menurut Imam Abu Hanifah hadiah
lamaran sama dengan hibah, boleh diambil kembali selama barangnya
masih utuh atau telah terjadi ikatan suami istri maka jika yang dihadiahkan
itu masih maka boleh meminta kembali hadiahnya, tetapi jika barang sudah
rusak atau hancur atau berubah seperti cincinnya hilang, sudah termakan
16 Wahbah Zuhaily, Mausu’ah Fiqhy Islamy Wal Qodhoya Al Ma’asiroh, (Damaskus: Tsaqafah
Mukhtalaf Dar Al Fikr Damaskus, 1433 H / 2012 M), H. 39-40.
atau kainnya sudah dibuat baju maka pelamar tidak berhak meminta ganti.
Menurut Imam Malik hadiah yang ada sebelum akad pernikahan dibagi
antara pria dan wanita baik disyaratkan atau tidak karena hadiah tersebut
secara hukum memang menjadi persyaratan. Menurut Hanabilah antara
pelamar dan yang dilamar, mana diantara keduanya yang berpaling bila
yang berpaling pihak laki-laki, tidak berhak baginya mengambil hadiahnya
sekalipun masih ada, bila yang berpaling pihak wanita, pihak laki-laki
boleh menarik kembali hadiahnya sekalipun sudah rusak dengan diberikan
harga senilai. Sedangkan menurut Imam Syafi’i pelamar boleh menarik
kembali hadiahnya, sebab hadiah itu memang dia berikan untuk
perkawinan, maka jika barangnya masih ada boleh diambil kembali, dan
jika rusak maka harus diganti.
Terjemah kitab fathul mu’in di dalam nya di tuliskan mengenai
harta kiriman mempelai laki-laki yang berbunyi:
قبل مال لياا لفظ بل أودفع سل أر ث ة مرأ
ا خطب لو ات( )مهم
بما رجع منه أو منا عراضال وقع ث ع التب يقصد ولم أ ي : العقد
عمحق–وصلهامنه صحبهج قون.كم“Seandainya seorang lelaki melamar seorang wanita, kemudian
pihak lelaki mengirimkan atau membayar sejumlah harta tanpa
mengucapkan kata apa pun yang ditujukan kepadanya dan juga tidak
bermaksud sebagai sumbangan, sebelum akad nikah berlangsung,
kemudian ternyata pihak wanita atau pihak lelaki tidak mau kawin, maka
harta yang disampai kepada pihak mempelai wanita harus dikembalikan
kepada pihak lelaki”. Demikian penjelasan yang diketengahkan oleh
sejumlah ulama ahli tahqiq”.17
3. Seserahan dalam Islam
Seserahan adalah adat atau kebiasaan yang dalam Islam termasuk
ke dalam urf, sebagaimana menurut ahli syara’ urf bermakna adat, dengan
kata lain urf dan adat tidak ada perbedaan, urf tentang perbuatan manusia,
misal jual beli yang dilakukan berdasarkan saling pengertian dengan tidak
mengucapkan sighat, untuk urf yang bersifat ucapan atau pekataan misal
saling pengertian terhadap pengertian al-walad yang lafaz tersebut mutlak
berarti anak laki-laki dan bukan wanita. Dengan kata lain urf merupakan
saling pengertian manusia terhadap tingkatan mereka yang berbeda,
tentang keumuman dan kekhususannya, dalam hal ini sangat berbeda
dengan ijma’ sebab ijma’ merupakan kebiasaan kesepakatan para mujtahid
baik yang bersifat khusus atau umum dan tidak menciptakan adanya urf.18
Urf dari segi bahasa al-‘urf berasal dari kata yang terdiri dari huruf
‘ain, ra dan fa yang berarti kenal, dari kata ini muncul kata ma’rifah (yang
dikenal), ta’rif (definisi), kata ma’ruf (yang dikenal sebagai kebaikan) dan
kata urf (kebiasaan yang baik). Urf ialah segala sesuatu yang sudah saling
dikenal diantara manusia yang telah menjadi kebiasaan atau tradisi, baik
17 Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemahan Fat-hul Mu’in, diterjemahkan
oleh Moch.Anwar, dkk, dari judul asli Fathul Mu’in, ( Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2009), h.
1294. 18 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, diterjemahkan oleh Masdar Helmy, dari judul asli
Ilmu Ushulul Fiqh, (Bandung: Gema Risalah Press, 1997), h. 149.
bersifat perkataan, perbuatan atau dalam kaitannya dengan meninggalkan
perbuatan tertentu, sekaligus disebut sebagai adat. Sedangkan dari segi
istilah kata urf mengandung makna sesuatu yang menjadi kebiasaan
manusia, dan mereka mengikutinya dalam bentuk setiap perbuatan yang
popular diantara mereka.19
Urf dari segi baik dan buruk, adat atau urf terbagi menjadi 2, yaitu,
urf yang shahih merupakan urf atau adat yang berulang-ulang dilakukan,
diterima oleh banyak orang, tidak bertentangan dengan agama, sopan
santun, dan budaya yang luhur, sebagai umpama memberikan hadiah
kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu tertentu, mengadakan
acara silaturahmi saat hari raya, member hadiah sebagai suatu
penghargaan. Sedangkan urf yang fasid adalah adat yang berlaku di suatu
tempat meskipun merata pelaksanaannya, namun bertentangan dengan
agama, undang-undang Negara dan sopan santun, contohnya berjudi untuk
merayakan suatu peristiwa, kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah).20
Para ulama yang mengamalkan urf dalam memahami dan
mengistinbathkan hukum, menetapkan beberapa persyaratan untuk
menerima urf, sebagai berikut:
19 H. Sudirman, Fiqh Kontemporer (Contemporary Studies Of Fiqh), (Yogyakarta: Budi Utama,
2018), h. 274. 20 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 416.
a. Adat atau urf bernilai mashlahat dan dapat diterima oleh akal
sehat (syarat ini merupakan kelaziman bagi adat atau urf yang
sahih, sebagai persyaratan untuk diterima secara umum).
b. Adat atau urf berlaku umum dan merata di kalangan orang-
orang yang berada dalam lingkungan adat tersebut ata di
kalangan sebagian besar warganya.
c. Urf yang dijadikan sandaran dalam penetapan hukum itu telah
ada pada saat itu bukan urf yang muncul kemudian.
d. Adat tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang ada
atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.21
4. Seserahan Dalam Adat Sunda
a. Pengertian Seserahan Dalam Adat Sunda
Seserahan adalah penyerahan calon pengantin laki-laki ke pihak
mempelai perempuan untuk dinikahkan pada sore hari sehari sebelum
akad nikah dilakukan. Pada saat dilakukannya seserahan disertakan juga
barang bawaan berupa seperangkat alat tidur, kambing, makanan, alat
dapur, seperangkat alat masak, dan pakaian.22
Seserahan dalam adat Sunda disebut dengan seren sumeren yang
berarti upacara pranikah yang dilakukan sebagai pemantapan dan tindak
lanjut dari tahapan lamaran yang sebelumnya sudah dilakukan oleh pihak
21 Ibid.., h. 424-426. 22 Sumarsono, Budaya Masyarakat,…, h. 73.
keluarga calon pengantin pria kerumah keluarga calon pengantin wanita,
dalam acara ini pihak keluarga calon pengantin pria menyerahkan calon
pengantin pria untuk nantinya bisa dinikahkan dengan calon pengantin
wanita.23
Upacara seserahan biasanya berlangsung satu atau dua hari sebelum
perkawinan dilaksanakan dan biasanya dilangsungkan pada sore hari.
Dalam upacara ini orang tua calon pengantin pria menyerahkan putranya
kepada orang tua calon mempelai wanita sambil membawa barang-barang
keperluan calon pengantin wanita diantaranya bahan pakaian, pakaian
yang sudah jadi, perhiasan, uang, pakaian dalam, selop, sepatu, kain batik,
alat kecantikan dan mungkin membawa perlengkapan untuk ngeuyeuk
seureuh yang terdiri dari beberapa sirih bergagang, sirih yang telah
disusun, kapur sirih bungkus, buah gambir, tembakau lempeng, susur
(sugi) dan butir pinang yang telah diiris atau dipotong kecil.
Selain barang-barang tersebut, sering ada yang membawa beras,
hewan potong (kambing, lembu, kerbau atau ayam), kayu bakar, alat
dapur (piring, gelas, cangkir, sendok, dandang, kompor, dan lain-lain),
buah-buahan atau keperluan lain setelah perkawinan kelak, sebagian calon
pengantin pria menyerahkan uang saja, semua ini tergantung pada
23 Artati Agoes, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Sunda, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 47.
kemampuan calon pengantin pria dan juga pada persetujuan kedua belah
pihak sewaktu berembuk dalam upacara ngalamar.24
Dalam seserahan keluarga calon pengantin pria menyerahkan
beberapa bingkasan yang besar kecil maupun banyak sedikitnya
tergantung pada kemampuan atau kesepakatan masing-masing keluarga,
tetapi, terdapat aturan-aturan baku yang selama ini selalu menjadi acuan
para calon pengantin adat Sunda, diantaranya adalah:
a. Uang dan barang yang perlu disiapkan:
1) Uang yang jumlahnya 10 kali lipat dari jumlah uang yang
dibawa saat berlangsungnya acara lamaran.
2) Seperangkat atau lebih pakaian wanita, termasuk pakaian
dalamnya.
