pbl 6 rahasia jabatan dan etika -k
Post on 29-Dec-2015
30 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Etika Profesi Kedokteran dan Rahasia Jabatan
Karina Patricia (102010157/E-2)
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 - Jakarta Barat 11470
Email: leaveyourmailhere@gmail.com
Pendahuluan
Di dalam praktik kedokteran terdapat aspek etik, profesi dan disiplin profesi dan aspek
hukum yang sangat luas, yang sering tumpang tindih pada suatu isu tertentu, seperti pada
informed consent, wajib simpan rahasia kedokteran, profesionalisme, dan lain sebagainya.
Norma etik profesi disiplin profesi dan hukum pidana memang berada dalam satu
garis,dengan etik profesi disatu ujung dan hukum pidana diujung lannya. Disiplin profesi
terletak diantaranya dan kadang membaur dari ujung ke ujung. Dalam praktek kedokteran,
aspek etik, profesi, dan/atau disiplin profesi sering kali tidak dapat dipisahkan dari aspek
hukumnya, oleh karena banyaknya norma etik profesi yang telah diangkat menjadi norma
hukum, atau sebaliknya norma hukum yang mengandung nilai-nilai etika.
Aspek etik profesi yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku disiplin profesinya. Etik profesi yang memiliki sanksi
moral dipaksa berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat
administratif.
Adapun kasus yang dihadapi adalah sebagai berikut. Seorang pasien laki-laki datang
ke praktek dokter. Pasien ini dan keluarganya adalah pasien lama dokter tersebut, dan sangat
akrab serta selalu mendiskusikan kesehatan keluarganya dengan dokter tersebut. Kali ini
pasien laki-laki ini datang sendirian dan mengaku telah melakukan hubungan dengan wanita
lain seminggu yang lalu. Sesudah itu, ia masih tetap berhubungan dengan istrinya. Dua hari
terakhir ia mengeluh bahwa alat kemaluannya mengeluarkan nanah dan terasa nyeri. Setelah
diperiksa ternyata ia menderita GO. Pasien tidak ingin diketahui istrinya tahu, karena bisa
terjadi pertengkaran diantara keduanya. Dokter tahu bahwa mengobati penyakit tersebut pada
pasien ini tidaklah sulit, tetapi oleh karena ia telah berhubungan juga dengan istrinya maka
mungkin istrinya juga sudah tertular. Istrinya juga harus diobati.
Kode Etik Kedokteran 1
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan
standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi
oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun
fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah memperoleh
persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan
setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya dan hal-
hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah diperiksa
sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan medis
yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai rasa kasih
sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
2 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk
insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta
berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang
lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Kewajiban Dokter Terhadap Pasien
Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib menujuk
pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 11
3 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
Kewajiban Dokter Terhadap Teman Sejawat
Pasal 14
Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin
diperlakukan.
Pasal 15
Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali dengan
persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Kewajiban Dokter Terhadap Diri Sendiri
Pasal 16
Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan baik.
Pasal 17
Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi kedokteran/kesehatan.
Jenis hubungan dokter-pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,
sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan atau rambu-
4 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di dalam prinsip-prinsip
moral profesi.
Sifat hubungan antara dokter dengan pasien berkembang dari sifat paternalistik
hingga ke sifat kontraktual dan fiduciary. Pada masa sebelum tahun 1950-an paternalistik
dianggap sebagai sifat hubungan yang paling tepat, dimana dokter menentukan apa yang akan
dilakukan terhadap pasien berdasarkan prinsip beneficence (semua yang terbaik untuk
kepentingan pasien, dipandang dari kedokteran). Prinsip ini telah mengabaikan hak pasien
untuk turut menentukan keputusan. Sampai kemudian pada tahun 1970-an dikembangkanlah
sifat hubungan kontraktual antara dokter dengan pasien yang menitikberatkan kepada hak
otonomi pasien dalam menentukan apa-apa yang boleh dilakukan terhadapnya. Kemudian
sifat hubungan dokter-pasien tersebut dikoreksi oleh para ahli etika kedokteran menjadi
hubungan ficuiary (atas dasar niat baik dan kepercayaan), yaitu hubungan yang
menitikberatkan nila-nilai keutamaan (virtue ethics). Sifat hubungan kontraktual dianggap
meminimalkan mutu hubungan karena hanya melihatnya dari sisi hukum dan peraturan saja,
dan disebut sebagai bottom line ethics.1
Otonomi pasien dianggap sebagai cerminan konsep self governance, liberty rights dan
individual choices. Immanuel Kant mengatakan bahwa setiap orang memiliki kapasitas untuk
memutuskan nasibnya sendiri, sedangkan John S. Mills berkata bahwa kontrol sosial atas
seseorang individu hanya sah apabila dilakukan karena terpaksa untuk melindungi hak orang
lain.
