pengaruh kemurnian bahan baku alumina terhadap...
Post on 10-Mar-2019
232 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGARUH KEMURNIAN BAHAN BAKU ALUMINA TERHADAP
TEMPERATUR SINTERING DAN KARAKTERISTIK
KERAMIK ALUMINA
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sains (S.Si)
Disusun Oleh :
Putri Mawardani
1110097000020
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
i
PENGARUH KEMURNIAN BAHAN BAKU ALUMINA TERHADAP
TEMPERATUR SINTERING DAN KARAKTERISTIK
KERAMIK ALUMINA
Skripsi
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Sains ( S.Si )
Disusun Oleh :
Putri Mawardani
1110097000020
PROGRAM STUDI FISIKA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, Oktober 2014
Putri Mawardani
NIM. 1110097000020
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
v
ABSTRAK
Telah dilakukan penelitian “Pengaruh Kemurnian Bahan Baku Alumina
terhadap Temperatur Sintering dan Karakteristik Keramik Alumina”. Riset
dilakukan dengan menggunakan dua jenis bahan baku yaitu alumina PA dan
alumina teknis. Sintesa alumina dilakukan melalui tahapan kompaksi dengan
tekanan sebesar 12 metrik ton (679 MPa), dilanjutkan pembakaran (sintering)
dengan variasi temperatur 12500, 1350
0, 1450
0,1550
0, dan 1600
0C dengan holding
temperature pada 9500C, heating rate 2
0C/min dan holding time 2 jam, serta
karakterisasi. Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji densitas dan porositas,
observasi struktur mikro, analisa elemen, serta pengujian kekerasan dan fracture
toughness. Dari hasil karakterisasi diketahui bahwa kemurnian bahan baku
berpengaruh terhadap temperatur sintering keramik alumina, dimana semakin
tinggi tingkat kemurnian bahan alumina, maka semakin rendah temperatur
sintering keramik alumina. Hasil ini didukung oleh hasil foto SEM yang
menunjukan sampel keramik alumina PA setelah disinter pada 15500C
memperlihatkan proses densifikasi keramik dimulai pada temperatur ini.
Sementara sampel keramik alumina teknis baru memperlihatkan proses
densifikasi setelah proses sinter hingga 16000C. Hasil karakterisasi juga
menunjukan bahwa kemurnian bahan baku alumina berpengaruh terhadap sifat
fisis dan sifat mekanis keramik alumina, dimana semakin tinggi kemurnian bahan
alumina, dihasilkan keramik alumina dengan nilai densitas, nilai kekerasan dan
nilai fracture toughness yang lebih tinggi. Keramik alumina PA memiliki nilai
densitas, nilai kekerasan dan nilai fracture toughness yang lebih tinggi
dibandingkan dengan alumina teknis. Karakteristik tertinggi keramik α-alumina
PA dicapai pada saat temperatur sintering 16000C dengan densitas 3.489 g/cm
3,
nilai kekerasan 1668 VHN dan ketangguhan retak (fracture toughness) 5.774 MPa
m1/2
. Karakteristik tertinggi keramik alumina teknis dicapai pada temperatur sinter
16000C dengan densitas 3.082 gr/cm
3, nilai kekerasan 999 VHN dan ketangguhan
retak (fracture toughness) 1.564 Mpa m1/2
.
Kata Kunci : alumina PA, alumina teknis, temperatur sintering, densitas keramik,
kekerasanvickers, ketangguhan retak (fracture touhgness).
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
vi
ABSTRACT
A research had been done to find out “The Effect of Alumina Raw Material
Purity Level to Temperature Sintering and Alumina Ceramics
Characteristics”. This research was done with two types of raw material of
alumina, PA alumina and technical alumina. Alumina synthesis was done under
compacting step with pressure 12 metrics ton (679 MPa), the next step is sintering
with various heating temperature 12500, 1350
0, 1450
0, 1550
0, and 1600
0C with
holding temperature 9500C, heating rate 2
0C/min and holding time 2 hours, and
characterization. Characterization was works with several tests such as test of
density and porosity, microstructure observation, elemental analysis, vickers
hardness and fracture toughness. From that characterization known that the purity
of raw material affected temperature of sintering alumina ceramics, the higher
purity made lower temperature. This result is supported by SEM photo result that
showed sample of PA alumina ceramic after sintered with temperature 15500C
which the densification process is started at that temperature. While on the other
hand technical alumina starts its densification process in temperature 16000C. The
characterization also showed that the level of purity of alumina raw materials
affected physical and mechanical properties of alumina ceramic, the higher level
of purity product makes higher level of density, hardness, and fracture toughness.
PA alumina has higher level of density, hardness, and fracture toughness compare
with technical alumina. The highest characteristic of α-alumina PA ceramics is
started when sintering temperature level reached 16000C with density level 3.489
gr/cm3, the hardness 1668 VHN, and fracture toughness 5.774 MPa m
1/2. The
highest characteristic of alumina technical ceramics is started when sintering
temperature level reached 16000C with density level 3.082 gr/cm
3, the hardness
999 VHN and fracture toughness 1.545 MPa m1/2
.
Keywords : PA alumina, technical alumina, sintering temperature, ceramics
density, vickers hardness, fracture toughness.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Alhamdulillahirobbil’aalamiin, puji syukur kepada Allah SWT atas segala
kemudahan yang telah diberi sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Sholawat serta salam tak lupa selalu tercurahkan untuk baginda Rosululloh SAW,
keluarganya, para sahabatnya, para pengemban risalahnya.
Pada penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Hal ini dikarenakan keterbatasan ilmu pengetahuan
dan kemampuan penulis. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun sehingga penulis dapat
mengembangkan pengetahuan dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang ada di
kemudian hari.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Dr. Agus Salim, M.Si selaku Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Sutrisno, M.Si. Selaku Ketua Prodi Fisika Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Arif Tjahjono, M.Si selaku dosen pembimbing satu yang selalu memberikan
saran dan motivasi.
5. Dr. Tika Mustika, B.Eng, M.T. selaku pembimbing dua sekaligus
pembimbing lapangan saya yang rela meluangkan waktu kepada penulis
ditengah kesibukan beliau dan selalu mensupport penulis.
6. Dr. Ir. Jarot Raharjo M.Sc selaku pembimbing yang selalu mensupport
penelitian penulis.
7. Ambran Hartono, M.Si selaku dosen penguji.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
viii
8. Ibu Daumi tercinta yang selalu mendukung dan memotivasi serta mendoakan.
Bapak Sutiyasono yang selalu bekerja keras untuk membiayai pendidikan
penulis hingga selesai.
9. Kakak-kakak tercinta Hapsari Dewi dan Setio Adi Saputro yang selalu setia
menemani Penulis dan selalu memotivasi penulis. Juga teman satu perjuangan
Jayanti Puspita Dewi, Nur Oktiviani, Bella Yunita, yang selalu menghibur
dan menyemangati penulis ditengah kebimbangan saat proses penelitian.
10. Kepada pembimbing lapangan saya Mba Sri, Mba Rina, Mba Idam, Mas
Lukmana seluruh keluarga besar Pusat Teknologi Material.
11. Seluruh dosen Prodi Fisika UIN Syarif Hidayatulloh Jakarta, Ibu Riri, Ibu
Tati, Pak Edi, Pak Oki, Pak Agus, Ibu Nunung, Pak Wahyudi dan Pak Pri
yang tak lelah menjawab semua pertanyaan penulis. Terima kasih semua atas
ilmu yang telah diberikan.
12. Teman-teman satu perjuangan Material 2010 (Izza Farhatin Ilmi, Desti
Suryani, Febri Rosandi, Muhammad Fajar, Deden Mid`zanul Akbar) dan
Keluarga Besar Fisika (Komikus) 2010 Nurul Aqidah, Erlita Lilian, Annisa
Nurul Aini, Fitria Ariani, Apriyanti Nurani, Rizki Maharani, Rahma Dwi
Prasetya, Desri Akbari, Muhammad Andri, Abdurahman Aziz Akbar, Irman
Supriyadi, Bangun Budiono, Fatturahman Surya Kartadinata, Dewo Kusumo,
Agung Nurani, Rino Amalsa, Kevin Bangun Sentono, Nur Taufik Zamari,
Mamduh Dliyaul Jawad, yang saling support satu sama lain.
13. Keluarga besar KomDa FaST UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Akhir kata, saya berharap ALLAH SWT berkenan untuk membalas kebaikan
dari semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat
bagi pengembangan ilmu.
Jakarta, Oktober 2014
Putri Mawardani
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
ix
DAFTAR ISI
Lembar Judul............................................................................................... i
Lembar Pengesahan Pembimbing.............................................................. ii
Lembar Pengesahan Ujian.......................................................................... iii
Lembar Pernyataan..................................................................................... iv
Abstrak......................................................................................................... v
Abstract......................................................................................................... vi
Kata Pengantar............................................................................................ vii
Daftar Isi....................................................................................................... ix
Daftar Tabel................................................................................................. xii
Daftar Gambar............................................................................................. xiii
Daftar Lampiran.......................................................................................... xv
Bab I Pendahuluan...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Permasalahan Penelitian......................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................... 5
1.4 Batasan Masalah..................................................................................... 5
1.5 Manfaat Penelitian.................................................................................. 6
1.6 Sistematika Penulisan............................................................................. 6
Bab II Tinjauan Pustaka............................................................................. 7
2.1 Keramik....................................................................................................7
2.2 Keramik Alumina.....................................................................................8
2.3 Metalurgi Serbuk..................................................................................... 14
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
x
2.3.1 Teori Serbuk.................................................................................. 17
2.3.2 Pemprosesan Pemisah Ukuran Partikel Serbuk............................. 19
2.4 Sintering................................................................................................... 20
2.5 Densitas.................................................................................................... 26
2.6 Porositas................................................................................................... 27
2.7 Kekerasan................................................................................................. 27
2.8 Fracture Toughness.................................................................................. 29
2.9 Penyusutan............................................................................................... 30
2.9.1 Susut Massa................................................................................... 30
2.9.2 Susut Volume................................................................................. 30
2.10 Karakterisasi Material SEM................................................................... 31
Bab III Metode Penelitian........................................................................... 34
3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian................................................................. 34
3.2 Alat Dan Bahan........................................................................................ 34
3.2.1 Alat Penelitian................................................................................34
3.2.2 Bahan Penelitian............................................................................ 36
3.2.3 Alat Karakterisasi.......................................................................... 37
3.3 Diagram Alir Penelitian........................................................................... 39
3.4 Variabel Penelitian................................................................................... 40
3.5 Prosedur Penelitian.................................................................................. 40
3.5.1 Penimbangan Bahan...................................................................... 40
3.5.2 Pengayakan Bahan......................................................................... 40
3.5.3 Pembuatan Sampel Uji Dengan Kompaksi.................................... 40
3.5.4 Sintering......................................................................................... 41
3.6 Karakterisasi............................................................................................ 42
3.6.1 Sifat Fisis Dan Mekanis................................................................... 42
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
xi
3.6.1.1 Susut Volume......................................................................... 42
3.6.1.2 Densitas Dan Porositas.......................................................... 42
3.6.1.3 Kekerasan Vickers................................................................. 44
3.6.1.4 Pengujian Fracture Toughness............................................... 45
3.6.2 Struktur Mikro SEM-EDX............................................................... 46
Bab IV Hasil Dan Pembahasan.................................................................. 47
4.1 Penyusutan Volume Setelah Sintering..................................................... 47
4.2 Densitas Dan Porositas............................................................................ 49
4.3 Struktur Mikro......................................................................................... 54
4.4 Sifat Mekanis........................................................................................... 61
Bab V Penutup............................................................................................. 66
5.1 Kesimpulan.............................................................................................. 66
5.2 Saran........................................................................................................ 67
Daftar Pustaka............................................................................................. 68
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perbandingan sifat alumina kemurnian 94%, 96%, dan 99.5....... 11
Tabel 2.2 Ukuran dari Partikel...................................................................... 18
Tabel 4.1 Penyusutan Keramik Alumina Setelah Sintering.......................... 47
Tabel 4.2 Data Hasil Pengujian Densitas dan Porositas Keramik Alumina..50
Tabel 4.3 Tabel Nilai Kekerasan Vickers keramik alumina PA dan teknis.. 61
Tabel 4.4 Nilai fracture toughness keramik Alumina PA dan Teknis......... 64
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
xiii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Korundum................................................................ 10
Gambar 2.2 Bentuk-bentuk Partikel Serbuk.............................................. 18
Gambar 2.3 Pemodelan Partikel................................................................ 21
Gambar 2.4 Tahap Pertama Proses Sintering............................................ 23
Gambar 2.5 Tahap Pertengahan Sintering................................................. 24
Gambar 2.6 Tahap Akhir Sintering............................................................24
Gambar 2.7 Pertumbuhan Ikatan Mikrostruktur Antar Partikel Keramik
Selama Proses Sinter.............................................................. 25
Gambar 2.8 Model Sintering Dua Partikel................................................ 25
Gambar 2.9 Bentuk Identer vickers........................................................... 27
Gambar 2.10 Pengujian vickers................................................................... 28
Gambar 2.11 Berkas Elektron...................................................................... 31
Gambar 2.12 Skematik SEM....................................................................... 32
Gambar 3.1 Alat-alat Penelitian.................................................................36
Gambar 3.2 Bahan-bahan penelitian.......................................................... 37
Gambar 3.3 Alat Karakterisasi...................................................................38
Gambar 3.4 Diagram Alir Penelitian......................................................... 39
Gambar 3.5 Skema Proses Kompaksi........................................................ 41
Gambar 4.1 Penyusutan Keramik Alumina............................................... 48
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Densitas keramik alumina PA dan keramik
Alumina teknis....................................................................... 50
Gambar 4.3 Grafik Perbandingan Porositas keramik alumina PA dan keramik
Alumina teknis....................................................................... 52
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
xiv
Gambar 4.4 SEM 2000x Serbuk Alumina Sebelum Sintering................... 54
Gambar 4.5 Hasil Identifikasi elemen serbuk alumina teknis.................... 55
Gambar 4.6 Cross Section keramik alumina PA dan alumina teknis Pebesaran
10.000x.................................................................................. 57
Gambar 4.7 Cross Section keramik alumina PA dan alumina teknis
Pebesaran 2.000x................................................................. 57
Gambar 4.8 Hasil identifikasi elemen cross section alumina teknis.......... 60
Gambar 4.9 Grafik perbandingan Nilai Kekerasan keramik alumina PA dan
alumina teknis ....................................................................... 62
Gambar 4.10 Grafik Nilai Fracture Toughness Keramik Alumina dengan
P=9.8..................................................................................... 64
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Pengukuran Susut Massa dan Volume Alumina PA..............72
Lampiran 2 Pengukuran Susut Massa dan Volume Alumina teknis......... 74
Lampiran 3 Perhitungan Densitas dan Porositas Alumina PA.................. 76
Lampiran 4 Perhitungan Densitas dan Porositas Alumina teknis............. 79
Lampiran 5 Pengolahan Data Kekerasan Vickers untuk Alumina PA...... 82
Lampiran 6 Pengolahan Data Kekerasan Vickers untuk Alumina teknis. 84
Lampiran 7 Pengolahan Data Fracture Toughness Alumina PA.............. 86
Lampiran 8 Pengolahan Data Fracture Toughness Alumina teknis......... 87
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Alumina dengan rumus kimia Al2O3 merupakan material yang sering
digunakan dalam berbagai aplikasi karena mempunyai sifat fisika dan kimia
yang tinggi, seperti kekuatan yang sangat tinggi, sangat keras, isolasi elektrik
yang baik, ketahanan panas yang tinggi, temperatur lebur yang tinggi,
ketahanan abrasi dan korosi yang tinggi. Bahkan dalam beberapa tahun
terakhir, permintaan alumina dengan kemurnian tinggi berkembang pesat
diberbagai sektor seiring dengan meningkatnya pertumbuhan mobil,
komputer, semikonduktor, dan sektor lain.
Umumnya, alumina diproduksi dengan tingkat kemurnian 99.6-
99.9%1melalui proses bayer dan material bauksit sebagai bahan baku
pembuatan alumina.2 Proses ini digunakan untuk produk refraktori, busi,
armor, tabung termokopel, substrat IC dan elektronik. Semua alumina
kemurnian tinggi dengan kadar 99.99% serta memiliki partikel halus yang
seragam, telah banyak digunakan dalam tabung transluen untuk lampu sodium
bertekanan tinggi, material kristal tunggal seperti safir, dan material abrasif
untuk pita magnetik.3
Alumina bagi industi keramik sama halnya seperti baja bagi industri
logam dan termasuk salah satu jenis keramik yang paling sering digunakan.
Aplikasinya sangat luas dipakai di berbagai bidang. Lee dan Rainforth (1994)
(dalam Juliana Anggono (2008)) menyatakan, pangsa pasar bahan berbasis
alumina dalam jumlah berat adalah dalam aplikasi refraktoris (50%), abrasif
1 Shinji Fujiwara, et al. Development of New high-Purity Alumina Vol. I, (Sumitomo
Kagaku, 2007), h. 1 2 Prof. DR. Ir. D.N Adnyana, APU., Aluminium dan Aplikasinya, (Depok: Universitas
Indonesia), h. 15 3 Shinji Fujiwara, et al, Op.Cit., h.1
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
2
(20%), porselen dan busi (15%), sebagai keramik teknik (10%).4 Di Indonesia
belum terdapat pabrik pemurnian atau pengolahan bauksit menjadi alumina,
upaya penguasaan teknologi pengolahan saat ini adalah pada tahap penelitian
lebih lanjut mengenai proses pemurnian alumina.
Alumina mempunyai beberapa bentuk fasa altropik, antara lain fasa γ-
Al2O3, delta-Al2O3, theta- Al2O3 dan α-Al2O3. Alumina fasa alpha merupakan
salah satu bahan keramik yang banyak digunakan dan dikembangkan dalam
industri dan laboratorium penelitian untuk berbagai keperluan.5Fasa alpha
merupakan fasa paling stabil pada alumina, terutama pada temperatur tinggi.
Alpha alumina atau korundum mempunyai struktur kristal heksagonal dengan
parameter kisi a = 4.7588, c = 12.9910 nm.6 Kation (Al
3+) menempati 2/3
bagian dari sisipan oktahedral sedangkan anion (O2-
) menempati HCP.
