sÊrat panithikan (suatu tinjauan filologis)/srat... · dan berhuruf jawa carik berjumlah 49...
Post on 03-Mar-2019
278 Views
Preview:
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user i
SÊRAT PANITHIKAN
(Suatu Tinjauan Filologis)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh :
LAILI HAULA
C0108036
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user ii
SẾRAT PANITHIKAN
(Suatu Tinjauan Filologis)
Disusun oleh :
LAILI HAULA
C0108036
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Imam Sutarjo, M.Hum Drs. Supardjo, M.Hum
NIP. 196001011987031004 NIP. 195609211986011001
Mengetahui
Ketua Jurusan Sastra Daerah
Drs. Supardjo, M.Hum
NIP. 195609211986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iii
SẾRAT PANITHIKAN
(Suatu Tinjauan Filologis)
Disusun oleh :
LAILI HAULA
C0108036
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada tanggal .....................................
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Dra. Dyah Padmaningsih, M.Hum. ....................
NIP. 195710231986012001
Sekretaris Dra. Endang Tri Winarni, M.Hum. ....................
NIP. 195811011986012001
Penguji I Drs. Imam Sutarjo, M.Hum. ....................
NIP. 196001011987031004
Penguji II Drs. Supardjo, M.Hum ....................
NIP. 195609211986011001
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D
NIP. 196003281986011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user iv
PERNYATAAN
Nama : Laili Haula
NIM : C0108036
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul “Sêrat
Panithikan (Suatu Tinjauan Filologis)” adalah betul-betul karya sendiri, bukan
plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya dalam
skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari pernyataan ini terbukti tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh
dari skripsi tersebut.
Surakarta, 25 Juli 2012
Yang Menyatakan
Laili Haula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user v
MOTTO
“Niscaya Allah SWT meninggikan derajat orang-orang yang beriman di
antara kamu dan yang memiliki ilmu”.
(QS.Al-Mujadalah : 11)
Sebuah pilihan harus diperjuangkan.
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada:
Ibu dan Bapakku yang senantiasa mencurahkan
kasih sayangnya kepada penulis,
Kakak-kakakku tersayang,
Almamaterku tercinta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan ridho-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Sêrat
Panithikan (Suatu Tinjauan Filologis).
Skripsi ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas
Maret Surakarta. Dalam proses penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari
dukungan dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan
terimakasih kepada :
1. Drs. Riyadi Santosa, M. Ed., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk menyusun skripsi ini.
2. Drs. Supardjo, M. Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah dan sebagai
Pembimbing Kedua yang memberi masukan dan segala kemudahan pada
penulisan skripsi ini.
3. Dra. Dyah Padmaningsih, M. Hum., selaku Sekretaris Jurusan Sastra
Daerah.
4. Dra. Endang Tri Winarni, M. Hum., selaku Pembimbing Akademik yang
telah memberikan nasihatnya selama menjalani studi.
5. Dra. Imam Sutarjo, M. Hum., selaku Pembimbing Pertama yang telah
meluangkan waktu dan mencurahkan perhatiannya kepada penulis sejak
awal hingga selesainya skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user viii
6. Dr. Hartini, M. Hum., selaku Koordinator bidang Filologi Jurusan Sastra
Daerah.
7. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Sastra Daerah yang telah memberikan ilmu
yang berharga selama perkuliahan.
8. Seluruh staf Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Perpustakaan
Pusat Universitas Sebelas Maret yang telah menyediakan berbagai data
dan referensi yang diperlukan.
9. Seluruh staf Perpustakaan Nasional Republik Indonesia yang telah
menyediakan data yang diperlukan dalam penelitian ini.
10. Kedua orangtua yang senantiasa memberikan do’a, dan dukungan kepada
penulis.
11. Feri Supriyanto yang senantiasa memberikan semangat dan harapan untuk
berbagi suka dan duka selama ini.
12. Teman-teman Sastra Daerah ’08 terimakasih kebersamaannya.
13. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa di dalam penulisan ini masih banyak
kekurangan dan keterbatasan pengetahuan. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan
saran dari semua pihak yang bersifat membangun untuk skripsi ini.
Surakarta, 25 Juli 2012
Penulis,
Laili Haula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
SÊRAT PANITHIKAN
(Suatu Tinjauan Filologis)
Laili Haula1
Drs. Imam Sutarjo, M.Hum2 Drs. Supardjo, M.Hum
3
ABSTRAK
2012. Skripsi : Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu (1)
bagaimanakah suntingan teks Sêrat Panithikan yang bersih dari
kesalahan dan mendekati asli ? (2) ajaran moral dalam berumah
tangga dan keagamaan apa saja yang terkandung dalam teks Sêrat
Panithikan ?. Tujuan penelitian ini adalah (1) menyajikan suntingan teks Sêrat
Panithikan yang bersih dari kesalahan dan mendekati asli. (2)
mengungkap ajaran moral yaitu ajaran moral dalam
kerumahtanggaan dan keagamaan yang terkandung dalam teks
Sêrat Panithikan. Bentuk penelitian ini adalah penelitian filologis yang bersifat
deskriptif kualitatif. Jenis penelitiannya adalah penelitian pustaka
(library research). Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah
Sêrat Panithikan. Sedangkan data dalam penelitian adalah teks
Sêrat Panithikan. Sêrat Panithikan berbentuk tembang macapat
dan berhuruf Jawa carik berjumlah 49 halaman. Teknik
pengumpulan data melalui tahapan inventarisasi melalui katalog-
katalog naskah yang tersimpan di perpustakaan atau instansi, judul
didaftar, kemudian pengecekan kebenaran keberadaan naskah ke
lokasi penyimpanan naskah dan diadakan pengamatan. Data
diambil dari microfilm naskah Sêrat Panithikan yang tersimpan di
Perpustakaan Nasional Republik Indonesia melalui teknik scanning
dari microreader kemudian di scanning dan ditransfer ke komputer
1 Mahasiswa Jurusan Sastra Daerah dengan NIM C 0108036
2 Dosen Pembimbing I
3 Dosen Pembimbing II
program adobe photoshop diubah ke format TIF sehingga
diperoleh grafikan wujud asli naskah. Tahap selanjutnya Sêrat
Panithikan ditransliterasi.
Teknik analisis data melalui deskripsi naskah, kritik teks, suntingan
teks disertai dengan aparat kritik dan sinopsis. Metode edisi standar
digunakan dalam metode penyuntingan Sêrat Panithikan.
Dilanjutkan dengan analisis isi. Kajian isi untuk mengungkap
ajaran moral yaitu ajaran moral dalam berumah tangga dan
keagamaan yang terkandung dalam teks Sêrat Panithikan.
Simpulan penelitian ini adalah (1) Sêrat Panithikan koleksi
Perpustakaan Museum Negeri Sanabudaya Yogyakarta bernomor
katalog MSB/L236 dan kode koleksi PB.A123 dan kode microfilm
Rol. 91 No.3 merupakan naskah tunggal. Melalui cara kerja
filologi mulai dari deskripsi naskah, kritik teks, aparat kritik,
transliterasi, maka suntingan teks Sêrat Panithikan dalam
penelitian ini merupakan teks yang bersih dari kesalahan dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. (2) Sêrat Panithikan adalah
jenis Sêrat Sastra Dongeng. Ajaran-ajaran moral kerumahtanggaan
dan keagamaan. Ajaran kerumahtanggaan adalah peran istri
sebagai ibu rumah tangga, kewajiban suami sebagai kepala
keluarga, anak berbakti kepada orangtua, keutamaan menikah dan
ajaran untuk mencari pasangan atau jodoh. Sedangkan ajaran
dalam keagamaan adalah ajaran untuk mempercayai kekuasaan
Allah, bersedekah, mempercayai takdir, tidak sombong, dan ajaran
untuk mengingat kematian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki beragam kebudayaan.
Kebudayaan merupakan hasil sintesa dari pengalaman-pengalaman masa lalu.
Kebudayaan masa lampau dari suatu bangsa, pada masa mendatang dapat
dijadikan sebagai suatu sejarah yang sangat bermanfaat. Peninggalan kebudayaan
masa lampau yang berupa fisik sangat banyak. Seperti candi, arca, prasasti,
naskah dll. Di antara warisan budaya tersebut adalah karya tulis yang tersimpan
pada bahan yang lama seperti batu, logam, kulit binatang, kulit kayu dan kertas
(Siti Baroroh Baried, 1983:1).
Sebagai peninggalan tertulis naskah-naskah masa lampau yang paling
banyak memberikan informasi di dalamnya kepada kita disegala aspek kehidupan
seperti, social, ekonomi, keagamaan, filsafat dan budaya. Naskah-naskah lama
tidak bisa terlepas dari kebudayaan bangsa yang melahirkannya. Haryati Soebadio
(1975: 1) menyatakan bahwa naskah-naskah lama merupakan dokumen bangsa
yang menarik bagi peneliti kebudayaan lama, karena memiliki kelebihan yaitu
dapat memberikan informasi yang lebih luas dibanding puing bangunan megah
seperti candi, istana raja dan pemandian suci yang tidak dapat berbicara dengan
sendirinya tetapi harus ditafsirkan.
Seiring berjalannya waktu naskah-naskah lama yang biasanya dari bahan
kulit kayu, lontar dan kertas tidak dapat bertahan lama akan mengalami
kerusakan. Kerusakan naskah bisa disebabkan oleh iklim tropis di Indonesia dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
minimnya pengetahuan untuk merawat naskah-naskah tersebut. Maka perlu
adanya upaya penanganan khusus naskah-naskah tersebut agar naskah tidak cepat
rusak dan dapat bertahan lama.
Mengingat isi atau kandungan isi naskah lama yang begitu penting,
bermanfaat dan bernilai juga bahan naskah yang digunakan maka hal tersebut
yang mendorong kita melakukan berbagai penanganan yang berupa penyelamatan,
pelestarian, penelitian, pendayagunaan dan penyebarluasan hasil penelitian
(Darusuprapta, 1985: 143). Bidang ilmu yang erat kaitannya dengan penanganan
naskah-naskah lama adalah filologi. Tugas filolog adalah adalah membuat teks
terbaca dan dimengerti (Robson, 1994: 12). Senada dengan itu Haryati Soebadio
menyatakan bahwa penelitian filologi untuk mendapatkan kembali naskah yang
bersih dari kesalahan, memberikan pengertian yang sebaik-baiknya dan mendekati
aslinya karena naskah itu sebelumnya mengalami penyalinan untuk kesekian
kalinya (dalam Edwar Djamaris, 2002 : 7)
Dari banyaknya naskah-naskah lama di Nusantara yang tidak lepas dari
adanya tradisi penyalinan. Penyalinan naskah terjadi karena orang yang menyalin
naskah itu ingin memiliki cerita dalam naskah tersebut atau karena naskah asli
dikhawatirkan rusak sehingga dibuat salinannya. Frekuensi tingginya penyalinan
menunjukkan bahwa naskah itu sangat digemari, sedangkan sebaliknya
menunjukkan kurang populernya suatu naskah (Siti Baroroh Barried, 1983:95).
Dalam tradisi penyalinan naskah ini terjadi kesalahan dalam menuliskan huruf
atau kata yang disengaja ataupun tidak disengaja yang dilakukan oleh penyalin
naskah yang kemudian berbeda dengan naskah aslinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Behrend (1990) mengklasifikasikan naskah Jawa menjadi 14 macam
menurut kategori atau jenisnya, yaitu :
1. Sejarah. Di dalamnya mencakup segala macam babad;
2. silsilah;
3. hukum. Di dalamnya termasuk hukum peraturan dan adat istiadat
Keraton Jawa;
4. bab wayang. Di dalamnya termasuk pakem, ruwat, pedalangan,
pembuatan wayang dan sebagainya;
5. sastra wayang;
6. sastra;
7. piwulang. Di dalamnya termasuk ajaran orang saleh, suci dan
bijaksana, ajaran Islam, kejawen dan suluk;
8. islam. Di dalamnya termasuk fiqih, sarat dan hukum Islam, dan
turunan teks kitab suci Al-Qur’an;
9. primbon. Di dalamnya termasuk buku petangan, pawukon, impen , dan
sebagainya;
10. bahasa. Di dalamnya termasuk Bausastra atau Dasanama Kawi Jarwa,
tembang, aksara Jawa, candrasengkala, daftar sinonim, wangsalan,
dan sebagainya;
11. musik. Di dalamnya termasuk notasi gendhing dan gamelan;
12. tari-tarian;
13. adat-istiadat. Di dalamnya termasuk kerajinan, cara berpakaian,
songsong, mainan, sopan santun dalam istana, sadranan, keris dan
sarasilah para empu, kawruh kalang, upacara, dan sebagainya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
14. Lain-lain.
Berdasarkan klasifikasi di atas peneliti memilih untuk meneliti naskah
jenis sastra yang berjudul Sêrat Panithikan (selanjutnya disingkat SP). Naskah ini
telah mengalami penyalinan. Naskah jenis ini adalah naskah yang merupakan
dongeng yang ditulis dalam bentuk puisi atau tembang. Dalam naskah ini masih
banyak terdapat kesalahan penulisan sehingga menimbulkan perbedaan tafsir yang
berpengaruh pada keseluruhan isi cerita serta di dalam ceritanya terdapat ajaran
pendidikan moral yang dapat ditarik melalui ceritanya.
Langkah awal penelitian filologi yaitu dengan penulusuran melalui catalog
naskah di antaranya :
1. Deskriptive Catalogus of the Javanese manuscripts and Printed Book in
the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta ( Girardet – Sutanto,
1983 ).
2. Javanese Language Manuscrips of Surakarta Central Java A Pleriminary
Descriptive Catalogus Level I and II ( Nancy K. Florida, 1996 )
3. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana
Budaya Yogyakarta (Behrend, 1990)
4. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 3-B (Fakultas Sastra
Universitas Indonesia, 1998)
5. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4 Perpustakaan
Nasional Republik Indonesia (Lindstay, Jennifer, 1994 )
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
6. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 2 Keraton
Yogyakarta (J.Lindsay, R.M Soetanto, Alan Feinstein, 1994)
7. Daftar Naskah Perpustakaan Museum Radya Pustaka Surakarta.
Dari hasil inventarisasi yang dilakukan melalui berbagai katalog
ditemukan naskah berjudul Serat Panithikan, yaitu naskah carik berbentuk
puisi atau tembang yang tersimpan di Perpustakaan Museum Sanabudaya
Yogyakarta dengan nomor MSB/L236 (Katalog. Behrend,1990) kode
koleksi perpustakaan PB.A 123 dan kode microfilm Rol 91 No.3. Dalam
katalog diinformasikan bahwa teks ini sama dengan kisah yang
dilaporkan Pigeaud (Lor.10.849) kecuali jumlah pupuhnya 19 yaitu,
Asmaradana, Dhandhanggula, Pangkur, Sinom, Kinanthi, Pocung, Mijil,
Megatruh, Gambuh, Sinom, Asmaradana, Mijil, Dhandhanggula,
Pangkur, Kinanthi, Asmaradana, Durma, Pocung, Sinom. Dikarenakan
jarak yang jauh, keterbatasan waktu, tenaga dan biaya oleh peneliti maka
naskah (Lor.10.849) tidak diikutsertakan dalam objek kajian penelitian
ini.
Naskah Sêrat Panithikan ini pernah dialihaksarakan oleh Yacobus
Mulyadi, BA. pada tahun 1984 dalam rangka proyek Pengembangan
Permuseuman Daerah Istimewa Yogyakarta.
Naskah ini disajikan dalam bentuk tembang macapat 21 pupuh,
yaitu Asmaradana 25 bait, Dhandhanggula 21 bait, Pangkur 20 bait,
Sinom 25 bait, Kinanthi 28 bait, Pocung 22 bait, Mijil 12 bait, Megatruh
29 bait, Gambuh 27 bait, Sinom 23 bait, Asmaradana 26 bait, Mijil 26 bait,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
Dhandhanggula 25 bait, Pangkur 15 bait, Kinanthi 27 bait, Asmaradana
29 bait, Dhandhanggula 20 bait, Durma 26 bait, Megatruh 21 bait,
Pocung 35 bait, Sinom 23 bait, yang terdiri dari 49 halaman.
Ukuran naskah 21,5 cm x 35 cm, sedangkan ukuran teks 15,9 cm x
32,9 cm. Naskah SP merupakan naskah tulisan tangan (manuscript)
dengan huruf Jawa berbahasa Jawa Baru ragam krama dan ngoko. Dalam
naskah SP ini terdapat purwapada pada awal teks sebagai tanda awal
cerita dan pada setiap penanda bait dipisahkan oleh penanda bait
kemudian pada setiap pergantian pupuh ditandai dengan mandrawapada
sebagai penanda penggantinya. Terdapat wasanapada / iti sebagai penanda
bahwa cerita dalam teks tersebut telah selesai.
Gb 1. Purwapada Gb 2. Penanda pergantian
bait tembang
Gb.3 Mandrawapada Gb 4 Wasanapada / iti
Pengarang naskah adalah Raden Pujaharja, ditulis di Surakarta
pada tahun 1911 tetapi tanggal penulisan tidak disebutkan, hanya tahun
penulisan. Naskah tersebut tidak disebutkan disalin darimana oleh Raden
Pujaharja. Dalam cover dalam tersebut juga terdapat judul naskah, nama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
pengarang, tempat penyalinan dan tahun penyalinan. Kolofon tersebut
terdapat pada cover dalam naskah pada halaman 1
Gb 5. Kolofon pada hal. 1
Sêrat Panithikan/ ikêtanipun/ Radèn Pujaharja/ Ing Surakarta/ Kala ing taun
Walandi/ 1911/ Kawêdalakên dening.....
Terjemahan : Sêrat Panithikan karangan Radèn Pujaharja di Surakarta pada
tahun 1911. Diterbitkan oleh......
Dalam cover dalam naskah SP tertulis naskah terbitkan atau cetakan,
dimungkinkan naskah tersebut disalin dari naskah cetak. Setelah diadakan
penelusuran tidak dapat diketahui darimana asal terbitan atau cetakan
naskah SP. Sehingga dapat dimungkinkan pengarang menuliskan cerita
yang sumbernya dari buku cetakan, kemudian pengarang menuliskan
dalam bentuk puisi atau tembang macapat dengan aksara Jawa carik.
Dalam memperjelas judul naskah, yang dimaksud panithikan
adalah sebuah batu yang mempunyai kekuatan dan mendatangkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
keberuntungan bagi siapa saja yang memilikinya. Hal tersebut tertuang di
dalam teks pada Pupuh I Asmaradana bait 2 baris 2
Gb. 6 Hal 2 Pupuh II Asmaradana bait 2 baris 2
Carita ingkang ginurit/ sela aran panithikan/ kaluwih-luwih dayane/ bisa
anêkakkên bêgja/ samana kang winarna/ wontên sujalma lumaku/ mung pribadi
tanpa rowang//
Terjemahan : Cerita yang tertulis pada batu bernama panithikan, mempunyai
kekuatan yang bisa mendatangkan keberuntungan. Begitu terkenalnya., ada
seorang berjalan, hanya sendiri tanpa teman.
Panithikan dalam naskah ini adalah sebuah batu yang mempunyai
kekuatan dan bisa mendatangkan keberuntungan bagi yang memiliknya.
Dalam naskah ini diceritakan seorang prajurit yang memiliki batu itu
karena berhasil merebutnya dari Nyai Wêrdha dan menyalahgunakan
kekuatan batu itu. Dengan memukul batu itu maka akan keluar anjing yang
mematuhi perintahnya.
Peneliti memilih Serat Panithikan sebagai objek kajian penelitian
ini berdasarkan dua alasan, yaitu :
1. Segi Filologis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Dalam Sêrat Panithikan ini ditemukan variant. Variant tersebut
antara lain, perubahan ejaan (hipercorect), kekurangan suku kata (lacuna),
kelebihan suku kata (adisi), kesalahan penulisan dan ketidakkonsistenan
penulis. Oleh karena itu perlu adanya kajian filologis guna mendapatkan
suntingan teks yang bersih dari kesalahan.
Di bawah ini contoh dari masing-masing wujud varian yang selanjutnya
akan dipaparkan pada Bab IV.
1. Hipercorect: Perubahan ejaan karena pergeseran lafal
Gb.7 Hal 6 Pupuh II Dhandhanggula bait 18 baris 8
Mèpèd pinggiring seharusnya mèpèt pinggiring yang artinya menempel di
tepi.
Gb.8 Hal 20 Pupuh IX Gambuh bait 8 baris 4
ping têtu seharusnya ping têlu yang artinya tiga.
2. Adisi adalah bagian yang kelebihan/penambahan baik suku kata, kata,
kelompok kata maupun kalimat.
Adisi huruf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
Gb. 9 Hal 2 Pupuh I Asmaradana bait 4 baris 1
Tanpa sumênglang ing galih seharusnya tanpa sumêlang ing galih, ‘tidak
khawatir dalam hatinya’ dengan menyesuaikan aturan bahasa yang benar.
Gb.10 Hal 20 Pupuh IX Gambuh bait 13 baris 2
Wusnya mangkana laju/ nithik sela kaping kanglih tan dangu/ sona ingkang
ping kalih…
Kata kanglih seharusnya kalih menjadi wusnya mangkana laju/ nithik sela
kaping kalih tan dangu/…dengan menyesuaikan aturan bahasa yang benar.
Terjemahan : Sesudah demikian itu, memukul batu dua kali tidak lama,
anjing yang kedua…
3. Lacuna adalah bagian yang terlampaui / kelewatan, baik suku kata,
kata, kelompok kata ataupun kalimat.
Lacuna huruf
Gb. 11 Hal.5 tertulis salendha seharusnya salendhang (kurang tanda cecak)
yang mempunyai arti salendang dengan menyesuaikan aturan bahasa yang
benar.
Lacuna suku kata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
Gb.12 Hal 12 Pupuh IV Sinom bait 25 baris 2
Bojo mêsthi tan ngêrti 7 suku kata seharusnya 8 suku kata menjadi bojo
mêsthi tan mangêrti yang artinya istri pasti tidak mengetahui dengan
menyesuaikan konvensi tembang
4. Ketidakkonsistenan penulis / penyalin dalam menuliskan beberapa
kata,
Ketidakkonsistenan penulisan Nyi Wêrda dengan Nyi Wêrdha
Gb. 13 Hal 2 Pupuh I Asmaradana bait 9 baris 2 tertulis Nyi wêrda
Gb.14 Hal 2 Pupuh I Asmaradana bait 10 baris 2 tertulis Nyi wêrdha
Ketidakkonsistenan penulisan Ki Jagung Garing dengan aksara ga
kecil dan ga murda
Gb.15 Hal 38 Pupuh XVI Asmaradana bait 29 baris 1 tertulis Ki Jagung
Garing dengan aksara ga kecil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
Gb.16 Hal 38 Pupuh XVII Dhandhanggula bait 1 baris 9 tertulis ki Jagung
Garing dengan aksara ga murda
5. Pembenaran kata yang salah oleh penyalin / penulis
Pembenaran dengan cara menyisipkan suku kata yang kurang yang
diletakkan ditepi halaman sebagai pembetulan
Gb. 17 Hal 17 Pupuh XVIII Megatruh bait 2 baris 1
Datan kendhat nênuwun marang Hyang Agung/ mugi pinarêngan gampil/
dènya darbe sedya mêngku/ marang kusumaning puri/ kang dadya raosing
batos/
Terjemahan : Tidak pernah berhenti memohon kepada Tuhan, semoga diberi
kemudahan, agar dikabulkan untuk memiliki sang putri, yang menjadi
kesinginan hatinya.
Gb.18 Hal 20 Pupuh IX Gambuh bait 9 baris1
Mugi sampun kalimput / lamun karsa nimbali pukulun/ dhatêng dasih sona
ingkang kaping kalih/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Terjemahan : Semoga tidak lupa, apa keinginan memanggil saya, kepada
anjing yang kedua,
Pembenaran dengan dicoret pada huruf yang salah
Gb. 19 Hal 38 Pupuh XVII Dhandhanggula bait 3 baris 3 tertulis Ki Jagung
Garing
6. Catatan orang ketiga menggunakan bolpoin menggunakan aksara latin
(ne) bukan aksara Jawa di karenakan lembaran kertas terkelupas
pada bagian sisi.
Gb.20 Hal 14. Pupuh X Sinom bait 10 baris 2
Sakala asalin cipta / nêdya nyampurnaken kapti / samêngko sun kudu nekad/
Terjemahan : Seketika mendapat pikiran, untuk menyempurnakan
keinginan, kemudian saya harus nekat,
2. Segi Isi
Sêrat Panithikan ini merupakan dongeng yang bercerita tentang
seorang prajurit yang bernama Sura Tantaka yang berjalan di hutan
kemudian bertemu seorang juru tenung yang bernama Nyai Wêrdha agar
mencari sebuah batu yang berada di dalam pohon beringin yang akan
mendatangkan keberuntungan baginya, dengan dibekali sebuah selendang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
oleh Nyai Wêrdha. Dan prajurit itu berhasil mendapatkan batu itu, namun
setelah prajurit itu mendapatkannya kemudian membunuh juru tenung itu.
Sang prajurit pergi ke sebuah Negara Garba Sonya. Di sana ia
hanya bersenang-senang dan berfoya-foya agar memperoleh banyak
teman. Hingga hartanya habis dan ia kemudian menjadi buruh. Tidak ada
seorangpun teman yang menolongnya. Kemudian ia teringat akan batu
yang ia miliki. Dengan menggunakan batu itu ia meminta tolong agar
mengambilkan uang untuk kebutuhan hidupnya. Kemudian ia kembali
menjadi orang kaya dan menyukai anak raja hingga ia berani menculik
anak raja tersebut. Perbuatan itu terdengar oleh raja dan kemudian oleh
raja prajurit tersebut dijatuhi hukuman mati, tetapi sang prajurit meminta
bantuan pada batu itu dengan mengeluarkan ketiga anjing yang sangat
besar hingga seluruh prajurit di negara itu berhasil dikalahkan dan sang
raja meninggal dunia. Prajurit kemudian diangkat menjadi raja dan
menikah dengan putri raja. Selama menjadi raja di negara tersebut prajurit
itu berbuat angkara murka dengan kekuatan batu yang dimilikinya.
Sang prajurit ternyata meninggalkan seorang istri dan anaknya di
Desa Suralaya anaknya bernama Suraya dan istrinya bernama Sari Murni.
Beberapa tahun sang prajurit tidak pulang untuk menjenguk keluarganya
hingga Suraya berumur 15 tahun dan Suraya berniat mencari ayahnya.
Dalam perjalanan ia bertemu dengan Kyai Jagung Garing di Gunung
Serang dan memberitahukan tentang keberadaan ayahnya. Dengan
informasi tersebut Suraya dibekali ilmu untuk mengambil batu itu barulah
ia bisa mengalahkan ayahnya. Pergilah Suraya ke negeri Garba Sonya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
untuk mengambil batu itu. Setelah mendapatkan batu itu Suraya berperang
melawan ayahnya. Suraya perang melawan ayahnya hingga akhirnya
ayahnya tersadar bahwa Suraya adalah anaknya dan mereka bisa
berkumpul lagi dengan keluarganya.
Panithikan berasal dari kata titik kemudian menjadi nithik yang
artinya nuthuk lirih, menjadi panithikan yang berubah menjadi kata benda
(Poerwadarminta, 1939 : 608). Jadi, panithikan yang dimaksud dalam
cerita ini adalah sebuah batu yang yang menjadi tanda suatu tempat yang
mempunyai kekuatan (semacam jimat) dan akan mendatangkan
keberuntungan bagi siapa saja yang membawanya.
Pengkajian isi dari naskah SP dilakukan untuk mengungkap ajaran
moral yang terdapat di dalamnya agar dapat ditarik manfaatnya. Ajaran
moral menurut Frans Magnis Suseno (1987:14) ajaran moral adalah
ajaran-ajaran atau wejangan patokan tentang bagaimana harus hidup dan
bertindak agar menjadi manusia yang baik. Ajaran moral dijabarkan dalam
kaidah, perintah, keharusan, larangan dan ajaran.
Ajaran moral tidak hanya didapatkan dari bacaan yang bersifat
serius atau resmi tetapi juga didapatkan melalui bacaan atau cerita yang
ringan sehingga lebih mudah diterima oleh pembacanya. Ajaran moral
tidak hanya dijabarkan ajaran-ajaran agar menjadi manusia kearah yang
lebih baik tetapi didalamnya juga dijabarkan dalam larangan-larangan
yang tidak boleh dilakukan atau larangan agar manusia tidak
melakukannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
Ajaran moral yang terdapat dalam naskah SP adalah :
a) Ajaran moral dalam kerumahtanggaan, seperti kewajiban suami
istri dalam sebuah keluarga. Dalam naskah SP ini tersirat ajaran
sebagai seorang istri menggantikan suaminya. Tertuang dalam
pupuh XV Kinanthi bait 9-10, sebagai berikut :
9. Suta ginawa bêburuh/ tanggêntang anggendhong sênik/ mring
mancapat manca lima/ mangkana kongsi sawarsi/ dènya nyaranti
ing priya/ tita têtela tan mulih//
10. Dangu-dangu dènya buruh/ mênthêl bisa simpên picis/ saking
wêkêle mring karya/ samubarang dènlakoni/ talaten kanthi narima/
winantu pangati-ati//
Terjemahan :
9. Anak dibawa buruh, panas-panas menggendong bakul mengelilingi
desa, demikian sampai setahun. Dilakukannya menggantikan
lelakinya sudah lama tidak pulang.
10. Lama-lama bekerja buruh bisa menyimpan uang dari giatnya
bekerja. Apa saja dilakukannya dengan sabar dan menerima
disertai dengan berhati-hati.
Dari kutipan di atas dapat dijelaskan bahwa istri sang prajurit bekerja
keras untuk menghidupi anaknya karena suaminya yang lama tidak
pulang. Menjadi seorang istri harus sabar, giat bekerja dan berhati-
hati karena suatu saat akan memetik hasil jerih payahnya.
b) Kewajiban anak berbakti kepada kedua orangtua.
Dalam naskah SP ini tersirat ajaran untuk seorang anak berbakti kepada
orangtuanya walaupun perbuatan orang tuanya tidak baik, tetapi kewajiban
seorang anak harus berbakti kepada orang tua. Hal tersebut tersirat dalam SP
pada pupuh XVI Asmaradana bait 9, sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
9. Suraya matur wotsari/ lah inggih dhatêng sandika/ sagêda
nglampahi pangrèh/ punapa dhawuh paduka/ sayêkti linampahan/
nadyan sakit praptèng lampus/ kawula botên suminggah//
Terjemahan :
9. Suraya berkata dengan menyembah. Patuh terhadap perintah semoga
bisa menjalani apa yang menjadi perintah beliau, dijalani meskipun
sakit sampai meninggal saya tidak akan pergi.
