penapisan senyawa aktif antioksidan dari daun johar...
Post on 02-Mar-2020
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENAPISAN SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN
DARI DAUN JOHAR (Cassia siamea Lamk)
MENGGUNAKAN SISTEM SUBKRITIK HFC-134a
SKRIPSI
NUR FAUZIYAH
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
PENAPISAN SENYAWA AKTIF ANTIOKSIDAN
DARI DAUN JOHAR (Cassia siamea Lamk)
MENGGUNAKAN SISTEM SUBKRITIK HFC-134a
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh:
NUR FAUZIYAH
11140960000046
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M / 1440 H
ABSTRAK
NUR FAUZIYAH. Penapisan Senyawa Aktif Antioksidan dari Daun Johar
(Cassia siamea Lamk) Menggunakan Sistem Subkritik HFC-134a. Dibimbing
oleh R. ARTHUR ARIO LELONO dan SITI NURBAYTI
Daun johar (Cassia siamea Lamk) diketahui berpotensi sebagai tanaman
obat. Ekstraksi daun johar biasanya dilakukan menggunakan metode maserasi,
namun ekstrak yang dihasilkan dengan metode ini harus mengalami perlakuan
khusus dan membutuhkan waktu ekstraksi yang lebih lama. Penggunaan ekstraksi
subkritik HFC-134a merupakan alternatif potensial untuk ekstraksi senyawa
bahan alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengekstraksi senyawa dari daun johar
(Cassia siamea Lamk) menggunakan ekstraksi subkritik HFC-134a dengan
perbandingan massa sampel:pelarut 1:10 selama 9 jam dengan 3 kali siklus.
Proses ekstraksi menghasilkan ekstrak dengan rendemen sebesar 0,4698% dan
proses fraksinasi menghasilkan 2 fraksi terpilih dengan bobot terbanyak dan
wujud semi kristal padat. Kedua fraksi tersebut memiliki aktivitas antioksidan
berdasarkan uji kuantitatif aktivitas antioksidan metode DPPH dan memberikan
nilai % inhibisi sebesar 21% untuk fraksi 2 dan 29% untuk fraksi 7 masing-
masing pada konsentrasi 200 ppm. Berdasarkan hasil karakterisasi menggunakan
FTIR terdapat beberapa gugus fungsi umum seperti O-H, C-H alkana, C=O, C=C,
C-O dan =C-H alkena. Sedangkan identifikasi dengan LC-MS/MS menghasilkan
beberapa senyawa prediksi seperti δ-dekalakton, biotin, dan asam korismat pada
fraksi 2 serta senyawa teobromin, arabsin, digoxigenin dan oksitetrasiklin pada
fraksi 7.
Kata kunci: Antioksidan DPPH, daun johar, ekstraksi subkritik HFC-134a, dan
LC-MS/MS
ABSTRACT
NUR FAUZIYAH. Screening of Active Compounds Antioxidant from Johar
Leaves (Cassia siamea Lamk) Using Subcritical System HFC-134a. Guided by R.
ARTHUR ARIO LELONO and SITI NURBAYTI
The johar leaves (Cassia siamea Lamk) is known to be a potential medicinal
plant. Extraction of johar leaves is usually using the maceration method, but the
extracts produced by this method must undergo special treatment and require a
longer extraction time. The use of subcritical extraction of HFC-134a is a
potential alternative for the extraction of natural compounds. This study aims to
extract compounds from johar leaves (Cassia siamea Lamk) using subcritical
extraction of HFC-134a with sample mass ratio: solvent 1:10 for 3 hours with 3
cycles. The extraction process produces extracts with a yield of 0.4698% and the
fractionation process produces 2 selected fractions with the highest weight and
semi-crystalline form. Both of these fractions have antioxidant activity based on
the quantitative test of the antioxidant activity of the DPPH method and provide
a% inhibition value of 21% for fraction 2 and 29% for fraction 7 each at a
concentration of 200 ppm. Based on the results of characterization using FTIR
there are several general functional groups such as O-H, C-H alkane, C=O, C=C,
C-O dan C-H alkenes. Identification with LC-MS/MS produces several predictive
compounds such as δ-decalactone, biotin, and chorismic acid in fraction 2 and
theobromine, arabsin, digoxygenin and oxytetracycline in fraction 7.
Keywords: Antioxidant DPPH, johar leaves, LCMS-MS, subcritical extraction
HFC-134a.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan pada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Besar Muhammad
Shollallahu ‘Alayhi wa Sallam beserta keluarga, sahabatnya dan kita selaku
umatnya.
Skripsi ini berjudul Penapisan Senyawa Aktif Antioksidan dari Daun
Johar (Cassia siamea Lamk) Menggunakan Sistem Subkritik HFC-134a.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan dan
arahan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan
ucapan terima kasih yang tulus kepada:
1. R. Arthur Ario Lelono, Ph.D selaku pembimbing I yang senantiasa
memberikan pengarahan serta bimbingannya baik dalam diskusi ilmiah serta
arahan teknis rancangan penelitian dalam menyelesaikan skripsi ini;
2. Dr. Siti Nurbayti, M.Si selaku pembimbing II yang telah memberikan
pengarahan serta bimbingannya sehingga banyak membantu penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini;
3. Dr. Hendrawati, M.Si selaku penguji I dan Tarso Rudiana, M.Si selaku
penguji II yang senantiasa memberikan arahan dan saran terhadap penulis;
4. Dr. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Ketua Program Studi Kimia, Fakultas
Sains dan Teknologi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
5. Prof. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M.Env. Stud. selaku Dekan Fakultas Sains
dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
6. Orang tua dan keluarga tercinta yang selalu memberikan dukungan baik
ix
moral, material, maupun spiritual;
7. Segenap dosen Program Studi Kimia atas ilmu pengetahuan dan pegalaman
hidup yang dengan ikhlas diajarkan dan diberikan kepada penulis;
8. Euis Filaila, Herlan Herdiawan, dan Adawiyah selaku pembimbing teknis serta
pengarah yang telah banyak membantu terkait proses penelitian ini;
9. Sahabat seperjuangan Afriana Awdady dan Nurlathifah serta sahabat lain
Ambar, Chinta, Lucyta dan Isni yang senantiasa memberi bantuan, dukungan,
semangat dan juga motivasi kepada penulis;
10. Rekan seperjuangan Kimia Angkatan 2014 yang senantiasa memberi
dukungan semangat dan keceriaan kepada penulis;
11. Semua pihak yang telah membantu secara langsung dan tidak langsung yang
tidak dapat disebutkan satu persatu.
Semoga arahan, motivasi, dan bantuan yang telah diberikan menjadi
amal ibadah bagi keluarga, bapak, dan rekan-rekan sehingga memperoleh balasan
yang lebih baik dari Allah SWT. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat
bagi pembaca serta dapat dijadikan sumbangan pikiran untuk perkembangan
pendidikan khususnya di bidang bahan alam.
Tanggerang Selatan, Agustus 2019
Nur Fauziyah
x
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................. 5
1.3 Hipotesis Penelitian ............................................................................... 6
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................................... 6
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 7
2.1 Tanaman Johar (Cassia siamea Lamk) ................................................... 7
2. 1. 1 Fitokimia Tanaman Johar ......................................................... 8
2. 1. 2 Aktivitas Biologis Metabolit Sekunder Tanaman Johar ............ 12
2.2 Isolasi Senyawa Aktif ............................................................................ 13
2. 2. 1 Ekstraksi .................................................................................. 14
2. 2. 2 Kromatografi ............................................................................ 15
2. 2. 2. 1 Kromatografi Lapis Tipis ................................................ 15
2. 2. 2. 2 Kromatografi Kolom ....................................................... 17
2.3 HFC-134a .............................................................................................. 18
2.4 Antioksidan ........................................................................................... 21
2.5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH .................................. 22
2.6 Elusidasi Struktur dengan Metode Spektroskopi .................................... 24
2. 6. 1 Spektroskopi FTIR ................................................................... 25
2. 6. 2 Spektroskopi LC-MS/MS ......................................................... 26
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 28
3. 1 Waktu Penelitian.................................................................................... 28
3. 2 Alat dan Bahan ...................................................................................... 28
3. 2. 1 Alat .......................................................................................... 28
xi
3. 2. 2 Bahan ....................................................................................... 28
3. 3 Diagram Alir Penelitian ......................................................................... 29
3. 4 Prosedur Kerja ....................................................................................... 30
3. 4. 1 Preparasi Sampel ...................................................................... 30
3. 4. 2 Ekstraksi Daun Johar (C. siamea) Subkritik HFC-134a ............ 30
3. 4. 3 Uji Fitokimia ............................................................................ 31
3. 4. 4 Kromatografi Lapis Tipis ......................................................... 32
3. 4. 5 Kromatografi Kolom Gravitasi ................................................. 33
3. 4. 6 Uji Aktivitas Antioksidan Secara Kualitatif .............................. 34
3. 4. 7 Uji Aktivitas Antioksidan Secara Kuantitatif ............................ 34
3. 4. 8 Analisis FTIR ........................................................................... 35
3. 4. 9 Analisis LC-MS/MS ................................................................. 35
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................ 36
4.1 Ekstraksi Daun Johar (C. siamea) Subkritik HFC-134a .......................... 36
4.2 Uji Fitokimia ......................................................................................... 41
4.3 Fraksinasi Ekstrak Daun Johar (C. siamea) Subkritik HFC-134a ............ 43
4.4 Uji Aktivitas Kualitatif Antioksidan Ekstrak, Fraksi F2 dan F7 ............. 47
4.5 Uji Aktivitas Kuantitatif Antioksidan Ekstrak, Fraksi F2 dan F7 ............ 48
4.6 Karakterisasi Fraksi F2 dan F7 ............................................................... 50
4.6.1 Analisis FTIR ........................................................................... 50
4.6.2 Analisis LC-MS/MS ................................................................. 53
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 67
5.1 Simpulan ............................................................................................... 67
5.2 Saran ..................................................................................................... 67
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 68
LAMPIRAN .................................................................................................. 76
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tanaman johar ................................................................................8
Gambar 2. Struktur senyawa aktif pada daun tanaman johar .............................10
Gambar 3. Struktur senyawa aktif pada batang tanaman johar ..........................11
Gambar 4. Struktur senyawa aktif pada bunga dan akar tanaman johar .............11
Gambar 5. Reaksi DPPH dengan antioksidan....................................................23
Gambar 6. Diagram alir penelitian ....................................................................29
Gambar 7. Skema alat ekstraktor HFC-134a .....................................................31
Gambar 8. Hasil KLT ekstrak daun johar berbagai perbandingan pelarut
(a) UV 254 nm (b) UV 365 nm ........................................................44
Gambar 9. Fraksi F2 dan F7 hasil fraksinasi .....................................................47
Gambar 10. Hasil uji kualitatif aktivitas antioksidan
(a) ekstrak dan (b) fraksi F2 dan F7 ...............................................48
Gambar 11. Perubahan intensitas warna ekstrak + DPPH..................................50
Gambar 12. Hasil spektrum FTIR fraksi F2 dan F7 ...........................................51
Gambar 13. Kromatogram Fraksi F2 ................................................................53
Gambar 14. (a)spektrum massa fraksi F2 pada waktu retensi 7,58 dan
(b)spektrum massa database Massbank senyawa δ-dekalakton ......54
Gambar 15. (a)spektrum massa fraksi F2 pada waktu retensi 8,85 dan
(b)spektrum massa database Massbank senyawa biotin .................56
Gambar 16. (a)spektrum massa fraksi F2 pada waktu retensi 10,33 dan
(b)spektrum massa database Massbank senyawa asam korismat ....57
Gambar 17. Struktur (A)δ-dekalakton, (B)biotin, dan (C)asam korismat ...........59
Gambar 18. Kromatogram fraksi F7 .................................................................60
Gambar 19. (a)spektrum massa fraksi F7 pada waktu retensi 9,91 dan
(b)spektrum massa database Massbank senyawa teobromin ..........61
Gambar 20. (a)spektrum massa fraksi F7 pada waktu retensi 11,90 dan
(b)spektrum massa database HMDB senyawa Arabsin ..................62
Gambar 21. (a)spektrum massa fraksi F7 pada waktu retensi 12,21 dan
(b)spektrum massa database Massbank senyawa digoxigenin ........63
Gambar 22. (a)spektrum massa fraksi F7 pada waktu retensi 18,59 dan
(b)spektrum massa database Massbank senyawa oksitetrasiklin ....64
Gambar 23. Struktur senyawa (D)teobromin, (E)arabsin, (F)digoxigenin, dan
(G) oksitetrasiklin ..........................................................................65
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Senyawa aktif tanaman johar ...............................................................9
Tabel 2. Penggolongan tingkat aktivitas antioksidan ..........................................24
Tabel 3. Bilangan gelombang spektrum FTIR....................................................26
Tabel 4. Kondisi operasional reaktor serta rendemen ekstrak daun johar ............36
Tabel 5. Hasil uji fitokimia ................................................................................42
Tabel 6. Bobot fraksi hasil kromatografi kolom gravitasi ...................................46
Tabel 7. Hasil pengujian aktivitas antioksidan kuantitatif ..................................49
Tabel 8. Hasil analisis gugus fungsi FTIR fraksi F2 dan F7 ...............................52
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Hutan tropis Indonesia memiliki 30.000 spesies tumbuhan, 9.600 spesies
diantaranya merupakan tanaman obat dan hanya 200 spesies yang telah
dimanfaatkan sebagai bahan baku obat tradisional (Jumari et al., 2003).
Pemanfaatan tanaman sebagai obat merupakan hal yang telah berlangsung sejak
jaman dahulu. Arisandi (2005) mengungkapkan bahwa pengobatan dengan
menggunakan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dibandingkan
dengan pengobatan modern, hal ini dikarenakan efek samping yang ditimbulkan
obat tradisional lebih sedikit dibandingkan obat modern.
Allah menciptakan segala sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia,
baik makanan maupun obat-obatan pada tumbuh-tumbuhan yang berasal dari
bumi, serta sesuatu yang tumbuh dari tanaman dan pohon-pohon. Sebagaimana
firman Allah SWT dalam surat Asy-Syu’araa ayat 7-8 yang berbunyi
اولم ايرو الى األرض كم أنبتنا فيها من كل زوج كريم (٧)
ؤمنين (۸) إن في ذلك ألية وما كان أكثرهم م
Artinya :
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya Kami
tumbuhkan di bumi itu berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik? (7)
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat suatu tanda
kekuasaan Allah, dan kebanyakan mereka tidak beriman (8)” (Asy-Syu'araa':7-8).
Ayat tersebut mengandung makna seruan kepada manusia sebagai orang
beriman yang memiliki akal pikiran, hendaknya mereka memikirkan dan
2
memperhatikan seluruh isi bumi ciptaan Allah, karena di dalamnya terdapat suatu
tanda kebesaran-Nya. Salah satunya ialah berbagai jenis tumbuh-tumbuhan baik
yang membawa manfaat. Maka sebagai seorang mukmin yang mempercayai
tanda-tanda kekuasaan Allah, hendaklah ia berfikir dan mencari tahu berbagai
kandungan dan manfaat pada tanaman yang ada, salah satunya dalam bidang
medis yakni sebagai obat.
Menurut Shihab (2009), Allah SWT menciptakan alam semesta beserta
isinya tidak diciptakan dengan sia-sia akan tetapi memiliki fungsi masing-masing.
Kita sebagai manusia telah diberi akal untuk mengembangkan dan memperluas
ilmu pengetahuan tersebut khususnya ilmu yang membahas tentang manfaat
tumbuhan. Surat Asy Syu’araa dalam ayat tersebut menjelaskan tentang tumbuhan
yang baik, yaitu tumbuhan yang subur dan memberikan manfaat untuk makhluk
hidup.
Salah satu bahan alam yang diketahui berpotensi sebagai obat adalah
tumbuhan dari famili Fabaceae. Famili Fabaceae merupakan salah satu famili
tumbuhan terbesar (Lewis et al., 2005). Salah satu tanaman dari famili Fabaceae
yang juga digunakan dalam pengobatan tradisional adalah tanaman Cassia siamea
Lamk atau yang dikenal sebagai tanaman johar. Daun johar dilaporkan banyak
digunakan dalam pengobatan tradisional antara lain sebagai obat malaria, gatal,
kudis, kencing manis, demam, luka dan dimanfaatkan sebagai tonik karena
memiliki kandungan flavonoid dan karotenoid yang cukup tinggi (Heyne, 1987).
Ekstrak metanol, etanol, dan etil asetat dari daun johar mengandung senyawa-
senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, fenol,
antrakuinon, antosianin, steroid, dan terpenoid (Veerachari dan Bopaiah, 2011).
3
Ekstrak tanaman johar dilaporkan memiliki bioaktivitas sebagai antioksidan (Kaur
et al., 2006), antidiabetes (Kumar et al., 2010), antibakteri (Poovendran et al.,
2014) dan antimalaria (Raharjo et al., 2014). Seperti penelitian yang dilakukan
oleh Kaur et al. (2006), pada konsentrasi 250µg/mL ekstrak bunga C. siamea
menangkap 96% radikal DPPH dan memiliki nilai IC50 sebesar 45 µg/mL.
Tanaman johar (C. siamea) secara empirik digunakan oleh sebagian
masyarakat Indonesia sebagai obat malaria (Sudarman dan Harsono, 1975) dan
oleh sebagian masyarakat di daerah Aceh digunakan juga untuk mengobati
penyakit kuning hepatitis. Cara penggunaannya biasanya dengan minum air
perasan daun segar atau rebusan daun dalam jumlah tertentu dan dalam jangka
waktu lama. Namun, penggunaan secara tradisional dengan cara direbus dinilai
kurang efektif sehingga diperlukan adanya suatu metode ekstraksi yang berguna
untuk menarik kandungan senyawa bioaktif di dalamnya. Metode ekstraksi yang
paling umum dilakukan yakni ekstraksi dengan menggunakan pelarut organik.
