referat pemasangan capd
Post on 01-Dec-2015
430 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I PENDAHULUAN
Ginjal adalah organ tubuh yang berfungsi untuk mengeluarkan urine, yang merupakan
sisa hasil metabolisme tubuh dalam bentuk cairan. Selain itu, ginjal juga berfungsi untuk
mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah, mengatur
keseimbangan asam basa darah, serta mengatur ekskresi bahan buangan dan kelebihan garam.
Apabila ginjal gagal dalam menjalankan fungsinya ini, maka akan terjadi gangguan pada
keseimbangan air dan metabolisme dalam tubuh sehingga mengakibatkan terjadinya
penumpukan zat-zat berbahaya dalam darah yang dapat mengganggu kerja orang lain yang
menyebabkan penderita memerlukan pegobatan dan penanganan segera.
Gagal ginjal kronis merupakan gangguan fungsi ginjal yang bersifat progresif dan
irreversibel. Gangguan fungsi ginjal ini terjadi ketika tubuh gagal untuk mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan retensi urea dan
sampah nitrogen lain dalam darah atau biasa disebut dengan istilah uremia. Kerusakan ginjal ini
mengakibatkan masalah pada kemampuan dan kekuatan tubuh yang menyebabkan aktivitas kerja
terganggu, tubuh jadi mudah lelah dan lemas sehingga kualitas hidup pasien menurun (Brunner
& Suddarth, 2001).
Pada saat ini pasien memerlukan dialysis sebagai terapi pengganti. Dialisis adalah
tindakan medis yang tugasnya dalam beberapa hal sama dengan yang dilakukan oleh ginjal kita
yang sehat. Ada dua tipe tindakan dialisis yang popular di kalangan medis, yaitu hemodialisis
dan peritoneal dialysis. Pada hemodialisis, sebuah ginjal buatan (dialyzer) digunakan untuk
menyaring dan membuang sisa metabolisme dan kelebihan cairan maupun unsur kimiawi lainnya
dari dalam darah. Untuk mengalirkan darah penderita ke dialyzer, diperlukan semacam akses ke
pembuluh darah yang dapat dilakukan dengan cara bedah minor di tangan maupun paha.
Biasanya hemodialisis dilakukan 2 -3 kali seminggu selama masing – masing 4 -5 jam per
tindakan. Sedangkan peritoneal dialisis merupakan salah satu tipe dialisis, dimana darah
dibersihkan di dalam tubuh. Dokter akan melakukan pembedahan untuk memasang akses berupa
1
catheter di dalam abdomen penderita. Pada saat tindakan, area abdominal pasien akan secara
perlahan diisi oleh cairan dialisa melalui catheter.
Macam-macam dialysis peritoneal:
1. Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD)
Memungkinkan pasien untuk menangani prosedur dirumah dengan kantung dan
aliran gravitasi, memerlukan waktu lama pada malam hari, dan total 3-5 siklus harian/ 7
hari seminggu.
2. Automated Peritoneal Dialysis (APD)
APD sama dengan CAPD dalam melanjutkan proses dialysis tetapi berbeda pada
tambahan mesin siklus peritoneal. APD dapat dilanjutkan dengan siklus CCPD, IPD dan
NPD.
3. Continous Cyclic Peritoneal Dialysis (CCPD)
CCPD merupakan variasi dari CAPD dimana suatu mesin siklus secara otomatis
melakukan pertukaran beberapa kali dalam semalam dan satu siklus tambahan pada pagi
harinya. Di siang hari, dialisat tetap berada dalam abdomen sebagai satu siklus panjang.
4. Intermittent Peritoneal Dialysis (IPD)
IPD bukan merupakan lanjutan prosedur dialisat seperti CAPD dan CCPD.
Dialysis ini dilakukan selama 10-14 jam, 3 atau 4 jam kali per minggu, dengan
menggunakan mesin siklus dialysis yang sama pada CCPD. Pada pasien hospitalisasi
memerlukan dialysis 24-48 jam kali jika katabolis dan memerlukan tambahan waktu
dialisat.
5. Nightly Peritoneal Dialysis (NPD)
Dilakukan mulai dari 8-12 jam misalnya dari malam hingga siang hari.
2
Berdasarkan uraian diatas, maka perlu kiranya untuk memahami lebih jauh tentang
CAPD yang merupakan suatu tindakan yang diberikan pada pasien yang mengalami gagal ginjal
untuk mempertahankan fungsi ekskresinya secara adekuat.
