representasi nilai siri dalam novel tenggelamnya kapal van
Post on 26-Oct-2021
13 Views
Preview:
TRANSCRIPT
REPRESENTASI NILAI SIRI DALAM NOVEL TENGGELAMNYA
KAPAL VAN DER WIJCK KARYA BUYA HAMKA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Oleh
Hasni Dg. Parani
10533774214
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEPTEMBER 2018
MOTO DAN PERSEMBAHAN
Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal,
Tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh (Confusius)
Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan,
Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan
(QS. Al-Insyirah 94: 5-6)
Kupersembahkan skripsi ini untuk:
Bapak dan Ibu yang telah melahirkan, merawat, dan membesarkanku,
Saudara-saudaraku yang selalu memahami setiap keadaanku,
Sahabatku yang senantiasa ada di saat kubutuhkan,
Terima kasih untuk semua keikhlasan dan doanya dalam mendukung penulis
mewujudkan harapan menjadi kenyataan.
ABSTRAK
Hasni Dg. Parani. 2018. Representasi Nilai Siri dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck Karya Buya Hamka. Skripsi. Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing
I Tarman A. Arief dan Pembimbing II Sakaria.
Masalah utama dalam penelitian ini yaitu bagaimanakah Representasi Nilai Siri dalam
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Buya Hamka. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui Representasi Nilai Siri dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Karya Buya Hamka.
Jenis penelitian ini adalah jenis kajian pustaka dengan menggunakan metode
deskriptif kualitatif. Prosedur penelitian meliputi tahap penyediaan data, tahap analisis data,
dan tahap penyajian data. Subjek dalam penelitian ini adalah nilai siri yang terdapat dalam
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dengan menggunakan teori semiotika Pierce
yang membagi tanda ke dalam tiga bentuk yaitu simbol, ikon, dan indeks.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck terdapat nilai siri yang telah dikaji menurut teori Pierce yang membagi tanda menjadi
tiga bentuk yaitu simbol, ikon, dan indeks.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat nilai
siri dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang telah dikaji ke dalam tiga tanda
semiotika Pierce yaitu simbol, ikon, dan indeks.
Kata kunci: nilai siri, novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu. Salawat dan
salam senantiasa tercurah kepada baginda Rasulullah saw. yang mengantarkan manusia dari
alam kegelapan menuju alam yang terang benderang ini. Penyusunan skripsi ini,
dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar sarjana pendidikan
pada Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Kuguruan dan Ilmu
Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Setiap orang dalam berkarya selalu mencari kesempurnaan, tetapi terkadang
kesempurnaan itu terasa jauh dari kehidupan seseorang. Kesempurnaan bagaikan
fatamorgana yang semakin dikejar semakin menghilang dari pandangan, bagai pelangi yang
terlihat indah dari kejauhan, tetapi menghilang jika didekati. Demikian juga tulisan ini,
kehendak hati ingin mencari kesempurnaan, tetapi kapasitas penulis dalam keterbatasan.
Segala daya dan upaya telah penulis kerahkan untuk membuat tulisan ini selesai dengan baik
dan bermanfaat dalam dunia pendidikan, khususnya dalam ruang lingkup Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar.
Motivasi dari berbagi pihak sangat membantu dalam perampungan tulisan ini. Segala
hormat, penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua Ramli Dg. Parani dan
Jumiati yang telah berjuang, berdoa, mengasuh, dan membesarkan, mendidik, dan membiayai
penulis dalam proses pencarian ilmu. Demikian pula penulis mengucapkan terima kasih
kepada saudara tercinta, Arlin Dg. Parani, Suarni Dg. Parani, Alwi Dg. Parani, dan Armin
Dg. Parani atas segala dukungan dan wejangan-wejangannya, kepada tante dan om tersayang
Roslinan Dg. Mallira dan Muhammad Yakub, S.Pd. yang selalu memberi nasihat-nasihat dan
tempat pulang ternyaman saat jauh dari orang tua selama menempuh pendidikan, serta para
keluarga yang tak hentinya memberikan motivasi.
Kepada Dr. Tarman, M.Pd., dan Dr. Sakaria, S.S., S.Pd., M.Pd., pembimbing I dan
pembimbing II, yang telah memberikan bimbingan, arahan serta motivasi sejak awal
penyusunan proposal hingga selesainya skripsi ini. Tidak lupa pula penulis mengucapkan
terima kasih kepada Dr. H. Abd. Rahman Rahim, S.E,. M.M., Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar,
Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph.D., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar, Dr. Munira M.Pd., Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, dan Dr. Muhammad Akhir, M.Pd., Sekertaris Jurusan Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia, serta seluruh dosen dan para staf dalam lingkungan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Makassar yang telah membekali penulis
dengan serangkaian ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat bagi penulis.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis ucapkan kepada sahabat-
sahabat tercinta, Saidatul Afifah, Sukmawansari, Wasliah, Sri Rahmayani Suherman, Ina
Rista, Sahriana S, Rini Angraini, Eka Julia Pratiwi, Yusmania, dan Isma Indah yang selalu
ada saat suka maupun duka.
Terima kasih kepada teman terbaik sekaligus saudara tak sedarah, Anwar Muharram,
Muhammad Yunus, Suardi Mustafa, Edianto, dan Wandi Candra yang selalu ada saat penulis
membutuhkan bantuan, dan terkhusus teman-teman kelas E 2014 untuk segala kebersamaan,
motivasi, saran, dan bantuannya yang telah memberikan kenangan indah dalam hidup
penulis., serta semua teman-teman dan semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan
namanya satu-persatu, terima kasih atas segala bantuannya.
Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, penulis senantiasa mengharapkan kritikan
dan saran dari berbagai pihak, selama saran dan kritikan tersebut sifatnya membangun karena
penulis yakin bahwa suatu persoalan tidak akan berarti sama sekali tanpa adanya kritikan.
Mudah-mudahan dapat memberi manfaat bagi para pembaca, terutama bagi diri pribadi
penulis. Aamiin.
Makassar, September 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iii
SURAT PERNYATAAN ..................................................................................... iv
SURAT PERJANJIAN ......................................................................................... v
MOTO DAN PERSEMBAHAN .......................................................................... vii
ABSTRAK ............................................................................................................ viii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... ix
DAFTAR ISI ......................................................................................................... xii
DARTAR TABEL ................................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 6
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 6
E. Definisi Istilah ........................................................................................... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ................................................................................ 9
A. Kajian Pustaka .......................................................................................... 9
1. Penelitian yang Relevan ...................................................................... 9
2. Sastra ................................................................................................... 12
3. Karya Sastra ........................................................................................ 17
4. Novel ................................................................................................... 30
5. Siri ....................................................................................................... 31
6. Semiotika ............................................................................................ 46
B. Kerangka Pikir .......................................................................................... 53
BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 55
A. Rancangan Penelitian ................................................................................ 55
B. Data dan Sumber Data .............................................................................. 55
C. Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 56
D. Teknik Analisis Data................................................................................. 57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 59
A. Hasil Penelitian ......................................................................................... 59
B. Pembahasan............................................................................................... 72
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 74
A. Simpulan ................................................................................................... 74
B. Saran ......................................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 76
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1 Bagan Trikotomi Pierce (hubungan tanda dengan objeknya) ........... 51
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Hubungan Tanda, Objek, dan Interpretan Pierce ............................. 50
2.2. Model kategori Tanda oleh Pierce ................................................... 51
2.3. Bagan Kerangka Pikir ...................................................................... 54
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1. Sinopsis Novel ...................................................................................... 85
2. Biografi Buya Hamka ........................................................................... 86
3. Korpus Data .......................................................................................... 94
4. Biodata Validator .................................................................................. 105
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sastra berasal kata sas (sansekerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk,
dan intruksi, akhiran tra berarti alat atau sarana (Teew dalam Ratna, 2005: 4). Alat yang
dijadikan cermin masyarakat untuk memberi petunjuk dan menggambarkan kehidupan
masyarakat, namun juga merupakan cermin balik bagi masyarakat untuk subjek kolektif.
Wellek dan Austin (1990: 109) menyatakan bahwa sastra menyajikan kehidupan dan
kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra juga meniru
alam dan dunia subjektif manusia.
Karya sastra adalah ciptaan yang disampaikan dengan komunikatif tentang maksud
penulis untuk tujuan estetika. Hal ini sejalan dengan Ratna (2000: 14), bahwa pengarang
berusaha menggambarkan peristiwa yang dialami masyarakat pada kehidupan sehari-hari.
Karya sastra menjadi wadah yang juga tidak terlepas dari rekaman peristiwa-peristiwa
kebudayaan di dalam hidup manusia, yakni pada hakikatnya sastra dan kebudayaan itu
sendiri memiliki objek yang sama, yaitu manusia (masyarakat), manusia sebagai fakta sosial,
dan masnusia sebagai makhluk kultural.
Melalui karya sastra pembaca dapat memperoleh hiburan dan kesenangan. Jika hanya
mencari kesenangan maka pembaca tersebut bukanlah pembaca yang baik. Dalam membaca
sastra kita hendaknya menikmati jalannya cerita, pelukisan watak, mempertimbangkan,
mencari kebenaran yang ada di dalamnya dan juga ikut aktif mencari makna yang ada. Maka
pembaca memperoleh kekayaan rohani yang dapat memperkuat jiwanya. Jiwa akan kuat jika
diisi dengan kekayaan rohani yakni salah satunya diperoleh melalui karya sastra. Horace
mengatakan bahwa seni selayaknyalah bersifat dulce et utile, artinya menyenangkan dan
1
berguna, seni sastra menyenangkan karena bersifat seimbang (harmonis), berirama, kata-
katanya menarik hati, mengharukan, mengandung konflik, dan sebagainya. Berguna
disebabkan karena seni sastra itu memancarkan pengalaman yang tinggi dan hebat, sehingga
penikmat akan mendapatkan manfaat serta pengalaman jiwa yang dikemukakan sastrawan itu
(dalam Pradopo, 1994: 47).
Salah satu karya sastra yang sangat digemari oleh pembaca saat ini adalah novel.
Novel merupakan suatu bentuk karya sastra yang berbentuk prosa yang memiliki unsur
intrinsik dan ekstrinsik. Kata novel berasal dari bahasa Italia yaitu novella yang berarti
sebuah kisah atau cerita. Sebuah novel biasanya menceritakan atau menggambarkan tentang
kehidupan manusia yang berinteraksi dengan lingkungan dan juga sesamanya.
Dikutip dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia Edisi V (2016), bahwa novel adalah karangan prosa yang panjang yang
mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang di sekelilingnya dengan
menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku. Oleh karena itu, novel dapat berpengaruh
terhadap perkembangan karakter pembacanya, khususnya para remaja, baik dari segi bahasa
maupun peran pelaku yang terdapat dalam novel.
Seperti diketahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudi luhur tinggi,
ramah, santun, dan bersahaja. Namun, kini julukan itu perlahan-lahan mulai hilang terkikis
oleh budaya-budaya luar yang masuk dan berkembang di Indonesia. Dulu, Indonesia dikenal
dengan bangsa yang menjunjung tinggi tata krama dalam pergaulan. Penduduk yang penuh
etika sopan santun, yang mengedepankan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri.
Namun, seiring dengan perkembang zaman dan teknologi informasi yang semakin
pesat, tak bisa dipungkiri ikut berpengaruh pada perilaku masyarakat, khusunya para remaja
yang notabene lebih banyak menggunakan teknologi. Bukan itu saja, remaja saat ini sangat
minim dengan sopan santun, baik kepada yang lebih tua maupun sebayanya.
Merosotnya moral bangsa ini kembali lagi kepada diri masing-masing. Memang tidak
semua masyarakat Indonesia tidak bermoral, namun perlu diketahui bahwa hal tersebut
membawa dampak negatif jika tidak ada perbaikan.
Ada beberapa daerah di Indonesia yang masih menjunjung tinggi harkat dan martabat,
baik dalam dirinya sendiri maupun dalam keluarga dan masyarakat luas. Tepatnya di
masyarakat Bugis, masih memelihara budaya siri. Siri adalah harga diri atau martabat
tertinggi yang ada dalam diri seorang manusia Bugis. Tanpa siri berarti tanpa harga diri.
Manusia tanpa harga diri berarti manusia tak ada bedanya dengan binatang. Harga diri
adalah kekayaan batin makhluk Allah swt.
Siri merupakan campuran dari pikiran, perasaan dan nilai-nilai budaya serta nilai-nilai
agama yang disebut kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Makna siri dapat dilihat
dari tiga jenis yang berbeda, yaitu: Masiri-siri yaitu siri yang dapat menimbulkan perasaan
malu-malu. Siri-ripakkasiri yaitu siri yang dapat menimbulkan perasaan malu yang menuntut
perlakuan adil karena seseorang telah menghina atau memperlakukannya di luar batas
kemanusiaan. Siri-Masiri yaitu siri yang dapat menimbulkan perasaan malu yang
mengandung makna mempertahankan, meningkatkan atau mencapai prestasi yang harus
dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi tegaknya siri orang itu sendiri,
keluarga dan kelompoknya.
Arti siri yang dikemukakan itu, pada dasarnya mengandung unsur yang penting, yaitu
harga diri dan martabat, karena bagi masyarakt Bugis, hidup tanpa harga diri dan martabat
diri berarti hidup tanpa arti. Artinya, siri itu adalah hidup matinya masyarakat Bugis, yang
merupakan inti pandangan hidup masyarakat Bugis.
Nilai siri yang disampaikan kepada pembaca melalui karya fiksi tentunya sangat
berguna dan bermanfaat. Demikian juga nilai siri yang terdapat dalam novel Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka akan bermanfaat bagi pembaca khususnya
masyarakat Sulawesi Selatan. Nilai siri yang ditampilkan dalam novel ini berkaitan dengan
ketaataan pada aturan yang berlaku dalam masyarakat. Misalnya, seorang laki-laki yang lebih
mengedepankan kepentingan orang lain daripada dirinya sendiri. Novel ini menampilkan
persolan hidup tentang siri-masiri, yaitu siri yang dapat menimbulkan perasaan malu yang
mengandung makna mempertahankan, meningkatkan atau mencapai prestasi yang harus
dilakukan dengan sekuat tenaga dan segala jerih payah demi tegaknya siri orang itu sendiri,
keluarga dan kelompoknya.
Oleh karena itu, sebuah karya sastra apabila telah sampai kepada pembacanya maka
sang penulis atau pengarang tidak memiliki hak atas karyanya sendiri. Hak yang dimaksud
dalam hal ini adalah, hak membela, menyatakan baik atau menutupi buruknya karya yang ia
buat dari komentar pembaca, baik itu komentar yang positif atau yang negatif. Hal ini pun
terjadi pada Buya Hamka dalam novelnya yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck yang telah mencuri perhatian para kritikus dan dianggap memberikan warna baru
dalam sastra Indonesia. Selain mendapatkan komentar yang baik dari para pembacanya,
novel ini juga mendapatkan respon negatif dari sebagian pembacanya maupun dari beberapa
sastrawan lainnya.
Komentar yang baik dan buruk yang mengiringi novel Buya Hamka telah menarik
perhatian penulis untuk menjadikan novel ini sebagai objek dalam penelitian yang penulis
lakukan, yang berkaitan dengan Representasi Nilai Siri dalam Novel Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck karya Buya Hamka.
Selain karena bahasanya yang menarik, novel ini juga merupakan novel yang
disenangi di semua kalangan, baik remaja maupun dewasa. Olehnya itu, penulis menjadikan
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka ini sebagai objek kajian
dalam penelitian.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini
adalah; Bagaimanakah representasi nilai siri dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck karya Buya Hamka?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan tersebut, maka tujuan penelitian
ini adalah untuk mendeskripsikan representasi nilai siri dalam novel Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck karya Buya Hamka.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis
a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tinjauan untuk
memahami representasi nilai siri dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
karya Buya Hamka.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran terhadap
perkembangan karya sastra, terutama karya sastra yang banyak mengandung nilai siri.
2. Manfaat Praktis
a. Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberi pengetahuan bagi pembaca,
bahwa beberapa buku tidak hanya dijadikan bahan bacaan semata tetapi juga memberi
makna akan pentinganya mengetahui sebuah budaya, dalam hal ini melalui novel
yang disuguhkan oleh pengarang kepada pembacanya.
b. Bagi peneliti:
1) Penelitian ini seabagai sarana untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam
penerapan teor-teori yang sudah diperoleh di bangku kuliah.
2) Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bagi penelitian
selanjutnya yang berkaitan dengan analisis nilai siri dalam novel.
E. Definisi Istilah
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami judul penelitian, maka peneliti sangat
perlu untuk menjelaskan terlebih dahulu yang dimaksud dengan judul penelitian
“Representasi Nilai Siri dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Buya
Hamka”. Adapun definisi istilah dari judul tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Representasi: proses pemaknaan kembali sebuah objek/ fenomena/ realitas yang
maknanya bergantung terhadap cara seseorang mengungkapkannya melalui bahasa.
2. Nilai: kualitas ketentuan yang bermakna bagi kehidupan manusia baik perorangan,
masyarakat, bangsa, dan Negara.
3. Siri: sistem nilai sosiokultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan harga diri
dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dalam masyarakat
Bugis.
4. Novel: karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian kehidupan seseorang
dengan orang lain di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian yang Relevan
Sebuah penelitian agar mempunyai orisnilitas perlu adanya penelitian yang
relevan. Penelitian yang relevan berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang
penelitian dan analisis sebelumnya yang telah dilakukan. Penelitian yang membahas
mengenai nilai siri dalam sebuah karya sastra sebelumnya sudah pernah diteliti oleh
beberapa peneliti. Peneliti yang mengkaji masalah nilai siri di antaranya adalah Isma
Ariyani dan Sri Yusnidar. Isma Ariyani mengkaji nilai siri pada novel karya Buka Hamka
dengan judul Representasi Nilai Siri pada Sosok Zainuddin menggunkan analisis Framing
Novel, sedangkan penelitian nilai siri selanjutnya yaitu oleh Sri Yusnidar dengan kajian
Representasi Nilai Budaya Siri dalam Film Televisi Nasional menggunakan Analisis
Semiotik Pierce Film “Badik Titipan Ayah”. Kedua penelitian tersebut akan dijelaskan
sebagai berikut.
