pertanggung jawaban pidana pelaku tindak pidana …
Post on 22-Nov-2021
33 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA YANG MENGALAMI PRAKTIK CUCI OTAK
(BRAINWASH)
Muhammad Tanziel Aziezi
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus UI Depok 16424
E-mail : aziezi.hukumui@gmail.com
Abstrak
Tulisan ini membahas mengenai bagaimana pertanggung jawaban pidana dari seorang pelaku tindak pidana yang telah mengalami praktik cuci otak (brainwash) sebelum melakukan tindak pidana. Penulis menjabarkan hal tersebut dengan menjelaskan bagaimana proses cuci otak (brainwash) terjadi, khususnya pada perekrutan anggota terorisme dan NII, lalu mengaitkan proses tersebut dengan ajaran kesalahan, untuk dapat menentukan apakah terdapat kesalahan dalam pelaku tindak pidana yang mengalami praktik cuci otak (brainwash), sehingga berdasarkan asas geen straf zonder schuld, pelaku tersebut dapat dimintai pertangggung jawaban pidana. Penulis juga menjabarkan bagaimana peradilan pidana di Indonesia dan Amerika Serikat menyikapi soal cuci otak (brainwash) yang muncul dalam persidangan. Hasil dari tulisan ini adalah pelaku tindak pidana yang sebelumnya mengalami praktik cuci otak (brainwash) memiliki kesalahan dalam melakukan hal tersebut, sehingga dapat dimintai pertanggung jawaban pidana. Cuci otak (brainwash) ini juga tidak diterima sebagai dasar untuk menghapus pertanggung jawaban pidana, baik dalam peradilan pidana Indonesia, maupun peradilan pidana Amerika Serikat, dikarenakan pelaku tetap memiliki kesadaran dalam melakukan tindak pidana serta melakukan hal tersebut berdasarkan free will yang ia miliki. Saran yang dapat penulis berikan adalah perlunya pendefinisian yang tegas mengenai apa yang dimaksud dengan cuci otak (brainwash) mengingat masih banyak pihak yang mendifinisikan cuci otak (brainwash) secara salah, seperti menyamakan cuci otak (brainwash) dengan indoktrinasi, padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Kemudian, penulis juga menyarankan adanya sosialisasi, khususnya kepada aparat penegak hukum mengenai pertanggung jawaban pidana dari pelaku tindak pidana yang mengalami praktik cuci otak (braiwnash) agar tidak terjadinya kesalahan dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap pelaku tersebut.
Abstract
CRIMINAL RESPONSIBILITY OF PERPETRATORS WHO SUFFERED BRAINWASHING PRACTICES
This thesis discusses about how the criminal responsibility of a perpetrator who had suffered brainwashing practices before committing a crime. The author describes this by explaining how the brainwashing process occurs, particularly in the recruitment of members of terrorist and NII, then associate that process with the doctrine of fault, to be able to determine if there is an fault in the criminal suffered brainwashing practices, so based on the principle of geen straf zonder schuld, the perpetrators be held criminal responsibility. The author also describes how criminal justice in Indonesia and the United
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
States address the problem of brainwashing that appear in the proceedings. The results of this thesis are perpetrators who previously suffered brain washing practices have a fault in doing so, so it can be held responsible criminal. Brainwashing is also not acceptable as a basis for removing criminal responsibility, both in Indonesian criminal justice and the United States’ criminal justice, because the perpetrators remain conscious in committing a crime and do so by free will which he had. The advice that the author can give is the need for a clear definition of what is meant by brainwashing, since there are many parties that defines brainwashing are wrong, such as equating brainwashing with indoctrination, even though both are different things. Then, the authors also recommend the existence of socialization, especially for law enforcement officers regarding criminal responsibility of perpetrators who suffered brain washing practices, to prevent the occurrence of errors in imposing the punishment of the perpetrators.
Keywords: Criminal Responsibility; Fault; Geen Straf Zonder Schuld; Brainwashing; Terorism; NII.
Pendahuluan
Berdasarkan Index Teroris Global (Global Terrorist Index/GTI) yang
dirilis pada awal bulan Desember 2012 lalu, Indonesia menempati posisi ke-29
dari 158 negara sebagai negara rawan tindakan terorisme1. Di Indonesia sendiri,
dalam kurun waktu tahun 2000-2012, telah terjadi 47 (empat puluh tujuh) kasus
terorisme2. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT),
Ansyaad Mbai, sejak peristiwa bom bali I pada tahun 2002 sampai saat ini, sudah
840 orang pelaku terorisme yang ditangkap, dan 700 orang diantaranya sudah
menjalani proses hukum dan divonis oleh pengadilan3.
Menanggapi fenomena terorisme di Indonesia ini, Guru Besar Sejarah
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Azyumardi Azra
menyampaikan bahwa fenomena terorisme di Indonesia menunjukkan terjadinya
regenerasi sel-sel teror, mengingat terduga terorisme saat ini banyak yang berusia
muda. “ Cuci otak dan indoktrinasi akhirnya membuat mereka rela mengorbankan
nyawa milik paling berharga setiap anak manusia”, kata Azyumardi4. Dalam
sebuah wawancara dengan Lazuardi Birru, Ahmad Syafii Ma’arif, pimpinan
Ma’arif Institute, berpendapat mengenai fenomena terorisme, dimana terpidana
1 http://m.log.viva.co.id/news/read/378733-terkait-terorisme-indonesia-naik-9-peringkat , diakses pada 5 Desember 2013. Hasil survey GTI tersebut dapat diunduh di http://Reliefweb.int/report/world/2012-global-terorism-index-capturing-impact-terorism-2002-2011 .
2 Endro Bayu Kusumo, Pencitraan Lembaga Kepolisian Terkait Kasus Teorisme di Indonesia Yang Dimuat Dalam SKH Kompas (Analisis Isi Berita Pencitraan Lembaga Kepolisian RI di SKH Kompas Periode Tahun 2009-2010) skripsi, 2011. Ditambah dengan data yang diakses dari http://m.voaindonesia.com/a/15773757.html , pada 5 Desember 2013.
3 http://banten.antaranews.com/berita/18482/bnpt-300-tahanan-kasus-terorisme-bebas-2013-2014, diakses pada 5 Desember 2013.
4http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/09/17/mahwda-kelatenan-terorisme , diakses pada 30 September 2013.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
terorisme kembali melakukan aksi terorisme dengan menyatakan, “Saya kira
fenomena itu terjadi karena sempurnanya cuci otak yang dilakukan kelompok
teroris. Mereka sulit sekali keluar dari pemikiran-pemikiran ekstrim”5.
