pendapatan non halal
Post on 01-Feb-2016
268 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Penaung
Penaja
Penganjur
Dengan Kerjasama
Pemasukan Dana Non Halal di Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
dalam Perspektif Syariah
Dr. Oni Sahroni (Dewan Syariah Nasional - Indonesia)
1
Pemasukan Dana Non Halal Di Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Dalam Perspektif Syariah(1)
Dr. Oni Sahroni, MA(2)
Mukaddimah
Transaksi dengan sumber dana non halal menjadi bagian dari transaksi antar lembaga
keuangan, khususnya karena transaksi antara lembaga keuangan syariah dan lembaga
keuangan konvensional menjadi transaksi yang lazim dan pada beberapa kondisi tidak
bisa dihindarkan.
Diantara penyebabnya adalah, Lembaga Keungan Konvensional (LKK) masih
mendominasi seluruh transaksi-transaksi keuangan di setiap negara, sehingga transaksi
antara lembaga keuangan syariah dan lembaga keuangan konvensional menjadi transaksi
yang lazim dan pada beberapa kondisi tidak bisa dihindarkan, sehingga LKS memenuhi
sebagian hajat keuangannya dengan bertransaksi pada bank konvensional.
Dalam penghimpunan dana, bank konvensional menitipkan dananya baik dalam
bentuk tabungan ataupun deposito di bank syariah, misalnya beberapa praktik berikut :
1. Bank Induk konvensional membuka Unit Usaha Syariahnya (UUS) dengan
mengucurkan sebagain dananya yang konvesnional sebagai modal awal UUSnya.
2. Bank Induk konvensional mentiipkan sebagian dananya di UUSnya.
3. Bank konvensional membeli sukuk bank syariah
4. Bank Konvensional membeli sebagian saham perusahaan milik bank syariah
5. Dan kasus-kasu lain.
(1 ( Dipresentasikan pada Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke – 8 (MCSN 8) tentang
‘Menangani Cabaran dan Merinstis inovasi dakam Kewangan Islam’ yang di selenggarakan oleh
Internasional Syariah Research Academy for Islamic Finance (ISRA) Malaysia pada tanggal 28-29 Mei di
Johor Bahru.
(2(Doktor Fikih Muqarin dari al-Azhar University Kairo, Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN) Majlis
Ulama Indonesia (MUI).
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
2
Atas dasar itu, maka pertanyaaan fikih yang mengemuka adalah :
1. Bolehkan bandar judi / perusahaan konvensional (ribawi) mendepositokan
dananya di Bank syariah?
2. Bolehkan bank Syariah menerima pembukaan (deposito) dari nasabah bank
konvensional?
3. Bagaimana dengan dana halal yang sudah bercampur dengan dana non halal
(hukum dan perlakuannya)?
4. Apa aja kriteria dana non halal dan kriteria dana halal yang bercampur dengan
dana non halal?
5. Bagaimana status hukum dana halal yang bercampur dengan dana non halal?
6. Bagaimana perlakuan terhadap kedua dana tersebut?
7. Bagaimana fikih memandang praktik Lembaga keuangan ribawi yang berinvestasi
di Perbankan atau perusahaan listing di Bursa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut di atas, maka terlebih dahulu harus
dijelaskan kriteria, hukum dan perlakuan pendapatan yang tidak halal dana pendapatan
yang halal yang bercampur dengan pendapatan non halal, sehingga bisa menyimpulkan
ada kaidah (keyword) yang menjadi acuan dalam menetapkan kejelaskan hukum terhadap
praktik-praktik tersebut yang berkembangan saat ini.
C. Kriteria, hukum dan perlakuan harta non halal
1. Kriteria harta non halal
Harta non halal itu terbagi menjadi dua bagian, yaitu :
a) Harta yang haram karena dzatnya yang najis (haram lidzatihi), seperti
minuman memabukan, daging babi, dll.
b) Setiap asset yang dihasilkan dari usaha yang tidak halal (al-kasbu al-
ghairi al-mayru’), usaha yang tidak halal seperti : pinjaman berbunga,
perjudian, suap, korupsi, jual beli minuman keras, jual beli babi, dll. (3)
(
3) Mushtalahat al-fiqhi al-mali al-mu’ashir, tim IIIT, hal. 62
‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’
3
Kedua jenis harta tersebut status hukumnya haram / diharamkan, yang pertama
karena dzatnya, dan yang kedua karena bersumber dari usaha yang tidak halal.
Dalam praktiknya, dana yang dimobilisasi oleh lembaga keuangan syariah (LKS),
khususnya perbankan syariah, baik dalam bentuk tabungan ataupun deposito, itu tidak
mungkin berupa harta haram karena dzatnya.
Yang mungkin terjadi adalah dana tabungan atau deposito bersumber dari usaha
yang tidak halal, misalnya, pemilik deposito adalah bank konvensional yang menjadi
pemodal di LKS dan diketahui bahwa yang investasikan adalah pendapatannya berupa
bunga atas pinjaman.
Yang banyak terjadi adalah penanaman modal di pasar modal, yaitu jual beli
saham daan atau sukuk. Misalnya investor membeli saham / sukum, kegiatan utamanya
adalah pinjaman berbunga sebagai bank konfensional, atau jual beli minuman keras,
tetapi investor tersebut menyembunyikan, karena seluruh transaksi di bursa melalui
pialang dan diketahui underlying assetnya secara jelas.
