memperbaiki iklim usaha di jawa timur - documents...
Post on 01-May-2018
239 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Memperbaiki iklim Usaha di Jawa TimurPandangan pelaku usaha
BANK DUNIA |THE WORLD BANK «"The Asia Foundation
ca r-k
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Pub
lic D
iscl
osur
e A
utho
rized
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Pandangan Pelaku Usaha
BANK DUNIA | THE WORLD BANK The Asia Faundationa CeebatingFifiyYurs e
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR ISI
KATA PENDAHULUAN 15UCAPAN TERIMAKASIH 16DAFTAR SINGKATAN 17DAFTAR TABEL 19DAFTAR GAMBAR 110
RINGKASAN EKSEKUTIF Ill
I. LATAR BELAKANG DAN TUJUAN 115
I. METODOLOGI 119Desk Study 121Survey J21Kelompok Diskusi Terfokus J 22Studi Kasus 124
III. PROFIL EKONOMIJAWATIMUR 125Pertumbuhan dan Lapangan Kerja 126Perincian Geografis | 29Perincian Sekroral 131Ekspor Jawa Timur I 35
IV. KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR 137Kinerja Investasi di Jawa Timur I 39Perizinan 142Infrastruktur Fisik I 45Pajak dan Restribusi I 47Keamanan 150Perburuhan 1 52
V. RANTAI NILAI KOMODITAS 155Kayu Jati 56Tembakau 165Tebu dan Gula [72Kopi [77Garam 184Udang 192Ternak Sapi I 98Tekstil 1105
VI. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI I i1Kesimpulan 1112Rekomendasi Umum 1113Rekomendasi Sektoral 1116
LAMPIRAN IKondisi Koordinasi Antar Penerintah Lokal di Jawa Timur 1119
Daftar Pustaka 1130
3
1
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
KATA PENDAHULUAN
Ketika desentralisasi di Indonesia berjalan dan pemerintah daerah mulai mernikul tanggung jawab yang semakinmeningkat dalam pembangunan di daerah mereka, ditemukan banyaknya contoh-contoh positif di seluruh Indonesiadari upaya-upaya untuk meningkatkan kerjasama ekonomi antar pemerintah setempat dan melibatkan partisipasi sektorswasta di dalam pembuatan kebijakan. Propinsi Jawa Timur merupakan salah satu di antara contoh-contoh tersebut.
Laporan ini adalah hasil serangkaian kegiatan untuk menyikapi hambatan-hambatan perdagangan dan investasi sertamemudahkan permulaan rencana pembangunan jangka panjang PropinsijawaTimur yang disebut StrategicInfrastructureand Development Reform Program (SIDRP). SIDRP didasarkan atas empat program utama di bidang infrastruktur,pembangunan ekonomi lokal, pemberantasan kemiskinan, dan tata pemerintahan (gouernance). Pemerintah propinsiJawa Timur, yang menyadari pentingnya perbalkan lingkungan usaha bagi pembangunan daerah, telah memprakarsaSIDRP sebagai suatu kesempatan untuk melibatkan sektor swasta. Bank Dunia dan 7e Asia Foundation mendukungprakarsa ini dan kami sangat senang dapat membantu pemerintah dalam proses yang penting ini. Di samping langkahawal ini, Bank Dunia saat ini sedang bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi proyek-proyekinfrastruktur yang akan diberi dukungan, dan The Asia Foundation secara aktif mengadvokasikan penguranganhambatan-hambatan perdagangan dalam negeri serta birokrasi yang dihadapi oleh sektor swasta.
Masukan dari sektor swasta, mulai dari pengusaha mikro sampai dengan perusahaan besar, tak terhingga nilainya dalammembantu pemerintah untuk merumuskan kebijakan ekonromi yang tepat. Laporan ini mengandung sejumlah ilustrasidari perspektif sektor swasta mengenai hambatan-hambatan pertumbuhan yang mereka hadapi, termasuk infrastrukturapa yang menghambat pertumbuhan dan akses terhadap pasar, peraturan-peraturan apa yang menjadi harmbaran bagiperdagangan dalan negeri, dan bagaimana merumuskan bantuan pemerinrah dengan cara yang lebih baik. 7he AsiaFoundation dan Bank Dunia bersama-sama melakukan dialog dengan sekitar 650 pelaku usaha di seluruh Jawa Timuruntuk memperoleh pandangan-pandangan tersebut. Kami percaya bahwa masukan-masukan ini akan digabungkan kedalam reneana-rencana tindakan SIDRP untuk memperbaiki iklim usaha di Jawa Timur. Rekomendasi-rekomendasi inijuga penting bagi pemerintah daerah (kota/kabupaten) di Jawa Timur untuk mengembangkan lingkungan usaha dalamrangka penciptaan lapangan kerja dan menarik investasi.
Pada ranggal I Juni 2004, Bank Dunia dan 7he Asia Foundation, bekerja sama dengan pemerintah propinsi JawaTimur telah menyelenggarakan Forum untuk Iklim Investasi yang Kondusif, Perdagangan dan Persiapan SIDRP? JawaTimur. Forum tersebut dibuka oleb Gubernur Imam Utomo dan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi DorodjatunKuntjoro-Jakti. Pemerintah-pemerintah daerah dan perusahaan lokal dari 38 kota dan kabupaten, lembaga swadayamasyarakat (LSM) serta lembaga donor lainnya ikut hadir untuk membahas temuan-temuan laporan in!, menegaskankomitmen untuk bekerja sama antar pemerintahan lokal untuk mengurangi hambatan perdagangan dalam negeri, danmemilih wakil-wakil sektor swasta yang akan menjadi anggota kelompok-kelompok kerja di dalarn SIDRP
Bank Dunia dan tim The Asia Foundation dengan tulus ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak sektorswasta yang telah ikur mengambil bagian dalam pembahasan bagi waktu dan pandangan-pandangan mereka yangsangat berharga. Kami mengakui bahwa wakt« adalah menentukan bagi usaha-usaha yang dinamis, dan kami berharapbahwa sumbangan berkelanjutan mereka kepada proses SIDRP serta tempat-tempat dialog kebijakan lainnya akanmenghasilkan iklim investasi yang disempurnakan serra kemajuan daerah.
Erin Thebault Weiser, PS. SrinivasDirektur Program Ekonomi Koordinator Keuangan & Sektor Swasta
The Asia Foundation Bank Dunia, Indonesia
5
UCAPAN TERIMA KASIH
Laporan ini disusun oleh suatu tim inti yang dipinpin oleh Bido A. Budiman (The Asia Foundation) dan
Megawati Sulistyo (Bank Dunia), dan beranggotakan: Frida Rustiani, R. Alam Surya Putra, Haryunani
Kumoloraras, Harry Seldadyo, Indra N. Fauzi, dan Ferry D. Latief. Dukungan produksi dilakukan oleh Siti
Aisyah Purnamasari.
Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pengusaha di seluruh Jawa Timur yang telah meluangkan
waktu dan tenaga untuk ikut mengambil bagian di dalam wawancara perorangan, diskusi kelompok terfokus
serta survey iklim usaha.
Ucapan terima kasih khusus kepada Department For International Development (DFID) dan US Agency for
International Development (USAID) untuk dukungan pendanaan bagi proyek ini.
Kami berterima kasih kepada rekan kami Andre Bald (Bank Dunia) untuk mereview laporan ini.
Penyunting: Erin Thebault Weiser dan Megawati Sulistyo
DISCLAIMER
Laporan ini adalah hasil tulisan dari staf Bank Dunia dan The Asia Foundation, namun, pendapat, temuan,interpretasi serta kesimpulan didalarnnya adalah pandangan para pengusaha di Jawa Timur dan bukanmerupakan pandangan Bank Dunia dan The Asia Foundation.
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR SINGKATAN
APEKSI Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia
APKASI Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia
APTR Asosiasi Petani Tebu Rakyat
BAPPENAS Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Bakorwil Badan Koordinasi Wilayah
BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal
BPS Badan Pusat Statistik
BPDE Badan Pengelolaan Daya Elektronik
BPP Direktorat Jenderal Pembinaan Produksi Perkebunan
BPN Badan Pertanahan Nasional
BUMN Badan Usaha Milik Negara
DAU Dana Alokasi Umum
DLLAJ Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya
DPKK Dana Pengembangan Ketrampilan Tenaga Kerja
DPOD Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
DPPM Dinas Penanaman dan Perizinan Modal
FGD Focus Group Discussion (Diskusi Kelompok Terfokus)
GDP Produk Domestik Bruto
GPP Golongan Pengusaha Pabrik
PDRB Produk Domestik Regional Éruto
HAKI Hak Atas Kekayaan Intelektual
HO Undang-undang Gangguan
HPH Hak Pengelolaan Hutan
ITKA Izin Tenaga Kerja Asing
IUI Izin Usaha Industrial
IUT Izin UsahaTetap
KPH Kesatuan Pemangkuan Hutan
MoU Nota Kesepahaman
ISM Lembaga Swadaya Masyarakat
DAFTAR SINGKATAN
UPT Unit Pelayanan Terpadu
PAD Pendapatan Asli Daerah
PBB Pajak atas Bumi dan Bangunan
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
PDP Perusahaan Daerah Perkebunan
Perda Peraturan Daerah
PG Perusahaan Gula Milik Daerah
PLN Perusahaan Listrik Negara
PMA/PMDN Penanaman Modal Asing / Domestik
PTPN Perusahaan Terbatas Perkebunan Negara
P3GI Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia
SIDRP Strategic Infrastructure and Development Reform Program
[Program Infrastruktur Strategis dan Penbaharuan Pembangunan]
SIPA Surat Izin Pemakaian Air
SIUP Surat Izin Usaha Perdagangan
SKM Sigaret Kretek Mesin
SKT Sigaret Kretek Tangan
SKSHH Surat Keterangan Sah Hasil Hutan
SME Small Medium Enterprises [Usaha Kecil dan Menengah = UKM]
SOE State Owned Enterprises [Badan Usaha Milik Negara= BUMN]
SPAP Surat Perintah Alokasi Pembelian
SPM Sigaret Putih Mesin
SPT Sigaret Putih Tangan
SPP Surat Perintah Pembelian
SIP Surat Izin Pembelian
UMR Upah Minimum Regional
PPN Pajak Pertambahan Nilai
8
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Indikator Pembangunan Jawa Timur
Tabel 2.1 Metoda Pengumpulan Data dan jenis serta Sumber Informasi
Tabel 2.2 Responden berdasarkan Nilai Perputaran Usahal Tahun
Tabel 2.3 Jumlah Tenaga Kerja Responden (N = 103)
Tabel 3.1 Sektor Ekonomi di Masing-masing Kabupaten dan Kota menurut Koridor
Tabel 3.2 Tingkat Kaitan ke Belakang dan ke Depan
Tabel 3.3 Nilai Ekspor dan Impor Jawa Timur 1997-2002
Tabel 4.1 Biaya untuk Memperoleh Izin (dalam ribuan Rp)
Tabel 4.3 Upah Minimum Kabupaten-Kota(UMK) di Jawa Timur,
2003 dan 2004 (Rp/bulan)
Tabel 5.1 Kapasitas Industri Pengolahan Kayu dan Produk Hutan Lainnya
serta Pemanfaatannya
Tabel 5.2 Luas Perkebunan dan Produksi Tembakau di Lima Daerah Produksi Terbesar
di Jawa Timur, 2000 - 2002
Tabel 5.3 Ekspor dan Impor Tembakau di Indonesia, 1990- 2000
Tabel 5.4 Produksi dan Nilai EksporTanaman Kopi Indonesia, 1996 - 2001
Tabel 5.5 Harga Ekspor Kopi
Tabel 5.6 Distribusi Kopi Berdasarkan Daerah di Jawa Timur, 1998
Tabel 5.7 Produksi Garan di Indonesia
Tabel 5.8 Daerah Penghasil Garam dan Produksi Garam di Jawa Timur, 2003
Tabel 5.9 Industri Garam Beryodium di Jawa Timur
Tabel 6.1 Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) di Jawa Timur
9
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peta Jawa Timur 117Gambar 2.1 Struktur FGD, 123Gambar 3.1 Perbandingan Angka Pertumbuhan Ekonomi, 1998-2002 I 26Gambar 3.2 Sumbangan terhadap PDRB menurut Sektor j 27Gambar 3,3 Pertumbuhan Ekonomi menurut Sektor 1 27Gambar 3.4 Distribusi Sektoral PDRB Jawa Timur, 2002 I 28Gambar 3.5 PDRB menurut Sektor Usaha di Kota dan Kabupaten di Jawa Timur 1 29Gambar 3.6 Sektor Ekonomi Di Jawa Timur dengan Keterkaitan 1 34
ke Depan dan ke Belakang yang Relatif KuatGambar 3.7 Nilai Eksport Komoditas Utama non-Migas Jawa Timur 1 36Gambar 3.8 Nilai Ekspor Jawa Timur-ke 5 Negara Mitra Dagang Utama, 1997-2001 [36Gambar 4.1 Persetujuan Investasi Asing di Jawa Timur, 1997-2002 i 39Gambar 4.2 Persetujuan Investasi Dalam Negeri di Jawa Timur (1997 - 2002) | 40Gambar 4.3 Pelaku Usaha Yang Setuju bahwa Iklim Usaha di Kota/ Kabupaten 1 41
Mereka Mendukung (%)Gambar 4.4 Pelaku Usaha Yang Setuju bahwa Pemerintah Lokal mereka memudahkan I 43
perizinan usaha (%)Gambar 4.5 Persepsi Pelaku. Usaha mengenai Infrastruktur (Jalan, Transportasi, Listrik, Air) I 45Gambar 4.6 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Pungutan I49Gambar 4.7 Indeks Kondusifitas Keamanan [51Gambar 4.8 Kondisi Pasar Tenaga Kerja, 2000 | 48Gambar 5.1 Perbandingan Nilai Keluaran Industri dan Nilai Ekspor [57
(Kayu dan Barang Produk Kehutanan Lainnya)Gambar 5.2 Rantai Distribusi Usaha Perkayuan di Jawa Timur 1 58Gambar 5.3 Proses Validasi SKSHH 1 60Gambar 5.4 Produksi Tembakau J 67Gambar 5.5 Rantai Produksi Gula I73Gambar 5.6 Rantai Produksi Kopi [80Gambar 5.7 Proses pemetikan sampai dengan sortiran biji kopi di Indonesia j81Gambar 5.8 Produksi Garam 1 87Gambar 5.9 Rantai Produksi Garam. [88Gambar 5.10 Ekspor Hasil Perikanan Jawa Timur 1999-2002 | 92Gambar 5.11 Rantai Produksi Udang 193Gambar 5.12 Perubahan dalarn Populasi Ternak Sapi di Jawa Timur i 99Gambar 5.13 Rantai Produksi Ternak Sapi I 99Gambar 5.14 Rata-rata Harga Eceran Daging Sapi di Daerah-Daerah [102
Pedesaan Jawa Timur (Rp/kg)Gambar 5.15 Rantai Produksi Tekstil 1106
10
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
RINGKASAN EKSEKUTIF
Apakah pemerintah daerah memahami dengan baik lingkungan usaba di daerah kami? Ini
merupakan pertanyaan yang berulang kali ditanyakan oleh sektor swasta, tidak saja di Jawa Timur
akan tetapi juga di seluruh Indonesia, terutama dalam tahun-tahun terakhir ketika otonomi daerah
berjalan.
Sektor swasta adalah mesinpertumbuhan ekonomi, dan sesuai dengan itu merupakan shareholder kunci
serta stakeholder dalam lingkungan usaha. Jawa Timur beruntung telah memiliki pertumbuhan yang
mantap yang dimungkinkan dihasilkan pertumbuhan oleh sektor swastanya yang sangat dinamis.
Akan tetapi, supaya dapat memberikan hasil-hasil optimal dalam pertumbuhan dan penciptaan
lapangan kerja, banyak lagi yang perlu dilakukan untuk mendukung lingkungan yang ramah usaha.
Dukungan tersebut, seperti ditemukan oleh kajian lapangan kami di daerah yang berbeda-beda di
Jawa Timur.
Persaingan yang semakin meningkat tidak dapat dihindari; tantangannya ialah untuk memiliki daya
saing. Daya saing di dalam lingkungan usaha memiliki banyak faktor kunci dari sumber daya alam,
infrastruktur, peraturan pemerintah serta akses terhadap modal dan keamanan. Dalam tulisan
ini kami memusatkan perhatian pada kondisi-kondisi infrastruktur (jalan raya, listrik, air) dan
peraturan-peraturan pemerintah (terutama pemerintah daerah), serta faktor-faktor lain - seperti
akses terhadap pendanaan - juga tercatat. Jawa Timur, dengan jumlah penduduk sekitar 35 juta
orang, tak pelak lagi memiliki platform untuk menjadi suatu daerah dengan daya saing besar. Sektor
pertanian yang berkembang dengan baik, sumber-sumber daya alam yang berlimpah seperti gas
bumi cair di Selat Madura, dan akses terhadap pelabuhan laut (Tanjung Perak) merupakan salah
satu keunggulan komparatifnya. Di samping itu, propinsi ini juga merupakan lokasi sejumlah
industri besar. Namun demikian Jawa Timur tidak kebal dalam menghadapi tantangan-tantangan
di dalam lingkungan usaha - baik dar faktor internal maupun eksternal.
Titik pandang dari sektor swasta merupakan substansi inti laporan ini. Tim kami telah melakukan
konsultasi dengan sekitar 650 pengusaha lintas daerah di propinsi Jawa Timur mulai dar! petani
dan nelayan sampai usaha kecil, menengah dan besar. Diskusi kelompok terfokus (FGD) dan
wawancara mendalam dilakukan selama beberapa bulan di berbagai lokasi di seluruh daerah, dan
dilengkapi dengan penelitian dan survei. Kami menggunakan pendekatan sektoral untuk memberi
ilustrasi praktis kepada masalah-masalah yang diangkat, dan analisis rantai'perdagangan bermanfaat
untuk menguraikan berbagai perspektif dari pelaku usaha hulu sampai hilir.
Tanda-tanda adanya hambatan infrastruktur telah munculdi berbagai bidang. Jalan-jalan sempit yang
mulai mengarah pada kemacetan, gangguan listrik dan kekurangan air merupakan keluhan-keluhan
utama. Pada saat ini upaya-upaya yang ada masih mampu berjalan akan tetapi pada pertumbuhan
11
ke depan akan menghadapi risiko akibat kendala-kendala infrastruktur. Air, misalnya, seringkali mengalami kekurangan pasokan bagi usaha-usaha pertanian di Madiun, Situbondo, Ngawi,Ponorogo, Madura, dan air yang tercemar telah mempunyai dampak yang merugikan terhadappembudidayaan perikanan, khususnya di Tuban. Bahkan ibu kota Surabaya mempunyai masalahdengan air bersih.
Banyaknya peraturan daerah yang perlu ditinjau kembali. Dalam hal peraturan daerah, ada duajenis yang menimbulkan keberatan dari sektor swasta. Pertama ialah peraturan-peraturan yangmembebankan pajak dan pungutan tambahan kepada pelaku usaha. Kedua ialah peraturan-peraturan yang menciptakan persaingan tidak adil baik. di tengah sektor swasta, maupun antarapemerintah daerah dan sektor swasta. Kasus untuk jenis kedua diflustrasikan oleh para petani kopidi Jember di mana pemerintah daerah mendirikan suatu PDP (Perusahaan Daerah Perkebunan)dan menerbitkan Surat Edaran kepada semua unit kerja di lingkungan pemerintah daerah untukmembeli kopi hanya dari PDP tersebut.
Seringkali buntuan pemerintah dengan maksud baik tidak mencapai hasil-hasil yang diinginkanakibat kurangnya konsultasi dengan para pihak-pihak yang berkepentingan. Keadaan ini berulangkali diilustrasikan di bidang pertanian pada saat pemerintah memberi bantuan kepada para petanimulai dar benih sampai dengan peralatan, yang pada akhirnya tidak digunakan oleh para penerimaoleh karena bantuan tersebut tidak memenuhi kebutuhan mereka akibat kurangnya konsultasi, dankadang-kadang karena nepotisme dalam pengadaannya. Contoh lainnya yang lebih luas misalnyaketika sektor swasta telah memberikan pandangan-pandangan mereka tentang salah satu usulanSIDRP (Strategic Infrastructure and Development Reform Program) untuk pembangunan terminalpertanian. Para perusahaan -mengakui bahwa ini merupakan prakarsa yang bagus, namun apabilaberlokasi di Sidoarjo seperti direncanakan, maka akan terlalu jauh dar para produsen yang notabenemerupakan pihak pertama yang ingin dibantu.
Masalah-masalah pungutan ilegal dan keamanan cukup jelas, namun tidak demikian halnya denganpemecahannya. Sejak tahun 1998, suatu peternakan udang di Tuban telah kehilangan sampaidengan 50% dari produksinya oleh karena penjarahan, dan para petani kopi terpaksa memanentanaman mereka lebih awal - membiarkan mutu dan harga yang lebih rendah - untuk menghindarikeadaan seperti itu. Tentang pungutan ilegal berbagai contoh diberikan oleh sektor swasta padasetiap diskusi mengenai jenis, metoda, jumlah dan pihak penerima pembayaran-pembayarantersebut. Pelaku usaha sepakat dalam merekomendasikan penegakan hukum, namun merekapesimis bahwa ini metupakan pemecahan realistis, mengingat dalam banyak hal masalahnya beradadi pihak penguasa.
Memperbaikifungsi koordinasi antarpemerintah daerah adalah penting, terutama untuk meningkatkanperdagangan dalam negeri. Akses kepada pasar merupakan kebutuhan dasar bagi pelaku usaha baikskala besar maupun kecil. Pada lampiran laporan ini kami telah menyusun informasi tentang forum-
12
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
forum pemerintah daerah yang ada di Jawa Timur. Ada berbagai forum kelompok dan beberapa
kooperasi bilateral, misalnya antara Surabaya dan Sidoarjo. Forum-forum ini hendaknya didorong
untuk memperluas isu-isu di luar masalah sosial dan politik, tetapi juga mencakup investasi dan
perdagangan. Belum lama ini Jawa Timur telah memprakarsai suatu forum tentang UPT (Unit
Pelayanan Terpadu) untuk berbagi praktek-praktek terbaik dalam perizinan usaha.
Forum untuk Iklim Investasi dan Perdagangan Jawa Timur yang diadakan pada tanggal I Juni 2004
hendaknya digunakan sebagai titik awal ke arah dialog publik-swasta yang lebih baik dan lebih teratur
untuk memecahkan isu-isu tersebut. Laporan ini mengangkat beberapa isu awal, dan kami berharap
bahwa laporan in! dapat menyajikan pemahaman yang bermanfaat, khususnya bagi pemerintah
propinsi dan pemerintah daerah diJawaTimur dalam upaya mereka untukmeningkatkan lingkungan
usaha di daerah mereka.
13
&
i LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
LATAR BELAKANG DAN TUJUAN
Laporan ini menyajikan hasil penelitian yang diadakan oleh Bank Dunia dan The Asia Foundationuntuk mengidentifikasikan hambatan-hambatan terhadap perdagangan dan investasi di Jawa Timur.Kegiatan ini diprakarsai oleh Bank Dunia dan Re Asia Foundation, dengan beberapa tujuan pen-ting: (i) untuk mendukung partisipasi sektor swasta di dalam proses perencanaan publik berkai-tan dengan bantuan potensial Bank Dunia bagi proyek-proyek infrastruktur; (ii) untuk memberikesempatan kepada sektor swasta untuk mengutarakan keluhan-keluhan mereka kepada pemerin-tah daerah dan membuat rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki iklim investasi; dan (iii)untuk mendorong peningkatan koordinasi antara pemerintah daerah dalam memicu perdaganganantar daerah. Peranan Tim Asia Foundation I Bank Dunia ialah mengidentifikasikan hambatan-hambatan terhadap perdagangan dan investasi dan untuk memfasilitasi kegiatan-kegiatan untukmemperkenalkan suatu proses berkelanjutan dan dapat ditlangi tentang bagaimana pemerintahdaerah dapat bekerja sama dengan sektor swasta dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Kegiatan ini dilaksanakan dengan menyesuaikan beberapa aktifitas kegiatan Strategic Infrastrutureand Development Reform Program (SIDRP) Pemerintah Propinsi Jawa Timur. Proyek SIDRP mem-punyai dua tahap, yaitu: pertama ialah pembentukan suatu visi strategis, yang secara konkrit akandiikuti dengan rencana-rencana pembangunan regional yang dikoordinasikan oleh PemerintahPropinsi Jawa Timur dan didukung oleh ke-38 pemerintah daerah di propinsi tersebut. Kedua ialahproyek-proyek investasi oleh lembaga-lembaga donor, seperti Bank Dunia maupun donor-donorlainnya. Penelitian yang disajikan di sini bermuara pada tahap persiapan SIDRP: menetapkan visistrategis dan rencana-rencana pembangunan regional. Adalah sangat penting bahwa suara sektorswasta, sebagai stakeholder dalam proyek ini, diwakili di dalam kelompok-kelompok kerja diketuaioleh pemerintah di bidang pembangunan perekonomian dan infrastruktur daerah.
Di samping itu hambatan-hambatan terhadap perdagangan antar daerah telah meningkat sejak di-perkenalkannya otonomi daerah sebaga! akibat peraturan-peraturan daerah baru dengan maksudmeningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Dalam laporan yang dipusatkan pada Jawa Timurini, hambatan-hambatan terhadap perdagangan dalam negeri ditemukan merupakan hambatan be-sar terhadap pertumbuhan usaha. Tim Asia Foundation dad Bank Dunia mengangkat isu tersebutmelalui laporan ini dan di dalam suatu Forum Jawa Timur yang diselenggarakan pada bulan Juni2004 sebagai bagian proyek ini. Forum tersebut telah menghadirkan 400 pejabat pemerintah (kota,kabupaten dan propinsi) serta pelaku usaha. Hasil forum tersedia dalam bahasa Indonesia'. Ham-batan-hambatan terhadap perdagangan dan investasi yang disoroti dalam temuan-temuan peneli-tian juga dibahas dalarn talk show di radio dan dalam lokakarya-lokakarya tingkat kabupaten yangdisponsori oleh The Asia Foundation.
FomnnJawa imnur untuk Iklim Inutasi dan PerdagngdnyangKondusifdan Penyiapan SIDRP, Bank Dunia dan The Asia Foundation
16
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 1. PetaJawaTimur
PETA JAWA TIMURINDONESIA
P, Bawan
Laut Jawa
KEP. KANGEAN
rN
SAMUDRA INDONESIA
Koridor-koridor perdagangan
17
Latar Belakang dan Tujuan
Tabel 1.1 Indikator-Indikator Pembanguan Jawa Timur
Jawa Timur Versus Periode TerakhirJawa Indo- Peringkat dibandingkanT
Timur nesia (30 Prov) denr periode Jawa Timur % Indonesia %seIelumnya perubahan perubahan
Produk Domestik Bruro 2002 226,957 1,539,579 2 195,762 (2001) 16 13(sekarang, mfilyar Rp)
PDRB per kapita 2002 6,443 7,262 14 5,593 (2001) 15 11(sekarang, ribuan Rp) ______ _____ ______
Angka pertumbuhan PDRB 2002 3.4 4.07 21 3.5 (2001) -2 5(kons tan 9 3p)
Angka pertumbuhan 2002 2.8 2.6 13 = 2.8 (2001) -3 9per kapita (konstan)
Total ekspor 2002 US$ juta 5,282 61,058 3 4,989 (2002) 6 17(Tg. Perak, Srbya)
Angka pengangguran terbuka 2063 8.6 9.5 14 6.43 (2002) 35 5
Angka kemiskinan 2003 20.9 17.4 13 21.9 (2002) -7 -4
Angka Kemiskinan Perkotaan 2003 16.8 13.5 11 18.9 (2002) -11 -6
Angka Kemiskinan Pedesaan 2003 23.7 20.2 8 24.1 (2002) -2 -4
Indeks Pembangunan Manusia 2002 64.1 65.8 25 61.8 (1999) 4 2
Angka melek huruf dewasa 2002 83.2 89.5 28 81.3 (1999) 2 1
Harapan hidup 2002 (tahun) 66.0 66.2 24 65.5 (1999) 1 0Rata-rata tahun pendidikan sekolah 6.5 7.1 25 5.9 (1999) = 10 102002
Penduduk tanpa akses terhadap sarana 22.2 23.1 9 17.1 (1999) 30 7kesehatan % 2002
Penduduk tanpa akses terhadap air 36.7 44.8 4 43.0 (1999) yl -15 -14bersih % 2002
Penduduk tanpa akses terhadap sanitasi 31.5 25.0 18 31.9 (1999) - -1 n/a%2002
Angka kematian bayi 2002 (per 1,000) 47.0 43.5 20 48.0 (1999) - -2 n/a
Rumah tangga dengan lantai tanah 27.5 16.7 25 28.3 (1999) - -3 n/a2002 (%)
Balita kurang gizi. (%) 25.5 25.8 13 30.7(1999) -17 -14
Penduduk 2003 (juta) 36.2 215.0 2 34.7 (2000) 1 5
Angka pertumbuhan penduduk 2000 1.42 1.50 12 yl 1.49 (1990-00) yl -30 1-2003
Kepadatan penduduk per m2 2003 756 114 6 726(2000) 1 5
Penduduk 2000 (juta) 2.6 n/a n/a 2.5 (1990) - 4 n/a
Penduduk Surabaya, Sidoarjo, 4.8 n/a n/a † 4.3 (1990) -- 12 n/aGresik 2000 (juta) l - l l l lSumber: Statistik Indonesia (BPS 2003), dan Laporan Pembangunan Manusia Indonesiat 2004 (BPS. BAPPENAS, UNDP 2004)
18
2 METODOLOGI Desk Study
Survey
Diskusi Kelompok Terfokus
Studi Kasus
METODOLOGI
Kegiatan pengumpulan data dilakukan mulai bulan Oktober 2003 sampai dengan bulan
Maret 2004 dan mencakup semua kota dan kabupaten di Jawa Timur. Pilihan metodologididasarkan atas jenis-jenis informasi dan data yang dicari serta sumber-sumber informasi
yang tersedia. Jenis-jenis informasi yang dicari serta metoda-metoda yang digunakan dapatdilihat pada Tabel berikut ini.
Tabel 2.1 Metoda-Metoda Pengumpulan Data dan Jenis-Jenis serta Sumber-Sumnber Informasi
Informasi makro tentang keadaan Data sekunder dalarn bentuk hasil-hasil Desk Study
umum d! Jawa Timur, baik pada penelitian, statistik-statistik, kliping
tingkat propinsi maupun kota/kabu- surat kabar, dan Internet
paten
Informasi umum tentang kondisi- Data primer yakni responden meru- Survey (Total responden = 103
kondisi usaha di daerah dan me- pakan pelaku usaha yang dipilih secara orang)
kanisme koordinasi antar pemerintah acak/random serta perwakilan aparat
daerah pemerintah dari forum-forum koordi-
nasi yang ada
Informasi tentang hambatan-ham- Pelaku usaha sebagai key informan, yang Diskus Kelompok
baran perdagangan dan investasi di sengaja dipilih berdasarkan sektor yang terfokus (FGD) (Total = 7 FGD
sektor-sektor terpilih. sama dengan total peserta = 527 orang)
Studi Kasus Informan kunci dari beberapa unsur Wawancara mendalam (Total
baik pelaku usaha dan pelaku lainnya informan kunci = 59 orang)
yang mendukung kegiatan usaha seperti
pengelola kawasan industri atau kope-
rasi yang sengaja dipilih berdasarkan
informasi khusus yang dibutuhkan
20
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Desk Study
Kegiatan utama dalam metode ini adalah mengumpulkan semua data sekunder yang terkait
dengan ekonomi di Jawa Timur. Sumber data sekunder yang dihimpun dalam kegiatan ini yakni:• Hasil-hasil penelitian, makalah-makalah seminar baik yang ditulis oleh LSM, lembaga pene-
litian maupun donor-donor asing mengenai Jawa Timur
• Data-data resmi dari pemerintah baik pusat seperti BPS maupun daerah seperti Kota,
Kabupaten maupun Provinsi Dalam angka, PDRB masing-masing Kota dan Kabupaten,
peraturan-perturan pemerintah daerah.
• Informasi dari media massa baik surat kabar, atau media elektronik termasuk internet.
Data-data sekunder tersebut terutama digunakan untuk memetakan kondisi-kondisi ekonomi di
Jawa Timur pada tingkat makro.
Survey
Survey dilakukan selama bulan Oktober 2003 sampai dengan Januari 2004. Informasi utama yang
dikumpulkan melalul kegiatan survey ini adalah pertama mengenai persepsi pelaku usaha terhadap
beberapa aspek yakni perizinan, infrastruktur, pungutan dan aspek keamanan usaha. Kedua yakni
informasi mengenai efektivitas koordinasi yang terjadi antar pemerintah Kota dan Kabupaten dan
juga dengan pemerintah provinsi di Jawa Timur.
Informasi mengenai persepsi pelaku usaha dijaring melalui daftar pertanyaan (kuesioner), semen-
tara mengenai efektivitas koordinasi dilakukan melalui wawancara berdasarkan daftar pertanyaan
terbuka yang telah disiapkan sebelumnya.
Adapun responden dari survey ini adalah 103 responden dari unsur pelaku usaha yang berasal dari
11 sektor2. Adapun karakteristik responden adalah sebagai berikut:
2Sekcor-scktor tersebur adalah agrobisnis, Jasa non perdagangan, industri kaym, kerjinan, logam, industri makanan dan industri dalan katagori lin, perdagangan,
pcrtanbangan, industri teksril dan jasa tmnsportasi.
21
Metodologi
Dari Tabel 2.2 di atas maka jelas bahwa mayoritas Tabel 2.2 Responden menurut Nilai Omset
responden (49.9%) dalam studi ini memiliki omset Usaha/Tahun
kurang dar! 500 juta rupiah. Sementara itu, melihat Omset Usaha (Rp) Persentase
jumlah tenaga kerja, survey ini juga menunjukkan Lebih dari 1 milyar 32 %
bahwa mayoritas responden (79.6%) mempunyai 500 juta - 1 milyar 14,6 %
kurang dari 100 orang tenaga kerja. Dengan demiki- 100 juta - 500 juta 37,2%
an, melihat omset usaha serta jumlah tenaga kerja Kurang dari 100 juta 12,6 %
mereka, mayoritas responden dalam survey in berada Total 100%
dalam kategori pengusaha kecil dan menengah. Tabel 2.3 Jumlah KaryawanResponden
Sementara itu, informasi mengenai efektivitas koor- Jumlah Karyawan Persentase
dinasi antar pemerintah di Jawa Timur diperoleh dari Lebih dari 100 orang 20,4 %
beberapa sumber yang mewakili beberapa forum 20 - 99 orang 44,6 %
koordinasi. Forum-forum tersebut dapat dibedakan 5 - 19 orang 35 %
dalam dua kelompok yakni pertama forum yang Total 100%
berada di bawah koordinasi petnerintah propinsi dan
kedua adalah forum yang merupakan prakarsa pemerintah Kota dan Kabupaten di Jatim. Forum
kategori pertama ada 4 yakni Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil), Dinas Perindustrian dan
Perdagangan, Biro Kerjasama dan Hukum serta Badan Pengelolaan Dana dan Elektronik (BPDE).
Sementara forum kategori kedua diantaranya APEKSI dan forum-forum bilateral.
Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussions)
Diskusi kelompok terfokus (FGD) dilakukan terhadap pelaku usaha yang ada di Jawa Timur. Peser-
ta FGD seluruhnya berjumlah 527 pelaku usaha baik mikro sampai menengab yang terbagi dalam7 kali FGD. Pada setiap kali FGD peserta yang hadir adalah merupakan pelaku usaha dari be-berapa wilayah di sekitar tempat FGD dilaksanakan. Seluruh peserta merupakan pelaku usaha dari
beberapa sektor usaha yang cukup menonjol pada wilayah tersebut. Para peserta kemudian dibagidalarn kelompok-kelompok berdasarkan sektor. Sehingga dapat secara mendalam mendiskusikanpersoalan dalam pengembangan usaha mereka pada masing-masing sektor.
Diskusi pada setiap sektor dimulai dengan menguraikan rantai tata niaga pada komoditas tertentu.Kemudian dilanjutkan dengan merinci persoalan yang dihadapi oleh pelaku usaha pada setiap ran-tai bisnis. Berdasarkan rincian masalah tersebut kemudian secara partisipatif dibuat kesepakatanmengenai prioritas masalah yang sangat mendesak untuk diatasi. Diskusi umumnya ditutup denganmencoba menjaring gagasan dari para pelaku usaha peserta diskusi mengenai solusi-solusi terhadapmasalah-masalah terutama yang menjadi prioritas utama.
