oase - himse.files.wordpress.com filemerubah tradisi kultural untuk kemajuan ... media tulisan. ......
Post on 05-Jun-2019
228 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Mesin Waktu : menengok Kembali Si Pangeran Biru (hal. 4 )
OASE
Maret ’2008 # 3
Edisi Khusus
Sejarah Budaya Sastra
Buletin
Himpunan Mahasiswa sejarah
Topik utama : Merubah Tradisi Kultural Untuk Kemajuan (hal. 1 )
Resensi Buku : Rashomon dan Dunia Hitam-Putih (hal. 6 )
Kampus kita : Di sini Memang gitu... (hal. 9 )
Pengantar Redaksi
Pada edisi khusus ini, Oase ingin menghadirkan suatu yang setahap lebih baik dari isi yang
disuguhkan sebelumnya, tentu dengan perbaikan di sana-sini. Berusaha kembali untuk
“nyastra” serta sedikit memberi perhatian pada budaya. Terlepas apakah semua itu
berkualitas atau tidak, kami hanya berusaha menyuguhkan lagi ―ke sok tahuan kami” ke dalam
media tulisan. Karena kami sadari bahwa tanpa dilandasi ―kesoktauan “ buletin Oase ini tidak
akan pernah lahir di muka bumi ini. Edisi ini kami menampilkan tentang ―Merubah Tradisi
Kultural Untuk Kemajuan‖, juga sedikit kembali ke masa lalu lewat ―Mengengok
Kembali Si Pangeran Biru‖, tak ketinggalan kalender sejarah, resensi buku, dan
melihat lebih dekat melalui rubrik ―Kampus Kita‖. Semoga bermanfaat
Redaks i Bulet in Oase
Jur nalis t ik
Pemimpin Redaksi: Teguh V. Andrew | Editor: Bulky | Desain dan Layout: Rizky Adi Pratama
:
Rd. Laili Al Fadly | Muhammad N. Haq | Nopida Safrianti | Yandri Rama Putra Yenni Agustini Femmi Maulana | M. Aji Moerdani | Hary G B | Andheti
: Arisa Prabowo | Iman Santoso | Yayang H STHANKS TO
FREE
!
Create
Your own
analysis
4 TAHUN
OASE UPDATED BY:
BIMO ADRIAWAN
a..k.a gommu
CLICK-ABLE!
KLIK GAMBAR DISAMPING UNTUK KEMBALI KE SINI.
TERSEDIA DI SEMUA BAGIAN BAWAH HALAMAN
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH 1
Topi
k u
tam
a
Merubah Tradisi Kultural Untuk Kemajuan
Sudah setengah abad lebih Negara kita berdiri. Namun, umum diketahui bahwa cita-
cita yang telah kita pancangkan di awal kemerdekaan, belum juga dapat dicapai. Ia masih
saja berupa angan-angan, sesuatu yang masih menggantung di langit malam. Lama kita
menunggu, sambil terus bertanya,” kapankah cita-cita itu tiba?” Apakah penantian ini tak akan
jadi seperti menunggu godot …?” Lalu, entah karena tak setia atau bosan menunggu, rasa
pesimis itu mulai merayap, mencengkram dan menggerogoti keyakinan pada cita-cita
bersama kita, hingga akhirnya yang tertinggal hanyalah ketakacuhan akut. Kini, apabila orang
lain menyinggung tentang cita-cita itu, wajah pesimis dan ketakacuhan itu muncul dalam
bentuk senyum mengejek.
Namun,dulu ada sebuah masa dimana dada kita masih penuh dengan bara semangat
dan binar mata optimis menatap sebuah cita-cita yang akan dituju. Waktu itu -tahun ’50-an,
setelah negara kita resmi menjadi NKRI dan menjadi bagian dari bangsa-bangsa yang
merdeka di dunia- sebuah jalan panjang terbentang dihadapan kita. Ia minta untuk dilalui dan
diisi. Maka, mulailah kita merajut rencana-rencana besar bagaimana mewujudkan cita-cita
tersebut. Dengan segera, kita membangun; sarana-sarana fisik, teknologi-teknologi ,sistem
pemerintahan, perekonomian dll.
Tatapi, sejalan dengan berlalunya waktu terlihat ada sesuatu yang keliru dengan
langkah yang kita ambil. Pembangunan yang kita jalani jadi terlalu memusatkan pada sesuatu
yang bersifat fisik dan lahiriah, sehingga kita gagal dalam menangkap apa yang sungguh-
sungguh esensial. Seakan-akan dengan transfer teknologi, penguatan perekonomian dan
demokrasi kita bisa secara cepat mengejar negara-negara maju dan mencapai cita-cita kita.