Bilangan koordinasi dari struktur korundum adalah 6, maka tiap ion Al3+
dikelilingi 6 ion O2-
dan tiap ion O2-
dikelilingi oleh 4 ion Al3+
untuk
mencapai muatan netral.7 Aplikasi korundum (α-Al2O3) disamping sebagai
bahan paling tahan temperatur tinggi sampai 17000C, juga merupakan material
yang sangat keras dan kuat sehingga sering dipakai sebagai bahan mekanik.
Disamping itu sifat listrik atau konduktivitas listriknya sangat rendah sehingga
sangat cocok digunakan sebagai bahan isolator listrik.8
Proses pembuatan keramik secara konvensional dibuat menggunakan
metode metalurgi serbuk. Beberapa tahap proses yang panjang melibatkan
proses penentuan distribusi ukuran serbuk, pencampuran (mixing),
penambahan aditif/binders, proses kompaksi dan pembakaran (sintering) dan
4 Juliana Anggono, Penyusutan dan Densifikasi Keramik Alumina : Perbandingan Antara
Hasil Proses Slip Casting dengan Reaction Bonding, (Surabaya : Universitas Kristen Petra, 2008),
h. 2 5Tumpal P, et al., Pembuatan dan Karakterisasi termal Keramik Alpha-Alumina,
(Serpong: Prosiding Pertemuan ilmiah Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Bahan, 2004), h. 220. 6Akmal Johan, Karakterisasi Sifat Fisis dan Mekanik Bahan Refraktori α-Al2O3
Pengaruh Penambahan TiO, (Palembang: Jurnal Penelitian Sains, Universitas Sriwijaya, 2009), h.
1-2 7Muhammad Rais, Studi Analisis Simulasi tentang korelasi Temperatur Sintering dan
Presentase Aditif Mulit dengan Sifat Mekanik Keramik Alumina, (Medan : USU, 2007), h. 4 8 Ramlan, et al., Pembuatan Keramik Beta Alumina (Na2O-Al2O3) dengan Aditif MgO dan
Karakterisiasi Sifat Fisis serta Struktur Kristalnya, Vol 7 No. 1, Juni, (Serpong: Jurnal Fisika
Himpunan Fisika Indonesia Publishing, 2007), h. 11.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
3
terakhir proses permesinan. Pada proses metalurgi serbuk, proses sinter
merupakan proses untuk mendapatkan bahan yang padat dan kompak.9
Metode metalurgi serbuk bekerja dengan baik apabila ukuran alumina yang
digunakan dalam skala nanopartikel. Metode ini cenderung lebih
membutuhkan biaya relatif tinggi karena bahan baku serbuk yang mahal (high
cost material) dan prosesnya yang panjang (blending, pressing, sintering)
memakan waktu yang lama. Borgonovo (2010) menyatakan, keuntungan dari
metode ini adalah kecenderungan partikel alumina untuk teraglomerasi sangat
rendah jika ukuran serbuk matriks sama dengan fase penguatnya dan produk
akhirnya mendekati bentuk cetakannya.10
Beberapa cara digunakan untuk mengurangi temperatur sintering keramik
alumina antara lain: memperkecil ukuran butiran hingga ukuran nano, atau
dengan menambahkan bahan aditif yang memiliki titik lebur yang lebih
rendah dari alumina.11
Beberapa variabel yang mempengaruhi mikrostruktur
dan sintering ada dua, yaitu variabel material dan variabel proses. Variabel
material atau variabel yang berkorelasi dengan bahan dasar meliputi Serbuk
(ukuran, bentuk, distribusi ukuran, aglomerasi, distribusi jenis mateial dll) dan
chemistry (komposisi, impuritas, non-stokiometri, dll). Variabel proses atau
variabel yang berhubungan dengan sintering meliputi temperatur, waktu,
tekanan, atmosfer, heating dan cooling rate.12
Kirk (1995) (dalam Tino Umbar (2013)) menyatakan, densitas maksimum
dapat dicapai melalui temperatur sintering yang mendekati titik leleh bahan.13
Mekanisme sintering dimulai dengan adanya kontak antara butir yang
dilanjutkan dengan pelebaran titik kontak akibat proses difusi atom-atom.
9Tino Umbar, et al., Pembuatan Keramik Alumina dengan menggunakan Metode
Metalurgi Serbuk dengan Variasi Temperatur dan Komposisi, (Serpong: STTN-BATAN, 2013), h.
6 10
Anonim, Aplikasi Komposit Alumina Berpenguat Al2O3 Pada Temperatur Tinggi, pada
http://gogetitnararia.wordpree.com/2012/03/13/aplikasi-komposit-alumina-berpenguat-al2o3-pada-
temperatur-tinggi dengan sumber Cecilia Borgonovo. 2010. ―Thesis : Aluminium Nano-composite
for Elevated Temperatur Application, diakses pada 1 Maret 2014, pukul 13.27 11
Muhammad Rais, op.Cit., h. 9. 12
Ender Suvaci, Sintering of Ceramics Theory and Practice, Anadolu University, Dept.
Of Material Science and Engineering Turkey, (South Africa : Element Six, Spring, 2008), h.7 13
Tino Umbar, loc.Cit., h. 6
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
4
Difusi yang berlebihan menyebabkan penyusutan volum pori yang terjadi
selama proses sintering berlangsung.14
Temperatur sintering untuk densifikasi
alumina meningkat seiring dengan peningkatan kemurnian alumina. Penelitian
terbaru menyatakan bahwa serbuk alumina kemurnian tinggi yang dibuat
dengan metode kimia memungkinkan alumina untuk disinter pada temperatur
dibawah 16000C.
15
Rao (2003) telah melakukan riset temperatur sintering dengan
menggunakan α-alumina kemurnian tinggi. Hasil variasi temperatur sintering
menunjukan bahwa pada temperatur sintering rendah yaitu 13000C, densitas
alumina sebesar 98% telah tercapai bahkan dihasilkan sifat mekanis dan
ketahanan aus yang baik.
Juliana Anggono (2008) meneliti proses pembuatan keramik alumina
yang menggunakan bahan baku α-Al2O3 (bentuk polygon dan flakes) dengan
dua metode berbeda yaitu slip casting dan reaction bonding. Setelah proses
sinter sampai 16000C dihasilkan keramik alumina dengan berat jenis paling
tinggi dicapai oleh 60% Wt α-Al2O3 paling tinggi, yaitu tercapainya 49% berat
jenis (b.j) teoritis dan menunjukan keberadaan porositas paling rendah
dibandingkan sampel dengan 40% dan 50% Wt α-Al2O3. Perbandingan
densitas dengan sampel hasil reaction bonding yang disinter pada temperatur
14000C mencapai 47% b.j teoritis serta menunjukan bahwa tidak terjadi
penyusutan (zero shrinkage) pada sampel yang dipanasi sampai 13000C dan
14000C.
16
Pada penelitian ini, riset akan difokuskan untuk mengetahui pengaruh
kemurnian bahan baku alumina terhadap temperatur sintering dan karakteristik
keramik alumina. Alumina disinter pada rentang temperatur 12500C hingga
16000C dalam lingkungan normal. Digunakan 2 jenis alumina yaitu alumina
kemurnian tinggi dan alumina teknis. Dilakukan karakterisasi untuk
mengetahui sifat fisis, sifat mekanis serta struktur mikro dari alumina,
14
Ibid., h. 6 15
Pinggen Rao, et al. Mechanichal and Wear Properties of Low Temperatur Sintered
High Purity α-Al2O3 Ceramics, (Jepang : Osaka National Research Institute, 2003), h. 1 16
Juliana Anggono, loc.Cit., h. 2
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
5
meliputi pengukuran densitas/porositas, pengukuran kekerasan dan fracture
toughness, serta observasi struktur mikro menggunakan SEM.
1.1 Permasalahan Penelitian
Pada sintesa keramik alumina dengan metode metalurgi serbuk terdapat
beberapa masalah, yaitu :
1. Belum diketahui pengaruh kemurnian bahan baku alumina terhadap
temperatur sintering dari keramik alumina.
2. Belum diketahui pengaruh kemurnian alumina yang disintesa dengan
parameter proses yang sama, terhadap sifat fisis dan mekanis alumina.
1.2 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalah di atas, maka penelitian ini bertujuan sebagai
berikut:
1. Mengetahui pengaruh kemurnian bahan baku alumina terhadap temperatur
sintering keramik alumina.
2. Mengetahui pengaruh kemurnian bahan baku alumina terhadap sifat fisis
dan sifat mekanis keramik alumina.
1.3 Batasan Masalah
Dalam penelitian ini batasan masalah yang dibahas meliputi :
1. Alumina yang digunakan adalah alumina dengan kemurnian tinggi (PA
99%) dan alumina teknis.
2. Sintering dilakukan dengan variasi temperatur pada 12500
C, 13500
C,
14500
C, 15500 C, dan 1600
0 C dengan holding temperature pada 950
0C,
holding time 2 jam dan heating rate 20C/min.
3. Karakterisasi Material meliputi
a. Karakterisasi sifat fisis: uji densitas/porositas dan observasi morfologi
menggunakan SEM (Scanning Electron Microscopy).
b. Pengujian sifat mekanis: uji kekerasan (vickers) dan fracture
toughness.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
6
1.4 Manfaat Penelitian
Pemahaman mengenai pengaruh kemurnian bahan baku alumina terhadap
temperatur sintering dan karakteristik keramik alumina diharapkan dapat
dijadikan acuan dalam pemilihan bahan dan penentuan parameter proses
sintesa alumina untuk mendapatkan karakteristik yang lebih unggul.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan penelitian ini terdiri atas lima bab. Adapun
sistematika dari penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang, tujuan, rumusan, batasan masalah dan
manfaat penelitian dan sistematika penelitian.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini berisi tentang kajian-kajian dasar sebagai teori pendukung
penelitian yang berisi tentang keramik alumina yang didapat dari berbagai
sumber buku, e-book maupun jurnal.
BAB 3 METODE PENELITIAN
Bab ini berisi tentang alat dan bahan, langkah-langkah, variabel penelitian
dan pengujian atau karakterisasi bahan.
BAB 4 ANALISA DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang analisa dari data yang diperoleh pada saat penelitian
dan pembahasan dari data yang diperoleh.
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merisi kesimpulan dari proses dan hasil penelitian yang telah
dilakukan, serta saran untuk penelitian selanjutnya.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Keramik
Johnson dan Alan (1995) menyatakan, material keramik merupakan kandidat
yang ideal dalam berbagai aplikasi karena mempunyai karakteristik seperti
kekerasan, kekakuan, dan stabilitas temperatur yang baik. Selain itu, untuk
meningkatkan karakteristik menjadi high melting atau memiliki temperatur
dekompsosisi yang tinggi, banyak keramik yang didesain dengan sifat seperti
densitas rendah, kuat pada temperatur tinggi, tahan terhadap reaksi kimia dan
korosi, serta mempunyai ketahaan aus yang tinggi. Namun keramik pada
umumnya mempunyai sifat fractrure toughness yang rendah, seperti rendahnya
ketahanan keramik terhadap perambatan retak bahkan pada kerusakan retak yang
sangat kecil.17
Van Vlanck (1985) (dalam Haries (2009)) menyatakan, keramik mengandung
senyawa antara logam dan non logam. Senyawa ini mempunyai ikatan ionik dan
ikatan kovalen, berbeda sifat dengan logam.18
Demikian pula Ismunandar (2004)
menyatakan, dua ikatan yang dapat terjadi dalam keramik, yaitu ikatan ionik dan
kovalen. Sifat keseluruhan material bergantung pada ikatan yang dominan.
Keramik juga memiliki karakteristik lainnya seperti kapasitas panas yang baik dan
kondukstivitas listrik yang rendah, sifat listriknya dapat insulator, semikonduktor,
konduktor bahkan superkonduktor, dan dapat bersifat magnetik dan non-
magnetik.
Klasifikasi bahan keramik dapat dibedakan menjadi dua kelas : kristal dan
amorf (non crystaline). Dalam bahan kristal terdapat keteraturan unsur-unsurnya
17
William B. Johnson and Alan S. Nagelberg, Phase Diagram in advance ceramics :
Aplication of Phase to the Produsction of Advance Composite, (Delware : Academic Press Inc,
1995), h.86 18
Haries Handoyo, Pembuatan Keramik dengan Metode Metalurgi Serbuk, (Yogyakarta :
2009), h.6
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
8
untuk jarak dekat maupun jauh, sedangkan dalam bahan amorf dimungkinkan
keteraturan unsur dan ukuran butirnya tidak ada jenis ikatan yang dominan (ionik
atau kovalen) dan struktur internal (kristal atau amorf) mempengaruhi sifat-sifat
bahan keramik. Aplikasi bahan keramik maju diterapkan pada komponen mesin
mobil dan struktur pesawat. Misalnya bahan titanium karbida (TiC) mempunyai
kekerasan 4 kali lebih besar dari baja. Jadi, kawat baja dalam struktur pesawat
dapat diganti dengan kawat TiC yang mampu menahan beban yang sama dengan
diameter dan berat separuhnya. Contoh lainnya adalah semen dan tanah liat,
keduanya dapat dibentuk ketika basah namun ketika kering akan menghasilkan
objek yang lebih keras dan lebih kuat. Material yang sangat kuat seperti alumina
(Al2O3) dan silikon karbida (SiC) merupakan bahan yang tahan abrasi sehingga
sering digunakan sebagai alat grinding dan polishing.19
Menurut Ismunandar (2004), kelemahan utama keramik adalah
kerapuhannya, yakni kecendrungan untuk patah dengan tiba-tiba saat terjadi
deformasi plastis. Ini merupakan masalah khusus jika bahan ini digunakan untuk
aplikasi struktural. Dalam logam, elektron-elektron yang terdelokalisasi
memungkinkan atom-atomnya berubah-ubah tanpa semua ikatan dalam
strukturnya putus. Hal inilah yang memungkinkan logam terdeformasi dibawah
pengaruh tekanan. Tetapi, dalam keramik karena kombinasi ikatan ion dan
kovalen tadi menyebabkan partikel-partikelnya tidak mudah bergeser. Sehingga
keramik dengan mudah putus bila gaya yang diberikan terlalu besar. 20
2.2 Keramik Alumina
Salah satu penggunaan bahan keramik adalah Alumina (Al2O3). Alumina
dengan rumus kimia Al2O3 merupakan material yang sering digunakan dalam
berbagai aplikasi karena alumina mempunyai karakteristik sifat fisika dan kimia
yang tinggi, seperti kekuatan yang sangat tinggi, sangat keras, isolasi elektrik
yang baik, ketahanan panas yang tinggi, temperatur lebur yang tinggi, ketahanan
19
Ismunandar, Keramik, pada http://kimianet.lipi.go.id, diakses pada 6 Juli 2014, pukul
16.05. 20
Ibid., h. 1
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
9
abrasi dan korosi yang tinggi. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, permintaan
alumina dengan kemurnian tinggi berkembang pesat diberbagai sektor seiring
dengan meningkatnya pertumbuhan mobil, komputer, semikonduktor, dan sektor
lain.