Pertama, penelitian yang relevan pernah dilakukan oleh Isma Ariyani. Isma
Ariyani adalah mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin pada tahun 2014. Penelitiannya Berjudul
Representasi Nilai Siri pada Sosok Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck (Ananalisi Framing Novel). Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi
sastra, dengan fokus penelitian nilai siri yang ada pada sosok Zainuddin dalam Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Adapun nilai siri yang dibahas dalam penelitian ini
yaitu membahas nilai siri berdasarkan analisis Framing Novel dengan menggunakan
model Gamson dan Modigliani, yakni model yang mendasarkan pada pendekatan
9
konstruksionis yang melihat representasi media berupa realitas sosial, yang terdiri atas
sejumlah kemasan yang mengandung makna tertentu. Perbedaan dengan penelitian yang
peneliti laksanakan terletak pada model yang digunakan, yaitu Isma Ariyani
momfokuskan pada satu tokoh dengan menggunakan model Gamson sedangkan peneliti
memfokuskan pada semua tokoh dengan menggunakan model Pierce.
Kedua, penelitian mengenai nilai siri juga pernah dilakukan oleh Sri Yusnidar. Sri
Yusnidar adalah mahasiswa Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan
Komunikasi, Universitas UIN Alauddin Makassar pada tahun 2017. Penelitian ini
berjudul Representasi Nilai Budaya Siri dalam Film Televisi Nasional (Analisis Semiotik
Pierce Film “Badik Titipan Ayah). Sama halnya dengan penelitian sebelumnya, penelitian
ini menggunakan pendekatan sosiologi sastra, dengan fokus penelitian nilai budaya siri
dalam film dengan menggunakan model Pierce yang terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu
simbol, ikon, dan indeks. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian sekarang
yaitu terletak pada objek kajiannya, yaitu Sri Yusnidar mengkaji nilai budaya siri dalam
film sedangkan peneliti sendiri mengkaji nilai siri dalam novel.
Ketiga, penelitian mengenai nilai siri juga pernah dilkaukan oleh Sumbang
Parmadi. Sumbang Parmadi adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah
Makssar pada tahun 2016. Penelitiannya berjudul Analisis Nilai Siri pada Tokoh
Zainuddin dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka. Sama
halnya dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi
sastra, dengan fokus penelitian nilai siri dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck Karya Buya Hamka dengan menggunakan model Pierce yang membagi tanda ke
dalam tiga bentuk, yaitu simbol, ikon, dan indeks. Adapaun perbedaan penelitian ini
dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada objeknya, yaitu Sumbang Parmadi
mengkaji nilai siri hanya pada sosok Zainddun sedangkan peneliti sendiri mengkaji nilai
siri secara keseluruhan.
Berdasarkan uraian tentang penelitian yang relevan di atas, terdapat persamaan
dalam penelitian ini. Persamaan salah satunya yaitu membahas mengenai nilai siri dengan
menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Perbedaan dari penelitian yang peneliti teliti
adalah objek kajian dan sumber data yang berbeda. Objek dan sumber data yang peneliti
teliti dalam penelitian ini yaitu Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sedangkan
peneliti sebelumnya objek dan sumber data yang digunakan adalah Film Badik Titipan
Ayah. Berdasarkan perbedaan tersebut maka sifat orisinilitas suatu penelitian dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
2. Sastra
Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sastra berasal kata sas (sansekerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi
petunjuk, dan intruksi, akhiran tra berarti alat atau sarana (Teew dalam Ratna, 2004: 4).
Alat yang dijadikan cermin masyarakat untuk memberi petunjuk dan menggambarkan
kehidupan masyarakat, namun juga merupakan cermin balik bagi masyarakat untuk
subjek kolektif. Wellek dan Austin (1990: 109) menyatakan bahwa sastra menyajikan
kehidupan dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya
sastra juga meniru alam dan dunia subjektif manusia.
Kehadiran sastra diterima sebagai salah satu realitas sosial budaya. Karya sastra
tidak saja dinilai sebagai sebuah karya seni yang memiliki budi, imajinasi, dan emosi.
Tetapi lebih dari itu, sastra telah diangap sebagai karya kreatif yang dimanfaatkan sebagai
konsumsi emosi dan intelektual (Wicaksono, 2014: 2).
Sastra merupakan ungkapan dari pengalaman penciptanya, hal ini berarti bahwa
sastra tidak dapat dilepaskan dari pengalaman hidup penyair, pengarangnya atau
sastrawannya. Setiap genre sastra, baik itu prosa, puisi, maupun drama hadir sebagai
media berbagi pengalaman sastrawan kepada pembaca. Setiap jenis sastra selalu hadir
sebagai sebuah sistem lambang budaya yang merupakan hasil intelektual sastrawannya
dalam merespon berbagai fenomena yang hadir di sekelilingnya. Jadilah teks sastra
sebagai sebuah fakta kemanusiaan, fakta kejiwaan, dan fakta kesadaran kolektif
sosiokultural. Sastra sebagai proyeksi sagala macam persoalan kultural, sosial, sekaligus,
kejiwaan. Sastra merupakan salah satu aspek kebudayaan. Sastra berperan penting dan
terlibat dalam kebudayaan (Wicaksono, 2014: 2).
Anggapan bahwa sastra itu (bacaan) berat masih melekat di masyarakat awam,
terutama generasi muda. Sastra memang mengedepankan keindahan bahasa agar dapat
menyentuh jiwa dari si pembacanya. Tetapi tak jarang keindahan bahasa sastra disebut
sebagai penyampaian yang ribet.
Membaca sastra tidak hanya memperkaya diksi dalam berbahasa, tetapi bisa
belajar banyak hal seperti sejarah, seni, budaya, sosial, politik, filsafat, hingga psikologi.
Hal tersebut dikarenakan sastra merupakan hasil kreatif seseorang atas penghayatannya
tentang kehidupan. Sastra pun dapat mendorong pembaca untuk mengasah kreatifitas,
memperkaya imajinasi, berpikiran kritis, memperluas pandangan (alias lebih open
minded), sekaligus berbudaya.
Menurut Taum (1997: 13) sastra adalah karya cipta atau fiksi yang bersifat
imajinatif atau sastra adalah penggunaan bahasa yang indah dan berguna yang
menandakan hal-hal lain. Sastra lahir akibat adanya dorongan dasar manusia untuk
mengungkapkan dirinya dan menaruh minat terhadap masalah manusia dan kemanusiaan,
dan menaruh minat terhadap realitas yang berlangsung sepanjang masa. Selain itu, karya
sastra muncul dari sesuatu yang menjadikan pengarang mempunyai rasa empati pada
suatu peristiwa yang ada di dunia ini. Peristiwa tersebut sangat memengaruhi keadaan
jiwa pengarang sehingga memunculkan pertentangan batin yang mendorong untuk
memunculkan karya sastra. Sastra yang dilahirkan dari sastrawan diharapkan dapat
memberi kepuasan estetik dan intelek bagi orang lain atau pembaca (Wicaksono, 2014:
3).
Sastra merupakan karya seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan,
selalu tumbuh, dan berkembang. Maka dari itu, batasan tentang sastra tidak pernah
memuaskan. Tetapi, ungkapan batasan berikut diharapkan mampu menjadi gambaran
mengenai sastra.
Dalam sastra, kita dapat menemukan gambaran hidup dan rangkaian sejarah yang
sesuai dengan masa sastra itu hadir. Secara etimologis, sastra berasal dari bahasa latin
yaitu literature (litera: huruf atau karya tulis). Dalam bahasa Sansekerta berasal dari akar
kata sas artinya mengajar, memberi petunjuk atau intruksi, dan akhiran tra menunjukkan
arti sebagai alat bantu atau saran. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku
petunjuk atau buku pengajaran yang baik (Ratna, 2003: 1). Sedangkan dalam pengertian
saat ini, sastra banyak diartikan sebagai tulisan. Pernyataan ini kemudian ditambah
dengan kata su yang berarti indah atau baik, maka susastra bermakna tulisan yang indah
(Widjajanti, 2001: 1).
Menurut Chamamah (dalam Jabrohim, 2001: 10) menjelaskan bahwa sastra
dipahami sebagai suatu bentuk kegiatan manusia yang tergolong hasil karya seni yang
menggunakan bahasa sebagai bahan. Jadi, bahan merupakan karakteristik sastra sebagai
karya seni. Bahasa digunakan secara istimewa dalam karya sastra, terutama dalam
menjalankan fungsi komunikasi untuk menyampaikan informasi secara maksimal. Sastra
adalah kreativitas pengarang yang bersumber dari kehidupan manusia secara langsung
atau melalui rekaannya yang dengan bahasa sebagai medianya.
Dari beberapa batasan tentang sastra dapat dipahami, mencakup semua sastra
yang menggunakan bahasa sebagai bahan, baik bahasa tulis maupun lisan yang memuat
perasaan manusia yang mendalam dan kebenaran moral, keluasan pandangan, dan bentuk
yang memesona. Untuk merekam isi jiwa sastrawan, karya sastra harus dapat
dikomunikasikan kepada orang lain dan mempunyai daya tarik tersendiri yang dapat
memesona pembaca, memberikan kepuasan dan rasa senang kepada pembacanya.
Sastra menurut Gazali sebagaimana dikutip Pradopo (2003: 32) adalah tulisan atau
bahasa yang indah; yakni hasil ciptaan bahasa yang indah dan perwujudan getaran jiwa
dalam bentuk tulisan. Indah adalah sesuatu yang menimbulkan orang yang melihat dan
mendengarkan dapat tergetar jiwanya sehingga melahirkan keharuan, kemesraan,
kebencian, kecemasan, dendam, dan seterusnya. Sastra merupakan hasil seni bahasa yang
indah yang dapat menimbulkan keindahan, tetapi belum menunjukkan sifat khusus dari
tulisan yang berupa karya sastra yang indah bahasanya dan baik isinya.
Rene Wellek (dalam Pradopo, 2003: 35) mengemukakan tiga definisi (1) Seni
sastra adalah segala sesuatu yang dicetak. Definisi ini tidak lengkap karena tidak meliputi
karya sastra yang ditulis, atau karya sastra lisan. (2) Seni sastra terbatas pada buku-buku
yang terkenal dari sudut isi dan bentuk. Definisi ini bercampur dengan penilaian; dan
penilaian itu hanya didasarkan pada segi estetiknya atau segi intelektualnya. Dengan
demikian, karya-karya sastra yang lain yang tidak terkenal tidak dapat dimasukkan dalam
sastra. (3) Seni sastra bersifat imajinatif.
Sifat imajinatif ini menunjukkan dunia angan dan khayalan sehingga kesusastraan
berpusat pada epik, lirik, dan dramatik, karena ketiganya dihasilkan dari dunia rekaan
(fiction, imagination). Jadi, definisi ketiga tersebut mengakui adanya sifat fictionally
(sifat khayali), invention (penemu atau penciptaan), dan imagination (mengandung
kekuatan menyatukan angan untuk mencipta) sebagai hakikat seni sastra. Fictionaly di
sini menunjukkan dunia khayalan. Artinya, dunia yang adanya hanya karena khayalan
sastrawan, bukan dunia yang nyata atau sungguh-sungguh ada. Invention menunjukkan
pengertian adanya penemuan-penemuan baru sebagai hasil khayalan, penemuan karya
cipta baru. Imagination menunjukkan adanya daya membayangkan untuk menghasilkan
sesuatu yang baru, yang asli, untuk menghasilkan dunia nyata.
Fananie Zainuddin (2000: 6) merumuskan pengertian sastra adalah karya fiksi
yang merupakan hasil kreasi berdasarkan luapan emosi yang spontan yang mampu
mengungkapkan aspek estetik, baik yang berdasarkan aspek kebahasaan maupun aspek
makna. Estetik bahasa biasanya diungkapkan melalui aspek puitik atau poetic fungtion
(surface structure), sedangkan estetik makna dapat terungkap melaui aspek deep
structure. Secara mendasar suatu teks sastra setidaknya harus mengandung tiga aspek
utama yaitu, decore (memberikan sesuatu kepada pembaca), delecture (memberikan
kenikmatan melalui unsur estetik), dan movere (mampu menggerakkan kreativitas
pembaca). Kriteria ini harus dijabarkan lebih detail dan lebih khusus lagi karena
mendefinisikan atau menjabarkan sastra tidak hanya sekadar menguraikan maknanya
secara harfiah.
3. Karya Sastra
Karya sastra adalah bentuk kreativitas dalam bahasa yang indah berisi sederetan
pengalaman batin dan imajinasi yang berasal dari pengkhayalan realitas sosial pengarang.
Karya sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni yang objeknya adalah manusia
dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Karya sastra
merupakan ungkapan batin seseorang melalui bahasa dengan cara penggambaran.
Penggambaran atau imajinasi ini dapat berupa titian terhadap kenyataan kehidupan, dapat
pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaman
peristiwa) atau dambaan intuisi pengarang, dan dapat pula sebagai campuran keduanya
(Wicaksono, 2014: 1).
Karya sastra sebagai potret kehidupan masyarakat dapat dinikmati, dipahami, dan
dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Sebuah karya sastra tercipta karena adanya
pengalaman batin pengarang berupa peristiwa atau problem yang menarik sehingga
muncul gagasan dan imajinasi yang dituangkan dalam bentuk tulisan. Sangidu (2004: 26)
mengatakan bahwa sastra adalah bagian dari masyarakat, kenyataan yang demikian
mengilhami para pengarang untuk melibatkan dirinya dalam tata kehidupan masyarakat
tempat mereka berada dan mencoba memperjuangkan posisi struktur sosial dan
permasalahan yang dihadapi di masyarakat. Sosial dan budaya (sosiokultural) yang
berkembang di masyarakat sangat berpengaruh dalam isi dan tema yang tertuang dalam
suatu karya sastra. Maka dari itu, novel juga sangat dipengaruhi oleh sosial dan budaya
(sosiokultural) penyair. Bahkan, isi karyanya dapat mencerminkan sosial dan budaya
masyarakat pada saat karya sastra itu diciptakan serta keadaan sosial dan budaya
penyairnya. Karya sastra merupakan hasil kehidupan jiwa yang terjelma dalam tulisan
atau bahasa tulis yang mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat. Karya sastra
adalah karya imajinatif pengarang yang menggambarkan kehidupan masyarakat dan
barangkali sesuai pada waktu karya sastra itu diciptakan.
Karya sastra yang ditulis merupakan ungkapan masalah-masalah manusia dan
kemanusiaan, tentang makna hidup dan kehidupan, melukiskan penderitaan manusia-
manusia, perjuangannya, kasih sayang dan kebencian, nafsu dan segala yang dialami
manusia (Esten Mursal, 1990: 8). Bentuk pengungkapan inilah yang merupakan hasil
kepiawaian pengarang dalam menggambarkan segala aspek kehidupan manusia lewat
ekspresi pengarang.
Dengan demikian karya sastra diciptakan pengarang untuk dinikmati, dihayati,
dan dimanfaatkan bagi khalayak (pembaca). Sastra merupakan produk kreativitas
pengarang yang muncul atau bersumber dari kehidupan manusia secara langsung ataupun
melalui rekaan dengan bahasa sebagai media aktualisasinya. Sebuah karya sastra tidak
akan lepas dari pola berpikir, ide, dan prinsip pengarangnya. Karya sastra selalu dalam
pengaruh keberadaan pengarangnya. Di samping mengekspresikan dan mengemukakan
persoalan hidup yang terjadi, pengarang juga ingin mengajak pembaca untuk berpikir
memecahkan persoalan kehidupan (Wicaksono, 2014: 3).
Melalui jalinan cerita yang ada, pembaca disuguhi berbagai persoalan serta
bagaimana tokoh-tokoh yang ada dalam cerita berupaya mengatasi berbagai persoalan
yang dihadapinya. Dari sini, secara tidak langsung pembaca mengenal berbagai masalah
kehidupan sekaligus belajar mengatasinya. Bahkan, dalam karya sastra, terlebih novel
sering pula ditemukan hal-hal yang inspiratif dan sangat kuat dalam memberikan motivasi
bagi pembacanya.
Karya sastra lahir karena adanya sesuatu yang menjadikan jiwa seorang pengarang
atau pencipta mempunyai rasa tertentu pada suatu persoalan atau peristiwa di dunia ini,
baik yang langsung dialaminya maupun dari kenyataan hidup sehari-hari yang ada di
masyarakat. Persoalan atau peristiwa itu sangat memengaruhi bentuk kejiwaan seorang
pencipta karya sastra sehingga memungkinkan munculnya konflik atau ketegangan batin
yang mendorong pencipta untuk mewujudkan dalam bentuk karya sastra (Wicaksono,
2014: 4).
Seorang pengarang mempunyai banyak pandangan dibalik karya yang
diciptakannya. Pemahaman isi karya sastra yang ditulis pengarang bergantung pada
ketajaman interpretasi pembacanya. Untuk dapat menginterpretasikan karya sastra dengan
baik, pembaca harus memahami dengan sungguh-sungguh maksud pengarang dalam
karya yang dihasilkannya itu.
Menurut Wicaksono (2014: 4) kehadiran karya sastra yang diungkapkan
pengarang adalah masalah hidup dan kehidupan manusia. Karya sastra merupakan
gambaran kehidupan hasil rekaan pengarang. Kehidupan dalam suatu karya sastra adalah
kehidupan yang diwarnai oleh sikap, latar belakang, dan keyakinan pengarang. Oleh
karena itu, kebenaran atau kenyataan dalam karya sastra tidak mungkin sama dengan
kenyataan yang ada di sekitar kita. Kenyataan akan kebenaran dalam karya sastra adalah
kebenaran keyakinan, bukan kebenaran indrawi seperti yang kita lihat sehari-hari.
Horace dalam Wellek dan Warren (1993: 25-26) mengemukakan bahwa fungsi
karya sastra adalah dulce at utile yang artinya menyenangkan dan berguna.
Menyenangkan dalam arti tidak menjemukan, tidak membosankan. Berguna dalam arti
tidak membuang-buang waktu, bukan sekadar perbuatan iseng melainkan sesuatu yang
perlu mendapat perhatian serius.
Karya sastra memberi kenikmatan dan kesenangan. Karya sastra yang baik, isinya
bermanfaat dan cara pengungkapan bahasanya pun indah. Kita merasa tidak sia-sia
membacanya. Karya sastra diciptakan pengarang tentu mempunyai maksud tertentu.
Karya sastra tidak hanya menghibur, tetapi merupakan alat penyampaian wejangan-
wejangan atau nasihat, pendidikan dan sebagainya. Dengan karyanya, seorang penulis
bermaksud menyampaikan gagasan-gagasannya, pandangan hidup atas kehidupan sekitar
dengan cara menarik dan meyenangkan pembaca (Sudjiman 1998: 57).