Namun, ekstrak yang dihasilkan dengan metode ini harus mengalami perlakuan
khusus lebih lanjut untuk menghilangkan sisa pelarut organik dan pengotor.
Penggunaan pelarut organik dalam jumlah yang besar juga dapat membahayakan
kesehatan manusia (Liang dan Fan, 2013). Selain itu, metode ekstraksi seperti
maserasi biasanya juga membutuhkan waktu yang relatif lama.
Pemilihan metode ekstraksi dan pemilihan pelarut merupakan hal penting
yang harus diperhatikan dalam pembuatan bahan baku ekstrak untuk sediaan obat.
Penggunaan pelarut yang tidak tepat dapat menurunkan atau menghilangkan efek
yang diinginkan, jika zat aktif tidak larut sempurna maka zat tersebut tidak tersari
secara optimal. Selain itu, bagi pelaku bisnis obat tradisional pertimbangan biaya
4
dan waktu produksi tidak dapat dikesampingkan karena berkaitan erat dengan
keuntungan yang akan didapat (Depkes RI, 1986).
Metode ekstraksi lain yang dikembangkan saat ini adalah ekstraksi dengan
fluida superkritis atau dikenal sebagai Supercritical Fluids Extraction (SFE).
Ekstraksi superkritis banyak diaplikasikan untuk mengekstrak senyawa esensial
dari berbagai sumber di alam. Beberapa kelebihan utama proses ekstraksi
superkritis antara lain kelarutan yang lebih selektif dibandingkan dengan pelarut
organik dan mudahnya dalam proses pemisahan (Ragaguci, 2013).
Pelarut yang banyak digunakan dalam SFE adalah CO2 dalam bentuk gas
yang kemudian diubah fasanya menjadi cair. Keunggulan penggunaan pelarut ini
adalah karena mempunyai daya larut tinggi terhadap berbagai komponen, relatif
inert, tidak mahal, tidak beracun, dan tidak mudah terbakar (Hugh, 1993; Rizvi,
1999; Sun, 2002). Namun di lain pihak, kelemahan utama dalam ekstraksi
superkritis menggunakan CO2 adalah penggunaan tekanan yang sangat besar,
sehingga membutuhkan biaya cukup besar untuk kompresi (Ragaguci, 2013).
Oleh karena itu diperlukan suatu alternatif baru pengganti pelarut dalam metode
ekstraksi subkritik yang memungkinkan proses ekstraksi dengan tekanan yang
lebih rendah.
Senyawa 1,1,1,2-tetrafluoroetana atau yang dikenal dengan HFC-134a dapat
digunakan sebagai alternatif pelarut cair untuk mengekstrak berbagai produk
bermanfaat dari berbagai bahan alam. Penggunaan HFC-134a sebagai pelarut
ekstraksi dapat mengatasi banyak kekurangan proses isolasi yang ada, termasuk
ekstraksi superkritis CO2. Pelarut HFC-134a dapat meningkatkan kelarutan zat di
atas pelarut CO2 murni tanpa masalah residu pelarut dan dengan persyaratan
5
tekanan hanya 20 bar atau lebih. Volatilitas HFC-134a yang tinggi, menyebabkan
proses recovery produk dari pelarut dapat dilakukan secara efisien pada suhu yang
relatif rendah sehingga meminimalisir hilangnya komponen yang mudah menguap
dan degradasi termal produk (Corr, 2002). Hal tersebut dapat dijadikan
pertimbangan dalam pencarian alternatif pelarut SFE.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Lelono et al. (2018) telah dilakukan
ekstraksi menggunakan HFC-134a terhadap tanaman Artemisia annua yang
menghasilkan senyawa artemisinin. Hasil dari ekstraksi menggunakan HFC-134a
dinilai lebih selektif dalam menarik senyawa aktif yang terkandung, ditambah
dengan kelebihan lain seperti waktu ekstraksi yang lebih singkat, dan proses
pemurnian yang lebih mudah. Namun demikian, belum pernah dilakukan
penelitian mengenai ekstraksi daun johar menggunakan HFC-134a. Hal inilah
yang mendasari dilakukannya penelitian mengenai penapisan senyawa aktif
antioksidan dari daun johar menggunakan ekstraksi subkritik HFC-134a. Ekstrak
dan fraksi yang diperoleh selanjutnya diuji bioaktivitasnya sebagai antioksidan
menggunakan metode DPPH.
1.1 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Senyawa apa saja yang terkandung pada daun johar (C. siamea) hasil
ekstraksi subkritik HFC-134a?
2. Bagaimana potensi aktivitas antioksidan senyawa pada daun johar
(C. siamea) hasil ekstraksi subkritik HFC-134a?
6
1.2 Hipotesis Penelitian
Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak daun johar (C. siamea) yang
diperoleh dari ekstraksi subkritik HFC-134a mengandung senyawa yang memiliki
aktivitas antioksidan.
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini dipaparkan sebagai berikut :
1. Mengetahui prediksi senyawa yang terdapat pada ekstrak daun johar
(C. siamea) hasil ekstraksi subkritik HFC-134a.
2. Mengetahui potensi aktivitas antioksidan pada ekstrak daun johar
(C. siamea) hasil ekstraksi subkritik HFC-134a.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang
senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak daun Johar (C. siamea) hasil ekstraksi
HFC-134a dan potensi aktivitas antioksidannya dalam rangka mengembangkan
pengetahuan tentang kimia bahan alam serta pemanfaatan potensi sumber daya
alam Indonesia.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Tanaman Johar (Cassia siamea L.)
Johar merupakan jenis flora asli Asia Tenggara yang tersebar mulai dari
Indonesia hingga Srilanka. Jenis ini telah diintroduksi ke India barat, Amerika
Tengah, Florida, Afrika barat dan timur serta Afrika selatan. Pada tahun 1910-
1924 pernah dilakukan penanaman besar-besaran di Afrika (Suharnantono, 2011).
Tanaman ini dapat tumbuh dalam bentang iklim yang lebar, tetapi tumbuh lebih
baik di dataran rendah, dengan curah hujan rendah sampai tinggi (optimum sekitar
1000 mm), suhu rata-rata 20-31 0C, dengan musim kering 4-8 bulan. Johar
tumbuh dan menyebar di pulau Jawa pada ketinggian kurang dari 1000 mdpl.
Menurut Heyne (1987) klasifikasi ilmiah atau taksonomi dari tanaman johar
adalah sebagai berikut
Kingdom : Plantae
Super Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo : Fabales
Famili : Fabaceae
Subfamili : Fabaceae
Genus : Cassia
Spesies : Cassia siamea
8
C. siamea merupakan herba tahunan yang tumbuh menjalar. Helaian daun
berwarna hijau sampai hijau kecoklatan, bentuk jorong sampai bundar telur
memanjang, panjang helaian daun 3-7.5 cm dan lebar 1-2.5 cm, ujung daun
tumpul atau agak terbelah, pangkal tumpul atau agak membundar, pinggir daun
rata, permukaan atas gundul, permukaan bawah berambut halus, tulang daun
menyirip, ujung ibu tulang daun menonjol dari ujung helaian daun (Depkes RI,
1989). Batang berbentuk bulat, menjalar, beruas-ruas, berlubang, gundul,
bercabang, panjang 3 m, dan berwarna hijau. Bunga tunggal, berbentuk terompet,
terletak di ketiak daun, panjang 3-5 cm, diameter 5 cm, dan berwarna kuning.
Buah berbentuk bulat telur, gundul dengan diameter kurang lebih 1 cm. Buah
muda berwarna hijau pucat, setelah tua berwarna coklat (Agromedia, 2008).
Gambar untuk Tanaman johar dapat dilihat pada Gambar 1 sebagai berikut :
Gambar 1. Tanaman Johar (Hu et al., 2012)
2. 1. 1 Fitokimia Tanaman Johar
Beberapa penelitian melaporkan kajian fitokimia dalam ekstrak metanol,
etanol, dan etil asetat dari tanaman johar mengandung senyawa-senyawa
metabolit sekunder seperti alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, fenol, antrakuinon,
steroid, dan terpenoid (Veerachari dan Bopaiah, 2011). Adapun, bagian tumbuhan
yang digunakan meliputi daun, kulit batang, bunga, dan akar. Beberapa senyawa
9
aktif yang terkandung pada tanaman johar (C. siamea) ditunjukan dalam Tabel 1,
sedangkan strukturnya dapat dilihat pada Gambar 2-4.
Tabel 1. Senyawa aktif pada tanaman johar
Bagian Senyawa Referensi
Daun Isoflavon glikosid (1) Parveen et al. (1995)
Anhidrobarakol (2) Ingkaninan et al. (2000)
Lupeol (3)
Luteolin (4)
Betulin (5) Thongsaard et al. (2001)
Cassiamin A (6) Koyama et al. (2001)
Cassiamin B (7)
Cassiamin C (8)
Chrisopanol (9) Lalita dan Mukhtar, (2004)
Barakol (10) Padumanonda et al. (2006)
Cassiarin A (11) Morita et al. (2007)
Cassiarin B (12)
Chrobisiamone A (13) Oshimi et al. (2008)
Cassiarin G (14) Deguchi et al. (2012)
Cassiarin H (15)
Cassiarin J (16)
Cassiarin K (17)
Batang Siachromone A (18) Hu et al. (2012)
Siachromone B (19)
Siachromone C (20)
Siachromone D (21)
Siachromone E (22)
Siachromone F (23)
Siachromone G (24)
Bunga Cassiarin C (25) Oshimi et al. (2009)
Cassiarin D (26)
Cassiarin E (27)
Cassiarin F (28) Deguchi et al. (2011)
Akar Pinitol (29) Phutdhawong dan Buddhasukh
(2000)
10
Gambar 2. Struktur senyawa aktif pada daun tanaman johar (Parveen et al., 1995;
Ingkaninan et al., 2000; Thoongsard et al., 2001; Koyama et al.,2001;
Lalita dan Mukhtar, 2004; Padumanonda et al., 2006; Morita et al.,
2007; Oshimi et al., 2008; Deguchi et al., 2012)
11
Gambar 3. Struktur senyawa aktif pada batang tanaman johar (Hu et al., 2012)
Gambar 4. Struktur senyawa aktif pada bunga (25-28) dan akar (29) tanaman
johar (Oshimi et al., 2009; Deguchi et al., 2011; Putdhawong dan
Budhasukh, 2000)
12
2. 1. 2 Aktivitas Biologis Metabolit Sekunder Tanaman Johar
Tanaman johar dilaporkan banyak digunakan dalam pengobatan tradisional
antara lain sebagai obat malaria, gatal, kudis, kencing manis, demam, luka dan
dimanfaatkan sebagai tonik karena memiliki kandungan flavonoid dan karotenoid
yang cukup tinggi (Heyne, 1987). Metabolit sekunder yang dihasilkan dari
tanaman johar memiliki beragam bioaktivitas, salah satunya adalah sebagai
antioksidan. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Kaur et al. (2006), aktivitas
antioksidan diujikan menggunakan metode penangkapan radikal DPPH. Pada
konsentrasi 250 µg/mL ekstrak bunga C. siamea menangkap 96% radikal DPPH
dan memiliki nilai IC50 sebesar 45 µg/mL.
Kaur dan Arora (2011) juga melaporkan bahwa ekstrak daun C. siamea
dengan menggunakan berbagai pelarut menunjukkan aktivitas antioksidan
moderat sekitar 25 hingga 50% pada 1000 µg/mL dan diantara semua ekstrak kulit
C. siamea, ekstrak metanol menunjukkan penghambatan maksimum sebesar
60,5% pada konsentrasi 800 µg/mL dan ekstrak air juga menunjukkan potensi
antioksidan kuat sebesar 51,3% pada konsentrasi 1000 µg/mL.
Penelitian lain juga dilakukan oleh Poovendran et al. (2014) bertujuan
mengevaluasi efektivitas antibakteri dengan metode minimum inhibitory
concentration (MIC). Hasil dari C. siamea dalam 150 μg/mL ekstrak kloroform
menghambat 50% strain UPEC (uropathogenic Escherichia coli) diikuti oleh
aseton 30%, petroleum eter 25% dan ekstrak air 10%. Pada 200 μg/mL, ekstrak
menghambat pertumbuhan semua strain UPEC dan dianggap sebagai MIC untuk
strain UPEC.
13
Penelitian Raharjo et al. (2014) juga melaporkan adanya aktivitas
antimalaria terhadap ekstrak tanaman johar. Ekstrak air dari daun C. siamea
mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan Plasmodium berghei secara
in vivo pada mencit dengan ED50 83,77412 mg/kg BB.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Kumar et al. (2010), ekstrak daun
johar dilaporkan berguna untuk menjaga kadar gula darah. Metode pengujian
dilakukan dengan mengukur kadar gula darah menggunakan glukometer dengan
interval 0; 7; 14 dan 21 hari dan glibenklamid digunakan sebagai standar obat
pada dosis 10 mg/kg. Hasilnya menyatakan bahwa pemberian oral ekstrak daun
johar pada dosis 250 mg/kg dan 500 mg/kg selama tiga minggu, memberikan efek
penurunan kadar gula darah yang signifikan (P<0.01).
Menurut Kardono et al, (2003) daun johar juga memiliki efek hipnotis,
anxiolytic, perlindungan terhadap efek aconitin (alkaloid diterpen) yang
menyebabkan keracunan jantung, dan insektisida. Sediaan daun johar juga telah
diproduksi di Thailand dalam bentuk kapsul untuk mengurangi kesulitan tidur
(Teangpook et al., 2011).
2. 2 Isolasi Senyawa Aktif
Isolasi senyawa aktif merupakan tahapan pemisahan senyawa dari suatu
campuran. Isolasi senyawa aktif pada penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan metode ekstraksi dan kromatografi. Metode ekstraksi yang
digunakan adalah ekstraksi subkritik HFC-134a dan metode kromatografi yang
digunakan adalah Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dan Kromatografi Kolom.
14
2. 2. 1 Ekstraksi
Ekstraksi merupakan penarikan zat pokok yang diinginkan dari bahan
mentah dengan menggunakan pelarut yang dipilih dimana zat yang diinginkan
akan larut (Ansel, 1989). Faktor-faktor yang menentukan hasil ekstraksi adalah:
1. Jangka waktu sampel kontak dengan cairan pengekstraksi
2. Perbandingan antara jumlah sampel terhadap jumlah cairan pengekstraksi
3. Ukuran bahan dan suhu ekstraksi
Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses
ekstraksi, sehingga banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan
pelarut (Guenther, 2006). Terdapat dua pertimbangan utama dalam memilih jenis
pelarut, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak
berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat
melarutkan ekstrak yang diinginkan saja (selektif), mempunyai kelarutan yang
besar, tidak menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak, dan
titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat (Bernasconi et al., 1995). Tingkat
ekstraksi bahan juga ditentukan oleh ukuran partikel bahan tersebut. Bahan yang
diekstrak sebaiknya berukuran seragam untuk mempermudah kontak antara bahan
dan pelarut sehingga ekstraksi berlangsung dengan baik (Sudarmadji dan Suhardi,
1996)
Ekstrak adalah material hasil penarikan oleh pelarut air atau pelarut organik
dari bahan kering. Pelarutnya dihilangkan dengan cara penguapan dengan alat
evaporator sehingga diperoleh ekstrak kental jika pelarutnya pelarut organik
(Saifudin, 2014). Kandungan kimia tumbuhan digolongkan berdasarkan pada asal
biosintesis, sifat kelarutan dan adanya gugus fungsi tertentu (Harborn, 1987).
15
Oleh karena itu terdapat beberapa pilihan metode penyarian, antara lain: maserasi,
sokletasi, supercritical fluid extraction (SFE), sublimasi, dan destilasi uap
(Sarker, 2006)
2. 2. 2 Kromatografi
Kromatografi adalah teknik pemisahan campuran berdasarkan perbedaan
kecepatan perambatan komponen dalam media tertentu. Pada kromatografi
komponen-komponennya akan dipisahkan antara dua buah fase yaitu fase diam
dan fase gerak. Fase diam berguna untuk mengikat komponen zat, sedangkan fase
gerak berguna untuk mengangkut komponen zat lain yang tidak terikat. Oleh
karena adanya sistem pengangkutan dan sistem pengikatan ini, maka suatu
komponen zat dapat dipisahkan dari komponen lainnya (Suhartono, 1989).
Dalam isolasi senyawa, kromatografi sangat penting dan fundamental untuk
identifikasi, deteksi pemisahan, deteksi optimasi fase gerak, deteksi kemurnian,
dan sebagainya. Jadi kromatografi adalah metode dasar. Ada dua tipe
kromatografi berdasarkan pengepakan fase diam yaitu kromatografi lapis tipis
(KLT) dan kromatografi kolom (Saifudin, 2014).
2. 2. 2. 1 Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah dasar untuk mendapatkan visi
terkait metode pemisahan yang akan dipilih. KLT cenderung bersifat analitis,
hanya pekerjaan tertentu untuk isolasi (preparatif). KLT akan memvisualkan
senyawa-senyawa yang terkandung di dalam bahan sehingga bisa diketahui sifat-
sifatnya terutama polaritas. Sistem yang dipilih fase diam dan fase gerak sebisa
mungkin memberikan jumlah bercak sebanyak mungkin (Saifudin, 2014). KLT
dapat dilakukan dengan cepat, biaya yang relatif murah, dapat menganalisis
16
campuran senyawa yang kompleks dengan kemurnian yang tinggi baik polar
maupun non polar.