Berdasarkan hal-hal tersebut, ada sebuah fenomena dalam kasus-kasus
terorisme di Indonesia, yaitu adanya praktik cuci otak dalam tindak pidana
terorisme di Indonesia, yang terjadi dalam proses perekrutan anggota baru oleh
kelompok pelaku terorisme.
Selain dalam perekrutan anggota terorisme, praktik cuci otak juga terjadi
pada perekrutan anggota Negara Islam Indonesia (NII), untuk kemudian
melakukan tindak pidana, seperti pencurian, penipuan, dan lain sebagainya. Hal
ini dapat terlihat dari beberapa berita yang dilansir sebuah media online sebagai
berikut :
Setelah karyawan Kemenhub, Laela Febriani alias Lian jadi korban cuci otak NII, belasan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dilaporkan hilang karena mengikuti kegiatan NII6
Korban yang tidak mempunyai dana yang dinilai cukup akan diminta untuk menjual barang-barang berharga miliknya seperti handphone, laptop, dll dan disuruh berbohong kepada orang tua jika seandainya orang tua menanyakan tentang barang-barang korban yang tidak lagi dimilikinya. Tersangka pencucian otak juga menyuruh korban untuk mencuri dan hasilnya diberikan kepada NII7.
Melihat kepada fenomena cuci otak yang terjadi dalam perekrutan anggota
kelompok Terorisme dan NII diatas, timbul lah pertanyaan-pertanyaan, yaitu apa
sebenarnya yang dimaksud dengan cuci otak (brainwashing)? Lalu, apabila
seorang pelaku tindak pidana mengalami praktik cuci otak (brainwash) sebelum ia
melakukan tindak pidana, dan karena cuci otak (brainwash) tersebut, ia
melakukan tindak pidana, bagaimana kah pertanggung jawaban pidana dari pelaku
tersebut? Bagaimana pula penerapan pertanggung jawaban pidana pelaku tindak
pidana yang mengalami praktik cuci otak (brainwash) dalam putusan peradilan
pidana di Indonesia dan Amerika Serikat?
5 http://www.lazuardibirru.org/berita/kolom/ahmad-syafii-maarif-teroris-juga-
korban/?wpmp_tp=1#.Up-gu4X-KAg , diakses pada 5 Desember 2013. 6 “Ciri Korban Cuci Otak NII”, http://nii-crisis-
center.com/home/?option=com_content&task=view=article&id=228 , 6 Februari 2014. 7 “Pencucian otak oleh NII”, http://id.shvoong.com/society-and-news/column/2152645-
pencucian-otak-oleh-nii/, 19 Oktober 2013. Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
Definisi Operasional
Di dalam tulisan ini, ada beberapa kata yang akan diartikan sebagai
berikut:
1. Tindak Pidana (Strafbaar Feit)
Tindak pidana adalah suatu kelakuan manusia yang bertentangan
dengan hukum (anasir melawan hukum/element van wedderechtelijkheid) dan
oleh sebab itu dapat dijatuhkan hukuman (strafbaarheid van het feit)8.
2. Kesalahan dan Pertanggung Jawaban Pidana
Dalam tulisan ini, penulis menghubungkan kesalahan dengan
pertanggung jawaban pidana, karena di dalam hukum pidana, hanya
perbuatan yang mengandung unsur kesalahan yang dapat dimintai
pertanggung jawaban pidana kepada pelakunya, atau dikenal dengan asas
geen straf zonder schuld. Menurut para ahli hukum pidana, seperti yang
dikutip oleh Frans maramis, untuk dapat dikatakan bahwa seorang pelaku
tindak pidana memiliki kesalahan, maka seorang pelaku tersebut harus
memenuhi unsur kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar),
kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa), dan tidak adanya alasan
penghapus kesalahan (dasar pemaaf) 9.
3. Cuci Otak (Brainwashing)
Cuci otak adalah suatu proses pengubahan atau rekayasa pembentukan
ulang pikiran orang lain, tanpa persetujuan orang tersebut, dengan suatu ide
atau nilai baru, baik sementara atau permanen, yang dilakukan dengan cara-
cara tertentu, seperti menggunakan tekanan secara terus menerus dan bersifat
memaksa. Memaksa dalam konteks ini dapat secara fisik, yaitu berupa
tekanan, siksaan, obat-obatan, dan sebagainya, dan dapat secara psikis, seperti
contohnya hipnotis.
4. Tindak PidanaTerorisme
Yang selanjutnya disebut sebagai tindak pidana terorisme adalah
tindak pidana-tindak pidana yang diatur dalam bab III Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahiun 2002 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme (Lembaran Negara Tahun 2002 Nomor 106,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4232) juncto Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
8 E. Utrecht, Hukum Pidana I, (Surabaya : Pustaka Tirta Mas, 2000), hlm. 46. 9 Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada, 2013), hlm. 116. Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
Terorisme Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor
45, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4284), tentang Tindak Pidana
Teorisme, yang diatur dalam pasal 6 sampai dengan pasal 15.
5. Negara Islam Indonesia (NII)
Yang dimaksud dengan Negara Islam Indonesia (NII) adalah NII KW
9 pimpinan Panji Gumilang alias Abu Toto, karena yang melakukan cuci otak
untuk melakukan penipuan dan pengumpulan dana adalah NII KW 9
pimpinan Panji Gumilang alias Abu Toto10.
Metode Penelitian
Penulisan skripsi yang dilakukan penulis jika dilihat dari bentuknya
termasuk penelitian normatif. Penelitian hukum bersifat normatif atau dalam
istilah lain disebut penelitian kepustakaan, maksudnya adalah penelitian yang
dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Data
sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil
penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya11.
Hasil Penelitian
Istilah cuci otak (brainwash) pertama kali dicetuskan oleh seorang jurnalis
Amerika Serikat bernama Edward Hunter dalam bukunya yang berjudul
“Brainwashing in Red China” pada tahun 195112. Istilah ini muncul dari hasil
wawancara Hunter dengan beberapa tahanan perang asal Amerika Serikat yang
ditahan oleh pasukan Korea Utara, yang didukung oleh rezim komunis China,
yang sedang menyerang untuk menjajah Korea Selatan, pada tahun 195013. Hasil
dari wawancara tersebut adalah mereka mengalami perubahan ideologi menjadi
komunis yang diakibatkan penyiksaan dan manipulasi pikiran yang dilakukan
pasukan komunis China dan Korea Utara14.
