management airway pada penderita cedera kepala dengan gcs 5
Post on 30-Nov-2015
228 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAGIAN ANESTESIOLOGI,TERAPI INTENSIF LAPORAN KASUS DAN MANAJEMEN NYERI MEI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MANAJEMEN AIRWAY PADA PENDERITA CEDERA KEPALA BERAT GCS 5
OLEH :
Farnisyah Febriani C 111 08 365
PEMBIMBING :dr. Ashari Makmur
KONSULEN :dr. Hisbullah, Sp.An., KIC-KAKV
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIKBAGIAN ANESTESIOLOGI TERAPI INTENSIF DAN MANAJEMEN NYERI
UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR
1
HALAMAN PENGESAHAN
Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa :
Nama : Farnisyah Febriani
NIM : C 111 08 102
Judul : Manajemen Airway Pada Penderita Dengan Cedera
Kepala Berat GCS 5
Telah menyelesaikan tugas laporan kasus dalam rangka kepaniteraan klinik pada
Bagian Anestesiologi, Terapi Intensif dan Manajemen Nyeri Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.
Makassar, Mei 2013
KONSULEN PEMBIMBING
dr. Hisbullah, Sp.An., KIC-KAKV dr. Ashari Makmur
2
LAPORAN KASUS
MANAJEMEN AIRWAY PADA PENDERITA DENGAN CEDERA
KEPALA BERAT GCS 5
I. Identitas Pasien
Nama : Wahyudi
Umur : 15 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : BTN Kumala Sari Makassar
Tanggal MRS : 21-04-2013
RM : 605416
II. Anamnesis
Keluhan Utama : Kesadaran menurun
Anamnesis terpimpin:
Dialami sejak ± 5 jam SMRS, akibat kecelakaan lalu lintas. Riwayat
pingsan (+), riwayat muntah (+), riwayat keluar darah dari hidung dan
telinga (-).
Mekanisme trauma :
Pasien sedang mengendarai sepeda motor, tiba-tiba rem motor tidak
berfungsi, sehingga pasien melompat dari sepeda motornya dan
terjatuh, dimana kepala terlebih dulu membentur aspal. Saat
mengendarai sepeda motor, pasien tidak menggunakan helm.
III. Pemeriksaan fisik
Primary survey:
A : Patent
B : RR=28x/menit
C : TD=130/80 mmHg, N=96x/menit
D : GCS 5 (E1M3V1), pupil anisokor Φ 4 mm/2 mm
E : T=36,5˚C
3
Secondary survey:
Regio frontal
I= edema (+), hematoma (+), ekskoriasi uk 5x3 cm;
P= nyeri tekan sulit dinilai
Regio parietal
I= edema (+), tampak luka lecet uk 6x4 cm
P= nyeri tekan sulit dinilai
IV. Pemeriksaa penunjang
Laboratorium (21/4/2013)
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
WBC 30.24 4.00-10.00 [103/uL]
RBC 4.59 4.00-6.00 [106/uL]
Hb 13.5 12.00-16.00 [g/dL]
HCT 38.6 37.0-48.0 [%]
PLT 249 150-400 [103/uL]
X foto cervical AP (21/4/2013) : Tidak ditemukan kelainan
X foto thorax AP (21/4/2013) : Tidak ditemukan kelainan
CT Scan kepala : EDH temporobasal frontal dextra dan fronto
basal sinistra
V. Diagnosis
TBI GCS 5 (E1M3V1)
VI. Rencana penatalaksanaan
4
Kraniotomi
VII. Penatalaksanaan awal
O2 via intubasi endotrakheal 10 lpm
IVFD RL 28 tpm
Inj. Ceftriaxon 1 gr/12j/iv
Inj. Ranitidin 1 amp/8 jam/iv
Inj. Piracetam 3 gr/8 jam/iv
Pasang neck collar
VIII. Prosedur intubasi endotrakheal
Pasien posisi supine dengan iv line 18 G di tangan kiri, IVFD
RL 28 tpm
Premedikasi fentanyl 100 mcg
Oksigenasi via face mask, lakukan Sellick Manuver
Induksi : propofol 80 mg
Intubasi dengan ETT ID 7,5 sedalam ± 19 cm dengan fasilitas
Atracurium 20 mg
Cek bunyi pernapasan ki=ka, Rh -/-, wh -/-
Fiksasi ETT di sudut kanan bibir
Maintenance: O2 via Jackson and Rich sebesar 8 lpm
Siap transfer ke ruang OK untuk penanganan kraniotomi
TINJAUAN PUSTAKA
5
I. Pendahuluan
Lebih dari 80 persen penderita cedera yang datang ke ruang emergensi
selalu disertai dengan cedera kepala.1 Di Amerika Serikat, insidensi tahunan
dari trauma kepala yaitu sekitar 600 hingga 900 orang per 100.000 populasi.