Salah satu hak pasien yang disahkan dalam Declaration of Lisbon dari World Medical
Association (WMA) adalah “the rights to accept or to refuse treatment after receiving
adequate information”. Secara implisit amandemen UUD 45 pasal 28G ayat (1) juga
menyebutkannya demikian “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi,... dst”.
Selanjutnya UU No 23/1992 tentang kesehatan juga memberikan hak kepada pasien untuk
memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan terhadapnya. Hak ini
kemudian diuraikan di dalam Permenkes tentang Persetujuan Tindakan Medis.
Suatu tindakan medis terhadap seseorang pasien tanpa memperoleh persetujuan
terlebih dahulu dari pasien tersebut dapat dianggap sebagai penyerangan atas hak orang lain
atau perbuatan melanggar hukum.
5 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
Prinsip otonomi pasien ini dianggap sebagai dasar dari doktrin informed consent. Tindakan
medis terhadap pasien harus mendapat persetujuan (otorisasi) dari pasien tersebut, setelah ia
menerima dan memahami informasi yang diperlukan.
Aspek Medikolegal: Informed Consent
Di Indonesia, informed consent telah memperoleh justifikasi yuridis melalui Peraturan
Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/1989. Persetujuan tindakan medik (informed consent)
dalam praktik banyak mengalami kendala, karena faktor bahasa, faktor campur tangan
keluarga atau pihak ketiga dalam hal memberikan persetujuan, faktor perbedaan kepentingan
antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya.
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif
antara dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah
sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan
yang ditawarkan pihak lain.
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45
ayat 1 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008, informed consent
adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya
setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan
dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan informed consent adalah memberikan
perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu
kegagalan dan bersifat negatif. Consent dapat diberikan:
Dinyatakan (expressed)
1. Dinyatakan secara lisan.
2. Dinyatakan secara tertulis. Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan
bukti di kemudian hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang
berisiko mempengaruhi kesehatan pasien secara bermakna. Permenkes tentang
persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan operatif
harus memperoleh persetujuan tertulis.
Tidak dinyatakan (implied)
6 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun melakukan
tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya. Meskipun consent jenis ini
tidak memiliki bukti, namun consent jenis inilah yang paling banyak dilakukan dalam
praktek sehari-hari. Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan
mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
Informed consent memiliki lingkup terbatas pada hal-hal yang telah dinyatakan
sebelumnya, tidak dapat dianggap sebagai persetujuan atas semua tindakan yang akan
dilakukan. Dokter dapat bertindak melebihi yang telah disepakati hanya apabila gawat darurat
dan keadaan tersebut membutuhkan waktu yang singkat untuk mengatasinya.
Proxy-consent adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan si pasien itu
sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent secara pribadi, dan
consent tersebut harus mendekati apa yang sekiranya akan diberikan oleh pasien apabila ia
mampu memberikannya (baik buat pasien, bukan baik buat orang banyak). Umumnya urutan
orang yang dapat memberikan proxy-consent adalah suami/isteri, anak, orang tua, saudara
kandung dan lain-lain.
Proxy-consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang dan ketat.
Suatu kasus telah membuka mata orang Indonesia betapa riskannya proxy-consent ini, yaitu
ketika seorang kakek-kakek menurut dokter yang telah mengoperasinya hanya berdasarkan
persetujuan anaknya, padahal ia tidak pernah dalam keadaan tidak sadar atau tidak
kompeten.1
Rahasia Jabatan 1-3
Hakikat Rahasia Kedokteran
Rahasia jabatan bukan berdasarkan azas kepercayaan, diwajibkan bagi pejabat negara.
Sedangkan rahasia pekerjaan berdasarkan azas kepercayaan dan bersifat swasta.
