setelah seminar komunikasi interpersonal orang tua dan anak
Post on 24-Jun-2015
443 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Para orang tua belakangan ini sering kali mengkhawatirkan tingkat
pergaulan anaknya pada saat di luar rumah terlebih dengan adanya kasus dan
berita-berita tentang seks bebas di kalangan remaja. Proses tumbuh kembang
remaja di saat sekarang ini memang harus diwaspadai dan diperhatikan karena
kondisi kejiwaan para remaja yang masih labil dan berada pada tahap transisi, atau
biasa kita sebut dengan istilah masa pubertas, dimana gejolak seksual ikut
berkembang seiring perkembangan remaja tersebut. Pada masa ini terjadi
pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dalam aspek fisik, emosi, kognitif,
dan sosial. Masa ini merupakan masa yang kritis, yaitu saat untuk berjuang
melepaskan ketergantungan kepada orang tua dan berusaha mencapai kemandirian
sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa.
Pergaulan bebas termasuk hubungan seks pada usia remaja kian marak
saja. Selain didorong pola pergaulan yang salah, cerita-cerita sesat tentang dunia
seks menyebar dan merasuk kaum remaja. Menurut seorang pakar psikolog,
Ratih Ibrahim1 dalam acara sosialisasi masalah bertema seksologi bertema I Know
yang digelar PT Kimberly-Clark Indonesia, ada semacam kesadaran bahwa
pergaulan bebas kalangan remaja ditopang informasi yang kurang, sekaligus
kepercayaan tentang dunia seks yang sesat membahayakan kehidupan remaja.
Misalnya, ada yang menyebutkan jika seks hanya sekali, maka tidak akan terjadi
kehamilan. Ratih menjelaskan, terbukanya akses informasi ditambah tekanan dari
lingkungan diyakini menjadi penyebab banyaknya remaja yang melakukan seks
pranikah. Selain itu, orang tua yang sibuk membuat remaja tidak betah di rumah
dan cenderung mencari informasi di luar lingkungan rumah. Ratih juga
berpendapat, remaja umumnya memiliki rasa keingintahuan yang besar dan
senang mencoba hal-hal baru. Kaum remaja juga gemar bereksplorasi dengan
seksualitas, padahal pengetahuan tentang hal ini masih sangat minim.
1 Ratih Ibrahim. http://pdpersi.co.id. I Know diakses tanggal 12 Februari 2010
1
2
Masa peralihan pertumbuhan dari anak ke dewasa yang dilewati dengan
masa remaja dinilai begitu rentan. Pertumbuhan fisik yang mulai berubah
misalnya membesarnya buah dada, tumbuhnya bulu di kelamin, dan menstruasi,
membuat remaja putri mencari tahu sendiri penyebabnya. Pada saat bersamaan
selain soal perubahan fisik, terjadi juga perubahan psikis misalnya mulai tertarik
pada lawan jenis. Justru pada saat inilah pendampingan orang tua sangat penting.
Dari riset tahun 2008 terhadap banyak sampel dari 33 provinsi di
Indonesia, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)2
mengungkap, sekitar 63% remaja usia sekolah menengah pertama (SMP) dan
menengah atas (SMA) di Indonesia mengaku sudah pernah melakukan hubungan
seks. Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-hak Reproduksi BKKBN, M. Masri
Muadz mengatakan bahwa 21% diantaranya melakukan aborsi.
Untuk wilayah Kota Bengkulu, perilaku seks bebas remaja juga semakin
parah. Direktur Eksekutif Centra Citra Remaja Rafflesia (CCRR)3, Ahmad
Syahroni, S.Pd mengakui bahwa mereka pernah melakukan survey pada bulan
Mei 2008 terhadap 105 responden dari 20 sekolah di Kota Bengkulu dengan usia
12 – 18 tahun dan hasilnya cukup mengejutkan. Dari hasil survey tersebut,
perilaku responden pada saat pacaran sebanyak 8,6% pernah berhubungan seks.
Sementara survey yang dilakukan Ekspresi RB pada awal tahun 2010
menunjukkan perbedaan yang cukup mengejutkan. Survey yang melibatkan 172
responden usia 12-18 tahun yang diambil secara acak pada beberapa sekolah dan
lokasi nongkrong anak muda memperlihatkan bahwa 31,9% responden mengaku
pernah berhubungan seks.
Untuk mengetahui perkembangan kasus-kasus kehamilan di luar nikah di
kalangan remaja usia 10-24 tahun, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pelayanan Kesejahteraan Sosial (B2P3KS)4, Departemen Sosial Republik
Indonesia (Depsos RI) melakukan penelitian yang bertajuk “Kehamilan Tidak
Diinginkan pada Remaja Tahun 2007”. Melalui penelitian yang dilakukan di
sebuah kota di Pulau Jawa ini ditemukan fakta bahwa remaja yang mengalami
2 BKKBN. Jawa Pos. Remaja Cicipi Seks Capai 63 Persen. Edisi 21 Desember 20083 CCRR, Rakyat Bengkulu. Hah... 31,9 Persen Remaja Pernah ML!!!. Edisi 8 Februari 20104 B2P3KS. http://www.tirtapena.com diakses tanggal 12 Februari 2010
3
KTD terbanyak adalah yang memiliki pendidikan perguruan tinggi alias
mahasiswa (59,22%), remaja yang berpendidikan SMU (17,70%), dan yang
paling kecil SMP (1,63%). Secara keseluruhan, remaja yang hamil di luar nikah
terbesar terjadi pada tahun 2002 sebanyak 640 kasus. Kemudian tahun 2004
sebanyak 560 kasus dan tahun 2005 sebanyak 551 kasus. Sementara di wilayah
Bengkulu sendiri, survey bimbingan konseling remaja di 8 sekolah Kota
Bengkulu pada Juni 2009 menunjukkan bahwa terdapat 9 kasus kehamilan tidak
diinginkan (KTD) sejak bulan Maret 2008 sampai dengan bulan Maret 20095.
Walaupun data yang diperoleh belum mencerminkan perilaku seksual
remaja pada umumnya, namun tampak jelas adanya suatu fenomena baru yang
menunjukan berkembangnya perilaku seks bebas di kalangan remaja dan
kecenderungan hamil di luar nikah. Menurut Psikolog UGM, Noor Rachman
Hadjam6, kasus hamil sebelum menikah di kalangan remaja adalah sebagai
fenomena gunung es. Hanya di permukaan yang tampak. Sedangkan yang tidak
terlihat jauh lebih banyak. Dengan kata lain, kemungkinan masih banyak remaja
yang hamil di luar nikah namun tidak terdata.
