peringatan - elibrary.unisba.ac.idelibrary.unisba.ac.id/files2/skr.14.63.10050.pdf · 1.1.4 zat-zat...
Post on 02-Mar-2018
234 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
PERINGATAN !!! Bismillaahirrahmaanirraahiim
Assalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
1. Skripsi digital ini hanya digunakan sebagai bahan referensi
2. Cantumkanlah sumber referensi secara lengkap bila Anda mengutip dari Dokumen ini
3. Plagiarisme dalam bentuk apapun merupakan pelanggaran keras terhadap etika moral penyusunan karya ilmiah
4. Patuhilah etika penulisan karya ilmiah
Selamat membaca !!!
Wassalamualaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
UPT PERPUSTAKAAN UNISBA
-
FORMULASI KRIM TABIR SURYA FRAKSI ETIL ASETAT
KULIT PISANG AMBON PUTIH [Musa(AAA group)] DAN
PENENTUAN NILAI FAKTOR PELINDUNG SURYA (FPS)
FRAKSI ETIL ASETAT SECARA IN VITRO
SKRIPSI
Oleh :
MITA PERMATA SARI
NPM: 10060310050
PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1435 H / 2014 M
-
ii
FORMULASI KRIM TABIR SURYA FRAKSI ETIL ASETAT
KULIT PISANG AMBON PUTIH [Musa (AAA group)] DAN
PENENTUAN NILAI FAKTOR PERLINDUNG SURYA (FPS)
FRAKSI ETIL ASETAT SECARA IN VITRO
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan pendidikan dan memperoleh gelar Sarjana Farmasi
pada Program Studi Farmasi FMIPA Unisba
Oleh:
MITA PERMATA SARI
NPM: 10060310050
-
iii
JULI 1435 H / 2014 M
BANDUNG
JUDUL : FORMULASI KRIM TABIR SURYA FRAKSI ETILASETAT
KULIT PISANG AMBON PUTIH [Musa (AAA group)] DAN
PENENTUAN NILAI FAKTOR PELINDUNG SURYA (FPS)
FRAKSI ETIL ASETAT SECARA IN VITRO
NAMA : MITA PERMATA SARI
NPM : 10060310050
Setelah membaca Skripsi ini dengan seksama, menurut pertimbagan kami telah memenuhi
persyaratan ilmiah sebagai Skripsi
Menyetujui
Pembimbing Utama Pembimbing Serta
Amila Gadri, M.Si., Apt. Fitrianti Darusman, S.Si,Apt.
NIK. D. 07.0.442 NIK. D. 08.0.476
Mengetahui
Dekan FMIPA Unisba Ketua Program Studi Farmasi
M. Yusuf Fajar Drs., M.Si Embit Kartadarma, DR., M.App.Sc., Apt.
-
iv
NIP. 1956102619821001 NIK. D. 06.0.437
MOTTO
Dan milik Allah semua apa yang ada di langit dan di bumi, dan kepada Allah dikembalikan
segala urusan (QS. Al-Imraan 3 : 109)
Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan
diri mereka sendiri (QS. Ar-Radu 13 : 11)
Allah akan meninggikan orang-orang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu
beberapa derajat (QS. Al-Mujadalah 58 : 11)
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari
suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain dan hanya kepada
Tuhan-mulah hendaknya kamu berharap (QS. Al-Insyirah 94 : 6 - 8)
-
v
Kutipan atau saduran baik sebagian
ataupun seluruh naskah, harus
menyebutkan nama pengarang dan
sumber aslinya, yaitu Program Studi
Farmasi, Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Islam
Bandung.
-
vi
RIWAYAT PENULIS
BIODATA
Nama : MITA PERMATA SARI
Tempat/ Tgl. Lahir : BANDUNG, 17/09/1991
Jenis Kelamin : PEREMPUAN
Agama : ISLAM
Pekerjaan : MAHASISWA
Alamat : JL. CETARIP KIDUL DLM IV NO.8
RT/RW : 005/007
Desa/Kel : KOPO
Kecamatan : BOJONGLOA KALER
Telepon : 083829151453
Nama Ibu Kandung : ENUNG HARYATI
Nama Ayah Kandung : CECEP MULYADI
Alamat Orang Tua : JL. CETARIP KIDUL DLM IV NO.8
RT/RW : 005/007
Desa/Kel : KOPO
Kecamatan : BOJONGLOA KALER
Telepon : 082216796844
PENDIDIKAN
1. SDN BABAKAN TAROGONG V,Bandung (1997-2003)
2. SMPN 24 BANDUNG, Bandung (2003-2006)
3. SMAN 18 BANDUNG, Bandung (2006-2009)
4. FARMASI UNISBA, Bandung (2010-2014)
-
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrohmaanirohim
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat, nikmat, hidayat, dan
karunia yang telah diberikan-Nya, sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan,
Tugas akhir dengan judul Formulasi Krim Tabir Surya Fraksi Etil Asetat
Kulit Pisang Ambon Putih [Musa(Aaa Group)] Dan Penentuan Nilai Faktor
Pelindung Surya (FPS) Fraksi Etil Asetat Secara In Vitro ini ditunjukan untuk
memenuhi persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Farmasi
Universitas Islam Bandung.
Skripsi Menyadari bahwa tanpa bimbingan, bantuan, dan doa dari berbagai
pihak, tugas akhir ini tidak aka dapat diselesaikan tepat pada waktunya Oleh karena
itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-esarnya kepada semua pihak
yang telah membantu dalam proses pengerjaan Skripsi ini, yaitu kepada:
1) Kedua orang tua yang telah memberikan motivasi kepada penulis, baik moril
maupun materi serta doa dan restu
2) Kakak kandung Fitri Mulyati dan Wawan Setiawan Rtelah memberikan
motivasi kepada penulis, baik moril maupun materi.
3) Bapak M. Yusuf Fajar, Drs., M.Si. selaku Dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Islam Bandung.
4) Bapak Embit Kartadarma, DR., MAppSc., Apt. selaku Ketua Program Studi
Farmasi
5) Ibu Amila Gadri, M.Si., Apt. selaku Pembimbing Utama yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan serta masukan kepada
Penulis
6) Ibu Fitrianti Darusman, S.Si., Apt. selaku Pembimbing Serta yang telah
meluangkan waktunya dan memberikan bimbingan serta masukan kepada
Penulis
-
viii
7) Ibu Fetri Lestari M.Si., Apt. selaku Dosen Wali penulis yang selalu
membimbing penulis selama kuliah di Unisba.
8) Seluruh Dosen Fakultas MIPA Unisba khususnya dosen-dosen prodi Farmasi
dan Staf Administrasi.
9) Para Laboran yang telah membantu dan memberikan dukungan.
10) Rully Adhi Nugroho yang telah menbantu dalam segala hal.
11) Teman-teman seperjuangan atas dukungan semangat yang kalian berikan serta
kebersamaan yang telah kita lalui selama mengerjakan tugas akhir di
laboratorium.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan maupun penyajian dalam
tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu dengan segala kerendahan
hati penulis menerima kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dan dapat
memberi manfaat bagi para pembaca. Akhir kata, semoga tugas akhir ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak yang membaca. Amin.
Bandung, 15 Ramadhan 1435 H
15 Juli 2014 M
Penulis
-
ix
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR .................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... v DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vi
KATA LAMPIRAN ....................................................................................... vii PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
BAB
I TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 3 1.1 Pisang Ambon Putih (Musa (AAA group))....................................... 3
1.1.1 Taksonomi Pisang ........................................................................ 3
1.1.2 Morfologi Pisang ......................................................................... 4
1.1.3 Khasiat dan Kegunaan ................................................................. 4
1.1.4 Zat-zat yang Terkandung dalam Kulit Pisang ............................. 4
1.2 Kulit ..................................................................................................... 5
1.2.1 Anatomi Kulit .............................................................................. 6
1.2.2 Fungsi Kulit ................................................................................. 9
1.2.3 Efek Radiasi Sinar Matahari Terhadap Kulit ............................... 10
1.2.4 Mekanisme Perlindungan Alami Kulit ........................................ 11
1.3 Tabir Surya ......................................................................................... 12
1.3.1 Syarat Tabir Surya ....................................................................... 12
1.4 Faktor Pelindung Surya (FPS) .......................................................... 13
1.4.1 Pengukuran Nilai FPS.................................................................. 14
1.4.2 Penentuan FPS Secara In Vitro .................................................... 15
1.5 Krim ..................................................................................................... 18
1.5.1 Zat Tambahan pada Sediaan Krim............................................... 19
1.6 Praformulasi ....................................................................................... 20
1.6.1 Tween 80 ..................................................................................... 20
1.6.2 Spaan 80 ...................................................................................... 21
1.6.3 Parafin Cair ................................................................................. 21
1.6.4 Setil Alkohol ............................................................................... 21
1.6.5 Metil Paraben .............................................................................. 22
1.6.6 Propil Paraben ............................................................................. 23
1.6.7 Tokoferol Asetat ......................................................................... 23
1.6.8 Gliserin ....................................................................................... 23
1.7 Metode Ekstraksi .............................................................................. 24
1.7.1 Cara Dingin .................................................................................. 24
1.7.2 Cara Panas................................................................................... 26
II METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 28
-
x
III ALAT DAN BAHAN ...................................................................... 31 3.1 Alat .................................................................................................... 31
3.2 Bahan ................................................................................................. 31
IV PROSEDUR PENELITIAN ........................................................... 32 4.1 Pengambilan Sample Bahan Tanaman ............................................. 32
4.2 Karakteristik Mutu Kulit Buah Pisang Ambon dan Ekstrak ........ 32
4.2.1 Penapisan Kadar Abu .................................................................. 32
4.2.2 Penetapan Kadar Sari Larut Etanol .............................................. 33
4.2.3. Penetapan Kadar Sari Larut Air .................................................. 33
4.3 Penapisan Fitokimia ........................................................................... 34
4.3.1 Alkaloid ....................................................................................... 34
4.3.2 Flavonoid .................................................................................... 34
4.3.3 Saponin dan Kuinon .................................................................... 35
4.3.4 polifenol dan Tanin ..................................................................... 35
4.3.5 Steroid dan Triterpenoid ............................................................. 36
4.4 Ekstraksi .............................................................................................. 36
4.5 Penentuan Nilai faktor Pelindung Surya (FPS) secara In Vitro ..... 37
4.6 Evaluasi Orientasi Formula Sediaan ............................................... 38
4.6.1 Penentuan HLB Butuh ................................................................. 38
4.6.2 Uji Sentrifugal............................................................................. 38
4.6.3 Uji Freeze-thaw .......................................................................... 38
4.7 Formula Sediaan Tabir Surya ........................................................... 39
4.8 Evaluasi Sediaan Krim Tabir surya ................................................. 39
