mdgs 3 penyetaraan gender
Post on 06-Aug-2015
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB I. PENDAHULUAN
1
BAB II. PEMBAHASAN
A. DEFINISI
MDGs adalah kependekan dari Millennium Development Goals atau bila
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Sasaran Pembangunan
Millennium. Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Milenium Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) bulan September 2000, sebanyak 189 negara anggota PBB
yang sebagian besar diwakili oleh kepala pemerintahan sepakat untuk mengadopsi
Deklarasi Milenium. Deklarasi ini menghimpun komitmen para pemimpin dunia
yang tidak pernah ada sebelumnya untuk menangani isu perdamaian, keamanan,
pembangunan, hak asasi dan kebebasan fundamental dalam satu paket. Dalam
konteks inilah, negara-negara anggota PBB kemudian mengadopsi Tujuan
Pembangunan milenium (Millennium Development Goals/MDGs). Setiap tujuan
memiliki satu atau beberapa target beserta indikatornya. MDG menempatkan
pembangunan manusia sebagai fokus utama pembangunan, memiliki target waktu
dan kemajuan yang terukur. MDG didasarkan pada konsensus dan kemitraan
global, sambil menekankan tanggung jawab negara berkembang untuk
melaksanakan pekerjaan rumah mereka, sedangkan negara maju berkewajiban
mendukung upaya tersebut.
Adapun tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan
pembangunan milenium (MDG) tersebut diantaranya :
1. Menanggulangi Kemiskinan dan Kelaparan.
2. Mencapai Pendidikan Untuk Semua.
3. Mendorong Persamaan Gender dan Pemberdayaan Perempuan.
4. Menurunkan Angka Kematian Anak.
5. Meningkatkan Kesehatan Ibu.
6. Memerangi Hiv/Aids, Malaria, dan Penyakit Lainnya.
7. Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup.
8. Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.
2
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa diantara tujuan-
tujuan tersebut diatas memiliki satu atau lebih target yang ingin dicapai, adapun
target-target sesuai dengan tujuan MDGs diatas adalah sebagai berikut :
1. Menurunkan proporsi penduduk yang tingkat pendapatannya di bawah 1
dolar AS, menjadi setengahnya antara tahun 1990 – 2015.
2. Menurunkan proporsi penduduk yang menderita kelaparan menjadi
setengahnya antara tahun 1990 – 2015.
3. Menjamin bahwa sampai dengan tahun 2015, semua anak, di manapun, laki-
laki dan perempuan, dapat menyelesaikan sekolah dasar (primary schooling).
4. Menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan lanjutan
pada tahun 2005, dan di semua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun
2015.
5. Menurunkan Angka Kematian Balita sebesar dua-pertiganya, antara tahun
1990 dan 2015.
6. Menurunkan angka kematian ibu antara tahun 1990 dan 2015 sebesar tiga-
perempatnya.
7. Mengendalikan penyebaran HIV/AIDS dan mulai menurunnya jumlah kasus
baru pada tahun 2015.
8. Mengendalikan penyakit malaria dan mulai menurunnya jumlah kasus
malaria dan penyakit lainnya pada tahun 2015.
9. Memadukan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan kebijakan
dan program nasional serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang
hilang.
10. Penurunan sebesar separuh, proporsi penduduk tanpa akses terhadap sumber
air minum yang aman dan berkelanjutan serta fasilitas sanitasi dasar pada
2015.
11. Mencapai perbaikan yang berarti dalam kehidupan penduduk miskin di
pemukiman kumuh pada tahun 2020.
MDGs sebenarnya merupakan perwujudan hubungan global yang telah
tumbuh dari komitmen dan target yang telah ditetapkan pada United Nations
3
World Summits dan konferensi global di sepanjang tahun 1990-an. Pada bulan
September tahun 2000, sebanyak 189 negara yang sebagian besar diwakili para
kepala negara menghadiri Pertemuan Puncak Milenium di New York dan
menandatangani Deklarasi Milenium. Deklarasi ini menyatakan komitmen bahwa
Negara tersebut setuju untuk mengadopsi Tujuan Pembangunan Milenium atau
Millennium Development Goals (MDG). Setiap tujuan (goal) memiliki satu atau
beberapa target.
Dengan ditetapkannya target pencapaian pada 2015, maka perlu ada kerja
sama dalam pencapaian target tersebut. Kerja sama yang harus tercipta antara
Negara miskin dan Negara kaya. Negara miskin harus melakukan pemerintahan
dengan lebih baik, dan menginvestasikan rakyatnya dengan pendidikan dan
kesehatan yang baik, sedangkan Negara kaya harus mendukung negara miskin
tersebut, melalui bantuan, pembebasan hutang, dan perdagangan yang lebih adil.
Laporan MDGs
Setiap negara yang berkomitmen dan menandatangani perjanjian
diharapkan membuat laporan MDGs. Laporan MDGs ini secara rinci mengulas
pencapaian sasaran pembangunan, sesuai dengan indikator MDGs. Laporan ini
menguraikan secara sekilas tantangan yang dihadapi serta upaya-upaya yang
diperlukan untuk mencapai berbagai sasaran MDGs. Dengan demikian, laporan
ini dapat digunakan sebagai dasar dalam menyusun kegiatan yang diperlukan agar
sasaran MDGs pada tahun 2015 dapat tercapai.