Kita lupa bahwa apa yang kita lihat pada kemajuan negara-negara barat –sebuah negara
yang dalam batas-batas tertentu kita jadikan sebagai model- dengan teknologinya,
perekonomiannya, politiknya, dan ilmu pengetahuannya, sebenarnya hanyalah sebuah
fenomena puncak gunung es dari sesuatu yang ada dibawahnya. Kita lupa bahwa apa yang
kita lihat sebagai keunggulan barat, sesungguhnya hanyalah buah dari proses panjang –
kadang getir dan berdarah- yang telah dijalani oleh perkembangan sejarahnya.
Proses panjang itu adalah revolusi kultural. Di sini ada
sebuah perubahan paradigma yang mendasar dan radikal pada pemahaman barat terhadap
konsepsi manusia dan alam semesta. Barat melengserkan Tuhan dan alam dari
singgasananya sebagai pusat makna –suatu paham yang menjadi ciri seluruh kebudayaan
tradisional-, untuk kemudian menggantikan posisi lowong tersebut dengan manusia; yang
teosentris berubah menjadi antroposentris. ”Manusia-lah ukuran segala-galanya,” ungkap
Protagoras. Dalam wadah seperti inilah, paham humanisme lahir, untuk kemudian dipertajam
oleh liberalisme di masa aufklarung. Humanisme dan liberalisme memberikan cara pandang
yang sama sekali baru. Paham-paham ini memberikan pemahaman dan keyakinan bahwa
manusia sendirilah yang bertanggung jawab terhadap kehidupannya. Tak ada kekuasaan takdir
disini. Hasilnya, terlepas dari sisi-sisi negatif yang kita tahu sekarang timbul dari paham-paham
diatas, humanisme dan leberalisme-lah yang membuat karakter masyarakat barat mandiri, tak
lagi tergantung pada alam, dinamis, juga kritis. Hal-hal inilah –ditambah dengan rasionalisme,
empirisme, penemuan logika induktif, penggabungannya dengan logika deduktif yang kemudian
menjadi standar bagi pengetahuan ilmiah- yang menjadi dasar bagi seluruh kemajuan barat
sekarang.
Kembali ke pembicaraan kita, hal inilah saya kira yang dilupakan dalam proyek
pembangunan kita. Kita lupa untuk merubah tradisi kultural masyarakat. Dunia yang kita diami
sejak awal abad ke-20 sampai sekarang adalah sebuah dunia yang sama sekali berbeda;
sebuah dunia yang belum ada presedennya dalam sejarah manusia manapun. Ia menuntut
jawaban yang berlainan dengan jawaban yang sanggup diberikan oleh tradisi kita. Karena
kebudayaan dalam batas-batas tertentu pada hakikatnya adalah sebuah cara untuk
menanggapi. Sebuah respon terhadap beragam kebutuhan manusia dalam kaitannya dengan
kondisi lingkungan yang ditinggalinya, maka sedikit-banyak kita mesti berani menyesuaikan
kebudayaan kita agar dapat menjawab tantangan-tantangan berupa persoalan yang dilontarkan
oleh apa yang kita sebut sekarang sebagai dunia modern.
Memang, selalu ada kekhawatiran terhadap hilangnya sebuah identitas kita sebagai
bangsa. Namun, dalam hubungannya dengan kebudayaan modern, mau tak mau kita harus
melakukan sebuah kompromi, meskipun tindakan ini tak bisa dipungkiri mengandung resiko
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH 2
Proses panjang itu adalah revolusi kultural. Di sini ada
sebuah perubahan paradigma yang mendasar dan radikal pada pemahaman barat terhadap
konsepsi manusia dan alam semesta. Barat melengserkan Tuhan dan alam dari
singgasananya sebagai pusat makna –suatu paham yang menjadi ciri seluruh kebudayaan
tradisional-, untuk kemudian menggantikan posisi lowong tersebut dengan manusia; yang
teosentris berubah menjadi antroposentris. ”Manusia-lah ukuran segala-galanya,” ungkap
Protagoras. Dalam wadah seperti inilah, paham humanisme lahir, untuk kemudian dipertajam
oleh liberalisme di masa aufklarung. Humanisme dan liberalisme memberikan cara pandang
yang sama sekali baru. Paham-paham ini memberikan pemahaman dan keyakinan bahwa
manusia sendirilah yang bertanggung jawab terhadap kehidupannya. Tak ada kekuasaan takdir
disini. Hasilnya, terlepas dari sisi-sisi negatif yang kita tahu sekarang timbul dari paham-paham
diatas, humanisme dan leberalisme-lah yang membuat karakter masyarakat barat mandiri, tak
lagi tergantung pada alam, dinamis, juga kritis. Hal-hal inilah –ditambah dengan rasionalisme,
empirisme, penemuan logika induktif, penggabungannya dengan logika deduktif yang kemudian
menjadi standar bagi pengetahuan ilmiah- yang menjadi dasar bagi seluruh kemajuan barat
sekarang.