Dari bait di atas dapat diambil suatu ajaran bahwa begitu kuatnya
keinginan Suraya umtuk mencari ayahnya walaupun telah menelantarkannya
selama bertahun-tahun tidak membuat Suraya membenci ayahnya. Semakin
besar keinginan untuk mencari ayahnya karena ia ingin menyadarkan ayahnya
yang telah melupakan keluarganya.
c) Ajaran dalam keagamaan, yaitu manusia menyakini takdir Allah
SWT sebelum manusia dilahirkan. Pupuh VIII Dhandhanggula
bait 6
6. Dènya nandhang prihatin ing batin/ sru nalangsa munggèng jro
kunjara/ èngêting guru wulange/ bêgja cilaka iku/ wus pinasthi
dening Hyang Widi/ sakèhing makluking Hyang/ kang urip
sadarum/ wus pinanci pancènira/ sadurunge manusa lair nèng
bumi/ pêpêsthèn wus tumiba//
Terjemahan:
6. Merasa sengsara dihatinya, semakin sengsara ada di dalam penjara.
Teringat ajaran gurunya, beruntung celaka itu sudah pasti atas kuasa
Allah SWT atas semua makhluk-Nya. Semua makhlukNya yang hidup,
sudah dipastikan takdirnya sebelum manusia lahir di dunia ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
Dari kutipan bait di atas dapat di ambil suatu ajaran bahwa sebagai
manusia di dunia ini apapun yang terjadi semua atas kekuasaan Allah SWT. Nasib
manusia sudah dituliskan dalam takdir sebelum manusia lahir di dunia. Manusia
hidup di dunia ini hanya menjalani takdir yang sudah ditetapkan Allah SWT.
Sebagai makhluk ciptaanNya manusia wajib menyakini takdir Allah SWT.
Berdasar uraian di atas, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada
naskah SP baik secara filologis maupun isi. Kajian filologis digunakan untuk
mendapatkan naskah yang mendekati aslinya sesuai dengan cara kerja filologi dan
kajian isi digunakan untuk mengetahui ajaran moral pada teks SP.
B. Batasan Masalah
Batasan masalah dalam naskah SP ini lebih ditekankan pada dua kajian
utama, yakni kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis digunakan untuk
mengupas permasalahan filologis berdasarkan cara kerja filologis sehingga
diperoleh suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Kajian isi berfungsi
untuk mengungkap ajaran moral yang terkandung dalam SP.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka perumusan masalah
dalam penelitian teks SP adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana suntingan teks dari SP yang bersih dari kesalahan atau yang
mendekati asli sesuai dengan cara kerja filologi?
2. Bagaimana ajaran moral yang terkandung di dalam SP?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menyajikan suntingan teks SP yang bersih dari kesalahan atau mendekati
asli sesuai dengan cara kerja filologi.
2. Mengungkapkan ajaran moral yang terkandung di dalam SP.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini terbagi menjadi dua,
yakni manfaat teoretis dan praktis, sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis
b. Memperkaya teori filologi.
c. Memberikan kontribusi dan membantu peneliti lain dalam penelitian
naskah Jawa.
2 Manfaat Praktis
a. Menyelamatkan data naskah SP dari kerusakan dan hilangnya data
dalam naskah tersebut.
b. Mempermudah pemahaman isi teks SP sekaligus memberikan informasi
kepada masyarakat tentang ajaran moral yang terkandung didalamnya.
F. Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Bab ini menguraikan tentang latar belakang masalah,
batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II Kajian Teoretis.
Bab ini menguraikan pengertian filologis, objek penelitian
filologis, cara kerja filologis, dan teori-teori yang
berhubungan dengan isi teks,yaitu teori tentang dongeng
dan ajaran moral.
BAB III Metodologi Penelitian.
Bab ini menguraikan bentuk dan jenis penelitian, sumber
data dan data, teknik pengumpulan data serta teknik analisis
data.
BAB IV Pembahasan.
Pembahasan diawali dengan pembahasan kajian filologi
yang meliputi deskripsi naskah, transliterasi naskah, kritik
teks, suntingan teks, aparat kritik dan sinopsis. Kemudian
dilanjutkan kajian isi untuk mengungkapkan isi yang
terkandung dalam naskah.
BAB V Penutup.
Berisi simpulan dan saran.
Daftar Pustaka
Lampiran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
BAB II
KAJIAN TEORETIK
A. Pengertian Filologi
Filologi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani philologia
yang berasal dari dua kata yaitu philos yang berarti cinta dan logos yang
berarti kata. Sehingga filologi dapat diartikan sebagai cinta kata atau
senang bertutur. yang kemudian berkembang menjadi senang belajar,
senang ilmu, dan senang kesastraan atau senang kebudayaan (Siti Baroroh
Baried, 1983 :1).
Dalam sejarah perkembangannya, istilah filologi mengalami
perubahan dan perkembangan. Menurut Edwar Djamaris filologi adalah
suatu ilmu yang objek penelitiannya naskah-naskah lama (2002:3).
Sedangkan menurut Achadiati Ikram, filologi dalam arti luas adalah ilmu
yang mempelajari segala segi kehidupan di masa lalu seperti yang
ditemukan dalam tulisan. Di dalamnya tercakup bahasa, sastra, adat
istiadat, hukum, dan lain sebagainya (1980:1).
Filologi adalah ilmu yang mempelajari dan mengungkap
peninggalan kebudayaan masa lampau khususnya naskah-naskah lama
yang didalamnya mengandung berbagai aspek kehidupan seperti sosial,
ekonomi, hukum, agama dan kemasyarakatan. Untuk mengungkap isi atau
kandungan dari naskah-naskah masa lampau seorang peneliti harus
menguasai ilmu lain yang berkaitan, seperti ilmu sastra, linguistik,
tekstologi dan interteks agar dalam mengungkap isi atau kandungan
naskah lebih mendalam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
B. Objek Kajian Filologi
Siti Baroroh Baried, dkk (1983) mengemukakan bahwa filologi
mempunyai objek penelitian yaitu naskah dan teks. Naskah merupakan
teks tulisan yang berupa tulisan tangan (handschrift atau manuschrift),
sedangkan teks adalah kandungan atau muatan naskah berupa abstrak yang
hanya dapat dibayangkan saja dan memuat berbagai ungkapan pikiran
serta perasaan penulis yang disampaikan kepada pembacanya. Dalam
filologi istilah teks menunjukkan sesuatu yang abstrak, sedangkan naskah
merupakan sesuatu yang konkret.
C. Langkah Kerja Penelitian Filologi
Langkah kerja penelitian filologi menurut Edwar Djamaris,
meliputi inventarisasi naskah, deskripsi naskah, pertimbangan dan
pengguguran naskah, dasar-dasar penentuan naskah yang asli atau naskah
yang berwibawa, transliterasi naskah, dan suntingan teks (2002:10).
Adapun menurut Edi S Ekadjati dalam kumpulan makalah filologi,
langkah kerja dalam penelitian filologi terdiri dari inventarisasi naskah,
deskripsi naskah, perbandingan naskah, pemilihan teks yang akan
diterbitkan, ringkasan isi naskah, alih aksara dan penyajian teks (1992:1-
8). Sedangkan langkah kerja menurut Masyarakat Pernaskahan Nusantara
(Manassa), terdiri atas penentuan sasaran penelitian, inventarisasi naskah
dan observasi pendahuluan, penentuan naskah dasar, transliterasi naskah,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
dan penerjemahan teks. Teori tersebut tidak wajib diterapkan pada semua
naskah yang akan diteliti, karena tiap-tiap naskah memiliki kondisi yang
berbeda-beda
Penanganan Sêrat Panithikan ini menggunakan tahapan atau
langkah kerja penelitian filologi menurut Edwar Djamaris yang
dimodifikasi dengan langkah kerja Manassa. Mengingat bahwa naskah ini
merupakan naskah tunggal, sehingga tidak menggunakan perbandingan
naskah di dalam penggarapannya.
Secara terperinci, langkah kerja penelitian filologi Sêrat Panithikan
adalah sebagai berikut :
a. Penentuan Sasaran Penelitian
Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah menentukan
sasaran penelitian, mengingat banyaknyaak ragam yang perlu dipilih,
baik dari segi tulisan, bahan, bentuk, maupun isinya. Ada naskah yang
bertuliskan huruf Arab, Jawa, Bali, Sasak dan Batak. Adapula naskah
yang ditulis pada kertas, daun lontar, kulit kayu, atau rotan. Dari segi
bentuk terdapat naskah yang berbentuk puisi dan ada pula yang
berbentuk prosa. Naskah juga memiliki isi yang beragam, diantaranya
sejarah atau babad, kesusastraan, cerita wayang, cerita dongeng,
primbon, adat istiadat, ajaran atau piwulang, agama, dan sebagainya.
Berdasarkan hal tersebut, sasaran yang ingin diteliti telah
ditentukan yaitu naskah bertuliskan Jawa carik yang ditulis pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
kertas, berbentuk puisi atau tembang dan jenis sastra. Keseluruhan
bentuk tersebut telah terangkum di dalam SP.
b. Inventarisasi Naskah
Inventarisasi naskah dilakukan dengan cara mendata dan
mengumpulkan naskah yang berjudul sama dan sejenis untuk
kemudian dijadikan sebagai objek penelitan. Menurut Edwar Djamaris
(2002:10), apabila kita ingin meneliti suatu cerita berdasarkan nasakah
menurut cara kerja filologi, pertama-tama hendaklah didaftarkan
semua naskah yang terdapat di berbagai perpustakaan universitas atau
museum yang biasa menyimpan naskah melalui katalogus naskah yang
tersedia. Langkah tersebut dilakukan untuk mengetahui jumlah naskah,
tempat penyimpanan, maupun penjelasan lain mengenai keadaan
naskah yang akan dijadikan objek penelitian.
c. Observasi Pendahuluan dan Deskripsi Naskah
Observasi pendahuluan dilakukan dengan cara mengecek data
secara langsung ke tempat koleksi naskah sesuai dengan informasi
yang diungkapkan oleh katalog. Setelah mendapatkan data yang
dimaksud yakni SP maka kemudian dilanjutkan dengan deskripsi atau
identifikasi naskah.
Deskripsi naskah ialah uraian ringkasan naskah secara
terperinci. Deskripsi naskah penting untuk mengetahui kondisi naskah
dan sejauh mana isi mengenai naskah yang diteliti. Emuch Herman
Sumantri menguraikan bahwa deskripsi naskah merupakan sarana
untuk memberikan informasi atau data mengenai: judul naskah, nomor
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
naskah, tempat penyimpanan naskah, asal naskah, keadaan naskah,
ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris setiap halaman, huruf,
aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa naskah, bentuk
teks, umur naskah, pengarang atau penyalin, asal-usul naskah, fungsi
sosial naskah, serta ikhtisar teks atau cerita (1986: 2).
d. Transliterasi
Translitersi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi
huruf dari abjad yang satu ke abjad yang lain. Dalam proses
transliterasi ini sebaiknya peneliti tetap menjaga kemurnian bahasa
dalam naskah, khususnya penulisan kata (Edwar Djamaris, 2002:19).
Penyajian bahan transliterasi harus selengkap-lengkapnya dan
sebaik-baiknya, agar mudah dibaca dan dipahami. Transliterasi
dilakukan dengan menyusun kalimat yang jelas disertai tanda-tanda
baca yang teliti, pembagian alinea dan bab untuk memudahkan
konsentrasi pikiran, serta disesuaikan dengan ejaan bahasa yang
bersangkutan.
e. Kritik Teks
Kritik teks menurut Siti Baroroh Baried adalah memberikan
evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada
tempatnya yang tepat. Kegiatan kritik teks bertujuan untuk
mengembalikan teks ke bentuk aslinya sebagaimana diciptakan oleh
penciptanya (1983:97).
Menurut Sutrisno tujuan kritik teks adalah membersihkan teks
dari kesalahan yang terjadi selama penyalinan berulang kali,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
merekonstruksi isi naskah, sehingga isi naskah telah tersusun kembali
seperti semula, dan menjelaskan bagian-bagian cerita yang kurang
jelas sehingga seluruh teks dapat dipahami sebaik-baiknya (dalam
Edwar Djamaris, 2002:9).
f. Suntingan Teks dan Aparat Kritik
Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya,
yang bersih dari kesalahan berdasarkan bukti-bukti yang terdapat
dalam naskah yang dikritisi.
Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban dalam
penelitian naskah yang menyertai suntingan teks dan merupakan
kelengkapan kritik teks. Dalam aparat kritik juga ditampilkan kelainan
bacaan yang merupakan kata-kata atau bacaan salah di dalam naskah.
g. Sinopsis
Dalam penelitian filologi jika tanpa menyajikan terjemahan
setidak-tidaknya ada sinopsis atau ikhtisar yaitu penuturan yang
ringkas tapi merangkum keseluruhan isi (Darusuprapta, 1984: 91)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa sinopsis
adalah karangan ilmiah yang biasanya diterbitkan bersama-sama
dengan karangan asli yang menjadi dasar, sinopsis itu ringkasan
abstraksi (1994: 946). Sinopsis berguna untuk mengetahui isi naskah
tanpa harus membaca semua isi naskah. Sinopsis disertakan juga
dengan keterangan pupuh dan baitnya untuk memudahkan pembaca
maupun penelaah selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
D. Pengertian Dongeng
Dongeng adalah cerita prosa rakyat yang tidak dianggap benar-
benar terjadi. Dongeng diceritakan terutama untuk hiburan walaupun
banyak juga yang melukiskan kebenaran, berisikan pelajaran (moral)
atau bahkan sindiran ( James Danandjaya, 1997: 83).
Di dalam buku The Types of the Folktale, Anti Aarne
dan Stith Thompson (1964 : 19-20) telah membagi jenis-jenis
dongeng ke dalam empat golongan besar, yaitu :
1) Dongeng binatang (animal tales) adalah dongeng yang ditokohi
binatang peliharaan dan binatang liar. Binatang-binatang dalam
dongeng ini dapat berbicara dan berakal budi seperti manusia.
2) Dongeng biasa (ordinary folktales) adalah jenis dongeng yang
ditokohi manusia biasa dan biasanya adalah kisah suka duka
seseorang.
3) Lelucon dan anekdot (jokes and anecdotes) adalah dongeng-
dongeng yang dapat menimbulkan rasa menggelikan hati,
sehingga menimbulkan ketawa bagi yang mendengarnya
maupun yang menceritakannya.
4) Dongeng berumus (formula tales) yaitu dongeng berumus.
(dalam Danandjaya, 1986: 86)
Dalam SP ini termasuk dalam jenis dongeng nomor 2 yaitu
dongeng biasa yang ditokohi manusia biasa yang menceritakan suka duka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
perjalanan hidup sang prajurit dari yang awalnya miskin kemudian
menemukan sebuah batu menjadi kaya raya hingga lupa dengan
keluarganya.Pergi ke negeri Garba Sonya dan memperistri anak raja
kemudian menjadi raja angkara murka namun, dengan usaha anaknya yang
bernama Suraya sang prajurit dapat dikalahkan dan kembali hidup di desa
Suralaya.
E. Pengertian Etika, Moral dan Moralitas
Etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Kata Yunani ethos dalam
bentuk tunggal mempunyai banyak arti : tempat tinggal yang biasa;
padang rumput, kandang; kebiasaan, adat; akhlak, watak; perasan, sikap,
cara berfikir. Dalam bentuk jamak ta etha yang artinya adat kebiasaan.
Arti terakhir inilah yang kemudian menjadi latar belakang terbentuknya
istilah etika oleh filsuf Yunani Aristoletes (384-322 s.M) yang sudah
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika berarti ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan (dalam Bertends
2007 : 4).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen Pendidikan
Kebudayaan, 1988 : 68 ), etika dibedakan menjadi 3 arti, yaitu: 1) ilmu
tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak); 2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan
akhlak; 3) nilai mngenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat. Secara etimologi etika mempelajari kebiasaan manusia yang
terdiri dari konvensi – konvensi seperti cara berpakaian, tata cara, tata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
krama dan semacamnya (Poespaprojo, 1986 : 2). Sedangkan Franz Magnis
Suseno (1984: 6) memaparkan bahwa kata etika dalam arti yang
sebenarnya berarti filsafat mengenai bidang moral. Etika mempunyai arti
nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjdai pegangan bagi seseorang
atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya (dalam Bertends
2007: 6)
Kata yang cukup dekat dengan etika adalah moral. Moral berasal
dari bahasa Latin mos (jamak: mores), yang juga berarti kebiasaan, adat.
Secara etimologi etika dan moral berasal dari kata yang berarti kebiasaan,
adat. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi lama (Poerwadarminta,
1953 : 47) etika dijelaskan sebagai: ilmu pengetahuan tentang asas-asas
akhlak (moral).
Moralitas adalah sifat moral atau keseluruhan asas dan nilai yang
berkenaan dengan baik dan buruk (Bertens, 2007: 7). Kata moralitas
sendiri berasal dari kata sifat latin yaitu moralis yang pada dasarnya
memiliki arti yang sama dengan moral. Moralitas adalah perbuatan
manusia yang dengan itu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau
salah, baik atau buruk (Poespoprodjo, 1988: 102).
Ajaran moral menurut Frans Magnis (1993:15) adalah ajaran-
ajaran, wejangan / khotbah sebagai kumpulan ketetapan baik secara lisan
maupun tertulis tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak
agar menjadi manusia yang lebih baik. Dalam pelaksanaan moral
dijabarkan dalam kaidah, perintah, keharusan, larangan dan anjuran.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007: 541) didefinisikan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
ajaran moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, akhlak, budi pekerti, susila.
Moral mempunyai keterkaitan dengan agama dan hukum. Dalam
perilaku moral motivasi terbesar berasal dari agama. Hal yang tidak boleh
dilakukan dikarenakan agama melarang. Setiap agama mengandung suatu
unsur ajaran moral yang menjadi pegangan bagi pemeluknya untuk hal
yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Ajaran moral dalam suatu agama
dianggap penting karena ajaran itu berasal dari Tuhan dan
mengungkapkan kehendak Tuhan. Dalam agama kesalahan moral
dianggap dosa karena merasa melanggar perintahNya.
Sebagaimana terdapat hubungan moral dengan agama, dari segi
hukum memandang, hukum membutuhkan moral. Dalam kekaisaran
Roma terdapat pepatah Quid leges sine moribus?. Yang artinya, apa
artinya undang-undang kalau tidak disertai moralitas?. Hukum tidak
berarti banyak kalau tidak dijiwai oleh moralitas (dalam Bertends 2007 :
41). Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Di
sisi lain moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengambang kalau
tidak dilembagakan dalam masyarakat atau tidak dibuat peraturan
perundang-undangan. Hukum membatasi tingkah laku manusia lahiriah
dan sanksinya berupa hukuman sedangkan moral menyangkut sikap batin
seseorang yang sanksinya perasaan tidak tenang dalam diri pelakunya,
celaan dan hinaan dari masyarakat.
Moral juga berarti kondisi mental yang membuat orang tetap
berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin; isi hati atau keadaan perasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
sebagaimana terungkap dalam perbuatan atau ajaran kesusilaan yang dapat
ditarik dari suatu cerita. Ajaran moral tidak hanya di dapatkan dari buku-
buku, kitab-kitab atau ketetapan-ketetapan lain yang bersifat serius atau
resmi. Ajaran moral juga dapat diperoleh dari sesuatu yang
penyampaiannya lebih bersifat santai dan ringan seperti dalam bentuk
cerita dongeng yang lebih mudah diterima.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Bentuk dan Jenis Penelitian
Bentuk penelitian SP adalah penelitian filologi. Penelitian ini
bersifat deskriptif kualitatif, artinya data yang ditemukan, dikumpulkan,
diteliti, digambarkan, ditulis, dilaporkan, dianalisis, ditelaah sesuai dengan
apa yang telah diperoleh / sesuai dengan bentuk data asli ( Lexy J.
Moleong, 2010:11 ). Penelitian kualitatif mempunyai karakter yaitu secara
menyeluruh merupakan kesatuan yang utuh sehingga penelitian tidak
dibenarkan untuk memisah-misahkan, misalnya hanya mengikuti sebagian
dengan meninggalkan lainnya (Ulcoln & Guba dalam Heribertus Sutopo,
1998:12).
Pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif ini berpandangan
bahwa semua hal yang berupa sistem tanda tidak ada yang patut
diremehkan, semuanya penting dan semuanya mempunyai pengaruh dan
berkaitan dengan yang lain. Dengan mendeskripsikan segala sistem tanda
(semiotic) mungkin akan membentuk dan memberikan suatu pemahaman
yang lebih komprehensif mengenai apa yang dikaji (Atar Semi, 1990: 25).
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian perpustakaan
atau library research yaitu penelitian yang dilakukan di kamar kerja
peneliti atau di ruang perpustakaan. Dimana peneliti memperoleh data dan
informasi tentang objek telitiannya lewat buku-buku atau alat-alat
audiovisual lainnya (Atar Semi, 1990:8)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
B. Sumber Data dan Data
Sumber data adalah segala sesuatu yang secara langsung mampu
menghasilkan atau memberikan data. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah naskah berjudul Sêrat Panithikan yang tercantum
dalam Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid I Museum Sana
Budaya Yogyakarta (Behrend,1990) dengan nomor katalog MSB/L236
dengan kode koleksi PBA.123 dan kode microfilm Rol.91 no.3
Data adalah sesuatu yang dihasilkan dari sumber data. Data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah naskah dan teks Sêrat Panithikan
pupuh I -XXI.
C. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dalam delapan
tahap, yaitu :
a. Studi pustaka (library research) yaitu dengan membaca katalog naskah
yang tersimpan diberbagai perpustakaan, museum atau instansi lain
yang menaruh perhatian terhadap naskah dan buku-buku yang
mendukung data penelitian,
b. Mendata judul naskah yang akan dijadikan sebagai objek penelitian,
c. Mengecek dan memastikan kebenaran naskah ketempat penyimpanan
naskah yaitu Perpustakaan Museum Negeri Sanabudaya Yogyakarta,
d. Mengecek dan memastikan kebenaran microfilm naskah yang tersimpan
di Perpustakaan Negeri Republik Indonesia,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
e. Membaca microfilm dengan menggunakan mesin microreader dengan
teknik scan kemudian ditransfer ke computer program Adobe Photoshop,
f. Mengubah program Adobe Photoshop ke format TIF,
g. Dari format TIF dilakukan program pengeditan dengan program
Microsoft Office Picture Manager. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan
grafikan wujud asli naskah dan untuk memudahkan proses analisis data,
h. Naskah dan teks SP sebagai data utama kemudian ditransliterasi dan
dideskripsikan.
D. Teknik Analisis Data
Penelitian terhadap naskah SP ini merupakan penelitian naskah
tunggal, maka metode yang digunakan adalah metode edisi naskah
tunggal. Robson (1994 : 25) mengungkapkan bahwa yang dimaksud
dengan metode edisi kritik atau metode standar adalah bahwa penyunting
mengidentifikasikan sendiri bagian dalam teks yang mungkin terdapat
masalah dan menawarkan jalan keluar. Jalan keluar tersebut adalah (1)
apabila penyunting merasa bahwa ada kesalahan dalam teks, peneliti dapat
memberikan tanda yang mengacu pada aparatus kritik dan menyarankan
bacaan yang lebih baik, (2) jika terdapat teks yang salah, penyunting dapat
memasukkan koreksi ke dalam teks tersebut dengan tanda yang jelas yang
mengacu pada apparatus kritik dan bacaan asli akan didaftar dan ditandai
sebagai naskah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Bani Sudardi (2003 : 60) mengungkapkan metode edisi naskah
tunggal dengan menggunakan edisi standar ialah penyuntingan dengan
disertai dengan pembetulan kesalahan-kesalahan kecil dan
ketidakkonsistenan serta ejaan yang digunakan ialah ejaan yang baku
(standar). Kesalahan-kesalahan diberi komentar yang dicatat dalam aparat
kritik. Aparat kritik langsung ditulis dibagian bawah halaman.
Metode standar digunakan apabila isi naskah dianggap cerita biasa,
bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut agama atau
bahasa, sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa
(Edwar Djamaris,1991:15). Sajian data (suntingan teks) juga didasarkan
pada metode edisi standar antara lain mentransliterasikan teks,
membetulkan kesalahan teks, membuat catatan perbaikan / perubahan,
memberi komentar, tafsiran, menyusun daftar kata sukar / glosari. Daftar
kata sukar / glosari tidak disertai dalam penelitian ini karena bahasa dalam
naskah ini termasuk dalam bahasa Jawa baru yang mudah dimengerti.
Suntingan naskah tersebut dijadikan dasar untuk mengungkap
kandungan isi. Untuk mengungkap kandungan isi SP menggunakan
metode deskriptif. Winarno Surachmad (1975 : 113) mengungkapkan
bahwa penelitian deskriptif adalah menjabarkan apa yang menjadi
masalah, menganalisis dan menafsirkan data yang ada dengan tidak
mengabaikan data-data pembantu. Metode deskriptif diterapkan dalam
data ini karena data berbentuk puisi atau tembang macapat, sehingga perlu
ditafsirkan dan dijabarkan dalam bentuk prosa agar lebih mudah dipahami.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
Dalam metode deskriptif ini dikembangkan dengan memberikan
interpretasi dengan fakta-fakta yang dikemukakan tersebut. Dengan kata
lain, tidak hanya terbatas pada pengumpulan data, tetapi juga menganalisis
dan memberikan interpretasi terhadap data yang ada, terutama yang
berkaitan dengan ajaran moral.
Penarikan simpulan dalam penelitian ini didasarkan pada analisis
data dengan menyajikan hasil suntingan teks yang bersih dari kesalahan
dan kekeliruan yang ada pembetulan dan perubahan-perubahan dilakukan
ditempatkan pada tempat khusus (catatan kaki) atau dicatat dalam aparat
kritik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
BAB IV
ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai kajian filologi dan kajian isi
terhadap SP. Kajian filologi digunakan untuk membahas permasalahan yang
ada di dalam naskah, yaitu varian-varian yang ditemukan dalam SP sehingga
dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Kajian ini berdasarkan cara kerja
filologi sehingga diperoleh suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Kajian
isi digunakan untuk mengungkapkan ajaran moral yang terkandung dalam SP.
A. Kajian Filologis
1. Deskripsi Naskah
Deskripsi naskah ialah pendahuluan tentang naskah atau uraian ringkas
tentang naskah. Deskripsi naskah merupakan cara untuk menggambarkan
secara ringkas informasi mengenai naskah melalui uraian-uraian ringkas
dengan apa adanya. Emuch Herman Soemantri (1986 : 2) mengungkapkan
hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendeskripsikan atau
mengidentifikasi naskah antara lain menyangkut informasi atau data
mengenai : judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, asal
naskah, keadaan naskah, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah baris per
halaman, huruf, aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa
naskah, bentuk teks, umur naskah, pengarang atau penyalin, asal usul
naskah, fungsi sosial naskah, ikhtisar teks atau cerita.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
Berikut ini adalah deskripsi naskah SP yang dijadikan objek dalam
penelitian :
a) Judul Naskah
Judul naskah Sêrat Panithikan, tertulis pada halaman 1 sebagai cover
dalam naskah
Gb.1 Serat Panithikan iketanipun Raden Pujaharja
Ing Surakarta
Kala ing taun Walandi
1911
Kawedalaken dening......
b) Nomor Naskah
Naskah tersebut hanya tercantum dalam katalog lokal Museum
Sanabudaya Yogyakarta dengan nomor katalog MSB/ L236 dan kode
koleksi PB.A123 dan kode microfilm Rol.91 No.3.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
c) Tempat Penyimpanan Naskah
Naskah SP tersimpan di Perpustakaan Museum Sanabudaya Yogyakarta.
d) Asal naskah
Yogyakarta
e) Pengarang / penyalin
Radèn Pujaharja
f) Keadaan Naskah
Naskah masih cukup bagus, ada penambahan sampul naskah dengan
karton hitam tebal untuk menjaga keutuhan naskah, jilidan masih baik dan
tidak ada halaman yang terlepas, pada halaman 23 bagian tepi bawah
halaman terkelupas.
g) Ukuran naskah : 21,5 cm x 35 cm
ukuran teks : 15,9 cm x 31,9 cm
margin kanan : 3 cm
margin kiri : 2,6 cm
margin atas : 2,2 cm
margin bawah : 0,9 cm
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
h) Jumlah Halaman
Jumlah halaman naskah 51 dengan kosong bagian depan 1 halaman dan 1
halaman di belakang halaman, 49 halaman teks naskah ditulis pada
halaman recto (muka).
i) Jumlah baris per halaman
41 baris per halaman kecuali halaman 1 terdapat 10 baris dan halaman 49
terdapat 5 baris.
j) Huruf, aksara, tulisan
Huruf : Jawa
Aksara : Jawa Carik
Tulisan : Jarak baris dan jarak huruf rapat, ukuran huruf kecil,
bentuk huruf ngetumbar. Jarak antarhuruf rapat tetapi dapat dibaca dengan
mudah, jarak antarbaris relatif rapat , tulisan bagus dan rapi.
k) Cara penulisan
Naskah ditulis pada bagian recto, yaitu lembaran naskah ditulisi pada
bagian muka saja. Penulisan dari kiri kekanan dengan menggunakan garis
bantu tepi halaman menggunakan pensil ditulis menggunakan tinta hitam
tipis, jarak antarhuruf dan antarbaris rapat, tetapi masih dapat terbaca
dengan jelas. Penomoran halaman menggunakan Angka Jawa di tengah
atas halaman naskah.
l) Bahan Naskah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
Naskah ditulis pada kertas folio bergaris, berwarna kekuningan dengan
tambahan garis tepi kanan dan kiri menggunakan pensil.
m) Bahasa Naskah
Menggunakan bahasa Jawa Baru dengan menggunakan ragam krama dan
ngoko. Bahasa dalam Sêrat Panithikan ini juga disisipi serapan bahasa
Indonesia.
n) Bentuk Teks
Naskah ini berbentuk puisi atau tembang macapat sebanyak 21 pupuh
yang terdiri dari :
Di bawah ini tabel urutan pupuh dan jumlah baitnya.