Dan juga kita perlu mengetahui anestesi apa yang bisa kita gunakan dalam operasi
pemasangan CAPD. Dikarenakan ada banyaknya penyakit sistemik yang menyertai pasien yang
harus dipasang CAPD.
3
BAB II CAPD
2.1 Pengertian
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal ambulatorik
kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucian darah dengan menggunakan peritoneum
(selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki are permukaan
yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah tersaring
melalui peritoneum ke dalam rongga perut. CAPD bersifat kontinyu dan biasanya dapat
dilakukan sendiri. Metode ini bisa dikerjakan di rumah oleh pasien.
Tekhniknya disesuaikan dengan kebutuhan fisiologis pasien akan terapi dialisis dan
kemampuanya untuk mempelajari prosedur ini. Metode ini harus dapat dipahami oleh pasien dan
keluarga, serta diperlukan petunjuk yang adekuat untuk menjamin agar mereka merasa aman dan
yakin dalam melaksanakannya.
2.2 Prinsip-Prinsip CAPD
CAPD bekerja berdasarkan prinsip-prinsip yag sama seperti pada bentuk dialisis lainnya,
yaitu difusi dan osmosis. Tetapi karena CAPD merupakan terapi dialisis yang kontinyu, kadar
produk limbah nitrogen dalam serum berada dalam keadaan yang stabil. Nilainya bergantung
pada:
1) Fungsi ginjal yang masih terpisah
2) Volume dialisa setiap hari
3) Kecepatan produk limbah tersebut diproduksi.
Fluktuasi hasil-hasil laboratorium ini pada CAPD tidak begitu ekstrim dibandingkan
dengan dialisis peritoneal intermiten, karena proses dialisis berlangsung secara konstan. Kadar
elektrolit biasanya tetap berada dalam kisaran normal. Semakin lama waktu retensi, klirens
4
molekul yang berukuran sedang semakin baik, molekul ini merupakan toksin uremik yang
signifikan. Dengan CAPD kliren molekul ini meningkat. Substansi dengan berat molekul rendah,
seperti ureum, akan berdifusi lebih cepat dalam proses dialisis dari pada molekul berukuran
sedang, meskipun pengeluaranya selama CAPD lebih lambat daripada selama hemodialisis.
Pengeluaran cairan yang berlebihan pada saat dialisis peritoneal dicapai dengan
menggunakan larutan dialisat hipertonik yang memiliki konsentrasi glukosa yang tinggi sehingga
tercipta gradien osmotik. Larutan glukosa 1,5%, 2,5% dan 4,25% harus tersedia dengan beberapa
ukuran volume, mulai dari 500 ml – 3000 ml, sehingga memungkinkan pemilihan dialisat yang
sesuai dengan toleransi, ukuran tubuh dan kebutuhan fisiologik pasien. Semakin tinggi
konsentrasi glukosa, semakin besar gradien osmotik dan semakin banyak air yang dikeluarkan.
Pasien harus diajarkan cara memilih larutan glukosa yang tepat berdasarkan asupan makanannya.
Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana. Cairan dialysis 2 L dimasukkan dalam rongga
peritoneum melalui catheter tunchoff, didiamkan untuk waktu tertentu (6 – 8 jam) dan
peritoneum bekerja sebagai membrane semi permeable untuk mengambil sisa-sisa metabolisme
dan kelebihan air dari darah.
Osmosis, difusi dan konveksi akan terjadi dalam rongga peritoneum. Setelah dwell time
selesai cairan akan dikeluarkan dari rongga peritoneum melalui catheter yang sama, proses ini
berlangsung 3 – 4 kali dalam sehari selama 7 hari dalam seminggu.
2.2.1 Difusi
1) Membrane peritoneum menyaring solute dan air dari darah ke rongga peritoneum dan
sebaliknya melalui difusi.
2) Difusi adalah proses perpindahan solute dari daerah yang berkonsentrasi tinggi ke daerah
yang berkonsentrasi rendah, dimana proses ini berlangsung ketika cairan dialisat
dimasukkan ke dalam rongga peritoneum.
3) Konsentrasi cairan CAPD lebih rendah dari plasma darah, karena cairan plasma banyak
mengandung toksin uremik. Toksin uremik berpindah dari plasma ke cairan CAPD.