Profesi kedokteran (bidang kesehatan) baru dapat berlangsung bila ada kerelaan pasien
untuk mengungkapkan keadaan dirinya, termasuk hal-hal yang amat pribadi. Bentuk
pengungkapan diri pasien dalam hubungannya dengan profesi kedokteran meliputi tindakan
anamnesis (wawancara), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorik. Hal ini berarti
7 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
semua data pribadinya diserahkan pada dokter yang memeriksanya (beserta staf medis
lainnya). Dalam keadaan memerlukan bantuan medik, seorang pasien berada dalam situasi
konflik. Di satu pihak pasien menderita dan sangat memerlukan bantuan orang lain (dokter),
tetapi di pihak lain lain pasien juga menginginkan rahasianya tetap utuh, demi ketentraman
batin dan integritas pribadinya. Nampaknya pasien yang datang ke dokter terpaksa harus
mengorbankan kepentingannya yang kedua (rahasia pribadi).2
Tradisi profesi kedokteran ternyata menghargai kerahasiaan pribadi tersebut sehingga
perlu mencantumkannya dalam etik kedokteran. Akibatnya dapat dikatakan bahwa kontruksi
hubungan dokter-pasien adalah berdasarkan azas kepercayaan. Artinya dokter percaya bahwa
pasien akan mengungkapkan keadaan diri yang seutuhnya, sedangkan pasien juga percaya
bahwa dokter akan menjaga rahasia yang diketahuinya, yaitu dinamakan rahasia kedokteran.
Pada perkembangan selanjutnya masyarakat menganggap masalah rahasia pribadi itu
merupakan kepentingan umum, karena menyangkut hak azasi seluruh masyarakat, sehingga
perlu diatur oleh hukum.2
Aspek Hukum
Penggunaan kata privasi, kerahasiaan dan keamanan seringkali tertukar. Akan tetapi
terdapat beberapa perbedaan yang penting, diantaranya:
Privasi adalah hak individu untuk dibiarkan sendiri, termasuk bebas dari campur tangan
atau observasi terhadap hal-hal pribadi seseorang serta hak untuk mengontrol informasi-
informasi pribadi tertentu dan informasi kesehatan.
Kerahasiaan merupakan pembatasan pengungkapan informasi pribadi tertentu. Dalam
hal ini mencakup tanggungjawab untuk menggunakan, mengungkapkan, atau
mengeluarkan informasi hanya dengan sepengetahuan dan ijin individu. Informasi yang
bersifat rahasia dapat berupa tulisan ataupun verbal.
Keamanan meliputi perlindungan fisik dan elektronik untuk informasi berbasis
komputer secara utuh, sehingga menjamin ketersediaan dan kerahasiaan. Termasuk ke
dalamnya adalah sumber-sumber yang digunakan untuk memasukkan, menyimpan,
mengolah dan menyampaikan, alat-alat untuk mengatur akses dan melindungi informasi
dari pengungkapan yang tak disengaja maupun yang disengaja.
Kerahasiaan rekam medis diatur di dalam UU Praktik Kedokteran pasal 47 ayat 2
yang menyatakan bahwa "rekam medis harus disimpan dan dijaga kerahasiannya oleh dokter
8 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
atau dokter gigi dan pimpinan sarana kesehatan". Hal yang sama dikemukakan dalam pasal
11 Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
Selanjutnya, pasal 1 PP yang sama menyatakan bahwa "yang dimaksud dengan rahasia
kedokteran adalah segala sesuatu yang diketahui oleh orang-orang dalam pasal 3 pada waktu
atau selama melakukan pekerjaannya dalam lapangan kedokteran". 2
Selanjutnya UU Praktik Kedokteran memberikan peluang pengungkapan informasi
kesehatan secara terbatas, yaitu dalam pasal 48 ayat (2):
a. untuk kepentingan kesehatan pasien
b. untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan
hukum
c. permintaan pasien sendiri
d. berdasarkan ketentuan undang-undang
Sedangkan pasal 12 Permenkes 749a menyatakan bahwa:
(1) Pemaparan isi rekam medis hanya boleh dilakukan oleh dokter yang merawat pasien
dengan ijin tertulis pasien;
(2) pimpinan sarana pelayanan kesehatan dapat memaparkan isi rekam medis tanpa
seijin pasien berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Di bidang keamanan rekam medis, Permenkes No 749a/ MENKES/PER/XII/1989
menyatakan dalam pasal 13, bahwa pimpinan sarana kesehatan bertanggungjawab atas (a)
hilangnya, rusaknya, atau pemalsuan rekam medis, (b) penggunaan oleh orang / Badan yang
tidak berhak.