No Pupuh bait
1. Asmaradana 25 bait
2. Dhandhanggula 21 bait
3. Pangkur 20 bait
4. Sinom 25 bait
5. Kinanthi 28 bait
6. Pocung 22 bait
7. Mijil 12 bait
8. Megatruh 29 bait
9. Gambuh 27 bait
10. Sinom 23 bait
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
11. Asmaradana 26 bait
12. Mijil 26 bait
13. Dhandhanggula 25 bait
14. Pangkur 15 bait
15. Kinanthi 27 bait
16. Asmaradana 29 bait
17. Dhandhanggula 20 bait
18. Durma 26 bait
19. Megatruh 21 bait
20. Pocung 35 bait
21. Sinom 23 bait
Jumlah bait 505 bait
Dalam naskah SP terdapat sasmita tembang ‘isyarat nama tembang’ pada
tiap pupuh yang biasanya terdapat pada setiap akhir pupuh, kecuali pupuh
pertama sasmita tembang terletak pada awal pupuh, yaitu:
1. Pupuh I Asmaradana
Sasmita tembang Asmaradana terdapat pada awal Pupuh I Asmaradana
bait 1 baris 1 yang berbunyi kasmaran marsudi budi/…
2. Pupuh II Dhandhanggula
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Sasmita tembang Dhandhanggula terdapat pada akhir Pupuh I
Asmaradana bait 25 baris 7 yang berbunyi … andhadhang nêdya met
brana//
3. Pupuh III Pangkur
Sasmita tembang Pangkur terdapat pada Pupuh II Dhandhanggula bait
21 baris 10yang berbunyi … tan pisan angungkurna//
4. Pupuh IV Sinom
Sasmita tembang Sinom terdapat pada Pupuh III Pangkur bait 20 baris
10 yang berbunyi … prajurit anoma prihatin//
5. Pupuh V Kinanthi
Sasmita tembang Kinanthi terdapat pada Pupuh IV Sinom bait 25 baris
9 yang berbunyi … kang rinasa kanthi sumêlanging driya//
6. Pupuh VI Pocung
Sasmita tembang Pocung terdapat pada Pupuh V Kinanthi bait 28 baris
6 yang berbunyi …pinucung rinêksèng puri//
7. Pupuh VII Mijil
Sasmita tembang Mijil terdapat pada Pupuh VI Pocung bait 22 baris 4
yang berbunyi … sêkar mijil kawahya ngandhap punika//
8. Pupuh VIII Megatruh
Sasmita tembang Megatruh terdapat pada Pupuh VII Mijil bait 12 baris
6 yang berbunyi … lir pêgat rohipun//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
9. Pupuh IX Gambuh
Sasmita tembang Gambuh terdapat pada Pupuh VIII Megatruh bait 29
baris 5 yang berbunyi … mring sona ingkang ginamboh//
10. Pupuh X Sinom
Sasmita tembang Sinom terdapat pada Pupuh IX Gambuh bait 27 baris
5 yang berbunyi …mêmitran lawan wong anom//
11. Pupuh XI Asmaradana
Sasmita tembang Asmaradana terdapat pada Pupuh X Sinom bait 23
baris 7 yang berbunyi … sabdanira karya kingkining wardaya//
12. Pupuh XII Mijil
Sasmita tembang Mijil terdapat pada Pupuh XI Asmaradana bait 26
baris 7 yang berbunyi …Sang Nata angraras driya//
13. Pupuh XIII Dhandhanggula
Sasmita tembang Dhandhanggula terdapat pada Pupuh XII Mijil bait
26 baris 6 yang berbunyi …andhandhang kumlungkung//
14. Pupuh XIV Pangkur
Sasmita tembang Pangkur terdapat pada Pupuh XIII Dhandhanggula
bait 25 baris10 yang berbunyi … mungkur nrajang barisan//
15. Pupuh XV Kinanthi
Sasmita tembang Kinanthi terdapat pada Pupuh XIV Pangkur bait 15
baris 7 yang berbunyi ... kanthi linabuhan pati//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
16. Pupuh XVI Asmaradana
Sasmita tembang Asmaradana terdapat pada Pupuh XV Kinanthi bait
27 baris 6 yang berbunyi …wus lamis mring karya kingkin//
17. Pupuh XVII Dhandhanggula
Sasmita tembang Dhandhanggula terdapat pada Pupuh XVI
Asmaradana bait 29 baris 7 yang berbunyi … sarwi manis sabdanira//
18. Pupuh XVIII Durma
Sasmita tembang Durma terdapat pada Pupuh XVII Dhandhanggula
bait 20 baris 10 yang berbunyi : …tan nêdya mundur ing prang//
19. Pupuh XIX Megatruh
Sasmita tembang Megatruh terdapat pada Pupuh XVIII Durma bait 26
baris 7 yang berbunyi … kalilan mangkat/ datan pêgat mangèsthi//
20. Pupuh XX Pocung
Sasmita tembang Pocung terdapat pada Pupuh XIX Megatruh bait 21
baris 5 yang berbunyi …sandika pocung ginantos//
21. Pupuh XXI Sinom
Sasmita tembang Sinom terdapat pada Pupuh XX Pocung bait 35 baris
4 yang berbunyi : … datan nêdya mangkrak pindha wong taruna//
o) Fungsi Naskah
Fungi naskah SP sebagai hiburan berupa cerita dongeng (sastra lisan)
yang ditulis oleh Raden Pujaharja, di dalamnya mengajarkan berbagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
ajaran moral bagi pembacanya melalui cerita dongeng agar lebih mudah
diterima oleh pembacanya.
p) Ikhtisar Naskah
Menceritakan tentang seorang prajurit yang diberitahu oleh seorang
juru tenung bernama Nyai Wêrdha bahwa dalam pohon terdapat hartanya.
Nyai Wêrdha meminta tolong pada Sang prajurit untuk mengambilkan
miliknya batu panithikan. Sang prajurit membunuh Nyai Wêrdha karena
ingin memiliki batu itu. Dengan kekuatan batu itu Sang prajurit menjadi
raja di negeri Garba Sonya dan menikahi anak raja. Sang prajurit berbuat
angkara murka hingga akhirnya disadarkan oleh anaknya, Suraya.
2. Kritik teks
Kritik teks menurut Siti Baroroh Barried adalah memberikan evaluasi
terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada tempatnya yang tepat.
Kegiatan kritik teks bertujuan untuk menghasilkan teks yang sedekat-
dekatnya dengan teks aslinya. (1994 : 61). Menurut Darusurapta dan
Hartini (1989 : 20) tujuan utama kritik teks adalah untuk mendapatkan
bentuk teks yang asli (otentik) untuk mendapatkan otografi, karena hampir
semua naskah mengalami penyalinan turun-temurun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
Dalam kritik teks peneliti menemukan varian yang meliputi :
a. Lacuna : bagian yang terlewati/ kekurangan suku kata, kata atau
kalimat dalam sebuah baris tembang.
b. Adisi : bagian yang kelebihan/ penambahan suku kata, kata atau
kalimat dalam sebuah baris tembang.
c. Hiperkorek : kesalahan ejaan karena pergeseran lafal.
Dalam kritik teks ini peneliti memiliki alasan ilmiah, sehingga
hasilnya dapat dipertanggungjawabkan. Hasil dari kritik ini disebut
suntingan teks yang semua kelainan bacaan yang terdapat dalam
naskah, diteliti dan diadakan pembetulan. Kritik teks dalam penelitian
ini akan dibuat dalam bentuk tabel. Untuk mempermudah memahami
maka dibuat singkatan :
No : Nomor urut
P : Pupuh
B/b : Bait/ baris
Hlm : Halaman pada naskah
@ : edisi teks berdasarkan konvensi tembang
# : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
* : edisi teks berdasarkan interpretasi peneliti
Edisi : bacaan yang dibetulkan
Tabel 1. Lacuna huruf
No P B/b Hlm Lacuna Edisi
1. II 5/5 4 Salendha
Salendhang #*
2. V 6/1 13 Makana
Mangkana #*
2. V 14/4 13 Mugah
munggah#*
3. VIII 1/3 17 Tarlè
tarlèn#*
4. X 2/6 22 Anè anèng#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
5. X 20/7 24 Ingka
ingkang#*
6. XI 5/1 24 Mya
Myang#*
Tabel 2. Lacuna suku kata
N
o
P B/b Hl
m
Lacuna suku kata Edisi
1. I 14/
2
3 Ing prênah kayu gurda
Ing
prênahe
kayu gurda
@*
2. III 2/1 7 Tan drana mandêr sigra Datan
drana
mandêr
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
sigra @*
3. IV 25/
2
12 Bojo mêsthi tan ngêrti
Bojo
mêsthi tan
mangêrti
@*
4. V 20/
2
14 Datan pisan ngèmuti
Datan
pisan
angèmuti
@#*
5. VII 10/
1
17 Singa tirta tigan kang tipis
Singa tirta
tigan
ingkang
tipis @#*
6. IX 26/
4
21 Sayêk tan bisa lulus
Sayêkti tan
bisa lulus
@#*
7. X 5/6 22 Sarwa sembada kayun Sarwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
kasembada
n kayun
@#*
8. X 10/
8
23 Wong pri wajib darbèni
Wong
priya wajib
darbèni
@#*
9. XI 3/4 24 êmban ingkang dhinawuh
êmban
ingkang
dhinawuha
n @#*
10
.
XII 20/
5
28 Ingkang anungukti
Ingkang
wus
ambukti
@#*
11
.
XII
I
19/
9
31 Mandaraka gya nyêpêng
kêndhat dupi
Mandarak
a gya
anyêpêng
kêndhat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
dupi @#*
12
.
XV 24/
3
35 Yèku munggèng jalaran
Yaiku
munggèng
jalaran@#
*
13
.
XV
I
26/
6
37 Sore èntèh wancipun
Sore èntèh
wancinipu
n @#*
14
.
XX 22/
1
45 Kang inguwus : tan têlas ing
pangungun
Ingkang
inguwus :
datan têlas
ing
pangungun
@#*
Tabel 3. Adisi huruf
No P B/b Hlm Adisi Edisi
1. I 4/1 2 sumênglang sumêlang #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
2. VII 9/4 17 darung
daru #*
3. IX 13/2 20 kanglih
kalih #*
4. X 20/7 24 natar
nata#*
Tabel 4. Hiperkorek
No P B/b Hlm Hiperkorek Edisi
1. I 9/2 2 Nyi Wêrda
Nyi
Wêrdha#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
2. I 15/7 3 bakan
bakal #*
3. II 18/8 6 mèpèd
mèpèt#*
4. II
III
19/9
20/1
7
9
limprêg-limprêg
limprêg-limprêg
limprêk-
limprêk#*
limprêk-
limprêk#*
5. III 16/7 9 yènya
dènya#*
6. IV 7/1 10 kalong
kanthong#*
7. IV 12/1 11 non
lon @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
8. VI
II
X
V
25/3
8/5
19
34
kapèpèd
kapèpèd
kapèpèt #*
kapèpèt #*
9. IX 6/5 20 tutawa
utawat#*
10
.
IX 9/4 20 têtu
têlu#*
11
.
IX 12/4 20 prajurut
prajurit #*
12
.
X 10/6 22 piningid
piningit #*
13
.
X 17/4 23 ngakti nganti #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
14
.
X 6/2 22 piningid
piningit#*
15
.
X 17/4 23 ngakti
nganti #*
16
.
XI 10/7 25 kinondhol
ginondhol
#*
17
.
XI
II
22/1 31 latu
watu#*
18
.
X
V
7/5 34 ribêd
ribêt#*
19
.
X
VI
I
16/2 40 pelag
pelak#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
20
.
X
VI
II
7/4 41 dede
denel#*
21
.
X
VI
II
8/4 41 ramèswara
pramèswar
a #*
22
.
X
VI
II
10/1 41 ngatingal
katingal #*
23
.
X
VI
II
21/5 42 us
wus #*
24
.
XI
X
19/4 44 dada
dadi #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
3. Suntingan Teks, Aparat Kritik dan Transliterasi
Pengkajian secara filologis naskah SP dilakukan dengan pengerjaan
antara lain transliterasi, aparat kritik dan suntingan teks secara bersamaan.
Suntingan teks adalah menyajikan teks dalam bentuk aslinya atau
mendekati aslinya, yang bersih dari kesalahan-kesalahan berdasarkan
bukti-bukti yang terdapat dalam naskah yang dikritisi. Suntingan teks
bertujuan agar teks dapat dibaca dengan mudah oleh kalangan luas.
(Edwar Djamaris, 1977 : 30).
Aparat kritik adalah perabot pembanding yang menyertai penyajian
suatu naskah (Siti Baroroh Barried. 1977 : 5). Kata atau kelompok kata
yang mendapat kritik dan dianggap salah ditulis apa adanya dalam
suntingan teks, sedangkan kritik yang berupa interpretasi peneliti terhadap
teks yang dianggap salah ditulis di bagian bawah teks (footnote) sebagai
bagian dari aparat kritik, yaitu pertanggungjawaban ilmiah dalam
penelitian naskah.
Transliterasi atau alih aksara merupakan penggantian huruf demi huruf
dari abjad satu ke abjad yang lain. Selama transliterasi ini tidak terlepas
dari penggunaan kamus Bausastra Jawa karangan W.J.S Poerwadarminta
(1939) berdasarkan Ejaan Bahasa Jawa Yang Disempurnakan (EYD)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
(1991) sebagai pedoman dan menjadi acuan pembetulan ejaan dalam
transliterasi SP.
Metode penyuntingan SP menggunakan metode standar, yaiu
menerbitkan naskah dengan membetulkan kesalahan-kesalahan dan
pembetulan dicatat ditempat khusus (footnote/ catatan kaki) sebagai
pertanggungjawaban ilmiah dalam penelitian. Untuk mempermudah dan
memahami pembacaan transliterasi SP maka dalam suntingan teks
digunakan tanda sebagai berikut :
1. Setia pupuh diberi nomor dengan Angka Romawi I, II, III, …. ,
misalnya Pupuh I Asmaradana
2. Angka Arab kecil yang berada di atas seperti …..123
menunjukkan
nomor kritik teks.
3. Penomoran bait dengan menggunakan angka Arab seperti 1, 2, 3 dan
seterusnya.
4. Angka Arab dengan tanda, [1], [2], [3] menunjukkan pergantian
halaman teks.
5. Tanda diakritik ( e ) seperti dalam bahasa Jawa kata sela yang
artinya batu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
6. Tanda diakritik ( ê ) seperti dalam bahasa Jawa kata bêgja yang
artinya beruntung.
7. Tanda diakritik ( è ) seperti dalam bahasa Jawa kata kabèh yang
artinya semua.
8. Tanda @ menunjukkan pembetulan berdasarkan konvensi tembang.
9. Tanda # menunjukkan pembetulan berdasarkan pertimbangan
linguistik
10. Tanda * menunjukkan pembetulan berdasarkan interpretasi peneliti.
11. Tanda ( / ) untuk menunjukkan akhir baris tembang, sedangkan ( // )
untuk menunjukkan akhir dari setiap bait.
12. Penulisan dwipurwa ditransliterasikan sesuai dengan EYD Bahasa
Jawa, seperti :
ririkatan ditranliterasikan rêrikatan
13. Sastra laku ditransliterasikan dengan mengubah konsonan penutup
pada kata berikutnya, seperti :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Sang ngaji ditransliterikan sang aji
14. Penulisan teks yang menggunakan aksara (ô) ditransliterasikan
menjadi aksara (a), seperti :
mongka ditransliterasikan mangka
15. Penulisan kata dasar yang berakhiran huruf / h / dan mendapat
akhiran /-e/, /-a/, /-an/, /-ane/, /-anira/. Dalam penulisan aksara Jawa
sering ditulis dengan fonem /y/ atau /w/, tetapi dalam suntingan teks
fonem akan ditulis dengan /h/, seperti:
Mrih dadiya ditransliteraikam mrih dadia
16. Penulisan kata ulang dalam teks akan ditransliterasi dengan menggunakan
tanda hubung (-), seperti :
Dangu dangu ditransliterasikan dangu-dangu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
1. Suntingan Teks, Aparat Kritik dan Transliterasi
Pupuh I Asmaradana
1. [2] Kasmaran marsudi budi/ mardi mardawaning têmbang/ kang supadya
dadya lantèh/ mangiket lagu macapat/ kinarya langêndriya/ darapon dadya
panglipur/ pêthik lêlakon ing kuna//
2. Carita ingkang ginurit/ sela aran panithikan/ kaluwih-luwih dayane/bisa
anêkakkên bêgja/ samana kang winarna/ wontên sujalma lumaku/ mung
pribadi tanpa rowang//
3. Sêmune kadya prajurit/ dene mawi nganggar pêdhang/ sarwi anyangking
kêrgane/ margi ingkang winêdalan/ ngambah ing wana wasa/ tanapi
sumêngkèng gunung/ lampahira rêrikatan//
4. Tanpa sumênglang1 ing galih/ tanpa jrih ing pringgabaya/ lir mêntas unggul
yudane/ katingal ing solah bawa/ duk praptèng têngah wana/ kapêthuk lan
jalma sêpuh/ nurute nung karyanira//
5. Langkung kuciwa kang warni/ gigir wungkuk badan kêra/ maripat karo lir
jèlès/ lambe andomble mèh prapta/ ing janggut panjangira/ kulit kusi irêng
kisut/ anggajrihi yèn sinawang//
6. Jalma sêpuh tetanya ris/ marang kang lagya lumampah/ têmbunge cêtha tur
tètèh/ mangkana ing basanira/ èh kulup kang lêlampah/ sajroning sira
lumaku/ sun sawang saking kadohan//
7. Kongsi praptèng parêk iki/ kaya prajurit prakosa/ kang luwih kadigdayane/
katon ing pasêmonira/ lawan panggangonira/ dudu sawiyah wongipun/
pantês lamun wirotama//
8. Saka ing panduga mami/ sira bakal nora wêgah/ anjupuka barana kèh/ kang
ana sajroning gurda/ mangkono sêdyaningwang/ anjaluk pitulunganmu/ lah
kapriye kulup sira//
9. Wau ta prajurit dupi/ mirêng wuwuse Nyi Wêrda2/ kalangkung dènira kagèt/
dene kapronggol ing prana/ tan wêruh purwanira/ dinadak pininta tulung/
marang wong durung kulina//
1 sumêlang #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
10. Wêkasan mangsuli aris/ èh Nyi Wêrdha kadiparan/ lire sêdyanira kuwe/ mrih
angalap raja brana/ iku arupa apa/ dene ngrêngkara wuwusmu/ jroning wana
ana brana//
11. Juru tênung ngucap malih/ bênêr kulup muwusira/ anarka yèn luwih anèh/
dene ta sajroning wrêksa/ mokal lamun isia/ raja brana ngundhung-undhung/
nanging kulup wruhanira//
12. [3]Marmane ingsun wêwarti/ masa yèn tanpa gawêa/ sayêkti ana nyatane/
pan ingsun kang wus uninga/ lamun sajroning gurda/ ana raja brananipun/
cacahe tan pêpetungan//
13. Prajurit gya ngungsêt angling/ lah ing ngêndi prênahira/ gurda kang isi
brana kèh/ branane arupa apa/ Nyi Wêrdha wangsulanya/ ora adoh
dunungipun/ ing kono pêrak kewala//
14. Saburine gunung cilik/ ing prênah kayu gurda3/ kang katon saka ing kene/
dene ta kang raja brana/ iku awujud arta/ sakuwate kang anjupuk/ artane tan
têlas-têlas//
15. Marma kalamun sirèki/ bisa manjing garowongan/ ing kayu gurda têngahe/
yêkti bisa kalaksanan/ apa sakarsanira/ manawa sira wus saguh/ mêngko sun
bakan4 pratela//
16. Wèh rêrigên ingkang gampil/ iya bakal lêbunira/ mring jro kayu gurda gêdhe/
lan manèh sira sun wulang/ pamèt ing raja brana/ kang bakal sirambil iku/
kang liningan nulya sagah//
17. Dyan lumampah wong kêkalih/ tan antara dangu prapta/ ing prênahe gurda
gêdhe/ juru tênung gya pitêdah/ sarwi alon angucap/ lah ta iku wujudipun/
gurda kang isi barana//
18. Sajroning gurda puniki/ ana growongan têtiga/ kalawan ana lawange/
mèmpêr lir sênthonging wisma/ lawang minêb sadaya/ kinunci sosorogipun/
cumanthèl luhur wiwara//
2 Nyi Wêrdha #*
3 ing prênahe kayu gurda@#*
4 bakal#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
19. Kori siji sorog siji/ pratikêle lêbunira/ sira kudu amêmènèk/ kalamun wus
praptèng ngêpang/ ingkang luhur priyangga/ ing kono lagi kadulu/
growonganing kayu gurda//
20. Lan dalan kang dèn wêtoni/ mring lawanging sêsênthongan/ kang padha
kumunci kabèh/ sawuse sumurup sira/ tumuli lumêbua/ banjura sira tumurun/
têkakna ing ngisor pisan//
21. Nanging ta aja kuwatir/ lan aja wêdi kangèlan/ ana maneh pratikêle/ iya
bakal lêbunira/ marang sajroning gurda/ sun talèni bangkèkanmu/ kalawan
rami kêndharat//
22. Pan ingsun wus adarbèni/ kêndharat kang luwih dawa/ kaliwat dening
wulêdè/ [4]mêngko ingsun ulur sira/ saka ing ngisor gurda/ mulane
mangkono kulup/ wigatine lamun sira//
23. Kasusu sumêdya mijil/ saka sajêroning wrêksa/ sun bisa têtulung age/
andudut marang ing sira/ sun kèrèk saking jaba/ mrih datan kasuwèn laku/
wêtunira saking gurda//
24. Ing rèh lêbunira maring/ sajêroning kayu gurda/ yèn wus praptèng
dhêdhasare/ jarambah kang ngisor pisan/ mêngko kabèh katingal/ sagung
isèn-isènipun/ kang anèng jro garowongan//
25. Ing jêro rinêngga asri/ papane jêmbar warata/ lir tinata ngathe-ngathe/
nanging singit sêmunira/ tangèh ingkang kaduga/ malêbu ngambah ing
ngriku/ andhadhang nêdya mèt brana//
Pupuh II Dhandhanggula
1. Pinasangan pandam panjuta ting/ pirang-pirang atus sinulêdan/ kaliwat
dening padhange/ pating klêncar dinulu/ marma lamun nêdya sirèki/ malêbu
luwih gampang/ ing sênthong têtêlu/ pambukake kang wiwara/ wit soroge
kabèh wis padha cumawis/ cumanthèl luhur lawang//
2. Sang prajurit ngungun duk miyarsi/ ing pawartanira Nyai Wêrdha/ dene
angèl piwulange/ pratingkahe malêbu/ mring jro wrêksa angalap picis/ mokal
yèn dora cara/ apa pedahipun/ prajurit alon têtanya/ èh Nyi Wêrdha dene ta
kaliwat rungsit/ patrape mancing gurda//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
3. Ing growongan kono apa singit/ apa ana dhêmite kang ngrêksa/ dene rèwèl
malêbune/ nganggo kinèrèk dhadhung/ apa ora anyumêlangi/ Nyi Wêrdha
wuwusira/ wruhanira kulup/ prakara dhêmit tan ana/ mung rinêksa ing asu
ajag sawiji/ kaliwat dening galak//
4. Lan warnane tuhu gêgirisi/ maripate sumorot gumêbyar/ sakênong sisih
ambane/ nanging ta sira kulup/ aja susah wêdi kuwatir/ lamun malêbu sira/
sun wènèhi sangu/ isarat slendhang wasiyat/ pan pusaka tinggalan wong tuwa
mami/ ing nguni kang wus lina//
5. Iku bae gawanên umanjing/ mring jro wrêksa saupama sira/ sinandêr asu dèn
age/ tubrukên asu iku/ anjèrènga sale-[5]ndha5 nuli/ kemulêna ing sona/ yêkti
tanpa bayu/ sirna kadayaning sona/ mari galak kang sarta andhêkêm siti/
tutut tan gêlêm lunga//
6. Kang liningan tuwuh ing pamikir/ apa ingkang dadi wadinira/ dene
mangkono têmahe/ nulya andhêdhês muwus/ èh Nyi Wêrdha sun takon
maning/ sawuse nubruk sona/ ngêndi prênahipun/ barana kang rupa arta/
Nyai Wêrdha pratela dununging dhuwit/ anèng jro pasênthongan//
7. Winadhahan ana ing jro pêthi/ dhinêkêman asu ingkang galak/ kang wus sun
caritakake/ dhuwit iku sadarum/ padha rupa dhuwit dêmbagi/ kang munggèng
pasênthongan/ kapisan puniku/ nanging saupama sira/ sru kapengin angambil
dhuwit kang putih/ ingkang rupa salaka//
8. Sarta dhuwit êmas ingkang kuning/ malêbua ing jro pasênthongan/ kang
kaping pindho dununge/ miwah dhuwit mas iku/ nèng sênthongan kang kaping
katri/ dene ingkang rumêksa/ padha wujud asu/ malah luwih agêngira/ myang
galake iya bangêt nglêliwati/ ngungkuli kang kapisan//
9. Maripate asu kaping kalih/ padha karo kêmpul agêngira/ asu kang kaping
têlune/ satrêbang ambanipun/ agêngira sajaran tèji/ iku ambaurêksa/ barana
arta gung/ kang munggèng growongan gurda/ nanging sira aja nganggo
wêdi-wêdi/ dèn tatag pikirira//
10. Pituhunên ring pitutur mami/ srênggalèku lamun kinêmulan/ ing slendhang
wasiyat mangke/ yêkti banjur ngalumpruk/ tanpa krêkat dayane ênting/ yata
prajurit mojar/ yèn mangkono tuhu/ ingsun sanggup malêbua/ mring
sajroning kayu gurda gêdhe iki/ tarlèn pamintaningwang//
5 salendhang#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
11. Mung pangèstunira maring mami/ mrih raharja lulus sêdyaningwang/ ajana
pêpangkalane/ lah ta mara dèngupuh/ talènana bangkèkan mami/ lan paran
janjinira/ sira lawan ingsun/ yèn ingsun wus antuk arta/ sira kudu anjaluk
pira mring mami/ prayoga pratelaa//
12. Awit sira rak bakal kapengin/ antuk arta kang saking jro gurda/ Nyai Wêrdha
wangsulane/ ora pisan katèngsun/ [6]amelika kapengin dhuwit/ antuka pira-
pira/ iya panjupukmu/ kabèh alapên priyangga/ aja mikir pêpanduman
marang mami/ mung ingsun darbe wêkas//
13. Mêngko lamun siranggèr wus prapti/ ing sajroning sênthong garowongan/
poma-poma aja supe/ ambilên barang ingsun/ rupa watu thithikan cilik/ kari
ana ing kana/ jro sênthong katêlu/ pusaka tinggalan êmbah/ wus mung iku
wêkas ingsun mring sirèki/ kang winêling lon mojar//
14. Iya bêcik lah aja kuwatir/ sun ambile watu panithikan/ yata wus kêncêng
sanggupe/ prajurit gya tinangsul/ bangkèkannya kalawan tali/ rami kêndharat
panjang/ sarta sampun sinung/ pusaka slendhang wasiyat/ wiwit mènèk ing
gurda wau kang tali/ kaulur saking ngandhap//
15. Duk praptèng pang kang luhur pribadi/ garowongan pan sampun katingal/
dhadhung wus kinêndhokake/ prajurit nulya masuk/ ing jro gurda tumurun
prapti/ ing dhasar garowongan/ ing ngriku kadulu/ isèn-isèning jro gurda/ lir
caritanira Nyi Wêrdha tan sisip/ sorog cumanthèl lawang//
16. Dyan ingambil nèng saluhur kori/ sinorogên ing sênthong kapisan/ wus
kabuka wiwarane/ prajurit duk andulu/ sakalangkung kagèt ing galih/ dene
jro sêsênthongan/ padhange kalangkung/ pandam panjuta atusan/ lawan
wontên pêthinya agêng satunggil/ dhinêkêman ing sona//
17. Dupi anon ana jalma prapti/ kang malêbêt ing jro pasênthongan/ sona
mancolot saking gèn/ sarwi sangêt anjêgug/ solahira anggêgirisi/ mripatira
gumêbyar/ kadyarsa manahut/ prajurit dupi tumingal/ ing solahe sagawon
kang gêgêtêri/ lêmês sranduning angga//
18. Tanpa krêkat dahat dènira jrih/ cipta badhe mêdal saking gurda/ labêt
kalangkung kêkêse/ ing ngriku lajêng emut/ wêwêlinge Nyi Wêrdha nênggih/
sangêt dènya pracaya/ masrah raganipun/ mèpèd6 pinggiring growongan/
myang anjèrèng slendhang wasiyatira glis/ sona dupi tumingal//
6 mêpêt#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
19. Slendhang ingkang jinèrèng nèng ngarsi/ kang sagawon andhêkê-[7]m
saksana/ sarwi tumungkul sirahe/ samana sampun tutut/ Sang prajurit sigra
marpêki/ sarwi anjèrèng slendhang/ kinêmulkên gupuh/ marang sona
sanalika/ limprêg-limprêg7 kang sona wus tanpa budi / miwah tan darbe
krêkat//
20. Sawusira saksana kang pêthi/ gya binuka pênuh mèsiarta/ awarni dêmbaga
kabèh/ dahat sukaning kalbu/ Sang prajurit andulu picis/ ngambil sasukanira/
winadhahan gupuh/ ing kêrga myang kanthongira/ kanthong baju kanthong
clana dènkêbaki/ prandene maksih gêla//
21. Topinira kinarya madhahi/ wusnya pênuh kaduwunging driya/ tan anggawa
wadhah gêdhe/ ing ngriku ciptanipun/ nêdya masuk sênthong kang kadmi/
ingkang isi ardana/ salaka sadarum/ tandya marpêki wiwara/ sorog katon
cumanthèl nèng luhur kori/ tan pisan angungkurna//
Pupuh III Pangkur
1. Sang prajurit sigra ngalap/ sorog ingkang cumanthèl luhur kori/ kinarya
ambuka pintu/ gumêrot swaranira/ sanalika sona kang rumêksèng ngriku/ duk
anon ana manungsa/ ambuka kori gumêrit//
2. Tan drana mandêr sigra8 / sarwi jênggor mangap siyung kaisis/ netra
gumêbyar dinulu/ galak angamah-amah/ gêgirisi sang prajurit duk andulu/
mundur ngoplok wel-uwelan/ sarwi nywara i i i i/
3. Kalangkung kêkêsing driya/ sigra mêdal kori kinunci malih/ prajurit
ciptaning kalbu/ rumangsa tan kaconggah/ nanggulanga sona kang