Masalah seksualitas di kalangan remaja adalah masalah yang cukup pelik
untuk diatasi. Di satu sisi, perkembangan seksual itu muncul sebagai bagian dari
perkembangan yang harus dijalani, namun di sisi lain, penyaluran hasrat seksual
yang belum semestinya dilakukan dapat menimbulkan akibat yang serius, seperti
kehamilan. Pada perkembangan ditahap remaja akhir, individu biasanya mencari
teman untuk pasangan hidup yang dilakukan secara lebih serius dan berkomitmen.
Namun tidak jarang, pergaulan yang dilakukan melampaui batas-batas karena
mereka merasa saling mencintai dan saling memiliki satu sama lain, sehingga
menimbulkan kehamilan.
Sementara itu, fenomena pergaulan anak muda zaman sekarang, sudah
tidak terbantahkan begitu bebasnya. Muda-mudi tidak canggung lagi bermesra-
mesraan di muka umum, bisa dibayangkan apalagi jika gaya pacaran muda-mudi
5 CCRR. http://sites.google.com/site/ccrrbengkulu/home/data diakses tanggal 13 Februari 2010
6 Noor Rachman Hadjam. http://remaja.suaramerdeka.com/2009/07/13/remaja-dan-hamil-d0-puar-nikah/ diakses tanggal 13 Februari 2010
4
ini berada di tempat tersembunyi. Sehingga gaya pacaran yang seperti ini
mengakibatkan permasalahan yang berdampak buruk, yaitu hamil di luar nikah.
Kehamilan di luar nikah khususnya bagi remaja, tentunya bukan hal yang
diinginkan. Sehingga terlepas dari alasan yang mengakibatkan kehamilan ini, ada
dari mereka yang lebih memilih aborsi, agar tidak ketahuan oleh orang lain
ataupun karena tidak mau menanggung malu.
Kehamilan merupakan suatu anugerah bagi kebanyakan pasangan suami
istri karena adanya anak membuat hidup berkeluarga terasa lebih lengkap dan
lebih mempunyai arti. Namun akan berbeda halnya untuk kehamilan yang terjadi
sebelum adanya suatu ikatan pernikahan. Kehamilan seperti ini sangat tidak
diharapkan oleh kebanyakan orang karena dianggap sebagai aib.
Kasus kehamilan diluar nikah yang dialami para remaja masih banyak
terjadi di sekitar kita saat ini. Kasus ini tentunya bukan masalah yang sederhana.
Para remaja yang seharusnya mempunyai masa depan yang lebih cerah, harus
dipaksa untuk menjadi orang tua dini akibat kelakuan mereka yang tidak bisa
mereka bayangkan akibatnya.
Orang tua merupakan pihak yang paling bertanggung jawab terhadap
kehidupan anaknya. Maka dari itulah, apabila kasus kehamilan di luar pernikahan
ini menimpa anaknya, orang tua juga akan menerima dampaknya. Sebagai
seorang anak, tentu saja sangat sulit mengutarakan kehamilan yang terjadi di luar
nikah kepada orang tuanya. Rasa takut apabila dimarahi, merasa dikucilkan,
bingung, takut diusir, dan perasaan lain bercampur menjadi satu. Hal tersebut
yang menimbulkan permasalahan dalam berkomunikasi antara anak dengan orang
tua pada saat mengungkapkan kejujurannya atas kehamilannya di luar ikatan
pernikahan.
Hubungan orang tua dengan anak merupakan hubungan antar pribadi yang
pada dasarnya merupakan hubungan timbal balik yang idealnya dipengaruhi oleh
sikap percaya, sikap suportif, dan terbuka. Oleh karena hubungan orang tua
dengan anak adalah hubungan antarpribadi maka komunikasi yang terjadi dalam
hal ini adalah komunikasi antarpribadi (interpersonal). Menurut Joseph A. Devito
(1997:231) dalam bukunya “Komunikasi Antar Manusia”, komunikasi
5
antarpribadi atau Interpersonal Communication adalah sebagai komunikasi yang
berlangsung di antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan
jelas.
Komunikasi interpersonal merupakan keterlibatan internal secara aktif dan
individu menjadi pengirim sekaligus penerima pesan, memberikan umpan balik
bagi dirinya sendiri dalam proses internal yang berkelanjutan. Pentingnya situasi
komunikasi antarpribadi ialah karena prosesnya memungkinkan berlangsung
secara dialogis. “Dialog itu sendiri adalah bentuk komunikasi antarpribadi yang
menunjukkan terjadinya interaksi. Mereka yang terlibat dalam komunikasi bentuk
dialog ini berfungsi ganda, masing-masing menjadi pembicara dan pendengar
secara bergantian” (Effendy, 2003: 60)
Dalam komunikasi interpersonal ini, tidak semua percakapan bisa
diungkapkan dengan mudah, terutama apabila pesan yang disampaikan itu riskan
untuk diungkapkan, dan tentu saja akan melewati hambatan-hambatan yang
dialami oleh komunikator untuk mengirimkan pesan ke komunikan. Jika dikaitkan
dengan rencana penelitian ini, maka pesan yang disampaikan adalah berupa
informasi dari seorang anak kepada orang tua mengenai kehamilannya yang
terjadi di luar nikah. Tentu saja ketika sang anak mengkomunikasikan hal itu
kepada orang tuanya, tidak akan terlepas dari hambatan-hambatan dalam
penyampaiannya.
Komunikasi antarpribadi antara anak dan orang tuanya mengenai
kehamilan di luar nikah yang dialami anak merupakan sebuah proses komunikasi
yang kompleks, mengingat informasi yang akan disampaikan anak kepada orang
tuanya adalah hal yang sangat riskan untuk dibicarakan. Banyak juga remaja yang
memilih aborsi atau mencoba bunuh diri karena takut orang tuanya tahu bahwa ia
sedang mengandung seorang anak di luar nikah. Oleh karena hal-hal tersebutlah
penulis tertarik untuk meneliti dan memperdalam pengetahuan mengenai
komunikasi interpersonal antara anak remaja yang mengalami hamil di luar nikah
dengan orang tuanya, dimulai pada saat mengetahui dirinya hamil, pada saat ia
menyampaikan informasi perihal kehamilannya itu kepada orang tuanya, sampai
6
pada masa setelah orang tua mengetahui kehamilan yang terjadi karena reaksi
yang timbul kemudian bisa berbeda-beda dari setiap orang tua.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1.2.1 Bagaimanakah hubungan antar pribadi orang tua dan anak sebelum
anak mengalami kehamilan di luar nikah?
1.2.2 Hambatan apa saja yang terjadi pada proses penyampaian
informasi oleh anak kepada orang tua mengenai kehamilan di luar
nikah yang dialaminya?
1.2.3 Bagaimanakah komunikasi interpersonal antara anak dan orang tua
setelah kehamilan di luar nikah yang dialami anak?