Rahasia Jabatan dan Pembuatan SKA/VeR
Peraturan Pemerintah No. 26 tahun 1960 tentang lafal sumpah dokter
Demi Tuhan, saya bersumpah/berjanji bahwa:
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan. Saya akan
menjalankan tugas saya dengan cara yang terhormat dan bersusila, sesuai dengan
martabat pekerjaan saya.
Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur jabatan
kedokteran.
9 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena pekerjaan saya dan
karena keilmuan saya sebagai dokter........ dst.
Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1966 tentang wajib simpan rahasia Kedokteran.
Pasal 1 PP No. 10/1966
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan
pekerjaannya dalam lapangan kedokteran.
Pasal 2 PP No. 10 /1966
Pengetahuan tersebut pasal l harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut
dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi
dari pada PP ini menentukan lain.
Pasal 3 PP No. 10/1966
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 UU tentang tenaga kesehatan.
b. Mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh menteri
kesehatan.
Pasal 4 PP No. 10/1966
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai wajib simpan rahasia kedokteran yang
tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 KUHP, menteri
kesehatan dapat melakukan tindakan administratip berdasarkan pasal UU tentang
tenaga kesehatan.
Pasal 5 PP No. 10/1966
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang
disebut dalam pasal 3 huruf b, maka menteri kesehatan dapat mengambil tindakan-
tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.
Pasal 6 PPNo 10/1966
Dalam pelaksanaan peraturan ini, menteri kesehatan dapat mendengar Dewan
Pelindung Susila Kedokteran dan atau badan-badan lain bilamana perlu.
Pasal 322 KUHP
10 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya
karena jabatan atau pencariannya baik yang sekarang maupun yang dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda
paling banyak sembilan ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
Pasal 48 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.
MA I17/K/Kr/1968 2 Juli 1969
Dalam "noodtoestand" harus dilihat adanya:
(1)Pertentangan antara dua kepentingan hukum
(2)Pertentangan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum
(3)Pertentangan antara dua kewajiban hukum
Pasal 49 KUHP
(1) Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri
sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri
maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat
pada saat itu yang melawan hukum.
(2) Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan keguncangan
jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.
Pasal 50 KUHP
Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang- undang,
tidak dipidana.
Pasal 51 KUHP
(1) Barang siapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang
diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.
(2) Perintah jabatan tanpa wewenang, tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali jika
yang diperintah, dengan itikad baik mengira bahwa perinlah diberikan dengan
wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
11 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang
pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
UU RI NO. 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran
Rekam Medis
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus segera dilengkapi setelah
pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan petugas
yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik
dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis
merupakan milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat 2
diatur dengan Peraturan Menteri.
Rahasia Kedokteran
Pasal 48
12 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundangundangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri.
Pengungkapan Rahasia Kedokteran 1-3
Pada dasarnya rahasia kedokteran harus tetap disimpan walaupun pasien tersebut telah
meninggal. Jadi rahasia itu harus ikut dikubur bersama pasien. Rahasia kedokteran
merupakan hak pribadi pasien yang tidak diwariskan pada para ahli warisnya. Sehingga para
ahli waris itu juga tidak berhak mengetahui rahasia pribadi pasien. Rahasia kedokteran ini
begitu dijunjung tinggi dalam masyarakat, sehingga walaupun pengadilan meminta seorang
dokter untuk membuka rahasia kedokteran, seorang dokter memiliki hak tolak
(verschoningsrecht). Hak ini diatur dalam pasal 170 KUHAP, yang menentukkan bahwa
mereka yang diwajibkan menyimpan rahasia pekerjaan/jabatan dapat minta dibebaskan dari
kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi. Namun ayat kedua dari pasal 170
KUHAP tersebut membatasi hak tolak sesuai dengan pertimbangan hakim. Hal ini tentunya
diterapkan bila kepentingan yang dilindungi pengadilan lebih tinggi dari rahasia kedokteran.