3) Seperangkat atau lebih perhiasan wanita, seperti kalung,
gelang, cincin, anting, dan sebagainya.
4) Satu set atau lebih perabotan rumah tangga dan dapur,
seperti tempat tidur, meja, kursi, kulkas, kompor, panci, dan
sebagainya.
b. Parawanten untuk mengisi dongdang, antara lain:
24 Thomas Wiyasa. B, Upacara Perkawinan Adat Sunda, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1990), h. 18.
1) Buah-buahan, seperti 1 cau saturuy (pisang raja bulu
dengantandannya), anggur, apel, salak, sawo, nanas,
bangkuang, dan sebagainya.
2) Hahampangan (kue kering) dan kue basah (bubur merah dan
bubur putih, puncak manik dan nasi tumpeng kecil serta
telur ayam matang), dan sebagainya.
3) Bahan lauk (daging sapi, ayam hidup, ikan mas hidup, dan
sebagainya).
4) Bumbu dapur komplit (gula merah yang masih pakai daun
aren, garam, bawang merah, bawang putih, dan sebagainya).
5) Kelapa hijau.
6) Beubeutian (singkong lengkap dengan pohonnya).
7) Pare ranggeuyan (padi yang lengkap dengan tangkainya).
8) Lemarguh (sirih pinang lengkap, tembakau, dan
sebagainya).
9) Seureuh ranggeuyan (sirih dengan tangkainya).
10) Jambe rangeyuan (pinang dengan tangkainya).
11) Jambe (pinang) tua.
12) Jambe (pinang) merah.
13) Mayang jambe (bunga pinang).
14) Waluh gede (labu kuning besar).
15) Kaci (kain putih) 2 cm.
16) Alat-alat jahit seperti jarum, benang, benang kanjeh, dan
sebagainya.
17) Alat sawer, kendi kecil, dan cobek lengkap dengan cowet
(ulekan) kecil.
18) Uang receh.
19) Beras dan kunyit 1 genggam.
20) Serbet.
21) Elekan, harupat (lidi enau), dan papan kecil berukuran 10 x
15 cm.
22) Pisau.
23) Lilin dan korek api.
24) Telur ayam kampung.
25) Alat sesaji.25
5. Upacara Seserahan Dalam Adat Sunda
Proses upacara seserahan dimulai dari pengantin wanita dan
keluarga bersiap-siap menanti kedatangan calon pengantin pria.
Sementara, dari arah yang lain calon pengantin pria dan rombongan
menuju ke tempat di mana acara perkawinan akan dilangsungkan, ketika
calon pengantin pria dan rombongan datang, wakil dari keluarga calon
pengantin wanita menyambut kedatangan mereka. Dalam acara
penyambutan ini dilakukan upacara mapag panganten.
25 Artati Agoes, Kiat Sukses…, h. 47-48.
Setelah rombongan calon pengantin pria berhadapan dengan
keluarga calon pengantin wanita, secara simbolis wakil keluarga calon
pengantin wanita menyambutnya, pada saat itu juga, orang tua calon
pengantin wanita atau yang mewakili mengalungkan untaian bunga melati
kepada calon pengantin pria.26
Pelaksanaan upacara seserahan dipimpin oleh protokol dengan
susunan acara sebagai berikut:
a. Pembukaan dengan ucapan selamat datang kepada para tamu,
bersyukur kepada Tuhan serta permohonan maaf jika ada
kekurangan dalam penyelenggaraannya.
b. Sambutan dari pihak tuan rumah yang dibawakan oleh ayah
calon pengantin wanita atau wakil yang dipercayakannya, dan
isi sambutannya berupa pertanyaan tentang maksud
kedatangan rombongan.
c. Sambutan dari pihak tamu, yang dibawakan oleh ayah calon
pengantin pria atau wakil yang dipercayakannya, dan
mengemukakan tentang pemenuhan janji yang diucapkan pada
waktu melamar dengan maksud hendak menyerahkan putranya
serta sekadar memberi bingkisan untuk membantu dalam
peralatan perkawinan nanti.
26 Aep S. Hamidin, Buku Pintar Adat Perkawinan Nusantara, (Jogjakarta: Diva Press, 2012),
h. 82-83.
d. Sambutan dari pihak tuan rumah kembali, yang
mengemukakan rasa gembira menerima pemberian yang
sangat berharga dari pihak tamu sambil mengucapkan syukur
kepada Tuhan.
Dalam cara menerima ini, tuan rumah biasanya menyatakan
bahwa bukan barang-barang itu yang menjadi harapan utama,
tetapi orangnya yang dinantikan.
e. Penyerahan atau serah terima secara simbolik calon pengantin
pria dan semua barang bingkisan, semua bingkisan disimpan
dikamar calon pengantin kecuali barang-barang untuk
peralatan.
f. Penutup dengan berdoa, biasanya dibawakan oleh kiai atau
ajengan.
Setelah upacara seserahan selesai, para tamu dipersilahkan untuk
menyantap makanan dan minuman yang telah disediakan.27
6. Sesajen dalam Islam
Sesajen atau sajen adalah sejenis persembahan kepada dewa atau
arwah nenek moyang pada upacara adat kalangan penganut kepercayaan
kuno di Indonesia, seperti pada suku Sunda, Jawa, Bali dan suku lainnya.28
27 Thomas Wiyasa. B, Upacara Perkawinan..., h. 18-19. 28 id.wikipedia.org/wiki/Sesajen, di Unduh pada tanggal 14 Juni 2019.
Menurut filsafat Sunda sajen asal kata dari sesaji yang
mengandung makna sa-aji-an atau kalimah yang disimbolkan dengan
bahasa rupa bukan bahasa sastra, dimana didalamnya mengandung mantra
atau kekuatan metafisik atau supranatural. Kata sajen dari kata sa dan ajian
yang mana sa bermakna tunggal, aji bermakna ajaran serta sa bermakna
seuneu, bara atau api.29
Barang-barang yang digunakan dalam sesajen memiliki makna
diantaranya:
a. Parupuyan dan Menyan
Parupuyan merupakan tempat arang atau bara api yang
terbuat dari tanah, merah melambangkan api, kuning
melambangkan angin, putih melambangkan air, dan hitam
melambangkan tanah. Membakar kemenyan atau ngukus
bermakna ngudag “kusumaning hyang jati” yang bermakna
mengkaji dan menghayati serta menelusuri hakekat dan nilai-
nilai ke Tuhanan, sedangkan menyan bermakna temen tur
nyaan atau sebenar-benarnya secara keseluruhan bermakna
dalam mendalami, mengkaji dan menghayati harus sungguh-
sungguh serta sebenar-benarnya.
29 Ibid,.
Wangi kemenyan bermakna silih wawangian atau
berbuat kebajikan, kini dalam tradisi Sunda ada pula yang
mengganti menggunakan dupa karena lebih mudah.
b. Amparan atau tikar
Bermakna kudu saamparan samaksud satujuan, harus satu
maksud, satu tujuan.
c. Alas lawon bodas atau kain putih sebagai alas
Bermakna hendaknya dalam tindakan dan ucapan harus
dilandasi oleh kebersihan hati, pikiran.
d. Kopi pahit dan kopi manis
Bermakna dalam laku lampah kehidupan pasti melalui
kepahitan dan manis yang semestinya diolah, dikaji dalam
tempurung pikiran dan hati yang tenang dan bersih.30
B. Pinangan Dalam Hukum Islam
1. Pengertian Pinangan
Kata pinangan atau peminangan berasal dari kata pinang atau
meminang, meminang memiliki sinonim melamar, yang dalam bahasa
Arab disebut dengan khitbah. Menurut etimologi, meminang atau melamar
memiliki arti meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau
orang lain). Sedangkan menurut terminologi peminangan ialah kegiatan
30 I wayan sudarma, “Arti dan Makna Sesajen Menurut Budaya Sunda”, dalam
phdi.or.id/artikel/makna-simbolik-sesajen-Sunda diunduh pada 14 Juni 2019.
upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita, atau seorang laki-laki meminta kepada seorang wanita
untuk menjadi istrinya dengan cara yang umum berlaku ditengah
masyarakat.31
Kompilasi hukum Islam pasal 1 bagian a menyebutkan
peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan
antara seorang pria dengan seorang wanita. Dalam pasal 11 peminangan
dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan
jodoh, namun dapat pula dilakukan oleh perantara orang yang dipercaya.32
Menurut Ibrahim Hosen sebagaimana yang telah dikutip oleh
Musa Aripin dalam jurnalnya yang berjudul eksistensi urf dalam
kompilasi hukum Islam, menyebutkan bahwa hukum Islam mensyariatkan
peminangan dengan tujuan kedua belah pihak yang hendak membangun
bahtera rumah tangga mengenal serta mengetahui calon pasangannya
sehingga tidak menimbulkan penyesalan dikemudian hari.33
2. Dasar Hukum Pinangan
Garis besar hukum peminangan terinci dalam pasal 12 ayat 1
kompilasi hukum Islam yang mengatur syarat peminangan, bahwa
peminangan dapat dilakukan kepada wanita yang masih perawan atau
31 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003), h.73-74. 32 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo, 2010),
h. 113-116. 33 Musa Aripin, “Eksistensi Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam”, (padangsidimpuan: Institut
Agama Islam Negeri Padangsidimpuan), No. 1/2016, h. 214.
terhadap janda yang telah habis masa iddahnya. Dalam pasal 12 ayat (2),
(3), dan (4) disebutkan larangan peminangan terhadap wanita yang
mempunyai karakteristik sebagai berikut:
a. Ayat (2): wanita yang ditalak oleh suami yang masih berada dalam
masa iddah raj’iah haram dan dilarang untuk dipinang.
b. Ayat (3): dilarang meminang seorang wanita yang sedang dipinang
pria lain selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada
penolakan dari pihak wanita.
c. Ayat (4): putus pinangan pihak pria, karena adanya pernyataan tentang
putusnya hubungan atau secara diam-diam pria yang meminang telah
menjauhi dan/atau meninggalkan wanita yang dipinang.34
Khitbah di syariatkan Islam berdasarkan firman Allah dalam
surah al-Baqarah ayat 235:
34 Abdurrahman, Kompilasi Hukum..., h.116.
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang perempuan-perempuan itu
dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginanmu) dalam hati.