Terdapat 200 hingga 500 orang dirawat di unit gawat darurat, 150 hingga
250 orang dirawat di rumah sakit dengan Traumatic Brain Injury, dan 20
hingga 30 orang meninggal ( 50% di rumah sakit dan 50% di luar rumah
sakit) per tahunnya. Penyebab utama dari Traumatic Brain Injury antara lain
akibat jatuh (28%), kecelakaan lalu lintas berupa tabrakan kendaraan
bermotor (20%), bertubrukan dengan benda yang bergerak maupun diam
(19%), dan penyebab lainnya.2 Kontribusi paling banyak terhadap cedera
kepala serius adalah kecelakaan sepeda motor, dan sebagian besar
diantaranya tidak menggunakan helm atau menggunakan helm yang tidak
memadai (>85%). Dalam hal ini yang dimaksud dengan tidak memadai
adalah helm yang terlalu tipis dan penggunaan helm tanpa ikatan yang
memadai, sehingga saat penderita terjatuh, helm sudah terlepas sebelum
kepala membentur lantai.1
Di Indonesia sendiri, cedera merupakan salah satu penyebab kematian
utama setelah stroke, tuberkulosis, dan hipertensi. Proporsi bagian tubuh
yang terkena cedera akibat jatuh dan kecelakaan lalu lintas salah satunya
adalah kepala yaitu 6.036 (13,1%) dari 45.987 orang yang mengalami cedera
jatuh dan 4.089 (19,6%) dari 20.289 orang yang mengalami kecelakaan lalu
lintas.2 Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), trauma
pada otak paling sering menimbulkan kematian atau kecacatan permanen
pada seseorang. Pembunuh yang tercepat pada penderita trauma adalah
ketidakmampuan untuk mengantarkan darah yang teroksigenisasi ke otak
dan struktur vital lainnya. Pencegahan hipoksemia memerlukan airway yang
terlindungi, terbuka dan ventilasi yang cukup merupakan prioritas yang
harus didahulukan dibanding yang lainnya. Bagaimana mungkin dapat
memenuhi kebutuhan oksigen apabila jalan napasnya tersumbat, apalagi jika
6
mengalami sumbatan total. Semua penderita trauma memerlukan oksigen.
Oleh karena itu setiap gangguan pada airway harus segera ditangani.
Penatalaksanaan awal terhadap penderita cedera kepala sangat penting
karena akan menentukan hasil akhir yang dicapai. Secondary insult
merupakan musuh utama dalam penatalaksanaan cedera kepala.
Penatalaksanaan penderita cedera kepala di UGD dilakukan secara terpadu
sesuai ATLS (Advanced Trauma Life Support). Dimulai dengan primary
survey, resusitasi, dan penatalaksanaan, secondary survey, stabilisasi dan
transport. Resusitasi dapat dilakukan secara simultan pada saat primary
survey.1 Primary survey meliputi ABCDE (Airway, Breathing, Circulation,
Disability, Exposure).
Gangguan pada airway dapat timbul secara mendadak atau perlahan,
dapat sebagian atau total. Penderita dengan penurunan kesadaran
mempunyai resiko tinggi terhadap sumbatan airway dan sering kali
memerlukan pemasangan airway definitif. Pada penderita trauma terutama
yang mengalami cedera kepala, menjaga oksigenisasi dan mencegah
hiperkarbia merupakan hal yang utama. Apabila airway penderita tersumbat
total atau adanya distress pernapasan maka usaha untuk pemasangan alat
airway definitif (intubasi) harus segera dilakukan.