Selanjutnya, masih pendapat yang sama, Pradopo (2003: 59) menjelaskan bahwa
karya sastra adalah karya seni, yaitu suatu karya yang menghendaki kreativitas dan
bersifat imajinatif. Dikatakan imajinatif bahwa karya sastra itu terjadi akibat penanganan
dan hasil penanganan itu adalah penemuan-penemuan baru, kemudian penemuan baru itu
disusun ke dalam suatu sistem yang dengan kekuatan imajinasi sehingga terciptalah dunia
baru yang sebelumnya belum ada.
Menurut Wellek dan Warren (1993: 140) karya sastra merupakan sebuah struktur
menunjuk pada susunan atau tata urutan unsur-unsur yang saling berhubungan antara
bagian yang satu dengan bagian yang lain. Unsur ini adalah ide dan emosi yang
dituangkan sedangkan unsur bentuk adalah semua elemen linguis yang dipakai untuk
menuangkan isi ke dalam unsur fakta cerita, sarana cerita, dan tema sastra.
Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya sastra
dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran hidup, walaupun
dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan kegembiraan dan kepuasan
batin. Hiburan ini adalah jenis hiburan intelektual dan spiritual. Karya sastra juga dapat
dijadikan sebagai pengalaman untuk berkarya, karena siapa pun bisa menuangkan isi hati
dan pikiran dalam sebuah tulisan yang bernilai seni (Wicaksono, 2014: 11).
Setiap karya sastra selalu muncul dalam karakter jenis sastra (genre sastra) yang
dipilih pengarangnya. Wellek dan Warren (1993: 306-307) menyarankan bahwa genre
harus dilihat sebagai pengelompokkan karya sastra yang secara teoretis didasarkan pada
bentuk luar (mantra dan struktur tertentu) dan pada bentuk dalam (sikap, nada, tujuan, dan
yang lebih kasar adalah isi, dan khalayak pembaca).
Karya sastra dapat digolongkan menjadi dua jenis, yakni sastra imjinatif dan sastra
nonimajinatif. Begitu pula dalam penggunaan bahasanya, sastra imajinatif lebih
menekankan penggunaan bahasa dalam arti yang konotatif (banyak arti) dibandingkan
dengan sastra nonimajinatif yang lebih menekankan pada penggunaan bahasa denotatif
(tunggal arti) (Sumardjono dan Saini K.M, 1997: 17).
Ciri sastra imajinatif adalah karya sastra tersebut lebih banyak bersifat khayali,
menggunakan bahasa yang konotatif, dan memenuhi syarat-syarat estetika seni.
Sedangkan ciri sastra nonimajinatif adalah karya sastra tersebut lebih banyak unsur
faktualnya daripada khayalinya, menggunakan bahasa yang cenderung denotatif dan
memenuhi nilai-nilai estetika seni. Sesuatu disebut teks sastra jika (1) teks tersebut tidak
melulu disusun untuk tujuan komunikatis praktis atau sementara waktu, (2) teks tersebut
mengandung unsur fiksionalitas, (3) teks tersebut menyebabkan pembaca mengambil
jarak, (4) bahannya diolah secara istimewa, dan (5) mempunyai keterbukaan penafsiran
(Wicaksono, 2014: 15).
Terdapat tiga hal yang membedakan karya sastra dengan karya tulis lainnya, yaitu
sifat khayali, adanya nilai-nilai seni atau estetika, dan penggunaan bahasa yang khas.
Sastra imajinatif mempunyai ciri yang isinya bersifat khayali, menggunakan bahasa yang
konotatif, dan memenuhi syarat-syarat estetika seni. Sastra nonimajnatif mempunyai ciri-
ciri yang isinya menekankan unsur faktual atau faktanya, menggunakan bahasa yang
cenderung denotatif, memenuhi unsur-unsur estetika seni. Pengertian indah, tidak semata-
mata merujuk pada bentuk, tetapi kendahan isi yang berkaitan dengan emosi, imajinasi,
kreasi, dan ide (Winarni, 2009: 8).
Dengan demikian, kesamaan antara sastra imajinatif dan nonimajinatif adalah
masalah estetika seni. Unsur estetika seni meliputi keutuhan (unity), keselarasan
(harmony), keseimbangan (balance), fokus atau pusat penekanan suatu unsur (right
emphasis). Perbedaannya terletak pada isi dan bahasanya. Isi sastra imajinatif sepenuhnya
bersifat khayal atau fiktif sedangkan isi sastra nonimajinatif didominasi oleh fakta-fakta.
Bahasa sastra imajinatif cenderung konotatif sedangkan bahasa sastra nonimajinatif
cenderung denotatif (Wicaksono, 2014: 15).
Sejalan dengan pendapat di atas, Wicaksono (2014: 15-20) menjelaskan secara
rinci sastra imajinatif dan nonimajinatif sebagai berikut.
1. Sastra Imajinatif
Sastra merupakan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan
dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Dapat dikatakan bahwa sastra
adalah gambaran kehidupan manusia. Penggambaran kehidupan manusia dalam sastra
didasarkan pada daya imajinasi sehingga kehidupan tersebut bersifat imajinatif
meskipun tidak semua karya bersifat imajinatif. Kehidupan manusia yang digambarkan
sastra dapat sebagai transformasi kehidupan faktual, baik kehidupan pengarang
maupun kehidupan sosial berdasarkan imajinasi sastrawan (Wicaksono, 2014: 15).
Menurut Wicaksono (2014: 15) imajinasi merupakan sarana untuk berselancar
dan memahami realitas keberadaan dirinya juga lingkungannya. Sebuah imajinasi lahir
dari proses mental yang manusiawi. Proses ini mendorong kekuatan yang merangsang
emosi untuk berperan aktif dalam pemikiran dan gagasan kreatif serta tindakan kreatif.
Sastra dibangun menurut daya angan (imajinasi), yaitu daya tangkap batin yang
secara intuitif memperoleh tanggapan atau visi yang benar dari pengalaman dan
kenyataan konkret. Imajinasi dibedakan dari fantasi. Angan dibedakan dari khayal
tanpa disertai penjelasan sama sekali, tetapi serentak dengan itu. Fantasi adalah
imajinasi yang diteruskan (dikembangkan) yang mengatasi struktur kenyataan sehari-
hari. Fantasi merupakan contoh pertama dari kesadaran imajinatif (Wicaksono, 2014:
16).
Wellek (1993: 140) mengatakan bahwa kesusastraan dibatasi pada seni sastra
yang bersifat imajinatif. Jadi, sifat imajinatif menunjukkan dunia angan dan khayalan
sehingga kesusastraan berpusat pada epik, lirik, dan drama karena ketiganya itu yang
ditunjuk adalah dunia angan (fiction, imagination).
Sastra adalah hasil kreativitas pengarang yang bersumber dari kehidupan
manusia secara langsung melalui rekaan dengan bahasa sebagai medianya (Winarni,
2009: 7). Pengimajinasian dalam sastra berguna untuk memberi gambaran yang jelas,
menimbulkan suasana khusus, membuat hidup gambaran dalam pikiran dan
pengindraan, untuk menarik perhatian, dan memberikan kesan mental atau bayangan
visual penyair. Gambaran angan, gambaran pikiran, kesan mental, dan bahasa yang
menggambarkannya biasa disebut dengan istilah citra atau imaji. Adapun cara
membentuk kesan mental atau gambaran sesuatu biasa dengan istilah citraan
(imagery).
Kenyataan yang dilahirkan sastra, dalam hubungan ini adalah suatu karya sastra
imajiner “a reflected reality” (realitas yang direfleksikan). Imajiner artinya hanya
terdapat dalam angan-angan, atau khayalan, sebutan lain untuk fantasi. Sastra
imajinatif adalah sastra yang berupaya untuk menerangkan, menjelaskan, memahami,
membuka pandangan baru, dan memberikan makna realitas kehidupan agar manusia
lebih mengerti dan bersikap yang semestinya terhadap realitas kehidupan. Dengan kata
lain, sastra imajinatif berupaya menyempurnakan realitas kehidupan walaupun
sebenarnya fakta atau realitas kehidupan sehari-hari tidak begitu dalam sastra
imajinatif. Pada akhirnya, semua pembahasan mengenai sastra imajinatif ini harus
bermuara pada bagaimana cara memahami ketiga jenis sastra tersebut secara
komprehensif. Tanpa adanya pemahaman ini, apa yang dipelajari dalam hakikat dan
jenis sastra imajinatif hanya sekadar hiasan ilmu yang akan cepat pudar (Wicaksono,
2014: 17).
Prosa merupakan bentuk karya sastra yang diuraikan menggunakan bahasa
bebas dan panjang, tidak terikat oleh aturan-aturan seperti dalam puisi. Puisi
merupakan bentuk karya sastra yang diuraikan dengan menggunakan bahasa yang
singkat dan padat serta indah. Puisi dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni puisi
epik, puisi lirik, dan puisi dramatik. Fiksi atau prosa terbagi tiga genre, yakni novel
atau roman, cerita pendek (cerpen), dan novelette (novel pendek). Sedangkan drama
adalah bentuk karya sastra yang dilukiskan dengan menggunakan gaya bahasa yang
bebas dan panjang (Wicaksono, 2014: 17).
Drama merupakan karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog-
dialog para tokohnya. Di dalam drama dikenal dua pengertian, yaitu drama dalam
bentuk naskah dan drama yang dipentaskan.
Perkembangan dan pembagian jenis karya sastra sudah diramalkan dan
diungkapkan oleh beberapa ahli sejak zaman Yunani Kuno. Aristoteles (dalam
Fananie, 2000: 7) telah menyusun kemungkinan berbagai jenis kriteria sastra sebagai
berikut. Jenis karya sastra dapat dibagi menjadi tiga kategori:
1. Media of presentation (sarana perwujudan):
a) Prosa
b) Puisi
2. Object of presentation (objek perwujudan): pada prinsipnya yang menjadi objek
selalu manusia, tetapi ada tiga kemungkinan:
a) Manusia rekaan lebih agung dari manusia nyata: tagedi.
b) Manusia rekaan lebih hina dari manusia nyata: komedi.
c) Manusia rekaan sama dengan manusia nyata: roman.
Berpijak pada beberapa pendapat yang diungkapkan di atas, Wicaksono (2014:
18) menyimpulkan bahwa jenis karya sastra berdasarkan bentuknya terbagi menjadi
tiga jenis, yaitu prosa, puisi, dan drama. Untuk lebih jelasnya sastra imajinatif dapat
dibedakan seperti di bawah ini.
a. Prosa fiksi: cerita rekaan yang berdasarkan dari fakta dan realitas
1) Cerita pendek (cerpen): prosa yang relatif pendek
2) Novelet: bentuk prosa fiksi dalam ukuran yang luas
3) Novel/roman: cerita dalam bentuk prosa fiksi dalam ukuran yang luas
b. Drama: karya sastra yang mengungkapkan cerita melalui dialog para tokoh
c. Puisi: mengutamakan unsur fiksionalitas, nilai seni, dan rekayasa bahasa
1) Puisi epik: puisi yang disampaikan oleh penyair dalam bentuk sebuah cerita
2) Puisi lirik: puisi yang lebih menyuarakan pikiran dan perasaan pribadi penyair
a. Puisi afektif: menekankan pentingnya memengaruhi perasaan pembaca
b. Puisi kognitif: menekankan isi gagasan penyair
c. Puisi ekspresif: menonjolkan ekspresi pribadi penyair
d. Elegi: berisi ratapan kematian terutama pada sosok yang dikagumi atau
dicintai penyairnya
3) Himne: berisi pemujaan kepada sesuatu yang lebih besar dan berarti bagi sang
penyair
4) Ode: berisi pujaan terhadap seseorang pahlawan atau tokoh yang dikagumi
penyair
5) Epigram: berisi ajaran kehidupan yang bersifat menggurui serta berbentuk
pendek dan bergaya ironi
6) Sajak humor: berisi hiburan, baik dalam isi maupun teknik sajaknya
7) Pastoral: berisi gambaran kehidupan kaum gembala atau petani di sawah
8) Idyl: berisi nyanyian tentang kehidupan pedesaan, perbukitan, dan padang-
padang
9) Satire: berisi ejekan dengan maksud memberi kritik
10) Parodi: berisi ejekan yang ditunjukkan pada karya seni tertentu
11) Puisi dramatik: puisi yang berisi analisis watak seseorang, baik yang bersifat
historis, mitos maupun fiktif ciptaan seorang penyair
2. Sastra Nonimajinatif
Sastra nonimajinatif memiliki beberapa ciri yang mudah membedakannya
dengan sastra imajinatif. Pertama, dalam karya sastra tersebut unsur faktualnya lebih
menonjol daripada khayalinya. Kedua, bahasa yang digunakan cenderung denotatif dan
kalaupun muncul konotatif, kekonotifan tersebut amat bergantung pada gaya penulisan
yang dimiliki pengarang. Persamaannya, baik sastra imajinatif maupun nonimajinatif,
keduanya sama-sama memenuhi estetika seni (unity = keutuhan, balance =
kesinambungan, harmony = keselarasan, dan right emphasis = pusat penekanan suatu
unsur).
Sastra nonimajinatif merupakan sastra yang lebih menonjolkan unsur
kefaktualan daripada daya khayalan dan ditopang dengan penggunaan bahasa yang
cenderung denotatif. Secara umum, jenis karya sastra nonimajinatif terdiri dari:
a. Esai/essay adalah karangan pendek tentang sesuatu fakta yang akan dikupas
menurut pandangan pribadi penulisnya.
b. Kritik adalah analisis untuk menilai sesuatu karya seni, dalam hal ini karya sastra.
Jadi, karya kritik sebenarnya termasuk esai argumentasi dengan faktanya sebuah
karya sastra sebab kritik berakhir dengan sebuah kesimpulan analisis.
c. Biografi atau riwayat hidup adalah cerita tentang hidup seseorang yang ditulis oleh
orang lain.
d. Otobiografi dalah biografi yang ditulis oleh tokohnya sendiri, atau kadang-kadang
ditulis oleh orang lain atas penuturan dan sepengetahuan tokohnya.
e. Sejarah adalah cerita tentang zaman lampau sesuatu masyarakat berdasarkan
sumber-sumber tertulis maupun tidak tertulis.
f. Memoar pada dasarnya adalah otobiografi, yakni riwayat yang ditulis oleh
tokohnya sendiri.
g. Catatan harian adalah catatan tentang dirinya atau lingkungan hidupnya yang
ditulis secara teratur.
h. Surat tertentu untuk orang lain dapat dinilai sebagai karya sastra karena kualitas
yang sama seperti terdapat dalam catatan harian (Sumardjo dan Sain K.M, 1997:
19).
4. Novel
Novel adalah salah satu bentuk dari karya sastra. Novel merupakan cerita fiksi
dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan mempunyai unsur intrinsik dan esktrinsik.
Sebuah novel biasanya menceritakan tentang kehidupan manusia dalam berinteraksi
dengan lingkungan dan sesamanya. Dalam sebuah novel, si pengarang berusaha
semaksimal mungkin untuk mengarahkan pembaca kepada gambaran-gambaran realita
kehidupan melalui cerita yang terkandung dalam novel tersebut (Sora N, 2014).
Menurut Sudjiman (1984: 53), novel adalah prosa atau rekaan yang panjang
dengan menyuguhkan tokoh-tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa dan latar
secara tersusun. Menurut khasanah kesusastraan Indonesia modern, novel berbeda dengan
roman. Sebuah roman menyajikan alur cerita yang lebih kompleks dan jumlah pemeran
(tokoh cerita) juga lebih banyak. Hal ini sangat berbeda dengan novel, yang lebih
sederhana dalam penyajian alur cerita yang lebih kompleks dan tokoh cerita yang
ditampilkan dalam cerita tidak terlalu banyak.
Novel sebagai sebuah karya fiksi menawarkan sebuah dunia yang berisi model
kehidupan yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui unsur intrinsiknya
seperti peristiwa, plot, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang dan lain-lain yang
kesemuanya tentu saja bersifat imajiner (Nurgiyantoro, 1995: 4). Membaca novel untuk
sebagian besar orang hanya ingin menikmati cerita yang disuguhkan. Mereka hanya akan
mendapat kesan secara umum dan samar tentang plot dan bagian cerita tertentu yang
menarik (Nurgiyantoro, 1995: 11). Pembaca kurang memahami unsur pembangun dari
cerita yang menarik atau bagian yang menarik tersebut. Kenikmatan membaca sebuah
novel dapat ditentukan oleh alur cerita dan tokoh yang berperan. Misalnya saja cerita
yang menyuguhkan tokoh yang baik ataupun terlalu kontroversial.
Dari berbagai teori dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra
yang di dalamnya terdapat struktur yang membangun sehingga dapat disebut sebagai
rangkaian cerita. Akan tetapi, fungsi setiap unsur struktur harus dapat menunjang makna
keseluruhannya sehingga secara bersama dapat membentuk totalitas kemaknaan. Seperti
halnya kaitan hubungan antara alur dengan tokoh yang berperan dalam cerita.
5. Siri
Siri adalah sistem sosiokultural kepribadian yang merupakan pranata pertahanan
harga diri dan martabat manusia sebagai individu dan anggota masyarakat dalam
masyarakat bugis. Siri juga dapat berarti keadaan tertimpa malu atau terhina dalam
masyarakat Bugis dan Makassar (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi V, 2016).
Siri merupakan adat kebiasaan yang melembaga dan masih besar pengaruhnya
dalam budaya kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat Bugis, dan
siri di masyarakat Bugis, di samping nilai positifnya, juga melahirkan problem sosial
yang antara lain menguasai latar belakang kasus-kasus penganiyaan dan pembunuhan.
Masalah siri selalu menarik perhatian mereka yang hendak mengenal manusia dan
kebudayaan bugis.
Di dalam kamusnya, B.F. Matthes (1864: 274) mancatat arti siri dengan tujuh
buah kata bahasa Belanda, yaitu beschaamd, schroomvallig,verlegen, schaamte,
eergevoel, schande, wangunst, dan mengikut urutannya diterjemahkan sebagai berikut:
amat malu, dengan malu, malu sebagai kata sifat atau kata keadaan, perasaan malu
menyesali diri, perasaan harga diri, noda atau aib, dengki.
Siri disejajarkan kedudukannya dengan akal pikiran yang baik karena bukan
timbul dari kemarahan, dengan peradilan yang bersih karena tidak dilakukan dengan
sewenang-wenang, dengan perbuatan kebajikan yang tidak menjelekkan sesama manusia
secara patut. Sedangkan yang menutupi atau meniadakan malu (siri) ialah keinginan yang
berlebih-lebihan, didorong oleh kerakusan.
