referat tetanus
Post on 22-Jan-2016
148 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hippocrates sudah mengambarkan gejala penyakit tetanus ( tetanos =
regangan, teinein = meregang) pada manusia. Tahun 1882 Nicolaier dan
Rosenbach menemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh bakteri. Kemudian
tahun 1889 oleh Kitasato dan Nicolaier, kuman Clostridium tetani dan toksinnya
dapat diisolasi. Selanjutnya tahun 1890 Von Behring dan Kitasato melaporkan
keberhasilan imunisasi dan netralisasi toksin dengan antiserum spesifik yang
merupakan dasar metoda imunologi sebagai tindakan pencegahan dan pengobatan
tetanus. Akhirnya pada tahun 1925 Ramon memperkenalkan toksoid untuk
imunisasi aktif
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan neurotoksin yang
diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga dengan "Seven day
Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin seperti strichnine, kemudian
dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari tanah anaerob yang
1
mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi derivat tersebut
menghasilkan pencegahan dari tetanus.
1.2. Permasalahan
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka
kematian dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu tetanus masih
merupakan masalah kesehatan. Akhir–akhir ini dengan adanya penyebarluasan
program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan angka kematian
telah menurun secara drastis.
2
BAB II
TETANUS
2.1 Definisi
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang
kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan
oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin,
biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti
oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga).
Tetanus (rahang terkunci (lockjaw)) adalah suatu penyakit toksemia akut
dan fatal yang disebabkan oleh tetanuspasmin, neurotoksin yang dihasilkan oleh
Clostridium tetani, dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala klinis timbul sebagai dampak eksotoksin pada sinaps
ganglion spinal dan neuromuscular junction serta syaraf otonom.
2.2. Etiologi
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk batang
yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um, termasuk
3
gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat dibedakan dari tipe
lain berdasarkan flagella antigen.
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan
ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini tahan
dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam autoclaf bila
dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak kena cahaya, maka
spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai tahunan. Juga dapat
merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba, anjing, kucing, tikus,
ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob
dan kemudian berkembang biak.
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik
Kuman tetanus tumbuh subur pads suhu 17°C dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman tetanus
tidak dapat mengfermentasikan glukosa.
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam
eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan
kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui
beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala
berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.
4
Gambar 1. Clotridium tetani
Kingdom: Bacteria
Division: Firmicutes
Class: Clostridia
Order: Clostridiales
Family: Clostridiaceae
Genus: Clostridium
Species: Clostridium
tetani
5
2.3. Epidemiologi
Tetanus terjadi secara luas di seluruh dunia namun paling sering pada
daerah dengan populasi padat, pada iklim hangat dan lembab. Organisme
penyebab ditemukan secara primer pada tanah dan saluran cerna hewan dan
manusia. Transmisi secara primer terjadi melalui luka yang terkontaminasi. Luka
dapat berukuran besar atau kecil. Pada tahun-tahun terakhir ini, tatanus sering
terjadi melalui luka- luka yang kecil. Tetanus juga dapat menyertai setelah luka
operasi elektif, luka bakar, luka tusuk yang dalam, luka robek, otitis media,
infeksi gigi, gigitan binatang, aborsi dan kehamilan.
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat
jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di samping
sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang berkembang
termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini disebabkan
karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi,
perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan
pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi
mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data
dari WHO menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara
kasar berkisar antara 0,5 – 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar
50% dari kematian akibat tetanus di negara – negara berkembang. Perkiraan
insidensi tetanus secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di
6
negara berkembang, tetanus lebih sering mengenai laki – laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 3 : 1 atau 4 :1
Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat sesuai
kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun dan
20–29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–39
tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka
kejadian lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.
2.4. Patogenesis
Clostridium tetani biasanya memasuki tubuh dalam bentuk spora melalui
luka yang terkontaminasi dengan tanah, kotoran binatang, atau logam berkarat,
dapat terjadi sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus gangren, luka gigitan
binatang yang mengalami nekrosis, infeksi telinga tengah, aborsi sepsis, infeksi
gigi, persalinan, injeksi intramuskular dan pembedahan. C.tetani sendiri tidak
menyebabkan inflamasi sehingga tidak tampak tanda-tanda inflamasi di sekitar
port d’entry, kecuali bila ada infeksi oleh mikroorganisme lain.
7
Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan
terinfeksi basil tetanus mensekresikan dua macam eksotoksin, yakni tetanolisin
dan tetanospasmin. Tetanolisin akan merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
bakteri ini bermultiplikasi. Sementara itu, untuk mencapai susunan saraf pusat dan
menghasilkan gejala-gejala klinik tetanus, tetanospasmin memiliki beberapa jalur
penyebaran.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi
hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati,
benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian
berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka
dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat
mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara.
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–ujung
saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan
saraf pusat dan susunan saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk
seterusnya susunan saraf pusat.
Setelah melewati salah satu jalur di atas, tetanospasmin menempel pada
permukaan membran presinaptik neuron terminal yang terdekat. Selanjutnya
secara retrograd menyebar intraneuronal sampai ke SSP mulai dari akson menuju
badan sel, lalu dendrit dan ke akson neuron sebelumnya.
