peran hutan rakyat dalam mitigasi perubahan iklim sektor ... · pertanyaan penting yang ingin...
Post on 08-Jan-2020
16 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Peran Hutan Rakyat dalam Mitigasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan
Makalah pada Alih Teknologi Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan
Yanto Rochmayanto
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebiijakan
Semarang, 26 September 2012
1 | P a g e
PERAN HUTAN RAKYAT DALAM MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN
A. PENDAHULUAN
Perubahan iklim global yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan karena terganggunya
keseimbangan energy antara bumi dan atmosfir. Keseimbangan tersebut dipengaruhi antara
lain oleh peningkatan gas rumah kaca (GRK) seperti karbon dioksida (CO ), metana (CH )
dan nitrous oksida (NO). Saat ini konsentrasi GRK sudah mencapai tingkat yang
membahayakan iklim bumi dan keseimbangan ekosistem. Konsentrasi GRK di atmosfer
meningkat sebagai akibat adanya pengelolaan lahan yang kurang tepat, antara lain adanya
pembakaran vegetasi hutan dalam skala luas pada waktu yang bersamaan dan adanya
pengeringan lahan gambut. Kebakaran hutan dan lahan serta gangguan lahan lainnya telah
menempatkan Indonesia dalam urutan ketiga Negara penghasil emisi CO terbesar di dunia
(Hairiyah dan Rahayu, 2007).
Menindaklanjuti komitmen Presiden dalam penurunan emisi, pemerintah telah
menerbitkan Perpres No 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca sebagai dokumen kerja yang berisi upaya-upaya untuk menurunkan emisi
gas rumah kaca di Indonesia. Dari semua sektor terkait, kehutanan mendapatkan porsi
terbesar. Tanggung jawab Kementerian Kehutanan dalam penurunan emisi meliputi
kelompok bidang kehutanan dan lahan gambut (Pustanling, 2011). Rencana Aksi bidang
tersebut diarahkan kepada : pengendalian kebakaran hutan dan lahan, pengelolaan
sistem jaringan dan tata air, rehabilitasi hutan dan lahan, pembangunan Hutan
Tanaman Industri (HTI), pembangunan Hutan Rakyat (HR), pemberantasan illegal
logging, pencegahan deforestasi, dan pemberdayaan masyarakat.
Sebagai salah satu aktivitas dalam rencana aksi, HR diharapkan mampu memberi
kontribusi dalam penurunan gas rumah kaca nasional secara signifikan. Namun demikian
fungsi hutan rakyat dalam konteks mitigasi perubahan iklim belum banyak difahami oleh
berbagai pihak. Selama ini HR baru difahami fungsinya secara konvensional dalam hal
pemasok kebutuhan kayu domestik dan perbaikan kualitas lingkungan dalam arti sempit,
disamping berfungsi bagi peningkatan pendapatan petani. Dengan demikian Irawan (2010)
menilai penting adanya program-program yang bervariasi untuk meningkatkan pengetahuan
petani dalam memahami mitigasi perubahan iklim yang kompleks.
Alih teknologi ini merupakan sarana yang tepat untuk berbagi informasi dan
pengetahuan terkait hutan rakyat dalam kaitannya dengan mitigasi perubahan iklim.
Pertanyaan penting yang ingin dijawab dari makalah ini adalah bagaimana peran hutan
rakyat dalam mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan, serta potensi benefit apa yang
2 | P a g e
dapat diterima oleh pelaku hutan rakyat terkait fungsi mitigasi perubahan iklim sektor
kehutanan. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang: (1)
peran HR dalam mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan, dan (2) potensi manfaat HR
terkait fungsi mitigasi perubahan iklim.
B. KEBIJAKAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM SEKTOR KEHUTANAN
Inisiatif terkait perubahan iklim telah dimulai pada beberapa tahun terakhir dan
menjadi pola pengarus utamaan dalam pembangunan nasional. Beberapa catatan sejak
tahun 1997 sampai dengan sekarang adalah sebagai berikut.
Tabel 1. Inisiatif terkait perubahan iklim di Indonesia
Tahun Uraian
2007 COP-13 di Bali, Rencana Aksi Nasional menghadapi Perubahan Iklim (RAN – PI) National Response to Climate Change (Yellow Book) → 2007 – 2009
2009 Technology Needs Assessment (TNA) Presiden mengumumkan target mitigasi (-26% /-41%) Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF)
2010 Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) Indonesian Second National Communication (SNC)
2011 Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Inventory Emisi Gas Rumah Kaca
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang RAN GRK, tanggung
jawab Kementerian Kehutanan dalam penurunan emisi GRK berada dalam kelompok bidang
kehutanan dan lahan gambut (Tabel 2). Rencana aksi yang akan dilakukan terbagi ke dalam
dua kategori, yaitu kegiatan inti dan kegiatan pendukung (Pustanling, 2011). Kegiatan inti
penurunan emisi GRK sektor kehutanan tahun 2010-2014 disajikan pada Tabel 3,
Sedangkan untuk kegiatan pendukung akan meliputi pengendalian penggunaan kawasan
hutan diluar kehutanan, inventarisasi dan pemantauan sumber daya hutan, serta penelitian
dan pengembangan kebijakan perubahan iklim kehutanan.