Kata “brainwash” atau cuci otak lahir ketika Hunter diberitahu oleh
penerjemahnya saat di China, yang juga adalah seorang informan China, bahwa
fenomena tersebut, dalam terminologi China, disebut sebagai xi-nao atau hsi-nao,
10 Adi Lazuardi, “ NII KW 9 Tidak Ada Hubungannya Dengan Terorisme”,
http://news.detik.com/read/2011/04/29/002357/1628177/10/ diakses pada 6 April 2014. 11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Unversitas
Indonesia, 2008), hlm. 12. 12Ida-Gaye Warburton, “The Commandering of Free Will : Brainwashing As A
Legitimate Defense”, dalam Capital Defense Journal, Vol. 16, hlm. 76. 13Kathleen Taylor, Brainwashing : The Science of Thought Control, (New York : Oxford
University Press Inc., 2004), hlm. 3. 14 Warburton, loc.cit.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
yang diartikan sebagai “wash brain” atau “cleansing the mind", yang dalam
bahasa sehari-hari disebut sebagai szu-hsiang-kai-tsao, yang diartikan sebagai
“thought reform” atau “pengubahan pikiran”15.
Edward Hunter menyatakan bahwa tujuan dari cuci otak adalah untuk
mengubah pikiran secara radikal, sehingga individu menjadi boneka hidup, sebuah
robot manusia, dilengkapi dengan keyakinan dan pola pikir yang baru16. Menurut
Kathleen Taylor, seorang peneliti dari Department of Psychology, Anatomy, and
Genetics dari University of Oxford, “keyakinan” adalah:
Salah satu konsep yang mengakar, yang tanpa melalui proses pembelajaran atau pemikiran terlebih dahulu dapat dipahami, namun sulit untuk didefinisikan. Keyakinan adalah tentang objek atau situasi, yang melibatkan orang yang meyakini untuk menerima kebenaran dari pernyataan tentang objek-objek atau situasi tersebut17.
Beberapa ahli, seperti Joost Meerloo, Margareth Thaler Singer, Edgar
Schein, Robert Jay Lifton, dan Djohan Gunawan, telah menjabarkan tahapan dari
cuci otak (brainwashing). Berdasarkan pendapat-pendapat ahli tersebut, dalam
proses cuci otak (brainwashing), ada 4 (empat) tahap yang terjadi. Untuk
mempermudah penyebutan, maka penulis akan menggunakan kata “brainwashee”
untuk orang yang mengalami cuci otak, kata “brainwasher” untuk orang
melakukan cuci otak, dan “brainwash area” untuk area atau lingkungan tempat
cuci otak (brainwash) dilakukan. 4 (empat) tahap tersebut adalah:
Proses Cuci Otak (Brainwash)
15 Taylor, loc.cit. 16“Cults, Brainwashing, and Propaganda”,
http://www2.psy.uq.edu.au/~wlouis/stats/3142%20for%20post/3142l11%20for%20post.pdf, diakses pada 18 Juni 2014.
17 Taylor, op.cit., hlm. 127. Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
Menurut Djohan Gunawan, kegiatan cuci otak (brainwash) dilakukan pada
gelombang otak alpha, dimana gelombang ini adalah suatu fase dari keadaan
pikiran sadar masuk ke pikiran tidak sadar (bawah sadar) 18. Menurut Joseph
Murphy dan John Kehoe, seperti yang dikutip oleh Asih Sudiastik dan Dean
Praty, Batin (Alam/Pikiran) bawah sadar menerima suatu yang diberikan batin
sadar tanpa memperdulikan apakah pikiran itu baik atau jelek, benar atau salah.
Batin bawah sadar tidak mampu melakukan pilihan dan bandingan yang perlu
bagi proses pertimbangan, sehingga ketika batin bawah sadar menerima suatu
pikiran, maka ia akan menerimanya sebagai hal yang benar19.
Di antara pikiran sadar dan pikiran bawah sadar, terdapat RAS (Reticular
Activating System), yang bertugas memfilter data dan program-program (pikiran)
yang akan masuk maupun keluar pada pikiran sadar dan pikiran bawah sadar.
RAS menjadi pintu yang menghubungkan antara sistem korteks (berpikir) dan
sistem limbik (berjaga)20. Salah satu cara memasukkan suatu pikiran ke dalam
alam bawah sadar adalah menciptakan situasi stres, tegang, dan membahayakan.
18Djohan Gunawan, Lawan bahaya Cuci-otak dan Pengendalian Pikiran, (Jakarta : PT
Elex Media Komputindo, 2011), hlm. 21-23. 19 Disarikan dari Asih Sudiastik SS dan Dean Praty R, Sobconscious Power, Kitab Daya
Batin; More Than Secret, Nasihat Dari Dua Guru Spiritual Dunia, (Semarang : Dahara Prize, 2013, hlm. 49-53. Buku ini sendiri adalah saduran dari dua buku, yaitu “The Power Of Your Subconscious Mind” oleh Joseph Murphy dan “Mind Power Into The 21st Century; Techniques To Harness The Astounding Power Of Thought” oleh John Kehoe.
20 Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang (“Anatomi dan Fungsi Otak Manusia”, http://www.aktivasiotak.com/fungsi_otak.htm, diakses pada 1 Juli 2014). Sistem limbik adalah bagian otak yang bertanggung jawab untuk memproses emosi (“Physiology of Stress”, http://www.jblearning.com/samples/0763740411/Ch%202_Seaward_Managing%20Stress_5e.pdf, diakses pada 1 Juli 2014).
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
Cuci otak (brainwash) adalah salah satu cara memasukkan pikiran ke alam
bawah sadar, dimana pada tahap pelumpuhan dalam proses cuci otak (brainwash),
brainwasher akan menciptakan rasa stres di dalam diri brainwashee. Menurut
pendapat Kathleen Taylor, ketika suatu keyakinan yang sudah ada berkonflik
dengan suatu keyakinan yang baru, maka akan menimbulkan situasi yang sangat
stres21.
Hubungan Cuci Otak (Brainwash), Stres, PFC, RAS, dan Sistem
Limbik
*PFC adalah bagian otak yang berfungsi mengatur kesadaran, mengarahkan perilaku, free will, membuat keputusan, berpikir kompleks dan emosi, mengontrol diri, dan berpikir secara moral. PFC memiliki kemampuan “stop and think”, yaitu kemampuan otak untuk memperlambat proses informasi yang masuk ke otak untuk memberikan waktu agar otak dapat mempertimbangkan informasi tersebut, untuk kemudian melanjutkan pemrosesan terhadap informasi tersebut. “Stop and think” menyediakan otak kita pertahanan agar dapat menolak upaya-upaya yang mempengaruhi diri kita.