Kembali ke pembicaraan kita, hal inilah saya kira yang dilupakan dalam proyek
pembangunan kita. Kita lupa untuk merubah tradisi kultural masyarakat. Dunia yang kita diami
sejak awal abad ke-20 sampai sekarang adalah sebuah dunia yang sama sekali berbeda;
sebuah dunia yang belum ada presedennya dalam sejarah manusia manapun. Ia menuntut
jawaban yang berlainan dengan jawaban yang sanggup diberikan oleh tradisi kita. Karena
kebudayaan dalam batas-batas tertentu pada hakikatnya adalah sebuah cara untuk
menanggapi. Sebuah respon terhadap beragam kebutuhan manusia dalam kaitannya dengan
kondisi lingkungan yang ditinggalinya, maka sedikit-banyak kita mesti berani menyesuaikan
kebudayaan kita agar dapat menjawab tantangan-tantangan berupa persoalan yang dilontarkan
oleh apa yang kita sebut sekarang sebagai dunia modern.
Memang, selalu ada kekhawatiran terhadap hilangnya sebuah identitas kita sebagai
bangsa. Namun, dalam hubungannya dengan kebudayaan modern, mau tak mau kita harus
melakukan sebuah kompromi, meskipun tindakan ini tak bisa dipungkiri mengandung resiko
Topik utam
a
yang berbahaya. Bila tidak, maka kita tidak akan bisa bertahan.
Lebih baik melakukan kompromi dengan sebuah rencana ditangan daripada sebuah
kompromi alamiah seperti yang kita lihat sekarang dalam kehidupan generasi muda kita;
sebuah subkultur yang campur aduk, gabungan antara budaya tradisional dan budaya urban.
Lantas, bagaimanakah caranya ? Sungguh ini merupakan sebuah pertanyaan sulit.
Disamping itu, merubah sebuah kultur adalah suatu proses yang memakan waktu lama. Dalam
keseluruhannya, proses ini tidak berbicara dalam bilangan tahunan, belasan tahun, atau
puluhan tahun, melainkan ratusan tahun. Barat memerlukan waktu hampir 500 tahun lebih
sehingga bisa menjadi barat yang kita kenal sekarang. Tetapi mungkin kita tak perlu sampai
selama itu untuk melakukannya. Ada sebuah perbedaan kondisi antara masa sewaktu barat
memulai proses ini dengan kondisi kita sekarang.
Tetapi, dari sekian banyak alternatif jawaban yang bisa disodorkan, ada sebuah
langkah awal yang mungkin bisa mengembalikan rencana pembangunan kepada trek yang
benar, sekaligus membuang unsur-unsur dalam kultur kita yang menghambat pada pencapaian
cita-cita bersama kita. Langkah itu adalah meyuburkan dimensi kesenian kita, khususnya
sastra. Perubahan kultural adalah proses penyerapan ide-ide progresif yang dilahirkan oleh
pionir-pionir cendikiawan yang tadinya hanya dimiliki oleh segelintir elit, untuk kemudian
diturunkan dan ditangkap menjadi sebuah kesadaran kolektif masyarakat. Proses menangkap
ide-ide progresif agar menjadi sebuah kesadaran kolektif memerlukan sebuah instrument
sebagai perantaranya. Saya kira bentuk kesenian pada umumnya, atau sastra pada khususnya-
lah yang bisa melakukan proses tersebut. Hal itu mungkin, karena kesenian hakikatnya adalah
sebuah gema dari pantulan-pantulan suara realitas zamannya yang ditangkap lewat sebuah
abstraksi dan pemaknaan, untuk kemudian dikeluarkan dalam bentuk estetis.
Ketika realitas -yang didalamnya ide-ide progresif itu mewujud- telah direproduksi
menjadi sebuah relitas baru yang diberi pemaknaan dengan cara estetis, maka saya kira
disinilah penyemaian ide-ide progresif bisa dilakukan hingga menjadi sebuah kesadara kolektif
di masyarakat. Bila akhirnya, kesadaran kolektif masyarakat terhadap ide-ide progresif itu telah
dimiliki dan menjadi bagian yang sah dari tradisi kebudayannya, maka perubahan kultural telah
menampakan hasilnya. Wallahu’alam. (Bulky ‘05)
Topi
k u
tam
a
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH 3
Stadion Gelora Bung Karno. 30 Juli 1995. Puluhan ribu
penonton menyesaki stadion terbesar se-Asia tersebut,
tanpa ada pelemparan, tanpa ada pembakaran, tanpa
anarki dan juga ga pake wasit goblog. Di pinggir lapangan
tampak berdiri seorang bapak tua sambil mengepulkan asap
rokoknya, tampak tegang namun tenang. Gemuruh sorak sorai
penonton semakin membahana. Si bapa tua yang tak lain dan tak bukan adalah Indra Tohir—si aki-aki
ajaib yang bertangan dingin— beranjak dari bench dan mendekati sisi lapangan untuk memberikan
instruksi pada anak asuhannya. ― 5 menit..! tahan..tahan‖ teriak si aki yang satu ini. Ketatnya
pertandingan membuat suasana semakin tegang. Pemain bekerja keras, bobotoh terhenyak menahan
napas menjelang detik-detik pertandingan. 5 menit berlalu, peluit panjang melengking di tengah
lapangan. Persib Bandung bersuka cita, Pertokimia tertunduk lesu bersama trio pemain asingnya:
Jackson F. Tiago, Carlos de Mello, dan Darryl Sinerine. Tertorehkan sejarah baru dalam
persepakbolaan Indonesia sekaligus menjadi catatan gemilang masyarakat Bandung.