5
2.2.2 Osmosis
1) Adalah perpindahan air melewati membrane semi permeable dari daerah solute yang
berkonsentrasi rendah (kadar air tinggi) ke daerah solute berkonsentrasi tinggi (kadar air
rendah). Osmosis dipengaruhi oleh tekanan osmotic dan hidrostatik antara darah dan
cairan dialisat.
2) Osmosis pada peritoneum terjadi karena glukosa pada cairan CAPD menyebabkan
tekanan osmotic cairan CAPD lebih tinggi (hipertonik) dibanding plasma, sehingga air
3) Kandungan glucose yang lebih tinggi akan mengambil air lebih banyak. Cairan melewati
membrane lebih cepat dari pada solute. Untuk itu diperlukan dwell time yang lebih
panjang untuk menarik solute.
4) Untuk membantu mengeluarkan kelebihan air dalam darah, maka cairan dialisat
menyediakan beberapa jenis konsentrasi yang berbeda :
- Baxter : 1,5%, 2,5%, 4,25%
- Frescenius : 1,3%, 2,3%, 4,25%
Gb1. Prinsip Kerja CAPD
6
Proses penggantian cairan dialysis dalam prosesnya tidak menimbulkan rasa sakit dan
hanya membutuhkan waktu singkat (± 30 menit). Proses tersebut terdiri dari 3 langkah:
1) Pengeluaran cairan
Cairan dialisat yang sudah mengandung zat-zat racun dan kelebihan
air akan dikeluarkan dari rongga perut dan diganti dengan cairan
dialisis yang baru. Proses pengeluaran cairan ini berlangsung sekitar
20 menit.
2) Memasukkan cairan
Cairan dialisat dialirkan ke dalam rongga perut melalui kateter.
Proses ini hanya berlangsung selama 10 menit.
3) Waktu tinggal
Sesudah dimasukkan, cairan dialisat dibiarkan ke dalam rongga
perut selama 4-6 jam, tergantung dari anjuran dokter.
Pertukaran biasanya dilakukan tiga kali sehari yang berlangsung kontinu selama 24
jam/hari dan dilakukan dalam 7 hari dalam seminggu. Pasien melaksanakan pertukaran dengan
interfal yang didistribusikan disepanjang hari (misalnya pada pukul 06.00 pagi, 16.00 sore dan
24.00 malam). Setiap pertukaran memerlukan waktu 30 hingga 60 menit atau lebih tergantung
pada lamanya waktu retensi yang ditentukan oleh dokter. Lama waktu penukaran terdiri atas 5
atau 10 menit periode infus (pemasukan dialisa), 20 menit periode drainase (pengeluaran cairan
dialisa) dan waktu retensi selama 10 menit, 30 menit atau lebih
7
2.3 Indikasi CAPD
CAPD merupakan terapi pilihan bagi pasien yang ingin melaksanakan dialisis sendiri di
rumah, indikasi CAPD adalah pasien-pasien yang menjalani HD rumatan (maintenence) atau HD
kronis yang mempunyai masalah dengan cara terapi yang sekarang, seperti gangguan fungsi atau
kegagalan alat untuk akses vaskuler, rasa haus yang berlebihan, hipertensi berat, sakit kepala
pasca dialisis dan anemia berat yang memerlukan transfusi.
Penyakit ginjal stadium terminal yang terjadi akibat diabetes sering dipertimbangkan sebagai
indikasi untuk dilakukan CAPD karena hipertensi, uremia dan hiperglikemia lebih mudah diatasi
dengan cara ini dari pada HD.
Pasien lansia dapat memanfaatkan teknik CAPD dengan baik jika keluarga atau
masyarakat memberikan dukungan. Pasien yang aktif dalam penanganan penyakitnya,
menginginkan lebih banyak kebebasan dan memiliki motivasi serta keinginan untuk
melaksanakan penanganan yang diperlukan sangat sesuai dengan terapi CAPD. Selain
kemampuan pasien dukungan dari keluarga untuk melasanakan CAPD harus dipertimbangkan
ketika memilih terapi ini.
Pasien memilih CAPD agar bebas dari ketergantungannya pada mesin, mengontrol
sendiri aktifitasnya sehari-hari menghindari pembatasan makanan meningkatkan asupan cairan,
menaikkan nilai hematokrit serum, memperbaiki kontrol tekananan darah, bebas dari keharusan
pemasangan jarum infus (venipuncture) dan merasa sehat secara umum meskipun CAPD
memberi kesan pasien tampak bebas, terapinya berlangsung secara kontinyu sehingga pasien
harus menjalani dialisis selama 24 jam /hari setiap hari. Sebagian pasien menganggap cara ini
membatasi kebebasanya dan memilih HD yang lebih bersifat intermiten.