Cara lain untuk menanamkan suatu pikiran kepada orang lain adalah
mengulang-ulang pikiran tersebut pada batin sadar sampai diterima batin bawah
sadar. Pengulangan diperlukan untuk mengimplan (menanamkan) sugesti
(pikiran) di dasar alam bawah sadar. Semakin mengulangi sesuatu, semakin
permanen (pikiran) tersebut ditanamkan dalam pikiran22.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam tahap
pelumpuhan pada proses cuci otak (brainwash), keyakinan yang dipegang oleh
brainwashee akan terus menerus dan berulang-ulang tanpa henti akan dibenturkan
dengan keyakinan baru yang dibawa brainwasher, hingga brainwashee goyah
dengan keyakinan yang dipegangnya dan mulai menganggap keyakinan yang
dipegangnya adalah keyakinan yang salah. Kemudian, masuk ke dalam tahap
21 Taylor, op.cit., hlm. 128. 22 Ryan Elliot, The Secrets From Your Subconscious Mind, (Illinois : Lightheart Healing
and Education Research Centre, 2006), hlm. 9. Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
indoktrinasi, brainwasher juga akan terus menerus dan berulang-ulang tanpa henti
menanamkan pikiran baru yang dibawanya ke dalam pikiran brainwashee, sampai
braiwashee memiliki keyakinan bahwa keyakinan yang dibawa brainwasher
adalah keyakinan yang benar.
Berdasarkan hal-hal di atas, pikiran yang ditanamkan tersebut telah masuk
dan tertanam di alam bawah sadar (subconscious) dari brainwashee, menjadi
keyakinan yang dianggap benar dalam pikiran brainwashee, atau dengan kata lain,
telah menjadi “belief system” dalam diri dan pikiran brainwashee, dan keyakinan
(belief system) tersebut akan menjadi perwujudan cara berpikir dan berperilaku
dari brainwashee pada alam sadar nya. Pendapat penulis ini sejalan dengan yang
disampaikan oleh Richard Delgado, yang menyatakan bahwa korban (orang yang
mengalami praktik cuci otak/brainwashee) dari Thought Reform (perubahan
pikiran/cuci otak) bertindak secara sadar, bahkan bertindak antusias23, sehingga
penulis berkesimpulan bahwa ketika brainwashee melakukan perbuatan tersebut
secara sadar (conscious).
Mengacu kepada pendapat Gilberto Gomes mengenai free will, walaupun
ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan
sesuatu, namun apabila perbuatan tersebut dilakukan, maka orang tersebut sendiri
lah yang memilih untuk melakukan perbuatan tersebut24. Dalam proses cuci otak
(brainwash), penerimaan keyakinan brainwasher oleh brainwashee, walapun
dalam pembentukannya ada suasana stres dari brainwashee, penyiksaan, baik
mental, maupun fisik, oleh brainwasher, tekanan brainwash area kepada
brainwashee untuk berpikir dan berperilaku brainwashee, namun ketika pada
akhirnya keyakinan tersebut masuk ke dalam alam bawah sadar brainwahsee,
kemudian mempengaruhi cara berpikir dan perilaku brainwashee ketika sadar,
brainwashee telah menggunakan free will nya untuk menerima keyakinan tersebut
untuk masuk ke dalam alam bawah sadar nya, yang kemudian mempengaruhi
perbuatan dan free will nya. Apabila keyakinan yang ditanamkan kepada
brainwashee menyebabkan braiwashee melakukan suatu tindak pidana, apakah
brainwashee memiliki kesalahan dan dapat dimintai pertanggung jawaban pidana
atas perbuatannya?
23 Richard Delgado, “Ascription of Criminal States of Mind: Toward a Defense Theory
for the Coercively Persuaded (“Brainwashed”) Defendant”, dalam Minnesota Law Review, vol. 63, hlm. 11.
24 Gilberto Gomes, “Free Will, The Self, And The Brain”, dalam Behavioral Sciences and The Law 25, http://www.brown.uk.com/brownlibrary/gomes.pdf, hlm. 223.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
Menurut Moeljatno, dalam KUHP, yang berhubungan kemampuan
bertanggung jawab adalah Pasal 44 Ayat (1) KUHP25. Untuk memenuhi pasal
tersebut, seseorang harus memiliki keadaan “gebrekkige ontwikkleing” (keadaan
kurang sempurna akalnya) atau “ziekelijke storing zijner verstandelijke
vermorgens” (keadaan terganggu karena penyakit pada kemampuan akal
sehatnya). Menurut R. Soesilo, kondisi gebrekkige ontwikkeling, cacat-cacatnya
terjadi sejak lahir, sehingga pikirannya tetap sebagai kanak-kanak26. Pikiran
brainwashee bukan lah berupa cacat dari lahir dan cuci otak (brainwash) bukan
lah cacat yang dibawa dari lahir, sehingga di dalam diri brainwashee tidak
terdapat kondisi gebrekkige ontwikkleing.
Sedangkan, orang-orang yang masuk ke dalam keadaan ziekelijke storing
zijner verstandelijke vermorgens, menurut Pompe, adalah orang yang mengalami
gangguan karena penyakit-penyakit jiwa atau “psychosen”27. Indonesia, pada
tahun 1993, telah menghasilkan klasifikasi mengenai gangguan jiwa, yang diberi
nama “Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III)”.
Namun, PPGDJ III tidak mengenal istilah penyakit jiwa, melainkan gangguan
jiwa atau gangguan mental28. Hal ini menyebabkan kebingungan apabila kita
kaitkan dengan Pasal 44 Ayat (1) KUHP, karena kondisi ziekelijke storing dalam
Pasal 44 Ayat (1) KUHP dialami oleh orang yang memiliki penyakit jiwa.
Menurut pendapat Adrianus Meliala, yang masuk dalam kategori penyakit jiwa
dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP hanyalah yang bersifat gangguan
psikosis/psikosa29, dan seorang brainwashee tidak dapat dikatakan sebagai orang
yang mengalami gangguan psikosis/psikosa30. Sarlito Wirawan Sarwono juga
berpendapat bahwa (brainwashee) bukanlah orang yang mengalami sakit jiwa31.
Kemudian, apabila kita melihat dari sisi pendapat para ahli hukum
mengenai Pasal 44 Ayat (1) KUHP, kemampuan bertanggung jawab
25 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009), hlm. 178. 26 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor : Politeia, 1996), hlm. 61. 27 P. A. F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2003), hlm. 402. 28 “PPGDJ”, http://www.scribd.com/doc/171321363/PPDGJ, diakses pada 21 Juni 2014. 29 Menurut Zakiah Daradjat, gangguan psikosis/psikosa sendiri secara umum diartikan
sebagai “penyakit jiwa” atau “gangguan jiwa berat”, sedangkan neurosis disebut sebagai “gangguan jiwa” atau “gangguan jiwa ringan” (Zakiah Daradjat, Kesehatan Mental, (Jakarta : CV. Gunung Agung, 1993), hlm. 33).
30 Hasil wawancara yang dilakukan dengan Adrianus Meliala. Wawancara dilakukan di rumah Adrianus Meliala, Kelapa Dua, Depok, pada hari Rabu, tanggal 18 Juni 2014, pukul 19.00-21.00 WIB.