22
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 2.1 Struktur-struktur Diskusi FGD
Penjelasan Umum Maksud dan Tujuan FGD
Problem pada Setiap Rantai pada Rantal Bisnis
Usulan Solusi (Rekomendasi)
Kegiatan pengumpulan data melalui metodefocusgroup discussion !ni dilakukan sebanyak 7 kali diJawaTimur. Tempat FGD ditentukan berdasarkan (a) sebaran wilayah (b) jarak tempuh. Jangkauan
area asal peserta per FGD dibatasi paling banyak 5 kota/kabupaten dan jarak tempuh asal peserta
ke tempat FGD maksimal 3 Jam. Peserta diskusi yang hadir merupakan pelaku usaha dari wilayah
sekitar pelaksanaan diskusi tersebut. Adapun 7 titik yang dimaksud adalah sebagai berikut :
• FGD 1 mencakup Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten dan Kota Pasuruan , dan Kabupaten
dan Kota Mojokerto;* FGD 2 mencakup Kabupaten dan Kota Kediri, Kabupaten Tulung Agung, Kabupaten
Nganjuk, dan Kabupaten Jombang;* FGD 3 mencakup Kabupaten dan Kotamadaya Malang, Kabupaten dan Kota Blitar, dan
Kota Batu;• FGD 4 mencakup Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Sampang, Kabupaten Bangkalan, dan
Kabupaten Sumenep;• FGD 5 mencakup Kota Surabaya, Kabupaten Gresik dan Kabupaten Lamongan;
* FGD 6 mencakup Kabupaten Jember, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Situbondo, Kabu-
paten Bondowoso, dan Kabupaten Banyuwangi;
* FGD 7 mencakup Kabupaten dan Kota Madiun, Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Ngawi
dan Kabupaten Magetan;
3Kota nierujuk pada wilayah perkotaan dan Kabupaten merujuk pada wilayah pedesman
23
Metodologi
Studi Kasus
Pengumpulan informasi melalui indepth interview didasarkan atas pertimbangan bahwa masih ter-
dapat'beberapa informasi yang sulit untuk digali melalui kegiatan survey, desk study maupunfocus
group discussion. Informasi yang belum tergali melalui metode sebelumnya teruitama menyangkut
informasi yang sangat spesifik pada setiap sektor serta yang sifatnya relatif sensitif khususnya bagi
informan.
Indepth interview- dilakukan terhadap sekitar 6 sampai 10 orang informan pada setiap indepth
interview. Total jumlah key informan pada kegiatan ini adalah 59 orang. Adapun indepth interview
dilakukan di daerah sebagai berikut:
* Wawancara mendalam 1 mencakup Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Mojokerto, dan Kabu-
paten Pasuruan* Wawancara mendalam 2 mencakup Kabupaten Pacitan;* Wawancara mendalam 3 mencakup Kabupaten Trenggalek;
* Wawancara mendalam 4 mencakup Kabupaten Tuban;
* Wawancara mendalam 5 mencakup Kabupaten Bojonegoro;
Pengamatan yang lebih mendalam juga dilakukan dengan secara langsung peneliti mengikuti jalur
pengiriman barang. Upaya mengikuti jalur pengiriman barang ini terutama di lakukan untuk
mendapatkan gambaran secara nyata mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi oleh pelaku
usaha dalam jalur perdagangan ini. Adapun jalur yang diikuti yakni Malang menuju Pelabuhan
Tanjung Perak Surabaya yang mengangkut kayu.
24
3 PROFIL EKONOMI JAWA TIMUR Pertumbuhan & Lapangan Kerja
Perincian Geogra
Perincian Sektoral
Ekspor Jatim
PROFIL EKONOMI JAWA TIMUR
Pertumbuhan dan Lapangan Kerja
Jawa Timur merupakan pusat kunci pertumbuhan di kawasan Timur Indonesia, karena iamemenuhi peranan sebagai pintu gerbang untuk perdagangan antara kawasan barat dan ka-wasan timur Indonesia. Dengan penduduk berjumlah sekitar 35 juta (BPS, 2003), propinsiJawa Timur merupakan penyumbang besar kepada PDB nasional, dengan 196,5 trilyun ra-piah (harga-harga sekarang untuk tahun 2001) per tahun, atau lebih dari 13% Produk Do-mestik Bruto (PDB) nasional.
Angka pertumbuhan ekonomi Jawa Timur sangat mirip dengan angka keseluruhan nasional.Pada tahun 1998, dimana dampak krisis mencapai puncaknya, pertumbuhan ekonomi indo-nesia minus, demikian pula Jatim. Bahkan pada saat itu kondisi pertumbuhan ekonomi diJatim lebih buruk. Tahun 1999 dan seterusnya gerak pertumbuhan mengalami kenaikan dansejak tahun 2000 cenderung stabil walaupun tidak terlalu tinggi.
Grafik 3.1 Pertumbuban Ekonomi Jawa Timur Tahun 1998 -2002
10-·--- Nasional
5--U-- Jawa Timur
1998 1999 2000 2001 2002
-5-
-10
-15
-20Sumber: CBS. 2002
Melihat kontribusi persektor terhadap PRDB Jawa Timur, dapat dilihat bahwa pangsa sek-tor pertanian telah menurun selama lima tahun terakhir, sementara pangsa sektor industrimeningkat dengan mantap. Sektor jasa juga menunjukkan kenaikan, dan merupakan pe-nyumbang terbesar terhadap PRDB.
26
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 3.2 Sumbangan terhadap PRDB menurut Sektor
60 -Jasa
Industri50-
Pertanian
40CO
30
20
10
0-
1983 1988 1993 1998 2003
Gambar 3.3 Pertumbuhan Ekonomi menurut Sektor
15 - Jasa
10 ..--- Industri
Pertanian5
.0 0
t -50-
-10
-15
-20
-25
1983 1988 1993 1998 2003
Sumber: BPS, berbagai edisi
Sektor Jasa, yang mengelompokkan hotel, restoran, niaga, transportasi dan komunikasi, memberi
peranan yang semakin penting kepada Jawa Timur di kawasan timur Indonesia. Tidak kurang dar
lima hotel berbintang lima terdapat di sini, di samping sejumlah besar hotel berbintang empat dan
berbintang tiga, yang semuanya memberi sumbangan kepada nilai tambah sektor ini.
27
Profil Ekonomi Jawa Timur
Perdagangan, bersama-sama dengan transportasi dan komunikasi, juga mempunyai peranan yangsangat penting dalam ekonomi Jawa Timur. Sekitar 9% dari total nilai ekspor Indonesia dilakukanmelalui pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya (Panggabean, dkk., 2003). Demikian pula, BandaraJuanda tidak saja melayani penerbangan dalam negeri ke kawasan barat dan kawasan timur Indo-nesia, tetapi juga menfasilitasi paling sedikit 35 penerbangan internasional setiap minggu. Bandaratersebut juga sedang mengalami perluasan besar.
Ketiga sektor tersebut di atas menunjukkan asimetri di dalam jumlah tenaga kerja yang dipeker-jakannya. Pada tahun 1999, dari seluruh angkatan kerja Jawa Timur sebesar 17.554.632, 46,18persen bekerja di bidang pertanian, 22,32% di bidang industri, 12,70% di bidang jasa dan 8,80%di bidang perdagangan4 .
Gambar 3.4 Distribusi Sektoral PRDB Jawa Timur, 2002
6%
- 17%
Pertanian
23% Transpotasi & komunikasi
- Listrik, gas dan air bersih
Industri Pengolahan
Jasa-jasa
Perdagangan, hotel dan restoran
Konstruksi
2%-25% Pertambangan & penggalian
11% Keuangan, persewaan & jasa perhubungan
9% 4%
Sumber: Data PDRB diolah, BPS, Jawa Timur, 2002
Jika kita melihat perbandingan pada Gambar 3.4 diatas, ada dua aspek yang jelas di dalan pola sek-toral. Pertama, ada sektor yang memberi sumbangan rendah terhadap nilai tambah kepada PRDBakan tetapi mempekerjakan angkatan kerja yang besar, yaitu: pertanian. Berlawanan dengan ituada sektor-sektor lain yang memberi sumbangan nilai tambah relatif tinggi namun mempekerjakanjumlah angkatan kerja relatif rendah, yaitu: sektor-sektor industri dan jasa.
4http:leng1ish.d-infonom-jarim.go.id/eastjava.asp, di download pada tanggal i Desember 2003.
28
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Perincian Geografis
Dalam arti spasial, juga ada ketidakimbangan dalam distribusi ekonomi. Lebih dari 20% ekonomi
Jawa Timur terpusat di Surabaya, dan jika kita memperluas ini dengan mencakup daerah pinggi-
ran kota Surabaya, atau yang disebut daerah «Gerbangkertasusila" (Gresik, Bangkalan, Mojokerto,
Surabaya, Sidoarjo dan Lamongan), hampir 40 persen dari ekonomi propinsi tersebut terpusat
dalam daerah ini.
Gambar 3.5 PRDB menurut Sektor Usaha di Kota dan Kabupaten di Jawa Timur
Kota Blitar
Kota Mojokerto
Kota Pasuruan
Pacitan
TrenggalekKota MadiunPamekasan
Kota Probolinggo
MadiunMagetan
BondowosoBangkalan
Sampang
NgawiPonorogo
SitubondoNganjuk
Blitar
Sumenep
BojonegoroLumajang
LamonganJombang
Mojokerto
Probolinggo
TulungagungKediri
Tuban
BanyuwangiJember
Kota MalangMalang
Pasuruanö. Gresik
SidoarjoKola Kediri
0 Kota Surabaya
0 2000000 4000000 6000000 8000000 10000000 12000000 14000000milyar Rp
Sumber: Jawa Timur EPS
29
Profil Ekonomi Jawa Timur
Dalam arti sektoral-spasial, ekonomi Jawa Timur dapat digolongkan ke dalam empat koridor, mas-ing-masing dengan ciri-ciri yang berbeda. Ini ditunjukkan pada peta di bab pertama. Koridor per-tama mencakup daerah-daerah Blitar, Kota Blitar, Gresik, Malang, Kota Malang, Mojokerto, KotaMojokerto, Pasuruan, Kota Pasuruan, Sidoarjo, dan Kota Surabaya. Koridor kedua mencakup
Jombang, Kediri, Kota Kediri, Madiun, Kota Madiun, Magetan, Nganjuk, Pacitan, Trenggalek,Ponorogo, dan Tulungagung. Koridor ketiga terdiri dari Banyuwangi, Bondowoso, Lumajang,
Jember, Probolinggo, Kota Probolinggo, dan Situbondo. Koridor keempat termasuk Bangkalan,Bojonegoro, Lamongan, Ngawi, Pamekasan, Sampang, Sumenep, dan Tuban. Suatu analisis yangmenggunakan metoda LQ (location quotient) yang dilakukan oleh tim SIDRP menunjukkan bahwamasing-masing koridor mempunyai sektor-sektor ekonomi dinamis yang berbeda-beda.
Tabel 3.1 Sektor-sektor ekonomi di masing-masing Kabupaten dan Kota menurut Koridor
KABUPATEN/KOTA A B C D E F G H l J K L M N 0 P G B S T U V W X Y
1. Blitar . + + + + + +
2. Blitar (Kota} + + + + + +
3. Gresik + + + + + + + +
4. Malang + + + + + + +.+ + + +
5. Malang (Kota) + + + + +. + + +6. Mojokerto + + + + + + + + +7. Mojokerto (Kota) + + + . + + +8. Pasuruan + + + + + + + + +
9. Pasuruan (Kota) + + + + + + + + +10. Sidoarjo + .+ + + + + + + +11. Surabaya (Kota) + + + + + + + + +. + + +
1. Jombang + + + + + + + + +
2. Kediri + + + + + + + + +
3. Kediri (Kota) +
4. Madiun + + + + + +5. Madiun (Kota) + + + +. + + + +6. Magetan + + + + + +
7. Nganjuk + + + + + + +8. Pacitan + + + + + + +
9. Trenggalek + + + + + + +
10. Ponorogo + + + + +
11. Tulungagung + + + + + +
30
Memperbalki Iklim Usaha di Jawa Timur
KAB3UPATEN/KOTA A B C iD E iF iG iH l J K L M N 0 P Q1 RISITILU V W X Y
1. Banyuwangi + + + + + + + + + + +
2. Bondowoso + + + + + + +
3. Jember + + + + + + + + +
4. Lumajang + + + + + + +
5. Probolinggo + + + +
6. Probolinggo (Kota) + + + + + + +
7. Situbondo + + + + + +
iå mbth Iø1. Bangkalan + + + + + + +
2. Bojonegoro - + + + + + + +
3. Lamongan + + + + +
4. Ngawi + + + + +
5. Pamekasan + + + + + + +
6. Sampang + + + + +
7. Sumenep + + + + + + + +
8. Tuban + + + + + + +
A Tanaman Pangan F Minyak dan Gas K Pengolahan Kayu P Mesin-mesin U Hotel-Restoran
B Tanaman Perkebunan G Non Minyak dan Gas L Kertas ( Industri lainnya V TransportasiBumni
C Ternak H Mineral M Kimla R Listrik, Gas dan Air W Komunikasi
D Produk-produk I Pengolahan Makanan N Seman S Konstruksi X Jasa Keuangankehutaftanl
E Perikanan J Tekstil 0 Logam T Niaga Y Jasa-jasalai
Sumber: SIDRP
Perincian Sektoral
Sektor Pertanian
Pertumbuhan maupun sumbangan sektor pertanian dalam PDRB masih rendah. Namun demikian,
Jawa Timur tetap merupakan satu salah lumbung pangan utama Indonesia. Hal ini dimungkinkan
oleh karena kebanyakan tanah pertanian di propinsi ini digunakan untuk tanaman pangan,
khususnya padi.
31
Profil Ekonomi Jawa Timur
Di samping tanaman pangan, sub-sektor perikanan juga cukup penting. Jawa Timur memiliki
potensi di bidang perikanan laut (penangkapan ikan) dan di bidang budidaya perikanan, baik di
daerah rawa maupun di lahan yang lebih kering. Panjang garis pantai yang cukup besar di tiga dari
empat koridor menunjukkan sumber daya alam laut yang berlimpah. Potensial ini juga didukung
oleh adanya tempat pelelangan ikan (TPI) ukuran besar, di Brondong (Lamongan) dan Muncar
(Banyuwangi). Pembudidayaan air payau secara intensif, terutama untuk udang, gurame dan ban-
deng, kebanyakan dilakukan sepanjang pantai utara (antara Tuban dan Banyuwangi), walaupun
juga terdapat sejumlah kecil pembudidayaan udang intensif di daerah Malang Selatan. Perikanan
sepanjang pantai selatan tidak dieksploitasikan secara penuh akibat kurangnya pembangunan di
daerah ini.
Sektor Industri
Walaupun pertumbuhan di sektor industri pengolahan menunjukkan kecenderungan menurun,
sektor ini tetap sangat penting dalarn sumbangannya kepada PDB Jawa Timur. Peranan menon-
jol dari sektor industri pengolahan diakibatkan oleh jumlah tinggi industri besar di Jawa Timur,
seperti industri logam dan mesin, industri rokok, industri pengolahan pangan dan industri kimia.
Kebanyakan industri pengolahan skala besar di Jawa Timur adalah Badan Usaha Milik Pemerintah
(BUMN) atau Perusahaan Penanaman Modal Asing/Domestik (PMA/PMDN).
Industri besar ini tersebar di banyak lokasi di Jawa Timur, walaupun sebagian besar berlokasi dekat
Surabaya (Gresik, Pasuruan, Mojokerto, dan Sidoarjo). Alasan begitu banyak industri besar berlo-
kasi dekat Surabaya ialah bahwa infrastruktur yang tersedia untuk mendukung kegiatan-kegiatan
seperti itu relatif lebih baik.
Peranan strategis sektor industri pengolahan ialah kemampuannya untuk memacu pertumbuhan
lebih luas di dalam ekonomi Jawa Timur dan menciptakan lapangan kerja. Potensi ini dimung-
kinkan bila dilihat bahwa kaitan-kaitan ke belakang dan ke depan dari sektor industri pengolahan
relatif lebih kuat daripada sektor-sektor lainnya. Hasil-hasil suatu analisis masukan-keluaran (in-
put-output atau 1-0) menunjukkan bahwa beberapa kategori industri pengolahan memiliki kaitan
ke belakang dan ke depan yang cukup tinggi.
32
Mcmperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel 3.2 Tingkat Kaitan ke Belakang (Backward) dan ke Depan (Foreward)
I Beras 0,76 0,812 Tanaman pangan 0,85 0,793 Tanaman pertanian lainnya 0,79 0,854 Ternak beserta produk-produknya 1,11 0,92
5 Kehutanan 0,89 0,736 Perikanan 0,74 0,80
7 Pertambangan dan penggalian 1,19 1,0738 Industri makanan dan minuman 1,03 1,18
9 Industri-industri lain 2,43 1,510 Penyulingan minyak mentah 1,10 1,3811 Listrik, gas dan air minum 0,93 1,1812 Konstruksi 0,68 1,3313 Perdagangan 1,18 0,98
14 Restoran dan Hotel 0,85 1,21
15 Transportasi dan komunikasi 1,46 1,01
16 Lembaga-lembaga keuangan dan jasa 0,86 0,91
17 Pemerintahan umum 0,67 0,68
18 Jasa-jasa 0,79 0,98Sumber: Pondekatan Masukan-Keluaran (Input- Output) Sektor-Sektor, BPS 2003, dioTah
Sektor perindustrian di Jawa Timur relatif memiliki kaitan lebih kuat ke belakang (hulu) dan ke
depan (hilir) daripada sektor-sektor lainnya. Ini mengindikasikan bahwa perubahan-perubahan di
dalam sektor industri pengolahan akan mempengaruhi secara signifikan pembangunan sektor-sek-tor lain. Yaitu, pertumbuhan di sektor industri akan memberi efek kelimpahan positif, oleh karena
akan diikuti oleh pertumbuhan di sektor-sektor lain, seperti dapat dilihat pada Gambar 3.6
33
Profil Ekonomi Jawa Timur
Gambar 3.6 Sektor-sektor Ekonomi di Jawa Timur dengan Kaitan RelatifKuat ke depan dan ke belakang
Transportasi dan Kornunikasi
Restoran dan Hotel
Perdagangan
Konstruksi
LIstrik, gas dan air
Minyak olahan
Industri lainnya
Makanan & Minuman
Pertambangan
Peternakan
Keterikatan Kebelakang Keterikatan KedepanSumber: Pendekatan Masukan-Keluaran
Sektor-Sektor, BPS 2003, diolah
Berdasarkan analisis yang menggunakan indeks LQ menunjukkan bahwa pembangunan sektor
industri tetap terjadi di pusat-pusat pertumbuhan seperti Surabaya, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto,
dan Gresik. Hal ini dapat diharapkan berperan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi
di daerah ini secara lebih luas.
Sektor jasa
Sejak krisis ekonomi tahun 1998, sektor perdagangan, hotel dan restoran telah menunjukkan angka
pertumbuhan tertinggi di Jawa Timur. Nila! tambah paling besar di sektor ini berasal dari sub-
sektor perdagangan. Pertumbuhan pesat di sektor ini akibat hambatan-hambatan masuk yang
relatif rendah ke dalan sub-sektor tersebut, oleh karena tidak begitu padat modal seperti
sektor manufaktur.
Kebanyakan pertumbuhan di sektor perdagangan berlokasi di daerah-daerah perkotaan. Selama
beberapa tahun terakhir konstruksi pusat-pusat perbelanjaan dan ruko, sebagai tempat perdagangan,
sangat pesat. Di Surabaya, dalam tiga tahun terakhir telah terjadi pembangunan sejumlah
hypermarket dan supermall, seperti Indogrosir, Tunjungan Plaza IV, Giant, Pakuwon Supermal dan
Trade City Mal, maupun Carrefour.
Dalam arti ruang, daerah-daerah berstatus kota mendominasi sektor perdagangan: kota-kota
Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Mojokerto, Pasuruan dan Probolinggo. Di daerah-daerah ini
bangunan pusat perbelanjaan dan rumah-toko juga cukup pesat. Ini mengindikasikan bahwa para
pelaku usaha mempunyai harapan positif tentang prospek-prospek sektor perdagangan.
34
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Sektor perdagangan di kota-kota tersebut kebanyakan dijalankan oleh usaha kecil dan menengah
(UKM). Lingkungan usaha di kota-kota tampaknya mendukung UKM dengan tiga cara:
permintaan tinggi mengingat konsentrasi penduduk, fasilitas infrastruktur lebih baik daripada di
daerah perkotaan atau pedesaan, akses terhadap sumber-sumber pembiayaan (formal) lebih baik,
dan hambatan-hambatan untuk masuk ke sektor informal rendah.
Peranan sektor perdagangan sangat penting, terutama dalam menarik pembangunan sektor-sektor
lainnya. Ini terbukti oleh analisis masukan-keluaran yang menunjukkan bahwa kaitan-kaitan
dengan sektor-sektor hulu relatif tinggi. Sektor ini mempunyai peranan penting di dalam prosespenyaluran barang yang dihasilkan oleh sektor-sektor lain.
Ekspor Jawa Timur
Sesudah mengalami defisit perdagangan pada tahun 1997, ekspor-ekspor Jawa Timur mulai
meningkat kembali pada tahun 1998. Akan tetapi,.pada tahun 2002 nilai ekspor Jawa Timur
kembali menurun dengan 6,71% dari US$ 5,77 milyar pada tahun 2001 menjadi US$ 5,38 milyar
pada tahun 2002. Menurut data BPS untuk tahun 2002, nilai ekspor Jawa Timur meneapai 9,4%
dari total ekspor nasional sebesar US$ 57,16 milyar. Selama kurun waktu 1999-2002, rata-rata
sumbangan ekspor Jawa Timur terhadap total nasional mencapai 9,5 8%.
Tabel 3.3 Nilai Ekspor dan Impor Jawa Timur 1997-2002
1997 4.236.613.055 6.47 7.334.143.528 28,58
1998 5.335.308.251 25.93 3.761.954.797 -48,71
1999 4.655.601.739 -12.74 3.655.786.735 -2,82
2000 5.766.242.301 23.86 4.862.534.635 33,01
2001 5.770.579.896 0.08 4.542.947.899 -6,57
2002 5.383.203.943 -6.71 5.046.115.459 11,08
Sumber: Jawa Timur BiS
Komoditas-komoditas yang memberi sumbangan terbesar kepada ekspor Jawa Timur ialah produk
pulp, kertas, furniture dan produk kayu olahan, serta produk alat-alat listrik. Walaupun sumbangan
mebel dan produk hasil olahan kayu terhadap ekspor Jawa Timur tetap cukup tinggi, pertum-
buhan produk-produk tersebut relatif menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kenyataannya menurut data dari kantor Bank Indonesia yang ada di Surabaya, kayu lapis menciut
dengan 6,70% pada triwulan ketiga tahun 2003 dibandingkan dengan kurun waktu yang sama
pada tahun sebelumnya.
35
Profil Ekonomi Jawa Timur
Gambar 3.7 Nilai Ekspor Komoditas Utama Non-Minyak dan Gas Jawa TimurUS ribu
700,000 -1997 _1998600,000 -
500,000I
400.000 2001
L] 2002300,000
200,000 - -
100,000
Kayu Karet Pakaian Kayu Tekstil Kopi Udang Kerajinan Besi Minyakolahan jadi gergaji
Sumber: StatTstik Ekonromi dan Finansial Propinsi Jawa Timur, Kantor Surabaya, Bank Indonesia
Tujuan-tujuan utama eksporjawaTimur adalah mitra dagang terutama Indonesia: Jepang, Ameri-ka Serikat, Singapura, Hongkong, dan Komunitas Eropa. Berdasarkan kapasitas produksi yangada dan peluang-peluang pasar, potensi ekspor Jawa Timur masih dapat dikembangkan, terutamake negara-negara Eropa, Afrika, Amerika Latin dan negara-negara Timur Tengah. Akan tetapi inibukan merupakan pasar-pasar yang mudah untuk dimasuki produk-produk akibat standar-standar
perdagangan internasional tertentu'yang cukup sulit untuk dipenuhi, seperti standar-standar mutudan larangan-larangan untuk memakai bahan kimia tertentu dalam produk-produk pertanian.
Gambar 3.8 Nilai Ekspor Jawa Timur ke 5 Negara Mitra Dagang Terutama, 1997-2001
US$ ribu14 Jepang
12 USA
10 Singapura
Hongkong
L Inggris
0 - - - i-- -
1997 1998 1999 2000 2001Sumber: Statistik Ekonomi dan Finansial Propinsi Jawa Timur. Kantor Surabaya, Bank Indonesia 2003
36
4 I KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN Kinerja Investasi
ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR di jawa TimurPerizinan
Infrastruktur Fisik
Pungutan
Keamanan
Perburuhan
KONDISI INVESTASI DAN PERDAGANGAN ANTAR DAERAH DI JAWA TIMUR
Ketika desentralisasi dimulai, pemerintah daerah mulai mengeluarkan regulasi baru untuk
menambah penghasilan asli daerah (PAD). Dalam perkembangannya, apaya-upaya ini mulai
dikritisi berbagai pihak, mengingat banyaknya regulasi yang hanya bertujuan meningkatkan PAD
justru merugikan masyarakat khususnya kalangan pengusaha. Sehingga, ketika desentralisasi
berjalan, banyak perda yang dibatalkan. Walaupun desentralisasi adalah sebuah komitmen
politik yang strategis keberadaannya untuk mendukung pengembangan usaha, namun saat ini
sebagai tahap awal pelaksanaannya banyak hal tercatat sebagai sesuatu yang perlu diwaspadai.
Ray', misalnya, mencatat empat isu di bawah desentralisasi yang cenderung melemahlkan
persaingan usaha sehat. Yang pertama di antaranya ialah problem dalam penyusunan regulasi
yakni lemah dalam identifikasi masalah; kurang mengembangkan alternatif; lemahnya efektivitas
review terhadap regulasi lokal dan kurang partisipatif. Kedua masih banyak masalah dalam
regfflasi lokal itu sendiri yakni lemahnya pemanfaatan retribusi; retribusi pada perizinan usaha
kecil. Ketiga distorsi-distorsi perdagangan yang muncul. Keempat kelemahan dalam menjaga
netralitas kompetisi.
Jawa Timur juga menghadapi persoalan yang sama dalam mengembangan ildim usaha yang
sehat. Sentralisasi selarna ini memang telah membuat inisiatif pemerintah daerah menjadi tidak
berkembang dan cenderung hanya sebagai operator pembangunan yang hanya menjalankan
perintah dalam hal ini dar pemerintah pusat. Pada saat desentralisasi ini dimana inisiatif daerah
diperkenankan, maka banyak hal yang harus segera berubah, namun perubahan ini masih berjalan
dengan sangat lambat. Sementara tuntutan masyarakat berkembang dengan sangat cepat.
5 David Ray, Hasil-hasil konperensi bertema "Desentralisa,4 Regularory Reform and ihe Business Cmate. "pp. 3-17, PEG-USAID, Jakara, Agusrus 2003
38
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Kinerja Investasi di Jawa Timur
Kecenderungan investasi di Jawa Timur relatif konsisten dengan yang berlaku di Indonesia secara
menyeluruh untuk persetujuan-persetujuan pasca krisis untuk penanaman modal asing (PMA) dan
penanaman modal dalam negeri (PMDN)), kecuali untuk tahun 2000.
Gambar 4.1 Persetujuan-persetujuan Investasi Asing di Jawa Timur, 1997-2002
Perkembangan Persetujuan PMA Berdasarkan Jumlah Proyek Perkembangan Persetujuan PMA Berdasarkan Nilai Investasi
2000 US$ Juta
40
1600
30
1200
800 20
400
0 01997 1998 1999 2000 2001 2002 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Sumber: BKPM 2003, diolah - Jatim -M- Nasional
Pada tahun 2000, investasi modal asing dan dalam negeri menunjukkan kecenderungan yang
sangat berbeda dalam arti jumlah proyek. Terjadi peningkatan tajam dalam jumlah investasi asing
dan dalam negeri di Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta dan di Jawa Barat. Namun trend ini tidak
tercermin di dalam nilai investasi oleh karena proyek-proyek rata-rata lebih kecil.
Aspek lain yang perla diperhatikan dalam data persetujuan investasi ini ialah bahwa baik jumlah
proyek dan nilai investasi, baik untuk investasi asing maupun domestik, harus dibandingkan dengan
investasi-investasi nyata. Data Bappenas6 menyebutkan bahwa secara nasional realisasi investasi
sejak tahun 2000 sampai dengan 2003 persentasenya mengalami penurunan dibandingkan dengan
persetujuan baik untuk PMA maupun PMDN, yang cukup drastis yakni 94% pada tahun 2000,
58.8% pada tahun 2001, 25,2% pada tahun 2002 dan 21% pada tahun 2003.
6Bisnis Indoncsia, 5 Februari 2004
39
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Gambar 4.2 Persetujuan-Persetujnan Investasi Dalam Negeri di Jawa Timur (1997 -2002)
Perkembangan Persetujuan PMDN Berdasarkan Jumlah Proyek Perkembangan Persetujuan PMDN Berdasarkan Nilai Investasi
800 160
600 120
400 80
200 40
0 -g- a ·---- 0I I
1997 1998 1999 2000 2001 2002 1997 1998 1999 2000 2001 2002
- Jatim -N- Nasional Jatim e Nasjonal
Surnber: BKPM 2003, diolah
Ada persepsi yang berbeda antara para pelaku usaha mengenai iklim usaha di berbagai daerah di
Jawa Timur. Misålnya, sekitar 70% responden di Surabaya menyatakan bahwa iklim usaha di
wilayah mereka cukup mendukung, sedangkan hanya 45% dari pelaku usaha di Kabupaten Malang
menyatakan pendapat yang sama?. Kajian KPPODI menunjukkan bahwa Kabupaten Gresik dan
Kabupaten Sidoarjo diperingkat masing-masing nomor 17 dan 21 dalam peringkatan tahun 2003
untuk 200 kota/kabupaten.
7Survey oleh Tim PSD bekerja sama dengan Bank Dunia dan The Asia Foundation.
3RegionallnvesnnentAttractiveness: A Survey ofBusiness Perception, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daemh (Regional Auionomy Watch), 2003.
40
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.3 Persentase Pelaku UsahaYang Menyatakan Setuju pada Bahwa Iklim Usahadi Kota/Kabupatennya Mendukung Investasi dan Pertumbuhan Usaha (%)
Kt Probolinggo
Kb Malang
Kt Kediri
Kb Bonodowoso
Kt Malang
Kt Surabaya
Kt Blitar
Kb Lumajang
Kb Situbondo
Kb Gresik
Kb Nganjuk
Kb Tuban
Kb Trenggalek
Kb Lamongan
Kb Bangkalan
Kb Jember
Kb Sampang
Kb Pamekasan
Kb Kediri
Kb Sumenep
Kb Banyuwangi
Kb Tulungagung
Kb Ponorogo
Kb Madiun
Kt Madiun
Kb Ngawi
Kb Magetan
Kb Bojonegoro
Kb Pacitan
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Kt kataKb kabupaten
Sumber: Survey oleh Tim PSD, 2004
41
Kondisi Investasi dan Perdagangan Anrar Daerah di Jawa Timur
Perizinan
Aspek perizinan pada dasarnya terkait dengan dua aspek yang saling terkait satu sama lain. Yangpertama menyangkut kebijakan dan regulasi perizinan dan yang kedua menyangkut institusipelayanan perizinan. Dalam hal kebijakan atau regulasi perizinan nampaknya sebelum dan setelahdesentralisasi wajah kebijakan perizinan di Indonesia tidak banyak berubah. Beberapa studi baikyang dilakukan oleh tim PSD sendiri maupun yang dilakukan oleh lembaga lain, menunjukkankesimpulan yang cukup sejalan. Walaupun umumnya regulasi mengenai perizinan telah diserahkandari pemerintah pusat kepada pemerintah dacrah, namun dalam praktek di lapangan umumnya.pemda masih lebih banyak menggunakan regulasi lama dari pemerintah pusat, ketimbang melakukanperubahan yang sesuai dengan kebutuhan pelaku usaha ditempatnya. Yang berubah secara cukupmenonjol dalam perizinan hanyalah menyangkut retribusi yang ditetapkan secara bebas oleh masing-masing daerahnya. Sayangnya perubahan itupun bukan sebuah perubahan yang positif, melainkancenderung lebih membebani masyarakat.
Sementara perubahan yang cukup berarti baru terjadi pada sisi institusi pelayanan perizinan.Unit-unit Pelayanan Terpadu (UPT) telah dibentuk di sejumlah daerah di Jawa Timur. Dibuatmelalui Surat Edaran Menteri yang diterbitkan pada tahun 1999, UPT merupakan kantor yangdapat mensentralisasikan permohonan, pengurusan atau persetujuan izin-izin tergantung padatingkat wewenangnya. Di antaranya terdapat di Kabupaten Sidoarjo 9, Kota Malang, KabupatenBanyuwangi, Kabupaten Magetan dan Kota serta Kabupaten Kediri. Walaupun lembaga-lembagatersebut tidak secara konsisten menyediakan pelayanan yang efisien, namun masyarakat sudahmulai merasakan kemudahan yang meningkat. Suatu evaluasi UPT di 6 kabupaten menunjukkanbahwa jumlah usaha yang diresmikan telah meningkat sesudah perkembangan UPT dan waktupengurusan serta biaya tidak resmi telah meningkat dalam UPT yang menerima bantuan teknisdari luar<. Hal ini mungkin menyebabkan persepsi- para pelaku usaha terhadap layanan-layanantersebut agak membaik.
9Di Sidoaro, adanya UPT telah mengurangi wakcu pengurusan sebesar 40% dan biaya sebesar 30%.10
Ddilakukan oleh limre af dmology Transferfr SME, dîblayal cleh Asia Foundation
42
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.4 Para Pelaku UsahaYang Setuju bahwa Pemerintah Lokal MerekaMemudalikan Perizinan Usaha (%)
Kb Gresik
Kt Malang
Kb Probolinggo
Kb Bondowoso
Kb Kediri
Kt Surabaya
Kb Tulungagung
Kb Lumajang
Kb Banyuwangi
Kb Tuban
Kb Situbondo
Kt Kediri
Kb Malang
Kb Lamongan
Kb Madiun
Kb Bangkalan
Kb Jember
Kb Sampang
Kb Nganjuk
Kb Sumenep
Kb Ponorogo
Kb Trenggalek
Kb Pamekasan
Kt Madiun
Kb Ngawi
Kb Magetan
Kb Bojonegora
Kb Pacitan
Kt Blitar
0 25 50 75 100
Kt kotaKb kabupaten
Sumber: Persepsi Para Pelaku Usaha, Survey PSD. 2004
Diantara institusi pelayanan perizinan satu atap yang paling menonjol kinerjanya adalah Kabupaten
Sidoarjo. Lembaga pelayanan perizinan yang statusnya dinas yakni Dinas Penanaman Modal dan
Perizinan (DPPM) saat ini merupakan satu-satunya layanan perizinan yang bersertifikat ISO 9000.
Hal ini mencerminkan bagaimana layanan mereka sudah distandarisasi, sehingga masyarakat dapat
memperoleh pelayanan yang baku dan jelas. Hal ini jelas menguntungkan baik bagi pelaku usaha
yang mengurus izin usaha biasa maupun bagi para investor.
43
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Cara lain untuk mengurangi hamnbatan-hambatan peraturan ialah pembentukan kawasan-kawasanindustri. Beberapa kawasan industri, seperti SIER, PIER dan NIP, mempunyai lembaga-lembagaotonomi yang menyediakan layanan perizinan investasi kepada para pelaku usaha di dalam kawasan-kawasan tersebut. Dengan demikian, para pelaku usaha tidak lagi perlu ke Jakarta atau Surabayauntuk mengurus izin investasi mereka.Suatu survey misalnya, menunjukkan bahwa di 7 kota yang dicakup tingkat pemegang Surat IzinUsaha Perdagangan (SIUP) adalah lebih dari 50%. Ini secara signifikan lebih tinggi daripada rata-rata angka pemegang izin secara nasional yaitu 14,8%".