Prinsip KLT adalah sampel ditotolkan pada lapisan tipis kemudian
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi fase gerak sehingga sampel tersebut
terpisah menjadi komponen-komponennya dengan laju tertentu yang dinyatakan
dengan faktor retensi (Rf), yaitu perbandingan antara jarak yang ditempuh
komponen terhadap jarak yang ditempuh fase gerak. Komponen yang mempunyai
afinitas lebih besar dari fase gerak atau afinitasnya lebih kecil dari fase diam akan
bergerak lebih cepat dari pada komponen yang mempunyai sifat sebaliknya
(Gritter et al., 1991). Proses isolasi yang terjadi berdasarkan perbedaan daya serap
dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan
bergerak mengikuti kepolaran eluen. Oleh karena daya serap adsorben terhadap
komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan yang
berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan (Hostettman, 1995).
Deteksi hasil kromatogram dilakukan di bawah sinar UV pada panjang
gelombang 254 dan 365 nm, serta dapat dilakukan juga dengan pereaksi semprot
(Santosa dan Hertiani, 2005). Pelarut sebagai fase gerak merupakan faktor yang
menentukan gerakan komponen-komponen dalam campuran. Pemilihan pelarut
tergantung pada sifat kelarutan komponen tersebut terhadap pelarut yang
digunakan. Fase gerak yang bersifat lebih polar digunakan untuk mengelusi
senyawa-senyawa yang adsorbsinya kuat, dan begitupun sebaliknya. Teknik KLT
sangat popular dikarenakan penggunaannya yang sangat mudah, cepat, dapat
digunakan untuk mengelusi sampel secara serentak, dan sampel yang dibutuhkan
hanya sedikit (Sastrohamidjojo, 1985).
17
2. 2. 2. 2 Kromatografi Kolom
Fraksinasi merupakan prosedur pemisahan yang bertujuan memisahkan
golongan utama kandungan yang satu dari kandungan yang lain. Senyawa yang
bersifat polar akan masuk ke pelarut polar dan senyawa nonpolar akan masuk ke
pelarut non polar (Harborn, 1987). Fraksinasi dilakukan setelah mendapatkan
fraksi aktif atau ekstrak aktif. Kolom diisi dengan penyerap padat sebagai fase
tetap dan dialiri dengan pelarut sebagai fase gerak. Cuplikan yang akan difraksi
dimasukan ke dalam kolom dan dialiri fase gerak yang akan membentuk jalur-
jalur serapan dari senyawa. Bila pelarut dibiarkan mengalir melalui kolom, pelarut
akan mengangkut senyawa-senyawa yang merupakan komponen-komponen dari
campuran. Pemisahan komponen suatu campuran tergantung pada tingkat
kepolaran dari fase gerak dan senyawa yang terkandung dalam campuran tersebut
(Sastrohamidjojo, 1985).
Kromatografi yang dilakukan di dalam kolom besar merupakan metode
kromatografi terbaik untuk pemisahan campuran dalam jumlah besar. Pada
kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan di bagian atas
kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam atau bahkan
tabung plastik. Pelarut (fase gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom karena
aliran ini disebabkan oleh gaya berat atau didorong dengan tekanan (Gritter et al.,
1991). Dengan mengalirkan pelarut lebih lanjut, dengan atau tanpa tekanan udara,
masing-masing zat bergerak turun dengan kecepatan khas hingga terjadi
pemisahan. Kecepatan bergerak zat dipengaruhi oleh beberapa faktor, misalnya
daya serap zat penyerap, sifat pelarut dan suhu dari sistem kromatografi.
Pemisahan beberapa zat khasiat dapat dilakukan dengan mengalirkan pelarut yang
18
sama atau pelarut lain yang mempunyai daya elusi yang kuat. Laju elusi yang
terjadi dipengaruhi juga oleh gaya gravitasi, oleh karena itu kromatografi kolom
biasa disebut juga kromatografi kolom gravitasi (Hajnos dan Sherma, 2011).
Fraksi yang diperoleh dari kolom kromatografi ditampung dan dimonitor
dengan KLT. Fraksi-fraksi yang memiliki pola noda yang sama digabung
kemudian pelarutnya diuapkan sehingga akan diperoleh beberapa fraksi. Bercak
pada KLT dideteksi dengan lampu ultraviolet dengan panjang gelombang 254
atau 366 nm dan dengan bantuan pereaksi semprot.
Menurut Heftmann (1983) kepolaran relatif fasa diam dan fasa gerak
kromatografi kolom dapat dibedakan menjadi 2 tipe, yaitu:
1. Kromatografi kolom fasa normal
Pada kromatografi ini, fasa diam bersifat polar dan fasa gerak relatif bersifat
nonpolar, sehingga komponen yang kepolarannya paling rendah terelusi lebih
dulu. Selain itu ikatan hidrogen yang terbentuk antara komponen senyawa
terhadap fasa diam silika akan mempengaruhi pergerakan komponen tersebut di
dalam kolom. Fase diam yang biasa digunakan ialah silika.
2. Kromatografi kolom fasa terbalik
Pada kromatografi ini, fasa diam bersifat nonpolar dan fasa gerak relatif
bersifat polar sehingga komponen yang kepolarannya tinggi akan terelusi lebih
dulu. Fase diam yang biasa digunakan ialah C-18 atau dikenal dengan nama ODS
(oktadesil silika).
2. 3 HFC 134-a
Metode ekstraksi yang berkembang dewasa ini adalah ekstraksi dengan
fluida superkritis atau dikenal sebagai Supercritical Fluids Extraction (SFE).
19
Pelarut yang banyak digunakan dalam SFE adalah CO2. Ekstraksi subkritik
melakukan pemisahan komponen di atas titik kritis tekanan dan suhu suatu fluida.
Hal ini diartikan sebagai suatu kondisi dimana fluida berada pada kesetimbangan
fasa antara gas dan cair (Hugh dan Kronis, 1993). Ekstraksi super kritik CO2 telah
dikembangkan selama beberapa dekade terakhir sebagai teknologi ekstraksi
pelarut yang selektif yang mampu menghasilkan produk bermutu tinggi dengan
karakter khas, sangat berbeda dengan yang diperoleh dengan proses konvensional
(Hugh dan Krukonis, 1993). Pelarut CO2 dapat menghasilkan ekstrak berkualitas
tinggi dengan residu pelarut yang kecil, namun biaya produksinya mahal karena
tingginya biaya peralatan untuk operasi tekanan tinggi (100-600 bar).
Senyawa 1,1,1,2-tetrafluoroetana atau HFC-134a telah dikenal bertahun-
tahun dan diidentifikasi sebagai pendingin potensial sejak dahulu. Dari sifat fisik
yang diketahui, HFC-134a digunakan sebagai alternatif untuk R-12 sebagai
refrigeran pada pendingin udara dalam industri otomotif dan aplikasi propelan.
Dibanding pelarut lain, HFC-134a memiliki viskositas rendah dan tegangan
permukaan yang kecil, sifat yang memungkinkan pembasahan dan penetrasi lebih
cepat dari matriks zat terlarut. Viskositas rendah juga mendorong dengan cepat
difusi zat terlarut melalui pelarut sehingga meningkatkan kualitas tingkat
pelarutan zat terlarut (Corr, 2002).
Dalam peraturan, HFC-134a disetujui untuk penggunaan makanan di Eropa,
berbagai ekstrak R-134a disetujui di Jepang dan Ineos Fluor telah memperoleh
penegasan yang aman untuk makanan kelas HFC-134a di Amerika Serikat (Corr,
2002). HFC-134a dapat digunakan untuk mengekstrak berbagai produk
bermanfaat dari berbagai bahan alam. Penggunaan HFC-134a sebagai pelarut
20
ekstraksi dapat mengatasi banyak kekurangan proses isolasi yang ada, termasuk
superkritik CO2. Ekstraksi bisa dilakukan dalam kisaran suhu sekitar atau di
bawah suhu kamar normal.
Karena volatilitas HFC-134a yang tinggi, recovery produk dari pelarut dapat
dilakukan secara efisien pada suhu relatif rendah, meminimalkan hilangnya
komponen volatil dari ekstrak dengan residu pelarut yang minimal dalam produk
yang diisolasi, bahan baku dan ekstrak tidak mengalami peningkatan suhu
sehingga meminimalisir degradasi produk akibat suhu. Proses ekstraksi berada
pada lingkungan anaerobik, sehingga meminimalkan efek oksida dan ketengikan.
Dengan persyaratan desain tekanan hanya 20 bar atau lebih, teknik fabrikasi
standar baja tahan karat dapat digunakan untuk membuat peralatan HFC-134a
dengan penghematan biaya yang signifikan (Corr, 2002).
Pada penelitian yang dilakukan oleh Abbott et al. (1999) campuran 30 %
HFC-134a dengan CO2 ditunjukkan memiliki sifat pelarut yang serupa dengan
HFC-134a murni pada kerapatan yang sama, yang menunjukkan bahwa campuran
berguna untuk tujuan ekstraksi. HFC-134a telah ditemukan sebagai co-solvent
yang efektif, bertindak untuk meningkatkan kelarutan dalam zat terlarut polar dan
meningkatkan kekuatan eluotropik campuran pelarut.
Meskipun cairan superkritis menawarkan kemampuan dalam mengendalikan
selektivitas pelarut, namun hal ini juga memerlukan kontrol terhadap suhu dan
tekanan proses untuk mencapai proses yang reproducible. Sebagai cairan jenuh
yang diatur oleh kesetimbangan, HFC-134a membutuhkan pengaturan suhu dan
tekanan untuk menjaga kondisi ekstraksi produk yang akan diisolasi (Corr, 2002).
21
2. 4 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang dapat menangkal atau meredam dampak
negatif oksidan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu
menginaktivasi berkembangnya radikal bebas melalui reaksi oksidasi.
Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya kepada senyawa
yang bersifat radikal sehingga aktivitas senyawa oksidan tersebut dapat dihambat
(Winarsi, 2007).
Radikal bebas merupakan atom atau molekul yang sifatnya sangat tidak
stabil dan tidak memiliki pasangan elektron pada orbit terluarnya. Ketidakstabilan
ini disebabkan atom tersebut hanya memiliki satu atau lebih elektron yang tidak
berpasangan. Pembentukan senyawa radikal bebas tidak hanya terjadi dari proses
kimia dalam tubuh, akan tetapi bisa terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya
bukan radikal namun sifatnya dapat berubah menjadi radikal. Kelompok senyawa
ini sering disebut Reactive Oxygen Species (ROS) dan Reactive Nitrogen Species
(RNS) (Winarsi, 2007).
Antioksidan penting untuk mempertahankan mutu produk pangan serta
kesehatan dan kecantikan. Pada bidang kesehatan dan kecantikan, antioksidan
berfungsi untuk mencegah penyakit kanker dan tumor, penyempitan pembuluh
darah, penuaan dini, dan lain-lain (Tamat et al., 2007). Antioksidan juga mampu
menghambat reaksi oksidasi dengan cara mengikat radikal bebas dan molekul
yang sangat reaktif sehingga kerusakan sel dapat dicegah. Antioksidan dapat
diperoleh dari makanan yang mengandung vitamin C, vitamin E, beta-karoten dan
senyawa fenolik (Prakash, 2001).
22
Beberapa senyawa metabolit sekunder pada tanaman memiliki aktivitas
antioksidan yang berfungsi menangkap radikal bebas sehingga mampu
menghambat arteroskeloris, hipertensi, proses oksidasi pada Low-density
lipoprotein (LDL), dan beberapa penyakit kanker tertentu (Akagawa, 2001).
Antioksidan banyak digunakan dalam suplemen makanan dan telah diteliti untuk
pencegahan penyakit seperti kanker atau penyakit jantung koroner (Abner et al.,
2011). Beberapa senyawa metabolit sekunder tersebut diantaranya golongan
alkaloid, flavonoid, saponin, tanin, steroid atau triterpenoid.
2. 5 Uji Aktivitas Antioksidan dengan Metode Radical Scavenging DPPH
Metode pengujian aktivitas antioksidan dikelompokkan menjadi 3 golongan.
Golongan pertama adalah Hydrogen Atom Transfer Methods (HAT), misalnya
Oxygen Radical Absorbance Capacity Method (ORAC) dan Lipid Peroxidation
Inhibition Capacity Assay (LPIC). Golongan kedua adalah Electron Transfer Methods
(ET), misalnya Ferric Reducing Antioxidant Power (FRAP) dan 1,1-diphenyl-2-
picrylhydrazil (DPPH) Free Radical Scavenging Assay. Golongan ketiga adalah
metode lain seperti Total Oxidant Scavenging Capacity (TOSC) dan
Chemiluminescence (Badarinath et al., 2010).
Salah satu metode yang paling umum digunakan untuk menguji aktivitas
antioksidan adalah dengan menggunakan radikal bebas 1,1-diphenyl-2- picrylhydrazil
(DPPH). Pengukuran antioksidan dengan metode radical scavenging DPPH adalah
metode pengukuran antioksidan yang mudah dilakukan, metodenya sederhana, cepat
dan tidak membutuhkan banyak pereaksi seperti halnya metode lain, serta dapat
digunakan untuk memperkirakan efisiensi kinerja dari substansi yang berperan
sebagai antioksidan.
23
Pada metode ini, larutan DPPH berperan sebagai radikal bebas yang akan
bereaksi dengan senyawa antioksidan sehingga DPPH akan berubah menjadi 1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazin yang bersifat non-radikal. Peningkatan jumlah 1,1-
diphenyl-2-picrylhydrazin akan ditandai dengan berubahnya warna ungu tua menjadi
warna merah muda atau kuning pucat. Perubahan ini bisa diukur dengan
spektrofotometer dan diplotkan terhadap konsentrasi, sehingga aktivitas peredaman
radikal bebas oleh sampel dapat ditentukan (Molyneux, 2004). Reaksi DPPH dengan
antioksidan ditunjukkan pada Gambar 5
Gambar 5. Reaksi DPPH dengan antioksidan (Molyneux, 2004)
Menurut Zheng et al. (2011) aktivitas antioksidan dinyatakan dengan
presentase penghambatan (inhibisi) yang diperoleh dari nilai absorbansi blanko
dikurangi absorbansi sampel. Persen inhibisi ini didapatkan dari perbedaan
serapan antara absorban DPPH dengan serapan yang diukur dengan
spektrofotometer. Parameter yang digunakan untuk mengukur kemampuan
aktivitas antioksidan umumnya berdasarkan nilai Inhibitor Concentration (IC50),
dimana IC50 ini menggambarkan besarnya konsentrasi suatu senyawa yang
mampu menghambat radikal bebas sebanyak 50%. Jika nilai IC50 semakin kecil
maka kemampuan antioksidan semakin besar. Penggolongan tingkat aktivitas
antioksidan dapat dilihat pada Tabel 2.
24
Tabel 2. Penggolongan tingkat aktivitas antioksidan
No. Nilai IC50 (µg/mL) Tingkat aktivitas antioksidan
1. 151-200 Lemah
2. 101-150 Sedang
3. 50-100 Kuat
4. <50 Sangat Kuat
Sumber : Blois (1958)
2. 6 Elusidasi Struktur Menggunakan Spektroskopi
Elusidasi struktur molekul senyawa organik merupakan tahapan terpenting
dari penggunaan analisis spektroskopi modern. Metode spektroskopi merupakan
cara yang terbaik saat ini untuk penentuan struktur senyawa organik karena dapat
dilakukan dalam waktu singkat dan jumlah sampel yang sedikit (mg atau µg).
Perhatian utama bagi ahli kimia organik adalah fakta bahwa panjang gelombang
yang diperoleh bila senyawa organik menyerap cahaya, bergantung pada struktur
senyawa organik tersebut. Setiap senyawa organik akan menyerap energi
gelombang elektromagnetik yang berbeda, oleh karena itu teknik-teknik
spektroskopi dapat digunakan untuk menentukan struktur senyawa yang tak
diketahui atau untuk mempelajari karakteristik ikatan dari senyawa organik yang
diketahui (Supratman, 2010). Metode spektroskopi yang biasanya digunakan
untuk identifikasi struktur antara lain spektroskopi inframerah (IR), spektroskopi
massa (MS), dan resonansi magnetik inti (NMR).
2. 6. 1 Spektroskopi FTIR (Fourier Transform Infra Red)
Spektroskopi inframerah (IR) merupakan suatu alat yang dapat digunakan
untuk menganalisis senyawa kimia. Spektra inframerah suatu senyawa dapat
memberikan gambaran dan struktur molekul khususnya gugus fungsional pada
senyawa tersebut. Perhitungan secara matematika fourier transform untuk sinyal
25
tersebut akan menghasilkan spektrum yang identik pada spektrosokopi inframerah
(Hermanto, 2008).
Syarat suatu gugus fungsi dalam suatu senyawa dapat terukur pada spektra
IR adalah adanya perbedaan momen dipol pada gugus tersebut. Vibrasi ikatan
akan menimbulkan fluktuasi momen dipol yang menghasilkan gelombang listrik.
Untuk pengukuran menggunakan IR biasanya berada pada daerah bilangan
gelombang 4.000-400 cm-1. Daerah pada bilangan gelombang ini disebut IR
sedang, dan merupakan daerah optimum untuk penyerapan sinar IR bagi ikatan-
ikatan dalam senyawa organik (Harjono, 1992).
Bila molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang diserap
menyebabkan kenaikan dalam amplitudo getaran atom-atom yang terikat itu. Jadi
molekul ini berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi, energi yang diserap ini akan
dibuang dalam bentuk panas bila molekul kembali ke keadaan dasar. Panjang
gelombang dari absorpsi oleh suatu tipe ikatan bergantung pada macam getaran
dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berlainan menyerap radiasi
inframerah pada panjang gelombang yang berlainan. Dengan demikian
spektroskopi inframerah dapat digunakan untuk mengidentifikasi adanya gugus
fungsi dalam suatu molekul (Supratman, 2010).