4.8.1 Evaluasi Organoleptik ................................................................. 40
4.8.2 Evaluasi pH Sediaan .................................................................. 40
4.8.3 Evaluasi Viskositas ..................................................................... 40
V HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 41
VI KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 53 6.1 Kesimpulan .......................................................................................... 53
6.2 Saran .................................................................................................... 53
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 54
LAMPIRAN ........................................................................................... 57
-
xi
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
I.1 Kandungan kulit buah pisang ............................................................................ 5
I.2 Keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan nilai SPF ..................................... 15
IV.1Fomulasi krim fraksi kulit buah pisang ambon putih ....................................... 39
V.1 Hasil perameter standar kulit pisang ambon putih ........................................... 42
V.2 Hasil penapisan fitokimia ekstrak dan fraksi etil asetat kulit pisang ................ 44
V.3 Hasil FPS fraksi etil asetat kulit pisang ambon putih dan metil sinamat ........ 45
V.4 Orientasi nilai HLB butuh minyak zaitun ....................................................... 46
V.5 Orientasi nilai HLB butuh Parafin cair ........................................................... 46
V.6 Uji sentrifugasi ................................................................................................ 46
V.7 Uji sentrifugasi ................................................................................................ 47
V.8 Formulasi sediaan krim tabir surya fraksi etil asetat kulit pisang .................. 48
V.9 Hasil evaluasi organoleptis ............................................................................. 49
V.10Hasil pengukuran pH ..................................................................................... 50
V.11Hasil evaluasi viskositas sediaan ................................................................... 51
-
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
I.1 Pisang ambon putih (AAA group) ................................................................. 3
I.2 Kulit pisang .................................................................................................... 5
I.3 Bagian-bagian kulit ........................................................................................ 6
II.1 Diagram alir penelitian ................................................................................. 30
-
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Surat determinasi ............................................................................................... 56
2 Penetapan parameter standar ............................................................................. 57
3 Perhitungan rendemen fraksi ............................................................................. 60
4 penentuan nilai faktor pelindung surya (FPS) .................................................. 61
5 Sertifikat metil sinamat .................................................................................... 65
6 Formula sediaan .............................................................................................. 66
7 viskositas ......................................................................................................... 67
8 Uji stasitik viskositas ....................................................................................... 68
-
1
PENDAHULUAN
Radikal bebas terdapat di lingkungan sekitar kita salah satunya berasal dari
sinar UV, yang mengkatalisis terbentuknya radikal bebas. Dalam beberapa hal sinar
ultra violet bermanfaat untuk manusia diantaranya untuk mensintesa vitamin D dan
juga berfungsi untuk membunuh bakteri. Namun disamping manfaat tersebut sinar
ultra violet dapat merugikan manusia apabila terpapar pada kulit manusia dalam
jangka waktu yang lama. Dampak buruk bagi kulit manusia, diantaranya
menyebabkan kulit terbakar (sunburn), penggelapan kulit (darkening), merusak kulit
dan menyebabkan noda-noda gelap pada kulit (dark spots). Kerusakan kulit yang
terjadi dalam pemaparan jangka panjang akan memberikan efek yang bersifat
kumulatif akibat pemaparan sinar matahari berlebihan yang terus menerus dalam
waktu yang panjang, antara lain adalah penuaan dini kulit dan kemungkinan kanker
kulit (Lowe dkk., 1990: 73). Oleh karena adanya dampak negatif dari sinar UV, maka
diperlukan perlindungan terhadap sinar UV. Salah satu cara yang dapat dilakukan
untuk meminimumkan jumlah UV yang berpenetrasi ke dalam kulit adalah dengan
menggunakan tabir surya. Indonesia sebagai negara tropis dengan pemamparan sinar
matahari yang cukup tinggi sangat membutuhkan sediaan kosmetik yang berperan
sebagai tabir surya.
Pisang ambon selama ini lebih banyak dimanfaatkan sebagai makanan atau
pencuci mulut dan kurang mendapat perhatian untuk dimanfaatkan sebagai sediaan
-
2
kosmetik yang lebih bernilai, terutama pada kulit buahnya. Kulit buah pisang banyak
mengandung senyawa yang bermanfaat salah satunya adalah memiliki kandungan
antioksidan tinggi yang dapat menetralisir radikal bebas. Berdasarkan penelitian
Someya (2002), kulit buah pisang Cavendish memiliki aktivitas antioksidan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan daging buahnya. Jenis senyawa antioksidan yang
dapat diisolasi dari kulit buah pisang yaitu golongan flavonoid. Jenis flavonoid yang
teridentifikasi adalah naringenin dan rutin (Kanazawa dan Sakakibara, 2000), serta
katekin, galokatekin dan epikatekin (Someya et al., 2002). Flavonoid dan tannin
merupakan beberapa senyawa yang memiliki aktivitas antioksidan yang berpotensi
sebagai tabir surya (Suryanto,2012).
Telah banyak dilakukan penelitian sediaan tabir surya, tapi sampai saat ini
belum ada yang menjadikan kulit buah pisang ambon sebagai krim tabir surya dan
belum ada penelitiannya. Kulit buah pisang ambon dipilih dalam penelitian ini untuk
memanfaatkan limbah kulit buah pisang ambon yang belum dimanfaatkan secara
optimal sebagai bahan kosmetik tabir surya, dan pisang ambon merupakan jenis
pisang yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia.
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan yaitu, bagaimana penentuan nilai FPS pada fraksi etil asetat kulit buah
pisang ambon putih secara in vitro dan formulasi tabir surya fraksi etil asetat kulit
buah pisang ambon putih yang stabil secara farmasetika.
-
3
Tujuan dari penelitian ini adalah memanfaatkan kulit buah pisang ambon
putih yang merupakan limbah menjadi bahan baku kosmetik tabir surya, serta
mendapat formula sediaan krim yang memenuhi persyaratan farmasetik.
-
3
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1. Pisang Ambon Putih [Musa (AAA group)]
Pisang (Musa paradisiaca) atau banana (Inggris) dari genus Musa, famili
Musaceae adalah tumbuhan berbatang lunak. Merupakan tanaman tropis yang
banyak dijumpai di Asia Tenggara. Perkebunan pertama ada di Papua Nugini,
tetapi sekarang sudah meluas di daerah tropis yang berjumlah sekitar 107 negara
(Agoes, 2010: 73).
1.1.1. Taksonomi pisang (Backer, C.A. & Bakhuizen van den Brink, Jr. R. C., 1968)
Gambar I.1. Pisang Ambon Putih
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida (Monocots)
Anak kelas : Zingiberidae
Bangsa : Zingiberales
Nama suku / familia : Musaceae
Nama Jenis / species : Musa (AAA group) pisang ambon putih
Sinonim : -
Nama umum : pisang ambon putih (Indonesia).
-
4
1.1.2. Morfologi pisang
Tumbuhan pisang berbatang cukup tinggi, bisanya berbatang palsu
(pseudostem). Tinggi dapat mencapai 2-8 meter dengan daun yang
panjangnya mencapai 3,5 meter. Tiap pseudosterm dapat menghasilkan
satu tandan buah warna hijau yang saat masak menjadi kuning. Tandan
dapat terdiri atas 3-20 sisir yang masing-masing mengandung sampai 20
biji pisang. Rata-rata satu tandan beratnya 30-50 kg, buah pisang rata-rata
beratnya masing-masing 125 g yang terdiri atas 75% air dan 25% bahan
padat. Buah dilapisi kulit dengan bagian daging pisang di dalam. Baik
kulit ataupun daging pisang dapat dikonsumsi mentah atau dimasak. Buah
pisang kaya akan vitamin B6, vitamin C, dan kalium (Azwar, 2010: 73).
1.1.3. Khasiat dan kegunaan
Berdasarkan penelitian Someya (2002), kulit buah pisang
Cavendish memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan daging buahnya. Jenis senyawa antioksidan yang dapat diisolasi
dari kulit buah pisang yaitu golongan flavonoid.
1.1.4. Zat-zat yang terkandung dalam kulit pisang
Buah pisang mengandung banyak mengandung mineral dan
vitamin yang dibutuhkan tubuh seperti kalsium dan vitamin A, bahkan
kulit kaya akan manfaat. Dalam satu buah pisang, 1/3 bagiannya adalah
kulitnya kulit pisang mengandung vitamin B6, karbohidrat, fosfor, protein,
vitamin C, dan beberapa zat lainnya yang berguna untuk kesehatan tubuh.
Zat lain yang terkandung dalam kulit pisang adalah vitamin B6 dan
serotonin yang berguna untuk kesehatan mata. Kulit pisang dapat diolah
-
5
dengan sedemikian rupa dan diekstrak untuk menjaga kesehatan retina dan
kerusakan yang diakibatkan oleh cahaya yang berlebih (Indah, 2013: 33).
Berikut ini adalah rincian komposisi zat-zat gizi yang terkandung dalam
kulit pisang:
Gambar I.2. Kulit Pisang
Tabel I.1. Kandungan Kulit Buah Pisang
Sumber: Balai Penelitian Industri, Jatim Surabaya (1982)
1.2. Kulit
Kulit merupakan selimut yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki
fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan
luar (Iswari, 2007). Kulit menutupi dan melindungi permukaan tubuh, serta
bersambung dengan selaput lendir yang melapisi rongga-rongga dan lubang-
No Zat Gizi Kadar
1 Air (g) 6,90
2 Karbohidrat (g) 18,50
3 Lemak (g) 2,11
4 Protein (g) 0,32
5 Kalsium (mg) 715
6 Fosfor (mg) 117
7 Zat besi (mg) 1,60
8 Vitamin B (mg) 0,12
9 Vitamin C (mg) 17,50
-
6
lubang masuk. Kulit yang di dalamnya terdapat ujung saraf peraba mempunyai
banyak fungsi, antara lain membantu mengatur suhu tubuh dan mempunyai
sedikit kemampuan ekskretori, sekretori, dan absorpsi (Evelyn, 2009: 290).
Gambar I.3 Bagian-bagian kulit
1.2.1. Anatomi kulit
Kulit dibagi menjadi dua lapisan, yaitu epidermis atau kutikula dan
dermis atau krium. Epidermis tersusun atas epithelium berlapis dan terdiri
atas sejumlah lapisan sel yang disusun atas dua lapis yang yang jelas
tampak: selapis lapisan tanduk dan selapis zona germinalis (Evelyn, 2009:
291).
Lapisan epidermal adalah lapisan tanduk terletak paling luar, dan tersusun
atas tiga lapisan sel yang membentuk epidermis, yaitu:
a. Stratum korneum. Selnya tipis, datar. Seperti sisik dan terus-menerus
dilepaskan.
b. Stratum lusidum. Selnya mempunyai batas tegas tetapi tidak ada
intinya.
c. Stratum granulosum. Selapis sel yang yang jelas tampak berisi inti dan
granulosum.
-
7
Zona germinalis terletak di bawah lapisan tanduk dan terdiri atas dua
lapisan epitel yang berbentuk tegas, yaitu:
a. Sel berduri, yaitu sel dengan fibril halus yang menyambung sel yang
satu dengan yang lainnya di lapisan ini, sehingga setiap sel seakan-akan
berduri.
b. Sel basal. Sel ini terus-menerus memproduksi sel epidermis baru. Sel
ini disusun dengan teratur, berderet dengan rapat membentuk lapisan
pertama atau lapisan dua sel pertama dari sel basal yang duduk di atas
papilla dermis.
