pemberdayaan petani miskin
Post on 28-Oct-2015
469 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia
sebagai nation state, sejarah sebuah negara yang salah memandang dan mengurus
kemiskinan. Dalam negara yang salah urus, tidak ada persoalan yang lebih besar,
selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak
bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan,
kurangnya tabungan dan tidak adanya investasi, kurangnya akses ke pelayanan
publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan
perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang
lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat memenuhi kebutuhan
pangan, sandang dan papan secara terbatas. Kemiskinan, menyebabkan
masyarakat desa rela mengorbankan apa saja demi keselamatan hidup, safety life
(James. C.Scott, 1981), mempertaruhkan tenaga fisik untuk memproduksi
keuntungan bagi tengkulak lokal dan menerima upah yang tidak sepadan dengan
biaya tenaga yang dikeluarkan. Para buruh tani desa bekerja sepanjang hari, tetapi
mereka menerima upah yang sangat sedikit.
Kemiskinan telah membatasi hak rakyat untuk (1) memperoleh pekerjaan
yang layak bagi kemanusiaan; (2) Hak rakyat untuk memperoleh perlindungan
hukum; (3) Hak rakyat untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak rakyat untuk
memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang
terjangkau; (5) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan;
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
2
(6) Hak rakyat untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak rakyat
untuk memperoleh keadilan; (8) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam
pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak rakyat untuk
berinovasi; (10) Hak rakyat menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan;
dan (11) Hak rakyat untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola
pemerintahan dengan baik.
Kemiskinan menjadi alasan yang sempurna rendahnya Human Development
Index (HDI), Indeks Pembangunan Manusia Indonesia. Secara menyeluruh
kualitas manusia Indonesia relatif masih sangat rendah, dibandingkan dengan
kualitas manusia di negara-negara lain di dunia. Berdasarkan Human
Development Report 2004 yang menggunakan data tahun 2002, angka Human
Development Index (HDI) Indonesia adalah 0,692. Angka indeks tersebut
merupakan komposit dari angka harapan hidup saat lahir sebesar 66,6 tahun,
angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas sebesar 87,9 persen,
kombinasi angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan
pendidikan tinggi sebesar 65 persen, dan Pendapatan Domestik Bruto per kapita
yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity) sebesar
US$ 3.230. HDI Indonesia hanya menempati urutan ke-111 dari 177 negara
(Kompas, 2004).
Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan
kronis. Karena sangat kompleks dan kronis, maka cara penanggulangan
kemiskinan pun membutuhkan analisis yang tepat, melibatkan semua komponen
permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan
tidak bersifat temporer. Sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
3
kemiskinan, dan dari variabel ini dihasilkan serangkaian strategi dan kebijakan
penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari
dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai
penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan
masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi,
kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan
kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi
kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen
penting yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut, tetapi dibutuhkan
keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan yang sangat banyak
dengan indikator-indikator yang jelas, sehingga kebijakan penanggulangan
kemiskinan tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.
Selama tiga dekade, upaya penanggulangan kemiskinan dilakukan dengan
penyediaan kebutuhan dasar seperti pangan, pelayanan kesehatan dan pendidikan,
perluasan kesempatan kerja, pembangunan pertanian, pemberian dana bergulir
melalui sistem kredit, pembangunan prasarana dan pendampingan, penyuluhan
sanitasi dan sebagainya. Dari serangkaian cara dan strategi penanggulangan
kemiskinan tersebut, semuanya berorentasi material, sehingga keberlanjutannya
sangat tergantung pada ketersediaan anggaran dan komitmen pemerintah. Di
samping itu, tidak adanya tatanan pemerintahan yang demokratis menyebabkan
rendahnya akseptabilitas dan inisiatif masyarakat untuk menanggulangi
kemiskinan dengan cara mereka sendiri.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
4
Menurut Hermanto, dkk dalam Togatorof, Subaidi dan Supriadi (2006),
Kemiskinan dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) Kemiskinan fisik
atau alamiah, sebagai akibat karena sumberdaya alam tidak bisa mendukung
kehidupan masyarakat setempat; (2) Kemiskinan budaya dan kultural, yakni
budaya yang ada bersifat menghambat kemajuan, walaupun potensi sumberdaya
alam tidak miskin; (3) Kemiskinan kelembagaan atau struktural, yakni peraturan-
peraturan yang ada, baik yang tertulis maupun tidak adalah tidak mampu
mendorong serta menolong golongan lemah; dan (4) Kombinasi di antara tiga tipe
kemiskinan di atas.
Usaha-usaha pembangunan khususnya pertanian, seharusnya diarahkan
pada masalah kemiskinan dan prioritas, jika tidak akan membuka peluang
munculnya masalah baru yang dapat membahayakan proses dan keberlanjutan
pembangunan itu sendiri. Upaya mengangkat masalah kemiskinan menjadi
prioritas pembangunan, maka perlu mencari faktor kunci penyebab terjadinya
kemiskinan tersebut. Salah satu model yang telah dikembangkan adalah
pemberdayaan petani miskin.
Potensi sumberdaya lahan kering di NTB sangat besar dan penyebarannya
hampir merata di seluruh wilayah kabupaten. Di Nusa Tenggara Barat (NTB) luas
lahan kering mencapai 1,798,008 ha (90,33 % dari luas lahan pertanian) yang
tersebar di dua pulau besar yaitu Pulau Sumbawa 1,465,270 ha (81,49) dan Pulau
Lombok 332,738 ha (18,51 %) (Satari, sadjad, dan Sastrosoedardjo, 1977 ; NTB
Dalam Angka, 1992).
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
5
Sedangkan di Lombok Timur luas lahan kering mencapai 115.161 ha. Atau
71,73% dari luas lahan yang ada. Jumlah penduduk 1.053.347 jiwa, sebagian
besarnya adalah petani yaitu 49,50%. (BPS Lombok Timur, 2006).
Kondisi lahan kering dicirikan oleh: (1) peka terhadap erosi bila tanahnya
tak tertutup vegetasi, (2) tingkat kesuburan tanahnya rendah, (3) air merupakan
faktor pembatas (tadah hujan), dan (4) lapisan olah dan lapisan tanah dibawahnya
memiliki kelebaban yang sangat rendah. Di samping itu, masyarakat petani di
daerah lahan kering umumnya berpendapatan rendah, tingkat pendidikan rendah,
adopsi teknologi juga rendah, dan ketersediaan modal kecil. Infra struktur di
daerah lahan kering umumnya jelek, sedangkan penduduk terpencar di daerah
terpencil sehingga integrasi sosial dan penyuluhan menjadi lebih sulit.
Oleh karena kondisi lingkungan seperti tersebut, maka isu pokok yang
harus dikembangkan dalam pengelolaan sumber daya lahan kering adalah
peningkatan pendapatan dan taraf hidup petani sekaligus mampu mempertahankan
kelanjutan (sustainability) sumberdaya lahan. Hal inimemerlukan pengelolaan
yang berhati-hati dengan penerapan teknologi pertanian yang sesuai.
Salah satu teknologi yang dinilai sesuai dengan kondisi lahan kering adalah
penerapan agroforestry, yaitu suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan
kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan,
mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-
pohonan) dan tanaman hutan dan/atau hewan, secara bersamaan atau berurutan
pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai
dengan kebudayaan penduduk setempat (King and Chandler, 1978 dalam
Kartasubrata, 1991b).
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
6
Dari uraian di atas, dipandang perlu untuk melakukan kegiatan-kegiatan
pendampingan (pemberdayaan) petani miskin di lahan marjinal dengan Sistem
Pertanian Berkelanjutan (SPB) dengan teknik Agroforestri berbasis
Agrosilvopastural.
B. Tujuan Kaji Tindak (Dampingan/Pemberdayaan)
Kegiatan pendampingan/pemberdayaan petani miskin di lahan marjinal ini
dilakukan dengan tujuan untuk:
1. Mendorong penuh partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lahan kering
yang berkelanjutan dan bertanggung jawab ke arah peningkatan sistem
sosial dan ekonomi yang berpihak kepada alam/lingkungan
2. Memberikan dampingan dan penguatan terhadap organisasi/kelompok-
kelompok tani menuju perubahan yang lebih baik secara sosial dan
ekonomi.
C. Manfaat Dampingan/Pemberdayaan
1. Bagi LEPPRO NTB
a. Bahan kajian dalam menyiapkan program pendidikan dan penyadaran
bagi masyarakat petani miskin di lahan kering, sebagai konsekuensi
perubahan paradigma berpikir masyarakat dalam mengelola lahan
kering. Fenomena sosial ekonomi masyarakat petani miskin saat ini
semakin memperihatinkan dengan banyaknya kawasan hutan yang
berubah/beralih fungsi menjadi lahan perkebunan dan pertanian. Hal
ini disebabkan pandangan masyarakat petani dan pemerintah daerah
(kabupaten/kecamatan/desa/dusun) belum sinergi dalam menangani
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
7
persoalan pertanian di lahan kering khususnya di kecamatan
Wanasaba.
b. Memperkuat peran LEPPRO NTB dalam pemberdayaan masyarakat
petani miskin di lahan marjinal.
c. Menambah bahan kepustakaan LEPPRO NTB dalam pengembangan
pendidikan dan penyadaran di masyarakat secara langsung.
2. Bagi Pihak Masyarakat Petani Miskin
a. Terbentuk dan atau semakin kuatnya organisasi (kelompok) tani yang
peduli terhadap pengelolaan lahan kering yang berkelanjutan.
b. Menumbuhkembangkan kesadaran kritis masyarakat petani miskin di
lahan marjinal akan pentingnya kemandirian (self reliance) dalam
peningkatan kesejahteraan sosial dan ekonomi melalui agroforestri.
c. Mendapatkan informasi dan sumbangsih pemikiran dalam penataan
tingkat pendapatan masyarakat petani miskin di lahan marjinal melalui
sistem agrosilvopastural.
3. Bagi Pemerintah Daerah (Pembuat/Pemegang Kebijakan)
a. Sebagai sumber informasi untuk menganalisis sistem dan dinamika
budaya masyarakat lahan marjinal, dan mengkaji permasalahan
pembangunan dari sudut pandang sosial-budaya dalam pengelolaan
lahan marjinal melalui pertanian berbasis agrosilvopastural.
b. Membantu dan berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat petani
miskin di lahan marjinal secara langsung dan tidak langsung.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
8
c. Memberikan masukan secara kritis terhadap kondisi masyarakat yang
multietnik dan multikultural dalam menyelesaikan permasalahan yang
terjadi pada masyarakat di lahan marjinal.
d. Melahirkan kebijakan/peraturan yang pro atau berpihak pada
masyarakat bawah (grass root) dengan melalui pendekatan bottom up
secara partisipatif.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
9
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Pemberdayaan Dan Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB)
Dua kata kunci yaitu pemberdayaan (empowerment) dan partisipatif
(participatory) akhir-akhir ini sering muncul dalam program pembangunan
pertanian, khususnya dalam rangka mengangkat harkat masyarakat tani. Sebagai
tujuan akhir, pemberdayaan merupakan target yang ingin dicapai, sementara
partisipasi merupakan alat untuk mencapai tujuan yang ditargetkan. Dengan kata
lain, partisipasi merupakan pendekatan strategis dalam mewujudkan
pemberdayaan.
Checkoway (1995) mengemukakan bahwa pemberdayaan dapat dipandang
sebagai proses bertingkat (multilevel process), yaitu mencakup keterlibatan
individu, pengembangan organisasi, dan perubahan komunitas (community
change). Keterlibatan individu merupakan partisipasi perorangan dalam
pengambilan keputusan melalui wadah pengembangan organisasi sebagai
penghubung antara individu dan komunitas yang pada gilirannya akan
menciptakan perubahan komunitas.
Menurut PBB (dalam Bhattacarya, 1972) dan Asian Development Bank
(dalam Ndraha, 1987) menyatakan bahwa penggerakan partisipasi masyarakat-
masyarakat desa, merupakan salah satu sasaran pembangunan desa itu sendiri,
sedangkan peran serta masyarakat adalah keterlibatan masyarakat dalam proses
perencanaan (bukan perencanaan professional) dimana masyarakat ikut ambil
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
10
bagian dari menentukan dalam mengembangkan, mengurus, dan mengubah
rencana secara komprehensif (Dahuri, 2001).
Davis dan Newstrong (dalam Rusda, 1999) mengatakan bahwa partisipasi
masyarakat merupakan keterlibatan mental dan emosional organ-organ anggota
kelompok dalam situasi kelompok yang mendorong mereka memberikan
kontribusi kepada tujuan kelompok dan berbagi tanggung jawab untuk mencapai
tujuan.
Menurut Mubyarto (dalam Ndraha, 1987) mendefinisikan partisipasi
masyarakat sebagai kesediaan untuk membantu berhasilnya setiap program sesuai
dengan kemampuan orang tanpa berarti mengorbankan kepentingan diri sendiri,
sedangkan menurut Nelson (dalam Ndraha, 1987), menyebutkan ada dua macam
partispasi masyarakat, yaitu: partisipasi antar sesama warga atau anggota suatu
perkumpulan yang dinamakan partisipasi horizontal, dan partisipasi yang
dilakukan oleh bawahan dengan atasan, antara client dengan patron, atau antara
masyarakat dengan pemerintah yang diberi nama partisipasi vertikal, sehingga
keterlibatan dalam kegiatan, seperti perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
disebut partisipasi dalam proses administrasi.
Sedangkan menurut Huneryager clan Heckman (dalam Ndraha, 1987),
keterlibatan kelompok atau masyarakat sebagai suatu kesatuan dapat disebut
partisipasi kolektif, sedangkan keterlibatan individual dalam kegiatan kelompok
dapat disebut partsisipasi individual.
Dari beberapa pengertian partisipasi tersebut, terdapat tiga gagasan
penting yaitu keterlibatan, kontribusi, dan tanggung jawab, dapat dijelaskan:
1. Partisipasi lebih menekankan pada keterlibatan mental dan emosi
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
11
daripada berupa aktifitas atau keterlibatan ini bersifat psikologis
daripada fisik.
2. Motivasi kontribusi yaitu partisipasi akan memotivasi orang-orang
untuk memberikan kontribusi. Para anggota berkesempatan untuk
menyalurkan sumber inisiatif dan kreativitasnya guna mencapai tujuan
kelompok.
3. Tanggung jawab, partisipasi akan mendorong para anggota untuk
menerima tanggung jawab dalam aktifitas kelompoknya.
Menurut Beckman (2001), pendekatan "proses pembangunan partisipatoris"
terdiri dari empat tahap, yaitu:
1. Pengkajian situasi
2. Pembuatan rencana pembangunan lingkungan (desa).
3. Implementasi dan pengawasan.
4. Peninjauan dan evaluasi.
Partisipasi menjadi sangat penting untuk suksesnya suatu program dengan
pertimbangan: (1) untuk penyempurnaan rencana pembangunan pada umumnya
dan prioritas-prioritas khusus pada suatu kegiatan (proyek) tertentu; (2)
program/proyek tidak dapat diimplementasikan apabila kegiatannya tidak sesuai
dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat atau tidak tepat visualisasinya; (3)
untuk keberlanjutan (sustainability); dan (4) untuk meningkatkan pemerataan
keadilan atau equity (Krishna and Lovel, 1985).