Ada beberapa keadaan di mana pemegang rahasia kedokteran dapat membuka rahasia
tersebut tanpa terkena sanksi hukum. Keadaan tersebut dapat dibagi menjadi dua golongan
besar. Yang pertama, pembukaan rahasia kedokteran dengan kerelaan/ijin pasien. Yang
kedua, pembukaan rahasia kedokteran tanpa kerelaan/ijin pasien. Ketentuan pasal 50 KUHP
yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana oleh karena melakukan suatu
perbuatan untuk menjalankan undang-undang memperkuat peluang bagi tenaga kesehatan
dalam keadaan dan situasi tertentu dapat membuka rahasia kedokteran tanpa diancam pidana.
Hal ini mengakibatkan “bebasnya” para dokter dan tenaga administrasi kesehatan dalam
membuat visum et repertum dan dalam menyampaikan laporan tentang statistik kesehatan,
penyakit wabah dan karantina.
Alasan lain yang memperbolehkan membuka rahasia kedokteran adalah adanya ijin
atau persetujuan atau kuasa dari pasien itu sendiri, perintah jabatan (pasal 51 KUHP), daya
paksa (pasal 48 KUHP), dan dalam rangka membela diri (pasal 49 KUHP). Selain itu, etika
kedokteran umumnya membenarkan pembukaan rahasia kedokteran secara terbatas untuk
13 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
kepentingan konsultasi profesional, pendidikan, dan penelitian. Permenkes No. 749a juga
memberi peluang bagi penggunaan rekam medis untuk pendidikan dan penelitian. Dalam
kaitannya dengan keadaan yang memaksa dikenal dua keadaan, yaitu daya paksa yang
memadai (overmacht) dan keadaan yang memaksa (noodtoestand) seperti yang telah
dijelaskan dalam aspek hukum.
Rahasia Medis antara Suami dan Istri
Rahasia Medis itu bersifat pribadi, hubungannya hanya antara dokter-pasien.
Ini berarti seorang dokter tidak boleh mengungkapkan tentang rahasia penyakit pasien yang
dipercayakannya kepada orang lain, tanpa seizin si pasien.
Hal ini di negara negara Barat merupakan sesuatu yang harus dijaga benar, karena
berdasarkan paham individualisme yang dianut. Hal ini berlainan dengan keadaan sosial
budaya di Indonesia, di negara kita yang bersifat Timur, jika ada seorang anggota keluarga
menderita sakit, tidak saja harus diketahui oleh keluarga kecilnya, tetapi juga merupakan
sesuatu yang harus diketahui pula oleh keluarga besarnya.
Merupakan hal yang lazim bahwa antara suami istri umumnya tidak ada rahasia.
Namun jika menyangkut suatu masalah seperti rahasia medis tertentu, juga di Indonesia, para
dokter haruslah bertindak lebih hati hati. Jika yang diderita penyakit penyakit umum seperti
usus buntu, wasir, influenza tidaklah menjadi persoalan diketahuinya. Lain halnya jika
menyangkut penyakit penyakit tertentu yang bisa menularkan seperti penyakit kelamin, atau
hal hal yang bersangkut paut dengan kehidupan seksual seperti keguguran, kehamilan,
kadangkala juga menyangkut penyakit jiwa, jika diminta suatu keterangan tertulis oleh suami
atau istrinya, apalagi jika yang meminta adalah seorang pengacara dari suami atau istri.
Jika hendak memberitahukan hal hal demikian, maka haruslah diminta persetujuan
dari pasien yang bersangkutan. Misalnya dalam pemeriksaan seorang suami ternyata terkena
penyakit kelamin yang menular. Hal ini bisa ditularkan kepada istrinya melalui hubungan
seks. Atau penyakit menular lain seperti HIV/AIDS yang bisa membahayakan terutama
istrinya sendiri dan anggota keluarganya. Secara umum sebaiknya dokter merundingkannya
dengan pasien sendiri, cara bagaimana harus memberitahukan kepada istri/suaminya, karena
pasangannya harus diperiksa juga. Timbul persoalan jika yang diperiksa adalah istri yang
diantar oleh suaminya. Dalam hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari
kedua belah pihak untuk mengungkapkan. Apakah dokter dengan bebas boleh mengutarakan
bahwa istrinya sedang mengandung atau mengalami keguguran? Sebaiknya juga dibicarakan
14 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
dahulu dengan pasien itu, sebab ada kemungkinan bahwa sang suami baru saja kembali dari
luar negeri sesudah sekian bulan. Juga jika menyangkut penyakit kelamin, tidak dapat
dianggap sudah ada persetujuan dari kedua belah pihak.4
Risiko Terhadap HIV/AIDS
Hal Umum tentang AIDS
Perjalanan penyakit AIDS belum diketahui dengan pasti. Masa inkubasi diperkirakan
5 tahun atau lebih. Diperkirakan bahwa sekitar 25 % dari orang yang terinfeksi HIV akan
menunjukkan gejala AIDS dalarn 5 tahun pertama. Sekitar 50 % dari yang terinfeksi dalam
10 tahun pertama akan mendapat AIDS. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya AIDS
pada orang yang seropositif belum diketahui dengan jelas.5
Menurunnya limfosit T4 di bawah 200 per ml. berarti prognosis.yang buruk.