Alumina merupakan oksida keramik atau keramik teknik yang paling banyak
digunakan diantara dua puluh macam oksida keramik yang ada dan dianggap
sebagai pelopor keramik rekayasa material. Kandungan alumina (Al2O3)
bergantung pada permintaan pasar biasanya berkisar 85-99.9%.21
Alumina murni
diproduksi dengan menggunakan proses bayer dengan material bauksit sebagai
bahan baku pembuatan alumina. Proses ini digunakan untuk produk refraktori,
busi, armor, tabung termokopel, substrat IC dan elektronik. Alumina kemurnian
tinggi dengan kadar 99.99% mempunyai partikel halus yang seragam dan telah
banyak digunakan dalam tabung transluen untuk lampu sodium bertekanan tinggi,
material kristal tunggal seperti safir, dan material abrasif untuk pita magnetik.22
Lee and Rainforth (1994) (dalam Juliana Anggono (2008)) mengatakan, pangsa
pasar bahan berbasis alumina dalam jumlah berat adalah dalam aplikasi refraktoris
(50%), abrasif (20%), porselen dan busi (15%), sebagai keramik teknik (10%) .23
Alumina Oksida (Al2O3) memiliki struktur keramik heksagonal dimana
parameter kisi a = 4.7588, c= 12.991, c/a = 2.72.24
Densitas alumina 3.97-3.986
g/cm3.25
Alumina oksida (Al2O3) mempunyai dua fasa dasar yaitu α-Al2O3 dan γ-
Al203 atau biasa digolongkan ke dalam alumina murni, sedangkan diantara kedua
fasa itu ada β-Al2O3 yang merupakan bentuk alumina tidak murni. Worall (1986)
(dalam Rais (2007)) menyatakan, α-Alumina merupakan bentuk struktur yang
paling stabil dari struktur alumina sampai temperatur tinggi. α-Alumina atau yang
21
R.E Smallman, Metalurgi Fisika Modern & Rakayasa Material. (Jakarta : Erlangga,
2001), h.356 22
Shinji Fujiwara, et al. Development of New high-Purity Alumina Vol. I, (Sumitomo
Kagaku, 2007), h. 1 23
Juliana Anggono, Penyusutan dan Densifikasi Keramik Alumina : Perbandingan
Antara Hasil Proses Slip Casting dengan Reaction Bonding, (Surabaya : Universitas Kristen
Petra), h. 2 24
James F. Shackelford and Wiliam Alexander, Material Science and Engineering
Handbook Third Edition, (USA : CRC Press LLC, 2001), h.70 25
Ibid, h. 103
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
10
biasa disebut korundum memiliki struktur dasar kristal heksagonal (hexsagonal
closed packed-HCP). Kation korundum (Al3+
) menempati 2/3 bagian dari sisipan
oktahedral, anion (O2-
) menempati posisi HCP. Bilangan koordinasi dari struktur
korundum adalah 6, maka tiap ion Al3+
dikelilingi 6 ion O2-
dan tiap ion O2-
dikelilingi oleh 4 ion Al3+
untuk mencapai muatan netral.26
Aplikasi korundum (α-
Al2O3) disamping sebagai bahan paling tahan temperatur tinggi sampai 17000C,
juga merupakan material yang sangat keras dan kuat sehingga sering dipakai
sebagai bahan mekanik. Disamping itu sifat listrik atau konduktivitas listriknya
sangat rendah sehingga sangat cocok digunakan sebagai bahan isolator listrik.27
β-
Alumina (β‖-Al2O3) merupakan nama dari aluminat yang memiliki komposisi
perbandingan masa Na2O terhadap Al2O3, dengan kisaran 1 : 5 sampai 1 : 11 yang
dikenal sebagai konduktor ion Na’. β-Alumina sendiri adalah salah satu jenis
superionik yang dapat digunakan sebagai elektrolit baterai. Bahan ini digunakan
pada sistem penyimpanan energi listrik yang menyediakan bentuk baterai siap
pakai dan dapat digunakan di daerah yang jauh dari jaringan listrik.28
Gambar 2.1. Struktur Korundum 29
26
Muhammad Rais, Studi Analisis Simulasi tentang korelasi Temperatur Sintering dan
Presentase Aditif Mulit dengan Sifat Mekanik Keramik Alumina, (Medan : USU, 2007), h. 4 27
Ramlan, et al., Pembuatan Keramik Beta Alumina (NA2O-Al2O3) dengan Aditif MgO
dan Karakterisiasi Sifat Fisis serta Struktur Kristalnya Vol 7 No. 1 Juni, (Serpong : Jurnal Fisika
Himpunan Fisika Indonesia Publishing, 2007), h. 11 28
Marzuki Silalahi, Pembuatan Tabung Keramik β”-Alumina, JUSAMI Vol. 10, No. 3,
Juni, (Serpong : Jusami press, 2009), h.261-262 29
Philippe Boch and Jean Claude Niepce, Ceramic Materials Processes, Properties and
Applications, (USA : ISTE, 2007), h. 201
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
11
Sifat fisis dan Mekanis Keramik Alumina secara umum, yaitu:
1. Sinonim : Aluminium Oksida
2. Rumus Molekul : Al2O3
3. Berat Molekul : 101,96
4. Deskripsi : Berbentuk serbuk berwarna putih
5. Densitas : 3960 kg/m3
6. Kelarutan dalam air : tidak larut dalam air
7. Titik didih : ~ 30000C
8. Titik leleh : 20500C
9. ∆Hf0 solid : -1675.7 kJ/mol
10. Kekerasan : 1500-1800 kgf/mm2
11. Kuat Tekan : 230-350 MPa
12. Koefisien Ekspansi termal : 8-9 X 10-6 0
C-1
13. Konduktivitas termal : 24-26 W/m0K
Secara spesifik, sifat-sifat alumina dengan kemurnian 94%. 96%, dan 99.5%
dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut :30
Tabel 2.1 Perbandingan sifat-sifat alumina kemurnian 94%, 96%, dan 99.5%
ALUMINA
Mechanical 94 % 96 % 99.5 %
Density (gm/cc) 3.69 3.72 3.89
Porosity (%) 0 0 0
Color White white Ivory
Flexural Strength (MPa) 330 345 379
Elastic Modulus (GPa) 300 300 375
30
Anonim, Aluminium Oxcide, Al2O3 Ceramics Properties, pada http://accuratus.com,
diakses pada 17 April 2014, pukul 12.46 wib
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
12
Shear Modulus (GPa) 124 124 152
Bulk Modulus (GPa) 165 172 228
Poisson’s Ratio 0.21 0.21 0.22
Compressive Strength (MPa) 2100 2100 2600
Hardness (Kg/mm2) 1175 1100 1440
Fracture Toughness KIC (MPa.m1/2
) 3.5 3.5 4
Maximum Use Temperature
(no load) (°C)
1700 1700 1750
Thermal
Thermal Conductivity (W/m.°K) 18 25 35
Coefficient of Thermal Expansion
(10–6
/°C)
8.1 8.2 8.4
Specific Heat (J/Kg.°K) 880 880 880
Electrical
Dielectric Strength (ac-kv/mm) 16.7 14.6 16.9
Dielectric Constant (@ 1 MHz) 9.1 9.0 9.8
Dissipation Factor (@ 1 kHz) 0.0007 0.0011 0.0002
Loss Tangent (@ 1 kHz) — — —
Volume Resistivity (ohm.cm) >1014
>1014
>1014
Karakteristik keramik alumina memiliki kekerasan yang tinggi, modulus
elastisitas tinggi, kekuatan mekanis yang baik, tahan aus, namun, sifat listrik atau
konduktivitas listriknya sangat rendah, tahan korosi dan bahan kimia. Dense fine-
grained alumina keramik mempunyai nilai modulus young 400 GPa (dua kali
modulus baja), rasio poisson 0.25, kekerasan vickers 20 GPa dan kekuatan
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
13
bending σF 300-500 MPa. 31
Untuk aplikasi pada temperatur tinggi yang tahan
korosi, sinteri alumina dapat dicapai pada temperatur 16000C, namun nilai
tegangan (stress) tidak lebih dari beberapa MPa.
Chawla (1993) dan Kai et al. (1991) (dalam Akmal Johan (2009))
menyatakan, untuk pengaplikasian alumina ada beberapa karakteristik yang
diperlukan, antara lain32
:
1. Mempunyai densitas yang tinggi dan porositas rendah
2. Mempunyai ukuran butir yang kecil untuk aplikasi temperatur rendah
3. Mempunyai ukuran butir yang besar untuk aplikasi temperatur tinggi
4. Mempunyai kemurnian yang tinggi.
Menurut Akmal Johan (2009), ukuran butir yang sangat kecil sangat
diperlukan pada aplikasi temperatur rendah karena pada temperatur rendah
kekuatan dan ketangguhan alumina meningkat dengan menurunya ukuran butir.
Untuk aplikasi temperatur tinggi diperlukan alumina dengan ukuran butir besar
agar tidak terjadi pertumbuhan butir yang tidak terkendali yang dapat menurunkan
kekuatan alumina tersebut. Proses sintering pada temperatur rendah dapat
menghasilkan butir alumina yang relatif kecil, tetapi pada saat yang sama terdapat
pula porositas dalam jumlah besar. Pada sintering temperatur tinggi, porositas
dapat dikurangi dengan adanya pergerakan batas butir akan tetapi terjadi pula
pertumbuhan butir yang tidak terkendali.33
Penggunaan keramik alumina pada armor (jaket anti peluru, lapisan -
pelindung helikopter atau tank) mampu menghentikan kecepatan proyektil yang
tinggi (~1.000 m/s) atau lelehan lemparan logam tinggi dengan kecepatan
(~10.000 m/s). Sehingga dibutuhkan produk dengan modulus tinggi dan kekuatan
mekanis yang tinggi dibawah tekanan untuk aplikasi armor.34
Selain itu, keramik
alumina secara luas digunakan untuk industri elektronik. Sparks plugs untuk
31
Philippe Boch and Jean Claude Niepce, op.Cit., h. 205 32
Akmal Johan, Karakterisasi Sifat Fisik dan Mekanik Bahan Refraktori α-Al2O3
Pengaruh Penambahan TiO2,(Sumatra Selatan : Jurnal Penelitian Sains Publisher, 2009) h. 2 33
Akmal Johan, loc.Cit., h. 2 34
Philippe Boch and Jean Claude Niepce, op.Cit., h. 208
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
14
automobil menggunakan material antara aluminous ceramic dan alumina dengan
komposisi ~94% Al2O3. Pada bidang elektronik, substrat insulasi seperti kapasitor
dan resistor. Kelebihan alumina adalah sifat resistivitas yang tinggi, sifat mekanik
bagus (kekerasan, kekuatan mekanik). Aplikasi lainnya, α-Al2O3 porous dengan
ketahanan kimia dan panas yang dimilikinya digunakan dalam aplikasi seperti
sebagai membran ultrafiltrasi, pemisah gas.35
2.3 Metalurgi Serbuk
Callister (1994) (dalam Daniel (2011)) mengatakan, metalurgi serbuk adalah
proses pembentukan produk dari serbuk dengan atau tanpa penekanan, yang
diikuti dengan proses perlakuan panas untuk memperoleh kepadatan yang
diinginkan. Dalam metalurgi serbuk, serbuk dapat berfungsi sebagai bahan utama
produk atau bahan pengikat sehingga dalam prosesnya, serbuk dapat dicampur
dari dua jenis bahan serbuk atau lebih.36
Suryana (1986) (dalam Haries (2009))
mengatakan, metalurgi serbuk adalah pengetahuan dan seni tentang pembuatan
dan pemakaian serbuk logam atau paduannya. Teknik metalurgi serbuk meliputi
pembuatan benda yang tidak dapat atau tidak mudah dihasilkan dengan peleburan,
contohnya pembuatan logam-logam refraktori dan benda berpori. Benda jenis
tersebut lebih ekonomis daripada metode casting. Barang-barang hasil metalurgi
serbuk memiliki beberapa sifat yang lebih unggul daripada yang dibuat dengan
proses peleburan.37
Proses metalurgi serbuk melibatkan tiga langkah dasar yaitu pembentukan
serbuk, pencetakan serbuk, dan pen-sinter-an serbuk. Sementara Haries (2009)
menyatakan, metode pembuatan keramik secara garis besar meliputi tahapan-
tahapan berikut ini:
35
Ibid, h. 209-210 36
Daniel Subekti, Analisa Sifat Fisik, Sifat Mekanik, Struktur produk Proses indirect
Pressureless Sintering Berbahan Serbuk Ni dan Sifat Termal Berbahan Serbuk Cu Dengan
Supporting Powder Besi Cor, (Semarang : Fakultas Teknik Universitas Diponegoro, 2011),
diakses melalui http://eprints.undip.ac.id/41328/2/halaman_isi.pdf, pada 13 Agustus 2014, pukul
14.43 37
Haries Handoyo, Op.Cit., h.10
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
15
1. Pemilihan Bahan dasar (raw material selection)
Pada tahap ini, bahan dipilih berdasarkan kebutuhan. Beberapa hal yang
dipertimbangkan adalah karakteristik material yang dihasilkan, biaya dan
kemudahan dalam memperoleh bahan tersebut. Bahan dasar kemudian
diolah lebih lanjut sehingga siap untuk diproses.
2. Persiapan Powder (powder preparation)
Umumnya bahan dasar pembuatan keramik selalu dalam bentuk serbuk.
Beberapa keuntungan serbuk diantaranya dapat diperkecil ukuran partikel
dan memodifikasi distribusi ukurannya. Serbuk harus dibuat sekecil
mungkin karena kekuatan mekanik dari keramik berbanding terbalik
dengan ukuran serbuk. Pembuatan serbuk dapat dilakukan dengan
menggunakan penggerus manual seperti mortar, ayakan atau dapat juga
menggunakan ball mill.
3. Pencetakan (molding)
Secara umum ada tiga metode pencetakan keramik, yaitu pressing,
casting, dan plastic molding. Dry pressing dan slip casting merupakan
teknik pencetakan yang dapat digunakan untuk membuat keramik berpori.
Menurut Askeland (1987) (dalam Tino Umbar (2013)), dalam proses
pencetakan keramik biasanya digunakan aditif untuk mempermudah
pencetakan dan untuk membantu mengontrol struktur mikro dari material
yang akan dihasilkan. Dalam proses pencetakan, aditif memiliki berbagai
fungsi antara lain sebagai bahan pengikat (binder), plasticizer, dispersant
dan lubricant. Fungsi penting dari binder adalah untuk meningkatkan
kekuatan dari keramik hasil pencetakan, sebelum mengalami perlakuan
panas atau biasa disebut green body. Binder/lubricant yang biasa
digunakan antara lain PVA dan PEG. Sunendar (2005) (dalam Haries
(2009)) menyatakan PVA merupakan polimer yang tidak berbau dan tidak
beracun dan dapat terdekomposisi pada temperatur diatas 2000C.
4. Pengeringan (drying)
Pada tahap ini, green body hasil proses kompaksi dikeringkan agar kadar
air yang terdapat didalamnya berkurang. Pengeringan dapat dilakukan
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
16
secara alami dengan didiamkan di udara terbuka, desikator ataupun dengan
bantuan alat pemanas.
5. Pembakaran (sintering)
Setelah pengeringan, green body dipanaskan lebih lanjut untuk
menghilangkan binder yang terdapat didalamnya. Aditif lain seperti
plasticizer, lubricant dan dispersant juga dihilangkan pada tahap ini.
Temperatur pemanasan harus memperhatikan temperatur dekomposisi dari
aditif yang digunakan dan titik leleh bahan yang dicampur. Pada proses
sintering terjadi pengikatan zat berbentuk bubuk dengan reaksi keadaan
padat oleh pemanasan pada temperatur solid solution yang tingkatannya
lebih rendah dari temperatur leleh. Proses sintering dipengaruhi oleh fakto-
faktor seperti ukuran partikel, temperatur, waktu, energi permukaan dan
lain-lain.38
Faktor terpenting dalam proses metalurgi serbuk adalah sebagai berikut
berdasarkan ASM Handbook Vol. 7, 1998:
1. Ukuran serbuk (size)
Ukuran serbuk berpengaruh pada beberapa parameter yaitu tingkat
keakuratan atau geometri karena semakin kecil serbuk maka ketelitiannya
semakin tinggi sehingga dimensi produk yang dihasilkan sesuai dengan
keinginan, mampu alir yang menggambarkan sifat alir serbuk dan
kemampuan memenuhi ruangan cetak sehingga mengecilnya ukuran
partikel serbuk akan mempersempit rongga atau celah antar partikel.
2. Tingkat kerumitan produk (shape complexity) dan toleransi (tolerance)
PM (Powder Metallurgy) adalah proses pembuatan produk yang
memungkinkan untuk dapat menghasilkan produk hasil akhir yang
komplek. Kemampuan untuk menghasilkan bentuk yang komplek pada
PM tergantung pada metode yang digunakan untuk menyatukan serbuk.
Untuk mengendalikan toleransi, yang berarti bentuk hasil akhir dari
produk mendekati bentuk yang diinginkan merupakan masalah yang
38
Ibid., h. 10-12
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
17
komplek pada PM. Toleransi berkaitan erat dengan beberapa parameter,
diantaranya adalah karakteristik serbuk, penekanan yang dilakukan dan
sintering.
3. Material yang dipakai (Material system)
Bentuk serbuk, ukuran, dan kemurnian serbuk adalah faktor yang penting
dalam proses PM. Untuk beberapa proses PM, serbuk haruslah berukuran
kecil, dengan bentuk yang seragam (berbentuk bola) sedangkan untuk
penggunaan yang lain diperlukan bentuk serbuk yang tidak beraturan. Pada
umumnya semua jenis material dan paduan dapat dijadikan serbuk.
4. Produk yang dihasilkan dan biaya (quantity and cost).39
2.3.1 Teori Serbuk
Serbuk adalah partikel yang berukuran lebih kecil dari 1 mm. Pengembangan
teknologi untuk pembuatan produk dengan menggunakan serbuk merupakan suatu
langkah yang tepat untuk menghasilkan produk dengan bentuk yang komplek,
memiliki kualitas atau tingkat ketelitian yang bagus dan lebih ekonomis. Ukuran
partikel, bentuk, dan distribusi ukuran serbuk mempengaruhi karakteristik dan
sift-sifat fisis dari benda yang akan dibuat dengan proses penekanan. Spesifikasi
pembuatan serbuk, antara lain:
a. Bentuk Partikel (particle shape)
Bentuk dari partikel tergantung pada cara pembuatannya. Bentuk partikel
ini akan mempengaruhi packing, aliran (flow) dan kompresitas. Bentuk
partikel ada bermacam-macam seperti ditunjukan pada gambar 2.2.
39
Daniel Subekti, op.Cit., h. 5-6
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
18
Gambar 2.2 Bentuk-bentuk Partikel Serbuk
b. Ukuran Partikel Serbuk (kehalusan)
Ukuran partikel dan distribusi ukuran partikel, keduanya memiliki
pengaruh yang signifikan dalam mampu alir dan sifat lainnya. Seperti bulk
density, angle of reposse dan compressibility dari bulk solid. Perubahan
kecil pada ukuran partikel bisa menyebabkan perubahan yang signifikan
dalam menghasilkan mampu alir. Dimensi serbuk yang halus akan lebih
mudah bereaksi apabila dibandingkan dengan dimensi serbuk yang lebih
besar sehingga dapat menurunkan mampu alir material. Dalam
kebanyakan kasus, ketika serbuk menjadi lebih halus maka serbuk akan
menjadi lebih kohesif dan sulit untuk dikendalikan.
Tabel 2.2 Ukuran dari Partikel (Brown and Richard (1970) dan
Nedderman. (1992))
Tingkat ukuran
partikel (μm) Klasifikasi Kategori
< 1 Serbuk sangat halus
Serbuk
1 – 100 Serbuk super lembut
10 – 100 Butiran serbuk Material
butiran 100 – 3000 Butiran padat
>3000 Pecahan padat
c. Distribusi Ukuran Partikel
Dalam memproduksi serbuk ukuran partikel yang dihasilkan tidaklah
seragam, tetapi terdapat ukuran partikel serbuk. Ukuran partikel yang
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
19
terkumpul tersebut lalu dianalisa distribusi ukuran partikelnya kemudian
distribusi ukuran partikel dibuat dalam bentuk histogram atau frekuensi
yang menunjukan jumlah dari serbuk pada tiap-tiap ukuran.
d. Mampu Alir (flowability)
Mampu alir merupakan karakteristik yang menggambarkan sifat alir
serbuk dan kemampuan memenuhi ruangan cetak. Kemampuan alir
berkaitan erat dengan sifat kohesi antar partikel sehingga partikel yang
memiliki kemampuan pemadatan (packabillity) bagus akan memiliki
kemampuan alir yang bagus juga.
e. Sifat kimia
Terutama menyangkut kemurnian serbuk dan pengotor (impurity) yang
berpengaruh terhadap kualitas produk yang dihasilkan.
f. Kompresibilitas (compressibility)
Compresibility adalah perbandingan volume serbuk semula dengan
volume benda yang sudah ditekan. Jika volume serbuk mula-mula
didefinisikan V0 dan volume benda yang sudah ditekan didefinisikan
dengan V1, maka kompresibilitas sama dengan V0/V1. Nilai yang
ditunjukan berbeda-beda dan dipengaruhi oleh distribusi ukuran dan
bentuk butir, kekuatan tekan green body tergantung pada kompresibilitas.
g. Apparent density
Apparent density atau berat jenis serbuk dinyatakan dalam gr/cm3.