1.3 TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1.3.1 Untuk mengetahui hubungan antar pribadi orang tua dan anak
sebelum anak mengalami kehamilan di luar nikah.
1.3.2 Untuk mengetahui hambatan apa saja yang terjadi pada proses
penyampaian informasi oleh anak kepada orang tua mengenai
kehamilan di luar nikah yang dialaminya.
1.3.3 Untuk mengetahui komunikasi interpersonal antara anak dan orang
tua setelah kehamilan di luar nikah yang dialami anak.
1.4 MANFAAT PENELITIAN
1.4.1 Manfaat Teoritis
Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk memperkaya kajian
ilmu komunikasi terutama komunikasi interpersonal antara orang tua
7
dan anak, sehingga menjadi komunikasi yang efektif. Juga
diharapkan konsep yang dihasilkan kelak dapat digunakan sebagai
bahan referensi bagi penelitian lebih lanjut mengenai proses
komunikasi yang terjadi pada orang tua dan anak terutama
komunikasi interpersonal jika terjadi kondisi yang serupa.
1.4.2 Manfaat Praktis
a) Untuk menjadi masukan bagi orang tua dan anak agar dapat
meningkatkan kualitas komunikasi interpersonal sehingga
komunikasi dalam keluarga berjalan dengan efektif.
b) Untuk menjadi pertimbangan bagi orang tua dan anak untuk
meningkatkan keluasan dan kedalaman hubungan antar pribadi.
c) Untuk memberikan gambaran kepada masyarakat tentang
fenomena kehamilan di luar nikah, terutama bagi para orang tua
yang memiliki anak usia remaja.
d) Untuk menjadi bahan pelajaran bagi para remaja dalam
mendalami pendidikan seks agar terhindar dari perilaku berisiko
seperti seks pranikah yang dapat menyebabkan terjadinya
kehamilan di luar nikah dan lain-lain.
e) Untuk menjadi masukan atau pertimbangan bagi dunia
pendidikan untuk dapat memberikan sosialisasi atau penyuluhan
yang lebih banyak lagi tentang pendidikan seksual yang
diharapkan dapat mengurangi angka kehamilan di luar nikah atau
aborsi.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penelitian Terdahulu
Berkaitan dengan permasalahan seputar hamil di luar nikah yang dialami
remaja, sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh Rapida7 dengan judul
“Remaja Hamil Sebelum Menikah”. Penelitian ini memfokuskan pada
pengetahuan remaja tentang seks sehat dan sosialisasi tentang seks dari orang tua.
Dari penelitian ini ditemukan bahwa pengetahuan remaja tentang seks sehat dan
sosialisasi dari orang tuanya masih dalam tingkat rendah. Penelitian berikutnya
dilakukan oleh Mudiarti8 yang berjudul “Identifikasi Problema Wanita Hamil di
Luar Nikah” dengan fokus penelitian untuk mengetahui problema-problema
wanita hamil di luar nikah, konsekuensi psikologis, konsekuensi sosial, dan
penilaian masyarakat terhadap perilaku pernikahan setelah hamil. Sedangkan
penelitian yang akan saya lakukan berbeda dengan penelitian terdahulu tersebut.
Meskipun masih dalam satu topik tentang kehamilan di luar nikah, namun
penelitian saya lebih memfokuskan kepada proses komunikasi interpersonal
antara orang tua dan anak dalam kasus hamil di luar nikah yang dialami anaknya.
Penelitian saya ini dapat masuk dalam kategori penelitian lanjutan dari topik
penelitian yang sama dari penelitian sebelumnya.
2.2. Komunikasi Interpersonal
Menurut Sendjaja (2002:4.4), komunikasi berasal dari bahasa Latin
“communis” atau “common” dalam bahasa Inggris yang berarti sama.
Berkomunikasi berarti kita sedang berusaha untuk mencapai kesamaan makna,
“commonness”. Atau dengan ungkapan yang lain, melalui komunikasi kita
mencoba berbagi informasi, gagasan, atau sikap kita dengan partisipan lainnya
(dalam Bungin, 2006: 253).
Hardjana mengemukakan bahwa:
7 Rapida Puspa Yani. 2006. Remaja Hamil Sebelum Menikah. Skripsi Sosiologi UNIB8 Mudiarti. 2007. Idenrifikasi Problema Wanita Hamil di Luar Nikah. Skripsi Sosiologi UNIB
9
“Komunikasi berawal dari gagasan yang ada pada seseorang. Gagasan itu diolahnya menjadi pesan dan dikirimkan melalui media tertentu kepada orang lain sebagai penerima. Penerima menerima pesan, dan sesudah mengerti isi pesan itu kemudian menanggapi dan menyampaikan tanggapannya kepada pengirim pesan. Dengan menerima tanggapan dari si penerima pesan itu, pengirim pesan dapat menilai efektifitas pesan yang dikirimkannya. Berdasarkan tanggapan itu, pengirim dapat mengetahui apakah pesannya dimengerti dan sejauh mana pesannya dimengerti oleh orang yang dikirimi pesan itu”. (Hardjana, 2003:11)
Hubungan antar manusia berbeda tingkat keeratan dan rasa keterikatannya.
Seberapa besar keeratan dan keterikatan itu dapat dilihat dari komunikasi
interpersonal di antara mereka. Menurut Joseph A. Devito (dalam Effendy, 2003:
59-60), pengertian dari komunikasi antarpribadi atau komunikasi interpersonal,
yakni: “proses pengiriman dan penerimaan di antara dua orang atau di antara
sekelompok kecil orang dengan beberapa efek dan berupa umpan balik seketika”.
Definisi serupa juga disampaikan oleh Hardjana yang menyatakan bahwa:
Komunikasi interpersonal merupakan komunikasi tatap muka. Karena itu, kemungkinan umpan balik (feedback) sangat besar sekali. Dalam komunikasi itu, penerima pesan dapat langsung menanggapi dengan menyampaikan umpan balik. Dengan demikian, di antara pengirim dan penerima pesan terjadi interaksi, saling mempengaruhi dan menerima dampak. Pengaruh itu terjadi pada tataran kognitif-pengetahuan, afektif-perasaan, dan behavioral-perilaku. Semakin berkembang komunikasi interpersonal itu, semakin intensif umpan balik dan interaksinya karena peran pihak-pihak yang terlibat berubah peran dari penerima pesan menjadi pemberi pesan dan sebaliknya dari pemberi pesan menjadi penerima pesan. (Hardjana, 2003:88).
Komunikasi interpersonal berlangsung setidaknya pada dua orang. Setiap
dari padanya berfungsi sebagai pengirim dan penerima pesan. “Komunikasi
interpersonal memiliki bentuk khusus yakni hubungan diadik (relational diadic),
yaitu bahwa komunikasi interpersonal sebagai komunikasi yang berlangsung di
antara dua orang yang mempunyai hubungan yang mantap dan jelas.” (DeVito,
1997:231).