Namun demikian praktek-praktek birokrasi dan korupsi dalam bentuk pungutan liar tetapmenghantui pelayanan perizinan. Para pelaku usaha tetap harus membayar biaya tambahan untukmemperoleh izin-izin tertentu. Pada umumnya para pelaku usaha tidak bisa menghindar darpungutan liar bila mereka mengajukan permohonan untuk izin, karena tanpa membayar biaya-biaya tambahan tersebut akan sulit bahkan tidak mungkin baginya untuk memperoleh izin-izinyang diperlukan. Tabel 4.1 menunjukkan biaya-biaya tidak resmi yang dibayar untuk sejumlahizin-izin yang diperlukan yang secara nominal diterbitkan tanpa dikenakan biaya.
Tabel 4.1 Biaya-biaya untuk memperoleh Izin (dalam ribuan Rp)
Kabupaten Gresik 100 - 250 75 25 - 100 -
Kabupaten Jernber 50 - 350 60 -
Kabupaten Pamekasan 20 - 250 25 100 -
Kabupaten Pasuruan 25 - 100 - - 1.500
Kota Surabaya 100-750 150 -
Kabupaten Tulungagung - 500 - -
Sumber: Survey REDI, 2004Catatan: SIUP = Surat Izin Usaha Perdagangan, TDP = Tanda Daftar Perusahaan, ETPIK EksportirTerdaftar untuk Produk Industri Kehutanan, SP/MD = Sertifikat/Lisensi untuk Industri Pangan
Namun demikian baru-baru ini muncul sebuah kebijakan baru dar pemerintah pusat melaluiKeputusan Presiden (Keppres) no 29 tahun 2004 mengenai pengaturan pelayanan perizinan investasibaik bagi investor asing maupun investor domestik. Kebijakan ini pada dasarnya menarik kembalikewenangan yang telah diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam hal pelayananperizinan bagi kegiatan investasi. Pemerintah pusat dalam hal !ni Badan Koordinasi PenanamanModal (BKPM) akan melayani perizinan investasi dalam satu atap. Kebijakan ini dikeluarkan karenabanyak investor yang mengeluh kerumitan yang dihadapi dalam mengurus perizinan investasi.Akan tetapi hal in! tidak akan mempengaruhi UKM yang mewakili bagian terbesar usaha-usahadalam negeri.
Sratisrik Industri Kcil, BPS, 2002
44
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dalam Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) yang diadakan oleh Tim PSD di berbagai daerah di
Jawa Timur, isu perizinan muncul paling menonjol di sektor perkayuan. Keluhan-keluhan ini
berkaitan dengan izin-izin sumber kayu dan timbul secara konsisten di seluruh Jawa Timur. Oleh
karena itu dapat disimpulkan bahwa perizinan untuk komoditas kayu secara mendesak memerlukan
pembaharuan-pembaharuan mendasar. Penjelasan yang lebih terinci dapat dilihat dalam uraian
rantai usaha perkayuan dalam bab berikut.
Infrastruktur Fisik
Kebutuhan-kebutuhan infrastruktur di Jawa Timur berbeda-beda seluruh sektor, daerah, dan antara
daerah perkotaan dan daerah pedesaan, baik dalam arti mutu maupun kuantitas. Pelaku usaha
diminta tentangpendapat-pendapat mereka mengenai tersedianyadankondisijalan, telekomunikasi,
listrik, air dan transportasi yang mempengaruhi usaha mereka. Pengamatan umum terhadap
jawaban kuesioner pelaku usaha menunjukkan bahwa infrastruktur yang ada dianggap mernadai,
dan diskusi lebih lanjut melalui diskusi kelompok terfokus mengungkapkan adanya kesenjangan-
kesenjangan serius dalam infrastruktur merupakan kendala yang mengancam pertumbuhan usaha
dan pembangunan di Jawa Timur pada umumnya.
Gambar 4.5 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Infrastruktur(Jalan, Telekomunikasi, Listrik, Air, Transportasi)
6%12% Baik
22% 3% Sangat baik
Buruk
D Sangat buruk
Cukup
57%
Sumber: Survey PSD, 2004
45
Kondisi Invescasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Kendala-kendala khusus yang diutarakan oleh para pelaku usaha dirangkum sebagai berikut.
Jalan: pembangunan infrastruktur jalan masih terkonsentrasi pada pusat-pusat pemerintahan daerahdan sedikit sekali menjangkau desa-desa atau daerah pedalaman yang lain. Padahal pusat-pusat
produksi umnumnya berada di pedesaan atau di pedalaman. Kasus komoditas kayu dan perikananmenunjukkan hal ini. Jalan di Jawa Timur tercatat 27.232,27 km yang terdiri dari 1.899,21 kmjalan negara, 1.439,18 km jalan provinsi, 21.935,45 km jalan kota/kabupaten dan 931,45 kmadalah jalan kecamatan dan 63,07 km adalah jalan tol. Oleh karena itu proporsi terbesar adalahjalan yang dipelihara oleh kota dan kabupaten. Kondisi jalan yang buruk meningkatkan biayadan waktu yang diperlukan untuk membawa hasil produksi ke pasar, dan untuk bahan yang tidaktahan lama keterlambatan mengurangi mutu dan harga jualnya. Realisasi Jalur Lintas Selatan dan
jembatan Suramadu (untuk menghubungkan Surabaya dan Madura) sangat ditunggu oleh usaha-usaha, terutama yang berasal dar Madura dan bagian selatan Jawa Timur. Sehubungan denganpembangunan jembatan Suramadu ada kekhawatiran bahwa pembangunan jembatan tersebut tidakakan didukung oleh infrastruktur jalan yang memadai, yang menghubungkan Madura bagian utaradengan bagian selatan.
Air bersih: Di beberapa kota dan kabupaten di JawaTimur, termasuk Kota Surabaya, air merupakanmasalah berat dan mempunyai dampak negatif pada sektor swasta. Konon JawaTimur tidak lamalagi akan mengalami krisis air bersih. Ini akibat penggundulan hutan yang berat dan ekstraksi airtanah yang tersebar luas, terutama untuk kegiatan industri. Data statistik menunjukkan bahwapemakaian air tanah bagi industri di Mojokerto naik 53% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.Krisis air in! merupakan ancaman sedemikian rupa sehingga lebih dari 30.000 hektar sawah irigasitidak dapat dipanen sebagaimana semestinya 2. Wilayah-wilayah sekitar Madura dan bagian selatanJawa Timur merupakan daerah-daerah yang memerlukan perhatian serius karena merupakan wilayahyang paling menderita konsekuensi krisis air. Jaringan irigasi buruk dan pasokan air diidentifikasikansebagai isu-isu kunci oleh petani tembakau di Madura, dan petani kopi dan tebu di seluruh JawaTimur. Pencemaran yang meningkat dan sungai-sungai yang dangkal dituduh sebagai penyebabmutu air yang buruk, yang telah menjadi masalah bagi pembudidaya ikan dan udang. Pelaku usahamengusulkan langkah-langkah yang perlu diambil segera bagi upaya reboisasi, pengurukan sungaidan tindakan-tindakan hukum terhadap para pencemar industrial.
Listrik: Walaupun pasokan dan mutu tenaga listrik cukup memadai, namun pelaku usaha merasabahwa tingkat optimal sudah tercapai dan diperlukan investasi baru. Pemadaman listrik sekarangmenjadi rutin termasuk bagi sektor industri. Kekurangan listrik tidak unik bagi Jawa Timur,akan tetapi mengingat kepemimpinan propinsi ini di .bidang produksi, pemadaman listrik yangmeningkat selama tiga tahun terakhir jelas merugikan. Isu lain berkaitan dengan pemadaman listrikialah bahwa hal tersebut sering dilakukan tanpa pemberitahuan sebelurnya. Banyak usaha besarmelakukan investasi dalam pembangkit tenaga listrik sendiri untuk melakukan kompensasi, akantetapi usaha-usaha yang kecil tidak mampu mengambil pilihan mahal tersebut. Industri-industri
12Jakaa Post, 26 April 2004
46
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
kecil yang terletak di wilayah-wilayah pedesaan juga menyebut akses jaringan yang buruk sebagai
masalah dan mereka merasa bahwa tarif listrik terlalu mahal.
Pelabuhan: Kehadiran pelabuhan di Jawa Timur menentukan bagi kegiatan ekonomi. Pelabuhan
terbesar kedua di Indonesia, Tanjung Perak di Surabaya, secara strategis berfungsi sebagai pintu
gerbang untuk kegiatan perdagangan ke dan dari Jawa Timur. Pelabuhan-pelabuhan lain di pesisir
JawaTimur, terutama di bagian selatan, juga cukup berarti untuk pembangunan ekonomi khususnya
di sektor perikanan. Akan tetapi penggunaan pelabuhan di pesisir Jawa Timur selain Tanjung
Perak kurang optimal oleh karena keterbatasan sarana yang tersedia, atau telah menjadi terlalu
padat seperti halnya Banyuwangi di mana terjadi kekurangan tempat sandar dan sarana pengolahan
pendukung. Kekurangan-kekurangan lain termasuk kemampuan ruang coldstorage, depo bahan
bakar, pergudangan dan akses jalan raya.
Pungutan-pungutan
Untuk menciptakan kondisi persaingan dalam perdagangan antar daerah diperlukan perhatian
serius dari pemerintah-pemerintah lokal. Fakta menunjukkan bahwa 80,66% pelaku usaha di Jawa
Timur dalam survey tersebut memasukkan bahan baku, baik dari Jawa Timur sendiri atau dari luar
propinsi. Hal yang sama berlaku untuk keluaran. Sebanyak 83,3% pelaku usaha yang merupakan
responden survey tersebut mengatakan bahwa pasar mereka berlokasi di luar kota atau kabupaten
tempat kediaman mereka3 sehingga pentingnya perdagangan antar daerah menjadi jelas.
Hambatan-hambatan perdagangan antar daerah mempunyai berbagai bentuk. Misalnya, inspeksi
barang berlebihan dan pungutan liar merupakan praktek-praktek yang pada umumnya dihadapi
oleh para pelaku usaha bila mereka mengirim barang masuk atau keluar daerahnya masing-masing.
Keadaan ini tidak saja menaikkan biaya tetapi juga menambah waktu yang dihabiskan di jalan.
Kejahatan, seperti penjarahan dan perampokan juga sering terjadi. Di bawah ini cuplikan dari
catatan-catatan lapangan Tim PSD yang menyertai perjalanan pengiriman barang dari Malang ke
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Pihak pengusaha bisa meminta jasa pengawalan polisi dari Polda atau Poires. Pengawalan ini
secara resmi bebas biaya, tetapi biasanya pelaku pengusaba memberi imbalan dengan membayar
sejumlah uang, baik yang ditetapkan maupun tidak. Jasa pengawalan juga diberikan oleh para
pengada jasa pengawalan resmi seperti Securicor.
Jasa pengawalan lain, yang disebutjasapengawalan "tidak resmi » termasuk Gajah Oling (Ga-01),
Ikatan Payung Madura (IPAMA), Aremania, RST dan Zain-lain. Gajah Oling merupakan jasa
13Survey REDI, 2004: 21-23
47
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
pengawalan terbesar diJawa Timur. Ga-Oladalah organisasi jasapengawalanyang mengeluarkan
kartu anggota kepada supir-supir truk. Kartu-kartu anggota tersebut menunjukkan babwa Ga-
01 dibentuk oleh Koperasi Pembekalan dan Angkutan dari Kodam V Brawijaya (Bek-ang Dam
V/Brawijaya) beralamat di Kalisosok, Surabaya. Keanggotaan Ga-Ol mewajibkan pembayaran
iuran anggota sebesar Rp. 30.000 sampai Rp 35. 000 per bulan.
Biaya-biaya tidak resmi lainnya yang diamati langsung di lapangan adalab untuk angkutan
sayur kepelabuhan laut. Begitu mobil truk memasukipintu gerbangpelabuhan Tanjung Perak,
si pengemudi harus membayar kepada seorang polisi pungutan tidak resmi sebesar Rp. 10.000
setelah membayar tiket masuk resmi. Begitu meliwatipintu gerbang, mobil truk harus berhenti
sebentar di pos KR3 atau KRLP dan menyerahkan Rp. 10.000 lagi kepada petugas di sana.
Penulis bahkan menyaksikan seorangpetugas KR3 mengejar sebuah mobil truk untuk menagib
biayanya karena si pengemudi truk terburu-buru membeli tiket untuk kapal yang sudak mau
berangkat. (Sumber: Ctan apangan Tim PSD, 2004)
Pungutan-pungutan merupakan persoalan penting seperti di daerah lain di Indonesia untuk semuasektor dan khususnya oleh para pelaku usaha di Jawa Timur. Pungutan-pungutan liar merupakanmanifestasi praktek-praktek korupsi yang telah lama menghantui kegiatan ekonomi di Indonesia.Walaupun pemnerintah pusat telah menerbitkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)tentang penyelenggaraan negara bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), masih sedikit sekaliakuntabilitas dari pihak para pegawai pemerintah. Korupsi di semua saluran peradilan yangbertanggungjawab atas pengusutan kasus membuat praktek ini sulit untuk dibasmi.
Kedua, pungutan-pungutan tersebut telah diresmikan melalui surat-surat keputusan, biasanya dalambentuk biaya dan pajak, dengan alasan pendapatan asli daerah yang rendah. Pungutan-pungutanresmi terhadap masyarakat ini telah menjadi alternatif pengerahan dana yang paling populer bagipemerintah daerah. Yang ironis, pungutan-pungutan ini tidak saja terjadi pada tingkat kota dankabupaten tetapi bahkan pada tingkat desa di mana pemerintah dilevel bawah (desa, kelurahan)meniru tingkat-tingkat pemerintah yang lebih tinggi dalam menciptakan peraturan-peraturan baruyang mewajibkan pembayaran pungutan.
Contoh-contoh Pungutan Pemerintab Desa:Kays (1): Mengangkut kayu dari sumbernya di Rejo ke Kamolan, melewati tiga desa. ikakayunya diangkut dengan mobil pick-up, dikenakanpungutan Rp. 2.500 setiap perjalanan;jikamenggunakan L300, Rp 5.000 setiap perjalanan; dan jika menggunakan truk, Rp 10.000 pertruk perperjalanan.
48
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Kasus (2): Mengangkut kayu dari Karang Rejo - Mungguran - Mendo Agung, dikenakan Rp
2. 0OOper 5 kilometerperpick-up perperjalanan. (Sumber: Catatan tapangan Tii PSD, 2004)
Ketiga, praktek-praktek tata pemerintahan yang buruk ditandai dengan adanya pungutan- resmi
yang disertai dengan pungutan liar akibat kebijakan yang lebih besar dan tingkat akuntabilitas yang
rendah dari pihak aparat pemerintah. Oleh karenanya, dengan menciptakan pungutan resmi baru
juga bisa menimbulkan pungutan tidak resmi lebih banya.
Gambar 4.6 Persepsi-persepsi para Pelaku Usaha tentang Pungutan(Skala -2: menjadi lebih buruk dan 2 menjadi lebih baik)
0.6 M Pungutan Liar
0.4 Pungutan Formal
0.2
0ig : iri onal
-0.2
-0.4M
-0.6-
-0.8
Sumber: REDI (2003) dalam Ray, Decontralization, Regulatary Refaom and the Business Climate, PEG, USAID, 2003 diolah
Survey di atas menunjukkan persepsi para pelaku usaha di berbagai daerah. Para pelaku usaha di
Sulawesi Utara menyatakan bahwa pungutan resmi menjadi lebih buruk dari sebelumnya. Demikian
pula para pelaku usaha di Jawa Timur merasa bahwa pungutan resmi sekarang lebih buruk dari
dulu. Akan tetapi Jawa Timur mempunyai peringkat yang jauh lebih tinggi daripada daerah-daerah
lain untuk persepsi masyarakat bahwa pungutan tidak resmi mulai berkurang. Hal ini konsisten
dengan temuan-temuan laporan ini.
Sekalipun persepsi terhadap pungutan liar nampaknya mengalami perbaikan, namun perhatian
mengenai penanganan pungutan ini masih tetap perlu mendapat perhatian, karena walaupun
frekuensinya mengalami penurunan, namun intensitasnya cenderung mengalami kenaikan. Dua
bentuk pungutan liar yang terjadi secara menonjol di wilayah Jawa timur adalah pertama pungutan
di jalan raya atau dalam kegiatan pengiriman barang dan kedua adalah sumbangan pihak ketiga
yang dilakukan secara represif dan kadang menggunakan atribut militer.
49
Kondisi investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Contoh kasuspungutan dijalan:
Kasus (1) : Pada pengangkutan kayu dari Trenggalek - Surabaya dengan menggunakan truk tronton
untuk satu kali pengangkutan per truk biaya untuk membayarpungutan tidak resmi disepanjangjàlan
adalah kurang lebih Rp 50.000,-. Selain yang harian ada juga biaya yang harus dikeluarkan yang
sifatnya bulananyakni sekitar 2,5 -4 juta rupiah untuk 4pos (disebutkan ada posek, pores, kecamatan
sampai satuan sabhara)
Kasus (2) : pengiriman kayu dari kecamatan Dongko - Probolinggo harus mengeluarkan dana sekitar
Rp. 100. 000,-. Pos-pos yang diketahui harus setoryakni Polsek Dongko, Perbutani di Krangan lalu pos-
pos Lain di sepanjang Blitar dan Malang. (sumber: Catatan Lapangan Tm PSD, 2004)
Studi lain menyebutkan bahwa pungutan terhadap pengusaha di Jawa Timur mencapai angka
rata-rata 4,93 juta per tahun14 . Angka ini jauh lebih tinggi daripada rata-rata pungutan pada
tahun yang sama di Sulawesi Selatan, yang mencapai Rp 949.000,-. Akan tetapi jauh lebih rendah
daripada di Sumatra Utara dan Jawa Barat, di mana jumlah rata-rata mencapai Rp 7,5 juta lebih
per tahun. Menurut kajian tersebut, dari total pungutan tersebut persentase terbesar dibayar untuk
dua jenis pungutan, yaitu: preman dan kegiatan sosial/masyarakat. Jenis pungutan kedua sangat
lazim di Indonesia. Kelompok-kelompok masyarakat meminta perusahaan untuk memberi uang
bagi kegiatan sosial atau masyarakat, seperti perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan. Pembayaran-
pembayaran ini sukarela dan sesuai dengan sumbangan perusahaan di negara-negara lain.
Keamanan
Jawa Timur tidak mengalami gangguan politik sebanyak di Jakarta. Kerusuhan atau unjuk rasa
skala besar yang terjadi di Jakarta - sebagai rujukan untuk keadaan politik di Indonesia - hanya
mempunyai dampak kecil atas keadaan di Jawa Timur, kecuali di Surabaya. Pergantian Gubernur
Jawa Timur pada pertengahan tahun 2003 tidak disertai unjuk rasa masal sebagaimana biasanya.
Akan tetapi masalah-masalah keamanan yang mengganggu kalangan usaha memang ada, dan
hanya 57,3% dari responden dalam survey ini merasa bahwa tingkat keamanan sekarang kondusif
terhadap usaha.
4Medium Size Study, Makalah Diskusi, Cerner for Economic and Social Studies (CESS), 2003;17
50
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 4.7 Indeks Kondusifitas Keaanan
Gresik 2.43
Jember 2.49
Surabaya 2 86
Malang 3
Tulungagung 3.02
Pasuruan 3.22
Pamekasan 3.5
0 1 2 3 4Sumber: Suivey REDI, 2004
Tim PSD menemukan bahwa banyak kasus pencurian terjadi di sektor perikanan dan di sektor-
sektor pertanian, khususnya di bidang kehutanan. Pencurian di sektor tambak ikan, kebanyakan
di tambak udang, dapat dikategorikan sebagai perampokan karena selalu disertai dengan kekerasan.
Seorang pelaku usaha tambak udang dari daerah Mojokerto melaporkan bahwa kerugiannya akibat
perampokan mencapai lebih dari 30%, atau ekuivalen Rp 25 juta, untuk setiap panen.
Pencurian di sektor perikanan lepas pantai kebanyakan dilakukan oleh nelayan asing. Beberapa
faktor memungkinkan hal ini. Pertama, polisi perairan (penjaga pantai) tidak efektif karena
jumlahnya tidak memadai untuk wilayah yang harus dijaga dan mereka juga tidak mempunyai
perlengkapan yang cukup. Juga, nelayan lokal tidak bisa berlayar jauh ke laut karena mereka
umumnya menggunakan perahu nelayan kecil, dan dengan demikian lahan penangkapan ikan
mereka terbatas pada wilayah yang relatif keeil, hanya empat sampai enam mil lepas pantai setiap
kali mereka melaut.
Untuk komoditas kayu, pencurian yang terjadi lebih rumit dan cenderung sistematis, melibatkan
berbagai lembaga resmi sehingga lebih sulit untuk dibasmi. Dampak langsung pencurian ini ialah
bahwa para pedagang kayu di sektor hilir kesulitan memperoleh bahan baku. Diperkirakan bahwa
para pengusaha merugi Rp. 200 sampai Rp. 300 juta karena mereka tidak mampu memenuhi
pesanan dari pasar ekspor 5.
Masalah-masalah keamanan, khususnya di kawasan industri dan tambak ikan, telah memaksa para
pelaku usaha untuk meneari bantuan khusus dari petugas keamanan, dalam hal ini pihak kepolisian.
Para pelaku usaha yang meminta polisi untuk perlindungan ekstra mengatakan bahwa secara teknis
hal tersebut memiliki dampak positif, dalam arti bahwa tingkat pencurian dan perampokan telah
t5Agence France Presse, 16 Maret 2004
51
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
menurun. Akan tetapi bantuan keamanan tersebut melibatkan biaya tambahan besar. Seorang
pemilik tambak udang mengatakan bahwa la harus mengeluarkan sampai Rp 5 juta setiap panen
untuk pengamanan polisi. Seorang pengusaha di PIER, kawasan industri, mengatakan bahwa la
harus membayar antara Rp 1 juta dan Rp 3 juta setiap bulan.
Burah
Kondisi perburuhan di Jawa Timur berbeda dari daerah ke daerah. Tim PSD mengamati bahwa
gangguan perburuhan paling sering terjadi di wilayah-wilayah perindustrian seperti Kabupaten
Sidoarjo, Kota Surabaya, Kabupaten Mojokerto, dan Kabupaten Pasuruan. Gangguan perburuhan
telah menyebabkan sejumlah perusahaan mengurangi atau menunda kegiatan mereka, dan beberapa
telah memilih untuk memindahkan kegiatan mereka keluar Indonesia 6. Pada umumnya, para
pelaku usaha mengeluh tentang kesulitan untuk memperoleh buruh sesuai dengan kebutuhan
mereka, sementara juga ada permintaan kuat dari Iingkungan sekitarnya untuk pekerjaan bagi
tenaga kerja lokal. Di lain pihak, para pekerja umumnya melihat tarif upah minimum yang tidak
memadai serta kegagalan untuk melibatkan para pekerja dalam perumusan kebijakan perusahaan
sebagai sumber-sumber masalah perburuhan.
Para pekerja tidak puas karena mereka merasa bahwa ukuran kenaikan upah minimum masih terlalu
rendah. Para pelaku usaha, di lain pihak, merasa bahwa kenaikan biaya buruh secara signifikan
mengancam kemampuan mereka untuk bisa bersaing. Upah Minimum (UMK) untuk tahun 2004
mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2004 melalui Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur No.
188/273/KPTS/013/2003. Kota Surabaya mempunyai UMK paling tinggi, disusul oleh kota-kota dan kabupaten-kabupaten berdekatan seperti Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Pasuruan.
Kabupaten Bondowoso mempunyai UMK paling rendai Kenaikan UMK dari tahun 2003 ketahun 2004 sekitar 2 sampai 6 persen, masih di bawah angka-angka inflasi untuk masing-masing
kota/kabupaten.
1aporan Tim Sektor Swasta, Surabaya, Bank Duia, 2003
52
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel 4.3 Upah Minimum Regional (UMK) di Jawa Timur, 2003 dan 2004 (Rp/bulan)
1 Kota Surabaya 516.750 550.700 20 Kab Madiun 281.000 320.000
2 Kab Gresik 516.500 550.550 21 Kab Magetan 292.500 321.530
3 Kab Sidoarjo 516.500 550.550 22 Kab Ngawi 288.700 323.600
4 Kota Mojokerto 478.500 488.000 23 Kab Ponorogo 282.000 315.000
5 Kab Mojokerto 516.500 550.550 24 Kab Pacitan 289.000 320.975
6 Kota Malang 497.100 548.000 25 Kota Blitar 301.100 331.210
7 Kab Malang 497.100 548.000 26 Kab Blitar 295.000 317.200
8 Kota Batu 497.100 548.000 27 Kab Trenggalek 274.000 316.500
9 Kota Pasuruan 430.000 450,000 28 KabTulunggagung 332.500 349.000
10 Kab Pasuruan 513.000 550.550 29 Kab Bojonegoro 287.500 331000
11 Kota Probolinggo 445.000 461.000 30 Kab Banyuwangi 319.400 356.000
12 Kab Probolinggo 443.750 456.000 31 Kab Sampang 300.700 330.000
13 Kab Jombang 398.000 426.500 32 Kab Lumajang 292.700 321.000
14 Kota Kediri 415.000 480.000 33 Kab Jember 384.000 397.606
15 Kab Kediri 415.000 480.000 34 Kab Bondowoso 300.000 310.000
16 Kab Nganjuk 335.000 354.000 35 Kab Situbondo 311.000 348.500
17 Kab Lamongan 328.450 380.743 36 Kab Pamekasan 400.000 430.000
18 Kab Tuban 322.500 345.000 37 Kab Sumenep 360.000 400.000
19 Kota Madiun 305.000 325.000 38 Kab Bangkalan 390.000 440.000
Sumber: Dinas Tenaga Keqa dan Transmigrasi Kantor Jawa Timur
Dinamika yang terjadi antara pertumbuhan ekonomi dan peraturan ketenagakerjaan telah
mempunyai dampak signifikan atas kondisi perburuhan di Jawa Timur. Pada tahun 2000, angka-
angka pengangguran, yang mencakup para pencari pekerjaan, mereka yang belum ditempatkan dan
mereka yang di PHK, masih sangat tinggi. Kenaikan-kenaikan UMK telah sedikit berdampak pada
keadaan perburuhan di Jawa Timur, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini:
53
Kondisi Investasi dan Perdagangan Antar Daerah di Jawa Timur
Gambar 4.8 Kondisi Bursa Tenaga Kerja Tahun 2000
350 * Pencari Kerja
300 * Penempatan
250 -_- Penghapusan
Belum ditempatkan
200 Permintaan
150 Dipenuhi
100 Penghapusan Lowongan
50 --. Sisa Lowongan
50
Sumber: Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur
Usaha-usaha yang mempunyai kaitan dengan pariwisata di Bali bernasib lebih baik. Misalnya,
industri tekstil di Jawa Tengah, Jawa Barat dan Yogya merupakan pemasok terbesar untuk produk
tekstil di Bali. Ketika krisis ekonomi sangat mengganggu kegiatan ekonomi di kebanyakan daerah
di Indonesia, Bali (sampai pem"bom"an bulan Oktober 2002) tetap memetik keuntungan signifikan
dari arus wisatawan yang meningkat dan peredaran dolar yang bernilai lebih tinggi daripada
sebelumnya. Situasi ini berdampak langsung terhadap industri-industri lain di Jawa dan daerah
sekitarnya yang mendukung industri pariwisata di Bali dan Lombok.
54
5 [MATA RANTAI KOMODITAS KayuJati
Tembakau
Tebu dan Gula
Kopi
Garam
Udang
Ternak Sapi
Tekstil
MATA RANTAI KOMODITAS
Masalah-masalah yang diuraikan di bab-bab sebelunnya dihadapi oleh para pelaku usaha pada um-umnya. Dalam bab ini kami akan memperdalam beberapa mata rantai komoditas, dengan tujuanmenunjukkan secara lebih khusus jenis-jenis masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha padasetiap tahap sepanjang rantai produksi dan distribusi. Komoditas-komoditas tersebut dipilih untukpenelitian mendalam atas dasar dua kriteria, yaitu: pentingnya bagi ekonomi regional dan komplek-sitas lebih besar permasalahannya dibandingkan dengan komoditas-komoditas lain.
Sejumlah komoditas tersebut, akibat kepentingan strategis sejarah dan dipersepsi bagi ekonomi,ditandai oleh intervensi negara yang signifikan. Badan-badan Usaha Milik Negara, kendali-kendaliharga untuk masukan dan keluaran, dan monopoli/ monopsoni tetap mempengaruhi lingkunganusaha untuk komoditas-komoditas seperti gula, tembakau dan garam. Di samping itu, Indonesiamempertahankan kebijakan swasembada untuk sejumlah bahan pangan pokok yang telah menim-bulkan hambatan-hambatan perdagangan. Distorsi-distorsi yang diciptakan oleh kebijakan-kebi-jakan tersebut merupakan hambatan signifikan terhadap pertumbuhan dan perlu disikapi dalamupaya-upaya pembaharuan kebijakan. Akan tetapi, mereka tidak ditinjau secara terperinci di sini.Informasi berikut adalah dari perspektif para pelaku usaha daripada memberi tinjauan menyeluruhkebijakan untuk setiap sektor.
KAYU JATI
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Bojonegoro, Tuban,Ngawi, Kediri, Kabupaten Malang, Banyuwangi, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo.
Kapasitas produksi industri kayu dan produk hutan Indonesia termasuk yang paling tinggi di dunia.Pada tahun 1996, Indonesia menduduki tempat ke sebelas dalam kapasitas produksi industri kayu.Akan tetapi, karena pasokan kayu menurun kapasitas ini berkurang (lihat Tabel 5.1). Hal ini berkai-tan erat dengan aras-aras tinggi pembabatan hutan dan penyelundupan kayu gelondongan untukekspor yang sangat sulit dikendalikan. Loebis dan Schmitz' 7 dalam kajian mereka menemukanbahwa laju kehilangan hutan di Indonesia telah dipercepat; pada tahun 1998 dilaporkan bahwa dari1 juta hektar per tahun, angka ini telah naik menjadi 2 juta hektar per tahun sejak tahun 1996.
Lienda Loebis dan HubenSchimtz, da[am "Jkva Furnime Maken: Winne or Losersfromn Globaization". DS,usCe, Sept 2003
56
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel 5.1 Kapasitas Industri Pengolahan Kayu dan Produk Hutan Lainnya serta Penggunaannya
1996 1.363 50
1997 1.371 57,4
1998 1.373 45,4
1999 1.373 47
Sumber: BPS, diolah
Sejak tahun 1997 kayu-kayu dari luar Jawa termasuk impor mulai memasuki pasar kayu di Jawa
Timur. Ada kecenderungan bahwa jumlah kayu dari luar Jawa itu semakin meningkat. Pada hampir
seluruh FGD yang dilakukan, peserta khususnya dari sisi hilir rantai bisnis yang ada menyatakan
bahwa sekarang mereka lebih banyak menggunakan kayu dari luar Jawa termasuk import. Hal ini
terutama dirasakan oleh pelaku usaha usaha yang berada di Jawa Timur bagian utara. Ini terjadi
karena di Jatim bagian utara ini hampir tidak memiliki hutan kayu lagi, sehingga cenderung tergan-
tung pada kayu dari luar Jawa.
Nilai output dan nilai ekspor barang kayu dan hasil hutan lainnya seperti tampak pada grafik di
bawah ini. Pada dasarnya sumber kayu yang dihasilkan di Indonesia pada umumnya berasal dari
4 kategori yakni rumah tangga, usaha kecil, sedang dan besar. Dari nilai outputnya rumah tangga
menempati tingkat tertinggi. Namun dalam hal ekspor, usaha besar mendominasi kegiatan ekspor.
Hal ini menunjukkan bahwa industri kayu dari usaha rumah tangga, kecil dan sedang ditujukan
untuk mengisi pasar dalam negeri.
Gambar 5.1 Perbandingan Nilai Keluaran Industri dan Nilai Ekspor(Kayu dan Benda Produk Hutan Lainnya)
Distribusi nilai total keluar (%) Distribusi nilai ekspor (%)0% 1%
18% /-6%
6%
15% -ø'
31% 93%
Rumah Tangga Usaha Menengah
Usaha Kecil Usaha Besar
Sumber: SlatistiK Industri, BPS, 200D, diclah
57
Mata Rantai Komoditas
Sumber kayu utama di Jawa Timur terdiri dari hutan rakyat, Perhutani (perusahaan milik
negara), kayu dari luar jawa, dan kayu impor luar negeri. Definisi hutan rakyat ialah kayu yang di-
tanam di atas tanah milik perorangan, biasanya menggunakan luas tanah kecil. Para pemilik hutanrakyat pada umunnya usaha rumah tangga dan usaha kecil. Kayu dari luar Jawa biasanya berasal
dari kategori pelaku usaha besar. Di bawah ini suatu ilustrasi rantai distribusi komoditas kayu di
Jawa Timur.
Gambar 5.2 Rantai Distribusi Usaha Kayu di Jawa Timur
Pedagang Sawmill Industri mebel Konsumen(dibawah 50 hekt) Pertama di Jatim Akhir
Industri mebel
Perhutani Pedagang Kedua di luar Jatim
PTP Pabrik KayuOlahan (Probolinggo,
Surabaya)
Luar Jawa
Pabrik KertasImport ' (PT. Tjiwi
Kimia)
Berikut beberapa masalah yang dihadapi oleh para pelaku usaha di sektor industri kayu.
ISU-ISU
PENCURIAN KAYU DAN PEMBABATAN HUTAN
Menipisnya ketersediaan bahan baku kayu khususnya untuk jati mendominasi FGD diberbagai
wilayah. Menipisnya ketersediaan bahan baku kayu ini terutama disebabkan terjadinya pencurian
dan penjarahan kayu yang tidak terkontrol. Pemerintah dan aparat keamanan sudah saat ini tidak
mampu mengatasi masalah pencurian dan penjarahan kayu yang dilakukan melalui penebangan
liar. Tingginya tingkat pencurian kaya seperti yang disebut pada bagian terdahulu dimungkinkan
karena disinyalir adanya keterlibatan 'orang dalam' (atau bahkan militer). Apalagi setelah reformasi
digulirkan, pada saat itu masyarakat umum seakan berlomba-lomba untuk menebang hutan, den-
gan alasan sebagai kompensasi atas perampasan tanah dimasa lalu. Pada saat itu jelas penebangan
kayu liar dihutan mengalami peningkatan yang sangat tajam.
58
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Modus pencurian kayu secara umum dilakukan dalam dua cara yakni pencurian secara tebang lang-
sung dan kemudian diselundupkan kewilayah-wilayah tertentu melalui penadah-penadah yang ada.
Dalam kasus ini maka kayu yang diperdagangankan termasuk dalam perdagangan ilegal. Modus
kedua yakni kayu-kayu yang ditebang secara liar kemudian dibuatkan surat izinnya. Sehingga kayu-
kayu kemudian menjadi sah secara hukum. Dengan demikian ketika kayu tersebut dijual, maka
transaksi perdagangannya menjadi sah. Hal ini sangat terkait dengan proses pemberian izin baik
izin penebangan maupun pengangkutan kayu yang sangat rentan terhadap proses korupsi sehingga
memungkinkan dikeluarkan izin-izin yang seharusnya tidak dapat dikeluarkan. Metoda kedua ini
dapat diatasi jika pemerintah lokal tegas tentang memberantas korupsi.
Pencurian dan penjarahan kayu ini secara langsung berakibat pada semakin menggundulnya hutan.
Sementara itu kemampuan pemerintah dalam melakukan penanaman kembali hutan-hutan selama
ini sangat terbatas dan jauh tertinggal dengan percepatan penggundulan hutan.
Luas hutan yang berada dibawah pengelolaan Perhutani Bojonegoro adalah 50.145,5 ha (terma-suk butan lindung). Ini merupakan 95% dari seluruh areal butan kayu yang ada di KabupatenBojonegoro. Dari luas tersebut hutan yang gundul sekitar 20%-nya yakni sekitar 11.000 hapadatahun 2001. Diperkirakan saat ini luas hutan yang gundul semakin meluas. Sementara itu ke-mampuan pemda melalui perhutani dalam melakukan penghijauan sangat lambat. Rata-ratahanya mampu sekitar 1.017 ha/tahun (tahun 2003). Padahalpenggundulan hutan setiap tahundiperkirakanjauh di atas angka tersebut. (FGD, Tim PSD, 2004)
Hal lain yang juga kurang mendukung percepatan proses penghijauan kembali hutan-hutan yang
gundul ini karena rendahnya keterlibatan aktif masyarakat dalam upaya semacam ini.