31 Hasil wawancara yang dilakukan dengan Sarlito Wirawan Sarwono. Wawancara dilakukan di ruangan Sarlito Wirawan Sarwono, Lantai 3, Gedung H, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, pada hari Selasa, tanggal 25 Februari 2014, pukul 11.00-13.00 WIB.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
(toerekeningsvatbaarheid) adalah kemampuan untuk menyadari/menginsyafi
perbuatannya yang bersifat melawan hukum, memiliki tujuan pasti dari
perbuatannya tersebut, dan memiliki kehendak bebas dalam memilih untuk
melakukan perbuatan tersebut. Apabila kita melihat pada diri brainwashee, bahwa
brainwashee memiliki free will (kehendak bebas) dalam melakukan setiap
perbuatannya, sehingga brainwashee memenuhi syarat “memiliki kehendak bebas
dalam memilih untuk melakukan suatu perbuatan”.
Kemudian, menurut logika penulis, ketika seseorang memiliki free will
dalam melakukan sesuatu, maka ia akan memiliki tujuan pasti untuk apa ia
melakukan hal tersebut, atau dengan kata lain memiliki tujuan yang ingin dicapai
dicapai dari perbuatannya, sehingga menurut penulis, brainwahee memenuhi
syarat “memiliki tujuan pasti dari perbuatannya”.
Seperti yang sudah penulis jelaskan sebelumnya bahwa brainwashee
memiliki kesadaran dalam melakukan perbuatannya. Berdasarkan adegium paham
legisme “nemo jus ignorare censeteur” atau “tiap orang dianggap mengetahui
undang-undang”, sehingga brainwashee tidak perlu sampai menyadari bahwa
perbuatannya bersifat melawan hukum, cukup ia menyadari untuk melakukan
perbuatannya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka brainwashee memiliki
kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) ketika melakukan
suatu perbuatan pidana.
Mengenai kesengajaan, menurut Memorie van Toelechting (MvT),
“kesengajaan melakukan suatu kejahatan” sebagai “het teweegbrengen van
verboden handeling willens en wetens” atau sebagai “melakukan tindakan yang
terlarang secara dikehendaki dan diketahui”32. Brainwashee melakukan setiap
perbuatannya dengan kehendak untuk melakukan tindak pidana tersebut (willen),
dan brainwashee memiliki tujuan pasti atas perbuatannya tersebut, yang berarti
bahwa brainwashee mengetahui akibat apa yang akan terjadi dan brainwashee
menghendaki akibat tersebut (wettens). Dengan terpenuhi nya unsur willens dan
wettens ini, maka penulis berkesimpulan bahwa terdapat kesengajaan (dolus)
dalam diri brainwashee ketika melakukan suatu tindak pidana.
Mengenai overmacht in eige zijn, overmacht in eige zin/paksaan psychis
adalah suatu keadaan dimana bukanlah pembuat (dader) yang memilih
32 Lamintang, op.cit., hlm. 281 Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
diadakannya delik (tindak pidana) tersebut, tetapi pilihan itu dibuat orang lain
(niet de dader zelf, maar een ander kiest het strafbaar feit), dan pilihan itu dipaksa
oleh orang lain (yang memberi tekanan) kepada pembuat33.
Dalam proses cuci otak (brainwash), ada pembentukan keyakinan yang
dilakukan dengan penciptaan situasi stres, penyiksaan mental, dan lain
sebagainya, yang dimaksudkan untuk membuka alam bawah sadar brainwashee
untuk kemudian dimasukkan suatu keyakinan baru oleh brainwasher, yang
kemudian menjadi nilai dalam diri brainwashee, yang dijadikan patokan untuk
berperilaku oleh brainwashee ketika sadar, sehingga, ketika melakukan suatu
perbuatan berdasarkan keyakinan baru tersebut, maka ia melakukan nya dengan
sadar dan memilih melakukan perbuatan tersebut dengan free will yang ia punya.
Kondisi ini tentunya masuk ke dalam kualifikasi overmacht in eige zin/pyschische
drang, karena yang memberi tekanan (brainwasher) tetap membiarkan orang yang
diberikan tekanan (brainwashee) dalam keadaan bebas secara fisik dan bebas
menentukan kehendaknya sendiri, akan tetapi pada kenyatannya, ada kekerasan
(penyiksaan mental) yang mempunyai pengaruh sedemikian besar, sehingga orang
yang telah dipaksa tidak mempunyai kebebasan lagi untuk dapat menentukan
sikap nya sesuai apa yang ia kehendaki.
Tetapi, sebelum menyatakan hal itu, terlebih dahulu kita harus melihat
kepada beberapa kondisi tertentu. Pertama, menurut pendapat Adrianus Meliala,
brainwashee sebenarnya selalu memiliki kesempatan untuk mengatakan tidak dan
meninggalkan brainwash area, sehingga brainwasher tidak dapat memasukkan
keyakinannya. Namun, mereka memilih untuk berada dalam kondisi tersebut,
mungkin karena perasaan tidak enak dengan brainwasher yang dikenalnya, atau
rasa penasaran yang dimilikinya terhadap keyakinan baru yang dibawa
brainwasher. Artinya, brainwashee sendiri yang memilih untuk berada dalam
situasi cuci otak (brainwash), atau dengan free will nya ia menempatkan diri pada
kondisi tersebut34.
Kedua, seperti yang sudah penulis jelaskan bahwa terlepas dari faktor
internal maupun eksternal yang diterima brainwashee, brainwashee sendiri lah
yang dengan free will nya menerima keyakinan baru yang dibawa brainwasher
untuk menjadi keyakinan nya. Hal ini juga disampaikan oleh Adrianus Meliala,
bahwa setelah dengan free will nya ia menempatkan diri pada situasi cuci otak
(brainwash), yang di dalam nya terdapat situasi stres, penyiksaan mental dan fisik,
33 Utrecht, op.cit., hlm. 354. 34 Hasil wawancara yang dilakukan dengan Adrianus Meliala, loc.cit.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
dan lain sebagainya, brainwashee dengan free will yang ia miliki memilih untuk
menerima keyakinan baru yang dibawa brainwasher untuk kemudian menjadi
keyakinannya, yang kemudian menjadi nilai dalam dirinya35.
Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut diatas, penulis berkesimpulan bahwa
pada diri brainwashee tidak terdapat overmacht in eige zin/pyschische drang,
yang diatur dalam Pasal 48 KUHP, sehingga tidak ada alasan penghapus
kesalahan, atau dasar pemaaf, dalam diri brainwashee.
Dengan dipenuhinya unsur kesalahan dalam diri brainwashee, maka
berdasarkan asas geen straf zonder schuld, brainwashee dapat dimintai
pertangung jawaban pidana.