10
Proses penyampaian pesan dalam komunikasi interpersonal tidak selalu
berjalan sesuai dengan tujuan yang dimaksud oleh pengirim pesan. Supratiknya
(1995:34) mengungkapkan bahwa, “Komunikasi akan dikatakan efektif apabila
penerima pesan dapat menginterpretasikan pesan yang diterimanya sebagaimana
dimaksudkan oleh pengirim pesan. Kenyataannya sering kita gagal untuk saling
memahami. Sumber utama kesalahpahaman dalam komunikasi adalah penerima
menangkap makna suatu pesan berbeda dari yang dimaksudkan oleh pengirim
karena pengirim gagal mengkomunikasikan maksudnya dengat tepat.”
Dalam proses komunikasi antara anak remaja dengan orang tuanya dalam
mengalami kasus kehamilan di luar nikah, komunikasi interpersonal yang
dianggap sebagai jalan yang paling baik untuk menyelesaikan masalah agar tidak
terjadi konflik antara anak remaja yang mengalami kehamilan di luar nikah
dengan orang tuanya.
2.2.1 Karakteristik Komunikasi Interpersonal
Komunikasi interpersonal merupakan kegiatan yang dinamis. Dengan
tetap memperhatikan kedinamisannya, komunikasi interpersonal mempunyai ciri-
ciri yang tetap sebagai berikut.
1. Komunikasi interpersonal adalah verbal dan nonverbal.2. Komunikasi interpersonal mencakup perilaku tertentu.
1) Perilaku spontan (spontaneus behaviour) adalah perilaku yang dilakukan karena desakan emosi dan tanpa sensor serta revisi secara kognitif.
2) Perilaku menurut kebiasaan (script behaviour) adalah perilaku yang kita pelajari dari kebiasaan kita.
3) Perilaku sadar (contrived behaviour) adalah perilaku yang dipilih karena dianggap sesuai dengan situasi yang ada.
3. Komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang berproses pengembangan.
4. Komunikasi interpersonal mengandung umpan balik, interaksi, dan koherensi.
5. Komunikasi interpersonal berjalan menurut peraturan tertentu.6. Komunikasi interpersonal adalah kegiatan aktif.7. Komunikasi interpersonal saling mengubah (Hardjana, 2003: 86-90)
Penyampaian komunikasi antara orang tua dan anaknya yang mengalami
kehamilan tidak hanya terjadi secara verbal, tetapi juga secara nonverbal. Karena
11
komunikasi berlangsung secara verbal dan nonverbal, maka di dalamnya pun
terdapat perilaku-perilaku yang mungkin dimunculkan oleh orang tua maupun
anaknya. Pada beberapa fenomena yang terjadi, ada orang tua yang hanya
terdiam, namun ada pula orang tua yang mengusir anaknya dari rumah.
Sedangkan pada anak, mereka bahkan berani berniat untuk mengakhiri hidupnya
karena takut kepada orang tua dan menanggung malu. Perilaku ini mungkin tidak
sama pada setiap orang. Begitu juga dengan karakteristik yang lainnya, yang
terjadi akan berbeda-beda pula.
2.2.2 Elemen Komunikasi Interpersonal
Elemen-elemen komunikasi interpersonal dalam prosesnya saling
bergantung satu sama lain, sehingga ketika terjadi perubahan di salah satu elemen
maka akan mempengaruhi proses pada elemen yang lainnya. (DeVito: 2005:9).
Elemen-elemen tersebut adalah sebagai berikut:
1. Source – Receiver2. Message3. Feedback
a. Positive-negativeb. Imidiate-delayedc. Lose monitoring-high monitoringd. Supportive-critical
4. Feedforward5. Channel6. Noise7. Context
a. Dimensi fisikb. Dimensi sosial-psikologisc. Dimensi budayad. Dimensi temporal
8. Interpersonal competence(DeVito, 2005:9-18).
Dalam komunikasi interpersonal, tiap orang yang berkomunikasi bertindak
sebagai term source (penyusun dan pengirim pesan) dan sekaligus receiver
(penerima dan penafsir pesan). Elemen komunikasi antar pribadi adalah saling
tergantung. Masing- masing elemen dari komunikasi antar pribadi berhubungan
12
satu sama lain. Sebagai contoh, ada sumber, maka ada penerima. Tidak ada
umpan balik jika tidak ada penerima. Oleh karenanya, perubahan dalam suatu
unsur menyebabkan perubahan pada yang lain.
2.2.3 Tahap-tahap Hubungan Interpersonal
Dalam komunikasi interpersonal, hubungan terbina melalui tahap-tahap
tertentu. Menurut DeVito (1997: 233), tahap-tahap tersebut adalah:
1. Tahap kontak2. Tahap keterlibatan3. Tahap keakraban4. Tahap pengrusakan5. Tahap pemutusan
Apabila dalam hubungan interpersonal terjadi konflik, akibat yang
mungkin terjadi adalah berakhirnya hubungan interpersonal atau sebaliknya,
meningkatnya kualitas hubungan. Begitu juga pada permasalahan kehamilan
diluar nikah, hubungan interpersonal antara orang tua dan anak juga dapat
berujung pada pemutusan.
2.2.4 Hambatan Komunikasi Interpersonal
Komunikasi yang efektif merupakan hal diinginkan oleh semua orang
yang berkomunikasi. Namun, komunikasi yang efektif itu tidak dapat selalu
terjadi karena ada hambatan-hambatan di dalamnya yang menjadi penghalang
proses komunikasi.
Hambatan-hambatan dalam proses komunikasi interpersonal menurut
Hardjana adalah sebagai berikut:
1. Persepsi2. Status orang-orang yang berkomunikasi3. Sikap defensif4. Perasaan negatif5. Asumsi6. Bahasa7. Tidak mampu mendengarkan8. Lingkungan
(Hardjana, 2003:40-43)
13
Hambatan-hambatan tersebut memiliki pengaruh tersendiri dalam proses
komunikasi interpersonal. Pada poin status orang-orang yang berkomunikasi
misalnya, orang yang berstatus lebih tinggi cenderung lebih mudah
menyampaikan pesan kepada orang yang berstatus lebih rendah. Sementara pada
sikap defensif, raut wajah, gerak tubuh, dan cara bicara pengirim pesan membuat
penerima pesan menjadi bersikap defensif pula. Sikap defensif yang ditunjukkan
orang tua tentu berpengaruh pada sikap anak ketika hendak menyampaikan
informasi tentang kehamilannnya. Sedangkan pada poin perasaan negatif, tentu
saja anak yang mengalami kehamilan di luar nikah memiliki perasaan negatif dan
tidak nyaman seperti ketakutan pada orang tuanya, tertekan dan malu atas apa
yang terjadi pada dirinya. Oleh karena itu, untuk segala kelancaran dalam
berkomunikasi, seorang pengirim pesan harus benar-benar memperhatikan
hambatan-hambatan tersebut agar dapat mencapai komunikasi yang efektif.