Identifikasi pita absorpsi khas yang disebabkan oleh berbagai gugus fungsi
merupakan dasar penafsiran spektrum inframerah. Hadirnya sebuah puncak
serapan dalam daerah gugus fungsi dalam sebuah spektrum inframerah hampir
selalu merupakan petunjuk pasti bahwa beberapa gugus fungsi tertentu terdapat
dalam senyawa cuplikan. Data yang diberikan berdasarkan analisis ini dinyatakan
26
dalam rentang bilangan gelombang. Rentang bilangan gelombang untuk spektrum
FTIR dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Bilangan gelombang spektrum FTIR
Ikatan Gugus Fungsi Bilangan
Gelombang (cm-1) Intensitas
O–H Alkohol 3.000-3.700
Melebar
N–H Amina, Amida Sedang
C–H Alkuna 3.300 Kuat
C–H Alkena 3.010-2.040 Sedang
C–H Cincin aromatik 3.000-3.100 Sedang
690-900 Kuat
C═C Alkena 1.600-1.700 Berubah-ubah
C═C Cincin aromatik 1.450-1.600 Berubah-ubah
C═C Alkuna 2.100-2.140 Berubah-ubah
C–O Alkohol, Eter, Asam
Karboksilat, Ester
1.050-1.260 Kuat
C═O Aldehid, Keton, Asam
Karboksilat, Ester
1.690-1.760 Kuat
Sumber: Suradikusumah (2005)
2. 6. 2 Liquid Chromatography-Mass Spectrometry (LC-MS/MS)
Liquid Chromatography-Mass Spectrometry (LC-MS/MS) adalah teknik
analisis yang menggabungkan kemampuan pemisahan fisik dari kromatografi cair
dengan spesifisitas deteksi spektrometri massa. Kromatografi cair memisahkan
komponen-komponen sampel dan kemudian ion bermuatan dideteksi oleh
spektrometer massa. Data LC-MS dapat digunakan untuk memberikan informasi
tentang berat molekul, struktur, identitas dan kuantitas komponen sampel tertentu
(Agilent, 1998). Keuntungan dari LC-MS yaitu dapat menganalisis lebih luas
berbagai komponen, seperti senyawa termal labil, polaritas tinggi atau bermassa
molekul tinggi, bahkan juga protein. Senyawa dipisahkan atas dasar interaksi
relatif dengan lapisan kimia partikel-partikel (fase diam) dan elusi pelarut melalui
27
kolom (fase gerak). Komponen elusi dari kolom kromatografi kemudian
diteruskan ke spektrometer massa melalui antarmuka khusus (Gates, 2005).
Spektrometer massa bekerja dengan molekul pengion yang kemudian akan
memilah dan mengidentifikasi ion menurut massa, sesuai rasio fragmentasi. Dua
komponen penting dalam proses ini adalah sumber ion (ion source) yang akan
menghasilkan ion dan analisis massa (mass analyzer) yang menyeleksi ion.
Sistem LC-MS/MS umumnya menggunakan beberapa jenis ion source dan
analyzer yang dapat disesuaikan dengan kepolaran senyawa yang akan dianalisis.
(Agilent, 2001)
Adapun kelebihan dari teknologi LC-MS yakni: (Vogeser dan Seger, 2008)
1. Spesifitas. Hasil analisis yang khas dan spesifik diperoleh dari penggunaan
spektrometer massa sebagai detektor.
2. Aplikasi yang luas dengan sistem yang praktis. Penerapannya tidak terbatas
untuk molekul volatil, mampu mengukur analit yang sangat polar dan
persiapan sampel cukup sederhana tanpa adanya teknik derivatisasi.
3. Fleksibilitas. Pengujian yang berbeda dapat dikembangkan dengan tingkat
fleksibilitas yang tinggi dan waktu yang singkat.
4. Kaya informasi. Sejumlah data kualitatif maupun kuantitatif dapat diperoleh
karena seleksi ion yang sangat cepat dengan banyak parameter.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
3. 1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari hingga September 2018 di
Laboratorium Kimia Bahan Alam dan Farmasi, Pusat Penelitian Kimia Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) PUSPIPTEK Serpong, Tangerang Selatan.
3. 2 Alat dan Bahan
3. 2. 1 Alat
Alat yang digunakan untuk penelitian ini antara lain seperangkat alat gelas
dan kaca, kertas saring, alumunium foil, pisau cutter, botol vial, pipa kapiler,
pinset, pipet volume, botol semprot, hot plate, chamber, rotary vacum evaporator,
mikropipet, ekstraktor HFC-134a, kromatografi kolom gravitasi, timbangan
analitik (KERN), mesin grinding mill (GETRA IC-10B), TLC silica gel 60 F254,
lampu ultraviolet (UV lamp) CAMAG λ 254 dan 366 nm, UV-Vis (Shimadzu UV
mini 1240), spektroskopi FTIR (Shimadzu Prestige 21), dan UPLC Acquity-
MS/MS Xevo G2-XS Quadrupole TOF.
3. 2. 2 Bahan
Bahan yang digunakan untuk penelitian ini yaitu daun johar (C. siamea)
yang berasal dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan
Obat Tradisional Tawangmangu, Karanganyar, Jawa Tengah. Beberapa pelarut
yang digunakan untuk preparasi seperti antara lain metanol, asam sulfat, etil
asetat, kloroform, dan n-heksana, gas HFC-134a, DPPH (2,2–diphenyl-1-
29
picrylhydrazil) (Merck), silika gel 60, Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
menggunakan alumunium berlapis Si-gel Kiesegel 60 F254 0,25 mm (Merck).
3. 3 Diagram Alir Penelitian
Gambar 6. Diagram alir penelitian
Ekstraksi subkritik dengan HFC-
134a
Daun Johar
kering dan halus
Fraksinasi dengan
kolom kromatografi
Karakterisasi mengggunakan :
FTIR dan LC-MS/MS
Uji Antioksidan
Kuantitatif dengan
Metode DPPH
Fraksi dengan bobot
terbanyak
KLT
Uji Antioksidan
Kualitatif
Residu Ekstrak
Uji Fitokimia
30
3. 4 Prosedur Kerja
3. 4. 1 Preparasi Sampel
Sampel daun johar kering dihaluskan menggunakan mesin grinding mill
hingga menjadi serbuk lalu ditimbang untuk keperluan selanjutnya.
3. 4. 2 Ekstraksi Sub-kritik Menggunakan HFC-134a (Lelono et al., 2018)
Sebanyak 250 g sampel daun johar halus dimasukan ke dalam thimble
ekstraktor. Kemudian, sebanyak 2,5 kg gas HFC-134a disedot dengan bantuan
pompa vacum bertekanan. Lalu dicatat suhu awal (T0) dan tekanan awal (P0)
ekstraksi pada layar monitor ekstraktor, tekanan ini menandakan bahwa gas telah
masuk kedalam ekstraktor. Pelarut yang semula berwujud gas akan berubah fasa
menjadi cair sesuai dengan suhu dan tekanan subkritisnya. Proses ekstraksi
dibiarkan berlangsung selama 3 jam untuk 1 siklusnya. Siklus berlangsung dalam
sistem tertutup yang berarti pelarut dari siklus pertama akan kembali digunakan
pada siklus berikutnya. Kemudian setelah ekstraksi selesai untuk siklus pertama,
suhu akhir (T1) dan tekanan akhir (P1) dicatat lalu keran satu arah menuju kolektor
akan dibuka untuk memindahkan pelarut beserta ekstrak menuju kolektor. Dalam
kolektor akan terjadi pemisahan karena adanya pemanasan. Pelarut akan masuk ke
sievetray/penjerap untuk menghilangkan sisa pengotornya, sedangkan ekstrak
akan tetap tertinggal di kolektor. Ekstrak dalam kolektor akan dibersihkan
menggunakan metanol lalu dipekatkan dengan vaccum rotary evaporator pada
suhu 40 0C sehingga akan diperoleh ekstrak pekat. Skema alat ekstraktor HFC-
134a dapat dilihat pada Gambar 7
31
Gambar 7. Skema alat ekstraktor HFC-134a
3. 4. 3 Uji Fitokimia (Arief et al., 2017)
Uji Fitokimia merupakan screening awal untuk mengetahui golongan
senyawa yang terdapat dalam sampel. Uji fitokimia yang dilakukan adalah uji
alkaloid, flavonoid, triterpen, steroid, tanin, polifrnol dan saponin.
1. Uji Alkaloid
Sebanyak 50 mg ekstrak kasar yang telah sedikit dilarutkan dengan metanol
ditambahkan dengan 0,1 mL HCl 2 N dan 0,9 mL akuades. Kemudian dipanaskan
dalam penangas air lalu didinginkan dan disaring. Sampel uji kemudian diuji
dengan pereaksi Dragendroff. Sebanyak 1 mL sampel ditambahkan 2 tetes
pereaksi Dragendroff. Uji positif ditandai dengan terbentuknya warna jingga
cokelat.
32
2. Uji Flavonoid
Sebanyak 2 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 1 mL air. Serbuk Mg 0,5 mg ditambahkan ke dalam tabung reaksi
dan 10 tetes HCl pekat kemudian diamati perubahan yang terjadi (positif
flavonoid jika timbul busa dan berwarna bening-jingga).
3. Uji Triterpenoid dan Steroid
Sebanyak 2 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 1 mL air. Pereaksi Liberman-Burchard ditambahkan 10 tetes ke
dalam tabung reaksi (positif triterpenoid jika terbentuk cincin kecoklatan, merah,
atau violet dan positif steroid jika berwarna hijau.
4. Uji Tanin/Polifenol
Sebanyak 2 mL sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi dan
ditambahkan 1 mL air. Selanjutnya ditambahkan 5 tetes FeCl3 1% ke dalam
tabung reaksi dan dikocok (positif tanin jika berwarna hitam dan polifenol jika
berwarna kebiruan).
5. Uji Saponin
Sebanyak 2 mL sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan
ditambahkan 5 mL air. Selanjutnya dipanaskan dalam penangas air selama 5
menit dan didiamkan hingga dingin, kemudian dikocok sampai timbul busa
(positif saponin jika terbentuk busa stabil selama 10 menit.
3. 4. 4 Kromatografi Lapis Tipis (Asih, 2009)
Pemisahan dengan KLT digunakan untuk mencari fase gerak yang terbaik
yang akan digunakan dalam kromatografi kolom. Bejana kromatografi terlebih
dahulu dijenuhkan dengan fase geraknya yaitu n-heksana:etil asetat, sebelum
33
digunakan untuk elusi. Ekstrak ditotolkan pada plat kromatografi lapis tipis (silica
gel GF254) menggunakan pipa kapiler. Setelah itu plat KLT dimasukkan dalam
bejana yang telah dijenuhkan dengan fase geraknya. Bila fase gerak telah
mencapai batas yang ditentukan, plat diangkat dan dikeringkan di udara terbuka.
Sebagai penampak noda digunakan asam sulfat. Noda yang terbentuk diamati
dengan lampu UV λ 254 nm dan λ 366 nm kemudian dihitung Rf-nya. Eluen
terpilih yang memberikan profil pemisahan paling baik dan memberikan spot
paling banyak yang kemudian akan digunakan sebagai fase gerak dalam
kromatografi kolom.
3. 4. 5 Kromatografi Kolom Gravitasi (Hayani, 2007)
Untuk pengisian kolom, sebagai bahan pengisi bagian bawah kolom
dimasukkan sedikit kapas, kemudian dimasukkan bubur silica gel G-60 sambil
diaduk agar tidak terdapat rongga udara di tengah-tengah kolom. Adapun diameter
kolom yang digunakan berkisar 2,5 cm yang kemudian diisi dengan silika kurang
lebih 1/3 dari tinggi kolom. Selanjutnya sampel diimpregnasi dengan silica gel G-
60 dengan perbandingan massa 1:1 (sampel:silika) lalu dimasukan ke dalam
kolom setelah itu sampel dielusi. Ekstrak akan meresap ke silica gel dalam kolom
sampai batas atas silica gel. Sampel dielusi setiap 100 mL dengan perbandingan
campuran pelarut yang telah ditentukan. Hasil pemisahan berupa fraksi ditampung
dalam botol vial dan dihentikan sampai jernih atau tidak berwarna. Setiap fraksi
dianalisis dengan KLT. Fraksi yang memiliki spot yang sama disatukan dan
dianalisis kembali dengan KLT.
34
3. 4. 6 Uji Aktivitas Antioksidan Secara Kualitatif (Nuraziza et al., 2017)
Ekstrak ditotolkan pada lempeng KLT, kemudian dielusi dengan
menggunakan eluen n-heksana:etil asetat. Selanjutnya lempeng KLT dikeringkan
dan disemprot dengan menggunakan DPPH lalu dibiarkan selama 20 menit dan
diamati hingga terjadi perubahan warna dari ungu ke kuning, yang menunjukkan
ekstrak tersebut memiliki aktivitas antioksidan. Spot noda diamati pada beberapa
penampak bercak yaitu sinar UV 254 dan 365 nm
3. 4. 7 Uji Aktivitas Antioksidan Secara Kuantitatif (Lelono et al., 2018)
Uji aktivitas antioksidan dilakukan terhadap ekstrak daun johar HFC-134a,
fraksi F2 dan F7 dengan metode radical scavenging DPPH.
Pembuatan larutan stok DPPH 0,04%
Serbuk DPPH ditimbang sebayak 4 mg dilarutkan dalam 10 mL metanol,
dan ditempatkan dalam botol gelap yang tertutup rapat lalu dihomogenkan
menggunakan vortex.
Pembuatan Larutan Blangko
Larutan blangko dibuat dengan perlakuan yang sama dengan larutan uji,
namun tanpa penambahan isolat sampel. Larutan blangko dibuat dari 2 mL
metanol yang ditambahkan 500 μL larutan DPPH 0,04% ditempatkan dalam
tabung reaksi, lalu dihomogenkan dan diinkubasi selama 30 menit di ruangan
gelap.
Pembuatan Larutan Uji
Larutan uji dibuat dengan melarutkan 4 mg sampel dalam 4 mL metanol
(1.000 μg/mL), kemudian dari larutan induk (1.000 μg/mL) diambil sebanyak 25,
125, 250, dan 500 μL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, sehingga diperoleh
35
konsentrasi 10, 50, 100, dan 200 μg/mL. Selanjutnya ke dalam masing-masing
tabung reaksi ditambahkan 500 μL larutan DPPH 0,04% dihomogenkan
menggunakan vortex, lalu diinkubasi dalam ruang gelap selama 30 menit dan
dibaca absorbansinya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang
maksimum 𝜆 515 nm dan dihitung persen inhibisinya.
Analisis Data
Aktivitas antioksidan sampel dianalisis menggunakan perhitungan
persentase penghambatan (inhibisi) terhadap radikal DPPH sesuai dengan
persamaan berikut:
3. 4. 8 Analisis dengan spektroskopi FTIR (Hemmalakshmi et al., 2017)
Sebanyak 1 mg sampel fraksi digerus dengan garam KBr sampai halus
menggunakan mortar dan alu, kemudian dikompres menjadi pelet tipis dengan
ketebalan 1 mm. Spektrum inframerah direkam pada spektrometer seri FTIR
Shimadzu pada panjang gelombang antara 4.00 – 4.000 cm-1.
3. 4. 9 Analisis dengan LC-MS/MS (Maharani et al., 2016)
Sebanyak 3 mg fraksi ditimbang dan dilarutkan dalam metanol. Diambil 10
μL sampel dan disuntikkan pada LCMS/MS melalui kolom C-18 (2x150 mm)
dengan kecepatan alir 0.2 mL/menit. Analisis kromatogram dan spektrofotometer
massa selanjutnya dianalisis menggunakan software MassLynx (Version 4.1) dan
untuk mengidentifikasi struktur senyawa kimia yang terdeteksi pada LCMS/MS
dilakukan dengan membandingkan base peak sampel dengan database di website
MassBank.
36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Ekstraksi Daun Johar (Cassia siamea L.)
Daun johar (C. siamea) terlebih dahulu dipreparasi dengan cara dihaluskan
hingga menjadi serbuk, penghalusan bertujuan untuk memperluas bidang kontak
antara sampel dengan pelarut. Dengan meningkatnya tingkat kehalusan, maka luas
permukaannya yang dikenai cairan ekstraksi semakin besar. Serbuk dengan
tingkat penghalusan yang tinggi kemungkinan sel-sel yang rusak juga semakin
besar, sehingga memudahkan pengambilan bahan kandungan langsung oleh
pelarut (Octavia, 2009).
Ekstraksi subkritik dilakukan terhadap sampel daun johar yang sudah
dihaluskan sebanyak 250 g. Sampel diekstraksi menggunakan pelarut HFC-134a
dalam suatu ekstraktor sistem tertutup dengan kondisi reaktor yang sedemikian
rupa selama 3 jam dengan perbandingan sampel:pelarut sebanyak 1:10 dan
dilakukan pengulangan ekstraksi sebanyak 3 kali siklus. Kondisi operasional
reaktor beserta hasil ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 4 berikut
Tabel 4. Kondisi operasional reaktor serta rendemen ekstrak daun johar
Siklus
ke-
t
(menit)
P0
(barr)
T0
(oC)
P1
(barr)
T1
(oC)
Ekstrak
(g)
Rendemen
(%)
1 180 8 29 5.5 25 0,454 0,181
2 180 10 25 10 28 0,461 0,184
3 180 10 24 9 26 0,259 0,103
Total 1,174 0,469
37
Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat data rendemen ekstrak. Rendemen
menggambarkan efektivitas pelarut tertentu terhadap bahan dalam suatu sistem
namun tidak menunjukkan tingkat aktivitas ekstrak tersebut. Komponen yang
terbawa pada proses ekstraksi adalah komponen yang memiliki polaritas yang
sesuai dengan pelarutnya (Nurjanah, 2010). Rendemen terbesar diperoleh pada
pada siklus kedua yakni sebesar 0,184%, hal tersebut berkaitan dengan proses
ekstraksi yang berlangsung dengan siklus sistem tertutup. Sistem tertutup berarti
pelarut pada siklus pertama akan kembali digunakan dalam proses siklus kedua
maupun ketiga. Maka dapat dikatakan bahwa pada siklus kedua sampel sudah
cukup terbasahi secara merata oleh pelarut yang juga digunakan pada siklus
pertama, sehingga proses ekstraksi pada siklus kedua berlangsung lebih maksimal
dalam menghasilkan rendemen jika dibandingkan dengan siklus pertama.