Oleh karena itu dalam Standar Syariah Internasional (al-Ma’ayir asy-syar’iyah)
AAOIFI, fatwa DSN, Fatwa Lembaga Fikih OKI, menjelaksan sumber harta dalam
konteks pasar modal (jual beli saham dan sukuk)
Oleh karena sangat penting untuk mengetahui kegiatan-kegiatan usaha yang tidak
dibolehkan syariah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI menjelaskan jenis-jenis kegiatan
usaha yang bertentangan dengan prinsip syariah tersebut yaitu :
a) Usaha Lembaga keuangan konvensional, seperti usaha perbankan
konvensional dan asuransi konvensional.
b) Melakukan investasi pada emiten (perusahaan) yang pada saat transaksi,
tingkat (nisbah) utang perusahaan kepada lembaga keuangan ribawi
lebih dominan dari modalnya.
Karena kedua hal di atas termasuk aktifitas ribawi yang diharamkan dalam
nash, sebagaimana hadits Rasulullah Saw. :
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
4
لعن هللا أكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه
Allah Swt. Melaknat pihak yang memakan riba, yang ditugaskannya,
pencatatnya dan kedua saksinya.
c) Perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang
terlarang, karena termasuk maisir /judi yang dilarang dalam islam
d) Produsen, distiributor, serta pedagang makanan dan minuman yang
haram
e) Produsen, distributor dan atau penyedia barang-barang ataupun jasa
yang merusak moral atau bersifat mudarat.(4)
Jenis-jenis kegiatan usaha tersebut, dijelaskan dalam fatwa DSN tentang saham.
Maksudnya, jenis-jenis kegiatan tersebut yang umumnya terjadi dalam transkasi bursa.
Tetapi banyak lagi transaksi yang dilarang, seperti riba sharf, spekulasi, penipuan,
suap,dll.
2. Hukum harta non halal
Dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan, bahwa setiap pendapatan dari usaha-
usaha sebagaimana tersebut di atas itu diharamkan. Pendapatan yang dimaksud adalah :
a) Bunga atas transaksi pinjaman
b) Pendapatan dari usaha yang aktifitas pinjaman berbunga lebih dominan
c) Pendapatan dari usaha perjudian, minuman keras, barang merusak moral dan
mudharat
Pendapatan tersebut tidak boleh dijadikan modal usaha / bisnis, sesuai dengan
kaidah fikih :
(
4) Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Revisi 2006, Jakarta, Diterbitkan atas kerja sama DSN
– Bank Indonesia, Cet. 2006 hal. 274
‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’
5
كل ما ال يجوز أخذه ال يجوز إعطائه
Setiap harta yang tidak bisa dimiliki, maka harta tersebut tidak bisa diberikan kepada
orang lain.
Hal ini sesuai juga dengan penjelasan Standar Syariah AAOIFI, yaitu sebagai
berikut:
بإي وجه وجوه االنتفاع –التخلص منه ال يجوز االنتفاع بالعصر المحرم الواجب
وال التحايل على ذلك بأي طريق كان ولو بدفع الضرائب.
Pendapatan non halal tidak boleh dimanfaatkan untuk kegiatan apapun, walaupun
dengan cara hilah ribawiyah, sepertidigunakan untuk membayar pajak. (5)
3. Perlakuan terhadap utang / kewajiban non halal
Yang dimaksud dengan kewajiban non halal adalah setiap utang yang didapatkan
bank syariah dengan pihak lain dengan menggunakan akad (transaksi) yang dilarang
syariah, seperti transaksi pinjaman berbunga, suap, jual beli barang – barang terlarang,
dll.
Diantara contohnya, seperti dana – dana yang ada di Bank syariah sebelum
dikonversi menjadi lembaga keuangan syariah, atau dana yang di Unit Ushaa Syariah
(UUS) sebelum berubah menjadi syariah, atau setiap tabungan dan depoito yang masuk
ke bank syariah dengan transkasi pinjaman berbunga.(6)
Bagaiman bank syariah menyikapi dan memperkalukan utangnya yang non halal
tersebut, apakah haru membayar bunga atas pinjamannya? Atau tidak membayarnya?
Permasalahan ini pernah dibahas dalam simposium al-Baraka yag ke 16 yang
diselenggarakan pada tahun 1999 di Beirut.
Para ulama yang berkumpul dalam simposium tersebut itu sepakat bahwa bank
syariah harus harus membayar pokok pinjaman, tetapi tidak boleh membayar bunga
(
5 (Al-Ma’ayir asy-Syar’iyahNo. 21 tentang Saham, Hai’atu al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li al-Muassasat
al-Maliyah al-Islamiyah, Bahrain, Cet. 2010 hal. 293.
(6) Tahawwul al-mashrif al-ribawi, Dr. Su’ud muhammad Rabiah, hal. 531
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
6
pinjamannya jika ketentuan perundang-undangan dinegara tempat transaksi itu
mengizinkan hal tersebut.