2.3 Keluarga dan Komunikasi dalam Keluarga
Menurut Undang-Undang No.10 tahun 1972, keluarga terdiri atas ayah,
ibu, dan anak karena ikatan darah maupun hukum. Apapun bentuk keluarganya,
setiap keluarga merupakan sebuah sistem karena memiliki karakter saling
ketergantungan, keutuhan, tata cara dan peraturan diri serta keterbukaan. “Sebagai
sebuah sistem, keluarga memiliki fungsi: Fungsi keagamaan, fungsi kebudayaan,
fungsi cinta kasih, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi pendidikan,
fungsi ekonomi dan fungsi pemeliharaan lingkungan” (Wahini, 2002:2).
Shinta (2001:28) dalam bukunya yang berjudul “Hubungan dalam
Keluarga” mengungkapkan bahwa keluarga adalah peranan penting bagi
perkembangan anak. Dibandingkan dengan sekolah, keluarga lebih berperan
karena frekuensi anak di sekolah lebih sedikit atau kecil jika dibandingkan
frekuensi anak di keluarga. Nilai-nilai yang diajarkan dan ditanamkan oleh orang
tua akan lebih banyak dicerna dan dianut oleh anak itu sendiri.
Berkomunikasi sangatlah penting untuk membina hubungan dalam
keluarga. Tanpa komunikasi hubungan yang akrab antara orang tua dan anak tidak
dapat berjalan dengan baik. Berbicara adalah elemen yang terpenting, sebab
14
pembicaraan adalah sarana yang dapat mempererat hubungan keluarga. Tujuan
dari suatu komunikasi keluarga bukanlah sekedar menyampaikan informasi,
melainkan membentuk sebuah hubungan yang baik dengan orang lain.
Komunikasi adalah kebutuhan vital bagi anak. Dengan komunikasi yang baik,
nilai-nilai yang baik dapat dibentuk. Komunikasi yang baik antara orang tua dan
anak menunjukkan bahwa adanya penerimaan orang tua kepada anaknya.
2.4 Remaja dan Kecenderungan Hamil di luar Nikah
Remaja berasal dari bahasa Latin adolesence yang berarti tumbuh atau
tumbuh untuk mencapai kematangan (Muss, 1968:4). Kematangan di sini tidak
hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis
(dalam Sarwono, 2010:11).
Pada 1974, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat
konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan tiga kriteria, yaitu biologis,
psikologis, dan sosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi tersebut berbunyi
sebagai berikut.
Remaja adalah suatu masa di mana:
1. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan seksual.
2. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pada identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa.
3. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (Muangman, 1980: 9 dalam Sarwono, 2010: 12)
Pada tahun-tahun berikutnya, definisi ini makin berkembang ke arah yang
lebih konkret operasional. Ditinjau dari bidang kegiatan WHO, yaitu kesehatan,
masalah yang terutama dirasakan mendesak mengenai kesehatan remaja adalah
kehamilan yang terlalu awal. Berangkat dari masalah pokok ini WHO
menetapkan batas usia 10-20 tahun sebagai batasan usia remaja. Kehamilan dalam
usia-usia tersebut memang mempunyai risiko yang lebih tinggi (kesulitan waktu
melahirkan, sakit/cacat/kematian bayi/ibu) dari pada kehamilan dalam usia di
atasnya (Sanderowitz & Paxman, 1985; Hanifah, 2000 dalam Sarwono, 2010: 12).
15
Selanjutnya,WHO menyatakan walaupun definisi di atas terutama
didasarkan pada usia kesuburan (fertilitas) wanita, batasan tersebut berlaku juga
untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut dalam 2 bagian, yaitu
remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun. Dalam pada itu,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan usia 15-24 tahun sebagai
usia pemuda (youth). Di Indonesia, batasan remaja yang mendekati batasan PBB
tentang pemuda adalah kurun usia 15-24 tahun (Sarwono, 2010: 13).
Menurut Petro Blos (1962), dalam proses penyesuaian diri menuju
kedewasaan ada tiga tahap perkembangan remaja:
1. Remaja awal (early adolescene)2. Remaja madya (middle adolescene)3. Remaja akhir (late adolescene)(Sarwono, 2010:29-31)
Tahap perkembangan remaja ini pada hakikatnya adalah usaha
penyesuaian diri. Maksudnya yaitu untuk secara aktif mengatasi stress dan
mencari jalan keluar baru dari berbagai masalah.
Yang lebih penting dalam pembicaraan kita tentang jiwa remaja adalah
pendapat Aristoteles tentang sifat-sifat orang muda, yang juga masih dianggap
benar sampai saat ini, yaitu:
Orang-orang muda punya hasrat-hasrat yang sangat kuat dan mereka cenderung untuk memenuhi hasrat-hasrat itu semuanya tanpa membeda-bedakannya. Dari hasrat-hasrat yang ada pada tubuh mereka, hasrat seksuallah yang paling mendesak dan dalam hal inilah mereka menunjukkan hilangnya kontrol diri (Muss, 1968: 15 dalam Sarwono, 2010:27).
Dapat kita lihat bahwa pendapat dari Aristoteles tersebut benar adanya.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya fenomena kehamilan di luar nikah yang
dialami oleh remaja. Hasrat seksual pada diri remaja seringkali tidak terkontrol
sehingga menyebabkan mereka melakukan hubungan seksual dan menyebabkan
kehamilan di luar ikatan pernikahan.
Kasus hamil di luar pernikahan ini secara umum disebabkan oleh beberapa
faktor, yaitu sebagai berikut:
16
1. Tidak tersedianya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi memaksa remaja bergerilya mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri.
2. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat karena adanya penyebaran informasi dan rangsangan melalui media massa menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang selalu ingin mencari tahu dan mencoba hal-hal baru akan meniru apa yang mereka lihat dan mereka dengar dari media massa, karena pada umumnya mereka belum mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang tuanya.
3. Mereka juga melalap “pelajaran” seks dari internet tanpa didampingi orang tua sebagai penangkal untuk sisi buruknya.
4. Latar belakang yang dimiliki oleh pelaku, misalnya kurang perhatian dari keluarga (broken home).
5. Diberikan kebebasan oleh orang tua.6. Masalah ekonomi akan membuat permasalahan ini menjadi semakin
rumit dan kompleks.7. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena
sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks dengan anak, menjadikan mereka tidak terbuka pada anak, bahkan cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah ini.