Epidermis tidak berisi pembuluh darah. Saluran kelejar keringat
menembus epidermis dan mendampingi rambut. Sel epidemis membatasi
folikel rambut. Dia atas permukaan epidermis terdapat garis lekukan yang
berjalan sesuai dengan papil dermis di bawahnya. Garis-garis ini berbeda-
beda; pada ujung jari berbentuk ukiran yang jelas, yang pada setiap orang
yang berbeda. Maka atas hal ini studi sidik jari dalam kriminologi
dilandaskan (Evelyn, 2009: 293).
Korium atau dermis tersusun atas jaringan fibrus dan jaringan ikat
yang elastik. Pada permukaan dermis tersusun papil-papil kecil yang berisi
ranting-ranting pembuluh darah kapiler.
Ujung akhir saraf sensoris, yaitu sebagai peraba, terletak di dalam
dermis. Kelenjar keringat yang berbentuk tabung berbelit-belit dan banyak
jumlahnya, terletak di sebelah dalam dermis, dan salurannya yang keluar
melalui dermis dan epidermis bermuara di atas permukan kulit di dalam
-
8
lekukan halus yang disebut pori. Ada beberapa kelenjar keringat yang
berubah sifat yang dapat dijumpai di kulit sebelah dalam telinga, yaitu
kelenjar serumen (Evelyn, 2009: 293).
Kelenjar sebaseus adalah kelenjar kantong di dalam kulit.
Bentuknya seperti botol dan bermuara di dalam folikel rambut. Kelenjar
ini paling banyak terdapat di kepala dan wajah, yaitu sekitar hidung,
mulut, dan telinga, dan sama sekali tak terdapat dalam kulit tapak tangan
dan telapak tangan dan telapak kaki. Kelenjarnya dan salurannya dilapisan
sel epitel. Perubahan di dalam sel ini berakibat sekresi berlemak yang
disebut sebum. Pelengkap kulit. Rambut, kuku, dan kenjar sebaseus
dianggap sebagai tambahan pada kulit. Rambut dan kuku adalah sel
epidermis yang berubah. Rambut tubuh dari folikel rambut merupakan
lekukan jeluk di dalam epidermis (Evelyn, 2009: 294).
Folikel rambut dibatasi sel epidermis dan di atas dasarnya terdapat
papil tempat awal rambut tumbuh. Dalam keadaan sehat, bila sehelai
rambut rontok maka akan diganti sehelai lain yang tumbuh dari papil yang
sama. Warna rambut disebabkan jumlah pigmen di dalam epidermis.
Berhubungan dengan folikel rambut terdapat otot polos kecil, yaitu erector
pilorum atau penegak rambut, terdapat juga kelenjar sebaseus yang
mengeluarkan secret yang disebut sebum. Sebum ini memelihara kulit
supaya empuk dan halus, dan rambut mengkilat (Evelyn, 2009: 294).
-
9
1.2.2. Fungsi kulit
Kulit sebagai organ pengatur panas. Suhu tubuh seseorang adalah
tetap, meskipun terjadi perubahan suhu lingkungan. Hal itu dipertahankan
karena penyesuaian antara panas yang hilang dan panas yang dihasilkan,
yang diatur oleh pusat pengaturan panas. Suhu normal tubuh, yaitu suhu
visera dan otak adalah 36o samapai 37,5
oC. Suhu kulit lebih rendah. Kulit
adalah organ utama yang berurusan dengan pelepasan panas dari tubuh.
Banyak panas juga hilang melalui paru-paru, dan sebagian kecil melalui
feses dan urine (Evelyn, 2009: 295).
Kulit sebagai indra peraba rasa sentuhan yang disebabkan
rangsangan pada ujung saraf di dalam kulit berbeda-beda menut ujung
saraf yang dirangsang. Perasaan panas, dingin, sakit, semua ini perasaan
yang berlainan. Di dalam kulit terdapat tempat-tempat tertentu, yaitu
tempat perabaan; beberapa sensitif (peka) terhadap dingin, beberapa
terhadap panas, dan lain lagi terhadap sakit. Perasaan yang disebabkan
tekanan yang dalam, dan perasaan yang memungkinkan seorang
menentukan dan menilai berat suatu benda, timbul pada struktur lebih
dalam, misalnya pada otot dan sendi (Evelyn, 2009: 295).
Tempat penyimpanan kulit dan jaringan di bawahnya bekerja
sebagai tempat penyimpanan air; jaringan adipose di bawah kulit
merupakan tempat penyimpanan lemak yang utama pada tubuh, beberapa
kemampuan melindungi dari kulit. Kulit relatif tak tertembus air, dalam
arti menghidarkan hilangnya cairan dari jaringan dan juga menghindarkan
-
10
masuknya air ke dalam jaringan, misalnya bila tubuh terendam air.
Epidermis menghalangi cedera pada struktur di bawahnya dan karena
menutupi ujung akhir saraf sensorik di dalam dermis, maka kulit
mengurangi rasa sakit (Evelyn, 2009: 296).
1.2.3. Efek radiasi sinar matahari terhadap kulit
Penyinaran matahari memiliki efek yang menguntungkan maupun
merugikan tergatung dari frekuensi lama penyinaran, intensitas matahari
dan jenis kulit. Efek yang menguntungkan dari penyinaran matahari adalah
dapat merangsang pembentukan tulang oleh aktivasi vitamin D yang
terdapat pada epidermis dengan sinar matahari. Sinar matahari juga dapat
menyebabkan penyakit misalnya psoriasis, meningkatkan produksi
melanin yang berfungsi sebagai tabir surya alami kulit (Lowe dkk.,
1990:73) .
Di samping efek menguntungkan, pemaparan sinar matahari yang
berlebihan juga dapat berdampak buruk karena sinar matahari
mengandung sinar ultra violet (UV) (Martini, 2001: 144). Penyinaran
matahari yang singkat pada kulit dapat menyebabkan kerusakan epidermis
sementara, gejalanya biasanya disebut sengatan surya. Sinar matahari
menyebabkan eritema ringan hingga luka bakar yang nyeri pada kasus
yang lebih parah. Penyinaran yang lama akan menyebabkan perubahan
pada jaringan pengikat dalam korium. Keadaan tersebut menyebabkan
kulit akan menyebabkan kulit akan menebal, kehilangan kekenyalan
-
11
sehingga kulit kelihatan keriput, hal ini disebabkan karena kulit kehilangan
kapasitas ikat-air (Depkes RI, 1985: 339).
Berdasarkan panjang gelombang dan efek fisiologisnya, sinar UV
dibagi atas tiga kelompok, yaitu UV A, UV B, dan UV C. UV A memiliki
panjang gelombang 320-400 nm yang menyebabkan warna coklat pada
kulit tanpa terjadi inflamasi sehingga disebut daerah pigmentasi. UV B
memiliki panjang gelombang 290-320 nm sehingga dapat menimbulkan
terjadinya iritasi pada kulit. Hal ini menyebabkan rentang panjang
gelombang UV B disebut daerah eritema. UV C memiliki panjang
gelombang 200-290 nm dan tidak dapat mencapai permukaan bumi karena
sebagian besar telah terserap oleh lapisan ozon (Martini, 2001: 147).
1.2.4. Mekanisme perlindungan alami kulit
Kulit sebagai lapisan pembungkus tubuh senantiasa mengalami
pengaruh lingkingan luar, baik berupa sinar matahari, iklim maupun
faktor-faktor kimiawi dan mekanisme kulit tidak saja harus menghilangkan
pengaruh panas matahari, tetapi juga harus dapat mengatasi pengaruh
bagian sinar matahari (Rostamailis, 2005: 43).
Secara alami kulit manusia mempunyai sistem perlindungan
terhadap paparan sinar matahari. Mekanisme pertahanan tersebut adalah
dengan penebalan stratum korneum dan pigmentasi kulit. Perlindungan
alami kulit terhadap sinar UV dengan panjang gelombang 300-325 nm
terjadi karena adanya asam urokanik (0,6%) pada stratum corneum. Asam
urokanik ini dapat menyerap sinar UV pada panjang gelombang tersebut.
-
12
Selain perlindungan asam urokanik, kulit juga memiliki pertahanan alami
lainnya dengan peningkatan jumlah melanin dalam epidermis. Butir-butir
melanin yang terdapat pada lapisan basal kulit akan berpindah ke stratum
corneum apabila terjadi paparan sinar UV B yang kemudian akan
teroksidasi oleh sinar UV A. Apabila kulit mengelupas maka butir-butir
melanin tersebut akan terkelupas juga sehingga kulit kehilangan pelindung
(Martini, 2001: 153).
1.3. Tabir Surya
Menurut Permenkes RI nomor 376/menkes/per/VIII/1990, tabir surya
adalah zat yang dapat menyerap sedikitnya 85% sinar matahari pada panjang
gelombang 290 sampai 320 nm tetapi dapat meneruskan sinar pada panjang
gelombang lebih dari 320 nm. Efektivitas sediaan tabir surya dalam menahan
paparan sinar matahari dan panas dipengaruhi oleh stabilitas bahan aktif dan
stabilitas sediaan tabir surya tersebut (Wilkinson & Moore, 1982).
1.3.1. Syarat tabir surya
Menurut Wilkinson dan Moore (1982), hal-hal yang diperlukan
diperhatikan dalam sediaan tabir surya adalah:
1. Efektif dalam menyerap sinar eritmogenik pada rentang panjang
gelombang 290-320 nm tanpa menimbulkan gangguan yang akan
mengurangi efisiensinya atau yang akan menimbulkan toksik atau
iritasi.
2. Tidak mudah menguap dan resisten terhadap air dan keringat.
-
13
3. Memiliki sifat-sifat mudah larut yang sesuai untuk memberikan
formulasi kosmetik yang sesuai.
4. Tidak berbau dan memiliki sifat-sifat fisik yang memuaskan, misalnya
daya lengketnya, dan lain-lain.
5. Tidak menyebabkan toksik, tidak iritan, dan tidak menimbulkan
sensitisasi.
6. Dapat mempertahankan daya proteksinya selama beberapa jam.
7. Stabil dalam penggunaan.
8. Tidak memberikan noda pada pakaian.
Tidak toksik dan dapat diterima secara dermatologis merupakan hal yang
penting. Sebagai kosmetik, tabir surya sering digunakan dalam
penggunaan harian pada daerah permukaan tubuh yang luas. Selain itu,
tabir surya juga dapat digunakan pada bagian kulit yang telah rusak karena
matahari. Tabir surya mungkin juga digunakan pada semua kelompok
umur dan kondisi kesehatan yang bervariasi (Wilkinson & Moore, 1982:
231).
1.4. Faktor Pelindung Surya (FPS)
Tingkat produk tabir surya yang melindungi dari kemerahan (eritema)
digambarkan oleh Faktor Pelindung Surya (FPS). FPS adalah rasio dari dosis
minimal eritema (MED) pada perlindungan kulit manusia oleh tabir surya pada
MED tanpa adanya tabir surya. Dalam test FPS yang ditentukan oleh FDA, MED
ditentukan terhadap semakin meningkatnya energi UV dan mengevaluasi respon.
-
14
MED dalam dosis rendah energi UV akan menyebabkan eritema dengan batas
yang jelas di tempat terbuka.