Tetapi sebaliknya, jika ketentuan perundang-undangannya tidak mengizinkan hal
tersebut, maka bank harus berusaha untuk tidak membayar bunga, jika tidak berhasil,
maka bank dianggap dalam kondisi terpaksa (mudhtar). (7)
Menuru teputusan al-Baraka tersebut, perlakuan utang / kewajiban bank syariah
itu bisa dibedakan kedalam dua kondisi:
1. Kondisi pertama
Bank syariah tidak membayar bunga atas utang yang diterimanya Jika ketentuan
perundang-undangan di negara tempat transaksi itu menginginkan hal tersebut.(8)
Dengan cara menggugurkan jumlah tertentu yang bukan menjadi bagian modal,
dan tidak boleh memberikan pokok pinjaman tersebut kepada hajat-hajat sosial karena
bukan hartanya(9)
, hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. (10)
:
2. Kondisi kedua
Jika ketentuan perundang-undangan di negara tempat transaksi itu mengharuskan
bank syariah untuk membayar bunga atas utang yang diterimanya.
Kondisi ini terjada di banyak negara pada umumnya yang menerapkan undang-
udang yang tidak sesuai dengan ketentuan Islam.
Dalam kondisi ini, bank syariah dianggap dalam kondisi terpaksa (mudhtar) dan
harus membayar bunga atas utangnya, karena jika tidak membayar bunga tersebut, maka
otoritas akan mengambil dananya secara paksa untuk dibayarkan kepada pihak lain.
(
7) Keputusan Simposium al-Barakah VI, hal 272 -273
(8) lihat makna yang sama dalam Majmu al-fatawa, Ibnu Taimiyah, 29 / 412 -423 .
(9) Tahawwul al-mashrif al-ribawi, Dr. Su’ud muhammad Rabiah, hal. 535.
(10
) Surat al-Baqarah ; 279.
‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’
7
Karena dalam kondisi terpaksa (mudhtar), maka bank syariah tidak berdosa
membayar bunga atas pinjamannya. Sebagaimana hadits Rasulullah Saw :
تي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه" تجاوز عن أم .إن هللا
Sesungguhnya Allah Swt menggurkan (setiap doa ang diakibatkan, pen.) oleh kesalahan,
lupa dan keterpaksaaan) (11)
Menurut hadits ini, dosa melakukan transaksi pinjaman berbunga dalam kondisi
terpaksa (mudhtar) itu digugurkan (diangkat).
Standar syariah AAOIFI menjelaskan bahwa pendapatan non halal yang sudah
bercampur dengan pendapatan lain yang halal (tersebut di atas) itu harus diperlakukan
sebagai berikut :
a) Bagi pihak yang memiliki saham (baik sebagai investor ataupun yang melakukan
jual beli mata uang) hingga akhir tutup buku, ia berkewajiban untuk
mengeluarkan pendapatan non halal, baik yang dihasilkan dari kegiatan usaha
yang tidak halal atau dari asset yang tidak halal yang dimiliki perusahaan itu.
Maka bagi yang memiliki saham dan menjualnya sebelum kegiatan usaha
berakhir, maka ia tidak harusmengeluarkanpendapatan non halal.
b) Bagianyag dikeluarkan adalah jumlah saham yang dihasilkan dari pendapatan non
halal, baik pendapatan ini sudah dibagikan ataupun belum.
c) Perusahaan bertanggung jawab untukmengeluarkan danmenyalurkanpendapatan
non halal ini untuk hajat-hajatsosial.
d) Sedangkan mediator, wakil atau pekerja yang mendapatkan upah atas jasa
pekerjaannya, merekaitu tidak mengeluarkan upahnya.
e) Batasan-batasan tersebutharus dilaksanakan oleh perusahaan, baik perusahaan itu
dikelolasecara langsung atau dengan jasa pihak lain atau melalui reksadana.
(
11) Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah (Shahih muslim, kitab : al-Iman no
hadits : 181), juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah (Sunan Ibnu Majah, kitab : ath-
thalaq, Bab : thalaq al-=Mukrah wa an-nasi, no hadits : 2030).
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
8
f) Batasan–batasan tersebut harusdilaksanakan selama masa usaha,jika perusahaan
tidak lagi komitmen dengan salah satu batasan-batasan ini, maka investor harus
keluar dari perusahaan ini.
g) Tidak boleh membeli saham dengan pinjaman berbunga dari pialang atau pihak
lain (margin). (12)
C. Kriteria, hukum dan perlakuan dana halal yang bercampur dengan dana non
halal
1. Kriteria dan Hukum dana halal yang bercampur dengan dana non halal
Lembaga Fikih Islam Organisasi Konferensi Islam (OKI), Simposium Ekonomi
Syariah al-Baraka, dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) Bank Yordania pernah
membahas masalah hukum hukum jual beli saham perusahaan yang menjalani usaha non
halal dan usaha yang halal secara bersamaan.
Maka, pendapatan yang diperoleh perusahaan tersebut terdiri dari pendapatan
yang halal dan pendapatan yang tidak halal.
Hukum tersebut berlaku untuk dana-dana lain yang halal yang bercampur dengan
dana haram di luar bursa karena kesamaan substansi masalah diantara keduanya.(13)
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum masalah ini. Pendapat tersebut yaitu
sebagai berikut:
Pendapat pertama : jual beli saham tersebut itu diharamkan, berdasarkan dalil-dalil
berikut : (14)
(
12 (Al-Ma’ayir asy-Syar’iyahNo. 21 tentang Saham, Hai’atu al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li al-
Muassasat al-Maliyah al-Islamiyah, bahrain, Cet. 2010 hal. 293..