8. Adanya kecenderungan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria.
9. Berpacaran dengan perilaku seksual yang ringan seperti sentuhan, pegangan tangan sampai pada ciuman dan sentuhan-sentuhan seks yang pada dasarnya adalah keinginan untuk menikmati dan memuaskan dorongan seksual. (Sarwono, 1994:148-149)
Tentu semua keluarga akan berusaha untuk terhindar dari kasus hamil di
luar nikah. Banyak faktor yang memang bisa mendorong terjadinya hal tersebut,
dan jika memang hal itu sudah terjadi, siapakah yang perlu disalahkan dan siapa
yang benar akan sulit untuk menjawabnya. Hanya saja tentunya perlu adanya
sikap keterbukaan anak dan sikap yang bijaksana dari orang tua dalam
menyikapinya.
2.5 Teori yang Digunakan
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Penetrasi Sosial. Secara
umum teori ini membahas tentang bagaimana proses komunikasi interpersonal.
Teori ini digunakan untuk menjelaskan sejauh mana keterbukaan diri antara orang
17
tua dan anak yang mengalami kehamilan di luar nikah dalam konteks
komunikasinya.
Teori Penetrasi Sosial dipopulerkan oleh Irwin Altman & Dalmas Taylor.
Teori penetrasi sosial secara umum membahas tentang bagaimana proses
komunikasi interpersonal. Di sini dijelaskan bagaimana dalam proses
berhubungan dengan orang lain, terjadi berbagai proses gradual, di mana terjadi
semacam proses adaptasi di antara keduanya, atau dalam bahasa Altman dan
Taylor: penetrasi sosial.
Altman dan Taylor (1973) dalam (Griffin, 2003: 132) membahas tentang
bagaimana perkembangan kedekatan dalam suatu hubungan. Menurut mereka,
pada dasarnya kita akan mampu untuk berdekatan dengan seseorang yang lain
sejauh kita mampu melalui proses “gradual and orderly fashion from superficial
to intimate levels of exchange as a function of both immediate and forecast
outcomes”, yang artinya secara bertahap dan teratur dari yang dangkal ke tingkat
intim dari fungsi pertukaran baik secara langsung terjadi maupun yang
diramalkan.
Altman dan Taylor mengibaratkan manusia seperti bawang merah.
Maksudnya adalah pada hakikatnya manusia memiliki beberapa layer atau lapisan
kepribadian. Jika kita mengupas kulit terluar bawang, maka kita akan menemukan
lapisan kulit yang lainnya. Begitu pula kepribadian manusia.
Lapisan kulit terluar dari kepribadian manusia adalah apa-apa yang terbuka bagi publik, apa yang biasa kita perlihatkan kepada orang lain secara umum, tidak ditutup-tutupi. Dan jika kita mampu melihat lapisan yang sedikit lebih dalam lagi, maka di sana ada lapisan yang tidak terbuka bagi semua orang, lapisan kepribadian yang lebih bersifat semiprivate. Lapisan ini biasanya hanya terbuka bagi orang-orang tertentu saja, orang terdekat misalnya. Dan lapisan yang paling dalam adalah wilayah private, di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai, konsep diri, konflik-konflik yang belum terselesaikan, emosi yang terpendam, dan semacamnya. Lapisan ini tidak terlihat oleh dunia luar, oleh siapapun, bahkan dari kekasih, orang tua, atau orang terdekat manapun. Akan tetapi lapisan ini adalah yang paling berdampak atau paling berperan dalam kehidupan seseorang. (dalam Griffin, 2003: 133).
Kedekatan kita terhadap orang lain dapat dilihat dari sejauh mana penetrasi
kita terhadap lapisan-lapisan kepribadian tadi. Dengan membiarkan orang lain
18
melakukan penetrasi terhadap lapisan kepribadian yang kita miliki artinya kita
membiarkan orang tersebut untuk semakin dekat dengan kita. Taraf kedekatan
hubungan seseorang dapat dilihat dari sini.
Menurut Griffin (2003:141), dalam teori penetrasi sosial, kedalaman suatu
hubungan adalah penting. Tapi, keluasan ternyata juga sama pentingnya. Kunci
dari suatu hubungan yang akan tetap terbina adalah sejauh mana suatu hubungan
itu memberikan keuntungan, sejauh mana hubungan tersebut mampu
menghasilkan kepuasan, sejauh mana hubungan tersebut tetap stabil, dan tidak
adanya kemungkinan yang lain yang lebih menarik daripada hubungan yang
sedang mereka jalani tersebut.
Oleh karena teori ini dapat melihat taraf kedekatan hubungan seseorang,
maka peneliti menjadikan teori ini sebagai acuan dalam melakukan penelitian.
Peneliti ingin melihat sejauh mana keterbukaan dalam berkomunikasi antara orang
tua dengan anaknya maupun anak terhadap orang tuanya terutama ketika sang
anak mengalami kehamilan di luar ikatan pernikahan.
2.6 Kerangka Pemikiran
Fenomena kehamilan di luar nikah yang dialami remaja merupakan
permasalahan kompleks bagi keluarga. Di sini komunikasi interpersonal antara
orang tua dan anak yang mengalami kehamilan dijadikan sebagai alternatif untuk
mencari jalan keluar dari permasalahan tersebut. Proses berlangsungnya
komunikasi interpersonal ini akan berbeda-beda tergantung pada karakter individu
masing-masing. Di dalamnya juga terdapat beberapa hambatan yang menghalangi
jalannya pesan yang disampaikan.
Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah, dan tinjauan pustaka yang
telah diuraikan, dapat kita lihat bahwa teori penetrasi sosial memiliki tiga asumsi
dasar yakni: pertama, kedalaman suatu hubungan adalah penting; kedua, keluasan
suatu hubungan juga sama pentingnya dengan kedalaman suatu hubungan; ketiga,
indeks kepuasan dalam hubungan berdasarkan prinsip untung-rugi. Kegiatan
komunikasi interpersonal antara orang tua dan anak remajanya yang mengalami
19
kehamilan di luar nikah terutama sejauh mana sikap keterbukaan keduanya dapat
dilihat dari teori ini.
Figur 1: Model Kerangka Pemikiran
Sumber: Olahan peneliti, dilihat dari rencana penelitian
2.7 Hipotesis Kerja
Hipotesis kerja disini fungsinya tidak untuk diuji, dinilai, ataupun
dibuktikan, akan tetapi hanya dijadikan sebagai pengganti research questions bagi
peneliti untuk mencari data di lapangan. Hal ini berbeda dengan yang berlaku
pada penelitian kuantitatif, karena keberadaan hipotesis dalam penelitian
kuantitatif untuk diuji dan dianalisis.