PERIZINAN
Perizinan di sektor kayu merupakan isu yang rumit. Ada dua jenis izin yang paling banyak mendapat
keluhan dari para pengusaha kayu yakni Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH)'" dan Li-
sensi yang berupa Surat Perintah Alokasi Pembelian (SPAP), Surat Perintah Pembelian (SPP) dan
Surat Ijin Pembelian (SIP)' 9.
isKeputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 132/Kpts-II/2000 tentang Penberlakukan surat keterangan sahnya hasil huran (SKSHH) sebagai penggantidokumen surat angkutan kayu bulat (SAKB), surat angkutan kayu loan (SAKO) dan surar angkuran basil huran bukan kayu (SAHHBK).
9Lisensi cersebut dibedakan berdasarkan volume pembelian kayu per ahun, seara rinci dapar diuraika sebagai berikut (a) SPAP surat ijin ini dikeluarkan aleh Perhucani
Pusat untuk pemnbelian kayu per cahun sebanyak diaias 2000 M3 (b) SPP surar ijin ini dikeluarkan olch Perhutani Propinsi untuk pembelian kayu per tahun sebanyakanrara 600 - 900 M3 (c) SIP surat ijin ini dikeluarkan olch Perhutani Kabuparen uncuk pembelian kayu per rahun paling banyak 700 M3
59
Mata Rantai Komoditas
SKSHH pada dasarnya memberi kepastian hukum akan asal usul kayu yang sah. Pihak yang me-miliki kewenangan untuk mengeluarkan SKSHH adalah Pemda melalui Dinas Perkebunan atauKehutanan setempat. Nanun demikian dalam kenyataannya sebagaimana diulas diatas bahwa su-rat ini malah digunakan untuk melegalkan barang-barang curian. Dengan kata lain banyak sekali
kayu hasil pencurian itu dengan mudah mendapatkan SKSHH. Artinya dengan surat ini kayu cu-rian tersebut menjadi sah di pasar. Akibatnya para pengusaha yang mendapatkan kayu secara sahmerasa dirugikan, karena harus bersaing dengan kayu-kayu ilegal (yang dilegalkan) dengan hargayang lebih murah, sehingga kompetisi menjadi super ketat. Di Bojonegoro Diperkirakan jumlahkayu ilegal yang berhasil mendapatkan SKSHH mencapai 14.000 m3 dalam tahun 2003. (FGD,Tim PSD, 2004).
Gambar 5.3 PROSES PENERBITAN SKSHHIzin Pengangkutan/perdagangan Kayu Nasional
Surat keputusan dirjen pengolahan hasil kehutanan no.82/KPTS VI-EDAR/2002
Penebangan PerusahaanPohon >menerbitkan Laporan [El ä-
Hasil Produksi (LHP)
i__ P2SKSHH akan menerbitkan
LHP harus disahkan oleh tim khusus yangterdiri dari : t1. Dinas Kehuranan (Prop atau Kabupaten)2. Pemerintah Daerah bagian Ekonomi perusahaan mengajukan permohonan3. Komisi B DPRD SKSHH dengan dilampiri bukti4. Dinas Pendapatan Daérah pembayaran kepada pejabat penerbit
SKSHH
PP 34199, SK MehiHut 6887/2002
Selanjutnya tim akan melakukan surveylapangan dan akan menganalisa tentang Setelah melakukan pembayaran restribus
spesifikasi kayu tebangan, area tebangan, dll PSDH perusahaan akan mendapat baktipembayaran
Perusahaan akan membayar restribusi
Diterbitkan Berita Acara yang telah mendapat PSDH melalui rekening ke Kas daerahtanda tangan persetujuan PP 3 P 74/99, SK Men
Perindustrian 510/MPP/Kep/2002
LHP dengan dilampiri Berita acara diajukan ke Setelah LHP disetujui maka Dinaspetugas pengesah LHP di Dinas Kehutanan ybs, : Kehutanan ybs akan menerbitkan surat
untuk mendapat pengesahan pembayaran restribusi PSDH
NoWPSDH(ovisiSumbrDaya Huran) al retmbui basil kayu vaban
60
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Standar-standar pelaksanaan UU Kehutanan tentang SKSHH menimbulkan suatu dilema. Di
satu pihak, peraturan ini dibuat sedemikian terperinci sehingga seharusnya menutup semua peluang
untuk penyimpangan, sedangkan di lain pihak tingginya perincian standar-standar tersebut men-
ciptakan kompleksitas dalam pelaksanaan sehingga sebenarnya menciptakan peluang bagi korupsi.
Misalnya, sehubungan dengan dimensi dan berat kayu gelondongan, SKSHH memperinci berat
dan dimensi kayu gelondongan yang boleh diangkut dan diperdagangkan; akan tetapi, oleh karena
tidak ada teknologi standar untuk pemotongan kayu, maka sulit untuk mengukur secara tepat be-
rat dan dimensi-dimensi yang diperinci di dalam SKSHH. Perbedaan ini antara berat dan dimensi
yang diperinci di dalam SKSHH dan jumlah-jumlah yang sebenarnya diangkut berarti bahwa men-
gangkut kayu dari satu tempat ke tempat yang lain tunduk pada banyak pungutan, baik dari pihak
kepolisian dan dari DLLAJ.
Kelemahan dalam kebijakan perizinan yang dilakukan melalui SKSHH ini adalah tidak membe-
dakan antara kayu-kayu yang berasal dari PT Perhutani atau perusahaan-perusahaan besar pemilikHPH dengan kayu-kayu yang ditebang dari hutan rakyat. Kayu yang berasal dari hutan rakyat yang
dimaksud adalah kayu yang ditanam ditanah yang umumnya tidak luas milik rakyat sendiri. Wa-
laupun ditanam di tanah milik sendiri namun bila rakyat sebagai pemilik lahan hendak menebang
kayunya sendiri sangat sulit karena secara regulasi keberadaan kayu ini dipersamakan dengan kayunegara.
Izin yang kedua yakni SPAP/SPP/SIP adalah izin yang dikeluarkan menyangkut cara mendapatkan
atau membeli kayu. Saat ini ada dua cara mendapatkan atau membeli kayu dari Perhutani yakni me-
lalui lelang dan lisensi. Lelang hanya berlaku untuk pembelian dalam jumlah yang besar. Sementara
untuk pembelian jumlah kecil dilakukan melalui lisensi. Sehingga bagi para pelaku usaha terutama
pengusaha kecil maka pembelian kayu dari Perhutani dilakukan melalui lisensi. Adapun lisensi yang
dimaksud yakni SPAP yang dikeluarkan oleh Pusat, SPP dikeluarkan oleh unit di tingkat provinsi
dan SIP dikeluarkan oleh KPH di tingkat Kabupaten. Perbedaan SPAI SPP dan SIP adalah berkai-
tan dengan jumlah pembelian kayu.
Sebagaimana juga dengan SKSHH surat izin !ni juga tidak terlepas dari praktek-praktek korupsi
yang membuat pengurusan surat ini menjadi sulit dan mahal, dan hanya bisa cepat bila membayar
sejumlah uang suap kepada pihak pemberi izin.
Seorangpeserta dari Bojonegoro menuturkan : "..Kilau mau membayar 1,5 juta mengurus lisensi maka
izin akan keluar di bawah jam 12. Tapi ka&u cuma berani membayar 25.000 maka izin baru akan
keluar di atas jam 2 atau baru besok siang lagi... " (FGD, Tim PSD, 2004)
Kebijakan perizinan lain yang juga membatasi suplai kayu adalah kebijakan moratorium2O yakni
kebijakan cegah tebang. Pada dasarnya kebijakan ini ditujukan bagi langkah pengamanan terhadap
20 Keputusan Menteri Kehutanan No 127/kpts-V/2001 Tentang Penghenrian semenmra (morarorium) kegiatan penebangan dan perdagangan raini (gonytylus spp)
61
Mata Rantai Komoditas
keberadaan kayu dihutan khususnya kayu ramin agar tidak habis dalam waktu yang singkat. Namun
disisi lain kebijakan fni secara langsung juga telah menyebabkan PT Perhutani juga mengalami
pembatasan dalam penebangan kayu. Namun karena ada unsur permainan serta lemahnya kontrolterhadap pelaksanaan kebijakan ini, maka kebijakan ini nampaknya kurang efektif untuk mencegahpenebangan hutan.
Izin lain yang juga mempengaruhi transaksi kayu terutama ekspor kayu adalah menyangkutkebijakan izin ekspor untuk beberapa jenis hasil hutan seperti kayu lapis dan rotan sebagaimanadituangkan dalam Surat Keputusan Menperindag tentang ketentuan ekspor bahwa masih ada suratizin tertentu yang menjadi persyaratan ekspor hasil hutan sebagai berikut:
_ sepMenpo et-liCn Etägi / Tentang een uan E k po r u L i
a-. •
g' e i - -äk-to e u la te blockbornLve ee "pag a a ai a a asa - a-sana O_ ea - se agaEsie a -· ea edagad a e
- - as a M
a er sa aa C'G 111 i_E nlp i i j ;-. K: J 1111 -i . 11 lCI!Ai l IppPe sa aa g
-kalaps a gs
TPa eaw ida -er a ta ~ @ä~. iL LL å åä d kw«e ga e s~ driig u jigå r äWiPAg o¶ mm Iw? r i t al dorowr as r
ìea u1 te ~l g e r , rdr F-~'r &w rfára lag m-wnun ro manceoirn
ý;rm 2ä . #f - 09-d- M "J
aL4|1" a lo Ao,rj~KAr t
a e s a åa E s ø ø )
.1 se sa itrgruailf ir öå arJdmem[Slrrå,or6 le. enl¾9s ýä [ rr ams Waär iln -- uffi
1 e a se pa ana be ~ -nic ci a g e2 .6
62
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Di sektor hilir, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bagi para pengrajin kayu cukup penting
karena bisa melindungi mereka dari penipuan dan peniruan. Namun demikian HAKI cukup sulit
diperoleh selain lama dan mahal, juga tidak jelas harus mengurus kemana. Akibatnya design banyak
dijiplak pihak lain, terutama pengrajin mebel dan furnitur serta kerajinan kayu lainnya. Kalaupun
HAKI diperolch tetap sulit mendapatkan perlindungan terhadap pembajakan hasil karya sendiri
Izin lain yang juga cukup mahal dan karenanya sulit diperoleh adalah Izin lokasi lahan kayu terutama
yang dipedalaman dirasakan cukup mahal dan harganya disamakan dengan lahan yang berada
didekat jalan raya. Rata-rata izin lokasi mengalami peningkatan yang cukup tinggi, belum lagi
ditambah dengan pungutan. Berikut ini pengalaman seorang petani kayu jati yang membatalkan
rencananya dikarenakan terialu mahal.
Petani di Kabupaten Kediriyang memiliki 4 hektar tanah. Ia merencanakan untuk menanaminya
dengan semaian kayujati emas. Modal yang diperlukan untuk menanam semaian tersebut ialah
sekitar Rp 25 juta per hektar jadi seluruh biaya untuk membangun empat hektar ialah Rp 100
juta. Ketika ia mencoba mengurus izin lokasi, ia diminta membayar Rp 50 juta per hektar,
dengan total Rp 200 juta. Angka ini adalah hasil tawar menawar, oleh karena harga yang
diminta pada awalnya adalab Rp 350 juta untuk empat hektar. (FGD, Tim PSD, 2004)
INFRASTRUKTUR
Jenis-jenis infrastruktur yang mempunyai dampak signifikan terhadap kegiatan usaha berkaitan
dengan kehutanan di Jawa Timur adalah sebagai berikut:
Jaringan Telepon: Jaringan telepon cukup terbatas dan jarang mencapai desa-desa, kendati
kebanyakan hutan rakyat terletak di wilayah pedesaan. Ini berarti bahwa proses penjualan kayu
sering tidak efisien karena komunikasi antara pedagang/ pembeli dan para pemasok memerlukan
kunjungan fisik.
Jaringan jalan pedesaan: Wilayah hutan atau pusat produksi kayu pada umumnya terletak di
wilayah pedesaan. Akibatnya, kondisi jalan pedesaan, terutama dari hutan ke jalan kabupaten dan
jalan propinsi mempunyai dampak besar atas usaha perkayuan. Saat ini, banyak jalan desa dalam
kondisi buruk, yang berarti bahwa proses transportasi mnemakan waktu lama dan biaya transportasi
menjadi lebih tinggi. Lagi pula di wilayah Bojonegoro di mana banyak produsen kerajinan kayu
dan mebel berlokasi, kebanyakan jalan cukup sempit. Hal ini membuat sulit bagi truk untuk
memasuki pusat produksi kerajinan, yang berarti bahwa para pengusaha harus mengeluarkan biaya
lebih banyak untuk transportasi.
63
Mata Rantai Komoditas
Untukpengangkutan 103 kayu bisa dilakukan dengan sekali angkut dengan menggunakan truk
dengan biaya Rp 100.000,-. Namun karena kondisi jalan yang tidak memungkinkan maka
kendaraan yang dapat menjangkau pedalaman hutan kayu hanya mobil pick up. Pick up hanya
mampu mengangkut kayu sekitar 33, karena itu pertu bolak-balik sampai 3-4 kali. Biaya pick
up untuk sekali pengangkutan sekitar 40.000-60.000. Oleh karena itu total biaya untuk
pengangkuta 103 kayu dengan pick up sekitar Rp 200.000,. Dan ii artinya dua kali lipat lebih
banyak dan tiga kali lipat lebih lama. (FGD, Tim PSD, 2004)
Jaringan listrik terbatas terutama yang memasuki desa-desa. Kalaupun jaringan listrik sampai
didesa masih ada beberapa persoalan menyangkut infrastruktur listrik yakni pertama menyangkut
pemerataan, seringkali pengusaha besar atau orang-orang yang dekat dengan aparat desa, dengan
mudah mendapatkan saluran listrik, namun bagi masyarakat lain sangat sulit. Persoalan lain yang
juga ditemukan dalam distribusi saluran listrik adalah telah terjadinya praktek penggelapan yang
dilakukan oleh aparat desa, dimana terdapat mas'yarakat yang sudah menyetorkan sejumlah uang
untuk penyambungan listrik, namun pihak PLN menyatakan tidak menerima setoran tersebut,
sehingga listrik batal disalurkan.
MANAJEMEN PERTANAHAN
Di Jawa Timur bagian selatan, pasokan kayu terbatas terutama merupakan akibat daerah hutan
yang terbatas. Para peserta mengatakan bahwa banyak pesanan kayu ditempatkan kepada para
petani, pedagang dan operator penggergajian kayu, tetapi tidak ada lagi tanah yang tersedia untuk
dikonversikan menjadi hutan produksi kayu. Sebenarnya ada sebagian besar tanah milik negara
yang tidak dikelola dengan baik, akan tetapi akses terhadap tanah itu tidak tersedia.
PAJAK DAN RETRIBUSI
Retribusi untuk SKSHH dirasakan terlalu tinggi,misalnya di Surabaya tarif SKSHH ialah Rp
5000/m3. Pajak berlapis ganda masih ditemukan di banyak daerah, dan dirasakan sebagai beban
berat. Di Trenggalek, misalnya, pajak-pajak berikut - Pajak Kendaraan, PPN, Pajak Penghasilan
dan Pajak untuk Penerimaan Tertahan - dikenakan kepada obyek yang sama, mobil. Di dalam satu
FGD, seorang pengusaha penggergajian mengatakan bahwa ia menghabiskan Rp 500 juta dalam
satu tahun untuk mengurus semua dokumen tersebut.
PUNGUTAN-PUNGUTAN LIAR
Pungutan liar dikemukakan di hampir setiap FGD yang diselenggarakan. Untuk komoditas kayu,
pungutan-pungutan liar yang dikeluhkan oleh para peserta diskusi mencakup yang berikut:
64
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
• Pungutan-pungutan dari desa, RT, RW, hansip, dan "sumbangan-sumbangan" kepada pihak-
pihak lain seperti kepolisian setempat, dsb.
Kasus-kasus contoh pungutan oleh Pemerintah Desa:
Kasus (1): Mengangkut kayu dari Sumber Rejo ke Kamolan, meliwati tiga desa. fika kayu itu
diangkut dengan pickup, dikenakan pungutån Rp. 2.500 per perjalanan, jika menggunakan
L300pungutannya Rp 5.000 per perjalanan, dan jika memakai trukpungutannya Rp 10.000per trukperperjalanan.
Kasus (2): Mengangkut kayu dari Desa Karang Re - Mungguran - Mendo Agung: dinilai Rp
2.000 per 5 kilometer per pickup per perjalanan.
• Pungutan-pungutan di pelabuhan laut
• Pungutan liar dalam pengurusan SKSHH; bisa mencapai 20% dari harga kayu* Pungutan-pungutan di jalanan, khususnya dari pihak polisi
Kasus-kasus contoh pungutan dijalanan:
Kasus (1): Mengangkut kayu dari Trenggalek ke Surabaya menggunakan truk gandengan, biaya
per perjalanan per truk untuk pungutan-pungutan tidak resmi sepanjang seluruh perjalanan
mencapai sekitar Rp 50. 000. Di samping pungutan-pungutan «harian" tersebut, ada biaya-bi-
aya lain bersifat bulanan, sekitar Rp 2,5 juta sampai Rp 4juta untuk empatpos (disebut Polisi
Sektor, Polisi Resort dan polisi unit sabharat).
KIsus (2): Di dalam pengiriman kayu dari kecamatan Dongko ke Probolinggo, sekitar Rp.
1O0. 000 harus dikeluarkan. Pos-pos di mana diketahui harus dilakukan pembayaran termasuk
Polisi Sektor Dongko, Perhutani di Krangan, dan pos-pos lain antara Blitar dan Malang.
* Pungutan "door to door": Banyak kelompok menarik pungutan seperti itu termasuk pejabat
desa, polisi, militer dan sebagainya. Seorang operator usaha mebel, misalnya, harus mengalo-
kasikan sekitar Rp 250.000 sampai 300.000 per bulan untuk pungutan-pungutan seperti itu.
Jumlah-jumlah tersebut biasanya naik menjelang hari raya besar seperti Lebaran, Natal dan
Tahun Baru.
TEMBAKAU
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Bojonegoro, Sumenep,Kediri, Malang, Banyuwangi, Jember.
Tembakau merupakan komoditas yang terutama digunakan dalam produksi rokok, akan tetapi
selintas nasional industri ini memberi pekerjaan kepada jutaan orang, dengan efek pengganda di
65
Mata Rantai Komoditas
dalam rantai usaha pembudidayaan tembakau, pengolahan, pencetakan, periklanan, perdagangan,transportasi dan penelitian21.
Industri !ni juga memberi sumbangan cukup besat terhadap penerimaan negara. Cukai atas produk
tembakau pada tahun 1998 memberi penerimaan sebesar Rp. 7,5 trilyun, atau 4,47 persen dari to-tal penerimaan negara; lima tahun kemudian pada tahun 2003, junlah ini naik menjadi Rp. 27,9trilyun, atau 7,54 persen dar total penerimaan negara2 2.
Tanaman tembakau merupakan tanaman perkebunan yang cukup lama dikembangkan oleh peme-
rintahan kolonial Belanda sejak tahun 1800-an. Tanaman ini mulai berkembang pada awal tahun
1900an, dengan pasar utama ke Eropa dan Amerika. Tanaman ini kemudian menjadi tradisi perke-
bunan di Jawa Timur dengan hasil tembakau jenis Virginia dan Besuki Naa Oogst (BNO) sebagai
bahan rokok kretek dan cerutu.
Tembakau dan industri rokok merupakan industri unggulan di Jawa Timur. Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS) Jatim, 2002, jumlah industri tembakau di Jatim tercatat 435 perusahaan
dari total 807 industri tembakau nasional, dan empat di antaranya merupakan perusahaan dengan
modal asing (PMA). Tak kurang dari lima kabupaten di Jawa Timur yakni Bojonegoro, Jember,
Probolinggo, Pamekasan dan Sumenep menjadi penghasil tembakau utama baik untuk industri
rokok dalam negeri maupun ekspor.
Tabel 5.2 Luas Tanaman dan Produksi Tembakau d Kelima Daerah ProduksiTerbesar di Jawa Timur, 2000 -2002
Li 4L
Bojonegoro 14.603 12.022 12.713 11.367 13.093 11.768
Jember 17.070 12.655 18.806 17.801 11.893 13.080
Probolinggo 9.556 11.219 11.228 13.455 12.569 14.813
Sumenep 19.381 12.617 23.784 15.389 23.790 15.564
Pamekasan 30.488 18.347 39.565 18.174 39.570 18.400
Jawa Timur 125.996 98.381 149.538 107.361 149.409 108.515Diolah dari: "Jawa Timur dalam Angka, 2002"
Tembakau yang dihasilkan oleh daerah-daerah tersebut menjadi bahan baku utama untuk industrirokok, yang tersebar di seluruh Jawa Timur. Perusahaan-perusahaan rokok terbesar, seperti GudangGaram di Kediri, Sampoerna di Surabaya, dan Bentoel Prima, Philip Morris dan Rothmans dari Pall
Mafl Indonesia di Malang, menjadi industri hasil tembakau yang memberikan dampak ekonomi
yang besar di Jawa Timur.
2 Kompas, 31 Agustus 2000
22Analsis Dasar-Dasar Makro dan Mikro umuk Kebijakan Cukai Tembakau di Indonesia, DirektoratJenderal Bea dan Cukai dan Badan Analisis Fiskal (BAF), Departe-men Keuagan, 2004 66
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Secara umum rantai bisnis industri hasil tembakau adalah sebagai berikut:
Gambar 5.4 Rantai Produksi Tembakau
Pémbibitan j -ø Penanaan -ø Panen -ø Digulung/Dieram
Gudang Pabrik Rokok Dibungkus Dilembabkan irang
Produksi Rokok Pedagang -ø Pabrik Rokok Kecil
Konsumen-
Dari rantai bisnis diatas, bisnis tembakau sendiri melibatkan petani, pemilik lahan, pedagang dan
pabrik rokok. Sementara pasca pengolahan, bisnis hasil tembakau melibatkan pelaku yang berbeda
yakni industri kertas dan pengemasan, perdagangan dan distribusi, perildanan bahkan industri hi-
buran dan olah raga.
Dar pemain yang terlibat, petani yang paling rentan terhadap perubahan kebijakan dan perubahan
lingkungan bisnis yang ada. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga-harga kepada para petani ter-
masuk biaya masukan (pupuk, bibit dan masukan-masukan lain yang kebanyakan diperoleh dari
BUMN), dan tingkat permintaan, yang dipengaruhi antara lain oleh kebijakan cukai. Hasil-hasil
suatu survey petani tembakau menunjukkan bahwa mereka mempunyai persepsi agak negatif ten-
tang kebijakan cukai tembakau yang ditetapkan oleh pemerintah3.
ISU-ISU
KOMPONEN BIAYA DAN MASALAH HARGA
Seperti dibicarakan di atas, para petani menghadapi risiko produksi yang tinggi. Setiap perubahan
dalam komponen biaya produksi akan mempengaruhi penghasilan petani. Komponen-komponen
biaya dalam usaha penanaman tembakau termasuk yang berikut: (1) biaya sewa tanah, (2) biaya
buruh, (3) biaya persiapan lahan, (4) biaya pupuk, (5) bibit dan bahan kimia, (6) biaya perawatan,
(7) biaya panen, (8) biaya pemrosesan, dan (9) biaya pemasaran 2 .
23Brahmando dkk., dalam studi Departemen Keuangan PSPK-BAF, menyaakan bahwa biaya cuka rembakau yang meningkae cerus akan menladi beban bagi para
perani, oleh karena kenaikannya akan dipikul oleh pefanimenggerogot harga-harga petani (52,8%), armifeukai yang dinaikkan dan tidak diserrai kebijakan renrang hargatenbakau akan menekan harga tembakau (36,3%), dan sisanya menyarakan bahwa cukai rembaka yang dinaikkan relah mengurangi permintaan untuk trembakau.24Uporan Akhir dar! Kajian rencang AlkernaifCukai Tenbakau, 2004, FE-UNDIP, 2003
67
Mata Rantai Komodicas
Sementara itu, hasil FGD mencatat bahwa petani tidak memiliki akses langsung kepada gudang
pabrik rokok. Hasil produksi berupa daun tembakau dari petani dijual ke tengkulak kecil yang
membeli dengan sistem tebasan atau borongan. Tengkulak kecil kemudian menjual tembakau bo-
rongon ke pedagang besar yang biasa disebut bos. Selanjutnya bos melakukan proses pengeringan
daun tembakau tersebut. Tembakau kering yang dihasilkan kemudian dijual ke gudang, dimana
sebagian besar gudang dimiliki (terdapat keterkaitan) oleh pabrik rokok.
Pedagang atau tengkulak menerima sub-pesanan (DO) dari pedagang/perantara besar, yang meneri-
ma DO dari gudang atau pabrik rokok. Para perantara yang memegang sub-DO, agar mendapat
harga yang lebih baik, seringkali langsung bertransaksi dengan gudang. Berbagai pungutan gelap
terjadi pada tahap ini, seperti di pintu penerimaan tembakau, timbangan, dan pemeriksaan mutu
tembakau . Kenyataan bahwa beberapa pedagang mempunyai akses khusus kepada para wakil pabrik
rokok, dengan berbagai fasilitas yang mereka sediakan, menciptakan persaingan tidak seimbang an-
tara para pedagang tembakau25.
Permainan harga berikutnya muneul ketika terdapat keadaan suplai tembakau oleh petani melebihi
permintaan gudang pabrik rokok. Pabrik rokok maupun dinas pertanian/perkebunan di daerah
sebenarnya telah berperan dalam menginformasikasn kebutuhan tembakau untuk periode tertentu
kepada petani. Hal ini untuk mencegah anjloknya harga tembakau di tingkat petani. Namun tidak
jarang informasi rencana kebutuhan tembakau yang kemuclian mengganbarkan perkiraan harga
yang menarik untuk jenis dan kualitas tertentu, malah mendorong petani untuk menanan tem-
bakau. Akibatnya, ketika datang masa panen supply tembakau melimpah melebihi permintaan
gudang, maka harga tembakau di tingkat petani menjadi rendah.
Dalam arti persaingan jangka panjang, petani tembakau juga akan mengalami ancaman harga untuk
bersaing di pasar internasional. Cina merupakan salah satu pesaing potensial terbesar. Tembakau
dari Cina mempunyai harga lebih rendah dan para produsen mempunyai produktivitas sepuluh kali
lebih besar. Produksi tembakau di Cina bisa mencapai 2000 kilogram per hektar2G, dibandingkan
dengan 200 kilogram per hektar di Indonesia.
2 5Fasilias-fasifiras yang diberikan cennasuk informasi tentang harga dan mutu tembakau yang diinginkan oleh gudang pabrik rokok. Beberapa gudang, arau pengusaha
yang berrindak aas nama para pabrikan rokok, bahkan menjediakan pinjaman kepada para pedagang dengan maksud membeli tembakau dari para petai. (REDI,2003)
26Kompas, 12 Agustus 2002
68
Memperhaiki Iklim Usaha di jawa Timur
Tabel 5.3 Ekspor dan Impor Tembakau di Indonesia, 1990- 2000
1990 17.401 58.612 26.546 41.963
1991 22.403 57.862 28.542 58.430
1992 32.365 80.949 25.108 64.547
1993 37.259 66.014 30.226 76.995
1994 30.926 53.261 40.321 100.217
1995 21.989 61.456 47.953 104.474
1996 33.240 85.623 45.060 134.153
1997 42.281 104.743 47.108 157.767
1998 49.960 147.552 23.219 108.464
1999* 37.096 91.833 37.345 128.021
2000** 29.050 77.708 27.283 85.844
Sumber: Direktorat Jendral Pernbinaan Produksi PerkebunanCatatan: *) Data sernentara **} Data perkiraan
STANDAR MUTU
Penetapan standar pada produk tembakau oleh pabrik rokok menyebabkan tidak semua hasil tem--
bakau petani dapat dijual dengan harga yang bagus. Begitu pula dengan penetapan standar tem-
bakau untuk ekspor ke mancanegara. Standar mutu sangat ditentukan oleh pilihan jenis tembakau,
teknik processing dan kadar tar dan nikotin.
Pada pabrik rokok besar yang memiliki gudang sendiri, dalam melakukan pengendalian kualitas
tembakau, biasanya mereka melakukan treatment tertentu pada saat menyimpan tembakau digu-
dang. Tembakau biasanya disimpan selama tiga hingga lima tahun. Tembakau yang telah disimpan
tersebut diyakini dapat menghasilkan cita rasa yang lebih nikmat. Oleh sebab itu, perubahan harga
tembakau dan tarif cukai, bagi pabrik besar tidak menimbulkan masalah yang berarti.
Standar lin ialah terkait dengan ketentuan kesehatan yang ditetapkan oleh WH~O. Berdasarkan PP
no 81 tahun 1999, pemerintah menetapkan kadar nikotin dan tar bahwa pada sebatang rokok yang
diperjualbelikan di wilayah Indonesiatidak boleh melebihi batas kadar maksimum untuk nikotin
1,5 mg dan tar 20 mg. Namun hingga saat ini rata-rata kadar nikotin dan tar untuk Sigaret Kretek
Tangan (SKT) sebesar 3 mg dan 60 mg, Sigaret Kretek Mesin (SKM) sebesar 2,5 mg dan 50 mg.Bila
69
Mara Ranrai KomodiEas
terjadi penetapan kadar nikotin dan tar secara ketat pada jenis rokok sigaret maka dampaknya ke-
pada petani akan sangat besar. Hal ini dikarenakan pangsa pasar rokok sigaret baik tangan maupun
mesin menguasai 87 % total produksi rokok, sementara rokok putih dengan standar nikotin dan tar
yang lebih rendah menguasai 13 % sisanya. Untuk memenuhi ketentuan tersebut, perlu dilakukan
prograrn jangka panjang oleh Departemen Pertanian serta pembinaan teknis untuk menurunkan
kadar nikotin dan tar, serta diiringin dengan penyesuaian teknologi processing tembakau dengan
mutu yang standar.
CUKAI
Setiap kenaikan biaya cukai atas produk tembakau selalu mempengaruhi pabrik-pabrik rokok,
petani tembakau, pedagang tembakau, pengecer rokok, dan konsumen. Tarif cukai yang diperki-
rakan atas produk tembakau mengikuti rumus yang sangat rumit, mengandung komponen-kompo-
nen Golongan Pengusaha Pabrik (GPP) dan Jenis Produk Tembakau, termasuk sigaret kretek mesin
(SKM), sigaret kretek tangan (SKT), sigaret putih mesin (SPM), variasi-variasi tradisional seperti
kelemek dan klobot, sigaret putih tangan (SPT), cerutu, tembakau irisan, dan sebagainya. Penilaian
cukai kemudian digunakan sebagai dasar untuk pemerintah dalam menetapkan harga jual eceran
(HJE) dalan Rupiah per rokok.
Permasalahan pemalsuan pita cukai rokok tidak hanya berdampak pada negara, seperti yang dike-
luhkan oleh Kanwil Bea Cukai Jawa timur, namun cuka berdampak pada persaingan produk rokok.
Produsen rokok skala menengah di Malang mengeluhkan adanya pemalsuan pita cukai rokok, kare-
na hal ini kemudian menyebabkan produk pengusaha ini harus bersaing secara tidak sehat dengan
produsen rokok yang memalsukan pita cukai rokok atau membeli pita cukai rokok palsu.
Di Tulungagung, pabrik-pabrik rokok mengelub tentang kesulitan untuk mendapatkan pita cukai
rokok pada bulan-bulan tertentu (seperti menjelang Lebaran). Tanpa pita cukai, pabrik-pabrik
itu tidak bisa menjual rokokyang merekaproduksikan dan rokok itu menumpuk di gudang. (FGD,
Tim PSD, 2004)
INFRASTRUKTUR
Petani tembakau dan pengusaha rokok sangat memberikan perhatian pada kualitas jalan dan infra-
struktur dasar yang sangat berpengaruh pada bisnis ini. Petani di pulau Madura merasakan bahwa
infrastruktur fisik khususnya jalan masih kurang mendukung. Kondisi jalan pada jalur utara keselatan dianggap sempit dan tidak ada alternatif lain. Selain itu kondisinya dalam keadaan kurang
baik.
70
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Petani dan pengusaha di Madura merespon positif pembangunan Jembatan SURAMADU, karena
hal ini akan memperlancar transportasi bisnis dari dan ke Madura. Sebagai dampak adanya pem-
bangunan jembatan tersebut, kelancaran arus bisnis tentu akan mengakibatkan padatnya jalur lalu
lintas barat ke timur di sisi selatan sekarang. Kepadatan ini harus diantisipasi dengan memperlebar
jalur yang ada serta membuka jalur di sisi utara, yang kemudian diteruskan dengan jalur peng-
hubung utara ke selatan.
Sebagai tanaman perkebunan pada jumlah yang luas dan dapat ditanaman pada jenis lahan tertentu,
kebutuhan tanaman tembakau memerlukan ketersediaan air yang cukup. Bagi petani tembakau di
Madura, ketersediaan air untuk keperluan tanaman tembakau telah mengalami penurunan, me-
ngingat sedikitnya sumber air di pulau ini. Menurut petani, disamping air untuk irigasi perkebu-
nan, petani juga memerlukan air bersih utuk kebutahan rumah tangga.
Infrastruktur lain yang diperlukan oleh petani tembakau ialah adanya balai atau unit pengujian dan
standarisasi mutu tembakau. Adanya infrastruktur ini nantinya akan memberikan informasi yang
lebih jelas tentang jenis dan mutu bibit dan standarisasi pengolahan tembakau.
PERIJINAN
Di tingkat petani, lahan yang digunakan untuk budidaya tanaman tembakau selama ini sedikit
sekali yang bersertifikat. Petani menginginkan adanya kemudahan untuk mengurus sertifikat tanah.
Pengurusan sertifikat tanah saat ini masih sangat rumit, hal ini mengakibatkan terhambatnya kebu-
tuhan petani untuk memperoleh sertifikat yang nantinya dapat digunakan sebagai jaminan dalam
mengajukan pinjaman ke bank. Sementara itu para pedagang tembakau mengeluh tentang kurang-
nya kejelasan dalam persyaratan untuk memperoleh surat izin usaha perdagangan (SIUP).
PUNGUTAN
Pabrik rokok, seperti dijelaskan diatas, untuk dapat memasarkan produknya sangat tergantung pada
pita cukai yang diperoleh. Disamping tarif cukai rokok semakin naik, pengusaha juga mengalami
kesulitan untuk mendapatkan pita cukai sesuai jumlah yang diharapkan. Bahkan untuk mem-
peroleh pita cukai, pengusaha mengalami pungutan sebagaimana yang dialami pengusaha rokok
dari Tulungagung dan Malang.
Disamping itu pula, pengusaha juga dibebani pungutan dengan bentuk sumbangan wajib yang
biasanya dipungut pada waktu-waktu dan acara tertentu. Pungutan berupa retribusi, terjadi pada
pengusaha rokok dalam mengantar dan memasarkan produknya yang diangkut pada mobil box
yang terdapat logo atau gambar produk. Pengenaan retribusi reklame pada angkutan barang terjadi
di Blitar dan Nganjuk.
71
Mata Ranta! Komodiras
Sementara itu, petani di Pamekasan dan Sumenep telah lama mengeluhkan praktek pungutan beru-pa pengambilan sampel tembakau secara gratis yang dilakukan oleh oknum tengkulak atau petugas
gudang pabrik rokok dalam jumlah besar. Sebenarnya petani di dua kabupaten ini telah mengu-
sulkan kepada pihak Pemkab masing untuk membuat Perda yang mengatur tentang tata niaga
tembakau di daerah tersebut yang juga memasukkan aturan pengambilan sampel temabakau yang
tidak merugikan petani. Petani di Madura juga mengeluhkan pungutan yang dikenalnya sebagai
jenis "pajak", yang dikenakan kepada petani tembakau dengan tarifflat rate kepada petani tembakau
sebagai tarif rata-rata.
TEBU DAN GULA
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Malang, Sidoarjo,
Magetan, Kediri, Tulungagung.
Tebu, bersama-sama dengan tembakau, merupakan salah satu tanaman perkebunan terbesar di Jawa
Timur. Tanaman ini pertama-tama diperkenalkan pada masa kolonial Belanda. Mulanya tebu di-
tanam di lembah-lembah sungai besar di Jawa; kemudian pembudidayaannya menyebar juga ke
daerah dataran tinggi. Pada awal abad ke 20, Hindia Belanda merupakan pengekspor gula kedua
di dunia, sesudah Kuba. Oleh karena gula merupakan komoditas penting, pemerintah kolonial
bahkan mendirikan stasiun penelitian perkebunan gula di Pasuruan, yang sekarang dikenal sebagai
Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Lembaga ini sebagaian besar didanai oleh
BUMN Perkebunan Gula (PG).