Final Liga Indonesia yang pertama merupakan pencapaian yang luar biasa, bukan hanya bagi
publik Bandung tetapi juga bagi persepakbolaan Indonesia di mata internasional. Partai final saat itu
adalah rekor dengan jumlah penonton terbanyak dan berakhir tanpa kerusauhan. Euforia kegembiraan
menyelimuti masyarakat Bandung, bahkan Jawa Barat. Hal ini tidaklah mengherankan karena apa yang
dicapai Persib mencerminkan kualitas pembinaan yang baik karena semua pemain adalah pemain lokal
dan bertolak dari kompetisi Perserikatan yang notabene lebih rendah derajatnya dari Galatama. Namun
mampu berjaya.
Gol Sutiono Lamso di menit ke-76 mungkin menjadi momen tak terlupakan bagi sebagian
besar masyarakat Bandung yang turut menjadi saksi kesuksesan Persib Bandung. Melawan Petrokimia di
partai final, Indra Thohir menurunkan skuad terbaiknya antara lain: Anwar Sanusi (kiper), Mulyana,
Robby Darwis, Yadi Mulyadi, Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Yudi Guntara, Asep Kustiana, Yusuf
Bachtiar, Kekey Zakaria, dan Sutiono Lamso. Dengan bermaterikan pemain lokal, Persib mampu
membawa Piala Presiden ke tanah Priangan. Perjuangan Persib menuju tangga juara jelaslah bukan
Stadion Gelora Bung Karno. 30 Juli 1995. Puluhan ribu
penonton menyesaki stadion terbesar se-Asia tersebut,
tanpa ada pelemparan, tanpa ada pembakaran, tanpa
anarki dan juga ga pake wasit goblog. Di pinggir lapangan
tampak berdiri seorang bapak tua sambil mengepulkan asap
rokoknya, tampak tegang namun tenang. Gemuruh sorak sorai
penonton semakin membahana. Si bapa tua yang tak lain dan tak bukan adalah Indra Tohir—si aki-aki
ajaib yang bertangan dingin— beranjak dari bench dan mendekati sisi lapangan untuk memberikan
instruksi pada anak asuhannya. ― 5 menit..! tahan..tahan‖ teriak si aki yang satu ini. Ketatnya
pertandingan membuat suasana semakin tegang. Pemain bekerja keras, bobotoh terhenyak menahan
napas menjelang detik-detik pertandingan. 5 menit berlalu, peluit panjang melengking di tengah
lapangan. Persib Bandung bersuka cita, Pertokimia tertunduk lesu bersama trio pemain asingnya:
Jackson F. Tiago, Carlos de Mello, dan Darryl Sinerine. Tertorehkan sejarah baru dalam
persepakbolaan Indonesia sekaligus menjadi catatan gemilang masyarakat Bandung.
Final Liga Indonesia yang pertama merupakan pencapaian yang luar biasa, bukan hanya bagi
publik Bandung tetapi juga bagi persepakbolaan Indonesia di mata internasional. Partai final saat itu
adalah rekor dengan jumlah penonton terbanyak dan berakhir tanpa kerusauhan. Euforia kegembiraan
menyelimuti masyarakat Bandung, bahkan Jawa Barat. Hal ini tidaklah mengherankan karena apa yang
dicapai Persib mencerminkan kualitas pembinaan yang baik karena semua pemain adalah pemain lokal
dan bertolak dari kompetisi Perserikatan yang notabene lebih rendah derajatnya dari Galatama. Namun
mampu berjaya.
