perpustakaan kpk · menolongnya untuk melamar kuliah di fakultas pertanian, ... mendirikan sekolah...
Post on 14-Mar-2019
222 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PERPUSTAKAAN KPK
Oase Keadilan di Tengah Kegersangan Hukum
Siapa tak kenal Artidjo Alkostar? Ketua Muda Kamar Pidana
Mahkamah Agung ini dikenal memiliki ketegasan luar
biasa. Sebut saja, Angelina Sondakh, terpidana kasus
korupsi Wisma Atlet Hambalang, yang mengajukan kasasi atas
putusan pengadilan. Bukannya mendapat keringanan, politikus
muda ini malah diganjar dengan hukuman lebih berat. Dari 4,5
tahun menjadi 12 tahun penjara.
Tak banyak orang tahu bagaimana Artidjo Alkostar menjadi
sosok seperti sekarang ini. Ia adalah hasil pergulatan batin atas
kondisi riil yang berkembang di tengah-tengah masyarakat kita.
Negara ini memang berdasar hukum, tetapi budaya hukum belum
betul-betul diterapkan. Hukum seringkali ’dipermainkan’ oleh
orang berduit. Sedangkan rakyat kecil selalu kalah terlilit dalam
permainan hukum.
Artidjo menghabiskan masa kecilnya di Asembagus,
Situbondo, Jawa Timur, yang dikenal sebagai penghasil tebu
sejak zaman kolonial. Namun, tak semua penduduk di sana
bertanam tebu. Lebih banyak yang menggantungkan hidup
dengan menggarap sawah. Termasuk Pak Dulah, ayah Artidjo.
Sebagai anak petani, kewajiban Artidjo selepas sekolah, ngangon
kambing seperti teman-teman sebaya di kampung halamannya.
Kendati begitu, pemikiran Artidjo terlihat menonjol dibanding
teman-temannya. Ia melihat binatang berkaki empat itu
selayaknya manusia. Memiliki luapan emosi yang tercermin dari
tingkah polahnya. Sehingga harus dirawat sebaik-baiknya.
Bahkan ia sempat bercita-cita menjadi joki sapi profesional
karena saking cintanya pada hewan itu. Sampai-sampai ia
mengikuti perlombaan karapan sapi di daerahnya. Tapi hasilnya di
luar harapan. Ia kalah.
Kekalahan tersebut membuatnya menemukan ketertarikan
pada bidang pertanian. Ia bergabung dalam ekstrakulikuler
pertanian ketika SMA, dan memutuskan untuk menjadi insinyur
pertanian. Tekad dibuladkan. Upaya dirapatkan untuk mengejar
impian. Beruntung ada kakak kelas Artidjo yang bersedia
menolongnya untuk melamar kuliah di Fakultas Pertanian, UGM.
Berkas lamaran kuliah disiapkan kemudian dikirimkan ke
kakak kelasnya yang sudah berdomisili di Yogyakarta. Lama
menanti akhirnya kabar yang ditunggu-tunggu datang juga. Tetapi
hasilnya di luar dugaan. Ia mesti mengubur dalam-dalam
impiannya menjadi seorang insinyur pertanian. Bukan tidak
diterima di fakultas pilihan lantaran nilai tak mencukupi. Tetapi,
ternyata berkas lamarannya telat sampai di Yogyakarta. Sehingga
pendaftaran mahasiswa baru keburu ditutup.
Dalam rasa kecewa mendalam, Artidjo menerima tawaran
seorang kawan untuk berkuliah di Jurusan Hukum, Universitas
Islam Indonesia (UII). Awalnya kuliah itu hanya diniatkan Artidjo
untuk menunggu seleksi penerimaan mahasiswa baru di UGM
tahun depan. Maka, ia tak serius menekuni kuliah di UII. Bahkan di
semester pertama, ia sangat kepayahan dengan tuntutan
menghafal pasal-pasal hukum. Keadaan berubah di semester
kedua. Ia meyakini bila bidang hukum adalah panggilan jiwanya.
Tak ayal, ia mulai telaten menguasai konsep dan pasal-pasal
hukum.
Dia belajar berbagai kegiatan dewan mahasiswa (dema) ia
lakoni dengan sungguh-sungguh. Ia menilai bila pengajaran
hukum di UII tak sesuai dengan kenyataan. Beda teori, beda
praktik di lapangan. Hukum belum menjawab rasa keadilan yang
semestinya dinikmati oleh rakyat kecil. Pemahaman ini
mendorongnya menggelar protes ke universitas agar melakukan
perubahan kurikulum. Ternyata jawaban yang diberikan kampus
berbeda. Melalui pesan yang diberikan seorang profesor di
almamaternya, Artidjo justru ditantang untuk menjadi tenaga
pengajar di kampusnya.