8
Tetanospasmin merupakan polipeptida rantai ganda, terdiri dari rantai berat
dan rantai ringan, yang dihubungakan oleh ikatan disulfida. Ujung karboksil dari
rantai berat tetanospasmin memungkinkannya terikat pada membran saraf,
sedangkan ujung aminonya memungkinkan tetanospasmin masuk ke dalam sel
saraf melalui serangkaian reaksi biomolekuler. Setelah masuk ke dalam neuron,
kekuatan ikatan disulfida berkurang menyebabkan rantai ringan terlepas dan
menjadi aktif, bekerja pada pre-sinaps untuk mencegah pelepasan
neurotransmitter inhibitory (glisin dan GABA) dari neuron yang ditempatinya
dengan cara menghancurkan sinaptobrevin (protein membran yang berfungsi
membantu terjadinya fusi vesikel yang mengandung meurotransmitter inhibitory
dengan membran pre-sinaps), akibatnya proses pelepasan neurotransmitter
inhibitory ke dalam celah sinaps tidak terjadi. Kegagalan pelepasan
neurotransmitter inhibitory ke dalam celah sinaps mengakibatkan terjadinya
peningkatan aktivitas neuron-neuron eferen menuju otot, menimbulkan gejala
kaku otot maupun spasme, misalnya pada otot masseter, menyebabkan trismus
(lock-jaw).
9
Gambar 2. Patogenesis Tetanus
2.5. Manifestasi Klinis
Tetanus biasanya mengikuti luka-luka yang dikenali. Kontaminasi benda
tajam dengan tanah, pupuk atau besi yang berkarat dapat menyebabkan tetanus.
Penyakit ini juga dapat sebagai komplikasi dari luka bakar, ulkus, gangren, gigitan
ular yang telah nekrotik, infeksi telinga tengah, aborsi, kelahiran, injeksi
intramuskular dan pembedahan.
Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah
maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan
kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter
10
bisa menyebabkan trismus atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot
muka menyebabkan ekspresi khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada
otot menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan
retraksi kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan
kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.
Gambar 3. Trismus
Gambar 4. Risus Sardonicus
11
Gambar 5. Opistotonus
Untuk meningkatkan tonus otot, ada episode spasme otot. Kontraksi tonik
ini seperti konvulsi yang mempengaruhi agonis dan antagonis dari sekelompok
otot. Bisa spontan atau dipengaruhi oleh sentuhan, visual, suara, atau emosi.
Spasme bervariasi untuk kekuatannya dan frekuensi tapi cukup kuat menyebabkan
patah tulang dan robeknya suatu jaringan (avulsi). Spasme bisa terjadi terus-
menerus yang bisa mengakibatkan gagal nafas. Spasme faring sering diikuti
spasme laring dan berhubungan dengan aspirasi dan obstruksi jalan nafas.
Masa inkubasi bervariasi antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari.
Pada umumnya tergantung pada lokasi dan jarak antara luka dengan system saraf
pusat, sehingga lokasi luka yang jauh dapat menyebabkan masa inkubasi yang
lebih lama. Masa inkubasi yang pendek mempunyai angka kematian yang cukup
tinggi. Pada tetanus neonatorum gejala biasanya muncul antara 4 sampai 14 hari
setelah lahir dengan rata-rata 7 hari.
12
Karakteristik Dari Tetanus:
1. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama
5-7 hari.
2. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.
3. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
4. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan
leher.
5. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw)
karena spasme otot masseter.
6. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)
7. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan
kuat.
8. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik.
9. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
(pada anak).
2.5. Klasifikasi
Berdasarkan pada temuan klinis terdapat 4 bentuk tetanus yang telah
dideskripsikan yaitu:
13
Tetanus umum:
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.
Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya luka seperti luka
bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis, ekstraksi gigi, ulkus
dekubitus dan suntikan hipodermis.
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot baik
bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot terutama
pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh persen penderita
tetanus umum akan menuunjukkan trismus.
Dalam 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai ke
ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar
dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain kekakuan otot
masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai
muka meringis kesakitan yang disebut 'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas,
sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat
kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan
fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus.
14
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik baik
secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan
bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal
kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta ketakutan
yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah terangsang.
Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat menyebabkan gangguan
menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering terjadi karena spasme
sphincter kandung kemih.
Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai
panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi atau toksin
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa
takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan ariunia
jantung.
15
Tetanus neonatorum, merupakan tetanus bentuk generalisata yang terjadi pada
bayi yang lahir dari ibu yang tidak diimunisasi secara adekuat, terutama melalui
pemotongan tali pusat yang tidak steril. Onset dalam 2 minggu pertama
kehidupan, gejalanya rigiditas, sulit menelan ASI, muntah, irritable, dan spasme.
Prognosis buruk dimana 90% penderita meninggal; dan pada penderita yang tetap
hidup mangakibatkan terjadinya retardasi.
Tetanus lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena
gambaran klinis tidak khas.