Indikator MDGs
Dalam rangka mengukur pencapaian tujuan dan target MDGs di atas
diperlukan indicator pencapaian. Sampai saat ini telah terdapat 48 buah indikator
teknis dari MDGs. Kedelapan buah tujuan beserta target dan indikator inilah yang
dijadikan standard ukuran keberhasilan bagi negara-negara di dunia dalam
membangun negaranya, tentunya termasuk juga di dalamnya adalah negara
Indonesia.
4
MDGs Indonesia
MDGs telah menjadi referensi penting pembangunan di Indonesia, mulai
dari tahap perencanaan seperti yang tercantum pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) hingga pelaksanaannya. Walaupun mengalamai
kendala, namun pemerintah memiliki komitmen untuk mencapai sasaran-sasaran
ini dan dibutuhkan kerja keras serta kerjasama dengan seluruh pihak, termasuk
masyarakat madani, pihak swasta, dan lembaga donor.
Target pencapaian rencana pemberantasan kemiskinan global di bawah
program PBB yang disebut Tujuan Pembangunan Milenium pada tahun 2015
tersisa satu tahun. Namun, delapan target yang menjadi sasaran masih jauh dari
harapan sehingga muncul kekhawatiran target-target itu akan sulit tercapai.
Kedelapan target MDGs ini dikhawatirkan tak tercapai jika kendala seperti
bencana alam terus terjadi. Selain bencana alam adalah perubahan iklim, krisis
pangan, krisis energi, dan krisis keuangan juga berpotensi jadi kendala utama.
B. PENYETARAAN GENDER DAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
Berkaitan dengan perkembangan zaman, masyarakat sekarang
membutuhkan peran perempuan dalam segala aspek, pendidikan, sosial ekonomi,
hukum, politik, dan lain-lain. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh tuntutan bangsa-
bangsa atas nama masyarakat global bahwa kemajuan suatu bangsa ditentukan
bagaimana bangsa tersebut peduli dan memberi akses yang luas bagi perempuan
untuk beraktifitas di ranah publik.
Permasalahan penyetaraan gender tersebut bisa saja disebabkan oleh
pemahaman tentang kesetaraan peran antara laki-laki dan perempuan dalam
masyarakat belum banyak diketahui atau dalam kajian gender belum meluasnya
pemahaman masyarakat tentang peran berdasarkan gender. Selama ini antara
kedua jenis kelamin tersebut yang lebih dilihat pada perbedaannya seperti pada
fisik, pekerjaan, pengambilan keputusan, akses pada bidang ekonomi dan politik,
dan ketika hal itu dilihat pada jenis kelamin perempuan tidak sedikit dari
masyarakat yang menganggapnya aneh.
5
Secara internasional, penguatan peran perempuan dalam dunia dapat
dilihat pada tuntutan internasionalyang terdapat dalam Millenium Development
Goals (MDGs) yang harus dipenuhi pada 2015. Bulan September 2000 dalam
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB, sebanyak 189 negara anggota PBB
termasuk Indonesia sepakat untuk mendeklarasikan Millenium Development
Goals (MDGs) sebagai bagian pencapaian kemajuan bangsa. Deklarasi ini
berpijak pada pemenuhan hak-hak dasar manusia.
Hasil akhir dari deklarasi MDGs tidak lama lagi akan terlihat, tahun 2015,
namun tahun-tahun terakhir ini pencapaian tersebut masih belum terlihat
mencerahkan, untuk kegiatan pemberdayaan perempuan misalnya, masih banyak
perempuan yang belum tersentuh kegiatan untuk meningkatkan kualitas hidup,
seperti hal yang sederhana berupa keterampilan mengelola sampah rumah tangga
agar tidak menghasilkan sampah yang berpotensi menimbulkan masalah
lingkungan yang lebih luas. Bila saja perempuan diberdayakan untuk menjadi
perempuan peduli lingkungan, maka misi MDGs dapat terwujud dalam sekali
langkah, yaitu misi yang kelima (ibu bisa sehat karena lingkungan sehat), misi
yang keenam (penyakit malaria atau penyakit menular lainnya dapat
diminimalisir), dan misi ketujuh (kelestarian lingkungan hidup dapat terjaga
dengan baik). Begitu banyak harapan disematkan pada perempuan agar dapat
berperan lebih aktif ditengah masyarakat, namun pada pelaksanaannya justru
masih ada juga anggapan masyarakat yang tidak menginginkan perempuan aktif
di tengah masyarakat tapi cukup dalam lingkup keluarga saja. Pertentangan-
pertentangan itulah yang membuat kajian tentang peran perempuan dalam
masyarakat masih harus terus ditingkatkan dan meminta partisipasi setiap elemen
masyarakat untuk mensosialisasikannya.
Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) dan Tantangan Global Dewasa
ini permasalahan gender sudah menjadi isu global yang sangat menarik perhatian
dunia. Munculnya perhatian terhadap isu gender ini sejalan dengan pergeseran
paradigma pembangunan dari pendekatan keamanan dan kestabilan (security)
menuju pendekatan kesejahteraan dan keadilan (prosperity) atau dari pendekatan
produksi ke pendekatan kemanusiaan dalam suasana yang lebih demokratis dan
6
terbuka. Terjadinya perubahan paradigma pembangunan seperti ini, menjadi dasar
untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender yang masih terjadi di masyarakat
menuju terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG). Kesetaraan dan
Keadilan Gender (KKG) adalah suatu bentukan kata yang mengandung dua
konsep, yaitu kesetaraan gender dan keadilan gender. Kesetaraan gender berarti
kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan
dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam
kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan nasional, dan kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Sedangkan keadilan gender adalah
suatu proses untuk menjadi adil terhadap laki-laki dan perempuan. Agar proses
yang adil bagi perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah
untuk menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah
menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil
dari peran yang dimainkannya.