Apparent density merupakan serbuk yang ditempatkan pada sebuah
silinder yang sudah diketahui volumenya lalu berat serbuk yang memenuhi
silinder ditimbang beratnya.
2.3.2 Pemprosesan Pemisah Ukuran Partikel Serbuk (Pengayakan)
Salah satu teknik untuk menganalisis ukuran partikel adalah pengayakan
(sieve analysis). Ayakan merupakan kisi-kisi yang terbuat dari kawat per unit
panjang. Semakin besar ukuran mesh maka semakin kecil ukuran bukaan. Proses
dasar pengayakan adalah lolosnya serbuk dari sebuah ayakan dengan beberapa
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
20
bukaan. Partikel yang lolos dari ayakan adalah partikel yang lebih kecil dari
ukuran bukaan, dan partikel yang tertinggal adalah partikel yang lebih besar.40
2.4 Sintering
Fayed and Otten (1997) (dalam Daniel (2011)) menyatakan, proses sintering
merupakan proses pemadatan material serbuk dengan cara membentuk ikatan
batas butir antar serbuk penyusunnya. Ikatan antar butir terjadi akibat pemanasan
dengan atau tanpa penekanan dan temperatur sintering yang diatur di bawah
temperatur leleh dari partikel penyusunnya. Menurut German (1994), pada proses
sinter, benda padat terjadi karena terbentuknya ikatan-ikatan antar partikel.
Pemanasan menyebabkan bersatunya partikel dan efektivitas reaksi tegangan
permukaan meningkat. Sehingga, proses sinter menyebabkan bersatunya partikel
sedemikian rupa sehingga kepadatan serbuk bertambah. Selama proses sinter
terbentuklah batas-batas butir yang merupakan tahap permulaan rekristalisasi. Di
samping itu, gas yang ada menguap dan temperatur sinter umumnya berada di
bawah titik cair unsur serbuk, selama proses sinter terjadi perubahan dimensi, baik
berupa pengembangan maupun penyusutan tergantung pada bentuk dan distribusi
ukuran partikel serbuk, komposisi serbuk, prosedur sinter dan tekanan
pemampatan.41
Menurut Marzuki (2007), proses sintering adalah proses pemadatan atau
konsolidasi dari sekumpulan serbuk pada temperatur mendekati titik leburnya.
Sintering merupakan tahapan pembuatan keramik yang sangat penting dan
menentukan sifat-sifat produk keramik. Energi yang digunakan untuk
menggerakan proses sintering disebut gaya dorong (driving force) yang ada
hubungannya dengan energi permukaan butir. Pengaruh temperatur sintering
terhadap perubahan densitas dengan porositas saling berlawanan. Jika temperatur
sintering semakin tinggi maka densitas, kekuatan mekanik dan ukuran butir
40
Ibid, Analisa Sifat Fisik, Sifat Mekanik, Struktur produk Proses indirect Pressureless
sintering Berbahan Serbuk Ni dan Sifat Termal Berbahan Serbuk Cu Dengan Supporting Powder
Besi Cor, , h. 7-10 41
Ibid, h. 12
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
21
semakin besar sedangkan porositas menurun.42
German (1994) menyatakan,
energi permukaan tiap satuan volume berbanding terbalik dengan diameter
partikel jadi partikel berukuran kecil mempunyai energi lebih besar daripada
partikel dengan ukuran besar. Selama proses sintering terjadi perpindahan massa
dari partikel ke neck dan perpindahan massa ini terjadi untuk mengurangi energi
permukaan partikel dengan cara memperluas permukaan partikel. Jadi, selama
proses sintering terjadi eliminasi atau pengurangan energi permukaan. Sehingga
parameter yang digunakan untuk mengukur tingkat sintering (degree of sintering)
adalah luas permukaan. Parameter lain yang bisa digunakan dalam mengukur
tingkat sintering adalah perbandingan antara ukuran neck (x) dengan diameter
partikel (D), untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar 2.3.43
Gambar 2.3 Pemodelan Partikel
Sementara itu, Suvaci (2008) menyatakan, sintering merupakan proses heat
treatment, sebuah langkah proses untuk memproduksi material dengan
mengontrol mikrostruktur dan porositas secara konstan. Hasil dari proses sintering
bertujuan untuk mengurangi porositas dan meningkatkan kekuatan mekanik
setelah kompaksi.44
Selain itu, Randall (1991) berpendapat bahwa pada proses
sintering terjadi perubahan mikrostruktur seperti pertumbuhan butir (grain
growth), peningkatan densitas, dan penyusutan (shrinkage). Sintering merupakan
tahapan pembuatan keramik yang sangat penting dan sangat menentukan sifat-
sifat dari produk keramik.45
Seperti yang dijelaskan Randall (1991) sebelumnya
42
Marzuki Silalahi, loc.Cit., h. 263 43
Daniel Subekti, op.Cit., h.15-16 44
Ender Suvaci, Sintering of Ceramics Theory and Practice, Anadolu University, Dept.
Of Material Science and Engineering Turkey, (South Africa : Element Six, Spring, 2008), h.7 45
Randal. Fundamental of Sintering. Engineering Material Handbook Vol. 4, (USA :
ASM Internasional Handbook Committee, 1991), h. 260-270
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
22
bahwa proses sintering sangat mempengaruhi perubahan dimensi sampel
(shrinkage). Semakin tinggi temperatur maka nilai penyusutannya semakin
meningkat.
Menurut Suvaci (2008), ada beberapa variabel yang mempengaruhi
mikrostruktur dan sintering yaitu variabel material dan variabel proses. Pertama,
variabel yag berkorelasi dengan bahan dasar (variabel material) meliputi serbuk
(bentuk, ukuran, distribusi ukuran, aglomerasi, campuran bahan) dan Chemistry
(komposisi, impuritas, non-stokiometri, homogenitas). Kedua, variabel yang
berhubungan dengan sintering (variabel proses) meliputi temperatur, waktu,
tekanan, atmosfer, heating dan cooling rate.46
Pada dasarnya, proses sintering
dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu solid state sintering dan liquid state
sintering.
Menurut Ristic (1989) dan Randall (1991) (dalam Rais (2007)), proses
sintering dapat berlangsung apabila:47
1. Adanya transfer materi diantara butiran (proses difusi).
2. Adanya sumber energi yang dapat mengaktifkan transfer materi, kemudian
energi tersebut digunakan untuk menggerakan butiran sehingga terjadi
kontak dan ikatan yang sempurna.
Kaston (2008) menyatakan, mekanisme proses sinter materi (difusi) selama
proses sintering dapat berlangsung melalui: difusi volume, difusi permukaan,
difusi batas butir, difusi secara penguapan dan kondensasi.48
Tiap-tiap mekanisme
difusi akan memberikan efek terhadap perubahan sifat fisik bahan setelah
sintering antara lain perubahan: densitas, porositas, penyusutan, dan pembesaran
butir. Dengan adanya difusi tersebut maka akan terjadi kontak antara partikel dan
46
Ender Suvaci, op.Cit., h. 16 47
Muhammad Rais, Studi Analisis Simulasi Tentang Korelasi Temperatur Sintering dan
Presentase Adtif Mullit 3Al2O3.2SiO2 dengan Sifat Mekanik Keramik Alumina Al2O3, (Medan :
USU, 2007), h. 11 48
Kaston Sijabat, Pembuatan Keramik Paduan Cordierit-Alumina Sebagai Bahan
Refraktori dan Karakterisasinya, (Medan : USU, 2008)
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
23
terjadi suatu ikatan yang kuat diantara partikel-partikel, disamping itu terjadi
rekonstruksi susunan partikel. Menurut Ristic (1989) (dalam Kaston (2008)),
umumnya peningkatan densitas, pengurangan pori dan penyusutan disebabkan
karena adanya difusi volume dan difusi batas butir. Faktor-faktor yang dapat
mempercepat laju proses sintering antara lain: ukuran partikel, dan penggunaan
aditif. Untuk penggunaan partikel yang lebih kecil maka proses sintering akan
dapat berjalan lebih cepat dibandingkan dengan pengunaan partikel yang lebih
besar.49
Mekanisme sintering dimulai dengan adanya kontak antara butir yang
dilanjutkan dengan pelebaran titik kontak akibat proses difusi atom-atom. Difusi
yang berlebihan menyebabkan penyusutan volume pori yang terjadi selama proses
sintering berlangsung. Densitas alumina meningkat dengan peningkatan
temperatur sintering. Secara umum, perubahan yang terjadi saat proses sintering
berlangsung dapat dibagi menjadi tiga tahapan yang ditandai dengan peningkatan
temperatur sintering dan densifikasi material.50
1. Tahap awal (initial stage), secara umum ditandai dengan penyusunan
kembali formasi leher, yang meliputi penyusunan kembali partikel dan
formasi leher awal di titik kontak antar partikel. Porositas pada tahap ini
tidak banyak berkurang, begitu pula penyusutan tidak banyak terjadi.
Tahap pertama dalam proses sinter ditunjukan Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Tahap pertama proses sinter, (a) partikel awal, (b) penyusunan
kembali, (c) terbentuknya formasi leher (diadopsi dari German, 1994)
49
Ibid., h. 20 50
Anonim, Sintering, pada http://en.wikipedia.org/wiki, diakses pada 28 Maret 2014,
pukul 10.15
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
24
2. Tahap pertengahan (intermediate stage), pertumbuhan terus berlanjut yang
diikuti dengan pertumbuhan butir dan pertumbuhan pori. Perubahan fisik
yang terjadi pada tahap dua, meliputi pertumbuhan ukuran leher antar
partikel, porositas menurun atau berkurang, pusat partikel bergerak
semakin dekat secara bersama-sama. Batas butir mulai berpindah sehingga
butir mulai tumbuh, terbentuk saluran yang saling berhubungan (continous
channel) dan berkahir ketika porositas terisolasi. Densifikasi paling
banyak terjadi pada tahap ini. Akibatnya material yang menjalani tahap ini
akan mengalami penyusutan yang cukup signifikan. Pada tahap ini masih
terdapat banyak pori meskipun bentuknya telah berubah. Tahap kedua
ditunjukan pada gambar 2.5
Gambar 2.5 Tahap Pertengahan Sinter (a) pertumbuhan leher dan volume
penyusutan, (b) perpanjangan dari batas butir, (c) pertumbuhan butir
berlanjut dan batas butir meluas, volume penyusutan dan pertumbuhan
butir. (diadopsi dari German, 1994)
3. Tahap akhir (final stage), ditandai dengan hilangnya struktur pori dan
munculnya batas butir. Tahap ini batas butir bergerak dan terjadi
pembesaran ukuran butir sampai kanal-kanal pori tertutup dan sekaligus
terjadi penyusutan. Tahap akhir sinter ditunjukan pada gambar 2.6.
Gambar 2.6 Tahap Akhir Sinter (a) Pertumbuhan leher dengan
discontinues pore-phase, (b) pertumbuhan butir dengan pengurangan
porositas, (c) pertumbuhan butir. (diadopsi dari German, 1994).
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
25
Gambar 2.7 Pertumbuhan ikatan mikrostruktur antar partikel keramik selama
proses sinter (diadopsi dari German, 1994)
Model sinter dapat digambarkan dalam bentuk dua partikel yang membentuk
ikatan antar partikel selama sintering. Dimulai dengan kontak titik dan dilanjutkan
dengan pertumbuhan leher yang terjadi pada batas butir kontak partikel. Jika
waktu cukup, dua partikel akan bergambung menjadi satu partikel besar seperti
pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Model sinter dua partikel (German, 1994)
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
26
Laju penyusutan dipengaruhi oleh waktu dan temperatur sintering. Randall
(1991) (dalam Rais (2007)) menyatakan, pengaruh temperatur sintering terhadap
perubahan densitas dan porositas saling berlawanan. Apabila temperatur sintering
semakin tinggi maka kekuatan mekanik dan ukuran butir semakin besar,
sedangkan porositas dan sifat listriknya menurun.51
Dalam tahap pembuatan
bahan keramik, proses pembakaran merupakan proses yang sangat menentukan
sifat bahan. Temperatur pembakaran ditentukan oleh bahan yang ingin dibuat.
Bahan dasar yang digunakan dapat digolongkan sebagi bahan teknis yang rendah
kemurniannya, atau bahan p.a (pro analysis) yang tinggi kemurniannya. Dalam
proses sintering, berbagai bahan yang tidak diharapkan dapat dihilangkan agar
bahan dengan komposisi tertentu yang diinginkan terbentuk.52
William C (1991)
(dalam Kaston (2008)) menyatakan, melalui proses pencetakan terjadi
penggabungan atau pengelompokan beberapa butiran, tetapi butiran satu dengan
yang lainnya belum terikat kuat. Ikatan antara butiran setelah proses sintering,
dimana akan terjadi penyusutan dimensi yang disertai pengurangan pori yang ada
diantara butiran. Dengan demikian material yang telah disintering akan menjadi
semakin padat dan kuat.53
Semakin banyak jumlah partikel yang kecil maka nilai
densitas sintering semakin besar atau persen kepadatannya semakin besar.
Pengaruh temperatur sintering terhadap perubahan densitas, kekuatan mekanik
dan ukuran butir adalah berbanding lurus akan tetapi sebaliknya terhadap
porositas, resistivitas.
2.5 Densitas
Densitas pada material didefinisikan sebagai perbandingan antara massa (m)
dengan volume. Densitas dinyatakan dalam g/cm3 dan dilambangkan dengan ρ
(rho).
ρ =
51
Muhammad Rais, op.Cit., h. 14 52
Tino Umbar, et al. Pembuatan Keramik Alumina dengan menggunakan Metode
Metalurgi Serbuk dengan Variasi Temperatur dan Komposisi, (Serpong : STTN-BATAN, 2013),
h. 12 53
Kaston Sijabat, op.Cit., h. 20
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
27
dimana : m = massa (g)
V = volume (cm3)
ρ = densitas (g/cm3)
Uji ini dilakukan untuk mengetahui sifat fisik material uji, dalam hal ini
densitas spesimen Alumina hasil sintering yang mengacu pada standar ASTM
C.373-88. Pengujian dilakukan dengan menggunakan prinsip Archimedes.
2.6 Porositas
Pengukuran porositas bertujuan mengetahui pori-pori yang terdapat dalam
sampel. Porositas merupakan satuan yang menyatakan keporositasan suatu
material yang dihitung dengan mencari persen (%) berdasarkan daya serap bahan
terhadap air dengan perbandingan volume air yang diserap terhadap volume total
sampel.
2.7 Kekerasan
Uji kekerasan vickers menggunakan indentor piramida intan yang pada
dasarnya berbentuk bujur sangkar. Besar sudut permukaan piramida intan yang
saling berhadapan adalah 1360. Nilai ini dipilih karena mendekati sebagian besar
nilai perbandingan yang diinginkan antar diameter lekukan dan diameter bola
penumbuk pada uji kekerasan brinell.54
Gambar 2.9 Bentuk Identer vickers
54
Geoege Dieter, Mechanichal Metallurgy, (Mc. Grow Hill Book Co., 1987)
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
28
Gambar.2.10 Pengujian vickers
Angka kekerasan vickers didefinisikan sebagai beban dibagi luas permukaan
lekukan. Pada prakteknya, luas ini dihitung dari pengukuran mikroskopik panjang
diagonal jejak. VHN dapat ditentukan dari persamaan berikut : 55
VHN =
=
Dengan :
P = beban yang digunakan (kg)
D = panjang diagonal rata-rata (mm)
Θ = sudut antara permukaan intan yang berhadapan = 136
Karena jejak yang dibuat dengan penekanan piramida serupa secara geometris
dan tidak terdapat persoalan mengenai ukurannya, maka VHN tidak bergantung
kepada beban. Pada umumnya hal ini dipenuhi, kecuali pada beban yang sangat
ringan. Beban yang biasanya digunakan pada uji vickers berkisar antara 1-120 kg.
55
Penulis, Uji Kekerasan Vickers, pada http://teknik-mesin1.blogspot.com/2011/06/uji-
kekerasan-vickers.html, diakses pada 12 Juli 2014 pukul 15.28
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
29
Tergantung pada kekerasan logam yang diuji. Hal-hal yang menghalangi
keuntungan pemakaian metode vickers adalah :
1. Uji ini tidak dapat digunakan untuk pengujian rutin karena pengujian ini
sangat lamban.
2. Memerlukan persiapan permukaan benda uji.
3. Terdapat pengaruh kesalahan manusia yang besar pada penentuan panjang
diagonalnya.
Keuntungan metode vickers :
Indentor dibuat dari bahan yang cukup keras sehingga dimungkinkan
dilakukan untuk berbagai jenis logam.
Memberikan hasil berupa skala kekerasan yang kontinu dan dapat
digunakan untuk menentukan kekerasan pada material yang sangat lunak.
Dapat dilakukan untuk benda-benda dengan ketebalan yang sangat tipis
sampai 0.006 inchi.
Harga kekerasan yang didapat dari uji vickers tidak bergantung pada besar
beban identor.56
2.8 Fracture Tougness (KIC )
Fracture Toughness merupakan kemampuan material untuk menahan beban
atau deformasi yang terjadi akibat retak dengan memperhatikan faktor cacat
material, geometri material, kondisi pembebanan, dan tentunya property material
yang digunakan. Secara umum, fracture toughness merupakan ketangguhan retak
suatu material untuk mengevaluasi kemampuan komponen yang mengandung
cacat untuk melawan fracture (pecah/patah). Besarnya nilai fracture toughness
dipengaruhi oleh ketebalan suatu material. Semakin tebal suatu material maka
nilai fracture toughness akan semakin besar akan tetapi jika tebal material
melebihi batas kritis maka akan menyebabkan nilai fracture toughness cenderung
konstan. Ketebalan suatu material dipengaruhi oleh kondisi pembebanan, jika
56
William Calister, Material and Science Engineering : An Introduction”, 6th edition,
(John Wiley & Sons, Inc., 2003)
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
30
beban yang diberikan merupakan plain strain (regangan/tarikan) maka akan
membutuhkan nilai ketebalan yang lebih besar sedangkan jika beban yang
diberikan merupakan plane stress (tekanan) maka membutuhkan nilai ketebalan
yang relatif lebih kecil.57
2.9 Penyusutan Massa dan Volume
2.9.1 Susut Massa
Pengukuran susut massa dilakukan pada sampel uji yang berbentuk pelet
dengan massa awal (sebelum dibakar).