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut kepada mereka.
Tetapi janganlah kamu membuat perjanjian (untuk menikah) dengan
mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan kata-kata yang
baik. Dan janganlah kamu menetapkan akad nikah, sebelum habis masa
idahnya. Ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu, maka takutlah kepada-Nya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha
Pengampun, Maha Penyantun”.35
Berikut adalah penafsiran surat al-Baqarah ayat 235:
Penakwilan firman Allah SWT:
“dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan
sindiran”
Abu Ja’far berkata: Maknanya yaitu, tidak ada dosa bagi
kamu, wahai para lelaki, meminang wanita-wanita yang beriddah dari
suami yang meninggal dunia dengan kata sindiran serta belum
mengadakan akad nikah.
Sindiran yang dibolehkan adalah seperti riwayat Ibnu Humaid
menceritakan kepada kami hal tersebut, dia berkata: Jarir
menceritakan kepada kami dari Manshur, dari Mujahid, dari Ibnu
Abbas tentang firman Allah “dan tidak ada dosa bagi kamu
meminang wanita-wanita itu dengan sindiran,” dia berkata, “sindiran
yaitu berkata ‘aku ingin kawin’ dan ‘aku sesungguhnya suka
perempuan yang begini dan begitu’ mengatakan dengan sindiran
yang baik.”
Penakwilan firman Allah SWT:
“atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu”
Abu Ja’far berkata: makna “atau kamu menyembunyikan
(keinginan mengawini mereka) dalam hatimu” atau yang kalian
sembunyikan dalam diri kalian lantas kalian rahasiakan tentang
35 Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, (Surabaya: Pustaka Agung Harapan,
2006), h. 48.
keinginan meminang mereka dan berteguh hati untuk menikahinya
sedangkan mereka beriddah, maka tidak ada dosa juga atas kalian
tentang hal tersebut jika kalian tidak berteguh hati untuk mengadakan
akad nikah sehingga habis masa iddahnya.
Para ahli tafsir berpendapat seperti yang telah kami
kemukakan, berdasarkan riwayat Muhammad bin Amr menceritakan
kepadaku, dia berkata: Isa menceritakan kepada kami dari Ibnu Abi
Najih, dari Mujahid, tentang firman Allah “atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu”, dia
berkata “merahasiakan maksudnya adalah menyebutkan untuk
meminangnya di dalam dirinya, tidak menampakkannya kepadanya.
Ini semua halal”.36
Penakwilan firman Allah SWT:
“Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka”
Abu Ja’far berkata: maksud ayat tersebut adalah, Allah SWT
mengetahui kalian yang menyebut-nyebut mereka yang sedang
beriddah dengan meminang dalam hati dan lisan kalian. Ibnu Waki
menceritakan kepada kami, dia berkata: Bapakku menceritakan
kepada kami dari Yazid bin Ibrahim, dari Al Hasan, tentang firman
Allah, “Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut
mereka” dia berkata, “itu adalah khitbah”.
Penakwilan firman Allah SWT:
“dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia”
Abu Ja’far berkata: para ahli tafsir berselisih pendapat tentang
makna الس yang dilarang Allah SWT kepada hamba-Nya untuk
mengadakan janji nikah kepada orang yang beriddah. Sebagian
berkata “itu adalah zina”, berdasarkan riwayat Ibnu Basysyar
menceritakan kepada kami, dia berkata: Hamam menceritakan
36 Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, diterjemahkan oleh Ahsan
Askan, dari judul asli Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2014), h. 85-
96.
kepada kami dari Shalih bin Ad-Dahan, dari Jabir bin Zaid, tentang
firman-Nya “dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia”, dia berkata, “maksudnya
adalah zina”.
Penakwilan firman Allah SWT:
“kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang
makruf”
Abu Ja’far berkata: Allah berfirman “kecuali sekedar
mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf”,
mengecualikannya dengan perkataan yang baikdari yang telah
dilarang, seperti seseorang mengadakan janji nikah dengan seorang
wanita secara rahasia, pengecualian ini tidak termasuk dalam
jenisnya, akan tetapi masuk dalam pengecualian ayat sebelumnya,
yaitu mempunyai makna berbeda dengan sebelumnya tentang sifat
secara khusus, maka ل sehingga ayat ,ولكن disini mengandung arti ا
“kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang
makruf” maknanya yaitu akan tetapi sekedar mengucapkan perkataan
yang baik. Jadi, Allah membolehkan berkata kepadanya dengan
perkataan yang baik ketika dalam masa iddahnya.
Berdasar riwayat Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami,
dia berkata: Abdurrahman menceritakan kepada kami, dia berkata:
Sufyan menceritakan kepada kami dari Salamah bin Kuhail, dari
Muslim Al Bathin, dari Said bin Jubair, tentang firman-Nya “kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang makruf”, dia
berkata, “seperti perkataan, ‘aku sungguh suka padamu, maka aku
berharap kita bisa bersama’.”
Penakwilan firman Allah SWT:
“dan janganlah kamu berazam (bertetap hati) untuk berakad nikah,
sebelum habis iddahnya”
Abu Ja’far berkata: maknanya yaitu, janganlah kamu bertetap
hati untuk berakad nikah, dan janganlah kamu membenarkan akad
tersebut dalam masa iddah mereka kemudian kamu
mengharuskannya di antara kalian dan mengadakan akad sebelum
habis iddahnya. Berdasarkan riwayat, Musa menceritakan kepadaku,
dia berkata: Amr menceritakan kepada kami, dia berkata: Asbath
menceritakan kepada kami dari As-Suddi, tentang firman Allah حت
أجل الكتب sebelum habis iddahnya”, dia berkata, “ hingga“يبلغ
melewati masa iddah empat bulan sepuluh hari”.
Penakwilan firman Allah SWT:
“dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyantun”
Abu Ja’far berkata: maksudnya yaitu, wahai manusia, Allah
mengetahui apa yang ada dalam diri kalian, yaitu mencintai dan
menikahinya, maka takutlah kepada Allah dari mengerjakan apa yang
dilarang-Nya, yaitu keinginan menikahinya dan hal-hal lain yang
berkenan dengannya selama masa iddah. Ketahuilah bahwa
sesungguhnya Allah Maha Pengampun atas segala kesalahan yang
diperbuat hamba-Nya, termasuk yang disembunyikan oleh kaum laki-
laki, yaitu keinginan mereka melamar wanita ketika iddah.
Sesungguhnya Allah Maha Lembut terhadap para hamba-Nya dan
tidak tergesa-gesa menimpakan siksa atas mereka.37
Berdasarkan penjelasan tafsir di atas, dapat dipahami bahwa
seorang laki-laki diperbolehkan untuk meminang seorang wanita yang
beriddah dengan kata-kata sindiran yaitu dengan kata-kata yang baik,
diperbolehkan pula seorang laki-laki memendam keinginannya untuk
meminang wanita yang beriddah di dalam hatinya sampai masa iddahnya
selesai, akan tetapi Allah melarang hambanya melakukan janji nikah
selama wanita tersebut masih dalam masa iddahnya kecuali sekedar
mengucapkan perkataan yang makruf.
37 Ibid., h. 98-120.
Al-Qur’an menyebutkan di dalam surat an-Nisa’ ayat 4 yang
berbunyi:
“dan berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan yang kamu
nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka
menyerahkan kepada kamu sebagian dari (maskawin) itu dengan senang
hati, maka terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati”.38
Asbabun nuzul surat an-Nisa’ ayat 4:
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abu Shahih, ia berkata,
“Seseorang apabila menikahkan seorang jandanya, ia mengambil
maskawinnya. Selanjutnya Allah melarang mereka melakukan hal itu lalu
menurunkan ayat berikut, “Dan berikanlah maskawin (mahar) kepada
perempuan (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan.39
3. Akibat Hukum Pinangan
Peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak
bebas memutuskan hubungan peminangan, kebebasan memutuskan
hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai
dengan tutunan agama dan kebiasaan setempat sehingga tetap terbina
kerukunan dan saling menghargai. Sebagaimana di jelaskan dalam
38 Kementrian Agama RI, Al-Qur’anulkarim Tajwid Warna, Terjema Perkata dan Transliterasi
Latin, (Bekasi: Dinamika Cahaya Pustaka, 2017), h. 77. 39 Imam as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, diterjemahkan oleh Ali Nurdin, dari judul asli Ababun
Nuzul, (Jakarta: Qitsi Press, 2017), h. 107.
kompilasi hukum Islam pasal 13: “(1) pinangan belum menimbulkan
akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) kebebasan memutuskan hubungaan peminangan dilakukan dengan tata
cara yang baik sesuai dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat,
sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai”.40
4. Syarat Pinangan
Dalam melakukan peminangan, terdapat beberapa syarat dalam
peminangan, yakni:
a. Wanita yang dipinang bukan istri seseorang.
b. Wanita yang dipinang tidak dalam pinangan laki-laki lain.
c. Wanita yang dipinang tidak dalam masa iddah raj’i, perempuan yang
menjalani masa tunggu raj’i maka bekas suaminyalah yang berhak
merujuknya.
d. Wanita dalam masa iddah wafat hanya boleh dipinang dengan sindiran
(kinayah)
e. Wanita dalam masa iddah ba’in shugra tidak boleh dirujuk, tetapi
boleh dengan nikah yang baru oleh bekas suaminya meskipun dalam
iddah.
f. Wanita dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang suaminya setelah
kawin dengan laki-laki lain, didukhul (berhubungan suami istri) dan
diceraikan.