Dalam mengatasi persoalan gender, telah dilakukan berbagai upaya baik di
tingkat internasional, nasional maupun regional. Di tingkat internasional pada
tahun 1950 dan 1960-an telah di deklarasikan suatu resolusi melalui badan
ekonomi sosial PBB (ECOSOC) dan diakomodasi oleh pemerintah Indonesia
pada tahun 1968 melalui pembentukan Komite Nasional Kedudukan Wanita
Indonesia (KNKWI). Selanjutnya, pada tahun 1967 Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) telah mengeluarkan Deklarasi mengenai Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Perempuan. Deklarasi tersebut memuat hak dan kewajiban
berdasarkan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dan menyatakan agar
diambil langkah-langkah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan deklarasi
tersebut. Oleh karena deklarasi tersebut sifatnya tidak mengikat, maka komisi
PBB tentang Kedudukan Wanita kemudian menyusun rancangan Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Pada tahun
1975 di Mexico City, PBB menyelenggarakan Konfrensi Wanita Internasional
yang menghasilkan antara lain deklarasi persamaan antara perempuan dan laki-
laki dalam hal pendidikan dan pekerjaan. Tiga tahun kemudian yakni tahun 1978
7
pemerintah Indonesia menindaklanjutinya dengan membentuk Menteri Muda
Urusan Peranan Wanita (Men.UPW). Melalui lembaga negara ini Pemerintah
Indonesia melaksanakan aksi penanggulangan permasalahan perempuan dan
gender yang terjadi di masyarakat. Pada tanggal 18 Desember 1979 Majelis
Umum PBB telah menyetujui konvensi tersebut. Karena ketentuan konvensi pada
dasarnya tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
maka pemerintah RI dalam Konfrensi Sedunia Dasawarsa Perserikatan Bangsa-
Bangsa bagi Wanita di Kopenhagen pada tanggal 29 Juli 1980 telah
menandatangani konvensi tersebut. Penandatanganan itu merupakan penegasan
sikap Indonesia yang dinyatakan pada tanggal 18 Desember 1979 pada waktu
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa melakukan pemungutan suara atas
resolusi yang kemudian menyetujui konvensi tersebut.
Dalam pemungutan suara itu Indonesia menyatakan setuju sebagai
perwujudan untuk ikut berpartisipasi dalam usaha menghapus segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita karena isi konvensi itu sesuai dengan dasar negara
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menetapkan bahwa semua warga
negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan. Selanjutnya
konvensi ini ditetapkan dalam bentuk undang-undang yakni Undang-Undang No.
7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Perempuan.
Berbagai pendekatan pembangunan terkait dengan penanganan masalah
gender dan pemberdayaan perempuan pun dilaksanakan oleh pemerintah mulai
dari pendekatan Women in Development (WID), dilanjutkan dengan pendekatan
Women and Development (WAD). Kedua pendekatan ini ternyata belum mampu
mewujudkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan sehingga
pemerintah melaksanakan pendekatan baru yakni Gender and Development
(GAD). Setelah perjalanan hampir setengah abad, nampaknya upaya dunia
termasuk Indonesia untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender (KKG)
belum membuahkan hasil yang maksimal. Hal ini terbukti dengan masih
terjadinya ketimpangan gender diberbagai bidang kehidupan seperti bidang
pendidikan, politik dan ketenagakerjaan. Di bidang pendidikan misalnya,
8
ketimpangan gender nampak pada beberapa indikator seperti angka buta huruf,
dimana menurut hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 2006
jumlah perempuan yang buta huruf duakali lipat lebih besar dibandingkan angka
buta huruf laki-laki ( 10,3% : 4,8%).
Sementara itu pada tahun yang sama ( 2006) data angka partisipasi sekolah
(APS) laki-laki dan perempuan terutama pada jenjang pendidikan SMP dan SMA.
Persentase APS perempuan di SMP 84,04% sedangkan APS laki-laki 89,68%,
untuk jenjang pendidikan SMA perbandingan APS laki-laki dan perempuan
66,00% : 60,05%. Data pendidikan tertinggi yang ditamatkan penduduk juga
menunjukkan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin kecil persentase
perempuan yang tamat.
Tahun 2006 penduduk perempuan usia 10 tahun keatas 33, 35% yang
hanya tamat SD dan laki-laki 28,52%.
Dari data diatas nampak bahwa selama ini akses anak perempuan terhadap
pendidikan terutama ke jenjang pendidikan SMA ke atas masih lebih terbatas
dibandingkan laki-laki. Dari hasil kajian yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita
Universitas Udayana (Arjani, dkk; 2005) keterbatasan akses perempuan terhadap
pendidikan disebabkan oleh beberapa faktor seperti: faktor geografis, ekonomi,
dan faktor budaya. Faktor budaya antara lain masih adanya pandangan orang tua
yang menganggap pendidikan bagi anak perempuan tidak penting karena anak
perempuan nantinya akan menjadi milik orang lain dan hanya akan menjadi ibu
rumah tangga dengan tugas utama di ranah domestik. Peran domestik selama ini
dianggap sebagai peran yang tidak memerlukan pendidikan tinggi. Selain itu, jika
dilihat kesempatan perempuan untuk menduduki jabatan sebagai pemimpin juga
masih menunjukkan kesenjangan, hal ini dapat dilihat dari data jumlah perempuan
yang menjadi kepala sekolah baik di SD, SMP dan SMA masih menunjukkan
kesenjangan yang cukup menonjol. Secara umum posisi kepala sekolah dijabat
oleh guru laki-laki meskipun secara kuantitas guru laki-laki dan guru perempuan
jumlahnya hampir sama di setiap jenjang pendidikan.