rumêksèng ngriku/ miris mulat agêngira/ kang sona sajaran tèji//
4. Dupi wus sarèh samana/ Sang prajurit nulya èngêting galih/ mring wulange
juru tênung/ nyandhak slendhang wasiyat/ sêdyanira ngambali malih lumêbu/
gya binuka kang wiwara/ sarwi anjêjèrèng jarit//
5. Pusaka slendhang wasiyat/ punang sona andhêkêm luhur pêthi/
anggawakakên satuhu/ dupi miyat salendhang/ jlog tumurun punang sona
sampun tutut/ kopat kapit buntutira/ ngambus-ambus mring prajurit//
7 limprêk-limprêk#*
8 datan drana mandêr sigra @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
6. Kang ingambus sru angucap/ lah saiki sira lagi udani/ marang kadigdayan
ingsun/ marma dèn manut sira/ [8]aja nganggo kakèhan polah sun pêrung/
kupingmu lan irungira/ ingsun pagas pêsthi modir//
7. Kang sona gya kinêmulan/ ing salendhang wasiyat tanpa budi/ sirna kabèh
dayanipun/ sona tan darbe krêkat/ sawusira pêthi kang wontên ing ngriku/
saksana sigra binuka/ kêbak isi kêton putih//
8. Rupiyah ukon salaka/ ciptaning tyas kapriye akal mami/ panggawane dhuwit
iku/ yèn kabèh wis sun gawa/ yêkti sugih dadakan sun bisa tuku/ kreta
sarakitanira/ lan apa kang sun sênêngi//
9. Sayêktine kasêmbadan/ pêthi arsa pinanggul tan kuwawi/ kawêkèn sajroning
kalbu/ nolèh ngering myang nganan/ datan ana wadhah kang kinarya
ngusung/ yata pêpuntoning driya/ arta kang warni dêmbagi//
10. Sadaya sami sinuntak/ kêrga kanthong topi dipunkêbaki/ arta salaka supênuh/
dalah sapatunira/ kalih pisan kinêbakan kêton sampun/ prajurit nulya
lumampah/ sumêdya mêdal mring jawi//
11. Mèyèk-mèyèk sru kawratan/ têmah karya rêndhêt dènya lumaris/ prajurit
kaku tyasipun/ arta nulya sinuntak/ kinantunkên sapalih tinilar ngriku/
ingkang sapalih binêkta/ mrih ènthèng gancar lumaris//
12. Prajurit nyandhak salendhang/ gya jinèrèng sarwi angucap aris/ èh asu balia
gupuh/ marang ing dunungira/ punang sona wus wangsul mring dunungipun/
prajurit ciptaning driya/ sumêdya ngayoning manjing//
13. Ing sênthong ingkang katiga/ wusnya ngambil kunci nèng luhur kori/ kang
sênthong binuka sampun/ gumêrot swaranira/ kacarita sona kang rumêksèng
ngriku/ nuju tilêm patrapira/ andhêkêm nèng luhur pêthi//
14. Kang isi arta kancana/ agêngira sami kalawan èsthi/ tuhu ngajrihi dinulu/
sirung sêmuning sona/ angganira mêguk-mêguk pindha gumuk/ Sang prajurit
dupi mulat/ gêgêtunira tan sipi//
15. Ngoplok dhèngkèlên sakala/ datan bisa jumangkah Sang prajurit/ ciptaning
tyas priye iku/ mêngko polah manira/ lamun asu wis tangi dènira turu/ ora
wurung banjur nguntal/ praju-[9]rit tan cipta urip//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
16. Saking guguping tyasira/ sru angucap ngrêrêpa mèt mintasih/ mangkana ing
têmbungipun/ dhuh nuwun Sang bathara/ nyuwun gêsang kawula tan ngaru
biru/ yata sang sona miyarsa/ kagêt tangi yènya9 guling//
17. Gêrêng-gêrêng lir sardula/ mripatira satrêbang angajrihi/ prajurit tan darbe
kalbu/ gumêtêr angganira/ sakalangkung kêkês cahyanira aclum/ badan
lungkrah tanpa daya/ namung pracaya ing batin/
18. Mring wulange Nyai Wêrdha/ punang slendhang wasiyat gya kapusthi/ sirna
kaajrihanipun/ prandene angganira/ apan maksih dharodhogan purunipun/
wanine wani pêpêksan/ dènya majêng minggrang-minggring//
19. Wus parêk ngarsaning sona/ sarya mbabar slendhang wasiyat aglis/ tuhu
karyètating kalbu/ dene slendhang wasiyat/ dèrèng kongsi kinarya ngarukup
asu/ lagya jinèrèng kewala/ kang sona wus tanpa budi//
20. Limprêg-limprêg10
tanpa krêkat/ pinarpêkan salendhang gya kinardi/
ngarukub sona tumurun/ nglemprak turu ing jrambah/ pêthi nulya binuka isi
supênuh/ kathah kang arta kancana/ prajurit anom prihatin//
Pupuh IV Sinom
1. Dene tan ana wêwadhah/ kang kinarya bêkta picis/ mangkana ciptaning
driya/ bêbasan lakonku iki/ ana bêgjane prapti/ tan ana daulatipun/apa ta
raganingwang/ pinasthi tan kêlar sugih/ dene nganggo pangkalan tan sinung
gampang//
2. Luwih bêcik ingsun mêdal/ manawa wus praptèng jawi/ bali manèh nyangking
wadhah/ kang gêdhe dipunkêbaki/ kêton rupiyah rukmi/ wusnya mangkana
ing kalbu/ arta pêthak sinuntak/ kêrga kanthong miwah topi/ wus ingisèn
sadaya uang kancana//
3. Sanadyan tan pati kathah/ nanging akèh kang pangaji/ yata wêlinge Nyi
Wêrdha/ sela thithikan kang gati/ samana ana kèksi/ kanthong alit isi watu/
nanging datan rinasa/ mung bikut angambil picis/ kanthong sruwal kanthong
bajo kinêbakan//
9 dènya#*
10 limprêk-limprêk#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
4. Dalah tangan kenging kanan/ kêbak samya gêgêm picis/ nulya ambê-
[10]ngok sarosa/ èh Nyai sun arsa mijil/ juru tênung mangsuli/ apa ta
kekarêpanmu/ kabèh wus kalaksanan/ prajurit mangsuli uwis/ Nyai Wêrdha
tanya malih apa sira/
5. Ora lali wêkasingwang/ watu thithikan kang kari/ apa jroning pasênthongan/
iku apa wus sirambil/ prajurit sru mangsuli/ oo iya lali ingsun/ malah
slendhang wasiyat/ iku iya maksih kari/ nèng jro sênthong saking guguping
tyas ingwang//
6. Lah ing mêngko antènana/ sun bali manèh angambil/ slendhang myang watu
thithikan/ dumunung nèng kanthong alit/ sawusnya Sang prajurit/ nulya
kinèrèk ing dhadhung/ manjing jro kayu gurda/ praptèng sênthong kang
kaping tri/ wus ingambil slendhang myang watu thithikan//
7. Nèng kalong11
alit ingalap/ winêdalkên dèntingali/ wujuding sela thithikan/
dene tan adi tan pèni/ têka ginawegati/ apa wadine kang watu/ baya gêdhe
dayanya/ rupane ala tur kusi/ lumrah kaya wanguning watu balaka//
8. Kawulira tiningalan/ pan inggih kantun sakêdhik/ sawusira kang thithikan/
linêbêtkên kanthong malih/ kauwor lawan picis/ prajurit nulya lumaku/
mèyèk-mèyèk kawratan/ bêbêktane pating srênthil/ wusnya mêdal praptèng
jawi pasênthongan//
9. Malih ambêngok sarosa/ èh Nyai Wêrdha dèn aglis/ gèrètên kêndharatira/
watumu wus ingsun ambil / wusnya munya kadyèki/ prajurit malih andulu/
ingkang sela thithikan/ anggagas sajroning galih/ apa baya kasiyate ingkang
sela//
10. Dene ta rupane ala/ Nyai Wêrdha wanti-wanti/ pamêkase marang ingwang/
mokal yèn tanpa wêwadi/ nganti tan darbe melik/ marang dhuwit êmas
agung/ saka pangiraningwang/ watu iku jimat aji/ mêsthi gêdhe dayane watu
thithikan//
11. Yèn mangkono ingkang sela/ luwih bêcik sun kukuhi/ kalamun Si Nyai
Wêrdha/ tan pasaja sun takoni/ watu thithikan iki/ tan ingsun ulungke gupuh/
karana mêsthi ana [11]/ wadine kang luwih wêrit/ Sang prajurit dupi wus
prapta ing jaba//
11
kanthong#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
12. Juru tênung non12
manabda/ toblas toblas sira iki/ akèh têmên gawanira/
sandhangan gumêbak picis/ ingsun mèlu mêmuji/ iya sokur yèn kadyèku/
prajurit wuwusira/ dhuwit kang sun gawa iki/ durung paja-paja lan ora
sapira//
13. Isih akèh kang sun tinggal/ malah nêdya sun balèni/ kabèh bakal ingsun
gawa/ eman yèn ngantia kèri/ ingsun arsa ngupadi/ wadhah kang luwih
pakantuk/ kanggo ngusung ardhana/ juru tênung muwus aris/ ora kêna wali
wali mring growongan//
14. Yèn luwih saka sapisan/ yêkti tan antuk basuki/ lah mangkono wruhanira/ ing
mêngko thithikan mawi/ mara ulungna aglis/ parènèkna wong abagus/
prajurit muwus sira/ mêngko sarantèkna dhingin/ ingsun iki arsa takon
marang sira//
15. Kapengin arsa uninga/ nanging sira aja kumbi/ mungguh kang watu
thithikan/ apa kasiyate yêkti/ dene ta sira nganti/ ora melik mring arta gung/
apa wadine baya/ sayêkti kaliwat luwih/ ing dayane jimatmu watu thithikan//
16. Juru tênung lon angucap/ tanpa kasiyat sayêkti/ tanpa daya apa-apa/ rèhning
pusakaning kaki/ wajib pinundhi pundhi/ mung mangkono ananipun/ Sang
prajurit sru nyêngap/ goroh wuwusira Nyai/ mokal lamun tan ana kasiyatira//
17. Yêkti gêdhe dayanira/ tandhane sira tan mèlik/ marang kèh ing raja brana/
tur dhuwit arupa rukmi/ watu yêkti ngungkuli/ pangajining barana gung/
mokal yèn tanpa guna/ juru tênung lon mangsuli/ tuhu tanpa kasiyat watu
thithikan//
18. Wus dèn enggal ulungêna/ prajurit angucap wêngis/ tuhu lamun doracara/
yèn ta pasaja sirèki/ marang sarira mami/ kalakon tugêl gulumu/ juru tênung
sru ngucap/ sarwi manjêrêng netyandik/ dikandhani wong tuwa malah
daluya//
19. Pan gene sira mangkana/ watu thithikan puniki/ pusaka tinggalan êmbah/ pan
duwèk ingsun pribadi/ têka sira kukuhi/ parènèkna de-[12]ne gupuh/ prajurit
tan darana/ narik pêdhangira aglis/ Nyai Wêrdha tinigas gulune pagas//
20. Sapisan tan minta tirta/ juru tênung wus ngêmasi/ prajurit suka tyasira/ nulya
amilang kang picis/ ingkang binêkta sami/ wontên sèwu kêton langkung/
12
lon@#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
binuntêl ing salendhang/ wasiyat kinarya angkin/ wus ginembol kang jimat
sela thithikan//
21. Samana nulya lumampah/ sang prajurit arsa mulih/ lampahira gumaiban/
tansah singsot urut margi/ glèlang-glèlèng kinardi/ mratandhani sukèng
kalbu/ lèmbèhanira malang/ rumasa yèn sugih dhuwit/ datan pisan èngêt
marang ing piwulang//
22. Kang padha dadi tuladan/ pan wus kanyataan sami/ yèn wong ambêk
sumakèhan/ asring nêmahi bilahi/ saking tingkah pribadi/ kang kaladuk
tindakipun/ ladak angidak-idak/ marang sêsamining jalmi/ datan èngêt
dhatêng apêsing kawula//
23. Ora langgêng ananira/ mung ngèngêti sugih picis/ ciptaning driya mangkana/
bênêr Gusti Allah iki/ sipat rahman lan rahkim/ sih murah myang dasihipun/
yèn paring kasugihan/ marang dasihe kang miskin/ sayêktine ora kȇ kurangan
marga//
24. Mangkono uga yèn karya/ kamlaratan mring wong sugih/ masa nganti
bêbakala/ kabèh sayêkti nêmahi/ tandhane ingsun iki/ maune mlarat
kalangkung/ lah sapa ingkang nyana/ samêngko pinaring sugih/ sugih kêton
rupiyah ukon kancana//
25. Manawa wus praptèng wisma/ bojo mêsthi tan ngêrti13
/ utawa tan darbe kira/
yèn ingsun anggawa picis/ tur dhuwit êmas ringgit/ wusnya mangkana ing
kalbu/ sajroning lumaksana/ tuwuh ciptanira malih/ kang rinasa kanthi
sumêlanging driya//
Pupuh V Kinanthi
1. Yèn ingsun banjur ra mantuk/ pêsthi dadi ora bêcik/ manawa wus praptèng
wisma/ tan wurung kasuwur sugih/ ing ngêndi panyimpêningwang/ dhuwit
mas samene iki//
2. Mangka ta ing sajêg ingsun/ kabèh wus padha mêruhi/ yèn ingsun jalma
masakat/ ora gablêg ika iki/ wismaningsun ora pakra/ gêdhèg pating srowong
kèksi//
13
bojo mêsthi tan mangêrti @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
3. [13]Wusana banjur kadulu/ samêngko sun sugih dhuwit/ sayêkti padha
anarka/ panggrayanganing pulisi/ dhuwit saka ngêndi baya/ yêkti antuk gone
maling//
4. Wêkasan ingsun kaurus/ linadèkên mring nagari/ kadangu kamulanira/ dene
ingsun sugih picis/ antuk saka ngêndi baya/ pinariksa kongsi sêlsih//
5. Pinancang kaurut-urut/ yèn katitik bêbayani/ ah iku ora kapenak/ yèn ingsun
banjur ra mulih/ luwih bêcik ingsun lunga/ mlancong mring liyan nagari//
6. Wusnya makana14
ing kalbu/ prajurit menggok lumaris/ sumêdya mring liya
praja/ wusnya prapteng liya nagri/ yeka Praja Garba Sonya/ rêja rame kèh
sujalmi//
7. Kang mêngku nagari iku/ Sri Purba Angkara aji/ kang papan jêmbar
malabar/ kèh lêlangên rina wêngi/ prajurit Sura Tantaka/ kalangkung
bombonging ati//
8. Ciptaning driya katèngsun/ luwih bêcik anèng nagri/ sayêkti mukti wibawa/
duk samana Sang prajurit/ gya manggèn wismèng pasêwan/ milih kamar kang
prayogi//
9. Prajurit pangakênipun/ nêdya nyakècakkên dhiri/ miwah anyêyênêng manah/
karana mêntas nampèni/ wewarisan raja brana/ saka wong tuwa kang mati//
10. Ing saari-arinipun/ tan kêdhat kang dèn lampahi/ amung ngumbar nêpsu
hawa/ sakarsa dipun turuti/ tan ana ingkang kacuwan/ sadhengah kang
dènsênêngi//
11. Kasêmbadan sêdyanipun/ wit saking tan kurang picis/ wus pindha bangsa
ngawirya/ pratingkahe Sang prajurit/ amborong sagung panganan/ ingkang
mirasa binukti//
12. Miwah ombèn-ombènipun/ milih ingkang rêgi awis/ kang lêgi sêgêr myang
sumyah/ janji kalêganing kapti/ punapadene yèn nyandhang/ kêdah ingkang
adipèni//
13. Sanadyan padinanipun/ panganggèn sarwa prayogi/ tan balocok datan arsa/
samubarang angoncani/ myang praptap pratingkahira/ langguk gumêdhe ing
dhiri//
14
mangkana #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
14. Kadya wong angaji pupung/ malah kenging dènwastani/ kere mêrangi
muludan/ kere mugah15
bale panti/ marma tan antara lama/ antuk mitra kèh
kang prapti//
15. Sadaya sami sinuguh/ sarwi kasukan a-[14]ngênting/ kongsi tinggal duga-
duga/ pamrihe amung sakêdhik/ antuka pangalêmbana/ ginunggunga wong
berbudi//
16. Siyang ratri ubyang-ubyung/ tan kêndhat tamu kang prapti/ tansah wêwah
mitranira/ rumakêt lir kulit daging/ sami muji ngalêmbana/ sapele ingkang
dènpamrih//
17. Amung melik cangkêm karut/ tan trêsna prapta ing ati/ Sang prajurit yèn
lêlungan/ malancong kathah kang ngiring/ suka-suka lan pra mitra/
gêgujêngan urut margi//
18. Wontên kang nabuh calêmpung/ miwah wontên ingkang nyuling/ tanapi narik
piyulah/ rame ginerongan sami/ sarwi anumpak kareta/ pasewan ingkang
prayogi//
19. Myang lêlangên liyanipun/ sayuk sami angrojongi/ sakathah ing mitranira/
tan wontên kang nyulayani/ marang tindak bêbêngkrèkan/ kang dahat
ambêborosi//
20. Kang dèn ubyungi wus limut/ datan pisan ngèmuti16
/ yèn nilar anak myang
somah/ kang mêmêlas anèng panti/ tan mudhêng yèn mitranira/ dènya lulut
amung lamis//
21. Tan têrus prapta ing kalbu/ waton mung suka ambukti/ mangka wontên ing
bèbasan/ sapira gêdhening wukir/ lamun anggung pinaculan/ lawas-lawas
dadi cilik//
22. Luwih manèh kang ginêmpur/ prakara pangan binukti/ gampang bangêt
sirnanira/ anaa pirang bêdhati/ mung liniron ing pangompak/ marmanya
sami kalair//
15
munggah #*
16 datan pisan angèmuti @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
23. Pangonggronge pinirungu/ kiraku prajurit iki/ têdhake bangsa ngawirya/
dene ambêke ngluwihi/ bèrbudi bawa laksana/ pancèn trahe wong linuwih//
24. Sakala mongkok tyasipun/ Sang prajurit myang nyangoni/ mring kang srêgêp
ngompak-ompak/ kalangkung sukaning galih/ kang nampani jrèng ganjaran/
kêton amalorog putih//
25. Kajawi saking puniku/ kalanture Sang prajurit/ dènya anggung
bêbêngkrèkan/ takèn mring mitranya sami/ ing pundi wontên wanodya/ kang
ayu endah ing warni//
26. Kang maksih kênya kumêncur/ kang patut kinarya rabi/ wontên satunggaling
mitra/ cariyos langkung patitis/ kalamun Sri Naranata/ kang mêngku ing
nagri ngriki//
27. [15]Kagungan putra linangkung/ing warni tan wontên sami/ langkung denya
ayu endah/ kulitan ambêngle keris/ jêne muyêg maya-maya/ tan kuciwa tur
kênyadi//
28. Sang putri wus mangsanipun/ yèn nambuta palakrami/ kados-kados
yuswanira/ sampun gangsal wêlas warsi/ emanipun ing samangkya/ pinucung
rinêksèng puri//
Pupuh VI Pocung
1. Sang rêtnayu : piningit tan kênèng mêtu/ munggèng jro prasada/ dêmbagi
kang rinêngga di/ datan kenging sadhengah wong malêbua//
2. Kajawi mung : kang rama tuwin kang ibu/ miwah para êmban/ ingkang sami
nglêladosi/ marmanira mangkana Sang rêtna ing dyah//
3. Wit pinètu : marang panujuman prabu/ ing rèh jodhonira/ winêca antuk
prajurit/ tur prajurit mung bangsa alit kewala//
4. Sang aprabu punapadene kang ibu/ datan parênging tyas/ yèn amung jodho
prajurit/ pamêcaning nujum karya cuwaning tyas//
5. Karsanipun Sang Nata myang narpawadu/ rèh namung sajuga/ putra-putri
dènkasihi/ pan ginadhang kramantuk putra narèndra//
6. Sami ratu : supaya ing têmbe pungkur/ gumantiya nata/ marmanya
dènsaranani/ ingkang putra oncata saking pamêca//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
7. Dyan dinulung : ing gêdhong têmbagi luhung/ rinêksèng punggawa/ kang kori
sami jinagi/ tur kinunci kalangkung dening santosa//
8. Yata dalu : prajurit dupi angrungu/ ing caritanira/ pra mitra kang sami
prapti/ sanalika gambira rasaning driya//
9. Ciptanipun : lah kapriye akal ingsun/ supaya kalakyan/ dhaup lawan sang
aputri/ lah saiba nutug sênêngku nèng donya//
10. Sartanipun : tan kakèhan kang kinayun/ wus marêm tyas ingwang/ ora
karonèhan pikir/ dadi têntrêm uripku salaminira//
11. Sawusipun : mangkana osiking kalbu/ sakala kasmaran/ prajurit marang sang
putri/ ingkang sampun rinungu saking pra mitra//
12. Marmanipun : yèn ratri tan bisa turu/ mung tansah kèngêtan/ mring sang
putri kang kawarti/ ayu kênya dhasar putrining narendra//
13. Saya dangu : tan limut mung manggung emut/ mring kusamaning dyah/ kang
dahat karya wiyadi/ Sang prajurit kadya wong edan dadakan//
14. [16] Tingkahipun: poyang-paying wayang-wuyung/ wus salin pangrasa/ Sang
putri kadya sumandhing/ sapatêmon anèng jro paturonira//
15. Pikiripun : sang prajurit langkung gandrung/ marma sabên dina/ ing wanci
sontên pinasthi/ wusnya dandan malancong wahana rata//
16. Kang kinayun midêr munggèng alun-alun/ bokmanawa Sang dyah/ nuju
amêng-amêng kèksi/ nanging tuna kang dadya ciptaning driya//
17. Têmahipun mangkyarsa mring taman santun/ tamtu Sang kusuma/ lêledhang
ing taman sari/ mariksani puspita munggèng udyana//
18. Ciptanipun : prajurit lan Sang dyah ayu/ wus lami kulina/ samana dupi wus
prapti/ sacalaking patamanan tan katingal/
19. Langkung ngungun dene tan ana kadulu/ mirah jiwaningwang/ kang sawang
gêbyaring sasi/ Sang prajurit pangrasanira wus têpang//
20. Mring Sang ayu : sajatine dèrèng wanuh/ mung lagya pawarta/ marma
pangadhange maring/ Sang kusuma nèng taman datanpa guna//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
21. Nulya wangsul : prajurit mring pondhokipun/ sajroning lumampah/ ngrêrêpi
saurut margi/ praptèng wisma lir wong nglamong karungrungan//
22. Rangu-rangu ; kapirangu gandrung-gandrung/ ngathik rêrumpakan/ tumuju
marang Sang putri/ sêkar mijil kawahya ngandhap punika//
Pupuh VII Mijil
1. Kaya paran sun bisa kapanggih/ pagut sapanwulon/ lan kusuma kang karya
wirage/ ewuh têmên gonku anjalari/ mrih antuka margi/ kang luwih
pakantuk//
2. Nadyan nganggo ragad pirang ringgit/ tan mundur wak ingong/ janji bisa
katêmu saclèrèt/ lan wong ayu kang kalêbu ati/ kumawawa mami/ sru
kapengin wêruh//
3. Lan sang putri putraning narpati/ luwih dening elok/ kalakona sêdyaningsun
kiye/ putri adi rinêksèng jro puri/ têmah Sang prajurit/ anggung amangun
kung//
4. Siyang ratri mung tansah kaèksi/ kang karya wirangrong/ lamun datan
kapanggih yêktine/ ora wurung sida angêmasi/ dhuh Sang kusumadi/ wêlasa
maringsun//
5. Yèn tan tolèh mring dasih kaswa sih/ kang anggung anglamong/ dhuh
pujanku kang sawang widure/ rêtna mirah sêsotyaning bumi/ dulunên pun
dasih/ sapanan dèngupuh//
6. Mrih dadia usadaning brangti/ pamurunging layon/ sapa sintên yèn ta-[17]n
sira anggêr/ kapinêsthi linabuhan pati/ ing donya ing akir/ pêcating
jiwèngsun//
7. Panu biru ingkang munggèng dhiri/ dhuh sun tohi layon/ suket galêng
Kusuma nah anggèr/ sun labuhi kongsi rontang-ranting/ arêng kang binêsmi/
nadyan dadi awu//
8. Sêrat ingkang pangimbaling kêmit/ koraka wak ingong/ wus sun têmah
makathik nah anggèr/ konang abrang ing tawang wak mami/ kalintang
wiyadi/ mirah dasihipun//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
9. Wêwicalan sanga lan kêkalih/ wêlasa maringngong/ kotak jisim kang
kinentirake/ nêdyan darung17
sêdyani sun Gusti/ surya diwasara/ tan gingsir
karsa sun//
10. Singa tirta tigan kang tipis18
/ ubayaning batos/ sun adari kusuma nah anggèr/
sambêrlilèn ingkang munggèng sabin/ yèn bisa kapanggih/ lan
kusumaningrum//
11. Kadang saking garwa saupami/ tan dimpèr agêngong/ yèn mangkene wong
nandhang wirage/ kênur kudha caritaning ringgit/ tan kèlar nglakoni/ aweta
mangunkung//
12. Sawusira mangkana prajurit/ denya sru wirangrong/ sapolahe kadi tanpa
gawe/ malbèng kamar tansah ngolang-ngaling/ anungkêmi guling/ lir pêgat
rohipun//
Pupuh VIII Megatruh
1. Enjingira sang prajurit lênguk-lênguk/ linggih nèng kursi pribadi/ tarlè19
kang ketang ing kalbu/ pan amung kusumèng puri/ kang bisa wèh lara
lamong//
2. Datan kêndhat nênuwun marang Hyang Agung/ mugi pinarêngna gampil/
denya darbe sêdya mêngku/ marang kusumaning puri/ kang dadya raosing
batos//
3. Datan wignya sayukti dènyarsa pangguh/ katon sajêroning guling/ prajurit
linduranipun/ pan mung kusumanèng puri/ wong dhonok kang moblong-
moblong//
4. Sang prajurit ambêlêdag ambêkipun/ pradhah prawira berbudi/ mangkya
andarbèni kayun/ ngangkah putrining narpati/ sanadyan awrat linakon//
5. Datan mundur ing cipta nêdya kaêsuk/ wus pantês putraning aji/ tinêbasa
barana gung/ sarta linabuhan pati/ sayêktine ora elok//
17
daru #*
18singa tirta tigan ingkang tipis @#*
19 tarlèn #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
6. Sang prajurit giyuh pamikiring kayun/ ing cipta langkung prayogi/ tan sarana
tindak rusuh/ sarèh ing putri Narpati/ sayêkti kasuwun momong//
7. Kêdah mawi sarana dènyar-[18]sa nêmbung/ mrih dadya parênging galih/
myang kathah waragadipun/ saèstu botên sakêdhik/ sêdya mèt putrining
katong//
8. Sang prajurit sabên ari kang tinuhu/ wulange wong tuwa nguni/ lamun
andarbèni kayun/ sarate kudu nglakoni/ salamêtan aywa tawong//
9. Linampahan wêwarahe para sêpuh/ dêdana myang pêkir miskin/ myang
wèwèh pra mitranipun/ ing sabên Jumungah ari/ sidêkahira tan angop//
10. Sami pinèt ing puji pandonganipun/ kang supaya anyawabi/ ing luluse
sêdyanipun/ dènya ngangkah mring Sang putri/ aywa na sawiyos-wiyos//
11. Dangu-dangu dupi wus satêngah taun/ dènya mbêkngêbrèh tan mari/ saya
ludhês artanipun/ dalah panganggenya sami/ têlas sadaya dènêdol//
12. Tur kalayan rêgi mirah sêlak butuh/ marmanira Sang prajurit/ dumugi ing
mangsanipun/ dhawah kamlaratan malih/ wêkasan kari ajomblong//
13. Ewadene maksih tinênggan rahayu/ tindakira Sang prajurit/ sawiyah-wiyah
kalangkung/ dènya ambêboros picis/ tan nganggo traju myang bobot//
14. Rahayune tan kongsi prajurit iku/ nandhang utang lawan silih/ dhasar ing
watakanipun/ tan sarju yèn utang silih/ kalêbêt prajurit onjo//
15. Apan kongsi kawêdaling wuwusipun/ saturun ingsun ing wuri/ aja na kang
duwe laku/ dhêmên utang lan nyênyilih/ wit iku ewoning asor//
16. Luwung nrima ing lair saananipun/ ing batin aywa sah ngukih/ lamak kang
sêsaminipun/ pirangbara angungkuli/ ing tekad kudu gumolong//
17. Wus mangkana Sang prajurit sêdyanipun/ ngalih pasewaning panti/ kang
mayar prabèlanipun/ têmah nyewa wisma alit/ narimah mung manggèn
awon//
18. Anèng ngriku langkung kasangsaranipun/ dene ta ingkang binukti/ ing saari-
arinipun/ pakantuk dènira glidhig/ sandhangan wus datan wutoh//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
19. Miwah cahyanipun wus pucêt apayus/ yèn baranga tanpa aji/ dene para
mitranipun/ tan wontên kang purun tuwi/ malah kapêthuk malengos//
20. Datan pisan-pisan purun atêtulung/ wit prajurit sampu-[19]n miskin/ makatên
ing wontênipun/ wêwatakan jroning bumi/ mung waton antuk kemawon//
21. Awis ingkang ngèmuti sakawitipun/ dènya mêmitran mrih bêcik/ wêkasan
pêdhot tan gathuk/ saking tan ayu ing budi/ satêmahan dadi awon//
22. Yata nuju samana ing wanci dalu/ prajurit langkung prihatin/ karana ari
puniku/ nuju lagya nandhang sakit/ dadya tan tumindak buroh//
23. Awak cape amung anggoloso turu/ têmah tan antuk rijêki/ kapêksa ngruntuh
anggruguh/ saking tan ana binukti/ mangka jampining kalêson//
24. Sang prajurit dahat nalangsa ing kalbu/ wisma ingkang dèndunungi/ tanpa
dilah nênggih amung/ pêtêngan sakêthi sêdhih/ nandhang lakon kang
mangkono//
25. Raosing tyas sumpêg lir nglalu yun lampus/ wus tan darbe ika iki/ kapèpèd20
mung arsa udut/ bêgja maksih andarbèni/ klobot salêmbar lan bako//
26. Gya lininting wusnya dadi acêngangus/ dene tan darbe rêk api/ cilaka têmên
wak ingsun/ sabobote arsa bukti/ pamarêman kukus rokok//
27. Têka ora kalakon ing sêdyanipun/ lah kapriye polah mami/ yèn kabanjur
angaluntung/ samana êngêt ing galih/ thithikan ingkang ginèmbol//
28. Gya ingambil tujune maksih kang kawul/ sela thinithikên aglis/ sapisan
panithikipun/ gumêbyar padhang kaèksi/ tan antara kang sagawon//
29. Sanalika dhatêng munggèng ngarsanipun/ prajurit tan darbe budi/ sakêcap