Secara nasional, produksi gula dalam negeri mengalami penurunan bila dibandingkan dengan
produksi tahun 1930 yang mampu mencapai tiga juta ton. Dari total produksi nasional yang men-
capai 1,7 juta ton saat ini, kebutuhan gula Indonesia harus dipenuhi dengan impor gula hingga
mencapai 1,5 juta ton pertahun27. Dari total produksi gula secara nasional, 41% -nya atau sekitar
700 ribu ton gula diproduksi oleh 33 pabrik gula di Jawa Timur28 .
Produksi gula di Jawa Timur meningkat teratur antara tahun 1999 dan 2002. Peningkatan ini,menurut data dari Direktorat Jendral Bina Produksi Perkebunan (BPP) dari Departemen Perta-
nian, disebabkan oleh peningkatan luas tanah yang ditanami tebu, disertai oleh perbaikan produk-
tivitas tanaman tebu, yang mencapai lima ton per hektar.
Secara umum, rantai produksi gula dalam negeri dan rantai distribusi adalah sebagai berikut:
27Kompas, 25 Juli 2003
2SKompas, 22Juli 2002
72
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Gambar 5.5 Rantai Produksi Gula
> GilingDesaPetani (Gula Meraih)
Koperasi Pedagang ¯¯
Pabrk [GilingGula | Pabrik
Gula r,
Pasokan bibit sebagian besar berasal dari penangkaran bibit oleh PG dan P3GI, sebagian kecil
dihasilkan oleh petani penangkar. Bibit yang berasal dari P3GI dan penangkar ditanam pada la-
han petani, sedangkan bibit yang dihasilkan oleh PG ditanam pada lahan milik PG dan petani di
wilayah operasi PG tersebut. Menurut Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) di wilayah PTPN XI
Jawa Timur, lahan perkebunan tebu yang dimiliki petani berkisar 35 hingga 60 persen dari total
lahan tebu di wilayah operasi PG. Hanya sebagian kecil hasil panen tebu digiling oleh pengusaha
untuk dijadikan gula merah, sementara sebagian besar lainnya digiling di PG.
Bagi hasil panen tebu petani yang digiling oleh PG, petani memperoleh 66 persen gula dan PG
memperoleh 34 persen sisanya. Dari bagian petani tersebut, sepersepuluh atau sekitar 6,6 persen
oleh PG diberikan secara in-natura berupa gula, sedangkan 59,4 persen dilelang yang melalui tim
lelang APTR.
Di Jawa Timur, sekitar 75-90 persen kebutuhan tebu ke pabrik gula dipasok dari petani. Jadi pabrik
gula sangat menggantungkan kinerja mesin produksi yang terpasang betul-betul pada produktivi-
tas tebu yang ditanam petani. Menurut kalangan pabrik gula, untuk dapat bersaing dengan gula
impor, petani harus mampu meningkatkan produktivitas tebunya minimial mencapai 8,5 ton per--
hektarnya9.
ISU-ISU
PRODUKTIVITAS PETANI
Menurut data dari Direktorat Jendral BPP, produktivitas tanaman tebu di Jawa Timur saat in!
hanya kalah dengan produktivitas tanaman tebu di Lampung yang rata-rata perhektar lahan mampu
menghasilkan 7,8 ton gula. Produktivitas lahan tebu di Jawa Timur ini sebenarnya dapat ditingkat-
kan apabila petani dalam penanaman tebu melakukannya dengan manajemen yang baik.
29Kompas, 26 Mei 2003
73
Mata Rantai Komodicas
Pemilihan bibit, pengolahan lahan, pemupukan, teknik tebang dan sistem irigasi menjadi fak-tor yang dapat mengurangi produktivitas tebu. Salah satu yang paling besar berpengaruh dalamproduktivitas dan randemen tebu adalah cara pengeprasan tebu (ratoon) yang dilakukan hingga 12kali kepras. Padahal untuk menghasilkan tebu yang bagus dengan rendemen yang tinggi, penge-prasan dilakukan maksimal dua kali untuk tebu yang sama.
Salah satu sebab pemangkasan berlebihan ialah bahwa persiapan tanaman baru masih tetap dilaku-kan dengan cara tradisional dan padat tenaga kerja. Biaya persiapan lahan yang tepat sangat tinggi,sekitar Rp 15-16 juta per hektar30. Banyak petani menyatakan bahwa traktor teralu mahal bagimereka. Oleh karena itu dilakukan pemangkasan berjumlah besar oleh karena mempersiapkan tana-man baru tidak layak dari segi keuangan. Ukuran lahan yang kecil, yang rata-rata kurang dar 0,25hektar per petani, juga meningkatkan biaya produksi untuk masing-masing lahaný'. Faktor-faktorini membuat banyak petani memilih menanam tanaman lain daripada tebu, yang memperparahkekurangan bahan baku yang dialami oleh pabrik-pabrik gula.
EFISIENSI PABRIK GULA
Perbaikan produktivitas perlu dilakukan dari mulai sektor hulu sampai hilir dari komoditas tebu ini.Artinya dari mulai teknologi yang digunakan di kebun tebu sampai pengolahan tebu di pabrik gula.Pabrik gula di Jawa termasuk Jawa Timur pada umumnya sangat tidak efisien. Mesin-mesin yangdigunakan di PG adalah mesin yang sama yang telah dipakai sejak 80 tahun yang lalu. Untuk dapatmemenuhi target Pemerintah bahwa tahun 2007 industri gula nasional harus mampu memproduksi
gula minimal mencapai tiga juta ton, diperlukan restrukturisasi pabrik gula dengan melakukanperemajaan mesin-mesin lama yang ada.
Dar kapasitas terpasang, penggunaan mesin-mesin di pabrik gula di Jawa Timur sekitar 70-75persen, sisanya merupakan idle capacity. Dari tingkat penggunaan kapasitas tersebut, menurut pihakpabrik gula tingkat efisiensi proses produksi mencapai 80-90 persen. Idle capacity yang pada me-sin-mesin PG terjadi disebabkan pasokan tebu oleh petani tidak mencukupi kebutuhan maksimalpabrik sesuai kapasitas terpasang. Namun menurut petani, tidak cukupnya pasokan ke pabrik, se-lain disebabkan jumlah hasil panen tidak maksimal, juga disebabkan manajemen produksi di pabrikgula yang kurang efisien. Sistem antrian giling yang panjang hingga mencapai 30 jam setelah tebangmerupakan hal yang merugikan petani, karena hal ini dapat mengakibatkan turunnya rendementebu hingga 50 persen. Untuk menghindari terus menurunnya rendemen gula karena terlalu lamamengantri, sebagian petani memilih untuk pindah ke pabrik gula lain yang memungkinkan segeragiling.
30Kompas, 3 Juni 2002
31Kompas, 26 Mei 2003
74
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Diketahui bahwa PG yang ada saat ini tidak esien dalam produksinya. Ketidakefisienan PG
tidak hanya disebabkan oleb mesin giling yang berusia lama, namun juga disebabkan struktur
manajemen yang terlalu gemuk dan tidak leluasa karena keputusan yang sangat sentralistik
oleh direksi PTPN. Ketidakefisienan PG ini mendorong munculnya gagasan pabrik gula mini
(PGM).
PGM telab diujicoba olek petani tebu di wilayah Kabupaten Malang. Prinsip PGM ialab
meningkatkan produktivitas tanaman tebu, meningkatkan efisensi produksi gula petani, serta
mengurangi waktu antri giling tebu petani, sehingga tidak mengurangi rendemen tebu. Dengan
ni/ai investasi yang rendah, petani berharap PGM dapat mengundang pemerintab atau pihak
swasta untuk membangun pabrik ini dan bank dalam melakukan pembiayaan. (FGD, imn PSD,
2004)
IMPOR GULA DAN GULA SELUNDUPAN
Impor gula dilakukan karena produksi gula di dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan to-
tal nasional. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa secara nasional, Indonesia harus mengim-
por sekitar 1,5 juta ton gula setiap tahun dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dan industri dalam
negeri. Namun gula impor yang masuk ke dalam negeri seringkali melebihi kebutuhan nasional.
Kelebihan impor terjadi baik karena pengadaan impor secara legal maupun karena illegal atau pe-
nyelundupan.
Kebijakan impor gula diatur dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan
No.643 tahun 2002 tentang Tata Niaga Impor Gula. Kebijakan in! melindungi petani tebu Indo-
nesia terhadap pihak pesaing asing yang memiliki efisiensi lebih tinggi dan harga lebih,rendah. Ijin
impor diterbitkan selama harga dalam negeri untuk gula dianggap cukup tinggi. Misalnya, dengan
biaya produksi dasar untuk gula Rp. 3.100 per kg, para petani menjual kepada pedagang dalam
kisaran Rp. 3.400 - Rp. 3.450 per kg. Dengan harga ini, pemerintah bisa membuka impor gula
pasir putih. Akan tetapi bila harga di tingkat petani kurang dari Rp. 3.100 per kg, pemerintah
tidak mengizinkan impor gula pasir putih.
Surat Keputusan Menteri No. 643/2002 memberi ijin impor kepada pabrik-pabrik gula (yang
menggiling gula produksi dalam negeri), pedagang gula terdaftar (yang juga menyalur gula produksi
dalam negeri), dan suatu perusahaan dagang, PT. PPI. Para petani tebu mempertanyakan keputusan
Menteri Perdagangan dan Industri untuk mengangkat PT. PPI sebagai importir gula. Penunjukkan
PT. PPI yang bukan Importir Produsen (IP) Gula maupun Importir Terdaftar (IT) Gula yang bahan
bakunya sedikitnya 75 persen berasal atau bekerjasama dengan petani, dikhawatirkan akan merusak
tata niaga.
75
Mata Rantai Komoditas
Petani tebu menilai koordinasi aparat Bea cukai dan kepolisian terhadap pelaksanaan KebijakanTata Niaga Impor Gula belum maksimal. Pintu-pintu penyelundupan gula seperti pulau Maduradan pelabuhan lain di sisi utara Jawa Timur diharapkan memperoleh pengawasan yang ketat.
PAJAK DAN PUNGUTAN
Aneka pungutan yang dialami petani tebu, dirasakan sangat memberatkan. Pungutan terjadi mulaipanen, angkut, giling hingga hasil giling. Pungutan pada saat panen terjadi berupa retribusi hasilperkebunan. Bersama pungutan ini, petani tebu di wilayah Madiun dan sekitarnya juga dikenaipungutan parkir antri giling. Sebdumnya petani telah dikenai pungutan jalan desa sebesar Rp.25.000/rit oleh pihak Pemerintah Desa. Bahkan pada kasus di Jember dan Situbondo, petani tebudikenai pungutan Desa berupa pungutan untuk pemeliharaan jalan desa dan pungutan hasil panen.Oleh karenanya kebanyakan petani menggiling tebu di pabrik milik negara, pembayaran pungutan-pungutan tersebut kadang-kadang dilakukan langsung kepada perusahaan milik negara.
Di Madiun, petani tebu dipungut oleb PG langsung melalui potongan basil tebu dan DO setiapkuitalnya sebesar Rp. 27,5 , yang dibagi kedalam (a) sebesar Rp. 10/kw untuk retribusi jalan kePemda, (b) sebesar Rp. 7,5/kw untuk pengamanan polisi dan (c) sebesar Rp. 10/kw untuk iuranAPTR (FGD, im PSD, 2004)
Sementara itu PG mengeluhkan pengenaan pajak PPN untuk sewa lahan dan sewa jasa angkut hasiltebangan. Pengenaan. PPN ini mengakibatkan biaya yang mesti ditanggung membengkak 10%.
KURANGNYA SUMBER AIR
Salah satu aspek infrastruktur yang sangat memprihatinkan petani tebu ialah ketersediaan sumberdan salutan air. Saluran--saluran irigasi ke lahan-lahan petani saat ini tidak begitu baik oleh karenatidak dirawat dengan baik. Untuk mendapatkan air yang cukup para petani mengambil dari sumur,yang kemudian dipompa untuk mengairi lahan tebu mereka.
Dalam hal kesulitan dengan tersedianya air di bekas karesidenan Madiun petani atau asosiasi petaniharus mendapat air dengan memompa dari kedalaman 80 sampai 300 meter untuk setiap 100 hek-tar. Hal ini juga akibat perubahan prioritas pemakaian air dari mata air, yang sebelumnya dialoka-sikan kepada perkebunan tetapi telah digeser untuk air minum. Para petani tebu di Situbondo jugamenyebut perlunya infrastruktur pengairan lahan. Air saat ini disediakan dengan bantuan pompaair, tetapi diharapkan bahwa Waduk Samir yang direncanakan akan dibangun dalam waktu dekat.
Kesulitan memenuhi kebutuhan air untuk produksi juga dialami oleb pabrik gula (PG). Suplaiair ke PG saat ini untuk produksi didapatkan dari sungai dan pompa air bawah tanah yangdialirkan melalui jaringan pipa air milik pabrik. Karena pemanfaatan air permukaan dan
76
Memperbalki Iklim Usaha di Jawa Timur
air bawah tanah tersebut, PG dikenai retribusi Eksplorasi dan Pemeliharaan (EP) air sebesar
50 juta rupiah kepada Jasa Tirta setiap bulan. Namun demikian, PG tetap harus melakukan
pemiliharaan atau bahkan perbaikan sendiri bila terjadi kerusakan pada jaringan air tersebut.
(FGD, Tim PSD, 2004)
KEAMANAN
Setiap kali menjelang musim panen, para petani selalu siap untuk kemungkinan kebakaran di la-
han tebu mereka. Kebakaran menghancurkan antara 5 sampai 10 persen lahan tebu. Para petani
mengakui bahwa di samping kebakaran yang diakibatkan oleh sebab-sebab alami, kadang-kadang
kebakaran juga disebabkan oleh persaingan usaha atau tindakan kriminal. Para petani hanya bisa
mengantisipasikan kebakaran dan gangguan keamanan lain di lahan tebu dengan meningkatkan
pengawasan dan pemantauan bersama dengan para petani lainnya.
Kasus keamanan lain ialah praktek pungutan dikemas dalam bentuk biaya keamanan untuk
penyaluran gula. Parapedaganggula di Madiun mengatakan bahwa mereka harus membayar
Rp. 300.000per bulan kepada suatu kelompok tertentuyangberoperasi dalampenyaluran bahan
pokok. (FGD, Tim PSD, 2004)
KOPI
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Kediri, Malang, Blitar,
Surabaya, Gresik, Jember, Bondowoso, Probolinggo, Situbondo.
Tanaman kopi sudah lama dibudidayakan baik melalui perkebunan rakyat maupun perkebunan
besar. Namun demikian, luas lahan perkebunan kopi di Indonesia cenderung berkurang. Jika pada
pada tahun 1992 luas yang ditanami mencapai 1.333.898 hektar, pada awal tahun 1997 angka ini
telah berkurang sampai dengan 154.005 hektar menjadi 1.179.843 hektar saja32. Sementara itu,
meskipun terjadi pengurangan lahan perkebunan, namun dalam hal produksi mengalami nilai yang
hampir stabil yakni antara 27,5 ribu ton hingga 30 ribu ton per tahun.
3 2vw.bi.go.id
77
Mata Rantai Komodiras
Tabel 5.4 Tingkat Produksi dan Nilai Ekspor Tanaman Kopi Indonesia, 1996 -2001
1996 28.500 17.059
1997 30.600 26.133
1998 28.500 36.453
1999 27.493 24.189
2000 29.500 22.773
2001*) 28.681 n.a.
Sumber-sumber; wwwbi.go.id dan www.dpdn.go.id*) - Perkiraan sejak September 2001
Dari data di atas dapat dilihat bahwa kendati tingkat produksi kurang lebih stabil, nilai ekspor
kopi mengalami penurunan pada tahun 1999 dan 2000. Sebagai perbandingan, pada tahun 1998
nilai ekspor naik secara signifikan walaupun tingkat produksi turun dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan merosotnya nilai Rupiah terhadap dolar AS. Harga-
harga jual kopi yang diterima oleh semua pelaku di pasar kopi telah tampak berfluktuasi di jangka
panjang, akibat kondisi-kondisi pasokan dan permintaan di pasar internasional. Khususnya untuk
Indonesia, saat ini harga-harga yang diterima oleh para produsen sangat dipengaruhi oleh depresiasi
Rupiah terhadap dolar AS.
Tabel 5.5 Harga Ekspor Kopi(FOB33 dalam AS $/kg)
1. Arabica 2,19 3,73 3,31 2,58 4,18
2. Robusta 1,04 2,15 3,06 2,07 1,64Sumber: Deparlemen Perindustrian dan Perdagangan, 1998
Dinamika perdagangan komoditas kopi di tingkat nasional terhadap kopi dunia, juga berpengaruh
pada kondisi komoditas kopi di Jawa Timur. Sebaran kopi di Jawa Timur terdapat di 26 kabupaten/
kota dari total 38 kabupaten/kota yang ada.
33Freight On Board. Nilai ekspor kerika dirempatkan di atas kapal, truck atau pesawat terbang untuk meninggalkan suam negara. FOB dengan demikian meneakup biaya
produksi dan transportasi ke pelabuhan embarkasi, terapi ridak termasuk biaya pengapalan dan asuransi untuk mengaantanya ke tujuan-tujuannya di luar negeri. Free onBoard diknntraskan dengan cost, insurance and freight (CIF), yaitu illai barang pada saat tiba di pelabuhan asing yang rermasuk biaya pengapalan dan asuransi. (Black,Dictionary of Economics, Oxford, 2002)
78
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel 5.6 Distribusi Kopi menurut Daerah di Jawa Timur, 1998
Jember 24,375 14,294,5
Malang 19,516 7,971.6
Bondowoso 15,560 7,288.0
Banyuwangi 14,366 9,721.8
Blitar 8,197 2,970.2
Lumajang 4,867 1,391.8
Pasuruan 3,610 784.8
Probolinggo 2,783 580.0
Kediri 2,491 3,720.3
Situbondo 2,021 743.2
Pacitan 1,736 293.2
Jombang 1,515 456.0
Madiun 1,445 387.7
Trenggalek 729 145.3
Tulung Agung 656 417.0
Ponorogo 631 118.6
Magetan 462 94.9
Ngawi 382 48.3
Nganjuk 217 58.7
Mojokerto 62 17.7'
Pamekasan 56 17
Gresik 38 13.3
Sumenep 13 2.4
Kota Malang 13 2.6
Kota Madiun 3 0.4
Kota Kediri 3 0.7
Sumber: www.bi.go.id
Dari Tabel di atas dapat dilihat bahwa sumbangan terbesar terhadap komoditas kopi di Jawa Timur
berasal dar lima kabupaten, yaitu: Jember, penyumbang terbesar, disusul oleh kabupaten-kabupaten
Banyuwangi, Malang, Bondowoso, dan Kediri.
Komoditas kopi di Jawa Timur, telah tumbuh dan berkembang melalui usaha perkebunan
rakyat, perkebunan besar milik pemerintah (Baik dikelola PT. Perkebunan Nusantara yang
dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah seperti di Jember) dan perkebunan
besar milik swasta nasional atau asing. Perkebunan rakyat umumnya bercirikan usaha skala kecil
dan pengelolaan dilakukan secara tradisional sehingga produktivitasnya rendah. Sementara itu,
perkebunan besar dikelola dengan skala usaha yang lebih besar dengan pengelolaan yang lebih
modern dan berteknologi tinggi.
79
Mata Ranrai Komoditas
Karenanya, hasil kopi dar perkebunan rakyat di beberapa wilayah di Jawa Timur umumnyadiperdagangkan kepada berbagai pihak tetapi umumnya kepada pengepul. Pengepul biasanya adalahpedagang lokal atau pedagang dar wilayah lainnya yang sering mendatangi petani-petani yang adadi desa-desa. Umurnnya pengepul mengambil secara langsung hasil panenan petani.
Survey yang dilaksanakan oleh Asosiasi Eksportir Kopi Jawa memperoleh data yang menunjukkanbahwa para petani biasanya menjual tanaman mereka sebagai berikut:
* 69% kepada pedagang perantara (yang biasanya keliling dari desa ke desa)* 27% kepada pengepul lokal (biasanya berlokasi di kecamatan)* 3% kepada industri (dalam hal ini oleh karena para petani kopi tersebut dibina oleh eksportir
atau perusahaan), dan* 1% kepada eksportir.
Selain menjual hasil kopinya kepada pengepul, beberapa petani juga menjual kepada PTPN atauPerusahaan Daerah Perkebunan (PDP) khususnya petani yang ada di Jember. Petani di daerah lain,menjual ke perkebunan besar. Artinya bahwa meskipun PTPN dan perkebunan besar memilikilahan pengelolaan produksi tanaman kopi sendiri, namun mereka juga masih menampung hasilpanen kopi petani.
Sementara itu, kisaran harga antara petani hingga pada rantai industri hingga eksportir mengalamiperbedaan harga antara Rp. 500,- sampai Rp. 1.000,- setiap rantal yang ada, kecuali hargaperdagangan dari PTPN ke industri sebagaimana tergambar sebagai berikut:
Gambar 5.6 Rantal Produksi Kopi
/kg Pengepul 5500/kg Pedagg 6000/kg
5000/kg
|00k 8250/kg60/k
5000/kg PTPN/PDP > Distributor
PerkebunanBesar
80
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Pedagang besar dan pihak perkebunan besar milik pemerintah biasanya melakukan peran reprocessingbiji kopi yang berasal dari petani. Pengolahan ini ditujukan untuk mengurangi kadar air danmelakukan sortasi kopi. Proses pemetikan hingga sortasi biji kopi oleh petani menjadi hal yangpenting, karena sangat mempengaruhi harga. Sebagaimana yang terjadi pada kasus dihadapi olehpetani kopi dari Madiun, Ngawi dan Ponorogo.
Gainbar 5.7 Proses mulai dari pemetikan sampai penyortiran biji kopi di 3 kabupaten:Madinn, Ngawi dan Ponorogo
a Pengeringan - 1 Bikerin] -- ,Penyorti
- > Cuci & pengeringanoleh sinar matahari
r Dikeringkan oleh - > Bijisinar matahai
Cacamsu:
Ada ip proses yang unumnya digunakan oleh para
petani umnuk inenjal biji kopi:
- = Proses yag wnumnya digunakan
'e= Proses Akternaif
= Proses Alternatif 2
Walaupun petani menanam kopi jenis Arabica dan Robusta yang termasuk kualitas terbaik denganharga jual tinggi, namun bila proses petik dan sortasinya melalui alternatif 1 dan 2 maka hargajualnya akan rendah. Untuk kopi jenis Arabica kualitas I antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 8.000,-dan kualitas Il antara Rp. 6.000,- sampai Rp. 7.000,- Sementara itu, itu jenis kopi robusta, petanibanyak menjual yang kualitas J yakni antara Rp. 7.000,- sampai Rp. 8.000,-.
ISU-ISU
INFRASTRUKTUR
Bagi petani kopi setidaknya ada 2 jenis infrastruktur yang merupakan nasalah yang cukup serius
yakni pertama, banyaknya jalan yang rusak. Menurut petani yang ada di Jember, Madiun, Ngawi
dan Bondowoso, jalan dari desa menuju ke kecamatan sangat jelek. Dalam pandangan mereka,
pemerintah tidak memperhatikan kondisi jalan menuju ke sentra produksi. Padahal jalan menuju
ke kecamatan merupakan proses penting dalam distribusi hasil produksi mereka.
Di Banyuwangi ada upaya masyarakat secara swadaya untuk memperbaiki kondisi jalan yang
jelek. Menurut petani, dengan melakukan perbaikan jalan, petani diuntungkan karena biaya
operasional telah turun hingga 20 %. (FGD, Tim PSD, 2004)
81
Mata Rancai Komoditas
Kedua, masalah ketersediaan air. Kasus ini banyak terjadi di 3 wilayah: Madiun, Ngawi dan Ponorogo
khususnya ketika musim kemarau. Bahkan di Ponorogo, irigasi kurang banyak disediakan oleh
pemerintah daerahnya. Sementara bagi petani di Madiun, pengairan yang tersedia masih dianggap
belum cukup.
PERSAINGAN DARI PEMERINTAH
Ketika desentralisasi, berbagai regulasi dibuat oleh pemerintah setempat. Khususnya dalam hal
pemasaran, pemerintah daerah dianggap petani tidak membantu menyediakan sarana pemasaran
produk. Pemerintah daerah bahkan menjadi pesaing bagi pengusaha kopi bubuk. Sejauh ini
Pemda Jember mendirikan PDP (Perusahaan Daerah Perkebunan) yang melakukan penanaman
kopi hingga proses produksi menjadi kopi bubuk. Sebagai informasi yang diberikan oleh petani di
Jember, diduga bahwa saat ini pemerintah daerah melakukan ,,persaingan yang tidak sehat" dengan
cara memberikan surat edaran kepada aparat pemerintah dan instansinya (mulai dari tingkat lurah
hingga dinas) untuk mengkonsumsi kopi DPD. Akibat surat edaran ini, sulft bagi pengusaha
kopi bubuk untuk memasarkan produknya ke instansi pemerintah. Oleh karenanya, kebijakan ini
merupakan hambatan bagi petani untuk memasarkan produknya.
PELAYANAN PEMERINTAH YANG KURANG MEMADAI
Para peserta FGD merasa bahwa pembinaan yang diberikan kepada para petani kopi oleh pemerintah
lokal tidak banyak membantu. Hal ini diidentifikasi dari frekuensi penyuluhan yang rendah serta
tenaga penyuluh dianggap tidak memiliki kemampuan teknis tentang pemberantasan hama kopi. Di
Jember, petugas penyuluh bahkan dajari oleh kelompok tani untuk penanganan hama. Disamping
itu, pemda dianggap tidak mau melakukan koordinasi dengan instansi teknis yang paham tentang
permasalahan kopi. Meskipun di daerah ini telah berdiri Pusat penelitian Kopi dan Coklat yang
merupakan instansi pemerintah pusat, namun pemerintah tidak pernah melibatkan Puslit ini dalam
program penanganan kopi.
Kedua, yang menjadi masalah bagi petani adalah kebijakan pengadaan bibit unggul. Pengadaan bibit
unggul oleh pemerintah biasanya melalui rekanan tanpa melibatkan petani untuk prosesnya. Bahkan
dialog untuk program pemberian bibit tersebut tidak dilakukan. Oleh karenanya, dalam program
penyediaan bibit unggul seringkali tidak sesuai dengan kondisi lahan yang ada. Bahkan pemberian
bibit unggul tanpa diberi penjelasan detail tentang pemberantasan hama yang kemungkinan
menyerang.
"... program bibit unggul yang seringkali diberikan oleh pemerintah daerah tanpa didiskusikan
dengan petani. Pemerintah umumnya menggunakan rekanan kontraktor yang tidak paham
tentang pertanian. Seringkali bibit yang diberikan justru bukan bibit unggul, tapi nggak tau
jenisnya..." (FGD, im PSD, 2004)
82
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Hambatan lain menyangkut ketersediaan teknologi yang sesuai terutama untuk penyiraman.Kasus yang dialami petani Jember memperlihatkan bahwa bantuan teknologi yang diberikanoleh pemerintah daerah ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan petani. Seorang peserta FGDmenuturkan bahwa pemerintah daerah Ponorogo pernah memberikan bantuan mesin pemecah bijikopi dengan cara memodifikasi dari mesin poles beras. Tetapi ternyata mesin pemecah beras tidakbisa direplikasi untuk kopi. Akibatnya, ketika peralatan tersebut diberikan kepada petani, biji kopimenjadi pecah. Lain lagi masalah petani Ngawi yang memerlukan informasi tentang alat pengupasbiji kopi. Hingga saat ini, pemerintah daerah tidak menyediakan informasi yang memadai tentangteknologi untuk pengolahan biji kopi.
PENYIMPANGAN PENENTUAN HARGA
Hal lain yang terkait dengan pelayanan pemerintah adalah pelayanan oleh perusahaan miliknegara seperti Perhutani. Kasus permainan timbangan hasil panen oleh perhutani banyak dialamioleh petani Bondowoso. Petani Bondowoso banyak yang menggunakan lahan Perhutani untukmenanam kopi. Pola yang diberikan adalah bagi hasil panen antara petani dengan pengelola. 1/3untuk perhutani dan 2/3 untuk pengelola. Untuk menentukan berapa nilai 1/3-nya, biasanya pihakPerhutani menaksir terlebih dahulu sebelum dipanen. Sehingga ketika petani menyetorkan hasilpanenan 1/3-nya, mereka sudah mempersiapkan berapa kilo yang akan disetorkan sesuai dengantaksiran perhutani. Tetapi sesampai di perhutani, petani merasa bahwa hasil timbangannya selalutidak sesuai dengan hasil timbangan dari rumah mereka. Hal ini tidak saja dialami oleh satu orangpetani, tetapi hampir semuanya. Karena kekurangan nilai setoran, maka petani diminta menyetorkankekurangannya dalam bentuk uang ke petugas penimbangan perhutani yang disesuai dengan hargakopi yang berlaku.
MODAL
Kelompok petani yang lain dar Jember, Madiun, Ngawi, Banyuwangi, Ponorogo dan Bondowosomenyatakan sulitnya mengurus kredit dibank dikarenakan adanya persyaratan sertifikat tanahsebagai jaminan. Petani umumnya hanya memiliki pethok D. Untuk mengurus pethok D menjadisertifikat, petani menyatakan kesulitan, selain biaya yang tidak transparan, lamanya penyelesaianjuga menjadi persoalan serius di BPN (Badan Pertanahan Nasional). Bahkan menurut petani, untukmemperlancar proses pengeluaran sertifikat, mereka harus menyogok minimal Rp. 50.000,- permeja. Apabila tidak ada uang sogok tersebut, maka waktu penyelesaian akan lama hingga palingcepat 3 bulan. Karena sulitnya mendapatkan kredit formal, petani menggunakan cara lain untukmendapatkan kredit:
83
Mata Rantai Komoditas
Berbagai cara dilakukan oleh petani untuk mengatasi masalah financial. Biasanya petani
mengijonkan basilpanennya kepengepul. Dengan sistem ini, petani hanya mendapatkan 50 -70
% dari hargapasaran. Carayang lain adalah dengan meminjam ke nyonya kecikyakni meminjam
ke seseorang (biasanya perempuan, sehingga dipanggil nyonya) sejumlah uang tertentu. Apabila
telahpanen, akan dibayar dengan basilproduksi. Namun hargajual hasilpanen, ditentukan oleh
si nyonya (pemberipinjaman)(FGD, Tim PSD, 2004)
KEAMANAN
Tindak kejahatan yang muncul dan cukup meresahkan petani adalah penjarahan kopi yang siap
panen oleh kelompok tertentu, pencurian dan penebangan. Banyaknya petani yang takut dengan
kondisi ini, mengakibatkan petani lebih suka untuk memetik kopi pada kondisi biji masih hijau
(pethik ijo). Karena apabila tidak dipetik, maka petani akan kehilangan hasil panennya. Akibat
"pethik ijo" inilah, harga jual rendah karena mutu yang kurang baik. Sementara itu, di Banyuwangi
menurut peserta yang ada, hampir tidak terjadi pencurian dan penjarahan.
GARAM
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari: Sampang, Pamekasan dan Sumenep.
Sektor garam sinonim dengan Madura dan Jawa Timur yang pada umumnya sebagai produsen
garam nasional terbesar. Garam berperan penting dalam kehidupan masyarakat mereka. Walaupun
sektor ini telah ada sejak lama, teknik-teknik produksi masih tetap didasarkan atas cara tradisional
yang berproduktivitas rendah.
Di bawah pemerintahan kolonial Belanda, produksi garam diatur oleh suatu kebijakan yang disebut
«Zoutmonopolie-Ordonnantie 1941" yang menetapkan beberapa daerah di Indonesia termasuk
pulau Jawa dan Madura sebagai wilayah monopoli pemerintah dalam produksi garam. Artinya,
bahwa pembuatan garam rakyat berdasarkan UU tersebut merupakan perbuatan yang dilarang.
Produksi garam di wilayah tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah saja melalui perusahaan
yang ada. Perusahaan tersebut, yaitu Perusahaan Garam Negara dan Soda Negara tidak mampu
memproduksikan jumlah-jumlah cukup untuk memenuhi permintaan nasional. Untuk mengatasi
produksi garam yang tidak memadai, pemerintah pasca kemerdekaan menerbitkan UU Darurat
No. 25 tahun 1957 tentang Penghapusan Monopoli Garam dan Produksi Garam oleh Rakyat34.
UU Darurat tersebut dimaksud untuk meningkatkan produksi garam nasional. Pada tahun 1959,
JU Darurat tersebut ditetapkan sebagai UU Nomor 13 tahun 1959.
½mbaran Negara tahun 1957 No. 82
84
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Saat ini, Indonesia memiliki ladang garam seluas 25.383 hektar dengan total produksi 1,7 juta
ton. Sementara itu, kebutuhan nasional pada tahun 2002 saja mencapai 2,8 juta ton dengan total
pertumbuhan kebutuhan 8,4 %35. Diperkirakan pada tahun 2004 kebutuhan garam nasional
mencapai 3,3 juta ton. Sementara itu, produksi garam nasional tidak dapat memenuhi kebutuhan
yang ada meskipun di Indonesia telah ada perusahaan produksi garam yakni PT. Garam. Produksi
PT. Garam hanya berkisar antara 250.000 - 300.000 ton/tahun dengan luas lahan sekitar 5 ribu
hektar.
Ada 22 propinsi di Indonesia yang memproduksi garam. Propinsi Jawa Timur adalah produsen
nasional garam terbesar. Diperkirakan bahwa propinsi tersebut menyumbang 70% bahan baku
garam yang diproduksi di Indonesia, dan untuk garam mengandung yodium propinsi tersebut
menyumbang 45% dari total produksi nasional. 30% sisa produksi garam disebarkan di antara 21
propinsi lain, seperti tampak pada Tabel berikut:
Tabel 5.7 Produksi Garam di Indonesia
1 Jawa Timur 596.772 1.100.000
2 Jawa Barat 209,744 130.000
3 Jawa Tengah 148.032 220.000
4 Sumatra Utara 72.000 ---
5 Sumatra Selatan 56.000 ---
6 Nusa Tenggara Barat 52.700 61.000
7 Sumatra Barat 51.000 ---
8 Sulawesi Selaran 47.448 70.000
9 Lampung - 25.640 --
10 Jambi 24.000 ---
11 Riau 20.000 ---
12 Kalimantan Barat 14.200 ---
13 Sulawesi Utara 10.850 ---
14 Aceh 9.000 10.000
15 Bengkulu 8.200
16 Sulawesi Tengah 7.000 18.000
17 DKI 5.123 ---
18 Kalimantan Selatan 5.000 ---
19 Kalimantan Tengah 3.000 ---
20 Kalimantan Timur 2.500 ---
21 Bali 864 2.200
22 Nusa Tenggara Timur 440 10.000
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Perambangan Kabupaten Sampang
35Kompas, edisi 19 Maret 2003 "Penerinrah Kaji &imulus Untuk Industri Garm
85
Mata Rantai Komoditas
Dari total permintaan garam 40% diserap sebagai garam untuk konsumsi dan 60% sisanya sebagai
garam untuk industri. Garam industri digunakan dalam berbagai industri, yaitu: 76% untuk
industri soda, 15% untuk pengeboran minyak, dan 9% untuk jenis-jenis industri lainnya sepertikulit, kosmetika, sabun dan es. Dari permintaan garam untuk konsumsi 72% digunakan sebagaimakanan, sedangkan sisanya merupakan bahan tambahan dalam industri pangan36.
DiJawaTimur, produksilokal olehrumah tanggaatauprodusensektor informalmelimpah. Menurutdata Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang, garam di JawaTimur lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan lokal. Mereka memperkirakan permintaankonsumsi garam di jawaTimur sekitar 172.754 ton per tahun, sedangkan tingkat produksi mencapai1.100.000 ton per tahun.
Tabel 5.8 Luas Lahan Garam dan Produksi Gara di Jawa Timur, 2003
an Lokasi , La'
PT. Garam Sumenep, Pamekasan, 5.116 Ha 400.000 ton 1 tahunSampang
Sumenep, Pamekasan,Garam Rakyat Tuban, Lamongan, Gresik, 14.007 Ha 700.000 ton 1 tahun
Sidoarjo, Pasuruan
Surnben Dinas Perindustrian, Perdaganpan din Pertarnbangan Kabupaten Sampang
Dari total produksi 1.100.000 ton di Jawa Timur, hanya 55% diproses lebih lanjut menjadi garam
mengandung yodiun. Sisanya 45% merupakan bahan baku garam yang lazim digunakan di dalam
industri. Sumbangan terbesar kepada produksi garam yodium berasal dari Surabaya dan Pamekasan.