Sampai saat ini akses perempuan ke dunia kepemimpinan atau pengambil
keputusan nampaknya masih terbatas karena nilai budaya yang berkembang
9
menganggap urusan pemimpin identik dengan dunia publik yang nota bene
menjadi dunianya laki-laki. Disamping itu stereotip gender atau pelebelan
terhadap perempuan bahwa perempuan lemah, emosional dan perlu dilindungi
masih menempel kuat di masyarakat. Di bidang politik, kesenjangan gender masih
nampak dengan jelas. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan perempuan dan laki-
laki baik di bidang eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Di ketiga bidang ini
partisipasi perempuan persentasenya jauh lebih kecil dibandingkan laki-laki.
Demikian juga pemimpin wilayah seperti kepala desa, lurah, camat dan bupati
umumnya di dominasi oleh laki-laki.
Kondisi yang demikian ini tidak hanya terjadi di Indonesia akan tetapi
juga di beberapa belahan dunia. Realitas ini mendorong dunia internasional
melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2000 kembali
melaksanakan konfrensi tingkat tinggi untuk mewujudkan komitmen terkait
dengan Millenium Development Goals (MDGs). Deklarasi MDGs ini telah
menelorkan delapan komitmen. Dari 8 komitmen MDGs ini jelas terlihat bahwa
secara global masalah kesetaraan gender merupakan masalah prioritas untuk
ditangani.
Deklarasi MDGs ini mengharapkan kepada setiap negara agar pada tahun
2015 semua komitmen yang sudah disepakati dalam konfrensi dapat terwujud.
Oleh karena itu, Deklarasi MDGs ini merupakan tantangan bagi Indonesia untuk
bisa mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender pada tahun 2015.
Menindaklanjuti komitmen MDGs ini, pemerintah Indonesia telah mengambil
satu kebijakan dan strategi untuk mempercepat terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender (KKG) yakni melalui strategi Pengarusutamaan Gender (PUG)
atau Gender Mainstreaming (GM). Strategi ini dilaksanakan dengan landasan
hukum berupa Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang
Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional.
Melalui strategi ini diharapkan semua kebijakan, program dan kegiatan
pembangunan di Indonesia berpersfektif gender sehingga hasil pembangunan
dapat memberikan manfaat bagi laki-laki maupun perempuan.
10
Peran Perempuan
Pada umumnya masyarakat di Indonesia, pembagian kerja antara lelaki
dan perempuan menggambarkan peran perempuan. Basis awal dari pembagian
kerja menurut jenis kelamin ini tidak diragukan lagi terkait dengan kebedaan
peran lelaki dan perempuan dalam fungsi reproduksi. Dalam masyarakat
mempresentasikan peran yang ditampilkan oleh seorang perempuan. Analisis
peran perempuan dapat dilakukan dari perspektif posisi mereka dalam berurusan
dengan pekerjaan produktif tidak langsung (domestik) dan pekerjaan produktif
langsung (publik), yaitu sebagai berikut;
1. Peran Tradisi menempatkan perempuan dalam fungsi reproduksi (mengurus
rumahtangga, melahirkan dan mengasuh anak, serta mengayomi suami).
Hidupnya 100% untuk keluarga. Pembagian kerja sangat jelas, yaitu
perempuan di rumah dan lelaki di luar rumah.
2. Peran transisi mempolakan peran tradisi lebih utama dari peran yang lain.
Pembagian tugas mengikuti aspirasi gender, tetapi eksistensi
mempertahankan keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap
tanggungjawab perempuan.
3. Dwiperan memposisikan perempuan dalam kehidupan dua dunia, yaitu
menempatkan peran domestik dan publik dalam posisi sama penting.
Dukungan moral suami pemicu ketegaran atau sebaliknya keengganan suami
akan memicu keresahan atau bahkan menimbulkan konflik terbuka atau
terpendam.
4. Peran egalitarian menyita waktu dan perhatian perempuan untuk kegiatan di
luar. Dukungan moral dan tingkat kepedulian lelaki sangat hakiki untuk
menghindari konflik kepentingan pemilahan dan pendistribusian peranan.
Jika tidak, yang terjadi adalah masing-masing akan saling berargumentasi
untuk mencari pembenaran atau menumbuhkan ketidaknyamanan suasana
kehidupan berkeluarga.
5. Peran kontemporer adalah dampak pilihan perempuan untuk mandiri dalam
kesendirian. Jumlahnya belum banyak. Akan tetapi benturan demi benturan
11
dari dominasi lelaki atas perempuan yang belum terlalu peduli pada
kepentingan perempuan mungkin akan meningkatkan populasinya.
Dalam perkembangan kajian peran perempuan, konsep peran seks (sex
roles) memberi makna tersendiri. Peran seks adalah seperangkat atribut dan
ekspektasi yang diasosiasikan dengan perbedaan gender, dengan hal ihwal
menjadi laki-laki atau perempuan dalam masyarakat. Menurut teori
fungsionalisme (functionalism), peran seks (seperti peran yang lain)
merefleksikan norma-norma sosial yang bertahan dan merupakan pola-pola
sosialisasi (socialization). Norma yang cenderung terjadi dewasa ini adalah
hubungan antara laki-laki dan perempuan telah berubah seiring dengan
perkembangan secara bertahap perihal keluarga yang berkesetaraan.