Bertitik tolak dari pemikiran di atas, model pembangunan partisipatif
sebagaimana dikemukakan oleh Sumodiningrat (1999) menjadi sangat strategis
dalam mengupayakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan. Oleh
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
12
karena itu, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang model ini dapat
dijadikan acuan khususnya dalam upaya pemberdayaan petani miskin. Namun
perlu dipahami bahwa konsep partisipasi itu sendiri jangan sampai didefinisikan
sebagai “dukungan mutlak masyarakat” terhadap pembangunan. Hal ini perlu
dipahami guna menghindari hambatan pelaksanaan konsep pertisipasi di lapangan
sebagaimana dikemukakan oleh Soetrisno (1995) dalam Yusdja dkk (2003), yaitu
: (1) belum dipahaminya konsep partisipasi oleh perencana dan pelaksana
pembangunan; (2) munculnya reaksi balik dari masyarakat sebagai akibat
dijadikannya pembangunan sebagai ideologi, sehingga harus diamankan; dan (3)
banyaknya peraturan atau perundang-undangan yang isinya meredam keinginan
rakyat untuk berpartisipasi
Pertanian yang berkelanjutan bukanlah pilihan tetapi suatu keharusan.
yang perlu dilakukan jika kita ingin terus dapat melakukan pembangunan. Kita
telah menyaksikan pertambahan penduduk dunia yang terus meningkat begitu
besarnya seperti yang terjadi di Indonesia dan menyebabkan penurunan
sumberdaya alam (SDA) serta kerusakan lingkungan yang sangat cepat. Beberapa
ahli sependapat bahwa kerusakan SDA akan sangat tergantung pada kesuksesan
pertanian dalam menjamin sistim pangan dunia. Hal ini dipandang sangat penting
karena kegagalan dalam menyediakan pangan berarti bencana dunia yang akan
terjadi.
Untuk menghindari hal tersebut, pemberdayaan petani miskin haruslah
didasarkan pada prinsip keberlanjutan, konsep ini bernama Sistim Pertanian
Berkelanjutan (SPB). Sistim Pertanian Berkelanjutan (SPB) menjadi isue global
muncul pada tahun delapan puluhan, setelah terbukti pertanian sebagai suatu
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
13
sistem produksi ternyata juga sebagai penghasil polusi. Pertanian bukan hanya
penyebab degradasi lahan, tetapi juga penyebab degradasi lingkungan diluar
daerah pertanian (daerah hilir). Meluasnya lahan-lahan marjinal dan pendangkalan
perairan di daerah hilir merupakan bukti nyata bahwa pertanian yang tidak
dikelola secara berkelanjutan telah menurunkan kualitas sumberdaya
pembangunan. Oleh karena itu, tantangan bagi kita semua di masa depan adalah
bagaimana pertanian dapat mamasok kebutuhan hidup manusia secara berlanjut
tanpa banyak menimbulkan degradasi sumberdaya alam dan lingkungan (Suwardji
dan Tejowulan, 2003).
Walaupun perhatian dunia terhadap SPB baru muncul tahun delapan
puluhan tetapi sebenarnya proses pematangan konsep tersebut sudah dimulai jauh
sebelumnya. Beberapa konsep pertanian klasik yang menjadi dasar pengembangan
konsep SPB antara lain pertanian biodinamik (biodynamic agriculture) (1924),
humus farming (1930-1960), organic farming (1940-an), dan terakhir muncul
alternative agriculture (1988) dan sustainable agriculture (1987) (Hawood, 1990).
Di Indonesia sendiri, pertanian dengan konsep SPB sebagai teknologi lokal
sebanarnya sudah berkembang sejak zaman nenek moyang dulu antara lain wana
tani damar di Krui dan kebun hutan karet di Sumatera, pertanian kebun di
Lombok dan Sumbawa.
Konsep SPB sendiri diturunkan dari konsep dasar pembangunan
berkelanjutan, buku deklarasi Johanesburg (2002) tentang pembangunan yang
berkelanjutan layak untuk dipedomani yang maknanya adalah bagaimana cara
memenuhi kebutuhan hidup manusia saat ini tanpa mengorbankan kemampuan
memenuhi kebutuhan hidup generasi yang akan datang (Deplu, 2002). Artinya,
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
14
sebagai subsistem, pertanian berkelanjutan harus mampu memanfaatkan
sumberdaya secara efisien dan berinteraksi secara sinergis dengan subsistem
pembangunan berkelanjutan lainnya (Baron dan Nielson, 1998; Conway dkk.,
1990).
Dalam mengembangkan pertanian lahan kering yang berkelanjutan di
Kabupaten Lombok Timur ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Diantaranya
(1) perlunya upaya untuk mengurangi ketergantungan pada non-renewable energi
dan sumberdaya kimia, (2) perlunya mengurangi kontaminasi bahan pencemar
akibat samping kegiatan pertanian pada udara, air dan lahan, (3) mempertahankan
habitat untuk kehidupan fauna yang memadai, dan (4) dapat mempertahankan
sumberdaya genetik untuk tanaman dan hewan yang diperlukan dalam pertanian.
Selain itu pertanian harus mampu mempertahankan produksinya sepanjang waktu
dalam menghadapi tekanan sosial ekonomi tanpa merusak lingkungan yang
berarti (Sinclair, 1987).
Jika kita ingin mengembangkan sistem pertanian lahan kering seperti yang
diungkapkan di atas secara ringkas SPLKB adalah “ sistim pertanian lahan kering
yang yang mampu memenuhi kebutuhan kini tanpa mengorbankan kesanggupan
generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka (Scope, 1990 diubah).
Menurut UU No 12/1992 dalam pasal 2 istilah berkelanjutan sebagai salah satu
azas pertanian. Sehingga apapun yang dikembangkan untuk sistim pertanian di
Indonesia termasuk pengembangan pertanian lahan kering haruslah merujuk asas
sistim pertanian yang berkelanjutan. Di samping asas tersebut dalam UU No
12/1992 adalah asas manfaat dan lestari.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
15
Dari uraian di atas, batasan berkelanjutan (sustainability) mengandung
pengertian berkelanjutan pendapatan (berwawasan agribisnis) dan kelestarian
sumberdaya alam (berwawasan lingkungan). Mengutip Utomo (2001), secara
sederhana dapat dirumuskan bahwa sistim pertanian lahan kering yang
berkelanjutan (SPLKB) = Produksi pertanian (pendapatan) + Konservasi
sumberdaya. (Swardji, 2007)
B. Konsep Kemiskinan
Konsep tentang kemiskinan sangat beragam, mulai dari sekedar
ketakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan,
kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang
memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan
bahwa kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam
suatu masyarakat atau yang mengatakan bahwa kemiskinan merupakan
ketakberdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh
suatu pemerintahan sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan
tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang
berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material.
Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila
tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup
secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi. Memang
definisi ini sangat bermanfaat untuk mempermudah membuat indikator orang
miskin, tetapi defenisi ini sangat kurang memadai karena; (1) tidak cukup untuk
memahami realitas kemiskinan; (2) dapat menjerumuskan ke kesimpulan yang
salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
16
makanan yang memadai; (3) tidak bermanfaat bagi pengambil keputusan ketika
harus merumuskan kebijakan lintas sektor, bahkan bisa kontraproduktif.
BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana
seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu
memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain,
terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air
bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari
perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam
kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki. Untuk
mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin ini, BAPPENAS menggunakan
beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs
approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan
dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Pendekatan kebutuhan dasar, melihat kemiskinan sebagai suatu
ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan
kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan
pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-
alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara
langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini,
menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk
membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan
sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
17
untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan
ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam
pengambilan keputusan. Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai
pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian
normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Pendekatan
subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin
sendiri (Joseph F. Stepanek, (ed), 1985).
Dari pendekatan-pendekatan tersebut, indikator utama kemiskinan dapat
dilihat dari; (1) kurangnya pangan, sandang dan perumahan yang tidak layak; (2)
terbatasnya kepemilikan tanah dan alat-alat produktif; (3) kuranya kemampuan
membaca dan menulis; (4) kurangnya jaminan dan kesejahteraan hidup; (5)
kerentanan dan keterpurukan dalam bidang sosial dan ekonomi; (6)
ketakberdayaan atau daya tawar yang rendah; (7) akses terhadap ilmu
pengetahuan yang terbatas; (8) dan sebagainya.
Indikator-indikator tersbut dipertegas dengan rumusan yang konkrit yang dibuat
oleh BAPPENAS berikut ini;
v terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu. Sekitar 20 persen penduduk dengan tingkat pendapatan terendah hanya mengkonsumsi 1.571 kkal per hari. Kekurangan asupan kalori, yaitu kurang dari 2.100 kkal per hari, masih dialami oleh 60 persen penduduk berpenghasilan terendah (BPS, 2004);
v terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan kesehatan disebabkan oleh kesulitan mandapatkan layanan kesehatan dasar, rendahnya mutu layanan kesehatan dasar, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, dan kurangnya layanan kesehatan reproduksi; jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya perawatan dan pengobatan yang mahal. Di sisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedang masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di PUSKESMAS. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan pada penduduk miskin, hanya sebesar 39,1 persen dibanding 82,3 persen pada penduduk kaya. Asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial hanya
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
18
menjangkau 18,74 persen (2001) penduduk, dan hanya sebagian kecil di antaranya penduduk miskin;
v terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung;
v terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumahtangga;
v terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan permukiman yang sehat dan layak. Dalam satu rumah seringkali dijumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai;
v terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air;
v lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluargannya untuk bekerja di atas tanah pertanian;
v memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah perdesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumberdaya alam sebagai sumber penghasilan;
v lemahnya jaminan rasa aman. Data yang dihimpun UNSFIR menggambarkan bahwa dalam waktu 3 tahun (1997-2000) telah terjadi 3.600 konflik dengan korban 10.700 orang, dan lebih dari 1 juta jiwa menjadi pengungsi. Meskipun jumlah pengungsi cenderung menurun, tetapi pada tahun 2001 diperkirakan masih ada lebih dari 850.000 pengungsi di berbagai daerah konflik;
v lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak, dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya pertisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka;
v besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Menurut data BPS, rumahtangga miskin mempunyai rata-rata anggota keluarga lebih besar daripada rumahtangga tidak miskin. Rumahtangga
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
19
miskin di perkotaan rata-rata mempunyai anggota 5,1 orang, sedangkan rata-rata anggota rumahtangga miskin di perdesaan adalah 4,8 orang.
Dari berbagai definisi tersebut di atas, maka indikator utama kemiskinan
adalah; (1) terbatasnya kecukupan dan mutu pangan; (2) terbatasnya akses dan
rendahnya mutu layanan kesehatan; (3) terbatasnya akses dan rendahnya mutu
layanan pendidikan; (4) terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha; (5) lemahnya
perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah; (6) terbatasnya akses
layanan perumahan dan sanitasi; (7) terbatasnya akses terhadap air bersih; (8)
lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah; (9) memburuknya kondisi
lingkungan hidup dan sumberdaya alam, serta terbatasnya akses masyarakat
terhadap sumber daya alam; (10) lemahnya jaminan rasa aman; (11) lemahnya
partisipasi; (12) besarnya beban kependudukan yang disebabkan oleh besarnya
tanggungan keluarga; (13) tata kelola pemerintahan yang buruk yang
menyebabkan inefisiensi dan inefektivitas dalam pelayanan publik, meluasnya
korupsi dan rendahnya jaminan sosial terhadap masyarakat.
Ditinjau dari penyebab, kemiskinan dapat dibagi atas:
1. Miskin natural, Kelompok ini miskin memang asalnya sudah miskin karena
berada dalam kelompok yang terbelakang dan kekurangan sumber daya secara
absolute.
2. Miskin kultural, Kelompok ini miskin karena mereka dihinggapi budaya
miskin berupa malas, tidak produktif, mudah menyerah, bersandar kepada
takdir, tidak berusaha dan enggan belajar.
3. Miskin struktural, Kelompok ini menjadi miskin karena memang struktur
sosial ekonomi di masyarakat tidak memungkinkan baginya untuk tidak
miskin.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
20
Di Indonesia, salah satu indikator dalam menentukan batas kemiskinan yang
sering dipergunakan adalah pendapatan perkapita. Dengan data ini dapat diketahui
jumlah penduduk miskin, baik miskin absolut maupun miskin relatif.
1. Miskin absolut, adalah kelompok mereka yang benar-benar miskin dan hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat yang berada dalam tingkatan ini tidak mudah untuk ditangani karena mereka sangat lemah dalam sumber daya baik secara individual maupun kelompok. Dapat diumpamakan, untuk membantu mereka tidak bisa lagi hanya memberikan "pancing" karena yang dibutuhkan adalah "ikan". Oleh karena itu selain diberikan ikan, disertakan juga pancing supaya nantinya ia mampu pula mencari ikan sendiri. Di sini pendekatan pemberdayaan dilakukan bersamaan dengan pendekatan pemberian. Secara praktek berupa memberikan subsidi untuk pangan, kesehatan dan pendidikan yang dibarengi dengan menyiapkan mereka agar mampu bekerja melalui pengadaan peluang kerja. Kemampuan mengisi peluang itu tetap perlu didampingi untuk melindungi mereka agar tetap terjaga kemampuannya mengembangkan diri.
2. Miskin relatif, adalah mereka yang sudah tidak berada di bawah garis kemiskinan namun kondisinya masih rawan untuk untuk jatuh ke bawah garis kemiskinan akibat perubahan situasi ekonomi yang terjadi.
(Emarnas, Kemiskinan Dan Harapan Pemberdayaan Masyarakat, WASPADA Online 29 Mar 07)
Kenyataan menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan
sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi
kebutuhan material, tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan
manusia yang lain. Karenanya, kemiskinan hanya dapat ditanggulangi apabila
dimensi-dimensi lain itu diperhitungkan. Menurut Bank Dunia (2003), penyebab
dasar kemiskinan adalah: (1) kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal;
(2) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (3)
kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor; (4) adanya
perbedaan kesempatan di antara anggota masyarakat dan sistem yang kurang
mendukung; (5) adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara
sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi modern); (6) rendahnya
produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat; (7) budaya
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
21
hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam
dan lingkunganya; (8) tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good
governance); (9) pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan dan tidak
berwawasan lingkungan.
Indikator utama kemiskinan menurut Bank Dunia adalah kepemilikan tanah
dan modal yang terbatas, terbatasnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan,
pembangunan yang bias kota, perbedaan kesempatan di antara anggota
masyarakat, perbedaan sumber daya manusia dan sektor ekonomi, rendahnya
produktivitas, budaya hidup yang jelek, tata pemerintahan yang buruk, dan
pengelolaan sumber daya alam yang berlebihan.
Menurut BPS, kantong penyebab kemiskinan desa di Indonesia, umumnya
bersumber dari sektor pertanian yang disebabkan ketimpangan kepemilikan lahan
pertanian. Kepemilikan lahan pertanian sampai dengan tahun 1993 mengalami
penurunan 3,8% dari 18,3 juta ha. Di sisi lain, kesenjangan di sektor pertanian
juga disebabkan ketidakmerataan investasi. Alokasi anggaran kredit yang terbatas
juga menjadi penyebab daya injeksi sektor pertanian di pedesaan melempem.
Tahun 1985 alokasi kredit untuk sektor pertanian mencapai 8% dari seluruh kredit
perbankan, dan hanya naik 2% di tahun 2000 menjadi 19%.