Sedangkan rendemen menurun pada siklus ketiga dikarenakan senyawa
terkandung sudah cukup tertarik pada siklus ektraksi sebelumnya. Penggunaan
sistem tertutup ini juga dinilai cukup menguntungkan dari segi ekonomi, karena
dapat meminimalisir penggunaan pelarut jika dibandingkan dengan metode
ekstraksi seperti maserasi.
Parameter selanjutnya yaitu waktu kontak sampel dengan pelarut. Menurut
Lenny (2006) pada saat sampel tanaman kontak dengan pelarut akan terjadi
pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam
dan di luar sel, sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan
terlarut dalam pelarut dan ekstraksi senyawa akan sempurna dengan mengatur
lama perendaman yang dilakukan.
38
Pada percobaan yang dilakukan oleh Lelono et al (2018) terhadap tanaman
Artemisia annua telah dilakukan variasi antara waktu kontak sampel dengan
pelarut dengan rentang waktu 1,5 hingga 24 jam, dimana semakin banyak waktu
kontak maka akan diperoleh rendemen yang lebih besar. Namun hal tersebut
dinilai kurang efisien jika dilakukan selama 24 jam dengan penambahan
rendemen yang hanya berkisar 0,5 sampai 1 g. Sehingga pada penelitian ini
diambil waktu kontak selama 3 jam yang didukung dengan pengulangan siklus
sebanyak 3 kali yang bertujuan untuk memaksimalkan perolehan rendemen.
Berdasarkan Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa kondisi operasi pada saat
ekstraksi dilakukan hanya berkisar pada suhu 24-29 0C. Hal ini dinilai cukup
menguntungkan jika dibandingkan dengan ekstraksi seperti refluks dan sokletasi
yang menggunakan suhu tinggi. Penggunaan suhu tinggi dikhawatirkan akan
merusak kandungan senyawa aktif yang terdapat pada sampel, terutama untuk
senyawa yang bersifat termolabil. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Yuqian et al. (2012) tingkat ekstraksi meningkat secara nyata ketika terjadi
kenaikan suhu. Tingkat ekstraksi maksimum yang diperoleh pada suhu yang lebih
tinggi dapat dikaitkan dengan peningkatan pelarutan karena laju perpindahan
massa akibat kenaikan suhu (Sui et al., 2016). Meskipun tekanan rendah,
perubahan suhu relatif dan perubahan yang sesuai dalam kelarutan dapat menjadi
besar. Oleh karena itu, kenaikan suhu meningkatkan laju perpindahan massa dan
tekanan uap zat terlarut, dan juga meningkatkan tingkat ekstraksi. Namun,
kenaikan suhu di atas 60 0C dapat menurunkan tingkat ekstraksi, hal ini berkaitan
dengan densitas fluida subkritis dimana kenaikan suhu mengurangi densitas cairan
sehingga menurunkan kelarutan pelarut HFC-134a.
39
Adapun penggunaan perbandingan massa sampel:pelarut bertujuan untuk
melihat pemerolehan rendemen yang maksimum, hal ini dikarenakan massa HFC-
134a yang lebih tinggi berkaitan dengan banyaknya fresh solvent dalam bejana
ekstraksi yang akan berinteraksi dan bertindak sebagai pelarut pembawa untuk
mengekstraksi senyawa dari daun johar, sehingga memberikan lebih banyak hasil
dalam produk ekstraksi (Lelono et al., 2018). Rasio 1:10 dipilih karena rasio
tersebut merupakan kondisi yang optimum dalam menghasilkan produk eskstraksi
dengan kondisi reaktor yang stabil. Berdasarkan percobaan pendahuluan yang
dilakukan sebelumnya, telah dilakukan variasi perbandingan sebesar 1:10 dan
1:20, hasil pada percobaan pendahuluan menunjukkan bahwa pada saat proses
ekstraksi dengan perbandingan 1:20, terjadi perubahan tekanan yang signifikan
pada reaktor yakni hampir mencapai 20 bar. Jika kenaikan tekanan cukup besar
maka dikhawatirkan akan terjadi kerusakan pada reaktor yang juga akan
berpengaruh kepada proses ekstraksi, karena pada proses ekstraksi sebelumnya
hanya berlangsung pada kisaran tekanan sebesar 8-10 bar.
Yuqian et al. (2012) menunjukkan bahwa tekanan ekstraksi secara
signifikan berpengaruh terhadap tingkat ekstraksi. Pengamatan ini dapat
dijelaskan dengan teori parameter polarisabilitas (π*) yang ditetapkan oleh
Kamlet (1977) dan Laurence (1994), menunjukkan adanya hubungan linear antara
π* dan densitas pelarut. Abbott dan Eardley (1998) mempelajari lebih lanjut
hubungan antara nilai π* R134a dengan tekanan dan hasilnya menunjukkan
bahwa nilai π* pada keadaan cair meningkat dengan adanya tekanan dalam
keadaan cair. Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan tekanan meningkatkan nilai
π* dari pelarut R134a, memperbaiki daya solvasinya, meningkatkan densitas
40
pelarut, mengakibatkan interaksi intermolekul zat terlarut menjadi lebih kuat
(Yuqian et al., 2012). Selain itu, kelarutan analit bergantung pada keseimbangan
kompleks antara densitas cairan subkritikal dan tekanan uap zat terlarut, dimana
keduanya dikontrol dengan tekanan dan suhu cairan.
Pelarut HFC-134a semula berwujud gas, kemudian dipompa hingga
mencapai keadaan subkritis sesuai dengan suhu dan terkanannya akan
menyebabkan gas berubah menjadi cairan. Oleh sebab itu, semakin banyak pelarut
HFC-134a yang ditambahkan kedalam ekstraktor, maka akan menyebabkan
kenaikan suhu dan juga tekanan. Peningkatan tekanan menghasilkan peningkatan
densitas cairan dan semakin tinggi densitas maka semakin besar kelarutan zat
terlarut (Pourmortazavi et al., 2007). Namun demikian, peningkatan tekanan ke
titik tertentu dapat mengurangi difusi pelarut dan menghasilkan kontak yang
berkurang dengan pori-pori dalam sampel, sehingga berpotensi mengurangi
kelarutan dari zat terlarut (Belwal et al., 2016).
Pada penelitian ini, alat ekstraksi sistem subkritik HFC-134a yang dirancang
oleh Pusat Penelitian Kimia LIPI hanya dapat digunakan pada tekanan maksimum
40 bar. Alat yang dirancang ini pun tidak dapat mengatur suhu serta tekanan yang
dinginkan, sehingga proses ekstraksi dapat diatur dari banyaknya massa HFC-
134a yang dialirkan yang akan mempengaruhi suhu dan tekanan. Sehingga
efisiensi ekstraksi dapat diperkirakan. Proses ekstraksi dilakukan sebanyak 3 kali
siklus, dimana masing-masing siklus berlangsung selama 3 jam. Proses ekstraksi
menghasilkan 3 ekstrak HFC-134a dari masing-masing kondisi proses ekstraksi
yang kemudian akan dihitung massanya dan digabungkan.
41
Berdasarkan beberapa parameter di atas, ekstraksi subkritik HFC-134a
dinilai lebih efisien dibanding metode ekstraksi maserasi. Penelitian yang
dilakukan oleh lelono et al. (2018) telah dilakukan ekstraksi daun johar secara
maserasi. Sebanyak 1 kg sampel daun johar dimaserasi selama kurang lebih 7 hari
menghasilkan ekstrak metanol dan n-heksana dengan rendemen masing-masing
sebesar 6,2 % dan 2,7 %. Meskipun ekstraksi subkritik HFC-134a belum
memberikan hasil rendemen yang lebih besar, tapi ekstraksi ini dinilai cukup
efisien jika dibandingkan dari segi waktu. Dengan 250 g sampel dan waktu
ekstraksi total 9 jam selama 3 siklus memberikan rendemen total sebesar 0,47 %.
4.2 Uji Fitokimia
Uji fitokimia bertujuan untuk mengetahui golongan senyawa metabolit
sekunder yang terdapat pada ekstrak daun johar hasil ekstraksi subkritik HFC-
134a. Uji ini meliputi uji alkaloid, flavonoid, polifenol, tanin, triterpenoid, steroid,
dan saponin. Adapun kandungan senyawa metabolit sekunder pada ekstrak daun
johar hasil ekstraksi HFC-134a dapat dilihat pada Tabel 5.
Hasil uji fitokimia menunjukkan bahwa beberapa uji terhadap sampel
memberikan hasil positif senyawa golongan alkaloid, tanin dan steroid, sedangkan
flavonoid, polifenol, triterpenoid dan saponin memberikan hasil uji yang negatif.
Pada analisis senyawa alkaloid dengan pereaksi Dragendorff, terbentuk
endapan jingga sehingga diketahui bahwa ekstrak daun johar positif mengandung
alkaloid. Prinsip dari metode ini adalah reaksi pengendapan yang terjadi karena
adanya penggantian ligan. Menurut Sastrohamidjojo (1996) metode ini memiliki
kelemahan yaitu pereaksi-pereaksi tersebut tidak saja dapat mengendapkan
42
alkaloid tetapi juga dapat mengendapkan beberapa jenis senyawa antara lain,
protein, kumarin, α-piron, hidroksi flavon, dan tannin.
Tabel 5. Hasil uji fitokimia ekstrak daun johar
Golongan Hasil Keterangan
Alkaloid Endapan jingga Positif
Flavonoid Larutan hijau-jingga Negatif
Tanin Larutan coklat kehitaman Positif
Triterpenoid Larutan hijau Negatif
Steroid Larutan hijau kecoklatan Positif
Saponin Tidak menimbulkan busa Negatif
Hasil uji positif selanjutnya yakni adanya tanin. Tanin dibagi menjadi dua
golongan dan masing-masing golongan memberikan reaksi warna yang berbeda
terhadap FeCI3 1%. Golongan tanin hidrolisis akan menghasilkan warna biru
kehitaman dan tanin kondensasi akan menghasilkan warna hijau kehitaman. Pada
saat penambahannya, diperkirakan FeC13 1% bereaksi dengan salah satu gugus
hidroksil yang ada pada senyawa tanin. Hasil reaksi itulah yang akhirnya
menimbulkan warna. Pereaksi FeCI3 1% digunakan secara luas untuk
mengidentifikasi senyawa fenol termasuk tanin. Pada daun johar diketahui
terdapat adanya tanin kondensasi karena hasil pengamatan memberikan warna
hitam kehijauan (Qurrota dan Laily, 2011).
Hasil uji juga mendeteksi positif adanya steroid. Analisis ini didasarkan
pada kemampuan senyawa triterpenoid dan steroid membentuk warna dengan
H2SO4 dalam pelarut asam asetat glasial. Hasil yang diperoleh menunjukkan
adanya steroid terbentuk dengan warna biru kehijauan.
Pengujian ini memberikan hasil serupa seperti yang dilakukan oleh Fitriah
et al. (2017) tentang uji fitokimia pada ekstrak daun johar menggunakan pelarut
43
dengan tingkat kepolaran berbeda (heksan; etil asetat; dan etanol), dimana ekstrak
dengan pelarut semipolar (etil asetat) hanya menunjukkan hasil positif pada uji
alkaloid, tanin dan juga steroid. Kesamaan hasil pengujian dapat diduga karena
pada penelitian ini ekstrak yang digunakan juga merupakan hasil ekstraksi
menggunakan pelarut semipolar yaitu HFC 134a, sehingga kemungkinan
golongan senyawa yang tertarik hampir sama yaitu alkaloid, tanin dan steroid.
4.3 Fraksinasi Ekstrak daun Johar
Tahap ini diawali dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT)
dengan fasa diam berupa plat silika gel GF254 dan fasa gerak berupa campuran
pelarut (n-heksana:etil asetat) dengan beberapa perbandingan (7:3, 8:2 dan 9:1).
Hal ini dilakukan sebelum tahap fraksinasi untuk melihat profil pemisahan noda
pada ekstrak. Analisis dengan menggunakan KLT merupakan pemisahan
komponen kimia berdasarkan prinsip adsorbsi dan partisi yang ditentukan oleh
fase diam (adsorben) dan fase gerak (eluen). Komponen kimia bergerak naik
mengikuti fase gerak karena daya serap adsorben terhadap komponen-komponen
kimia tidak sama sehingga komponen kimia dapat bergerak dengan jarak yang
berbeda berdasarkan tingkat kepolarannya (Stahl, 1969). Pemisahan yang baik
ditandai dengan nilai Rf KLT yang baik berkisar antara 0,2-0,8. Jika Rf terlalu
tinggi, yang harus dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen (Gandjar dan
Rohman, 2007).
Penampakan noda pada analisis kromatografi lapis tipis (KLT) dilakukan di
bawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 dan 365 nm. Hasil profil noda
dari ekstrak daun johar menggunakan beberapa perbandingan eluen n-heksana:
etil asetat ditunjukkan pada Gambar 8.
44
Gambar 8. Hasil KLT ekstrak daun johar berbagai perbandingan pelarut
(a) UV 254 nm dan (b) UV 365 nm
Gambar 8 menunjukkan hasil KLT pada panjang gelombang yang berbeda.
Hasil KLT di bawah sinar UV gelombang pendek λ 254 nm memberikan
pemisahan berupa noda hitam yang masih agak samar, sehingga untuk
memperjelas noda maka perlu dimunculkan dengan UV λ 365 nm. Hasilnya
memberikan gambar bentuk noda yang lebih jelas dengan berbagai warna yang
berflorosens seperti hitam, merah, biru-kehijauan, hijau dan juga biru. Spot yang
memberikan warna hitam diduga merupakan tanin, merah untuk klorofil, biru-
kehijauan untuk terpenoid, warna hijau untuk flavonoid dan biru untuk steroid
(Yuda et al., 2017)
Gambar 8 yang merupakan KLT ekstrak hasil ekstraksi subkritik HFC-134a
menunjukkan noda pemisahan yang lebih sederhana jika dilihat dari bentuk/spot
noda yang dihasilkan lebih sedikit dan tidak menumpuk. Hal tersebut berkaitan
keunggulan ekstraksi ini dalam hal selektivitas, dimana pelarut cenderung
menarik komponen nonpolar hingga semi polar.
(a) (b)
Heksana:EA
(7:3) Heksana:EA
(8:2) Heksana:EA
(9:1) Heksana:EA
(7:3) Heksana:EA
(8:2) Heksana:EA
(9:1)
45
Hasil analisis KLT ekstrak kasar daun johar pada Gambar 8 menghasilkan
pola pemisahan yang berbeda sesuai dengan perbandingan eluen yang digunakan.
Pemisahan kurang sempurna terjadi pada perbandingan eluen n-heksana:etil asetat
7:3 dan 9:1 yang ditunjukkan dengan jarak antar noda saling berhimpit atau belum
terpisah secara jelas, akan tetapi pada eluen n-heksana:etil asetat dengan
perbandingan 8:2 memiliki noda pemisahan yang cukup baik dibandingkan
dengan hasil KLT lainnya. Hasil pemisahan noda pada KLT yang tidak sempurna
menjadikan pemilihan sistem eluen untuk proses fraksinasi dilakukan secara
gradien (Gibbons, 2012)
Tahap fraksinasi selanjutnya dilakukan terhadap ekstrak daun johar
menggunakan metode kromatografi kolom gravitasi. Sebelum dilakukan elusi,
sebanyak 1,1749 g ekstrak daun johar diimpregnasi menggunakan silika dengan
perbandingan 1:1. Tujuan dari proses impregnasi adalah agar sampel yang akan
difraksinasi dapat tersebar dengan homogen dan diharapkan hasil pemisahannya
baik. Selanjutnya dilakukan proses fraksinasi menggunakan kromatografi kolom
berdiameter 2,5 cm yang telah berisi silika gel G-60 (Merck) dengan
perbandingan sampel:silika sebanyak 1:25 atau mencapai hingga 1/3 kolom.
Elusi dilakukan dengan metode gradien, sehingga elusi diawali dengan
eluen tunggal n-heksana yang bersifat nonpolar kemudian divariasi dengan
perbandingan eluen yang lebih polar yakni n-heksana:etil asetat 9:1 hingga
perbandingan 3:7. Hal ini diharapkan senyawa yang terkandung dalam ekstrak
dapat terpisah dengan baik. Fase gerak dibiarkan mengalir melalui kolom yang
disebabkan oleh gaya dorong gravitasi, dimana pita senyawa terlarut akan
bergerak dengan laju yang berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa fraksi
46
ketika keluar dari kolom (Gritter et al., 1991). Fraksi hasil pemisahan kolom
kromatografi kemudian ditampung ke dalam botol vial dan diidentifikasi kembali
dengan metode KLT serta dikumpulkan berdasarkan kesamaan spot yang
dihasilkan. Hingga pada tahap akhir didapatkan sebanyak 28 fraksi (F1-F28)
dengan bobot masing-masing fraksi dapat dilihat pada Tabel 6.