2.4 Kontraindikasi CAPD
Kontraindikasi dilakukan CAPD adalah adanya :
8
1) Perlekatan akibat pembedahan atau penyakit inflamasi sistemik sebelumnya.
Perlekatan akan mengurangi klirens solut.
2) Nyeri punggung kronis yang rekuren di sertai riwayat kelainan pada diskus
intervertebralis dapat diperburuk oleh tekanan cairan dialisat dalam abdomen yang
kontinu.
3) Adanya riwayat kolostomi, ileostomi, nefrostomi atau ilealconduit dapat
meningkatkan resiko peritonitis walaupun tindakan operasi tersebut bukan
kontraindikasi absolut untuk CAPD.
4) Pasien dengan pengobatan imunosupresif akan mengalami komplikasi akibat
kesembuhan luka yang buruk pada lokasi pemasangan kateter.
5) Diverkulitis mengingat CAPD pernah disertai adanya ruptur divertikulum.
6) Pasien dengan artritis atau kekuatan tangan menurun karena akan memerlukan
bantuan dalam melaksanakan pertukaran cairan.
2.5 Komplikasi CAPD
Kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi pada CAPD adalah :
1) Peritonitis
Merupakan komplikasi yang paling sering terjadi dan paling serius, yaitu antara
60-80 % dari pasien yang menjalani peritoneal dialisis. Hal ini disebabkan oleh adanya
kontaminasi dari Staphylokokus epidermidis yang bersifat aksidental, dan Staphylococcus
aureus dengan angka morbiditas tinggi, prognosis lebih serius serta lebih lama.
Manifestasi dari peritonitis yaitu cairan dialisat yang keruh, nyeri abdomen yang difus,
hipotensi serta tanda-tanda syok lainnya, hal ini jika penyebabnya S. Aureus.
Pemeriksaan cairan drainage untuk penghitungan jumlah sel, pewarnaan Gram, dan
pemeriksaan kultur untuk tahu penyebab mikroorganisme dan arahan terapi.
Penatalaksanaan Peritonitis di rumah sakit apabila pasien dalam kodisi parah dan
tak mungkin melakukan terapi pertukaran dirumah, dengan menjalani dialisis peritoneal
9
intermitten selama 48 jam atau lebih atau sepenuhnya dihentikan selama dapat terapi
suntikan antibiotik. Jika gejalanya ringan ditangani secara rawat jalan dan terapi
antibiotik ditambahkan dalam cairan dialisat serta dapat AB peroral selama 10 hari.
Infeksi akan menghilang dalam waktu 2-4 hari. AB harus diberikan dengan cermat dan
tidak bersifat nefrotoksik agar tidak memperparah fungsi ginjal yang tersisa. Intervensi
bedah mungkin diperlukan jika peritonitis akibat adanya kebocoran dari usus.
Pada infeksi persisten di tempat keluar kateter pelepasan kateter permanen
diperlukan untuk mencegah peritonitis. Peritonitis dengan hasil kultur cairan peritoneal
positif juga merupakan indikasi pelepasan kateter. Untuk sementara menggunakan HD
selama satu bulan sampai dilakukan pemasangan kateter yang baru. Pasien dengan
peritonitis akan kehilangan protein melalui peritoneum dalam jumlah besar, malnutrisi
akut, serta kelambatan penyembuhan.
2) Kebocoran
Kebocoran cairan dialisat yang biasa terjadi melalui luka insisi atau luka
pemasangan kateter setelah kateter terpasang. Kebocoran akan berhenti spontan jika
terapi dialisis ditunda selama beberapa hari sampai luka insisi dan tempat keluarnya
kateter sembuh. Faktor yang dapat memperlambat kesembuhan adalh aktifitas abdomen
yang tidak semestinya atau mengejan pada saat buang air besar. Kebocoran dapat
dihindari dengan memulai infus cairan dialisat dengan volume kecil (100-200 ml) dan
secara bertahap meningkatkan volume mencapai 2000 ml.