40 Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri, 2017), h. 80.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil pemahaman bahwa, wanita
yang statusnya bertentangan atau kebalikan dari apa yang disebut di atas,
maka terhalang untuk dipinang.41
5. Rukun Pinangan
Peminangan merupakan sebuah aksi (fi’lah), ikatan (‘iqdah), dan
posisi (jilsah). Contoh, seorang laki-laki mengkhitbah seorang perempuan,
artinya, laki-laki itu mengajak perempuan tadi untuk menikah (melamar/
meminangnya) dengan cara yang lumrah dan biasa dilakukan oleh orang
umum. Adapun rukun peminangan adalah pelaku peminangan yang
disebut khatib, yaitu orang yang mengkhitbah perempuan.42
6. Batasan Tubuh Wanita yang Boleh Dilihat Saat Pinangan
Para ulama berbeda pendapat mengenai batasan bagian tubuh
wanita yang boleh dilihat oleh lelaki yang hendak menikahinya, sebagai
berikut:
a. Boleh melihat wajah dan kedua telapak tangan saja, dan tidak boleh
melihat bagian tubuh lainnya. Pendapat ini merupakan pendapat
mayoritas ulama.
b. Boleh melihat bagian tubuh yang biasa terbuka, seperti leher, kedua
tangan dan telapak kaki. Ini merupakan pendapat terkuat mazhab
Hanbali.
41 Mardani, Hukum Keluarga di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2017), h. 19-20. 42 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, (Bandung: Tinta Abadi Gemilang, 2013), h. 221.
c. Boleh melihat seluruh bagian tubuhnya. Ini merupakan pendapat Ibnu
Hazm dan Dawud, serta salah satu riwayat dari Imam Ahmad.
Batasan tubuh wanita yang boleh dilihat oleh lelaki yang
meminangnya jika seorang lelaki menjumpai wanita yang hendak
dipinangnya, maka wanita tersebut boleh memperlihatkan wajah dan
kedua telapak tangannya, sesuai dengan pendapat mayoritas ulama,
namun jika lelaki tersebut melihatnya secara sembunyi-sembunyi,
maka dia boleh melihat apa saja yang dapat membuatnya lebih tertarik
untuk menikahinya.43
43 Ibid., h. 637-638.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Sifat Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research).
Penelitian lapangan adalah suatu penelitian yang bertujuan mempelajari
secara intensif tentang latar belakang dan keadaan sekarang, dan interaksi
lingkungan suatu unit sosial: individu, kelompok, lembaga dan
masyarakat.44 Dalam penelitian ini yang dimaksudkan dengan field
research adalah penelitian yang ditujukan langsung kelokasi yang akan
diteliti yaitu pada Desa Tegal Yoso yang berada di Kecamatan
Purbolinggo, Kabupaten Lampung Timur.
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif. Deskriptif merupakan
penelitian yang dilakukan untuk membuat pencandraan secara sistematis,
aktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah
tertentu.45 Penelitian ini digunakan karena peneliti berupaya
mendeskripsikan secara sistematis dan faktual mengenai tinjauan hukum
Islam terhadap seserahan dalam adat Sunda yang didasarkan pada data-
44 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h. 80. 45 Ibid…, h. 75.
data yang terkumpul selama penelitian dan dituangkan dalam bentuk
laporan atau uraian.
B. Sumber Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan dua sumber data, yakni sumber
data primer dan sumber data sekunder. Adapun yang dimaksud dengan
sumber data primer dan sumber data sekunder sebagai berikut:
1. Sumber Data Primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang langsung
diperoleh dari narasumber atau lapangan.46 Dalam penelitian ini yang
menjadi sumber data primer adalah 2 orang tokoh adat Desa Tegal Yoso, 3
pelaku seserahan di Desa Tegal Yoso, 2 orang tokoh agama Desa Tegal
Yoso Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur.
2. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder merupakan data yang diperoleh dari
narasumber kedua atau sumber sekunder dari data yang dibutuhkan.47
Dalam mengumpulkan data tentang tinjauan hukum Islam terhadap
seserahan dalam adat Sunda, peneliti tidak hanya bergantung pada sumber
primer, apabila peneliti kesulitan mendapatkan data secara langsung dari
sumber primer dikarenakan data tersebut berkaitan dengan masalah
pribadi sumber subjek penelitian.
46 S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 143. 47 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, (Jakarta: Kencana Perdana, 2003), h. 132.
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku yang
terkait dengan penelitian ini, seperti buku Thomas Wiyasa Bratawidjaja
yang berjudul upacara perkawinan adat Sunda, buku kiat sukses
menyelenggarakan pesta perkawinan adat Sunda, kompilasi hukum Islam
di Indonesia, dan buku-buku lainnya yang berhubungan dengan masalah
penelitian.
C. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai penelitian yang dilakukan bersifat deskriptif kualitatif, maka
penelitian dilakukan langsung oleh peneliti menggunakan metode wawancara
dan metode dokumentasi.
1. Wawancara
Metode wawancara adalah alat pengumpul informasi dengan cara
mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan
pula. Wawancara yang dimaksud adalah teknik untuk mengumpulkan data
yang akurat untuk keperluan proses pemecahan masalah tertentu, yang
sesuai dengan data.48
Metode wawancara merupakan suatu proses interaksi dan
komunikasi dengan tujuan mendapatkan informasi penting yang
48 Muhamad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), h. 105.
diinginkan, wawancara dibedakan menjadi tiga macam, yaitu wawancara
semistruktur, wawancara terstruktur, dan wawancara tak berstruktur.49
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara
semistruktur dimana dalam hal ini peneliti memberikan pertanyaan-
pertanyaan yang sesuai dengan kerangka pertanyaan yang telah
dipersiapkan, dan narasumber diberikan kebebasan dalam menjawab
pertanyaan. Metode wawancara ini digunakan untuk mendapatkan data
tentang proses pelaksanaan penelitian ini dan untuk mendapat informasi
tentang barang-barang untuk seserahan, praktik seserahan.
Wawancara dilakukan kepada 2 orang tokoh adat Desa Tegal Yoso
atas nama bapak Mimin dan ibu Anah, 3 orang pelaku seserahan Desa
Tegal Yoso atas nama Efendi, Eri Sofyan dan Dian setiawan, 2 orang
tokoh agama Desa Tegal Yoso atas nama bapak Ukim Warja Dinata dan
bapak Toat Sutrisna.
2. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan metode yang digunakan untuk
memperoleh informasi dari narasumber tertulis atau dokumen-dokumen,
baik berupa buku, majalah, peraturan-peraturan, notulen, rapat, catatan
harian dan lain-lain.50
49 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2013), h. 73. 50 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Yogyakarta: Rineka
Citra, 2006), h. 158.
Dokumentasi dalam penelitian ini adalah berupa data profil Desa
Tegal Yoso dan dokumentasi saat wawancara.
D. Tehnik Analisis Data
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja
dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang
dapat dikelola, mensintesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan
apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat
diceritakan kepada orang lain.51
Penelitian ini menggunakan analisis kualitatif, yaitu berupa
keterangan-keterangan dalam bentuk uraian-uraian sehingga untuk
menganalisisnya dipergunakan cara berfikir induktif. Teknik analisa data
dilakukan melalui beberapa tahapan yang telah ditentukan yakni identifikasi,
klasifikasi, dan selanjutnya diinterprestasikan dengan cara menjelaskan secara
deskriptif.52
Setelah peneliti menganalisis data yang telah diperoleh, kemudian
penelitian mengambil kesimpulan dengan menggunakan cara berfikir induktif.