Berdasarkan Tabel 6, fraksi dengan bobot cukup banyak didapatkan pada F2
dan F7. Kedua fraksi inilah yang kemudian digunakan untuk tahap selanjutnya.
Selain bobot terbanyak yang dihasilkan, kedua fraksi ini juga menghasilkan wujud
menyerupai semi kristal padat (Gambar 9). Sedangkan untuk fraksi dengan bobot
yang juga cukup banyak seperti F1 tidak digunakan karena fraksinya berwujud
seperti minyak.
Tabel 6. Bobot fraksi hasil kromatografi kolom gravitasi
Fraksi Bobot Fraksi (mg) Fraksi Bobot Fraksi (mg)
F1 41,6 F15 7,3
F2 59,6 F16 15,4
F3 18,6 F17 3,6
F4 25,4 F18 3,7
F5 25,9 F19 2,9
F6 20,9 F20 5,4
F7 38,2 F21 5,3
F8 23,1 F22 7,1
F9 7,2 F23 5,6
F10 4,3 F24 16,9
F11 14,5 F25 26,2
F12 29,7 F26 15,5
F13 35,4 F27 2,3
F14 6,3 F28 20,9
Jumlah bobot fraksi keseluruhan 488,8 mg
47
Fraksi yang memiliki bobot yang besar memiliki potensi untuk dilakukan
pemisahan selanjutnya. Pemisahan dapat dilanjutkan pada suatu sampel apabila
memiliki pola pemisahan KLT yang baik, massa yang cukup banyak dan aktivitas
senyawa yang baik pula (Sukandar et al., 2015).
Gambar 9. Hasil fraksinasi ekstrak daun johar (a) Fraksi F2 dan (b) Fraksi F7
4.4 Uji Aktivitas Kualitatif Antioksidan Ekstrak, Fraksi F2 dan F7
Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antioksidan terhadap ekstrak
maupun fraksi hasil pemisahan kromatografi kolom gravitasi. Salah satu metode
yang paling umum digunakan untuk menguji aktivitas antioksidan adalah dengan
menggunakan metode 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazil (DPPH). Terdapat 2 cara
yang dilakukan. Pertama dilakukan dengan cara kualitatif, ekstrak yang masih
segar dan 28 fraksi hasil fraksinasi diuji secara kualitatif dengan menggunakan
KLT kemudian dielusi menggunakan fase gerak n-heksana:etil asetat lalu
disemprot dengan penampak bercak larutan DPPH dan dilihat perubahan
warnanya. Hasil KLT tersebut menunjukkan bahwa baik ekstrak (Gambar 10a)
maupun beberapa fraksi hasil fraksinasi (Gambar 10b) memiliki aktivitas
antioksidan.
a b
48
(a) (b)
Gambar 10. (a) Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak dan (b)
fraksi 1-28 (dari kiri ke kanan)
Menurut literatur adanya senyawa antioksidan dalam uji kualitatif dengan
menggunakan KLT ditandai dengan terbentuknya bercak berwarna kuning
berlatar ungu pada pelat KLT yang disemprot dengan penampak bercak larutan
DPPH (Masoko dan Eloff, 2007). Perubahan warna ini terjadi dikarenakan adanya
senyawa yang memberikan atom hidrogen kepada radikal DPPH sehingga
tereduksi menjadi bentuk yang lebih stabil yaitu DPPH (Molyneux, 2004).
4.5 Uji Aktivitas Kuantitatif Antioksidan Ekstrak, Fraksi F2 dan F7
Pengujian aktivitas antioksidan dari ekstrak daun johar (cassia siamea L.)
dilakukan dengan menggunakan metode radical scavenging DPPH (1,1-difenil-2-
pikrilhidrazil), metode ini digunakan karena prosedur pengukuran yang sangat
mudah dapat dilakukan dalam waktu yang cukup singkat, menggunakan sampel
dalam jumlah yang sedikit, dan pengukurannya dilakukan dengan
spektrofotometri UV-Vis. Pengukuran aktivitas antioksidan sampel dilakukan
pada panjang gelombang 517 nm yang merupakan panjang gelombang maksimum
DPPH, dengan konsentrasi DPPH 50 mM. Adanya aktivitas antioksidan dari
sampel mengakibatkan perubahan warna pada larutan DPPH dalam metanol yang
semula berwarna violet pekat menjadi kuning pucat. Penentuan aktivitas
antioksidan dengan menggunakan metode DPPH dinyatakan dengan nilai
A B C 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28
49
banyaknya DPPH yang tereduksi. Hasil pengujian aktivitas antioksidan kuantitatif
dengan DPPH pada ekstrak, fraksi F2 dan F7 ditunjukkan dalam Tabel 7.
Tabel 7. Hasil pengujian aktivitas antioksidan kuantitatif
Sampel
Persen inhibisi radikal DPPH (%) Kemampuan
inhibisi 10 ppm 50 ppm 100 ppm 200 ppm
Ekstrak kasar
daun johar 56.751 74.142 77.117 81.693 Kuat
Fraksi F2 14.332 17.670 20.419 21.728 Lemah
Fraksi F7 14.398 25.851 25.262 29.843 Lemah
Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat disimpulkan bahwa % inhibisi yang
paling besar diperoleh pada hasil ekstrak. Nilai % inhibisi merupakan nilai
penghambatan senyawa terhadap radikal bebas DPPH, semakin besar nilai %
inhibisi menunjukkan semakin besar nilai penghambatan. Pada ekstrak dengan
konsentrasi terkecil sebesar 10 ppm mempunyai % inhibisi dengan nilai di atas
50%, ini menandakan bahwa kekuatan antioksidan pada ekstrak dinilai cukup
kuat. Sedangkan pada fraksi F2 dan F7 diperoleh nilai % inhibisi sebesar 14%
yang cukup jauh dari kisaran 50 %. Begitupun dengan konsentrasi terbesar yakni
200 ppm, nilai % inhibisi pada ekstrak mencapai 81 % sedangkan pada Fraksi F2
dan F7 hanya mencapai nilai sebesar 21 % dan 29 %. Jika kedua fraksi antara F2
dan F7 dibandingkan, fraksi F7 memberikan hasil % inhibisi yang lebih besar
dibanding fraksi F2.
DPPH yang mengandung radikal bebas jika direaksikan dengan ekstrak
tumbuhan yang mengandung antioksidan akan mengalami reaksi penangkapan
hidrogen dari antioksidan oleh radikal bebas DPPH dan mengubah DPPH menjadi
50
bentuk tereduksi sehingga intensitas warna ungu larutan menjadi berkurang
(Molyneux, 2004). Perubahan intensitas warna antara ekstrak sampel+DPPH
dapat dilihat pada Gambar 11.
Gambar 11. Perubahan intensitas warna ekstrak + DPPH
Perubahan intensitas warna (peluruhan warna ungu dari DPPH) sebanding
dengan besar kecilnya aktivitas antioksidan pada suatu sampel. Pada Gambar 11
dapat dilihat bahwa semakin besar konsentrasi sampel akan memberikan
peredaman warna yang lebih signifikan, karena semakin tinggi konsentrasi ekstrak
maka partikel-partikel senyawa antioksidan yang terkandung akan semakin
banyak sehingga semakin besar pula aktivitas antioksidannya.
4.6 Karakterisasi Fraksi F2 dan F7
4.6.1 Analisis FTIR
Analisis FTIR bertujuan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang berguna
untuk penentuan struktur. Analisis data FTIR dilakukan dengan cara
membandingkan puncak dan intensitas yang muncul pada spektra IR dengan
referensi, pergeseran dan perubahan puncak dan intensitas seringkali terjadi pada
51
spektra IR karena perbedaan lingkungan kimia gugus fungsi serta pelarut yang
digunakan (Silverstein et al., 2005). Hasil analisis FTIR fraksi F2 dan F7
ditampilkan pada Gambar 12.
Gambar 12. Hasil spektrum FTIR fraksi F2 dan F7
Berdasarkan Gambar 12 diperoleh data beberapa gugus fungsi yang terdapat
pada fraksi F2 dan F7 yang dapat dilihat pada Tabel 8. Analisis spektrum FTIR
yang terlihat pada Tabel 8 menunjukkan bahwa masing-masing fraksi (fraksi F2
dan F7) memiliki gugus fungsi, seperti gugus OH, metil, C=O, C=C alkena,
metilen serta C-O yang merupakan gugus fungsi yang umum terdapat pada
senyawa organik.
52
Tabel 8. Hasil analisis gugus fungsi fraksi F2 dan F7
Bilangan gelombang (cm-1) Perkiraan gugus
fungsi F2 F7
3441.01 3456.44 O-H (regang)
2935.66 dan 2872.01 2939.52 dan 2872.01 -CH3 (regang)
1720.50 1697.36 C=O (regang)
- 1649.14 C=C alkena
1450.47 1450.47 -CH2
1373.32 1371.39 Metil, CH3
1255.66 1286.52 C-O
808.17 - =C-H alkena
Berdasarkan hasil analisis, kedua fraksi memberikan hasil yang tidak jauh
berbeda. Analisis pada fraksi F2 menunjukkan adanya serapan melebar dengan
intensitas lemah pada bilangan gelombang 3441 cm-1 yang menandakan adanya
gugus OH yang diperkuat dengan adanya serapan kuat dari gugus C-O pada
bilangan gelombang 1255 cm-1. Adapun serapan pada bilangan gelombang 2935
cm-1 dan 2872 cm-1 menunjukkan adanya vibrasi regang dari gugus metil (CH3).
Vibrasi regang gugus C-H pada daerah 2935 cm-1 diperkuat dengan adanya vibrasi
tekuk gugus C-H pada bilangan gelombang 1450 cm-1. Serapan kuat pada daerah
1720 cm-1 menunjukkan adanya gugus C=O (keton). Sama halnya dengan hasil
analisis fraksi F7 dengan sedikit tambahan kemunculan gugus fungsi C=C alkena
pada bilangan gelombang 1649 cm-1.
4.6.2 Analisis LC-MS/MS
Analisis menggunakan LC-MS/MS bertujuan untuk mengetahui berat
molekul serta kemungkinan struktur senyawa yang terdapat pada fraksi F2 dan
fraksi F7. Hasil identifikasi menghasilkan beberapa puncak kromatogram dengan
53
waktu retensi yang berbeda, yang kemudian dibandingkan antara spektrum massa
pengukuran dengan database pada Mass Bank untuk mengetahui prediksi
senyawa tersebut.
4.6.2.1 Analisis LC-MS/MS Fraksi F2
Hasil analisis fraksi 2 dari ekstrak johar HFC-134a menggunakan
LCMS/MS menghasilkan kromatogram dengan waktu retensi yang tertera pada
Gambar 14. Hasil analisis menunjukkan terdapat 16 puncak kromatogram dengan
3 puncak utama yang berhasil diidentifikasi. Berikut merupakan beberapa dugaan
prediksi senyawa yang terdapat dalam fraksi F2.
Gambar 13. Kromatogram Fraksi F2
Analisis senyawa pertama dilakukan terhadap puncak-puncak berdasarkan
fragmentasi tiap-tiap senyawa dibandingkan dengan spektra massa database yang
merupakan data sekunder hasil penelitian yang ada. Studi literatur terhadap pola
fragmentasi ditekankan pada penelusuran base peak (puncak dasar) dan puncak-
puncak yang khas dari suatu senyawa kemudian dibandingkan dengan spektra
massa dari senyawa yang akan ditentukan.
Spektrum massa Fraksi 2 dengan waktu retensi 7,58 pada energi rendah
menunjukkan nilai m/z sebesar 171,1493 dengan kelimpahan 100% yang
merupakan ion molekul senyawa tersebut (Gambar 14a), metode ionisasi yang
54
digunakan pada pengujian ini adalah [M+H]+ sehingga berat molekul
sesungguhnya adalah 170,1493. Setelah dilakukan perbandingan dengan database
pada MassBank, terdapat beberapa kesamaan spektrum massa dengan nilai m/z
yakni 95; 135; 171; dan 172 yang diduga merupakan senyawa δ-dekalakton
dengan berat molekul sebesar 170,1307 (Gambar 14b).
δ-dekalakton merupakan senyawa lakton, turunan/siklisasi asam karboksilat,
banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan zat perasa dan aroma.
Penelitian Rali et al. (2007) menyebutkan bahwa δ-dekalakton ditemukan sebagai
konstituen minor pada bagian heartwood Cryptocarya massoy (Oken) dan
penelitian Mahajan et al. (2004) menyebutkan beberapa senyawa seperti δ-
dekalakton dan γ-hexalakton dengan aroma buah teridentifikasi dari sampel bubuk
whey manis.
Gambar 14. (a)Spektrum massa fraksi F2 pada waktu retensi 7,58 dan
(b)Spektrum massa database MassBank senyawa δ-dekalakton
[M+H]+
171.14
172.09
95.09
135.12
a
b
55
Lakton, khususnya γ dan δ-lakton, diketahui memiliki sifat-sifat
organoleptik yang berguna dan memiliki kandungan rasa dan aroma yang penting
dalam kebanyakan bahan alam. Secara teori, lakton alami dapat diisolasi dari
bahan tanaman dengan ekstraksi atau distilasi. Namun, dalam prakteknya ini
sering tidak praktis atau tidak mungkin karena lakton hadir dalam konsentrasi
yang sangat rendah (Shashkov et al., 2012).
Selanjutnya pada spektrum massa Fraksi 2 dengan waktu retensi 8,85
menunjukkan puncak tertinggi pada kromatogram. Pada spektrum massa energi
rendah menunjukkan nilai m/z sebesar 245,1389 dengan kelimpahan 100% yang
merupakan ion molekul senyawa tersebut (Gambar 15a), metode ionisasi yang
digunakan pada pengujian ini adalah [M+H]+ sehingga berat molekul
sesungguhnya adalah 244,1389. Adapun nilai m/z sebesar 227,1281 merupakan
daughter ion yakni ion fragmen karakteristik dan kedua nilai tersebut dapat
digunakan untuk menduga suatu senyawa.
Setelah dibandingkan dengan database pada MassBank terdapat beberapa
kesamaan spektrum massa hasil pengukuran dengan spektrum massa biotin yaitu
pada m/z 93; 121; 163; 181; 209; 227; dan 245. Prediksi ini semakin diperkuat
dengan adanya dugaan senyawa pada The Human Metabolome Database
(HMDB) dimana senyawa biotin dapat bersumber dari tanaman golongan
Fabaceae yang juga merupakan golongan dari sampel tanaman yang digunakan
pada penelitian ini. Maka dugaan senyawa yang muncul pada waktu retensi 8,85
tersebut merupakan senyawa biotin dengan berat molekul 244,0881 (Gambar 15b)
Adapun nilai daughter ion merupakan nilai dari suatu fragmentasi yang
khas. Jika dikaitkan dengan struktur senyawa biotin, terdapat gugus –OH, dimana
56
jika gugus tersebut lepas akibat ionisasi maka molekul akan kehilangan massa
atom –OH sebesar 17 sehingga muncul nilai 227,1281 sebagai daughter ion
senyawa tersebut.
Biotin merupakan senyawa turunan imidazol. Biotin, mikronutrien
esensial untuk semua mamalia, adalah anggota kelompok vitamin B kompleks.
Biotin ditemukan dalam eksperimen nutrisi yang mengungkapkan faktor dalam
bahan makanan yang mampu menyembuhkan dermatitis bersisik, rambut rontok,
dan tanda-tanda neurologis yang diinduksi pada tikus yang diberi putih telur
kering (Said, 2002).
Gambar 15. (a)Spektrum massa fraksi F2 pada waktu retensi 8,85 dan
(b)Spektrum massa database MassBank senyawa biotin
Biotin merupakan mikronutrien penting untuk semua mamalia hidup
karena perannya sebagai kofaktor karboksilasi dan enzim dekarboksilasi.
245.10 227.10
209.10
163 181.10 93.10 121.10
[M+H]+
Daughter Ion
a
b
57
Kompleks enzim ini memainkan peran penting dalam beberapa proses
metabolisme termasuk glukoneogenesis, sintesis asam lemak, dan amino
katabolisme asam (Meynda dan Anggraini, 2017). Fungsi biotin dalam sintesis
protein adalah produksi keratin yang memiliki kontribusinya terhadap
pertumbuhan kuku dan rambut yang sehat (Meynda dan Anggraini, 2017).
Selanjutnya pada peak terakhir di spektrum massa Fraksi 2 dengan waktu
retensi 10,33 pada energi rendah menunjukkan nilai m/z sebesar 227,1287 dengan
kelimpahan 100% yang merupakan ion molekul senyawa tersebut (Gambar 16a).
Gambar 16. (a)Spektrum massa Fraksi 2 pada waktu retensi 10,33 dan
(b)Spektrum massa database MassBank senyawa asam
korismat
209.04
227.06
193.04
[M+H]+
Daughter Ion
a
b
58
Metode ionisasi yang digunakan pada pengujian ini adalah [M+H]+ sehingga berat
molekul sesungguhnya adalah 226,1287. Adapun nilai m/z sebesar 209,1276
merupakan daughter ion yakni ion fragmen karakteristik dan kedua nilai tersebut
dapat digunakan untuk menduga suatu senyawa. Setelah dibandingkan dengan
database pada MassBank terdapat beberapa kesamaan spektrum massa hasil
pengukuran dengan spektrum massa korismat yaitu pada m/z 193; 209 dan 227.