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal
dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%,
kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Bentuk cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan
jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III,
IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan.
Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
16
2.7. Derajat
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang umum
walaupun dirangsang.
2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang umum
bila dirangsang.
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum
yang spontan.
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:
Grade 1: ringan
- Masa inkubasi lebih dari 14 hari
- Period of onset > 6 hari
- Trismus positif tetapi tidak berat
- Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar luka dan
kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
Grade II: sedang
- Masa inkubasi 10–14 hari
- Period of onset 3 had atau kurang
- Trismus ada dan disfagia ada.
17
Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan sianosis
tidak ada.
Grade III: berat
- Masa inkubasi < 10 hari
- Period of onset 3 hari atau kurang
- Trismus berat
- Disfagia berat.
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan, keringat
banyak dan takikardia.
Menurut Ablett
Derajat I (ringan) : trismus ringan sampai sedang, spastisitas
generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa
spasme, sedikit atau tanpa disfagia.
Derajat II (sedang) : trismus sedang, rigiditas nampak jelas,
spasme singkat, ringan sampai sedang, gangguan
pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan
>30x/menit, disfagia ringan.
Derajat III (berat) : trismus berat, spastisitas generalisata,
spasme refleks berkepanjangan, frekuensi nafas >40
x/menit, serangan apneu, disfagia berat, takikardi
>120x/menit.
18
Derajat IV (sangat berat) : derajat III + gangguan otonomik berat yang
melibatkan sistem kardiovaskuler (hipertensi berat
dan takikardi terjadi berselingan dengan hipotensi
dan bradikardia, salah satunya dapat menetap).
. Menurut Patel & Joag
Kriteria I : rahang kaku, spasme terbatas, disfagia, kaku otot tulang belakang
Kriteria II : spasme saja tanpa melihat frekuensi dan derajatnya
Kriteria III : inkubasi antara 7 hari atau kurang
Kriteria IV : waktu onset adalah 48 jam atau kurang
Kriteria V : kenaikan suhu rektal sampai 1000 F (37,80 C) dan aksila sampai 990
F (37,20 C)
Dengan berdasarkan 5 kriteria di atas ini, maka dibuatlah tingkatan penyakit
tetanus sebagai berikut :
Tingkat I (ringan) : minimal 1 kriteria (K1 atau K2), mortalitas 0%
Tingkat II (sedang) : minimal 2 kriteria (K1 dan K2) dengan masa
inkubasi >7 hari dan onset >2 hari, mortalitas 10%
Tingkat III (berat) : minimal 3 kriteria dengan inkubasi <7 hari dan
onset <2 hari, mortalitas 32%
19
Tingkat IV (sangat berat) : minimal ada 4 kriteria dengan mortalitas 60%
Tingkat V : biasanya mortalitas 84% dengan 5 kriteria termasuk
didalamnya adalah tetanus neonatorum maupun
puerperium.
20
Keempat Tolok Ukur dan Besarnya Angka Nilai (Phillips)
Tolok Ukur Nilai
Masa Inkubasi
Kurang 48 jam
2 – 5 hari
6 – 10 hari
11 – 14 hari
Lebih 14 hari
5
4
3
2
1
Lokasi Infeksi
Internal / umbilikal
Leher, kepala, dinding tubuh
Ekstremitas proksimal
Ekstremitas distal
Tidak diketahui
5
4
3
2
1
Imunisasi
Tidak ada
Mungkin ada / ibu mendapat
Lebih 10 tahun yang lalu
Kurang 10 tahun
Proteksi lengkap
10
8
4
2
0
Faktor Yang Memberatkan Penyakit atau trauma yang membahayakan
jiwa
Keadaan yang tidak langsung membahayakan jiwa
Keadaan yang tidak membahayakan jiwa
Trauma atau penyakit ringan
A.S.A ** derajat
10
8
4
2
1
** Sistem penilaian untuk menentukan resiko penyulit yang disusun oleh American Society
of Anesthesiologists (lihat 12.1.1 Anestesi. Hal. 301 – 302)
21
Derajat keparahan penyakit didasarkan pada empat tolak ukur, yaitu masa
inkubasi, porte d’entree, status imunologi, dan faktor yang memeberatkan.
Berdasarkan jumlah yang diperoleh, derajat keparahan penyakit dapat dibagi
menjadi tetanus ringan (jumlah<9), tetanus sedang (jumlah 9-16), dan tetanus
berat (jumlah>16). Tetanus ringan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan,
tetanus sedang dapat sembuh dengan pengobatan baku, sedangkan tetanus berat
memerlukan perawatan khusus yang intensif.
2.8. Diagnosis
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :
- Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi
- Gejala klinis; dan
- Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis. Pada
pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik; lekosit dapat
normal atau dapat meningkat.
Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau
jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu daging.
Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus ditemukan Clostridium
Tetani.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun
kadang–kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.
22
Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada pemeriksaan
elektromiografi hasilnya tidak spesifik.
2.9. Diagnosis Banding
1. Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di
mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat,
kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2. Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.
4. Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5. Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar kalsium
dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme otot adalah
23
karpopedal spasme dan biasanya diikuti laringospasme, jarang dijumpai
trismus.
6. Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7. Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
8. Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom
ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,
9. Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas,
miositis leher dan spondilitis leher.
2.10. Komplikasi
Laringospasme dan atau spasme otot-otot pernapasan yang
mengakibatkan gangguan bernapas
Fraktur vertebra atau tulang panjang yang mdiakibatkan kontraksi yang
berlebih ataupun kejang yang kuat
Dislokasi sendi glenohumerale dan temporomandibular
Hiperaktivitas sistem saraf otonom yang dapat menyebabkan hipertensi
dan atau denyut jantung yang tidak normal
Infeksi nosokomial, sering terjadi karena perawatan di rumah sakit yang
lama. Infeksi sekunder dapat berupa sepsis, akibat pemasangan kateter,
Hospital Acquired Pneumonia dan ulkus dekubitus
24
Emboli paru, terutama merupakan masalah pada pasien dengan
penggunaan obat-obatan dan orang tua.
Aspirasi pneumonia, merupakan komplikasi lanjut tetanus yang paling
sering, ditemukan pada 50%-70% kasus
Ileus paralitik, luka akibat tekanan dan retensi urine
Malnutrisi dan stress ulcers
2.11. Penatalaksanaan
2.11.1. Pencegahan
Prinsip – prinsip Umum Profilaksis
Pertimbangan Individual Penderita
Pada setiap penderita luka harus ditentukan apakah perlu tindakan profilaksis
terhadap tetanus dengan mempertimbangkan keadaan / jenis luka dan riwayat
imunisasi.
Debridemen
Tanpa memperhatikan status imunisasi. Eksisi jaringan yang nekrotik dan benda
asing harus dikerjakan untuk semua jenis luka.
Imunisasi Aktif
Tetanus toksoid (TFT = VST = vaksin serap tetanus) diberikan dengan dosis
sebanyak 0, 5 cc IM, diberikan 1 x sebulan selama 3 bulan berturut – turut.
DPT (Diptheri Pertusis Tetanus) terutama diberikan pada anak. Diberikan pada
usia 2 – 6 bulan dengan dosis sebesar 0, 5 cc IM, 1 x sebulan selama 3 bulan
25
berturut – turut. Booster diberikan pada usia 12 bulan, 1 x 0,5 cc IM dan antara
umur 5 – 6 tahun 1 x 0,5 cc IM.
Tetanus Toksoid
Imunisasi dasar dengan dosis 0,5 cc IM, yang diberikan 1 x sebulan selama 3
bulan berturut – turut. Booster (penguat) diberikan 10 tahun kemudian setelah
suntikan ketiga imunisasi dasar, selanjutnya setiap 10 tahun setelah pemberian
booster di atas.
Setiap penderita luka harus mendapat tetanus toksoid IM pada saat cedera, baik
sebagai imunisasi dasar maupun sebagai booster, kecuali bila penderita telah
mendapatkan booster atau menyelesaikan imunisasi dasar dalam 5 tahun terakhir.
Imunisasi Pasif
ATS (Anti Tetanus Serum), dapat merupakan antitoksin bovine (asal lembu)
maupun antitoksin equine (asal kuda). Dosis yang diberikan untuk orang dewasa
adalah 1500 IU per IM dan untuk anak adalah 750 IU per IM.
Human Tetanus Immunoglobuline (asal manusa), terkenal di pasaran dengan nama
Hypertet. Dosis yang diberikan untuk orang dewasa adalah 250 IU per IM (setara
dengan 1500 IU ATS), sedang untuk anak – anak adalah 125 IU per IM.
Hypertet diberikan bila penderita alergi terhadap ATS yang diolah dari hewan.
Pemberian imunisasi pasif tergantung dari sifat luka, kondisi penderita dan status
imunisasi. Pasien yang belum pernah mendapat imunisasi aktif maupun pasif,
merupakan keharusan untuk di imunisasi. Pemberian imunisasi secara IM, jangan
sekali – kali secara IV.
26
Kerugian hypertet adalah harganya yang mahal, sedangkan keuntungannya
pemberiannya tanpa didahului tes sensitivitas.
Tindakan Profilaksis
Jenis LukaBelum IA
atau Sebagian
Mendapat IA Yang Lengkap
1 – 5 tahun 5 – 10 tahun > 10 tahun
Ringan,
bersih
Mulai atau
melengkapi IA
Toks. 0,5 cc
hingga
lengkap
- Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc
Berat, bersih
atau
cenderung
tetanus
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc ATS 1500 IU
Toks 0,5 cc
Cenderung
tetanus,
debrimen
terlambat
atau tidak
bersih
ATS 1500 IU
Toks. 0,5 cc
hingga
lengkap ABT
Toks 0,5 cc Toks 0,5 cc
ABT
ATS 1500 IU
Toks 0,5 cc
ABT
Keterangan :
ATS 1500 IU setara dengan HTIG (Humane Tetanus Immunoglobuline) 250 IU
27
Pada anak – anak dosis ATS = dosis dewasa
IA : Imunisasi Aktif (dengan toksoid)
Toks : Toksoid (vaksin serap tetanus)
ABT : Antibiotka dosis tinggi yang sesuai dengan
Clostridium tetani
2.11.2. Penatalaksanaan
Prinsip :
1. Mengeliminasi bakteri dalam tubuh untuk mencegah pengeluaran
tetanospasmin lebih lanjut
2. Menetralisir tetanospasmin yang beredar bebas dalam sirkulasi (belum
terikat dengan sistem saraf pusat)
3. Meminimalisasi gejala yang timbul akibat ikatan tetanospasmin dengan
sistem saraf pusat
Terapi umum :
1. Semua pasien disarankan untuk menjalani perawatan di ruang ICU yang
tenang supaya bisa dimonitor terus-menerus fungsi vitalnya. Pasien
dengan tetanus tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang khusus
dengan peralatan intensif yang memadai serta perawat yang terlatih untuk
memantau fungsi vital dan mengenali tanda aritmia. Hendaknya pasien
28
berada di ruangan yang tenang dengan maksud untuk meminimalisasi
stimulus yang dapat memicu terjadinya spasme.