Gol Sutiono Lamso di menit ke-76 mungkin menjadi momen tak terlupakan bagi sebagian
besar masyarakat Bandung yang turut menjadi saksi kesuksesan Persib Bandung. Melawan Petrokimia di
partai final, Indra Thohir menurunkan skuad terbaiknya antara lain: Anwar Sanusi (kiper), Mulyana,
Robby Darwis, Yadi Mulyadi, Dede Iskandar, Nandang Kurnaedi, Yudi Guntara, Asep Kustiana, Yusuf
Bachtiar, Kekey Zakaria, dan Sutiono Lamso. Dengan bermaterikan pemain lokal, Persib mampu
membawa Piala Presiden ke tanah Priangan. Perjuangan Persib menuju tangga juara jelaslah bukan
Mesin W
aktu
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH 4
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH 5
perkara mudah. Sempat kalah 0-1 oleh Pelita Jaya di
laga pembuka liga, Persib mampu bangkit pada partai-partai berikutnya. Mengakhiri babak penyisihan
Wilayah Barat, Persib berada di peringkat kedua dengan mengumpulkan nlai 69, hasil 20 kali menang,
9 seri, dan hanya 3 kali kalah. Bersama juara Wilayah Barat, Pelita Jaya (nilai 77), peringkat ketiga
Bandung Raya (67), dan peringkat empat Medan Jaya (56), Persib mewakili Wilayah Barat lolos ke
babak ―8 Besar‖. Di babak ―8 Besar‖ yang digelar di Stadion Utama Senayan, Persib bergabung di
Grup B bersama Medan Jaya, Petrokimia Putra. Dengan
mencatat hasil imbang tanpa gol dengan (ASGS), Persib lolos
ke semifinal sebagai juara Grup B. Di semifinal, Persib akhirnya
bisa mematahkan perlawanan keras Barito Putra, ketika Kekey
Zakaria mencetak gol satu-satunya dalam partai tersebut. Di
partai final Persib semakin tak terbendung dan mampu
menekuk Petrokimia 0-1. Kegemilangan Persib terus berlanjut ketika mampu mencapai babak
perempat final Piala Champipns Asia. Sayang Persib harus mengakuai kehebatan Jepang Verdy (1-3),
dan berhasil pula ditaklukkan oleh Thai Farmers Bank (2-3) dan menyerah 1-4 dari Chunwa. Sekalipun
gagal melaju, Indra Thohir memperoleh penghargaan Pelatih Terbaik se-Asia. Itulah masa-masa
kejayaan Persib baik di tingkat nasional maupun internasional, bahkan kesuksesan Persib ini telah
mendorong The Dream Team – AC Milan untuk melakukan pertandingan persahabatan. Walau kalah 0
-8, pertandingan tersebut menjadi catatan tersendiri dalam sejarah Persib.
Kesuksesan Persib tentunya tidak terlepas dari kemampuan Indra Tohir meracik timnya.
Taktik yang konservatif alias kuno namun terbukti efektif dalam setiap pertandingan. Tidak
mengistimewakan salah satu pemain merupakan kunci sukses Tohir di samping konsistensinya
mempertahankan materi lama yang kesemuanya adalah pemain lokal. Setelah masa-masa keemasan di
bawah pelatih Indra Tohir, prestasi Persib kian hari, kian tidak konsisten dan cenderung mengalami
penurunan yang cukup drastis. Kini tantangan berat berada di hadapan Jaya Hartono selaku pelatih
kepala. Harapan masyarakat Bandung tentunya menginginkan piala Presiden kembali ke tanah Priangan
sebagaimana yang terjadi pada LI I. Mampukah mahkota juara itu kembali pada Liga Super Indonesia I ?
Kita tunggu sepak terjang Jaya Hartono. Terakhir, ungkapan ini mungkin cocok bagi Persib: maybe we
are not the best but we are the first. Jadi, buktikanlah !
Mes
in W
aktu
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH 6
Rashomon dan Dunia Hitam-Putih
Judul : Rashomon
Penulis : Akutagawa Ryunosuke
Penerbit : Kepustakaan Gramedia Populer
Tahun : Januari 2008
Tebal : 167 hal.
Misteri sebenarnya dari dunia ini adalah yang tampak, bukan
yang tidak tampak — Oscar Wilde.
Biasanya kita tak begitu punya masalah dengan hal-hal yang tampak. Kita mudah saja
untuk menerima bahwa seseorang itu ―jahat‖ hanya karena ia pernah membunuh, mencuri,
berbohong atau apapun tindak keburukan lainnya. Demikian juga dalam konteks kebaikan; kita
gampang menganggap ―baik‖ seseorang bila ia selalu berpenampilan rapi, ramah, atau suka
menolong. Bila tak menyangkut langsung kepentingan kita, hampir selalu, kita jarang bersusah-
susah bertanya ―benarkah ia seperti yang kelihatannya?‖
Namun, masalahnya dunia tidaklah hitam-putih dan manusia tidak sesederhana itu; ia
sejatinya merupakan pribadi yang kompleks. Dan Rashomon, buku berupa kumpulan cerpen-
cerpen terkenal Akutagawa Ryunosuke –sastrawan Jepang yang sering disebut-sebut sebagai
cerpenis terbaik Jepang- menunjukan hal itu. Akutagawa seperti mencoba untuk tidak dengan
mudah melihat sebuah pribadi manusia. Seorang genin –samurai kelas rendah- moralis yang
kelaparan akhirnya merampok setelah mengalami pergulatan panjang dengan batinnya, seekor
anjing pengecut bernama Shiro dianggap pemberani setelah ia sering menyelamatkan orang,
padahal ia sebenarnya hendak bunuh diri karena tak tahan pada jiwa pengecutnya. Lewat
tokoh-tokoh ceritanya, Akutagawa memberitahu kita –tanpa menggurui- bahwa seseorang
Resensi Bu
ku
yang melakukan tindakan terpuji belum tentu
seorang pribadi yang baik, begitu juga sebaliknya. Buku ini
terdiri dari enam cerpen dan satu novelet yang kesemuannya merupakan karya terbaik
Akutagawa. Secara keseluruhan cerita-cerita Akutagawa ini menampilkan pesan filosofis yang
cukup kental lewat narasi yang penuh dengan satire, kadang jenaka, ditambah dengan alur yang
tak terduga.