(13
)adh-Dhawabith asy-syar’iyah li furu al-mu’amalat al-islamiyah bi al-bunuk at-taqlidiyah, Dr.
Husein syahatah, hal. 9
(14
) Ibid, hal. 9
‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’
9
1. Hadits Rasulullah Saw
عن النعمان بن بشير رضي هللا عنه قال قال النبي صلى هللا عليه وسلم : "الحالل بين
والحرام بين وبينهما أمور مشتبهة فمن ترك ما شبه عليه من اإلثم كان لما استبان أترك
ومن اجترأ على ما يشك فيه من اإلثم أوشك أن يواقع ما استبان والمعاصي حمى هللا من
شك أن يواقعه".يرتع حول الحمى يو
Dari Nu’man bin Basyir r.a, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda : yang halal itu
jelas, dan yang haram itu jelas, diantara keduanya ada hal-hal yang samar.
Maka barang siapa yang menjauhinya hal syubhat, maka itu lebih utama. Dan
barang siapa yang melakukannya, maka telah mendekati perbuatan maksiat.
Dan perbuatan maksiat itu (ibarat, pen.) tanaman Allah,Barang siapa yang
menggembala di sekitar tanaman, maka telah – hampir - masuk kedalamnya. (15)
Menurut hadits di atas, Melakukan hal syubhat termasuk membantu berbuat
maksiat. Maka menjauhi hal syubhat itu lebih hati-hati dan menutup pintu peluang
maksiat (dzariah).
2. Keputusan lembaga Fikih Islam OKI
( أنه ال خالف في حرمة 7 - 1 - 56قرار مجمع الفقه اإلسالمي الدورة السابعة رقم )
اإلسهام في شركات غرضها األساسي محرم،كالتعامل بالربا أو إنتاج المحرمات أو
المتاجرة بها. واألصل حرمة اإلسهام في شركات تتعامل أحيانا بالمحرمات، كالربا
.األساسية مشروعةونحوه، بالرغم من أن أنشتطها (16)
(
15) Hadits ini diriwayatkan dari imam Bukhari dari an-Nu’man bin Basyir (shahih al-Bukhari, kitab al-
buyu’, bab: al-halal bayyin wa al-haram bayyin wa bainahuma umur musytabihat, no. 1910), hadits
di atas juga diriwayatkan Imam Muslim dari Nu’man bin Basyir (Shahih Muslim, Kitab : al-Musaqah,
bab : akhdzu al-halal wa tarku asy-syubuhat, no. 2996)
(16
) Qararat wa taushiyat majma al-fiqhi al-islami at-tabi’ li munadzamati al-mu’tamar al-islami,
hal. 212
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
10
Keputusan lembaga Fikih Islam no. 7/1/65, pada perteman ke 7, menegaskan
bahwa tidak ada perbedaan pendapat bahwa membeli saham pada perusahaan yang
tujuan utama melakukan kegiatan usaha yang haram, seperti, bertransaksi ribawi,
memproduksi barang yang haram, jual beli barang yang haram.
Prinsipnya, haram hukumnya membeli saham pada perusahaan yang (kadang-
kandang) bertransaksi yang haram seperti riba dan yang lainnya, walaupun kegiatan
utamanya adalah usaha yang halal.
Menurut pendapat ini, maka saham perusahan yang bersumber dari dana yang
halal dan non halal itu haram hukumnya, karena memisahkan kedua bagian dana tersebut
tidak bisa dilakukan, khususnya dalam UUS karena setiap dananya akan dikonsolidasi di
bank induk yang konvensional. Juga sebagian kelebihan likuiditas UUS akan
dikembalikan kepada bank induk.
3. Kaidah fikih,
"إذا اجتمع الحالل والحرام غلب الحرام".
Jika ada dana halal dan haram bercampur, maka menjadi dana haram.
Kaidah ini berdalil bahwa dengan menjadikan yang haram sebagai hukum, maka
telah meminimalisir perubahan hukum.
Karena seorang mukallaf yang melakukan seuatu perbuatan hukum, sebelum ada
ketentuan hukumnya (baik mengizinkannya atau mengharamkannya), maka mukallaf
tersebut tidak dikenakan sanksi.
Sebagaimana firman Allah Swt :
Dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.(17)
(
17) Q.S Israa’ ; 15
‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’
11
Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha
mengetahui segala sesuatu.(18)
Hal ini berbeda jika ada ketentuan hukum haram, maka terjadi perubahan hukum
menjadi tidak ada sanksi bagi pelakunya. Tetapi jika ada ketentuan yang membolehkan,
maka telah menasakh ketentuan tersebut, sehingga terjadi dua kali perubahan hukum.
Jika ketentuan yang membolehkan itu didahulukan, maka akan menguatkan
hukum boleh (tidak merubahnya).
Jika ada ketentuan yang mengharamkan, maka menasakh ketentuan mubah.