Surabaya hanya memproses garam mentah menjadi garam beryodium. Produksi gararn mentah
Jawa Timur kebanyakan berasal dari kabupaten-kabupaten di pulau Madura khususnya di Sampang,
Parnekasan dan Sumenep. Sumbangan Madura kepada produksi garam Jawa Timur diperkirakan
70% dari total produksi Jawa Timur.
36http:/suharJavanasuriatripod.com
86
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Tabel 5.9 Industri Garam Beryodium di Jawa Timur
apPts3iduksii3 ..T.Jft<
4 >
Kota Surabaya 5 280
Kab. Pamekasan 3 220
Kab. Sidoarjo 3 36,5
Kab. Gresik 5 32,2
Kota Pasuruan 9 14,75
Kab. Pasuruan 4 5.862
Kab. Malang 5 4,26
Kab. Probolinggo 2 2
Kab. Lumajang 1 1,2
Kab. Sampang 2 0
Total 39 596,772
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Pertambangan Kabupatern Sampang
Berdasarkan FGD yang dilakukan di Madura, produsen garam terdiri dari 2 pihak yakni garam-
rakyat, yaitu yang dikelola dan diproduksi oleh masyarakat secara individu, dan PT. Garam. PT
Garam nerupakan BUMN selain memproduksi garam juga memasarkan garam.
Pengolahan garam rakyat urnumnya menggunakan teknologi yang sangat sederhana. Tahap yang
dilakukan cukup melalui pengeringan lahan yang kemudian dilanjutkan dengan pengairan dan
baru kemudian penjemuran. Proses produksi garam ini dilakukan dengan cara menguapkan air laut
dalam petak-petak lahan. Air laut yang diuapkan sampai kering mengandung setiap liternya 7 mineral
(CaSO4, MgSO4, MgCL2, KCL, NaBr, NaCl dan air). Proses penguapan hingga pengeringan ini
yang mempengaruhi kualitas garam rakyat. Dari proses yang ada telah menghasilkan 3 jenis kualitas
garam rakyat: pertama, Kl (kualitas 1) untuk garam dengan kualitas paling baik. Pada kualitas ini,
proses pengairan hingga penjemuran paling tidak membutuhkan waktu 30 hari. Yang kedua, adalah
K2 (kualitas 2) untuk garam dengan kualitas sedang. Kualitas sedang diproduksi dengan waktu 15
hari dari proses pengairan hingga penjemuran. Sedangkan K3 (kualitas 3) untuk garam dengan
kualitas terjelek diproduksi hanya dalam waktu 7 hari. Berikut ini adalah proses pengolahan garam
rakyat:
Gambar 5.8 Produksi Garam
Pengerin n Lahan Pen ra Pen emuran Garam Rakyat(1 ari (7-10 ha)j (3 hari)ý
87
Mata Rantai Komoditas
Produk garam yang telah dihasilkan oleh rakyat tersebut, tidak serta merta didistribusikan kemasyarakat, namun memerlukan proses lebih lanjut yang lebih rumit untuk menyesuaikan standar
mutu garam konsumsi. Khususnya yang menyangkut ketersediaan kandungan zat yodium dalam
garam konsumsi. Sehubungan dengan itu, proses pengolahan garam selanjutnya dikelola oleh PT.Garam dan industri pengolahan garam lainnya, mengingat aktifitas ini membutuhkan teknologi
yang lebih tinggi. Oleh sebab itu rantai perdagangan garam rakyat hanya tersalurkan pada setidaknya3 kelompok saja yakni : PT. Garam, pedagang dan industri sebagaimana terlihat dalam gambarberikut.
Gambar 5.9 Rantai Produksi Garam
Pedagang * Itri (
1M'
Kelompok pedagang dalam rantai tersebut, umumnya merupakan perusahaan perdagangan garamrakyat yang akan disalurkan kepada industri pengolahan lainnya. Perusahaan ini umumnya tidakmelakukan pengelolaan garam rakyat menjadi garam konsumsi. Sementara itu, kelompok industriyang menerima pasokan dari para pedagang dan PT. Garam, bergerak dalam berbagai produk antaralain industri soda, kulit, sabun, tekstil dan minyak serta kosmetik. Sedangkan yang merupakanproduk turunan antara lain salt cake.
ISU-ISU
GARAM IMPOR
Garam merupakan salah satu komoditi yang dianggap mempunyai kepentingan strategis dankarenanya dilakukan proteksi atas tata niaga. Menurut data yang ada, pro duksi garam nasional tidakpernah mencukupi untuk memenuhi kebutuhan nasional. Karena itu pemerintah telah melakukanberbagai cara untuk memenuhi kebutuhan garam nasional. Salah satu diantaranya ialah mengimporgaram dar! negara-negara lain. Saat ini garam diimpor dari tiga negara, yaitu India, Australia, danYordania. Jumlah paling besar diimpor dari India. Akan tetapi kebijakan impor garam tersebutmenimbulkan serangkaian masalah untuk para petani garam, terutama di JawaTimur. Data produksiyang ada menunjukkan bahwa propinsi Jawa Timur mempunyai produksi garam berlimpah, namunpemerintah menerapkan kebijakan impor tanpa melakukan dialog dengan para petani.
88
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
".....Híngga saat ini saja, masih berton-ton garam disíni (di Pamekasan, red) belum bisa terjual
Kokpemerintah tiba-tiba membuat keb¡jakan impor. Padahal disini stoknya masih banyak. Apa
pemerintah tidak tahu itU.. ."(FGD, Tim PS, 2004)
Masalah impor garam seperti disebut di atas menjadi isu yang cukup serius pada tahun 2002 dan 2003.
Seperti disebut lebih dulu, pasar garam terdiri dai pasar untuk garam konsumsi dan untuk garam
industri. Garam untuk industri memerlukan kadar NaCI 99%, sedangkan garam untuk konsumsi
memerlukan kadar NaC minimal 95%. Para petani garam biasanya hanya mampu memproduksi
garam dengan kadar NaCI 95% sampai 97%. Akibatnya, untuk memenuhi permintaan garam
industri, pemerintah tetap perlu impor dar¡ negara-negara lain, khususnya Australia dan Yordania.
Akan tetapi pada tahun 2002-2003 pemerintah Indonesia juga mengimpor garam dar¡ India,
walaupun mutunya sama dengan garam lokal. Ini merugikan garam dalam negeri oleh karena
harga pasar garam lokal ialah Rp. 55.000,- - Rp. 75.000,- sedangkan garam India Rp. 40.000,-
Pada tahun 2003 pemerintah Indonesia merekomendasikan penghentian impor garam darl India
mengingat persediaan dalam negeri memadai. Akan tetapi impor dar Australia tetap dilanjutkan.
PENENTUAN HARGA GARAM RAKYAT
Selain masalah yang terkait dengan kebijakan impor yang belum tantas, beberapa waktu yang lalu,
pemerintah setempat di wilayah Madura berinisitif untuk melakukan MoU (Memorandum of
Understanding) antara Pemerintah Kabupaten Sampang, Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten
Sumenep beserta 9 perusahaan garam di Madura untuk mengatur harga dasar garam rakyat. Seperti
dijelaskan di atas, garam yang dihasilkan oleh garam rakyat, hampir sebagian besar ditampung dan
diolah kembali oleh perusahaan industri. Saat ini menurut mereka ada 9 kelompok perusahaan
industri garam antara lain PT. Garam, PT. Garindo dan PT. Budiono Madura Bangun Persada.
Ketiga perusahaan tersebut merupakan perusahaan terbesar yang menampung penjualan hasil
garam rakyat. Ke sembilan perusahaan ini secara efektif mewakili suata kartel dan dikenal sebagai
"kelompok 9".
Persoalan harga, selama ini tidak bisa dilepaskan dard hubungan antara petani garam dengan
perusahaan industri. Menurut petani garam, selama ini tidak ada harga dasar yang ditentukan antara
pemerintah, petani dan perusahaan industri. Saat ini yang ada hanyalah harga pasar. Harga pasar
yang ada saat ini hanya ditentukan oleh perusahaan industri37. Oleh karenanya, inisiatif 3 pemerintah
daerah di Madura tersebut untuk menyusun MoU merupakan langkah yang tidak tepat. Meskipun
dalam rencana MoU tersebut terdapat 3 nama perwakilan kelompok petani, menurut petani, posisi
tawar mereka sangat rendah sebagaimana pendapat salah satu peserta FGD.
Bagaimana kita tahu bisa dialog kalau yang dominan hanya pemerintah dan kelompok 9
(sebutan perusahan yang akan melakukan Mo U karena jumlahnya 9 perusahaan, red). Petani
37Harga pasar garan saar ini K- harga dasarnya Rp. 75.000, per aon. K-2 adalah Rp. 65.000,4 ton dan K-3 ada1ah Rp 55.000,-/aon.
89
Mata Rantal Komoditas
hanya disodori Mo Uyang sudah jadi tanpa melakukan dialog sebelumnya. Bahkan penentuanperwakilan kelompok tani saja kami tidak tabu..." "(FGD, im PSD, 2004)
INFRASTRUKTUR
Pelabubanyangkurangmemadai, pelabuhan merupakan infrastruktur yang cukup penting dalamdistribusi garam khususnya petani dari Pamekasan dan Sumenep. Petani dari kedua wilayah ini banyakmendistribusikan garamnya ke luar pulau Jawa antara lain Sumatra dan Kalimantan. Sementara itu,petani dari Sampang, lebih banyak mendistribusikan garamnya ke wilayah pulau Jawa. Sehingga,pelabuhan tidak menjadi masalah karena selama ini bisa diatasi dengan menggunakan jalur daratdan pelabuhan Madura - Surabaya yang sangat memadai.
Pelabuhan yang menjadi hambatan adalah pelabuhan Pamekasan. Pelabuhan dikabupaten inimemiliki kedalaman yang sangat dangkal yakni hanya 100 meter. Oleh karenanya, petani diPamekasan banyak mengirimkan garamnya melalui pelabuhan di Kalianget Sumenep. Hanya saja,biaya akan bertambah karena harus menambah biaya transportasi darat untuk mengangkut garamdar Pamekasan ke Sumenep. Biaya yang bertambah per kg-nya adalah Rp. 25,-.
Sebenarnya, ada jarak terdekat yang bisa ditempuh oleh petani garam bila memasarkan produknyake luar pulau. Yakni dengan menggunakan pelabuhan Sejati milik PT. Garam. Biaya tempuh menujupelabuhan ini per kg-nya adalah Rp. 15,-. Hanya saja, penggunaan dermaga milik PT Garam inidianggap cukup birokratis, sebagaimana disampaikan oleh salah seorang pengusaha:
«.....Kami pernah beberapa kali bersama dengan Dinas Perindag mengajukan peminjaman
kepada PT Garam, namun seringkali ditolak. Padahal saat itu kami mengalami kesulitan
distribusi penjualan. Oleh karenanya, kami terpaksa menggunakan dermaga Kalianget yang
jaraknya mempengaruhi ongkos transport karni.." (FGD, Tim PSD, 2004)
Pada bulan Oktober 200338, petani melalui Dinas Perindustrian Perdagangan dan pertambanganKabupaten Sampang pernah mendapatkan persetujuan dar pihak PT. Garam untuk penggunaandermaga. Hanya saja, surat persetujuan tersebut justru menghambat perdagangan yang ada. Dalamsurat tersebut antara lain disebutkan bahwa:
...... Pada prinsipnya kami tidak berkeberatan dengan penggunaan Dermaga oleh saudaradengan catatan sebagai berikut :
1. Garam tidak dimuat untukpengiriman ke Sumatera Utara.2. Apabila ada kerusakan dermaga akibat dari pemakaian ini maka biaya perbaikan akandibebankan kepada saudara
3. Dikenakan beban biaya pemuatan ( muat garam) pada setiap pengiriman garam
3 8Surat Direkrur Urama PT. Garam kepada Kepala Dinas Perindustrlan Perdagangan dan Permmrnbangan Kabupaten Sampang pada mrnggal 8 Oktober 2003
90
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dari persyaratan yang ada diatas, larangan untuk mengirim garam ke Sumatra Utara merupakan
persyaratan yang memberatkan. Hal ini dianggap sebagai cara untuk menghalangi petani menjual
garam ke Sumatra Utara. Penjualan garam Madura ke Sumatra Utara lebih disukai karena hargajualnya cukup tinggi. Harganya berkisar antara Rp. 225.000,-/ton sampai Rp. 300.000,-/ton.
Di sisi yang lain, pelabuhan yang ada di Sumenep sendiri juga masih dianggap kurang mendukung
terutama karena tingkat kedalaman yang belum memadai. Daya muat pelabuhan hanya sebatas
3.000 ton saja. Apabila muatan melebihi, maka kapal yang akan memuat garam harus berada di
posisi tengah. Sehingga biaya pengangkutan akan bertambah karena harus menggunakan perahu
untuk mengangkut garam dari pelabuhan ke tengah laut dimana kapal bersandar. Biaya angkut
dengan menggunakan kapal mencapai Rp. 25,- per kg.
Masalah jalan yakni jalan dai ladang garam menuju jalan raya (alan umum). Di ketiga
wilayah (Pamekasan, Sampang dan Sumenep) jalan dari ladang garam menuju jalan raya tidak ada.
Akibatnya, petani akan mengeluarkan tambahan biaya tenaga kerja untuk mengangkut garam dari
ladang mereka ke jalan raya. Biaya angkut untuk tenaga kerja pengangkutan ini cukup tinggi yakni
mencapai Rp. 50.000/ton. Biaya ini dirasa cukup tinggi sehingga keuntungan petani sangat rendah.
Sementara itu, harga jual hanya mencapai Rp. 55.000,- - Rp. 75.000,- / ton.
PERIZINAN DAN PEMBERIAN LABEL
Para peserta dari ketiga daerah tersebut mengatakan bahwa perizinan bukan merupakan masalah.
Selama ini, bèberapa pengusaha dapat dengan mudah mendapatkan surat izin. Misalnya saja, ada
salah seorang pengusaha dari Sumenep yang telah mendapatkan SIUP hanya dengan waktu 1 hari
saja. Demikian juga untuk mendapatkan surat jalan dari Deperindag untuk mengiriman garam ke
luar pulau. Masalah yang muncul justru adalah persoalan labeling atau kemasan garam yang dikirim
ke luar daerah khususnya Sumatra Utara. Umumnya kemasan garam yang dikirim oleh petani dalam
bentuk karungan ini tidak berlabel (bermerek). Pada Bulan September 2003, 1.738 ton garan milik
petani di Sumenep disita oleh Polda Jatim. Alasan yang disampaikan oleh pihak Polda adalah garam
tersebut tidak memenuhi standar mutu pemerintah dan melanggar UU perlindungan konsumen
karena tidak mencantumkan label pada kemasaný9. Sementara itu, dalam anggapan petani UU
perlindungan konsumen hanya berlaku untuk produk jadi atau produk akhir yang akan diserap oleh
konsumen akhir. Sementara itu, produk yang mereka distribusikan adalah produk setengah jadi,
yang akan diolah kembali oleh perusahaan di Sumatra Utara. Oleh karenanya, tanpa menggunakan
label atau merek sebenarnya tidak melanggar UU Perlindungan konsumen. Isu ini menunjuk pada
tidak adanya kejelasan dalam peraturan tersebut.
39Harian Surya edisi 7 Nopemnber 2003
91
Mata Rantai Komoditas
PROSES PEMBUATAN KEBIJAKAN
Proses konsultasi publik oleh pemerintah kepada petani hampir tidak pernah dilakukan. Meskipunpemerintah daerah sedang menyusun draft Nota kesepakatan Bersama antara pemerintah Sampang,Pamekasan dan Sumenep serta 9 perusahaan dan petani dari 3 daerah, namun selama ini petanimerasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan draft tersebut. Yang menjadi masalah kemudian,petani yang menjadi perwakilan dalam draft nota kesepakatan tersebut tidak dikenal sebagai petanimelainkan sebagai pedagang.
Masalah yang kedua, menyangkut kebijakan impor garam. Petani merasa bahwa kebijakan tersebuttidak melalui tahapan penelitian maupun pemantauan yang detail atas produksi garam nasional. Olehkarenanya, petani merasa bahwa kebijakan ekonomi pemerintah baik pusat maupun daerah kurangmelibatkan sektor swasta khususnya pengusaha kecil menengah dalam perencanaan, pengambilankeputusan maupun pengawasannya.
UDANG
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut: Sampang, Pamekasan,Sumenep, Tuban, Lamongan, Gresik, Malang, Banyuwangi.
Ekspor perikanan Jawa Timur cukup stabil secara keseluruhan. Sampai dengan tahun 2002, databerikut ini menunjukkan peningkatan teratur dalam volume penjualan dibandingkan dengantahun-tahun sebelumnya.
Gambar 5.10 Ekspor Produk Perikanan Jawa Timur, 1999-2002
600 -e- volume (uta ton)
500 -.- nilai (milyar US$)
400
300
200
100 •
1999 2000 2001 2002
Sumber: Dinas Perikanan Propinsi Jawa Timur
92
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Sektor perikanan masih menyumbang cukup besar terhadap perekonomian di Jawa Timur. Sektor
ini menyumbang sebesar 820 milyar rupiah atau sekitar 1,35% dari PDRB Jatim pada akhir tahun
2002. Daerah peyumbang terbesar dari produksi ikan ini adalah Lamongan, Gresik dan Trenggalek
masing-masing sebesar 70 ribu ton, 58 ribu ton dan 57 ribu ton dalam tahun yang sama.
Terdapat 4 kelompok pelaku usaha dalam rantai bisnis udang yakni :
• Kelompok pertama adalah pelaku usaha yang bergerak di budi saya pembenihan, baik
pembenihan alam yang sifatnya hanya penangkapan di laut lepas saja, serta pembenihan
buatan yang dilakukan di tambak-tambak.
* Kelompok kedua adalah pelaku budi daya udang atau dengan kata lain pembesaran udang
* Kelompok ketiga adalah pedagang udang dari mulai kelompok pengepul sampai dengan para
ekspotir.• Kelompok keempat adalah kelompok pendukung kegiatan budi daya udang seperti industri
pakan dan obat.
Gambar 5.11 Rantai Produksi Udang
PedagangBenih
Nelayan Udang Petani Tambak Petani Tambak NelayanTradisional teknologi Tinggi Lobster
(rata-rata<l ha) (rata-rata<I ha)
Pengepul +
Agen
Yang membedakan para petani tradisional dari petani tambak intensif ialah teknologi
pembudidayaan udang, terutama dalam penggunaan pakan dan obat-obatan. Para petani tradisional
biasanya mempunyai usaha kecil yang tidak banyak menggunakan teknologi khusus dalam
membudidayakan udangnya.
93
Mata Rantai Komoditas
Isu-Isu
FLUKTUASI HARGA DALAM EKSPOR
Para pelaku budi daya udang seringkali menghadapi fluktuasi harga yang sangat tajam. Yang palingmerasakan dampak negatif dari ketidakstabilan harga ini terutama dirasakan oleh pihak petanipetambak sebagai produsen awal udang, sekaligus konsumen akhir industri pakan ikan. Menurutpetani tambak harga penurunannya bahkan sampai dengan 50%. Sementara itu pihak eksportiryang juga merasakan dampak negatif dari fluktuasi harga ini walaupun tidak separah di tingkatpetani petambak, juga sulit untuk menghindari situasi seperti ini, karena secara langsung harusmenghadapi beberapa hal pasar internasiona,1:
1 Adanya aturan-aturan internasional mengenai larangan pengganaan obat kimia, anti biotik,keharusan penggunaan label-label tertentu dan lain-lain menyebabkan pasar internasionalsemakin menyempit.
2 Muncul produk-produk dari negara lain dengan kualitas yang lebih baik dan harga yang lebihrendah
3 Di sisi lain kondisi suplai udang dari nelayan Indonesia kualitasnya banyak yang tidakmemenuhi standar internasional. Disamping itu suplainya kian hari kian menurun.
Di Tuban, sekitar 5 tahun yang latu seorang pengusaha eksportir dapat mengirim ikan sampaisekitar 60 kontainer/bulan. Saat ini hanya dapat mengirim 20-25 kontainer ikan. (FGD, TimPSD, 2004)
4 Terutama untuk lobster jaringan bisnis intenasional yang ada sangat terbatas, sehinggaketergantungan pedagang Madura terhadap eksportir di Surabaya terutama menjadi sangattinggi. Nelayan maupun pedagang di Madura belum ada yang dapat berhubungan denganbuyer secara langsung. Sehingga para pedagang ikan di Madura harus mengikuti harga yangditetapkan oleh pedagang besar atau pabrik atau eksportir di Surabaya. Padahal harga yangmereka patok seringkali tidak stabil, sehingga pedagang kecil Madura seringkali kesulitanmenghadapinya.
PERIZINAN
Keluhan ini disampailkan oleh eksportir udang yang mengalami adanya pungutan ganda kepadaobjek yang sama yakni air. Pungutan tersebut berbentuk retribusi air yang ditarik oleh pemerintahprovinsi dan Surat Izin Penggunaan Air (SIPA) yang ditarik oleh Pemda seperti terjadi di Tuban. DiBojonegoro dan Pacitan, pungutan ganda melalui perizinan juga muncul dalam bentuk penerbitan40
Hasil Diskusi Kelompok Fokus, Tim PSD, 2004
94
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Surat Kelayakan Produksi (SKP) serta Surat Pengolahan Ikan (SPI). Kedua jenis izin tersebut pada
intinya merupakan pungutan berbentuk retribusi dalam pengolahan ikan.
KEAMANAN
Penjarahan tambak udang oleh masyarakat yang ada disekitar tempat tambak berada terjadi pada
setiap kali panen. Kejadian ini terjadi terus menerus sejak krisis Juni 98. Pada setiap kali panen
kehilangan yang terjadi bias mencapai 50%. Pengusaha kemudian mencoba mengatasi hal ini
dengan meminta bantuan dari pihak aparat kepolisian.
Di Tuban untuk pengamanan selama masa panen selama sekitar 7 sampai 10 hari pihak
pemilik tambak harus mengeluarkan biaya sekitar 50. 000 orang/orang/hari, sehingga total biaya
pengamanan sampai dengan selesai melakukanpemanenanyakni sebesar3.000.000 rupiah. (FGD,
Tim PSD, 2004)
Keamanan dalam pengantaran barang dari Jawa Timur ke Jakarta juga cukup rawan terutama dari
gangguan pungutan liar yang biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian di jalanan. Seorang pengepul
menceritakan bahwa rata-rata dalam satu kali pengantaran paling sedikit perlu menyediakan
uang sekitar 50.000 rupiah untuk menbayar pungutan liar. Sementara seorang eksportir udang
menceritakan bahwa dia harus membayar biaya pengawalan truk-truk miliknya sebanyak 3.000.000
rupiah per bulan.
Sementara itu ketersediaan benih maupun udang di laut lepas terancam karena adanya pencurian
besar-besaran oleh kapal-kapal besar milik nelayan asing. Pencurian seperti ini cukup sering terjadi.
Hal ini diketahui karena keberadaan kapal-kapal asing tersebut kerap terlihat oleh para nelayan tadi.
Sejauh ini upaya menanggulangi Masalah pencurian ikan dilaut lepas sangat terbatas bahkan pada
wilayah tertentu tidak nampak sama sekali.
INFRASTRUKTUR
Secara fisik komoditas udang ini sangat mudah rusak (perishable) sehingga kondisi infrastruktur
sangat signifikan pengaruhnya terhadap kualitas udang. Beberapa kondisi infrastruktur berikut ini
menunjukkan bagaimana pengaruhnya terhadap komoditas ini.
Sumber-sumber air. Untuk pembudidaya tambak udang, baik produsen udang kecil maupun
pembudidaya udang, air kebanyakan diperoleh dari sungai dan kanal di wilayah Tuban. Namun
saat ini kondisi sungai/kanal tersebut tidak lagi dapat menyalurkan air secara baik, baik dalam
hal kuantitas maupun kualitas. Para pelaku usaha menyatakan bahwa kemungkinan besar hal ini
disebakan oleh dua hal yakni
95
Mata Rantai Komoditas
(1) terjadinya pendangkalan dasar sungai/kanal yang terjadi sejak dar! hulu sungai/kanal sampaidengan bagian hilirnya.
(2) terjadinya pencemaran air yang semakin parah yang bersumber dari limbah industri dan
sampah rumah tangga yang menyebabkan tingginya tingkat kegagalan panen udang.
Pencemaran air ini juga terjadi sejak dari hulu sungai/kanal.
Kerusakan terhadap lingkungan fisik juga mempunyai dampak luar biasa atas pembudidayaanudang, yang sangat dipengaruhi oleh mutu air. Di antara penyebab-penyebab kemerosotan mutuair yang diungkapkan dalam FGD-FGD terdapat:
* Kegiatan pengeboran minyak lepas pantai. Misalnya, dua perusahaan pengeboran minyakberoperasi dua mil lepas pantai Bangkalan, yang berada di dalam wilayah penangkapan ikanpara nelayan di daerah ini. Kegiatan pengeboran telah menyebabkan pencemaran air cakupserius selama lima tahun terakhir. Para petani dan nelayan mengatakan bahwa produksimereka turun sebanyak 30%.
* Banyak penangkapan ikan masih dilakukan dengan menggunakan bom atau bahkan formalin.Para nelayan biasanya mendapat formalin dari pemasok atau pembeli mereka di Surabaya.Ini tidak saja membunuh atau merusak banyak sekali telur ikan dan ikan kecil, tetapi jugamerusak terumbu karang yang begitu penting sebagai tempat ikan berkembang biak.
* Kerusakan lingkungan hidup juga dirasakan dengan penciutan hutan bakau, yang tersisakurang dari separuhnya. Padahal hutan-hutan tersebut mempunyai peranan penting dalampenyediaan mutu air yang baik untuk udang di perairan sekitarnya.
Transportasi Jalan dan Antar Pulau. Para pedagang di sektor hilir udang sering mengeluh tentangtransportasi jalan. Misalnya pada ruas Taban-Babat menuju Surabaya sekitar 3 kilometer, dimanakondisi jalan menyempit dan bergelombang. Sehingga menyebabkan kemacetan pada jam-jamtertentu. Menurut peserta diskusi tingkat kecelakaan di ruas ini rata-rata 12 kali dalam 1 minggu.Jarak tempuh Tuban-Surabaya saat ini ditempuh dalam 2-3 jam. Idealnya paling lambat hanyal,5jam.
Bagi petani udang di Pacitan infrastruktur jalan yang mendesak untuk dilakukan perbaikanadalah jalan-jalan desa terutama yang menuju ke pantai dalam keadaan tidak beraspal. Kondisiini tidak memungkinkan mobil untuk masuk ke dalam areal pelabuhan, sehingga ikan-ikan harusdipikul menunju jalan raya. Hal ini menyebabkan meningkatkan biaya untuk ongkos angkut jugamemperlambat masa jual ikan sehingga sangat besar kemungkinan bahwa kualitas ikan menurunakibat lamanya waktu yang dibutuhkan untuk membawa ikan ke jalan raya.
96
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bagi para pedagang dari Madura benih atau bibit maupun produk akhir banyak sekali dihasilkan
oleh pulau-pulau kecil disekitar Madura. Namun demikian keberadaan transportasi pengangkutan
dari pulau-pulau ini ke Madura maupun keluar Madura seperti ke Surabaya dan Bali sangat terbatas.
Yang ada hanya perahu-perahu kecil yang tidak memiliki kemampuan berlayar jauh. Keterbatasan
ini sangat sering menimbulkan kerugian pada tingkat petani karena selain barang rusak bahkan
kadang-kadang tidak terangkut. Sebagai contoh dari pulau Sepeken ke Bali dibutuhkan waktu
sampai 9 jam, padahal untuk mendapatkan ikan segar waktu yang ideal yang dibutuhkan sebaiknya
kurang dari 4 jam.
Kapasitas Pelabuhan. Di Pacitan, Tuban, Bojonegoro dan Banyuwangi pelabuhan yang ada hanya
dapat didarati oleh kapal kecil. Dengan kapasitas seperti itu maka kapal besar tidak dapat berlabuh.
Para pengepul atau pedagang ikan meyakini kalau kapal besar bisa berlabuh maka dinamika
ekonomi disekitar wilayah ini akan meningkat karena hal ini akan signifikan terhadap volume ikan
yang diperjual belikan melalui pelabuhan ini.
Selain sempit fasilitas lain yang ada di pelabuhan juga terbatas. Fasilitas lain yang dirasakan oleh para
pengguna pelabuhan diantaranya gudang terutama untuk ikan dan es, tempat untuk penampungan
BBM. Di Pacitan misalnya bila mereka membutuhkan solar maka mereka harus pergi ketempat
pom bensin terdekat yang jaraknya sekitar 5 km. Jumlah solar yang dapat dibelipun terbatas hanya
dalam beberapa tengki saja. Kesulitan mendapatkan solar ini makin terasa bila mendekati hari raya
atau tahun baru.
Pernah ada usulan untuk mengundang investor untuk membangun pom bensin di TPI, namun bagi
calon investor hal ini masih belum mungkin diwujudkan. mengingat cukup banyak hal yang perlu
dipenuhi oleh seorang investor'. Selain adanya pom nelayan juga berharap jika dimungkinkan
adanya tempat penampungan BBM disekitar pelabuhan ini.
TEKNOLOGI
Penelitian dan Pengembangan. Para petani merasa bahwa ada banyak masalah (seperti penyakit,
kadar garam yang sesuai, teknologi pasca-panen) yang semakin memburuk dan yang membutuhkan
pemecahan teknis. Para peserta mengatakan bahwa masalah-masalah seperti ini sedang memburuk
sebab tidak ada lembaga untuk menjalankan penelitian dan mengembangkan teknologi perikanan,
yang dapat dijadikan acuan bagi para petani. Berkaitan dengan ini adalah kurangnya petugas teknis
atau konsultan di lapangan yang dapat memberikan keterangan tentang bagaimana menangani
berbagai masalah berkaitan dengan ikan.
41Untuk memenuhi kebutuhan van bakar bagi nelayan bisa dilakukan dengan membuka SPBBN (Stasiun Pengisian Bahan Bakar unuk Nelayan). Jenis minyak yang
disalurkan di stasiun ini hanya solar. Beberapa ketenuan pembukaan SPBBN, dianraranya, (1) unmuk satu SPBBN diperlukan biaya investasi senilai 300 - 500 Jura Rupiah
diluir tanab (2) Lokasi harus dekat dengan pantai (3) akan diberikan alokasi rercentu sesuai dengan keburuhan räl nelayan (4) mempunyal tanal serzifkat hak milik seluas
minimal 800 m2 dengan panjang bagian depan 40 m (5) sda rekomendasi dari kantor Menceri Perikanan & Kclauan (6) pemilik bisa T perorangan atau koperasi.
97
Mata Rantai Komoditas
Penyakit udang, terutama bagi petani empang, merupakan masalah yang perlu penanganan khususguna mencari pemecahan yang sangat dibutuhkan. Pengembangan teknologi di bidang ini jugadiharapkan.
Kapasitas ColdStorageYang Terbatas. Saat ini umumnya pedagang perantara atau eksportir memilikikapasitas coldstrorage antara 10-15 ton. Kapasitas sebesar itu tidak sebanding dengan permintaanudang yang mencapai 20 sampai 30 ton per bulan. Apalagi pada kenyataannya coldstorage tersebuttidak saja digunakan hanya untuk udang melainkan untuk penyimpanan hasil perikanan lainnya.
Penggunaan Perahu Kecil. Umumnya produktivitas petani di Jawa Timur rendah. Terdapat dua halyang diperkirakan menjadi penyebab hal ini yakni:
1. Penggunaan perahu 'kecil' dimana kapasitasnya sangat terbatas telah mempersempit fshingground nelayan. Saat in! daya jangkau perahu nelayan hanya bisa maksimun 6 jam sekaliberlayar. sehingga tidak dapat berlayar lebih jauh ketengah pantai.
2. Penggunaan minyak tanah yang dicampur ol sebagai ganti solar yang dirasakan terlalu mahaloleh nelayan telah menyebabkan tingkat residu yang dibuang ke laut semakin tinggi sehinggapencemaran yang terjadi sernakin parah serta dapat memperpendek umur mesin kapal.
TERNAK SAPI
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dari daerah-daerah berikut ini: Bojonegoro, Sumenep,Kediri, Malang, Banyuwangi, Jember, Trenggalek, Pacitan, Tuban.
Jumlah ternak sapi di Jawa Timur sekitar tahun 2002 tercatat sekitar 2,51 juta ekor (Jawa TimurDalam Angka, 2002) yang tersebar di berbagai tempat terutama pada beberapa kantung produksiyakni Trenggalek, Jember, Daerah pesisir Selatan Jatim Bojonegoro, Pacitan, Tuban, serta Malangdan wilayah-wilayah disekitarnya. Adapun perkembangan jumlah ternak sapi potong sejak 1996adalah sebagai berikut:
98
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Bagan 5.12 Perubahan dalam Jumlah Ternak Sapi di Jawa Timur
3.4 3.31
2.51 2.51
0
1996 2000 2001 2002
Sumber: Jawa Timur dalam Angka, 1997 dan 2002
Jumlah ternak sapi potong secara keseluruhan di Jawa Timur dalam periode 1996 sampai dengan2002 menunjukkan penurunan. Posisi pada tahun 2002 dengan jumlah ternak sekitar 2.515.439ekor dan jika diasumsikan berat rata-rata sapi tersebut adalah 300 kg per ekor, maka jumlah totalproduksi daging sapi adalah sekitar 0,7 juta ton. Sementara posisi daging impor secara nasionaltahun 200242 adalah sekitar 4,4 juta ton. Dengan demikian perbandingan produksi daging sapi JawaTimur terhadap daging sapi impor nasional pada tahun 2002 adalah 1: 6,3.
Adapun rantai bisnis sapi potong di Jawa Timur seperti pada gambar berikut ini, menunjukkan
setidaknya ada 4 katagori pelaku usaha yakni pertama peternak pembibit (yang menghasilkan bibitsapi), peternak penggemukan sapi, pedagang dan industri rumah pemotongan hewan (RPH). Padasetiap kelompok pelaku usaha ini problem maupun peluang usaha yang dihadapi berbeda-beda.
Bagan 5.13 Rantai Produksi dari Ternak Sapi
-> Peternak(sekaligus
penjual sapi)Pedagan (keseluruh atim (Peiusaaandan Jaýkarta)
Pasa lokal te
(orangari)
Harga rata-rata cceran daging sapi porong (Rp/Kg)
42Sumber: http: vwww.bi.go.id/sipukllm/ind/sapl_potonglaspek_pemasaran.hrm
99
Mara Ranta! Komoditas
Pada umumnya baik peternak pembenihan maupun peternak penggemukan sapi adalah rumah
tangga-rumah tangga petani. Rata-rata kepemilikan sapi per rumah tangga di Jember, Lumajang,
Bojonegoro dan sekitarnya adalah sekitar 2 sampai 3 ekor. Namun demikian karena umumnya
peternak sapi di daerah ini mengembangkan usaha peternakan sapi berdasarkan sistem bagi hasil,
artinya ada sapi-sapi milik orang lain yang dipelihara oleh peternak lainnya, maka rata-rata peternak
sapi ini memelihara sekitar 3 sampai 5 ekor sapi.
Berdasarkan sistem bagi hasil ini peternak dapat dikelompokkan dalam 2 katagori. yakni
penggaduh yang memelihara sapi milik orang lain atau ditambah dengan miliknya sendiri. Dan
peternak pengusaha, yakni yang memberikan sapinya untuk dipelihara pihak lain dengan rata-rata
kepemilikan sapi sebanyak 5-10 ekor untuk pengusaha sedang dan 10-20 ekor untuk pengusaha
besar. Pembahasan berikut ini menguak problematik persapian di Jawa Timur berdasarkan katagori
di atas.
Isu-ISU
KURANGNYA LAYANAN DUKUNGAN
Pada tahap awal industri sapi, kualitas bibit sapi menjadi titik krusial yang menentukan keberhasilan
produksi lanjut, baik pada masa penggemukan maupun sisi perdagangannya. Pada tahap ini
nampaknya dukungan institusi penelitian dan pengembangan sangat lemah. Sehingga tidak mudah
bagi peternak sapi untuk menemukan bibit sapi dengan kualitas yang baik. Para peternak penggemuk
membeli bibit-bibit sapi dar! pasar lokal. Disana tidak ada standar tertentu atan teknologi tertentu
yang bisa mendeteksi tingkat kesehatan sapi. Sehingga pemilihan bibit sapi dilakukan oleh peternak
penggemuk sapi berdasarkan perkiraan fisik saja. Akibatnya menurut para peserta FGD baik di
Jember, Bojonegoro, Malang menyampaikan bahwa pencapaian berat sapi hanya mencapai 80%
dari yang diperkirakan.