3) Perdarahan
Cairan drainage dialisat yang mengandung darah dapat terlihat khususnya pada
wanita yang sedang haid. Hal ini disebabkan karena cairan hipertonik menarik darah dari
uterus lewat orificium tuba falopii yang bermuara ke dalam kavum peritoneal. Kejadian
ini dapat terjadi selama beberapa kali penggantian cairan mengingat darah akibat
prosedur tersebut tetap berada pada rongga abdomen.
10
Penyebab lain adanya perdarahan karena pergeseran kateter dari pelvis serta pada
pasien yang habis menjalani pemeriksaan enema atau mengalami trauma. Adapun
intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pertukaran cairan lebih sering
untuk mencegah obstruksi kateter oleh bekuan darah.
4) Komplikasi lainnya adalah
- Hernia abdomen karena peningkatan tekanan intra abdomen yang terus
menerus. Tipe hernia yang terjadi adalah insisional, inguinal, diafragmatik,
dan umbilikal. Tekanan intra abdomen yang persisten meningkat juga dapat
memperburuk gejala hernia hiatus dan hemoroid.
- Hipertrigliseridemia sehingga memberi kesan dapat mempermudah
aterogenesis. Penyakit Kardiovaskuler tetap merupakan penyebab utama
kematian pada populasi pasien ini.
- Nyeri Punggung bawah dan anoreksia karena cairan dalam rongga peritoneum
selain rasa manis yang selalu tarasa pada indra pengecap juga berkaitan
dengan absorpsi glukose.
- Pembentukan bekuan dalam kateter peritoneal dan konstipasi.
2.6 Keuntungan CAPD
Keuntungan dari CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:
- Fungsi ginjal yang masih tersisa dapat dipertahankan.
- Dapat dilakukan sendiri di rumah atau di tempat kerja.
- Tidak tergantung pada bantuan orang lain.
- Tekanan darah pasien lebih terkendali.
- Kebutuhan akan suplemen zat besi dan eritropoietin (EPO) jauh lebih sedikit.
- Lebih bebas mengonsumsi berbagai jenis makanan dan minuman.
- Kadar kalium darah lebih terkontrol.
11
2.7 Kerugian CAPD
Kerugian CAPD pada klien yang menggunakan antara lain:
1) Risiko terjadinya peritonitis (infeksi peritoneum).
2) Lebih banyak protein yang hilang dari tubuh selama berlangsungnya proses dialisis
peritoneal.
12
BAB III ANESTESI PADA PEMASANGAN CAPD
3.1 Pemilihan Anestesi
Pada operasi pemasangan kateter CAPD, dapat dilakukan anestesi baik secara lokal,
regional maupun secara umum. Karena pada pembedahan ini, hanya dilakukan sayatan kecil
pada abdomen dan waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pembedahan ini pun tidaklah lama.
Itulah sebabnya, baik anestesi lokal, regional maupun umum dapat dilakukan pada pembedahan
pemasangan kateter CAPD.
Dalam memilih anestesi apa yang akan digunakan, tentulah kita harus memikirkan segala
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Semua tekhnik anestesi pasti memiliki kelemahan,
maka pilihlah tekhnik anestesi dengan kelemahan yang minimal untuk pasien dengan gagal
ginjal.
Pada tabel di bawah ini, akan dijabarkan beberapa kelemahan dari setiap anestesi yang
menjadi penentu dari anestesi apakah yang akan dilakukan.
Efek Samping Anestesi Lokal Anestesi Regional Anestesi Umum
Pernapasan Bronkospasme,
Menurunkan Tekanan
Oksigen
Hipoventilasi Menurunkan Volume
Tidal, Hipoventilasi,
Depresi Pernapasan
Sirkulasi Hipotensi, Reaksi
Alergi
Hipotermia, Hipotensi Hipotensi
Gastro - Mual, Muntah Mual, Muntah
Neuro Rasa Nyeri (Anestesi
Tidak Adekuat),
Kejang
Sakit Kepala Spinal,
Total Spinal
Sakit Kepala,
Meningkatkan TIK
Renal - Retensio Urine (Pada
Kandung Kemih)
Menurunkan Filtrasi
Glomerulus
Tabel 1. Perbandingan Anestesi Lokal, Regional, dan Umum
13
3.2 Anestesi Regional
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara pada impuls
syaraf sensorik (diblokir untuk sementara/reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.
Anestesi spinal adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subarackhnoid. Untuk
mencapai cairan serebrospinal, jarum suntik akan menembus kutis subkutis lig.