Susut massa =
x 100%
Dimana : mo = massa sebelum dibakar
ms = massa sesudah dibakar
2.9.2 Susut Volume
Pengukuran susut volume dilakukan pada benda uji berbentuk pelet dengan
volume awal (sebelum dibakar).
Susut massa =
x 100%
Dimana : Vo = volume sebelum dibakar
Vs = volume sesudah dibakar
57
Putu Aditya Setiawan, Fracture Toughness, pada
http://putukebaronga.blogspot.com/2011/05/fracture-toughness.html diakses pada 28 Agustus
2014 pukul 11.40 WIB
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
31
2.10 KARAKTERISASI MATERIAL
2.10.1 SEM (Scanning Electron Microscopy)
Mikrajuddin dan Khairurrijal (2009) menyatakan, SEM adalah salah satu
jenis mikroskop elektron yang menggunakan berkas elektron untuk menggambar
profil permukaan benda. Prinsip kerja SEM adalah menembakan permukaan
benda dengan berkas elektron berenergi tinggi. Permukaan benda yang dikenai
berkas akan memantulkan kembali berkas tersebut atau menghasilkan elektron
sekunder ke segala arah. Tetapi ada satu arah dimana berkas dipantulkan dengan
intensitas tertinggi. Detektor di dalam SEM mendeteksi elektron yang dipantulkan
dengan intensitas tertinggi. Arah tersebut memberi informasi profil permukaan
benda seperti seberapa landai dan kemana arah kemiringan. Pada saat dilakukan
pengamatan, lokasi permukaan benda yang ditembak dengan berkas elektron di-
scan ke seluruh area daerah tembak pengamatan. Sehingga dapat dibatasi lokasi
pengamatan dengan melakukan zoom in atau zoom out. Berdasarkan arah pantulan
berkas pada berbagai titik pengamatan maka profil permukaan benda dapat
dibangun menggunakan program pengolahan gambar yang ada dalam komputer.
Gambar. 2.11 Dalam SEM berkas elektron berenergi tinggi mengenai permukaan
material. Elektron pantulan dan elektron sekunder dipancarkan kembali dengan
sudut yang bergantung pada profil permukaan material.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
32
SEM memiliki resolusi yang lebih tinggi daripada mikroskop optik. Hal ini
disebabkan oleh panjang gelombang de broglie yang dimiliki elektron lebih
pendek daripada gelombang optik. Makin kecil gelombang yang digunakan maka
makin tinggi resolusi mikroskop. Panjang gelombang de broglie elektron adalah λ
= h / p, dengan h konstanta planck dan p adalah momentum elektron. Momentum
elektron dapat ditentukan dari energi kinetik melalui hubungan K = p2
/2m,
dengan K energi kinetik elektron dan m adalah massanya.58
Trewin (1988) (dalam
Nuha (2008) menyatakan, SEM terdiri dari sebuah senapan elektron yang
memproduksi berkas elektron pada tegangan dipercepat sebesar 2-30 kV. Berkas
elektron tersebut dilewatkan pada beberapa lensa elektromagnetik untuk
menghasilkan image berukuran, ~10 nm pada sampel yang ditampilkan dalam
bentuk film fotografi atau ke dalam tabung layar.59
Diagram skematik dan cara kerja SEM digambarkan sebagai berikut :
Gambar 2.12 Gambar Skematik SEM
58
Mikrajuddin Abdullah and Khairurrijal. Review : Karakteristik Nanomaterial. Jurnal
Nanosains dan Nanoteknologi. Vol 2 No. 1, Februari 2009. (Bandung : Jurnal Nanosains dan
Nanoteknologi, 2008) 59
Nuha Desi Anggraeni, Analisis SEM dalam Pemantauan Proses Oksidasi Magnetite
menjadi Hematite, Seminar Nasional VII Rekayasa dan Aplikasi Teknik Mesin di Industri,
(Bandung : ITN, 2008), h. 52
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
33
Nuha (2008) menyatakan, SEM sangat cocok digunakan dalam situasi yang
membutuhkan pengamatan permukaan kasar dengan pembesaran berkisar antara
20 – 500.000 kali. Sebelum melalui lensa elektromagnetik terakhir scanning
raster mendefleksikan berkas elektron untuk men-scan permukaan sampel. Hasil
scan ini tersinkronisasi dengan tabung sinar katoda dan gambar sampel akan
tampak pada area yang di-scan. Tingkat kontras yang tampak pada tabung sinar
katoda timbul karena hasil refleksi yang berbeda-beda dari sampel. Sewaktu
berkas elektron menumbuk permukaan sampel sejumlah elektron direfleksikan
sebagai backscattered electron (BSE) dan yang lainnya membebaskan
membebaskan energi rendah secondary electron (SE). Emisi radiasi
elektromagnetik dari sampel timbul pada panjang gelombang yang bervariasi,
tetapi pada dasarnya panjang gelombang yang lebih menarik untuk digunakan
adalah daerah panjang gelombang cahaya tampak (cathodoluminescence) dan
sinar-x. Elektron-elektron BSE dan SE yang direfleksikan dan dipancarkan
sampel dikumpulkan oleh sebuah scintillator yang memancarkan sebuah pulsa
cahaya pada elektron yang datang. Cahaya yang dipancarkan kemudian diubah
menjadi sinyal listrik dan diperbesar oleh photomultiplier. Setelah melalui proses
pembesaran, sinyal tersebut dikirim ke bagian grid tabung sinar katoda.
Scintillator biasanya memiliki potensial sebesar 5-10 kV untuk mempercepat
energi rendah yang dipancarkan elektron agar cukup untuk mengemisikan cahaya
tampak ketika menumbuk scintillator. Scintillator harus dilindungi agar tidak
terkena defleksi berkas elektron utama yang memiliki potensial tinggi. Pelindung
metal yang mengandung metal gauze terbuka yang menghadap sampel
memungkinkan hampir seluruh elektron melalui permukaan scintillator.60
60
Ibid., h. 52-53
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
34
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan selama 8 bulan. Pada bulan Maret–September 2014
di laboratorium Pusat Teknologi Material (PTM), Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT), Puspitek, Serpong, Tangerang.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat Penelitian
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Spatula
Berfungsi sebagai sendok untuk mengambil bahan.
b. Cawan
Berfungsi sebagai tempat meletakan sampel saat pengovenan.
c. Oven
Berfungsi untuk mengeringkan sampel setelah mengalami pencampuran
dan pencetakan.
d. Timbangan Digital
Berfungsi untuk menimbang massa bahan.
e. Ayakan (Test Sieve)
Berfungsi untuk menyaring serbuk sesuai dengan ukuran yang diinginkan
dengan mesh 625.
f. Botol kecil
Berfungsi untuk wadah untuk mencampur bahan dengan binder yang akan
dikompaksi.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
35
g. Furnace
Berfungsi untuk tempat pembakaran sampel dalam proses sintering,
dengan kapasitas sintering sampai dengan 16000C.
h. Mold
Berfungsi sebagai tempat untuk mencetak sampel berbentuk silinder
dengan diameter 1.5 cm.
i. Mesin Press
Berfungsi untuk menekan pada proses cold compaction sampel yang telah
dimasukan kedalam cetakan dengan kekuatan tekan tertentu dengan
kapasitas tekanan sampai dengan 100 ton (700 kg/cm2).
j. Jangka sorong
Berfungsi untuk mengukur dimensi sampel
k. Magnetic stirer
Berfungsi untuk merebus sampel
l. Gelas beker 100mL
Berfungsi sebagai wadah air saat uji densitas dan porositas.
m. Pinset
Berfungsi untuk mengambil sampel basah dan panas
n. Hair dryer
Berfungsi untuk mengeringkan alat
o. Mesin Polishing Struers
berfungsi untuk polishing sampel yang akan diuji keras dan untuk
preparasi SEM.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
36
a. Test Sieve 625 b. Mesin Press c. Mould
d. Magnetic Stirer e. Oven f. Mesin Polishing
Gambar 3.1 Alat-alat Penelitian
3.2.2 Bahan Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
a. P.A α-Al2O3 (corundum), produksi PT. Merck, Tbk.
Berfungsi sebagai bahan baku pembuatan keramik dengan tingkat
kemurnian serbuk 99% yang merupakan α-phase-100 mesh dengan ukuran
140 μm = 0.140 mm.
b. α-Al2O3 teknis
Berfungsi sebagai bahan baku pembuatan keramik. Mesh 625 dengan
ukuran 20 μm = 0.020 mm.
c. PVA dan PEG (binder), produksi PT. Brataco Chemistry
Berfungsi sebagai pengikat atau perekat saat pembentukan sampel berupa
pelet.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
37
d. Aseton
Berfungsi untuk membersihkan molding saat kompaksi.
e. Resin
Berfungsi untuk me-mounting sampel.
f. Hardener
Berfungsi sebagai katalisator untuk menguatkan resin saat proses
mounting.
a. Al2O3 P.A b. PEG c. PVA
d. Resin Bening e. Aseton
Gambar 3.2 Bahan-bahan Penelitian
3.2.3 Alat Karakterisasi
a. Alat Uji Kekerasan (Vickers Hardness)
Berfungsi untuk mengukur nilai kekerasan keramik dengan satuan VHN
b. Mikroskop
Berfungsi untuk melihat daerah retakan saat uji fracture toughness.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
38
c. Scanning Electron Microscopy (SEM-EDX)
Berfungsi untuk observasi morfologi permukaan material.
a. Alat Uji Keras b. Mikroskop
c. SEM-EDX
Gambar 3.3 Alat Karakterisasi
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
39
3.3 Diagram Alir Penelitian
Sintering
12500C, 13500C, 14500C, 15500C,
16000C
Analisis Data
Karakterisasi
Pengukuran shrinkage,
densitas dan Porositas
Uji Kekerasan
(Vickers Hardness)
Uji Ketangguhan Retak
(Fracture Toughness)
SEM-EDX
Pencetakan
P = 12 metriks ton, m = 2 gr, Ф =
1.5 cm, binder PVA dan PEG 3%
30 gram
Serbuk α-Al2O3 99%,
100 mesh
Studi Literatur
30 gram
Serbuk α-Al2O3 teknis,
625 mesh
Mulai
Preparasi Bahan
Pengeringan 800C, 17 jam
Pengolahan Data
Selesai
Gambar 3.4 Diagram Alir Penelitian
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
40
3.4 Variabel Penelitian
Variabel dari penelitian ini adalah kemurnian bahan baku yang digunakan
yaitu bahan alumina pure analysis dan alumina teknis serta variabel suhu sintering
yang dimulai dari temperatur 12500C, 1350
0 C, 1450
0C, 1550
0C dan 1600
0C
dengan holding temperature 9500C waktu tahan (holding time) selama 2 jam dan
heating rate 2°C/min. Kegiatan penelitian meliputi pengujian dan analisis sifat
fisis dan mekanis setiap bahan baku dan temperatur sintering yaitu pengujian
kekerasan dan pengujian fracture toughness. Karakterisasi struktur mikro pada
beberapa temperatur sintering yang mewakili nilai densitas dan kekerasan tinggi
menggunakan SEM-EDX.
3.5 Prosedur Penelitian
Prosedur yang dilakukan dalam penelitian sintesa keramik alumina ini
menggunkan metode metalurgi serbuk dan karakterisasi dimulai dengan
penimbangan, pengayakan, pembuatan sampel uji melalui tahapan kompaksi,
sintering, dan karakterisasi.
3.5.1 Penimbangan Bahan
Untuk pembuatan 15 sampel dibutuhkan bahan alumina PA sebanyak 30 gr
dan alumina teknis 30 gr. Selanjutnya masing-masing bahan ditimbang sebanyak
30 gr dengan menggunkan neraca digital.
3.5.2 Pengayakan Bahan
Alumina teknis dihaluskan dengan cara pengayakan atau sieve analisis
dengan menggunakan mesh 625.
3.5.3 Pembuatan Sampel Uji dengan kompaksi
Bahan yang sudah lolos ayakan dengan mesh 625, selanjutnya dikompaksi
menjadi 30 sampel dengan masing-masing bahan alumina. Proses kompaksi ini
merupakan proses pembentukan keramik alumina dengan memasukkan serbuk ke
dalam cetakan (mold). Proses kompaksi pada umumnya dilakukan dengan
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
41
penekanan satu arah. Pada penekanan satu arah penekan atas bergerak kebawah.
Jenis dan macam produk yang dihasilkan oleh proses metalurgi serbuk sangat
ditentukan pada tahap kompaksi sehingga membentuk serbuk dengan tingkat
kepadatan yang baik. Proses kompaksi serbuk meliputi pengepresan suatu bentuk
di dalam cetakan.61
Untuk mencegah terjadinya retakan maka sebelum kompaksi
alumina dicampurkan dengan bahan PVA dan PEG sebanyak 3% berat, yang
berfungsi sebagai perekat (binder) kemudian diaduk rata dan selanjutnya
dikompaksi dengan gaya tekan 12 ton. Hasil sampel adalah berbentuk silinder
dengan diameter 1.5 cm dan massa 2 gram.
Gambar 3.5 Skema Proses Kompaksi
3.5.4 Sintering
Proses sintering dilakukan pada lingkungan atmosfer dengan variasi
temperatur sinter pada 12500C, 1350
0C, 1450
0C, 1550
0C dan 1600
0C selama 2
jam, terdiri dari 2 jenis kelompok bahan baku yaitu alumina PA 15 sampel dan
alumina teknis 15 sampel. Sehingga jumlah sampel yang disintering sebanyak 30.
Pada tahap sintering sering terjadi perubahan dimensi sampel (shrinkage).
Dalam rangka mempelajari perilaku penyusutan sampel selama proses sintering,
maka dilakukan pengukuran dimensi (diameter dan tinggi) sampel sebelum dan
sesudah pemanasan.
61
Toto Rusianto, Hot Pressing Metalurgi Serbuk Aluminium dengan Variasi Suhu
Pemanasan, Jurnal Teknologi Indonesia, Vol. 2 No. 1. (Yogyakarta : AKPRINDO, 2009).
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
42
3.6 Karakterisasi
Karakterisasi yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi: pengukuran
densitas, porositas, pengujian kekerasan mikro, dan observasi struktur mikro.
3.6.1 Sifat Fisis dan Mekanis
A. Susut Volume
Pengukuran susut volume dilakukan pada benda uji berbentuk pelet dengan
volume awal (sebelum dibakar).
Susut volume =
x 100% .............................................. 2.1
Dimana : Vo = volume sebelum dibakar
Vs = volume sesudah dibakar
B. Densitas dan Porositas
Tujuan pengujian ini adalah untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Pengukuran densitas dilakukan dengan metode Archimedes. Pengukuran densitas
dan porositas dilakukan bersamaan yang mengacu pada standar American
Standard Test Method (ASTM) : Standard test method for water absorption, bulk
density, porosity, and apparent specific gravity of fired whiteware product dengan
kode ASTM C.373-88. Prosedur kerja untuk menentukan densitas (g/cm3) dan
porositas dengan sampel berbentuk pelet adalah sebagai berikut :
a. Spesimen dikeringkan dalam oven pada temperatur 1500C (302
0F) selama
24 jam, kemudian dikeringkan di desikator. Penentuan massa kering (D)
mendekati 0.01g (sampai massanya konstan).
b. Spesimen yang telah dikeringkan kemudian ditempatkan dalam wadah
untuk selanjutnya direbus selama 5 jam pada temperatur 2000C. Usahakan
seluruh spesimen tertutup air selama perebusan. Setelah 5 jam direbus,
biarkan spesimen direndam selama 24 jam.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
43
c. Setelah spesimen direndam selanjutnya ditimbang massa basah (M)
dengan cara mengeringkan permukaan spesimen.
d. Selanjutnya untuk menentukan massa yang tergantung atau setelah
impregnasi. Masing-masing spesimen digantungkan di dalam air kemudian
ditimbang massa rendam/gantung (S). Beker glass yang berisi air suling
dan kawat halus yang tergantung diletakan di atas penimbang dengan
setting nilai nol. Sampel dikeluarkan dari beker glass dan berat basah
sampel (Wsat) dicatatkan setelah penimbang menunjukan nilai stabil.
e. Kepadatan (densitas) dan % porositas dihitung dengan persamaan.
Menghitung volume total spesimen:
V = M – S ................................ (2.2)
Menghitung Volume porositas terbuka (volumes of open pore) dan
volume porositas dalam (impervious portion):
Vop = M – D ................................ (2.3)
Vip = D – S ................................ (2.4)
Menghitung apparent porosity (P), hubungan volume porositas
terbuka (Vop) dengan volume total spesimen (V) dinyatakan dalam
persen:
P = ( Vop / V ) x 100 .............................. (2.5)
Menghitung daya serap air (water absorption) A, hubungan massa
serap air dengan massa kering spesimen, dinyatakan dengan
persen:
A = ( Vop / D ) x 100 ................................ (2.6)
Menghitung kepadatan sebenarnya (apparent specific gravity) T:
T = D / Vip ................................ (2.7)
Menghitung kepadatan ketara (bulk density) B, hubungan antara
massa kering dibagi dengan volume total, termasuk pori,
dinyatakan dalam gram/cm3:
B = D / V ................................ (2.8)
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
44
C. Kekerasan Vickers
Uji kekerasan vickers menggunakan indentor piramida intan yang pada
dasarnya berbentuk bujur sangkar. Besar sudut permukaan piramida intan yang
saling berhadapan adalah 1360. Angka kekerasan vickers didefinisikan sebagai
beban dibagi luas permukaan lekukan. Pada prakteknya, luas ini dihitung dari
pengukuran mikroskopik panjang diagonal jejak. VHN dapat ditentukan dari
persamaan berikut :
VHN =
=
........................... (2.9)
dengan :
P = beban yang digunakan (kg)
D = panjang diagonal rata-rata (mm)
Θ = sudut antara permukaan intan yang berhadapan = 1360.