II. Klasifikasi Cedera Kepala
Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam
berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu
berdasarkan; mekanisme, beratnya cedera, dan morfologi.2
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera
tumpul biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, atau pukulan benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka
tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
7
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam
deskripsi beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu
membuka kedua matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan
berorientasi mempunyai nilai GCS total sebesar 15, sementara pada
penderita yang keseluruhan otot ekstrimitasnya flaksid dan tidak
membuka mata ataupun tidak bersuara maka nilai GCS-nya minimal
atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefinisikan
sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS, maka
penderita cedera otak dengan nilai GCS 9-13 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan. 2,3
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi
keparahan dari Traumatic Brain Injury yaitu :
Tabel 1.1 Klasifikasi keparahan Traumatic Brain Injury
RinganKehilangan kesadaran < 20 menitAmnesia post traumatic < 24 jamGCS = 13-15
SedangKehilangan kesadaran ≥ 20 menit dan ≤ 36 jamAmnesia post traumatic ≥ 24 jam dan ≤ 7 hariGCS = 9-12
BeratKehilangan kesadaran > 36 jamAmnesia post traumatic > 7 hariGCS = 3-8
(Sumber: Brain Injury Association of Michigan, 2005)2
3. Morfologi
Secara morfologi, cedera kepala dapat dibagi atas:2,4
a. Fraktur Kranium
Fraktur cranium dapat terjadi pada atap atau dasar tengkorak,
yang dibagi atas:
1) Fraktur kalvaria :
- Bisa berbentuk garis atau bintang
- Depresi atau non depresi
8
- Terbuka atau tertutup
2) Fraktur dasar tengkorak:
- Dengan atau tanpa kebocoran cerebrospinal fluid (CSF)
- Dengan atau tanpa paresis N.VII
b. Lesi intrakranium
Dapat digolongkan menjadi:
1) Lesi fokal, yang terdiri dari:
- Perdarahan epidural
- Perdarahan subdural
- Perdarahan intraserebral
2) Lesi difus dapat berupa:
- Komosio ringan
- Komosia klasik
- Cedera akson difus
III. Prinsip penanganan awal
Prinsip penanganan awal pada pasien trauma meliputi survei primer
dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah
penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah gangguan
homeostasis otak. Survei sekunder dan tersier yang lebih komprehensif akan
mengikuti pemeriksaan primer
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan
oleh kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi.
Secara umum digunakan panduan sebagai berikut:
a. volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
9
b. kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis,
serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
c. terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
d. pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
e. terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
f. terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
g. terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
h. terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis.
Bila penderita mengalami penurunan kesadaran maka pangkal lidah
kemungkinan akan jatuh kebelakang dan menyumbat hipofaring. Sumbatan
seperti ini dapat segera diatasi dengan melakukan hiperekstensi
(ditengadahkan), tetapi tindakan ini tidak diperbolehkan pada penderita
trauma yang dicurigai mengalami fraktur servikal (patah tulang leher). pada
penderita trauma dengan kecurigaan patah tulang leher maka dapat diatasi
dengan melakukan pengangkatan dagu (Chin lift manuver) atau dengan
mendorong rahang bawah kearah depan (jaw thrust manuver). Airway (jalan
napas selanjutnya dapat dipertahankan dengan oropharyngeal airway (atau
di rumah sakit terkenal dengan gudel) atau dengan menggunakan
nasopharyngeal airway.
Tindakan-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat
menyebabkan atau memperburuk cedera servikal dan spinal. Oleh karena itu
selama melakukan tindakan harus selalu menjaga kestabilan leher pada
posisi segaris (In line immobilization) dengan fikasasi kepala atau
menggunakan Neck Collar (Bidai Leher).
IV. Pengelolaan jalan napas
Memeriksa dan menjaga jalan nafas selalu menjadi prioritas utama.
Jika pasien dapat bicara biasanya jalan nafasnya bersih, tapi pada pasien
yang tidak sadar cenderung memerlukan alat bantu jalan nafas dan ventilasi.
Tanda penting adanya suatu sumbatan meliputi snoring atau gurgling,
stridor, dan pergerakan dada paradoksal. Adanya benda asing harus
10
dipertimbangkan pada pasien yang tidak sadar. Penatalaksanaan jalan nafas
lebih lanjut (seperti intubasi endotracheal, cricothyrotomy, atau
tracheostomy) adalah indikasi jikaterjadi apneu, obstruksi yang menetap,
cedera kepala berat, traumamaxillofacial, trauma tembus leher dengan
hematoma yang luas, atau traumadada yang berat. Trauma cervical jarang pada
pasien yang sadar tanpa gejala nyeri dan nyeri tekan di leher.