3 | P a g e
Tabel 2. Rencana Aksi Penurunan Gas Rumah Kaca Nasional Secara Sektoral
Sektor
Kebijakan Penurunan Emisi (Giga ton CO2e)
Rencana Aksi K/L Pelaksana 26%
15% Total (41%)
Kehutanan dan Lahan Gambut
0.672 0.367 1.039 Pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Pengelolaan sistem jaringan dan tata air, RHL, HTI, HR, Pemberantasan illegal logging, Pencegahan deforestasi, Pemberdayaan masyarakat.
Kemnehut, KLH, Kepmen.PU. Kementan
Limbah 0.048 0.030 0.078 Pengelolaan sampah dengan 3R dan Pengelolaan limbah terpadu di perkotaan
Kemen.PU, KLH
Pertanian 0.008 0.003 0.011 Introduksi varitas padi rendah emisi, Efisiensi air irigasi, Penggunaan pupuk organik
Kementan, KLH
Industri 0.001 0.004 0.005 Efisiensi energi, Penggunaan energi terbarukan, dll
Kemenperin
Energi dan Transpor-tasi
0.038 0.018 0.056 Penggunaan biofuel, Mesin dengan standar efisiensi BBM tinggi, Memperbaiki TDM, Kualitas transportasi umum dan jalan, Demand Side Management, Efisiensi Energi, Pengembangan energi terbarukan
Kemenhub, Kemen.ESDM, Kemen.PU
Total 0.767 0.422 1.189
Tabel 3. Kegiatan inti penurunan emisi GRK sektor kehutanan tahun 2010-2014
No. Kegiatan Indikasi/target
penurunan emisi
1 Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) 31,15 juta ton CO2
2 Perencanaan pemanfaatan dan peningkatan usaha kawasan hutan
24,32 juta ton CO2
3 Pengembangan pemanfaatan jasa lingkungan 3,6 juta ton CO2
4 Pengukuhan kawasan hutan 123,41 juta ton CO2.
5 Penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan di DAS prioritas
91,75 juta ton CO2.
6 Pengembangan perhutanan social 100,93 juta ton CO2
7 Pengendalian kebakaran hutan 21,77 juta ton CO2
8 Penyidikan dan pengamanan hutan 2,30 juta ton CO2
9 Pengembangan kawasan konservasi, ekosistem esensial dan pembinaan hutan lindung
91,27 juta ton CO2
10 Peningkatan usaha hutan tanaman 110,10 juta ton CO2
Sumber : Pustanling (2011)
4 | P a g e
Rencana aksi tersebut juga didukung oleh beberapa regulasi pemerintah, antara lain:
- UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: bahwa
Pemerintah, Pemerintah Propinsi, Kabupaten/Kota melakukan inventarisasi emisi GRK
(pasal 63).
- Instruksi Presiden No. 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara
Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia.
Dalam Inpres ini Presiden memerintahkan kepada 12 kementerian, Kejaksaan,
Kepolisian Republik Indonesia, TNI, dan pimpinan pemerintahan daerah untuk
melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan
hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia.
- Instruksi Presiden Nomor 2/2007 tentang Revitalisasi dan Rehabilitasi Lahan Gambut
Berkelanjutan
- Kepres No. 25 tahun 2011 tentang Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+
- Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan
Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan.
- Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan
Usaha Pemanfaatan Penyererapan dan/atau Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi
dan Hutan Lindung.
- Peraturan Presiden RI No. 71 tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas
Rumah Kaca Nasional.
- Peraturan Menteri Kehutanan No. P.20/Menhut-II/2012 tentang Penyelenggaraan
Karbon Hutan.
- SNI No. 7724:2011 tentang pengukuran dan penghitungan cadangan karbon –
pengukuran lapangan untuk penaksiran cadangan karbon hutan.
- SNI No. 7725 : 2011 tentang penyusunan persamaan alometrik untuk mendukung
penaksiran cadangan karbon hutan berdasarkan pengukuran lapangan.
C. PERAN HUTAN RAKYAT
1. Fungsi HR dalam Siklus Karbon
Pepohonan secara alami merupakan media penyimpan karbon (C) dalam bentuk
padat, disamping tumbuhan bawah dan seresah di permukaan tanah. Tumbuhan
memerlukan sinar matahari, gas asam arang (CO2) yang diserap dari udara serta air dan
hara yang diserap dari dalam tanah untuk kelangsungan hidupnya. Melalui proses
fotosintesis, CO2 di udara diserap oleh tanaman dan diubah menjadi karbohidrat, kemudian
disebarkan ke seluruh tubuh tanaman dan akhirnya ditimbun dalam tubuh tanaman berupa
5 | P a g e
daun, batang, ranting, bunga dan buah. Proses penimbunan C dalam tubuh tanaman hidup
dinamakan proses sekuestrasi (C- sequestration). Dengan demikian mengukur jumlah C
yang disimpan dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) pada suatu lahan dapat
menggambarkan banyaknya CO2 di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Sedangkan
pengukuran C yang masih tersimpan dalam bagian tumbuhan yang telah mati (nekromasa)
secara tidak langsung menggambarkan CO2 yang tidak dilepaskan ke udara lewat
pembakaran (Gambar 1).