Dalam sebuah Seminar Nasional mengenai siri yang diselenggarakan oleh
Komando Daerah Kepolisian (KOMDAK) XVIII Sulsetra bekerja sama dengan
Universitas Hasanuddin pada 11 Juli 1977 dihasilkan beberapa konsep dan batasan
tentang siri. Seminar dengan tema “Mengolah Masalah Siri di Sulawesi Selatan Guna
Peningkatan Ketahanan Nasional dalam Menunjang Pembangunan Nasional” ini
menyimpulkan konsep dan batasan tentang siri antara lain:
1. Siri dalam sistem budaya adalah pranata pertahanan harga diri, kesusilaan dan hukum
serta agama sebagai salah satu nilai utama yang memengaruhi dan mewarnai alam
pikiran, perasaan, dan kemauan manusia. Sebagai konsep budaya, ia berkedudukan
sebagai regulator dalam mendinamisasi fungsi-fungsi struktur dalam kebudayaan.
2. Siri dalam sistem sosial, adalah medinamisasi keseimbangan eksistensi hubungan
individu dan masyarakat untuk menjaga kesinambungan kekerabatan sebagai
dinamika sosial terbuka untuk beralih peranan (bertransmisi), beralih bentuk
(transformasi), dan ditafsir ulang (re-interpretasi) sesuai dengan perkembangan
kebudayaan nasional.
Menurut Hamid (dalam Pelras, 2006: 251) menjelaskan bahwa siri merupakan
unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada satu nilai pun yang berharga untuk
dibela dan dipertahankan di bumi selain daripada siri. Bagi masyarakat Bugis, siri adalah
jiwa mereka, harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan
membela siri yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka masyarakat
Bugis akan bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga
demi tegaknya siri dalam kehidupan mereka.
Apabila kita mengamati pernyataan nilai siri ini atau lebih konkretnya mengamati
kejadian-kejadiannya berupa tindakan, perbuatan atau tingkah laku yang katanya
dimotivasi oleh siri, maka akan timbul kesan bahwa nilai siri itu pada bagian terbesar
unsurnya dibangun oleh perasaan sentimental atau sejenisnya. Kemudian penafsiran yang
berpijak kepada melihat kejadian-kejadian yang timbul akibat penafsiran siri, misalnya:
malu-malu, aib, iri hati, kehormatan dan harga diri, dan kesusilaan. Cara pandang seperti
ini jelas merupakan sebuah cara pandang yang kurang lengkap terutama apabila hendak
mengamatinya dari sudut konfigurasi kebudayaan. Sebab hal tersebut merupakan sebuah
nilai yang bukan hanya sebuah nilai kebudayaan akan tetapi juga merupakan sebuah nilai
atau falsafah hidup manusia (Rahim, 2011: 139).
Kemudian, hakikat kebenaran dari falsafah inilah yang mulai surut dalam setiap
tingkah laku maupun tindakan kolektif masyarakat Bugis. Sebagai seorang masyarakat
Sulawesi Selatan, peneliti melihat, disintegrasi semacam ini sudah lama terjadi.
Bagaimana rasa malu yang tidak ditempatkan pada tempat semestinya, mendahulukan
rasa amarah ketimbang sikap rasional dalam memahami suatu permasalahan. Jika berkaca
pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di daerah ini, mulai dari demonstrasi yang selalu
berakhir dengan kerusuhan, sampai kepada perilaku bermasyarakat yang mulai berujung
kepada konflik. Distintegrasi seperti inilah yang kemudian berpotensi melahirkan
ketidakstabilan dalam kehidupan sosial bermasyarakat di masa yang akan datang (Rahim,
2011: 139).
Apabila kita ingin mendalami makna siri dengan segenap permasalahannya, antara
lain dapat diketahui dari lontara’ La Toa. Dimana dalam lontara‟ ini berisi pesan-pesan
dan nasihat-nasihat yang merupakan kumpulan petuah untuk dijadikan sebagai suri
tauladan. Kata La Toa sendiri sejatinya memiliki arti petuah-petuah, dimana juga
memiliki hubungan yang erat dengan peranan siri dalam pola hidup atau adat istiadat
masyarakat Bugis. Misalnya dapat dilihat pada beberapa poin dalam lontara’ tersebut:
Siri sebagai harga diri ataupun kehormatan, Mapappakasiri’ artinya menodai
kehormatannya, Ritaroang Siri’ yang artinya ditegakkan kehormatannya, Passampo Siri’
yang artinya penutup malu, Siri sebagai perwujudan sikap tegas demi sebuah kehormatan
hidup (Mattulada, 1977: 21).
Menurut Hamid (1985: 7) mengatakan bahwa orang Bugis dan masyarakat
Sulawesi Selatan umumnya dikenal sebagai penganut adat istiadat yang kuat. Meskipun
telah berkali-kali menemui tantangan berat yang ada kalanya hampir menggoyahkan
kedudukannya dalam kehidupan dan pikiran mereka, namun pada akhirnya adat istiadat
tersebut tetap hidup dan bahkan kedudukannya makin kukuh dalam masyarakat hingga
kini.
Keseluruhan sistem dan norma serta aturan-aturan adat tersebut dikenal dengan
pangngadereng, yang terdiri dari lima unsur pokok, yaitu ade, bicara, rapang, wari, dan
sara. Unsur yang disebutkan terakhir ini berasal dari ajaran Islam, yaitu hukum syariat
Islam. Kelima unsur pokok tersebut terjalin antara satu dengan yang lain sebagai satu
kesatuan organik dalam alam pikiran orang Bugis, yang memberi dasar sentimen dan rasa
harga diri yang semuanya terkandung dalam konsep siri. Hal ini tercakup dalam sebuah
ungkapan orang Bugis yang mengatakan utettong ri ade najagainnami siri’ku, artinya,
saya taat kepada adat demi terjaganya atau terpeliharanya harga diri saya (Mattulada,
1985: 61).
Ungkapan di atas memiliki makna yang sangat dalam bagi orang Bugis. Dengan
melaksanakan pangngadereng, berarti seorang Bugis sedang berusaha mencapai martabat
hidup yang disebut dengan siri. Menurut Mattulada (1985: 108), siri inilah yang
mendorong orang Bugis sangat patuh terhadap pangngadereng karena siri sebagian besar
unsurnya dibangun oleh perasaan halus (sentimentality), emosi, dan sebagainya. Dari
sinilah timbul berbagai penafsiran atas makna siri seperti malu-malu, malu, hina atau aib,
iri hati, dan harga diri atau kehormatan.
Siri dalam pengertian orang Bugis adalah menyangkut segala suatu yang paling
peka dalam diri mereka, seperti martabat atau harga diri, reputasi, dan kehormatan, yang
semuanya harus dipelihara dan ditegakkan dalam kehidupan nyata. Siri bukan hanya
berarti rasa malu seperti yang umumnya terdapat dalam kehidupan sosial masyarakat suku
lain. Istilah malu di sini menyangkut unsur yang hakiki dalam diri manusia Bugis yang
telah dipelihara sejak mereka mengenal apa sesungguhnya arti hidup ini dan apa arti
harga diri bagi seorang manusia (Hamid 1985: 40-41). Begitu pentingnya siri dalam
kehidupan orang Bugis sehingga mereka beranggapan bahwa tujuan manusia hidup di
dunia ini adalah hanya untuk menegakkan dan menjaga siri.
Edward L. Poelinggomang, sejarawan dari Universitas Hasanuddin (UNHAS),
menerangkan bahwa budaya siri adalah produk kecerdasan lokal untuk membangun
kembali tatanan sosial orang Bugis di masa lalu yang kacau balau. Secara historis, kondisi
tersebut digambarkan dalam kronik-kronik Bugis dengan pernyataan bahwa kehidupan
manusia pada masa itu bagaikan kehidupan ikan di laut, yang besar memangsa yang kecil
atau disebut dengan sianre bale tau.
Konsep siri hingga kini masih memberi pengaruh terhadap seluruh sendi-sendi
kehidupan orang Bugis. Situasi siri akan muncul ketika seseorang ri pakasiri’ atau dibuat
malu karena kedudukan sosialnya dalam masyarakat atau rasa harga diri dan
kehormatannya dicemarkan oleh pihak lain secara terbuka. Jika hal ini terjadi, maka orang
yang ri pakasiri’ dituntut oleh adat untuk mengambil tindakan untuk menebus atau
memulihkan harga dirinya di matanya sendiri maupun di mata masyarakat, yaitu dengan
cara menyingkirkan penyebab malu tersebut.
Orang yang ri pakasiri’ (dibuat malu) tetapi tidak mampu melakukan pemulihan
terhadap harga dirinya yang tercemar akan dipandang hina dan dikucilkan oleh
masyarakat. Jika hal ini terjadi, maka bagi orang itu pembuangan dianggap lebih baik
daripada dikucilkan di tengah-tengah masyarakat. Faktor inilah yang menjadi salah satu
penyebab banyaknya orang Bugis pergi merantau atau meninggalkan kampung
halamannya karena tidak sanggup menanggung rasa malu di mata masyarakatnya.
Menurut Pelras, perkawinan adalah realitas sosial yang paling banyak bersinggungan
dengan masalah siri ini. Jika pinangan seseorang ditolak, maka pihak peminang bisa
merasa mate siri’ (kehilangan kehormatan) sehingga terpaksa menempuh siliriang (kawin
lari). Tindakan ini merupakan perbuatan melanggar adat sehingga seluruh pihak keluarga
laki-laki gadis itu merasa berkewajiban untuk membunuh pelaku demi menegakkan siri
keluarga (Pelras, 2006: 251).
Orang yang ri pikasiri’ dapat melakukan jallo (amuk), yaitu membunuh siapa saja,
bahkan orang yang tidak terlibat dalam masalah itu pun dapat menjadi sasaran
amukannya. Hal ini dapat terjadi dalam beberapa hal yang cukup ekstrem. Namun, sejak
terintegrasikannya agama Islam ke dalam sistem pangngadereng orang Bugis, penebusan-
penebusan siri berupa pembalasan dan penganiayaan tanpa pertimbangan kemanusiaan
mulai berubah. Dengan kata lain, penebusan siri yang sering dianggap orang melampui
batas tersebut menjadi lebih terarah penerapannya sejak kedatangan agama Islam. Islam
mengajarkan kepada pemeluknya agar menjauhkan diri dari kejahatan dan perbuatan
maksiat seperti membunuh. Namun, jika terjadi kasus yang menyebabkan harga diri
seseorang diinjak-injak, maka kasus tersebut diserahkan kepada pihak yang berwenang,
seperti lembaga adat atau pihak kepolisian (Pelras, 2006: 251).
Siri adalah suatu hal yang abstrak dan berada di alam pikiran manusia Bugis.
Pengertiannya hanya dapat diketahui melalui pengamatan dan observasi dengan melihat
akibat konkret yang ditimbulkannya, yaitu berupa tindakan-tindakan. Oleh sebab itu
terkandung pengertian-pengertian tertentu yang meliputi berbagai aspek kehidupan dan
kebudayaan masyarakat dalam kata siri ini. Para peneliti terdahulu telah mengkaji
mengenai pengertian siri secara leksikal maupun pengertiannya secara luas menurut sudut
pandang mereka masing-masing.
C.H. Salam Basjah dan Sappena Mustaring (dalam Mattullada, 1985: 62),
memberikan batasan pengertian kata siri sebagai berikut:
1. Siri berarti malu, isin (Jawa), atau shame (Inggris).
Siri merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh),
mengasingkan, mengusir dan sebagainya terhadap apa atau siapa saja yang dapat
menyinggung perasaan atau harga diri seseorang.
2. Siri juga merupakan daya pendorong yang dapat ditujukan ke arah pembangkitan
tenaga untuk membanting tulang dan bekerja mati-matian demi suatu pekerjaan atau
usaha.
Casutto menjelaskan bahwa siri merupakan pembalasan yang berupa kewajiban
moril untuk membunuh pihak yang melanggar adat. Hal senada juga dikatakan oleh M.
Natzir Said yang menetapkan batasan pengertian siri sebagai perasaan malu
(krenking/beledeging) yang dapat menimbulkan sanksi dari keluarga yang dilanggar
norma adatnya (Mattulada, 1985: 62). Selain pendapat para peneliti di atas, berbagai
ungkapan dalam bahasa Bugis yang terwujud dalam kesusasteraan, paseng (nasihat), dan
amanat-amanat dari leluhur dapat dijadikan petunjuk untuk memahami tentang pengertian
siri. Ungkapan-ungkapan tersebut dikutip oleh Mattulada dalam bukunya Latoa (1985:63)
sebagai berikut:
a. Siri emmi ri onroang di lino, artinya hanya untuk siri-lah kita hidup di dunia ini.
Pengertian siri dalam ungkapan ini merupakan hal yang memberikan identitas sosial
dan martabat kepada seseorang. Hidup seseorang dianggap berarti jika pada dirinya
terdapat martabat atau harga diri. Pengertian yang sama juga diungkapkan oleh Hamid
dalam bukunya Manusia Bugis-Makassar (1985: 37) bahwa dalam kehidupan manusia
Bugis-Makassar, siri merupakan unsur yang prinsipil dalam diri mereka. Tidak ada
satu nilai pun yang paling berharga untuk dibela dan dipertahankan di muka bumi ini
selain daripada siri. Bagi manusia Bugis-Makassar, siri adalah jiwa mereka, harga diri
mereka, dan martabat mereka. Oleh sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri
yang tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis-Makassar akan
bersedia mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya yang paling berharga demi
tegaknya siri dalam kehidupan mereka.
b. Mate ri siri’na, artinya mati dalam siri atau mati karena mempertahankan harga diri.
Mati dalam keadaan demikian dianggap mati terpuji atau terhormat. Dalam bahasa
Bugis ada juga ungkapan mate rigollai, mate risantangi, yaitu menjalani kematian
yang bergula dan bersantan, atau dengan kata lain menjalani kematian yang manis.
c. Mate siri’, artinya orang yang sudah hilang harga dirinya tak lebih dari bangkai hidup.
Agar tidak dianggap sebagai bangkai hidup, maka orang Bugis merasa dituntut untuk
melakukan penegakan siri walaupun nyawanya sendiri terancam. Menurut mereka,
lebih baik mati ri risi’na daripada mate siri’, artinya lebih baik mati karena
mempertahankan harga diri daripada hidup tanpa harga diri.
Pengertian-pengertian siri di atas memperlihatkan bahwa keberadaan konsep siri
dalam kehidupan orang Bugis dapat juga menjadi pemutus tali kekeluargaan dan
persaudaraan di antara mereka. Namun, dalam realitas sosial, keadaan demikian tidak
terjadi karena dapat dinetralisir oleh keberadaan sebuah konsep yang disebut dengan
peses’. Secara leksikal, pess’ berarti pedis atau perih, sedangkan peses’ dalam pengertian
luas mengindikasikan perasaan haru (empati) yang mendalam terhadap tetangga, kerabat,
atau sesama anggota kelompok sosial.
Mattulada (1985: 64) menerangkan bahwa peristiwa siri yang muncul dalam diri
orang Bugis sebenarnya berasal dari aspek pangngadereng itu sendiri. Oleh karena itu,
pemulihan siri tersebut dapat ditempuh melalui nilai-nilai pangngadereng juga. Mengenai
hal ini, Mattulada mengutip beberapa ungkapan dari buku Latoa sebagai berikut:
a. Ada empat hal yang memperbaiki kekeluargaan (pergaulan hidup): (1) kasih sayang
dalam keluarga, (2) saling memaafkan yang kekal, (3) tak segan saling memberi
pertolongan atau pengorbanan demi keluhuran, (4) saling mengingatkan untuk berbuat
kebajikan.
b. Bukankah dengan demikian berarti ade’ ada buat kasih sayang, bicara ada buat saling
memaafkan, rapang ada buat saling memberi pengorbanan demi keluhuran, dan
adanya wari buat mengingati perbuatan kebajikan.
Tujuan hidup menurut pangngadereng adalah melaksanakan tuntutan fitrah
manusia guna mencapai martabatnya, yaitu siri. Bila pangngadereng beserta aspek-
aspeknya tidak ada lagi, akan terhapuslah fitrah manusia, hilanglah siri, dan hidup tidak
ada artinya bagi orang Bugis (Mattulada, 1985: 64). Oleh karena itulah orang Bugis
sangat patuh terhadap pangngadereng demi siri atau harga diri. Orang yang memiliki rasa
siri yang tinggi berarti orang yang mempunyai sifat yang mulia dan tinggi nilai atau
martabatnya di tengah-tengah masyarakat. Untuk mencapai hal tersebut, maka perilaku
setiap individu harus didasarkan pada sifat acca na lempu, warani na getteng,
mappasanre ri Puang Seuwae, artinya pandai mempertimbangkan dan jujur, berani dan
teguh pendirian, berserah kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ungkapan ini menunjukkan
bahwa esensi siri hanya mungkin diperoleh seseorang yang pandai dan jujur, berani dan
teguh, serta bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Konsep siri yang sampai sekarang diyakini secara konsisten oleh orang Bugis
memengaruhi tatanan kehidupan bagi masyarakat pendukungnya. Pengaruh-pengaruh
tersebut di antaranya ketaatan kepada pangngadereng, penegakan harga diri atau
martabat, identitas sosial, tradisi merantau dan motivasi kerja, dan kontrol sosial
(Mattulada, 1985: 64)
a. Ketaatan kepada pangngadereng. Konsep siri merupakan tuntutan budaya terhadap
setiap individu untuk mempertahankan kesucian pangngadereng sehingga keamanan,
ketertiban, dan kesejahtaraan masyarakat tetap terjamin. Pangngadereng adalah
sistem norma dan aturan-aturan adat serta tata tertib yang berfungsi sebagai kontrol
sosial, baik bersifat preventif maupun represif, dalam mengatur seluruh tingkah laku
manusia. Sebagai langkah preventif, dalam sistem ini diajarkan bagaimana manusia
mengenal perbuatan yang baik dan buruk. Dengan demikian, seseorang yang akan
berbuat sudah mengetahui akibat-akibat dari perbuatannya. Jika terjadi sebuah
pelangggaran terhadap tata tertib masyarakat, maka sistem ini akan memberikan
hukuman yang setimpal dengan perbuatannya kepada siapa pun pelakunya, termasuk
penguasa.
Pangngadereng menunjung tinggi persamaan dan kebjiksanaan namun menolak
segala bentuk kesewenang-wenangan, pemerkosaan, penindasan, dan kekerasan.