Dengan begitu, telah meminimalisir perubahan. Pilihan ini juga sesuai dengan konsep
Hanafiyah yang menyatakan bahwa hukum wajib itu mencakup halal dan mubah.(19)
Selain itu, memilih hukum haram itu lebih dicintai Allah swt, lebih utama dan
lebih hati-hati, karena itu berarti meninggalkan hal yang diharamkan. (20)
Diantara contoh penerapan kaidah ini, jika ada opsi hukum halal dan haram, maka
hukum haram yang lebih diunggulkan.
Begitu pula, jika ada dalil yang menunjukan hukum haram dan dalil yang
menunjukan hukum mubah, maka yg dipilih adalah dalil yang menunjukan hukum
haram.
(
18) Q.S al-Baqarah ; 29
(19
) al-Mausu’ah al-fiqhiyah al-kuwaitiyah, 8/76
(20
) al-Asybah wa an-nadzair fi qawa’id wa furu’ asy-syafi’iyah, as-Suyuthi, Tahqiq : Muhammad
Tamir dan Hafidz ‘Asyur Hafidz, dar-As-Salam, Kairo, cet. I, 1418 H / 1998 M, Ghamzu ‘uyun al-Basha,
al-Himawi, 1/336
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
12
وحرمتهما قال عثمان رضي هللا عنه لما سئل عن أختين بملك اليمين فقال : أحلتهما أية
أية والتحريم أحب إلينا قال األئمة : وإنما كان التحريم أحب ؛ ألن فيه ترك مباح
.الجتناب محرم، وذلك أولى من عكسه
Sahabat Utsman r.a ketika ditanya tenga dua orang wanita bersaudara karena sebab
milkil yamin, beliau menjawab : satu ayat membolehkan, dan ayat lain mengharamkan.
Dan hukum haram lebih dicintai Allah Swt. (21)
Diantara contoh penerapan kaidah ini, jika uang dirham yang halal bercampur
dengan dirham yang haram dan tidak bisa dipisahkan, maka caranya, kadar haram
dipisahkan, kemudian sisanya diambil. Jika bagian yang dipisahkan itu diketahui
pemiliknya, maka bagian itu diserahkan kepadanya. Jika tidak diketahui, maka
disedekahkan kepada yang lain.(22)
Jika dalam saham ini terdapat dana yang tidak halal, atau perusahaannya
melakukan usaha yang haram seperti menitipkan sebagian dananya di Lembaga
Keuangan ribawi, maka seluruh uang tersebut tidak boleh (haram) untuk dibeli.(23)
Jika pendapat ini terapkan dalam pemahasan makalah ini, maka setiap dana halal
yang bercampur dengan dana non halal yang didepositokan di bank syariah, maka dana
tersebut tergolong dana haram.
Pendapat kedua, sebagian ulama kontemporer berpendapat, jual beli saham
tersebut dibolehkan, dengan syarat kegiatan utamanya adalah usaha yang halal, dan
pendapatan yang halal lebih dominan dari pada pendapatan non halal. (24)
Mereka
berargumen dengan dalil-dalil berikut:
(
21) al-Mantsur fi al-Qawa’id al-fiqhiyah, 1/133, al-Asybah wa an-Nadzair, as-Suyuthi, hal. 106
(22
) al-Asybah wa an-Nadzair, as-Suyuthi, hal. 107, Ghamzu ‘uyun al-Basha, al-Himawi, 1/336, al-
Mughni, Ibnu Quddamah, 4/162, al-Majmu’ syarh al-muhadzdzab, an-Nawawi, cet. Mathba’ah al-
amiriyah 9/469, al-Bahr al-muhith, az-Zarkasyi, 2/342, al-Mabsuth, as-Sarkhasi, 4/45.
(23
) adh-dhowabith asy-syar’iyah li at-ta’amul bi suq al-auraq al-maliah, Husein syahatah dan
‘Athiyah, hal. 22
(24
) al-Musahamah fi asy-syarikat tata’amalu bi al-fawa’id ar-ribawiyah, Abdu as-Sattar abu guddah,
al-haiah asy-syar’iyah li al-barakah, Majmuatu dallah al-baraka, jeddah, cet. II 2003 hal. 306
‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’
13
1. Kaidah fikih :
لألكثر حكم الكل
Hukum mayoritas sama seperti hukum keseluruhan.(25)
Menurut mayoritas ulama, yang menjadi standar, jika dana halal bercampur
dengan dana haram, maka dipilih adalah dana yang lebih dominan, karena hukum
mayoritas seperti hukum keseluruhan.
Para ahli fikih menyebutkan contoh-contoh penerapannya dalam bab-bab seperti
bab thaharah, ibadah, muamalah, pakaian, makanan, dll.(26)
Banyak para ulama yang menegaskan tentang hal ini, beberapa ulama
diantaranya:
Ibnu Nujaim menjelaskan sebagai berikut :
أما مسألة ما إذا اختلط الحالل بالحرام في البلد، فإنه يجوز قال ابن نجيم الحنفي :
.الشراء، واألخذ إال أن تقوم داللة على أنه من الحرام
Ibnu Nujaim al-Hanafi menjelaskan : jika terjadi di sebuah negara, dana halal
bercampur dengan dana haram, maka dana tersebut boleh dibeli dan di ambil kecuali
jika ada bukti bahwa dana tersebut itu haram.(27)
An-Nawawi menjelaskan sebagai berikut:
وقال النووي : الخلط في البلد حرام ال ينحصر بحالل ينحصر لم يحرم الشراء
نها من الحرام فإن لم منه بل يجوز األخذ منه إال أن يقترن بتلك العين عالمة تدل على أ
.يقترن فليس بحرام ولكن تركه ورع محبوب وكلما كثر الحرام تأكد الورع
Imam nawawi berkata : jika terjadi di sebuah negara, dana haram yang tidak
terbatas bercampur dengan dana halal yang terbatas , maka dana tersebut boleh dibeli,
(
25) al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam syarh majallati al-ahkam,
Ali haidar, 1/183
(26
) al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam syarh majallati al-ahkam,
Ali haidar, 1/183
(27
) al-Asybah wa an-Nadzair, Ibnu Nujaim, 345
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
14
bahkan boleh diambil kecuali ada bukti bahwa dana tersebut bersumber dari dana
haram, jika tidak ada bukti, maka tidak haram.