Seperti yang telah penulis jelaskan di bagian pendahuluan, bahwa cuci
otak (brainwash) di Indonesia sering dikaitkan dengan perekrutan anggota
terorisme dan NII. Untuk perekrutan anggota terorisme di Indonesia, Sarlito
Wirawan Sarwono dalam bukunya “Terorisme Di Indonesia Dalam Tinjauan
Psikologi” menjabarkan proses tersebut sebagai berikut36 :
a. Proses perekrutan dimulai terhadap orang-orang yang bimbang, yang
kehilangan orientasi dalam menatap masa depannya dan tidak tahu pilihan
apa yang harus di ambil, yang oleh Sarlito Wirawan Sarwono
dikategorikan sebagai anak muda berumur 15-25 tahun yang penuh
dengan kebimbangan, disorientasi, atau dengan kata lain, memiliki
pemikiran yang kosong.
b. Selanjutnya, mereka diberikan ajaran agama oleh para teroris, atau yang
disebut sebagai indoktrinasi agama yang radikal, dan karena pikiran
mereka sebelumnya sudah kosong, maka ajaran tersebut akan cepat masuk
ke dalma pikiran mereka. Pada tahap ini dilakukan pula isolasi
lingkungan, yaitu isolasi dari berita dan informasi dari luar agar orang
yang diindoktrinasi tidak punya informasi pembanding, sehingga doktrin
yang ditanamkan menjadi kebenaran yang sesungguhnya.
c. Tahap terakhir adalah orang yang diindoktrinasi, yang biasanya dijadikan
calon pelaku bom bunuh diri, akan sepenuhnya diisolasi dari dunia luar,
dimana seorang dari anggota teroris akan mengawasi selama 24 jam
sehari untuk mempersiapkan mental dari calon pelaku bom bunuh diri dan
35 Ibid. 36 Disarikan dari Sarlito Wirawan Sarwono, Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan
Psikologi, (Jakarta: Alvabet, 2002), hlm. 68-71. Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
mencegah calon pelaku bom bunuh diri tersbeut berubah pikiran, yang
dapat menggagalkan aksi bom bunuh diri.
Untuk perekrutan anggota NII, Gilang Pratama, seorang mantan juru
doktrin NII dalam bukunya “Cuci Otak NII; Pengakuan Mantan Juru Doktrin NII”
menceritakan tentang proses NII dalam merekrut dirinya untuk menjadi anggota
NII37. Proses perekrutan anggota NII dimulai dengan pertemanan yang diarahkan
kepada hubungan yang sangat akrab. Proses ini menurut penulis adalah termasuk
ke dalam tahap Environment Control, dimana perekrut mengkondisikan dia lah
teman terdekat dan kita tidak terlalu butuh orang lain sebagai teman. Kemudian, ia
ditempatkan di sebuah rumah bersama orang-orang yang di bai’at juga merupakan
Environment Control. Lalu, masuk ke dalam tahap “Pelumpuhan”, dimana orang
yang direkrut diberikan pertanyaan mengenai nilai-nilai agama yang selama ini
dipegang dan membenturkan hal tersebut dengan keyakinan baru yang dibawa
oleh perekrut, tanpa hanti dan terus menerus secara berulang-ulang. Hal ini
dilakukan agar orang yang direkrut tidak dapat menggunakan fungsi “stop and
think” nya. Lalu, masuk ke dalam tahap Indoktrinasi dengan menyatakan bahwa
bergabung dengan kelompok NII adalah jawaban atas kebimbangan dan
kebingungan yang terjadi pada saat pelumpuhan. Lalu, tahap terakhir, tahap
penjagaan keyakinan, dimana pada kejadian yang dialami Gilang Pratama, ia
menerima materi-materi yang menambah keyakinannya akan ajaran NII, dimana
hal itu dilakukan tetap dalam rumah tersebut, tanpa akses keluar dari rumah
tersebut (Environment Control).
Perlu penulis ingatkan, bahwa menurut teori-teori yang sudah penulis
jabarkan, bahwa yang dapat disebut sebagai cuci otak (brainwash) adalah yang
memuat unsur penciptaan suasana stres, penyiksaan mental dan fisik,
pengkondisian lingkungan yang memaksa brainwashee menerima keyakinan baru
yang dibawa brainwasher, dan lain sebagainya. Dalam proses yang dijelaskan
oleh Sarlito Wirawan Sarwono, kita bisa melihat bahwa tidak ada situasi-situasi
tersebut, sehingga penulis berkesimpulan bahwa dalam proses perekrutan anggota
terorisme tidak ada proses cuci otak (brainwash), melainkan yang ada hanya lah
proses indoktrinasi. Sedangkan, dalam perekrutan anggota NII, terdapat proses
cuci otak (brainwash) karena memenuhi semua tahap cuci otak (brainwash) yang
telah penulis jelaskan sebelumnya.
37 Disarikan dari Gilang Pratama, Cuci Otak NII ; Pengakuan Mantan Juru Doktrin NII,
(Jakarta : Tinta Publisher, 2011), hlm. 111-137. Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
Pada proses penulisan, penulis menemukan perkara yang memasukkan
cuci otak (brainwash) dalam proses peradilannya, yaitu perkara terorisme atas
nama Terdakwa Abrory Alias Abrory M. Ali Alias Maskadov Alias Abrory Al
Ayyuby dan perkara terorisme dengan atas nama Terdakwa Sya’ban. Untuk
perkara Sya’ban, Hakim ketua majelis, Iman Gultom, menyatakan tidak
memperhatikan kondisi Sya’ban yang mengalami indoktrinasi oleh Abrory. Beliau
hanya memperhatikan bahwa Sya’ban memiliki niat dan kesadaran, serta
melakukan tindak pidana tersebut atas pilihannya sendiri berdasarkan keyakinan
yang ia miliki bahwa polisi yang ia bunuh adalah thagut, sehingga layak dibunuh,
sehingga beliau berpendapat terdapat kesalahan dalam diri Sya’ban dan dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana38.
Di Amerika Serikat sendiri, ada beberapa perkara pidana yang
memasukkan unsur cuci otak dalam proses peradilan nya, seperti kasus Patricia
Hearst dan “The Sniper Case”. Patricia Hearst (19 tahun) mengalami penculikan
oleh Symbionese Liberation Army (SLA) pada sebuah tengah malam dari
apartemennya, kemudian dikurung, diikat, ditutup matanya di sebuah kamar
mandi selama 57 (lima puluh tujuh) hari, dan dijadikan subjek kekejaman dan
kekerasan oleh penculiknya, seperti dipukuli, diperkosa, dan lain sebagainya. 2
(dua) bulan setelah penculikan, Hearst membantu SLA dalam beberapa kejahatan,
yang salah satunya adalah pencurian Hibernia Bank di San Fransisco. Hearst
akhirnya ditangkap di apartemennya tanggal 18 September 197539.