Supraspinosum lig. Interspinosum lig. Flavum ruang epidural durameter ruang
subarachnoid. Maka dari daerah disekitar tempat tusukan perlu diteliti terlebih dahulu, apakah
akan menimbulkan kesulitan, misalnya ada kelainan anatomis tulang punggung atau kegemukan
sehingga tidak teraba tonjolan prosesus spinosus.
Beberapa keuntungan bila kita melakukan anestesi spinal antara lain :
1) Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
2) Relatif aman untuk pasien yg tidak puasa (operasi emergency, lambung penuh)
karena penderita sadar.
3) Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4) Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5) Perawatan post operasi lebih ringan.
6) Obat yang digunakan lebih sedikit.
7) Onset lebih singkat.
8) Level anestesi lebih pasti (dibandingkan dengan anestesi lokal).
Namun ada juga kerugian dari dilakukannya anestesi spinal :
1) Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.
2) Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3) Sulit diterapkan pada anak-anak.
4) Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5) Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.
14
Dalam melakukan anestesi, kita harus selalu waspada dengan segala komplikasi-
komplikasi yang mungkin terjadi agar kita dapat menangani dengan cepat saat hal tersebut
terjadi. Pada anestesi spinal, komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
1) Trauma saraf, akibat dari :
Hipotensi arterial yang terlalu lama
Trauma tusukan jarum
2) Bradikardia dapat disebabkan oleh :
Blok yang terlalu tinggi sampai T2
Hipotensi aliran darah balik berkurang
Blok simpatis
Kehilangan darah saat operasi yang tidak diketahui
3) Mual muntah dikarenakan :
Hipotensi
Hipoksia
Tonus parasimpatis berlebihan sehingga peningkatan perisraltik usus
Adanya empedu dalam lambung oleh karena relaksasi pylorus dan spincter ductus
biliaris
Faktor psikologis
4) Blok spinal tinggi dapat disebabkan oleh :
Dosis yang terlalu besar
Penyuntikan obat anestesi yang terlalu cepat
Pasien mengejan
Posisi pasien ( tidur tanpa bantal) terutama bila menggunakan obat hiperbarik
15
3.3 Dampak Anestesi Spinal Pada Operasi Pemasangan Kateter CAPD
POSITIF NEGATIF
Biaya relatif lebih murah Terdapat kemungkinan kegagalan
Perawatan post operasi lebih ringan Pasien harus dalam posisi tidur selama 24 jam
Pada umumnya, obat anestesi regional tidak
dieskresikan di ginjal
Tidak baik jika digunakan untuk pembedahan
dengan jangka waktu lebih dari 2 jam
Tidak ada efek samping metabolit Sulit dilakukan pada pasien dengan obesitas
Tidak memerlukan muscle relaxan Pasien cenderung merasa cemas karena pasien
dalam keadaan sadar
Tidak mempengaruhi RBF asalkan hipotensi
bisa dicegah dengan preload yang cukup
Hipotensi akan sulit ditangani karena tidak bisa
di loading banyak cairan dan dapat
mengakibatkan bradikardi
Tanpa intubasi sehingga mengurangi infeksi
jalan napas
Hipoventilasi yang terjadi merupakan resiko
besar terjadinya asidosis
Tabel 2. Dampak Anestesi Spinal Pada Operasi Pemasangan Kateter CAPD
3.4 Status Anestesi
3.4.1 Pre-Operasi
1) Anamnesis
- Identitas
Nama pasien, umur, jenis kelamin, tempat/tanggal lahir, suku, agama, nama orang
tua, alamat rumah, nomor telepon.