Tetapi meninggalkan perbuatan tersebut itu dicintai Allah Swt., setiap kali dana
haram itu banyak, maka harus disikapi dengan wara’.(28)
Ibnu Taimiyah menjelaskan sebagai berikut:
عن الذين غالب أموالهم حرام، مثل -رحمه هللا -وقد سئل شيخ اإلسالم ابن تيمية
المكاسين وأكلة الربا، وأشباههم، ومثل أصحاب الحرف المحرمة كمصوري الصور،
والمنجمين ومثل أعوان الوالة فهل يجوز أخذ طعامهم بالمعاملة أو ال ؟ فأجاب ) الحمد
وحرام، ففي معاملتهم شبهة، ال يحكم بالتحريم إال إذا هلل، إذا كان في أموالهم حالل
عرف أنه يعطيه ما يحرم إعطاؤه، وال يحكم بالتحليل إال إذا عرف أنه أعطاه من
الحالل، فإن كان الحالل هو األغلب لم يحكم بتحريم المعاملة، وإن كان الحرام هو
.األغلب، قيل يحل المعاملة وقيل: بل هي محرمة
Ibnu Taimiyah r.a pernah ditanya tentang orang yang memiliki harta yang didominasi
oleh dana haram, seperti pelaku riba, pekerja yang tidak halal. Bolehkan bertransaksi
makanan dengan mereka?. Beliau menjawab (segala puji bagi Allah, jika dananya terdiri
dana halal dan non halal, maka dana mereka bersifat syubhat.
Dana tersebut tidak bisa dihukumi haram kecuali jika diketahui bahwa mereka
memberikan dana yang tidak halal untuk diberikan. Begitu pula, dana tersebut tidak bisa
dihukumi halal kecuali jika diketahui bahwa mereka mandapatkan dana yang halal untuk
diberikan.
Jika dana halal itu yang dominan, maka transaksinya tidak bisa dihukumi haram. Dan
sebaliknya, jika dana haram itu yang dominan, menurut sebagian ulama transaksinya
halal, dan menurut sebagian yang lain, transkasinya haram
(
28) al-Majmu; syarhu al-muhadzdzab, Abi Zakariya al-Anshari, al-Mathba’ah al-muniriyah hal. 418, al-
Bahru al-muhith, az-Zarkasyi, 1/342
‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’
15
فأما المتعامل بالربا فالغالب على ماله الحالل، إال أن يعرف الكره من وجه آخر، وذلك
أنه إذا باع ألفا بألف ومائتين، فالزيادة هي المحرمة فقط، وإذا كان في ماله حالل وحرام
واختلط لم يحرم الحالل بل له أن يأخذ قدر الحالل كما لو كان المال لشريكين، فاختلط
بمال اآلخر فانه يقسم بين الشريكين ( . . وكذلك من اختلط بماله الحالل مال أحدهما
والحرام، إخراج قدر الحرام والباقي حالل له (29)
Adapun orang yang bertransaksi secara ribawi, maka yang dominan adalah halal
kecuali diketahui bahwa yang dominan adalah makruh. Karena jika sesorang menjual
1000 seharga 1.200, maka yang haram adalah marginnya saja.
jika hartanya terdiri dari dana halal dan haram yang bercampur , maka bagian yang
haram ini tidak mengharamkan bagian yang halal. ia bisa mengambil bagian yang halal
tersebut, sebagaimana jika dana miliki dua orang syarik, dana syirkah telah bercampur
dan menjadi milik keduanya, maka dana tersebut dibagi kepada dua syarik tersebut.
2. Kaidah fikih :
.يجوز تبعا ماال يجوز استقالال
Hal yang dibolehkan karena sifatnya pelengkap, itu menjadi tidak dibolehkan
karena sifanya independen. (30)
Prosentase dana haram dalam saham ini itu pelengkap ; bukan unsur inti yang
yang menjadi tujuan transkasi. Karena perusahaan tersebut bertujuan melakukan kegiatan
usaha yang halal, tetapi karena ada kebutuhan likuiditas atau sejenisnya sehingga
mendorongnya untuk meminitipkan sebagian dananya atau meminjamnya di bank
konvensional.
Maka transkasi ini – tanpa diragukan lagi – adalah transkasi yang diharamkan,
dan pelakunya berdosa, tetapi hal ini tidak membuat bagian lain yang halal menjadi
haram.