Diperkirakan bahwa infeksi HIV yang berulang dan pemaparan terhadap infeksi-infeksi lain
mempunyai peranan penting. Mortalitas pada penderita AIDS yang sudah sakit lebih dari 5
tahun mendekati 100%. Survival penderita AIDS rata-rata ialah 1-2 tahun.
Penularan AIDS terjadi melalui:
1. Hubungan kelamin (homo maupun heteroseksual);
2. Penerimaan darah dan produk darah;
3. Penerimaan organ, jaringan atau sperma;
4. Ibu kepada bayinya (selama atau sesudah kehamilan).5, 6
Dari semua kemungkinan cara penularan tersebut di atas, transmisi seksual adalah yang
paling dominan; oleh karena infeksi HIV erat hubungannya serta sering bersamaan dengan
penyakit menular seksual lainnya. Penyakit menular seksual lainnya terutama yang
menimbulkan ulkus genitalis (GUD), merupakan faktor pembantu yang sangat berperan
dalam transmisi HIV.
Kemungkinan penularan melalui hubungan kelamin menjadi lebih besar bila terdapat
penyakit kelamin, khususnya yang menyebabkan luka atau ulserasi pada alat kelamin. HIV
telah diisolasi dari darah, sperma, air liur, air mata, air susu ibu, dan air seni, tapi yang
terbukti berperan dalam penularan hanyalah darah dan sperma. Hingga saat ini juga tidak
terdapat bukti bahwa AIDS dapat ditularkan melalui udara, minuman, makanan, kolam
renang atau kontak biasa (casual) dalam keluarga, sekolah atau tempat kerja. Juga peranan
serangga dalam penularan AIDS tidak dapat dibuktikan.5, 6
Sejak tahun 1986 di Departemen Kesehatan telah dibentuk suatu panitia untuk
menanggulangi AIDS yang semula diketuai oleh Kepala Badan Penelitian dan
15 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
Pengembangan Kesehatan dan kini diketuai Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular & Penyehatan Lingkungan Pemukiman.
Panitia ini merupakan wadah komunikasi/koordinasi serta pengolahan informasi
dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi AIDS. Adanya
panitia ini tidak mengurangi wewenang dan tugas dari unit-unit struktural di Departemen
Kesehatan, sesuai dengan bidang masing-masing.5
Rahasia Medis Pada Penderita AIDS
Dokter yang menghadapi pasien-pasien Penyakit Menular Seksual (PMS) dari aspek
kesehatan tidak akan banyak masalah karena banyak pilihan pengobatan dapat diberikan.
Masalahnya muncul apabila yang dihadapi adalah salah satu pasutri, anak di bawah umur,
pembantu rumah tangga adalah pasien yang telah mempunyai pasangan tetap/pacar. Apalagi
untuk pasien yang menderita HIV positif atau AIDS masalahnya akan menjadi lebih rumit
karena menyangkut masyarakat luas.4
Berbeda dengan PMS seperti gonorea, sifilis, atau herpes genitalis yang penularannya
terutama karena hubungan seksual, penularan AIDS bisa pula karena transfusi darah, melalui
jarum suntik yang terkontaminasi virus, dan melalui plasenta. Penyebaran penyakit
HIV/AIDS lebih berbahaya karena tidak saja mengganggu kesehatan tetapi juga mengundang
kematian. AIDS adalah singkatan Acquired Immunodeficiency Syndrome dan
menggambarkan berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem
kekebalan tubuh.