Produk tabir surya dipasaran saat ini diberi tanda nilai FPS mulai dari 2
sampai 60. FPS merupakan rasio MED terlindungi ke MED tak terlindungi. Cara
lainnya yaitu FPS berbanding terbalik dengan transmisi energi pemerahan.
Sehingga
... (1.1)
Oleh karena itu, tabir surya dengan FPS 2 mentransmisikan 50% energi
pemerahan yang diterima, FPS 15 mentransmisikan 6,7%, dan tabir surya dengan
FPS 30 mentransmisikan 3,3%. Tabir surya dengan FPS 50 masih akan
mentrasmisikan 2%. Ini menggambarkan semakin berkurang keuntungan dari
peningkatan nilai-nilai FPS (Schueller, 2003: 148).
1.4.1. Pengukuran nilai SPF
Pengukuran nilai SPF suatu sediaan tabir surya dapat dilakukan
secara in vitro. Metode pengukuran nilai SPF secara in vitro secara umum
terbagi dalam dua tipe. Tipe pertama adalah dengan mengukur serapan
atau transmisi radiasi UV melalui lapisan produk tabir surya pada plat
kuarsa atau biomembran. Tipe yang kedua adalah dengan menentukan
karakteristik serapan tabir surya menggunakan analisis spektrofotometri
larutan hasil pengenceran tabir surya yang diuji (Kaur & Saraf, 2010: 22).
Penilaian SPF mengacu pada ketentuan FDA yang mengelompokan
keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan SPF (Wilkinson & Moore,
1982: 248).
-
15
Tabel I.2. Keefektifan Sediaan Tabir Surya Berdasarkan Nilai SPF
(Sumber: Wilkinson & Moore, 1982)
1.4.2. Penentuan FPS secara in vitro
a. Korelasi antara data spektrofotometri dan nilai FPS
Hukum Lambert-beer yang berlaku untuk radiasi monokromatik,
dinyatakan dengan menggunakan persamaan :
(1.2)
Io = insentitas radiasi yang datang, I = intensitas radiasi yagn
diteruskan, = absorsitivitas, c = konsentrasi (moL/liter), l = panjang
lintasan sel (cm), A = serapan.
I, Io, , dan A ditentukan pada panjang gelombang tinggi. Jika kulit
terkena sinar radiasi ultraviolet maka secara perlahan akan mengalami
gejala kemerahan (eritema) lalu reaksi kulit terbakar (sunburn). Jika t0
adalah waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tanda kemerahan awal
(Dosis Eritema Minimal/DEM), yang diuji setelah 16-24 paparan, kulit
tanpa tabir surya menggunakan radiasi Io dan jika t adalah waktu yang
diperlukan oleh kulit dengan tabir surya untuk menghasilkan tanda
kemerahan yang sama, sehingga menyebabkan penurunan intensitas
radiasi menjadi I sebelum mengenai kulit, maka dapat dituliskan dalam
bentuk persamaan :
SPF Katagori Proteksi Tabir Surya
2 - 4 Proteksi minimal
4 - 6 Proteksi sedang
6 - 8 Proteksi ekstra
8 - 15 Proteksi maksimal
15 Proteksi ultra
-
16
Io.t0 = I.t (1.3)
Penyusunan ulang persamaan diatas menjadi :
Io/I = t/t0 = FPS... (1.4)
FPS merupakan perbandingan antara waktu yang diperlukan untuk
mencapai eritema minimal dengan tanpa tabir surya. Dengan demikian
dapat juga dituliskan dalam persamaan :
FPS = 10A.. (1.5)
Persamaan (1.5) tampaknya tidak sesuai hukum Beer, bagian kanan
persamaan itu adalah untuk radiasi monokromatik, sedangkan bagian kiri
berlaku untuk radiasi polikromatik. Kemudian diciptakan suatu hipotesis
untuk mencari korelasi antara FPS dengan data spektrofotometri hukum
Beer menyatakan bahwa serapan larutan pada panjang gelombang tertentu
linear terhadap konsentrasi jika panjang lintasan sel tetap. Sehingga secara
logika, bahwa jumlah dua serapan pada panjang gelombang yang berbeda
untuk larutan tunggal akan linear terhadap konsentasi. Kemudian
disimpulkan bahwa n serapan untuk larutan tunggal juga linear terhadap
konsentrasi, dapat dituliskan dalam bentuk persamaan:
(1.6)
Untuk panjang gelombang 1 cm, Km adalah tetapan
proporsionalitas yang berhubungan dengan . Jika individual serapan yang
dijumlahkan adalah nilai rata-rata dari serapan pada setiap interval kecil
panjang gelombang ( ). Maka dari persamaan 1.6 dapat dibuat suatu
persamaan baru sebagai berikut:
-
17
. (1.7)
i adalah nilai terendah, n nilai tertinggi dari panjang gelombang
yang diamati. Jika interval panjang gelombang cukup kecil maka dapat
dituliskan suatu persamaaan:
.. (1.8)
n i
Hukum Beer dapat pula dinyatakan sebagai berikut : luas kurva
dibawah kurva (AUC) dari kurva serapan atas rentang panjang gelombang
spesifik linear terhadap konsentrasi sehingga hukum Beer berlaku untuk
radiasi polikromatik. Penyimpangan dari linearitas dapat terjadi jika
serapan pada panjang gelombang tersebut juga menyimpang dari
linearitas.
Luas/(n-i) = = k.c (1.9)
AUC (luas bawah kurva) antara n dan i dihitung dengan
menjumlahkan luasan terkecil hingga luasan pada akhir kurva serapan
(ketika nilai serapan 0,05). Luas dihitung menggunakan rumus trapesium.
Hukum ini dapat digunakan untuk fenomena polikromatik. Cahaya
ultraviolet penyebab reaksi kulit terbakar adalah fenomena polikromatik
dapat digunakan untuk mencari koreksi antara data spektrofotometri dan
nilai FPS. Hubungan tersebut adalah:
(1.10)
Log FPS = Luas / n-i = = As . (1.11)
-
18
= As adalah serapan tabir surya dan n=i adalah interval
aktivitas eritemagenik.
Sehingga secara teoritis persamaan 1.11 dapat digunakan untuk
memperkirakan nilai FPS dari suatu larutan yang diukur dengan
menghitung nilai AUC kurva serapan dibagi dengan interval panjang
gelombang terkecil yang digunakan adalah 290 nm, sedangkan akhir kurva
(nilai serapan 0,05) dianggap sebagai panjang gelombang tertinggi.
Pengujian untuk menentukan nilai FPS yang biasa digunakan
adalah dengan olesan setebal 20L per cm2. Simulasi menggunakan
panjang lintasan sel 2 cm, maka konsentrasi larutan tabir surya 0,001%
(=0,01 gram per liter). Jika penentuan FPS menggunakan sel kuvet 1 cm,
maka perhitungan nilai FPS menjadi:
Log FPS = [AUC / (n-i)] x2 .. (1.12)
(Larasati, 2011).
1.5. Krim
Krim adalah bentuk sediaan setengah padat mengandung satu atau lebih
bahan obat terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai. Istilah ini
secara tradisional telah digunakan untuk sediaan setengah padat yang mempunyai
konsistensi relatif cair yang diformulasikan sebagai emulsi air dalam minyak atau
minyak dalam air. Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk
yang terdiri dari emulsi minyak dalam air atau disperse mikrokristal asam-asam
lemak atau alkohol berantai panjang dalam air yang dapat dicuci dengan air dan
lebih ditunjukan untuk penggunaan kosmetik dan estetika (Depkes RI, 1995: 6).
-
19
1.5.1. Zat tambahan pada sediaan krim
a. Zat penambah konsistensi
Zat ini digunakan untuk menaikan konsistensi emulsi topical (krim).
Bahan peningkat viskositas yang biasa digunakan antara lain setil
alkohol (Swarbrick and Boylan, 1995: 138).
b. Pengawet
Penggunaan pengawet dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas
fisik dan kimia sediaan dengan mencegah pertumbuhan
mikroorganisme karena adanya fasa air yang merupakan medium
pertumbuhan mikroorganisme. Contoh pengawet yang sering
digunakan adalah propil paraben, metil paraben dan asam benzoat
(Swarbrick and Boylan, 1995: 138).
c. Dapar
Penggunaan dapar dimaksudkan untuk mempertahankan pH
stabilitas dari zat aktif. Pemilihan dapar yang digunakan
berdasarkan pada ketercampurannya pada basis, zat aktif serta
bahan pembantu lainnya (Swarbrick and Boylan, 1995: 138).
d. Humektan/pelembab
Pelembab digunakan dalam sediaan krim dengan tujuan menjaga
kelembaban kulit dengan mencegah penguapan air dari permukaan
kulit. Contoh pelembab antara lain adalah gliserol, propilen glikol
dan PEG (polietilen glikol) (Swarbrick and Boylan, 1995: 139).
-
20
e. Antioksidan
Penggunaan antioksidan dimaksudkan untuk mencegah oksidasi
fasa minyak oleh cahaya yang dapat menimbulkan ketengikan dan
mengganggu kestabilan sistem emulsi. Pada umumnya minyak
yang dapat mengalami oksidasi adalah minyak nabati karena
bersifat tidak jenuh. Contoh antioksidan yang umum digunakan
antara lain alkil galat, tokoferol, butyl hidroksi anisol (BHA) dan
butyl hidroksi toluene (BHT). Ion logam berat yang dapat
mengkatalisasi terjadinya reaksi oksidasi dapat diikat dengan agen
penghelat, seperti asam sitrat dan asam tartrat (Swarbrick and
Baylan, 1995: 139).
1.6. Praformulasi
Studi praformulasi merupakan suatu proses optimasi suatu sediaan melalui
penentuan dan pendefinisian sifat-sifat fisika dan kimia yang penting dalam
penyusunan formulasi sediaan obat yang aman.
1.6.1. Tween 80
Tween 80 atau polyksietilen (20) sorbitan monooleat digolongkan
ke dalam surfaktan non-ionik dengan nilai Hydrophilic-Lipophilic Balance
(HLB) 15 dan berperan sebagai agen pengemulsi. Tween 80 merupakan
cairan seperti minyak jernih, berwarna dan tidak larut dalam minyak
mineral (Wade and Weller, 1994: 549).
-
21
1.6.2. Span 80
Span 80 atau sorbitan monooleat adalah suatu surfaktan non ionik
dengan nilai Hydrophilic-Lipophilic Balance (HLB) 4,3 yang sering kali
digunakan sebagai agen pengemulsi bersama dengan Tween 80 dalam
konsentrasi 1-10%. Span 80 berbentuk cairan kental berwarna kuning.
Span merupakan kelarutan yang baik dalam minyak dan pelarut organik
(Wade and Weller, 1994: 675).