tan wignya muwus/ saking dahat dènira jrih/ mring sona ingkang ginamboh//
Pupuh IX Gambuh
1. Panarkane ing kalbu/ praptaning sodarsa malês ukum/ ing wêkasan sona
matur kadi jalmi/ cêtha tètèh têmbungipun/ mangkana ingkang wiraos//
20
kapèpèt #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
2. Paran ingkang kinayun/ animbali dhatêng dasihipun/ lah suwawi
kadhawuhna wosing gati/ Sang prajurit langkung ngungun/ tan ngira lamun
mangkono//
3. Bênêr panarkaningsun/ watu thithikan jimat pinunjul/ dene gêdhe dayane
ngebat-ebati/ wêkasan alon amuwus/ èh wruhanira sagawon//
4. Marmane sira iku/ sun timbangi mêngko karsaningsun/ [20]anjupukna dhuwit
ingsun ingkang kari/ anèng growongan gurda gung/ dènenggal aturna
mringngong//
5. Sakala musna sampun/ punang sona datan dangu wangsul/ sarwi nyokot
kanthong rajut kêbak picis/ katur ing bandaranipun/ kang prajurit sukèng
batos//
6. Wusnya nampani muwus/ dhuwit ika têmbaga sadarum/ ya pan gene sira nora
ngambil picis/ kang rupa salaka iku/ tutawa21
dhuwit mas kêton//
7. Ponang sona umatur/ apan dede bêbageyan ulun/ wang salaka ingkang
awajib anjagi/ sona ing kalih puniku/ wang êmas kang pinitados//
8. Sona kang kaping têlu/ bilih arta têmbagi saèstu/ kula ingkang darbe bêbahan
anjagi/ marma duk amba angrungu/ timbalan lajêng sumaos//
9. Sang prajurit gya muwus/ lah kapriye ing pratikêlipun/ lamun arsa ngundang
asu kang ping kalih/ utawa asu ping têtu22
/ kang kinantya matur alon//
10. Mugi sampun kalimput/ lamun karsa nimbali pukulun/ dhatêng dasih sona
ingkang kaping kalih/ ping kalih panithikipun/ ing sela yêkti sumaos//
11. Lamun nithik ping têlu/ sona ingkang kaping tiga tamtu/ dhatêng ngadhêp ing
ngarsa paduka Gusti/ Sang prajurit duk angrungu/ ing tyas kalangkung
cumêplong//
12. Têtela ingkang watu/ tuhu ratuning jimat pinunju/ ing samangkya wêwadosira
kang gati/ Sang prajurut23
wut sumurup/ sami rinêgêm ing batos//
21
utawa #*
22 têlu #*
23 prajurit #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
13. Wusnya mangkono laju/ nithik sela ping kanglih24
tan dangu/ sona ingkang
ping kalih wus praptèng ngarsi/ matur punapa pukulun/ karsa tuwan kang
ginatos//
14. Dene nimbali ulun/ Sang prajurit asru wuwusipun/ dipunenggal manira
jupuka dhuwit/ salaka sakanthong rajut/ pêrlu kanggo nêbas uwos//
15. Sakala musna sampun/ ponang sona datan dangu wangsul/ sarwi nyakot
kadut kêbak dhuwit putih/ katur ing bandaranipun/ prajurit nampani gupoh//
16. Nulya nithik ping têlu/ sona ingkang katiga prapta wus/ dhinawuhan kinèn
ngambil arta rukmi/ gya musna tan dangu wangsul/ sarwi nyako-[21]t
kanthong bagor//
17. Mèsi arta mas pênuh/ kêton ukon rupiyah mas katur/ katur sampun tinampèn
dening prajurit/ arta pintên-pintên karung/ ngurupkên kêrtas ginembol//
18. Kalangkung sukanipun/ mênging driya ngungkuli kang sampun/ ingkang sona
sami kinèn wangsul nuli/ pribadi mring dunungipun/ duk samana cinariyos//
19. Prajurit sêdyanipun pindhah wisma pasewan lênipun/ wit rinasa wus
kaconggah mrabeyani/ samana wus ngalih dunung/ milih wisma kang kinaot//
20. Gêdhong agêng tur luhur/ myang jêmbaring papan sampun cukup/ gya
bêborong bêkakas pirantos panti/ kang èdipèni tinuku/ rêrênggan asrining
wangon//
21. Sandhangan sarwi luhur/ tumbas rata sarakitanipun/ Sang prajurit wus darbe
abdi lan kusir/ langkung mulya gêsangipun/ lir ratu mêngku kadhaton//
22. Dene bebudènipun / sampun ewah tan kadi rumuhun/ datan karsa baladhak
bêboros picis/ kadi ingkang sampun-sampun/ kang sarta èngêting batos//
23. Mring para mitranipun/ datan ana kang ambêk rahayu/ lawan malih èngêt
kalamun wong urip/ saya angunduri sêpuh/ tan wurung prapta ing layon//
24. Lamun maksih lêstantun/ bêbêngkrèkan ngumbar hawa napsu/ Sang prajurit
ajrih Sêsikuning Widi/ duraka ingkang pinangguh/ kang mangkono ora ilok//
24
kalih #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
25. Marmanya tan linantur/ dènya bêbêngkrèkan ngumbar kayun/ miwah datan
mêmitran sadhengah jalmi/ karana panawangipun/ awis kang darbe
pangrêtos//
26. Mênggah isaratipun/ wong memitran mrih asih lêstantun/ ingkang lumrah
mung ngarah pakolih/ sayêk tan bisa lulus25
/ yèn tan timbang ing têtêkon//
27. Samana sêdyanipun/ Sang prajurit mêmitran wong sêpuh/ kang supaya lamak
sêpuh ing pamanggih/ samangke wus ragi lumuh/ mêmitran lawan wong
anom//
Pupuh X Sinom
1. Sanadyan mitran wong wêrdha/ sayêkti kanthi pamilih/ kang ambêk santa
utama/ kang mêngku kawruh linuwih/ supadya anyawabi/ piwulang amrih
rahayu/ ingkang gampang tinampan/ wus nya mangkana prajurit/ ciptaning
tyas kuciwa dènira dhudha//
2. Sumêdya ngupaya krama/ sampun kamanah prayogi/ kathah [22] pakantuk
ing krama/ sapisan têntrêming ati/ kaping kalih nuntuni/ jênak anè26
wisma
tutut/ dene kang kaping tiga/ sayêkti bisa sumingkir/ anyingkiri mring awon
pasuning karsa//
3. Lamun andarbèni garwa/ wontên ingkang anggondhèli/ tan kenging sakarsa-
karsa/ nadyan panjênêngan aji/ sayêkti darbe ering/ dhatêng garwa kangjèng
ratu/ anggèn gunaning garwa/ saya yèn pinuju sakit/ garwanira kang wajib
amulasara//
4. Wusnya adarbening cipta/ mangkana wau prajurit/ dumadakan emut
marang/ Sang putri-putrèng narpati/ ngudaraosing batin/ apa ta
kuciwanipun/ upama raganingwang/ mêngku putrining narpati/ nadyan ora
lamak kalawan wak ingwang//
5. Ingsun uga wus rumasa/ kalamun wong rabi putri/ nyunggi lumpang kêntheng
sela/ yêkti abot angluwihi/ nanging lamun wak mami/ sarwa sêmbada
kayun27
/ sarta manèh sun wêlas/ marang kusumaning putri/ wus wayahe
nambut silaning akrama// 25
sayêkti tan bisa lulus @#*
26 anèng #*
27 sarwa kasêmbadan kayun @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
6. Awit putri wis diwasa/ piningid28
gêdhong têmbagi/ rinêksa tan kêna mêdal/
apa ora bangêt sêdhih/ yêkti kapengin mijil/ nyênyênêng panggalihipun/
sumurup padhang hawa/ wusnya mangkana prajurit/ santun malih kang
dadya raosing driya//
7. Lah mungguh pêrlune apa/ awak ingsun rabi putri/ apan wus akèh tuladhan/
abote wong rabi putri/ marga dudu sêsami/ tan lamak darajatipun/ akèh
prakaranira/ rèwèle maneka warni/ kang sapisan sok ngadi-adi ing karsa//
8. Kapindho sok gêlêm ngina/ mring wong lanang dupèh cilik/ ping têlu kudu
wibawa/ ing karya mung anggêdhingkring/ yèn mangkono wak mami/ kalêbu
bêbasanipun/ nyêngka pangawak braja/ amêngku dudu sêsami/ kang
mangkono têmahane tan kapenak//
9. Luwih bêcik sun ngupaya/ rabi kang padha wong cilik/ supaya sênêng tyas
ingwang/ ora kagêdhèn pamikir/ kang sarta ora kongsi/ dadi pocapan
lènipun/ yata wusnya mangkana/ Sang prajurit èngêt malih/ ing nalika
kasmaran mring Sang kusuma//
10. Sakala asalin cipta/ nêdya nyampurnakên kapti/ samêngko sun kudu nekad/
ngarah putrine sang aji/ tiba bêcik tan bêcik/ gumantung ing kabêgjanku/ yèn
bisa kasêmbadan/ wong pri[23] wajib darbèni29
/ panguwasa mulang muruk
marang garwa//
11. Dadi ora katanggungan/ ingkang wis ingsun lakoni/ dhasar ing saiki lagya/
ginanjar bêgja wak mami/ marang kang maha suci/ sugih dhuwit kancana
gung/ lah apa alanira/ yèn ingsun arabi putri/ bokmanawa katarik ing
bêgjaningwang//
12. Sang prajurit rambah-rambah/ dènya nênimbang pamikir/ mêksa yun
mangangkah garwa/ dhatêng sang kusumèng puri/ tinimbang mundur isin/
aluwung maju misuwur/ wong lanang kang prawira/ wani ngalah rabi putri/
wus mangkana gya mêndhêt sela thithikan//
13. Tandya tinithik sapisan/ sakala kang sona prapti/ Sang prajurit sigra ngucap/
èh sona sira dèn aglis/ ingsun jupukna putri/ putrane ratu kang mêngku/ ing
28
piningit #*
29 wong priya wajib darbèni @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
praja Garba Sonya/ rinêksèng gêdhong têmbagi/ kang piningit Sang putri tan
kêna mêdal//
14. Sona sanalika musna/ gya prapta anggendhong putri/ maksih kapati anendra/
Sang kusuma tanpa nglilir/ saking sêktining anjing/ wignya akarya tan
wungu/ prajurit duk tumingal/ dhatêng citranya Sang putri/ sanalika
angganira tanpa polah//
15. Gumêtêr lir kênèng roga/ sumaput kadya wong gingsir/ saking eram dènya
mulat/ marang warnane Sang putri/ tuhu endah rêspati/ samana dupi wus
emut/ sirna sumaputira/ anggagas sajroning galih/ saupama sun ninggala
tatakrama//
16. Datan wurung gawe gêndra/ gègèr nagari ing ngriki/ kaya paran awak
ingwang/ wusanane kang pinanggih/ mangka ta ingsun iki/ wis rumasa anèng
purug/ wong nêka angumbara/ dadak gawe tindak sisip/ luwih bêcik sun
sabar sarèh ing driya//
17. Aywa ge nuruti hawa/ napsu kang kurang prayogi/ upama wong amèk iwak/
ywa ngakti30
buthêk kang warih/ bêcik kang maksih bêning/ iwake kêna
jinupuk/ mangkono kang prayagi/ Sang prajurit nulya angling/ èh ta sona
Sang putri iki balèkna//
18. Marang jro gêdhong têmbaga/ sanalika Sang aputri/ winangsulkên myang
prasada/ maksih sare kadi nguni/ wau ta Sang prajurit/ sapêngkêripun dyah
ayu/ kadadak manah ewah/ pratingkahnya lir wong baring/ sru aniba
angrukêbi turonira//
19. Datan dangu lajêng mênyat/ niba [24]pagulingan malih/ ngolang-ngaling
polahira/ lir sata lagya mèmèti/ sadalu tanpa guling/ mung kèmutan ingkang
wangsul/ dhatêng gêdhong têmbaga/ kadya sinusul tumuli/ saking datan kêlar
nandhang brangtanira//
20. Yata ingkang cinarita/ enjingira Sri Bupati/ têdhak saking liyan garwa/ tuwi
ing putra sang putri/ dhatêng gêdhong têmbagi/ kadya adat ingkang sampun/
Sang Natar31
sesarapan/ sarêng lan putra Sang putri/ miwah ingka32
garwa
sami kêkêmbulan// 30
nganti #*
31 nata #*
32 ingkang #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
21. Ngunjuk wedang miwah dhahar/ rêmikan kang adi-adi/ ing adhêp para
parêkan/ ngladosi ingkang kinapti/ salêbêting ambukti/ samana
kusumaningrum/ ririh matur ing rama/ ing rèh supêna ing ratri/ sariranya
ginondhol ing sona ajag//
22. Gêngira sami lan sima/ lajêng pinanggihkên maring/ prajurit angulandara/
Sang Nata duk amiyarsi/ tuwin Sang Prameswari/ datan kapita ing kalbu/
kalangkung dukanira/ kèndêl dènya dhahar sami/ kang ginawok amung
supêna ing putra//
23. Sang nata ciptaning driya/ dudu sabaening ngimpi/ cocog lan pamêcanira/
nujum jodhoning nak mami/ bakal antuk prajurit/ andoradasihi iku/ Sang nata
dhawuh sigra/ dhumatêng êmban kèkasih/ sabdanira karya kingkining
wardaya//
Pupuh XI Asmaradana
1. Èh êmban ingsun jatèni/ lah ta iku gustinira/ ing mau bêngi ature/ ngimpi
ginondholing sona/ winawuhakên lawan/ prajurit ngambareng purug/ bangêt
mêjanani mring wang//
2. Marmane dèn ngati-ati/ gonira rumêksa marang/ putraningsun anèng kene/
sira aja nganti nendra/ injênên kang pramana/ ing mêngko bêngi kalamun/
ana kang wani nênêka//
3. Waspadakna dèn patitis/ kang têka arupa apa/ enggal lapura maring wong/
êmban ingkang dhinawuh33
/ nêmbah matur sandika/ angsala barkah pukulun/
kawula sagêd rumêksa//
4. Gya lajêng dènya ambukti/ Sang nata myang garwa putra/ sawusnya pragad
dhahare/ laju jêngkar angadhatyan/ wus praptèng dalêm pura/ amung
ingkang putra kantun/ munggèng jro gêdhong têmbaga//
5. Sang Nata mya34
premèswari/ tan sakeca raosing tyas/ ing rèh kang putra
Sang sinom/ yèn kongsiya katê-[25]mahan/ lir nujum wêcanira/ sayêkti
akarya kusut/ marma Sri nawung sungkawa//
33
êmban ingkang dhinawuhan @#*
34 myang #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
6. Nahan kang winarnèng ratri/ Sang putri sare sakeca/ kadya adat ing sabêne/
êmban ingkang dhinawuhan/ rumêksa datan nendra/ sangêt ngatos-atosipun/
dènya pinitayèng nata//
7. Tandya sumingiting sêpi/ supadya nyumêrêpana/ bok manawa ana katon/
kadya wong sampun winarta/ supênanira Sang dyah/ duk wanci ing têngah
dalu/ sona aji galih prapta//
8. Sakalangkung agêng inggil/ mripat satrêbang gumêbyar/ tuhu ngajrihi
dhapure/ praptanya tanpa sabawa/ kadya jim nyènyèluman/ punika
pakartinipun/ prajurit Sura Tantaka//
9. Punang sona sigra manjing/ anjujug ing pasareyan/ Sang putri ginondhol
age/ bok êmban dupi tumingal/ mring sona ikang prapta/ singunên tan wigya
muwus/ saking sangêt ajrihina//
10. Dupi sona sampun mijil/ saking jro gêdhong têmbaga/ lagya ical sumêlange/
wêkasane katut wuntat/ bok êmban arsa wikan/ mring ngêndi paraning asu/
kinondhol35
sapurugira//
11. Lampahnya sang sona ririh/ alon sarwi ngarah-arah/ supaya kang lagya
sare/ lulusa kapati nendra/ kongsi praptèng sasana/ aja nganti kagèt wungu/
samana wus praptèng wisma//
12. Ing pondhokaning prajurit/ Sang putri laju binêkta/ manjing jro wisma
sinèlèh/ alon ririh patrapira/ prajurit sukèng driya/ bok êmban ing jawi
kantun/ apan sarwi dharodhogan//
13. Saking sangêt dènira jrih/ sumêlang bok kadênangan/ marma primpên
pangintipe/ datan dangu punang sona/ sinung sasmita mêdal/ ambêkta Sang
dyah winangsul/ dhumatêng gêdhong têmbaga/
14. Bok êmban sampun patitis/ dènya maspadakên tingkah/ wus kacêpêng
wêwadine/ kalamun kusumaning dyah/ tinêpungakên lawan/ mung priya
anom nèng ngriku/ ingkang amêngkoni wisma//
15. Kang darbe pokal tan bêcik/ ngrusuhi marang Sang rêtna/ wusnya mangkana
ciptane/ mêngko lamun wus raina/ ingsun matur Sang Nata/ prayogane omah
iku/ sun dokokane têngêran//
35
ginondhol #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
16. Kang supaya ora lali/ parane si asu ajag/ dènya anggawa Sang sinom/ duk
samana dumadak -[26]an/ nimbok êmban kèngêtan/ anggèmbol turahan
kapur/ mêntas nyikat sêngkangira//
17. Kori wismaning prajurit/ gya cinirèn kapur mrapat/ nulya angodhog
lampahe/ sagawon samarga-marga/ bok êmban karya tandha/ angècèr-ècèr
kang kapur/ sagung ingkang winêdalan//
18. Punang sona sampun prapti/ gya manjing gêdhong têmbaga/ Sang dyah wus
sinarèkake/ jroning tilam lajêng nendra/ tanpa nglilir samana/ punang sona
nulya wangsul/ bok êmban nyalimpêt prapta//
19. Rèhing wanci maksih ratri/ dadya datan wara-wara/ mring para êmban
kancane/ andharêsêl tumut nendra/ yata wau kocapa/ sagawon duk praptèng
wangun/ kagèt dènira tumingal//
20. Dene ta korining panti/ katon putih amêrapat/ kadya têtêngêr isthane/ punang
sona tur uninga/ marang bandaranira/ Sang prajurit duk angrungu/ sigra
mêdal saking cipta//
21. Niti pariksa ing jawi/ kang kori kinapur mrapat/ têtela ing paningale/ Sang
prajurit anggraita/ iku tandha têngêran/ sapa kang têngêri iku/ baya sona
tinut wuntat//
22. Wusnya mangkana prajurit/ ing wanci dalu gya mêdal/ sarta ambêkta
kapure/ sakathahe lawang wisma/ kang cêlak dunungira/ sami pinrapat ing
kapur/ warata sakèhing tangga/
23. Pamrihe yèn dèn upadi/ tan kantên awisma ingkang/ kinarya nyimpên Sang
sinom/ bingunga kang niti priksa/ yata wau bok êmban/ byar enjing marak
Sang prabu/ ngaturkên lȇ lakonira//
24. Kang pinanggih duk ing ratri/ ing purwa madya wusana/ sampun katur
sadayane/ Sang Nata duk amiyarsa/ kalangkung dukanira/ sigra dhawuh
Sang aprabu/ nimbali ajidenira//
25. Tan dangu prapta ing ngarsi/ kinèn andhèrèk Sang Nata/ karsa têdhakan
wiyose/ sarimbit kalawan garwa/ wigati amariksa/ ingkang kadya aturipun/
êmbaning rumêksèng putra//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
26. Wusnya dhawuh Sri bupati/ sami wahana turangga/ katiga lan ajidene/ ing
marga datan winarna/ samana sampun prapta/ Sang prajurit dunungipun/
Sang Nata angraras driya//
Pupuh XII Mijil
1. Wus waspada dènya mariksani/ mring kori ing wadon/ mawa têngêr marapat
pathane/ [27]gya bêbisik maring pramèswari/ pangirèngsun pêsthi/ iku
dunungipun//
2. Wong kang dosa ngrusuhi nak mami/ sori matur alon/ dhuh pukulun ing galih
dèn sarèh/ awit griya ingkang cêlak ugi/ korinipun sami/ pinrapat ing kapur//
3. Dados dèrèng kantênana panti/ pundi kang sayêktos/ dunungipun tiyang kang
nyaruwe/ putra tuwin awit sagung panti/sami mawi ciri/ bok ngantos kalèntu//
4. Têmah badhe ngudhal-udhal wadi/ saru yèn ta wartos/ ingkang langkung
prayogi ing mangke/ botên èstu anitipi panti/ aluwung Sang aji/ kondura
rumuhun//
5. Pados budi kang langkung pramati/ amrih sampun ngantos/ ngaping kalih
damêl panyepênge / dhatêng tiyang kang darbe pakarti/ dosa mring Sang aji/
wau ta sang prabu//
6. Duk miyarsa aturnya Sang sori/ alêrês rinaos/ sigra kondur kalawan sorine/
mung ajidèn satunggal kang ngiring/ sampun praptèng puri/ yata narpa
wadu//
7. Sampun antuk wênganing pambudi/ karya sutra kanthong/ kêbak ngisèn ing
wiji sawine/ sinung tali lir kalung rêspati/ ingkang ngandhap sami/ binolong
sadarum//
8. Amrih wiji sagêd kocar-kacir/ tan katawis tinon/ yata sampun ratri ing
wancine/ Narpa wadu nyalêngêp nêdhaki/ kang putra wus guling/ kinalungan
sampun//
9. Sona kondur yata kang winarni/ praptaning sagawon/ gya ginondhol Sang
dyah maksih sare/ tinêpangkên lawan Sang prajurit/ nèng sajroning ngimpi/
kadya ingkang sampun//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
10. Sang dyah nulya winangsulkên malih/ mring sajroning gêdhong/ cinarita duk
sona lampahe/ wiji sawi kècèr urut margi/ yêkti tan katawis/ saking
lêmbatipun//
11. Kongsi praptèng panti don prajurit/ dadya tandha maton/ purugipun kang
sona jujuge/ wusnya enjing Sang kusumèng puri/ matur ing rama ji/ kang
pinanggih dalu//
12. Sri Narendra sigra animbali/ ajidan sumaos/ praptèng ngarsa dhinawuhan
age/ kinèn nganthi punggawa prajurit/ titikên dèn titis/ saparaning asu//
13. Anuruta ing wiji sesawi/ kang kècèr sing kanthong/ kongsi prapta ing ngêndi
andêge/ yèku dununge kang mêjanani/ mring sarira sami/ cêkêlên dèn gupuh//
14. Lamu- [28]n budi sira sêmbadani/ yèn bangga linayon/ kang sinabdan
mangkat sarowonge/ sarwi nithik kang wiji sêsawi/ têlas ingkang wiji/
praptèng dunungipun//
15. Sang prajurit ingkang sêdyani lit/ dhatêng Sang lir sinom/ gya rinêncak
winiyungyun akèh/ Sang prajurit wus tan bisa budi/ katuring Sang aji/
kinunjara sampun//
16. Karsa pinatrapan ukum pati/ ginantung mrih layon/ dimèn padha dinulu ing
akèh/ dosanira dene wani-wani/ sêmbrana mring putri/ putrane Sang prabu//
17. Sakalangkung dènira prihatin/ sang sarêng lêlakon/ tilas mukti wibawa adate/
sabèn ari dèn adhêp kang abdi/ lamun arsa guling/ mujung munggèng kasur//
18. Kêmul kamli amba dawa rêsik/ angêt bisa ngorok/ mangke têmah mangkene
dadine/ kinunjara yèn ing wayah ratri/ tanpa dilah sêdhih/ pêtêngan sadalu//
19. Mung angglethak ing jrambah yèn guling/ kalangkung rêkaos/ tangan kalih
kinêcek ing rante/ Sang prajurit siyang dalu nangis/ datan doyan bukti/ datan
bisa turu//
20. Saking sangêt ngraosakên sêdhih/ dènya manggih lakon/ kasangsara ing
batin ciptane/ lah mangkene dadine wong urip/ ingkang anungukti36
/
ngumbar hawa napsu//
36
ingkang wus ambukti @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
21. Saupama sun narima nguni/ tan baladhak ingong/ sarta nganggo pamikir
kang sarèh/ ingkang bênêring panimbang bêning/ yêkti ora kongsi/ mangkene
tinêmu//
22. Mungguh apa pêrlune wak mami/ sru kapengin momong/ putra ratu dudu
salamake/ apa kurang pawèstri kang bêcik/ anake wong sugih/ sudagar kang
agung//
23. Yêkti mokal kalamun tinampik/ upama sun dhodhog/ sun takonke marang
wong tuwane/ padhang têrang kang kalawan bêcik/ dhasar sugih dhuwit/
tamtu pinèt mantu//
24. Apadene kabèh wis mangêrti/ lamun awakingong/ sugih dhuwit balaba
awèwèh/ jêbul dadak nyalèwèng ing kapti/ ngarah rabi putri/ wêkasan
kasluru//
25. Tumiba ing cilaka wak mami/ dadi raganingong/ kêna yèn kaparibasakake/
cebol pêksa anggayuh kang langit/ tan rumasa mami/ maune wak ingsun//
26. Luwih mlarat tanpa ika iki/ mung manggung rêkaos/ barêng sinung
kamurahan mangke/ dening Allah kang mur-[29]bèng dumadi/ dadak salin
kapti/ andhandhang kumlungkung//
Pupuh XIII Dhandhanggula
1. Yèn bênêre kudu angèlingi/ ingsun turun wong cilik kewala/ narima ing
sadrajate/ pan gene nganggo gêndhung/ ngangsa-angsa murka ing kapti/
upama wong meminta/ angrogoh rêmpêlu/ wus kasinungan sakilan/ dadak
mrèntèk anjaluk sadhêpa malih/ liwat luwih kêthaha//
2. Ing wêkasan mangkene pinanggih/ kasangsara ing lêlakoningwang/ nuruti
napsu tan sae/ têmah dadi kaduwung/ pikir rumaksa wak kang tampi/
nandhang sangsaranira/ gêtun wis kabanjur/ prajurit wusnya mangkana/
nulya èngêt mring kang anjalari sugih/ tan liya saking sona//
3. Bokmanawa bisa mitulungi/ ing luware kasangsaraningwang/ nulya grayangi
kanthonge/ madosi jimatipun/ ingkang sela thithikan sêpi/ dangu panlusurira/
sela tan pinangguh/ wusana èngêt yèn sela/ kantun wontên ing griya sinèlèh
mungging/ ngandhap bantaling tilam//
4. Sang prajurit ing tyas langkung kingkin/ lah ta priye iki akalingwang/ dene
mangkene dadine/ wong lagi nandhang kojur/ sapolahe kudu tan bêcik/ pama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
wong bangêt lara/ kakèhan jêjamu/ miwah tamba warni-warna/ ingkang dudu
adune yêkti tan mari/ malah wuwuh rêkasa//
5. Pancèn lagi apês awak mami/ ora kurang margane sangsara/ makatên ing
pamupuse/ nanging prajurit wau/ taksih darbe tilas utami/ dènya Sri
kêkêmpalan/ dhatêng para sêpuh/ mèt wulang ingkang prayoga/ ciptaning
tyas sumêdya ngrasuk agami/ dadya amung narima//
6. Dènya nandhang prihatin ing batin/ sru nalangsa munggèng jro kunjara/
èngêt ing guru wulange/ bêgja cilaka iku/ wus pinasthi dening Hyang Widi/
sakèhing makluking Hyang/ kang urip sadarum/ wus pinanci pancènira/
sadurunge manusa lair nèng bumi/ pêpêsthèn wus tumiba//
7. Marma ana paribasan rungsit/ dhingin pinasthi anyar pinanggya/ punika
mangka cihnane/ sawusira kadyèku/ ing pamanggihira prajurit/ karaos
sinung padhang/ ing manah narawung/ ciptanya pêrlune apa/ nganggo susah
angrusak kuthaning pêsthi/ kang wus kinondrating hyang//
8. Samubarang tan bisa gu-[30]mingsir/ lamun ingsun nyelaki lêlakyan/
prasasat nampik têgêse/ mring karsaning Hyang Agung/ sapira ta duraka
mami/ marma prayoga pasrah/ jiwa raga katur/ lawan tawêkêling driya/ ing
nalika lagi nandhang susah ati/ suka sukuring sukma//
9. Pinaringan nikmat dening Widi/ eya Allah ya robi kang sipat/ ing rohman
lawan rohkime/ mugi amba pukulun/ pinaringan apurèng Widi/ sagung ing
dosa amba/ dhuh nyuwun linêbur/ sampun ngantos kapêpancang/ ulun Gusti
tan kuwawi anglampahi/ gêsang kanthi sangsara//
10. Wusnya mangkana wau prajurit/ lagya sagêd tilêm nèng kunjaran/ ragi abrit
guwayane/ ananging dèrèng purun/ nêdha sêkul cadhong ing bukti/ tansah
mung munêk ing tyas/ yata kang winuwus/ ing siyang jam kalih wêlas/ juru
rangsum prapta anyadhongi bukti/ sagung kang kinunjara//
11. Sang prajurit alon dènira ngling/ sarwi nêdhahakên sêsupe mas/ intên lami
maripate/ gumêbyar sorotipun/ lah punika supe pangaji/ sèwu sêmat salaka/
yèn andika purun/ mitulungi mring kawula/ kang saèstu supe kawula puniki/
katura jêng andika//
12. Juru rangsum alon amangsuli/ sira arsa jaluk tulungana/ Sang prajurit lon
ature/ kawula nyuwun tulung/ kapêndhêtna gadhahan mami/ warsi sela
thithikan/ anèng wisma kantun/ sumèlèh ing ngandhap bantal/ kapundhuta
dhatêng rencang kula inggih/ ingkang atêngga wisma//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
13. Botên saking adine kang warni/ sela kula thithikan punika/ amung saking
tilarane/ tiyang sêpuh kang pungkur/ wajib lamun pinundhi-pundhi/ makatên
wigatinya/ ngèstokakên dhawuh/ pusaka saking sudarma/ ing suraos mrih
kêmpal mring kang nilari/ makatên wosing sêdya//
14. Juru rangsum saklangkung kapengin/ aningali kang supe kancana/ kang
kangge epah badhene/ wêkasan juru rangsum/ sagah badhe amitulungi/
prajurit panêwanya/ yata kang winuwus/ nujwari giliranira/ juru rangsum
datan kalêpasan jagi/ rangsuming pakunjaran//
15. Nulya mentar mring wismèng prajurit/ enggalipun cariyos kaalap/ kang sela
panithikane/ kabêkteng juru rangsum/ tinampekên maring prajurit/
kalangkung sukanira/ sira juru rangsum/ [31]tampi epahan supe mas/ mripat
intên nulya rêrikatan mulih/ wau ta cinarita//
16. Sang prajurit dupi anampèni/ sakalangkung suka ciptaning tyas/ bokmanawa
ing samangke/ asu bisa têtulung/ angluwari cilaka mami/ samana praptèng