Data-data mengenai penyebab kemiskinan desa seperti itu, bisa dikatakan
sudah sangat lengkap dan bahkan memudahkan kita merumuskan indikator
kemiskinan desa dan strategi penanggulanganya. Berdasarkan data di atas,
penyebab utama kemiskinan desa adalah; (1) pengaruh faktor pendidikan yang
rendah: (2) ketimpangan kepemilikan lahan dan modal pertanian; (3)
ketidakmerataan investasi di sektor pertanian; (4) alokasi anggaran kredit yang
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
22
terbatas; (4) terbatasnya ketersediaan bahan kebutuhan dasar; (5) kebijakan
pembangunan perkotaan (mendorong orang desa ke kota); (6) pengelolaan
ekonomi yang masih menggunakan cara tradisional; (7) rendahnya produktivitas
dan pembentukan modal; (8) budaya menabung yang belum berkembang di
kalangan masyarakat desa; (9) tata pemerintahan yang buruk (bad governance)
yang umumnya masih berkembang di daerah pedesaan; (10) tidak adanya jaminan
sosial untuk bertahan hidup dan untuk menjaga kelangsungan hidup masyarakat
desa; (11) rendahnya jaminan kesehatan.
Masyrakat desa dapat dikatakan miskin jika salah satu indikator berikut ini
terpenuhi seperti; (1) kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan; (2)
memiliki lahan dan modal pertanian yang terbatas; (3) tidak adanya kesempatan
menikmati investasi di sektor pertanian; (4) kurangnya kesempatan memperoleh
kredit usaha; (4) tidak terpenuhinya salah satu kebutuhan dasar (pangan, papan,
perumahan); (5) berurbanisasi ke kota; (6) menggunakan cara-cara pertanian
tradisional; (7) kurangnya produktivitas usaha; (8) tidak adanya tabungan; (9)
kesehatan yang kurang terjamin; (10) tidak memiliki asuransi dan jaminan sosial;
(11) terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam pemerintahan desa; (12) tidak
memiliki akses untuk memperoleh air bersih; (13) tidak adanya partisipasi dalam
pengambilan keputusan publik.
C. Konsep Agroforestri
C.1 Pengertian
Agroforestri, sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang
pertanian dan kehutanan, berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan
sistem agroforestri yang telah dipraktekkan petani sejak dulu kala. Secara
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
23
sederhana, agroforestri berarti menanam pepohonan di lahan pertanian, dan harus
diingat bahwa petani atau masyarakat adalah elemen pokoknya (subyek). Dengan
demikian kajian agroforestri tidak hanya terfokus pada masalah teknik dan
biofisik saja tetapi juga masalah sosial, ekonomi dan budaya yang selalu berubah
dari waktu ke waktu, sehingga agroforestri merupakan cabang ilmu yang dinamis.
Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang
memadukan usaha kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk menciptakan
keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan (Bene, 1977; King
1978; King, 1979).
Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah
terdegradasi, melestarikan sumberdaya hutan, meningkatkan mutu pertanian serta
menyempurnakan intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem ini telah
dipraktekkan oleh petani di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad
(Michon dan de Foresta, 1995), misalnya sistem ladang berpindah, kebun
campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan.
Contoh lain yang umum dijumpai di Jawa adalah mosaik-mosaik padat dari
hamparan persawahan dan tegalan produktif yang diselang-selingi oleh
rerumpunan pohon. Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut mempunyai
struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies tanaman.
Dalam Bahasa Indonesia, kata Agroforestry dikenal dengan istilah wanatani
atau agroforestri yang arti sederhananya adalah menanam pepohonan di lahan
pertanian.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
24
C.2 Klasifikasi Teknik Agroforestri
Pengklasifikasian agroforestri dapat didasarkan pada berbagai aspek sesuai
dengan perspektif dan kepentingannya. Pengklasifikasian ini bukan dimaksudkan
untuk menunjukkan kompleksitas agoroforestri dibandingkan budidaya tunggal
(monoculture; baik di sektor kehutanan ataupun di sektor pertanian). Akan tetapi
pengklasifikasian ini justru akan sangat membantu dalam menganalisis setiap
bentuk implementasi agroforestri yang dijumpai di lapangan secara lebih
mendalam, guna mengoptimalkan fungsi dan manfaatnya bagi masyarakat atau
para pemilik lahan.
C.2.1 Klasifikasi berdasarkan komponen penyusunnya
Pengklasifikasian agroforestri yang paling umum, tetapi juga sekaligus yang
paling mendasar adalah ditinjau dari komponen yang menyusunnya. Komponen
penyusun utama agroforestri adalah komponen kehutanan, pertanian, dan/atau
peternakan. Ditinjau dari komponennya, agroforestri dapat diklasifikasikan
sebagai berikut:
1) Agrisilvikultur (Agrisilvicultural systems)
Agrisilvikultur adalah sistem agroforestri yang mengkombinasikan
komponen kehutanan (atau tanaman berkayu/woody plants) dengan komponen
pertania (atau tanaman non-kayu). Tanaman berkayu dimaksudkan yang berdaur
panjang (tree crops) dan tanaman non-kayu dari jenis tanaman semusim
(annucrops). Dalam agrisilvikultur, ditanam pohon serbaguna (lihat lebih detil
pad bagian multipurpose trees) atau pohon dalam rangka fungsi lindung pada
lahan-lahan pertanian (multipurpose trees/shrubs on farmlands, shelterbelt,
windbreaks, atau soil conservation hedges – lihat Nair, 1989; dan Young, 1989).
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
25
Seringkali dijumpai kedua komponen penyusunnya merupakan tanaman
berkayu (misal dalam pola pohon peneduh gamal/Gliricidia sepium pada
perkebunan kakao/Theobroma cacao). Sistem ini dapat juga dikategorikan
sebagai agrisilvikultur (Shade trees for plantation crops – Lihat Nair, 1989).
Pohon gamal (jenis kehutanan) secara sengaja ditanam untuk mendukung
(pelindung dan konservasi tanah) tanaman utama kakao (jenis
perkebunan/pertanian). Pohon peneduh juga dapat memiliki nilai ekonomi
tambahan. Interaksi yang terjadi (dalam hal ini bersifat ketergantungan) dapat
dilihat dari produksi kakao yang menurun tanpa kehadiran pohon gamal.
2) Silvopastura (Silvopastural systems)
Sistem agroforestri yang meliputi komponen kehutanan (atau tanaman
berkayu) dengan komponen peternakan (atau binatang ternak/pasture) disebut
sebagai sistem silvopastura. Beberapa contoh silvopastura (lihat Nair, 1989),
antara lain: Pohon atau perdu pada padang penggembalaan (Trees and shrubs on
pastures), atau produksi terpadu antara ternak dan produk kayu (integrated
production of animals and wood products).
Kedua komponen dalam silvopastura seringkali tidak dijumpai pada ruang
dan waktu yang sama (misal: penanaman rumput hijauan ternak di bawah tegakan
pinus, atau yang lebih ekstrim lagi adalah sistem ‘cut and carry’ pada pola pagar
hidup/living fences of fodder hedges and shrubs; atau pohon pakan
serbaguna/multipurpose fodder trees pada lahan pertanian yang disebut ‘protein
bank’).
Meskipun demikian, banyak pegiat agroforestri tetap mengelompokkannya
dalam silvopastura, karena interaksi aspek konservasi dan ekonomi (jasa dan
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
26
produksi) bersifat nyata dan terdapat komponen berkayu pada manajemen lahan
yang sama.
3) Agrosilvopastura (Agrosilvopastural systems)
Sistem-sistem agrosilvopastura adalah pengkombinasian komponen berkayu
(kehutanan) dengan pertanian (semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada
unit manajemen lahan yang sama. Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem
agrosilvopastura, walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai
dalam ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan
secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya
komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people).
Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung oleh
permudaan alam dan satwa liar (lihat Klasifikasi agroforestri berdasarkan Masa
Perkembangannya). Interaksi komponen agroforetri secara alami ini mudah
diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh, adalah peranan tegakan
bagi penyediaan pakan satwa liar (a.l. buah-buahan untuk berbagai jenis burung),
dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses penyerbukan atau regenerasi tegakan,
serta sumber protein hewani bagi petani pemilik lahan.
Terdapat beberapa contoh Agrosilvopastura di Indonesia, baik yang berada
di Jawa maupun di luar Jawa. Contoh praktek agrosilvopastura yang luas
diketahui adalah berbagai bentuk kebun pekarangan (home-gardens), kebun hutan
(forest-gardens), ataupun kebun desa (village-forest-gardens), seperti sistem Parak
di Maninjau (Sumatera Barat) atau Lembo dan Tembawang di Kalimantan, dan
berbagai bentuk kebun pekarangan serta sistem Talun di Jawa a;b ; Sardjono,
1990; De Forestra, et al., 2000). (lihat a.l. Soemarwoto, et al., 1985)
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
27
C.2.2 Klasifikasi berdasarkan istilah teknis yang digunakan
Meskipun kita telah mengenal agroforestri sebagai sistem penggunaan lahan,
tetapi seringkali digunakan istilah teknis yang berbeda atau lebih spesifik, seperti
sistem, sub-sistem, praktek, dan teknologi (Nair, 1993).
1) Sistem agroforestri
Sistem agroforestri dapat didasarkan pada komposisi biologis serta
pengaturannya, tingkat pengelolaan teknis atau ciri-ciri sosial-ekonominya.
Penggunaan istilah sistem sebenarnya bersifat umum. Ditinjau dari komposisi
biologis, contoh sistem agroforestri adalah agrisilvikultur, silvopastura,
agrosilvopastura.
2) Sub-sistem agroforestri
Sub-sistem agroforestri menunjukkan hirarki yang lebih rendah daripada
sistem agroforestri, meskipun tetap merupakan bagian dari sistem itu sendiri.
Meskipun demikian, sub-sistem agroforestri memiliki ciri-ciri yang lebih rinci dan
lingkup yang lebih mendalam. Sebagai contoh sistem agrisilvikultur masih terdiri
dari beberapa sub-sistem agroforestri yang berbeda seperti tanaman lorong (alley
cropping), tumpangsari (taungya system) dan lain-lain. Penggunaan istilah-istilah
dalam sub-sistem agroforestri yang dimaksud, tergantung bukan saja dari tipe
maupun pengaturan komponen, akan tetapi juga produknya, misalnya kayu bakar,
bahan pangan dll.
3) Praktek agroforestri
Berbeda dengan sistem dan sub-sistem, maka penggunaan istilah ‘praktek’
dalam agroforestri lebih menjurus kepada operasional pengelolaan lahan yang
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
28
khas dari agroforestri yang murni didasarkan pada kepentingan/kebutuhan
ataupun juga pengalaman dari petani lokal atau unit manajemen yang lain, yang di
dalamnya terdapat komponen-komponen agroforestri. Praktek agroforestri yang
berkembang pada kawasan yang lebih luas dapat dikategorikan sebagai sistem
agroforestri. Perlu diingat, praktek agroforestri dapat berlangsung dalam suasana
sistem yang bukan agroforestri, misalnya penanaman pohon-pohon turi di
persawahan di Jawa adalah praktek agroforestri pada sistem produksi pertanian.
4) Teknologi agroforestri
Penggunaan istilah ‘teknologi agroforestri’ adalah inovasi atau
penyempurnaan melalui intervensi ilmiah terhadap sistem-sistem atau praktek-
praktek agroforestri yang sudah ada untuk memperoleh keuntungan yang lebih
besar. Oleh karena itu, praktek agroforestri seringkali juga dikatakan sebagai
teknologi agroforestri. Sebagai contoh, pengenalan mikoriza atau teknologi
penanganan gulma dalam upaya mengkonservasikan lahan alang-alang (Imperata
grassland) ke arah sistem agroforestri (agrisilvikultur; sub-sistem tumpangsari)
yang produktif (Murniati, 2002). Uji coba pola manajemen pola tanam dan tahun
tanam baru dalam sistem tumpangsari pada kebun jati di beberapa tempat di Jawa
Timur dan Jawa Tengah melalui Manajemen Rejim (MR; dikembangkan oleh
Prof. Hasanu Simon dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta) dapat pula
dipertimbangkan sebagai bagian dari teknologi baru agroforestri).
Tabel 2.1 : Beberapa Bentuk Agroforestri yang Berkembang di Nusa Tenggara Sistem Sub-Sistem Contoh Praktek Contoh
Teknologi Agrisilvikultur Sistem tebas bakar
(Slash and burn agriculture)
Oma (Nusa Tenggara. Pertanian lahan kering berpindah dikonversi
-
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
29
dari hutan, saat ini ada beberapa pohon)
Sistem pertanaman semusim (mixed annual-tree cropping)
Rau (Lombok) (pertanian lahan kering menetap dengan pohon penutup yang tersebar)
-
Budidaya lorong (Alley cropping system)
Kamutu luri (Sumba: budidaya lorong tradisional)
-
- Tanaman lorong dengan MPT’s legum (seluruh Nusa Tenggara); Sikka (budidaya lorong yang dimodifikasi)
Hutan keluarga/ kebun campuran (mixed tree – gardening)
Omong wike (Sumba; hutan keluarga tradisional)
Timor (diperkenalkan di Seluruh Nusa Tenggara)
Pager hidup (life fences)
Okaluri (Sumba; pohon serbaguna/ berkayu di sekeliling areal ladang berpindah)
-
Silvopastura Hutan Penggembalaan (Protein Bank; Trees and Shurbs on pastures
Padang Penggembalaan (Timor; rumput ternak dan tanaman legum); Pada mbanda (Sumba; sama dengan padang, ada kali kering atau mata air)
-
Agrosilvopastural Pemberaan yang diperbaiki (Improved follow systems)
Amarasi (bera dengan lamtoro, tanaman pangan, dan ternak); pemberaan dengan turi (turi, tanaman semusim pakan ternak
-
Kebun Pekarangan (Home-gardens)
Kebon (Lombok; kebun pekarangan
-
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
30
dengan pohon, tanaman semusim, ternak, dan pakan ternak); Nggaro (Sumbawa) Ongen, Uma, Napu, (Flores)
Kebun Hutan (Forest-gardens)
Ngerau (Lombok; pertanian semusim menetap di pinggir hutan, dengan pohon buah-buahan, bambu. Karena lokasinya, ada peran satwa liar); Mamar (Timor; kebon hutan dekat sumber air, produk utama pakan ternak)
-
Hutan Penggembalaan
- Wanatani Penggembalaan (Nusa Tenggara; tanaman kehutanan, pertanian, peternakan, perikanan)
Dikutip dari Sardjono, Djogo, Arifin, dan Wijayanto (2007:11-12)
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan participatory action
research (PAR). Action research adalah proses spiral yang meliputi (1)
perencanaan tindakan yang melibatkan investigasi yang cermat; (2) pelaksanaan
tindakan; dan (3) penemuan fakta-fakta tentang hasil dari tindakan, dan (3)
penemuan makna baru dari pengalaman sosial (Kurt Lewin, 1947).
Lebih lanjut dikemukan oleh Corey (1953), bahwa: action research adalah
proses dimana kelompok sosial berusaha melakukan studi masalah mereka secara
ilmiyah dalam rangka mengarahkan, memperbaiki, dan mengevaluasi keputusan
dan tindakan mereka. Hopkins (1985), mengemukakan, yaitu action research
merupakan upaya untuk mengkontribusikan baik pada masalah praktis pemecahan
masalah maupun pada tujuan ilmu sosial itu sendiri dengan mengkolaborasikan
didalamnya yang dapat diterima oleh kerangka kerja etik, sedangkan Peter Park
(1993) menjelaskan bahwa action research, merupakan cara penguatan rakyat
melalui penyadaran diri untuk melakukan tindakan yang efektif menuju perbaikan
kondisi kehidupan mereka.
Alur aktivitas program action research adalah cyclical, berupa siklus
kegiatan yang berulang dan berkesinambungan. Dalam konteks program action
reserach ini, siklus kegiatannya terdiri dari kegiatan (mapping), penyusunan
rencana tindak (action planning), pelaksanaan rencana tindak (implementation),
monitoring dan evaluasi. Hasil monitoring dan evaluasi tersebut untuk selanjutnya
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
32
dipetakan kembali dan kemudian dilakukan penyusunan ulang rencana tindak
(replan), implementasi, monitoring dan evaluasi, dan terus kembali berulang.