1.6.3. Parafin cair
Paraffin cair atau minyak mineral berbentuk cairan transparan,
tidak berwarna, kental praktis tidak berasa, tidak berbau dalam suhu sejuk
dan sedikit berwarna jika dipanaskan. Paraffin cair praktis tidak larut
dalam etanol (95%), gliserin dan air, larut dalam aseton, benzena,
kloroform, karbon disulfide, eter dan petroleum eter. Penambahan sedikit
surfaktan yang sesuai akan meningkatkan kelarutan. Paraffin cair dapat
teroksidasi jika terkena panas dan cahaya. Paraffin cair merupakan minyak
yang umum digunakan dalam kosmetik dan produk makanan. Untuk
emulsi topical, paraffin cair digunakan dalam konsentrasi 1-32% (Wade
and Weller, 1994: 481).
1.6.4. Setil alkohol
Setil alkohol adalah campuran alkohol alifatik padat yang
digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi sebagai peningkat
viskositas dengan konsentrasi 2-10%. Setil alkohol berupa malam
berbentuk serpihan putih, licin, granul atau kubus, berwarna putih dengan
-
22
bau khas dan rasa lemah. Setil alkohol praktis tidak larut dalam air, etanol
dan eter, kelarutan bertambah dengan naiknya suhu (Wade and Weller,
1994: 75).
1.6.5. Metil paraben
Metil paraben atau nipagin digunakan sebagai pengawet
antimikroba dalam kosmetik, produksi makanan dan formula farmasi.
Metil paraben dapat digunakan sendiri ataupun dengan kombinasi paraben,
zat anti mikroba lain. Bentuk metil paraben adalah Kristal tak berwarna
serbuk Kristal putih dan tidak berbau. Metil paraben mempunyai aktivitas
anti mikroba antara pH 4-8. Efek pengawetan akan menurun sebanding
dengan meningkatnya pH. Metil paraben memiliki keaktifan paling lemah
dari seluruh paraben. Aktivitasnya dapat diperbaiki dengan
mengkombinasikan dengan paraben lain. Metil paraben larut dalam etanol,
eter, propilen glikol, metanol, tidak larut dalam parafin cair dan air.
Aktivitas antimikroba dari metil paraben menurun dengan keberadaan
surfaktan non ionik seperti polisorbat 80. Namun, dengan penambahan
propilen glikol (10%) telah dibuktikan dapat membantu aktivitas anti
mikroba paraben ketika terdapat surfaktan non ionik karena dapat
mencegah interaksi antara antimikroba dan polisorbat (Wade and Weller,
1994: 441).
-
23
1.6.6. Propil paraben
Propil paraben atau nipasol adalah senyawa paraben yang berfungsi
sebagai pengawet antimikroba dalam kosmetik, produksi makanan dan
formula farmasi. Propil paraben dapat digunakan sendiri ataupun
dikombinasikan dengan paraben maupun antimikroba lain. Aktivitas
antimikroba propil paraben efektif pada pH 4-8. Efek sebagai pengawet
menurun dengan meningkatkatnya pH. Propil paraben lebih aktif melawan
jamur daripada melawan bakteri dan lebih aktif melawan gram positif
daripada gram negatif. Propil paraben sangat larut dalam aseton dan dalam
eter, larut dalam etanl, dalam methanol, dalam propilen glikol, tidak larut
dalam air. Aktivitas antimikroba dari propil paraben menurun dengan
keberadaan surfaktan non ionik (Wade and Weller, 1994, 596).
1.6.7. Tokoferol asetat
Tokoferol asetat merupakan antioksidan yang ditambahkan untuk
mencegah terjadinya ketengikan karena oksidasi oleh cahaya pada minyak
tidak jenuh yang sifatnya antioksidan. Tokoferol asetat adalah antioksidan
sejati mencegah oksidasi dengan cara bereaksi dengan radikal bebas
(Wade and Weller, 1994, 663).
1.6.8. Gliserin
Gliserin merupakan cairan tidak berwarna, tidak berbau, kental,
cairan higroskopis, dan memiliki rasa manis kira-kira 0,6 kali semanis
sukrosa.
-
24
Dalam formulasi farmasi topical dan kosmetik, gliserin digunakan sebagai
humektan dan emolien. Gliserin digunakan sebagai pelarut atau cosolvent
dalam krim dan emulsi (Wade and Weller, 1994: 295).
1.7. Metode Ekstraksi
Pengambilan bahan aktif dari suatu tanaman, dapat dilakukan dengan
ekstraksi. Dalam proses ekstraksi ini, bahan aktif akan terlarut oleh zat penyari
yang sesuai sifat kepolarannya. Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa
faktor seperti sifat dari bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam
metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak yang sempurna atau
mendekati sempurna (Ansel, 1989: 607). Metode-metode ekstraksi ang sering
digunakan diantaranya:
1.7.1. Cara dingin
a. Maserasi
Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya
merendam. Maserasi merupakan proses paling tepat dimana
simplisia yang sudah halus memungkinkan untuk direndam dalam
menstrum samapai meresap dan melunakkan susunan sel, sehingga
zat-zat yang mudah larut akan melarut. Dalam proses maserasi,
simplisia yang akan diekstrasi biasanya ditempatkan pada wadah
atau bejana yang bermulut lebar., bersama menstrum yang telah
ditetapkan, bejana ditutup rapat dan isinya dikocok berulang-ulang
lamanya biasanya berkisar dari 2-14 hari. Pengocokan
memungkinkan pelarut segar mengalir berulang-ulang masuk ke
-
25
seluruh permukaan dari simplisia yang sudah halus (Ansel, 1989:
607).
Cara lain untuk pengocokan yang berulang-ulang ini dengan
menempatkan simplisia dalam kantong kain yang berpori yang
diikat dan digantungkan pada bagian atas menstrum, banyak
persamaannya dengan kantong teh yang mudah larut, melarut
dalam menstrum, maserat cenderung untuk turun ke dasar bejana
karena adanya gaya berat dari cairan yang disebabkan oleh
penambahan berat. Kemudian menstrum yang segar naik ke
permukaan dan proses ini berlanjut secara siklis. Pencelupan
kantong simplisia akan membantu kecepatan dari ekstraksi. Ekstrak
dipisahkan dari ampasnya dengan memeras kantong simplisia dan
membilasnya dengan penambahan menstrum baru, hasil pencucian
merupakan tambahan ekstrak. Apabila maserasi dilakukan dengan
simplisia yang tidak dalam kantong, ampasnya dapat dipisahkan
dengan menapis atau menyaring (Ansel, 198: 608).
b. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstrak dengan pelarut yang selalu baru sampai
sempurna (exhaustive extraction) yang umumnya dilakukan pada
suhu ruangan. Proses terdiri dari tahapan pengembangan bahan,
tahap maserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan atau
penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak
-
26
(perkolat) yang jumlahnya satu sampai lima kali bahan (Depkes RI,
2000: 10)
1.7.2. Cara panas
a. Sokhletasi
Sokhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru
yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi
ekstraksi kontinu dengan jumlah pelarut relatif konstan dengan
adanya pendingin balik (Depkes RI, 2000: 10).
b. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didihnya,
selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif
konstan dengan adanya pendingin balik. Umumnya dilakukan
pengulangan proses pada residu pertama sampai tiga sampai lima
kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna (Depkes
RI, 2000: 11).
c. Dekok
Penyari menggunakan simplisia dengan perbandingan dan derajat
kehauasan tertentu. Cairan penyari air digunakan pada suhu 900C-
950C selama 30 menit (Goeswin, 2009: 31).
d. Digesti
Digesti adalah maserasi kinetik (dengan pengadukan) pada suhu
yang lebih tinggi dari suhu ruangan (kamar), yaitu secara umum
dilakukan pada suhu 40-500C (Depkes RI, 2000: 11).
-
27
e. Infus
Sama seperti Decoctum, hanya saja waktu penyarian selama 15
menit. Pada umumnya, penyari infusum ini dalam bentuk infus zat
larut air dari simplisia tanaman. Penyarian dapat dilakukan dengan
penambahan bahan tertentu untuk optimasi proses penyarian
(Goeswin, 2009: 32).
-
28
BAB II
METODOLOGI PENELITIAN
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit buah pisang
ambon putih [Musa (AAA group)]. Determinasi tumbuhan uji dilakukan di
Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi
Bandung.
Ekstraksi dilakukan dengan metode perebusan selama 2 jam. Ekstrak cair
yang didapat kemudian dilakukan ektraksi cair - cair dengan kloroform, etil asetat,
dan air, kemudian dikeringkan dengan metode Freeze Dryer. Tahap selanjutnya
penetapan parameter standar simplisia dan ekstrak, serta penapisan fitokimia
dilakukan terhadap ekstrak cair dan fraksi etil asetat kulit buah pisang ambon putih.
Dari penentuan nilai FPS, diperoleh konsentrasi ekstrak yang akan digunakan
dalam sediaan krim. Tahap selanjutnya adalah orientasi basis larutan dengan
menentukan HLB butuh minyak zaitun dan paraffin cair dengan menggunakan
emulgator kombinasi Tween 80 Span 80. Setelah itu ditentukan konsentrasi
optimum surfaktan agar dihasilkan emulsi yang stabil kemudian dibuat krim dengan
setil alkohol sebagai peningkat konsistensi, kombinasi metil paraben propil paraben
sebagai pengawet, tokoferol asetat sebagai antioksidan larut minyak, dan gliserin
sebagai humektan.
Formula basis krim terbaik diperoleh berdasarkan uji stabilitas dengan metode
freeze-thaw. Formula basis terbaik digunakan dalam pembuatan sediaan krim ekstrak
-
29
kulit pisang. Pada tahap akhir dilakukan evaluasi stabilitas dipercepat dari sediaan
krim pada masing-masing formula meliputi pengamatan organoleptis, pH sediaan,
dan pengukuran viskositas.
-
30
Diagram alir pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar II.1.
Fraksinasi
Metode freeze dry
Gambar II.1. Diagram alir penelitian
Pengumpulan dan penyiapan bahan
Determinasi Tumbuhan Segar
Ekstrak cair Penapisan
Fiokimia
Fraksi etil asetat
Orientasi basis
Penentuan nilai
FPS secara in vitro
Formulasi
Ekstrak cair + kloroform
Sediaan tabir
surya
Evaluasi Sediaan
Ektrak air + etil asetat
Evaporator
Fraksi kering
-
31
BAB III
ALAT DAN BAHAN
3.1. Bahan
Kulit pisang ambon putih [Musa (AAA group)], Tween 80, Span 80, minyak
zaitum, parafin cair, metil paraben, profil paraben, setil alkohol, tokoferol asetat,
Metil sinamat, gliserin, air suling, kloroform p.a, etil asetat, pereaksi Dragendorff,
pereaksi Mayer, HCl, kloroform teknis, etanol 96%, serbuk magnesium, larutan besi
(III) klorida, larutan hidroksida 1 N, eter, asam sulfat pekat.
3.2. Alat
Ultra turax, indikator pH universal, viscometer Brookfield, alat penggiling
(blender), timbangan analitik, oven pengering, lemari pendingin, spatel, gelas ukur,
gelas kimia, rak dan tabung reaksi, pipet tetes, mikro pipet, batang pengaduk,
penangas air, corong pisah, rotary evaporator, kertas saring Whattman, alumunium
foil, cawan porselen, wadah krim, dan spektrofotometer UV-Vis.