Sistem pangngadereng mengandung esensi yang sangat bernilai bagi pendukungnya,
yaitu menjunjung tinggi martabat manusia. Oleh karena itulah setiap individu dituntut
untuk menjunjung tinggi dan menaati adat tata kelakuan atau sistem pangngadereng
yang berlaku. Dengan melaksanakan pangngadereng, berarti seseorang telah berusaha
mencapai martabat hidup yang disebut dengan siri (Abdi El-Machete, 2011).
b. Penegakan harga diri dan martabat. Siri pada diri manusia Bugis dapat muncul dari
berbagai realitas sosial dan kehidupan sehari-hari. Jika seseorang telah dibuat
tersinggung oleh kata-kata atau tindakan orang lain yang dianggapnya tidak sopan,
maka seluruh anggota keluarganya akan ikut merasa tersinggung dan melakukan
pembalasan terhadap orang itu demi menegakkan harga diri keluarga. Salah satu
realitas sosial yang paling banyak bersinggungan dengan masalah siri adalah
perkawinan. Jika seseorang telah ri pakasiri’ atau dibuat malu karena anak gadisnya
ilariang atau dibawa lari oleh seorang pemuda, maka seluruh pihak keluarga laki-laki
gadis itu merasa berkewajiban untuk membunuh pelaku demi menegakkan siri keluarga
(Abdi El-Machete, 2011)..
c. Identitas sosial. Siri adalah unsur yang sangat prinsipil dalam diri orang Bugis.
Hidup seseorang dianggap berarti jika pada dirinya terdapat martabat atau harga diri.
Menurut mereka, tak ada satu nilai pun yang berharga untuk dibela dan wajib
dipertahankan selain daripada siri karena hanya untuk siri-lah kita hidup di bumi ini
(siri’ emmi ri onroang ri lino). Ungkapan ini menjadi identitas sosial yang dianut
secara bersama-sama oleh golongan-golongan tertentu dalam masyarakat Sulawesi
Selatan (Abdi El-Machete, 2011).
d. Tradisi merantau dan motivasi kerja keras. Keberadaan konsep siri dapat menjadi
motif penggerak banyak orang Bugis pergi merantau. Seseorang yang tidak mampu
melakukan pembelaan untuk menegakkan harga dirinya, maka ia akan dicap oleh
masyarakat sebagai tau de’ gaga siri’na (pengecut, tidak terhormat, atau tidak memiliki
harga diri). Oleh karena itu, tidak ada jalan lain yang harus ditempuh kecuali
meninggalkan kampung halamannya. Perantau yang berasal dari kelompok ini
umumnya merupakan perantau abadi, artinya ia dan keluarganya tidak ingin kembali ke
negeri asalnya. Ada pula orang yang merantau terkait dengan masalah siri yaitu para
pemuda yang dibuat malu karena pinangannya ditolak akibat ketidamampuannya
memenuhi mahar yang diminta oleh pihak keluarga perempuan. Dengan merantau,
mereka akan berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya di perantauan,
walau bagaimanapun keadaan yang dihadapinya. Mereka tidak akan mengeluh,
memohon bantuan dan meratapi nasibnya sebagai perantau yang kalah dan cengeng
dalam menghadapi berbagai tantangan berat. Mereka akan berusaha mencapai
keberhasilan agar dapat memiliki kemampuan materi dan kemudian kembali ke negeri
asalnya untuk menunjukkan bahwa mereka adalah pemuda yang bertanggung jawab
(Abdi El-Machete, 2011).
e. Kontrol sosial. Dalam realitas kehidupan orang Bugis, pengertian siri tidak melulu
bersifat menentang dalam artian melakukan penebusan-penebusan demi tegaknya harga
diri seseorang, tetapi siri juga dapat dimaknai sebagai perasaan halus dan suci.
Seseorang yang tidak mendengarkan nasihat orang tua, suka mencuri dan merampok,
tidak melaksanakan salat, atau tidak tahu sopan santun juga dianggap sebagai orang
yang kurang sirinya. Jadi, siri dapat menjadi sebuah kontrol sosial bagi setiap individu
maupun masyarakat dalam melakukan aktivitas sehari-hari sehingga pelanggaran-
pelanggaran adat, hukum, maupun tata kesopanan dapat terjaga dengan baik (Abdi El-
Machete, 2011).
Siri yang dianut oleh orang Bugis dan masyarakat Sulawesi Selatan pada
umumnya adalah sebuah konsep yang bertujuan untuk membangun ketertiban,
keharmonisan, dan keamanan kehidupan sosial sehingga harga diri dan martabat manusia
menjadi bernilai. Hingga sekarang, konsep ini masih tetap dipegang teguh oleh
masyarakat Bugis sebagai pedoman dalam berperilaku sehari-hari. Hanya saja, nilai-nilai
yang terkandung di dalam konsep siri sudah mulai luntur. Nilai-nilai siri yang semestinya
didasarkan pada acca na lempu, warani na getteng, mappasanre ri Puang Seuwae’ sudah
banyak diabaikan oleh sebagian orang sehingga muncul berbagai stereotip tentang
mereka. Oleh karena itu, hendaknya pengertian siri tidak hanya dimaknai secara sempit
sehingga dalam praktiknya tidak menyimpang dari makna yang sesungguhnya. Dengan
demikian, tatanan kehidupan manusia di muka bumi ini menjadi tertib, harmonis, dan
aman (Nasir, 2014).
6. Semiotika
1. Pendekatan Semiotik
Kata semiotik berasal dari kata Yunani semeion yang berarti tanda. Maka
semiotika berarti ilmu tanda. Semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan
pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda seperti sistem
tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (Zoest, 1993: 1).
Menurut Umberto Eco dan Hoed (dalam Sobur, 2003) semiotika dibagi atas
dua kajian, yaitu semiotika komunikasi dan semiotika tanda. Semiotika komunikasi
memfokuskan pada teori tentang produksi tanda yang salah satu di antaranya
mengasumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi, yaitu pengirim, penerima kode
(sistem tanda), pesan, saluran komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan) serta
memberikan tekanan pada teori tanda dan pemahamannya dalam suatu konteks
tertentu.
Menurut Littlejohn (1996: 64), sign (tanda/lambang) adalah basis dari seluruh
komunikasi. Manusia dengan perantaraan tanda-tanda dapat melakukan komunikasi
dengan sesamanya. Banyak hal bisa dikomunikasikan di dunia ini.
Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-
tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia
ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam
istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan
(humanity) memakai hal-hal (things). Memaknai (to sinify) dalam hal ini tidak dapat
mencampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti
bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem
terstruktur dari tanda (Sobur, 2006: 15).
Konsep dasar ini mengikat bersama seperangkat teori yang amat luas berurusan
dengan simbol, bahasa wacana dan bentuk-bentuk nonverbal, teori-teori yang
menjelaskan bagaimana tanda yang berhubungan dengan maknanya dan bagaimana
tanda disusun. Dengan tanda-tanda kita mencari keteraturan di tengah-tengah dunia
yang centang-prenang ini, setidaknya agar kita sedikit punya pegangan. “Apa yang
dikerjakan oleh semiotika adalah mengajarkan kita menguraikan aturan-aturan tersebut
dan membawanya pada sebuah kesadaran” ujar Pines (Sobur, 2016: 16).
Dengan semiotika kita lantas berurusan dengan tanda. Semiotika seperti kata
Lechte (2001: 191), adalah suatu disiplin yang menyelidiki semua bentuk komunikasi
yang terjadi dengan sarana signs tanda-tanda yang berdasarkan pada sign sistem (code)
tanda-tanda (Segers, 2000: 4). Yang perlu kita garis bawahi dari berbagai definisi di
atas adalah bahwa para ahli melihat semiotika atau semiosis itu sebagai ilmu atau
proses yang berhubungan dengan tanda. Begitulah semiotika berusaha menjelaskan
jalinan tanda atau ilmu tentang tanda, secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri,
dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikan yang menyertainya (Sobur, 2006: 16).
Tokoh-tokoh dalam ilmu semiotik itu adalah Ferdinan de Saussure, seorang
ahli linguistik asal Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang ahli filsafat dari
Amerika. Berdasarkan objeknya Pierce membagi tanda atas ikon (icon), indeks (index),
dan simbol (symbol). Ikon adalah tanda yang berhubungan antara tanda dan objek atau
acuan yang bersifat kemiripan, misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang
menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda yang langsung mengacu pada
kenyataan. Contoh yang paling jelas ialah asap sebagai tanda adanya api. Tanda seperti
itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi, simbol adalah tanda
yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Simbol tidak
harus mempunyai kesaan, kemiripan atau hubungan dengan objeknya (Sobur, 2006:
39).
2. Model Semiotika Charles Sanders Pierce
Charles Sanders Pierce ialah seorang ahli matematika dari AS yang sangat
tertarik pada persoalan lambang-lambang. Pierce menggunakan istilah representamen
yang tidak lain adalah lambang (sign) dengan pengertian sebagai something which
stands to somebody for something in some respect or capacity (sesuatu yang mewakili
sesuatu bagi seseorang dalam suatu hal atau kapasitas) (Pawito, 2007: 157). Menurut
Pierce, sebuah tanda itu mengacu pada sebuah acuan dan pemaknaan adalah fungsi
utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi dari tanda itu sendiri, yaitu sebagai sesuatu
yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang lain. Dari tanda
tersebut Pierce ingin mengidentifikasi partikel dasar dari tanda dan menggabungkannya
kembali semua komponen ke dalam struktur tunggal.
Pierce menggunakan teori segitiga makna (triangle meaning) yang terdiri atas:
(Pradopo, 2006: 256).
a. Sign (tanda)
Adalah sesuatu fisik yang dapat ditangkap oleh panca indra manusia dan
merupakan sesuatu yang merujuk hal lain di luar tanda itu sendiri. Acuan tanda ini
disebut objek.
b. Object (objek)
Adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang
dirujuk tanda.
c. Interpretant (interpretan)
Adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan
menurunkannya ke suatu makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang
dirujuk sebuah tanda.
Hubungan segitiga makna Pierce ditampilkan dalam gambar berikut (Fiske, 1990:
40):
Gambar 2.1. Hubungan Tanda, Objek, dan Interpretan Pierce
Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan
symbol (simbol). Icon adalah tanda yang hubungan antara penanda dan petandanya bersifat
bersamaan bentuk alamiah. Atau dengan kata lain, icon adalah hubungan antara tanda dan
objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya: potret dan peta. Index adalah tanda yang
menunjukkan adanya hubungan alamiah antara petanda yang bersifat kausal atau hubungan
sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan. Contoh yang paling jelas
ialah asap sebagai tanda adanya api. Sedangkan symbol adalah tanda yang menunjukkan
hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer
atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian) masyarakat (Sobur, 2006: 42).
Ketiga kategori tersebut digambarkan dalam sebuah model segitiga sebagai berikut.
Sign
Interprent Object
Gambar 2.2. Model kategori Tanda oleh Pierce
Charles Sanders Pierce membuat trikonomi tanda ketiga trikonomi di atas dapat
digambarkan dalam bagan sebagai berikut.
Tanda Ikon Indeks Simbol
Hubungan tanda
dengan sumber
acuannya
Tanda dirancag
untuk
mempresentasikan
sumber acuan
melalui simulasi
atau persamaan
(artinya, sumber
acuan dapat
dilihat, didengar,
dan sebagainya.
Tanda dirancang
untuk
mengindikasikan
sumber acuan atau
saling
menghubungkan
sumber acuan
Tanda dirancang
untuk
menyandingkan
sumber acuan
melalui
kesepakatan atau
persetujuan
Ditandai dengan Persamaan
(kesamaan)
Hubungan sebab
akibat
Konvensi
Contoh Gambar-gambar,
patung-patung,
tokoh besar, foto
Renaldo Reagen,
onomatopoeia,
dan seterusnya
Asap/ api, gejala/
penyakit, bercak
merah/ campak,
jari yang
menunjuk kata
keterangan di sini,
di sana, kata ganti
aku, kau, ia, dan
seterusnya.
Kata-kata isyarat,
simbol
matematika,
simbol sosial
Proses Dapat dilihat Dapat
diperkirakan
Harus dipelajari
Tabel 2.1 Bagan Trikotomi Pierce (hubungan tanda dengan objeknya) yang dijelaskan Sobur
(2009: 34) dan Danesi (2012: 34)
Ragam tanda yang diungkapkan Pierce (Fiske, 1990: 46) antara lain adalah ikon yang
didefinisikan sebagai tanda yang serupa dengan yang ditandai, symbol dengan pengertian
sebagai tanda yang tidak serupa dengan yang ditandai, tetapi bersifat arbitrer dan murni
Index Syombol
Icon
konvensional, serta indeks yang didefinisikan sebagai tanda yang bersifat terkait secara
otomatis dalam suatu hal dengan yang ditandai atau kasual (eksistensial).
Paradigma dan sintagma dalam struktur kalimat, kumpulan tanda diatur dalam kode-
kode. Paradigm merupakan klasifikasi tanda, sedangkan tanda yang merupakan anggota dari
kategori tertentu (Subur, 2002). Bagi Pierce cirri dasar penting dari tanda adalah ground
(dasar), dan bagian atas tanda disebut dengan kode yang mengarah pada kode bahasa, tanda
dan dasarnya (ground) terbagi menjadi tiga, yaitu,
1) Qualisigns sebagai tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat
2) Sinsigns yaitu tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilannya dalam kenyataan,
dan
3) Legisigns yaitu tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang
berlaku umum (konvensi)
Istilah denotatum dalam dunia semiotika Pierce terkait dengan tanda sebagai istilah
yang dipergunakan untuk menandakan unsure kenyataan yang ditunjuk oleh tanda. Oleh
Pierce digunakan dengan istilah objek dan membedakannya menjadi tiga macam;
1) Ikon sebagai tanda yang ada
2) Indeks sebagai tanda yang tergantung pada denotatum, dan
3) Simbol yaitu tanda yang berhubungan dengan denotatum ditentukan oleh suatu
konvensi.
B. Kerangka Pikir
Kerangka pikir merupakan alur pikir penulis yang dijadikan sebagai skema pemikiran
untuk memperkuat indikator yang melatarbelakangi penelitian ini.
Dasar dari penelitian ini yaitu sastra yang kemudian dari sastra tersebut lahirlah karya
sastra yang terbagi menjadi tiga jenis, yaitu puisi, prosa, dan drama. Pada penelitian ini,
peneliti memfokuskan pada prosa yaitu novel dengan judul Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck dengan mengkaji nilai siri berdasarkan teori semiotik Pierce. Semiotik melihat
kebudayaan sebagai suatu sistem pemaknaan. Pemaknaan semiotik mengaitkan tanda dengan
kebudayaan, tetapi memberkan tempat sentral terhadap tanda. Meski objek yang diteliti
berupa teks, namun teks itu dilihat sebagai tanda atau symbol, sehingga dalam analisis
semiotik, tanda itu memiliki pemaknaan secara khusus, yang mana tanda itu dibagi menjadi
tiga bagian yaitu simbol, ikon, dan indeks.
Gambar 2.3. Bagan Kerangka Pikir
Karya Sastra
Puisi Prosa Drama
Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Siri Semiotik
Pierce
1. Simbol
2. Ikon
3. Indeks
Analisis
Temuan
Karya Sastra
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kuliatatif dengan metode deskriptif.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini dijabarkan ke dalam langkah-langkah sesuai
dengan tahapan pelaksanaannya, yaitu tahap penyediaan data, tahap analisis data, dan tahap
penyajian analisis data.
Metode deskriptif merupakan metode yang bermaksud untuk membuat deskripsi
mengenai situasi atau kejadian-kejadian (Suryabarata, 2000: 18). Metode ini adalah metode
penelitian yang menguraikan fakta-fakta struktur, fungsi dalam novel, dan memberikan
perhatian terhadap data alamiah.
Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, yakni data dalam hubungan
dengan konteks keberadaannya. Dalam ranah sastra, sumber datanya adalah karya, naskah,
data penelitian, sedangkan datanya adalah kata-kata, kalimat, dan wacana (Ratna, 2004: 46).
Dengan pemilihan metode deskriptif kualitatif dalam penelitian ini, peneliti akan
mendeskripsikan atau menggambarkan fenomena nilai siri berdasarkan teori Pierce yang
terdapat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Dalam hal ini hasil analisis
berupa data deskriptif yang berisi kutipan-kutipan tentang temuan data yang disajikan dalam
bentuk kata-kata tertulis mengenai nilai siri dalam novel.
B. Data dan Sumber Data
1. Data
Data pada penelitian ini berupa teks yang terdapat novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck yang diperoleh dari hasil analisis.
2. Sumber Data
Sumber data pada penelitian ini, berupa novel sirius yang berjudul Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck yang bercerita tentang perjalanan cinta seorang laki-laki dari suku
Bugis dan perempuan Minangkabau. Novel ini diperankan oleh beberapa tokoh yang berlatar
budaya Bugis dan Minangkabau.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk menjawab rumusan masalah, teknik pengolahan data dalam penelitian ini
menggunakan teknik analisis, yaitu analisis nilai siri berdasarkan teori semiotik Pierce.
Sesuai dengan permasalahan penelitian ini teknik analisis digunakan untuk menganalisis
karya sastra.
Adapun langkah kerja dalam penelitian ini antara lain:
1. Merumuskan masalah yang akan diteliti.
2. Mencari teori yang sesuai dan mendukung tujuan penelitian.
3. Membaca novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijkc secara cermat.
4. Menganalisis data dengan mengidentifikasi bagian-bagian yang berkenaan dengan
nilai siri.
5. Mengidentifikasikan nilai siri dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
dengan menilai layak atau tidaknya novel tersebut dijadikan bahan bacaan bagi
semua kalangan, khusunya kalangan remaja yang dalam proses perkembagan
karakter.
6. Menarik kesimpulan dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang nilai siri
dalam novel.
D. Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan analisis konten. Data yang diperoleh dianalisis dengan
teknik deskriptif kualitatif. Analisis data dilakukan untuk mengetahui nilai siri; yang terdapat
dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka.
51
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif
karena data memerlukan penjelasan secara deskriptif. Teknik pendeskripsian digunakan
untuk mengetahui semua tujuan diadakan penelitian.
Untuk dapat menganalisis data, ada beberapa tahapan atau langkah yang perlu
dilakukan, antara lain sebagai berikut.