Berfikir induktif yaitu suatu cara berpikir yang berangkat dari fakta-fakta
khusus konkrit, peristiwa konkrit, kemudian ditarik secara generalisasi yang
mempunyai sifat umum.53 Cara berfikir induktif digunakan oleh peneliti
51 Ibid., h. 248. 52 Sutrisno Hadi, Metodologi Research: untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis, dan Disertasi
Jilid 1, (Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1984), h. 70. 53 Ibid., h. 40.
karena untuk menganalisis data tentang seserahan adat Sunda serta untuk
memperoleh pengetahuan tinjauan hukum Islam.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Desa Tegal Yoso Kec. Purbolinggo Kab. Lampung Timur
1. Sejarah Singkat Desa Tegal Yoso
Desa Tegal Yoso berdiri pada tahun 1953, berasal dari transmigrasi
umum yang didatangkan dari pulau Jawa yang mayoritas penduduk berasal
dari Jawa Tengah dan Jawa Barat, dengan daerah asal, Kebumen, Solo,
Karang Anyar, Sumedang dan Ciparay. Nama Tegal Yoso untuk pertama
kalinya dipopulerkan oleh camat Purbolinggo yang bernama Niti Suwarso
pada tahun 1953. Desa Tegal Yoso terdiri dari dua suku kata yakni Tegal dan
Yoso.54
Kata Tegal Yoso menurut Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia
bebas diartikan, yakni Yasa atau Yoso memiliki arti cikal bakal, membuat
sendiri, membangun sendiri. Yasa atau Yoso dalam bahasa Jawa berarti
“membuat sendiri” atau “membangun sendiri”.55 Dengan demikian, dapat
diartikan bahwa istilah tersebut mencakup tiga pengertian sekaligus yang
tidak bisa dipisahkan, yaitu pengertian “berkarya (membuka hutan)”, “benar-
benar menduduki tanah itu” dan “hak bagi orang yang bersangkutan untuk
menggunakannya”. Dengan kata lain, hak seseorang atas tanah ini berasal
fakta bahwa dialah atau nenek moyang yang semula membuka tanah tersebut,
54Arsip Profil Desa Tegal Yoso tahun 2017. 55 Ibid.,
Tegal Yoso berarti Tanah Yasa yang memiliki arti tanah yang diperoleh
berkat usaha sendiri membuka lahan atau tanah liar untuk dijadikan tanah
garapan atau pemukiman.56
Dapat diketahui bahwa desa Tegal Yoso merupakan desa yang
berpendudukkan transmigrasi yang datang dari Jawa Tengah dan Jawa Barat,
desa Tegal Yoso terdapat kelompok penduduk berdasar suku, seperti Tegal
Yoso Solo yang penduduknya mayoritas bersuku Jawa datang dari Jawa
Tengah, Tegal Yoso Kebumen yang mayoritas penduduk bersuku Jawa
berbicara dengan bahasa ngapak mereka datang dari Jawa Tengah, Tegal
Yoso Pasundan yang penduduknya berasal dari Jawa Barat bersuku Sunda,
Tegal Yoso Kerajan dengan penduduk bersuku Sunda, penelitian mengenai
seserahan dilakukan di desa Tegal Yoso Pasundan dan Kerajan yang bersuku
Sunda, mereka masih sangat kental dalam melakukan tradisi adat, masih
memiliki kepercayaan mengenai tradisi.
2. Gambaran Secara Umum Desa Tegal Yoso
Kondisi Desa Tegal Yoso pada umumnya sama dengan kondisi desa-
desa yang ada di wilayah Kecamatan Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur
dengan spesifikasi sebagai berikut:
a. Desa atau Kelurahan : Tegal Yoso
b. Kecamatan : Purbolinggo
c. Kabupaten : Lampung Timur
56Ibid.,
d. Provinsi : Lampung
e. Luas wilayah : 536,50 ha
f. Jumlah penduduk : 3.239 jiwa
g. Jumlah KK : 995 KK
h. Topografi : Datar
i. Koordinat : Desa Tegal Yoso berbatasan langsung dengan
kawasan hutan Taman Nasional Way Kambas (TNWK).57
Jumlah penduduk desa Tegal Yoso sebanyak 3.239 yang
mendominasi mata pencaharian penduduk adalah sebagai petani,
selebihnya sebagai buruh serabutan, ada yang sebagai pedagang, sebagian
kecil sebagai pegawai honorer, TNI dan POLRI, penjahit, dan hanya
sebagai ibu rumah tangga.
3. Geografis dan Demografis Desa Tegal Yoso
a. Letak geografis
Desa Tegal Yoso adalah salah satu desa di wilayah Kecamatan
Purbolinggo, berada di sebelah utara Kabupaten Lampung Timur, terletak
pada garis bujur 105,554146 dan garis lintang -4,979898. Jarak tempuh
ke Kecamatan sejauh ± 3 km dengan lama tempuh sekitar ± 9 menit. Jarak
57 Ibid.,
tempuh ke Kabupaten Lampung Timur sejauh ± 12 km dengan lama
tempuh sekitar ± 30 menit.58
b. Batas-batas Desa
Batas-batas desa telah tercantum pada Perdes No. 01 Tahun 2014
tentang wilayah dan batas-batas desa tegal yoso. Mengenai batas desa
tersebut selama ini tidak pernah terjadi kesalah pahaman dan sengketa antar
desa yang berbatasan dengan Desa Tegal Yoso. Adapun batas-batas
tersebut adalah sebagai berikut :
1) Sebelah utara berbatasan dengan Desa Tanjung Kesuma.
2) Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tanjung Intan dan Desa
Taman Fajar.
3) Sebelah timur berbatasan dengan Taman Nasional Way Kambas
(TNWK).
4) Sebelah barat berbatasan dengan Desa Tanjung Intan.59
Desa Tegal Yoso merupakan desa yang yang cukup jauh untuk
menuju kabupaten dan kota, masuk ke dalam untuk menuju desa,
masyarakat desa Tegal Yoso berbatasan langsung dengan desa Tanjung
Kesuma yang bersuku Sunda sama-sama menggunakan tradisi yang sama
dengan desa Tegal Yoso, bahkan tokoh adat untuk memimpin jalannya
acara adat didatangkan dari desa Tegal Yoso.
58Arsip Profil Desa Tegal Yoso tahun 2017. 59Ibid.,
Desa Tegal Yoso memiliki banyak lahan persawahan dan lading,
dimana lahan-lahan tersebut berbatasan langsung dengan taman nasional
way kambas, sehingga pada saat musim tanam gajah-gajah dari hutan
taman nasional way kambas keluar dari hutan kemudian merusak dan
memakan tanaman masyarakat.
Table 1. Jumlah Penduduk Desa Tegal Yoso60
No Usia Jumlah Presentase
1. 0-10 Tahun 544 Jiwa 17.3 %
2. 11-20 Tahun 624 Jiwa 19.8 %
3. 21 – 30 Tahun 544 Jiwa 17.3 %
4. 31-40 Tahun 545 Jiwa 16.4 %
5. 41-50 Tahun 546 Jiwa 13.5 %
6. 51-60 Tahun 547 Jiwa 8.0 %
7. >60 Tahun 548 Jiwa 7.7 %
Jumlah total 549 Jiwa 100.0 %
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa jumlah penduduk
berdasarkan usia yang menurut peneliti memiliki pengaruh dalam tradisi
seserahan di Desa Tegal Yoso, Usia 41 tahun sampai dengan 60 tahun yang
keseluruhan berjumlah 1.641 jiwa dengan total presentase 29,2 %. Seserahan
merupakan tradisi turun temurun, dimana orang-orang tua yang masih kental
dengan tradisi seserahan yang sudah sejak lama diwarisi, orang-orang yang
berusia di atas 60 tahun telah menurunkan tradisi seserahan kepada anak-
60Arsip Profil Desa Tegal Yoso tahun 2017.
anaknya begitu seterusnya, sehingga seserahan masih digunakan sampai saat
ini sehingga menjadikan seserahan sebagai budaya yang harus dilakukan
setiap acara pernikahan.
Table 2. Pendidikan di Desa Tegal Yoso61
No Pendidikan Jumlah Jiwa
1. Buta Huruf 23 Jiwa
2. Tidak Tamat SD 148 Jiwa
3. Tamat SD/Sederajat 565 Jiwa
4. Tamat SMP/Sederajat 504 Jiwa
5. Tamat SMA/Sederajat 447 Jiwa
6. D-1 8 Jiwa
7. D-2 4 Jiwa
8. D-3 21 Jiwa
9. S-1 13 Jiwa
10. S-2 2 Jiwa
11. Masih Sekolah 7-15 Tahun 449 Jiwa
12. Masih Sekolah 7-15 Tahun 19 Jiwa
Tingkat pendidikan dipandang penting dalam mempengaruhi suatu
perubahan, tingkat pendidikan di desa Tegal Yoso sudah cukup baik,
terbukti dari jumlah penduduk yang tamat SMA hingga jenjang S-2
berjumlah 495 jiwa, akan tetapi penduduk yang hanya tamat SMP bahkan
penduduk buta huruf mencapai jumlah 1.220 jiwa. Tradisi yang sudah
61Ibid.,
menjadi kebiasaan dalam masyarakat sulit untuk dihilangkan, karena
masyarakat sudah terbiasa untuk melakukan tradisi yang telah diwariskan
hingga jika tidak melakukan merasa ada yang janggal dalam sebuah acara.
Dalam melakukan tradisi, pendidikan dianggap bukan alasan untuk tidak
melakukan yang telah diwariskan, jadi mereka tetap mengikuti apa yang
telah dilakukan masyarakat dan yang sudah diajarkan oleh orang tua.