Prediksi ini semakin diperkuat dengan adanya dugaan senyawa pada The Human
Metabolome Database (HMDB) dimana senyawa asam korismat dapat bersumber
dari tanaman golongan Fabaceae yang juga merupakan golongan dari sampel
tanaman yang digunakan pada penelitian ini. Maka dugaan sementara senyawa
yang muncul pada waktu retensi 10.33 tersebut merupakan senyawa asam
korismat dengan berat molekul 266,0477 (Gambar 16b)
Adapun nilai daughter ion merupakan nilai dari suatu fragmentasi yang
khas. Jika dikaitkan dengan struktur senyawa asam korismat, terdapat gugus –OH,
dimana jika gugus tersebut lepas akibat ionisasi maka molekul akan kehilangan
massa atom –OH sebesar 17. Sehingga muncul nilai 209,1176 sebagai daughter
ion senyawa tersebut.
Chorismic acid atau asam korismat, produk akhir dari jalur sikimat, adalah
prekursor dari tiga asam amino aromatik dan beberapa senyawa aromatik lainnya
dari metabolisme primer. Selain itu, tiga asam amino aromatik merupakan
prekursor untuk berbagai macam metabolit sekunder tanaman (Dewick, 1998).
Asam korismat merupakan prekursor utama sintesis asam amino dan hormon
melalui jalur antranilat dan prepenat. Dari jalur prepenat, asam korismat akan
diubah menjadi tirosin, bahan penting dalam pembentukan tunas (Beaudoin-Eagan
59
dan Thorpe, 1983) dan fenilalanin menjadi prekursor penting pembentuk lignin,
flavonoid dan antosianin (Winkel-Shirley, 2002).
Struktur senyawa prediksi yang terdapat pada fraksi F2 dapat dilihat pada
Gambar 17 berikut
Gambar 17. Struktur (A) δ-dekalakton, (B) biotin, dan (C) asam korismat
Selanjutnya dibuat hubungan keterkaitan antara analisis LCMS-MS dengan
FTIR pada fraksi 2. Senyawa prediksi A yaitu δ-dekalakton memiliki struktur
dimana semua gugus fungsinya menunjukan pita serapan dalam spektrum FTIR
yaitu C-H alkana, C-O dan C=O. Kemudian untuk senyawa prediksi B yaitu biotin
memiliki struktur dimana spektrum FTIRnya hanya menunjukkan beberapa
serapan gugus fungsi seperti O-H, C=O, C-O, dan C-H alkana, namun untuk
gugus fungsi seperti N-H, C-S, dan juga C-N tidak nampak. Selanjutnya senyawa
prediksi C yaitu asam korismat, beberapa gugus fungsi penyusun strukturnya
menunjukkan serapan pada spektrum FTIR seperti O-H, C=O, C-O dan ==C-H
alkena, sedangkan gugus C=C tidak muncul. Namun dugaan ini belum terlalu
meyakinkan karena senyawa masih terdapat dalam bentuk fraksi/campuran
sehingga belum dapat dipastikan serapan gugus fungsi yang muncul/nampak
tersebut milik senyawa A, B atau C.
(A) (B) (C)
60
4.6.2.2 Analisis LC-MS/MS Fraksi F7
Hasil analisis Fraksi F7 dari ekstrak johar HFC-134a menggunakan
LCMS/MS menghasilkan kromatogram dengan waktu retensi yang tertera pada
Gambar 18. Hasil analisis menunjukkan terdapat 12 puncak kromatogram dan
terdapat 4 puncak utama yang berhasil diidentifikasi.
Gambar 18. Kromatogram fraksi F7
Spektrum massa fraksi 7 dengan waktu retensi 9,91 menunjukkan puncak
tertinggi pada kromatogram. Pada spektrum massa pada energi rendah
menunjukkan nilai m/z sebesar 181,1219 dengan kelimpahan 100% yang
merupakan ion molekul senyawa tersebut (Gambar 19a), metode ionisasi yang
digunakan pada pengujian ini adalah [M+H]+ sehingga berat molekul
sesungguhnya adalah 180,1219. Adapun nilai m/z sebesar 163,1109 merupakan
daughter ion yakni ion fragmen karakteristik dan kedua nilai tersebut dapat
digunakan untuk menduga suatu senyawa.
Setelah dibandingkan dengan database pada MassBank terdapat beberapa
kesamaan spektrum massa hasil pengukuran dengan spektrum massa teobromin
yaitu pada m/z 91; 107; 123; 149; 163 dan 181. Prediksi ini semakin diperkuat
dengan adanya dugaan senyawa pada HMDB dimana senyawa teobromin dapat
61
bersumber dari tanaman golongan Fabaceae yang juga merupakan golongan dari
sampel tanaman yang digunakan pada penelitian ini. Maka dugaan sementara
senyawa yang muncul pada waktu retensi 9,91 tersebut merupakan senyawa
teobromin dengan berat molekul 180,0647 (Gambar 19b).
Gambar 19. (a)Spektrum massa fraksi F7 pada waktu retensi 9,91 dan
(b)Spektrum massa database MassBank senyawa Theobromin
Teobromin, bersama dengan kafein dan teofilin, merupakan derivat xantin
ialah alkaloid yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Ketiganya merupakan
derivate xantin yang mengandung gugus metil. Teobromin, bersama kafein dapat
bertindak sebagai antioksidan. Teobromin menetralisasi radikal hidroksil,
peroksil, dan oksigen tunggal, sehingga dapat disejajarkan dengan antioksidan
lainnya seperti glutation dan asam askorbat. Meski begitu, kemampuan teobromin
lebih rendah daripada polifenol (Maleyki dan Ismail, 2010).
181.
20
10
7
123.3
0 149.1
0
163.
10 91
[M+H]+
Daughter Ion
b
a
62
Selanjutnya pada spektrum massa Fraksi 7 dengan waktu retensi 11,90 pada
energi rendah menunjukkan nilai m/z sebesar 267,1596 dengan kelimpahan 100%
yang merupakan ion molekul senyawa tersebut (Gambar 20a), metode ionisasi
yang digunakan pada pengujian ini adalah [M+H]+ sehingga berat molekul
sesungguhnya adalah 266,1596. Setelah dilakukan perbandingan dengan database
pada The Human Metabolome Database (HMDB), terdapat beberapa kesamaan
spektrum massa dengan nilai m/z yakni 149; 203; 207; dan 267 yang diduga
merupakan senyawa Arabsin dengan berat molekul sebesar 266,3328.
Arabsin merupakan salah satu sesquiterpen lakton yang ditemukan dalam
Artemisia absinthium (wormwood) dengan struktur yang didasarkan pada turunan
eudesmanolida atau sekoeudesmanolida. Di dalam sel, arabsin terutama terletak di
sitoplasma. Di luar tubuh manusia, arabsin dapat ditemukan dalam minuman
beralkohol dan rempah-rempah (The Human Metabolome Database).
Gambar 20. (a)Spektrum massa fraksi F7 pada waktu retensi 11.90 dan
(b)Spektrum massa database HMDB senyawa Arabsin
[M+H]+
217.1
2
203.1
4
149.0
9
267.1
596
a
b
63
Identifikasi berikutnya pada spektrum massa Fraksi 7 dengan waktu retensi
12,21 pada energi rendah menunjukkan nilai m/z sebesar 391,2841 dengan
kelimpahan 100% yang merupakan ion molekul senyawa tersebut (Gambar 21a),
metode ionisasi yang digunakan pada pengujian ini adalah [M+H]+ sehingga berat
molekul sesungguhnya adalah 390,2841. Adapun nilai m/z sebesar 337,2347
merupakan daughter ion yakni ion fragmen karakteristik dan kedua nilai tersebut
dapat digunakan untuk menduga suatu senyawa.
Setelah dilakukan perbandingan dengan database pada MassBank, terdapat
beberapa kesamaan spektrum massa hasil pengukuran dengan spektrum massa
senyawa digoxigenin dengan nilai m/z yakni 123; 133; 149; 337; dan 391 yang
diduga merupakan senyawa digoxigenin dengan berat molekul sebesar 390,2406
(Gambar 21b).
Gambar 21. (a)Spektrum massa fraksi F7 pada waktu retensi 12,21 dan
(b)Spektrum massa database MassBank senyawa Digoxigenin
39
1
33
7
12
3
13
3 14
9
b
a
[M+H]+
Daughter Ion
64
Digoxigenin (DIG) adalah steroid yang banyak ditemukan pada bunga dan
daun tanaman Digitalis purpurea, Digitalis orientalis dan Digitalis lanata
(foxgloves). Digoxigenin adalah hapten, molekul kecil dengan antigenisitas
tinggi, yang digunakan dalam banyak aplikasi biologi molekuler mirip dengan
haptens populer seperti 2,4-Dinitrophenol, biotin, dan fluorescein.
Gambar 22. (a)Spektrum massa fraksi F7 pada waktu retensi 18,59 dan
(b,c)Spektrum massa MassBank senyawa oksitetrasiklin
Identifikasi terakhir pada spektrum massa Fraksi 7 dengan waktu retensi
18,59 pada energi rendah menunjukkan nilai m/z sebesar 461,3655 dengan
kelimpahan 100% yang merupakan ion molekul senyawa tersebut (Gambar 22a),
c
461.1
5 b
[M+H]+
Daughter
Ion
a
181.0
2
337.0
7
123.0
1
461.1 b
c
Daughter Ion
65
metode ionisasi yang digunakan pada pengujian ini adalah [M+H]+ sehingga berat
molekul sesungguhnya adalah 460,3655.
Adapun nilai m/z sebesar 337,3470 merupakan daughter ion yakni ion
fragmen karakteristik dan kedua nilai tersebut dapat digunakan untuk menduga
suatu senyawa. Setelah dilakukan perbandingan dengan database pada MassBank,
terdapat beberapa kesamaan spektrum massa hasil pengukuran dengan spektrum
massa senyawa oksitetrasiklin dengan nilai m/z yakni 123; 181; 337; dan 461
yang diduga merupakan senyawa oxytetracycline dengan berat molekul sebesar
460,1482 (Gambar 22b).
Oksitetrasiklin merupakan tetrasiklin dengan tambahan satu gugus OH
pada struktur cincinnya. Tetrasiklin adalah keluarga antibiotik paling umum kedua
dalam penggunaan obat. Antibiotik ini menunjukkan potensi antioksidan, namun
mekanisme pastinya masih belum jelas. (Kładna et al., 2012; Kraus et al., 2005).
Struktur senyawa prediksi yang terdapat pada fraksi F7 dapat dilihat pada
Gambar 23 berikut
Gambar 23. Struktur (D) teobromin, (E) arabsin, (F) digoxigenin, dan
(G) oksitetrasiklin
(D)
(E) (G)
(F)
66
Selanjutnya dibuat hubungan keterkaitan antara analisis LCMS-MS
dengan FTIR pada fraksi 7. Senyawa prediksi D yaitu teobromin memiliki
struktur dimana pada spektrum FTIR muncul serapan untuk gugus fungsi C=O,
C=C dan C-H alkana, sedangkan untuk gugus C-N dan juga N-H tidak nampak.
Kemudian untuk senyawa prediksi E yaitu arabsin, semua gugus fungsi dalam
strukturnya muncul sebagai pita serapan O-H, C=O, C-O, dan C-H alkana pada
spektrum FTIR. Berikutnya untuk senyawa prediksi F yaitu digoxigenin, pada
spektrum FTIR hanya memberikan beberapa serapan seperti gugus O-H, C=O,
C=C, C-O, C-H alkana, namun untuk =C-H alkena tidak terlihat. Begitupun untuk
senyawa G yaitu oksitetrasiklin yang pada spektrum FTIRnya hanya memberikan
serapan untuk gugus fungsi seperti O-H, C=O, C=C, C-O, sedangkan untuk C-N
dan juga N-H tidak muncul. Namun dugaan ini belum terlalu meyakinkan karena
senyawa masih terdapat dalam bentuk fraksi/campuran, sehingga belum dapat
dipastikan serapan gugus fungsi yang muncul/nampak tersebut milik senyawa D,
E, F atau G.
Berdasarkan uji fitokimia yang dilakukan terhadap ekstrak daun johar hasil
ekstraksi metode subkritik HFC-134a, pengujian memberi hasil positif untuk
golongan alkaloid, tanin dan steroid. Hal ini dapat dikaitkan dengan prediksi
senyawa dari LCMS-MS dimana pada fraksi 2 terdapat senyawa dari golongan
alkaloid turunan xantin dan pada fraksi 7 terdapat senyawa dari golongan steroid,
sedangkan untuk golongan tannin tidak ditemukan dalam senyawa prediksi.
67
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Fraksinasi ekstrak daun johar dengan ekstraksi subkritik HFC-134a
menghasilkan fraksi F2 dan F7 dengan bobot terbanyak dan berwujud semi
kristal padat. Beberapa senyawa dugaan pada masing-masing fraksi daun
johar hasil ekstraksi subkritik HFC-134a, diantaranya yaitu senyawa δ-
dekalakton, biotin, dan asam korismat pada fraksi F2 serta senyawa
teobromin, arabsin, digoxigenin dan oksitetrasiklin pada fraksi F7.
2. Adanya potensi aktivitas antioksidan pada ekstrak kasar, fraksi F2 dan fraksi
F7 daun johar hasil ekstraksi subkritik HFC-134a berdasarkan uji kualitatif
ditandai adanya warna kuning pada spot KLT dan uji kuantitatif dengan
metode DPPH memberikan nilai % inhibisi masing-masing sebesar 81%;
21% dan 29% pada konsentrasi 200 ppm.
5.2 Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait ekstraksi daun johar metode
ekstraksi subkritik HFC-134a dengan variasi ratio massa sampel:pelarut serta
variasi waktu yang berbeda untuk menghasilkan rendemen yang lebih besar.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait isolasi senyawa aktif pada daun
johar hasil ekstraksi subkritik HFC-134a hingga menghasilkan senyawa
murni atau isolat.
68
DAFTAR PUSTAKA
Abbott AP dan Eardley C. 1998. Solvent Properties of Liquid and Supercritical
1,1,1,2-Tetrafluoroethane. The Journal of Physical Chemistry B. 102(43):
8574–8578.
Abbott AP, Eardley CA, Scheirer JE, Uni T, and Le L. 1999. Solvent Properties of
Supercritical CO2/ HFC-134a Mixtures. Journal of Physical Chemistry B.
https://doi.org/10.1021/jp991500l
Agilent Technologies. 2001. Agilent LC-MS Primer. U.S.A 5988- 2045EN
Agromedia. 2008. Buku Pintar Tanaman Obat, 431 Jenis Tanaman Penggempur
Aneka Penyakit. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.
Akagawa M. 2001. Amine Oxidase Lie Activity of Flavonoid. Jurnal of
Biochemistry, 268(7):1953–1963.
Amaechi BT, Porteous NB, Ramalingam K, and Mensinkai P. 2013.
Remineralization of Artificial Enamel Lesions by Theobromine.
https://doi.org/10.1159/000348589
Ansel H. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi 4. Jakarta: UI Press.
Arief DA, Sangia MS, dan Kamua VS. 2017. Skrining Fitokimia dan Uji
Toksisitas Ekstrak Biji Aren (arenga pinnata M.). 6(2):12–15.
Arisandi, Yohana dan Andriani, Y. 2005. Khasiat Tanaman Obat (I). Jakarta:
Pustaka Buku Murah.
Asih Astiti. 2009. Isolasi dan identifikasi senyawa isoflavon dari kacang kedelai.
Jurnal Kimia. 3(1):33–40.
Badarinath AV, Mallikarjuna RK, Chetty CMS, Ramkanth S, Rajan TVS, and
Gnanaprakash K. 2010. A Review on In-vitro Antioxidant Methods:
Comparisions, Correlations and Considerations. International Journal of
PharmTech Research. 2(2):1276–1285.
Beaudoin-Eagan LD and Thorpe T. 1983. Shikimate Pathway Activity during
Shoot Initiation in Tobacco Callus Cultures. Plant Physiol. 73(2):228–232.
Belwal T, Dhyani P, Bhatt ID, Rawal RS, and Pande V. 2016. Optimization
extraction conditions for improving phenolic content and antioxidant activity
in Berberis asiatica fruits using response surface methodology (RSM). Food
Chemistry. 207:115–124. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2016.03.081
Bernasconi G, Gerster H, Hauser H, Stauble H, and Schneiter E. 1995. Teknologi
69
Kimia Bagian 2. PT: Pradnya Paramita.
Blois M. 1958. Antioxidant Determination by The Use of A Stable Free Radical.
Journal of Nature. 181:1199–1299. https://doi.org/doi:10.1038/1811199a0
Corr S. 2002. 1,1,1,2-Tetrafluoroethane; From Refrigerant and Propellant To
Solvent. Journal of Fluorine Chemistry. 118(1–2):55–67.
https://doi.org/10.1016/S0022-1139(02)00206-3
Deguchi J, Hirahara T, Oshimi S, Hirasawa Y, and Ekasari W. 2011. Total
Synthesis of A Novel Tetracyclic Alkaloid, Cassiarin F from the Flowers of
Cassia siamea. Chemical and Pharmaceutical Bulletin. 13(16):1921–1922.
https://doi.org/10.1021/ol201674a
Deguchi J, Hirahara T, Hirasawa Y, Ekasari W, Widyawaruyanti A, Shirota O,
and Morita H. 2012. New Tricyclic Alkaloids, Cassiarins G, H, J, and K
from Leaves of Cassia siamea. Chemical and Pharmaceutical Bulletin.
60(2):219–222.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1989. Mediteria Medika Indonesia
(Jilid IV). Jakarta: Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2000. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat (Edisi I). Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan.
Dewick MP. 1998. The Biosynthesis of Shikimate Metabolites. Natural Product
Reports.15(1):17. https://doi.org/10.1039/a815017y
Elia AC, Ciccotelli V, Pacini N, Dörr AJM, Gili M, Natali M, and Abete MC.