Siklus C di tingkat
lahan
Carbonate &
bicarbonates
CO2
CO2
CO2
CO2
CO2Pangan
Fotosintesis
CO2
Microbia
Seresah
Macro fauna
HumusPencucian
Pelepasan
hara
Reaksi
tanah
Permukaan
tanah
CO2
Pelepasan
hara
Gambar 1. Siklus karbon di tingkat lahan (Sumber : Hairiyah, 2008)
Tanaman atau pohon berumur panjang yang tumbuh di hutan maupun di kebun
campuran (agroforestri) merupakan tempat penimbunan atau penyimpanan C (rosot C = C
sink) yang jauh lebih besar dari pada tanaman semusim. Oleh karena itu, hutan alami
dengan keragaman jenis pepohonan berumur panjang dan seresah yang banyak
merupakan gudang penyimpan C tertinggi (baik di atas maupun di dalam tanah). Hutan juga
melepaskan CO2 ke udara lewat respirasi dan dekomposisi (pelapukan) seresah, namun
pelepasannya terjadi secara bertahap, tidak sebesar bila ada pembakaran yang melepaskan
CO2 sekaligus dalam jumlah yang besar. Bila hutan diubah fungsinya menjadi lahan-lahan
pertanian atau perkebunan atau ladang penggembalaan maka jumlah C tersimpan akan
merosot.
Berkenaan dengan upaya pengembangan lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di
udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan jumlah serapan CO2 oleh tanaman
sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke udara serendah mungkin. Jadi,
mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan pada lahan-lahan pertanian
dan melindungi hutan sangat penting untuk mengurangi jumlah CO2 yang berlebihan di
udara. Jumlah ‘C tersimpan’ dalam setiap penggunaan lahan tanaman, seresah dan tanah,
biasanya disebut juga sebagai ‘cadangan C (Hairiyah dan Rahayu, 2007).
6 | P a g e
2. HR Sebagai Cadangan Karbon
Sehubungan dengan fungsi pepohonan dalam menangkap karbon, maka HR dapat
berfungsi sebagai cadangan karbon terestris yang besar. Secara bersama-sama tegakan
HR memiliki kapasitas simpanan karbon yang besarnya tergantung pada jenis, kompisisi
dan umur tanaman. Beberapa hasil penelitian tentang besarnya kapasitas simpanan karbon
di HR disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4. Kapasitas simpanan karbon beberapa jenis tanaman HR
No. Jenis Kandungan C
(ton/ha) Keterangan
1 Mahoni (Swietinia macrophyla)
64,1 – 166,6 Hutan tanaman mahoni umur 16-20 tahun di Benakat, Sumatera Selatan
2 Schima walichii 74,4 Hutan tanaman S. Walichii umur 25 tahun di Stasiun Penelitian Hutan Tanjungan, Lampung
3 Sengon (Parasherienthes falcataria)
112,8 – 122,7 Hutan tanaman sengon umur 8-18 tahun di Jawa Timur dan Jawa Barat
4 Jati (Tectona grandis)
5,41 (umur 1 thn) 41,12 (umur 10 thn) 61,53 (umur 20 thn)
Lokasi Cepu, Jawa Tengah
5 Jati 49 HR Desa Dengok, Kec. Playen, Gunung Kidul
6 Kayu afrika (tanaman pokok)
15,56 – 194,97 Umur tanaman 7,5 thn. HR Desa Karyasari, Kab. Bogor.
7 Cempaka (Ermerriilia ovalis) dan Wasian (E. celebica)
Cempaka = 42,38 Wasian = 33,45
Lokasi Masarang Blok 1, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara.
8 Agroforestry 21,31 (umur 15 thn) 80,78 (umur 40 thn)
Agroforestry Desa Karacak, Leuwiliang, Bogor.
Sumber : Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan (2010)
Dalam skala yang lebih luas, BPKH Wilayah XI (2009) telah melakukan perhitungan
kandungan karbon HR di Jawa-Madura. Hasil perhitungannya menunjukkan bahwa taksiran
karbon Hutan rakyat di Pulau Jawa total adalah 26.126.646,56 – 55.158.570,84 ton atau
total taksiran rata‐rata potensi karbon adalah 40.724.689,17 ton pada luasan 2,6 juta Ha.
taksiran tersebut berlaku untuk tegakan kayunya saja (above ground biomasss) belum
termasuk taksiran karbon dengan akar, tanaman semusim, anakan/permudaan dan tanah.
Sebarannya berdasarkan wilayah provinsi menunjukkan proporsi 35% di Jawa Tengah, 30%
di Jawa barat, 20% di Jawa Timur, dan sisanya 15% dan 2% untuk Banten dan DIY.
7 | P a g e
Gambar 2. Distribusi karbon HR di wilayah Jawa-Madura
Berdasarkan studi tersebut perubahan luasan pada lahan hutan rakyat di
Jawa‐Madura dalam sajian per provinsi diketahui bahwa dalam periode 1990‐2000‐2008
Provinsi Banten memiliki kecenderungan penurunan kuantitas kelas penutupan lahan. Hal
ini dimungkinkan bahwa Provinsi Banten dekat dengan pusat pertumbuhan yaitu Ibukota
DKI Jakarta sehingga proses konversi lahan sangat tinggi. Apabila tidak ada
langkah‐langkah penanganan untuk mengelola areal hutan rakyat yang tersedia maka
kelangsungan model penutupan areal hutan rakyat di Provinsi Banten akan semakin turun
dan terancam. Provinsi Jawa Barat mengalami peningkatan yang signifikan dari periode
1990‐1993 meningkat pesat pada periode analisis tahun 2000‐2003 dan menurun pada
periode 2006‐2008. Peningkatan pesat terjadi pada kelas‐kelas penutupan lahan berupa
pertanian lahan kering dan pertanian lahan kering campur semak. Dalam terminology hutan
rakyat dan fakta di lapangan tipe‐tipe ini merupakan tipe‐tipe hutan rakyat dengan model
pertanaman campuran tanaman semusim yang didominasi dengan tegakan kayu.
Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi DIY luasan areal hutan rakyat cenderung tetap.
Hal ini didukung dengan data bahwa sejak tahun 1990an kedua provinsi ini memang
menjadi sentra pemasok kayu rakyat ke beberapa industri kayu khususnya di Kota Jepara.
Sehingga dalam hal tren perkembangannya, sejak tahun 1990 sampai dengan 2008 tidak
memberikan perubahan yang cukup berarti. Sementara itu Provinsi Jawa Timur memberikan
dinamika fluktuasi penutupan lahan yang bervariasi antara berbagai kelas penutupan lahan.
Hal ini merupakan indikasi bahwa pengolahan dan dinamika hutan rakyat di Provinsi Jawa
Timur sangat tinggi sehingga konversi perubahan penutupan sejak tahun 1990 sampai
dengan tahun 2008 variasinya sangat beragam. Besarnya laju konversi perubahan ini perlu
diperhatikan oleh pemerintah provinsi khususnya untuk memberikan resep kebijakan dan
mengontrol agar fluktasi perubahan memberikan dampak positif kepada kondisi lingkungan
(BPKH Wilayah XI, 2009).
8 | P a g e
D. POTENSI BENEFIT HR TERKAIT FUNGSI MITIGASI
1. Skema REDD+
REDD sebagai suatu konsep muncul dalam agenda UNFCCC (United Nation pada
COP XIII di Bali. Konsep ini muncul menyusul kegiatan Aforestasi dan Reforestasi (A/R)
Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) yang
sebelumnya telah terbentuk sangat sedikit memiliki peluang untuk diimplementasikan dalam
proyek-proyek di sektor kehutanan (IFCA 2007) karena kompleksnya aturan dan prosedur
yang harus dipenuhi.
Beberapa hal penting dalam hubungannya dengan REDD yang diperjuangkan
negara berkembang termasuk Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Memasukkan pencegahan kerusakan hutan agar dipertimbangkan sebagai program
pengurangan emisi.
b. Mekanisme pendanaan oleh pasar (dibiayai oleh swasta) dan non pasar (dibiayai oleh
pemerintah).
c. Pengelolaan hutan berkelanjutan/Sustainable Forest Management (SFM) pada hutan
alam maupun tanaman, serta rehabilitasi lahan melalui aforestasi dan reforestasi agar
diperhitungkan sebagai program pengurangan emisi.
REDD merupakan sebuah skema kompensasi dari pengurangan emisi melalui
penghindaran atau penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan. REDD tidak secara total
langsung menghentikan aktivitas pemanfaatan hutan maupun rencana konversi hutan untuk
penggunaan ekonomi lainnya. Kredit REDD diperoleh dari hasil simpanan emisi karbon yang
mampu ditahan, dan dinamakan sebagai baseline. Baseline merepresentasikan laju emisi
dari masa lalu dan proyeksinya ke masa yang akan datang sesuai dengan arah
pengembangan strategis nasional. REDD merepresentasikan suatu cara untuk memperoleh
nilai baru dari sumber daya alam karbon yang dapat dikelola dengan mengubah keputusan
strategis, sehingga nilai karbon tersimpan dapat lebih tinggi daripada arah strategi yang
semula ditetapkan (Ministry of Forestry, 2008).
Perkembangan terbaru mengemuka juga beberapa varian konsepsi REDD adalah
REDD+. REDD+ merupakan upaya penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi
ditambah dengan aktivitas konservasi, manajemen hutan berkelanjutan dan peningkatan
stok karbon yang terjadi di hutan (ASB, ICRAF dan Norad, 2009; IUCN, 2009).
Implementasi REDD+ ditempuh dalam 3 fase, yaitu : fase persiapan, fase kebijakan
dan pengukuran, dan fase pembayaran berbasis performa. Fase persiapan menghendaki
strategi REDD nasional dibangun melalui mekanisme partisipatif, mengakui hak dan aturan
masyarakat lokal, melibatkan masyarakat yang bergantung kepada hutan serta kelompok
tertentu yang rentan terhadap perubahan tutupan hutan. Pada fase kedua, yaitu fase
9 | P a g e
kebijakan dan pengukuran diperlukan kerangka kebijakan nasional dan reformulasi sektor
kehutanan serta pengembangan jejaring dengan sektor terkait seperti sektor energi dan
pertanian. Adapun fase ketiga mengehendaki terlebih dahulu demonstrasi aktivitas REDD+
di tingkat nasional maupun lokal, verifikasi dilakukan oleh pihak ketiga yang independen
serta menyertakan audit sosial dan lingkungan. Pada fase ketiga ini telah dirancang
mekanisme distribusi benefit serta sistem monitoring untuk pengedalian aktivitas selama
proyek berlangsung (IUCN, 2009).
Beberapa aktivitas sudah dilewati dalam setiap fase, antara lain : penyusunan
Stranas, pengembangan network, penyusunan instrumen nasional dalam penyusunan MRV,
distribusi, rencana aksi, pengembangan Demonstration Activity (DA) REDD. Entitas
internasional telah memberi dorongan untuk lebih mengembangkan skema-skema terus
tumbuh. Bank Dunia mengusulkan proyek-proyek percontohan di Papua New Guinea, Costa
Rica, Indonesia, Brazil dan Kongo untuk membatasi emisi karbon dari deforestasi hingga
tahun 2009 atau 2010. Sebagai imbalannya negara-negara tersebut mendapat dana
investasi senilai US$ 250 juta (CIFOR, 2007).