Kondisi bibit sapi yang seperti ini kemudian semakin kurang kondusifkarena pada saat penggemukan
kelemahan yang sana juga terjadi yakni tidak adanya dukungan R&D yang memadai pada tahap
ini. Bahkan yang lebih parah lagi petugas di tingkat kecamatan yang sangat krusial keberadaannya
dalam budi daya penggemukan sapi, selain terbatas jumlahnya juga masih dirasa kurang trampil.
Dinas Peternakan Bojonegoro menyiapkan mani beku untuk Inseminasi Buatan (IB) dari
sapi berkualitas di Australia, Amerika Serikat dan Selandia Baru. IB ini disuntikkan kepada
sapi betina oleh tenaga mantri hewan yang ditempatkan di desa/kecamatan dengan harga Rp.
25.000,- per-dosis. DiJemberjumlah sapi rata-rata per kecamatan mencapai 2000 ekor Dengan
100
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
jumlah sapi betina sekitar 300 ekor. Sedikitnya dibutuhkan satu orang petugas suntik dalam satu
kecamatan agar dapat menangani jum1ah tersebut. Saat inipetugas suntik hanya tersedia 1 orang
untuk sekitar 3-4 kecamatan (FGD, Tim PSD, 2004)
Masalah lain menyangkut Inseminasi Buatan yakni
• Obat untuk IB langka dan hanya ada di beberapa kota saja misalnya di Jember, sehingga
peternak-peternak sapi di wilayah Kab. Lumajang, Kab. Situbondo, Kab. Bondowoso, Kab.
Banyuwangi harus menunggu para petugas untuk membeli obat tersebut ke Jember
• Harga obat untuk IB sebenarnya cukup terjangkau yakni sekitar 50.000 rupiah untuk sekali
suntik, namun tidak ada jaminan bahwa sapi akan hamil.
Petugas kedua yang juga penting kehadirannya di tengah para peternak sapi adalah Petugas
Kesehatan. Serupa dengan petugas kawin suntik, petugas kesehatan sapi juga terbatas. Hal ini
berimplikasi pada:* Vaksin untuk sapi distribusinya terbatas walaupun peternak sanggup membeli vaksin
* Tidak dapat menanggulangi sapi yang sakit
• Tidak dapat membantu persalinan sapi terutama bila terdapat kesulitan kelahiran.
* Kesehatan sapi indukan tidak terjamin
* Sulit mendapat bibit sapi yang baik.
Beberapa upaya yang telai dilakukan oleh petani dalam mengatasi masalah mereka adalah:
* Jika sapi sakit banyak diantara peternak yang mencoba menggunakan obat tradisional berupa
jamu-jamu, atau pergi ke dukun/mantri kampung dan kalau tidak sembuh juga di jual dengan
harga murah
* Jika petugas suntik tidak ada maka akan dicoba dengan kawin alam dengan jalan meminjam
sapi pejantan dari peternak lain dan membayar sejumlah uang jika sampai membuahkan
kehamilan.
PEMBAYARAN DAN HARGA
Setelah melakukan penggemukan selama 4-6 bulan, pengusaha mulai menjual sapi baik untuk pasar
lokal maupun RPH di Jakarta. Harga jual pada usia sapi ini sekitar Rp. 4,5 - 5 juta/ekor. Sebelum
sapi dijual, pedagang diwajibkan untuk memeriksakan keadaan sapi dengan biaya Rp. 8.000,-
perekor. Berikut ini gambaran mengenai harga eceran rata-rata daging potong di Jawa Timur sebagai
berikut:
10 1
Mata Ranta! Komoditas
Bagan 5.14 Harga Eceran Rata-rata Daging Sapi di Wilayah Pedesaan Jawa Timur (Rp/kg)
2004* 24,000
2004 30,000
1996 10,088
1993 6,822
1990 4,912
1987 3,754
Sumber: Sistem Informasi untuk Perkembangan Usaha Kecil. BI, 2004 dan FGDHarga Eceran Daging Sapi Zmpor
Banyaknya sapi impor di seluruh Jawa telah secara signifikan menurunkan permintaan atas sapiJatim. Menurut seorang peserta FGD di Bojonegoro menyebutkan bahwa penurunan permintaansecara kuantitas menurun sekitar 70% dalam 3 tahun terakhir ini. Demikian juga dengan hargaturun 30-50%. Dipasaran di seluruh Jawa harga sapi potong per kg adalah 30.000 rupiah untuksapi lokal dan 23.000-24.000 rupiah untuk sapi import khususnya dari Australia, atau lebih murahsekitar 20%.
Sistem pembayaran dalam tata niaga sapi umumnya dilakukan secara tidak kontan. Artinya sapidibawa terlebih dahulu dan pembayaran dilakukan pada saat sapi sudah terjual. Sistem seperti inimembuat petani menjadi terikat kepada seorang pedagang tertentu, karena modal usahanya tertahanpada pembeli sapinya. Hal ini membuat peternak sapi kesulitan modal segar untuk melakukanpemeliharaan sapi.
Menurut para pedagang sapi, hal tersebut terpaksa mereka lakukan karena RPH dimana merekamenjual sapinya, juga memberlakukan hal yang sama, yakni membeli dengan cara tidak kontan.Sehingga para pedagang sapi ini melakukan hal yang sama pula terhadap para peternak sapi. Namunhal ini dibantah oleh pihak pengelola RPH, khususnya di Cakung-Jakarta Timur, dimana menurutketerangan mereka, RPH tidak diperkenankan membeli dengan cara tidak kontan, yang ada hanyamenunda pembayaran sampai ada kepastian mengenai kondisi kesehatan sapi yang dijual.
INFRASTRUKTUR
Secara umum para pelaku usaha menyatakan bahwa untuk infrastruktur jalan kondisinya cukupmemadai, walaupun terdapat beberapa ruas yang kondisi jalannya kurang baik seperti ruas Semboro-Kencong Padang Rejo di Jember, Bombengsari-Sumber Gedog di Banyuwangi.
102
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Infrastruktur yang masih sangat dibutuhkan bagi pengembangan usaha adalah saluran telpon.
Menurut para pelaku usaha peternakan sapi, telpon sangat membantu petani untuk menghubungi
petugas kesehatan dan suntik kawin, pemesanan obat, mencari informasi harga, maupun informasi
obat-obatan. Saat ini baik jaringan telpon biasa maupun handphone belum menjangkau daerah-daerah sentra-sentra produksi sapi.
IZIN DAN PUNGUTAN
Sejumlah izin diperlukan dalam usaha ternak yang dianggap sebagai beban, yakni:• Pengusaha ternak diharuskan memiliki ijin IMB untuk kandang yang dimiliki.
* Pengusaha ternak juga harus memiliki ijin HO dengan masa berlaku selama 5 tahun.
* Pengusaha ternak harus memiliki Ijin Usaha Peternakan
Di samping itu, sejunlah pungutan, yang pernah dibatalkan, baru-baru ini dikenakan kembali.
Antara lain pungutan-pungutan berikut ini telah dikenakan (kembali):* Pengusaha ternak dikenai PBB untuk kandang yang didirikan.
* Pengusaha mengeluhkan pungutan oleh pihak desa terhadap kandang yang didirikan. Besarnya
pungutan ialah Rp. 75.000/unit/tahun.
* Pengusaha dikenai pungutan oleh pihak desa untuk angkutan ternak yang melintasi jalan
desa. Truk Double dikenai Rp. 5.000 sekali angkur, truk tunggal dikenai Rp. 2.500 sekali
angkut dan pick up dikenai Rp. 1.000 sekali angkut.
* Pengusaha ternak diharuskan membayar restribusi pemeriksaan sapi oleh Petugas dari Pemprop
Jawa Timur yang bertugas di pos perbatasan dengan Jawa Tengah sebesar Rp. 5.000 - 8.000
perekor.
Jenis-jenis pungutan yang dibatalkan di Kabupaten Malang melalui Peraturan Daerah No. 11 Tahun
1998 termasuk'3:• Pajak Potong Hewan dihapuskan tahun 1998 tapi kemudian diberlakukan lagi tahun 2002* Retribusi kartu ternak 500/ekor/thn
* Pemeriksanaan kesehatan Ternak di Pasar Hewan, tapi ditingkat lapangan masih berlangsung
pungutan untuk retribusi jenis ini sebesar 400 rupiah per ekor (Semeru, 1999)
Pungutan liar, juga masih menghantui perdagangan sapi terutama di jalan. Pengusaha mengeluhkan
terjadinya pungutan oleh polisi terhadap truk angkutan sapi dengan bak terbuka. Pengiriman sapi
melalui jalur selatan yakni lewat Ngawi seringkali menjadi korban pungutan di daerah Mantingan
(Ngawi - perbatasan dengan Jawa Tengah) dan sepanjang perlintasan di wilayah Jawa Tengah
minimal terjadi 1 kali pungutan dan sebelum masuk tol Cikampek.Bila melalui jalur utara, truk
angkutan sapi akan menjadi korban pungutan di Sarang (Rembang - Jawa Tengah), Kandanghaur-
Indramayu dan sebelum masuk tol Cikampek.
43Kajian SMERU, 1999
103
Mata Ranta! Komoditas
RUMAH POTONG HEWAN (RPH)
Masalah pada rantai paling ujung dalam bisnis sapi adalah terbatasnya kemampaan rumah potonghewan (RPH) yang ada di Jawa Timur. Di Jember saat ini terdapat 14 RPH (kapasitas per hari tidak
diketahui). Sementara di Lumajang terdapat sekitar 7 RPH dengan kapasitas 2-3 ekor per hari perRPH
Dari hasil pemantauan lapangan, tim menemukan setidaknya ada tiga jenis RPH yakni RPH
perorangan, RPH sedang sebagian besar milik Pemda dan RPH besar 'Cakung' yang ada di Jakarta.
RPH perorangan sebagaimana namanya adalah dimiliki oleh orang perorang. Biasanya kapasitasnya
sangat terbatas yakni kurang dari 5 ekor perhari. RPH perorangan baru dikenal belakangan ini kuranglebih sejak tahun 2000. Sebelumnya RPH jenis ini tidak diperkenankan atau dengan kata lain tidakdikeluarkan izinnya oleh pemerintah, dikarenakan pertimbangan keamanan produk. RPH harusmemiliki standar hygenisasi tertentu sehingga memenuhi persyaratan untuk memotong hewan.Belakangan ini banyak bermunculan RPH perorangan karena pemda kemudian mengeluarkan izinusaha untuk usaha semacam ini. PAD merupakan alasan utama pengeluaran izin semacam ini.
Namun demikian disinyalir pengawasan kegiatan usaha semacam ini masih sangat lemah.
RPH berikutnya adalah RPH sedang dengan kapasitas sekitar 10 -20 ekor perhari. Sejauh ini baruditemukan satu RPH yang dimiliki oleh perorangan, berlokasi di Surabaya dengan kapasitas sekitar40 ekor per hari. PT Abatoir adalah salah satunya, berdiri sejak sekitar 15 tahun yang Ialu. Pada 10tahun yang lalu RPH ini hanya melakukan pemotongan pada sapi-sapi asal lokal sekitar Jatim, Balidan NTB. Lama kelamaan jumlah ini semakin menurun tercatat pada tahun 1998 sampai saat ini
jumlah sapi impor lebih banyak dibandingkan sapi lokal yakni 60% sapi impor dan 40% sapi lokal.Hal ini disebabkan selain kualitas yang lebih baik, yang paling menentukan adalah harga sapi imporyang lebih murah.
Hal yang dirasakan menjadi hambatan usaha RPH semacam ini adalah:• PPN yang mulai diberlakukan sejak tahun 2000 sebesar 10%* Retribusi potong hewan sebanyak Rp 6000/ekor sapi yang masih hidup* Pungli jumlahnya masih dianggap cukup besar yakni 0,1 % dari mzet usaha
Sebelum tahun 2000 semua sapi potong yang dijual di pasar Jakarta harus masuk ke RPH besaryakni RPH Dharma Jaya yang lebih dikenal sebagai RPH Cakung karena terletak di Cakung JakartaTimur. RPH ini adalah BUMN dengan pemilik saham terbesar adalah Pemda D. RPH Cakungdilengkapi dengan fasilitas coldstorage, chilling room dan packing serta unit trading sendiri.
Kapasitas terpasang RPH Cakung ini adalah 1000 ekor setiap hari. Pada tahun 1994 rata-ratakapasitas produksi perhari mencapai 850 ekor per hari. Sejak sekitar 2 tahun yang lalu sampai saatini kapasitas produksi RPH Cakung menurun sampai sekitar 250 ekor per hari. Hal ini disebabkanbanyaknya RPH-RPH perorangan yang menjamur disekitar Jakarta seperti Tangerang, Bekasi dan
104
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawma Timur
Bogor. Jadi kalau menurut pihak RPH Cakung berkurangnya kapasitas pernotongan di usaha ini
bukan karena suplai sapi berkurang, namun lebih karena bermunculannya RPH gelap tadi.
TEKSTIL
Responden penelitian untuk sektor ini berasal dar daerah-daerah berikut ini: Surabaya, Sidoarjo,
Pasuruan, Mojokerto, Kediri, Jombang.
Industri tekstil merupakan industri padat karya dengan upah tenaga kerja murah merupakan
keunggulan komparasi dalam mengundang investasi pada industri ini. Sekitar tahun 1975 hingga
tahun 1993 industri tekstil mampu meningkatkan penyerapan tenaga kerja hingga 33 persen dari
total angkatan kerja d! sektor industri. Dengan peningkatan nilai tambah rata-rata sebesar 17 persen,
kemampuan industri tekstil dalam menyerap tenaga kerja pada periode tersebut menunjukan sektor
ini cukup dinamis selama dua dasawarsa"1.
Pertumbuhan industri tekstil, khususnya industri garmen didorong oleh orientasi ekspor ke manca
negara. Orientasi ekspor saat itu didorong oleh beberapa faktor, yakni melambannya permintaan
domestik menyusul berakhirnya era oil boom, keunggulan komparasi pada upah buruh yang murah,
tidak digunakannya quota ekspor, adanya insentif berupa subsidi ekspor, subsidi tingkat suku bunga
kredit ekspor dan nilai tukar rupiah yang lebih rendah terhadap mata uang negara tujuan ekspor.
Namun tingginya pertumbuhan industri garmen berhenti pada tahun 1993. Hal ini disebabkan
munculnya tekanan kompetisi dari negara-negara dengan upah buruh rendah dan menurunnya
daya saing akibat kebijakan upah minimun yang tidak diimbangi dengan peningkatan produktifitas
pekerja.
Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) pada setiap rantal bisnisnya memberikan nilai tambah.
Value chain TPT meliputi produk serat (fibre) yang digunakan sebagai bahan baku benang, benang
dan bahan tekstil (fabric) seperti kain dan kaos, serta garmen. Menurut data BPS, dar empat TPT
diatas, garmen merupakan produk yang memberikan kontribusi besar dalam ekspor TPT Indonesia
yakni sebesar 52,2 persen dari total ekspor TPT dan menyerap tenaga'kerja sebesar 10,6 persen dar
total tenaga kerja di sektor manufaktur45.
Pada umumnya, rantai nilai bagi tekstil adalah sebagai berikut:
4 4Aswiahyono dan Maidir, hidonesian' textiles and ApparaLes Indstry : Taking a Stand in the New International Competition, CSIS, 2003
45Survey industri BPS
105
Mata Rantai Komodicas
Bagan 5.15 Rantai Produksi Tekstil
Industri Besar Per n n Industri Kn(Polyestrr)
Impor Pedagang Lokal Industri Tekstil(Polyester, lain
Rayon, Kapas)
Pedagang/
Petani, Industri Bordir Eksportir
(Kapas, Coccon)
Industri
Industri Garmen
Rajut
Industri Tenun dalamKecil LEkspor j ~ e r
Pada tahun 2002 produksi rata-rata industri tekstil di Jawa Timur mencapai 1,1 juta meter. Angkaproduksi ini turin dari sebelumnya sekitar 1,5 juta meter pertahunnya. Akibat serbuan produktekstil dari Cina industri tekstil terpukul dalam persaingan tekstil dalam negeri maupun persaingantekstil untuk ekspor. Secara nasional menurut data Depperindag, ekspor tekstil Indonesia mengalamipenurunan sebesar 9 persen dari sekitar 7,8 milyar dollar AS pada tahun 2001 menjadi 7,1 milyardollar AS pada tahun 20024G.
Dalamusaharmelindungi paraprodusen tekstil dalamnegeri, MenteriPerindustrian danPerdaganganmenerbitkan sebuah Surat Keputusan No. 732/MPP/Kep/10/2002 tentang Prosedur Perdaganganuntuk Impor Tekstil (22 Oktober, 2002), yang menentukan bahwa tekstil hanya dapat diimporoleh para importir produsen tekstil (IP). Bahan tekstil yang diimpor oleh IP tekstil hanya bolehdigunakan sebagai bahan mentah, atau bahan suplementer dalam proses produksi industri-industriyang dimiliki oleh IP tekstil, dan tidak diperbolehkan untuk dibeli dan dijual atau ditransfer. SKNo. 732 tahun 2002 menyatakan bahwa distribusi tekstil impor ilegal di pasar Indonesia telahmenciptakan suatu perdagangan yang tidak adil dan menyebabkan terjadinya kerugian pada pihakprodusen tekstil dalam negeri. Lalu, guna mendukung pengawasan atas negara asal produk tekstilyang masuk ke Indonesia dan perlakuan produk tekstil di negara asalnya, Menteri Perindustriandan Perdagangan mengeluarkan Surat Keputusan No. 276/MPP/Kep/4/2003 tentang verifikasiatau pelacakan teknis impor tekstil dan produk tekstil.
4 6Kompas, 18 Pebari 2003
106
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
ISU-ISU
INFRASTRUKTUR
Sebagai suatu industri yang boleh dikatakan bekerja non-stop, industri tekstil sangat bergantung
pada pasokan listrik. Para pelaku usaha khawatir bahwa mungkin akan terjadi krisis listrik sebagai
akibat penurunan suplai listrik dari stasiun-stasiun pembangkit listrik serta pemeliharaan dan
manajemen yang buruk di sub-stasiun PLN. Kekhawatiran ini mempunyai dasar yang kuat, sebab
para pengusaha tekstil mengalami lima sampai delapan kali pemadaman listrik dalam sebulan, sering
tanpa pemberitahuan sebelumnnya. Para pengusaha merasa bahwa mereka sangat dirugikan dengan
pemadaman-pemadaman tersebut.
Menurut data BPS untuk tahun 2001, seluruh biaya input dari 179 industri tekstil menengah dan
besar di Jawa Timur dari listrik dan gas mencapai lebih dari Rp. 97 milyar, atau 8% dari seluruh
biaya input industri-industri ini.
Untuk terus tetap beroperasi, pengusaha menyediakan genset sebagai penyedia listrik pengganti
listrik PLN. Penggunaan genset harus diberitahukan, karena setiap pemakainnya akan dipungut
PPJU non PLN oleh pemerintah daerah. Pengenaan PPJU PLN dan non PLN dikeluhkan oleh
pengusaha karena tidak diiringi dengan penerangan jalan umum di sekitar industri, sehingga dapat
mengundang gangguan keamanan.
Penggunaan energi listrik bagi industri semakin lama menjadi semakin mahal dan semakin tidak
mencukupi. Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif dasar listrik secara berkala akan berdampak
pada kenaikan biaya produksi. Untuk mengatasi kekurangan energi diluar listrik PLN hendaknya
ditambah dan dipercepat instalasi gas ke industri-industri. Penggunaan gas dinilai pengusaha akan
membuat efisiensi biaya produksi.
Infrastruktur lain yang menjadi perhatian pengusaha ialah fasilitas bongkar muat dan pelayanan
Terminal Handling Charge (THC) yang mendukung bongkar muat di pelabuhan Tanjung
Perak, Surabaya. Jumlah fasilitas bongkar muat yang tersedia berjumlah enam, namun dalam
melayani pengiriman kontainer, pengusaha hanya dilayani dua fasilitas. Tentu saja ketidak
maksimalan fasilitas yang tersedia, menjadi hambatan bagi pengusaha karena akan menyebabkan
biaya tambahan baik untuk pergudangan maupun pembayaran "batas waktu" pemasukan barang ke
pelabuhan (closing time) ditambah pengusaha harus menanggung biaya kerusakan barang akibat
tertahan di pelabuhan17.
4 71sdijoso, Tambunan dan Ubaidillah, Prospek Perdagangan Domestikyang Bebas Dalam Era Desentmlisasi dan Darnpaknya atas Perrumbuhan Ekonomi Daerah, CESS,
PRISM Project - The Asia Foundation, 2001.
107
Mata Rantai Komoditas
PERIZINAN
Kalangan industri tekstil mengeluhkan ketidak-transparanan birokrasi perizinan mengenai
persyaratan, waktu dan biaya pengurusan izin. Kasus beberapa industri tekstil PMA yang beradadi Pasuruan dan Mojokerto sangat mengeluhkan ketidakjelasan birokrasi perizinan. Pengurusanperpanjangan Izin Usaha Industri (lUI), Izin UsahaTetap (IUT) dan perpanjangan IzinTenaga KerjaAsing (TKA) ditetapkan dalam Perda telah diserahkan kepada Pemerintah Daerah. KenyataannyaPemda sendiri belum siap dan pengurusan izin-izin tersebut masih harus diselesaikan di Badan
Penanaman Modal di Propinsi. Akibatnya pengusaha harus kehilangan waktu serta biaya tambahankarena tetap harus pada instansi di kabupaten dan propinsi.
Beban ganda akibat tumpang tindih perizinan juga terjadi pada pengadaan alat industri. Pengusahatekstil di Malang mengeluhkan perizinan berganda untuk pengadaan alat industri (diesel, forkliftdan alat pemadam kebakaran). Beban yang muncul ialah pengusaha harus mengurus perizinan bagialat yang sama pada subyek perizinan yang berbeda dan seringkali diikuti oleh pungutan dalamperizinan tersebut. Sebaliknya pada kasus Gresik dan Mojokerto, pengusaha mengaku tidak dikenaibiaya perizinan, namun dikenal biaya inspeksi alat tersebut. Disebutkan oleh pengusaha biayainspeksi alat pemadam kebakaran sebesar Rp. 3-5 ribu perunit.
Undang-undang no. 34 tahun 2000 tentang Retribusi dan Pajak Daerah membolehkan pengenaanretribusi pada penerbitan perizinan khusus. Perizinan penggunaan air bawah tanah termasuk dalamperizinan khusus yang dapat dikenakan retribusi. Namun besaran tarif yang tidak transparanmengakibatkan pengusaha harus menanggung biaya yang lebih besar. Kasus di Mojokerto, untukmendapatkan air bawah tanah, pengusaha terlebih dulu mendapatkan izin penggunaan air bawahtanah (SIPA) di tiga sumur dengan debit masing-masing 860 liter/menit. Untuk mendapatkan izintersebut pengusaha dikenakan biaya Rp. 40 juta. Biaya ini tidak termasuk biaya akomodasi petugasinspeksi dari instansi terkait. Disamping biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh perizinan,pengusaha masih harus membayar retribusi penggunaan air bawah tanah setiap bulan berdasarkandebit pemakalan.
PAJAK, PUNGUTAN DAN TARIF
Dalam diskusi dengan pengusaha tekstil, ditemukan beberapa jenis pungutan yang dirasakansangat membebani pengusaha. Ketidakjelasan tarif pungutan, misalnya terjadi pada uji tera yangdilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Propinsi Jawa Timur. Pengalaman pengusahadari Sidoarjo terhadap pengujian alat tera milik usahanya yakni pengujian terhadap 150 unit alattera, pengusaha dikenakan biaya Rp. 40 juta.
Pungutan lain terjadi dalam bentuk iuran DPKK (Dana Peningkatan Ketrampilan Ketenagakerjaan)yang dikenakan intuk penempatan Tenaga Kerja Asing sebesar US$ 100 perbulan. Iuran inibertujuan untuk meningkatkan ketrampilan tenaga kerja lokal sehingga akan ada alih ketrampilan
108
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja lokal. Namun seperti yang dikeluhkan pengusaha, hasil
iuran DPKK tidak ada realisasi dalam bentuk pelatihan sebagaimana tujuan iuran tersebut.
Jenis pungutan berupa retribusi yang berdasar pada pelayanan harus dibayar oleh pengusaha
meskipun pengusaha tidak menerima pelayanan tersebut. Pada retribusi sampah yang dikenakan
pada industri, ternyata juga berlaku pada industri yang mengolah sampahnya sendiri. Beberapa
industri mnemiliki mesin incenerator sendiri yang dapat digunakan membakar sampah di industrinya.
Sampah yang dibakar oleh beberapa industri digunakan untuk boiler.
Industri tekstil yang memiliki rantai bisnis yang panjang pada proses produksinya, memungkinkan
industri di tiap rantai bisnis memperoleh bahan baku yang dikenakan PPN (PPN masukan) namun
hasil produk yang dijual dapat dikenakan PPN (PPN keluaran). Pengusaha dapat mengajukan
restitusi terhadap PPN yang dibayar. Namun pengurusan restitusi pajak yang dirasakan berbelit,
beberapa pengusaha yang mengeluhkan pengurusan ini terdorong untuk menggunakan bahan baku
non-PPN (black market). Pengusaha sebagai pembayar pajak sangat mengharapkan pelayanan dar!
petugas pajak yang bersih. Masalah keruwetan pengurusan pajak termasuk restitusi pajak juga dinilai
pengusaha disebabkan oleh petugas pajak yang tidak bersih.
Pengusaha juga mengeluhkan perneriksaan administrasi di bea cukai. Hal ini disebabkan
ketidakberesan administrasi bea cukai terhadap jenis, spesifikasi dan volume barang yang masuk
melalui pabean. Kasus Indiratex misalnya; perusahaan diharuskan membayar hutang bea masuk
impor kapas pada 2 bu/an kemudian setelah closing. Penagihan ini didasarkan pada perbedaan
harga kapasyang diimpor oleh Indiratex dilaporkan lebih rendah terhadap harga kapasyangsama
yang tercantum dalam Depperindag (FGD, Tim PSD, 2004)
Sejak desentralisasi berlangsung, kebijakan pajak bumi dan bangunan menjadi kurang konsisten
sehingga sulit bagi para investor untukrnemperkirakannya. Pengurusan atas masalah-masalah tanah
telah dialihkan dar pemerintah pusat kepada pemerintah daerah pada tahun 2001. Pemerintah
daerah kemudian mengembangkan lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan daerah tentang
penggunaan tanah, termasuk pajak atas harta tak bergerak nyata. Sayang sekali, di beberapa
kabupaten pajak daerah atas bumi, dan bangingan (PBB), dinaikkan sampai sepuluh kali lipat
dar jurnlah sebelumnya terutama mereka yang bertempat di wilayah industri. Sebagai akibatnya,
banyak perusahaan tutup atau pindah keluar dari kawasan tersebut.
"Hampir 13% dari perusahaan tutup atau pindah selama tahun 2002 karena biaya produksi di
sini terlalu tinggi setelah kenaikan PBB" (manajemen PIER)
109
Mata Rantal Komoditas
Dengan dampak yang begitu dramatis terhadap dunia usaha dan investasi, pemerintahpusat mencabut kembali wewenang untuk memungut pajak atas real estate pada pertengahantahun 2003.
KEAMANAN
Masalah keamanan terpenting yang dirasakan pengusaha tekstil ialah penyelundupan produktekstil. Serbuan produk Cina secara legal saja telah menyebabkan produk tekstil Jawa Timurturun sebesar 26%48. Penurunan ini sungguh memberatkan industri tekstil, karena tingkatkompetisi semakin ketat pada harga, dan ditambah dengan impor ilegal produk tekstil (pakaianbekas) menambah berat industri tekstil. Pengusaha telah menyampaikan keberatan terhadapmaraknya penyelundupan produk tekstil, namun penanganan yang dilakukan aparat keamanan,dinilai pengusaha kurang serius.
Masalah keamanan penting lainnya ialah pemogokan buruh. Sebagai industri padat karya,industri ini sering menghadapi masalah perburuhan, baik yang berupa kasus normatifmaupun non-normati£ Namun pengusaha mengeluhkan aturan perburuhan dan penanganankasus perburuhan seringkali tidak memperhatikan kepentingan perusahaan. Beberapa kasusperselisihan kerja berujung dengan pemogokan dan ketika dibawa pada tim penyelesaianperselisihan selalu dimenangkan pihak buruh. Pemerintah diharapkan lebih adil dalammenyelesaikan masalah perburuhan.
48Kompas, 5 Mei 2003
110
6 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Kesimpulan
Rekomendasi Umum
Rekomendasi Sektoral
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Perekonomian Jawa Timur memberikan sumbangan yang signifikan terhadap ekonomi nasionalsecara keseluruhan dengan nilai hampir 14% dar PDB. Perekonomian daerah di provinsi inididominasi oleh sektor jasa dalam hal kontribunya terhadap PDRB, walaupun pertanian menyeraptenaga kerja hampir 50% dar penduduk. Sesuai dengan keadaan umum d! Indonesia, investasidalam perekonomian Jawa Timur sedang mengalami kemandekan, atau bahkan sedang mengalamikemerosotan. Angka kemiskinan di provinsi ini yang mencapai lebih dar 20% (menurut datastatistik nasional), menimbulkan keprihatinan yang serus.
Faktor-faktor yang mempengaruhi lambatnya pertumbuhan dalam perekonomian di Jawa Timurantara lain adalah:
• INFRASTRUKTUR: Investasi dalam infrastruktur sejak krisis moneter telah merosotsecara nasional. Memburuknya keadaan jalan-jalan, listrik, dan pelabuhan-pelabuhan mulaimembawa dampaknya pada perusahaan-perusahaan di Jawa Timur. Survey menemukanbahwa mayoritas para pelaku bisnis merasa bahwa infrastruktur masih memadai, namundi data sektoral kami temukan banyak masalah yang disebabkan karena keadaan jalan yangburuk yang menuju ke pusat-pusat produksi dan daerah-daerah di luar kota, pemasokan airyang buruk untuk industri, dan sarana pelabuhan yang terbatas.
• KEBIJAKAN: Banyak kebijakan yang ada menghalangi perdagangan barang dan jasa ataubahkan menciptakan distorsi pasar. Contohnya adalah pengurusan dan pendirian usahabaru yang diurusi pemerintah daerah, penetapan harga oleh pemerintah, dan pengenaanpajak berganda di beberapa sektor. Sektor swasta merasa terus-menerus dikucilkan darproses pembuatan. kebijakan. Di samping itu, dirasakan bahwa tidak adanya transparansidan akuntabilitas dalam layanan pemerintah menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan yangdibuat dengan tujuan yang baik, mungkin sekali dilaksanakan dengan buruk.
• PUNGUTAN: Sejak otonomi daerah berjalan, upaya pemerintah daerah untuk meningkatkanpendapatan asli daerah (PAD) telah mengakibatkan lahirnya sejumlah besar pajak danpungutan daerah. Dari perspektif sektor swasta, pungutan-pungutan ini mengakibatkan suatuekonomi biaya tinggi yang memperparah kedudukan mereka di pasar global yang memangsudah mengancam. Retribusi dan pajak yang tumpang tindih untuk barang/jasa yang samadianggap benar-benar membebani. Pungutan-pungutan resmi juga menimbulkan biaya tidakresmi karena praktek pemerintahan yang lemah. Namun, mungkin agak mengejutkan, para
112
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
responden merasa bahwa pungutan-pungutan tidak resmi mulai menurun pada waktu yang
bersamaan dengan meningkatnya pungutan resmi secara dramatis.
KEAM-ANAN: Dirasakan bahwaadasejumlahpersoalan keamanan yang menandai lingkungan
bisnis di Jawa Timur. Para industri besar melaporkan adanya masalah-masalah yang terkait
dengan pemogokan buruh, terutama di daerah pertunbuhan utama (Gerbangkertasusila). Di
sektor pertanian, pencurian merupakan masalah yang kronis, dengan dicurinya hasil tanaman
tepat sebelum panen. Di samping itu, pengangkutan barang diganggu oleh pungutan-
pungutan liar dan tuntutan akan uang perlindungan dari aparat keamanan. Akhirnya,
penebangan pohon dan penangkapan ikan secara ilegal masing-masing mempunyai dampak
terhadap bisnis di sektor kayu dan perikanan.
Banyak dari masalah tersebut melampaui batas-batas administratif dari pemerintah daerah
(kabupaten/kota) yang sekarang mempunyai wewenang untuk membuat sebagian besar kebijakan.
Oleh karenanya, salah satu masalah sangat penting bagi perkembangan perekonomian Jawa Timur
adalah kemampuan pemerintah kabupaten dan kota untuk mengadakan koordinasi dan kerja
sama di dalam memajukan suatu iklim usaha yang sehat, baik antar daerah maupun pada tingkat
provinsi. Penting sekali bagi para pengusaha bahwa kebijakan-kebijakan dan program-program
dirumuskan bagi kerja sama antar-wilayah berguna untuk memajukan suatu iklim investasi yang
positi£ Seperti akan dibahas dalam lampiran, peranan yang dapat dimainkan pemerintah propinsi
di dalam mengkoordinasi dan memfasilitasi kerja sama antara pemerintah kabupaten-kota belumlah
diupayakan sepenuhnya.
Rekomendasi-rekomendasi Umum
Sektor swasta diberikan kesempatan untuk menyampaikan rekomendasi-rekomendasi mereka dalam
menyelesaikan-masalah-masalah yang mereka anggap paling penting pada akhir diskusi-diskusi
kelompok terfokus dan wawancara mendalam. Rekomendasi-rekomendasi ini dikelompokkan ke
dalam suatu perangkat rekomendasi umum yang dapat diterapkan pada semua sektor dan yang
selalu diajukan oleh sektor swasta; dan, kedua, rekomendasi-rekomendasi yang terkait dengan
sektor-sektor tersebut.
Infrastruktur
Beberapa hal yang secara umum diusulkan gunamengatasi kendala yang menghambat perkembangan
Jawa Timur adalah:
113
Kesimpulan dan Rekomendasi
Jalan-jalan
* Penyelesaian Jalan Lintas Selatan dan jembatan Suramadu (yang menghubungkan Surabaya
dengan Madura) sedang dinanti-nantikan oleh pelaku usaha, terutama yang dari Maduradan Jawa Timur bagian Selatan. Di samping itu, berkaitan dengan pembangunan jembatan
Suramadu, diusulkan agar dibangun juga jalan-jalan yang menghubungkan Madura bagianUtara dengan Madura bagian Selatan.
• Pelaku usaha juga mengharapkan perhatian pemerintah untuk pembangunan jalan-jalan yangmenuju ke sentra-sentra produksi yang biasanya berada di pelosok desa, pantai dan gunung.
Telekomunikasi
.Sambungan telepon perlu diperluas di sekitar pusat-pusat produksi, terutama untuk mencapai
daerah-daerah pedesaan guna membantu para petani dan pengusaha kecil di dalam memperolehakses yang lebih baik terhadap informasi penting seperti.harga, bahan baku, obat-obatan, pupuk,dan lain-lain.
Listrik
Investasi baru dalam pasokan listrik sangat penting bagi sektor swasta, baik yang besar maupunyang kecil. Kekurangan listrik bukanlah sesuatu yang unik di Jawa Timur, namun karena provinsitersebut merupakan tempat dari banyaknya sarana produksi, pemadaman listrik yang makinsering terjadi dalam masa tiga tahun terakhir ini, benar-benar sangat menggangu.
Air
Sektor swasta, terutama di bidang perikanan dan pertanian, sangat terganggu dengan mutuyang buruk dan kecilnya ketersediaan air. Pembabatan hutan, sungai yang dangkal dan polusiyang dihasilkan industri disebut-sebut sebagai sebab utama terjadinya masalah ini. Pelakuusaha mengusulkan adanya langkah-langkah yang mendesak untuk melakukan penghijauankembali yang terus menerus, pengurukan sungai dan tindakan hukum terhadap para penyebabpolusi industri.
Pelabuhan
Kegiatan ekonomi di sepanjang garis pantai Jawa Timur bersifat cukup dinamis, namun tidakdidukung sarana pelabuhan yang memadai, khususnya sekitar pesisir Timur dan Selatan.Pelaku usaha di daerah ini menyarankan dilebarkannya dan diperdalamnya pantai-pantai gunamengakomodasi perahu yang lebih besar, dan disediakannya sarana pendukung lainnya seperticold storage.