Setiap selesai satu tahapan kegiatan, sesuai dengan prinsip dasar riset aksi,
dilakukan kegiatan refleksi untuk mengetahui tingkat keberhasilan masing-masing
tahapan.
Oleh karena itu, program tindak lanjut dari riset ini pada dasarnya
merupakan aktivitas pengulangan dari kegiatan refleksi-pemetaan ulang-
penyusunan rencana tindak-pelaksanaan rencana tindak, dan monitoring dan
evaluasi. Namun demikian, ada beberapa penekanan yang akan dilakukan, yakni:
(1) Peningkatan kemandirian dan kinerja masyarakat petani; (2) Penguatan misi
transformasi sosial masyarakat petani, dan (3) Penguatan jejaring kerja
(networking) dan aliansi strategis antar masyarakat petani.
B. Desain PAR
Program Pemberdayaan petani miskin ini hakikatnya adalah sebuah "riset
aksi". Oleh karena itu, pelaksanaannya secara umum mengelaborasi konsep
Participatory Action Research (PAR) dengan berbagai modifikasi.
Sesuai dengan prinsip emancipatory research dan collaborative resources
yang menjadi bagian penting dari ciri sebuah riset aksi, maka dalam pelaksanaan
program pemberdayaan petani miskin ini, masyarakat petani adalah aktor
utamanya (main actor). Peneliti tidak lebih dari sekedar "pendamping" yang
semaksimal mungkin berusaha untuk meningkatkan kemampuan dan partisipasi
stakeholders masyarakat petani memetakan dan merumuskan masalah, membuat
rencana tindak, melaksanakan program kegiatan, memantau dan mengevaluasi
setiap proses implementasi program.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
33
Pada setiap tahapan dan proses tersebut, peneliti juga berusaha
membangun suasana dan menciptakan iklim yang kondusif, memberi berbagai
masukan (input), meningkatkan kapasitas (capacity), membuka akses ke berbagai
jejaring kerja (networking), peluang, dan kesempatan (opportunities) yang ada di
luar komunitas masyarakat petani.
C. Lokasi Program Pemberdayaan
Lokasi penelitian ini adalah di Kecamatan Wanasaba Kabupaten Lombok
Timur. Penetapan lokasi penelitian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa di
Kecamatan Wanasaba terdapat banyak sekali lahan kering yang dikelola secara
tidak maksimal oleh petani karena faktor modal (biaya) dan sumberdaya yang
terbatas.
D. Tahapan-Tahapan Pelaksanaan PAR
Dalam pelaksanaan participatory action research (PAR), ada beberapa
tahapan yang dilalui, yaitu:
TINDAKAN
REFLEKSI
TINDAKAN
REFLEKSI
TINDAKAN REFLEKSI
OBSERVASI/ EVALUASI
OBSERVASI/ EVALUASI
RENCANA AKSI STRATEGIS
..SETERUSNYA
OBSERVASI/ EVALUASI
RENCANA AKSI STRATEGIS
RENCANA AKSI STRATEGIS
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
34
1. Tahap persiapan sosial/awal
Pada tahap persiapan sosial/awal ini, peneliti terlibat secara langsung
dalam kehidupan kelompok sosial masyarakat
2. Identifikasi Data, Fakta Sosial
Mengamati dan mengidentifikasi realitas sosial, biasanya muncul sebagai
keluhan-keluhan masyarakat (Freire: Kodifikasi)
3. Analisa Sosial
Mendiskusikan/mengurai realitas sosial, (Freire: Dekodifikasi) untuk
menemukan isu sentral atau kata kunci (fokus masalah).
Mempertanyakan terus menerus, mengapa masalah itu terjadi, bagaimana
hubungan- hubungan antar kelompok sosial yang ada.
Menilai posisi masyarakat dalam peta hubungan-hubungan antar
kelompok masyarakat tersebut
4. Perumusan Masalah Sosial
5. Mengorganisir gagasan-gagasan yang muncul guna mencari peluang-
peluang yang mungkin bisa dilakukan bersama guna memecahkan masalah
dengan memperhatikan pengalaman-pengalaman masyarakat dimasa lalu
(keberhasilan dan kegagalannya)
6. Merumuskan rencana tindakan strategis yang akan dilakukan untuk
memecahkan masalah tersebut (menentukan apa, kapan, dimana dan siapa
serta bagaimana)
7. Pengorganisasian sumber daya, dengan mengidentifikasi siapa yang harus
diajak bekerjasama dan siapa yang akan menghambat.
8. Aksi Untuk Perubahan
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
35
9. Observasi Evaluasi
Untuk menilai keberhasilan dan kegagalan/learning experience.
10. Refleksi
Alur tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1: Penjabaran aktifitas Participatory Action Research (PAR)
Program Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal di Kec. Wanasaba
Preliminary Research Teamwork Building
PREPARATI
Parmer self-survey; Need-Risk Assesment; The effective demand; The resources-base; Pesantren Slf-Analysis; Survey Instansional; Reconfirmation Data
MAPPING
Strategic Planning self-planning Logical Frame-work Analysis Prioritization
ACTION
Managing Program; Develop Guidelines and Tcehnique for Implementation
IMPLEMENTATI
Develop Guidelines and Tcehnique for Implementation
MON &
Strategic Planning self-planning Logical Frame-work Analysis Prioritization
Re-PLAN
,,,,
Cencept, Strategy,
Teamwork
DATABASE
Development Plan (RIPP)
Output, Impact
Feed back
RIPP Revision
refleksi
refleksi
refleksi
refleksi
refleksi
refleksi
refleksi
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
36
BAB IV
PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN
A. Gambaran Umum Kabupaten Lombok Timur
A.1 Posisi dan Luas Wilayah
Posisi wilayah Kabupaten Lombok Timur terletak antara 1160 – 1170 Bujur
Timur, dan 80 – 90 Lintang Selatan.
Wilayah Kabupaten Lombok Timur berbatasan dengan :
• Sebelah Barat : Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Tengah
• Sebelah Timur : Selat Alas
• Sebelah Utara : Laut Jawa dan
• Sebelah Selatan : Samudera Indonesia
Luas wilayah Kabupaten Lombok Timur adalah 2.679,88 km2 terdiri atas
daratan seluas 1.605.55 km2 (59,91%) dan pantai/lautan 4 mil dari bibir pantai
seluas 1.074,33 km2 (40,09%).
Penggunaan lahan (daratan seluas 160.555 hektar berupa lahan sawah
sejumlah 45.394 hektar atau sekitar 28,27% dan lahan kering seluas 115.161
hektar atau 71,73%. (luas penggunaan lahan di kabupaten Lombok Timur
dirincikan pada tabel 4.1)
A.2 Iklim dan Curah Hujan
Kabupaten Lombok Timur beriklim tropis dengan temperatur maksimum
berkisar 31 – 330C dan temperatur minimum berkisar 20 – 250C. Fluktuasi musim
serta curah hujan dalam beberapa tahun terakhir cukup terasa seperti pada tahun
2006 dimana hingga akhir Nopember 2006 juga belum turun hujan. Jumlah hari
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
37
hujan selama tahun 2006 adalah sebanyak 122 hari, dengan rata-rata curah hujan
selama tujuh tahun terakhir. (BPS, 2006)
Tabel 4.1 : Luas Lahan Menurut Penggunaan di Kabupaten Lombok Timur Tahun 2006 (Ha)
Jenis Lahan/Land Type 2002 2003 2004 2005 2006 1 2 3 4 5 6
A. Tanah Sawah/Wetland 1. Sawah Irigasi Teknis 2. Sawah Irigasi Setengah Teknis 3. Sawah Irigasi Sederhana P.U 4. Sawah Irigasi Sederhana Non P.U 5. Sawah Tadah Hujan
45.336 7.837 30.436 2.071 3.763 1.229
44.861 5.542 30.852 2.274 4.947 1.246
45.502 5.542 30.457 2.688 6.271 544
45.583 5.460 30.480 2.676 6.338 629
45.394 4.989 30.786 2.672 6.318 629
B. Tanah Kering 1. Pekarangan 2. Tegal/Kebun 3. Ladang/Huma 4. Padang Rumput/Penggembalaan 5. Sementara Tidak Diusahakan 6. Ditanami Pohon/Hutan Rakyat 7. Hutan Negara 8. Perkebunan 9. Tambak 10. Kolam/Tebat/Empang 11. Lain-lain
115.219 7.935 24.994 6.206 106 - 2.941 55.323 851 858 113 13.892
115.694 7.672 25.041 4.741 1.334 400 4.121 54.342 4.055 982 230 12.776
115.053 7.684 24.520 4.870 1.391 400 4.121 54.342 3.776 1.006 226 12.717
114.972 7.607 23.090 6.147 651 - 3.476 55.928 3.168 2.143 1.168 11.594
115.161 7.424 22.911 6.147 651 20 3.476 55.928 3.165 2.143 1.192 11.704
Jumlah Total 160.555 160.555 160.555 160.555 160.555
Sumber: BPS Kab. Lombok Timur Tahun 2006.
B. Gambaran Lokasi Dampingan
Kecamatan Wanasaba berbatasan dengan :
• Sebelah Barat : Kecamatan Suela dan Pringgabaya
• Sebelah Timur : Kecamatan Aikmel
• Sebelah Utara : Kecamatan Sembalun
• Sebelah Selatan : Kecamatan Labuhan Haji
Luas wilayah kecamatan Wanasaba 55.89Km2. Dengan jumlah penduduk 54.827
jiwa. Tersebar di empat desa yaitu : 1) desa Mamben Daya (8.488 jiwa), 2) desa
Mamben Lauk (16.558 jiwa), 3) desa Wanasaba (13.572 jiwa), dan 4) desa
Karang Baru (16.209 jiwa) (BPS Lombok Timur, 2006). Jumlah ini meningkat
setelah masuknya desa Bebidas dan desa Tembeng putek ke wilayah kec.
Wanasaba. Di mana jumlah penduduk setelah masuknya dua desa ini menjadi
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
38
65.980 jiwa per Desember 2007. Untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel
berikut:
Tabel 4.2 : Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin dan Mata Pencaharian di Sektor Pertanian Kec. Wanasaba Tahun 2007.
Penduduk Petani (Orang) Desa Laki-laki Perempuan Jumlah Pemilik Penggarap Buruh
Tani Jumlah
Karang Baru 5.539 5.364 10.963 1.104 998 368 2.470 Bebidas 4.067 4.429 8.496 1.265 1.179 598 3.042 Mamben Daya 4.881 5.219 10.100 396 542 2.130 3.068 Mamben Lauk 4.911 5.380 10.291 706 534 994 2.234 Tembeng Putek
4.655 5.298 9.953 397 301 603 1.301
Wanasaba 7.757 8.480 16.237 3.329 758 2.925 7.012 Jumlah 31.810 34.170 65.980 7.197 4.312 7.612 19.127
Sumber: KCD Pertanian dan Perkebunan Kec. Wanasaba (2007)
Dari tabel di atas, diketahui bahwa dari 65.980 jiwa penduduk Wanasaba
sebagian besarnya adalah petani (28,99%), sama halnya dengan daerah-daerah
lainnya di Kabupaten Lombok Timur.
Sementara itu, luas penggunaan lahan di Kecamatan Wanasaba dari luas
wilayah kecamatan ini (55.89 Km2) sebagian besarnya adalah lahan kering (3.280
ha). Data lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.3 : Luas Penggunaan Tanah di Kecamatan Wanasaba Kab. Lombok Timur Tahun 2007
Luas Lahan Sawah (Ha) No Desa
Teknis ½ Teknis Sederhana PU Irigasi Desa
Jumlah
1 Karang Baru - 291 - 158 449 2 Bebidas - 280 - 132 412 3 Mamben Daya 75 131 - - 206 4 Mamben Lauk 296 - - - 296 5 Tembeng Putek 210 - - - 210 6 Wanasaba 241 385 - 110 736
Jumlah 822 1.087 - 400 2.309 Sumber: KCD Pertanian dan Perkebunan Kec. Wanasaba (2007)
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
39
Lanjutan:
Luas Lahan Kering (Ha) No Desa
Pekarangan Tegal/Kebun Ladang/Huma Hutan Negara
Lain-lain Jumlah
1 Karang Baru 76 537 226 531 6 1376 2 Bebidas 76 412 391 615 4 1498 3 Mamben Daya 49 - - - 1 50 4 Mamben Lauk 21 10 - - 7 38 5 Tembeng Putek 19 8 - - 3 30 6 Wanasaba 66 121 71 - 30 288
Jumlah 307 1.088 688 1146 51 3.280 Sumber: KCD Pertanian dan Perkebunan Kec. Wanasaba (2007)
C. Kondisi Awal Masyarakat
Kecamatan Wanasaba terdiri dari 6 (Enam) desa. Rata-rata mata pencaharian
penduduk di Kecamatan Wanasaba sebagai petani dan sebagian lainnya tersebar
menjadi PNS, Buruh Tani, TNI, POLRI dan lain-lainnya. Masyarakat Kecamatan
Wanasaba yang bermata pencaharian sebagai petani berusaha meningkatkan
penghasilan mereka melalui pembentukan kelompok tani. Kelompok tani yang
sudah terbentuk ini memiliki anggota yang berkisar dari 20 sampai dengan 470
orang. Namun keberadaan kelompok tersebut seringkali hanya dibentuk untuk
memenuhi persyaratan mendapatkan proyek atau bantuan pemerintah.
Tabel 4.4 : Kelompok Tani Kecamatan Wanasaba dan bantuan yang pernah diterima (tahun 2005)
Luas lahan (Ha) Bantuan yang sdh diterima No
Nama Kelompok
Tanai
Ketua Kelompok
Alamat Jml.