Dalam cerita Kappa (kappa adalah sejenis makhluk gaib yang dipercaya masyarakat
Jepang) misalnya, kita bisa melihat nada satire Akutagawa terhadap masyarakat modern yang
digambarkan dengan jenaka; seorang pemuda berusia 30 tahun yang tersesat ke dunia para
kappa menemukan perbedaan antara dunia manusia dan kappa –suatu kebiasaan yang
bersebrangan. Sesuatu hal yang manusia anggap serius, ternyata di dunia kappa merupakan hal
yang lucu dan menggelikan. Ketika melihat proses kelahiran seekor kappa, pemuda itu
menemukan sesuatu yang aneh –seorang ayah menanyai terlebih dahulu anaknya yang masih
berada di dalam rahim, apakah ia sungguh-sungguh ingin dilahirkan ke dunia. Si jabang bayi
menolak lahir ke dunia karena ia tak mau mewarisi sifat jelek bapaknya dan keburukan dunia
kappa.
Permasalahan filosofis yang pelik dihadirkan Akutagawa dalam cerpen Di Dalam
Belukar (Yabu No Naka). Cerpen ini menceritakan jalannya persidangan tentang pembunuhan
dan pemerkosaan lewat serangkaian paparan para saksi. Namun, para saksi tersebut ternyata
mempunyai versinya masing-masing tentang peristiwa itu, sehingga keterangan para saksi
bertentangan satu sama lain dan kebenaran tetap tak terungkap, meskipun pengadilan telah
memanggil roh orang yang terbunuh. Di sini, Akutagawa menyodorkan wacana yang
provokatif bahwa kebenaran final itu nisbi. Kebenaran yang kita temukan hanya sepotong-
sepotong. Karenanya, kebenaran menjadi relatif. Pada tahun 1950, cerpen Di Dalam Belukar
diangkat menjadi film oleh mahaguru perfilman Jepang, Akira Kurosawa dengan memakai judul
cerpennya yang lain, Rashomon –sebuah film yang mempunyai pengaruh besar terhadap
generasi perfilman selanjutnya.
Rese
nsi B
uku
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH 7
Akutagawa merupakan seorang sastrawan yang unik di
negerinya. Bila kebanyakan sastrawan Jepang seangkatannya menulis tentang pengalaman
asmara pribadi mereka dengan gaya naturalis –sebuah tulisan yang dianggap Akutagawa
dangkal- dan terpengaruh semangat barat, Akutagawa malah mengakrabi tema-tema
folklor Jepang dan menjadikannya sebagai inspirasi, seperti cerpen Di Dalam Belukar,
Martir dan novelanya Kappa. Akutagawa merupakan salah satu pengarang utama Jepang
diantara nama-nama besar sastrawan Jepang lainnya di masa sebelum perang, seperti Yukio
Mishima, Yasunari Kawabata, dan Natsume Soseki. (Bulky – ’05)
***
PUISI
Pendosa
Disini
Di puncak bukit-bukit nafsu
Jiwaku kuda perang
Nyalang. Liar. Lapar. Terengah. Sesak.
Kususur lorong-lorong purba
Kusebrang padang-padang celaka
Bersama badai buta
Lereng-lereng berbatu
Aku lelap
Di gelap Jauh terasa risalah ilah
(Bulky )
Resensi Bu
ku
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH 8
Di Sini Memang Gitu...
Sedikit menengok pada beberapa bulan ke belakang. Tepatnya Rabu pagi di bulan
Januari, tidak terlalu cerah tapi tidak juga cocok jika disebut mendung. Rutinitas kuliah atau
lebih tepatnya suasana di minggu-minggu UAS tidak berbeda dengan semester-semester
sebelumnya. Padat oleh mahasiswa dengan nuansa yang cukup sibuk di sana-sini. Ada
yang lalu-lalang dengan raut muka sedikit bingung mencari di mana ruang ujian, ada pun
mahasiswa yang nongkrong di koridor, tidak tanggung jumlahnya, tampak bagai barak
pengungsi akibat banjir bandang, gedung C yang memang agak sedikit gelap lebih tampak
seperti gang-gang kecil sekitar pasar Ujungberung, gelap dan penuh orang. Mahasiswa yang
telat masuk ujian adalah hal basi yang selalu terulang atau sudah menjadi suatu “persyaratan”
mutlak yang pasti dihadapi jika kuliah di sini. Ruangan yang padat, jumlah kursi yang kurang,
kotor, mahasiswa dan dosen nyari ruang kosong (woi..ke mana larinya itu ruangan...!? jadwal
yang salah? Mahasiswa yang kebanyakan…? Atau ruang yang memang kurang?!)