Fenomena kehamilan di luar nikah pada remaja
Hubungan antar pribadi orang tua dan anak sebelum kehamilan di luar nikah yang dialami anak
Hambatan-hambatan komunikasi interpersonal:
1. Persepsi2. Status orang yang
berkomunikasi3. Sikap defensif4. Perasaan negative5. Asumsi6. Bahasa7. Tidak mampu mendengarkan8. Lingkungan
Komunikasi interpersonal antara anak dan orang tua setelah kehamilan di luar nikah yang dialami anak.
Teori penetrasi sosial:
- Kedalaman suatu hubungan
- Keluasan suatu hubungan
- Indeks kepuasan dalam hubungan berdasarkan prinsip untung-rugi
Model komunikasi interpersonal
20
Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut, maka hipotesis dalam penelitian
ini adalah:
1. Proses komunikasi interpersonal yang dilakukan orang tua terhadap
anaknya yang mengalami kehamilan diluar nikah tidak berlangsung secara
efektif karena kurangnya keterbukaan diantara mereka.
2. Proses penyampaian informasi kehamilan oleh anak kepada orang tua
mengalami hambatan tertentu terutama hambatan yang berkaitan dengan
psikologisnya.
3. Komunikasi antara orang tua dan anak menjadi lebih tidak harmonis pasca
anak mengalami kehamilan diluar nikah.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma kritis.
Stahl (2005)9 menyatakan bahwa “dengan keinginan untuk melakukan perubahan
terhadap kenyataan sosial, penelitian kritis harus mengajukan saran-saran normatif
mengenai arah yang harus ditempuh oleh perubahan-perubahan tersebut.
Meskipun bukan berarti bahwa setiap penelitian kritis harus didasarkan pada suatu
visi utopis, tetapi penelitian kritis perlu mempunyai gagasan mengenai ke arah
mana masyarakat harus bergerak”. Dengan menyarankan perubahan-perubahan,
penelitian kritis harus mengacu kepada gagasan-gagasan normatif yang bukan
merupakan bagian dari penelitian empiris.
Berdasarkan paradigma ini, peneliti akan melihat ke arah mana perubahan
yang terjadi pada masyarakat, khususnya pada remaja yang sedang mengalami
perkembangan menuju kedewasaan. Peneliti juga akan mengajukan saran-saran
normatif yang kelak diperoleh setelah penelitian agar perubahan-perubahan sosial
yang terjadi dapat berkembang secara normatif dan etis.
3.2 Metode Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian Komunikasi
Interpersonal Orang Tua dan Anak adalah penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian ini berisi gambaran tentang pengamatan, orang, tindakan, dan
pembicaraan. Penelitian ini berisi semua peristiwa dan pengalaman relevan yang
didengar dan dilihat serta dicatat selengkap-lengkapnya dan seobjektif mungkin.
(Moleong, 2008:211).
Dalam penelitian ini peneliti berupaya menjelaskan dan menggambarkan
fenomena secara holistik melalui pengumpulan data sedalam-dalamnya. Penelitian
9 Stahl. 2005. http://www.lesantoso.com/wp-content/uploads/paradigma-dalam-penelitian-sistem-informasi.pdf diakses tanggal 9 Juli 2010
22
dengan menggunakan format deskriptif ini bertujuan untuk menggambarkan,
meringkas berbagai kondisi, berbagai situasi atau variabel yang timbul di
masyarakat yang menjadi objek penelitian itu sendiri. Kemudian menarik ke
permukaan sebagai suatu ciri atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun
variabel tertentu. (Bungin, 2001:48)
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, yakni mencoba
menggambarkan fenomena kehamilan di luar nikah yang dialami oleh remaja di
Kota Bengkulu. Peneliti juga mencari tahu bagaimana komunikasi yang
berlangsung di antara remaja hamil tersebut dengan orang tuanya. Kemudian
peneliti kembali melakukan analisa deskriptif terhadap informasi yang telah
diperoleh untuk mendapatkan kesepakatan intersubjektif mengenai komunikasi
antara orang tua dengan anaknya yang mengalami kehamilan di luar nikah di Kota
Bengkulu.
3.3 Informan Penelitian
Moleong mengungkapkan bahwa seorang informan adalah sumber data
yang dibutuhkan oleh peneliti dalam sebuah penelitian (Moleong, 2001:90).
Subjek dari penelitian ini adalah remaja yang mengalami kehamilan di luar nikah.
Informan dipilih guna mendapatkan informasi yang sesuai dengan permasalahan
penelitian, dimana terlebih dahulu peneliti menetapkan siapa saja informannya
dengan menggunakan teknik purposive sampling dan kemudian mendelegasikan
tugas di bidangnya yang sesuai dengan tema penelitian, berbicara atau
membandingkan suatu kejadian yg ditemukan oleh subjek lain.
1. Informan Pokok
Informan pokok dalam penelitian ini adalah remaja yang pernah
atau yang sedang mengalami kasus kehamilan di luar nikah dan
orangtuanya. Pemilihan informan akan divariasikan antara yang satu
dengan yang lainnya, baik itu dari latar belakang keluarga, karakteristik
orang tua dan lain-lain sehingga akan terlihat perbedaannya. Untuk
mempermudah dalam melakukan penelitian, peneliti berusaha untuk
menemukan informan yang dikenal, baik itu teman atau teman dari teman.
23
2. Informan Kunci
Sedangkan yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini
adalah ahli psikolog yang biasa menjadi konselor dalam kasus kehamilan
di luar nikah yang dialami remaja, atau guru/dosen pengajar yang
memahami konsep-konsep terkait (relevan) dengan topik yang dibahas
dalam penelitian ini. Sumber lain yang juga bisa dijadikan sebagai
informan kunci yang lainnya adalah teman dari remaja yang mengalami
kehamilan di luar nikah.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Wawancara mendalam atau in-depth interview
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan
itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang
mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan
jawaban atas pertanyaan itu. Maksud dari mengadakan wawancara itu
sendiri, seperti yang ditegaskan oleh Lincoln dan Guba (1985), dikutip
dalam Moleong yakni, “untuk mengkonstruksikan mengenai orang,
kejadian, organisasi, perasaan, motivasi, tuntutan, kepedulian, dan lain-
lain” (Moleong, 2007 : 186)
Untuk memperdalam data yang ingin diperoleh, penelitian ini
menggunakan wawancara mendalam atau in-depth interview. Jenis
wawancara ini dimaksudkan untuk kepentingan wawancara yang lebih
mendalam dengan lebih memfokuskan pada persoalan yang menjadi
pokok penelitian. Pedoman wawancara biasanya tidak berisi pertanyaan-
pertanyaan yang mendetail, tetapi sekedar garis besar tentang data atau
informasi apa yang ingin didapatkan dari informan yang nanti akan
dikembangkan dengan memperhatikan perkembangan, konteks, dan situasi
wawancara (Pawito, 2007:133).