2. Berikan cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi
3. Debridement luka. Semua luka harus dibersihkan. Jaringan nekrotik dan
benda-benda asing harus dikeluarkan. Semua luka yang berpotensial harus
didebridement, abses harus diinsisi dan didrainase. Selama dilakukannya
manipulasi terhadap luka yang diduga menjadi sumber inkubasi tetanus
ini, harus diberikan hTIG dan terapi antibiotika. Juga penting diberikan
obat-obatan pengontrol spasme otot selama manipulasi luka.
Terapi Khusus
1. Anti Tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
- Toksin bebas dalam darah;
- Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam
darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat
dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:
- Anamnesa apakah ada riwayat alergi;
- Tes kulit dan mata; dan
- Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang bersifat
heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.
29
Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan antitoksin
tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang lain hanya ditetesi
garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak kemerahan dan bengkak pada
konjungtiva.
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali secara
intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan terjadi
kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan secara
bertahap (Besredka).
Dosis
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan
Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000–100.000 u yang diberikan setengah
lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena
diberikan dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan
diberikan selama 1–2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama
2 hari. Di Manado, ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian.
2. Antibiotika :
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
30
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-40
mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam dosis
terbagi ( 4 dosis ). Metronidazol loading dose 15 mg/kg BB/jam, selanjutnya 7,5
mg/kg BB tiap 6 jamBila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan
dosis 200.000 unit /kgBB/
24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari.
Antibiotika ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi
pemberian antibiotika broad spektrum dapat dilakukan
3. Antikonvulsan dan sedatif
Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan
jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus
ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa
mengganggu pernapasan, gerakan–gerakan volunter atau kesadaran.
Obat–obat yang lazim digunakan ialah:
- Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan dosis
0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis optimum 10
mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian
diazepam peroral–(sonde lambung) dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali
sehari diberikan 6 kali.
- Fenobarbital
31
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg
intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9 mg/kg.bb/hari
dibagi dalam 3 dosis.
- Largactil
Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.
JENIS ANTIKONVULSAN
Jenis Obat Dosis Efek Samping
Diazepam 0,5 – 1,0 mg/kg Stupor, Koma
Berat badan / 4 jam (IM)
Meprobamat 300 – 400 mg/ 4 jam (IM) Tidak Ada
Klorpromasin 25 – 75 mg/ 4 jam (IM) Hipotensi
Fenobarbital 50 – 100 mg/ 4 jam (IM) Depressi pernafasan
32
4. Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang
berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M. Pemberian TT harus dilanjutkan
sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai.
Berikut ini, tabel 4. Memperlihatkan petunjuk pencegahan terhadap
tetanus pada keadaan luka
33
PETUNJUK PENCEGAHAN TERHADAP TETANUS PADA KEADAAN
LUKA.
__________________________________________________________________
RIWAYAT IMUNISASI Luka bersih, Kecil Luka Lainnya
______________________________________________________
(dosis) Tet. Toksoid (TT) Antitoksin Tet.Toksoid (TT) Antitoksin
__________________________________________________________________
Tidak diketahui ya tidak ya ya
0 – 1 ya tidak ya ya
2 ya tidak ya tidak*
3 atau lebih tidak** tidak tidak** tidak
__________________________________________________________________
* : Kecuali luka > 24 jam
** : Kecuali bila imunisasi terakhir > 5 tahun (8, 16)
*** : Kecuali bila imunisasi terakhir >5 tahun (8,16)
Sedangkan pengobatan menurut Gilroy:
- Kasus ringan :
Penderita tanpa cyanose : 90 - 180 begitu juga promazine 6 jam dan barbiturat
secukupnyanya untuk mengurangi spasme.
- Kasus berat :
1. Semua penderita dirawat di ICU (satu team )
34
2. Dilakukan tracheostomi segera. Endotracheal tube minimal
harus dibersihkan setiap satu jam dan setiap 3 hari ETT
harus diganti dengan yang baru.