mangsa/ ari kang tinamtu/ ginantung kang karya sona/ kathah ingkang sami
prapta yun ningali/ saking dhusun myang manca//
17. Ngalun-alun kêbak isi jalmi/ wus binaris kupêng tumbak ligan/ rame gumuruh
swarane/ panggantungan myang dhadhung/ Mandaraka ingkang angrukti/
saradhadhu samêkta/ baris bêdhil agung/ rame tinarung tabuhan/ tambur
miwah salomprèt mungêl mêlingi/ para priyayi praja//
18. Sampun pêpak kêmpal sami jagi/ Sang Narendra têdhak amariksa/ munggèng
ing panggung lênggahe/ nunggil jêksa pangulu/ wus sinawang ingkang
piranti/ andhaning panggantungan/ ingadêgkên sampun/ munggèng
madyaning bacira/ wus sadhiya nèng ngandhap gantungan sami/ rame
swaraning jalma//
19. Sang prajurit wus binêkta mijil/ dening para saradhadhu kathah/ saking
kunjaran rinante/ kinêcèk tanganipun/ kinudhungan ing mori putih/ sampun
praptèng bacira/ kainggahkên gupuh/ munggèng luhur panggantungan/
Mandaraka gya nyêpêng kêndhat dupi37
/ arsa pinatrapana//
20. Ing gulune wau Sang prajurit/ gya wicantên dhatêng Mandaraka/ kawula
nyuwun sumêne/ badhe darbèni atur/ ing Sang Prabu namung sakêdhik/
37
Mandaraka gya anyêpêng kêndhat dupi @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
lajêng konjuk ing nata/ kalilan umatur/ lah arêp umatur apa/ Sang prajurit
matur rèh ing amba Gusti/ badhe kaukum kisas//
21. Nyuwun lilah ing paduka Gusti/ ulun badhe ngaso sês sakêdhap/ wus
kaparêng panyuwune/ prajurit sampun sinung/ klobot sata nulya lininting/
duk arsa pinaringan/ latu kangge udut/ prajurit alon turira/ botên sisah ulun
pinaringan api/ karana sampun gadhah//
22. Latu38
sela thithikan puniki/ dhawuh nata kinèn nyarantèkna/ dènya udut
sarampunge/ kang tampi dhawuh prabu/ pra punggawa sarèh ing kardi/
prajurit wus kalilan/ denirarsa udut/ sakala lêga tyasira/ sigra ngambil kang
sela nulya thinithik/ sapisan jlêg kang prapta//
23. Sona ingkang sapisan gya nithik/ kaping kalih tandya jlêg kang prapta/ sona
kang kaping kalih-[32]e/ nithik kang kaping têlu/ sona katri jlêg ingkang
prapti/ sadaya kaget mulat/ tanpa bisa muwus/ singunên wulu dhapurnya/
ingkang sona gêng inggil angêgirisi/ tiga sujud sadaya//
24. Munggèng ngarsanira Sang Prajurit/ samya ebat sagung kang tumingal/
dene buron apa kuwe/ punang sona umatur/ wontên karsa nimbali dasih/
sumangga kadhawuhna/ paran kang kinayun/ prajurit sru wuwusira/ marma
sira katêlu ingsun timbali/ padha sumurupana//
25. Lamun ingsun ing sadina iki/ yun kaukum gantung praptèng kisas/ dening
ratu praja kene/ belanana wakingsun/ sona katri duk amiyarsi/ sigra
mancolot mêsat/ saking ngarsanipun/ prajurit ngamuk katiga/ Mandaraka
rumiyin kang dènpêjahi/ mungkur nrajang barisan//
Pupuh XIV Pangkur
1. Saradhadhu myang punggawa/ sru kinêrêk palihan kang ngêmasi/ bubar
sarsaran sumawur/ rame sambating jalma/ kang umiyat pating bilulung
lumayu/ giris mulat krowanira/ sona ngrampêt mêmatèni//
2. Samya nglêsa ngungsi gêsang/ Sri Narendra bêngok-bêngok mring dasih/
mundhut tulung mrih binantu/ sêlak katubruk sona/ ingkang agêng piyambak
ingkang ngarêmus/ katung kaki nrubut tiga/ Sri Narendra wus ngêmasi//
38
watu #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
3. Bibar gègèr ing bacira/ pra punggawa saradhadhu prajurit/ tan ana wani
tumangguh/ miris mulat gêngira/ punang sona dhasar ing pangamukipun/
sêbat-sêbut pindha kilat/ tan kêna dènsarêpêki//
4. Nadyan kinocok ing braja/ myang udanan kinggar miwah jemparing/ yêkti
tanpa karya iku/ sona kadya nyèluman/ cat katingal cat musna datan kadulu/
marma sagunging pra wadya/ sami lumayu anggêndring//
5. Tan tolèh ing ratunira/ nanging sona maksih nêsêr mangusir/ kathah ingkang
nandhang tatu/ sangsara winasesa/ dening sona tan ana kang têguh timbul/
pêjahipun warna-warna/ wontên kang kêsandhung mati//
6. Wontên kang kidak ing kanca/ kang sawênèh dhawah kajlungup mati/
nahanta ingkang winuwus/ patih pengagêng praja/ malajêng ngingis
angrêngkul ing jêngku/ mring prajurit angrêrêpa/ kula nyuwun gêsang sami//
7. Sakanca têluk sadaya/ botên nêdya boga pasrah nagari/ sumangga katur
pukulun/ namung panyuwun amba/ mugi-mugi wontêna-[33]sih kang
dhumawuh/ supados kèndêl kang sona/ dènya ngamuk nêniwasi//
8. Manawa lulus kauja/ botên wandha têlas tiyang sanagri/ satêmahan praja
suwung/ manawi ngantos sonya/ dhuh ta sintên kang dènratoni puniku/ yèn
tan wontên pra kawula/ tan ngadêg karaton aji//
9. Praja têmah dados wana/ margi saking tan wontên kang mêlasi/ risaking pra
kawula gung/ prajurit duk miyarsa/ ing ature Sang patih lêrês kinalbu/
saksanama ngambil sigra/ kang sela asru thinithik//
10. Sona katiga jlêg prapta/ kinèn sami kèndêl dènya ngamuki/ sona nyèluman
musna wus/ sirêp ruharèng praja/ sakalangkung asrêp tyase pra wadya gung/
ing mangke wus tan katingal/ sona kang udu bilahi//
11. Samana sang patih sigra/ ngêmpalakên para punggawèng nagri/ agêng alit
datan kantun/ miwah pra dasih samya/ sampun sami kêmpal munggèng jro
kadhatun/ myang sagung para kawula/ sadaya wus dènundhangi//
12. Jro nagari jawi praja/ tinimbalan sadaya sampun prapti/ ngêmpal munggèng
ngalun-alun/ pan sami winartosan/ lamun arsa anjumênêngakên ratu/
dhatêng kang unggul ing yuda/ prajurit kang lagi prapti//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
13. Wusnya sangkêp kang pranatan/ Sang prajurit sampun jinunjung aji/ para
putri jro kadhatun/ katuring Sri Narendra/ tan antara lami Kusumaning
arum/ kang anggung karya wigêna/ sampun dhaup lan Sang aji//
14. Agênging kang pamiwaha/ karamean ing jro pura marnani/ tanapi ing alun-
alun/ anggung bogandrawina/ myang lêlangên jalu wanita nèm sêpuh/ suka-
suka parisuka/ nutug kongsi pitung ratri//
15. Tan ana ingkang kacuwan/ sang pangantèn lulut dènya mangun sih/ Sang
rêtna sajroning kalbu/ narimah panduming Hyang/ dènya krama tan sami
bangsaning luhur/ mung bangsa alit kewala/ kanthi linabuhan pati//
Pupuh XV Kinanthi
1. Tur sampun jumênêng ratu/ gumanti ing rama swargi/ kang ibu mangayu
bagya/ marma Dewi Sarimurni/ kalangkung sêtyaning driya/ jrih asih bêkti
ing laki//
2. Punapa malih Sang Prabu/ kaojating liyan nagri/ ing kasuranirèng karsa/
dènya ambêdhah nagari/ paragad padha sadina/ karana kagungan abdi//
3. Sela nyèluman têtêlu/ agêngira nglêluwihi/ dibya tan pasah ing braja/ durung
ana jroning bumi/ kadya kang sona nyèluman/ kêkês parangmuka[34] têbih//
4. Nahan gantya kang winuwus/ semahira Sang prajurit/ kang mêmêlas anèng
wisma/ momong suta maksih alit/ jalu aran pun Suraya/ dahat dènya ngarsi-
arsi//
5. Ing praptane lakinipun/ kang kesah nglampahi baris/ Bok Suraya ciptanira/
dene wus antara lami/ tan ana pawartanira/ baya kaangsah tên jurit//
6. Nèng paran nêmahi lampus/ dene ora mulih-mulih/ lamun ora mangkonoa/
apa wis ora ngèlingi/ kuwajibaning wong priya/ ninggal anak lawan rabi//
7. Nèng wisma mung anggung nganggur/ sêpi ingkang dèntandangi/ tan ana
kang angsung pangan/ Bok Suraya sru prihatin/ ribêd39
tinangisan suta/
nêdhêng sumêga kang wanci//
8. Rarya umur wolung taun/ tininggal bapa tan mulih/ Bok Suraya raosing tyas/
sèwu susah sèwu sêdhih/ kapèpèd40
ing suta lapa/ têmah mentar luru kardi//
39
ribêt #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
9. Suta ginawa bêburuh/ tanggêntang anggendhong sênik/ mring mancapat
manca lima/ mangkana kongsi sawarsi/ dènya nyaranti ing priya/ tita têtela
tan mulih//
10. Dangu-dangu dènya buruh/ mênthêl bisa simpên picis/ saking wêkêle mring
karya/ samubarang dènlakoni/ talatèn kanthi narima/ winantu pangati-ati//
11. Ing sawiji dina nuju/ Bok Suraya lawan siwi/ kesah saking wismanira/
angupaya banyu bêning/ yun têtanya mring wong wêrdha/ kang wignya sung
padhang ati//
12. Karana pangrunguningsun/ lamun sangandhaping ardi/ ing Serang ana
wong tuwa/ aran Kyai Jagung Garing/ kalangkung waskithèng driya/ yèn
mêmêca datan sisip//
13. Wus misuwur madêg guru/ saking kawruha linuwih/ samubarang datan
kewran/ pramana kang gaib-gaib/ Bok Suraya lawan suta/ praptèng ngarsa
angabêkti//
14. Wus kinèn lungguh ing ngayun/ sinung pambagya basuki/ dinangu nama
myang wisma/ miwah kang dadi wigati/ Bok Suraya apratèla/ marmanya
prapta sumiwi//
15. Nyuwun pinaring sumurup/ ing rèh lakinya prajurit/ dènya kesah sampun
lama/ sapriki wus tigang warsi/ tan wontên pawartosira/ datan mantuk
praptèng mangkin//
16. Punapa ta sampun lampus/ utawi yèn maksih urip/ karana anilar suta/ punika
ingkang tut wuri/ sutamba nama Suraya/ makatên wosing wigati//
17. Kyai guru wus sumurup/ ing rèh lêlakon kang gaib/ [35]manabda èh Bok
Suraya/ sira dènnarimèng batin/ aja sumêlang tyasira/ ing wuri bakal
amanggih//
18. Kabêgjan kang langkung agung/ jalaran sutanirèki/ iya Ki Jaka Suraya/ yèn
mangsane wus dumugi/ ing umur limalas warsa/ ing kono lagi miwiti//
19. Lakon kang bakal tumuwuh/ marma dèn sabaring ati/ samêngko sira muliha/
lan sutanira dènbêcik/ aywa sah mêmintèng sukma/ kanthi saranta ing kapti//
40
kapèpèt #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
20. Samana kang tampi dhawuh/ kalangkung asrep ing ati/ wangsitipun kasogata/
gung ginêgêt jroning batin/ Bok Suraya lawan suta/ wusnya kinèn marang
wuri//
21. Lajura ratêng sakayun/ Suraya kang angladeni/ nèng pawon tumandang
karya/ wusnya ambukti wong kalih/ wus sinung prênah yèn nendra/ ing ngriku
kadya ambatih//
22. Sipêng kongsi tigang dalu/ Bok Suraya lawan siwi/ dènya anèng gunung
Serang/ carane Ki Jagung Garing/ kinawruhan sadayanya/ yata kawuwusa
enjing//
23. Nêmbah nuwun pamit mantuk/ jinurung wus praptèng panti/ yata ingkang
cinarita/ Nyai Wêrdha kang ngêmasi/ duk pinagas gulunira/ dhatêng sira
Sang prajurit//
24. Sayêkti karya pangungun/ dene ta dosa linalis/ yèku munggèng jalaran41
/
dosane Nyi Wêrdha awit/ dadi juru tênung tansah/ miyala drêngki mèt pati//
25. Marang samining tumuwuh/ tan darbe wêlasing batin/ wêkasan manahur
utang/ gênting datan dènwêlasi/ tinugêl gulune pagas/ mati dening Sang
prajurit//
26. Nyai Wêrdha ingkang lampus/ andarbèni gurunadi/ ing rèh ngèlmu
patênungan/ yèku Kyai Jagung Garing/ kalangkung waskithanira/ wruh
wêwadi kang piningit//
27. Kang alus kang lêmbut-lêmbut/ kang rungsit-rungsit kang wêrit/ widagda
sandi manukma/ sampun uninga ing galih/ yèn Nyi Wêrdha siswanira/ wus
lamis sring karya kangkin//
Pupuh XVI Asmaradana
1. Yata cinarita malih/ Bok Suraya lawan suta/ wus lamining pangantine/ dupi
wus antara warsa/ samana pun Suraya/ wus umur limalas taun/ dumugi ing
mangsanira//
41
yaiku munggèng jalaran @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
2. Bok Suraya lawan siwi/ sowan marang ardi Serang/ wus panggih lawan
gurune/ Kyai Jagung Garing nabda/ lah iku sutanira/ wus diwasa
sêdhêngipun/ ing mêngko nglakoni karya//
3. Bok Suraya wus jinati/ lê-[36]lakone lakinira/ ing mêngko dadi wong gêdhe/
anèng nagri Garba Sonya/ wus madêg Naranata/ sumilih jêjulukipun/ Sang
Prabu Purba Angkara//
4. Kang sarta wus rabi putri/ kalangkung mukti wibawa/ kuciwa rupak budine/
Bok Suraya duk miyarsa/ lêngêr-lêngêr ing driya/ sèwu gêtun sèwu ngungun/
dene ta têka mangkana//
5. Bapakne Suraya iki/ sanadyan rabia sasra/ wong lanang awênang bae/
nanging lamun bisa nata/ marang wajibing krama/ balik bojo siji amung/
kapiran nora kadriya//
6. Sarta ninggal bocah cilik/ bêcik têmên Pak Suraya/ kaya mangkono tingkahe/
lali mring batih lan suta/ wêkasan Bok Suraya/ matur sumangga Ki guru/
Suraya katur paduka//
7. Ki guru wacana aris/ lah iya lamun mangkana/ padha rèrèh anèng kene/
kalawan sira Suraya/ dènmantêp pikirira/ aywa mingkuh ing pakewuh/ sira
kudu nglakonana//
8. Pakarti kang luwih gaib/ aywa ta wêdi kangelan/ ana gatine ing têmbe/ dèn
bisa nampani wulang/ ing rèh kawruh kajinan/ panukmanirèng ngalimun/
Suraya antuk dêdalan//
9. Suraya matur wotsari/ lah inggih dhatêng sandika/ sagêda nglampahi
pangrèh/ punapa dhawuh paduka/ sayêkti linampahan/ nadyan sakit praptèng
lampus/ kawula botên suminggah//
10. Kyai guru suka angling/ lah iku luwih prayoga/ wong kang mangkono antêpe/
sayêkti manggih pahala/ nahanta cinarita/ duk ing wanci lingsir dalu/ nuju
wus sirêp sujalma//
11. Samana sampun winangsit/ ing rèh kawruh palimunan/ apindha jin
kadibyane/ manukma sandi upaya/ Suraya wus widagda/ mangkya karsanya
keguru/ nandukên karti sampeka//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
12. Suraya sampun winangsit/ kinèn mêndhèt punang jimat/ watu thithikan
dununge/ sinimpên primpên nèng pura/ ing praja Garba Sonya/ dening kang
jumênêng ratu/ Sang Prabu Purba Angkara//
13. Sela ambilên dènkêni/ dinunung nèng pêthi êmas/ gawanen lawan wadhahe/
kalamun iku wus kêna/ apa sakarêpira/ sayêktine ora luput/ samubarang kang
sinêdya//
14. Jaka Suraya turnya ris/ kados pundi patrapira/ pamêndhèt kula badhene/
dene ta sela thithikan/ rinêksa munggèng pura/ sayêkti [37] sangêt pakewuh/
Ki guru alon ngandika//
15. Aja sumêlang sirèki/ lêbunira marang pura/ arahên ing wayah sore/ mataka
ngêlmu kajinan/ yêkti datan katingal/ lah ta iki saratipun/ rimangga tali
kêmtular//
16. Kawaca lus sutra langking/ yêkti datan kawadaka/ ing sêsolahira mangke/
samana wus winasita/ lêlêngitan ing mantra/ kang ginêbêng jroning kalbu/
Suraya sampun widagda//
17. Wusnya nyêmbah nyuwun pamit/ sinung pangèstu raharja/ kalangkung nuwun
ature/ wus mangkat saking sasana/ ing marga tan winarna/ sigêg gantya kang
winuwus/ ing nagari Garba Sonya//
18. Prajurit kang madêg aji/ kalimput ing kawibawan/ dupèh wus dadi Pamase/
tur rabi putrining Nata/ sangêt datan rumasa/ yèn ing donya ana lampus/
Sang patih tur pariwara//
19. Dhuh pukulun Sri Bupati/ cumanthaka pun apatya/ saking dahat angowêle/
ing wus tipakuning praja/ matur rèh sudarsana/ wasitaning madêg ratu/ yèn
arda datan widada//
20. Dènira amêngku bumi/ manawi anggung kasukan/ tan kêndhat siyang ratrine/
tan ngengêti pra kawula/ kang dadya isi praja/ samya nandhang kawlasa yun/
karana kirang binoga//
21. Upami beyanira ji/ arta kang kagêm kasukan/ kang mirunggatan pagawe/
sinêbar kinarya darma/ dhatêng para kawula/ kang ngêrês macêt adus luh/
dènya kêkirangan têdha//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
22. Binage ingkang waradin/ mring dasih kang kamlaratan/ saiba-iba luhure/
karatonira sang Nata/ kontap dadya darsana/ karana kang madêg ratu/ iku
wêwakiling sukma//
23. Langkung asih dhatêng dasih/ sami sinung kamirahan/ ing sandhang miwah
buktine/ têtêp lamun wicaksana/ ratu ingkang mangkana/ priksa gatining
tumuwuh/ ingkang kapungsêng mung boga//
24. Yèn ora mangkono pasthi/ rêng kadarajating praja/ tan wurung bakal
rinemeh/ mring sagung para kawula/ miwah para nayaka/ tan ana
sumungkêmipun/ rumasa tan darbe Nata//
25. Ingkang nêtêpi utami/ kang dadi pandam pandoman/ wusnya mangkana
ature/ kyana patih mangku praja/ amrih luhuring praja/ nanging sarirênga
Prabu/ tan pisan angraosêna//
26. Ngugêmi karsa pribadi/ dupèh wus madêg pramata/ yata Ki Jaka lampahe/
wus prapta ing Garba Sonya/ laju manjing jro pura/ sore èntèh wancipun42
/
tan ana ingkang uninga//
27. Karana wus matak aji/ ing ngelmu jin palimun-[38]an/ marma tan ana
nyaruwe/ Ki Jaka anjarah pura/ ing pundi dunungira/ pêthèn kancana
rinuruh/ kang isi sela thithikan//
28. Samana sampun pinanggih/ munggèng gêdhong pasarèan/ kang pêthen
sinambut age/ saksana binêkta mêdal/ wus praptèng jawi pura/ Jaka Suraya
gya wangsul/ sampun praptèng ardi Serang//
29. Panggih lan Ki Jagung Garing/ ngaturkên pêthèn kancana/ Ki guru suka
sabdane/ lah iku luwih prayoga/ pêthèn laju binuka/ sela thithikan sinambut/
sarwi manis sabdanira//
Pupuh XVII Dhandhanggula
1. Èh Suraya wruhanira iki/ jimat adiran watu thithikan/ kang luwih-luwih
dayane/ singa ingkang anggadhuh/ kasêmbadan barang kinapti/ samana pun
suraya/ wus sinung piwuruk/ pratikêle ngundang sona/ wus kacakup wangsite
Ki Jagung Garing/ rinêgêm jroning driya//
42
sore èntèh wancinipun @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
2. Punang sona thithikan kang adi/ pinaringkên mring Jaka Suraya/ samana
sampun tinampèn/ kalangkung sukanipun/ pun Suraya anyuwun pamit/
mantuk lan renanira/ jinurung pangèstu/ nêmbah kalilan gya mangkat/
praptèng wisma Bok Suraya lawan siwi/ sami awawan sabda//
3. Renanira alon dènirangling/ èh Suraya para puwaranya/ Ki Jagung Garing
wulange/ apa ta wis kacakup/ dening sira Suraya angling/ iya ingsun wus
tampa/ kabeh wulangipun/ Ki Jagung Garing ing Serang/ tuhu yêkti tan ana
ingkang nalisip/ nyata pemêcanira//
4. Parentahe wus ingsun lakoni/ lah samêngko sira pratêlana/ apa kang ko
karêpake/ ingkang dadi butuhmu/ ingsun ingkang bakal ngupadi/ Bok Suraya
wuwusnya/ sokur yèn kadyèku/ wong urip ana ing donya/ kang adhakan
sayêkti mung butuh dhuwit/ kanggo madhang lan nyandhang//
5. Wus mangkana Bok Suraya nuli/ kinèn kèndêl nèng sajroning wisma/ sarwi
akancing lawange/ Jaka Suraya mêtu/ munggèng latar sigra angambil/
ingkang sela thithikan/ thinithikên sampun/ sapisan/ jlêg ingkang prapta/
sona ingkang rumêksa arta dêmbagi/ pindha singa gêngira//
6. Ngadhêp ngarsa andhêkêm nèng siti/ Bok Suraya nginjên duk tumingal/
ngoplok angèwèl lambene/ datan bisa calathu/ saking dahat dènira ajrih/
dene sona kang prapta/ langkung agêngipun/ sona matur paran karsa/ de
bandara animbali dhatêng dasih/ sumangga kadhawuhna//
7. Mring kawula paran kang kinapti/ duk miyarsa Ki Jaka Suraya/ kalangkung
ngungun ing tyase/ dene ta ana asu/ bisa [39] ngucap kadi sujalmi/ wusana
wuwusira/ sun anjaluk tulung/ kajupukna dhuwit ingwang/ ingkang sona blas
musna tan dangu prapti/ sarwi nyakot gêgawan//
8. Bagor rajut kêbak isi picis/ gya tinampan mring Jaka Suraya/ muwus wis
balia age/ punang sona musna wus/ bagor nulya binêkta panti/ arta laju
sinuntak/ ing jogan supênuh/ Bok Suraya eram mulat/ de samono kadibyanira
kang siwi/ kalangkung sukuring Hyang//
9. Wus mangkana Ki Jaka gya mijil/ munggèng latar sru nithik kang sela/
kaping kalih panithike/ tandya jlêg praptanipun/ punang sona kang kaping
kalih/ sajaran tèji gêngnya/ Bok Suraya ndulu/ langkung singunên tyasira/
sona matur paran karsa animbali/ sumangga kadhawuhna//
10. Ki Jaka ngling jupukêna dhuwit/ mring jro gurda kang rupa salaka/ musna
kang sona tan suwe/ wangsul wus nyakot rajut/ bagor kêbak isi kang picis/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
salaka wus tinanpan/ Ki Jaka amuwus/ wis sona sira balia/ punang sona wus
musna Ki Jaka nuli/ manjing sajroning wisma//
11. Sarwi nyuntak bagor dhuwit putih/ angguladrah ngêbaki kang jogan/ Bok
Suraya suka tyase/ eram dènya andulu/ dhuwit prapta datan pawilis/ ukon
kêton rupiyah/ pirang-pirang tumpuk/ langkung bingung Bok Suraya/ sru
pakewuh gone arsa anyimpêni/ tan ana kanggo wadhah//
12. Bok Suraya alon dènirangling/ lah kapriye apa kanggo wadhah/ myang ing
ngêndi panyimpêne/ Jaka Suraya muwus/ iyo mêngko pinikir maning/ saiki
ênêngêna/ ing kono karuhun/ sun arsa ngambil arta mas/ pun Suraya sigra
mêdal saking panti/ sampun prapta ing latar//
13. Nulya nithik kang sela kaping tri/ jlêg kang prapta sona kaping tiga/ sami lan
dipangga gênge/ satrêbang mripatipun/ gêbyar-gêbyar angêgirisi/ Bok
Suraya duk mulat/ dhipêt êrêmipun/ tan wani lamun mêlèka/ wus tan darbe
cipta lamun maksih urip/ suta Jaka Suraya//
14. Sona matur paran kang kinapti/ animbali dhatêng dasihira/ Jaka Suraya
wuwuse/ jupukna dhuwit ingsun/ anèng gurda kang rupa rukmi/ punang sona
gya musna/ tan antara wangsul/ sarwi nyakot bagor ingkang/ kêbak isi uang
kancana tinampi/ dening jaka Suraya//
15. Sakalangkung sukanirèng galih/ Ki Jaka ngling [40] lah uwis balia/ marang
dunungira manèh/ punang sona musna wus/ pun suraya gya manjing panti/
sarwi anyuntak arta/ nèng jogan kumrupyug/ Bok Suraya bingung mulat/
datan têlas gawokira jroning ati/ dene kabina-bina//
16. Cinarita Ki Jaka wus kardi/ wisma gêdhong agêng langkung pelag43
/ pêpak
prabot pirantine/ miwah panganggènipun/ Bok Suraya kalawan siwi/ sirna
sipating sudra/ wus pindha wong luhur/ karya ebating tumingal/ samya
ngungun kang tangga miwah têpalih/ dene ora kayaa//
17. Bok Suraya salawase miskin/ mêngko dadi bangsaning hartawan/ plok
tininggal ing lakine/ ing ngêndi gone luru/ kasugihan angingu dhêmit/ nahan
ta kang rêrasan/ samana winuwus/ suraya manabdèng rena/ sêdyaningwang
si bapa ingsun walêsi/ dènya tega mring sira//
18. Bok Suraya duk miyarsa angling/ ing bab iku anggèr sakarsanta/ ingsun tan
bisa nyaruwe/ luwih-luwih sirèku/ ingsun amung mêkas sathithik/ nadyan sira
43
pelak #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
walêsa/ aja praptèng lampus/ wit iku kang ngukir sira/ tan prayoga
bokmanawa milalati/ mung iku wêkasingwang//
19. Pun Suraya duk miyarsa wêling/ muwus aja sumêlang tyasira/ wus sun pikir
sadurunge/ samana sigra nambut/ ingkang pêdhang kalangkung lungit/
tinalongsong kancana/ kinalungkên sampun/ Jaka Suraya gya mangkat/
tanpa kanthi lumampah ing wanci ratri/ ing marga tan winarna//
20. Praptèng Garba Sonya wanci enjing/ pun suraya ngumbar kapurunan/
manggihi lawan patihe/ muwus patih praptèngsun/ nêdya njabêl nagara iki/
karana ratunira/ tan pêrang tumangguh/ mêngko ingsun kang minangka/
sarayane ratunira kang wus lalis/ tan nêdya mundur ing prang
Pupuh XVIII Durma
1. Kyana patih miwah sagung pra punggawa/ kapita duk miyarsi/ sru dènira
nabda/ èh sira bocah apa/ murang krama tanpa kèring/ ngumbar kasuran/
sapa apanirèki//
2. Sarta ngêndi pinangkanira ing wuntat/ dene ta kumawani/ bocah mung
sapala/ sapira bangganira/ Ki Jaka asru mangsuli/ yèn tambah mringwang/
Suraya aran mami//
3. Pra punggawa bramantya sru wuwusira/ sabar kiyai patih/ bocah murang
tata/ tan nuntên tinandangan/ pra punggawa nubruk wani/ Jaka Suraya/
indha mêsat mring jawi//
4. [41] Sru sêsumbar lah payo rêbutên ingwang/ iki bocah ing bukit/ kampung
Saralaya/ kono wismamanira/ Ki Jaka sigra anarik/ pêdhang kumilat/ tandya
narajang wani//
5. Pra punggawa mantri miwah hulubalang/ panggih samya nadhahi/ Ki Jaka
sru mêdhang/ tinangkis sami pêdhang/ kumêncras warani ratri/ rame
wurahan/ pêdhang pinêdhang gênti//
6. Miwah tangkis-tinangkis ulah warastra/ tan ana kasaliring/ rinoban ing
kathah/ Ki Jaka kèwran ing tyas / gya matak ajinira jin/ sampun limunan/ Ki
Jaka tan kaèksi//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
7. Pra punggawa gêragu kecalan mêngsah/ matur marang Ki Patih/ mêngsah
sagêd ngical/ dede44
suwadosira/ Ki Patih parentah aglis / barisa kapang/
lamun bocah kaèksi/
8. Aja kongsi gagal tungkêbên ing kathah/ yata ingkang winarni/ Sang Prabu
miyarsa/ Ramèswara45
ing wadya/ nyêkêl bocah kumawani/ aran Suraya/ ing
Saralaya bukit//
9. Sampun katur Sang nata kalangkung duka/ kaparat mêjanani/ dhawuhirèng
Nata/ kinèn nyantosanana/ bocah cêkêlên dènkèni/ aturna mringwang/ apa
dhapure anjing//
10. Duk ngatingal46
Jaka Suraya rinêmpak/ amêdhange tan polih/ rame ing
bacira/ wadya saya gung prapta/ oncat Jaka Suraya nis/ karoban lawan/
praptèng jro wana sêpi//
11. Sigra nithik kang jimat sela thithikan/ sapisan kaping kalih/ nuli kaping tiga/
jlêg-jlêg kang sona prapta/ nèng ngarsa umatur Gusti/ paran kinangsa/
nimbali para dasih//
12. Ngungun Jaka Suraya sru wuwusira/ marmane sira katri/ padha ingsun
undang/ bêdhahên prajanira/ Sri Purba angkara aglis/ ing Garba Sonya/ iku
kalilip mami//
13. Punang sona katiga duk amiyarsa/ musna umangsah aglis/ nrajang
pabarisan/ punggawa Garba Sonya/ duk mulat sona tri prapti/ bubar
sumêbar/ ngungsi marang Ki Patih//
14. Matur lamun kang sona ing nguni prapta/ samnya ngamuk mawêrdi/ kèh
wadya kang pêjah/ Ki Patih kagyat maras/ lumajêng ngungsi ing puri/
kadhaton kêbak/ dadya gung tanpa wilis//
15. Sri Narendra kagyat gugup duk umiyat/ wadya gung manjing puri/ patih wus
pratela/ lamun Jaka Suraya/ ngirid sona nggêgirisi/ abdi paduka/ yatna Sri
Narapati//
44
dene #*
45 pramèswara #*