2014. Transferability Of Oxytetracycline (OTC) From Feed to Carp Muscle
and Evaluation of The Antibiotic Effects On Antioxidant Systems in Liver
and Kidney. Fish Physiology and Biochemistry. 40(4):1055–1068.
https://doi.org/10.1007/s10695-013-9905-4
Fitriah, Mappiratu, dan Prismawiryanti. 2017. Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak
Daun Tanaman Johar (Cassia siamea Lamk.) dari Beberapa Tingkat
Kepolaran Pelarut. 3(3):242–251.
Gandjar IG dan Rohman A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gibbons S. 2012. An Introduction to Planar Chromatography and Its Application
to Natural Products Isolation (3rd editio). New York: Humana Press.
70
Gritter RJ, Bobbit JM, and Schwarting A. 1991. Pengantar Kromatografi. (K.
Padmawinata, Ed.) (edisi 2). Bandung: Penerbit ITB.
Guenther E. 2006. Minyak Atsiri. (Ketaren, Ed.) (Jilid I). Jakarta: UI-Press.
Hajnos M dan Sherma J. 2011. High Performance Liquid Chromatography in
Phytochemical Analysis. Boca Raton: CRC Press.
Harborn J. 1987. Metode fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. (Kosasih Padmawinata, Ed.) (Jilid II). Bandung: Penerbit ITB.
Harjono S. 1992. Spektroskopi Inframerah (Edisi Pert). Yogyakarta: Liberty.
Hayani E. 2007. Pemisahan Komponen Rimpang Temu Kunci Secara
Kromatografi Kolom. 12(3):35–37.
Heftmann E. 1983. Chromatography : fundamental and application of
cromatographic and electrophoretic metods. New York: Elsevier scientific
publishing company.
Hemmalakshmi S, Priyanga S, and Devaki K. 2017. Fourier Transform Infra-Red
Spectroscopy Analysis of Erythrina variegata L . Journal of Pharmaceutical
Sciences and Research. 9(11):2062–2067.
Hermanto S. 2008. Mengenal Lebih Jauh Teknik Analisa Kromatografi dan
Spektrofotometri. Jakarta: Pusat Laboratorium Terpadu UIN Syarif
Hidayatullah.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid II. (B. L. Kehutanan, Ed.)
(Cet. 1). Jakarta: Yayasan Sarana Warna Jaya.
Hostettman K, Hostettman M, dan Marston A. (1995). Cara Kromatografi
Preparatif Penggunaan pada Senyawa Bahan Alam. (Padmawinata, Ed.).
Bandung: Penerbit ITB.
Hu Q, Zhou B, Gao X, Yang L, Shu L, Shen Y, and Yang G. 2012. Antiviral
Chromones from the Stem of Cassia siamea. Journal of Natural Products:1–
6. https://doi.org/doi.org/10.1021/np300395m
Hugh MA and Kronish V. 1993. Supercritical Fluids Extractions Principle and
Practice. London: Butterworth-Heinemann.
Ingkaninan K, Ijzerman AP, dan Verpoorte R. 2000. Luteolin, a Compound with
Adenosine A1 Receptor-Binding Activity, Chromone and
Dihydronaphthalenone Constituents from Senna siamea. Journal of Natural
Products. 63(3):315–317. https://doi.org/10.1021/np9904152
Jumari, Lilih K dan Sri U. 2003. Biodiversitas Tumbuhan. Semarang.
71
Kardono LBS, Artanti N, Dewiyanti ID, dan Basuki T. 2003. Selected Indonesian
Medicinal Plants: Monographs and Descriptions. Jakarta: PT. Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Kaur G, Alam MS, Jabbar Z, Javed K, and Athar M. 2006. Evaluation of
Antioxidant Activity of Cassia siamea Flowers. Journal of
Ethnopharmacology. 108(3). https://doi.org/10.1016/j.jep.2006.05.021
Kaur P and Arora S. 2011. Superoxide Anion Radical Scavenging Activity of
Cassia siamea And Cassia javanica. Medicinal Chemistry Research.
20(1):9–15. https://doi.org/10.1007/s00044-009-9274-9
Kładna A, Michalska T, Berczyński P, Kruk I, and Aboul-Enein HY. 2012.
Evaluation Of The Antioxidant Activity of Tetracycline Antibiotics in Vitro.
Luminescence. 27(4):249–255. https://doi.org/10.1002/bio.1339
Koyama J, Morita I, Tagahara K, Aqil M. 2001. Bianthraquinone from Cassia
siamea. Phytochemistry. 56(8):849–851.
Kraus RL, Pasieczny R, Lariosa-Willingham K, Turner MS, Jiang A, and Trauger
JW. 2005. Antioxidant Properties of Minocycline: Neuroprotection in an
Oxidative Stress Assay and Direct Radical-Scavenging Activity. Journal of
Neurochemistry. 94(3). https://doi.org/10.1111/j.1471-4159.2005.03219.x
Kumar S, Kumar V, and Prakash O. 2010. Antidiabetic and Anti-Lipemic Effects
of Cassia siamea Leaves Extract in Streptozotocin Induced Diabetic Rats.
Asian Pacific Journal of Tropical Medicine. 3(11):871–873.
https://doi.org/10.1016/S1995-7645(10)60209-X
Lalita L dan Mukhtar S. 2004. Isolation and Charactherization of anthraquinones
from the stem bark of Cassia siamea. Indian Journal of Chemistry.
43B:2257–2258.
Lelono A, Simanungkalit S, Umarudin I, and Herdiawan H. 2018. Screening of
Active Compound From Artemisia annua Using HFC-134a Subcritic
Extraction System. Journal of Tropical Pharmacy And Chemistry. 4(3).
https://doi.org/https://doi.org/10.25026/jtpc.v4i3.149
Lenny S. 2006. Isolasi dan Uji Bioaktifitas Kandungan Kimia Utama Puding
Merah dengan Metoda Uji Brine Shrimp. Medan.
Lewis EG, Schrire B, and Mackinder B. 2005. Legume of The World. London:
Kew Publishing.
Liang X and Fan Q. 2013. Application of Sub-Critical Water Extraction in
Pharmaceutical Industry. Journal of Materials Science and Chemical
Engineering.1:1–6. https://doi.org/doi.org/10.4236/msce.2013.15001
72
Mahajan SS, Goddik L, and Qian MC. 2004. Aroma Compounds in Sweet Whey
Powder. Journal of Dairy Science. 87(12):4057–4063.
https://doi.org/10.3168/jds.S0022-0302(04)73547-X
Maharani T, Sukandar D, Hermanto S. 2016. Karakterisasi Senyawa Hasil Isolasi
dari Ekstrak Etil Asetat Daun Namnam (Cynometra Cauliflora L.) yang
Memiliki Aktivitas Antibakteri. Jurnal Kimia. 2(1): 55–62.
Maleyki MJA and Ismail A. 2010. Antioxidant Properties of Cocoa Powder.
Journal of Food Biochemistry. https://doi.org/10.1111/j.1745-
4514.2009.00268.x
Meynda K and Angraini DI. 2017. Suplementasi Biotin untuk Perawatan Pasien
dengan Alopesia Biotin Supplementation for Patient with Alopecia. Medula.
7:160–164.
Molyneux P. 2004. The Use of The Stable Free Radical Diphenylpicryl- Hydrazyl
(DPPH) For Estimating Antioxidant Activity. Journal of Sciience and
Technology. 26(2):211–219.
Morita H, Oshimi S, Hirasawa Y, Koyama K, Honda T, Ekasari W, and Zaini NC.
2007. Cassiarin A & B, Novel Antiplasmodial Alkaloids from Cassia siamea.
Organic Letters. 9(18):3691–3693. https://doi.org/10.1021/ol701623n
Nuraziza, Seniwati, dan Waris R. 2017. Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Etanol
Daun Arbenan (Duchesnea indica (jacks.) Focke) dengan Metode Dpph. As-
syifaa. 9(2):154-164
Nurjanah. 2010. Karakterisasi Lintah Laut (Discodoris sp.) sebagai antioksidan
dan antikolestrol. Bogor: Universitas Institut Pertanian Bogor.
Octavia DR. 2009. Uji Aktivitas Penangkap Radikal Ekstrak Petroleum Eter, Etil
Asetat dan Etanol Daun Binahong. [SKRIPSI]
Oshimi S, Tomizawa Y, Hirasawa Y, Honda T, and Ekasari W. 2008.
Chrobisiamone A, a New Bischromone from Cassia siamea and a
Biomimetic Transformation of 5-acetonyl-7-hydroxy-2-methylchromone into
cassiarin A. Bioorganic & Medicinal Letters. 18:3761–3763.
https://doi.org/10.1016/j.bmcl.2008.05.041
Oshimi S, Deguchi J, Hirasawa Y, Ekasari W, Widyawaruyanti A, and Wahyuni,
TS. 2009. Cassiarins C-E, Antiplasmodial Alkaloids from the Flowers of
Cassia siamea. Journal of Natural Products. 72(10):1899–1901.
https://doi.org/10.1021/np9004213
Padumanonda T, Suntornsuk L, and Gritsanapan W. 2006. Quantitative Analysis
of Barakol Content in Senna siamea Leaves and Flowers by TLC-
73
densitometry. Medical Principles and Practice. 16(1):47–52.
https://doi.org/10.1159/000096140
Parveen M, Kamil M, and Ilyas M. 1995. A New Isoflavone C-glycoside from
Cassia siamea. 66(5):439–441.
Phutdhawong W and Buddhasukh D. 2000. Simple Isolation and Purification of
D-Pinitol from Cassia Siamea Lamk by Electrolytic Decoulrization. ACGC
Chemical Research Communications. 10:61–62.
Poovendran P, Ramanathan N, and Prabhu N. 2014. Evaluation of The
Antibacterial Activity of Aegle Marmelos and Cassia siamea Extracts
Against Biofilm and Extended Spectrum-Lactamase Producing
Uropathogenic Escherichia Coli. International Journal of Microbiological
Research. 5(3):217–221. https://doi.org/10.5829/idosi.ijmr.2014.5.3.9138
Pourmortazavi SM and Hajimirsadeghi SS. 2007. Supercritical Fluid Extraction in
Plant Essential and Volatile Oil Analysis, Journal of chromatography.
1163:2–24. https://doi.org/10.1016/j.chroma.2007.06.021
Qurrota A dan Laily AN. 2011. Analisis Fitokimia Daun Pepaya (Carica papaya
L .) Di Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Kendalpayak,
Malang. Pendidikan Biologi, Pendidikan Geografi, Pendidikan Sains, PKLH
– FKIP UNS:134–137.
Ragaguci. 2013. Sistem CO2-Etanol Dalam Bentuk Gas-Expanded Liquid (GXL)
Sebagai Pelarut Untuk Ekstraksi Senyawa Xanthone dari Kulit Manggis.
Universitas Gajah Mada.
Raharjo A, Wiwied E, dan Hafid AF. 2014. Uji Aktivitas Antimalaria Ekstrak Air
Daun Johar (Cassia siamea Lamk) Terhadap Plasmodium berghei Secara In
Vivo. Jurnal Farmasi Dan Ilmu Kefarmasian Indonesia. 1(1):6–9.
Rali T, Wossa SW and Leach DN. 2007. Comparative Chemical Analysis of The
Essential Oil Constituents in The Bark, Heartwood and Fruits of Cryptocarya
Massoy (Oken) Kosterm. (Lauraceae) From Papua New Guinea. Molecules,
12(2):149–154. https://doi.org/10.3390/12020149
Rizvi S. 1999. Supercritical Fluids Processing of Food and Biomaterials.
Gaithersburg, Maryland: Aspen Publisher, Inc.
Said HM. 2018. Biotin: the forgotten vitamin:179–180.
Saifudin A. 2014. Senyawa Alam Metabolit Sekunder (1st edition). Yogyakarta:
Deepublish.
Santosa CM dan Hertiani T. 2005. Kandungan Senyawa Kimia dan Efek Ekstrak
Air Daun Bangun-Bangun (Coleus amboinicus, L.) Pada Aktivitas
74
Fagositosis Netrofil Tikus Putih (Rattus norvegicus). Majalah Farmasi
Indonesia. 16(3):141–148.
Sarker SD, Latif Z. and Gray I. 2006. Natural Products Isolation (2nd edition).
Totowa, New Yersey: Humana Press.
Sastrohamidjojo H. 1985. Kromatografi (Cetakan I). Yogyakarta: Liberty.
Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Shashkov P, Khomutov G, Yerokhin A, and Usov S. 2012. United States Patent.
United States. https://doi.org/10.1126/science.Liquids
Shihab MQ. 2009. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Alquran (Vol.
10). Jakarta: Lentera Hati.
Silverstein, R.M., Webster, F.X., and Kiemle, D. J. (2005). Spectrometric
Identification of Organik Compounds (7th editio). New York: John Wiley &
Sons.
Stahl E. 1969. Thin Layer Chromatography a Laboratory Handbook (2nd
edition). Japan: Toppan Company Limited.
Sudarmadji S, Haryono B, dan Sumardi E. 1996. Analisa Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta: Liberty.
Sudarman M dan Harsono R. 1975. Cabe Puyang Warisan Nenek Moyang.
Jakarta: PT. Karya Wreda.
Suharnantono H. 2011. Monitoring & Evaluasi Jenis Tanaman Rimba Eksotik di
KPH Kendal. Perhutani.
Suhartono. 1989. Enzim dan Bioteknologi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Sui X, Yue R, Wang L, Han, Y. 2016. Process Optimization of Astaxanthin
Extraction from Antarctic kill (Euphausia superba) by subcritical R134a.
Oceanic and Coastal Sea Research. 15(4): 112–120.
Sukandar D, Hermanto S, Amelia E. 2015. Penapisan Bioaktivitas Tanaman
Pangan Fungsional Masyarakat Jawa Barat dan Banten. Jakarta (ID) :
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama.
Sun Y. 2002. Supercritical Fluids Technology in Material Science and
Engineering Synthesis, Properties and Applications. Madison Avenue, New
York. USA: Marcel Dekker, Inc.
Supratman U. 2010. Elusidasi Struktur Senyawa Organik (Metode Spektroskopi
75
untuk Penentuan Struktur Senyawa Organik). Bandung: Widya Pajajaran.
Suradikusumah E. 2005. Spektroskopi I. Bogor: IPB Press.
Tamat SR, Wikanta T, dan Maulina LS. 2007. Aktivitas Antioksidan dan
Toksisitas Senyawa Bioaktif dari Ekstrak Rumput Laut Hijau Ulva reticulata
Forsskal. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia. 5(1):31–36.
Teangpook C, Paosangtong U, Titatarn Y, Onhem S, and Puminat, W. 2011.
Production and Nutrition of Khi Lek (Siamese cassia) Curry from Central
Thailand. Kasetsart Journal - Natural Science. 45(3):510–520.
Thongsaard W, Chainakul S, Bennett GW, and Marsden CA. 2001. Determination
of Barakol Extracted from Cassia siamea by HPLC with Electrochemical
Detection. Journal of Pharmaceutical and Biomedical Analysis. 25:853–859.
Veerachari U and Bopaiah AK. 2011. Preliminary Phyto-chemical Evaluation of
the Leaf Extract of Five Cassia Species. Journal of Chemical and
Pharmaceutical Research. 3(5):574–583.
Vogeser M and Seger C. 2008. A Decade of HPLC-MS/MS in the Routine
Clinical Laboratory-Goals for further developments. Clinical Biochemistry.
41(9):649–662. https://doi.org/10.1016/j.clinbiochem.2008.02.017
Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius.
Winkel-Shirley B. 2002. Biosynthesis of Flavonoids and Effects of Stress.
Current Opinion in Plant Biology:218–223. https://doi.org/10.1016/S1369-
5266(02)00256-X
Wuryanti. 2008. Pengaruh Penambahan Biotin pada Media Pertumbuhan
Terhadap Produksi Sel Aspergillus niger. Bioma. 10(2):46-50.
Yuda PESK, Cahyaningsih E, Winariyanthi NPY. 2017. Skrining Fitokimia dan
Analisis Kromatografi Lapis Tipis Ekstrak Tanaman Patikan Kebo
(Euphorbia hirta L.). Medicamento: 3(2).
Yuqian HAN, Qinchuan MA, Lan W, Changhu X. 2012. Extraction of
Astaxanthin from Euphausia pacific Using Subcritical 1, 1, 1, 2-
tetrafluoroethane. Oceanic and Coastal Sea Research. 11(4): 562–568.
Zheng J, Ding C, Wang L, Li G, Shi J, Li H, Wang H, and Suo Y. 2011.
Anthocyanins Composition and Antioxidant Activity of Wild Lycium
ruthenicum Murr. from Qinghai-Tibet Plateau. Food Chemistry. 126(3):859–
865. https://doi.org/10.1016/j.foodchem.2010.11.052
76
LAMPIRAN
Lampiran 1. Ektraktor subkritik HFC-134a
Lampiran 2. Ekstrak Daun Johar
Lampiran 3. Instrumen FTIR dan LCMS-MS
77
Lampiran 4. Nilai % inhibisi ekstrak
Konsentrasi (mg/L) Absorbansi % Inhibisi
Blanko 0.437 0
10 0.189 56.751
50 0.113 74.142
100 0.1 77.117
200 0.08 81.693
78
Lampiran 5. Nilai % inhibisi F2
Konsentrasi (mg/L) Absorbansi % Inhibisi
1.528 0
10 1.309 14.332
50 1.258 17.670
100 1.216 20.419
200 1.196 21.728
79
Lampiran 6. Nilai % inhibisi F7
Konsentrasi (mg/L) Absorbansi % Inhibisi
1.528 .0
10 1.308 14.398
50 1.133 25.851
100 1.142 25.262
200 1.072 29.843
top related