Seperti yang disampaikan oleh Eri Sofyan yang memiliki latar
belakang pendidikan D-3, ia mengatakan jika seserahan sudah menjadi adat
kebiasaan yang dilakukan sejak dulu dalam masyarakat, maka mau tidak
mau harus dilakukan.62
Berbeda dengan Eri Sofyan, Dian Setiawan yang sedang menempuh
pendidikan jenjang S-1 memberikan pendapat bahwa dirinya pribadi merasa
tidak setuju dengan adanya tradisi seserahan karena mengapa harus ada
seserahan yang terkesan menghambur-hamburkan dana dalam pernikahan,
harus membelikan segala perlengkapan wanita yang belum resmi menjadi
istri, sedangkan perlengkapan dapat dibeli saat sudah resmi menjadi
keluarga, namun karena sudah menjadi tradisi yang selalu dilakukan maka
mau tidak mau harus melakukannya.63
Efendi mengatakan seserahan baginya bukan suatu beban, karena
sudah menjadi tradisi maka sudah melakukan persiapan sebelumnya,
62 Wawancara dengan Eri Sofyan, Pemuda Desa Tegal Yoso, pada tanggal 25 Januari 2019. 63 Wawancara dengan Dian Setiawan, Pemuda Desa Tegal Yoso, pada tanggal 26 Januari 2019.
sebelum memutuskan untuk berumah tangga laki-laki sudah menyiapkan
tabungan untuk menggelar pernikahan beserta acara-acara adat yang biasa
dilakukan masyarakat.
Dapat dipahami bahwa pendidikan bukan alasan untuk tidak
melakukan tradisi yang sejak lama dilakukan, mereka sudah dibiasakan
dengan adat-adat yang dilakukan oleh leluhur.
Peta Desa Tegal Yoso64
B. Pelaksanaan Seserahan dalam Adat Sunda di desa Tegal Yoso Kec.
Purbolinggo, Kab. Lampung Timur
Seserahan merupakan salah satu tradisi adat yang digunakan oleh
hampir setiap suku di Indonesia, seperti suku Sunda yang peneliti ngkat dalam
64Ibid…,
penelitian ini, menggunakan tradisi seserahan dalam pernikahan di anggap
sebagai sebuah keharusan untuk dilakukan dan tidak bisa di tinggalkan pada
setiap acara pernikahan.
Seperti yang terjadi di desa Tegal Yoso masyarakat yang khususnya
bersuku Sunda juga melakukan tradisi seserahan disetiap acara pernikahan yang
akan berlangsung, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibu Anah yang sudah
menjadi tokoh adat sejak lama mengatakan bahwa seserahan adalah proses
menyerahkan calon mempelai laki-laki kepada pihak calon mempelai wanita
untuk dinikahkan, selain menyerahkan calon mempelai laki-laki rombongan
pihak laki-laki juga membawa barang bawaan, seserahan sudah lama dilakukan
dari orang-orang tua zaman dulu.65
Masyarakat desa Tegal Yoso khususnya suku Sunda, sangat lengkap
dalam melakukan tradisi adat pernikahan, dengan di tuntun oleh tokoh adat
masyarakat melakukan tradisi-tradisi yang telah diwariskan oleh orang tua
terdahulu. Pelaksanaan seserahan di desa Tegal Yoso meliputi:
a. Barang-barang bawaan
Tradisi seserahan tidak hanya menyerahkan calon mempelai laki-laki
untuk dinikahkan, akan tetapi rombongan calon mempelai laki-laki membawa
bawaan sebagaimana yang telah dibicarakan pada saat acara ngalamar atau
dalam bahasa Indonesia disebut meminang.
65 Wawancara dengan Ibu Anah, Tokoh Adat Desa Tegal Yoso pada tanggal 24 Januari 2019.
Ibu Anah sebagai tokoh adat mengatakan bahwa barang-barang
seserahan yang mengikuti tradisi sangat lengkap, diantaranya kain, pakaian
jadi untuk calon istri, pakaian dalam lengkap, hijab (jika calon istri
mengenakan hijab), seperangkat alat shalat, sepatu, tas, sandal, meja, kursi,
lemari, kasur, tempat tidur, bantal, beras, bumbu dapur lengkap, alat rias,
payung, kambing, kelapa, perabotan dapur, perlengkapan untuk sesaji yang
akan digunakan saat malam hari akad, uang.66
Melihat dari barang seserahan yang digunakan, pada umumnya sama
dengan barang yang digunakan pada seserahan adat lain, namun pada
masyarakat desa Tegal Yoso terdapat keunikan yaitu adanya perlengkapan
untuk sesaji. Ibu Anah mengatakan, perlengkapan sesaji berupa bunga 3
macam (kantil, melati dan mawar), kemenyan, kelapa, buah-buahan, kopi
pahit, kopi manis, bubur merah dan putih, padi dengan tangkainya, daun
sirih, tembakau atau rokok, telur ayam, kain putih sedikit, tikar pandan, alas
putih, arang untuk membakar kemenyan. Sesaji tersebut di persembahkan
untuk arwah leluhur sebagai penghormatan, sesaji dipersiapkan pada saat hari
hajat atau hari akad agar acara pernikahan berjalan lancar.67
Senada dengan Ibu Anah, Bapak Mimin yang juga sebagai tokoh adat
mengatakan barang-barang yang dibawa pada saat seserahan, itu merupakan
permintaan dari pihak calon istri yang kemudian dibicarakan dengan pihak
66 Ibid. 67 Ibid…, pada 10 April 2019.
laki-laki keberatan atau tidak dengan yang diminta, jika merasa tidak mampu
atau keberatan, maka akan di musyawarahkan bagaimana baiknya.68
Mengenai perlengkapan sesaji, Bapak Mimin mengatakan, sesaji
berupa bunga, menyan, arang, buah-buahan, kopi pahit dan manis, rokok,
bubur merah dan putih, telur ayam, daun sirih, tikar, kain putih. Sesaji
nantinya digunakan pada saat malam akan hari akad, sesaji diberikan kepada
arwah leluhur agar acara pernikahan berjalan lancar.69
Seserahan merupakan proses yang dilakukan setelah proses khitbah
atau peminangan, masyarakat pada umumnya selalu melakukan peminangan
pada saat hendak melakukan pernikahan, begitu pula dengan yang dilakukan
masyarakat desa Tegal Yoso. Peminangan dianjurkan agar antara kedua
pihak keluarga dapat saling mengenal sehingga tidak ada penyesalan di
kemudian hari, dalam melakukan peminangan terdapat syarat yang harus
dipenuhi, diantaranya adalah wanita yang dipinang bukan istri orang, bukan
wanita yang telah dipinang oleh orang lain, wanita yang tidak sedang dalam
masa iddah raj’i.
Namun, dalam masyarakat desa Tegal Yoso khususnya dalam
melakukan peminangan biasanya pihak pria menanyakan apa saja yang akan
dijadikan sebagai barang seserahan, barang seserahan yang digunakan pada
umumnya sama dengan adat lain yakni perlengkapan kebutuhan wanita serta
68 Wawancara dengan Bapak Mimin, Tokoh Adat Desa Tegal Yoso, pada tanggal 24 Januari
2019. 69 Ibid…, pada 11 April 2019.
kebutuhan kedua calon mempelai setelah berumah tangga, tetapi masyarakat
selalu menyertakan perlengkapan sesaji sebagaimana yang telah di percaya
oleh masyarakat desa Tegal Yoso bahwa sesaji yang di persembahkan untuk
arwah nenek moyang dapat melancarkan acara.
Barang sesaji yang biasa digunakan dan disepakati pada saat
mengkhitbah bahwa pihak laki-laki membawa perlengkapan sesaji sesuai
dengan yang dipercaya oleh masyarakat, hal tersebut merupakan perbuatan
yang dilarang dalam ajaran Islam, dimana kebiasaan mempersembahkan
sesaji merupakan perbuatan syirik dalam ajaran Islam dan sudah seharusnya
untuk ditolak atau dihilangkan dari kebiasaan masyarakat khususnya
masyarakat desa Tegal Yoso.
Mengenai barang saat seserahan, Bapak Toat Sutrisna menambahkan
bahwa barang-barang yang diminta dan diberikan memiliki maksud serta
tujuan, sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Toat Sutrisna sebagai tokoh
agama bahwa barang dalam seserahan hanya untuk membantu pihak wanita
dalam melangsungkan acara pernikahan.70
Dalam melakukan seserahan, para pemuda telah dibekali atau
diajarkan oleh para orang tua untuk melakukan seserahan, sebagai orang yang
melakukan langsung seserahan, mereka mengetahui apa saja yang harus
dibawa. Seperti yang dikatakan oleh Efendi sebagai pemuda yang akan
70 Wawancara dengan Bapak Toat Sutrisna, Tokoh Agama Desa Tegal Yoso, pada tanggal 27
Januari 2019.
melaksanakan seserahan mengatakan barang yang di bawa antaranya beras,
minyak goreng, bawang merah, bawang putih, gula merah, gula pasir,
kerupuk, kecap, kertas nasi, mie, ayam, kelapa, beserta bumbu-bumbu dapur
lainnya, kebaya, sandal, sepatu, seperangkat alat shalat, alat rias, pakaian
dalam calon istri, kain, pakaian jadi, uang.71
Barang-barang seserahan yang mengikuti tradisi sangat lengkap, mulai
dari perabotan dapur, bumbu dapur lengkap, alat rias wanita, kebutuhan-
kebutuhan wanita, namun hal tersebut bisa dimusyawarahkan kembali apabila
pihak laki-laki tidak sanggup untuk memenuhi permintaan pihak wanita,
pihak laki-laki bisa meminta keringanan untuk seserahan, kemudian pihak
laki-laki melakukan musyawarah bagaimana baiknya diambil jalan tengahnya
agar pernikahan tetap bisa di langsungkan, setelah mencapai kesepakatan dan
pihak wanita tidak keberatan menerima, maka seserahan dapat dilakukan.