C. INDIKATOR PENCAPAIAN
1. INDIKATOR
Target MDGs terkait Penyetaraan gender dan pemberdayaan manusia
adalah: menghilangkan ketimpangan gender di tingkat pendidikan dasar dan
lanjutan pada 2005 dan disemua jenjang pendidikan tidak lebih dari tahun
2015.
Sedangkan indikatornya adalah:
a. Ratio anak perempuan terhadap anak laki-laki di tingkat pendidikan
dasar, lanjutan dan tinggi yang diukur melalui angka partisipasi murni
anak perempuan terhadap anak laki-laki.
b. Ratio melek huruf perempuan terhadap laki-laki usia 15-24 tahun, yang
diukur melalui angka melek huruf perempuan/laki-laki (indeks paritas
melek huruf gender).
c. Konstribusi perempuan dalam pekerjaan upahan di sektor pertanian.
d. Proporsi kursi DPR yang diduduki perempuan.
12
2. PENCAPAIAN
a. Pencapaian MDGs (penyetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan) di Indonesia.
Menurut The Global Gender Gap Report 2013, Indonesia berada
di Peringkat 95 dari 136 negara dengan skor sebesar 66,13.
Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Adapun pencapaian
dalam berbagai bidang adalah sebagai berikut:
13
Berdasarkan tabel diatas nilai Indeks Pembangunan Gender (IPG)
nasional terus mengalami peningkatan dimana pada tahun 2007 sebesar
65,3 dan pada tahun 2011 mengalami peningkatan 3,82% dari tahun 2007
menjadi 67,8. DKI Jakarta merupakan provinsi dengan IPG tertinggi
berturut-turut dari 2007 sampai 2011.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
menjelaskan bahwa untuk mengetahui ketimpangan gender maka
kesenjangan nilai IPG dan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) dapat
digunakan. Apabila Nilai IPG sama dengan IPM maka tidak terjadi
ketimpangan gender, tetapi apabila nilai IPG lebih rendah dari IPM maka
terjadi ketimpangan gender. Berdasarkan tabel diatas provinsi dengan
IPM tertinggi pada tahun 2011 adalah DKI Jakarta sebesar 77,57 dan
terendah adalah papua sebesar 65,36. Untuk IPG, DKI Jakarta memiliki
nilai IPG tertinggi sebesar 74,01 dan NTB merupakan provinsi dengan
IPG terendah sebesar 56,7.
adapun pencapaian berdasarkan indikator dari MDGs ke-3 adalah:
yang menjadi indikator utama adalah rasio anak perempuan terhadap
14
anak laki-laki di pendidikan dasar, lanjutan dan tinggi. Disini Indonesia
tampaknya sudah mencapai target, dengan rasio 100% di sekolah dasar,
99,4% di sekolah lanjutan pertama, 100,0% di sekolah lanjutan atas, dan
102,5% di pendidikan tinggi.
Indikator kedua adalah rasio melek huruf perempuan terhadap laki-laki
untuk usia 15-24 tahun. Disini pun, tampaknya kita telah mencapai target
dengan rasio 99,9%.
Indikator ketiga adalah sumbangan perempuan dalam kerja berupah di
sektor non-pertanian.
Disini kita masih jauh dari kesetaraan. Nilainya saat ini hanya 33%.
Indikator keempat adalah proporsi perempuan di dalam parlemen,
dimana proporsinya saat ini hanya 11,3%.
b. Pencapaian MDGs (penyetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan) di Jawa Tengah.
Indeks pertumbuhan yang berkaitan dengan gender adalah indeks
pembangunan gender (IPG). Indeks Pembangunan Gender (IPG)
mengukur pencapaian dalam dimensi yang sama dengan indeks
pembangunan manusia (IPM), tetapi menangkap ketidaksetaraan dalam
pencapaian antara perempuan dan laki-laki.
15
Kesenjangan antara IPM dan IPG di provinsi Jawa Tengah pada tahun
2011 adalah 6,49 dimana nilai tersebut lebih besar dari rata-rata nasional
yang hanya sebesar 4,97. Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu
provinsi yang memiliki IPM di atas rata-rata nasional tetapi IPG dibawah
rata-rata nasioanal. Walaupun capaian pembangunan manusia di Jawa
16
Tengah secara umum relatif lebih baik dibanding dengan provinsi lain,
akan tetapi kondisi kesetaraan gender dalam pembangunan masih relatif
rendah. Artinya, kemajuan pembangunan manusia di Jawa Tengah belum
sejalan dengan peningkatan kesetaraan gender.
IPG sama halnya dengan IPM dipengaruhi oleh beberapa
komponen yang terdiri dari angka harapan hidup (AHH), Angka Melek
Huruf (AMH), Rata-rata lama Sekolah (MYS), dan pengeluaran per
kapita. Peningkatan IPG selama periode 2007-2011 tentunya dipengaruhi
oleh peningkatan komponen tersebut. Hal ini berarti kapabilitas dasar
perempuan yang terangkum dalam kesehatan, pendidikan maupun hidup
layak selama periode 2007-2011 terus mengalami peningkatan.