1 14
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Peraturan
Pelaku usaha melihat adanya dua jenis masalah mengenai peraturan. Pertama, ada peraturan baru
yang muncul pada pemerintah kabupaten-kota paska otonomi daerah menyebabkan ekonomi biaya
tinggi dan meningkatkan ketidakpastian. Peraturan-peraturan itu berupa pungutan-pungutan
yang dikenakan pada perusahaan tanpa alasan yang wajar, prosedur dan tarif perizinan yang tidak
transparan, disingkatkannya masa berlakunya izin, atau pajak atas barang atau produk yang keluar,
masuk atau melintasi suatu daerah. Pemerintah-pemerintah kabupaten-kota harus memulai untuk
meninjau peraturan daerah (perda) yang ada bersikap lebih hati-hati di dalam memperkenalkan
peraturan baru. Peninjauan ini dapat dilakukan dengan melakukan Regulatory Impact Assesment
(RIA) atau Penilaian Dampak Kebijakan dengan melibatkan masyarakat, termasuk pelaku usaha ,
di dalam merumuskan peraturan tersebut.
Juga ada kasus dimana peraturan daerah bertentangan dengan peraturan pusat. Para pengusaha
merekomendasikan supaya Pemerintah provinsi Jawa Timur memainkan suatu peranan yang lebih
aktif di dalam fungsinya sebagai jembatan antara pemerintah-pemerintah daerah dan pemerintah
pusat bila timbul masalah-masalah sebagai akibat munculnya peraturan yang bertentangan.
Keamanan
Banyak pengusaha mengeluh bahwa mereka merasa tidak aman di dalam menjalankan usahanya.
Jenis gangguan dilakukan oleh preman, kelompok pemuda, aparat keamanan yang menawarkan
perlindungan keamanan, jasa EMKL, atau layanan lain yang tidak diperlukan para pengusaha.
Kadang-kadang tawaran Ini disertai ancaman, perintangan jalan menuju pabrik, atau tindakan
vandalisme. Jumlah uang yang harus dikeluarkan oleh perusahaan cukup besar guna melindungi
tempat produksi, perkebunan, atau barang-barang mereka dalam pengangkutan. Pesan yang
berulang kali disampaikan sektor swasta adalah bahwa mereka ingin agar pemerintah setempat,
melalui aparat penegak hukum dan keamanan, dengan penegakan akuntabilitas untuk memperketat
perlakuan pihak-pihak yang menciptakan gangguan tersebut.
Akses terhadap Modal
Sektor swasta merasa kurang mendapatkan dukungan dari bank-bank dan lembaga keuangan formal
lainnya, terutama bagi pertanian dan usaha kecil. Bahkan meskipun syarat agunan telah dipenuhi,
kredit sering masih tidak disetujui, atau diberikan dalam jumlah yang jauh lebih kecil daripada
jumlah yang diminta. Kurangnya kepercayaan oleh pihak bank disebut sebagai kendala utama.
Sektor swasta mengusulkan agar bank-bank melatih staf untuk menilai kelayakan usaha sebagai
faktor penentu bagi persetujuan kredit.
115
Kesimpulan dan Rekomendasi
Rencana-rencana kredit dari pemerintah didasarkan atas iktikad baik untuk membantu usaha mikrodan usaha kecil. Namun pelaksanaannya sering kali tidak tepat waktu dan tidak mempunyai sasaranyang tepat. Suatu mekanisme pengawasan yang lebih efektif dalam melaksanakan rencana-rencanapemerintah telah disarankan49.
Daya saing
Kecenderungan merosotnya daya saing menjadi nyata di hampir semua komoditas, yang disebabkanmutu produk dan kelemahan produsen setempat dalarn menciptakan nilai tambah atau inovasiproduk. Untuk memperbaiki mutu produk setempat, pelaku usaha dari berbagai sektor menyarankan
diperlukannya lebih banyak lembaga penelitan dan pengembangan guna mengembangkan teknologiyang lebih baik yang dapat memperbaiki efisiensi dan inovasi produksi.
Rekomendasi Sektoral
Sektor Peternakan
Diperlukan pengembangan industri dan fasilitas pendukung di tingkat hulu (pakan ternak, obat-obatan) dan hilir (makanan yang diolah). Juga diperlukan staf lapangan yang terlatih dan yang
mempunyai perlengkapan yang lebih baik guna membantu dalam pencegahan dan penyembuhanpenyakit, bahkan sebelum terjadinya peristiwa flu burung.
Sektor Perikanan
• Memperbaiki mutu dan jurnlah lembaga penelitian dan pengembangan yang dikelolapemerintah untuk mengembangkan teknologi yang khas bagi sektor ini. Di samping itu,nelayan dan pengusaha mikro mengusulkan studi banding ke daerah lain untuk membantumereka memperbaiki teknik pemrnosesan dan mengembangkan pasar yang lebih luas.
* Pembangunan cold storage yang mengakomodasi volume produksi di daerah akan sangatmembantu para nelayan untuk menghadapi fluktuasi harga pasar.
Kehutanan
• Para pengusaha menyampaikan usul yang kuat agar dilakukan peninjauan kembali Undang-undang No. 41 tahun 1999 yang menetapkan adanya perlakuan yang sama - dalamhal retribusi, pajak, dan dokumentasi - untuk hutan rakyat dan hutan industri (HPH).Dalam praktiknya, hal ini memberatkan usaha kecil yang bekerja di hutan rakyat. Untuk itudisarankan agar izin untuk menebang pohon. di hutan rakyat mungkin dapat diberikan padatingkat desa atau kecamatan, bukan di tingkat kabupaten.
49Lebib banyakinformasi tenangakses tetiadap kredic di Jawa Tinur dapatdiperoleh dat suatu kajian oleh DonJohnson bagiJBICyangberjudu" Access to Credit and
Small Firm Growth: Rmdt From a Survq in FztJava-
116
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa 1inur
• Pelaku usaha juga mendesak dibukanya dialog antara pemerintah dan polisi untuk
menyelesaikanpungutan-pungutanliaryangmerajaleladisektorini,yangterutamadisebabkan
adanya perbedaan-perbedaan di dalam pelaksanaan ijin.
* Mengikutsertakan publik di dalam usaha mengendalikan penebangan pohon secara liar.
• Untuk mengatasi kekurangan bahan baku, pemerintah diminta mengambil langkah-langkah
guna memberantas praktik-praktik penebangan pohon secara liar, dan sejalan dengan itu,
dilakukan program penghijauan kembali dengan sistem pemantauan yang baik.
* Mempergunakan hutan-hutan negara yang terbengkalai, dan bermitra dengan komunitas
setempat di dalam membuka daerah-daerah baru ini.
Perkebunan
* Para petani di sektor ini, terutama tembakau, mendesak agar ada transparansi informasi di
dalam penentuan harga dan kebutuhan tembakau oleh pabrik-pabrik tembakau.
* Revitalisasi industri pemrosesan gula dengan menggantikan mesin tua, serta perbaikan
teknik-teknik penanaman pada tingkat hulu merupakan kunci di dalam memperbaiki
produktivitas.
* Program sertifikasi tanah, dengan prosedur yang lebih sederhana dan biaya yang lebih rendah,
diusulkan oleh para pengusaha kopi, sebab mereka ingin menjadikannya sebagai agunan
untuk mengakses kredit bank.
* Aparat kepolisian harus menyediakan keamanan yang lebih baik di perkebunan-perkebunan.
Sektor IndustriResponden dari sektor ini terutama terdiri dari perusahaan menengah sampai besar. Tiga rekomendasi
utama mereka adalah:
* Adanya sanksi yang berat dari pihak pernerintah guna memberantas kegiatan penyelundupan,
yang berakibat rusaknya tata niaga seperti pada industri tekstil dan kayu.
* Adanya konsistensi dalam kebijakan buruh dan ketidakberpihakan di dalan menyelesaikan
sengketa buruh akan sangat penting, sebab Jawa Timur merupakan tuan rumah bagi banyak
industri padat karya.
* Menyederhanakan penggantian PPN dan 'membersihkan' pejabat-pejabat pajak yang korup
akan meningkatkan pemasukan pajak bagi pemerintah, di samping memudahkan perusahaan
untuk memenuhi kewajiban pajaknya.
117
LAMPIRAN 1. Kondisi Koordinasi Antar PernerintahLokal di Jawa Timur
KONDISI KOORDINASI ANTARA PEMERINTAH KABUPATEN/KOTADI JAWA TIMUR
Masalah-masalah yang dikemukakan dalam Bab Rekomendasi dan Kesimpulan menunjukkanbahwa diperlukan mekanisme koordinasi antar pemerintah daerah dan juga berbagi pengalamandalam pelaksanaan program yang lebih baik. Informasi di bawah ini memberikan sekilasgambaran tentang forum yang sekarang ada untuk kerja sama tersebut. Beberapa di antaranyamerupakan forum koordinasi antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota;sementara yang lainnya merupakan koordinasi antar pemerintah daerah.
Badan-badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil)
Di era desentralisasi, para pejabat pemerintah kabupaten dan kota mempunyai wewenangyang jauh lebih besar. Dalam konteks ini, salah satu peran pemerintah provinsi adalah untukmenjalankan fungsi koordinasi, teristimewa berkaitan dengan masalah-masalah yang melintasibatas-batas pemerintah daerah. Dalam usaha menjalankan fungsi !ni, pemerintah provinsi JawaTimur, melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 5 tahun 2001, telah membentuk empat BadanKoordinasi Wilayah (Bakorwi). Masing-masing Bakorwil meliputi suatu dacrali koordinasiberbeda, seperti terlihat dalam tabel berikut.
Tabel 6.1 Pembagian Bakorwil di Jawa Timur
Kabuparen Bojonegoro Kabupaten Madiun Kabupaten Malang Kabupaten Pamekasan
Kab. Tuban Kota Madiun Kota Malang Kab. Sumenep
Kab. Lamongan Kab. Ponorogo Kab. Pasuruan Kab. Sampang
Kab. Jombang Kab. Ngawi Kota Pasuruan Kab. Bangkalan
Kab. Mojokerto Kab. Magetan Kab. Probolinggo Kab. Gresik
Kota Mojoketto Kab. Pacitan Kota Probolinggo Kab. Sidoarjo
Kab. Kediri Kab. Trenggalek Kab. Lumajang Kota Surabaya
Kota Kediri Kab. Tulungagung Kota Batu
Kab. Blitar Kab. Banyuwangi
Kota Blitar Kab.Jember
Kab. Nganjuk Kab. Situbondo
Kab. Bondowoso
120
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Pemerintah Provinsi Jawa Timur membentuk empat Bakorwil ini dengan maksud menyediakan
koordinasi dengan pemerintah kabupaten/kota, mempermudah kegiatan otonomi, mengkoordinasi-
kan potensi daerah, dan menyediakan bahan bagi Gubernur untuk pembuatan kebijakan. Tugas
pokok Bakorwil dapat dilihat secara lebih rinci dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur No.
5 tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) dan landasan operasionalnya dalam.
bentuk Surat Keputusan Gubernur No. 50 tahun 2001. Peraturan tersebut menegaskan bahwa
Bakorwil mempunyai tugas utama membantu Gubernur dalam koordinasi, bimbingan, dan
pengawasan dari perilaku otonomi provinsi dan otonomi kabupaten/kota.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok seperti tersebut di atas, Badan Koordinasi Wilayah
mempunyai fungsi:
• Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi propinsi
di wilayah.
* Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas dekonsen-
trasi dan tugas pembuatan propinsi.
• Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan otonomi
kabupaten / kota di wilayah.* Pelaksana pengkoordinasian, pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan
kabupaten/kota.* Pelaksanaan perwujudan keterpaduan antara otonomi provinsi dan otonomi kabupaten 1 kota
di wilayah.* Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi perkembangan penyelenggaraan otonomi propinsi dan
penyelenggaraan otonomi kabupaten / kota di wilayah.
* Pelaksanaan pemantauan dan evaluasi perkembangan penyelenggaraan tugas pembantuan
propinsi serta tugas pembatuan kabupaten 1 kota.• Penyusunan laporan kegiatan badan koordinasi wilayah sebagai masukan gubernur dalam
pengambilan kebijakan
Di samping Bakorwil, fungsi koordinasi juga dijalankan oleh dinas teknis Pemerintah Provinsi Jawa
Timur. Fungsi koordinasi setiap dinas teknis bergantung pada tugas dan fungsi dasar dinas-dinas itu.
Hasilkajian tentangkoordinasiyang dilakukan oleh RegionalEconomicDevelopmentInstitute (REDI,
Institut Pembangunan Ekonomi Wilayah) menunjukkan bahwa tidak pernah dilakukan koordinasi
berkaitan dengan hambatan perdagangan antara daerah dan kebijakan investasi. Koordinasi yang
diberikan Bakorwil terutama merupakan koordinasi dalam pembangunan fisik dan koordinasi di
dalam mengantisipasi masalah-masalah sosial, politik, dan lingkungan.
121
Lampiran
Asosiasi Pemerintahan Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Komisariat Wilayah IV
Ketika desentralisasi berjalan, berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengatasi
masalah hubungan antar daerah. Oleh karenanya, ketika desentralisasi dimulai, beberapa pemerintah
daerah menginisiasi untuk membentuk asosiasi pemerintah daerah yakni Asosiasi Pemerintah Kota
se-Indonesia (APEKSI) dan Asosiasi Pemerintah Kabupaten se-Indonesia (APKASI).
DiJawaTimur, Asosiasi Pemerintahan Kota Se-Indonesia (APEKSI), diketuai oleh Walikota Surabaya
Bambang DI-I. Pertemuan dalam forum ini juga bisa bersifat resmi dan bisa juga dalam bentuk
forum yang sifatnya informal, untuk mernbahas suatu persoalan tertentu. Secara formal, tujuandari APEKSI adalah untuk memperjuangkan kepentingan anggota dalam melaksanakan otonomi
daerah, peningkatan peran masyarakat dan dunia usaha sesuai potensi dan keanekaragarnan daerah.Secara rinci, tujuan APEKSI terdiri dari;
• Mewakili pandangan dan kepentingan kota-kota di Indonesia kepada pusat serta organisasiatau lembaga lainnya.
• Secara efisien dan efektifmengelola dan melaksanakan bidang kerja asosiasi guna menghasilkan
perbaikan kualitas pelayanan dan kegiatan warga pada kota-kota di Indonesia.
* Membantu penguatan dan pengembangan kapasitas pemda melalui konsultasi, saran danpengembangan struktur yang desentralisasi.
o Memberikan informasi kepada masyarakat dan mengembangkan citra positif mengenaikontribusi pemerintah kota.
* Mengembangkan respon proaktif guna pengembangan isu dan pengelolaan perubahan dalammemperkuat pengelolaan kota melalul kerja sama antar pemerintahan kota.
• Menjadi perantara dan fasilitator konferensi, musyawarah, rapat pertemuan dan kegiatanpembelajaran lainnya guna meningkatkan pengetahuan dan pengalaman.
* Membina hubungan dengan asosiasi dan kelompok profesional lain di indonesia dan luarnegeri agar minat dan kepentingan anggota apeksi dalam program-program pembangunandapat tersalurkan.
• Bekerjasama dengan lembaga donor dan lembaga lainnya untuk mendapatkan dukungandalam kerangka pengembangan kapasitas kota.
122
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dalam forum koordinasi yang ada, APEKSI juga memiliki topik båhasan yang khas, terutama
terkait dengan persoalan pemerintahan kota. Hal ini berhubungan langsung dengan tujuan
pendirian APEKSI yaitu untuk memperjuangkan kepentingan anggota dalam pelaksanaan otonomi.
Dalam pandangan APEKSI, masalah otonomi tidak lepas dar tiga hal yaitu pembagian kekuasaan,
pendapatan daerah dan sistem administrasi daerah. Dalam pelaksanaannya lebih dikenal dengan
sistem pelimpahan wewenang kepada kabupaten dan kota, dilringi dengan pengaturan personil dan
aset, serta peningkatan kemampuan keuangan daerah.
Berangkat dari asumsi seperti itu maka topik atau persoalan yang sering dibicarakan dalam APEKSI
adalah sebagai berikut:
• Di tataran peraturan perundangan, masalah yang sering dibicarakan adalah pertentangan
antara peraturan perundangan dalam mengatur kewenangan yang sama. Misalnya Keppres
No. 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi di Bidang Pertanahan yang tidak sejalan
dengan aturan perundangan yang ada di atasnya ( UU No. 22 Tahun 1999 dan PP No. 25
Tahun 2000).
* Masih banyaknya aturan bersifat teknis yang belum dibuat oleh pemerintah pusat sehingga
membingungkan daerah. Akibatnya muncul beberapa kasus kewenangan yang belum
dilimpahkan kepada kota. Misalnyakewenangan untukpertanahan, kehutanan, perhubungan,
yang belum diterima beberapa kota.
* Sikap pemerintah propinsi yang cenderung enggan melimpahkan wewenangnya kepada
kabupaten dan kota.
* Adanya daerah yang menolak kewenangan yang dilimpahkan kepada mereka dengan alasan
membebani APBD kota.
• Dalam pengaturan personil, yang paling mencolok adalah persoalan eselonisasi pejabat yang
menyulitkan penempatan pada struktur pemerintahan daerah.
• Pada pengelolaan aset, masalah yang sering dibicarakan adalah belum adanya petunjuk
pelaksanaan dari pemerintah pusat tentang pengaturan aset kepada pemerintah kota.
* Sehubungan dengan keuangan daerah, masalah yang sedang hangat dibicarakan adalah
persoalan Dana Alokasi Umum (DAU). Pemerintah kota memandang bahwa indikator yang
dipakai belum memadai. Sebagai alat ukur untuk menentukan bobot DAU yang diterima
daerah, indikator ini kurang memperhatikan kondisi kota. Misalnya tidak dimasukkannya
fungsi-fungsi dalam pengelolaan kota sebagai salah satu indikator. Sebagai akibatnya, banyak
kota yang hanya bisa membiayai pengeluaran rutin saja untuk tahun 2001.
123
Lampiran
Selain DAU, sehubungan dengan masalah peningkatan pendapatan daerah ini, diperlukanaturan--aturan baru untuk berbagai masalah teknis, seperti pengaturan kontribusi yangberarti dari perusahaan-perusahaan nasional yang berada di daerah bagi pembangunan kota;pengelolaan unit-unit tertentu sebagai pemasukan daerah (misalnya pengelolaan SIM danSTNK).
Asosiasi Pemerintab Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI% Koordinator Wilayah JawaTimur
Pendeklarasian Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI) pada tanggal 30Mei 2000 bertujuan untuk menciptakan iklim kondusif di dalam penyelenggaraan PemerintahKabupaten guna tercapainya kemandirian daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sertamemelihara persatuan dan kesatuan bangsa menuju terwujudnya tujuan nasional.
Pembentukan APKASI juga didasari oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 16 tahun 2000tentang Pedoman Pembentukan Asosiasi Pemerintah Daerah. Pendeklarasian yang dilaksanakan diJakarta tersebut dihadiri oleh 26 Bupati yang mewakili Propinsi masing-masing dan menghasilkankeputusan Pembentukan Pengurus APKASI. Dalam melaksanakan misinya, APKASI bertujuanmenciptakan iklim yang kondusif terhadap pelaksanaan kerjasama antar pemerintah kabupatenuntuk memanfaatkan peluang nasional, regional dan global guna kepentingan kabupaten dalamrangka kesejahteraan dan kemaslahatan masyarakat sesuai dengan amanat Pembukaan UUD 1945.
Untuk mewujudkan tujuannya, APKASI berkewajiban dan berhak menunjuk dan menetapkanperwakilannya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD) untukmemperjuangkan kepentingan kabupaten. Untuk mewujudkan tujuannya, APKASI telah menyusundan menetapkan Konstitusi Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia. Konstitusi iniditetapkan pada Musyawarah Nasional I APKASI yang diselenggarakan pada tanggal 3 - 4 Agustus2001 di Tenggarong Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.
Tujuan Asosiasi adalah:• Menetapkan anggota yang mewakili Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia untuk
duduk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
• Memberikan masukan dan pertimbangan secara proaktifterhadap semua kebijakan Pemerintahdan/atau pihak lain yang menyangkut kepentingan Kabupaten;
* Menyediakan pelayanan (penelitian, pelatihan, penyuluhan, konsultasi dan lain-lain) dalamupaya peningkatan kapasitas pemerintah kabupaten;
124
Memperbaiki Iklirn Usaha di Jawa Timur
• Menyediakan model instrumen produk hukum pemerintah kabupaten;
* Memfasilitasi kerjasama antar kabupaten, antar kabupaten dan kota, antara kabupaten dan
pihak ketiga (swasta), serta antara kabupaten dan negara/lembaga/badan di luar negeri;
* Memfasilitasi pertukaran informasi antar pemerintah kabupaten dan/atau pihak lain;
* Memediasi penyelesaian perselisihan antar pemerintah kabupaten, antara kabupaten dan
kota;
* Memasyarakatkan informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan kabupaten.
Di Jawa Timur terdapat perwakilan APKASI yang tergabung dalam APKASI Korwil Jawa Timur.
Saat ini yang menjabat sebagai koordinator wilayah APKASI di JawaTimur adalah Drs. Samsul Hadi
Siswoyo, MSi (Bupati Jember). Dalam bidang perdagangan, APKASI Korwil Jawa Timur pernah
melakukan koordinasi mengenai permasalahan yang dihadapi petani tembakau di Jawa Timur, yang
dilakukan pada 18 September 2003. Ada 20 kabupaten yang menjadi sentra tembakau terlibat
dalam pertemuan ini. Dalam pertemuan tersebut, sebanyak 20 kabupaten penghasil tembakau se-
Jatim sepakat bekerjasama di bidang pertembakauan. Kesepakatan itu tercapai dalam Rakor Asosiasi
Pemerintahan Kabupaten/Kota Seluruh Indonesia (APKASI) Korwil Jatim yang mnembahas masalah
pertembakauan di Pendopo Kabupaten Jember.
Contoh kerjasama yang dilakukan adalah ketika harga tembakau di beberapa daerah anjlok selarna
tiga tahun terakhir. Menurut Bupati Jember, Drs. Samsul Hadi Siswoyo, Msi., harga tembakau
anjlok karena tidak adanya kebersamaan dalam menangani masalah tembakau. Selama ini, karena
masing-masing daerah bergerak sendiri-sendiri, maka kemampuan negosiasi petani rendah. Hanya
saja pertemuan itu belum terfalu memberikan harapan positif bagi petani tembakau, seperti
diungkapkan oleh Muhammad Yunus, pengurus Asosiasi Petani Tembakau Rajang Rengganis
(APTRR). Hingga saat ini belum diperoleh informasi lain tentang upaya kerja samalkoordinasi di
bidang investasi maupun perdagangan yang dilakukan oleh APKASI.
Koordinasi Bilateral
Kerja sama Kota Surabaya Dan Kabupaten Sidoarjo; sebuah contoh.
Forum koordinasi yang sifatnya bilateral biasanya memiliki tujuan yang terkait langsung dengan
kepentingan pihak-pihak yang melakukan kesepakatan kerjasama. Sebagai contoh, kesepakatan
bersama antara Pemerintah Kabupaten Sidoarjo dengan Pemerintah Kota Surabaya tentang
Kerjasama Pembangunan Antar Daerah.
125
Lampiran
Kerjasama ini dimaksudkan untuk meningkatkan keterpaduan dalam mengelola berbagai programpembangunan, mengefisienkan pemanfaatan dan pengembangan potensi yang mempunyaiketerkaitan, memanfaaatkan sumber daya yang ada, maupun hal-hal yang berkaitan dengan letakgeografis. Kerjasama pembangunan antar daerah ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkanperekonomian dan kesejahteraan rakyat di kedua daerah tersebut.
Beberapa aspek kerjasama diantara kedua daerah tersebut antara lain :• Sinkronisasi perencanaan pembangunan di wilayah perbatasan, seperti : perencanaan
pembangunan jalan di daerah Rungkut (Surabaya) dan Berbek (Sidoarjo).
• Koordinasi penanganan masalah sosial dan ketertiban (anak jalan, gelandangan, pengemisdan keamanan) disekitar terminal Bungurasih.
* Kerjasama penataan wilayah investasi, jika ada investasi yang padat modal (capital intensive)akan diarahkan ke Surabaya, sedangkan untuk investasi yang padat karya (labor intensive)akan diarahkan ke Sidoarjo.
Efektifitas Forum Koordinasi
Masih banyaknya persoalan yang menghambat kinerja perusahaan di Jawa Timur bisa memberikanindikasi bahwa iklim usaha di daerah belum sepenuhnya kondusif. Kondisi semacam ini menimbulkanpertanyaan sejauh mana efektifitas forum koordinasi di Jawa Timur dalam berperan menciptakaniklim usaha yang kondusif di Jatim.
Masing-masing forum koordinasi yang ada di Jatim memiliki fokus kegiatan yang terkait denganperekonomian daerah masing-masing. Dari berbagai program kegiatan, forum-forum koordinasitersebut telah mencapai beberapa target, baik yang terprogram maupun insidentil. Forum koordinasiyang ada di Bakorwil misalnya, telah memberikan usulan ke pemerintah propinsi nntuk menerbitkanperda tentang aset pemerintah propinsi di daerah.
Bakorwil juga telah melakukan.koordinasi dengan pemerintah daerah, misalnya dalam upaya untukmengamankan atau mengantisipasi konflik antar pendukung partai. Bakorwil juga mengusulkankepada dinas perikanan di daerah agar menyediakan cold storage agar ikan tangkapan nelayan tetapterjaga kualitasnya. Sebagai perangkat dari pemerintah propinsi, Bakorwil berusaha menyelesaikankonflik tapal batas Gunung Kelud antara Pemerinta-h Kabupaten Kediri dan Kabupaten Blitar, sertamerigusulkan pembatalan Perda Kabupaten Bojonegoro No. 17 tahun 2001 karena bertentangandengan perda propinsi.
126
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Di antara berbagai rekomendasi hasil forum koordinasi yang terdapat dalam Bakorwil, hanya ada
beberapa saja yang berhasil direalisasikan. Misalnya pembatalan Perda Kabupaten Bojonegoro No.
17 Tahun 2001. Perda ini bertentangan dengan Keputusan Gubernur Jatim No. 44 Tahun 2001.
Substansi yang bertentangan itu terletak dalam hal tarif yang ditetapkan Kabupaten Bojonegoro
yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tarif yang ditetapkan pemerintah propinsi Jatim.
Dalam pasal Bab VII pasal 8, disebutkan struktur dan besarnya tarif, sebagai berikut;
a. Kayu Olahan tujuan Dalam Negeri, sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) per M3;
b. Kayu Olahan tujuan Luar Negeri, sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) per M3;
c. Kayu dari TPK :
- AI/Cl, sebesar Rp 2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah) per M3;
- A2/C2, sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah) pet M3;
- A3/C3, sebesar Rp 7.500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah) per M3.
d. Kayu dari bongkaran rumah dan atau jembatan, sebesar Rp 15.000,- (lima belas ribu rupiah)
per M3.
Struktur tarif yang ditetapkan di Perda Kabupaten Bojonegoro ini bertentangan dengan tarif
yang ditetapkan oleh pemerintah propinsi. Dengan alasan ini secara top down, Perda Kabupaten
Bojonegoro No. 17 Tahun 2001 dibatalkan.
Forum koordinasi yang berada dalam Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Propinsi
Jatim, biasanya melakukan koordinasi terutama pada saat-saat hari besar nasional seperti hari raya
Idul Fftri, hari Natal dan Tahun Baru. Menghadapi momen penting seperti ini Disperindag banyak
melakukan koordinasi dengan dinas teknis di tingkat daerah, untuk mengamankan distribusi
barang. Tetapi ketika Disperindag mencoba menyentuh masalah kebijakan di tingkat daerah yang
bisa mengganggu kondusifitas iklim usaha, hasilnya tidak efektif karena pemerintah daerah selalu
menggunakan alasan kewenangan daerah untuk melegitimasi kebijakannya.
Biro Hukum Propinsi juga telah berusaha melakukan koordinasi terkait dengan perda bermasalah
di tingkat daerah yang banyak dikeluhkan oleh para pengusaha di berbagai sektor di Jatim. Akan
tetapi Biro Hukum mengalami kendala karena perda yang terkait dengan pajak dan retribusi
yang membebani masyarakat, merupakan kewenangan pusat dan bukan merupakan kewenangan
propinsi.
Aturan ini bisa kita lihat pada PP No. 20 Tahun 2001 dan Kepmen No. 41 Tahun 2001 yang
menyatakan bahwa pengawasan perda dilakukan langsung oleh menteri dan tidak didistribusikan
kepada gubernur. Tetapi aturan ini tidak efisien karena Menteri Dalam Negeri harus mengurusi
begitu banyak perda bermasalah di Indonesia. Akibatnya, banyak perda bermasalah yang terkatung-
katung dan tidak jelas kapan akan dicabut.
127
Lampiran
Menghadapi situasi seperti ini, Biro Hukum Propinsi berusaha melakukan beberapa langkah untukmenyiasati kondisi yang ada. Tindakan yang diambil oleh Biro Hukum untuk menghadapi perdabermasalah adalah:
* Melakukan pengawasan terhadap perda kabupaten kota dan mendesak mencabut perda yangbermasalah.
• Kalau daerah tidak mau mencabut perda bermasalah tersebut, perda bermasalah tersebut akandiekspose ke media massa sehingga masyarakat tahu.
• Mendesak menteri untuk mencabut perda bermasalah di tingkat daerah karena Biro HukumPropinsi tidak memiliki hubungan hierarkhis dengan pemerintah daerah.
Tetapi langkah-langkah tersebut belum efektif. Contohnya, sampai saat ini belum terlihat adanyaperda-perda bermasalah di Jatim yang diangkat oleh Biro Hukum ke media massa. Akibatnya, fungsikoordinasi perundang-undangan di daerah belum berjalan efektif.
Demikian juga langkah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang memerintahkan untuk mencabutperda bermasalah di daerah, juga kurang efektif karena pihak daerah, baik eksekutif maupunlagislatif tetap pada pendiriannya untuk tidak mau mencabut perda tersebut dengan alasan UU No.22 Tahun 1999 memberi daerah kewenangan yang Iuas..
Sebagai contoh kasus bisadilihatketikaMendagri Hari Sabarno melalui empatsurat dan duakeputusanmenteri mendesak agar DPRD dan Pemerintah Kabupaten (Penkab) Gresik membatalkan ataumerevisi enam peraturan daerah (perda) yang telah disahkan. Karena, selain bertentangan dengankepentingan umum, keenam perda itu juga bertentangan dengan UU yang lebih tinggi.
Surat dan keputusan Mendagri soal desakan pembatalan dan revisi enam perda memang sudahditerima pimpinan DPRD, tetapi ternyata pihak DPRD membalas surat Mendagri tersebut dengansurat keberatan atas surat dan keputusan Mendagri itu. Alasannya, penyusunan perda di Gresiksudah berdasarkan pada pertimbangan yang masak dan berdasarkan aturan hukum.
Keenam perda yang dipermasalahkan Mendagri adalah perdaNo. 39 Tahun 2000 tentangsumbanganpihak ketiga. Perda itu, harus dihapus karena bertentangan dengan kepentingan umum. SelanjutnyaPerda No. 8 Tahun 2002, tentang pelayanan ketenagakerjaan. Perda ini dianggap bertentangandengan UU NO. 34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi. Kemudian perda Nomor 5 Tahun2000 tentang Retribusi ijin Gangguan dan Perda No. 10 tahun 2001 tentang pajak parkir. Perdaini bertentangan dengan UU No. 34 tahun 2000 tentang pajak dan retribusi.
128
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Dua perda lainnya, yaitu perda No. 3 tahun 2001 tentang Penataan Ruang dan Perda No. 19 tahun
2001 tentang kepelabuhanan. Kedua perda tersebut dianggap bertentangan dengan UU nomor
21 tahun 1992 tentang pelayaran. Pihak daerah dengan tegas menyatakan keberatannya untuk
membatalkan perda bermasalah tersebut. Dalam pandangan daerah, Mendagri harus menghormati
keberadaan UU No. 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah.
Sementara itu, efektifitas forum koordinasi bilateral seperti yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten Sidoarjo dan Kota Surabaya masih terbatas. Satu hal positif dari forum koordinasi ini
adalah dalam pembangunan jalan raya di perbatasan yang lebarnya dibicarakan dulu sehingga ada
kesamaan lebar jalan di perbatasan. Selain itu juga ada kerja sama dalam menangani masalah sosial
seperti masalah gelandangan dan pengemis di daerah perbatasan di Terminal Bungurasih.
Forum koordinasi yang ada dalam APEKSI efektifitasnya juga relatif terbatas. Kecenderungannya,
forum ini lebih banyak membicarakan persoalan keterbatasan anggaran pemerintah kota.
Akibatnya,pembicaraan dalam forum koordinasi ini lebih banyak berfokus pada bagaimana
mengembalikan sumber-sumber pendapatan daerah yang dikuasai pusat ke daerah. Misainya, ada
pemikiran bahwa sebaiknya pemasukan dari Pelindo harus dikembalikan ke pemerintah daerah.
Dengan demikian, secara umum belum ada forum koordinasi yang secara efektif mampu
meningkatkan kondusifitas iklim usaha di Jatim. Faktor utamanya adalah ekses negatif dari otonomi
daerah, terutama terkait langsung dengan dihilangkannya struktur hierarkhi antara pemerintah
propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Dari sinilah kemudian egoisme daerah muncul, yang
ditandai dengan lahirnya perda-perda bermasalah yang bisa mendistorsi iklim usaha di Jatim.
129
PUSTAKA ACUAN
Buku-bnku
Aswicahyono dan Maidir. Indusri Tekstil dan Garmen Indonesia: Menentukan Sikap dalam Persaingan Internasional yang Baru.Jakarta: CSIS, 2003
Biro Pusat Statisrik, Statistik Industri Kecil. Jakarta, 2002
Biro Pusat Statistik, Survey Industri. Jakarta, 2000
Black Dictionary of Economics. Oxford, 2002
Center for Economic and Social Studies, Medium Size Study Discussion Paper, Jakarta: 2003.
Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Badan Analisis Fiskal (BAF), Departemen Keuangan, Analisis Dasar-dasar Makro dan Mikrountak Kebijakan Cukai Tembakau di Indonesia. Jakarta: 2004
FEUNDIP, Lapomn Akhir Kajian tentangAlternatif Cukai Tembakau, 2004, Semarang: 2003
Isdijoso, Brahmantio dkk. "Studi Departemen Keuangan PSPK-BAE Departemen Keuangan.
Isdijoso, Brahmantio, Mangara Tambunan dan Ubaidillah. Prospek Perdagangan Domestik yang Bebas da/am Era Desentralisasidan Dampaknya Atas Pertumbuhan Ekonomi Daerah, Jakarta: CESS, PRISM Project - The Asia Foundation, 2001.
Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah, Daya Tarik Investasi Daerah: Survey Persepsi Pengusaha, Jakarta: 2003
Laporan Tim Sektor Swasta, Jakarta, World Bank, 2003
Lembaran Negara No. 82. 1957
Loebis, Linda dan Hubert Schimtz. Java Furniture Makers: Winners or Losersfrom Globalization, Sussex: IDS, 2003.
Ray, David. Prosiding Konferensi: Decentralization, Regulatory Reform and the Business Climate, Jakarta: PEG-USAID, 2003.
Surat Direktur Utama PT. Garam kepada Kepala Dinas Industri, Perdagangan dan Pertambangan Kabupaten Sampang. 2003
Surat Keputusan Ment&ri Kehutanan dan Perkebunan No. 132/Kpts-II/2000 tentang Pengenaan SKSHH
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 127/Kpts-V/2001 tentang Moratorium atas kegiatan pemotongan dan perdagangandalam ranin
130
Memperbaiki Iklim Usaha di Jawa Timur
Suratkabar
Kompas, 31 Agustus 2002
Kompas, 22 July 2002
Kompas, 23 Juni 2002
Kompas, 12 Agustus 2002
Kompas, 18 Februari 2003
Kompas, 19 Maret 2003
Kompas, 5 Mel 2003
Kompas, 26 Mel 2003
Kompas, 25 Juli 2003
Harian Surya, 7 November 2003
Bisnis Indonesla, 5 Februari 2004
Agence France Presse, 16 Maret 2004
Jakarta Post, 26 April 2004
Internet
Data tentang Jawa Timur tersedia dli: htp://english.d-infokom-jatim.go.idleastjava.asp
Data tentang impor daging tersedia dl: http://www.bi.go.id/sipuklim/ind/sapLpotong/aspek_pemasaran.htm
Data tentang industri Garam tersedia di: http://suharjavanasuria.tripod.com
131
t4
m
top related