Setelah barang yang akan dipakai untuk seserahan telah disepakati,
kemudian barang-barang dipersiapkan untuk dibawa saat pelaksaan acara
seserahan, pelaksanaan seserahan.
b. Pelaksanaan Seserahan di Desa Tegal Yoso
Pelaksanaan seserahan di desa Tegal Yoso ada yang dilaksanakan
sehari sebelum hari akad, ada pula yang melakukannya bersamaan dengan
hari akad tepatnya sebelum melakukan ijab qabul.
71 Wawancara dengan Efendi, Pemuda Desa Tegal Yoso, pada tanggal 25 Januari 2019.
Sebagaimana yang disampaikan oleh Bapak Mimin sebagai tokoh adat
beliau memaparkan bahwa, cara melakukan seserahan, biasanya malam
sebelum hari akad tapi ada juga yang melakukannya bersamaan dengan hari
akad, pelaksanaan sebelum hari akad pihak laki-laki mengirimkan utusan
beberapa orang yang dipercaya, orang yang dituakan istilahnya tokoh adat,
setelah sampai rumah pihak wanita, tuan rumah boleh menyambutnya
langsung atau melalui orang yang dipercaya, setelah tuan rumah menyambut
dan menanyakan maksud kedatangan dari utusan pihak laki-laki, orang yang
dituakan oleh pihak laki-laki menyampaikan maksud kedatangannya beserta
utusan yang lain bahwa akan menyerahkan barang seserahan, setelah itu
pihak wanita menerima simbol dari barang seserahan.72
Sedikit berbeda dengan yang disampaikan oleh bapak Mimin, Ibu
Anah mengatakan bahwa pelaksaan seserahan dilaksanakan bersamaan
dengan hari akad, jika seminggu atau sebelum hari akad itu dimaksudkan
untuk membantu hajatan tetapi sepertinya tidak perlu karena untuk hajatan
pasti sudah ada, jadi barang seserahan dibawa saat hari akad rombongan
pihak laki-laki datang dengan membawa seserahan yang bisa dibawa kecuali
barang-barang seperti tempat tidur, kasur, bantal, lemari, meja, kursi, dan
perabotan dapur biasanya hanya di mobil saja, barang-barang yang lain di
bawa oleh rombongan, lalu pihak dari wanita memberikan sambutan, setelah
72 Wawancara dengan Bapak Mimin, Tokoh Adat Desa Tegal Yoso, pada tanggal 24 Januari
2019.
selesai dari pihak wanita, maka utusan atau langsung dari orang tua laki-laki
membalas sambutan tersebut serta menyampaikan maksud kedatangan
bersama rombongan, lalu menyerahkan simbol barang seserahan yang
diterima oleh pihak wanita, setelah itu acara dilanjutkan dengan akad nikah.73
Seserahan di desa Tegal Yoso sudah menjadi hal biasa untuk
dilakukan, maka pemuda di desa tersebut sudah diberi bekal oleh orang tua
mereka bagaimana melakukan seserahan. Efendi sebagai pemuda yang telah
melakukan seserahan mengatakan dalam melaksanakan seserahan, tidak
terlalu merasa menjadi beban karena sudah menjadi kebiasaan yang
dilakukan sebelum menikah, jadi sebelum memutuskan untuk menikah pasti
laki-laki harus sudah menabung untuk melaksanakan pernikahan, mulai dari
biaya pernikahan, biaya untuk seserahan, pelaksanaan seserahan ada yang
sebelum hari akad ada juga yang bersamaan dengan hari akad, seserahan
yang Efendi sendiri jalani dilakukan malam sebelum akad, keluarga
mengirim utusan tokoh adat dan orang yang dipercaya untuk mengantarkan
barang seserahan, Efendi sendiri tidak diperbolehkan ikut dalam seserahan
tersebut.74
Pelaksanaan seserahan di desa Tegal Yoso berbeda-beda kapan
melaksanakannya, akan tetapi inti dari seserahan tetap sama, dalam
perbedaan tersebut masing-masing memiliki maksud, seperti pelaksanaan
73 Wawancara dengan Ibu Anah, Tokoh Adat Desa Tegal Yoso, pada tanggal 24 Januari 2019. 74 Wawancara dengan Efendi, Pemuda Desa Tegal Yoso, pada tanggal 25 Januari 2019.
seminggu atau sehari sebelum akad nikah dimaksudkan agar barang
seserahan bisa digunakan oleh pihak wanita untuk acara hajatan.
C. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Seserahan Dalam Adat Sunda di Desa
Tegal Yoso Kec. Purbolinggo Kab. Lampung Timur
Praktik pernikahan yang terjadi di Desa Tegal Yoso Kecamatan
Purbolinggo Kabupaten Lampung Timur tidak berbeda dengan pernikahan
pada umumnya, pernikahan berjalan sesuai dengan tuntunan agama Islam dan
di tambah dengan berbagai ritual adat Sunda. Dalam salah satu ritual adat
yang dilakukan yaitu seserahan, seserahan di desa Tegal Yoso tidak banyak
perbedaan hanya saja di antara barang-barang seserahan, terdapat
perlengkapan untuk sesaji yang di percaya dapat melancarkan acara
pernikahan, apabila tidak ada sesaji maka dipercaya acara pernikahan tidak
berjalan lancar.
Bapak Toat Sutrisna sebagai tokoh agama mengatakan bahwa
seserahan boleh-boleh saja untuk dilakukan selama tidak ada yang
menyimpang dalam ajaran Islam, seserahan adalah budaya, seserahan hanya
budaya kita saja, budaya adat, dalam Islam seserahan sama saja dengan
memberikan hadiah atau oleh-oleh untuk tuan rumah dan itu tidak dilarang
dalam agama, tidak ada larangan dalam memberi hadiah selama hadiah itu
baik bukan hadiah yang di larang, yang dilarang adalah perlengkapan sesaji
yang dipercaya untuk kelancaran acara. Seserahan bukan sebuah keharusan
untuk dilakukan, karna bersifat hadiah untuk membantu pihak wanita.75
Senada dengan yang disampaikan dengan Bapak Toat, Bapak Ukim
Warja Dinata menyatakan bahwa seserahan dalam Islam wajar-wajar saja
untuk dilakukan, boleh-boleh saja dilakukan selama tidak ada hal yang
menyimpang, hanya saja jika ada barang seperti sesaji itu yang tidak di
perbolehkan. Seserahan sama dengan memberi hadiah untuk calon istri
sebagai bentuk keseriusan, tetapi bukan suatu keharusan, seserahan nantinya
akan digunakan kembali bersama waktu menjalani rumah tangga.76
Tradisi seserahan apabila di kaji dan analisis melalui hukum Islam,
tradisi ini sesungguhnya tidak relevan dan tidak tercantum dalam syarat
maupun rukun pernikahan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa pernikahan
merupakan akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.77
Budaya yang berkembang di desa Tegal Yoso peneliti mencari solusi
dengan pendekatan urf atau disebut juga dengan adat, dimana urf dibagi
menjadi dua bagian yaitu urf shahih dan urf fasid. Ketika sebuah adat atau
kebiasan dalam masyarakat tidak bertentangan dengan dalil syara’ serta tidak
75 Wawancara dengan Bapak Toat Sutrisna, Tokoh Agama Desa Tegal Yoso, pada tangaal 27
Januari 2019. 76 Wawancara dengan Bapak Ukim Warja Dinata, Tokoh Agama Desa Tegal Yoso, pada
tanggal 27 Januari 2019. 77 H. Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: Akademika Presindo,
2010), h. 114.
menghalalkan yang haram maka kebiasaan tersebut boleh dijadikan sebagai
tuntunan atau boleh untuk dilakukan dalam masyarakat hal tersebut
merupakan urf yang shahih, akan tetapi apabila adat atau kebiasaan yang
dilakukan masyarakat bertentangan dengan dalil syara’ serta menghalalkan
yang haram disebut dengan urf fasid yang tentu hal tersebut dilarang dalam
Islam.
Hakikat adat dan urf adalah sesuatu yang sama-sama dikenal oleh
masyarakat dan telah berlaku secara terus menerus sehingga diterima
keberadaannya ditengah umat.78
Hukum Islam bersifat universal sehingga mengatur segala aspek
kehidupan manusia, namun tidak terlepas dari pengaruh budaya atau dari
suatu daerah, misal desa Tegal Yoso, dimana hukum Islam berkembang
sehingga proses perkawinan adat berupa seserahan yang terjadi di desa Tegal
Yoso termasuk dalam urf.
Seserahan pada dasarnya mengandung kemaslahatan untuk
dikemudian hari karena memberikan barang-barang yang berguna dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, akan tetapi kenyataan yang ada masih
banyak masyarakat yang menyertakan barang untuk sesaji yang di percaya
dapat melancarkan acara, maka kebiasaan seperti ini bisa ditolak atau
dihilangkan. Dalam hal ini tradisi seserahan yang menggunakan sesaji
termasuk kedalam urf yang fasid dan dapat dijadikan pedoman untuk
78 Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 71.
meninggalkan atau menolak kerusakan. Karena kelancaran acara bukan
tergantung pada sesaji yang di persembahkan untuk leluhur, cukuplah Allah
sebagai penolong.
Seserahan dalam perkawinan merupakan adat yang menggunakan urf
sebagai kemaslahatan yang tidak di tetapkan hukumnya dan tidak ada dalil
yang melarang atau mewajibkannya, tetapi berdasarkan kebiasaan masyarakat
yang diulang-ulang.