Waktu berjalan hingga Artidjo resmi menyandang gelar dosen
di Fakultas Hukum UII. Mapan secara pekerjaan tak membuatnya
berhenti memperjuangkan keadilan bagi wong cilik. Melalui
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, ia terjun
mengadvokasi rakyat kecil, kaum pinggiran, korban PHK, serta
orang-orang miskin yang tersangkut perkara hukum. Tak semua
kasus yang ia tangani berakhir dalam kemenangan karena
komitmennya untuk tetap bersih. Namun dari semua capaian itu,
adalah upaya advokasi para petani tebu dan petani garam di
M a d u r a y a n g
membuatnya diangkat
sebagai Direktur LBH
Y o g y a k a r t a p a d a
p e r t e n g a h a n t a h u n
1983.
B e r d o m i s i l i d i
Y o g y a k a r t a , i a
d i h a d a p k a n p a d a
fenomena pembunuhan
puluhan preman di luar
proses pengadilan yang
jelas. Suatu tim yang
t e r g a b u n g d a l a m
Operasi Pemberantasan
K e j a h a t a n ( O P K )
melakukan aksinya di
malam hari . Hampir
setiap pagi masyarakat
Yogyakarta menemukan
mayat tanpa identitas di
pinggir kali, pinggir jalan,
dan di tempat-tempat umum. Rata-rata mayat yang ditemukan itu
tertembak di bagian kepala atau mati terjerat. Karena tidak
diketahui persis siapa pelaku pembunuhan itu, masyarakat sering
menyebutnya ‘petrus’ atau penembak misterius.
Kebanyakan masyarakat Yogyakarta merasa senang karena
para penjahat tumbang. Tetapi dari kaca mata Artidjo, hukuman
jalanan ini jauh dari rasa keadilan. Kepastian hukum pun juga
semakin kabur. Para bromocorah -sebutan bagi preman yang
menjadi target operasi- memang bersalah, namun seharusnya
mereka diadili sesuai hukum yang berlaku. Bukan diburu dan
dibantai secara tak manusiawi. Atas upayanya memperjuangkan
nasib preman tersebut, ia pun sering mendapat intimidasi yang
membahayakan jiwa. Tetapi ancaman ini membuatnya tak gentar.
Pada tahun 1989, Artidjo berkesempatan mengikuti pelatihan
lawyer mengenai hak azasi manusia selama enam bulan di
Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat. Selepas
pendidikan itu, ia sempat bekerja di Human Right Watch divisi Asia
di New York selama dua tahun.
Dengan berbekal pengetahuan dan pengalaman itu, ia
mendirikan firma hukumnya Artidjo Alkostar and Associates.
Dengan kantor hukum ini, fokusnya tak bergeser. Ia ingin
memperjuangkan keadilan bagi rakyat kecil dan korban
penindasan hak azasi manusia.
Insiden berdarah Santa Cruz menjadi pembuktian komitmen
Artidjo untuk berdiri di depan menjunjung rasa kemanusian.
Kebijakan rezim yang tengah berkuasa kala itu, ia lawan dengan
segala risiko. Tragedi ini bermula dari kematian seorang pemuda
bernama Sebastiano Gomez Rangel yang diyakini ditembak oleh
milisi prointegrasi. Serombongan pemuda Timor menghadiri
pemakamannya sebagai bentuk solidaritas. Untuk mencegah
kerusuhan, sejumlah aparat keamanan disiagakan di belakang
barisan ribuan pemuda tersebut. Namun yang terjadi lebih jauh
dari itu. Tak hanya tembakan peringatan, rentetan peluru
dimuntahkan, membuat bagian belakang barisan bertumbangan.
Komitmen tak terhingga Artidjo dalam menegakkan keadilan
hukum berujung pada tawaran menjadi Hakim Agung di MA. Tak
tanggung-tanggung, Yusril Ihza Mahendra yang ketika itu
menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Azasi Manusia,
menghubunginya langsung untuk mengikuti seleksi calon hakim
jalur nonkarir.
Dibutuhkan waktu lama bagi Artidjo untuk menerima tawaran
itu. Termasuk harus berkonsultasi dengan para kyai di Pulau
Madura. Akhirnya ia mengikuti saran para kyai untuk mengambil
kesempatan itu. Setelah mengikuti fit and proper test di hadapan
anggota DPR, ia lolos dengan meyakinkan. Pada 2 September
2000, ia dilantik sebagai Hakim Agung di Mahkamah Agung oleh
Presiden Abdurrahman Wakhid.