5. Curare diberi secukupnya mencegah spasme sampai 2 jam.
6. Pernafasan dijaga dengan respirator oleh tenaga yang
berpengalaman
7. Penderita rubah posisi/ miringkan setiap 2 jam. Mata dibersihkan
tiap 2 jam mencegah conjuntivitis
8. Pasang NGT, diet tinggi, cairan cukup tinggi, jika perlu 6 1./hari
9. Urine pasang kateter, beri antibiotika.
10. Kontrol serum elektrolit, ureum dan AGDA
11. Rontgen foto thorax
12. Pemakaian curare yang terlalu lama, pada saatnya obat dapat
dihentikan pemakaiannya. Jika KU membaik, NGT dihentikan.
Tracheostomy dipertahankan beberapa hari, kemudian
dicabut/dibuka dan bekas luka dirawat dengan baik.
Monitoring
I. Sekuele
· Spasme berkurang setelah 2-3 minggu, namun kekakuan dapat terus berlangsung
lebih lama.
· Kekakuan dapat tetap berlangsung sampai 6-8 minggu pada kasus yang berat.
· Gangguan otonom biasanya dimulai beberapa hari setelah kejang dan
berlangsung selama 1-2 minggu.
35
II. Tumbuh Kembang
· Infeksi tetanus pada anak merupakan infeksi yang akut sehingga relatif tidak
mengganggu tumbuh kembang anak.
2.12. Prognosis
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, waktu dari inokulasi spora
sampai timbul gejala awal dan waktu dari timbulnya gejala awal sampai spasme
tetanik awal. Secara umum, interval yang lebih pendek menunjukkan tetanus yang
lebih berat dan prognosis yang lebih buruk. Kebanyakan pasienyang bertahan dari
tetanus ini biasanya akan kembali pada kondisi kesehatan sebelumnya walau pun
perbaikan berjalan secara lambat (sekitar 2 hingga 4 bulan) dan pasien seringkali
tetap menjadi hipotonus. Pasien yang sembuh harus mendapatkan imunisasi aktif
dengan tetanus toksoid untuk mengelakkan dari terjadinya rekurensi. Selain itu,
prognosis dan angka kematian pasien dengan tetanus juga dipengaruhi oleh factor
usia, gizi yang buruk serta penangan terhadap komplikasi yang mungkin terjadi.
Dari data terkini yang diperolehi, kadar kematian pada penderita tetanus ringan
dan sedang adalah 6% dan pada penderita tetanus berat bisa mencapai 60%.
Meningkatnya kadar kematian pada penderita tetanus adalah berhubung dengan
faktor – faktor berikut:
a. Masa inkubasi yang pendek
b. Onset kejang yang dini (early onset)
c. Penanganan yang lambat
d. Apabila terdapat lesi di kepala dan muka yang terkontaminasi
e. Tetanus neonatorum
36
Berdasarkan 5 kriteria menurut Patel dan Joag, dibuat 5 tingkatan yaitu:
a. Tingkat 1 (ringan): minimal 1 kriteria (K1 atau K2), mortalitas 0%
b. Tingkat 2 (sedang): minimal 2 kriteria (K1atau K2) dengan masa
inkubasi > 7 hari dan awitan > 2 hari, mortalitas 10%
c. Tingkat 3 (berat): minimal 3 kriteria (K1atau K2) dengan masa inkubasi
< 7 hari dan awitan < 2 hari, mortalitas 32%
d. Tingkat 4 (sangat berat): minimal 4 kriteria, mortalitas 60%
e. Tingkat 5: minimal 5 kriteria termasuk tetanus neonatorum maupun
puerperium, mortalitas 80%.
37
BAB III
KESIMPULAN
Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya
tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu protein yang
kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Tetanus merupakan penyakit infeksi akut dan sering fatal yang disebabkan
oleh basil Clostridium tetani, yang menghasilkan tetanospasmin neurotoksin,
biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka tusuk yang terkontaminasi (seperti
oleh jarum logam, splinter kayu, atau gigitan serangga).
Secara internasional pada tahun 1992 terhitung sekitar 578.000 bayi
mengalami kematian karena tetanus neonatorum. Pada tahun 2000, dengan data
dari WHO menghitung insidensi secara global kejadian tetanus di dunia secara
kasar berkisar antara 0,5 – 1 juta kasus dan tetanus neonatorum terhitung sekitar
50% dari kematian akibat tetanus di negara – negara berkembang. Perkiraan
insidensi tetanus secara global adalah 18 per 100.000 populasi per tahun. Di
negara berkembang, tetanus lebih sering mengenai laki – laki dibanding
perempuan dengan perbandingan 3 : 1 atau 4 :1
Dalam kondisi anaerob yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan
terinfeksi basil tetanus mensekresikan dua macam eksotoksin, yakni tetanolisin
38
dan tetanospasmin. Tetanolisin akan merusak jaringan yang masih hidup yang
mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan
bakteri ini bermultiplikasi. Sementara itu, untuk mencapai susunan saraf pusat dan
menghasilkan gejala-gejala klinik tetanus, tetanospasmin memiliki beberapa jalur
penyebaran.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi
hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati,
benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian
berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka
dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin
sangat mudah mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara.
3. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–ujung
saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu anterior susunan
saraf pusat dan susunan saraf perifer.
4. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah untuk
seterusnya susunan saraf pusat.
Ada trias gejala yaitu rigiditas atau kekauan, spasme dari otot, jika parah
maka bisa disfungsi otonom. Kekakuan otot leher, nyeri tenggorokan, dan
kesulitan membuka mulut sering merupakan gejala awal. Spasme otot masseter
bisa menyebabkan trismus atau ”lockjaw”. Spasme yang prosesif meluas dari otot
muka menyebabkan ekspresi khusus yang disebut ”Risus Sardonicus” dan pada
otot menelan menyebabkan disfagia. Kekakuan dari otot leher menyebabkan
39
retraksi kepala. Kekauan otot-otot rangka tubuh menyebabkan opisthotonus dan
kesulitan bernafas dengan complience dinding dada yang menurun.
Karakteristik Dari Tetanus:
10. Kejang bertambah berat selama 3 hari pertama , dan menetap selama
5-7 hari.
11. Setelah 10 hari kejang mulai berkurang frekuensinya.
12. Setelah 2 minggu kejang mulai hilang.
13. Biasanya didahului dengan ketegangan otot terutama pada rahang dan
leher.
14. Kemudian timbul kesukaran membuka mulut ( trismus / lockjaw)
karena spasme otot masseter.
15. Kejang otot berlanjut ke kaku kuduk ( nuchal rigidity)
16. Risus Sardonicus karena spasme otot muka dengan gambaran alis
tertarik ke atas, sudut mulut tertarik keluar dan kebawah, bibir tertekan
kuat.
17. Gambaran umum yang khas berupa badan kaku dengan opistotonus,
tungkai dengan eksistensi, lengan kaku dengan mengepal, biasanya
kesadaran tetap baik.
18. Karena kontraksi otot yang sangat kuat, dapat terjadi asfiksia dan
sianosis, retensi urin, bahkan dapat terjadi fraktur collumna vertebralis
(pada anak).
40
Ada 3 bentuk klinis dari tetanus, yaitu :
1. Tetanus local : otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada
bagian paroksimal luak. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu
dan menhilang tanpa sequele.
2. Tetanus general merupakan bentuk paling sering, timbul mendadak
dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala
merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat konstruksi otot somatik
meluas.
Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan
dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya spasme
berlangsuang beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh
periode relaksasi
3. Tetanus sefal : varian tetanus local yang jarang terjadi masa inkubasi 1-2
hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka.
Diagnosis
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas
terutama pada rahang sangat membantu.
Diagnosis Banding
41
Spasme yang disebabkan oleh striknin jarang menyebabkan spasme otot rahang
tetapi didiagnosis dengan pemeriksaan darah (kalsium dan fospat). Kejang pada
meningitis dapat dibedakan dengan kelainan cairan serebropinalis. Pada rabies
terdapat anamnesis gigitan anjing dan kucing disertai gejala spasme laring dan
faring yang terus menerus dengan pleiositosis tetapi tanpa trismus.
Trismus dapat pula terjadi pada argina yang berat, abses retrofaringeal, abses gigi
yang hebat, pembesaran getah bening leher. Kuduk baku juga dapat terjadi pada
meningitis (pada tetanus kesadaran tidak menurun), mastoiditis, preumonia lobaris
atas, miositis leher, spondilitis leher.
Komplikasi
1.Spame otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saripa) di dalam
rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi
pneumonia aspirasi.
2.Asfiksia
3.Atelektaksis karena obstruksi sekret.
4.Fraktura kompresi.
Penatalaksanaan
Terapi umum :
4. Semua pasien disarankan untuk menjalani perawatan di ruang ICU yang
tenang supaya bisa dimonitor terus-menerus fungsi vitalnya. Pasien
42
dengan tetanus tingkat II, III, IV sebaiknya dirawat di ruang khusus
dengan peralatan intensif yang memadai serta perawat yang terlatih untuk
memantau fungsi vital dan mengenali tanda aritmia. Hendaknya pasien
berada di ruangan yang tenang dengan maksud untuk meminimalisasi
stimulus yang dapat memicu terjadinya spasme.
5. Berikan cairan infus D5 untuk mencegah dehidrasi dan hipoglikemi
6. Debridement luka. Semua luka harus dibersihkan. Jaringan nekrotik dan
benda-benda asing harus dikeluarkan. Semua luka yang berpotensial harus
didebridement, abses harus diinsisi dan didrainase. Selama dilakukannya
manipulasi terhadap luka yang diduga menjadi sumber inkubasi tetanus
ini, harus diberikan hTIG dan terapi antibiotika. Juga penting diberikan
obat-obatan pengontrol spasme otot selama manipulasi luka.