Anggota Sawah
Kering Nama proyek
Jml. Yang diterima
Desa WANASBA 1. Lembak I A. Rosita Brt Orong 205 55 - PPA Jag 48.500.000,- 2. Lembak II Mulayatun S Beaq Lauq 185 55 - PPA Jag 48.500.000,- 3. Lembak III Ir. Supardi Brt Orong 165 50 - - - 4. Lembak IV H. Arifin Orong Bulu 155 58 - - - 5. Papak I Muhtar Adam Beaq Lauq 205 50 - - - 6. Papak II A. Hartini Beaq Lauq 215 52 - - - 7. Papak III Bahrul Munir Beaq Lauq 275 38 - - - 8. Papak IV H. Khaerul Beaq Lauq 200 45 - PKPP 75.000.000,- 9. Songgen I K a r d i Tn. Mira 295 23 75 - - 10. Songgen II Saparudin Tn. Mira 470 23 100 - - 11. Songgen III Mq. Mauhin Bale Ble’ 375 25 100 - -
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
40
12. Tb. Pandan I A. Awaludin Bjr. Getas 280 67 - - - 13. Tb. Pandan II A. Deri Bjr. Getas 305 79 - - - 14. Tb. Pandan III A. Sulaeman Bjr. Getas 220 50 - - - 15. Mt. Teki I A. Muslihin Orong Bulu 230 30 75 - - 16. Mt. Teki II Mq. Amrin Orong Bulu 245 30 75 - -
JUMLAH 3.925 730 425 172.000.000,- Desa MAMBEN DAYA 1. Renga I A. Masrah Renga 52 25.35 15 PPA 48.500.000,- 2. Renga II A. Hazmi Bg. Longgek 80 34 - PPA 48.500.000,- 3. Papak I Syukri Gb. Baret I 60 27.85 12 - - 4. Papak II A. Niraini Gb. Timuk II 61 34.15 - - - 5. Renga III A. Supiati Bg. Longgek 57 27.35 - - - 6. Teruk Girang H. Badaruddin Gb. Baret II 20 18.16 - - - 7. Gelumpang H. Taufik R. Gelumpang 20 18 20 - - 8. Kukusan Parhan Ds. Bembek 20 11 - - -
JUMLAH 380 195.86 47 - 97.000.000,- Desa TEMBENG PUTEK DAN MAMBEN LAUQ 1. Kali Tanggek A. Ruhyan Tembeng Putek 29 17.95 - PPA Jag 48.500.000,- 2. Pioner Jaya A. Ridwan Tembeng Putek 28 20.50 - PPA Jag 48.500.000,- 3. Harapan Baru A. Hasbi Tembeng Putek 25 13.30 - PPA Jag 48.500.000,- 4. Timba Asem H. Asy’ari Tembeng Putek 29 12.08 - PPA Jag 48.500.000,- 5. Taruna Bumi Ruhman Tembeng Putek 27 20.15 - PPA Jag 48.500.000,- 6. Tunas Mekar Murzani Tembeng Putek 29 18.49 - PPA Jag 48.500.000,- 7. Juwet Kesipudin Tembeng Putek 32 13.09 - PPA Jag 48.500.000,- 8. Gelora Prima H. Badarudin Tembeng Putek 67 30.27 - - - 9. Tembeng Putik Mukram Tembeng Putek 74 31.75 - PKPP/
PPA SP 75.000.000,-
300.000.000,- 10. Papak III Bp. Patahan Mamben Lauq 69 30 - - - 11. Papak IV H. Muslihin Mamben Lauq 51 28 - - - 12. Papak V H. Roni Mamben Lauq 69 36 - - - 13. Ladon H. Sanusi Ladon 67 28 34 - - 14. Lengkok H. Yusran Mamben Lauq 99 32 18 - - 15. Ld. Belo H. Muslihun Ld. Belo 70 35 - - - 16. Orong Rantik A. Muslihun Or. Rantik 88 38 10 - -
JUMLAH 853 404.58 62 - 714.500.000,- Desa KARANG BARU 1. Paok Dangka I Mq. Rudi Br. Jarak 178 48 80 - - 2. Paok Dangka II Husen M.BA Bt Rente 176 45 - - - 3. Paok Dangka
III Asminahudin Tampatan 462 30 40 - -
4. Paok Dangka IV
Muhsan P. Dangka 184 45 3 PKPP 75.000.000,-
5. Balung A. Eka Ot. Kebon 256 111 60 - - 6. Ld. Tapen Mq. Saprudin Bt. Jarak 269 62 82 PAT 28.000.000,- 7. Aik Lisung H. Hasan U Aik Lisung 154 28 5 Alsintan 6.000.000,- 8. Bengkung M Zaenudin Tampatan 169 20 26 - -
JUMLAH 1.539 389 296 - 104.000.000,-
. Sumber: KCD Pertanian dan Peternakan kec. Wanasaba (2005)
Pola ketergantungan petani terhadap pemerintah dan pihak pemodal sangat
terasa sekali dalam proses pembentukan kelompok atau kerja konkrit kelompok
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
41
tani di kec. Wanasaba. Hal ini terlihat dari hasil wawancara dengan pihak petani
dan KCD Pertanian kec. Wanasaba berikut:
”Program pemberdayaan atau apapun namanya yang tujuannya untuk meningkatkan taraf hidup petani melalui pengorganisiran massa di Wanasaba ini, sepertinya memiliki kendala tersendiri yaitu petani kita sudah terbiasa dengan pemberian uang dan bantuan. Dan seringkali kebiasaan ini menjadikan banyak program pemerintah ataupun pihak luar (pemerhati dari luar maupun dalam daerah) gagal di tengah jalan.Bahkan kalau kita mau mengumpulkan petani, ada saja yang nyeletuk dengan tanpa sungkan atau malu-malu bertanya, ”Ini ada amplopnya gak?” (Wawancara dengan KCD Pertanian dan Perkebunan Kec. Wanasaba).
Di lain pihak, masyarakat sendiri mengklaim bahwa kebanyakan bantuan
dari pemerintah dan pihak pemodal yang penyalurannya melalui aparatur desa
setempat jarang yang langsung sampai kepada masyarakat.
”Kalau ada bantuan dari pemerintah atau pihak mana pun sebaiknya jangan melalui pihak aparatur desa, sebaiknya kita petani ini langsung diberikan tanpa perantara. Buktinya, waktu jaman pemerintahannya pak Sadir (Bupati yang lama sebelum bupati Pak H. Syahdan) kita langsung diberikan bantuan bibit pohon kelapa, dan sampai sekarang pohon kelapa itu masih berdiri tegak disana (sambil menunjuk pohon kelapa yang ditanam sebagai pembatas sawah (pagar)”.
Kondisi ini membuktikan bahwa: 1) pembentukan kelompok petani di
kecamatan Wanasaba sifatnya masih karena ketergantungan/keterpaksaan
bukannya dibentuk karena kesadaran kolektif mereka, 2) Masih terdapat jurang
pemisah antara pemerintah kecamatan, desa, dan dusun serta masyarakat petani
miskin dalam menangani masalah-masalah pertanian di kecamatan Wanasaba,
dalam artian bahwa belum terjalinnya hubungan yang baik dan
pemahaman/persepsi yang sama terhadap petani dan masalah-masalah kemiskinan
yang dihadapinya.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
42
D. Strategi dan Mekanisme Pemberdayaan
Proses pelaksanaan program kegiatan upaya peningkatan partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan marjinal melalui kaji
tindak pertanian lahan kering berbasis Agrosilvopastural teknik SPB
(Agroforestri) di Kecamatan Wanasaba dilakukan langkah-langkah pelaksanaan
program dengan pendekatan PAR yang dimulai dari: perencanaan program,
implikasi program, implementasi program, evaluasi dan refleksi, sehingga
metodologi PAR diimplementasikan dengan teknis, yaitu: Strategi yang ditempuh
dalam kegiatan pemberdayaan ini menggunakan pendekatan Participatory Action
Research (PAR) yang dirancang secara sistematik, berikut sajian matrik kegiatan
pemberdayaan yang akan dilaksanakan:
Tabel 4.5: Matriks Kegiatan Pemberdayaan pada Siklus Pertama No Tahap-tahap
Kegiatan Strategi Mekanisme
Pelaksanaan Peran Masing-masing
1. Penyusunan/ Perencanaan dengan pihak desa-desa dampingan
Mengadakan mapping isu lokal melalui curah pendapat dengan masyarakat grass root.
• Membuat kesepakatan dengan masyarakat untuk melakukan tindakan berdasarkan isu-isu lokal yang disampaikan masyarakat
• Mengadakan
koordinasi dengan aparat kecamatan dan desa
• LEPPRO NTB: - Mendengarkan dan
mencatat keluhan- keluhan masyarakat berkaitan dengan isu-isu lokal yang disampaikan
- Melakukan kajian
berdasarkan informasi dari masyarakat dan aparat kecamatan/desa
2. Implikasi/ Peninjauan Desa-desa Dampingan
Bersama-sama masyarakat melakukan langkah-langkah strategis untuk mencari solusi dari masalah yang dihadapi
• Mendampingi masyarakat dalam mengoperasionalkan langkah-langkah yang telah disepakati
• Mengidentifikasi
temuan: Kelemahan
• LEPPRO NTB : - Menfasilitasi akses
masyarakat kepada pihak-pihak terkait seperti dinas Pertanian dan peternakan, dinas Kehutanan dan Perkebunan tingkat kabupaten dan kecamatan.
- Mengidentifikasi
kondisi awal
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
43
dan kelebihan program dampingan
mengenai masalah yang dihadapi masyarakat.
- Menyiapkan administrasi program, keperluan logistik, dan memaparkan hasil identifikasi awal berdasarkan hasil observasi/survey.
• Tokoh-tokoh lokal Merancang tindakan strategis sebagai solusi dengan membentuk kelompok-kelompok di tiap-tiap dusun
3. Pelaksanaan program pendampingan
Bersama-sama masyarakat melakukan Program dampingan yang sudah disepakati
• Mendorong masyarakat petani untuk memaparkan masalah yang dihadapi dan ditemukan secara berkelompok di setiap desa
• Menemukan solusi
untuk dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi.
• Bersama-sama untuk mulai melaksanakan program/solusi yang ditemukan.
• LEPPRO NTB: Menyiapkan administrasi program, keperluan logistik, dan memaparkan rancangan pengembangan program. • Tokoh-tokoh lokal: - Menyampaikan hasil temuan dan melakukan tindakan sebagai solusi dengan membentuk kelompok-kelompok di setiap desa dan dusun
- Kalau kelompok tani sudah terbentuk di setiap desa dan dusun, perlu dilakukan penguatan organisasi melalui diskusi kelompok dan sosialisasi program dampingan.
4. Evaluasi Bersama-sama masyarakat desa/dusun untuk melakukan diskusi hasil yang telah dicapai
• Pemaparan hasil dari program yang sudah dilaksanakan
• LEPPRO NTB: - Menyiapkan administrasi program, keperluan logistik, dan memaparkan hasil dan hal-hal yang sudah dicapai dari program yang telah dilaksanakan.
- Bersama-sama masyarakat mengevaluasi hasil
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
44
program yang telah dilaksanakan.
5. Refleksi Diskusi • Mendiskusikan kembali program-program yang telah dicapai oleh masyarakat di setiap desa/dusunnya
• LEPPRO NTB: Mengidentifikasi hasil evaluasi sebagai bahan masukan untuk siklus pendampingan berikutnya. • Tokoh-tokoh lokal: Membuat usulan langkah selanjutnya yang didiskusikan bersama LEPPRO NTB.
Tabel 4.6: Matriks Kegiatan Pemberdayaan pada Siklus Kedua No Tahap-tahap
Kegiatan Strategi Mekanisme
Pelaksanaan Peran Masing-masing
1. Penyusunan/ Perencanaan dengan pihak desa-desa dampingan
Mengadakan curah pendapat untuk pendalaman-refleksi hasil dampingan pada siklus pertama
• Membuat kesepakatan dengan masyarakat untuk melakukan tindakan berdasarkan hasil dampingan pada siklus pertama
• LEPPRO NTB: - Mengoperasionalkan
hasil refleksi tersebut ke dalam langkah-langkah yang konkrit.
2. Implikasi Bersama-sama
masyarakat menyepakati pelaksanaan program penghijauan yang dilakukan oleh organisasi pemuda yang tersebar di kabupaten Lombok Timur dan masyarakat desa setempat. Hal ini adalah tahapan pertama dari pelaksanaan program Agroforestri.
• Penyamaan persepsi tentang pelaksanaan program penghijauan menuju kepada pengelolaan lahan kering berbasis Agrosilvopastural dengan teknik SPB (Agroforestri)
• Mengidentifikasi
temuan: Kelemahan dan kelebihan program dampingan
• LEPPRO NTB : - Menfasilitasi akses
masyarakat kepada pihak-pihak terkait seperti dinas Pertanian dan peternakan, dinas Kehutanan dan Perkebunan tingkat kabupaten dan kecamatan.
- Mengidentifikasi
permasalahan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan program penghijauan menuju kepada pengelolaan lahan kering berbasis Agrosilvopastural dengan teknik SPB (Agroforestri) yang telah disepakati.
• Tokoh-tokoh lokal Memberikan dukungan terhadap program penghijauan di lahan
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
45
kering atau program pertanian lahan kering berbasis Agrosilvopastural.
3. Pelaksanaan program pendampingan
- Melakukan pelatihan dan penyuluhan dalam rangka memperkuat organisasi (kelompok tani) mengenai program Agrosilvopastural.
- Menggalang partisipasi seluruh organisasi pemuda di kabupaten Lombok Timur dalam upaya membantu masyarakat dalam program penghijauan
• Bersama-sama masyarakat menyiapkan fasilitas pelatihan dan penyuluhan bagi organisasi (kelompok tani)
• Berdiskusi dengan
masyarakat mengenai syarat-syarat keberlangsungan program (sustainability) yang dibentuk.
• Menyiapkan program
aksi sejenis kemah bhakti pemuda se-Lombok Timur, dengan lokasi di setiap desa/dusun lokasi dampingan
• LEPPRO NTB: Menyiapkan fasilitas pelatihan (training) dan penyuluhan pengelolaan lahan kering berbasis Agrosilvopastural dengan teknik SPB (Agroforestri) Berkoordinasi dengan dinas Pertanian dan Peternakan, dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk mengupayakan bibit pohon dan hewan ternak. Memberikan pencerahan kepada seluruh organisasi pemuda di kabupaten Lombok Timur agar bersedia berpartisipasi dalam program. • Tokoh-tokoh lokal: Melakukan sharing dengan dinas terkait berdasarkan pengalaman dan masalah-masalah yang telah dihadapi.
4. Evaluasi Bersama-sama masyarakat desa/dusun untuk melakukan diskusi hasil yang telah dicapai
• Pemaparan hasil dari program yang sudah dilaksanakan
• LEPPRO NTB: - Menyiapkan administrasi program, keperluan logistik, dan memaparkan hasil dan hal-hal yang sudah dicapai dari program yang telah dilaksanakan.
- Bersama-sama masyarakat mengevaluasi hasil program yang telah dilaksanakan.
5. Refleksi Diskusi • Mendiskusikan kembali program-program yang telah dicapai oleh
• LEPPRO NTB: Mengidentifikasi hasil evaluasi sebagai bahan masukan untuk siklus
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
46
masyarakat di setiap desa/dusunnya
pendampingan berikutnya. • Tokoh-tokoh lokal: Membuat usulan langkah selanjutnya yang didiskusikan bersama LEPPRO NTB.
E. Monitoring dan Evaluasi (MONEV) Kegiatan Pemberdayaan
Pemantauan (monitoring) pelaksanaan kegiatan pemberdayaan petani miskin
di lahan marginal melalui kaji tindak agrobisnis pertanian lahan kering berbasis
agrosilvopastural teknik SPB (agroforestri) di kecamatan Wanasaba oleh
LEPPRO NTB, sebagai berikut:
1. Monitoring
Pelaksanaan pemantauan pada setiap pokok dan tahap kegiatan, alat
pemantauan berupa lembar observasi yang sudah disiapkan, hal itu untuk
diperbaiki.
2. Pihak-pihak yang terlibat
Pihak-pihak yang terlibat dalam pemantauan adalah Penanggung Jawab
Kegiatan, Ketua Tim Pendampingan LEPPRO NTB, bersama stakeholders,
yang didampingi oleh setiap Kepala Desa/Dusun di Kecamatan Wanasaba.
F. Hasil Yang Diharapkan Dalam Kegiatan Pemberdayaan
Pencapaian target pelaksanaan program kegiatan pendampingan
masyarakat petani miskin di lahan marjinal berkisar pada pemberdayaan
masyarakat yang mendasarkan input (masukan) dari masyarakat yang didampingi,
yakni kemampuan masyarakat desa yang didampingi untuk memiliki kesadaran
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
47
kritis berdasarkan kesadaran sendiri. Namun demikian, ada beberapa hal yang
diharapkan dapat tercapai (terukur) dalam program ini, yaitu:
1. Peningkatan kemandirian dan kinerja kelompok petani
Orientasi masyarakat petani di lahan kering mulai berubah, petani mulai
menyadari perlunya ikut terlibat dalam transformasi sosial di lingkungannya.