Pengujian vickers mengacu pada standar American Standard Test Method
(ASTM): Vickers indentation Hardness of Advanced Ceramics dengan kode
ASTM C.1327-08. Langkah pengujian vickers sebagai berikut:
a. Menyiapkan sampel yang akan diamati
b. Sampel ditanam di dalam resin (mounting)
c. Mengamplas permukaan sampel
d. Memoles permukaan sampel yang telah halus dan rata menggunakan
lubricant yang dituangkan diatas polishing hingga permukaan sampel
mengkilat dan bebas dari goresan.
e. Menempatkan spesimen pada stage alat uji. Mentukan posisi sampel
yang akan diuji.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
45
f. Menyalakan mesin. Identer perlahan turun dan bersentuhan dengan
spesimen. Beban disesuaikan dengan kekerasan sampel. Tekan sampel
dengan identer dengan beban dan waktu yang sesuai.
g. Spesimen terbaca alat dan ditampilkan pada monitor kemudian
operator melakukan akurasi sehingga angka kekerasan spesimen
terbaca oleh alat.
D. Ketangguhan Retak (Fracture toughness (KIC))
Pengujian dilakukan dengan menggunakan mesin uji keras. Proses pengujian
dilakukan dengan cara mengidentasi sampel menggunakan identor vickers pada
beban 10 Kg. Ketika sampel telah diidentasi, maka akan terbentuk crack pada
bagian sudut diagonal jejak identasi. Kemudian nilai fracture toughness dihitung
menggunakan persamaan berikut :
KIC = 0.941 Pc-3/2
(MPa m1/2
)
dimana :
P = beban inden (N)
c = panjang retak (meter)
Langkah pengujian fracture toughness sebagai berikut :
1. Menyiapkan sampel uji yang telah dipolishing dengan ketabaln 1 cm.
2. Mengidentasi sampel menggunakan identor vickers dengan beban 10 kg.
3. Melakukan pengamatan dengan menggunkan mikroskop polarisasi untuk
menentukan panjang daerah retakan.
4. Menghitung harga Kic dengan menggunakan rumus sesuai ASTM.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
46
3.6.2 Observasi morfologi dan analisa elemen menggunakan Scanning
Electron Microscopy (SEM-EDX)
Observasi menggunakan alat ini dilakukan untuk melihat morfologi
permukaan material serta analisa elemen material yang diobservasi. Langkah-
langkah pengujian analisa struktur mikro dengan menggunakan SEM-EDX
sebagai berikut:
a. Menyiapkan sampel yang akan diamati.
b. Untuk sampel berbentuk pelet telebih dahulu dilakukan termal etsa yaitu
membakar sampel dibawah temperatur sinter selama 30 menit.
c. Memotong sampel agar penampang melintang dari sampel dapat diamati.
d. Sampel keramik bentuk pelet yang telah dipecahkan, dipreparasi dengan
carbon tape kemudian divakum.
e. Mengamati mikrostruktur dan komposisi yang terbentuk secara berurut
dengan SEM (Scanning Electron Microscope) dan EDX (Energy
Disperse Spectroscopy)
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
47
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kemurnian alumina
terhadap temperatur sintering keramik alumina, serta mengetahui pengaruh
tingkat kemurnian bahan baku alumina terhadap sifat fisis dan sifat mekanis
keramik alumina. Riset dilakukan melalui tahapan sintesa alumina dengan metode
metalurgi serbuk, karakterisasi, pengolahan data dan analisa.
Karakterisasi yang dilakukan meliputi: pengukuran susut volum, densitas dan
porositas, observasi SEM-EDX, uji kekerasan vickers dan fracture toughness.
4.1 Penyusutan Volume Setelah Sintering
Dilakukan pengukuran penyusutan volume sampel alumina PA dan alumina
teknis setelah proses sintering. Sintering dilakukan dengan variasi temperatur
1250°, 1350
°, 1450
°, 1550
°, dan 1600
°C dengan holding temperature 950
0C,
holding time 2 jam dan heating rate 20C/min. Hasil pengukuran nilai penyusutan
disajikan pada tabel 4.1, dan grafik hubungan antara temperatur sintering dengan
nilai penyusutan disajikan pada gambar 4.1.
Tabel 4.1 Penyusutan Kearmik Alumina setelah Sintering
Temperatur
Sintering (0C)
Alumina PA Alumina Teknis
Susut
Massa (gr)
Susut Volume
(cm3)
Susut
Massa (gr)
Susut Volume
(cm3)
1250 0.0564 0.0313 0.0488 -0.0047
1350 0.0546 0.0661 0.0459 0.016
1450 0.0807 0.1167 0.0577 0.05
1550 0.056 0.1700 0.0568 0.03509
1600 0.066 0.2379 0.0588 0.145
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
48
Gambar 4.1 Penyusutan Keramik Alumina PA dan Alumina Teknis
Grafik pada gambar 4.1 menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat kemurnian
bahan alumina yang digunakan, maka semakin besar penyusutan yang dialami
sampel keramik alumina. Peningkatan temperatur sintering juga mengakibatkan
kecenderungan penyusutan keramik alumina PA dan alumina teknis meningkat
seiring peningkatan temperatur sintering. Pada grafik 4.1 juga terlihat bahwa
penyusutan keramik alumina PA lebih besar dibandingkan penyusutan pada
keramik alumina teknis. Hal ini disebabkan karena proses densifikasi pada
keramik alumina PA lebih cepat sehingga penyusutan (shrinkage) pada sampel
lebih banyak dari penyusutan keramik alumina teknis.
Menurut R. Simanjuntak (2011), pada dasarnya proses densifikasi pada
proses sintering telah menyebabkan terjadinya penyusutan, besar penyusutan ini
bergantung pada besarnya temperatur dan lamanya waktu pembakaran, juga erat
hubungannya dengan keadaan awal porositas. Tidak semua proses penyusutan
berlangsung merata. Penyusutan yang terjadi dapat terjadi karena perbedaan
ukuran butir, distribusi temperatur tidak merata, waktu sintering yang berbeda
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
49
untuk setiap titik, adanya penyusutan anisotropik dan orientasi partikel, komposisi
dari campuran dan pada proses pencetakan, dan pembentukan sampel dengan cara
dry pressing kurang teliti.
Penyusutan (shrinkage) mengakibatkan sampel keramik alumina PA dan
alumina teknis mengalami perubahan atau pengurangan dimensi baik massa
maupun volume sampel. Keadaan ini berhubungan dengan proses densifikasi
(pemadatan) yang terjadi saat proses sintering. Proses ini meliputi difusi atom-
atom yang mengarah kepada pergerakan dari batas butir dimana ikatan terjadi
antar partikel-partikel yang berdekatan sehingga membentuk pertumbuhan leher
yang mengakibatkan pusat partikel bergerak semakin dekat. Tahap penyusutan
inilah yang menyebabkan penurunan massa dan volume setelah sintering.
Hal ini sesuai dengan penelitian Juliana Anggono, et al. (2008) yang
mengatakan proses sintering sangat mempengaruhi perubahan dimensi sampel
(shrinkage). Semakin tinggi temperatur sintering maka nilai penyusutannya
semakin meningkat. Hal ini dikarenakan oleh transport massa (difusi) atom antar
partikel yang menyebabkan terbentuknya butir dan eliminasi pori.
4.2 Densitas Dan Porositas
Pengukuran densitas dan porositas keramik alumina dilakukan menggunakan
metode archimedes mengacu pada standar pengujian ASTM C-373 88, dihitung
menggunakan persamaan 2.3-2.9. Hasil perhitungan densitas dan porositas
keramik alumina yang disintering pada temperatur 12500C, 1350
0C, 1450
0C,
15500C dan 1600
0C disajikan pada tabel 4.2-4.3 dan disajikan dalam bentuk
grafik pada gambar 4.2 dan 4.3.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
50
Tabel 4.2 Data Hasil Pengujian Densitas dan Porositas Keramik Alumina
Temperatur
Sintering (0C)
Keramik Alumina PA Keramik Alumina Teknis
Densitas
(gr/cm3)
Porositas (%) Densitas
(gr/cm3)
Porositas (%)
1250 2.578 37.15 2.693 33.52
1350 2.689 31.51 2.642 32.83
1450 2.832 27.14 2.735 30.37
1550 3.174 17.82 2.875 26.75
1600 3.489 9.097 3.082 22.76
Perbandingan densitas keramik alumina PA dan alumina teknis terhadap
pengaruh temperatur sintering disajikan pada gambar 4.2
Gambar 4.2 Grafik Perbandingan Densitas keramik alumina PA dan Alumina
teknis
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
51
Grafik pada gambar 4.2 menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat kemurnian
bahan yang digunakan, maka semakin tinggi densitas keramik yang dihasilkan.
Peningkatan temperatur sintering yang dilakukan juga menambah peningkatan
nilai densitas keramik dan sebaliknya menurunkan porositas keramik alumina.
Dengan demikian tingkat kemurnian bahan dan temperatur sintering akan
meningkatkan bj (berat jenis) keramik yang telah disinter.
Besar butir yang berbeda diantara alumina PA dan alumina teknis menjadi
penyebab berbedanya hasil sintering butir dari keramik alumina yang dihasilkan.
Ukuran butir alumina PA yang digunakan adalah 150 μm sedangkan alumina
teknis 20 μm. Selain itu, distribusi sebaran ukuran butir alumina PA jauh lebih
seragam dibanding alumina teknis. Disamping itu, nilai densitas bahan baku
alumina PA yang digunakan sudah sejak awal lebih besar daripada alumina teknis.
Selain itu, serbuk alumina teknis mengandung unsur lain selain Al dan O,
impuritas dan heterogenitas ini juga memiliki pengaruh terhadap proses
densifikasi yang berlangsung pada saat proses sintering, sehingga densifikasi
keramik alumina teknis memakan waktu lebih lama yang menyebabkan densitas
yang tercapai lebih rendah daripada keramik alumina PA.
Densitas tertinggi dimiliki oleh keramik alumina PA yang disintering pada
temperatur 16000C yaitu 3.489 gr/cm
3, dan densitas terendah pada temperatur
12500C yaitu 2.578 gr/cm
3. Densitas keramik alumina P.A dan alumina teknis
pada temperatur 12500C masih sangat rendah yaitu 2.57 g/cm
3 dan 2.69 gr/cm
3.
Hal ini karena temperatur 12500C adalah temperatur dibawah temperatur sintering
alumina (20500C), oleh karena itu butiran pada sebuk alumina belum sepenuhnya
mengalami sintering antar butir, sehingga densifikasi belum sepenuhnya terjadi,
dengan nilai penyusutan yang kecil.
Densitas tertinggi dimiliki oleh keramik alumina teknis yang disintering pada
temperatur 16000C yaitu 3.082 gr/cm
3 dengan porositas sebesar 22.76%.
Nilai porositas pada keramik alumina teknis relatif masih sangat besar meskipun
pada sampel yang disintering pada temperatur tinggi 16000C. Hal ini diduga
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
52
pengaruh distribusi ukuran butir yang tidak seragam dan impuritas yang
terkandung didalam serbuk alumina teknis. Penelitian yang telah dilakukan oleh
Cho et al., (2000) dan Sone et al., (2001), menunjukan bahwa impuritas dan
ketidakhomogenan butiran pada alumina dapat menyebabkan pertumbuhan butir
yang tidak normal. Indikasi ini yang menyebakan nilai porositas keramik alumina
teknis jauh lebih tinggi dibandingkan porositas keramik alumina PA. Baik
keramik alumina PA dan alumina teknis mempunyai trend densitas dan porositas
yang sama, yaitu densitas meningkat seiring kenaikan temperatur sintering dan
porositas menurun sejalan dengan peningkatan temperatur sintering.
Dari tabel 4.2 dibuat grafik hubungan perbandingan porositas keramik
alumina PA dan alumina teknis terhadap temperatur sintering, dapat dilihat pada
gambar 4.3 berikut ini.
Gambar 4.3 Grafik perbandingan porositas keramik alumina PA dan alumina
Teknis
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
53
Grafik pada gambar 4.3 menunjukan bahwa semakin tinggi tingkat kemurnian
alumina yang digunakan, maka semakin kecil porositas keramik yang dihasilkan.
Selain kemurnian bahan baku, nilai porositas juga dapat dipengaruhi oleh
temperatur sintering. Semakin tinggi temperatur sintering, maka porositas akan
semakin kecil. Nilai porositas berbanding terbalik dengan nilai penyusutan dan
densitas. Adanya penurunan porositas menunjukan terjadinya proses pemadatan
dimana partikel-partikel keramik akan saling berdekatan dan bentuk pori menjadi
lebih steris dan ukurannya mengecil sehingga menyebabkan porositas menurun.
Keramik alumina yang disintesa pada temperatur sintering 12500C memiliki
nilai porositas paling besar dibandingkan temperatur sintering lain. Mengingat
titik lebur alumina sangat tinggi yaitu pada temperatur 20500C, maka pada saat
sintering 12500C energi yang diberikan belum cukup besar untuk mengaktifkan
transfer materi. Hal ini menyebabkan pergerakan butiran terbatas atau terhenti dan
menjadi sebab mengapa porositas alumina pada temperatur sintering 12500C
sangat besar, yaitu baik alumina P.A maupun alumina teknis adalah 37.15% dan
33.52%. Demikian pula pengaruh temperatur sintering 13500C dan 1450
0C, baik
alumina P.A maupun alumina teknis masih memiliki porositas yang relatif tinggi
yaitu 31.51% dan 32.82% pada temperatur 13500C serta 27.14% dan 30.37.%
pada temperatur 14500C. Hal ini karena lingkungan sintering yang belum cukup
untuk sepenuhnya membuat butir-butir serbuk bersintering.
Pada temperatur sintering 15500C diduga sudah mulai terjadi pergerakan
butir, berasal dari transfer energi yang cukup besar untuk terjadinya sintering
antar butir. Porositas pengaruh temperatur sintering 15500C keramik alumina PA
dan alumina teknis adalah 17.82% dan 26.75%. Temperatur sintering 16000C
memiliki porositas paling kecil dibandingkan dengan 4 temperatur sintering
sebelumnya. Meningkatnya temperatur sintering yang hingga mencapai 16000C,
menyebabkan terjadinya sintering antar butir yang menyebabkan penyusutan serta
peningkatan rapat massa (densitas). Hal ini menyebabkan pori mengecil.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
54
4.3 Struktur Mikro
Pengujian SEM-EDX dalam penelitian ini bertujuan untuk melihat kondisi
sintering antar partikel pengaruh temperatur, serta melihat distribusi partikel, dan
distribusi porositas secara umum. Uji SEM-EDX dilakukan di LIPI Laboratorium
Puslit Metalurgi, Serpong.
Observasi struktur mikro dilakukan pada serbuk bahan baku alumina PA dan
alumina teknis sebelum proses kompaksi dan sintering menggunakan SEM. Foto
serbuk alumina PA dan alumina teknis disajikan pada gambar 4.4
(a)
(b)
Gambar 4. 4 SEM 2000x serbuk Alumina sebelum sintering
(a) Alumina PA (b) Alumina Teknis
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
55
Pada Gambar 4.4 (a) terlihat bahwa serbuk alumina PA mempunyai bentuk
flakes yang tersebar, dan pada gambar 4.4 (b) terlihat bahwa serbuk alumina
teknis terbentuk dari butir bulat pipih dan lonjong pipih membentuk suatu gugus.
Identifikasi elemen dilakukan pada serbuk alumina teknis menggunakan
SEM-EDX dan ditunjukan pada gambar 4.5
Gambar 4.5. Hasil identifikasi elemen serbuk alumina teknis dengan SEM-EDX
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
keV
003
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
10000
Co
unts
OK
aN
aK
aA
lKa
Tm
Mz
Tm
Ma
Tm
Mr
Tm
Ll
Tm
La
Tm
Lb
Tm
Lb
2
Tm
Lr
Tm
Lr3
003
003
10 µm10 µm10 µm10 µm10 µm
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
56
Hasil identifikasi elemen pada serbuk alumina teknis menggunakan SEM-
EDX menunjukan bahwa serbuk alumina teknis selain mengandung unsur Al dan
O, juga mengandung unsur Na (9.63%) dan Tm (1.73%). Hal ini menunjukan
bahwa serbuk alumina teknis memiliki impuritas meskipun dalam jumlah sedikit.
Unsur Na dan Tm menyebabkan titik leleh pada proses sintering sedikit
meningkat sehingga proses densifikasi berjalan lebih lambat yang mampu
menurunkan nilai densitas, kekerasan dan fracture toughness pada keramik
alumina teknis. Unsur Na sendiri mempunyai bentuk struktur kristal bcc yang
berbeda dengan struktur kristal heksagonal pada alumina dan unsur Tm.
Perbedaan struktur kristal ini juga mempengaruhi kepadatan pada keramik dimana
struktur kristal bcc kurang padat dibandingkan struktur hcp. Green body alumina
teknis mengandung struktur kristal hcp dan bcc, sedangkan green body alumina
PA hanya mengandung unsur hcp saja. Ini akan mengakibatkan sampel keramik
alumina teknis berkurang kepadatan dan kekerasannya karena terdapat struktur
bcc. Sementara sampel keramik alumina PA mempunyai struktur kristal hcp
semua sehingga lebih padat dan keras struktur yang dihasilkan pada sampel
keramik alumina PA setelah proses sintering.