Patricia Hearst didakwa telah melakukan pembunuhan, penyerangan
dengan senjata mematikan, pencurian, dan penculikan. Penasehat hukum nya
mengajukan pembelaan utama bahwa Hearst dalam keadaan duress40, lalu
menyatakan bahwa Patricia Hearst telah mengalami praktik cuci otak. Penasehat
hukumnya menghadirkan ahli, yaitu William Sargant, seorang psikolog, yang
telah mewawancarai Hearst sebelum proses persidangan dimulai, dan
dipersidangan menyatakan bahwa Hearst mengalami kekejaman mental,
pengurangan kemampuan sensorik, kekurangan gizi, ancaman kematian dan luka,
38 Hasil wawancara dengan Iman Gultom. Wawancara dilakukan di Pengadilan Negeri
Tangerang, hari Rabu, tanggal 15 Januari 2014, pukul 10.00-11.30 WIB. 39 Rebecca Emory, “Losing Your Head In The Washer – Why The Brainwashing Defence
Can Be A Complete Defense In Criminal Case”, dalam Pace Law Review Vol. 30, (Westchester County : Pace Law School, 2010), hlm. 1348-1349.
40 Duress adalah sebuah pembelaan yang valid, yaitu ketika pelaku melakukan kejahatan karena ia dipaksa untuk melakukan kejahatn tersebut, dengan menggunakan, atau ancaman untuk menggunakan, kekuatan yang melanggar hukum terhadap dirinya atau orang lain, bahwa keteguhan (untuk tidak melakukan kejahatan) yang masuk akal dari seseorang dalam situasi itu tidak akan mampu bertahan. Ibid., hlm. 1343.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
dan hal itu yang membuatnya melakukan kejahatan. Lalu, pihak pemerintah
(jaksa) menghadirkan 2 (dua) orang psikiatri, yang dipersidangan menyatakan
bahwa Hearst melakukan perbuatannya dengan penuh tanggung jawab (sadar akan
perbuatannya). Pada akhirnya, juri menjatuhkan putusan bersalah, dan oleh hakim,
Patricia Hearst dijatuhi hukuman selama 7 (tujuh) tahun penjara. Para juri menilai
bahwa Hearst berpartisipasi dengan bebas (dengan free will) dalam perampokan
dan tidak mempercayai teori tentang coercion (paksaan) yang dikemukakan oleh
pembela Hearst41.
Untuk kasus “The Sniper Case”, kasus ini bermula dari seorang anak
berumur 15 tahun, Lee Boyd Malvo, yang dibawa ke Amerika Serikat pada tahun
2001 oleh seorang veteran perang, Muhammad. Kemudian, Muhammad mengisi
pikiran Malvo dengan sebuah misi tentang perang antar ras dan melatih Malvo
keahlian menembak dengan menggunakan AK47, 270 Rifle, dan 306 Rifle.
Muhammad mengisolasi Malvo, memberikannya pemahaman Islam yang salah,
memberikan diet yang ketat, dan memberikannya latihan yang keras. Sebulan
kemudian, Muhammad dan Malvo pergi ke Washington D.C. dan disana Malvo
menembak 13 (tiga belas) orang, yang menyebabkan 10 (sepuluh) orang
meninggal dunia42.
Di persidangan, penasehat hukum Malvo menyatakan bahwa Malvo telah
dicuci otaknya oleh Muhammad. Ahli dari pembela (penasehat hukum)
menyatakan bahwa Malvo telah kehilangan semua rasa moralitasnya, identitasnya,
dan menjadi perpanjangan dari ego Muhammad. Lebih lanjut, ahli dari pembela
menyatakan bahwa Muhammad menggunakan cuci otak (brainwash) kepada
Malvo, dengan menggunakan cara mengisolasi Malvo, mengontrol diet dan tidur
nya, memaksa Malvo untuk menonton video tentang kekerasan, melatih Malvo
menggunakan senjata api, dan mengajarkan pemahaman Islam dan kulit hitam
yang salah. Cuci otak (brainwash) oleh Muhammad membuat Malvo kehilangan
identitas. Malvo adalah boneka dari Muhammad dan perasaan mengenai benar
dan salah telah kabur. Dalam perkara ini, Jaksa menyatakan bahwa Malvo
bertanggung jawab penuh atas perbuatannya (sadar secara penuh), termasuk sadar
dalam memilih untuk bersama Muhammad43.
Pada kasus ini, juri kembali menolak teori tentang cuci otak (brainwash)
yang dikemukakan oleh pembela dan mmeutuskan Malvo terbukti bersalah atas
41 Ibid., hlm. 1348-1350. 42 Ibid., hlm 1351. 43 Ibid., hlm. 1353.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
pembunuhan dan dijatuhi hukuman seumur hidup oleh hakim. Juri tidak
mempercayai bahwa Malvo telah diindoktrinasi oleh Muhammad dan tidak
mempercayai bahwa Malvo tidak dapat membedakan baik dan buruk44.
Simpulan
Setelah melakukan pembahasan terhadap rumusan permasalahan yang
telah penulis kemukakan, maka penulis berkesimpulan sebagai berikut :
1. Pelaku tindak pidana yang mengalami praktik cuci otak (brainwash) dapat
dimintai pertanggung jawaban pidana, karena terdapat kesalahan pada diri
pelaku tersebut. Hal ini terbukti dengan dipenuhinya 3 (tiga) syarat adanya
kesalahan oleh pelaku tersebut, yaitu, pelaku memiliki kemampuan
bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid), pelaku memiliki
kesengajaan dalam melakukan perbuatannya, dan pelaku tidak memiliki
alasan penghapus pertanggung jawaban pidana (kesalahan), atau dasar
pemaaf.
2. Terkait dengan cuci otak (brainwash) dalam dunia peradilan pidana :
a. Di Indonesia, perkara yang di dalam nya terdapat unsur cuci otak
(brainwash), yaitu pada kasus Abrory dan Sya’ban, namun pada
faktanya, pada perkara tersebut, tidak ditemukan adanya proses cuci
otak (brainwash), melainkan hanyalah proses indoktrinasi, yang
hanyalah salah satu proses dari cuci otak (brainwash), dan
indoktrinasi tidak lah sama dengan cuci otak (brainwash).
b. Di Amerika Serikat, pembelaan mengenai cuci otak (brainwash) tidak
pernah diterima oleh para juri. Dari kasus Patricia Hearst dan “The
D.C. Sniper Case” yang melibatkan Malvo, kita dapat melihat bahwa
juri tidak mempercayai dan menerima teori tentang cuci otak
(brainwash), dan menyatakan bahwa Hearst dan Malvo memiliki free
will serta sadar untuk melakukan tindak pidana, sehingga harus
dijatuhi pemidanaan.