Sejak 2007 perangkat kerja nasional bekerja untuk melakukan capacity building,
konsultasi stakeholder, penyusunan Emisi Rujukan, serta intervensi kebijakan. UKP4 telah
dan sedang memformulasikan MRV (forest cover and carbon stock change, national
registry), studi pendanaan serta distribusi benefit.
Sampai dengan saat ini fase implementasi masih belum dapat dijalankan. Studi-studi
yang mengarah dan mendukung infrastruktur dan data base terus dilakukan paralel dengan
delegasi RI dalam negosiasi bilateral maupun multilateral. Secara paralel dengan penyiapan
di tingkat nasional, semua pemerintah daerah juga dipacu untuk mengedepankan
pengarusutamaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim ke dalam rencana
pembangunannya yang diwujudkan dalam Rencana Aksi Daerah (RAD).
Saat ini sudah ada inisiatif pelaksanaan proyek REDD sebelum kesepakatan
internasional berkaitan dengan paska Kyoto Protokol dicapai. Diantaranya ialah:
- Pilot proyek yang dilaksanakan oleh negara berkembang sebelum mekanisme
REDD diterima secara formal
- Organisasi atau sector swasta yang independent yang melakukan kegiatan REDD
melalui pasar karbon sukarela
DI Indonesia pihak yang dapat menerima hasil pembayaran REDD (bisa disebut
sebagai penjual kredit REDD) ialah: Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah (Propinsi,
Kabupaten dan Kota), Pihak swasta, masyarakat lokal, LSM. Arsitekur dari mekanisme
REDD Nasional akan bergantung pertama-tapa pada siapa saja pihak yang berhak
10 | P a g e
menerima hasil pembayaran REDD. Misalnya, kalau pemerintah pusat yang menerima
hasil pembayaran, maka pemerintah pusat harus membuat mekanisme bagaimana
hasilpembyaran tersebut nantinya didistribusikan ke pemerintah daerah yang sudah
melakukan kebijakan dan langkah upaya pencegahan deforestasi dan kerusakan hutan.
Secara umum bentuk kebijakan dan langkah penanganan masalah deforestasi
dan kerusakan hutan dapat dikelompokkan ked alam lima kategori (IFCA, 2007):
- Memperkuat pelaksanaan kebijakan yang sudah ada (misalnya melalui penegakan
hukum)
- Merubah secara kangsung aturan baik pada tingkat nasional maupun daerah atau
sub-nasional (misalnya melarang pembangunan HTI baru di lahan gambut)
- Merubah aturan secara tidak langsung pada tingkat nasional dan daerah (misalnya
merubah program pembangunan jalan).
- Insentif ekonomi (misalnya meningkatkan pajak atau insentive positif seperti
sertifikasi)
- Mengubah infrastruktur secara langsung (misalnya memblok saluran pada lahan
gambut untuk memperlambat subsidensi tanah gambut)
Insentif atau kompensasi dapat dibayar kepada para pihak ini melalui: (1)
Pembayaran langsung kepada individu sebagai bentuk pembayaran jasa lingkungan
(Payment for Environmental Services), apakah melalui transaksi moneter langsung atau
tidak langsung misalnya pembebasan pajak, hak penggunaan atau sewa dan lain-lain.
(2) Pelaksanaan kegiatan proyek pembangunan yang lebih besar yang dapat
mengkompensasi opportunity yang hilang.
Berikut ini adalah contoh kasus potensi benefit implementasi REDD+ pada HR di
Riau (tanaman kayu rakyat meranti dan gaharu di antara sawit) hasil studi pada beberapa
tahun yang lalu. Agroforestry sawit meranti mampu meningkatkan kandungan C sebesar
403,5% dari rata-rata 0,66 ton C/ha/tahun (2,41 tCO2/ha/tahun) menjadi 3,31 ton/ha/tahun
(12,14 tCO2/ha/tahun). Potensi ekonomi REDD Plus pada agroforestry sawit meranti (pada
harga kompensasi US$ 6/tCO2 dan mekanisme pembayaran ex-post) sebesar Rp.
148,500,862 per ha, meningkat 7,95% dari pola kebun sawit murni. Potensi ekonomi akan
meningkat lebih baik (11,94%) apabila mekanisme pembayaran adalah ex-ante sehingga
NPV menjadi Rp. 153,977,304 per ha. Dengan demikian mekanisme pembayaran ex-ante
sangat efektif untuk memperbaiki tingkat pendapatan REDD Plus agroforestry sawit meranti.
(Rochmayanto, 2010).
Contoh lain, agroforestry sawit gaharu mampu meningkatkan kandungan karbon
pada kebun sawit. Pola agroforestry sawit gaharu intensif dengan tebang habis 1 rotasi
11 | P a g e
merupakan pola yang efektif meningkatkan kandungan karbon 224.4% dibanding sawit
murni pada akhir daur (tahun ke-25) dari 16.43 ton menjadi 36.87 ton. Agroforestry sawit
gaharu mampu meningkatkan pendapatan petani secara kumulatif dibandingkan jika lahan
hanya digunakan sebagai kebun sawit monokultur. Peningkatan pendapatan petani
mencapai 17.25% pada agroforesttry non intensif (pola tebang habis 2 rotasi, daur tebang
gaharu 8 tahun) dan 25% pada agroforestry intensif (pola tebang habis 3 rotasi, daur tebang
gaharu 6 tahun). Potensi ekonomi REDD+ pada agroforestry sawit gaharu cukup baik pada
harga kompensasi US$ 20/tCO2 dengan mekanisme pembayaran termin. Pola yang memiliki
potensi ekonomi tertinggi adalah agroforestry intensif pola tebang habis dengan daur tebang
gaharu 10 tahun (Rochmayanto, 2011).