- Riwayat Penyakit Dahulu
Hipertensi, DM, Gangguan koagulasi, alergi, asma
16
2) Pemeriksaan Fisik
Data dasar mengenai tanda-tanda vital, berat badan, airway, breathing, sirkulasi,
saraf, gastro, renal, metabolic, hepar
3) Pemeriksaan Penunjang
Hb, Ht, Trombosit, Leukosit
Masa perdarahan, pembekuan, protrombin
Ureum dan kreatinin
Elektrolit
Urine
4) Informed Consent
Penjelasan prosedur dialysis peritoneal, surat persetujan (Informed Consent) yang
sudah ditandatangani
5) Pengosongan kandung kemih dan usus
6) Puasa 6-8 jam
7) Berikan obat anti-hipertensi jika tekanan darah pasien cukup tinggi
3.4.2 Durante-Operasi
1) Diagnosis pre-operasi
2) Jenis pembedahan : CAPD
3) Jenis anestesi : Regional Anestesia
4) Tekhnik anestesi : Spinal Anestesi (SAB), Pasien duduk dengan membungkuk
maksimal, Identifikasi L3-4, Asepsis dan Antisepsis, Tusuk dengan spinocain, keluar
LCS (+) bening
5) Obat Anestesia : Bupivakain 0,55
6) Respirasi : Spontan dengan pemberian Oksigen 2 lpm
17
7) Posisi : Supine
3.4.3 Post-Operasi
1) Monitoring tanda-tanda vital
2) Pemberian analgetik untuk mengurangi rasa nyeri
3) Penilaian Bromage
4) Pemberian antibiotik karena adanya kemungkinan infeksi
18
BAB IV PENUTUP
Continous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD) atau dialisis peritoneal ambulatorik
kontinyu merupakan suatu bentuk metode pencucian darah dengan menggunakan peritoneum
(selaput yang melapisis perut dan pembungkus organ perut). Selaput ini memiliki area
permukaan yang luas dan kaya akan pembuluh darah. Zat-zat dari perut dapat dengan mudah
tersaring melalui peritoneum ke dalam rongga perut. Prinsip kerja dari CAPD cukup sederhana .
Dialisis Peritoneal diawali dengan memasukkan cairan dialisat (cairan khusus untuk dialisis) ke
dalam rongga perut melalui selang kateter, lalu dibiarkan selama 4-6 jam. Ketika dialisat berada
di dalam rongga perut, zat-zat racun dari dalam darah akan dibersihkan dan kelebihan cairan
tubuh akan ditarik ke dalam cairan dialisat. Zat-zat racun yang terlarut di dalam darah akan
pindah ke dalam cairan dialisat melalui selaput rongga perut (membran peritoneum) yang
berfungsi sebagai “alat penyaring”, proses perpindahan ini disebut Difusi. Cairan dialisat
mengandung dekstrosa (gula) yang memiliki kemampuan untuk menarik kelebihan air, proses
penarikan air ke dalam cairan dialisat ini disebut Ultrafiltrasi.
Untuk melakukan CAPD, kita bisa menggunakan jenis anestesi regional, seperti spinal
anestesia. Hal ini sangat dianjurkan karena pemasangan selang CAPD tidaklah membutuhkan
waktu yang banyak dan pembedahan yang dilakukan pun hanyalah pembukaan sedikit pada
bagian abdomen.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. Brunner & Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, Cetakan I. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
2. Arnoud Peppelenbosch1 et al. 2008. Peritoneal Dialysis Catheter Placement Technique
and Complications. NDT Plus. Diunduh dari : http://ckj.oxfordjournals.org/ by guest on
May 20, 2013.
3. Cetin Ozener et al. 2008. Technical Survival of CAPD Catheters : Comparison Between
Percutaneous and Conventional Surgical Placement Techniques. Turkey : Nephrology
Dialysis Transplantation.
4. Iqbal et al. 2005. Outcome of Peritoneal Dialysis and Hemodialysis in Elderly Patients
with Diabetes: Early Experience from Bangladesh. Advances in Peritoneal Dialysis 21:
85-9.
5. International Society for Peritoneal Dialysis. 2002. Short Reports. Peritoneal Dialysis
International, Vol. 22 : 614-632. Canada. Diunduh dari : http://www.pdiconnect.com/ by
guest on May 21, 2013.
6. Krane Kevin, Myra A. Kleinpeter. 2006. Perioperative Management of Peritoneal
Dialysis Patients: Review of Abdominal Surgery. Advances in Peritoneal Dialysis, Vol.
22. Louisiana.
7. Lynda Juall, Carpenito & Moyet. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Cetakan I.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
8. Makalah Pelatihan. 2002. Fresenius Fundamentals in Peritoneal Dialysis. Fresenius
Medical Care.
9. Makalah Pelatihan. 2002. Ginjal Peritoneal Dialysis & Bagaimana Kerjanya, Fresenius
Medical Care.
10. Marilynn E. Dongoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, Cetakan I. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
11. National Institute for Health and Clinical Excellence. 2007. Interventional Procedure
Overview of Laparoscopic Insertion of Peritoneal Dialysis Catheter.
20
12. Price & Wilson. 1995. Patofisiologi, Edisi 4, Cetakan I. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
21
top related