(
29) Majmu’ al-fatawa al-Kubra, Ibnu Taimiyah, Beirut, dar-al-Kutub al-‘ilmiah, cet. I, 1408 H / 1987 M,
29/268
(30
) al-Jauharah an-Nirah, al-Hidadi al-‘Ibadi, 1/303, Duraru al-Hukkam syarh majallati al-ahkam,
Ali haidar, 1/183, Daqaiq uli an-nuha li nsyarhi al-muntaha, al-Buhuti, cet. Alamu alkutub 1/183
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
16
Oleh karena itu setiap margin yang bersumber dari dana haram itu harus
dikeluarkan. Jika prosentase kegiatan yang haram itu tidak melebihi 1% dari total asset
perusahaan, maka seluruh margin dari transaksi yang haram harus dikeluarkan.
Tetapi jika bunga - dalam neraca disebutkan dalam point ‘pendapatan lain-lain’ –
itu tidak bisa diketahui dengan jelas, maka sebagian dana dianggap halal, dan sebagain
yang lain dianggap dana non halal dan harus dikeluarkan, karena jika tidak bisa
menghitung jumlah yang pasti, maka cukup dengan mengira-ngira.(31)
3. Maslahat (al-Hajah asy-syar’iyah)
Kebutuhan perusahaan syariah untuk melakukan usaha tersebut hingga bisa
bertahan melanjutkan misinya menghindari praktik bisnis ribawi bagi kaum muslimin.
Oleh karena itu, menurut pendapat ke dua ini, UUS boleh mengelola dana bank
induk yang ada di tangannya, jika dana halal lebih dominan.
Beberapa ulama menambahkan, saham tersebut hukumnya boleh dengan syarat –
syarat, diantaranya pemilik saham hendaknya memperhatikan prosentase bunga deposito
perusahaan dilembaga keuangan konvensional. Prosentase ini terlihat dalam neraca
keuangan atau dengan konfirmasi kepada staf bagian akuntansi. Jika tidak bisa, maka ia
berijtihad mengira – ngira, kemudian mengeluarkan bagian haram tersebut untuk
disalurkan kepada aktifitas sosial.
Syarat lain adalah investor yang membeli saham tersebut itu bertujuan untuk
merubah atau mengkonversi LKK menjadi LKS dengan peran dan suaranya di RUPS
atau Direksi.(32)
Jikapendapatiniterapkandalampemahasanmakalahini, makasetiapdana halal yang
bercampurdengandana non halal yang didepositokan di bank syariah,
makadanatersebuttergolongdanahalal, jikabagian halal itulebihdominan.
(
31) al musahamah fi asy-syarikat tata’amalu bi al-fawa’id ar-ribawiyah, Abdu as-Sattar abu Guddah,
hal. 306
(32
) adh-Dhowabith asy-syar’iyah li at-ta’amul bi suq al-auraq al-maliyah, Husein syahatah dan
athiyah fayyadh, hal. 22.
‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’
17
Standard syariah AAOIFI menjelaskan syarat-syarat tersebut, yaitu sebagai berikut :
1) Prinsip dasarnya, tidak boleh membeli saham pada perusahaan yang menjalankan
usaha yang halal, tetapi diantara kegiatannya ada usaha non halal.diantaranya
meminjam dengan bunga dan menitipkan uangnya di LKK
2) Dalam kondisi khusus, jual beli saham tersebut itu dibolehkan dengan syarat-
syarat berikut :
a) Usaha yang dijalankan perusahaan tersebut – sesuai AD ARTnya –
bukanusaha yang diharamkan oleh syariah.
b) Total pinjaman ribawi perusahaan tidak boleh lebih dari 30% dari harga
pasar (market capital) dari total saham perusahaan.
c) Total simpanan ribawi perusahaan tidak boleh lebih dari 30% dari harga
pasar (market capital) dari total saham perusahaan.
d) Total pendapatan perusahaan dari kegiaatan usahayang diharamkan tidak
boleh lebih dari 05% dari total pendapatan perusahaan, baik pendapatan
ini dari kegiatan usaha yang tidak halal atau dari asset yang tidak halal
yang dimiliki perusahaan.
Prosentase di atas bisa diketahui dari neraca dan laporan keuangan.(33)
Hal ini berdasarkan dalil bahwa kaidah yang berkenaan dengan raf’ul haraj wal
hajah al-ammah (meminimalisir kesulitan dan memnuhumi hajat umum), umum al-balwa
(praktik yang tidak bisa dihindarkan), muro’at qowa’id al-katsrah wa al-ghalabah
(standar tentang pilihan yang terbanyak)(34)
, bolehnya bertransaksi dengan modal
campuran jika hartanya yang halal lebih dominan(35)
, kaidah sebagian fuqaha tentang
(
33 ( al-furuq, al-qarrafi (4/104), al-miwafqat (1/37), ahkamu al-qur’an, Ibnu al-‘arabi (4/1804), qowaid
al-ahkam fi mashalih al-anam (1/41-45)
(34
( Bada’i ash-shana’i (6/144), al-asybah wa nadza’ir, Ibnu Nujaim (112-114), al-bayan wa tahshil
(18/194-195), al-mantsur fi al-qawaid (2/235)..