Tabel 5. Nilai Tambah Finansial pada REDD+ Agroforestry Sawit-Gaharu
Pola
Harga 9 USD/tCO2 Harga 15 USD/tCO2 Harga 20 USD/tCO2
NPV (Rp) BCR Peningkatan(%)
NPV BCR Peningkatan(%)
NPV BCR Peningkatan(%)
NPV BCR NPV BCR NPV BCR
A1 161,318,796 3.64 17.27 3.70 161,617,367 3.65 17.49 3.99 161,866,176 3.65 17.67 3.99
A2 158,464,976 3.57 15.20 1.71 158,873,149 3.58 15.49 1.99 159,213,293 3.58 15.74 1.99
A3 149,466,611 3.52 8.66 0.28 150,453,357 3.53 9.37 0.57 151,275,644 3.55 9.97 1.14
B1 172,223,823 3.57 25.20 1.71 172,690,861 3.58 25.54 1.99 173,080,060 3.58 25.10 1.99
B2 157,044,355 3.47 14.16 (1.14) 157,906,636 3.48 14.79 (0.85) 158,625,204 3.49 15.31 -0.57
B3 147,790,915 3.38 7.44 (3.70) 149,477,926 3.41 8.66 (2.85) 150,883,769 3.43 9.69 -2.28
Keterangan : - Mekanisme pembayaran termin - Peningkatan NPV dan BCR dibandingkan dengan sawit murni.
Terdapat pembelajaran lain yang dapat diambil dari studi Jaenudin (2012) tentang
status kelayakan REDD+ di DA MRPP, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan yang
menghasilkan NPV sebesar Rp. 4.033.763,- dan IRR 19% serta BCR 1,05. Pertama, skema
REDD+ tidak menghilangkan akses terhadap sumber pemasukan lainnya disamping kredit
karbon seperti : hasil hutan kayu, non kayu, wisata alam, program penelitian, pendidikan
dan pelatihan. Kedua, REDD+ harus memastikan harga kompensasi dan output penurunan
emisi yang ditargetkan karena status kelayakannya sangat sensitif terhadap kedua factor
tersebut.
2. Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL)
Selain peluang memperoleh kompensasi REDD+, HR juga berpotensi dalam skema
PJL. Jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami, dan
pelestarian nilai budaya oleh suksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi
12 | P a g e
keberlangsungan kehidupan. Empat jenis jasa lingkungan yang dikenal oleh masyarakat
global adalah: jasa lingkungan tata air, keanekaragaman hayati, penyerapan karbon, dan
keindahan lanskap (Leimona, et al., 2012).
Penyedia jasa lingkungan dapat berupa : (a) perorangan; (b) kelompok masyarakat;
(c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e) pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang
mengelola lahan yang menghasilkan jasa lingkungan serta memiliki ijin atau alas hak atas
lahan tersebut dari instansi berwenang. Adapun pemanfaat jasa lingkungan dapat berupa
(a) perorangan; (b) kelompok masyarakat; (c) perkumpulan; (d) badan usaha; (e)
pemerintah daerah; (f) pemerintah pusat, yang memiliki segala bentuk usaha yang
memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak
mengurangi fungsi pokoknya (Leimona, et al., 2012).
PJL adalah pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial
kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan. Sistem PJL adalah
mekanisme pembayaran finansial dan non finansial dituangkan dalam kontrak hukum yang
berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Tujuannya adalah: sebagai
alternatif sistem produksi dan pengelolaan lahan yang lebih ramah lingkungan, sebagai
upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan, sebagai upaya perlindungan
lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi dan sosial
yang lestari (Leimona, et al., 2012).
Beberapa inisiatip PJS yang sudah berjalan di Indonesia adalah :
a. Model Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Cidanau
DAS Cidanau merupakan sumber air satu-satunya bagi industri di kawasan Cilegon
yang merupakan sumber air bagi sekitar 100 industri yang beroperasi di Cilegon. Pemegang
ijin pengambilan air di DAS Cidanau adalah PT. Krakatau Tirta Industri (KTI). Izin ini
dikeluarkan oleh PEMDA Serang - Provinsi Banten. Rahadian menjelaskan model
pembayaran jasa lingkungan yang sudah diterapkan di daerah DAS Cidanau Banten. Dalam
pelaksanaannya, dibentuk suatu Forum Komunikasi DAS Cidanau atau disingkat FKDC
berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi Banten yang beranggotakan unsur
masyarakat, pemerintah, LSM, dan swasta (Fauzi, et al., 2005).
Peran forum komunikasi DAS Cidanau dalam implementasi jasa lingkungan adalah:
1) Mengelola dana hasil pembayaran jasa lingkungan dari pemanfaat (buyer) jasa
lingkungan DAS Cidanau untuk rehabilitasi dan konservasi lahan di DAS Cidanau
melalui lembaga pengelola jasa lingkungan DAS Cidanau.