Seserahan dengan pemberian barang-barang seperti keperluan dapur,
pakaian, peralatan shalat, uang, perabotan dapur, alat rias, boleh diberikan
kepada pihak wanita sebagai pemberian dari pihak laki-laki, dalam kitab fiqih
yang berjudul mausu’ah fiqhy islamy wal qodhoya al ma’asiroh menyebutkan
bahwa menurut empat madzhab fiqih pemberian ketika khitbah, sebelum atau
saat perkawinan merupakan sebuah hibah (pemberian). Jadi, pemberian dalam
seserahan tanpa menyertakan sesuatu yang menyalahi ajaran agama
diperbolehkan.
Terdapat banyak pendapat dari masyarakat mengenai tradisi seserahan,
setiap masyarakat berhak mengeluarkan pendapat serta menjalankan
kepercayaan sesuai hati nurani. Adat istiadat tidak dilarang dalam agama
selama adat tersebut tidak menyimpang. Seserahan merupakan sebuah budaya
atau tradisi yang biasa dilakukan didalam masyarakat, seserahan bukanlah
sebuah keharusan dalam sebuah acara pernikahan, seserahan hanya sebuah
pemberian hadiah untuk membantu pihak wanita dalam melaksanakan
pernikahan.
Tradisi seserahan di desa Tegal Yoso yang memberikan perlengkapan
sesaji sebagai kepercayaan bahwa akan melancarkan acara pernikahan
merupakan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, tradisi tersebut
merupakan tradisi yang mengandung unsur kesyirikan dimana masyarakat
mempercayai bahwa dengan mempersembahkan sesaji kepada leluhur akan
melancarkan acara pernikahan yang akan diselenggarakan, maka masyarakat
dalam hal ini dapat menolak atau bahkan menghilangkan kebiasaan
menggunakan sesaji.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
bahwa tinjauan hukum Islam terhadap seserahan adat Sunda yang dilakukan oleh
masyarakat desa Tegal Yoso dengan menyertakan sesaji dalam proses seserahan
yang di persembahkan kepada arwah nenek moyang yang dipercaya dapat
melancarkan acara merupakan urf yang fasid, karena sesaji dilarang dalam ajaran
Islam dan mengandung unsur syirik. Sehingga seserahan di desa Tegal Yoso tidak
sesuai dengan ajaran Islam, dan masyarakat harus meninggalkan kebiasaan
menyertakan sesaji dalam seserahan.
B. Saran
Saran yang ingin peneliti sampaikan dalam penelitian ini adalah:
1. Kepada masyarakat ketika melaksanakan seserahan harus menghilangkan
kebiasaan menggunakan perlengkapan sesaji yang dipercaya akan
memperlancar acara pernikahan karena hal tersebut merupakan berbuatan
yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana, 2003.
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushulul Fiqh, diterjemahkan oleh Masdar Helmy, dari
judul asli Ilmu Ushulul Fiqh, Bandung: Gema Risalah Press, 1997.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo,
2010.
Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir Ath-Thabari, diterjemahkan oleh
Ahsan Askan, dari judul asli Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayi Al Qur’an, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2014.
Aep S. Hamidin, Buku Pintar Adat Perkawinan Nusantara, Jogjakarta: Diva Press,
2012.
Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media
Group, 2006.
Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2012.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana, 2008.
Arsip Profil Desa Tegal Yoso tahun 2017.
Artati Agoes, Kiat Sukses Menyelenggarakan Pesta Perkawinan Adat Sunda, Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta: Kencana Perdana, 2003.
Departemen Republik Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai
Pustaka, 1989.
H. Sudirman, Fiqh Kontemporer (Contemporary Studies Of Fiqh), Yogyakarta: Budi
Utama, 2018.
I wayan sudarma, “Arti dan Makna Sesajen Menurut Budaya Sunda”, dalam
phdi.or.id/artikel/makna-simbolik-sesajen-Sunda diunduh pada 14 Juni 2019.
id.wikipedia.org/wiki/Sesajen, di Unduh pada tanggal 14 Juni 2019.
Imam as-Suyuthi, Asbabun Nuzul, diterjemahkan oleh Ali Nurdin, dari judul asli
Ababun Nuzul, Jakarta: Qitsi Press, 2017.
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Yogyakarta: Liberty, 2000), cet 4.
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, Surabaya: Pustaka Agung
Harapan, 2006.
Kementrian Agama RI, Al-Qur’anulkarim Tajwid Warna, Terjema Perkata dan
Transliterasi Latin, Bekasi: Dinamika Cahaya Pustaka, 2017.
Mardani, Hukum Keluarga di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2017.
Meli Pitria, “Sesan Dalam Masyarakat Adat Lampung Pepadun Ditinjau Dari
Perspektif Hukum Islam (studi kasus di Desa Gunung Sugih Raya Kecamatan
Gunung Sugih Kabupaten Lampung Tengah)”, (Lampung: Institut Agama
Islam Negeri Raden Intan, 2016).
Muhamad, Metodologi Penelitian Ekonomi Islam Pendekatan Kuantitatif, Jakarta:
Rajawali Pers, 2013.
Muhammad Dahlan, Fikih Munakahat, Yogyakarta: Budi Utama, 2015.
Muhammad Utsman Al-Khasyt, Fikih Wanita Empat Madzhab, Bandung: Ahsan
Publishing, 2010.
Musa Aripin, “Eksistensi Urf Dalam Kompilasi Hukum Islam”, (padangsidimpuan:
Institut Agama Islam Negeri Padangsidimpuan), No. 1/2016.
Retno Windyarti, “Makna Simbolik Serah-serahan Dalam Upacara Perkawinan Adat
Jawa di Desa Tanjung Belit Kecamatan Siak Kecil Kabupaten Bengkalis
Provinsi Riau” dan penerbit Universitas Riau, No.2/Oktober 2015.
S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Jakarta: Bumi Aksara, 2012.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah Jilid 3, Bandung: Tinta Abadi Gemilang, 2013.
Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri, 2017.
Siti Zulaikha, Fiqih Munakahat 1, Yogyakarta: Idea Press Yogyakatra, 2015.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2013.
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Yogyakarta:
Rineka Citra, 2006.
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008.
Sumarsono, Budaya Masyarakat Perbatasan: Studi tentang corak dan pola interaksi
sosial pada masyarakat kecamatan Langendari Provinsi Jawa Barat, Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999.
Sutrisno Hadi, Metodologi Research: untuk Penulisan Paper, Skripsi, Thesis, dan
Disertasi Jilid 1, Yogyakarta: Universitas Gajah Mada, 1984.
Taufiqurrohman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia “Pro-Kontra
Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi”, Jakarta:
Prenadamedia Group, 2013.
Thomas Wiyasa. B, Upacara Perkawinan Adat Sunda, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1990.
TitiekSuliyati, “AdatPerkawinanTionghoa di Pecinaan Semarang”, Skripsi Tahun
2000 (tidak dipublikasikan).
Undang-Undang Nomor 1 tahun1974 Tentang Perkawinan Pasal 1.
Wahbah Zuhaily, Mausu’ah Fiqhy Islamy Wal Qodhoya Al Ma’asiroh, Damaskus:
Tsaqafah Mukhtalaf Dar Al Fikr Damaskus, 1433 H / 2012 M.
Wawancara dengan Bapak Mimin, Tokoh Adat Desa Tegal Yoso, pada tanggal 24
Januari 2019.
Wawancara dengan Bapak Toat Sutrisna, Tokoh Agama Desa Tegal Yoso, pada
tanggal 27 Januari 2019.
Wawancara dengan Bapak Ukim Warja Dinata, Tokoh Agama Desa Tegal Yoso,
pada tanggal 27 Januari 2019.
Wawancara dengan Efendi, Pelaku Seserahan di Desa Tegal Yoso, pada tanggal 25
Januari 2019.
Wawancara dengan Ibu Anah, Tokoh Adat Desa Tegal Yoso pada tanggal 24 Januari
2019.
Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari al-Fannani, Terjemahan Fat-hul Mu’in,
diterjemahkan oleh Moch.Anwar, dkk, dari judul asli Fathul Mu’in, Bandung:
Sinar Baru Algensindo, 2009.
RIWAYAT HIDUP
Tri Retno Pratiwi dilahirkan di desa Tanjung Kesuma pada
07 April 1996, anak ke tiga dari tiga bersaudara dari
pasangan bapak Wagiman dan Ibu Ninik Wahyuni.
Pendidikan formal yang pernah ditempuh oleh peneliti
adalah di TK Dharma Wanita Tanjung Kesuma
diselesaikan pada tahun 20002, dilanjutkan kejenjang Sekolah Dasar yaitu SD Negeri
02 Tanjung Kesuma diselesaikan pada tahun 2008. Selanjutnya meneruskan di SMP
Islam Purbolinggo diselesaikan tahun 2011, dan dilanjutkan kejenjang Sekolah
Menengah Kejuruan yaitu SMK Kesehatan Tri Bhakti Al-Husna diselesaikan pada
tahun 2014. Kemudian pada tahun yang sama yakni 2014, peneliti diterima menjadi
mahasiswi di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Jurai Siwo Metro dalam
Prodi Ahwal Al-Syakhshiyyah Jurusan Syariah TA. 2013/2014 yang sekarang telah
alih status menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Metro pada Jurusan Ahwal
Al-Syakhshiyyah, Fakultas Syariah.
top related