Dari grafik AHH terlihat bahwa perkembangan Angka Harapan
Hidup (AHH) perempuan mengalami peningkatan selama periode 2008-
2012. Pada tahun 2008 AHH perempuan mencapai 73,1 tahun, kemudian
tahun berikutnya meningkat lagi menjadi 73,6 tahun pada tahun 2012.
Peningkatan AHH perempuan diikuti dengan peningkatan AHH laki-laki
meskipun AHH laki-laki masih dibawah AHH perempuan. Pada tahun
2008 AHH laki-laki mencapai 69,2 tahun dan pada tahun 2012
meningkat menjadi 69,7 tahun. Jika dilihat secara umum terlihat bahwa
AHH laki-laki cenderung empat tahun lebih rendah dibanding
perempuan.
17
Kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang setara antara
laki-laki dan perempuan belum sepenuhnya terpenuhi. Indikator
pendidikan Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata lama
Sekolah/Mean Year School (MYS) menunjukkan adanya kesenjangan
gender dalam pendidikan di Jawa Tengah.
AMH menggambarkan persentase penduduk umur 15 tahun ke
atas yang mampu baca tulis. Perkembangan AMH Jawa Tengah selama
periode 2008-2012 terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. AMH
perempuan di Jawa Tengah lebih rendah dibanding AMH laki-laki.
Namun peningkatan AMH perempuan lebih cepat dibandingkan dengan
AMH laki-laki. Pada periode 2008-2012 AMH perempuan meningkat
hampir 2 persen, sementara AMH laki-laki hanya meningkat sekitar 0,7
persen. Pada tahun 2012, AMH laki-laki mencapai 94,5 persen dan
perempuan mencapai 86,54 persen. Hal ini berarti bahwa penduduk
perempuan usia 15 tahun ke atas yang buta huruf mencapai 13,46 persen,
sedangkan laki-laki hanya 5,5 persen.
18
Rata-rata lama sekolah (MYS) menggambarkan rata-rata jumlah
tahun yang dijalani oleh penduduk usia 15 tahun ke atas untuk
menempuh semua jenis pendidikan formal. Untuk angka rata-rata lama
sekolah penduduk laki-laki lebih tinggi pada kisaran 1 tahun
dibandingkan dengan rata-rata lama sekolah penduduk perempuan. Pada
tahun 2012, MYS laki-laki mencapai 7,9 tahun yang berarti setara
dengan kelas 1 SMP. Sedangkan MYS perempuan mencapai 6,9 tahun
yang berarti setara kelas 6 SD. Fakta tersebut menunjukkan bahwa dalam
pembangunan pendidikan di Jawa Tengah masih terjadi kesenjangan
kemampuan baca tulis dan lama sekolah antara laki-laki dan perempuan.
Kesenjangan ini dapat disebabkan oleh berbagai hal di antaranya adalah
pertimbangan prioritas bahwa nilai ekonomi anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan anak perempuan, karena laki-laki harus mencari nafkah
sehingga harus dibekali pendidikan yang lebih dibandingkan dengan
anak perempuan.
19
Pada tahun 2011, sumbangan pendapatan perempuan mengalami
peningkatan sebesar 0,87 persen dari tahun sebelumnya. Tahun 2011
sumbangan pendapatan mencapai 32,33 persen naik dari tahun 2010. Ada
dua faktor yang mempengaruhi sumbangan pendapatan yaitu faktor
angkatan kerja dan upah yang diterima. Berdasarkan data Sakernas,
angkatan kerja perempuan di Jawa Tengah sekitar 42,6 persen. Perbedaan
tingkat upah yang diterima disebabkan oleh kecenderungan pendidikan
perempuan yang lebih rendah, status pekerjaan, jenis pekerjaan dan
lapangan pekerjaan.
Berdasarkan Tabel dibawah dapat dilihat bahwa jumlah
perempuan yang memiliki status pekerjaan yang rendah lebih banyak
daripada laki-laki. Meskipun tingkat pendidikan perempuan tinggi,
jumlah perempuan dengan pekerja tak dibayar dan tingkat pendidikan
Diploma I/ II/ III/ Akademi/ Universitas 2 kali lipat lebih banyak
daripada laki-laki yaitu sebesar 18.958.
20
Tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan dapat mempengaruhi
tingkat partisipasi angkatan kerja. Pengaruh dari masing-masing faktor
ini terhadap tingkat partisipasi angkatan kerja berbeda antara penduduk
laki-laki dan perempuan. Berdasarkan Gambar dibawah, tingkat
partisipasi angkatan kerja perempuan lebih rendah sekitar 25 persen
dibandingkan tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan. Perbedaan
ini disebabkan oleh umumnya laki-laki sebagai pencari nafkah sehingga
hampir semua laki terlibat dalam kegiatan perekonomian. Sehingga
faktor sosial, ekonomi atau budaya dapat mempengaruhi partisipasi
dalam angkatan kerja.
21
Sebagian besar penelitian untuk memperkirakan efek kausal dari
kesenjangan gender pada pertumbuhan ekonomi atau pendapatan per
kapita telah menemukan bahwa ketimpangan gender berpengaruh negatif
signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Menurut Blackden dkk
(2006) pendidikan akan mengurangi jumlah rata Kesenjangan ini akan
menghalangi bakat yang terdapat pada anak perempuan yang pada
akhirnya akan mengurangi laki-laki yang mencapai usia kerja
mempengaruhi kesenjangan gender dalam rata-rata modal manusia dalam
masyarakat. bakat-bakat yang memiliki kualifikasi tinggi pengembalian
investasi sektor pendidikan. Klasen dan Wink (2003) menambahkan
kesenjangan gender dalam pekerjaan dan upah juga menurunkan daya
tawar perempuan di rumah, yang menyebabkan menurunnya investasi
pada pendidikan dan kesehatan anak.