2) Mendorong pembangunan hutan di lahan milik oleh masyarakat dengan mekanisme
pembayaran jasa lingkungan.
13 | P a g e
3) Menggalang dana dari potensial pemanfaat jasa lingkungan DAS Cidanau.
4) Mendorong pemerintah untuk melakukan pembayaran jasa lingkungan di DAS Cidanau.
Kegiatan Forum Komunikasi DAS Cidanau dalam implementasi jasa lingkungan:
1) Membangun kesepakatan kewenangan pengelolaan DAS Cidanau diantara stakeholder
DAS Cidanau.
2) Melakukan negosiasi dengan PT. Krakatau Tirta Industri untuk pembayaran jasa
lingkungan, hasil negosiasi dituangkan dalam naskah kesepahaman.
3) Membentuk tim ad hoc yang menangani pengelolaan pembayaran jasa sampai dengan
lembaga Pengelola Jasa Lingkungan Cidanau terbentuk.
4) Mendiskusikan mekanisme pembayaran jasa lingkungan antara tim ad hoc dengan
masyarakat pemilik hutan di hulu DAS Cidanau.
b. Program pengelolaan perlindungan sumber air baku PDAM Menang, Mataram,
Nusa Tenggara Barat (Lalu M. Zaini, PDAM Menang – Lombok Barat)
Sumber air baku PDAM adalah mata air yang daerah tangkapannya di kawasan
Gunung Rinjani. Masalah yang dihadapi: luas hutan yang berkurang, vegetasi hutan yang
memprihatinkan dan kemiskinan (kondisi sosial) masyarakat di sekitar. Juga terdapat
masalah kawasan yang terdiri dari konflik tapal batas, penebangan liar, deforestasi,
kebutuhan lahan pertanian, sistem pertanian, mata pencaharian subsisten, lemahnya
penegakan hukum, konflik sumber air, dan inkonsistensi kebijakan. Dampak dari itu semua
adalah penurunan debit mata air sehingga beberapa sub DAS menjadi kritis. Data Bappeda
NTB tahun 1985 menyebutkan bahwa terdapat 702 titik mata air tetapi pada tahun 2000
tinggal 266 titik mata air. PDAM Mataram berinisiatif melakukan program perlindungan
sumber air baku, dengan dasar pemikiran sebagai berikut: Pertama, hidupnya PDAM
tergantung pada keberlangsungan mata air, kedua, terjadi penurunan kualitas dan kuantitas.
Ketiga, untuk memproduksi air yang sehat harus dimulai dari perlindungan sumbernya
(Fauzi, et al., 2005).
Program ini bertujuan untuk meningkatkan kuantitas sumberdaya air dan aspek
meningkatkan kualitas jaminan ketersediaan air yang yang memenuhi syarat kesehatan.
Pendekatan program perlindungan sumber air baku di Lombok adalah catchments area
dengan pendekatan zonasi di sekitar mata air, yang terbagi pada tiga zonasi: (a). zona
proteksi I: 10-50 m dari titik mata air, (b). zona proteksi II: untuk melindungi mata air dari
pencemaran mikrobiolagi, (c). zona proteksi III: untuk melindungi sumber air baku dari
pencemaran radioaktif yang tidak bisa mengalami degradasi dalam waktu yang singkat.
Terkait dengan imbal jasa lingkungan, beberapa hal yang dapat dipertimbangkan,
yaitu: pertama, dapat bersumber dari dana APBD, tetapi besaran dan item budget dalam
14 | P a g e
APBD tidak konstan. Yang perlu diingat adalah konservasi merupakan kegiatan yang
hasilnya tidak bisa dilihat dengan cepat. Kedua, Masuk pada tarif PDAM. Ini pun tidak
mudah karena PDAM memiliki dua fungsi yakni ekonomi dan sosial. Oleh karena itu tarifnya
pun harus mempertimbangkan aspek pelayanan sosial. Sebagai misal, biaya produksi dari
PDAM adalah Rp. 800 rupiah/m3, namun harga jualnya hanya Rp. 600/m3, sehingga PDAM
masih merugi dalam penentuan harganya. Ketiga, dijadikan bagian dari pajak air bawah
tanah dan keempat, sebagai biaya konservasi yang menjadi tanggung jawab bersama.
PDAM telah melakukan survei kepada 1500 pelanggan. Survei tersebut mempunyai tujuan
mengetahui empat hal, yaitu: bagaimana kebiasaan membayar, isu air, siapa yang
bertanggung jawab, dan terakhir bagaimana kesediaan pelanggan untuk membayar biaya
konservasi. Hasil yang menggembirakan adalah bahwa 90% pelanggan bersedia untuk
membayar biaya konservasi sebesar Rp. 1,000 – 5,000/bulan (Fauzi, et al., 2005).
E. PENUTUP
HR memiliki implikasi yang semakin lebar, tidak hanya menjadi jalan peningkatan
kesejahteraan dan sumber mata pencaharian serta pemasok bahan baku kayu, saat ini
kecenderungan HR tertuju kepada fungsi lingkungan yang sangat penting. Aktivitas
penanaman kayu dan pemeliharaan tegakan HR merupakan aktivitas yang dapat
meningkatkan serapan karbon. Pergeseran ini penting untuk disadari oleh semua pihak
bahwa HR lebih jauh mampu menjadi aktivitas mitigasi perubahan iklim sektor kehutanan
yang potensial dan berarti.