Sikap para dokter tentu akan berbeda bila yang dihadapi salah satu dari pasutri yang
menderita PMS. Hal ini bisa menularkan kepada istrinya. Atau penyakit menular lain seperti
HIV/AIDS yang bisa membahayakan terutama istrinya sendiri dan anggota keluarganya.
Persoalannya menjadi lebih mudah bila pasangannya telah mengetahui pasien menderita
PMS. Bila belum mengetahui, harapan dokter pada pasien adalah agar ia tidak menularkan
penyakitnya pada pasangan, sementara penyakitnya diobati.4
Secara umum sebaiknya dokter itu merundingkannya dengan pasien itu sendiri, cara
bagaimana ia harus memberitahukan kepada istri/suaminya, karena pasangannya harus
diperiksa juga. Dalam hal ini sebenarnya dapat dianggap sudah ada persetujuan dari kedua
belah pihak untuk mengungkapkan. Berbicara terbuka di hadapan kedua pasutri tanpa
mengetahui terlebih dahulu apakah pasien setuju kalau penyakitnya boleh diketahui oleh
pasangannya bisa membawa persoalan tentang wajib simpan rahasia kedokteran, rahasia
jabatan, dan pekerjaan yang menjurus pada perkara medik. Untuk itu, para dokter perlu
16 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
berhati-hati menghadapi situasi demikian. Bila dokter menduga pasangannya telah tertular
tanpa disadarinya, sebaiknya dokter mengobati pasien tanpa harus menyatakan ia telah
tertular, kecuali terpaksa bila pasien mau tahu tentang penyakitnya. Membuka rahasia pasien
kepada orang lain, biarpun dalam ikatan suami isteri harus dihindari dokter.
Masalah HIV/AIDS banyak sangkut pautnya dengan rahasia medis sehingga kita
harus berhati hati dalam menanganinya. Dalam mengadakan peraturan hukum, selalu terdapat
dilema antara kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan. Seringkali harus
dipertimbangkan kepentingan mana yang dirasakan lebih berat. Dalam sistim Demokrasi,
Hak Asasi seseorang harus diindahkan, namun Hak Asasi ini tidaklah berarti bersifat mutlak.
Pembatasan dari Hak Asasi seseorang adalah Hak Asasi orang lain didalam masyarakat itu.
Dalam hal ada pertentangan kepentingan, maka hak perorangan harus mengalah terhadap
kepentingan masyarakat banyak. Kebebasan atas kepentingan individu tidak dipertahankan
sedemikian rupa sehingga sampai membahayakan kepentingan orang lain atau
masyarakatnya. Namun kita melihat ada pengecualian bersifat rahasia mutlak yang berkaitan
dengan HIV/AIDS.4
Dalam kasus kasus tertentu seorang dokter bisa berada dalam keadaan dilema jika
penyakit yang diderita pasien itu juga membahayakan masyarakat sekitarnya (HIV/AIDS,
penyakit kelamin, wabah, dan sebagainya). Tambah lagi jika pasien tidak memberikan
persetujuannya untuk diungkapkan rahasianya. Kecuali kalau memang sudah diwajibkan oleh
Undang Undang atau Peraturan yang lebih tinggi tingkatnya, maka dokter itu wajib untuk
melaporkan. Namun untuk HIV/AIDS tampaknya masih dalam kedudukan istimewa, karena
walaupun bisa membahayakan atau menularkan istri dan anak anaknya, ia tetap masih dapat
perlindungan hukum.
Masalah AIDS juga ada kaitan erat dengan informed consent. Merupakan tugas dan
kewajiban seorang dokter untuk memberikan informasi tentang penyakit penyakit yang
diderita pasien dan tindakan apa yang hendak dilakukan, disamping wajib merahasiakannya.
Pada pihak lain kepentingan masyarakat juga harus dilindungi.4
Namun sebaliknya juga bisa timbul pertanyaan, jika seorang pasien mengetahui
bahwa dirinya sudah mengidap HIV/AIDS seharusnya pasien pun wajib untuk
memberitahukannya, karena jika seandainya sampai harus dilakukan tindakan medis seperti
pembedahan terhadap pasien, maka dokter dan tenaga medis lain dapat tertular. Apakah
kepentingan perseorangan harus dimenangkan terhadap kepentingan orang lain (dokter,
perawat dan tenaga kesehatan lain)?