Indikasinya, masyarakat petani berinisiatif membentuk tim (kelompok) dan
embrio lembaga khusus yang bertanggung jawab merancang dan melakukan
kegiatan bersama dengan masyarakat lainnya. Masyarakat mulai melakukan
proses internalisasi kapasitas masyarakat dengan membentuk simpul-simpul
organisasi rakyat/Kelompok Tani (OR/POKTAN) di masing-masing dusun
yang diinisiasi oleh pemuda dan orang tua.
Pembentukan kelompok tani didasarkan atas kesadaran mandiri dan
swadaya masyarakat yang bertujuan untuk mengefektifkan pelaksanaan
program dan transformasi informasi.
2. Penguatan misi transformasi sosial masyarakat petani
Pihak petani di lahan kering mulai terbuka untuk melakukan interaksi
sosial dan melakukan kegiatan-kegiatan bersama dengan masyarakat desa
lainnya. Beberapa tokoh masyarakat sudah bersedia membuka diri untuk
berdialog dengan masyarakatnya, sehingga petani dengan kapasitas mereka
sudah membentuk suatu aturan dan kepastian aturan dalam penetapan
hukuman maupun sanksi bila terjadi pelanggaran terutama dalam penggunaan
air irigasi.
Pihak petani mulai menyadari pentingnya pembenahan dan konsolidasi
internal, baik menyangkut kelembagaan, ketenagaan, kontekstualisasi, strategi
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
48
dalam pemeliharaan lahan sesuai denganb permasalahan yang dihadapi pada
berbagai tingkat, mulai dari tingkat RT, dusun, maupun desa. Dari kelompok
tani yang sudah terbina, sudah mulai berinisiatif untuk outsourcing dan
menjalin kerjasama dengan berbagai pihak dalam rangka mengembangkan
kegiatan mereka.
Petani di lahan marginal mulai menyadari bahwa untuk meningkatkan
kesejahteraan kolektif masyarakat petani, syarat utama yang dibutuhkan
adalah kejujuran. Hal ini disampaikan oleh salah seorang petani warga
masyarakat dusun Teqi Desa Wanasaba yang mengatatakan:
”Mun te mele maju dait berhasil pegawean te jaq, harus te jujur leq segala hal. Soalne masyarakat si teparan bodo sine ndek ne ngelekakin kecuali dengan pendateng si maran dirikne pinter. Sekali te ngelekakin leq masyarakat, sampai seterusne ndek ne arak si matik ite. Mudi te bicara masalah kepeng si penting kepercayaan sino juluq”. (Kalau kita mau maju dan berhasil pekerjaan yang kita lakukan, kita harus jujur dalam segala hal. Soalnya masyarakat yang dikatakan bodoh ini tidak pernah berbohong kecuali para pendatang yang mengakatan dirinya pintar. Sekali kita berbohong di masyarakat, sampai seterusnya tidak ada yang mempercayai kita. Pembiacaraan mengenai uang adalah masalah belakang yang penting kepercayaan itu dikedepankan”). Apa yang disampaikan oleh petani di atas, tentunya berangkat dari
pengalaman-pengalaman dan masalah-masalah yang dihadapi selama ini. Di
mana masyarakat petani merasa selalu dibohongi dan tidak diberikan ruang
kepercayaan untuk mengakses modal yang mereka butuhkan untuk
meningkatkan hasil usaha mereka. Masyarakat petani tidak dipercaya untuk
meminjam modal di lembaga-lembaga keuangan karena mereka selalu dilihat
sebelah mata oleh para pemilik modal atau pengelola keuangan tersebut.
Mereka tidak dipercaya mampu mengembalikan modal yang telah dipinjam,
karena penghasilan mereka tergantung sekali dari lahan yang mereka garap.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
49
Kelompok tani dengan adanya instansi pemerintah bidang pertanian di
setiap kecamatan seperti KCD Pertanian dan Kehutanan, diharapkan menjadi
lembaga satu-satunya yang mampu memberikan bantuan, baik dalam bentuk
permodalan, penyuluhan dan program-program kerja pemerintah dengan
mekanisme yang transparan dan berpihak kepada petani.
Kenyataan ini menumbuhkan kesadaran kritis petani yang pada tataran
praksisnya mereka mengharapkan terbentuknya koperasi tani yang aspiratif,
didirikan dan dikelola dari dan oleh masyarakat petani itu sendiri. Selain itu
mereka juga meyakini bahwa dengan adanya koperasi yang dikelola oleh
orang-orang yang mereka percayai akan dapat meningkatkan ekonomi
masyarakat karena dikelola secara transparan dan akuntabel serta mudah
diakses oleh semua lapisan masyarakat (multilevel).
Bagi mereka, lebih baik bekerja dengan modal kecil tetapi milik sendiri
daripada modal besar yang diperoleh melalui pinjaman yang akan
menyengsarakan mereka. Kesadaran ini tumbuh sebagai hasil curah pendapat
sebagai repleksi pengalaman-pengalaman pahit yang dialami selam ini, tidak
ada proteksi harga pasar bagi hasil produksi pertanian.
3. Penguatan jejaring kerja (networking) dan aliansi strategis antar masyarakat petani
Jejaring kerja (networking) masyarakat petani Wanasaba kecamatan
Wanasaba dengan masyarakat petani lainnya maupun dengan instansi dan
lembaga terkait lainnya dirasakan masih sangat lemah, karena lokasi daerah
terpencil dan jauh dari keramaian kota. Komunikasi yang terjalin dengan
pihak instansi yang terkait selama ini masih terbatas pada rutinitas semata,
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
50
belum melahirkan sebuah sinergi yang mutualistik yang sangat diperlukan
untuk memperkuat bangunan infrastruktur dan suprastruktur desa Wanasaba.
Networking yang dibangun masyarakat melalui tokoh-tokoh simpul
kelompok-kelompok tani dengan institusi di luar masyarakat dihadapkan pada
persoalan kepercayaan masyarakat kepada pihak-pihak yang diajak
bekerjasama. Persoalan ini muncul karena memang selama ini masyarakat
hanya dijadikan objek program yang memiliki misi-misi tertentu. Secara kritis
sebenarnya menunjukkan adanya kelemahan sistem yang selama ini dibangun,
partisipasi dan kreativitas masyarakat dibelenggu oleh pangsa pasar yang
sudah dimainkan oleh para pemilik modal yang terus membelenggu petani
sebagai pekerja dan penonton.
4. Terwujudnya pertanian lahan kering berbasis agrosilvopastural
dengan teknik SPB (Sistem Pertanian Berkelanjutan_agroforestri)
Sebagaimana telah diuraikan dalam bab sebelumnya, agroforestry atau
sering diindonesiakan menjadi ‘wanatani’ atau ‘agroforestri’ hanyalah sebuah
istilah kolektif (collective term) dari berbagai bentuk pemanfaatan lahan
terpadu (kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan) yang ada di berbagai
tempat di belahan bumi, tidak terkecuali yang dapat dijumpai di negara-negara
berkembang wilayah tropis sebagaimana di Indonesia. Pemanfaatan lahan
tersebut secara tradisional telah dikembangkan/dipelihara oleh masyarakat
lokal (local communities) atau diperkenalkan dalam tiga dasawarsa terakhir ini
oleh berbagai pihak, baik instansi pemerintah (instansi sektoral seperti
Departemen Kehutanan, Departemen Pertanian beserta dinas-dinas
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
51
terkaitnya), lembaga penelitian (nasional dan internasional), perguruan tinggi,
ataupun lembaga swadaya masyarakat (LSM)/organisasi non-pemerintah
(non-governmental organizations). Di Wanasaba, tepatnya di dusun montong
Teqi Kecamatan Wanasaba bentuk agroforestri yang dicobakan dapat
diklasifikasikan menjadi Agrosilvopastural.
Telah dijelaskan bahwa sistem-sistem agrosilvopastura adalah
pengkombinasian komponen berkayu (kehutanan) dengan pertanian
(semusim) dan sekaligus peternakan/binatang pada unit manajemen lahan
yang sama.
Tegakan hutan alam bukan merupakan sistem agrosilvopastura,
walaupun ketiga komponen pendukungnya juga bisa dijumpai dalam
ekosistem dimaksud. Pengkombinasian dalam agrosilvopastura dilakukan
secara terencana untuk mengoptimalkan fungsi produksi dan jasa (khususnya
komponen berkayu/kehutanan) kepada manusia/masyarakat (to serve people).
Tidak tertutup kemungkinan bahwa kombinasi dimaksud juga didukung
oleh permudaan alam dan satwa liar. Interaksi komponen agroforetri secara
alami ini mudah diidentifikasi. Interaksi paling sederhana sebagai contoh,
adalah peranan tegakan bagi penyediaan pakan satwa liar (a.l. buah-buahan
untuk berbagai jenis burung), dan sebaliknya fungsi satwa liar bagi proses
penyerbukan atau regenerasi tegakan, serta sumber protein hewani bagi petani
pemilik lahan. Gambar di bawah ini merupakan kondisi yang diharapkan
untuk waktu lima tahun ke depan di lokasi pemberdayaan.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
52
Gambar 4.1 : Pohon Mahoni yang ditanam di pematang sawah di antara tanaman ubi kayu atau tanaman semusim. (plot gambar pemberdayaan di dusun Montong Teqi desa Wanasaba Kecamatan Wanasaba)
Program ini diyakini akan terwujud, karena lokasi pemberdayaan
mendukung adanya program penanaman pohon, di lahan seluas 3 hektar di
dusun Motong Teqi 1 terdapat saluran air PDAM yang bisa digunakan untuk
mengairi pepohonan yang ditanam oleh masyarakat. Selain itu, petani di dusun
Montong Teqi juga telah memahami maksud dari program yang dijalankan
sehingga mereka antusias melakukan penanaman pohon di pematang sawah
(lahan kering) yang mereka garap.
G. Analisis Dampak Program
1. Dampak Bagi LEPPRO NTB
a. Bahan kajian dalam menyiapkan pendidikan bagi masyarakat lahan
marginal (kering), sebagai konsekuensi perubahan paradigma
berpikir masyarakat dalam mengelola lahan kering. Fenomena
pendidikan di masyarakat kita saat ini sangat memperihatin-kan,
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
53
khususnya di Desa Wanasaba. Hal ini disebabkan pandangan
masyarakat lahan marginal tentang pendidikan sangat mahal dan
harus segera dicarikan solusi/pemecahannya. LEPPRO NTB
sebagai salah satu LSM/NGO pemuda di Kabopaten Lombok
Timur memiliki peran yang cukup strategis dalam pengembangan
pendidikan yang murah dan bisa diakses oleh lapisan masyarakat.
Menyiapkan pendidikan yang mampu menjawab fenomena
masyarakat secara kekinian tentu tidaklah semudah jika dasar
pendekatannya tidak ada, program pengembangan partisipasi
masyarakat melalui metodologi PAR yang dilakukan LEPPRO NTB
tetah banyak memberikan kontribusi perubahan berpikir masyarakt
di Desa Wanasaba. Perubahan yang nampak terlihat misalnya
masyarakat mulai memahami pentingnya rasa kebersamaan yang
dilihat dari adanya kelompok-kelompok tani dan pemuda di internal
mereka.
b. Memperkuat peran LEPPRO NTB dalam pemberdaan petani di lahan
kering (marginal).
c. Menambah bahan kepustakaan LEPPRO NTB dalam pengembangan
pendidikan di masyarakat secara langsung.
2. Dampak Bagi Pihak Petani di Lahan Marginal
a. Implementasi peran dan fungsi LSM/NGO dalam memberdayakan
petani guna mengemban tanggung jawab sosial dan kemanusiaan.
b. Terbentuknya kelompok masyarakat yang peduli terhadap
pengelolaan sumber daya pertanian dilahan marginal.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
54
c. Menumbuhkembangkan kesadaran kritis petani di lahan marginal
akan pentingnya kemandirian (self reliance) dalam peningkatan
kesejahteraan sosial dan ekonomi melalui program pertanian yang
berkelanjutan (teknik SPB) dengan pola agrosylvopastural.
d. Mendapatkan informasi dan sumbangsih pemikiran dalam
penataan tingkat kesejahteraan petani di lahan marginal.
3. Dampak Bagi Pemerintah Daerah (Pemegang Kebijakan)
a. Menganalisis sistem dan dinamika budaya masyarakat petani dilahan
marginal, dan mengkaji permasalahan pembangunan dari sudut
pandang sosial-budaya dalam pembangunan pertanian yang
berkelanjutan..
b. Membantu dan berperan serta dalam pemberdayaan masyarakat
petani di lahan marginal baik secara langsung maupun tidak langsung.
c. Memberikan masukan secara kritis terhadap kondisi masyarakat
yang multietnik dan multikultural dalam menyelesaikan
permasalahan yang terjadi pada masyarakat petani di lahan marginal.
d. Melahirkan kebijakan/peraturan yang pro atau berpihak pada
masyarakat bawah (gross rooth) dengan melalui pendekatan bottom
up secara partisipatif.
H. Analisis Keberlangsungan Program
1. Analisis Ketercapaian Program
Kegiatan pemberdayaan petani miskin di lahan margina melalui
kaji tindak agrobisnis pertanian lahan kering berbasis
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
55
agrosylvopastural teknik SPB yang dilaksanakan oleh LEPPRO NTB
dengan pendekatan partisipatory action research (PAR) telah
ditetapkan sebagai target ketercapaian program. Untuk dapat diketahui
keberhasilan program pemberdayaan masyarakat desa dengan pendekatan
PAR pada fase pertama ini dapat dianalisis berdasarkan matrik indikator
ketercapaian program sebagai berikut:
Tabel 4 Matrik Indikator Kinerja
No. Program
Pemberdayaan Tujuan
Program Indikator Kinerja
Fasilitator Dampak
1. Kesadaran Masyarakat
a. Masyarakat petani miskin di lahan kering memiliki kesadaran untuk merubah taraf hidupnya melalui produksi pertanian di lahan kering.
b. Masyarakat
dengan kesadaran kolektif menjadikan pola agrosylvopastural sebagai acuan dalam pengelolaan lahan kering
a. Terbentuknya kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki kesadaran kritis.
b. Masyarakat
mulai memahami dan melaksanakan pertanian dengan sistem agrosylvopastural teknik sistem pertanian berkelanjutan (SPB)
a. LEPPRO NTB dan stakeholders.
b. LEPPRO
NTB, stakeholder, Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT, Ketua kelompok tani
a. Tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk meningkatkan taraf hidup mereka
b. Adanya produk
pertanian yang diunggulkan dengan memanfaatkan sistem agrosylvopastural.
2. Keterlibatan Tokoh masyarakat (TOMA)
a. TOMA menyadari dan mendukung upaya pengembangan ekonomi masyarakat petani miskin di lahan marginal
b. TOMA berperan
aktif untuk mempengaruhi PEMDA dalam membuat kebijakan yang mendukung pengembangan ekonomi masyarakat petani miskin di lahan marginal.
a. TOMA terlibat secara langsung, sumbangan pemikiran dalam upaya peningkatan ekonomi petani miskin di lahan marginal.
b. TOMA terlibat
langsung dalam merumuskan langkah-langkah pemberdayaan ekonomi masyarakat petani miskin di lahan marginal.
a. LEPPRO NTB, stakeholders, Kepala Desa, Kepala Dusun, Ketua RT.
b. LEPPRO
NTB, dan TOMA
a. Melakukan pendekatan persuasif dalam membangun kesadaran kritis Petani miskin di lahan marginal.
b. Melakukan
pendekatan persuasif dalam membangun kesadaran kritis masyarakat petani miskin di lahan marginal
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
56
Dari matrik indikator kinerja di atas, dapat diketahui
ketercapaian program yang dapat dirincikan sebagai berikut :
Tabel 5 Matrik Indikator Ketercapaian Program
Tujuan
Program Indikator Kinerja
Indikator Ketercapaian
Lembaga Pendamping
⇒ Membangun Kerjasama dengan Pemerintah Daerah, NGO, Kepala Desa, Kepala Dusun, Tokoh Masyarakat, kelompok tani
⇒ Pemberdayaan
masyarakat petani miskin di lahan marginal bersama dengan TOMA dan aparat terkait.