Adapun mengenai potensi manfaat tambahan dari kompensasi jasa lingkungan dan
karbon merupakan motivasi tambahan. Namun demikian, sumber motivasi ini diharapkan
tidak menjadi agenda utama pengarusutamaan HR, Karena masih berkaitan dengan
penyiapan perangkat di tingkat nasional dan daerah serta sangat bergantung kepada
hubungan politik internasional.
Dengan demikian, transformasi HR dalam perannya dalam mitigasi perubahan iklim
sektor kehutanan membutuhkan setidaknya focus ke dalam 3 hal. Pertama, sebagai
keputusan politik nasional, maka sub nasional harus mengikuti proses di tingkat nasional
dan menjadikan mitigasi perubahan iklim sebagai arus utama pembangunan daerah,
termasuk memberi ruang bagi HR. Kedua, Pemerintah Daerah perlu dengan seksama
mengejar kesamaan persepsi atas informasi dan pemahamannya terhadap REDD+ agar
tidak salah arah dan salah persepsi dalam pengembangan konsep di tingkat lansekap.
Ketiga, semua entitas nasional dan sub nasional harus memiliki sikap open minded dan
menghilangkan skeptisisme terhadap inovasi baru dalam konteks pembangunan
berkelanjutan rendah karbon.
15 | P a g e
DAFTAR PUSTAKA
ASB, ICRAF and Norad. 2009. Policy Breaf. If We Cannot Define It, We Cannot Save It :
Forest Definition and REDD. ASB Partnership for the Tropical Forest Margins.
Nairobi, Kenya.
[CIFOR] Center for International Forestry Research. 2007. Annual Reports. CIFOR. Bogor.
Indonesia.
Fauzi, A., B. Leimona, Muhtadi (Ed.). 2005. Strategi Pengembangan Pembayaran dan Imbal
Jasa Lingkungan di Indonesia. Laporan Lokakarya Nasional tanggal 14-15 Februari
2005 di Jakarta. World Agroforestry Center. Bogor.
Hairiyah, K dan S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan pada Berbagai Macam
Penggunaan Lahan. World Agroforestry Center. Bogor.
Hairiyah, K. 2008. Cadangan Karbon pada Berbagai Sistem Penggunaan Lahan Setelah
Konversi Hutan. Makalah disampaikan pada Joint Workshop REDD di Sumatera,
kerjasama Departemen Kehutanan dengan CSO Network on Forestry Governance
and Climate Change, Pakanbaru, 30 Juni – 1 Juli 2008. Departemen Kehutanan dan
CSO Network on Forestry Governance and Climate Change. Pekanbaru.
[IFCA] International Forest Climate Alliance. 2007. Laporan Konsolidasi Studi Tentang
Metodologi dan Strategi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi dan
Degradasi Hutan di Indonesia. Jakarta: Departemen Kehutanan.
Irawan, E. 2010. Prospek Partisipasi Petani dalam Program Pembangunan Hutan Rakyat
untuk Mitigasi Perubahan Iklim di Wonosobo. Forum Geografi Vol 25 No 1 Juli
2010:85-97. Universitas Muhamadiyah Surakarta. Solo.
[IUCN] International Union for Conservation of Nature. 2009. REDD Plus : Scope and
Options for the Role of Forests in Climate Change Mitigation Strategies.
International Union for Conservation of Nature. Washington DC.
Jaenudin, D. 2012. Pengukuran Kelayakan Implementasi REDD+ di Indonesia. Draft Policy Breaf. Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan. Bogor.
Leimona, BL., Munawir, NR. Ahmad. 2012. Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa
Lingkungan di Indonesia. World Agroforestry Center. Bogor.
Ministry of Forestry. 2008. IFCA 2007 Consolidation Report : Reducing Emission from
Deforestation and Degradation in Indonesia. Indonesia: [FORDA] Forestry
Resesarch and Development Agency, Ministry of Forestry.
[Pustanling] Pusat Standardisasi Lingkungan. 2011. RAN GRK : Seberapa Jauh Penyiapan Perangkat untuk Mengukur Kontribusi Kehutanan. Policy Brief Pustanling Vol. 1. No. 3 tahun 2011. Pusat Standardisasi Lingkungan, Kementerian Kehutanan. Jakarta.
Rochmayanto, Y. 2010. Analisis Biaya Manfaat REDD+ di Provinsi Riau. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. Kuok, Riau.
Rochmayanto, Y. 2010. Peningkatan Kandungan Karbon dan Potensi Ekonomi REDD+
pada Agroforestry Sawit Meranti. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian
Hutan Penghasil Serat. Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat. Pekanbaru.
16 | P a g e
------------------. 2011. Enhancing Carbon Stock and Economics Potency for REDD+ Activity
on Oil Palm-Eaglewood Agroforestry System. Proceeding of International Seminar
INAFOR. December 2011. Forestry Research and Development Agency. Bogor.
Tim Perubahan Iklim Badan Litbang Kehutanan. 2010. Cadangan Karbon pada Berbagai
Tipe Hutan dan Jenis Tanaman di Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perubahan Iklim dan Kebijakan. Badan Litbang Kehutanan. Bogor.
[BPKH] Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa Madura. 2009. Potensi Kayu
dan Karbon Hutan Rakyat di Pulau Jawa Tahun 1990-2008. Balai Pemantapan
Kawasan Hutan Wilayah XI Jawa-Madura. Yogyakarta.
top related