Saran
Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang telah penulis lakukan, maka
penulis memiliki saran-saran sebagai berikut :
1. Klasifikasi penyakit jiwa dalam Pasal 44 Ayat (1) KUHP harus diselaraskan
dengan ilmu psikiatri mengenai gangguan jiwa, yang diatur dalam Pedoman
44 Ibid.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa III (PPDGJ III), mengingat PPDGJ
III tidak lagi mengenal istilah “penyakit jiwa” dan hanya menggunakan istilah
“gangguan jiwa”, sehingga harus ditentukan secara tegas gangguan jiwa mana
saja di dalam PPDGJ III yang termasuk dalam “penyakit jiwa” dalam Pasal
44 Ayat (1) KUHP.
2. Perlu adanya pendefinisian secara tegas tentang apa yang sebenarnya
dimaksud dengan cuci otak (brainwash), yaitu bukan lah hanya sekedar
indoktrinasi, melainkan harus ada proses tertentu, seperti “Environment
Control”, “pelumpuhan”, “indoktrinasi”, dan “penjagaan keyakinan”,
sehingga hal ini dapat menghindari adanya anggapan bahwa indoktrinasi
adalah sama dengan cuci otak (brainwash), padahal pada kenyataannya,
indoktrinasi dan cuci otak (brainwash) adalah hal yang berbeda.
3. Perlu adanya sosialisasi, khususnya kepada aparat penegak hukum, tentang
pertanggung jawaban pidana (kesalahan) dari pelaku tindak pidana yang
mengalami cuci otak (brainwash), atau brainwashee. Hal ini dapat
menghindari kesalahpahaman dari aparat penegak hukum mengenai
pertanggung jawaban pidana pelaku tindak pidana yang mengalami cuci otak
(brainwash), atau brainwashee, bahwa sebenarnya, ketika melakukan suatu
tindak pidana, brainwashee memiliki kesalahan, sehingga dengan adanya
kesalahan ini, brainwashee dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.
Daftar Referensi
I. BUKU
Daradjat, Zakiah, Kesehatan Mental, Jakarta : CV. Gunung Agung, 1993.
Elliot, Ryan, The Secrets From Your Subconscious Mind, Illinois : Lightheart Healing and Education Research Centre, 2006.
Gunawan, Djohan, Lawan bahaya Cuci-otak dan Pengendalian Pikiran, Jakarta : PT Elex Media Komputindo, 2011.
Lamintang, P. A. F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2003.
Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2013.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta : PT Rineka Cipta, 2009.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
Pratama, Gilang, Cuci Otak NII ; Pengakuan Mantan Juru Doktrin NII, Jakarta :
Tinta Publisher, 2011.
Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2003. Sarwono, Sarlito Wirawan, Terorisme di Indonesia Dalam Tinjauan Psikologi,
Jakarta: Alvabet, 2002. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Penerbit Unversitas
Indonesia, 2008.
Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia, 1996.
SS, Asih Sudiastik Dan Dean Praty R, Sobconscious Power, Kitab Daya Batin; More Than Secret, Nasihat Dari Dua Guru Spiritual Dunia, Semarang : Dahara Prize, 2013.
Taylor, Kathleen, Brainwashing : The Science of Thought Control, (New York
: Oxford University Press Inc., 2004), hlm. 127.
Utrecht, E., Hukum Pidana I, Surabaya : Pustaka Tirta Mas, 2000. II. JURNAL
Delgado, Richard, “Ascription of Criminal States of Mind: Toward a Defense Theory for the Coercively Persuaded (“Brainwashed”) Defendant”, dalam Minnesota Law Review, vol. 63.
Emory, Rebecca, “Losing Your Head In The Washer – Why The
Brainwashing Defence Can Be A Complete Defense In Criminal Case”, dalam Pace Law Review Vol. 30, Westchester County : Pace Law School, 2010.
Warburton, Ida-Gaye, “The Commandering of Free Will : Brainwashing As A
Legitimate Defense”, dalam Capital Defense Journal, Vol. 16. III. SKRIPSI
Endro Bayu Kusumo, Pencitraan Lembaga Kepolisian Terkait Kasus Teorisme di Indonesia Yang Dimuat Dalam SKH Kompas (Analisis Isi Berita Pencitraan Lembaga Kepolisian RI di SKH Kompas Periode Tahun 2009-2010) skripsi, 2011.
IV. INTERNET
Gomes, Gilberto, “Free Will, The Self, And The Brain”, dalam Behavioral Sciences and The Law 25, http://www.brown.uk.com/brownlibrary/gomes.pdf, diakses pada 18 Juni 2014.
Lazuardi, Adi, “ NII KW 9 Tidak Ada Hubungannya Dengan Terorisme”,
http://news.detik.com/read/2011/04/29/002357/1628177/10/ diakses pada 6 April 2014.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
-------., “Ciri Korban Cuci Otak NII”, http://nii-crisis- center.com/home/?option=com_content&task=view=article&id=228 , diakses 6 Februari 2014.
-------., “Cults, Brainwashing, and Propaganda”, http://www2.psy.uq.edu.au/~wlouis/stats/3142%20for%20post/3142l11 %20for%20post.pdf, diakses pada 18 Juni 2014.
-------., “PPGDJ”, http://www.scribd.com/doc/171321363/PPDGJ, diakses pada
21 Juni 2014. -------., http://banten.antaranews.com/berita/18482/bnpt-300-tahanan-
kasus- terorisme-bebas-2013-2014, diakses pada 5 Desember 2013.
-------., http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/09/17/mahwda- kelatenan-terorisme, diakses pada 30 September 2013.
-------., http://www.romyrafael.net/page-speaker.php?rrh=7&id=in, diakses pada 18 Juni 2014.
-------., http://www.thecrowdvoice.com/post/indonesia-urutan-ke-29-negara - teroris-5975627.html, diakses pada 5 Desember 2013.
VII. WAWANCARA
Wawancara dengan Adrianus Meliala, Rabu, 18 Juni 2014, pukul 19.00-21.00 WIB, di Kelapa Dua, Depok
Wawancara dengan Hakim Iman Gultom, Rabu, tanggal 15 Januari 2014, pukul 10.00-11.30 WIB, di Pengadilan Negeri Tangerang.
Wawancara dengan Sarlito Wirawan Sarwono, Selasa, tanggal 25 Februari 2014, pukul 11.00-13.00 WIB, di Lantai 3, Gedung H, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
Pertanggung Jawaban pidana..., Muhammad Tanziel Aziezi, FH UI, 2014
top related