Lima kriteria yang menjadi resiko dalam meningkatkan ketidakstabilan
tulang belakang servikal: (1) nyeri leher, (2) nyeri distraksi yang berat, (3) tanda
dan gejala neurologis apapun, (4) intoksikasi, dan (5) kehilangan kesadaran. Fraktur
tulang belakang servikal harus dicurigai jikaada salah satu dari 5 kriteria
tersebut muncul bahkan jika tidak diketahui adanya trauma di atas klavikula.
Bahkan dengan kriteria ini, angka kejadian trauma tulang belakang servikal
kira-kira 2%. Angka kejadian ketidakstabilan tulang belakang servikal meningkat
menjadi 10% pada cedera kepala berat. Untuk mencegah hiperekstensi leher,
manuver Jaw-thrust dianjurkan untuk menjaga jalan nafas. Jalan nafas lewat
mulut dan hidung dapat membantu menjaga patensi jalan nafas.
Pasien tidak sadar dengan trauma mayor harus dipertimbangkan
memiliki resiko terjadinya aspirasi, dan jalan nafas harusdiamankan segera
dengan endotracheal tube atau trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi
aksial yang luas harus dihindari ketika ketidakstabilan tulang belakang
servikal dicurigai. Imobilisasi manual dari kepala dan leher oleh asisten
harus dilakukan untuk menstabilisasikan tulang belakang servikal selama
pemasangan laringoskop (manual in-line stabilization´ atau MILS). Seorang
asisten harus meletakkan tangannya pada sisi kepala, menahan oksiput dan mencegah
adanya rotasi kepala. Pada studi telah mendemonstrasikan pergerakan leher,
khususnya pada C1 dan C2, selama pemberian ventilasi dengan masker dan
pemasangan laringoskop direk tanpa menjaga stabilisasi ( contoh MILS, traksi
aksial, bantal pasir, fore head tape, collar lunak, collar Philadelphia/keras).
Dari semua tehnik ini, MILS mungkin tehnik yang paling efektif,
namun tehnik tersebut membuat pemasangan laringoskop direk menjadi
sulit. Atas alasan tersebut banyak yang menyukai menggunakan intubasi
11
nasal (buta atau fiberoptik) pada pasien yang bernafas spontan dengan
kecurigaan adanya trauma cervical, walaupun tehnik ini ada hubungannya
dengan resiko tinggi terjadinya aspirasi paru. Kebanyakan ahli lebih
menyukai intubasi oral,dan tehnik ini harus dipertimbangkan pada pasien
yang apneu dan yang membutuhkan intubasi secepatnya. Lebih lanjut,
intubasi nasal harusdihindari pada pasien dengan fraktur tulang wajah dan basis cranii.
Jika obturator esophageal telah dipasang, alat tersebut jangan dipindahkan
sampai trakea diintubasi karena kemungkinan adanya regurgutasi.
Trauma laring membuat keadaan bertambah buruk. Trauma terbuka
kemungkinan berhubungan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di leher,
obstruksi dari hematom atau oedem emfisema subcutan, trauma cervical.
Trauma laring tertutup kurang dapat terlihat namun dapat bermanifes
sebagai krepitasi leher, hematom, disfagia, hemoptisis atau fonasi yang
buruk. Intubasi dalam keadaan sadar dengan endotrakeal tube yang kecil
(6.0 pada dewasa) melalui penggunaan laringoskop direk atau bronkoskopi
fiberoptik dengan anesthesia topical dapat dilakukan jika laring dapat
divisualisasikan. Jika trauma wajah dan leher yang tidak memungkinkan
intubasi endotrakeal, maka harus mempertimbangkan trakeostomi dengan
anestesi lokal. Obstruksi akut pada trauma jalan nafas atas mungkin
membutuhkan segera krikotirotomi atau trakeostomi perkutan atau
pembedahan.