1. Pengumpulan Data (Teks)
Pengumpulan data adalah mengumpulkan teks yang menjadi objek penelitian dari
sumber aslinya. Dalam penelitian ini data dikumpulkan dari sumber karya sastra berupa
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka sebagai bahan analisis.
2. Pembacaan atau Penulisan Teks
Teks yang menjadi objek penelitian dibaca oleh peneliti untuk dipahami dan
diamati unsur-unsur yang terdapat dalam teks, kemudian dicatat teks yang menjadi objek
penelitiannya. Peneliti membaca dengan seksama terhadap objek penelitian yang berupa
novel kemudian dipahami serta diamati sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian.
3. Deskripsi teks
Setelah dibaca dan dipahami oleh peneliti, teks dideskripsikan untuk dianalisis
oleh peneliti sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya. Setelah membaca teks, peneliti
kemudian mendeskripsikan teks berdasarkan temuan data yang berkaitan dengan nilai siri
yang terdapat dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
4. Analisis data
Setelah mendeskripsikan data, peneliti kemudian menganalisis secara seksama
tentang nilai siri sesuai dengan teori yang digunakan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Menelaah atau menganalisis nilai siri dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck karya Buya Hamka yang menjadi objek dalam pembahasan penelitian ini, diperlukan
suatu pendekatan yag berusaha memahami latar belakang kehidupan sosial budaya,
kehidupan masyarakat, maupun kejiwaan atau sikap pengarang terhadap lingkungan
kehidupan atau zamannya pada saat cipta sastra itu diwujudkan.
Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah novel Tenggelamnya Kapal Van Der
Wijck karya Buya Hamka. Dalam penelitian ini penulis hanya memilih beberapa data dari
novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka tersebut. Penulis hanya
memfokuskan nilai siri yaitu berdasarkan teori Semiotik Charles Sanders Pierce yang
membagi tanda atas tiga, yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Berikut ini merupakan hasil analisis nilai siri dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck karya Buya Hamka yang menjadi objek kajian dalam penelitian ini.
1. Simbol
Adalah tanda yang menunjukkan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya.
Hubungan di antaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi
(perjanjian) masyarakat.
Data 1
Segala perkataan Tuan itu benar, tidak ada yang salah. Tapi peredaran masa dan
zaman senantiasa berlain dengan kehendak manusia, di dalam kita tertarik dengan
tertawanya, tiba-tiba kita diberi tangis. Saya ingat kekerasan adat di sini, saya ingat
kecenderungan mata orang banyak, akan banyak halangannya jika kita bercinta-
cintaan. Saya takut bahaya dan kesukaran yang akan kita temui, jika jalan ini kita
tempuh. (TKVDW: 47).
59
Berdasarkan data di atas dengan tegas menjelaskan bahwa siri tidak hanya ada di
Bugis tetapi juga terdapat pada suku lain. Perkataan Hayati pada kutipan di atas menandakan
bahwa seorang yang berasal dari suku di luar Padang tak bisa bersatu dengan orang Padang,
sebab itu adalah adat istiadat yang dipegang teguh dan jika dilanggar maka hukum adat pasti
berlaku.
Melalui tokoh Zainuddin, dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck penulis
menyampaikan pesan siri melalui kesabaran dan ketabahannya dalam menghadapi cobaan
hidup, seperti yang terdapat dalam kutipan di bawah ini.
Data 2
“Untuk kemaslahatan Hayati yang engkau cintai,” perkataan ini berhujam ke dalam
jantung Zainuddin, laksana panah yang sangat tajam. Dia teringat dirinya, tak
bersuku, tak berhindu, anak seorang terbuang, dan tak dipandang sah dalam adat
Minangkabau. Sedang Hayati seorang anak Bangsawan, turunan penghulu-penghulu
pucuk bulat urat tunggang yang terpendam pekuburan, bersasak berjerami di dalam
negeri Batipuh itu. Alangkah besarnya korban yang harus ditempuh Hayati, jika
sekiranya mereka langsung kawin, dan tentu Hayati tidak akan tahan menderita
pukulan yang demikian hebat. (TKVDW: 51).
Berdasarkan data di atas, terdapat kata-kata yang menganggap bahwa Zainuddin
adalah seorang pemuda yang tak bersuku, tak berhindu, dan seorang anak yang terbuang yang
tidak pantas bersanding dengan Hayati yang seorang anak bangsawan. Namun Zainuddin
yang teguh pendirian, tidak menyerah dan tetap melamar Hayati, meskipun pada akhirnya
ditolak.
Penegasan karakter siri yang seharusnya dimiliki oleh tiap-tiap manusia diingatkan
Muluk kepada Zainuddin dengan mengenag kembali perjuangan ayahnya mempertahankan
kehormatannya dengan menghabiskan hidup di Makassar daripada harus menanggung malu
dan rendah jika memilih kembali ke Minangkabau.
Data 3
Terasa malu yang sebesar-besarnya, terasa perasaan yang mesti tersimpan dalam hati
tiap-tiap manusia, bahwa dia tidak mau dihinakan. Minangkabau negeri beradat,
seakan-akan di sana saja adat yang ada di dunia ini, di negeri lain tidak… (TKVDW:
109).
Melalui kutipan di atas, menggambarkan secara gamblang rasa malu dan rasa tidak
ingin dihina. Hal ini menekankan adanya siri yang perlu dipertahankan.
Pandangan penulis juga dapat dilihat di akhir cerita ketika Hayati menyerahkan kembali
cintanya kepada Zainuddin setelah ditinggal mati suaminya, Zainuddin menolak Hayati
melalui narasi pada kutipan di bawah ini.
Data 4
Zainuddin yang selama ini biasa sabar menerima cobaan, walaupun bagaimana
besarnya, sekali ini tak dapat lagi, ibarat bergantang sudah amat penuh, ia berkata
dalam hatinya, “Tidak! Pantang pisang berbuah dua kali, pantang pemuda makan sisa!
(TKVDW: 189).
Siri sifatnya mutlak, tanpa tawar menawar. Apabila seseorang dijatuhkan harga
dirinya, maka ia tidak akan diam saja. Seperti pada penjelasan penulis bahwa menjaga harga
diri merupakan kewajiban moral yang paling tinggi. Demikian pula Hamid Abdullah
menjelaskan bahwa demi siri seseorang rela mengorbankan apa saja, termasuk jiwanya.
Data 5
Siapakah di antara kita yang kejam, hai perempuan muda? Saya kirimkan berpucuk-
pucuk surat, meratap menghinakan diri, memohon dikasihani, sehingga saya yang
bagaimanapun bisa dipanang orang, wajib juga menjaga kehormatan diri. Tiba-tiba
kau balas dengan balasan yang tidak tersudu di itik, tak termakan di ayam. Kau
katakana bahwa kau miskin, saya pun miskin, hidup tidak akan beruntung kalau tidak
dengan uang. Sebab itulah kau pilih hidup yang lebih senang, mentereng, cukupp
uang berenang di dalam emas, bersayap uang kertas.
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa perlakuan Zainuddin menunjukkan nilai
siri, yaitu dengan memberi penolakan terhadap Hayati. Zainuddin yang begitu mencintai
Hayati kini harus menolaknya sebab ia pernah kehilangan harga diri, dicaci dan dimaki ketika
hendak bertniat baik melamar Hayati.
Namun, Zainuddin tidak begitu konsisiten dalam mempertahakan siri dalam dirinya,
seperti pada kutipan di bawah ini.
Data 6
Guru telah jatuh selemah sehina ini seakan-akan dtusukkannya sebilah keris yang
tajam ke ujung jantung Guru, sehingga kalau bukan kasian allah, binasa Guru
dibuatnya.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa harga diri Zainuddin hampir hilang akal
hanya karena kehilangan cinta seorang wanita. Zainuddin sama sekali tidak mencerminkan
sebagai orang Bugis yang mempertahankan harga dirinya.
Data 7
Mamak janagan panjang was-was. Pepatah orang Mengkasar sudah cukup: „anak laki-
laki tidak boleh dihiraukan panjang, hidupnya ialah buat berjuang, kalau perahunya
telah di kayuhkan ke tengah, dia tak boleh surut palang, meski bagaimana besar
gelombang. Biarkan kemudi patah, biarkan layar robek, itu lebih mulia daripada
membalik haluan pulang.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa sikap Zainuddin sebagai laki-laki Bugis
merupakan suatu upaya menegakkan siri untuk mencari kehidupannya tanpa harus
bergantung terus-menerus kepada Mamaknya yang selama ini telah bersusah payah
membesarkannya sejak ditinggal mati kedua orang tuanya.
Data 8
Hai Guru Muda! Mana pertahanan kehormatan yang ada pada laki-laki? Tidakkah ada
itu pada Guru? Ingatkah Guru bahwa ayah Guru terbuang dari mati di negeri orang,
hanya semata-mata mempertahankan harga diri? Tidakkah dua aliran darah yangpanas
ada dalam diri Guru, darah Minangkabau dari jihat ayah, darah Mengkasar dari jihat
ibu?
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa harga diri Zainuddin hampir gila hanya
karena kehilangan cinta seorang wanita. Zainuddin sama sekali tidak mencerminkan sebagai
orang Bugis dan Minangkabau yang mempertahankan harga dirinya.
Data 9
Bila teringat akan itu, dia terus berkata: “Tidak Hayati! Kau mesti pulang saja ke
Padang! Biarlah saya dalam keadaan begini. Pulanglah ke Minangkabau! Janganlah
ditumpangi hidup saya, orang tak tentu asal… Negeri Minangkabau beradat! ….
Besok hari senin, ada kapal berangkat dari Surabayake Tanjung Priok, akan terus ke
Padang Panjang! Kau boleh menumpang dengan kapal itu, ke kampungmu”.
Berdasarkan data di atas, bahwa Zainuddin yang bagaimanapun kecintaannya kepada
Hayati tidak akan menerima kembali Hayati dalam hidupnya sebab ia pernah dipermalukan,
dihina, dicaci dan dimaki hanya karena ia bukan berdarah asli Minangkabau. Sikap Zainuddin
inilah yang menunjukkan siri sebagai pertahanan harga diri.
Data 10
“Lebih baik kau pergi ke surau saja Hayati, jangan ke pacuan!” “saya malu memakai
pakaian demikian, Khadijah, tidak cocok dengan diriku, aku tak biasa.”
“Itulah yang diabiasakan.”
“Pakaian begini tak diadatkan di negeri kita.”
“Dahulu yang tidak, kini inilah pakaan yang lazim.”
“Saya tidak mau memebuka rambut.”
“Membuka rambut apakah salah? Bukankah panas kalau selalu ditutup saja?
Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa sikap Khadijah sebagai sahabat Hayati
tidak lagi mencerminkan nilai siri, sebagaimana yang mencerminkan cara berpakaian oaring
Minangkabau pada umumnya. Khadijah lebih memilih mengikuti cara berpakaian masa kini
yang lebih terbuka dan tidak mengikuti adat. Hal ini termasuk dalam nilai siri yang
mempermalukan diri sendiri.
2. Ikon
Adalah tanda yang berhubungan antara penanda dan petandaya bersifat bersamaan
atau alamiah, atau dengan kata lain ikon adalah hubungan antara tanda dan objek atau acuan
yang bersifat kemiripan.
Data 1
Tidak, dia tidak hendak pulang, meskipun hatinya meratap teragak pulang. Bukan
sedikit hari 12 tahun, entahlah gedang pohon kelapa yang ditanamkan di muka
halaman ibu, entah telah bersisik keris. Dia mesti hilang, meski larat karena
kehilangannya seorang, belum sebagai kepecahan telur ayam sebuah bagi orang di
kampung. (TKVDW: 8)
Berdasarkan data di atas, diucapkan Pandekar Sutan ketika kerinduan akan kampung
halamannya, yang meskipun dengan sangat berat hati menahan kerinduan itu agar tidak
pulang sebab rasa malu yang teramat besar karena telah diasingkan dari kampung
halamannya sendiri hanya karena perihal harta benda. Nilai siri tersebut menggambarkan
bagaimana nilai siri itu sebenarnya. Hal ini juga sejalan dengan nilai siri dalam penegakan
harga diri dan martabat. Salah satu siri yang berasal dari orang itu sendiri, dengan kata lain
siri dalam arti perasaan yang penyebabnya dari dalam.
Data 2
Begitulah keadaan Zainuddin yang hidup laksana laying-layang yang tak dapat angin,
tak tentu turun naiknya, selalu gundah gulana disebabkan pukulan cinta.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa harga diri Zainuddin hampir hilang akal
hanya karena kehilangan cinta seorang wanita. Zainuddin sama sekali tidak mencerminkan
sebagai orang Bugis yang mempertahankan harga dirinya.
Data 3
“Sukakah Encik saya tolong?”
“Apakah gerangan pertolongan Tuan itu?”
“Berangkat Encik lebih dahulu pulang ke Batipuh marah Mamak dan Ibu Encik kelak
jika terlambat benar akan pulang, pakailah paying ini, berangkatlah sekarang juga.
“Terima kasih!” jawab Hayati.
“Jangan ditolak pertolongan itu,” kata orang lepau tiba-tiba. “Orang hendak berbuat
baik tidak boleh ditolak”.
“Dan Tuan sendiri bagaimana?” jawab Hayati pula, sedang temannya yang seorang
lagi menekur-nekur saja kemalu-maluan.
“Itu tak usah Encik susahkan, orang laki-laki semuanya gampang baginya, pukul 7
atau 8 malam pun saya sanggup pulang. Kalau hujan ini tak teduh juga. Berangkatlah
dahulu! (TKVDW: 24).
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bagaimana nilai siri yang terdapat dalam diri
Zainuddin yang merasa harga dirinya dan kehormatannya sangat rendah sebagai laki-laki jika
tidak membantu perempuan yang tak membawa paying di tengah hujan deras menjelang
malam. Maka dari itu, Zainuddin lebih memilih meminjamkan payungnya kepada perempuan
tersebut yang tidak lain adalah Hayati dan Khadijah agar bisa pulang tanpa harus menunggu
hujan reda.
Salah satu nilai siri yang berasal dari orang itu sendiri dengan kata lain siri dalam arti
perasaan yang penyebabnya dari dalam. Siri’ masiri’ yang menggerakkan orang yang
bersangkutan berusaha dengan semangat yang meluap-luap, membanting tulang, bekerja
demi tegaknya kembali sirinya (harkat dan martabat) sebagai manusia sejalan dengan kutipan
berikut.
Data 4
Tapi Zainuddin tidak hendak kembali sebelum maksudnya berhasil, dia hendak
memperdalam penyelidikannya dari hal ilmu dunia dan akhirat, supaya kelak menjadi
seorang yang berguna. (TKVDW: 61).
Siri itu sebagai daya pendorong, bervariasi kea rah sumber pembangkitan tenaga
untuk membanting tulang, bekerja mati-matian, untuk suatu pekerjaan atau usaha. Hal ini
sejalan dengan paragraf di atas yaitu menjelaskan bahwa prinsip siri yang dipegang teguh,
Zainuddin tidak ingin kembali ke tanah kelahirannya, sebelum berhasil memperdalam
ilmunya.
Siri merupakan daya pendorong untuk melenyapkan (membunuh), mengasingkan,
mengusir, dan sebagainya terhadap apa saja yang dapat menyinggung perasaan atau harga
diri.
Data 5
Di kota itulah Zainuddin belajar agama. Dalam mempelajari agama diambilnya juga
pelajaran bahasa Inggris, dan memperdalam bahasa Belanda. Malam dia pergi kepada
seorang sersan pension di Guguk Malintang mempelajari permainan biola. Kadang-kadang
diikutinya pula sersan itu bermain di Medan yang ramai-ramai. Karena menurut
keyakinannya adalah musik itu menghaluskan perasaan. Di Padang Panjang itu baru dapat
Zainuddin menyampaikan cita-cita seketika dia berniat hendak meninggalkan Mengkasar
dahulu. (TKVDW: 68).
Berdasarkan data di atas menggambarkan betapa Zainuddin sebagai lelaki Bugis
mempunyai siri, yang dengan tekadnya yang kuat ia belajar agama dan ilmu pengatahuan lain
demi bekal masa depan yang lebih baik. Demi terinjak-injaknya harga diri karena di pandang
sebelah mata.
Hingga suatu hari Zainuddin dipertemukan kembali dengan Hayati di tengah-tengah
keramaian saat pertandingan pacuan kuda sedang berlangsung di Padang Panjang. Zainuddin
sempat bingung dengan pakaian yang digunakan Hayati yang tidak seperti biasanya.
Bagaimana tidak, Hayati yang selama ini memakai pakaian yang hampir menutupi seluruh
tubuhnya kini mengikuti pakaian para perempuan kota yang mengatasnamakan mode.
Data 6
Hayati… Apa yang saya lihat kemarin? Mengapa telah berubah pakaianmu, telah
berubah gayamu? Mana baju kurungmu? Bukankah Adinda orang dusun! Saya bukan
mencela bentuk pakaian orang kini, yang saya cela ialah cara yang telah berlebih-lebihan,
dibungkus perbuatan terlalu dengan nama mode. Kemarin, Adinda pakai baju yang sejarang-
jarangnya, hampir separoh dada Adinda kelihatan, sempit pula gunting lengannya, dan
pakaian itu yang dibawa ke tengah-tengah ramai.
Sebagai lelaki mencintai Hayati, Zainuddin merasa malu melihat Hayati
menggunakan pakaian yang hampir separuh dadanya kelihatan.
Data 7
“Tidak, Khadijah!” jawab Hayati, “pendapatmu tak betul, cinta tak bergantung
kepada uang. Kalau dua orang yang bercinta dapat bertemu, kesenangan dan
ketentraman pikirannya, itulah uang, itulah dia kekayaan, lebih dari gelang emas,
dokoh berlian, pakaian cukup. Itulah kesenangan yang tal lekang di panas, tak lapuk
di hujan.
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa Hayati masih mempunyai harga diri,
yang mencitai seseorang bukan karena hartanya, melainkan karena cintanya yang tulus.
3. Indeks
Adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiah antara petanda yang
bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada
kenyataan.
Data 1
Angan-angan dan khayal yang demikianlah yang menyampaikan langkahku kemari.
Sebab di negeri Mengkasar sendiri saya dipandang orang Padang, bukan orang asli
Bugis atau Mengkasar. Sebab itu di sana saya rasa senantiasa dalam kesepian.