-
32
BAB IV
PROSEDUR PENELITIAN
4.1. Pengambilan Sampel Bahan Tanaman
Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah pisang
ambon putih yang akan diperoleh dari Cihanjuang, Lembang. Determinasi
dilakukan di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati,
Institut Teknologi Bandung. Kulit yang digunakan adalah kulit buah pisang
ambon lokal.
4.2. Karakteristik Mutu Kulit Buah Pisang Ambon dan Ekstrak
Karakterikstik mutu kulit buah pisang ambon, ekstrak cair dan fraksi,
dengan cara penentuan kadar abu, penentuan kadar sari larut etanol, penentuan
kadar sari larut air, dan penapisan fitokimia.
4.2.1. Penapisan kadar abu
Timbang simplisia sebanyak 2 gram yang telah digerus,
dimasukkan ke dalam krus silikat yang telah dipijarkan dan ditara, ratakan.
Pijarkan perlahan- lahan hingga arang habis, dinginkan timbang hingga
bobot tetap, timbang. Hitung kadar abu terhadap bahan yang telah
dikeringkan di udara.
Kadar abu total (%) = x 100% .. (4)
(DepKes RI, 2000: 17)
-
33
4.2.2. Penetapan kadar sari larut etanol
Sebanyak 5 gram simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100
mL etanol (95%) menggunakan labu bersumbat sambil berkali-kali
dikocok selama enam jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam
lalu disaring dengan cepat untuk menghindarkan penguapan etanol.
Sebanyak 20 mL filtrat diuapkan hingga kering dalam cawan dangkal
berdasarkan rata yang telah ditara, kemudian sisanya dipanaskan pada
suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar sari larut dalam etanol dinyatakan
dalam persen (%) dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di
udara. Kadar sari larut etanol dihitung dengan rumus:
. (5)
(DepKes RI, 2000:31)
4.2.3. Penetapan kadar sari larut air
Sebanyak 5 gram simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100
mL air dan 10 tetes kloroform menggunakan labu bersumbat sambil
berkali-kali dikocok selama enam jam pertama dan kemudian dibiarkan
selama 18 jam lalu disaring. Sebanyak 20 mL filtrat diuapkan hingga
kering dalam cawan dangkal berdasarkan rata yang telah ditara, kemudian
sisanya dipanaskan pada suhu 105oC hingga bobot tetap. Kadar sari larut
dalam air dinyatakan dalam persen (%), dihitung terhadap bahan yang
telah dikeringkan di udara. Kadar sari larut air dihitung dengan rumus:
-
34
(6)
(DepKes RI, 2000:31)
4.3. Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia meliputi pemeriksaan adanya golongan senyawa
alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, kuinon, steroid dan triterpenoid.
4.3.1. Alkaloid
Sebanyak dua gram serbuk ditambahkan dengan ammonia 25%
kemudian digerus dalam mortar, ditambahkan 20 mL kloroform dan
digerus kuat. Campuran disaring dan filtrat digunakan untuk percobaan
(Larutan A). larutan A diteteskan pada kertas saring dan diberi pereaksi
Dragendorff. Warna jingga yang timbul pada kertas saring menunjukan
alkaloid positif. Sisa larutan A dieksraksi dua kali dengan HCl 10% lalu
lapisan air atau fraksi asamnya dipisahkan (Larutan B). Masing-masing 5
mL larutan B dalam tabung reaksi diuji dengan pereaksi Mayer, hasil
positif bila endapan putih yang terbentuk bertahan selama 15 menit dan
hasil positif pada uji dengan pereaksi Dragendorff bila terbentuk endapan
merah bata yang bertahan selama 15 menit (Depkes RI, 1977: 141)
4.3.2. Flavonoid
Ke dalam 1 g serbuk ditambahakan 100 mL air panas, didihkan
selama 5 menit kemudian disaring, filtrat disebut larutan C. ke dalam 5 mL
larutan C, ditambahakan sedikit serbuk magnesium kemudian secara
perlahan-lahan diteteskan campuran etanol 50% dengan asam klorida (1:1
-
35
v/v), ditambahakan amil alkohol dan dikocok. Larutan dibiarkan memisah.
Warna kuning, jingga atau merah pada lapisan amil alkohol menunjukan
adanya flavonoid (Depkes RI, 1997: 144).
4.3.3. Saponin dan Kuinon
Sebanyak 10 mL larutan C dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
dikocok vertical selama 10 detik, kemudian dibiarkan selama 10 menit.
Terbentuknya busa selama kurang lebih 10 menit dengan ketinggian 1-10
cm maka saponin positif. Busa ditambah dengan HCl 2N beberapa tetes,
apabila busa hilang maka saponin negatif sedangkan jika busa tidak hilang
maka saponin positif. Untuk pengujian kuinon ke dalam 5 mL larutan C
ditambahkan beberapa tetes larutan natrium hidroksida 1 N. Warna merah
menunjukkan adanya kuinon (Depkes RI, 1977: 144).
4.3.4. Polifenol dan Tanin
Sampel digerus dengan air hingga lumat, kemudian dipindahkan ke
dalam tabung reaksi dan didihkan selama beberapa menit. Setelah disaring,
filtrat dibagi dua bagian:
Filtrat 1 : ke dalam filtrat 1 diteteskan FeCl3, terbentuknya warna biru
hingga hitam menunjukkan adanya senyawa polifenol.
Filtrate 2 : ke dalam filtrat 2 teteskan larutan gelatin, lalu diamati
terjadinya endapan dan gumpalan. Adanya golongan senyawa tannin
ditandai dengan terbentuknya warna hitam menandakan bahwa dalam
senyawa tersebut terkandung tanin dan polifenol (Farnsworth, 1966: 264).
-
36
4.3.5. Steroid dan Triterpenoid
Sejumlah satu gram serbuk bahan dimaserasi dengan 20 mL eter
selama 2 jam kemudian disaring. Filtrat sebanyak 5 mL diuapkan dalam
cawan penguap. Kedalam residu ditambahkan dua tetes asam asetat
anhidrat dan satu tetes asam sulfat pekat (pereaksi Libermann Burchard).
Terbentuknya warna biru sampai hijau menunjukan steroid positif. Warna
merah sampai ungu menunjukan triterpenoid positif (Farnsworth, 1966:
259).
4.4. Ekstraksi
Kulit buah pisang ambon yang masih segar dipotong-potong kecil
berbentuk kubus ( 1 cm) dan ditimbang sebanyak 600 gram. Kulit pisang
didihkan dalam 1800 mL aquades selama 5 menit. Campuran kulit pisang dan air
dihomogenasi dengan cara diblender, kemudian dipanaskan pada suhu 90oC
selama 2 jam dalam waterbath sambil sesekali diaduk. Hancurkan kulit pisang
disaring dengan kain saring dan dilanjutkan dengan kertas saring menggunakan
penyaring vakum. Ekstrak air kemudian dipekatkan dengan vacum rotary
evaporator pada suhu 40C sampai volume menjadi 600 mL.
Ekstrak air ditambahkan larutan air kloroform (1:1 v/v), dengan rincian
setiap 100 mL ekstrak air ditambahkan larutan air : kloroform (300 mL), dishaker
selama 30 menit, dituang kedalam labu pemisah dan dikocok, kemudian dibiarkan
hingga terjadi pemisahan. Lapisan atas yang merupakan fase air diambil dan
ditambahkan larutan air etil asetat (1:1 v/v) dengan rincian setiap 100 mL
-
37
ekstrak air, dilarutkan dalam larutan air : etil asetat (300 mL), dishaker selama 30
menit, dituang kedalam labu pemisah. Lapisan atas yang merupakan fase etil
asetat jernih agak berwarna kekuningan kemudian diuapkan pelarutnya dengan
rotary evaporator, dimasukan dalam wadah tertutup (Humairani, 2007),
kemuadian ekstrak dikeringkan dengan Freeze dryer hingga pelarut benar-benar
hilang dan dapat ekstrak berwarna coklat.
4.5. Penentuan Nilai Faktor Pelindung Surya (FPS) secara In Vitro
Penentuan faktor perlindung surya (FPS) dilakukan dengan metode
spektrofotometri, pengukuran serapan pada rentang panjang gelombang antara
290 nm sampai akhir kurva serapan larutan yang diukur. Dari nilai serapan yang
diperoleh, dibuat kurva nilai serapan terhadap panjang gelombang. Kemudian
dihitung luas bawah kurva secara keseluruhan dari kurva tersebut.
Fraksi etil asetat kulit buah pisang ambon dibuat larutan pada konsentrasi
500 ppm, kemudian dilakukan absorbansi pada rentang panjang gelombang 290
nm sampai panjang gelombang yang memberikan nilai serapan 0,05 (akhir dari
kurva serapan), perubahan skala setiap 2,5 nm. Luas bawah kurva (AUC) kurva
serapan dihitung pada setiap 2,5 nm dari panjang gelombang awal (1) sampai
panjang gelombang akhir (n), kemudian semua nilai AUC dijumlahkan sebagai
AUC total. Nilai FPS dihitung menggunakan rumus pada persamaan 1.12.
-
38
4.6. Evaluasi Orientasi Formula Sediaan
Evaluasi orientasi basis krim dilakukan untuk menentukan basis yang terbaik
untuk digunakan pada formulasi sediaan tabir surya. Evaluasi tersebut
diantaranya:
4.6.1. Penentuan HLB butuh
Penentuan HLB butuh dibuat dengan kadar minyak dan HLB yang
berbeda-beda. Minyak yang dipakai adalah minyak zaitun 20% dan parafin
cair 20% dengan pengemulsi yang digunakan adalah Tween 80 Span 80
sebanyak 10%. HLB butuh minyak zaitun dibuat mulai dari 8; 8,5; 9; 9,5
dan 10. Untuk HLB butuh parafin cair dibuat mulai dari 10; 10,5; 11; 11,5
dan 12, kemudian diamati stabilitas fisiknya selama 7 hari.
4.6.2. Uji Setrifugasi
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui perubahan gravitasi terhadap
kestabilan sediaan. Pengujian dilakukan selama 5 jam. Diamati ada
tidaknya pemisahan fasa pada sediaan.
4.6.3. Uji Freeze-thaw
Evaluasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh perubahan suhu
terhadap kestabilan sediaan. Pengujian dilakukan selama 6 siklus. Satu
siklus terdiri dari 48 jam disimpan pada suhu 4 C dan 48 jam pada suhu
40 C. Diamati ada tidaknya pemisahan fasa pada suhu kamar pada akhir
siklus ke-1, 2, 3, 4, 5, dan 6.
-
39
4.7. Formula Sediaan Tabir Surya
Formula sediaan tabir surya dapat dilihat pada Tabel IV.1. formulasi
dipilih dari orientasi basis dengan basis terbaik berdasarkan hasil uji penentuan
HLB butuh dan uji freeze-thaw. Pembuatan sediaan krim tabir surya sama dengan
yang dilakukan pada orientasi basis, namun dilakukan penambahan fraksi kulit
pisang ambon putih dengan konsentrasi sesuai dengan hasil penentuan nilai FPS
secara in vitro.