Semua umum terjadi, ga beda. Kadang bosan, cuek, ga peduli, ah…biarlah berjalan
sebagaimana mestinya, yang semestinya itu di sini ya seperti itu…mungkin di peradaban lain
nun jauh di sana hal seperti itu adalah kejanggalan kalau tidak disebut sebagai penyimpangan
dari suatu masyarakat. Kejanggalan itu biasa bagi kita, jadi makanan sehari-hari yang karena
suatu proses lama dan rutin menjadi kewajaran. Ok…mari kita mulai menyapu debu-dedu
yang menghalangi pandangan kita agar bisa melihat lebih dekat dan jelas. Mungkin terkesan
sok tahu, tapi mari melihat dari salah satu aspek yang dekat dan sangat urgen dalam suatu
lingkungan akademis.
Suatu kali saat menjalani ujian di sebuah kelas yang cukup padat di suatu hari yang
sibuk. Mata saya agak sedikit tergoda untuk melihat keluar, menuju ke salah satu daun pintu
yang terbuka. Keinginan itu bukan karena segerombolan cewe seksi yang melintas, bukan
pula karena salah satu keanehan warga Sastra yang kadang kala merasa koridor layaknya
ruang karaoke pribadi, tetapi tertegun melihat ekspresi-ekspresi bingung dari dosen maupun
mahasiswa. Sudah bisa ditebak dengan mudah, mereka kebingungan mencari ruangan yang
rerpresentatif untuk ujian, mengingat ruang yang ada di sekitar situ sudah penuh semua.
Bukan sulit untuk tau apa yang menimpa wajah-wajah
bingung ini karena apa yang saya lihat saat itu adalah refleksi kejadian yang saya alami,
tepatnya 17 menit yang lalu sebelum memulai ujian. Tawa sisnis tersungging dalam
hati....sungguh ironis kita harus berburu ruangan sebelum dapat menjalani ujian, 10-20
menit waktu mungkin bisa terbuang percuma.
Kejadian seperti ini mungkin tidak selalu terjadi tetapi patut mendapat sedikit perhatian.
Seharusnya kondisi ini tidak terjadi pada Universitas sekaliber Unpad yang notabene adalah
ikon Jawa Barat, punya nama di tingkat nasional (entahlah...apa nama saja atau juga kualitas),
dan jumlah mahasiswa serta alumni yang tak kepalang. Jika logika sederhana bekerja maka
bukan reorganisasi jadwal atau pengurangan jumlah mahasiswa yang dilakukan agar ruang
cukup memadai, melainkan ruang tambahan. Kita butuh lebih banyak ruang sebagai sarana
menimba dan menyebar ilmu. Entah apa persisnya yang mengakibatkan kurangnya ruang,
hanya pemegang jabatan yang tau. Hanya mereka yang tahu kondisi rilnya. Terlalu menuntut
juga bukan hal yang tepat, tetapi setidaknya kita sadar akan kondisi dan mau mengutarakan
apa yang terjadi. Bukan semata-mata mengkritik tetapi bisa menjadi bahan perenungan kita
bersama agar kendala dapat terpecahkan. Tetapi ada satu hal yang sedikit mengganjal, koq
mampu ya universitas tercinta kita ini membangun asrama bagi mahasiswa asing dengan
mewahnya (banyak lagi jumlahnya) sementara untuk pribumi..?. Mudah-mudahan usaha ke
arah perbaikan mulai dirintis.
Sekali lagi tulisan ini hanya sarana untuk menggelitik agar kita bisa bangun dari kondisi
ketidakwajaran yang kadang tidak kita sadari, jadi bahan perenungan lewat tulisan orang yang
sok tahu ini, padahal ga tau dan bingung dengan dunia perkampusan. Mencoba untuk memberi
sketsa dari realitas sehari-hari yang kita alami untuk mengeksplore lebih dalam. Masalah ruang
kuliah hanyalah satu dari tumpukan problematika yang ada di kampus dengan intensitas yang
begitu sering kita hadapi. Masih banyak masalah lainnya yang ga akan muat jika ditulis di sini,
tampaknya kertas ukuran legal ini juga sudah ga mampu untuk menampung rangkaian huruf-
huruf yang bikin pusing penulis atau pembacanya karena ukurannya yang terlampau kecil, tapi
tak apa, setidaknya bisa jadi ajang olah raga mata bagi yang baca. (GB ’05)
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH
Kam
pus
Kit
a
9
Bukan sulit untuk tau apa yang menimpa wajah-wajah
bingung ini karena apa yang saya lihat saat itu adalah refleksi kejadian yang saya alami,
tepatnya 17 menit yang lalu sebelum memulai ujian. Tawa sisnis tersungging dalam
hati....sungguh ironis kita harus berburu ruangan sebelum dapat menjalani ujian, 10-20
menit waktu mungkin bisa terbuang percuma.