Berdasarkan data di atas terdapat dalam isi surat Zainuddin kepada Hayati di atas
anjungan dekat sebuah lampu dnding dibacanya. Angan-angan dan khayal yang
mengantarkan langkahnya ke Padang Panjang yang telah terbayang khayalnya sejak dulu
ternyata berkebalikan, disangkanya dijunjung tinggi kedatangannya di Padang ternyata hanya
dipandang sebagai musafir di tengah gurun pasir. Bahkan bokongnya sendiri tidak
mengakuinya, seperti pada kutipan berikut.
Data 2
Bokongku sendiri tidak mengakui saya anak pisangnya, sebab rupaya ayahku tak
mempunyai saudara yang karib. Mereka bawa saya menumpang selama ini, karena
dipertalikan bukan oleh budi bahasa, tetapi oleh uang, sekali lagi Hayati, oleh uang!
(TKVDW: 34).
Berdasarkan data di atas bahwa Zainuddin menggambarkan perjalanan hidupnya
sangat malang, di keluarganya sendiri di Padang tidak mengakuinya sebagai cucu dari
ayahnya, sehubungan ayah dan ibunya telah meninggal.
Sehubungan dengan paragraf di atas, maka Hayati yang berhati lembut mulai luluh
dan jatuh hati kepada Zainuddin dengan cerita yang disampaikan Zainuddin melalui surat-
suratnya.
Data 3
Jika cinta itu suatu dosa, ampunilah dan maafkanlah! Hamba akan turut perintah-Mu,
hamba tak akan melanggar larangan, tak akan menghentikan suruhan. Akan hamba
simpan, biarlah orang lain tak tahu, tetapi izinkan hamba ya Tuhan. (TKVDW: 36)
Berdasarkan data di atas Hayati telah jatuh hati kepada Zainuddin melalui ceritanya
yang dia kirimkan lewat surat, namun Hayati lebih memilih menyimpan perasaannya seorang
diri, bermunajat kepada Tuhan agar dijagakan hati dan perasaanya sehingga tidak dibutakan
oleh cinta.
Siri telah tertanam dalam jiwa suku Bugis, bahwa tujuan hidup adalah menjadi
manusia susila dengan memiliki harga diri tinggi. Sehubungan dengan pernyataan di atas
pengambilan nilai terdapat pada kutipan di bawah ini:
Data 4
Tidak berapa jauh jaraknya dusun Batipuh dengan kota Padang Panjang, kota yang
dingin di kaki gunung Singgalang itu. Tetapi bagi Zainudin, dusun itu telah jauh, sebab tak
dapat bertemu dengan Hayati lagi. Apalagi budi pekertinya terlalu tinggi, kalau budinya
rendah, sejam atau dua jam, tentu dia telah dapat menemui Hayati. (TKVDW: 61).
Berdasarkan data di atas menekankan karakter Zainuudin yang berbudi tinggi. Ketika
orang Batipuh mengusirnya, ia menuju ke Padang Panjang yang letaknya tidak begitu jauh
dari Batipuh. Setidaknya bisa saja, ia kembali ke Batipuh untuk sekadar menemui Hayati.
Esensi siri adalah menjaga dan mempertahankan harga diri dan kehormatan. Sehingga siri
mampu menjadi landasan dalam bertindak. Budi pekerti yang tnggi pada paragraf di atas
menekankan salah satu perwujudan nilai siri.
Berbeda dengan paragraph sebelumnya, tokoh Zainuddin pada kalimat berikut tidak
mencerminkan sebagai suku Bugis yang menjunjung tinggi nilai siri.
Data 5
Berputar laksana perputaran buaian di pasar keramaian layaknya otak Zainuddin
memikirkan nasibnya, nafasnya sesak, matanya menjadi gelap. Dia teringat… teringat satu
perbuatan yang berbahaya sekali membunuh diri. (TKVDW: 97).
Penggunaan ide bunuh diri dalam alur cerita pada novel memberikan kesan lemahnya
nilai siri Zainuddin sebagai keturunan Bugis, bahkan bisa disebut pecundang. Namun, tak
bisa dipungkiridemikianlah cara penulis mengemas alur sehingga mampu membawa pembaca
pada kehidupan yang seolah-olah nyata.
Data 6
Malangnya nasibku. Telah rurut bunga hayatku sebelum dia mekar. Tua telah
berangsur mendatangiku, padahal umurku masih muda. Seorang diri aku menyebrangi hidup
ini sekarang; ayahku telah mati, ibuku dan ibu angkatku pun demikian. Seluruh alam
membenciku, hatta daun kayu di dekat rumah, angin pagi yang biasa membawa udara
nyaman, tidur yang biasanya mengembalikan kekuatan manusia, semuanya meninggalkan
daku. Tiba-tiba kau, yang hanya satu tempatku bergantung, telah hilang pula dariku! Ke mana
saya mesti pergi lagi, tunjukkanlah, walaupun ke pintu kubur kau tunjukkan, saya pun akan
pergi.
Rasa sakit yang ditanggung Zainuddin menjadikan dirinya kadang lupa hakikat siri
yang dijunjung tinggi oleh orang Bugis, bahkan ia rela menghinakan diri demi mendapatkan
cinta Hayati, penyemangat hidupnya. Ia lupa bahwa harga diri adalah sesuatu yang mutlak
dipertahankan oleh suku Bugis. Demikianlah cinta telah mampumengubah segala hal
termasuk prinsip seseorang.
Data 7
Ayahku telah mati, dan ibuku demikian pula bakoku tidak mengakui aku keluarganya.
Di Mengkasar hanya tinggal seorang ibu angkat. Dalam pergaulan, saya disisihkan
orang, saya tak hendak membunuh diri, karena masih ada pergantungan iman dengan
yang Maha Kuasa dan Gaib, bahwa dibalik kesukaran ada menunggu kemudahan. Di
dalam khayalku dan di dalam kegelapgulitaan malam, tersimbah awan, carilah
cerahlah langit dan kelihatanlah satu bintang satu bintang. Bintang dari pengharapan
untuk menunjukkan jalan. Bintang itu… ialah kau Hayati!
Berdasarkan data di atas dapat dilihat bahwa seorang Zainuddin yang telah kehilangan
ayah dan ibunya sejak kecil, hingga kemudian tidak lagi diakui oleh bakonya, kini telah
memiliki harapan karena kehadiran seorang Hayati dalam hidupnya. Namun, tidak berapa
lama kemudian ia harus menerima kenyataan bahwa Hayati yang dicintainya kini harus
menjadi milik orang lain hanya karena dirinya bukanlah dari orang beradat Minangkabau.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data dengan menggunakan teori Sanders Charles Pierce
maka didapatkan nilai siri dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang terbagi ke
dalam tiga bentuk, yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Penggambaran nilai siri sangat jelas ditemukan di dalam novel Tenggelamnya Kapal
Van Der Wijck. Pada dasarnya, nilai siri yang dituangkan dalam novel tersebut tergambar
pada sikap Zainuddin sendiri dalam menghadapi cobaan hidup dan kesedihan yang tidak
berkesudahan. Sejak masa dia dilahirkan, hingga dewasa, bahkan hingga akhir hayatnya.
Siri yang tergambar dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dimulai sejak
ayah Zainuddin yang merupakan suku Minangkabau sendiri harus menanggung malu sebab
harta warisan yang ditinggalkan orang tuanya hingga dia rela menghabiskan sisa hidupnya di
Makassar dan menikah dengan seorang gadis yang berasal dari Makassar. Hal ini
menggambarkan betapa siri itu berlaku tidak hanya di daerah Bugis saja tetapi di daerah-
daerah selain Bugis pula.
Hingga pada akhirnya lahirlah Zainuddin yang beranjak dewasa mencari sanak
keluarga di Minangkabau dan mendapatkan penolakan secara terang-terangan sebab dia
bukan berasal dari suku Minangkabau tulen, yang menjadikan Zainuddin dipandang sebelah
mata oleh orang-orang Minangkabau, yang pada akhirnya mempertemukannya dengan gadis
desa yang berasal dari suku Minangkabau.
Ketika sedang cinta-cintanya Zainuddin kepada Hayati, beliau harus meninggalkan
Batipuh karena dikatakan bahwa dia tidak pantas untuk duduk bersanding bersama Hayati
yang merupakan keturunan bangasawan. Zainuddin diceritakan sebagai seorang yang
berdarah Makassar-Minang. Ia lahir dan besar di Makassar yang memiliki nilai budaya
uatama yang dianut masyarakat, yaitu siri. Sebagaimana realitas asli budaya siri seharusnya
Zainuddin gambarkan dengan berdasar pada realitas yang ada. Namun, Zainuddin yang
digambbarkan dalam novel ini memiliki realitas siri yang lemah dalam menghadapi cobaan
hidup. Banyak narasi yang menggambarkan bagaimana kemudian Zainuddin terombang-
ambing dalam mepertahankan siri yang ada dalam dirinya. Itu semua dapat dilihat ketika
Zainuddin yang hendak mengakhiri hidupnya dikarenakan perempuan yang dicintainya
menikah dengan laki-laki lain.
Siri adalah harga mati. Seseorang bahkan rela mengorbankan jiwanya untuk
mempertahankan siri. Namun, bunuh diri yang hendak dilakukan Zainuddin bukanlah cara
untuk mempertahankan siri melainkan penegasan sifat pengecutnya menghadapi masalah
hidup yang berat. Hal ini melemahkan karakter siri dalam dirinya. Sebaliknya jika siri
dijunjung tinggi, tidak mungkin Zainuddin melakukan hal-hal yang mampu merendahkan
harkat dan martabatnya demi cinta, karena siri bukanlah harga yang bisa ditawar. Siri adalah
harga mutlak.
Penggambaran nilai siri dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dipandang
masih lemah. Sebagaimana pandangan Pelras, bagi manusia Bugis, siri adalah jiwa mereka,
harga diri mereka, dan martabat mereka. Sebab itu, untuk menegakkan dan membela siri yang
dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain, maka manusia Bugis akan bersedia
mengorbankan apasaja termasuk jiwanya yang paling berharga demi tegaknya siri dalam
kehidupan mereka.
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian pada skripsi yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van
Der Wijck karya Buya Hamka, dapat diambil beberapa simpulan sebagai berikut.
Sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sastra berasal kata sas (sansekerta) yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk,
dan intruksi, akhiran tra berarti alat atau sarana (Teew dalam Ratna, 2005: 4). Begitulah
kemudian seorang Buya Hamka menghasilkan karya yang indah tidak lain untuk dinikmati
oleh para pembacanya.
Penulis mengemas novel tersebut dengan bahasa yang sedikit lebih rumit dipahami
untuk kalangan remaja namun tetap saja menarik jika dibaca. Novel ini menceritakan tentang
kisah cinta dua anak manusia yang tidak dipersatukan sebab terhalang oleh adat-istiadat yang
berlaku.
Penulis mengemas nilai siri yang dianut oleh suku Bugis, yang secara langsung dapat
kita jumpai dalam novel tersebut, yang kemudian telah dianalisis menggunakan teori Sanders
Charles Pierce yang membagi tanda ke dalam tiga bagian, yaitu simbol, ikon, dan indeks.
Meskipun penggambaran nilai siri pada tokoh yang terdapat dalam novel tersebut masih
sangat lemah, yang tidak mencerminkan bagaimana seharusnya masyarakat Bugis bersikap,
yang menjadikan siri sebagai identitas sosial masyarakat bugis yang harus dijunjung tinggi
harkat dan martabatnya.
B. Saran
Penulis menyadari, masih banyak kekurangan dari penulisan skripsi ini dan masih
perlu ditindak lanjuti baik oleh penulis sendiri maupun para pembaca.
Penulis menyarankan kepada pembaca, generasi muda, mahasiswa, dan pelajar,
khusunya yang mengambil jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia agar
meningkatka kepedulian terhadap karya sastra, dan menjunjung tinggi nilai siri sebagai
masyarakat Sulawesi Selatan khususnya Bugis.
Dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nilai-nilai siri tersebut berkaitan
dengan kehidupan sehari-hari, mengingat generasi muda saat ini mengalami kemerosotan
budaya disebabkan perkembangan teknologi dan masuknya budaya-budaya luar di Indonesia,
sehingga nilai siri yang harusnya dijunjung tinggi kini tergantikan dengan budaya-budaya
luar yang merusak harkat dan martabat seorang masyarakat Bugis.
DAFTAR PUSTAKA
A, Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka
Jaya.
Aart, Van Zoest. 1993. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya, dan Apa yang Kita
Lakukan dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.
Aini, Alfiah Nurul. 2013. Analisis Semiotika terhadap Novel Laskar Pelangi Karya Andrea
Hirata Sebagai Alternatif Bahan Pengajaran Sastra di SMA. _____. NOSI. Vol. 1. No.
2: 80-86.
Arlina. 2015. Pengertian Sastra, Ciri-Ciri Sastra, dan Fungsi Sastra. Diambil dari
http://www.pendidikanku.org/2015/04/pengertian-sastra-ciri-ciri-sastra-dan.html,
diakses pada 19 Desember 2017.
Ariyani, Isma. 2014. Representasi Nilai Siri’ pada Sosok Zainuddin dalam Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (Ananlisis Framing Novel). Makassar: Universitas
Hasanuddin.
Badan Pengembangan dan Pembinaan, Kementerian Pendidikan dan Departemen
Kebudayaan Republik Indonesia. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edis V
Daring._____
Damono, Sapardi Djoko. 2007. Sastra di Sekolah. Dengan Sastra Menjadi Manusia. Jakarta:
Susastra, Jurnal Ilmu Susastra dan Ilmu Budaya. Vol. 1. No. 5.
EL_Machete, Abdi. 2011. Siri Na Pacce dalam Nilai dan Falsafah Hidup Orang Bugis-
Makassar. Diambil dari http://bugismakassartrip.com/siri-na-pacce-dalam-nilai-dan-
falsafah-hidup-orang-bugis-makassar.html, diakses pada 23 Desember 2017.
Esten, Mursal. 1990. Kesusastraan, Pengantar, Teori, dan Sejarah. Bandung: Angkasa.
Fananie, Zainuddin. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Fiske. John. 1990. Cultur and Communication Studies. Sebuah Pengantar Paling
Kompherensif. Yogyakarta: Jalasutra.
Generates Press. 2016. Sahabatnesia – Sharing Bebas Tanpa Batas. Diambil dari
https://sahabatnesia.com/pengertian-novel/, diakses pada 20 Desember 2017.
Hamid. 1985. Manusia Bugis Makassar. Jakarta: Inti Idayu Press.
Hamka, Buya. 2000. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Jakarta: Bulan Bintang.
Irma, Cintya Nurika. 2017. Pendekatan Sosiologi Sastra dan Nilai-Nilai Pendidikan dalam
Novel Punakawan Menggugat Karya Adrian Kresna. Palembang: Jurnal Bindo Sastra.
Vol. 1. No. 1 : 1-9.
Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer. Dari strukturalisme Sampai Post Modernitas.
Yogyakarta: Kanisius.
76
Littlejohn, Stehen W. 1996. Theoris of Human Communication. Edisi ke-5, Belmont-
California, Wadsworth.
Matthes, B.F. Boegineesche Chrestomthie I. Nederlandsch Bijbel-genootschap, Amsterdam.
Matulada. 1974. La Toa, Suatu Lukisan Analisa Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis.
Disertasi Universitas Indonesia, Jakarta.
Matulada. 1977. Beberapa Aspek Gotong Royong dalam Masyarakat Bugis Makassar. Berita
Antropologi No.30 Th. IX, Pebruari 1977.
Mattulada. 1985. LATOA. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Nasir, Muhammad. 2014. Norma dan Hukum Adat Suku Bugis. Diambil dari
http://nasirwirpala.blogspot.co.id/2014/11/norma-dan-hukum-adat-suku-bugis.html.
diakses pada 23 Desember 2017.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan Keenam. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Ode. 2011. Sastra, Bahasa, Bisnis, Filsafat, dan Edukasi. Diambil dari
http://ode87.blogspot.co.id/2011/03/pengertian-semiotik.html, diakses pada 23
Desember 2017.
Parmadi, Sumbang. 2016. Analisis Nilai Siri pada Tokoh Zainuddin dalam Novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Buya Hamka. Universitas Muhammadiyah
Makassar.
Pawito. 2007. Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: Pelangi Aksara Yogyakarta.
Pelras, Cristian. 2006. Manusia Bugis. Diterjemahkan dari Bahasa Inggris: The Bugis oleh
Abdul Rahman Abu, Hasriadi, dan Nurhady Sirimorok. Jakarta: Nalar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta. PT. Hanindita
Graha Widya.
Rahim, Rahman. 2011. Nilai-Nilai Utama Kebudayaan Bugis. Yogyakarta: Ombak.
Ratna, Nyoman Kuta. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Denpasar:
Pustaka Belajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Kultur Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.
Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Rosyidah, Eka Hijriana. 2017. Kesantunan Berbahasa dalam Kumpulan Cerpen Ketika Mas
Gagah Pergi dan Kembali Karya Helvy Tiana Rosa dan Implikasinya Terhadap
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMP. Jakarta: UIN Syarif Hidatullah.
Sangidu. 2004. Metode Penelitian Sastra, Pendekatan Teori, Metode dan Kiat. Yogyakarya:
UGM.
Saputra, Dapid. 2013. Communication Science and Public Relations. Diambil dari
https://dapidsaputra.wordpress.com/2013/10/14/semiotika-charles-sander-peirce/,
diakses pada 23 Desember 2017.
Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra, Sebuah Penelitian Eksperimental Berdasarkan
Teori Semiotika dan Estetika Resepsi. Yogyakarta: Adicita.
Setyawati, Elyna. 2013. Analisis Nilai Moral dalam Novel Surat Kecil Untuk Tuhan karya
Agnes Davonor (Pendekatan Pragmatik). Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Sobur, Alex. 2003. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.
Sobur, Alex. 2006. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sobur, Alex. 2016. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Sora. 2014. Pengertian Novel dan Unsur-Unsurnya. Diambil dari
http://wwwpengertianku.net/2014/08/pengertian-novel-dan-unsurnya.html. diakses
pada 15 Januari 2018.
Sudjiman, Panuti. 1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: PT Gramedia.
Sudjiman, Panuti. 1998. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumardjono, Jacob dan Saini K.M. 1997. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Sumadi, Suryabrata. 2000. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Taum, Yoseph Yapi. 1997. Pengantar Teori Sastra. Bogor: Penerbit Nusa Indah.
Tim Penyusun FKIP Unismuh Makassar. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Edisi Revisi I.
Makassar: Panrita Press.
Wellek, Renne dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Diterjemahkan Oleh Melani
Budianta). Jakarta: Pustaka Jaya.