Tabel IV. 1 Formulasi krim Fraksi kulit buah pisang ambon putih
Keterangan: M1 = krim dengan basis minyak zaitun
P1 = krim dengan basis parafin cair
4.8. Evaluasi Sediaan Krim Tabir Surya
Evaluasi sediaan krim tabir surya yang dilakukan yaitu uji stabilitas
dipercepat pada sediaan yang baru dibuat, pengukuran dilakukan pada hari ke-1,
7, 14, 21, dan 28 hari pada sediaan yang disimpan pada suhu 40C. pengukuran
yang harus dilakukan diantaranya evaluasi organoleptis,viskositas, dan pH.
M1 P1
Fraksi kulit buah pisang ambon 1 1
Tween 80 4,39 5,3
Span 80 5,61 4,7
Minyak zaitun 20 -
Parafin cair - 20
Setil alkohol 8 10
Metil paraben 0,18 0,18
Propil paraben 0,02 0,02
gliserin 10 10
Tokoferol asetat 0,05 0,05
Aquades Ad.100 Ad. 100
BahanFormula (% b/b)
-
40
4.8.1. Evaluasi organoleptik
Pengamatan organoleptik terhadap sediaan krim dilakukan selama
masa penelitian meliputi bau , warna, dan penampilan sediaan.
4.8.2. Evaluasi pH sediaan
Sediaan yang memiliki kestabilan fisik yang baik diukur pH-nya
dengan indukator pH universal setiap selang waktu satu minggu.
4.8.3. Evaluasi viskositas
Sediaan diukur viskositasnya menggunakan alat viskometer.
Sampel dimasukkan ke dalam wadah dengan volume 100 mL. Spindel
yang sesuai dimasukkan ke dalam sediaan hingga tanda batas. Motor
dinyalakan dan spindle dibiarkan berputar. Setelah penunjuk skala
menunjukkan angka yang tetap, pengukuran dianggap selesai. Pengukuran
viskositas dilakukan setiap selang waktu satu minggu.
-
41
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas tabir surya dari fraksi etil
asetat kulit pisang ambon putih dan mendapatkan formula sediaan krim tabir surya
yang memenuhi persyaratan farmasetika. Penelitian ini meliputi pengumpulan
bahan dan determinasi tanaman, penentuan parameter standar simplisia kulit buah
pisang ambon, pembuatan ekstrak tanaman, penapisan fitokimia, penentuan nilai
faktor pelindung surya (FPS) secara in vitro, orientasi formula sediaan krim tabir
surya dan pembuatan sediaan dari fraksi etil asetat kulit pisang ambon putih
dilanjutkan dengan evaluasi sediaan krim pada penyimpanan selama 28 hari.
Kulit pisang ambon putih yang digunakan diperoleh dari daerah
Cihanjuang, Lembang. Tahap determinasi dilakukan untuk mengetahui kebenaran
identitas botani tumbuhan yang digunakan dalam penelitian. Determinasi
dilakukan di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut
Teknologi Bandung. Hasil dari determinasi menyatakan bahwa tumbuhan yang
digunakan dalam penelitian adalah benar buah pisang ambon putih [Musa (AAA
group)]. Hasil determinasi dapat dilihat pada (Lampiran 1).
Selanjutnya dilakukan penetapan parameter standar yang bertujuan untuk
mengetahui karakteristik bahan simplisia yang digunakan. Parameter standar yang
diuji meliputi penetapan kadar abu dan kadar sari. Penetapan kadar abu ditentukan
untuk mengetahui senyawa anorganik yang terkandung dalam kulit buah pisang
ambon putih. Kadar abu total menggambarkan kandungan senyawa anorganik
-
42
total dari sampel, sedangkan kadar abu tidak larut asam menggambarkan
kandungan senyawa anorganik non fisiologis (cemaran lingkungan) (Depkes RI,
2000: 7). Kadar sari dilakukan untuk menentukan jumlah senyawa aktif yang
terekstraksi pada pelarut dari sejumlah simplisia. Pelarut yang digunakan yaitu air
dan etanol. Data hasil parameter standar dapat dilihat pada Table V.1
Tabel V.1 Hasil parameter standar kulit pisang ambon putih
Proses ekstraksi dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Humairani pada tahun 2007. Proses ekstraksi dilakukan dengan cara direbus
selama 5 menit. Perebusan ini dimaksudkan untuk menginaktifkan enzim
polifenoloksidase yang dapat menyebabkan komponen polifenol pada kulit pisang
mengalami kerusakan. Enzim ini dapat mengkatalisis terjadinya oksidasi fenol
sehingga menghasilkan quinone yang sangat aktif yang dapat bereaksi dengan
gugus amino dan sulfihidril pada protein dan enzim sehingga merubah
karakteristik fisik, kimia dan nutrisi protein dan juga sifat sensori pangan serta
menyebabkan terjadinya pencoklatan (Shahidi dan Naczk, 1995).
Setelah dilakukan perebusan, kulit pisang beserta air rebusan diblender
hingga hancur agar permukaan bahan lebih luas sehingga lebih mempermudah
kerja pelarut selama proses ekstraksi. Kemudian kulit pisang yang telah diblender
bersama air rebusan diekstrak dengan cara dipanaskan selama dua jam pada suhu
Parameter Hasil % Literatur % (MMI, 1977)
Kadar Abu Total 9.55 10
Kadar Abu Tidak Larut Asam 1.15 10
Kadar Sari Larut Air 5,312 - 6,72 -
Kadar Sari Larut Etanol 5,988 - 8,594 -
-
43
90C. Dengan cara ini, komponen-komponen antioksidan yang pada umumnya
bersifat larut air dapat terekstrak dari kulit pisang.
Setelah proses ekstraksi dengan pelarut air, ekstrak disaring untuk
memisahkan air dengan serat pisang. Penyaringan dilakukan dua tahap dengan
tujuan mempermudah penyaringan ekstrak yang banyak mengandung serat,
penyaringan pertama menggunakan kain saring kemudian dilanjutkan penyaringan
dengan kertas whatman no. 1. Hal ini dilakukan agar pori-pori kertas saring tidak
tersumbat dengan adanya getah dan pati yang menggumpal karena panas.
Diketahui bahwa pisang mengandung karbohidrat yang cukup tinggi. Pada pisang
yang belum matang, konsentrasi pati yang tinggi akan berkurang seiring dengan
kematangan buah (Turner, 2001: 76).
Ekstrak air kemudian dilarutkan dalam pelarut air-kloroform (1:1 v/v), dan
diekstraksi cair-cair dengan cara dikocok kemudian dipisahkan pada labu
pemisah. Fraksi kloroform bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa
lemak yang masih terbawa pada ekstrak air. Fase air yang dari fraksi kloroform
kemudian diambil dan diekstrak cair-cair lagi dengan pelarut air-etil asetat (1:1
v/v). Fraksi etil asetat kemudian diambil untuk diuapkan dengan rotary
evaporator dan dikeringkan dengan metode kering beku. Fraksinasi dengan etil
asetat dimaksudkan untuk memperoleh flavon, flavonol, leukoantosianin dan
beberapa polimer rendah (Ranganna, 1978). Dari hasil fraksi yang telah
dikeringkan dapat dihitung rendemen fraksi, rendemen yang diperoleh adalah
1,059%. Perhitungan rendemen fraksi dapat dilihat pada Lampiran 3.
-
44
Setelah melakukan fraksinasi, dilanjutkan dengan penapisan fitokimia
pada ekstrak cair dan fraksi etil asetat kulit buah pisang ambon putih. Penapisan
bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa kimia yang terkandung dalam
kulit buah dan ekstrak tersebut. Hasil penapisan fitokimia dapat dilihat pada
Tabel V.2 berikut:
Tabel V.2 Hasil Penapisan Fitokimia Ekstrak dan Fraksi Etil Asetat Kulit Pisang Ambon Putih
Keterangan : ( - ) = tidak terdeteksi
( + ) = terdeteksi
Golongan senyawa antioksidan yang terdapat dalam kulit buah pisang yaitu
flavonoid. Menurut Kanazawa dan Sakakibara (2000), jenis flavonoid yang
teridentifikasi adalah naringenin atau rutin, serta menurut Someya (2002), terdapat
katekin, galokatekin dan epikatekin.
Setelah mendapatkan serbuk fraksi etil asetat kemudian dilakukan
penentuan aktivitas tabir surya secara in vitro. Senyawa yang memiliki aktifitas
tabir surya dengan mekanisme mengabsorpsi sinar UV pada rentang panjang
gelombang sinar ultraviolet, yaitu 290-320 nm ditentukan nilai FPSnya dengan
metode spektrofotometri. Pengujian dilakukan dengan mengukur absorbansi fraksi
etil asetat pada konsentrasi 500 ppm dengan pembanding menggunakan Metil
Golongan Senyawa Kimia Ekstrak Cair Fraksi Etil Asetat
Alkaloid + +
Polifenolat + +
Flavonoid + +
Sapoin - -
Kuinon + +
Tanin + -
Monoterpen dan Seskuiterpen + +
Triterpenoid dan Steroid - -
-
45
sinamat 10 ppm. Metil sinamat merupakan senyawa turunan sinamat yang dapat
digunakan sebagai penyusun sediaan tabir surya yang mampu menyerap radiasi
sinar UV pada panjang gelombang 240-320 nm dengan konsentrasi yang relatif
rendah. Hal ini dibuktikan pada konsentrasi 10 ppm menghasilkan nilai FPS yang
tinggi. Perhitungan nilai FPS dapat dilihat pada Lampiran 4. Nilai FPS untuk
masing-masing sampel dapat dilihat pada Tabel V.3.
Tabel V.3 Nilai FPS fraksi etil asetat kulit pisang ambon putih dan metil sinamat
Dari hasil tabel diatas pengukuran nilai FPS pada sampel fraksi kulit pisang
diperoleh konsentrasi yang berbeda tetapi nilai FPS yang didapat tidak berbeda
jauh. Nilai FPS pada fraksi kulit pisang yang sangat rendah dibandingkan dengan
pembanding metil sinamat karena tingkat kemurnian sampel. Dari hasil tersebut
untuk mendapatkan nilai FPS yang tinggi dari fraksi kulit pisang ambon putih
harus menggunakan konsentrasi yang tinggi.
Sebelum dilakukan formulasi sediaan krim tabir surya sebaiknya
dilakukan optimasi basis terlebih dahulu untuk mendapatkan formula yang tepat
dan sediaan yang stabil. Dalam formulasi krim dibutuhkan pemilihan surfaktan
dan peningkat viskositas yang tepat. Pemilihan surfaktan merupakan faktor yang
penting untuk diperhatikan karena mutu dan kestabilan suatu emulsi banyak
dipengaruhi oleh surfaktan yang digunakan. Pada penelitian ini minyak yang
digunakan yaitu, minyak zaitun dan parafin cair. Digunakan kombinasi surfaktan
HLB rendah dan HLB tinggi agar diperoleh HLB yang mendekati HLB butuh
Sampel Konsentrasi (ppm) FPS
Metil sinamat 10 37,242 15,5020
Ekstrak kulit pisang 500 46,020 12,2318
-
46
minyak digunakan. Kombinasi surfaktan yang digunakan adalah tween 80 (HLB
15) dan span 80 (HLB 4,3). Hasil uji nilai HBL butuh dapat dilihat pada Tabel
V.4 dan Tabel V.5.