⇒ Terselenggaranya pertemuan formal maupun nonformal membahas bentuk program pemberdayaan.
⇒ Disepakatinya
program pendampingan yang didukung oleh semua pihak yang terlibat dalam masyarakat
⇒ Peninjauan kembali
program yang telah dilaksanakan oleh pihak pemerintah, dengan mengidentifikasi temuan, kelemahan, dan kelebihan program pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal.
⇒ Adanya pengembangan program pendampingan bersama masyarakat petani miskin di lahan marginal melalui curah pendapat (Brainstorming)
⇒ Evaluasi
pelaksanaan program pemberdayaan dan refleksi program.
⇒ Adanya kesepakatan antara pendampingan dengan yang akan didampingi.
⇒ Teridentifikasinya
kelemahan dan kelebihan program kebijakan pemerintah sebelum program
⇒ Tersusunnya
desain pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal oleh LEPPRO NTB, yaitu : a. Kerangka
pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal
b. Fasilitator pendamping
c. Sasaran pemberdayaan
d. Proses pelaksanaan pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal.
e. Evaluasi pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat petani miskin di lahan marginal.
⇒ Tersusunya hasil program pemberdayaan bagi masyarakat petani miskin di lahan marginal
⇒ LEPPRO NTB ⇒ LEPPRO NTB ⇒ LEPPRO NTB, Kepala
Desa Wanasaba, Semua Kepala Dusun, Ketua RT, TOMA dan kelompok tani.
Berdasarkan matrik di atas, program pemberdayaan masyarakat
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
57
petani miskin di lahan marginal melalui sistem agrosylvopastural
teknik SPB dapat dirumuskan, yaitu: (1) Adanya kesepakatan antara
pendamping dengan yang akan didampingi; (2) Teridentifikasinya
kelemahan dan kelebihan program kebijakan pemerintah sebelum
pendampingan dilaksanakan; (3) Tersusunnya desain pemberdayaan
masyarakat petani miskin di lahan marginal sebagai daerah binaan
LEPPRO NTB, dengan mengacu pada kerangka pemberdayaan
masyarakat desa binaan; fasilitator pendamping; sasaran; proses
pelaksanaan, dan evaluasi pelaksanaan program, dan (4) tersusunnya
hasil program pemberdayaan bagi masyarakat petani miskin di lahan
marginal.
2. Analisis Terhadap Dampak Program Pemberdayaan
a. Dampak Bagi LEPPRO NTB atau LSM/NGO lainnya.
1. Memperkuat hubungan (mitra) antara LSM/NGO-masyarakat
pemerintah dalam mengembangkan fungsi dan tanggung jawab
sosial dan kemanusiaan.
2. Mengembangkan kesadaran kritis bagi masyarakat petani miskin di
lahan marginal sebagai konsekuensi perubahan sosial (sociol
change) dalam menghadapi persaingan regional dan global serta
memperkuat kemampuan masyarakat petani miskin di lahan
marginal dalarn menganalisis setiap kebijakan/peraturan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan mereka atau bahkan dapat merugikan
kehidupan mereka dalam jangka panjang.
3. Mempersiapkan diri sebagai lembaga swadaya dan kepemudaan
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
58
yang peka, teliti, dan menjadi sumber inspirasi-mediasi-aksi
masyarakat petani dalam mengembangkan pendidikan secara
partisipatif.
4. Memberikan solusi untuk mengatasi masalah yang dihadapi oleh
masyarakat petani dan sebagai sumbangsih pemikiran dan tanggung
jawab LSM/NGO dalam rangka ikut serta memperlancar proses
pembangunan di daerah.
b. Dampak Bagi Masyarakat
1. Meningkatkan kesadaran krisis masyarakat petani baik dalam
sistem budaya, sosial, politik, ekonomi, dan lain-lainnya.
2. Menganalisis secara kritis dan mengkaji permasalahan pembangunan
dari sudut pandang petani secara langsung atas
kebijakan/peraturan dalam pembangunan yang dilaksanakan oleh
pemerintah daerah (Pemda).
3. Timbulnya rasa memiliki (sense of belonging) masyarakat petani
dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang ada.
4. Berperan serta secara langsung dalam memberdayakan diri mereka
sendiri untuk mengatasi masalah yang dihadapi dengan
mengembangkan potensi yang dimiliki.
5. Mampu mienyampaikan permasalahan yang dihadapi dan dengan
sikap kritis berupaya mencari solusi dari permasalahan tersebut.
c. Dampak Bagi Pemerintah daerah dan Instansi Terkait
1. Kemampuan mempredikasi jumlah kebutuhan petani miskin di
lahan marginal dalam kegiatan pembangunan; baik struktur
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
59
maupun nonstruktur yang langsung menyentuh kepada sasaran.
2. Mengurangi tingginya angka pengangguran, angka kemiskinan dan
menghindari tingginya konflik sosial akibat kemiskinan, rendahnya
SDM, dan memetakan garis kebijakan yang lebih berorientasi
pada permasalahan konkrit yang dihadapi petani di lahan marginal.
3. Mengurangi diskriminasi atau ketimpangan sosial (social
difference) yang berkembang dalam masyarakat dan mengakomodir
serta memfasilitasi masyarakat sesuai dengan hak dan kewajiban
mereka.
4. Menumbuhkembangkan nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya
dalam masyarakat tanpa menghilangkan identitas mereka dengan
melestarikan nilai-nilai kelokalan atau kearifan lokal yang ada dan
memberikan ruang kepada masyarakat untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri secara bersama-sama.
5. Memberikan informasi yang memadai bagi pemerintah sebagai
dasar untuk membuat kebijakan yang langsung menyentuh
kepentingan rakyat kecil.
3. Analisis Terhadap Kemungkinan dan Tindak Lanjut
Program pemberdayaan petani miskin di lahan marginal Desa
Wanasaba kecamatan Wanasaba memerlukan keterlibatan semua pihak
secara khusus dan serius, program pemberdayaan dengan pendekatan
PAR sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah yang dihadapi
oleh petani.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
60
Oleh karena itu ada beberapa analisis yang dapat dilakukan
selama program pemberdayaan ini berjalan, yaitu:
a. Desa Wanasaba yang menjadi sasaran pemberdayaan, jika dilihat dari
letak dan kondisi geografisnya sangat strategis namun tidak ditunjang
oleh SDM yang memadai dalam hal pengelolaan lahan kering , hal
ini berdampak terhadap kestabilan ekonomi masyarakat. Berdasarkan
pengakuan mereka, ada kalanya hasil pertanian begitu terasa, tapi
pada waktu lain (terutama di musim kemarau) kadang-kadang sedikit
bahkan tidak ada sama sekali. Realitas ini tidak disikapi secara positif
dengan memanage lahan pertanian dengan teknik yang sesuai dengan
kondisi lahan. Oleh karena itu pertanian dengan sistem
agrosylvopastural yang dilaksanakan dapat merubah kondisi
bercocok, keberadaan air tanah begitu diperlukan. Untuk itu,
penanaman pohon di sekitar areal pertanian menjadikan lahan kering yang
mereka garap lebih menghasilkan daripada sebelumnya.
b. Adanya kecenderungan sikap aparat yang tidak berpihak kepada
petani, sehingga masalah yang dihadapi masyarakat seringkali
dijadikan komoditas untuk mendapatkan keuntungan sendiri oleh
pihak-pihak tertentu dan tidak pernah langsung menyentuh
kepentingan masyarakat apalagi mencari solusi konkrit yang dapat
melepaskan petani dari permasalahan yang dihadapi. Seperti diakui
oleh mereka bahwa bantuan seperti proyek dan bantuan peralatan
hanya sampai kepada aparat desa atau keluarga dekat aparat desa
setempat.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
61
c. Posisi tawar petani di Desa Wanasaba rendah dalam hal penentuan harga
jual serta akses pemasaran yang kurang, sehingga dalam kesehariannya
kerapkali pembeli menentukan harga dan petani terpaksa menerima,
karena kalau tidak diterima, mereka tidak dapat menyambung hidupnya,
apalagi dengan harga bahan pokok sekarang ini yang begitu mahal.
d. Selama ini ada upaya peningkatan ekonomi petani melalui program-
program pertanian. Tapi yang menjadi masalah adalah kurang adanya
pemerataan bagi seluruh petani. Petani di lahan marginal seolah
tidak mempunyai peluang untuk memproduksi hasil pertanian di
lahan yang mereka garap, karena ketidakpercayaan pihak-pihak
tertentu terhadap kinerja dan hasil yang akan dihasilkan oleh lahan
kering.
Oleh karena itu, LEPPRO NTB berkomitmen untuk memberdayakan
masyarakat desa dengan prinsip tanggung jawab sosial, moral, dan
kemanusiaan kepada masyarakat mengupayakan pendampingan serta
pemberdayaan masyarakat Desa Wanasaba pada pengembangan sistem
perekonomian mereka melalui sistem pertanian lahan kering berbasis
agrosylvopastural, hal ini dilakukan karena perekonomian dan sistem
perekonomian menjadi "penyambung nyawa" dan "tulang punggung"
serta "penentu" kehidupan masyarakat desa di Wanasaba.
4. Implikasi Teoretis
Pendampingan yang dilakukan LEPPRO NTB di masyarakat petani
miskin di lahan marginal di desa Wanasaba, dilandaskan kepada konsep
Paulo Freire (1921-1997) tentang pendidikan yang membebaskan. Bagi
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
62
Freire, pendidikan merupakan cara untuk melakukan perubahan sosial,
kultural, politik, dan ekonomi secara fundamental (transformasi sosial).
Dengan kata lain, apa yang dilakukan LEPPRO NTB pada petani miskin di
lahan marginal di desa Wanasaba, dimaksudkan untuk membangun
kesadaran kritis individu dan kolektif terhadap masalah keadilan sosial,
dan menguatkan masing-masing individu untuk berjuang merubahnya.
Dalam konteks ini, tindakan (action) yang dilakukan merupakan
serangkaian proses memahami tatanan kehidupan secara kritis ( voluntary
participant in process). Dimana peneliti dan masyarakat setara, peneliti
membantu masyarakat dalam menghadapi kemapanan sosial (status quo).
Evaluasi diarahkan pada perubahan cara pandang, tanggungjawab dan peran
individu-individu terhadap proses transformasi sosial. Untuk itu, penggunaan
metode yang tepat, akan memberi dampak yang menentukan, dalam kaitan
ini LEPPRO NTB secara teoretis menggabungkan beberapa metode yang relevan,
yakni: Teory kritis, riset kritis dan refleksi, terhadap masalah (problem
possing), serta analysa sosial.
Konsep pendidikan yang membebaskan sebagai esesnsi kehadiran
LEPPRO NTB di desa Wanasaba, mengharuskan peneliti memiliki keyakinan
bahwa ketidakadilan sosial adalah diciptakan (constructed) dan karenanya
dapat diubah, keberpihakan dan keretaan untuk berbuat (commitment) demi
perbaikan keadaan kehidupan kelompok dhuafa' dan terdzolimi,
berkeyakinan bahwa rakyat dalam dirinya memiliki pengetahuan yang
berguna dan mereka dapat bekerja untuk memecahkan problem mereka
sendiri, dan berpegang pada proses kesadaran kritis rakyat untuk mampu
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
63
dan berani menyatakan diri mereka sendiri, membuat visi alternatif untuk
perjuangan hidup mereka kedepan.
Oleh karena itu keteguhan pada prinsip-prinsip yang selalu
diacu LEPPRO NTB dalam setiap program pendampingan masyarakat
yang dilakukan, akan selalu menjadi komitmen peneliti. Prinsip yang
dimaksud adalah berpegang pada strategi memperlengkapi rakyat
untuk merumuskan perjuangan mereka sendiri dan membuat suara mereka
menjadi terdengar, berorientasi "peningkatan kesadaran kritis" rakyat
untuk mengorganisir diri, dari proses pengorganisasian yang hanya untuk
lingkup tunggal dan terbatas (singgle event) kepada pengorganisasian
yang lebih luas untuk melakukan tindakan bersama demi keadilan, dan
memiliki visi membangun gerakan transformasi sosial.
Untuk itu, para peneliti yang terjun ke lapangan bersama petani di
lahan kering telah dilengkapi keterampilan yang diperlukan, di antaranya:
teknik analisa sosial struktural dan conjunctural (structural & conjunctral
analyses), Teknik pemetaan sosial dan kawasan (social, geographical Et
ecological mapping), Teknik komunikasi kemanusiaan ( hut-non
communication skill), Teknik fasilitasi belajar orang dewasa (adult
learning facilitation), Teknik Agrobisnis lahan kering dan Teknik
advokasi (advocacy).
Akhirnya peneliti sebagai Pendidik Masyarakat harus secara
internal selalu melakukan refleksi kritis, mempertanyakan, apakah telah
terjadi perubahan sosial? Kearah mana perubahan sosial terjadi?
Mengapa perubahan itu terjadi? Apakah kaum dhuafa' dan terdzolimi
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
64
telah semakin kuat posisinya dalam perubahan sosial tersebut? Apakah
telah muncul organisasi rakyat miskin dan terpinggirkan? Apakah proses
demokrasi telah benar-benar berjalan? Apakah mereka yang terlibat dalam
organisasi telah menjadikan organisasinya sebagai alat perjuangan
kepentingannya? Dan, apakah telah muncul kebersamaan dalam tindakan
diantara mereka?
Singkat kata, kehadiran LEPPRO NTB di tengah-tengah petani
miskin di lahan marginal di desa Wanasaba, adalah sebagai
pendidik/organizer/fasilitator bukanlah tukang, tetapi intelektual yang
memiliki komitment transformasi sosial. Karenanya ia memiliki multi
peran dalam proses pendidikan rakyat.
Dengan segala komitmen tersebut LEPPRO NTB, akan mempersiap-
kan langkah-langkah berikutnya dalam pendampingan petani miskin di lahan
marginal di desa Wanasaba, sampai mereka betul terbebas dari kesadaran
naif, dan kesadaran mitos, menuju kesadaran kritis, dalam membebaskan
diri mereka dari kungkungan relasi yang berat sebelah antara penguasa dan
rakyat. Menuju kehidupan yang lebih baik dan bermartabat. Petani miskin
di lahan marginal telah berani mengatakan tidak kepada relasi kekuasaan
yang timpang, dan menghimpun diri dalam organisasi rakyat yang mandiri.
Pada tahap berikutnya, tahun kedua, LEPPRO NTB akan mendampingi
mereka menuju arah yang lebih baik untuk perbaikan nasib mereka,
membuka akses penguasaan skill berorganisasi dan bertani dari dan
oleh mereka. Terutama, upaya produksi pertanian yang dibuat, menuju
sistem pertanian yang berkelanjutan, mandiri, dan berkeadilan. Memberi
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
65
akses kesejahteraan yang sama bagi semua.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
66
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Program pemberdayaan petani miskin di lahan marginal di desa Wanasaba
memerlukan proses yang cukup lama dan membutuhkan banyak tahapan kegiatan
yang harus dilakukan, karena proses pemberdayaan seharusnya bersifat
tronsformosional berkaitan dengan tujuan jangka panjang berupa keswadayaan
dan perilaku berkeberlanjutan (sustainability), jika program pemberdayaan
petani miskin di lahan marginal dilakukan sekadar untuk memuaskan logika
proyek, maka ia akan lebih bersifat instrumental-seremonial semata.