Kejadian seperti ini mungkin tidak selalu terjadi tetapi patut mendapat sedikit perhatian.
Seharusnya kondisi ini tidak terjadi pada Universitas sekaliber Unpad yang notabene adalah
ikon Jawa Barat, punya nama di tingkat nasional (entahlah...apa nama saja atau juga kualitas),
dan jumlah mahasiswa serta alumni yang tak kepalang. Jika logika sederhana bekerja maka
bukan reorganisasi jadwal atau pengurangan jumlah mahasiswa yang dilakukan agar ruang
cukup memadai, melainkan ruang tambahan. Kita butuh lebih banyak ruang sebagai sarana
menimba dan menyebar ilmu. Entah apa persisnya yang mengakibatkan kurangnya ruang,
hanya pemegang jabatan yang tau. Hanya mereka yang tahu kondisi rilnya. Terlalu menuntut
juga bukan hal yang tepat, tetapi setidaknya kita sadar akan kondisi dan mau mengutarakan
apa yang terjadi. Bukan semata-mata mengkritik tetapi bisa menjadi bahan perenungan kita
bersama agar kendala dapat terpecahkan. Tetapi ada satu hal yang sedikit mengganjal, koq
mampu ya universitas tercinta kita ini membangun asrama bagi mahasiswa asing dengan
mewahnya (banyak lagi jumlahnya) sementara untuk pribumi..?. Mudah-mudahan usaha ke
arah perbaikan mulai dirintis.
Sekali lagi tulisan ini hanya sarana untuk menggelitik agar kita bisa bangun dari kondisi
ketidakwajaran yang kadang tidak kita sadari, jadi bahan perenungan lewat tulisan orang yang
sok tahu ini, padahal ga tau dan bingung dengan dunia perkampusan. Mencoba untuk memberi
sketsa dari realitas sehari-hari yang kita alami untuk mengeksplore lebih dalam. Masalah ruang
kuliah hanyalah satu dari tumpukan problematika yang ada di kampus dengan intensitas yang
begitu sering kita hadapi. Masih banyak masalah lainnya yang ga akan muat jika ditulis di sini,
tampaknya kertas ukuran legal ini juga sudah ga mampu untuk menampung rangkaian huruf-
huruf yang bikin pusing penulis atau pembacanya karena ukurannya yang terlampau kecil, tapi
tak apa, setidaknya bisa jadi ajang olah raga mata bagi yang baca. (GB ’05)
HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH
Kampus K
ita
10
KA
LE
ND
ER
SEJ
AR
AH
Sektertariat : Student Center lt.1 Fakultas Sastra Jl. Raya Bandung-Sumedang km.21Email : himpunan_mahasiswa_sejarah@yahoo.comWebsite: http/www.freewebs.com/mahasiswasejarah HIMPUNAN MAHASISWA SEJARAH
10 Maret
Percakapan Telepon Pertama di Dunia
10 Maret 1876, Alexander Graham Bell yang menciptakan sistem telepon, berhasil melakukan
ujicoba percakapan telepon pertamanya. Bell dan asistennya, Watson, berada di dua ruangan
berbeda dan mereka melakukan percakapan telepon pertama itu
11 Maret
Mikhail Gorbachev Diangkat Sebagai Pemimpin Uni Soviet
11 Maret 1985, Mikhail Gorbachev diangkat menjadi sekjen baru dan pemimpin Uni Soviet,
menyusul kematian pemimpin lama Uni Soviet, Konstantin Chernenko, sehari sebelumnya. Selama
enam tahun berikutnya, Gorbachev menjalankan transformasi radikal di dalam masyarakat Soviet
dan dalam politik luar negerinya
18 Maret
Penjajahan Spanyol di Kolombia Dimulai
18 Maret tahun 1510 dimulailah penjajahan Spanyol atas Kolombia. Kawasan Kolombia ditemukan
oleh seorang petualang Spanyol pada tahun 1499
20 Maret
Invasi AS-Inggris ke Irak
20 Maret 2003, dengan dalih memerangi terorisme dan pemberantasan senjata pembunuh massal,
AS dan Inggris memulai invasi mereka ke Irak. Aksi ini dilakukan tanpa persetujuan PBB dan
mendapat penentangan yang luas dari dunia internasional
22 Maret
FIFA Didirikan
22 Maret 1881, Persatuan Sepakbola Internasional didirikan dengan tujuan untuk mengawasi
pertandingan-pertandingan sepakbola di antara negara-negara dunia. Sebelum dibentuknya
organisasi ini, pertandingan sepakbola hanya dilakukan di dalam negeri dan bersifat tidak resmi.
Organisasi itu kini berubah nama menjadi Federasi Sepakbola Internasional (FIFA)
11
top related