Peresensi: Anjas Prasetyo
BUKU PILIHAN
¢ 3 Sisi Susi
¢ Athirah
¢ Critical Eleven
¢ Gusti Noeroel: Streven Naar Geluk (Mengejar Kebahagiaan)
¢ Jodoh
¢ Mellow Yellow Drama
¢ Rantau 1 Muara
¢ Tri Rismaharini
“Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu.
Tapi satu-satunya hal yang benar-benar
dapat menjatuhkanmu adalah sikapmu sendiri.”
– R.A. Kar�ni –
E-NEWSLETTER EDISI 04 VOL.IV | APRIL 2018
Penulis: Haidar MusyafaPenerbit: Imania
Gowes Literasi
Adalah Muhammad Maahir Abdulloh, lelaki
kelahiran 30 Mei 1995 yang bersepeda keliling
Indonesia melalui Ekspedisi Penjelajahan Nusantara
(EPN). Tentu saja ia melakukannya tidak sekadar
memuaskan hobinya semata, melainkan memiliki
misi khusus yang diembannya.
Maahir memulai ekspedisinya dari Jakarta pada
1 1 M a r e t l a l u . I a m e m i l i k i m i s i u n t u k
mengkampanyekan literasi dan mendorong
semangat membaca dengan cara membagikan
buku. Ia menyiapkan buku-buku dari Jakarta,
kemudian diberikan kepada taman baca di daerah
yang disinggahinya. Tentu saja, buku yang ia bawa
sangat terbatas jumlahnya dengan beberapa tas di
sepedanya. Buku-buku tersebut ia kumpulkan
bersama dengan teman-teman komunitasnya.
Rencananya, Maahir akan tinggal di 11 desa
yang berada di wilayah terpencil Indonesia. Tidak
hanya berbagi buku-buku, ia juga mendirikan
sekolah alam dan rumah baca bersama dengan
jaringan yang berada di sekitar desa tersebut, seperti
pramuka, PMI, relawan, mahasiswa, dan lain
sebagainya.
Ia menargetkan ekspedisi ini selesai dalam 700
hari atau sekitar dua tahun dengan estimasi jarak
yang ditempuh sekitar 100 km per hari. Total
perkiraan jarak yang akan ditempuhnya mencapai
15.000 km terbentang dari Aceh hingga Papua.
Pada 16 April lalu, ia telah memasuki hari ke-33
dan sudah berada di Banyuwangi, kabupaten
terujung Pulau Jawa. Di sini, Maahir mengunjungi
beberapa taman baca seperti Taman Baca Pos
Kamling di Perumahan Brawijaya Banyuwangi,
Kampung Baca Taman Rimba di Papring Kalipuro,
dan Taman Baca di tempat wisata Bangsring Under
Water Banyuwangi.
Menurutnya, dengan mengunjungi taman baca,
ia dapat berbagi pengalaman dan saling mendukung
dalam gerakan literasi di Indonesia. Baginya,
kegiatan literasi tidak hanya sekadar membaca dan
menulis tetapi juga bagaimana berperan aktif dan
berguna bagi lingkungan sekitar.
Sumber: detik.com
Inspirasi Literasi
Marie Thomas adalah dokter perempuan pertama di Indonesia. Ia berasal dari Minahasa, Sulawesi Utara.
Marie berkesempatan menempuh pendidikan dokter di STOVIA Batavia pada tahun 1912 dan menjadi satu-
satunya wanita di antara 180 mahasiswa kedokteran laki-laki. Setelah menyelesaikan pendidikannya di tahun
1922, Ia langsung bekerja di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan spesialisasinya di bidang ginekologi
dan kebidanan. Ia juga merupakan dokter yang pertama kali terlibat dalam kebijakan mengontrol kelahiran bayi
melalui metode Intrauterine Device (IUD). Setelah menikah, Marie mengikuti suaminya ke Padang dan
mendirikan sekolah kebidanan di Bukittinggi. Sekolah kebidanan ini merupakan yang pertama di Sumatera dan
kedua di Indonesia.
tahukah kamu?
Artikel Korupsi
Asset Recovery and Mutual Legal Assistance
Bribery
Fraud
Indeks
Persepsi
Korupsi
Pemberantasan
Korupsi
di Indonesia
Kasus Korupsi
Korupsi
dan Agama
Korupsi
di Wilayah
Lain
Korupsi Khusus
Money
LaunderingNovel
Korupsi Pendidikan Antikorupsi
Peradilan
Peraturan
Korupsi
Prosiding
Korupsi
Teori Korupsi
Whis
tleblo
win
g
Direktori Subjek Korupsi Perpustakaan KPK
Kunjungi dan manfaatkan koleksi Perpustakaan KPK
untuk mencari referensi dan rekreasi!
perpustakaan.kpk.go.id
top related