Lidah paling sering menyebabkan sumbatan jalan nafas pada kasus-
kasus korban dewasa tidak ada respons, karena pada saat korban kehilangan
kesadaran otot-otot akan menjadi lemas termasuk otot dasar lidah yang akan
jatuh ke belakang sehingga jalan nafas jadi tertutup. Penyebab lainnya
adalah adanya benda asing terutama pada bayi dan anak.
Penguasan jalan nafas merupakan prioritas pada semua korban.
Prosedurnya sangat bervariasi mulai dari yang sederhana sampai yang paling
rumit dan penanganan bedah. Tindakan-tindakan yang lain kecil peluangnya
untuk berhasil bila jalan nafas korban masih terganggu.
12
Beberapa cara yang dikenal dan sering dilakukan untuk membebaskan
jalan nafas antara lain:
a. Angkat dagu tekan dahi (Head tilt and chin lift)
Teknik ini dilakukan pada korban yang tidak mengalami trauma pada
kepala, leher maupun tulang belakang.
b. Pendorongan rahang bawah (jaw thrust)
Teknik ini digunakan sebagai pengganti teknik angkat dagu tekan dahi.
Teknik ini sangat sulit dilakukan tetapi merupakan teknik yang aman
untuk membuka jalan nafas bagi korban yang mengalami trauma pada
tulang belakang. Dengan teknik ini, kepala dan leher korban dibuat
dalam posisi alami atau normal.
c. Penatalaksanaan jalan nafas lebih lanjut (seperti intubasi endotrakheal,
cricotirotomi, atau tracheostomi).
V. Pemeriksaan Jalan Nafas
Setelah jalan nafas terbuka, maka periksalah jalan nafas karena
terbukanya jalan nafas dengan baik dan bersih sangat diperlukan untuk
pernafasan adekuat. Keadaan jalan nafas dapat ditentukan bila korban sadar,
respon dan dapat berbicara dengan penolong. Perhatikan pengucapannya
apakah baik atau terganggu, dan hati-hati memberikan penilaian untuk
korban dengan gangguan mental.
Untuk korban yang disorientasi, merasa mengambang, bingung atau
tidak respon harus diwaspadai kemungkinan adanya darah, muntah atau
cairan liur berlebihan dalam saluran nafas.
VI. Membersihkan Jalan Nafas
a. Posisi Pemulihan
Bila korban dapat bernafas dengan baik dan tidak ada kecurigaan adanya
cedera leher, tulang punggung atau cedera lainnya yang dapat bertambah
parah akibat tindakan ini maka letakkan korban dalam posisi pemulihan atau
dikenal dengan istilah posisi miring mantap.
13
Posisi ini berguna untuk mencegah sumbatan dan jika ada cairan maka
cairan akan mengalir melalui mulut dan tidak masuk ke dalam saluran
napas.
b. Sapuan Jari
Teknik hanya dilakukan untuk penderita yang tidak sadar, penolong
menggunakan jarinya untuk membuang benda yang mengganggu jalan
nafas.
Sebagaimana patokan pada resusitasi awal otak yaitu pendekatan airway,
breathing dan circulasi kemudian tekanan intra kranial. Data klinis
menunjukkan bahwa cedera otak sangat rentan terhadap keadaan hipoksia
dan adanya korelasi yang kuat antara defisit neurologis awal dengan
hipotensi dan hipoksia. Bila memungkinakan penderita dapat diberikan jalan
nafas definitif dengan pemasangan endotracheal tube dengan tujuan
mengamankan jalan nafas, menjamin pertukaran gas, menstabilkan sirkulasi
dan mengelola tekanan intrakranial dengan semestinya.
Kita perlu segera melakukan intubasi bila :
a. GCS kurang dari 8,
b. pasien butuh ventilasi mekanik / kontrol pernafasan,
c. pasien dengan tiba-tiba memburuk akibat TBI, kerusakan ini perlu
pengamatan selama 72 jam setelah cedera awal, tetapi biasanya cukup
dalam 24 jam pertama.
Adanya ketidakpastian integritas tulang vertebra cervicalis,
memerlukan penundaan pada tindakan yang memerlukan ekstensi sendi
atlantooccipial, kecuali bersifat urgensi untuk mengontrol jalan nafas,
keadaan ini direkomendasikan untuk dilakukan stabilisasi leher dahulu.