Hasil pengamatan terhadap daerah cross section sampel keramik alumina PA
dan alumina teknis setelah proses sintering pada temperatur 15500C dan 1600
0C,
memperlihatkan struktur leher (neck) antar butir yang terbentuk serta setelah
sintering serta memberikan gambaran distribusi partikel yang bersintering maupun
distribusi pori yang ada. Foto struktur mikro keramik alumina PA pada cross
section diperlihatkan pada gambar 4.6 dan 4.7.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
57
a) Alumina PA - 1550°C b) Alumina PA - 1600°C
c) Alumina Teknis - 1550°C d) Alumina Teknis - 1600°C
Gambar 4.6 Cross Section keramik alumina PA dan alumina teknis- perbesaran
10.000x.
a) Keramik Alumina PA - 1550°C
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
58
b) Keramik Alumina PA - 1600°C
c) Keramik Alumina teknis - 1550°C
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
59
d) Keramik Alumina Teknis - 1600°C
Gambar 4.7 Cross Section Keramik alumina PA dan alumina teknis- perbesaran
2.000x
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
60
Gambar 4.8. Hasil identifikasi elemen cross section alumina teknis menggunakan
SEM-EDX
Gambar 4.6-4.7 (a) dan 4.6-4.7 (c) menunjukan keramik Alumina PA dan
alumina teknis yang disintering pada temperatur 15500C masih banyak terdapat
rongga atau pori. Foto SEM tersebut juga menunjukan kerapatan partikel yang
berbeda antara keramik alumina PA dan alumina Teknis. Pada keramik alumina
PA setelah sintering 15500C sudah banyak terjadi pertumbuhan leher (neck
formation) bahkan beberapa partikel sudah mulai bersatu membentuk partikel
berukuran besar namun masih terdapat pori yang belum tertutup seperti yang
terlihat pada gambar 4.6-4.7 (a). Sementara pada gambar 4.6-4.7 (c) keramik
alumina teknis yang disintering pada temperatur 15500C menunjukan beberapa
pertumbuhan leher belum terlihat dan masih terlihat banyak pori. Hal ini juga
dibuktikan pada pengukuran densitas (berat jenis) keramik alumina PA dan
alumina teknis dari pengamatan struktur mikro membuktikan bahawa proses
sintering keramik alumina teknis baru ditahap awal pada temperatur 15500C,
0.00 3.00 6.00 9.00 12.00 15.00 18.00 21.00
keV
0
1500
3000
4500
6000
7500
9000
10500
12000
Counts
OK
a
AlK
a
ZAF Method Standardless Quantitative Analysis
Fitting Coefficient : 0.3636
Element (keV) Mass% Error% Atom% Compound Mass% Cation K
O K 0.525 40.02 0.68 52.95 44.3532
A
l K 1.486 59.98 0.42 47.05 55.6468
Total 100.00 100.00
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
61
besarnya ukuran dan distribusi butir alumina teknis juga menyebabkan proses
sintering berjalan lebih lambat dibandingkan keramik alumina PA.
Pada gambar 4.6-4.7 (b) menunjukan hasil sintering 16000C keramik
alumina PA. Pada gambar tersebut terlihat bahwa partikel-partikel kecil
bergabung dengan partikel besar disekelilingnya sehingga terbentuk poros tertutup
dan berkurang secara perlahan. Sementara pada gambar 4.6-4.7 (d) menunjukan
keramik alumina teknis yang disintering pada temperatur 16000C pertumbuhan
leher sudah banyak terjadi bahkan beberapa butir sudah terlihat bergabung
menjadi partikel yang lebih besar namun masih menyisahkan pori yang cukup
besar. Hal ini dibuktikan dengan pengujian porositas keramik alumina teknis
sebesar 22.76%. Menurut Chinelatto dan Tomasi (2009), kehadiran pori yang
besar kemungkinan disebabkan oleh interaglomerasi pori yang tidak tereliminasi
pada saat proses sintering.
4.4 Sifat Mekanis
Sifat mekanis yang diamati pada penelitian ini adalah kekerasan dan fracture
toughness menggunakan alat uji kekerasan vickers yang mengacu pada standar
pengujian ASTM C 1327-08. Pengujian kekerasan menggunakan beban 0.3 – 1
kg. Nilai kekerasan vickers setiap sampel dapat dilihat pada tabel 4.4, dan
disajikan dalam bentuk grafik pada Gambar 4.9
Tabel 4.3 Tabel Nilai Kekerasan Vickers keramik alumina PA dan alumina teknis
Temperatur Sintering (0C)
Alumina P.A Alumina Teknis
Kekerasan (VHN) Kekerasan (VHN)
1250 216 101.74
1350 621.55 367.33
1450 783.33 371.33
1550 1154.2 476.33
1600 1668.4 999.44
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
62
Perbandingan kekerasan Alumina PA dan Alumina teknis dapat dilihat pada
gambar 4.9
Gambar 4.9 Grafik perbandingan Nilai Kekerasan keramik alumina PA dan
alumina teknis
Grafik pada gambar 4.9 di atas terlihat bahwa kemurnian bahan alumina yang
tinggi menghasilkan keramik alumina dengan tingkat kekerasan yang lebih tinggi.
Kekerasan tertinggi diperoleh saat temperatur sintering 16000C masing-masing
pada Alumina PA dan teknis yaitu sebesar 1621.8 VHN dan 950.33 VHN. Hal ini
karena struktur keramik alumina pada temperatur sintering 16000C lebih padat
dan kuat. Sesuai dengan hasil penelitian Heidy L. Calambas Pulgarin dan Maria P.
Albano (2013) dimana grafiknya menunjukkan nilai kekerasan (hardness)
meningkat dengan peningkatan temperatur sintering sebagai akibat dari
peningkatan densitas (relative sinteringed density).
Namun hasil tersebut berbeda dengan hasil uji kekerasan pada Akmal Johan
(2009), dengan judul ―Karakterisasi sifat Fisik dan Mekanik Bahan Refraktori α-
Al2O3 Pengaruh Penambahan TiO2‖. Hasil kekerasan alumina tanpa aditif pada
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
63
penelitian tersebut, menurun dengan meningkatnya temperatur sintering, dan nilai
kekerasan terendah berada pada temperatur sintering 16000C sebesar 183 kg/mm
2.
Menurunnya kekerasan alumina karena adanya pertumbuhan butir alumina dari
temperatur 13000C hingga 1600
0C, karena butir yang besar menyebabkan
dislokasi mudah bergerak sehingga mengakibatkan kekerasan bahan menjadi
rendah. Perbedaan hasil ini bisa terjadi disebabkan karena perbedaan jenis serbuk
alumina yang digunakan yaitu γ-Al2O3, perbedaan binder dan tekanan saat
kompaksi.
Nilai kekerasan keramik alumina PA yang ditunjukan pada gambar 4.9 cukup
linear. Saat temperatur sintering 12500C, nilai kekerasan keramik alumina PA
hanya sebesar 216 VHN, kemudian meningkat tajam pada temperatur 13500C
bahkan memiliki nilai keras lebih besar dibandingkan keramik alumina teknis
yang disintering pada temperatur 15500C sebesar 621.55 VHN. Selanjutnya nilai
kekerasan mengalami peningkatan cukup besar lagi pada temperatur 14500C-
16000C. Sedangkan nilai kekerasan keramik alumina teknis pada temperatur
12500C sangat kecil hanya 101.74 VHN. Nilai kekerasan keramik pada temperatur
13500C-1450
0C hampir sama. Selanjutnya, pada temperatur 1550
0C nilai
kekerasan mulai mengalami peningkatan menjadi 476.33 VHN dan meningkat
cukup besar pada temperatur 16000C sebesar 999.44 VHN. Rendahnya nilai
kekerasan pada temperatur sintering di bawah 16000C dimungkinkan karena
proses densifikasi sampel belum sempurna pada temperatur rendah sehingga
mengakibatkan porositas sampel sangat tinggi. Hal inilah yang mengakibatkan
harga kekerasan sampel pada temperatur 12500C, 1350
0C, 1450
0C sangat kecil
karena pada sampel banyak terdapat pori. Hal ini sesuai dengan hasil SEM sampel
yang disintering pada temperatur 16000C cukup padat meskipun porositasnya
masih sangat besar akibatnya nilai kekerasan keramik alumina teknis lebih rendah
daripada alumina PA.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
64
Nilai Fracture Toughness
Data pengujian fracture toughness diperoleh dari pengukuran daerah retakan
sampel. Pengujian fracture touhgness dilakukan dengan beban 10 kg. Adapun
hasil dari pengujian disajikan pada tabel 4.4.
Tabel 4.4 Nilai fracture toughness keramik Alumina PA dan Alumina Teknis
Temperatur
(0C)
Alumina PA Alumina Teknis
Kic (MPa) Kic (MPa)
P = 9.8 P =10 P = 9.8 P = 10
1550 3.24972 3.31604 0.98514 1.00524
1600 5.77475 5.89261 1.56414 1.59606
Gambar 4.10 Grafik Nilai Fracture Toughness Keramik Alumina dengan P = 9.8
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
65
Sampel keramik alumina yang disintering pada temperatur 12500C-1450
0C
tidak dilakukan uji fracture toughness karena sampel rusak akibat tidak mampu
menahan beban inden sebesar 10 kg.
Grafik pada gambar 4.10 menunjukkan bahwa tingginya kadar kemurnian
bahan alumina dapat meningkatkan nilai fracture toughness keramik. Selain itu,
nilai fracture toughness juga meningkat seiring peningkatan temperatur sintering.
Nilai fracture toughness keramik alumina yang disintering pada temperatur
16000C memiliki nilai fracture toughness yang lebih besar dari keramik yang
disintering pada temperatur 15500C. Nilai fracture toughness keramik alumina PA
yang disintering pada 16000C dan 1550
0C adalah 5.774 MPa dan 3.249 MPa.
Sedangkan nilai fracture toughness keramik alumina teknis pada temperatur
16000C dan 1550
0C sebesar 1.564 MPa dan 0.985 MPa. Hal ini sesuai dengan
hasil penelitian P. Bai dan Y. Li (2009) dimana grafiknya menunjukkan trend
yang sama, nilai fracture toughness (Kic) meningkat dengan peningkatan
temperatur sintering.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
66
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan
beberapa hal sebagai berikut :
1. Kemurnian bahan baku alumina berpengaruh terhadap temperatur sintering
keramik alumina. Dimana semakin tinggi kemurnian bahan alumina, maka
semakin rendah temperatur sintering keramik alumina. Hasil ini didukung
oleh hasil foto SEM yang menunjukan sampel keramik alumina PA setelah
disinter pada 15500C memperlihatkan proses densifikasi keramik dimulai
pada temperatur ini. Sementara sampel keramik alumina teknis baru
memperlihatkan proses densifikasi setelah proses sinter hingga 1600
0C.
2. Kemurnian bahan alumina berpengaruh terhadap sifat fisis dan sifat mekanis
alumina, dimana semakin tinggi kemurnian bahan alumina dihasilkan
keramik alumina dengan nilai densitas, nilai kekerasan dan nilai fracture
toughness yang lebih tinggi, serta nilai porositas yang lebih rendah.
Alumina PA memiliki nilai densitas, nilai kekerasan dan nilai fracture
toughness yang lebih tinggi dibandingkan dengan alumina teknis.
Karakteristik tertinggi keramik α-alumina PA dicapai pada saat temperatur
sintering 16000C dengan densitas 3.489 g/cm
3, nilai kekerasan 1668 VHN
dan ketangguhan retak (fracture toughness) 5.774 MPa m1/2
. Karakteristik
tertinggi keramik alumina teknis dicapai pada temperatur sinter 16000C
dengan densitas 3.082 gr/cm3, nilai kekerasan 999 VHN dan ketangguhan
retak (fracture toughness) 1.564 MPa m1/2
.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
67
5.2 Saran
Berdasarkan penelitian alumina yang telah dilakukan, saran untuk
penelitian selanjutnya adalah :
1. Riset pengaruh ukuran partikel bahan baku alumina terhadap karakteristik
alumina yang dihasilkan, khususnya penggunaan serbuk dalam ukuran
nano.
2. Riset penambahan aditif terhadap peningkatan karakteristik alumina.
3. Riset optimasi tekanan pada proses kompaksi, untuk menghasilkan green
body yang padat (dense) dan mencegah terjadinya retakan pada saat
proses pengeluaran sampel setelah kompaksi.
4. Riset rute sintering yaitu tingkat kenaikan temperatur dan penahanan
(holding temperatur) pada tahap sintering, khususnya terhadap bahan
alumina teknis.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
68
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Mikrajuddin and Khairurrijal. 2009. Review : Karakteristik
Nanomaterial. Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi. Vol 2 No. 1,
Februari 2009. Bandung : Jurnal Nanosains dan Nanoteknologi.
Adnyana, D.N,. Aluminium dan Aplikasinya, Depok : Universitas Indonesia.
Anggono, Juliana. 2008. Penyusutan dan Densifikasi Keramik Alumina:
Perbandingan Antara Hasil Proses Slip Casting dengan Reaction
Bonding, Surabaya : Universitas Kristen Petra.
Anggraeni, Desi Nuha. 2008. Analisis SEM dalam Pemantauan Proses Oksidasi
Magnetite menjadi Hematite, Seminar Nasional VII Rekayasa dan
Aplikasi Teknik Mesin di Industri. Bandung: ITN.
Anonim. Aluminium Oxcide, Al2O3 Ceramics Properties. Pada
http://accuratus.com, diakses pada 17 April 2014, pukul 12.46 wib
Anonim. Aplikasi Komposit Alumina Berpenguat Al2O3 Pada Temperatur Tinggi.
Pada http://gogetitnararia.wordpree.com/2012/03/13/aplikasi-komposit-
alumina-berpenguat-al2o3-pada-temperatur-tinggi dengan sumber Cecilia
Borgonovo. 2010. ―Thesis : Aluminium Nano-composite for Elevated
Temperatur Application, diakses pada 1 Maret 2014, pukul 13.27
Anonim. Sintering. Pada http://en.wikipedia.org/wiki, diakses pada 28 Maret
2014, pukul 10.15
Anonim. Uji Kekerasan Vickers, pada http://teknik-
mesin1.blogspot.com/2011/06/uji-kekerasan-vickers.html, diakses pada 12
Juli 2014 pukul 15.28
Bai, P., and Y. Li. 2009. Study On High Temperature Sintering Processes of
Selective Laser Sintered Al2O3/ZrO2/TiC Ceramics. China : Jurnal Sience
of Sintering, 41 (2009) 35-41.
Boch, Philippe and Jean Claude Niepce. 2007. Ceramic Materials Processes,
Properties and Applications, USA : ISTE.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
69
Calister, William. 2003. Material and Science Engineering : An Introduction”,
6th edition. John Wiley & Sons, Inc., 2003
Dieter, George. 1987. Mechanichal Metallurgy. Mc. Grow Hill Book Co.
Fujiwara, Shinji., et al. 2007. Development of New high-Purity Alumina Vol. I,
Sumitomo Kagaku.
Handoyo, Haries. 2009. Pembuatan Keramik dengan Metode Metalurgi Serbuk.
Yogyakarta.
Ismunandar. Keramik. Pada http://kimianet.lipi.go.id, diakses pada 6 Juli 2014,
pukul 16.05.
Johan, Akmal. 2009. Karakterisasi Sifat Fisik dan Mekanik Bahan Refraktori α-
Al2O3 Pengaruh Penambahan TiO2. Sumatra Selatan : Jurnal Penelitian
Sains Publisher.
Johnson, William B. and Alan S. Nagelberg. 1995. Phase Diagram in advance
ceramics : Aplication of Phase to the Produsction of Advance Composite,
Delware : Academic Press Inc.
Mustain, Muhammad. 2012. X-Ray Diffaction (XRD). Surakarta : Universitas
Sebelas Maret.
P, Tumpal., et al. 2004. Pembuatan dan Karakterisasi termal Keramik Alpha-
Alumina, Serpong: Prosiding Pertemuan ilmiah Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi Bahan.
Pulgarin, Heidy L. Calambás., and Maria P. Albano. 2013. Sintering,
Microstructure and Hardness of Different Alumina Composite. Ceramics
Internasional 40 (2014) 5289-5298. Elsevier. Diakses melalui
www.sciencedirect.com.
Rais, Muhammad. 2007. Studi Analisis Simulasi tentang korelasi Suhu Sintering
dan Presentase Aditif Mulit dengan Sifat Mekanik Keramik Alumina,
Medan : USU
Ramlan, et al. 2007. Pembuatan Keramik Beta Alumina (Na2O-Al2O3) dengan
Aditif MgO dan Karakterisiasi Sifat Fisis serta Struktur Kristalnya, Vol 7
No. 1, Juni. Serpong: Jurnal Fisika Himpunan Fisika Indonesia Publishing.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
70
Randal. 1991. Fundamental of Sintering. Engineering Material Handbook Vol. 4,
USA : ASM Internasional Handbook Committee.
Rao, Pinggen., et al. 2003. Mechanichal and Wear Properties of Low Temperatur
Sintered High Purity α-Al2O3 Ceramics, (Jepang : Osaka National
Research Institute.
Rusianto, Toto. 2009. Hot Pressing Metalurgi Serbuk Aluminium dengan Variasi
Suhu Pemanasan, Jurnal Teknologi Indonesia, Vol. 2 No. 1. (Yogyakarta :
AKPRINDO.
Setiawan, Putu Aditya. Fracture Toughness, pada
http://putukebaronga.blogspot.com/2011/05/fracture-toughness.html
diakses pada 28 Agustus 2014 pukul 11.40 WIB
Setyadhani, Riana Tri. X-Ray Diffraction (XRD), pada
http://rianudz.blog.uns.ac.id/2012/12/28/x-ray-diffraction-xrd, diakses
pada 12 Juli 2014, pukul 12.49
Shackelford, James F and Wiliam Alexander. 2001. Material Science and
Engineering Handbook Third Edition. USA : CRC Press LLC
Sijabat, Kaston. 2008. Pembuatan Keramik Paduan Cordierit-Alumina Sebagai
Bahan Refraktori dan Karakterisasinya. Medan : USU.
Silalahi, Marzuki. 2009. Pembuatan Tabung Keramik β”-Alumina, JUSAMI Vol.
10, No. 3, Juni. Serpong : Jusami press.
Simanjuntak, Rikardo. 2010. Pembuatan dan Karakterisasi Keramik Konstruksi
dengan Memanfaatkan Limbah Padat Pulp dengan Bahan Baku Kaolin
Surabaya. Medan : Universitas Sumatera Utara.
Smallman, R.E. 2001. Metalurgi Fisika Modern & Rakayasa Material. Jakarta :
Erlangga.
Subekti, Daniel. 2011 Analisa Sifat Fisik, Sifat Mekanik, Struktur produk Proses
indirect Pressureless Sintering Berbahan Serbuk Ni dan Sifat Termal
Berbahan Serbuk Cu Dengan Supporting Powder Besi Cor. Semarang :
Fakultas Teknik Universitas Diponegoro. Diakses melalui
http://eprints.undip.ac.id/41328/2/halaman_isi.pdf, pada 13 Agustus 2014,
pukul 14.43
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
71
Suvaci, Ender. 2008. Sintering of Ceramics Theory and Practice, Anadolu
University, Dept. Of Material Science and Engineering Turkey. South
Africa : Element Six, Spring.
Umbar, Tino., et al. 2003. Pembuatan Keramik Alumina dengan menggunakan
Metode Metalurgi Serbuk dengan Variasi Suhu dan Komposisi. (Serpong :
STTN-BATAN.