Terapi khusus :
1. Human Tetanus Imunoglobulin (hTIG 3000-6000 IU i.m) : untuk
menetralisir tetanospasmin bebas. Antitoksin ini tidak mempuny6ai efek
pada toksin yang telah terikat pada jaringan saraf pada susunan saraf pusat
ataupun sistem otonom. Toksin bebas mungkin terdapat pada sekeliling
luka tempat pertumbuhan C. tetani. Diberikan secepat mungkin setelah
diagnosis klinis tetanus ditegakkan. Dosis efektif yang direkomendasikan
adalah 3000-10.000 IT iv/im, dengan kadar puncak dalam darah dicapai
dalam 48-72 jam. Sebagai pengobatan secara aktif 1500-3000 IU
diinfiltrasikan pada sekeliling luka. Di Indonesia umumnya masih
memakai Anti Tetanus Serum, termasuk juga di RSHS.
43
2. Antibiotik : untuk menghilangkan sumber tetanospasmin
DOC : Metronidazole 500 mg p.o tiap 6 jam atau 1gr tiap 12 jam selama 10-14
hari, aktif menghambat pertumbuhan bakteri anaerob dan protozoa.
3. Benzodiazepine : untuk meminimalisasi spasme otot dan rigiditas karena
bersifat GABA enhancer.
DOC : Diazepam karena dapat mengurangi ansietas, menyebabkan sedasi dan
relaksasi otot. Dosis pemberian berdasarkan derajat keparahan spasme otot.
Pada orang dewasa :
Spasme ringan : 5-10 mg p.o tiap 4-6 jam
Spasme sedang : 5-10 mg i.v
Spasme berat : 50-100 mg dalam 500 ml D5, infuskan dengan
kecepatan 10-15 mg/jam
Bila refrakter terhadap benzodiazepine, berikan neuromuscular blocking agents
(vecuronium)
4. Tetanus Toxoid (Td 0,5 ml i.m) : untuk merangsang dibentuknya antibodi
terhadap eksotoksin bakteri. Td ini merupakan suatu eksotoksin yang telah
didetoksikasi dengan formaldehid dan diabsorbsi ke dalam garam
aluminium. Antigen ini akan menginduksi produksi antibody yang
melawan eksotoksin.
5. ß-adrenergik blocking agents (Labetolol 0,25-1 mg/menit melalui infus i.v
setelah dititrasi) untuk mengontrol disfungsi otonom yang didominasi
aktivitas simpatis, yakni menurunkan tekanan darah tanpa memperberat
takikardi
44
6. Intubasi endotrakeal atau trakeostomi pada tetanus berat (stadium III-IV)
untuk atasi gangguan napas. Hendaknya trakeostomi dilakukan pada
pasien yang memerlukan intubasi lebih dari 10 hari, disamping itu
trakeostomi juga direkomendasikan setelah onset kejang umum yang
pertama.
7. Walaupun imunisasi aktif tidak 100% efektif mencegah tetanus, namun
imunisasi tetanus telah memperlihatkan sebagai salah satu yang paling
efektif sebagai pencegahan terhadap kejadian tetanus. Pemberian
imunisasi dan penanganan luka yang baik diketahui merupakan komponen
yang penting dalam mencegah penyakit ini. Pada pasien dengan tetanus,
imunisasi aktif dengan Td harus mulai diberikan atau dilanjutkan sesegera
mungkin setelah kondisi pasien stabil.
Pencegahan
1. Imunisasi aktif toksoid tetanus, yang diberikan sebagai dapat pada
usia 3,4 dan 5 bulan. Booster diberikan 1 tahun kemudian selanjutnya
tiap 2-3 tahun.
2. Bila mendapat luka :
- Perawatan luka yang baik : luka tusuk harus di eksplorasi dan dicuci
dengan H2O2.
- Pemberian ATS 1500 iu secepatnya.
- Tetanus toksoid sebagai boster bagi yang telah mendapat imunisasi
dasar.
Prognosis
45
Meningkatnya kadar kematian pada penderita tetanus adalah berhubung dengan
faktor – faktor berikut:
f. Masa inkubasi yang pendek
g. Onset kejang yang dini (early onset)
h. Penanganan yang lambat
i. Apabila terdapat lesi di kepala dan muka yang terkontaminasi
j. Tetanus neonatorum
46
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, De Jong Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-2. Jakarta
: Penerbit Buku Kedokteran EGC.2004.Hal 21-24
2. Sabiston D, Oswari J.Buku Ajar Bedah. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.1994. Hal 199-201,251
3. Doherty GM. Current Surgical Diagnosis and Treatment. USA : McGraw
Hill.2006. Page 112-113
4. Schwartz. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Jakarta : EGC 2000. Hal
58-59
5. Grace P, Borley N. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga.Jakarta :
Erlangga.2006. hal
47
6. Behrman RE, Kliegnan RM, Arvin AM. Tetanus. Dalam : Wahab AS
editor . Ilmu kesehatan anak nelson. Edisi 15. Jakarta : EGC.1999. Hal
1004-1007
7. Staf pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Tetanus. Dalam:Alatas
H,Hassan R editor.. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. jilid 1;Jakarta;
Infomedika ;1985. Hal 568-572
8. Arditayasa Wayan. Clostridium tetani. Diunduh tanggal 06 mei 2010.
Dapat dilihat di URL www.scribd.com
9. Ritarwan Kingking. Tetanus. Diunduh tanggal 06 Mei 2010. Dapat dilihat
di URL www.scribd.com
48
49
top related