Sekitar 2 % pasien dengan TBI yang bertahan hidup sampai rumah sakit
menurut data memiliki patah tulang cervik.
Pada pemasangan intubasi pasien TBI tidak dianjurkan melalui
nasopharing karena ditakutkan masuk ke dasar tengkorak, intubasi ini bisa
dilakukan dengan menggunakan fiber optik. Fraktur dasar tengkorak
ditandai dengan adanya cairan cerebro spinal (CSS), rinorhea atau otorhea,
14
hemotimpanum, atau ekimosis di dalam jaringan periorbital atau di belakang
telinga.
Kriteria Intubasi:
a. GCS < 8
b. Pernafasan irregular
c. Frekuensi nafas < 10 atau > 40 kali permenit
d. Volume tidal < 3,5 ml/kgBB
e. Vital capacity < 15 ml/kgBB
f. PaO2 < 70 mmHg
g. PaCO2 > 50 mmHg
VII. Intubasi Endotrakeal
Tindakan pembedahan terutama yang memerlukan anestesi umum
diperlukan teknik intubasi endotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah suatu
tehnik memasukkan suatu alat berupa pipa ke dalam saluran pernafasan
bagian atas.
Tujuan dilakukannya intubasi endotrakeal untuk mempertahankan
jalan nafas agar tetap bebas, mengendalikan oksigenasi dan ventilasi,
mencegah terjadinya aspirasi lambung pada keadaan tidak sadar, tidak ada
refleks batuk ataupun kondisi lambung penuh, sarana gas anestesi menuju
langsung ke trakea, membersihkan saluran trakeobronkial.
Pipa endotrakeal digunakan untuk menghantarkan gas anestesi
langsung ke trakea dan memfasilitasi ventilasi dan oksigenasi. Pipa
endotrakeal terbuat dari plastik Polyvinyl Chlorida yang merupakan cetakan
dari bentukan jalan nafas. Bahan dari ETT harus bersifat radioopaq untuk
mengetahui posisi ujung distal ke karina dan transparan agar dapat dilihat
sekresi atau aliran udara yang dibuktikan oleh adanya pengembungan uap
air pada lumen pipa selama ekshalasi. Pipa Murphy memiliki lubang
15
(Murphy eye) untuk menurunkan resiko oklusi bagian bawah pipa yang
berbatas langsung dengan carina atau trakea.
Faktor dari pipa endotrakeal seperti ukuran pipa endotrakeal, desain
pipa endotrakeal, desain kaf pipa endotrakeal, tekanan intrakaf, lubrikasi
pipa endotrakeal, zat aditif bahan pembuat pipa endotrakeal, pasien batuk
saat masih memakai pipa endotrakeal, suctioning faring yang berlebihan
selama ekstubasi, insersi pipa lambung (NGT), bahan pembersih pipa
endotrakeal yang digunakan dapat menyebabkan nyeri tenggorok dan suara
serak.
Keterampilan pelaku intubasi seperti intubasi yang dilakukan oleh
orang yang belum berpengalaman sering menyebabkan trauma pada bibir
sering terjadi di sisi kanan bibir atas terjepit diantara bilah laringoskop dan
gigi atas. Keberhasilan intubasi pada laringoskopi pertama juga dikatakan
mempengaruhi insiden komplikasi intubasi endotrakeal. Kesulitan intubasi /
intubasi berulang mempengaruhi timbulnya komplikasi intubasi endotrakeal.
Pada pasien dengan kesulitan intubasi, penatalaksanaan jalan napas menjadi
lebih sulit sehingga lebih mudah terjadi cedera pada jalan napas yang
menyebabkan nyeri tenggorok. Prosedur intubasi dengan menekankan
krikoid selama laringoskopi memfasilitasi visualisasi pita suara sehingga
manuver ini bisa membantu menghindari kerusakan sekitar pita suara yang
disebabkan oleh intubasi yang dipaksakan.
Ada beberapa kontra indikasi bagi dilakukannya intubasi endotrakheal
antara lain :
a. Beberapa keadaan trauma jalan nafas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi. Tindakan yang harus
dilakukan adalah cricothyrotomy pada beberapa kasus
b. Trauma servikal yang memerlukan keadaan imobilisasi tulang vertebra
servical,sehingga sangat sulit untuk dilakukan intubasi
Komplikasi akibat intubasi endotrakeal antara lain nyeri tenggorok,
suara serak, paralisa pita suara, edem laring, laring granuloma dan ulser,
16
glottis dan subglotis granulasi jaringan, trachealstenosis, tracheamalacia,
tracheoesophagial fistula.