46 katingal #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
16. Arsa ngambil kang jimat sela thithikan/ wêkasan tan pinanggih/ [42]nis
sawadhahira/ langkung sungkaweng nata/ sela thithikan sampun nis/ rumaos
tiwas/ katungka ingkang ngungsi//
17. Pra punggawa jêjêl malêbêt ing pura/ ajrih binujêng anjing/ samana Sang
Nata/ yatna yèn darbe slendhang/ wasiyat kinarya angkin/ pinusthi sigra/
dhawuh èh sira patih//
18. Sumingkira sawadya punggawanira/ marang pungkuran sami/ uyêk pra
wanodya/ tambuh ing solahira/ sakalangkung kontrang-kantring/ tandya kang
sona/ katiga sami prapti//
19. Manjing pura nêdya ngungsir pra punggawa/ dupi praptèng ngarsaji/ kang
slendhang wasiyat/ jinèrèng munggèng ngarsa/ sona tri wus tanpa budi/
andhêkêm samnya/ limprêk-limprêk kang dhiri//
20. Tanpa krêkat sirna dayane kang sona/ eram kang sami meksi/ dibyanirèng
nata/ tuhu ratu gêgala/ punjul sêsamining aji/ Sang Nata sigra/ dhawuh eh
sona katri//
21. Dipun enggal balia mring dunungira/ aja kopindho maning/ mlêbu marang
pura/ sun pêrung kupingira/ sinêntak us47
kang sona nis/ praptèng gyanira/
Jaka Suraya nguni//
22. Sakalangkung ngungun Ki Jaka Suraya/ dene sona wus bali/ ngalumpruk
angganya/ kadi tan darbe krêkat/ tandha yèn kasor ing jurit/ Jaka Suraya/
kawêken tyas sru angling//
23. Èh ta sona balia mring dunungira/ punang sona sampun nis/ watu ta Ki Jaka/
lajêng mring ardi Serang/ panggih lan Ki Jagung Garing/ matur rèhira/ tiwas
dènira jurit//
24. Punang sona kasor ing prabawanira/ lan Purba Angkara ji/ paran karsa
tuwan/ ulun srah jiwa raga/ wacana Ki Jagung Garing/ aja sumêlang/ yèn
ingsun maksih urip//
25. Masa dadak kalaha ing budi daya/ mungsuh ratu taruni/ lah sira balia/ aja
wêdi kangêlan/ iki tamakna dèntiti/ sêsirêpingwang/ watakên kang patitis//
47
wus #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
26. Sarta sira rimangga talikêmtular/ yêkti datan kaèksi/ samana Ki Jaka/ pinêtik
wigatinya/ wus tumanêm sanubari/ kalilan mangkat/ datan pêgat mangèsthi//
Pupuh XIX Megatruh
1. Lampahira ing marga datan winuwus/ samana ing wanci ratri/ Ki Jaka
sampun ngalimun/ wus praptèng sajroning nagri/ nuju pojoking kadhaton//
2. Nulya inggih andhêkukul ngrangkul dhêngkul/ sarwi nungku ing pangèsthi/
wiwit sontên praptèng dalu/ lagi luwar dènira mrih/ sirêpe wong sakadhato-
[43]n//
3. Dupi sampun sidhêm wanci lingsir dalu/ Ki Jaka manjing jro puri/ tan ana
ingkang sumurup/ nahanta ingkang winarni/ Sang Nata sare kalêson//
4. Para putri miwah sagung wong kadhatun/ siji tan ana ngalisik/ wus kênèng
sêsirêpipun/ Ki Jaka nulya angambil/ sela thithikan sing kanthong//
5. Sru thinithik kang sona jlêg praptanipun/ kinèn anggondhol Sang aji/
kajujugna wismanipun/ kampung Saralaya bukit/ Sang nata laju ginondhol//
6. Sanalika Ki Jaka nyarêngi mantuk/ praptèng wisma kampung bukit/ kalawan
sona wus cundhuk/ Sang nata kapati guling/ tan wignya wungu kang gloso//
7. Lamun datan winungu sadangunipun/ sayêkti manggunga guling/ saking
ampuh sirêpipun/ kang kataman lir ngêmasi/ Bok Suraya wruh andongong//
8. Punang sona wus kinèn wangsul musna wus/ Bok Suraya tanyèng siwi/ paran
pratingkahirèku/ anggawa marang sudarmi/ apa iku praptèng layon//
9. Karti nanya wus wêwarta sarèhipun/ mung kinarya amalêsi/ samana busana
Prabu/ sadaya dipunlukari/ kang sare datan karaos//
10. Sinalinan ing pangangge liyanipun/ wusnya lukar Sri Bupati/ sinarèkakên ing
kasur/ linangse jro tilamsari/ Ki Jaka manabda alon//
11. Lah ta umirêksanên si bapa iku/ dimèn kapenaka guling/ sun arsa mentar
mring gunung/ marak Kyai Jagung Garing/ pêrlu ngaturi pawartos//
12. Kahananing lêlakon kang wis tumuwuh/ Bok Suraya muwus bêcik/ Ki Jaka
mangkat lumaku/ datan winarna ing margi/ prapta panggih Sang Palunggoh//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
13. Gya ngabêkti dinangu apa wis rampung/ pakaryanira kang gaib/ andhustha
marang Sang Prabu/ kang dinangu matur aris/ pangèstu tuwan ginantos//
14. Sampun pragad samangke sare Sang Prabu/ wontên Saralaya bukit/ sadaya
busananipun/ sampun kawula lukari/ tan wontên kantun sawiyos//
15. Lah punika sumangga katur pukulun/ Ki Jagung Garing nampeni/ lah Suraya
wruhanamu/ slendhang kang ginawe angkin/ iki wasiyat kinaot//
16. Kêna kanggo ngêkêsake marang mungsuh/ sakèh ing satosa kalir/ sapira
gambiranipun/ yèn andhêlêng slendhang iki/ jinèrèng têmah ngalentroh//
17. Tanpa krêkat awak ngalumpruk lir ka-[44]puk/ marma duk pêrang sirèki/
sonanira têmah mundur/ kêna prabawaning jarit/ slendhang wasiyat kinaot//
18. Duk miyarsa Suraya kalangkung ngungun/ dene Kyai Jagung Garing/ sidik
waskitha ing kalbu/ wus priksa kang dènlakoni/ duk sona prang padha kasor//
19. Ing wêkasan Suraya ngartikeng kalbu/ samana laju winisik/ yèn sudarmanira
tuhu/ tan kêlar dada48
narpati/ awit dudu trahing katong//
20. Marma kudu narima aja winangsul/ ing Garba Sonya nagari/ gêdhe
pangkalaning laku/ wus ana kang darbe waris/ patih pamomonging katong//
21. Iya iku kang wajib mêngku kadhatun/ aja dinawa pamikir/ warahe mrang
sudarmamu/ Suraya matur wotsari/ sandika pocung ginantos//
Pupuh XX Pocung
1. Wusnya rampung : ing dalu datan winuwus/ enjing Ki Suraya/ nyuwun pamit
arsa mulih/ wus jinurung mangkat saking ardi Serang//
2. Tan cinatur : ing marga wus praptèng wangun/ panggih lawan rena/ Bok
Suraya wis jinati/ sakathahe pamisik kang saking Serang//
3. Dhawuhipun : Ki Jagung Garing tinutur/ marang renanira/ napisthanana
kalêmpit/ Bok Suraya langkung suka lon wacana//
4. Yèn kadyèku : apa tan bêcik winungu/ kang kapati nendra/ winartan pitutur
jati/ lêlakone kabêh cocog lan pamêca//
48
dadi #*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
5. Jaka sunu : nêmbadani ing panêmu/ samana gya dandan/ Bok Suraya lawan
siwi/ sarwa adi wus pindha bangsa ngawirya//
6. Pan cinatur : panganggone langkung luhur/ wastra sarwa sutra/ miwah
ingkang rêtna rukmi/ tuhu mungguh kang karêngga ing busana//
7. Wimbuh sêmu : ing warna myang wandanipun/ mêlas Bok Suraya/ cahya
sumringah mranani/ maksih pantêsêng kang rujak wuni bapang//
8. Intênipun sinêling mirah jumêrut/ wingking kasinungan/ sotya lit pating
karanthil/ tinon momyor kang sotya pating galêbyar//
9. Ingkang sunu : mangangge calana jamus/ sinjang kêkèncongan/ baledhak
putih mantêsi/ arasukan lakên langking langkung gilap
10. Dhêstharipun : adu mancung tanpa kuncung/ cakrak dènya macak/ tebes
winon rintik-rintik/ lunging carik luwês gathuk lir tinata//
11. Tuhu mungguh : Suraya Prabu dinulu/ sarwi nganggar pêdhang/ kacihna
bocah winani/ dhasar tansah anggembol sela thithikan//
12. Enggalipun : tan kuciwa dènya ngrasuk/ [45]yata kawuwusa/ kang sare nèng
tilamsari/ tanpa nglilir wus sapêkên dangunira//
13. Dupi sampun : cakêt Bok Suraya lungguh/ ing kursi lan suta/ winiyak
langsening kanthil/ pun Suraya mênyat ngadêg matak mantra//
14. Ing pamungu : jinawab rambah ping têlu/ ingkang sare kagyat/ grêgah wungu
dènya guling/ langkung ngungun bingung ing paningalira//
15. Lingak-linguk : lir bisu dangu tan muwus/ tanggap Bok Suraya/ dhuh andika
Sang Prajurit/ punapa ta praptèng mangke tan kanyatan//
16. Yèn ing dangu : nilar somah lawan sunu/ inggih pun Suraya/ duk samantên
maksih alit/ lah punika samangke sampun diwasa//
17. Sakalangkung : prakosa santoseng kalbu/ inggih pun Suraya/ kuwawi
dipungondhêli/ wus kalacak anak angungkuli bapak//
18. Tandhanipun : andika kenging kausung/ têmah praptèng wisma/ sare tan
sagêd ngalilir/ dipunèngêt manungsa ngunduri tuwa//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
19. Calon lampus : tan tulus ing gêsangipun/ dene ta andika/ nglampahi wus
madêg aji/ rabi putri kuwasa mêngku nagara//
20. Inggih sokur : nanging dènèngêt ing pungkur/ lêlakon andika/ sayêkti botên
lêstari/ wit andika dede trahing naranata//
21. Marmanipun : dipunnarimah ing kalbu/ sampun kapêpanjang/ manawi
manggih bilahi/ sintên ingkang kecalan tarlèn mung kula//
22. Kang inguwus : tan têlas pangungun49
/ dene anèng wisma/ pelak tanpae lan
puri/ panggih rabi lan suta Jaka Suraya//
23. Wus sumurup : kabeh ing lêlakon ingsun/ sapa kang sung warta/ sakêthi ora
andugi/ têka cêtha gênah tan ana kang salah//
24. Nulya muwus : iki priye têgêsipun/ kaya wong supêna/ aku iki kurang ngêrti/
mangka aku wis dadi nata ing radya//
25. Têka banjur : anèng kene dunung ingsun/ somah mung carita/ kang saking
pawartèng siwi/ lir wêcane Ki Jagung Garing ing Serang//
26. Kang sinung wruh pamêcane guru tuhu/ dahat eraming tyas/ lêlakone kang
pinanggih/ andupara sakêthi datan dènyana//
27. Nulya muwus èh Suraya sutaningsun/ paran karsanira/ rèhne ingsun darbe
nagri/ apa ora sira kang gumanti mringwang//
28. Sunu matur : kula botên darbe kayun/ sumêngka angangka/ kumawaa madêg
aji/ awit kula dede têdhaking awirya//
29. Jroning kalbu : narimah mung mongmong biyung/ sok ugi sinung-[46]an/ ing
bagas lawan basuki/ bab kaprabon langkung ing karsa andika//
30. Lamun gêtun : kenging tinêdhakan wangsul/ dhatêng Garba Sonya/ manawi
taksih kadugi/ ngrêbat praja kang langkung awrat sinangga//
31. Yèn katêmpuh : pakewuh yêkti binunuh/ kang rama manabda/ sandhanganku
ana ngêndi/ dene iki salin kabêh nganggo anyar//
49
ingkang inguwus : datan têlas ing pangungun @#*
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
32. Suta matur : saèstu sampun kapundhut/ dhatêng kang kagungan/ jêr andika
tan darbèni/ mung anggadhuh yêkti kajabêl kang gadhah//
33. Sawusipun sinulangakên ing sunu/ kang sinung sêsulang/ panglocitanirèng
galih/ kayata ya bênêr kandhane Suraya//
34. Dangu-dangu : pinapas dening pamumus/ wêkasan rumasa/ kalamun wus tan
darbèni/ agul-agul kang jimat watu thithikan//
35. Sartanipun slendhang wasiyat wus katut/ sirna tanpa gana/ wus narima Sang
Prajurit/ datan nêdya mangkrok pindha wong taruna//
Pupuh XXI Sinom
1. Samana sampun paragad/ pangêjuming tyas basuki/ rukun dènya bêbatihan/
Bok Suraya lan prajurit/ kumpul lir wingi nguni/ wus manut pangrèhing
sunu/ ri Sang Jaka Suraya/ lulus aji bawa mukti/ suka bungah ngayomi mring
yayah rena//
2. Miwah sagung kulawangsa/ tanapi tangga têpalih/ nguni wèh kang para
mitra/ sami sinupêkêting sih/ sinung suka lan bukti/ wêkasan dadya misuwur/
sira Jaka Suraya/ sugih dhuwit sugih bêcik/ tur pikire tatag santosaning
karya//
3. Sanadyan maksih taruna/ wus sêpuh ingkang pamanggih/ labêt saking datan
kêndhat/ marak mring Ki Jagung Garing/ tansah sinung pamisik/ pinaring
wulang linuhur/ marma Jaka Suraya/ miwah sira Sang prajurit/ sasomahnya
sinung rèh gatining gêsang//
4. Aywa nyalèwèng ing lampah/ mungguh pêrluning aurip/ wiwit gêsang
praptèng laya/ manggiha suka basuki/ tarlèn mung budi adi/ ingkang nênarik
rahayu/ mungguh ayuning driya/ padha manduma rijêki/ mring sêsama kang
samya kurang binoga//
5. Sadaya sampun tinampan/ piwulangira Sang Rêsi/ tan ana ingkang tinilar/
pinituhu dènlampahi/ marma têntrêm ing ati/ tan ana rêncananipun/ sira Jaka
Suraya/ mukti lawan yayah bibi/ gêsangira kasêmbadan ing sakarsa//
6. Mangke ingkang kawuwusa/ ing Garba Sonya nagari/ pramèswarinya Sang
[47] Nata/ ibu Sang Dyah Sarimurni/ dahat singkêling galih/ ing rèh sirnanya
Sang prabu/ tan ana kang pawarta/ dene wus antara lami/ gya nimbali Kyana
Patih praptèng pura//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
7. Dinangu paran kang warta/ sirnane Sri Narapati/ dene wus antara lama/ tan
ana kondur mring puri/ baya Sri Narapati/ wus pinulung jawata gung/ sayêkti
tan prayoga/ yèn praja sêpi Narpati/ nuwuhake rusuh ing para kawula//
8. Karana tan bisa tata/ tan ana ingkang ngadili/ paran patih budinira/ sira
kang kajibah mikir/ wau tanyana patih/ bêla sungkawa ing prabu/ dene Sang
pramèswara/ kalangkung turideng galih/ ing wusana maripih alon turira//
9. Dhuh Jêng Sang ri Sang juwita/ mugi sampun dahat kingkin/ sirnanipun Sri
Narendra/ dènya nis saking jro puri/ kawula sampun nuding/ nêbar para
punggawa gung/ ngêngingsêp nungsung warta/ ing dunungnya Sri Bupati/
bokmanawi lêrês lir cipta paduka//
10. Pinulung dening jawata/ katandha dènya wus lami/ para punggawaning
praja/ mêksa dèrèng antuk titik// pawartos kang patitis/ marma mugi
Kangjêng ratu/ botên sungkawèng driya/ manawi kagalih yêkti/ sampun
cundhuk gathuk ing purwa wusana//
11. Purwanira andupara/ bêdhahipun prajeng ngriki/ paragad sami sakala/
nuntên ginanti narpati/ sayêkti langkung gaib/ lêlakyan ingkang tumuwuh/
têmah ingkang gumantya/ sirna tan wontên udani/ tanpa warta tandha
karsaning Hyang Sukma//
12. Yêkti sakêthi nglêngkara/ tan kenging cinakrèng budi/ kados sampun dados
cihna/ mênggah ing raos kang gaib/ cundhuk kalawan budi/ purwa wusana
wus têpung/ miwah ingkang kahanan/ sadaya sami pinanggih/ andupara
wangsul lawan anglêngkara//
13. Sakathahing lêlampahan/ tan wontên ingkang nalisip/ condhong lawan
kayakinan/ makatên mênggah ing budi/ samana Sriyodati/ kalangkung
panujwèng kalbu/ miyarsa aturira/ Ki Patih têka mranani/ pramèswari têmah
sirna singkêling tyas//
14. Enggalipun kang carita/ patih gumantyèng narpati/ Sang Sori mangayu
bagya/ Para punggawa munggalit/ sadaya angèstrèni/ Ki Patih
jumênêngipun/ na-[48]ta ing Garba Sonya/ mangun kasukan mênuhi/ ajêjuluk
Sang Prabu Purbanatara//
15. Suka sagung wong jro praja/ tanapi kang walang galih/ miwah sagung pra
punggawa/ tanapi pra kawula lit/ karana Sri Bupati / adil paramarteng wadu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
/ dènya madêg narendra/ kadi wus karsaning Widi / marmanira widada lulus
raharja//
16. Cinarita randhanira/ Sang Nata ingkang sampun nis/ yèku atmajaning nata/
kang sampun surud ing nguni/ kusuma Sarimurni/ kalêrês waris pambayun/
wajib gumantyèng nata/ mêngku Garba Sonya nagri/ marmanipun kasuwun
kaangkah garwa//
17. Dening kang jumênêng mangkya/ dadosa sorining puri/ kinarya jimat pusaka/
mring kang lagya madêg aji/ kang ibu anyondhongi/ Sang Dyah tan suwalèng
kayun/ putra sinung wanita/ ing ibu sang pramèswari/ rèh punika winaton
patang prakara//
18. Kang sapisan gathukira/ wong palakrama ping kalih/ pêcating nyawa ping
tiga/ laire kang jabang bayi/ ping pat tibaning warih/ udan tumurun sing
luhur/ iku kabeh tan kêna/ binudi dening sujalmi/ sajatine atas karsaning
Pangeran//
19. Marmane aja dinawa/ sira anggèr anak mami/ lir nglakoni pakoning hyang/
manungsa namung sadarmi/ samana kusuma di/ sumanggèng karsa kang ibu/
enggaling kacarita/ kusumèng Dyah Sarimurni/ sampun dhaup lan kang
anyar madêg nata//
20. Agêng ingkang pamiwaha/ datan winarna ing tulis/ sagung ingkang pra
punggawa/ agêng alit nayogyani/ miwah kang para dasih/ mangayu bagya
ing kalbu/ sami sukuring sukma/ samana Sri Narapati/ lulut dènya sih-sinihan
lawan garwa//
21. Widada jumênêngira/ wimbuh arjaning nagari/ suka tyase pra kawula/ tan
ana cêngil-cinêngil/ dhasar kang madêg aji/ widagda rumêksèng ulun/ gêng
alit kauningan/ kang sugih miwah kang miskin/ kang durjana miwah kang
bangsa yujana//
22. Kang kawêngku ing narendra/ pinèt wigatining urip/ ing sarina sawênginya/
tarlèn kaginusdhèng galih/ aywa na kang prihatin/ jalaran katamaning luh/
pangluh ing budi badan/ kang pinandêng ing pambudi/ pra manungsa
gêsanga têntrêm lan tata//
23. Wêkasan kontaping [49] jana/ ing Garba Sonya praja di/ tinêbihan parang
muka/ labêt kang jumênêng aji/ budatama martani/ kalaban sagung tumuwuh/
satomyang têtanêman/ pinardi lulus lêstari/ kar tumêngkar dadia
martananingrat//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
2. Sinopsis Sêrat Panithikan
Ada seorang prajurit yang berjalan sendirian di tengah hutan. Bertemu dengan
seorang juru tenung bernama Nyai Wêrdha, memberitahu kepada Sang prajurit bahwa
dalam sebuah pohon ada uangnya. Berapapun uang yang akan Sang prajurit ambil
Nyai Wêrdha tidak akan memintanya, hanya berpesan supaya mengambilkan
miliknya batu panithikan yang tertinggal di dalamnya. Sang prajurit dibekali
selendang untuk masuk kedalamnya (Pupuh I Asmaradana – Pupuh II
Dhandhanggula).
Sang prajurit dapat memasuki lubang dalam pohon itu dengan mudah. Di
dalamnya terdapat tiga tempat yang masing-masing dijaga oleh seekor anjing.
Dengan selendang Sang prajurit bisa menyingkirkan anjing itu dan mengambil
uangnya. Sesampainya diluar Sang prajurit lupa mengambil batu panithikan dan
selendang milik Nyai Wêrdha sehingga ia harus masuk lagi mengambil batu dan
selendang.Sang prajurit berfikir apa kekuatan batu itu. Sang prajurit bertanya kepada
Nyai Wêrdha tentang batu itu tetapi Nyai Wêrdha berbohong. Sang prajurit tidak
mempercayainya dan membunuh Nyai Wêrdha (Pupuh III Pangkur – Pupuh IV
Sinom).
Batu panithikan itu telah dimiliki oleh Sang prajurit. Sang prajurit yang
membawa banyak uang dalam perjalanannya berfikir untuk pergi ke luar negeri.
Akhirnya sang prajurit pergi ke negeri Garba Sonya. Di sana ia berfikir akan bahagia
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
dengan uang yang dibawanya, banyak yang menjadi temannya karena hanya
menginginkan uangnya. Sang prajurit bertanya-tanya kepada temannya tentang
seorang gadis yang pantas ia nikahi, dengan saran teman-temannya untuk menikahi
Sang putri (Pupuh V Kinanthi – Pupuh VI Pocung).
Sang prajurit hanya menghambur-hamburkan uang hingga akhirnya Sang
prajurit jatuh miskin, tidak ada seorang temannya yang menolongnya. Sang prajurit
bekerja sebagai buruh dan akhirnya ia sakit. Kesengsaraan yang ia rasakan, kemudian
ia teringat dengan batu panithikan yang ada dalam kantong bajunya. segera ia
mengambil batu dan nithik sekali, keluarlah anjing yang pertama. Anjing pertama
mengambilkan uang yang ada dalam pohon. Nithik dua kali batu itu, dan tiga kali.
Begitu hingga anjing yang ketiga mengambilkan uang dan ketiga anjing itu kembali
hilang dalam batu itu (Pupuh VII Mijil – Pupuh VIII Megatruh).
Sang prajurit kembali menjadi orang kaya, membeli rumah, kereta dan
mempunyai pembantu bagaikan seorang raja. Kini ia berteman dengan orang yang
tua karena menurutnya berteman dengan anak muda hanya mencari kesenangan saja.
Dengan kehidupannya yang berkecukupan Sang prajurit kembali teringat untuk
menikahi Sang putri. Meminta tolong kepada anjing siluman itu Sang prajurit
memerintahkan untuk membawa Sang putri kerumahnya. Tidak lama kemudian
anjing sudah datang dengan menggendong Sang putri yang tertidur lelap. Melihat
kecantikan Sang putri, Sang prajurit hanya terdiam. Sang putri dikembalikan ke
dalam istana agar tidak membuat curiga Sang raja (Pupuh IX Gambuh).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Pagi hari Sang putri bercerita pada ayanhya (raja) bahwa semalam ia dibawa
oleh seekor anjing dan diberikan pada seorang prajurit. Sang raja kaget mendengar
mimpi anaknya dan segera memerintahkan abdinya untuk menjaga Sang putri di
malam hari. Malam hari, sang putri yang sudah tidur dijaga oleh seorang abdi, tidak
lama kemudian datang seekor anjing yang sangat besar dan membuat takut abdinya.
Sang putri di bawa ke rumah Sang prajurit (Pupuh X Sinom).
Abdi raja itu melaporkan apa yang dilihatnya semalam. Sang raja kemudian
memanggil Sang putri. Sang putri diberi kalung biji sawi agar apabila dipakainya bisa
mengetahui siapa yang menculiknya. Malam hari anjing tersebut datang kembali dan
menculik sang putri. Pagi hari Sang raja dan para pengawalnya mengikuti biji sawi
yang jatuh dijalan. Hingga akhirnya sampai di rumah Sang prajurit (Pupuh XI
Asmaradana).
Sang prajurit dibawa untuk menjalani hukuman. Dalam penjara Sang prajurit
tidak bisa tidur dan makan, berfikir bagaimana caranya agar bisa keluar dari tempat
tersebut. Akhirnya ia meminta tolong pada penjaga penjara untuk mengambilkan batu
panithikan yang tertinggal di rumahnya. Penjaga penjara mengambilkan batu
panithikan dan diberi upah sebuah intan (Pupuh XII Mijil ).
Tiba saatnya Sang prajurit dihukum gantung. Di alun-alun sudah banyak
orang berkumpul untuk menyaksikannya. Sebelum digantung Sang prajurit
mempunyai satu permintaan,untuk merokok satu batang. Akhirnya Sang prajurit
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
diperbolehkan dan dikeluarkan batu dari kantongnya. Nithik sekali, dua kali, tiga kali.
Keluarlah ketiga anjing dari batu itu dan membuat kaget semua yang
menyaksikannya. Ketiga anjing itu mengamuk di alun-alun dan membuat banyak
orang meninggal tak terkecuali Sang raja. Sang patih memohon kepada Sang prajurit
agar menghentikan ketiga anjing itu agar tidak menghancurkan seluruh negeri (Pupuh
XIII Dhandhanggula).
Seluruh raja dari berbagai kerajaan diundang untuk menyaksikan penobatan
Sang prajurit menjadi seorang raja yang berjuluk Sang Prabu Purba Angkara. Sang
raja menikah dengan Sang putri. Selama menjadi raja banyak rakyatnya yang
kelaparan, karena Sang raja hanya bersenang-senang memikirkan diri sendiri (Pupuh
XIV Pangkur).
Di desa Saralaya Sang prajurit meninggalkan seorang istri dan anaknya yang
bernama Suraya. Suraya dan ibunya hidup dengan bekerja sebagai buruh untuk
mencukupi kebutuhannya. Suraya dan ibunya meminta tolong seorang guru yang
bernama Kyai Jagung Garing di gunung Serang. Di sana Kyai Jagung Garing
menceritakan semua tentang Sang prajurit. Kyai Jagung Garing memberitahukan
apabila nanti Suraya berumur 15 tahun baru ia bisa mencari ayahnya (Pupuh XV
Kinanthi).
Suraya sudah berumur 15 tahun dan kembali ke gunung Serang menemui
Kyai Jagung Garing. Suraya diberi bekal ilmu jin palimunan agar ia bisa menghilang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
dan mengambil batu panithikan yang disimpan ayahnya di dalam istana. Setelah
cukup ilmunya Suraya berangkat ke negeri Garba Sonya. Sesampainya disana Suraya
berhasil mengambil peti berisi batu panithikan dan selendang. ketiga anjing itu
diperintah Suraya untuk menghancurkan negeri Garba Sonya dan membawa pulang
ayahnya (Pupuh XVI Asmaradana - Pupuh XVIII Durma).
Sang prajurit yang masih tertidur berhasil dibawa pulang oleh anjing itu tanpa
terbangun. Sang prajurit di lepas baju kebesarannya sebagai raja dan dikembalikan ke
negeri Garba Sonya. Ibu Suraya yang melihat suaminya yang masih tertidur hanya
terdiam. Sementara itu, Suraya kembali ke gunung Serang memberitahukan kepada
Kyai Jagung Garing tentang apa yang terjadi. Batu panithikan dan selendang di
kembalikan pada Kyai Jagung Garing, tetapi menolaknya. Kyai Jagung Garing
mempercayai Suraya untuk membawanya. Akhirnya, Suraya kembali kerumah.
Sudah seminggu ayahnya tertidur tanpa terbangun, Suraya membangunkan ayahnya
dengan membacakan mantra. Seketika ayahnya kaget karena melihat Suraya dan
ibunya. Istrinya memberitahukan keada Sang prajurit apa yang telah terjadi (Pupuh
XIX Megatruh - Pupuh XX Pocung)
Di negeri Garba Sonya para pengawal dan seluruh rakyatnya mencari
keberadaan Sang raja yang menghilang. Sudah lama tidak ada kabarnya hingga
akhirnya Sang patih dinobatkan menjadi raja dan menikah dengan Sang putri, Dewi
Sarimurni. Semua rakyat bersuka cita dan akhirnya negeri Garba Sonya berkembang
menjadi negeri yang besar. (Pupuh XXI Sinom)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
B. Kajian Isi
Naskah SP ini merupakan jenis naskah sastra dongeng, di dalamnya mengandung
ajaran moral seperti ajaran dalam kerumahtanggan dan keagamaan. Ajaran moral
dalam berumah tangga yang berhubungan dengan kehidupan manusia di dunia dan
ajaran keagamaan yang berhubungan dengan manusia sebagai makhluk ciptaanNya.
Ajaran dalam berumah tangga antara lain, peran istri sebagai ibu rumah tangga,
kewajiban suami sebagi kepala rumah tangga, kewajiban anak berbakti kepada kedua
orangtua, keutamaan menikah dan ajaran dalam mencari pasangan. Ajaran
keagamaan adalah, mempercayai kekuasaan Allah SWT, ajaran untuk bersedekah,
mempercayai takdir, tidak sombong, dan ajaran untuk mengingat kematian.