(35
( Fath al-qadir (6/89), ‘aqdul jawahir al-tsaminah (2/439), asy syarhu al-kabir ma’a dasuqi (3/15), ar-
raudhah (3/420), majmu al-fatawa (29/4u8).
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
18
tafriq shafqah (memisah transaksi halal dari transaksi yang haram)(36)
dan fatwa Dewan
Pengawas Syariah ar-Rajihi (37)
.
Dari penjelasan di atas, pendapat yang kedua lebih tepat untuk diterapkan karena
beberapa hal:
a) Lingkungan dan pranata ekonomi masih belum islami ; regulasi tidak memihak
LKS, masyarakat yang belum paham ekonomi syariah, industri konvensional
yang mendominasi, sehingga transaksi dengan konvensional menjadi hal yang
tidak bisa dihindarkan.
b) Bahkan menjadi kebutuhan LKS untuk bertransaksi dengan LKS yang memiliki
produk lebih lengkap dan modal yang lebih besar.
c) Ada kebutuhan untuk bertranskasi dengan LKK, misalnya untuk mengatasi
likuiditasnya, yang tidak bisa diatas sepenuhnya di LKS.(38)
4. Perlakuan Dana Campuran
Berdasarkan pendapat yang rajih tersebut di atas yang menegaskan bahwa jika
yang dominan adalah harta yang halal, maka status hukum seluruh harta tersebut adalah
halal digunakan untuk kebutuhan yang dibolehkan Islam.
Maka berdasarkan pendapat ini, dana tabungan dan deposito yang bersumber dari
pendapatan atas transaksi pinjaman berbunga yang bercampur dengan harta lain yang
halal itu dibolehkan, jika prosentase yang halal itu lebih dominan.
D. Kesimpulan (Merumuskan Kaidah)
Berdasarkan penjelasan di atas, bisa dibuat kaidah-kaidah berikut :
(
36 ( Keputusan dewan pengawas syariah perusahaan ar-rajihi no. 485 tnggal 23/8/1422 H.
(37
(Al-Ma’ayir asy-Syar’iyahNo. 21tentangSaham, Hai’atu al-Muhasabah wa al-Muraja’ah li al-
Muassasat al-Maliyah al-Islamiyah, bahrain, Cet. 2010 hal. 293..
(38
) Dhowabith taqdim al-khadamat al-mashrifyah fi al-buhuk at-taqlidiyah – tajribatu al-bank al-
ahli at-tijari, Said al-marthan, hal. 33-34.
‘Menangani Cabaran dan Merintis Inovasi dalam Kewangan Islam’
19
1. Dana yang bersumber dari aktifitas non halal
a. Dana yang bersumber dari aktifitas non halal adalah setiap pendapatan
yang bersumber dari transaksi yang dilarang oleh syariah, seperti bunga
dari transaksi pinjama berbunga.
b. Ulama sepakat bahwa pendapatan tersebut, adalah harta non halal.
Sedangan bagian modal atau pijaman (ashlu al-qurudh) itu hukumnya
halal.
c. Pendapatan non halal tersebut tidak boleh digunakan oleh pemiliknya
sebagai sumber tabungan atau deposito, tetapi harus membersihkannya,
dengan cara menyalurkannya untuk hajat-hajat sosial.
d. Jika terjadi, maka deposan telah berdosa menggunakan sumber deposito
dari harat non halal. Bagi LKS penerima / pengelola depodito, jika tidak
mengetahuinya, maka tidak berdosa. Tetapi jika mengetahuinya, maka
harus disalurkan untuk kepentingan sosial.
2. Dana yang bersumber dari dana yang bercampur dana halal dan non halal
a. Yaitu setiap pendapatan yang bersumber dari transaksi yang dilarang oleh
syariah, tetapi telah bercampur dengan pendapatan yang halal, seperti
sejumlah dana yang terdiri dari bunga atas pinjaman, serta keuntungan
dari usaha mudharabah.
b. jika yang dominan adalah harta yang halal, maka status hukum seluruh
harta tersebut adalah halal digunakan untuk kebutuhan yang dibolehkan
Islam.
c. Berdasarkan pendapat ini, maka pendapatan tersebut boleh digunakan
sebagai sumber tabungan dan deposito.
d. Jika terjadi, maka deposan telah berdosa menggunakan sumber deposito
dari harat non halal. Bagi LKS penerima / pengelola depodito, jika tidak
mengetahuinya, maka tidak berdosa. Tetapi jika mengetahuinya, maka
harus disalurkan untuk kepentingan sosial.
Muzakarah Cendekiawan Syariah Nusantara ke-8
MCSN8, 28-29 Mei 2014
20
3. Ada dua hal yang harus terpenuhi, agar transaksi sesuai syariah, yaitu :
a. Sumber dana harus halal (bersumber dari usaha yang halal), atau menjadi
bagian yang dominan, jika dana yang halal telah bercampur dengan dana
non halal.
b. Transaksi yang digunakan itu harus transaksi syariah (seperti jual beli,
sewa menyewa, bagi hasil) bukan transkasi konvesional, (seperti pinjaman
berbunga, suap, penipuan (gharar), spekulasi dll). Sebagai fatwa syariah
Dallah al-Baraka yang menegaskan bahwa bank konfensional boleh
berinvestasi di bank syariah dengan syarat transkasi yang digunakan
sesuai syariah. Wallahu a’lam
top related