Faktor yang dapat diasumsikan menjadi penyebab mendasar masih
rendahnya pengelolaan dan pemanfaatan lahan kering di desa Wanasaba,
adalah sebagai berikut: (1) Faktor ekonomi sebagai faktor yang paling mendasar
dan memerlukan upaya penanggulangan yang serius dan berkelanjutan dalam
meningkatkan kesejahteraan petani; (2) Faktor persediaan kebutuhan sebagai
faktor yang mendorong, (3) Faktor perantara yang memfasilitasi dan
memungkinkan terus mengakarnya ketidakmampuan petani miskin di lahan
marginal, (4) rendahnya SDM petani, sehingga mereka tidak mampu
merencanakan dan mengelola lahan kering yang mereka miliki. masing-masing
faktor juga terbangun dan dikondisikan oleh berbagai faktor turunan lainnya
yang saling terkait dan terjalin kokoh.
Oleh karena itu, berbagai kebijakan dan upaya penataan dan penanganan
lahan kering terlebih dahulu menjawab keempat faktor tersebut secara
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
67
sistematis dan terpadu. Upaya penataan dan penanganan komunitas petani di
lahan kering, tidak cukup hanya dengan menggelar diskusi atau mengadakan
penyuluhan semata, melainkan melakukan pembinaan secara intens,
mengaktifkan kembali sistem pertanian yang muncul dari masyarakat
setempat serta dibutuhkan sebuah rekonstruksi sosial.
Jika petani ingin terlibat bahkan memimpin proses rekontruksi sosial
tersebut, maka pertama kali yang harus dilakukan oleh petani adalah
menjadikan dirinya sebagai bagian dari dirinya sendiri dan menjadi
tanggung jawabnya; artinya petani di lahan marginal harus mampu memahami
dan merasakan masalah yang dihadapi oleh komunitas mereka sebagai
nnasalahnya juga. Petani juga harus mampu membangun pandangan (baru)
bahwa mereka yang terlibat dalam kegiatan tersebut pada hakikatnya adalah
korban dari sistem nilai dan sistem sosial yang selama ini telah membelenggu
mereka.
Dengan demikian, tidak mudah untuk membebaskan petani dilahan
marginal dari belenggu ini. Oleh karena itu, sebelum orang lain
membebaskan mereka, mereka juga terlebih dahulu harus mampu
membebaskan dirinya sendiri. Petani juga dituntut untuk merubah orientasi
dan pandangan hidupnya dari yang semula memandang segala sesuatunya yang
terkait dengan kebutuhan hidup mereka sangat bergantung pada hasil pertanian,
sudah semestinya diorientasikan pada sasaran atau program pengembangan
pemanfaatan lahan kering melalui sistem pertanian yang
berkesinambungan/berkelanjutan.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
68
B. Rekomendasi
1. Bagi LEPPRO NTB
a. Meyiapkan pendidikan bagi masyarakat sebagai konsekuensi
perubahan paradigma berpikir petani miskin di lahan marginal
dalam mengelola lahan mereka.
b. Memperkuat peran serta LEPPRO NTB dalam pengabdian
kepada petani.
c. Meningkatkan kapasistas dan kemampuan LEPPRO NTB dalam
memformulasikan bentuk implementasi tanggung jawab sosial di
masyarakat yang sesuai dengan kondisi obyektif.
d. Menambah bahan kepustakaan LEPPRO NTB dalam pengembangan
pendidikan kerakyatan di masyarakat secara langsung.
e. Melakukan kerjasama kerakyatan (people network) dalam kerangka
menciptakan hubungan yang dinamis antara: LSM/NGO-
Masyarakat dan Pemerintah.
2. Bagi Pihak Masyarakat Desa Wanasaba kecamatan Wanasaba
a. Implemetasi idealisme LSM/NGO dalam mengabdikan diri pada
masyarakat.
b. Membentuknya kelompok masyarakat yang peduli terhadap
pengelolaan lahan kering.
c. Menumbuhkembangkan kesadaran kritis petani akan pentingnya
pengembangan ekonomi melalui pertanian dengan sistem
agrosylvopastural teknik sistem pertanian berkelanjutan (SPB).
d. Mendapatkan informasi dan sumbangsih pemikiran dalam penataan
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
69
tingkat kesejahteraan petani.
e. Mempertegas bentuk pembinaan agrobisnis dengan sistem
agrosylvopastural yang ditumbuhkembangkan dari masyarakat petani
sendiri dalam mengembangan sisitem perekonomian mereka, sehingga
mereka memiliki keswadayaan yang simultan dalam meningkatkan
kesejahteraan mereka sendiri.
3. Bagi Pemerintah Daerah (Pemegang Kebijakan)
a. Menganalisis sistem budaya dan dinamika budaya masyarakat petani di
lahan kering (marginal).
b. Menganalisis secara kritis mengkaji permasalahan pembangunan dari
sudut pandang sosial-budaya dalam pembangunan di lahan kering.
c. Membantu dan berperan serta. dalam pemberdayaan petani baik secara
langsung maupun tidak langsung.
d. Memberikan masukan secara kritis terhadap kondisi petani miskin
yang multietnik dan multikultur dalam menyelesaikan permasalahan
ekonomi yang dihadapinya.
e. Melahirkan kebijakan/peraturan yang pro atau berpihak pada
masyarakat bawah (grassrooth) dengan melalui pendekatan bottom
up.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
70
DAFTAR PUSTAKA ADB, 2003. Handbook on Poverty and Social Analysis, Section III. Poverty and
Social Analysis in Project Preparation. Adiningsih, J. S., D. Djaenusin, S. Sukmana, dan S. Karama. 1994. Potensi
Teknologi Pemanfaatan Lahan Marginal Untuk Menunjang Diversifikasi Pangan dan Gizi. Risalah Widyakarya Pangan dan Gizi V : Riset dan Teknologi Unggulan Mengenai Pangan dan Gizi Ganda Pembangunan Jangka Panjang. Jakarta, 20-22 April 1993. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Jakarta.
Barron, E.M. dan Nielsen,I. 1998. Agriculture and Sustainable Land Use in Europe. Papers from Conferences of European Environmental Advisory Councils. Kluwer Law International.
Bungin, Burhan, 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif, Edisi Pertama,
Cetakan Pertama. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. BPS. 2006. Lombok Timur Dalam Angka. Checkoway, B. 1995. Six Strategies of Community Changes. Community
Development Journal Vol. 30, No. 1, January 1995. Oxford University Press. United Kingdom.
Darmawan A. 1998. Analisis Finansial Peremajaan Tanaman Perkebunan Kelapa
Sawit (Studi Kasus PTP Nusantara III, Kebun Pulau Mandi, Kabupaten Asahan Sumatera Utara). Skripsi. Fakultas Pertanian IPB.
Departemen Luar Negeri. 2002. Deklarasi Johannesburg Mengenai Pembangunan
Berkelanjutan dan Rencana KTT Pembangungan Berkelanjutan.
Emarnas, Kemiskinan Dan Harapan Pemberdayaan Masyarakat, WASPADA
Online 29 Mar 07 02:01 WIB http://www.waspada.co.id/ opini/artikel/artikel.php?article_id=87942
Gregorius Sahdan, Menanggulangi Kemiskinan Desa, Sumber: http://ekonomi
rakyat.org /edisi_22/artikel_6.htm
Harwood, R. 1990. A History of Sustainable Agriculture. Dalam Sustainable Agriculuture Systems. Eds. Edward, C.A. et. al. Soil and Water Conservation Society. USA. P. 3-17.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
71
Hendayana, R., dan D.H. Darmawan. 1995. Penanggulangan Kemiskinan di Sektor Tanaman Pangan dalam Hermanto, dkk. (Eds). Prosiding Pengembangan Hasil Penelitian Kemiskinan di Pedesaan: Masalah dan Alternatif Penanggulangannya. Buku 2. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian Bogor.
Ibrahim, Bafadal, Teknik Analisis Data Kualitatif, dalam Bakri, Masykuri,
Metodologi Penelitian Kualitatif: Tinjauan Teoritis dan Praktis, 2002. Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang Kerjasama Dengan VISSIPRESS, 2002.
Jhingan, M.L. 2004. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Penerjemah D.
Guritno. Cet. 10. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Kartasubrata J, Sunito S dan D Suharjito. 1995. Social Forestry Programme in
Java: A State of the Art Report. Center for Development Studies, Research Institute, Bogor Agricultural University (PSP-LP IPB). Bogor.
Mary, F. dan G. Michon. 1987. When Agroforests drive back Natural Forests: a
Socio-Economic Analysis of a Rice-Agroforest System in Sumatra. Agroforestry Systems 5: 27-55. Martinus Nijhoff/Dr W. Junk Publishers. Dordrecht. The Netherlands.
Michon G and H de Foresta, 1995. The Indonesian agro-forest model: forest
resource management and biodiversity conservation. In Halladay P and DA Gilmour (eds.), Conserving Biodiversity outside protected areas. The role of traditional agro-ecosystems. IUCN: 90-106.
Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif,
Penerjemah Tjetjep Rohendi Rohidi. Jakarta: UI Press. Moleong, Lexy J., 1989. Metodologi Penelitian Kualitatif, Cetakan Pertama.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Nair PKR. 1993. An Introduction to Agroforestry. Kluwer Academic.
Netherland. Nawawi, H. Hadari., 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Bisnis Yang
Kompetitif, Cetakan kedua. Yogyakarta: Gajah Mada University. ____________, 1995. Metode Penelitian Bidang Sosial, Cetakan ketujuh.
Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nazir, Moh., 1998. Metode Penelitian, Cetakan ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia. Notoatmodjo, Soekidjo, 1998. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta:
PT. Rineka Cipta.
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
72
Notohadiprawiro, T. 1990. The road to sustainable agriculture in the tropics.
Makalah yang disampaikan pada Internasional Symposium on Integrated Land Use Management for Tropical Agriculture. Queensland Sept. 1990.
N. Djunaidi Rahma, 2002. Masa Depan Otonomi Daerah, Kajian Sosial,
Ekonomi, dan Politik Untuk Menciptakan Sinergi Dalam Pembangunan Daerah. Surabaya: SIC.
Pakpahan, A., 1993. Identifikasi Wilayah Miskin di Indonesia. Perisma No3 tahun
XII. LPES Prayitno, Hadi & Budi Santoso. 1996. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: Ghalia
Indonesia. Sallatang, M.A., 1980. Kemiskinan dan Mobilisasi Pembangunan di Desa. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pemerintahan Daerah, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalama Negeri. Jakarta.
Siagian, Sondang P., Manajemen Sumber Daya Manusia, Cetakan kesembilan, Bumi Aksara, Jakarta, 2002.
Simamora, Henry. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia, Edisi kedua, Cetakan ketiga. Yogyakarta: Bagian Penerbitan STIE YKPN.
Sinclair, L. 1987. Agriculture must be ecologically sustaiable to feed the earth, says New World Resource Institute,. Ambio 16 (5) : 278-279.
Soetopo, HB., 2002. Pengumpulan dan Pengolahan Data Kualitatif, Masykuri
Bakri, Metodologi Penelitian Kualitatif: Tinjauan Teoritis dan Praktis, Lembaga Penelitian Universitas Islam Malang Kerjasama Dengan VISIPRESS.
Sulistyani, Ambar Teguh dan Rosidah, 2003. Manajemen Sumber Daya Manusia,
Cetakan pertama. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sumodiningrat, G. 1999. Pemberdayaan Masyarakat dan Jaring Pengaman
Sosial. Penerbit P. T. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Swardji, 2007. “Mencari Skenario Pengembangan Pertanian Lahan Kering Yang
Berkelanjutan di Propinsi NTB”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal Melalui Inovasi Teknologi Tepat Guna.
Suwardji dan Joko Priyono. 2004. Lahan Kritis: Kriteria Identifikasi Untuk
Keperluan Inventarisasi Luasannya di Propinsi NTB. Posisition
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
73
Paper yang disampaikan dalam Workshop Penyamaan Persepsi Tentang Lahan Kritis Lintas Dinas dan Instansi serta Berbagai Stakeholders di Tingkat Propinsi NTB di Bappeda Propinsi NTB Tanggal 7 Agustus 2004
Suwardji dan Tejowulan. 2003. Lahan Kritis dan Permasalahan Linkungan Hidup.
Makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pengelolaan Lahan Kritis Melalui Pemberdayaan Masyarakat. Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Mataram. 17 Desember 2003.
Suwardji. 2004b. Menuju kedaulatan pangan untuk petani miskin di lahan kering
melalui LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture): Position Paper yang disampaikan pada pertemuan VECO-Indonesia dan Partner se Indonesia di Sindu Beach, Sanur Bali. 19-22 Agustus 2004.
Utomo, M. 1999. Reorientasi Paradigma Pembangunan Pertanian. LKMM Mahasiswa Pertanian se Indonesia. Bandar Lampung, 21-28 Februari 1999
Yusdja, Y., E. Basunao, M. Ariani, T. B. Purwantini, 2003. Kebijakan Sistem
Usaha Pertanian dan Program Kemiskinan Dalam Mendukung Pengentasan Kemiskinan Petani. Laporan Penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian bekerjasama dengan Proyek Pengkajian Teknologi Pertanian Partisipatif (PAATP). Bogor
Laporan Akhir: Pemberdayaan Petani Miskin di Lahan Marjinal_LEPPRO NTB dan BAPPEDA Lombok Timur 2008
74
DAFTAR ISI Halaman Judul..........................................................................................................i Halaman Kulit Muka...............................................................................................ii Kata Pengantar........................................................................................................iii Daftar Isi.................................................................................................................iv Daftar Tabel.............................................................................................................v BAB I: PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang............................................................................................ 1 B. Tujuan Kaji Tindak (Dampingan/Pemberdayaan) ........................................ 6 C. Manfaat Dampingan/Pemberdayaan ............................................................ 6
BAB II: KAJIAN PUSTAKA ............................................................................ 9 A. Konsep Pemberdayaan Dan Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) ............. 9 B. Konsep Kemiskinan .................................................................................. 15 C. Konsep Agroforestri.................................................................................. 22
C.1 Pengertian............................................................................................ 22 C.2 Klasifikasi Teknik Agroforestri............................................................ 24
BAB III: METODE PENELITIAN................................................................. 31 A. Jenis Penelitian.......................................................................................... 31 B. Desain PAR.............................................................................................. 32 C. Lokasi Program Pemberdayaan ................................................................. 33 D. Tahapan-Tahapan Pelaksanaan PAR.......................................................... 33
BAB IV: PELAKSANAAN DAN HASIL KEGIATAN ................................. 36 A. Gambaran Umum Kabupaten Lombok Timur............................................ 36
A.1 Posisi dan Luas Wilayah...................................................................... 36 A.2 Iklim dan Curah Hujan ........................................................................ 36
B. Gambaran Lokasi Dampingan ................................................................... 37 C. Kondisi Awal Masyarakat ......................................................................... 39 D. Strategi dan Mekanisme Pemberdayaan..................................................... 42 E. Monitoring dan Evaluasi (MONEV) Kegiatan Pemberdayaan ................... 46 F. Hasil Yang Diharapkan Dalam Kegiatan Pemberdayaan............................ 46 G. Analisis Dampak Program......................................................................... 52 H. Analisis Keberlangsungan Program ............................................................. 54
BAB V: PENUTUP ......................................................................................... 66 A. Simpulan ............................................................................................... 66 B. Rekomendasi ........................................................................................ 68
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 70 LAMPIRAN
iv
top related