17 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
Hal ini secara adil seharusnya juga perlu diwajibkan kepada pasiennya agar tidak
membahayakan orang lain. Namun sayangnya ketentuan ini belum ada, sehingga kita masih
berpedoman pada peraturan yang lama. Pengaturan hukum tentang HIV/AIDS di negara kita
pada saat ini hanya ada 2 yaitu4:
1. Instruksi Menteri Kesehatan RI No.72/Menkes/Inst/1988 tentang Kewajiban
Melaporkan Penderita dengan Gejala AIDS.
Untuk menemukan pasien AIDS sedini mungkin, ditetapkan bahwa petugas kesehatan
wajib melapor ke sarana kesehatan terdekat dengan memperhatikan kerahasiaan
pribadi pasien. Selanjutnya, sarana kesehatan pelayanan wajib segera melaporkan
secara rahasi melalui prosedru tertentu ke Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman.
Sarana kesehatan yang dimaksud adalah balai pengobatan, pusat kesehatan
masyarakat, rumah sakit umum, rumah sakit khusus, praktik dokter/dokter
gigi/spesialis, dan sarana kesehatan lainnya. Kebijakan yang ditempuh adalah laporan
tersebut harus memperhatikan kerahasiaan identitas pasien dan nama pasien cukup
ditulis dengan inisial saja, begitu pula alamat pasien cukup diisi dengan nama
Kabupaten/Kotamadya saja.4, 7
2. Surat Keputusan Menko Kesra No. 9 Tahun 1994 tentang Strategi Nasional
Penanggulangan HIV/AIDS.
"Setiap pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV/AIDS harus didahului dengan
penjelasan yang benar dan mendapat persetujuan yang bersangkutan (informed
consent). Sebelum dan sesudahnya harus diberikan konseling yang memadai dan hasil
pemeriksaan wajib dirahasiakan."
Sejauh ini yang bisa diwajibkan menjalani uji HIV adalah kalangan anggota militer
dan narapidana. Para WTS (Wanita Tuna Susila) pun tidak boleh dipaksakan untuk menjalani
tes HIV seperti waktu waktu dulu. Dapat ditambahkan pula, pada lamaran kerja di
perusahaan dapat dimintakan persetujuannya untuk juga dilakukan tes HIV, tetapi ini secara
sukarela dan juga harus ada persetujuan. Jika hasilnya positif maka secara terselubung bisa
ditolak penerimaannya. Biasanya dilakukan dengan cara halus, memakai alasan lain.
Pemeriksaan HIV/AIDS tidak bisa diwajibkan karena bertentangan dengan HAM.4
Kesimpulan
18 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
Segala tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter harus sesuai dengan dasar disiplin
kedokteran. Pada kasus ini, dokter harus dapat menghormati hak pasien dengan tidak
membuka rahasia kedokteran sebagaimana disebut pada pasal 322 KUHP. Disini peran
dokter juga sangat penting dalam memberikan edukasi mengenai penyakit kepada pasien dan
pentingnya pengobatan sedemikian rupa pada pasangan pasien oleh karena adanya faktor
penularan pada PMS. Dokter harus dapat mengetahui baik-buruknya dari tindakan yang
dilakukannya kepada pasien.
Daftar Pustaka
1. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja TD. Bioetika dan hukum kedokteran: pengantar bagi
mahasiswa kedokteran dan hukum. Cetakan ke-2. Jakarta: Pustaka Dwipar; 2007. h.
29-39, 53-5, 62-3, 77-85.
2. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Ilmu kedokteran forensik. Cetakan
II. Jakarta: FKUI; 1997.
3. Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan
bidang kedokteran. Jakarta: FKUI; 1994. h. 18, 25.
4. Guwandi J. Trilogi rahasia kedokteran. Jakarta: FKUI; 1992.
5. Gunawan S. Perkembangan masalah AIDS. Dalam: Setyonegoro K, Sidabutar RP,
Pringgoutomo S, Chandra B, Darmojo RB, Sadrach I, dkk. Cermin Dunia Kedokteran
No. 75. Jakarta: PT Kalbe Farma; 1992. h.5-9.
6. Zubairi, Samsuridjal. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III: HIV/AIDS di Indonesia.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. h. 2861-8.
7. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi 4. Cetakan I.
Jakarta: Penerbit EGC; 2009.h.14-6, 144-7.
19 | E t i k a P r o f e s i K e d o k t e r a n d a n R a h a s i a J a b a t a n
top related