Wellek, Rene dan Warren Austin. 1993. Teori Kesussatraan (Diterjemahkan melalui
Budiyanto). Jakarta: Gramedia.
Widjajanti, Retno. 2001. Kajian Teoritis pemilihan Lokasi Industri kaitannya dengan
Pertubuhan Ekonomi Daerah. Jurnal Teknik. Semarang: UNDIP.
Wicaksono, Andri. 2014. Pengkajian Prosa Fiksi. Bandar lampung: Garudhawaca.
Winarni, Retno. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari Press.
Yuliana, Sri. 2017. Representasi Nilai Budaya Siri dalam Film Televisi Nasional (Analisis
Semiotik Pierce Film “Badik Titipan Ayah”). Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar.
Sinopsis Novel
Di Negeri Batipuh Sapuluh Koto (Padang panjang) , seorang pemuda bergelar
Pendekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, yang merupakan pewaris tunggal harta
peninggalan ibunya. Karena tak bersaudara perempuan, maka harta bendanya diurus oleh
mamaknya. Datuk Mantari labih hanya bisa menghabiskan harta tersebut, sedangkan untuk
kemenakannya tak boleh menggunakannya. Hingga suatu hari, ketika Pendekar Sutan ingin
menikah namun tak diizinkan menggunakan hartany atersebut, terjadilah pertengkaran yang
membuat Datuk Mantari labih terbunuh. Pendekar Sutan ditangkap, saat itu ia baru berusia 15
tahun. Ia dibuang ke Cilacap, kemudian dibawa ke Tanah Bugis. Karena Perang Bone,
akhirnya ia sampai di Tanah Mengkasar. Beberapa tahun berjalan, Pendekar Sutan bebas dan
menikah dengan Daeng Habibah, putri seorang penyebar agama islam keturunan Melayu.
Empat tahun kemudian, lahirlah Zainuddin.
Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian ayahnya
menyusul ibunya. Ia diasuh Mak Base, teman ayahnya. Pada suatu hari, Zainuddin meminta
izin Mak Base untuk pergi ke Batipuh, sumbar, mencari sanak keluarganya di negeri asli
ayahnya. Dengan berat hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi.
Sampai di Padang, Zainuddin langsung menuju Negeri Batipuh. Sesampai di sana, ia
begitu gembira, namun lama-lama kabahagiaannya itu hilang karena semuanya ternyata tak
seperti yang ia harpakan. Ia masih dianggap orang asing, dianggap orang Bugis, orang
Mengkasar. Betapa malang dirinya, karena di negeri ibunya ia juga dianggap orang asing,
sementara di Makassar dia juga dianggap orang asing karena kuatnya adat istiadat pada saat
itu. Ia pun jenuh hidup di batipuh, dan saat itulah ia bertemu Hayati, seorang gadis Minang
yang membuat hatinya gelisah, menjadikannya alasan untuk tetap hidup di sana. Berawal dari
surat-menyurat, mereka pun menjadi semakin dekat dan kahirnya saling cinta.
Kabar kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan gunjingan semua warga.
Karena keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka hal itu menjadi aib bagi
keluargany, adat istiadat mengatakan Zainuddin bukanlah orang Minangkabau, Ibunya
berasal dari Makassar. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati, dengan alasan demi
kemaslahatan Hayati, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi meninggalkan Batipuh.
Zainuddin pindah ke Padang Panjang (berjarak sekitar 10 km dari batipuh) dengan
berat hati. Hayati dan Zainuddin berjanji untuk saling setia dan terus berkiriman surat. Suatu
hari, Hayati datang ke Padang Panjang untuk melihat acara pacuan kuda. Ia menginap di
rumah temannya bernama Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di
benak Hayati dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz,
kakak Khadijah yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati. Karena berada dalam satu kota
(Padang Panjang) akhirnya Zainuddin dan Aziz bersaing dalam mendapatkan cinta Hayati.
Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin. Karena itu ia
akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh.Temyata surat Zainuddin
bersamaan dengan lamaran Aziz. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang
dimilikinya, akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati dan menerima pinangan Aziz yang di
mata mereka lebih beradab, dan asli Minangkabau, dan Hayatipun akhirnya memilih Aziz
sebaagai suaminya. Zainuddin tak kuasa menerima penolakan tersebut. Apalagi kata
sahabatnya, Muluk, Aziz adalah seorang yang bejat moralnya. Namun apalah dayanya di
hadapan ninik mamaknya. Setelah penolakan dari Hayati, Zainuddin jatuh sakit selama dua
bulan.
Atas bantuan dan nasehat Muluk, Zainuddin dapat merubah pikirannya. Bersama
Muluk, Zainuddin pergi ke Jakarta. Di sana Zainuddin mulai menunjukkan kepandaiannya
menulis. Dengan nama samaran "Z", Zainuddin kemudian berhasil menjadi pengarang yang
amat disukai pembacanya. la mendirikan perkumpulan tonil "Andalas", dan kehidupannya
telah berubah menjadi orang terpandang karena pekerjaannya. Zainuddin melanjutkan
usahanya di Surabaya dengan mendirikan penerbitan buku-buku.
Karena pekerjaan Aziz dipindahkan ke Surabaya, Hayati pun mengikuti suaminya.
Suatu kali, Hayati mendapat sebuah undangan dari perkumpulan sandiwara yang dipimpin
dan disutradarai oleh Tuan Shabir atau "Z". Karena ajakan Hayati Aziz bersedia menonton
pertunjukkan itu. Di akhir pertunjukan baru mereka ketahui bahwa Tuan Shabir atau
"Z"adalah Zainuddin. Hubungan mereka tetap baik, juga hubungan Zainuddin dengan Aziz.
Semenjak mereka Hijrah ke Surabaya semakin lama watak asli Aziz semakin terlihat
juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian mereka makin
memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka diusir dari kontrakan, dan mereka
terpaksa menumpang di rumah Zainuddin. Di balik kebaikan Zainuddin itu, sebenarnya dia
masih sakit hati kepada Hayati yang dulu dianggapnya pernah ingkar janji. Karena tak kuasa
menanggung malu atas kebaikan Zainuddin, setelah sebulan tinggal serumah, Aziz pergi ke
Banyuwangi mencari pekerjaan dan meninggalkan isterinya bersama Zainuddin. Sepeninggal
Aziz, Zainuddin sendiri pun jarang pulang, kecuali untuk tidur.
Beberapa hari kemudian, diperoleh kabar bahwa Aziz telah menceraikan Hayati.
Melalui surat Aziz meminta supaya Hayati hidup bersama Zainuddin. Dan kemudian datang
pula berita dari sebuah surat kabar bahwa Aziz telah bunuh diri meminum obat tidur di
sebuah hotel di Banyuwangi. Hayati juga meminta maaf kepada Zainuddin dan rela mengabdi
kepadanya. Namun karena masih merasa sakit hati, Zainuddin menyuruh Hayati pulang ke
kampung halamannya saja. Esok harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der
Wijck.
Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup tanpa
Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertulis “aku cinta engkau, dan kalau
kumati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau.” Oleh sebab itulah setelah
keberangkatan Hajati ia berniat menyusul Hajati untuk dijadikan isterinya. Zainuddin
kemudian menyusul naik kereta api malam ke Jakarta.
Harapan Zainuddin temyata tak tercapai. Kapal Van Der Wijck yang ditumpangi
Hajati tenggelam di perairan dekat Tuban. Hajati tak dapat diselamatkan.
Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang
terbarng lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan hari itu adalah pertemuan terakhir
mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada Zainuddin, Hayati meninggal dalam dekapan
Zainuddin. Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pemenung. Dan tanpa disadari siapapun ia
meninggal dunia. Kata Muluk, Zainuddin meninggal karena sakit. Ia dikubur bersebaelahan
dengan pusara Hayati.
Biografi Buya Hamka
Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan Hamka adalah
seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang sangat terkenal di Indonesia.
Buya Hamka juga seorang pembelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti
filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Hamka pernah
ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di
desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta,
24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.
Hamka juga diberikan sebutan Buya, yaitu panggilan buat orang Minangkabau yang
berasal dari kata abi, abuya dalam bahasa Arab, yang berarti ayahku, atau seseorang yang
dihormati. Ayahnya adalah Syekh Abdul Karim bin Amrullah, yang dikenal sebagai Haji
Rasul, yang merupakan pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari
Makkah pada tahun 1906. Beliau dibesarkan dalam tradisi Minangkabau. Masa kecil Hamka
dipenuhi gejolak batin karena saat itu terjadi pertentangan yang keras antara kaum adat dan
kaum muda tentang pelaksanaan ajaran Islam. Banyak hal-hal yang tidak dibenarkan dalam
Islam, tapi dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Putra Hamka bernama H.
Rusydi Hamka, kader PPP, anggota DPRD DKI Jakarta. Anak Angkat Buya Hamka adalah
Yusuf Hamka, Chinese yang masuk Islam.
Hamka di Sekolah Dasar Maninjau hanya sampai kelas dua. Ketika usia 10 tahun,
ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka
mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran
agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa,
Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Sejak muda, Hamka dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya, memberi
gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa untuk menimba ilmu tentang
gerakan Islam modern kepada Hos Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM
Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin. Saat itu, Hamka mengikuti berbagai diskusi dan training
pergerakan Islam di Abdi Dharmo Pakualaman, Yogyakarta.
Hamka bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi,
Medan. Pada tahun 1929 di Padang Panjang, Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di
Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957-
1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan
Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
Sejak perjanjian Roem-Royen 1949, ia pindah ke Jakarta dan memulai kariernya
sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim. Waktu itu
Hamka sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi Islam di Tanah Air.
Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama
oleh Menteri Agama Indonesia. Pada 26 Juli 1977 Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti
Ali, melantik Hamka sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian
meletakkan jabatan itu pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah
Indonesia.
Hamka aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Beliau
mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bid‟ah,
tarekat dan kebatinan sesat di Padan g Panjang. Mulai tahun 1928 beliau mengetuai cabang
Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929 Hamka mendirikan pusat latihan
pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah
di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah di
Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada
tahun 1946. Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat
Muhammadiyah.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota
partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya
penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan
di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional,
Indonesia.
Pada tahun 1955 Hamka beliau masuk Konstituante melalui partai Masyumi dan
menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum. Pada masa inilah pemikiran Hamka
sering bergesekan dengan mainstream politik ketika itu. Misalnya, ketika partai-partai
beraliran nasionalis dan komunis menghendaki Pancasila sebagai dasar negara. Dalam
pidatonya di Konstituante, Hamka menyarankan agar dalam sila pertama Pancasila
dimasukkan kalimat tentang kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknyan sesuai
yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Namun, pemikiran Hamka ditentang keras oleh
sebagian besar anggota Konstituante, termasuk Presiden Sukarno. Perjalanan politiknya bisa
dikatakan berakhir ketika Konstituante dibubarkan melalui Dekrit Presiden Soekarno pada
1959. Masyumi kemudian diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Meski
begitu, Hamka tidak pernah menaruh dendam terhadap Sukarno. Ketika Sukarno wafat, justru
Hamka yang menjadi imam salatnya. Banyak suara-suara dari rekan sejawat yang
mempertanyakan sikap Hamka. “Ada yang mengatakan Sukarno itu komunis, sehingga tak
perlu disalatkan, namun HAMKA tidak peduli. Bagi Hamka, apa yang dilakukannya atas
dasar hubungan persahabatan. Apalagi, di mata Hamka, Sukarno adalah seorang muslim.
Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Soekarno
karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakan, beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar
yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat
sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis
Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia.
Pada tahun 1978, Hamka lagi-lagi berbeda pandangan dengan pemerintah. Pemicunya
adalah keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef untuk mencabut
ketentuan libur selama puasa Ramadan, yang sebelumnya sudah menjadi kebiasaan.
Idealisme Hamka kembali diuji ketika tahun 1980 Menteri Agama Alamsyah
Ratuprawiranegara meminta MUI mencabut fatwa yang melarang perayaan Natal bersama.
Sebagai Ketua MUI, Hamka langsung menolak keinginan itu. Sikap keras Hamka kemudian
ditanggapi Alamsyah dengan rencana pengunduran diri dari jabatannya. Mendengar niat itu,
Hamka lantas meminta Alamsyah untuk mengurungkannya. Pada saat itu pula Hamka
memutuskan mundur sebagai Ketua MUI.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan,
penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah
akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada
tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau
menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi
editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan
cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid). Pada 1950, ia mendapat
kesempatan untuk melawat ke berbagai negara daratan Arab. Sepulang dari lawatan itu,
Hamka menulis beberapa roman. Antara lain Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah
Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah. Sebelum menyelesaikan roman-roman di atas, ia
telah membuat roman yang lainnya. Seperti Di Bawah Lindungan Ka‟bah, Tenggelamnya
Kapal Van Der Wijck, Merantau ke Deli, dan Di Dalam Lembah Kehidupan merupakan
roman yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan
Singapura. Setelah itu Hamka menulis lagi di majalah baru Panji Masyarakat yang sempat
terkenal karena menerbitkan tulisan Bung Hatta berjudul Demokrasi Kita.
Setelah peristiwa 1965 dan berdirinya pemerintahan Orde Baru, Hamka secara total
berperan sebagai ulama. Ia meninggalkan dunia politik dan sastra. Tulisan-tulisannya di Panji
Masyarakat sudah merefleksikannya sebagai seorang ulama, dan ini bisa dibaca pada rubrik
Dari Hati Ke Hati yang sangat bagus penuturannya. Keulamaan Hamka lebih menonjol lagi
ketika dia menjadi ketua MUI pertama tahun 1975.
Hamka dikenal sebagai seorang moderat. Tidak pernah beliau mengeluarkan kata-kata
keras, apalagi kasar dalam komunikasinya. Beliau lebih suka memilih menulis roman atau
cerpen dalam menyampaikan pesan-pesan moral Islam.
Ada satu yang sangat menarik dari Buya Hamka, yaitu keteguhannya memegang
prinsip yang diyakini. Inilah yang membuat semua orang menyeganinya. Sikap
independennya itu sungguh bukan hal yang baru bagi Hamka. Pada zamam pemerintah
Soekarno, Hamka berani mengeluarkan fatwa haram menikah lagi bagi Presiden Soekarno.
Otomatis fatwa itu membuat sang Presiden berang ‟kebakaran jenggot‟. Tidak hanya berhenti
di situ saja, Hamka juga terus-terusan mengkritik kedekatan pemerintah dengan PKI waktu
itu. Maka, wajar saja kalau akhirnya dia dijebloskan ke penjara oleh Soekarno. Bahkan
majalah yang dibentuknya ”Panji Masyarat” pernah dibredel Soekarno karena menerbitkan
tulisan Bung Hatta yang berjudul ”Demokrasi Kita” yang terkenal itu. Tulisan itu berisi
kritikan tajam terhadap konsep Demokrasi Terpimpin yang dijalankan Bung Karno. Ketika
tidak lagi disibukkan dengan urusan-urusan politik, hari-hari Hamka lebih banyak diisi
dengan kuliah subuh di Masjid Al-Azhar, Jakarta Selatan.
Pada tanggal 24 Juli 1981 Hamka telah pulang ke rahmatullah. Jasa dan pengaruhnya
masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Beliau bukan sahaja diterima
sebagai seorang tokoh ulama dan sastrawan di negara kelahirannya, bahkan jasanya di
seantero Nusantara, ter masuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.
Atas jasa dan karya-karyanya, Hamka telah menerima anugerah penghargaan, yaitu
Doctor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar Cairo (tahun 1958), Doctor Honoris Causa
dari Universitas Kebangsaan Malaysia (tahun 1958), dan Gelar Datuk Indono dan Pengeran
Wiroguno dari pemerintah Indonesia
Pandangan sastrawan, Hamka yang juga dikenal sebagai Tuanku Syekh Mudo Abuya
Prof. Dr. Haji Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo tentang kepenulisan. Buya
Hamka menyatakan ada empat syarat untuk menjadi pengarang. Pertama, memiliki daya
khayal atau imajinasi; kedua, memiliki kekuatan ingatan; ketiga, memiliki kekuatan hapalan;
dan keempat, memiliki kesanggupan mencurahkan tiga hal tersebut menjadi sebuah tulisan.
Kitab Tafsir Al-Azhar merupakan karya gemilang Buya Hamka. Tafsir Al-Quran 30
juz itu salah satu dari 118 lebih karya yang dihasilkan Buya Hamka semasa hidupnya. Tafsir
tersebut dimulainya tahun 1960.
Hamka meninggalkan karya tulis segudang. Tulisan-tulisannya meliputi banyak
bidang kajian: politik (Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret, Urat Tunggang Pancasila),
sejarah (Sejarah Ummat Islam, Sejarah Islam di Sumatera), budaya (Adat Minangkabau
Menghadapi Revolusi), akhlak (Kesepaduan Iman & Amal Salih ), dan ilmu-ilmu keislaman
(Tashawwuf Modern).
Biodata Validator
Validator I
Nama : Faisal, S.S., M.Hum.
Tempat, Tanggal, Lahir : Sinjai, 28 November 1983
Pekerjaan : Dosen Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Makassar
Alamat : Manuruki 12, No. 3
Bidang Keahlian : Ilmu Sastra
Validator II
Nama : Dr. Amal Akbar, M.Pd.
Tempat, Tanggal, Lahir : Wantampone, 22 Februari 1982
Pekerjaan : Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesi
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar
Alamat : Green Cakra Recidence, Blok F1 No. 7
Bidang Keahlian : Pendidikan Bahasa Indonesia
RIWAYAT HIDUP
Hasni Dg. Parani, dilahirkan di Tambayoli, Kecamatan Soyo-Jaya,
Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah, pada tanggal 11 Mei
1995, dari pasangan Ayahanda Ramli Dg. Parani dengan Ibunda
Jumiati. Peneliti masuk sekolah dasar pada tahun 2002 di SDN
Tambayoli, Kecamatan Soyo-Jaya, Kabupaten Morowali Utara dan
tamat tahun 2008. Pada tahun itu juga peneliti melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 2
Soyo-Jaya, Kecamatan Soyo-Jaya dan tamat tahun 2011. Pada tahun 2011 peneliti kemudian
melanjutkan ke jenjang Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Sinjai Timur, sekarang
UPT SMA Negeri 3 Sinjai, dan selesai pada tahu 2014. Kemudian, tahun 2014 peneliti
melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Swasta, tepatnya di Universitas Muhammadiyah
Makassar (Unismuh), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, dengan Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Saat ini peneliti masih dalam proses penyelesaian
pendidikan strata satu (S1).
top related