24
Supaya hasil wawancara yang didapat terekam dengan baik, peneliti
akan melakukan wawancara kepada informan dengan dibantu alat-alat
sebagai berikut.
a. Buku catatan, yang berfungsi untuk mencatat semua hasil dari
interview dengan informan.
b. Recorder, berfungsi untuk merekam semua percakapan atau
pembicaraan pada saat interview berlangsung.
c. Hasil wawancara yang berisikan pertanyaan dan jawaban dari
informan secara lengkap.
2. Observasi Partisipan
Moleong (2001: 117) menyatakan bahwa: “pengamatan berperan serta
pada dasarnya berarti mengadakan pengamatan dan mendengarkan secara
secermat mungkin sampai pada yang sekecil-kecilnya sekalipun”. Teknik
ini sebagai salah satu cara untuk memperoleh data lengkap yang
memungkinkan peneliti melakukan pengamatan sepanjang penelitian itu
berlangsung. Dengan observasi partisipan ini, maka data yang diperoleh
juga akan lebih tajam, dan sampai mengetahui pada tingkat makna dari
setiap perilaku yang nampak.
3. Studi Dokumentasi
Teknik dokumentasi merupakan teknik pengumpulan data dengan
jalan mengumpulkan data berupa dokumen tertulis atau catatan
(Kriyantono, 2006:234). Oleh karena peneliti tidak dapat sekedar
mengandalkan ingatan dalam proses penelitian, maka peneliti menuangkan
setiap hasil temuan pengamatan ke dalam catatan lapangan. Ini diharapkan
agar semua yang peneliti temukan pada saat observasi tidak terkontaminasi
oleh waktu dan lingkungan. Penelitian jua didukung dengan dokumentasi
lainnya berupa rekaman dan foto-foto yang menunjang penelitian sebagai
bahan analisis.
25
3.5 Teknik Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam data kualitatif adalah proses mencari dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan
lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam
kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam
pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat
kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.
(Sugiyono, 2008:244).
Miles dan Huberman (1984) dalam Sugiyono, (2008:245) mengemukakan
bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas sehingga datanya sudah jenuh.
Adapun aktivitas dalam analisis data meliputi:
1) Data Reduction (Reduksi Data)Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila diperlukan.
2) Data Display (Penyajian Data)Penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Dalam hal ini Miles dan Huberman (1984) menyatakan “yang paling sering digunakan untuk menyajikan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif”.
3) Conclusion Drawing / verificationMenurut Miles dan Huberman, kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
26
Figur 2. Komponen Analisis Data Model Interaktif Miles dan Huberman
Proses penelitian ini berlangsung secara terus menerus dan berlanjut untuk
kemudian dilakukan member check sebagai bentuk uji keabsahan data terhadap
semua sumber penelitian. Hal ini ditujukan untuk mendapatkan kesepakatan
mengenai komunikasi interpersonal orang tua dan anaknya yang mengalami
kehamilan di luar nikah di Kota Bengkulu. Sehingga data yang telah diperoleh
dapat dikonfirmasikan kembali dengan semua sumber yang terlibat dalam
penelitian ini.
3.6 Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data pada penelitian ini dilakukan dengan dua macam cara
yaitu:
1. Triangulasi
Peneliti menggunakan teknik triangulasi untuk menguji keabsahan
data. Dalam teknik pengumpulan data, triangulasi diartikan sebagai teknik
pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik
pengumpulan data dan sumber data yang telah ada (Sugiyono, 2008: 241).
Analisis triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini antara lain
adalah sebagai berikut:
a. Triangulasi sumber.
Triangulasi sumber dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
membandingkan atau mengecek ulang derajat kepercayaan suatu informasi
Data collection
Data reduction
Data display
Conclusions: drawing/ verifying
27
yang diperoleh dari sumber yang berbeda sehingga peneliti dapat
membandingkan hasil pengamatan dan wawancara. Dengan kata lain,
triangulasi sumber yang peneliti lakukan untuk melihat kesesuaian data
yang peneliti peroleh dari satu informan dengan informan lainnya.
Misalnya seperti psikolog yang biasa menjadi konselor dalam kasus
kehamilan di luar nikah yang dialami remaja.
b. Triangulasi metode.
Dalam penelitian ini, uji kredibilitas dilakukan dengan cara
membandingkan data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan data
yang diperoleh dari hasil observasi pastisipan atau dari hasil dokumentasi.
Jika menghasilkan data yang berbeda-beda, maka peneliti akan melakukan
diskusi lebih lanjut kepada sumber yang bersangkutan atau yang lain untuk
memastikan data mana yang dianggap benar.
c. Triangulasi waktu
Triangulasi waktu diperlukan karena perilaku manusia dapat
berubah setiap waktu dan mempengaruhi kredibilitas data. Oleh karena itu,
untuk menguji kredibilitas data dalam penelitian ini dilakukan pula
pengecekan dengan wawancara dan observasi partisipan dalam waktu atau
situsi kondisi yang berbeda. Apabila hasil uji menghasilkan data yang
berbeda, maka peneliti akan mengulangnya sampai ditemukan data yang
pasti.
d. Triangulasi teori
Triangulasi teori pada penelitian ini digunakan untuk menguji
derajat kepercayaan temuan atau hasil penelitian. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan triangulasi teori sebagai pembanding dan alat
pengecekan di lapangan. Dalam hal ini, jika analisis telah menguraikan
pola, hubungan, dan menyertakan penjelasan yang muncul dari analisis,
maka akan sangat penting untuk mencari penjelasan pambandingnya.
Teori yang peneliti gunakan untuk triangulasi ini adalah teori Penetrasi
Sosial yang akan diujikan pada hasil temuan penelitian komunikasi orang
tua dan anak dalam fenomena hamil di luar nikah yang dialami anaknya.
28
2. Mengadakan Membercheck
Membercheck adalah proses pengecekan data yang diperoleh
peneliti kepada pemberi data. Tujuannya adalah untuk mengetahui seberapa
jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data.
Membercheck juga bertujuan agar informasi yang diperoleh dan akan
digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang dimaksud sumber
data atau informan. (Sugiyono: 2008:276)
Dalam penelitian ini membercheck akan dilakukan setelah
pengumpulan data selesai, atau setelah mendapat suatu temuan atau
kesimpulan. Caranya yaitu dengan datang ke pemberi data kemudian
menyampaikan temuan penelitian untuk memperoleh kesepakatan bersama
mengenai komunikasi interpersonal orang tua dan anak yang mengalami
kehamilan di luar nikah.
top related