Ajaran dalam SP ini berupa anjuran dan larangan. Ajaran ini digambarkan
melalui perwatakan dalam tokoh-tokohnya. Seperti ajaran yang berupa anjuran untuk
berbakti kepada anaknya, yang dicontohkan Suraya dalam mencari ayahnya.ajaran
yang berupa larangan yang dicontohkan oleh Sang prajurit yang sombong dengan
kekayaannnya. Berikut ini dikemukakan lebih rinci mengenai ajaran-ajaran yang
terkandung dalam Sêrat Panithikan.
1. Ajaran Moral dalam Berumah Tangga
Rumah tangga adalah bentuk terkecil dari suatu masyarakat., yang awalnya
beranggotakan suami dan istri. Langkah awal dalam berumah tangga ditandai dengan
pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang saling mencintai. Pernikahan
dilakukan atas dasar cinta kasih dan untuk mendapatkan keturunan. Dalam berumah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
tangga masing-masing anggota keluarga mempunyai peran yang harus dilakukan agar
tercipta keharmonisan dalam berumah tangga.
1) Peran Istri sebagai Kepala Keluarga.
Istri mempunyai peran sebagai pendamping kepala keluarga dan
mendidik anak, tetapi apabila dalam rumah tangga tidak ada seorang suami
maka peran suami dapat digantikan oleh istrinya, misalnya dalam mencari
nafkah. Peran istri sebagai kepala keluarga menggantikan suaminya tersirat
dalam pupuh XV Kinanthi bait 9-10, sebagai berikut :
9. Suta ginawa bêburuh/ tanggêntang anggendhong sênik/ mring
mancapat manca lima/ mangkana kongsi sawarsi/ dènya nyaranti ing
priya/ tita têtela tan mulih//
10. Dangu-dangu dènya buruh/ mênthêl bisa simpên picis/ saking wêkêle
mring karya/ samubarang dènlakoni/ talaten kanthi narima/ winantu
pangati-ati//
Terjemahan :
9. Anak dibawa buruh, panas-panas menggendong bakul mengelilingi
desa, demikian sampai setahun. Dilakukannya menggantikan
lelakinya sudah lama tidak pulang.
10. Lama-lama bekerja buruh bisa menyimpan uang dari giatnya bekerja.
Apa saja dilakukannya dengan sabar dan menerima disertai dengan
berhati-hati.
Dari dua bait di atas dapat dijelaskan bahwa Ibunya Suraya bekerja
sebagai buruh dengan membawa Suraya mengelilingi desa agar mendapatkan
uang untuk menafkahi keluarga karena suaminya sudah lama tidak pulang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
Dari kesabaran dan giatnya bekerja Ibunya Suraya bisa mengumpulkan uang
untuk keperluannya. Hal di atas menyiratkan bahwa istri menggantikan peran
suami untuk mencari nafkah karena suaminya tidak ada.
2) Kewajiban Suami sebagai Kepala Rumah Tangga.
Dalam rumah tangga suami mempunyai peran sebagai kepala keluarga
untuk mengayomi seluruh anggota keluarga termasuk mencari nafkah untuk
seluruh anggota keluarga. Sudah menjadi kewajiban seorang suami
memikirkan dan menafkahi seluruh anggota keluarga. Dalam hukum agama,
seorang suami diperbolehkan mempunyai istri lebih dari satu asalkan bisa
berlaku adil dalam menafkahi lahir dan batin. Apabila mempunyai seorang
istri tidak bisa menafkahi lahir batin maka dianjurkan untuk tidak menikah
lagi karena dikhawatirkan akan menelantarkan istri dan anak-anaknya. Hal
itu tertuang dalam pupuh XVI Asmaradana bait 5, sebagi berikut :
5. Bapakne Suraya iki/ sanadyan rabia sasra/ wong lanang awênang
bae/ nanging lamun bisa nata/ marang wajibing krama/ balik bojo siji
amung/ kapiran nora kadriya//
Terjemahan:
5. Ayah Suraya ini, walaupun menikahi seribu kali, seorang lelaki
berkuasa tetapi jika bisa mengatur kepada kewajiban menikah, istri
satu saja kelaparan tidak dipikirkan.
Dari kutipan bait di atas dapat dijelaskan bahwa ayah Suraya (Sang
prajurit) walaupun menikah seribu kali seorang laki-laki mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
kekuasaan jika bisa mengatur rumah tangga. Kenyataannya mempunyai
seorang istri saja ditinggalkan di rumah dan menikah lagi.
Mempunyai istri lebih dari satu (poligami) dalam agama
diperbolehkan. Dengan syarat bisa berlaku adil terhadap semua istrinya.
Dalam kenyataannya tidak ada manusia yang bisa berlaku adil, sehingga
alangkah baiknya apabila mempunyai seorang istri dan bisa menafkahi lahir
batin. Sifat manusia selalu ingin menuruti hawa nafsu, karena manusia diberi
perasaan dan akal maka digunakan untuk berfikir yang terbaik.
3). Kewajiban Anak Berbakti pada Orangtua.
Kewajiban seorang anak yang tidak akan putus bahkan sampai
orangtuanya meninggal adalah mendoakan orangtuanya. Mendoakan
orangtua merupakan salah satu cara untuk berbakti kepada orangtua setelah
meninggal. Kewajiban anak kepada kedua orangtuanya selama di dunia
adalah berbakti, karena kedua orangtua yang melahirkan dan merawat
sampai dewasa sehingga sudah sepantasnya kita berbakti kepada kedua
orangtua. Apapun perbuatan orangtua kepada kita, kita wajib berbuat baik
kepada mereka meskipun harus mempertaruhkan nyawa. Salah satu cara
berbakti kepada orangtua adalah mencarinya walaupun mempertaruhkan
nyawa. Dalam naskah ini pesan tersebut tersirat pada pupuh XVI
Asmaradana bait 9, sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
9. Suraya matur wotsari/ lah inggih dhatêng sandika/ sagêda nglampahi
pangrèh/ punapa dhawuh paduka/ sayêkti linampahan/ nadyan sakit
praptèng lampus/ kawula botên suminggah//
Terjemahan :
9. Suraya berkata dengan menyembah. Patuh terhadap perintah semoga
bisa menjalani apa yang menjadi perintah beliau, dijalani meskipun
sakit sampai meninggal saya tidak akan pergi.
Dari bait di atas menyiratkan sebuah pesan bahwa keinginan Suraya
mencari ayahnya sangat kuat meskipun dia dan ibunya ditelantarkan.
Sebagai anak Suraya merasa wajib berbakti kepada orangtuanya dengan
mencari ayahnya walaupun harus mempertaruhkan nyawanya. Tingkah
laku Suraya dapat dijadikan contoh kepada kita semua bahwa apapun
perbuatan orangtua kepada anaknya, sebagai anak wajib berbakti kepada
orangtua.
4). Keutamaan Menikah.
Pernikahan sebagai tanda awal dalam menjalani kehidupan berumah
tangga. Sepasang suami istri mendapatkan kebaikan setelah menikah
dibandingkan saat mereka hidup sendiri. Manusia satu sama lain saling
membutuhkan dan melengkapi. Dalam kehidupan rumah tangga suami istri
harus bisa menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing agar saling
melengkapi. Keutamaan atau kebaikan menikah dapat dirasakan bagi mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
yang sudah menjalaninya. Pernyataan di atas tertuang dalam naskah pada
pupuh X Sinom bait 2-3, sebagai berikut :
2. Sumêdya ngupaya krama/ sampun kamanah prayogi/ kathah [22]
pakantuk ing krama/ sapisan têntrêming ati/ kaping kalih nuntuni/
jênak anèng wisma tutut/ dene kang kaping tiga/ sayêkti bisa
sumingkir/ anyingkiri mring awon pasuning karsa//
3. Lamun andarbèni garwa/ wontên ingkang anggondhèli/ tan kenging
sakarsa-karsa/ nadyan panjênêngan aji/ sayêkti darbe ering/
dhatêng garwa kangjèng ratu/ anggên gunaning garwa/ saya yèn
pinuju sakit/ garwanira kang wajib amulasara//
Terjemahan :
2. Keinginan menikah sudah terbukti baik, banyak kebaikan yang
diperoleh dari menikah. Pertama, membuat hati tentram, kedua, ada
teman membuat betah tinggal di rumah, yang ketiga bisa
menghindarkan diri dari hal yang tidak baik.
3. Apabila mempunyai istri ada yang mengikuti tidak boleh seenaknya
walaupun kamu seorang raja. Mempunyai rasa agak takut kepada
istri, seorang raja terhadap istrinya. Apabila suami sakit, istrinya
yang wajib merawat.
Dari bait-bait di atas dapat diambil ajaran tentang kebaikan menikah.
Pertama, membuat hati tentram, kedua, bisa betah tinggal dirumah dan ketiga
bisa menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak baik. Dalam rumah tangga
seorang suami tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap istrinya
meskipun seorang raja harus mempunyai rasa takut pada istrinya karena pada
saat sakit istrinya yang merawatnya. Hal tersebut mengajarkan pada kita agar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
dalam kehidupan berumah tangga saling menyayangi dan meghormati satu
sama lain agar anggota keluarga tidak ada yang berbuat sewenang-wenang
terhadap anggota keluarga lain.
5). Ajaran dalam mencari pasangan / Jodoh.
Dalam kehidupan manusia ada 4 hal yang sudah ditetapkan oleh
Tuhan, yaitu : hidup, mati, jodoh dan rizki. Salah satunya jodoh sudah
ditentukan oleh Tuhan. Sebagai manusia wajib menyakini dan berusaha
mencarinya. Dalam mencari pasangan istri atau suami harus berhati-hati agar
tidak menyesal kemudian hari. Dalam mencari pasangan selain rasa cinta
orang jawa memperhatikan bibit (keturunan), bebet (kekayaan), bobot
(kedudukan sosial). Dalam mencari pasangan harus menyesuaikan dengan
keadaan dan kemampuan diri masing-masing agar tidak menyesal kelak.
Dalam naskah ini terdapat gambaran beratnya menikah seorang anak raja
karenan tidak sederajat. Tertuang dalam pupuh X Sinom 7-9, sebagai berikut
:
7. Lah mungguh pêrlune apa/ awak ingsun rabi putri/ apan wus akèh
tuladhan/ abote wong rabi putri/ marga dudu sêsami/ tan lamak
darajatipun/ akèh prakaranira/ rèwèle maneka warni/ kang sapisan
sok ngadi-adi ing karsa//
8. Kapindho sok gêlêm ngina/ mring wong lanang dupèh cilik/ ping
têlu kudu wibawa/ ing karya mung anggêdhingkring/ yèn mangkono
wak mami/ kalêbu bêbasanipun/ nyêngka pangawak braja/ amêngku
dudu sêsami/ kang mangkono têmahane tan kapenak//
9. Luwih bêcik sun ngupaya/ rabi kang padha wong cilik/ supaya
sênêng tyasingwang/ ora kagêdhèn pamikir/ kang sarta ora kongsi/
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
dadi pocapan lènipun/ yata wusnya mangkana/ Sang prajurit èngêt
malih/ ing nalika kasmaran mring Sang kusuma//
Terjemahan :
7. Perlunya apa aku menikahi seorang putri. Sudah banyak contoh
beratnya orang menikah dengan seorang putri. Keluarga tidak sama
tidak sama derajatnya, banyak perkara, berbagai macam kesusahan,
yang pertama kadang bagus dalam keinginan.
8. Kedua kadang menghina kepada lelakinya karena orang biasa, ketiga
harus berwibawa, dalam pekerjaan hanya bermalas-malasan. Jika
demikian aku ini termasuk peribahasa memaksa diri memiliki bukan
sesama, yang demikian tdak akan baik.
9. Lebih baik berusaha menikahi orang yang sesama supaya senang
hatiku, tidak banyak pikiran, serta tidak sampai menjadi omongan
tetanga. Jika sudah demikian Sang prajurit ingat kembai ketika jatuh
cinta pada Sang putri.
Dari ketiga bait di atas dapat dijelaskan bahwa Sang prajurit merasa
berat menikahi seorang putri (anak raja). Sudah banyak contoh susahnya
menikah dengan anak raja karena tidak sederajat status sosialnya. Banyak
masalah yang timbul dari pernikahan yang tidak sama status sosialnya, antara
lain; pertama, bagus dalam setiap keinginan, kedua, kadang istri menghina
suami karena bukan dari status sosial yang sama, ketiga, dalam pekerjaan
bermalas-malasan. Lebih baik menikah dengan seseorang yang sama status
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
sosialnya agar senang dalam hati, tidak banyak pikiran, dan tidak menjadi
omongan tetangga.
2. Ajaran dalam Keagamaan.
Manusia adalah makhluk beragama, beragama merupakan hubungan
manusia dengan Allah SWT yang bersifat individu. Memeluk suatu agama
merupakan wujud manusia yang menyakini dan mempercayai Allah SWT dengan
beribadah. Dalam kehidupan di dunia manusia membutuhkan Allah SWT, karena
manusia tidak mempunyai kekuatan selain dari Allah SWT.
Allah SWT yang telah menciptakan dunia ini dengan seluruh isinya. Segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini atas kekuasaan Allah SWT. Manusia sebagai
makhluk ciptaanNya menyadari kekuasaan Allah SWT sehingga manusia wajib
menyembah Allah SWT. Berbakti kepada Allah SWT dilakukan dengan cara
menjalankan semua perintahNya dan menjauhi segala laranganNya. Semua manusia
yang hidup di dunia ini akan kembali kepada Allah SWT dan
mempertanggungjawabkan perbutannya, oleh karena itu di dunia ini digunakan untuk
beribadah kepada Allah SWT agar tidak menyesal kelak. Di bawah ini akan di
uraikan mengenai ajaran keagamaan yang terkandung dalam naskah SP.
1). Mempercayai kekuasaan Allah SWT.
Dunia dan seluruh isinya merupakan ciptaan Allah SWT yang tidak dapat
dihitung dengan ilmu apapun. Kekuasaan Allah SWT menciptakan segala
sesuatu di dunia ini agar manusia dapat bersyukur dan bertakwa kepada Allah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
SWT, karena sesungguhnya manusia tidak mempunyai kekuatan apapun di
hadapan-Nya.. Allah SWT yang berkuasa atas hambaNya, tidak akan terjadi
pada diri manusia bila Allah SWT tidak menghendakinya, sepperti jodoh, rezeki,
hidup, mati, kaya dan miskin. Kita sebagai makhluk yang diberi kesempurnaan
wajib bersyukur atas segala sesuatu.Semua yang dimiliki di dunia ini tidak ada
artinya ketika manusia mati, karena manusia mati hanya membawa amal baik
selama di dunia.. Dalam naskah ini terdapat ajaran untuk mempercayai
kekuasaan Allah SWT pada pupuh IV Sinom bait 23, yaitu :
2. Ora langgêng ananira/ mung ngèngêti sugih picis/ ciptaning driya
mangkana/ bênêr Gusti Allah iki/ sipat rahman lan rahkim/ sih murah
myang dasihipun/ yèn paring kasugihan/ marang dasihe kang miskin/
sayêktine ora kêkurangan marga//
Terjemahan :
2. Tidak selamanya adanya hanya mengingat kaya uang, gagasan hati
demikian. Benar Allah SWT ini mempunyai sifat Pengasih dan
Penyayang yang memberi kemurahan kepada hamba-Nya. Jika memberi
kekayaan kepada hamba-Nya yang miskin sebenarnya tidak kekurangan
jalan.
Dari bait di atas menekankan kepada manusia sebagai hamba-Nya
untuk mempercayai kekuasaan Allah atas segala sesuatu. Manusia jangan
hanya mengunggulkan kekayaan di dunia karena sesungguhnya menjadikan
seseorang yang miskin menjadi kaya Allah SWT tidak kekurangan jalan dan
sebaliknya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
2). Ajaran untuk Bersedekah.
Dalam kehidupan beragama manusia sebagai makhluk sosial
mempunyai kewajiban untuk bersedekah (berbagi) dengan sesama yang
kekurangan. Bersedekah merupakan salah satu cara membersihkan harta.
Bersedekah selain berhubungan dengan sesama juga bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan beramal baik kepada sesama
yang membutuhkan. Ajaran bersedekah terdapat dalam pupuh VIII Megatruh
bait 9-10 dan pupuh XXI Sinom bait 4, sebagai berikut :
9. Linampahan wêwarahe para sêpuh/ dêdana myang pêkir miskin/
myang wèwèh pra mitranipun/ ing sabên Jumungah ari/ sidêkahira
tan angop//
10. Sami pinèt ing puji pandonganipun/ kang supaya anyawabi/ ing luluse
sêdyanipun/ dènya ngangkah mring Sang putri/ aywana sawiyos-
wiyos//
Terjemahan :
9. Dijalani nasihat orang-orang tua,untuk keutamaan fakir miskin serta
memberi teman-teman di setiap hari Jum’at, bersedekahlah tidak
berhenti.
10. Dengan dimintai dalam doanya supaya mempengaruhi dalam
terkabulnya keinginan. Olehnya menginginkan Sang putri. janganlah
seenak-enaknya.
Pupuh XXI Sinom bait 4 :
3. Aywa nyalèwèng ing lampah/ mungguh pêrluning ngaurip/ wiwit gêsang
praptèng laya/ manggih asuka basuki/ tarlèn mung budi adi/ ingkang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
nênarik rahayu/ mungguh ayuning driya/ padha manduma rijêki/ mring
sêsama kang samya kurang binoga//
Terjemahan :
4. Jangan menyelewengdalam menjalani perlunya hidup. Dari lahir
sampai mati bertemu kesenangan keberuntungan. Tidak lain hanya
budi baik yang dapat menarik keberuntungan, pantas bagusnya hati
berbagilah rejeki kepada sesama yang kurang makanan.
Dari ketiga bait di atas dapat dipetik ajaran untuk bersedekah kepada fakir
miskin pada hari jum’at agar doanya terkabul. Dalam menjalani kehidupan
jangan menyeleweng karena dalam hidup tingkah laku yang baik yang dapat
mendatangkan keberuntungan, maka sebaiknya berbagilah kepada sesama
yang kekurangan.
3). Ajaran utuk Menyakini Takdir.
Manusia lahir ke dunia membawa takdirnya masing-masing yang
sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta. Manusia lahir di dunia ini hanya
menjalani takdir yang sudah ditetapkan oleh allah SWT tetapi tidak ada
seorangpun yang mengetahui takdirnya. Hidup, mati, jodoh dan rezeki semua
sudah diatur oleh Allah SWT, manusia hanya menjalani dan berusaha tapi
tidak bisa merubah takdir. Dalam naskah ini juga mengajarkan tentang takdir
manusia yang sudah ditetapkan sebelum manusia dilahirkan ke dunia, pada
pupuh VIII Dhandhanggula bait 6, pupuh XIV Pangkur bait 15 dan pupuh
XXI Sinom bait 17-18, sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
a. Pupuh VIII Dhandhanggula bait 6
6. Dènya nandhang prihatin ing batin/ sru nalangsa munggèng jro
kunjara/ èngêting guru wulange/ bêgja cilaka iku/ wus pinasthi
dening Hyang Widi/ sakèhing makluking Hyang/ kang urip sadarum/
wus pinanci pancènira/ sadurunge manusa lair nèng bumi/
pêpêsthèn wus tumiba//
Terjemahan:
6. Merasa sengsara dihatinya, semakin sengsara ada di dalam penjara.
Teringat ajaran gurunya, beruntung celaka itu sudah pasti atas Allah
SWT semua makhluk-Nya. Yang hidup semua sudah dipastikan
sebelum manusia lahir di dunia ini, takdir sudah dituliskan.
b. Pupuh XIV Pangkur bait 15
15. Tan ana ingkang kacuwan/ Sang pangantèn lulut dènya mangun sih/
Sang rêtna sajroning kalbu/ narimah panduming Hyang/ dènya
krama tan sami bangsaning luhur/ mung bangsa alit kewala/ kanthi
linabuhan pati//
Terjemahan :
15. Tidak ada yang kecewa sang pengantin saling menyayangi dengan
cinta kasih. Sang putri dalam hatinya menerima takdir Allah SWT
menikah tidak sama derajatnya, hanya dengan orang kecil sampai
mati.
c. Pupuh XXI Sinom bait 17-18
17. Dene kang jumênêng mangkya/ dados sasorining puri/ kinarya
jimat pusaka/ mring kang lagya madêg aji/ kang ibu anyondhongi/
Sang dyah tan suwalèng kayun/ putra sinung wanita/ ing ibu Sang
Pramèswari/ rèh punika winaton patang prakara//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
18. Kang sapisan gathukira/ wong palakrama ping kalih/ pêcating
nyawa ping tiga/ laire kang jabang bayi/ ping pat tibaning warih/
udan tumurun sing luhur/ iku kabeh tan kêna/ binudi dening
sujalmi/ sajatine atas karsaning Pangeran//
Terjemahan :
17. Yang berkuasa saat itu menjadi raja di istana dengan jimat pusaka.
Kepada yang menjadi raja, ibunya merestui. Sang putri tidak
memiliki keinginan untuk mempunyai anak perempuan dari istri
raja. Perkara itu ditentukan oleh 4 hal.
18. Pertama bertemunya jodoh (orang menikah), kedua berpisahnya
nyawa, ketiga lahirnya seorang bayi keempat lahirnya keturunan
yang baik. Itu semua tidak bisa dibuat oleh seseorang, semua
atas kehendak Tuhan.
Dalam teks SP pupuh XXI Sinom bait 17 dan 18 disebutkan 4 hal yang
terjadi atas kehendak Tuhan. Empat hal diatas yaitu, jodoh, kematian,
kelahiran dan keturunan yang baik. Dari keempat hal tersebut yang ada satu
hal yang bisa dibuat manusia, yaitu keturunan yang baik. Baik atau buruk
keturunan seseorang tidak menjadi takdir Allah SWT melainkan terjadi karena
pendidikan dalam keluarga dan lingkungan. Lebih tepat apabila satu hal itu
adalah rizki, rizki seseorang sudah ditentukan oleh Allah SWT, manusia
hanya bisa mengusahakannya.
Dari bait bait dapat disimpulkan bahwa manusia sebagai makhluk
ciptaan-Nya hanya menjalani takdir yang sudah ditetapkan dan menerima
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
dengan sabar walalupun tidak sesuai dengan keinginan manusia. Takdir yang
sudah ditetapkan manusia merupakan hal terbaik yang Allah SWT berikan
kepada hamba-Nya, sehingga sebagai manusia tidak perlu sedih menjalaninya.
Semua itu tidak bisa dibuat oleh manusia.
4). Ajaran untuk Tidak Sombong
Manusia di dunia ini sebagai makhluk ciptaan-Nya tidak memiliki
kekuataan apapun di hadapan-Nya. Semua yang dimiliki manusia hanyalah
titipan. Ketika ajal menjemput tidak ada yang dibawa manusia kecuali amal baik.
Manusia hanya bisa berusaha untuk memperolehnya tetapi jika Allah SWT tidak
menghendaki maka semua akan hilang begitu saja. Maka tidak sepantasnya
,manusia di dunia menyombongkan diri dengan apa yang dimilikinya. Gambaran
tersebut terdapat dalam naskah pada pupuh IV Sinom bait 1 dan pupuh XII Mijil
bait 24-26, sebagai berikut :
a. Pupuh IV Sinom bait 1
1. Kang padha dadi tuladhan/ pan wus kanyatan sami/ yèn wong ambêk
sumakèhan/ asring nêmahi bilahi/ saking tingkah pribadi/ kang
kaladuk tindakipun/ ladak angidak-idak/ marang sêsamining jalmi/
datan èngêt dhatêng apêsing kawula//
Terjemahan :
1. Menjadi contoh kita semua, sudah terjadi. Jika orang memiliki watak
sombong, sering menemui celaka dari tingkah lakunya sendiri.
Tingkahya angkuh menginjak-injak terhadap sesama, tidak ingat
kepada kesusahannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
b. Pupuh XII Mijil bait 24-26
24. Apa dene kabèh wis mangêrti/ lamun awakingong/ sugih dhuwit
balaba awèwèh/ jêbul dadak nyalèwèng ing kapti/ ngarah rabi putri/
wêkasan kasluru//
25. Tumiba ing cilaka wak mami/ dadi raganingong/ kêna yèn
kaparibasakake/ cebol pêksa anggayuh kang langit/ tan rumasa
mami/ maune wak ingsun//
26. Luwih mlarat tanpa ika iki/ mung manggung rêkaos/ barêng sinung
kamurahan mangke/ dening Allah kang mur-[29]bèng dumadi/ dadak
salin kapti/ andhandhang kumlungkung//
Terjemahan:
24. Semua sudah mengerti jika aku ini kaya uang, semua teman diberi
ternyata menyeleweng keinginan menginginkan menikahi putri
akhirnya kecewa.
25. Saatnya celaka aku ini dadi orang bisa diumpamakan cebol memaksa
mendapatkan langit tidak merasa aku ini dahulu aku
26. Lebih miskin tidak punya apa-apa hanya menanggung susah. Setelah
diberi kemurahan Allah yang menguasai segalanya, berganti keinginan
menjadi sombong.
Dari bait-bait di atas dapat dijelaskan bahwa orang yang mempunyai
watak sombong sering menemui celaka dari perbuatannya sendiri dan
menginjak-injak harga diri sesamanya. Sang prajurit ketika kaya memberikan
uang kepada teman-temannya dan memiliki keinginan untuk menikahi Sang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
putri. Dahulu Sang prajurit hanyalah orang miskin yang tidak mempunyai apa-
apa, tetapi setelah diberi kemurahan harta berganti menjadi orang sombong.
Banyak orang yang mempunyai kekayaan dan kedudukan yang tinggi
lupa akan Allah SWT. Mereka lupa bahwa apa yang didapat di dunia ini tidak
lain karena kekuasaan Allah SWT, sehingga mereka di dunia berlaku sombong
dan tidak menghargai terhadap sesama. Sesungguhnya apabila Allah SWT
menghendaki sesuatu atas hamba-Nya tidak kekurangan jalan. Kekayaan dan
kedudukan akan diambil apabila seseorang menyalahgunakannya, tetapi apabila
manusia bersyukur Allah SWT akan menambah nikmatnya.
5). Ajaran untuk mengingat kematian.
Semua yang hidup di dunia ini pasti akan mati. Semua makhluk hidup
akan kembali kepada Sang pencipta. Kematian tidak memandang umur dan
status sosial. Kematian sudah digariskan oleh Allah SWT pada setiap orang
dengan jalannya masing-masing. Untuk itu manusia harus selalu ingat dengan
kematian agar hidupnya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi diri
sendiri dan orang lain. Dalam naskah ini terdapat ajaran agar dalam hidup
mengingat kematian pada pupuh XVI Asmaradana bait 18, sebagai berikut :
18. Prajurit kang madêg aji/ kalimput ing kawibawan/ dupèh wus dadi
Pamase/ tur rabi putrining nata/ sangêt datan rumasa/ yèn ing donya ana
lampus/ Sang patih tur pariwara//
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
Terjemahan:
18. Prajurit yang menjadi raja. Tertutupi oleh kewibawaan karena sudah
menjadi terhormat apalagi menikahi putri raja, sangat tidak merasa jika di
dunia ini ada kematian Sang patih memberitahukan.
Sang prajurit yang menjadi raja menjadi tertutup hatinya apalagi sudah
menikah dengan Sang putri. Tingkah lakunya seakan-akan di dunia ini tidak
akan mati. Dapat diambil ajaran bahwa manusia hidup di dunia ini walaupun
kaya dan terhormat, tetapi tidak boleh melupakan kewajibannya terhadap Tuhan
dan berbagi kepada sesama, karena manusia hidup di dunia ini hanya sementara.
Kehidupan di dunia ini dijadikan bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.
Ajaran moral di atas masih relevan dan berguna bagi masyarakat sekarang,
baik dalam ajaran berumah tangga dan ajaran dalam keagamaan sebagai
makhluk ciptaan Tuhan. Manusia sekarang sering mengabaikan ajaran moral
dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi sehingga contoh-contoh di atas
dapat berperan untuk menjadikan manusia agar berakhlak dan berbudi pekerti
luhur, baik dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user 139
BAB V
PENUTUP
Pada akhir penulisan ini dapat ditarik kesimpulan berdasarkan pembahasan
yang telah dilakukan pada bab sebelumnya. Dalam penelitian ini diperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
A. KESIMPULAN
1. Naskah SP merupakan koleksi Perpustakaan Museum Negeri Sanabudaya
Yogyakarta dengan nomor katalog MSB/L236, kode koleksi perpustakaan
PB.A 123 dan kode microfilm Rol.91 No.3 merupakan naskah tunggal,
sehingga peneliti dalam menyunting teks menggunakan metode edisi standar.
Dalam naskah SP dikerjakan melalui cara kerja filologi mulai dari deskripsi
naskah, transliterasi, kritik teks, aparat kritik ditemukan varian-varian yaitu,
lacuna sebanyak 20 kata, adisi sebanyak 4 kata, dan hiperkorek sebanyak 24
kata. Pembenaran varian-varian tersebut berpedoman pada kesesuaian konteks
kalimat secara linguistik dan konvensi tembang. Sehingga suntingan teks SP
dalam penelitian ini merupakan teks yang bersih dari kesalahan dan dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2. Sêrat Panithikan adalah jenis Sêrat Sastra Dongeng. Dalam kajian isi naskah
SP diperoleh ajaran moral dalam rumah tangga dan ajaran dalam keagamaan.
Ajaran moral dalam berumah tangga antara lain peran istri sebagai kepala
keluarga, kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga, kewajiban
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
anak berbakti kepada orang tua, keutamaan menikah, dan ajaran untuk
mencari pasangan. Ajaran dalam keagamaan antara lain, ajaran untuk :
mempercayai kekuasaan Allah SWT, bersedekah, meyakini takdir, tidak
sombong, serta ajaran untuk mengingat kematian.
B. SARAN
Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Penelitian terhadap SP ini terbatas pada kajian filologis dan kajian isi
mengenai ajaran moral dalam berumah tangga dan dalam keagamaan.
Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut dari sudut pandang
ilmu lain, misalnya linguistik, sastra, stilistika (gaya bahasa), tekstologi
(sejarah teks), maupun sosiologi. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan
bentuk penelitian yang lebih lengkap, utuh dan mendalam.
2. Naskah SP sebagai salah satu karya sastra yang di dalamnya mengandung
nilai-nilai luhur budaya masih memerlukan penanganan. Oleh karena itu,
merupakan kewajiban bagi para filolog untuk ikut menyelamatkan,
melestarikan, meneliti, mendayagunakan dan menyebarluaskan, sehingga
dapat dijadikan tambahan wawasan dan pengembangan ilmu pengetahuan
yang berguna bagi masyarakat luas.
top related