22
Berdasarkan Tabel di atas, sebagian besar kabupaten/kota yang
memiliki kesetaraan gender yang tinggi juga memiliki pertumbuhan
ekonomi yang tinggi antara lain, Kota Surakarta dengan ketimpangan
gender sebesar 1,81 dan pertumbuhan ekonomi 6,04, Kota Salatiga, Kota
Semarang, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten
Karanganyar, Kabupaten Semarang. Dan kabupaten/kota yang memliki
kesetaraan gender rendah memiliki pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Misalnya Kabupaten Grobogan dengan ketimpangan gender 15,14 dan
pertumbuhan ekonomi sebesar 3,59, Kabupaten Kebumen, Kabupaten
Cilacap, Kabupaten Wonosobo, Kabupaten Pekalongan. Namun terdapat
kabupaten/kota yang memiliki tingkat kesetaraan gender rendah namun
pertumbuhan ekonominya tinggi seperti Kabupaten Jepara. Hal ini
menunjukkan adanya pengaruh ketimpangan gender terhadap
pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data yang kami peroleh pada tahun 2011
menunjukkkan bahwa perkembangan penyetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan mengalami peningkatan. Dan dapat
diperkirakan pula bahwa sampai tahun sekarang ini juga terus mengalami
peningkatan dan bahkan semakin membaik jika dibandingkan dengan
tahun sebelumnya. Hal ini dapat kita lihat dalam kenyataannya bahwa
semakin banyak wanita yang aktif dalam berbagai bidang.
Peningkatan terkait dengan masalah di atas memberikan nilai
positif. Namun, terdapat pula sedikit nilai negatif yang menyebabkan
tidak optimalnya peningkatan penyetaraan gender dan pemberdayaan
wanita di Jawa Tengah. Penyebab tidak optimalnya peningkatan terjadi
karena adanya beberapa faktor yaitu faktor ekonomi dan budaya. Faktor
budaya merupakan faktor utama yang menyebabkan terhambatnya
23
pencapaian yang tidak optimal. Masyarakat Jawa Tengah masih
memegang erat bahwa wanita tidak seharusnya bekerja diluar rumah.
c. Pencapaian MDGs (penyetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan) di Magelang.
Pertimpangan gender dapat diukur dengan menggunakan nilai
IPM dan IPG, apabila nilai IPG lebih rendah dari IPM maka terjadilah
ketimpangan gender. Namun, apabila nilai IPM dan IPG sama maka
tidak terjadi pertimpangan gender. Pada kasus ini kota magelang
mempunyai nilai IPM 76,83 dan nilai IPG 73,96 pada tahun 2011. Nilai
antara IPM dan IPG mempunyai selisih 2, 87. Artinya, di kota Magelang
pencapaian penyetaraan gender dan pemberdayaan perempuan belum
terpenuhi dengan optimal karena masih tingginya selisis antara IPM dan
IPG tersebut.
Masalah tersebut dapat diakibatkan karena beberapa faktor
misalnya budaya dan ekonomi. Kaum perempuan biasanya erat kaitanya
dengan pekerjaan rumah tangga dan harus mengurus anak hal ini
mengakibatkan kaum wanita hanya bekerja dirumah. Selain itu masalah
ekonomi juga mempengaruhi timbulnya ketimpangan gender, di
lapangan kerja biasanya wanita ditempatkan pada bagian yang tidak
begitu penting sedangkan laki-laki lebih mendominasi jabatan yang
penting dan tinggi. Jabatan akan mempengaruhi jumlah gaji dalam
bekerja. Perempuan akan cenderung diberikan gaji sedikit jika
dibandingkan dengan leki-laki. Oleh karena itu mengapa ekonomi juga
berperan dalam menormalkan masalah ketimpangan gender.
Jika dilihat dari tahun-tahun sebelumnya pencapaian MDGs ke
tiga dikota magelang terus meningkat. Sudah banyak kaum perempuan
yang aktif dalam bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan lainnya.
Namun, jika dilihat secara keseluruhan dan jika dibandingkan dengan
daerah lain, kota Magelang masih harus berbenah diri supaya
24
penyetaraan gender dan pemberdayaan manusia dapat tercapai secara
optimal.
25
PERAN PERAWAT DALAM MENGHADAPI HIV/AIDS
Sudah puluhan dokter, artis, tokoh masyarakat yang peduli dan mendirikan
LSM atau Lembaga pemerintah yang bergerak dalam memerangi pengobatan,
penanggulangan dan perawatan pasien AIDS/HIV di Indonesia saat ini.
Bergabungnya para dokter, perawat, apoteker serta relawan merupakan wahana
untuk saling memahami, menghargai serta meningkatkan kerjasama dalam
penanggulangan dan pengobatan AIDS. Kerjasama yang baik ini akan merupakan
modal kuat untuk melayani masyarakat.
Kedekatan perawat dengan para pasien HIV memang menjadi kunci dalam
proses kesembuhan pasien. Peran perawat memang dianggap wajar sebagai bagian
dari tugas atau pekerjaan yang memang harus dilaksanakan. Nyatanya, menjadi
perawat pasien HIV/AIDS tak sekadar menjalankan kewajiban. Frekuensi
pertemuan yang rutin dibanding para dokter yang membuat perawat berubah
menjadi perawat plus.