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
72
Lampiran 1 Pengukuran Susut Massa dan Susut Volume Alumina PA
Kode
Sampel
Sebelum Sinter 12500C Setelah Sinter 1250
0C Susut
massa
(gr)
Susut
volum
e (cm3)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
P1 2.004 1.506 0.457 1.9552 1.496 0.455 0.0488 0.0143
P2 1.998 1.509 0.455 1.9410 1.496 0.453 0.057 0.0175
P3 2.0043 1.507 0.459 1.9409 1.497 0.454 0.0634 0.0634
Mean 2.0021 1.507 0.457 1.9457 1.496 0.454 0.0564 0.0313
Kode
Sampel
Sebelum Sinter 13500C Setelah Sinter 1350
0C Susut
massa
(gr)
Susut
volum
(cm3)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
P1 2.0068 1.506 0.455 1.9566 1.469 0.445 0.0502 0.0563
P2 2.0095 1.508 0.457 1.9481 1.466 0.441 0.0614 0.0718
P3 2.0071 1.508 0.461 1.9547 1.468 0.445 0.0524 0.0702
Mean 2.0078 1.507 0.457 1.9531 1.467 0.443 0.0546 0.0661
Kode
Sampel
Sebelum Sinter 14500C Setelah Sinter 1450
0C Susut
massa
(gr)
Susut
volume
(cm3)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
P1 2.0169 1.507 0.457 1.903
1.47
2 0.418 0.114 0.104
P2 2.0077 1.508 0.457
1.934
9 1.43 0.432 0.0728 0.1224
P3 2.0108 1.505 0.46
1.955
5
1.42
9 0.433 0.0553 0.1239
Mean 2.0118 1.506 0.458 1.931
1
1.44
3 0.427 0.0807 0.1167
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
73
Kode
Sampel
Sebelum Sinter 15500C Setelah Sinter 1550
0C Susut
massa
(gr)
Susut
volume
(cm3)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
P1 2.0089 1.507 0.458 1.9568 1.382 0.432 0.052 0.169
P2 2.0024 1.509 0.449 1.9444 1.393 0.412 0.058 0.175
P3 1.9767 1.509 0.444 1.9186 1.391 0.413 0.058 0.166
Mean 1.996 1.508 0.450 1.9399 1.388 0.419 0.056 0.17
Kode
Sampel
Sebelum Sinter 16000C Setelah Sinter 1600
0C Susut
massa
(gr)
Susut
volume
(cm3)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
P1 2.0183 1.514 0.455 1.9482 1.346 0.405 0.070 0.2430
P2 1.9938 1.514 0.450 1.9316 1.348 0.401 0.0620 0.2380
P3 1.9779 1.507 0.451 1.9319 1.344 0.403 0.066 0.2327
Mean 1.9966 1.511 0.452 1.9372 1.346 0.403 0.066 0.2379
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
74
Lampiran 2 Pengukuran Susut Massa dan Susut Volume Alumina Teknis
Kode
Sampel
Sebelum Sinter 12500C Setelah Sinter 1250
0C Susut
massa
(gr)
Susut
volume
(cm3)
Massa
(gr)
Diameter
(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
Diameter
(cm)
Tebal
(cm)
T1 1.9533 1.498 0.421 1.9136 1.498 0.424 0.0397 -
0.0053
T2 2.0143 1.5 0.433 1.9607 1.5 0.436 0.0536 -
0.0053
T3 2.0212 1.499 0.432 1.968 1.499 0.434 0.0532 -
0.0035
Mean 1.9962 1.499 0.4286 1.9474 1.499 0.4313 0.0488 -
0.0047
Kode
Sampel
Sebelum Sinter 13500C Setelah Sinter 1350
0C Susut
Massa
(gr)
Susut
Volum
(cm3)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
T1 2.0073 1.502 0.432 1.9516 1.490 0.430 0.0557 0.0156
T2 1.9833 1.502 0.432 1.9593 1.490 0.431 0.024 0.0139
T3 2.0208 1.504 0.435 1.9627 1.491 0.432 0.0581 0.0185
Mean 2.0038 1.502 0.433 1.9578 1.490 0.431 0.0459 0.0160
Kode
Sampel
Sebelum Sinter 14500C Setelah Sinter 1450
0C Susut
massa
(gr)
Susut
volume
(cm3)
Massa
(gr) D(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
T1 2.0084 1.503 0.438 1.9539 1.471 0.424 0.0545 0.0565
T2 2.0075 1.502 0.434 1.9305 1.473 0.425 0.077 0.0447
T3 2.0128 1.506 0.436 1.9711 1.473 0.427 0.0417 0.049
Mean 2.0095 1.503 0.436 1.9518 1.472 0.425 0.0577 0.0500
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
75
Kode
Sampel
Sebelum Sinter
15500C
Setelah Sinter 15500C Susut
massa
(gr)
Susut
volume
(cm3)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
T1 1.998 1.506 0.431 1.9457 1.447 0.412 0.052 0.0902
T2 2.023 1.508 0.435 1.9635 1.449 0.422 0.0591 0.08104
T3 2.015 1.508 0.432 1.9566 1.448 0.415 0.0595 0.8817
Mean 2.012 1.507 0.4326 1.9552 1.448 0.4163 0.05687 0.035098
Kode
Sampel
Sebelum Sinter 16000C Setelah Sinter 1600
0C Susut
massa
(gr)
Susut
volume
(cm3)
Massa
(gr) D(cm)
Tebal
(cm)
Massa
(gr)
D
(cm)
Tebal
(cm)
T1 2.0148 1.505 0.433 1.9577 1.422 0.408 0.0571 0.1223
T2 2.0247 1.505 0.435 1.9605 1.422 0.416 0.0642 0.1131
T3 2.0168 1.504 0.435 1.9615 1.428 0.415 0.0553 0.1081
Mean 2.0187 1.504 0.434 1.9599 1.424 0.413 0.0588 0.1145
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
76
Lampiran 3 Perhitungan Densitas dan Porositas Alumina PA
K
o
d
e
Sintering 12500C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/
V)*10
0
A =
(Vop/
D)*10
0
T =
D/Vip
B =
D/V
P
1
1.954
7
2.233
5
1.513
9
0.719
6 0.2788 0.4408
38.74
37
14.26
3 4.4344
2.716
4
P
2
1.940
9
2.222
6
1.488
9
0.733
7 0.2817 0.452
38.39
44
14.51
4 4.292
2.645
4
P
3
1.939
9
2.220
6
1.403
1
0.817
5 0.2807 0.5368
34.33
64 14.17 3.6138 2.373
∑ 1.945
17
2.225
57
1.468
63
0.756
93 0.2804
0.4765
3
37.15
82
14.31
57 4.1134
2.578
27
K
o
d
e
Sintering 13500C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/
V)*10
0
A =
(Vop/D
)*100
T =
D/Vip
B =
D/V
P
1 1.955 2.186 1.450 0.736 0.2314 0.5046 31.44 11.83 3.87 2.656
P
2 1.947 2.173 1.446 0.726 0.2258 0.5009 31.07 11.59 3.88 2.679
P
3 1.954 2.183 1.468 0.715 0.229 0.4861 32.02 11.71 4.02 2.733
∑ 1.952 2.180 1.454 0.725 0.2283 0.4972 31.51 11.71 3.92 2.689
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
77
K
o
d
e
Sintering 14500C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/
V)*10
0
A =
(Vop/D
)*100
T =
D/Vip
B =
D/V
P
1 1.959 2.135 1.445 0.690 0.1757 0.5145 25.45 8.9657 3.808 2.839
P
2 1.949 2.129 1.453 0.676 0.1801 0.4964 26.62 9.2373 3.922 2.882
P
3 1.958 2.166 1.460 0.705 0.2072 0.4981 29.37 10.577 3.932 2.777
∑ 1.955 2.143 1.452 0.690 0.1876 0.503 27.14 9.5933 3.887 2.832
K
o
d
e
Sintering 15500C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/
V)*10
0
A =
(Vop/D
)*100
T =
D/Vip
B =
D/V
P
1
1.942
2
2.049 1.445
2
0.603
8
0.1068 0.497 17.68
8
5.4989 3.907
8
3.216
6
P
2
1.943
8
2.053
4
1.434
1
0.619
3
0.1096 0.5097 17.69
7
5.6384 3.813
6
3.138
7
P
3
1.918
5
2.028 1.422
5
0.605
5
0.1095 0.496 18.08
4
5.707 3.867
9
3.168
5
∑ 1.934
83
2.043
47
1.433
93
0.609
53
0.1086
33
0.5009 17.82
3
5.6147
7
3.863
1
3.174
6
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
78
K
o
d
e
Sintering 16000C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/V
)*100
A =
(Vop/
D)*10
0
T =
D/Vip
B =
D/V
P
1 1.948 2.002 1.453 0.549 0.0548 0.4942 9.982
2.813
0 3.941 3.548
P
2 1.933 1.984 1.423 0.561 0.0513 0.5102 9.136
2.653
4 3.789 3.443
P
3 1.932 1.977 1.421 0.555 0.0454 0.5101 8.173
2.349
9 3.787 3.477
∑ 1.937 1.987 1.432 0.555 0.0505 0.5048 9.097 2.605
4 3.839 3.489
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
79
Lampiran 4 Perhitungan Densitas dan Porositas Alumina Teknis
K
o
d
e
Sintering 12500C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/
V)*10
0
A =
(Vop/D
)*100
T =
D/Vip
B =
D/V
T
1
1.912
5
2.162
7
1.443
9
0.718
8
0.2502 0.4686 34.80
8
13.082
4
4.081
3
2.660
7
T
2
1.960
4
2.185
7
1.457
4
0.728
3
0.2253 0.503 30.93
5
11.492
6
3.897
4
2.682
1
T
3
1.967
5
2.217
7
1.499
2
0.718
5
0.2502 0.4683 34.82
3
12.716
6
4.201
4
2.738
3
∑ 1.946
8
2.188
7
1.466
83
0.721
87
0.2419 0.4799
7
33.52
2
12.430
5
4.060
03
2.693
7
K
o
d
e
Sintering 13500C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/
V)*10
0
A =
(Vop/D
)*100
T =
D/Vip
B =
D/V
T
1 1.949 2.193 1.450 0.742 0.2444 0.4983 32.90 12.538 3.911 2.624
T
2 1.958 2.199 1.464 0.735 0.2413 0.4937 32.83 12.322 3.966 2.664
T
3 1.961 2.205 1.462 0.743 0.2435 0.4996 32.76 12.412 3.926 2.64
∑ 1.956 2.199 1.458 0.740 0.2430 0.4972 32.83 12.424 3.934 2.642
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
80
K
o
d
e
Sintering 14500C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/
V)*10
0
A =
(Vop/D
)*100
T =
D/Vip
B =
D/V
T
1 1.948 2.160 1.454 0.705 0.2122 0.493 30.07 10.892 3.948 2.761
T
2 1.955 2.174 1.454 0.72 0.2197 0.5003 30.51 11.237 3.907 2.715
T
3 1.957 2.176 1.459 0.717 0.2192 0.4981 30.55 11.196 3.930 2.729
∑ 1.953 2.170 1.455 0.714 0.2170 0.4971 30.37 11.108 3.928 2.735
K
o
d
e
Sintering 15500C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/
V)*10
0
A =
(Vop/D
)*100
T =
D/Vip
B =
D/V
T
1
1.945
1
2.123
1
1.451 0.672
1
0.178 0.4941 26.48
4
9.5151
2
3.936
7
2.894
1
T
2
1.964
1
2.150
2
1.461
5
0.688
7
0.1861 0.5026 27.02
2
9.4750
8
3.907
9
2.851
9
T
3
1.956
3
2.138
2
1.458
7
0.679
5
0.1819 0.4976 26.77 9.2981
6
3.931
5
2.879
∑ 1.955
17
2.137
17
1.457
07
0.680
1
0.182 0.4981 26.75
87
9.4294
5
3.925
37
2.875
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
81
K
o
d
e
Sintering 16000C
massa
kering
(D)
massa
basah
(M)
massa
renda
m (S)
V =
M-S
Vop =
M-D
Vip =
D-S
P =
(Vop/
V)*10
0
A =
(Vop/D
)*100
T =
D/Vip
B =
D/V
T
1 1.957 2.095 1.459 0.636 0.1382 0.4984 21.70 7.0593 3.928 3.075
T
2 1.96 2.103 1.459 0.644 0.1433 0.5007 22.25 7.3112 3.914 3.043
T
3 1.961 2.114 1.487 0.626 0.1527 0.474 24.35 7.7856 4.136 3.128
∑ 1.959 2.104 1.468 0.635 0.1447 0.491 22.76 7.3853 3.992 3.082
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
82
Lampiran 5 Pengolahan Data Kekerasan Vickers untuk Alumina P.A
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 12500C
Uji Kekerasan (HV)
1 2 3 Mean
P1 0.5 172 148 129 149.667
P2 0.2 232 232 275 246.333
P3 0.5 284 271 201 252
P125 Mean 216
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 13500C
Uji Kekerasan (HV)
1 2 3 Mean
P1 0.5 691 826 852 789.667
P2 0.5 434 444 520 466
P3 0.5 632 619 576 609
P135 Mean 621.556
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 14500C
Uji Kekerasan (HV)
1 2 3 Mean
P1 0.5 727 522 638 629
P2 0.5 511 845 691 682.333
P3 0.5 859 1200 1057 1038.67
P145 Mean 783.333
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
83
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 15500C
Uji Kekerasan (HV)
1 2 3 Mean
P1 0.5 1263 1137 1074 1158
P2 0.5 957 1383 882 1074
P3 0.5 1190 1230 1272 1230.67
P155 Mean 1154.22
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 16000C
Uji Kekerasan (HV)
1 2 3 Mean
P1 1 1289 1122 1590 1333.67
P2 1 1941 1759 1222 1640
P3 1 1833 2377 1883 2031
P160 Mean 1668.44
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
84
Lampiran 6 Pengolahan Data Kekerasan Vickers untuk Alumina Teknis
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 12500C
Uji Kekerasan (HV)
1 2 3 Mean
T1 0.2 82.9 84.5 116 94.4667
T2 0.2 182 171 93.1 148.7
T3 0.3 69.3 56.2 60.7 62
T125 Mean 101.744
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 13500C
Uji Kekerasan (HV)
1 2 3 Mean
T1 1 233 223 219 225
T2 1 361 511 340 404
T3 1 619 304 496 473
T135 Mean 367.333
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 14500C
Uji Kekerasan (HV)
1 3 4 Mean
T1 1 454 465 627 364
T2 1 657 550 654 401.333
T3 1 479 606 440 348.667
T145 Mean 371.333
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
85
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 15500C
Uji Kekerasan (HV)
1 2 3 Mean
T1 1 487 428 460 458.333
T2 1 606 632 451 563
T3 1 354 443 426 407.333
T155 Mean 476.333
Kode Sampel Beban (kg)
Sintering 16000C
Uji Kekerasan (HV)
1 3 4 Mean
T1 1 1022 1028 757 935.667
T2 1 1683 1122 1151 1318.67
T3 1 738 898 596 744
T160 Mean 999.444
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
86
Lampiran 7 Pengolahan Data Fracture Toughness Alumina P.A
SINTER15500C
No P (N) c (m)
Kic (Pa) Kic (Mpa)
P = 9.8 P = 10 P = 9.8 P = 10
1 9.8 0.001911 1103540.628 1126061.86 1.103541 1.126062
2 10 0.000945 3175252.691 3240053.77 3.175253 3.240054
3 0.001427 1710903.017 1745819.41 1.710903 1.745819
4 0.000993 2948638.14 3008814.43 2.948638 3.008814
5 0.001683 1335973.717 1363238.49 1.335974 1.363238
6 0.000719 4784839.183 4882488.96 4.784839 4.882489
7 0.000809 4010057.92 4091895.84 4.010058 4.091896
8 0.000562 6928516.445 7069914.74 6.928516 7.069915
Rata-
rata 3.249715 3.316036
SINTER16000C
No P (N) c (m)
Kic (Pa) Kic (Mpa)
P = 9.8 P = 10 P = 9.8 P = 10
1 9.8 0.001451 1669110.956 1703174.44 1.669111 1.703174
2 10 0.000433 10245196.71 10454282.4 10.2452 10.45428
3 0.000423 10597727.58 10814007.7 10.59773 10.81401
4 0.000572 6734423.208 6871860.42 6.734423 6.87186
5 0.000584 6533756.796 6667098.77 6.533757 6.667099
6 0.001067 2644311.997 2698277.55 2.644312 2.698278
7 0.00076 4405618.403 4495528.98 4.405618 4.495529
8 0.000908 3367882.912 3436615.22 3.367883 3.436615
Rata-rata 5.77475 5.89260
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
87
Lampiran 8 Pengolahan Data Fracture Toughness Alumina Teknis
SINTER 15500C
No P (N) c (m)
Kic (Pa) Kic (Mpa)
P = 9.8 P = 10 P = 9.8 P = 10
1 9.8 0.002332 819037.7 835752.8 0.819038 0.835753
2 10 0.002088 966540.3 986265.6 0.96654 0.986266
3 0.001555 1504470 1535173 1.50447 1.535173
4 0.002204 891241.4 909430 0.891241 0.90943
5 0.002151 924428.3 943294.2 0.924428 0.943294
6 0.002326 821875.3 838648.2 0.821875 0.838648
7 0.001919 1096837 1119222 1.096837 1.119222
8 0.002263 856666.7 874149.7 0.856667 0.87415
Rata-
rata 0.985137 1.005242
SINTER 16000C
No P (N) c (m)
Kic (Pa) Kic (Mpa)
P = 9.8 P = 10 P = 9.8 P = 10
1 9.8 0.00115 2365556 2413833 2.365556 2.413833
2 10 0.002295 838795 855913.3 0.838795 0.855913
3 0.001741 1269871 1295787 1.269871 1.295787
4 0.001641 1387320 1415633 1.38732 1.415633
5 0.001177 2284957 2331588 2.284957 2.331588
6 0.001745 1265180 1291000 1.26518 1.291
7 0.001419 1725630 1760847 1.72563 1.760847
8 0.00165 1375797 1403874 1.375797 1.403874
Rata-rata 1.564138 1.596059
PDFi
ll PD
F Ed
itor w
ith F
ree
Writ
er a
nd T
ools
top related