Tabel V.4 Orientasi nilai HLB butuh minyak zaitun
Tabel V.5 Orientasi nilai HLB butuh parafin cair
Keterangan:
: HLB butuh minyak zaitun dan parafin cair
Setelah penentuan HLB butuh dilakuan uji sentrifugasi. Hasil uji
sentrifugasi dapat dilihat pada Tabel V. 6 dan Tabel V.7
Tabel V.6 Uji sentrifugasi
HLB 8 HLB 8,5 HLB 9 HLB 9,5 HLB 10
Minyak Zaitun 20 20 20 20 20
Tween 80 3,45 4,39 4,39 4,85 5,3
Span 80 6,54 6,07 5,61 5,14 4,7
Setil Alkholol 8 8 8 8 8
Aquadest Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100
KomposisiKonsentrasi %
HLB 10 HLB 10,5 HLB 11 HLB 11,5 HLB 12
Parafin Cair 20 20 20 20 20
Tween 80 5,3 5,79 6,26 3,5 7,19
Span 80 4,7 4,21 3,73 7,2 4,67
Setil Alkholol 10 10 10 10 10
Aquadest Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100 Ad. 100
KomposisiKonsentrasi %
HLB Minyak Zaitun Jam ke-5
HLB 8 +++
HLB 8.5 ++
HLB 9 -
HLB 9.5 +
HLB 10 +++
-
47
Tabel V.7 Uji sentrifugasi
Keterangan: = HLB butuh yang stabil = HLB butuh yang stabil (-) = tidak terjadi pemisahan (+) = sedikit memisah
(++) = memisah
(+++) = sangat memisah
Hasil uji sentrifugasi kelima HLB butuh minyak zaitun dan parafin cair ini
menunjukkan bahwa emulsi dengan HLB butuh minyak zaitun 9 merupakan
emulsi yang stabil dan HLB butuh parafin cair adalah 10 karena tidak terjadi
pemisahan pada emulsi. Uji sentrifugasi merupakan penetapan hukum Stokes
dimana gaya gravitasi akan mengakibatkan peningkatan laju pengendapan. Gaya
gravitasi yang ditingkatkan melalui cara sentrifugasi mengakibatkan peningkatan
laju creaming. HLB butuh minyak zaitun 9 dan HLB butuh parafin cair 10
membentuk tipe emulsi minyak dalam air karena tipe emulsi minyak dalam air
mempunyai harga HLB 8 sampai 18 (Ansel, 1989).
Untuk melihat kestabilan basis terhadap perubahan suhu ekstrim,
dilakukan evaluasi freeze thaw pada suhu 4 C dan 40 C selama 6 siklus terhadap
basis minyak zaitun HLB 9 dan basis parafin cair HLB 10. Hasil menunjukkan
sediaan stabil hingga akhir siklus ke-6, sehingga pengaruh perubahan suhu
ekstrim tidak mempengaruhi kestabilan basis emulsi. Proses freeze-thaw dapat
berhasil tergantung dari kemampuan krim untuk segera pulih dari tekanan air
kristal. Pada proses freeze, terbentuk kristal yang memiliki struktur lebih teratur
HLB Parafin Cair Jam ke-5
HLB 10 -
HLB 10,5 +
HLB 11 ++
HLB 11,5 +++
HLB 12 +++
-
48
dan rapat sehingga tidak dapat mengalu. Pada proses thaw, kristal akan mencair
dan air akan kembali menyebar pada sistem. Jika kecepatan pemulihan dari krim
lambat maka dapat terjadi ketidakstabilan (Joshita, 1998).
Tahap selanjutnya adalah pembuatan sediaan krim tabir surya yang
mengandung fraksi etil asetat dengan menggunakan formula basis krim terpilih.
Penentuan jumlah fraksi etil asetat yang digunakan dalam formula berdasarkan
hasil uji nilai FPS dan estetika yang sesuai. Berdasarkan hasil uji tersebut nilai
FPS 46,020 didapat pada konsentrasi fraksi etil asetat 500 ppm, sehingga pada
sediaan dibuat sebanyak 20 kali lipat konsentrasi yang digunakan pada uji FPS,
yaitu 1%. Formula dapat dilihat pada Tabel V.8
Tabel V.8 Formulasi sediaan krim tabir surya fraksi etil asetat kulit pisang ambon putih
Keterangan: M1 = Formula dengan basis minyak zatiun P1 = Formula dengan basis parifin cair
Fraksi kulit buah pisang ambon dalam formula merupakan zat aktif yang memiliki
efek antioksidan. Tween 80 dan span 80 sebagai emulgator, minyak zaitun dan
M1 P1
Fraksi kulit buah pisang ambon 1 1
Tween 80 4,39 5,3
Span 80 5,61 4,7
Minyak zaitun 20 -
Parafin cair - 20
Setil alkohol 8 10
Metil paraben 0,18 0,18
Propil paraben 0,02 0,02
gliserin 10 10
Tokoferol asetat 0,05 0,05
Aquades Ad.100 Ad. 100
BahanFormula (% b/b)
-
49
parafin cair sebagai fase minyak, setil alkohol sebagai peningkat viskositas yang
dapat memperbaiki konsentrasi sediaan krim yang dibuat. Metil paraben dan
propil paraben digunakan sebagai pengawet, dimana metil paraben memiliki
aktivitas lebih pada kelompok jamur sedangkan propil paraben lebih untuk
kelompok bakteri, sehingga kombinasi keduanya memberikan perlindungan
terhadap kedua kelompok mikroorganisme tersebut. Tokoferol sebagai
antioksidan untuk mencegah terjadinya reaksi oksidasi pada fasa minyak yang
dapat menimbulkan adanya ketengikan. Gliserin digunakan sebagai humektan
yang berfungsi untuk melembabkan kulit.
Setelah membuat sediaan krim tabir surya kemudian dilakukan evaluasi
stabilitas terhadap sediaan tersebut. Evaluasi yang dilakukan untuk melihat
stabilitas sediaan adalah uji stabilitas dipercepat. Uji ini dilakukan dengan cara
menyimpan sediaan pada suhu 40C selama 28 hari. Sediaan uji dievaluasi
meliputi organoleptik, pH, dan viskositas pada hari ke- 1, 7, 14, 21, dan 28.
Evaluasi organoleptik dilakukan untuk mengamati adanya ketidakstabilan sediaan
secara visual yang ditandai dengan perubahan warna, bau, dan penampilan. Hasil
evaluasi dapat dilihat pada Tabel V.9
Tabel V.9 Hasil evaluasi organoleptis formula M1
1 7 14 21 28
Bau Khas Khas Khas Khas Khas
Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat
Penampilan Homogen Homogen Homogen Homogen Homogen
Hari ke M1
-
50
Tabel V.10 Hasil evaluasi organoleptis formula P1
Keterangan : : pemisahan dua fase
Berdasarkan Tabel V.9 diperoleh hasil pengujian organoleptik sediaan
krim tabir surya formula M1 dari hari ke-1 sampai hari ke-28 menunjukan sediaan
yang stabil dan tetap homogen. Sedangkan pada sediaan krim tabir surya formula
P1 dari hari ke-1 sampai hari ke-14 menunjukan sediaan yang stabil dan homogen,
namun pada pengujian hari ke-21 sedian krim tabir surya mengalami pemisahan
dua fasa (tidak homogen). Pemisahan ini semakin meningkat seiring dengan
bertambahnya waktu penyimpanan sediaan. Hal ini disebabkan karena
ketidakstabilan emulsi yang disebabkan oleh migrasi emulgator ke fase kontinyu
air eksternal sehingga menyebabkan pecahnya tetesan air dalam. Air kemudian
bermigrasi ke fase kontinyu air sehingga menyebabkan pemisahan fase dan
kerusakan emulsi tersebut. Semakin lama waktu penyimpanan, kerusakan emulsi
semakin meningkat.
Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH indikator universal dapat
dilihat pada Tabel V.11 berikut:
Tabel V.11 Hasil Pengukuran pH
1 7 14 21 28
Bau Khas Khas Khas Khas Khas
Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat
Penampilan Homogen Homogen Homogen Tidak Homogen Tidak Homogen
P1Hari ke
M1 P1
1 5 5
7 5 5
14 5 5
21 5 5
28 5 5
HaripH
-
51
Berdasarkan Tabel V.11 sediaan krim tabir surya yang telah dibuat
memiliki pH yang stabil yaitu 5. pH ini masih berada dalam rentang pH yang
diperbolehkan untuk digunakan pada kulit karena kulit manusia memiliki pH
fisiologis berkisar antara 4,5 sampai 6,5. Jika terlalu asam akan menyebabkan
iritasi pada kulit, dan jika terlalu basa akan menyebabkan gatal-gatal pada kulit
dan kulit menjadi bersisik. Karena itu seharusnya pH kosmetik diusahakan sama
atau sedekat mungkin dengan pH fisiologis kulit yaitu antara 4,5 6,5 demikian
dapat disebut sediaan dengan pH balanced (Tranggono, 2007: 78).
Selanjutnya dilakukan evaluasi viskositas sediaan, Evaluasi viskositas
dilakukan untuk mengetahui konsistensi krim dan kestabilan sediaan terhadap
penyimpanan pada suhu tinggi. Hasil evaluasi dapat dilihat pada Tabel V.12
berikut:
Tabel V.12 Hasil evaluasi viskositas sediaan
Berdasarkan hasil uji statistika, diketahui bahwa terdapat perbedaan
bermakna antara nilai viskositas awal dan viskositas akhir dalam sediaan dapat
dilihat pada (Lampiran 8). Viskositas semakin menurun seiring dengan lama
penyimpanan, hal ini disebabkan karena penurunan viskositas berhubungan
dengan pemisahan fase. Pemisahan emulsi secara sempurna terjadi karena
M1 P1
1 3400 2193.171 3216.67 1075.097
7 3433.33 680.685 2833.3 1154.701
14 3633.33 550.757 2833.3 2179.449
21 4090 332.916 2600 1012.834
28 3666.67 288.675 2350 360.555
Viskositas cPHari ke-
-
52
pembentukan tetesan yang lebih besar dengan penggabungan dari tetesan yang
kecil.
Beberapa dari pelarut dapat lepas, sehingga menyebabkan penurunan
konsentrasi efektif dan penurunan ukuran molekul-molekul yang terdispersi. Hal
tersebut dapat menyebabkan penurunan viskositas emulsi. Sedangkan viskositas
menjadi naik akibat terjadinya ikatan Van der waals antar molekul emulsi seiring
bertambahnya waktu penyimpanan. Viskositas dapat mempengaruhi stabilitas
fisik jika terjadi perubahan yang drastis. Jika fase dispersi kurang rapat
dibandingkan fase kontinyu menyebabkan creaming ke atas (Martin, 1993), yang
berarti jika viskositas turun maka molekul-molekul pada sediaan (fase dispersi)
menjadi kurang rapat dan dapat menurunkan stabilitas fisiknya karena bisa
menyebabkan molekul-molekul ataupun globul emuls
top related