Risiko tertular membuat banyak perawat segan tatkala ditugaskan untuk
merawat ODHA. Ada juga yang rela memilih keluar pekerjaan. Kalau perawatnya
saja takut, bagaimana dengan keluarganya?. Untuk itu diperlukan kegiatan yang
berkaitan dengan HIV/AIDS difokuskan pada tersusunnya Pedoman Asuhan
Keperawatan pasien dengan HIV/AIDS, meningkatnya kemampuan perawatan
dalam melayani pasien dengan HIV/AIDS serta makin banyaknya perawat yang
terlibat dalam upaya upaya penanganan HIV/AIDS di Indonesia.
Dampak dari HIV/AIDS juga memicu faktor migrasi pekerja kesehatan
dengan akibat tidak langsung menyebabkan peningkatan beban kerja makin
perawat. Di Indonesia belum terjadi migrasi perawat sebagai dampak HIV/AIDS,
tetapi yang lebih mengemuka adalah tidak terpenuhinya standar-standar yang
harus dilakukan dalam memberikan asuhan keperawatan pasien HIV/AIDS dan
masih banyak pula stigma serta diskriminasi pelayanan yang dilakukan oleh
perawat terhadap pasien HIV/AIDS di Indonesia.
Untuk itu peran perawat dalam advokasi AIDS lebih akan berdampak
ganda yaitu mengurangi resiko infeksi nosokomial AIDS dan meningkatkan peran
26
dalam preventif, promoti dan rehabilitatif dalam penanggualangan AIDS/HIV,
misalnya dengan cara seperti:
1. Membuat LSM atau lembaga penelitian AIDS/HIV
2. Advokasi KIE (komunikasi-informasi dan edukasi) lewat website/internet
3. Mengadakan pelatihan/seminar publik
4. Menjaring tokoh perawat Indonesia dalam penanggulangan AIDS/HIV agar
masyarakat lebih mengenal keperawatan lebih maju dan modern
5. Mengoptimalkan pemanfaatan dana hibah/grant lewat bidang keperawatan
AIDS/HIV
6. Membuat SOP Askep AIDS/HIV
Selain hal diatas tentu komunikasi terapeutik harus dilakukan perawat
dengan kliennya, hal ini akan memberikan terapi tidak hanya untuk ODHA namun
juga kepada keluarga dari si penderita. Diharapkan dengan komikasi terapeutik
dapat menumbuhkan rasa saling percaya dan juga dapat memotivasi sehingga
ODHA tidak akan mengalami stress yang dapat memperburuk kondisinya. Hingga
pada akhirnya peran perawat Indonesia dalam penanggulangan, perawatan,
pencegahan dan pengobatan AIDS/HIV menuju jalan maj, tidak ragu terlebih lagi
mundur kebelakang.
27
BAB III. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Mewujudkan Kesetaraan dan Keadilan gender (KKG) bukanlah
merupakan suatu yang mudah, tetapi memerlukan perjuangan yang ekstra
keras karena hal ini berkaitan erat dengan perubahan nilai budaya atau
konstruksi sosial budaya yang telah berurat akar di masyarakat. Namun
demikian, karena semua nilai budaya yang ada di masyarakat adalah bentukan
manusia, maka pada prinsipnya hal ini bisa diubah tetapi memerlukan proses
yang panjang. Melalui upaya yang serius dan berkesinambungan maka secara
lambat laun ideologi gender yang bersifat merugikan salah satu jenis kelamin
akan dapat dikikis sehingga pada gilirannya kesetaraan dan keadilan gender
dimasyarakat Indonesia pada umumnya dan di Magelang khususnya akan
dapat terwujud. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender berarti
masyarakat kita telah mampu memenuhi salah satu kesepakatan Millenium
Development Goals (MDGs) yang telah menjadi komitmen Internasional.
Upaya dalam meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan
perempuan mengalami kenaikan dari tahun ketahun baik di Indonesia, Jawa
Tengah, maupun Magelang walaupun tidak mencapai angka yang maksimal.
Hal ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan budaya yang masih banyak
ditemui di daerah sekitar kita.
B. SARAN
Dalam pencapaian MDGs yang ketiga yaitu tentang penyetaraan
gender dan pemberdayaan perempuan membutuhkan waktu yang sangat lama,
untuk itu diperlukan kerja sama antara pemerintah dan masyarakat serta
membutuhkan strategi yang sesuai dengan budaya masyarakat di Indonesia.
Kerja sama yang baik maka akan sangat membantu dalam peningkatan secara
optimal pada tahun 2015.
28
DAFTAR PUSTAKA
Ahdiah, Indah. 2013. Peran-peran Perempuan dalam Masyarakat.
Universitas Tadulako. Tidak diterbitkan.
Fuji Astuti Harahap, Rahma. 2014. Analisis Pengaruh Ketimpangan Gender Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Di Provinsi Jawa Tengah. Universitas Diponegoro. Tidak diterbitkan.
Hamzah, Aisah. 2012. Kebijakan Penanggulangan Kemiskinan Dan Kelaparan Di Indonesia: Realita Dan Pembelajaran. Universitas Hassanudin. Tidak diterbitkan.
Asmanto, Priadi. 2008. Evaluasi Millenium Development Goals (MDGs) Indonesia: Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan. Tidak diterbitkan.
Stalker, peter. 2008. Millennium Development Goals. Jakarta: Tidak
diterbitkan.
29
top related