VIII. DISKUSI KASUS
Seorang laki-laki umur 15 tahun dengan kesadaran menurun post
kraniotomi masuk ICU RSWS dengan keluhan utama kesadaran menurun dengan
GCS 5 (E1M3V1). Pasien sebelumnya mengalami kecelakaan lalu lintas dimana
pasien terjatuh dengan posisi kepala membentur aspal. Sesaat tiba di UGD,
dilakukan pemeriksaan fisik dan didapatkan hasil: TD=130/80 mmHg,
N=96x/menit, RR=28x/menit, T=36,5˚C dengan GCS=5 (E1M3V1), pupil
anisokor Φ 4 mm/2 mm. Pasien segera diintubasi untuk menjaga stabilitas jalan
napas dan dipasang neck collar.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan nilai lekositosis dengan nilai
WBC= 30.24x103 /ul. Dari gambaran CT Scan menunjukkan adanya perdarahan
epidural di daerah temporobasal frontal dextra dan fronto basal sinistra, sehingga
pasien segera direncanakan kraniotomi.
Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia
merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat dan paling cepat
disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan
napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pencegahan
hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka,
ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen.
Pasien pada kasus ini kemngkinan mengalami penyumbatan jalan napas
yang disebabkan karena muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar.
Pada keadaan penurunan kesadaran akan terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot
lidah sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal lidah akan jatuh ke posterior
menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan napas dan pada
kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu snooring (dengkuran).
Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu
dengan melakukan chin lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman
dilakukan pada penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical).
17
Pemasangan collar brace dilakukan untuk imobilisasi kepala dan leher pasien
sekaligus untuk menghindari manipulasi yang berlebihan dari gerakan leher
sebelum cedera cervical dapat disingkirkan
Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang
ditandai dengan suara napas tambahan berupa gurgling (kumuran), namun pada
kasus ini tidak ditemukan adanya bunyi gurgling. Apabila ditemukan adanya
gurgling, maka pembebasan jalan napas dapat dilakukan dengan cara suction
dengan menggunakan kanul yang rigid (rigid dental suction tip) untuk menghisap
darah dan muntahan yang berada di rongga mulut. Apabila, perdarahan di
orofaring sulit untuk dihentikan dan tetap menutupi jalan nafas maka perlu
dipersiapkan tindakan needle crycothyroidotomi.
Pada kasus ini pasien dalam keadaan tidak sadar, maka dilakukan usaha
untuk mempertahankan jalan napas dengan cara definitif yakni berupa
pemasangan intubasi endotrakeal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan
napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya aspirasi.
Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan monitoring.
Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera
kepala berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 5.
Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor dan penurunan refleks cahaya.
Pupil anisokor merupakan tanda khas adanya hematom epidural, dan pada kasus
ini diperkuat dengan ditemukannya hematom pada daerah temporobasal frontal
dextra dan fronto basal sinistra. Epidural hematom adalah salah satu jenis
perdarahan intrakranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak.
Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura
meter. Epidural hematom merupakan keadaan neurologis yang bersifat emergensi
dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang
lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan yang banyak ke dalam ruang
epidural. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena
dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada salah satu cabang
arteri meningea media yang terletak di bawah tulang temporal dan akan terjadi
sangat cepat. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan
18
tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intrakranial yang
besar. Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil. Pasien tidak
mengalami lucid interval karena pada epidural hematoma dengan trauma primer
berat, pasien langsung tidak sadarkan diri.
Pasien diberikan cairan secukupnya yakni RL sebanyak 28 tpm sebagai
resusitasi korban agar tetap normovolemia sekaligus mencegah terjadinya
hipotensi. Selanjutnya diberikan pengobatan seperti Ranitidin untuk mencegah
perdarahan gastrointestinal.
Pada kasus ini, oleh bagian bedah syaraf pasien direncanakan cito untuk
dilakukan kraniotomi, dimana setelah dikraniotomi, pasien segera ditransfer ke
ICU untuk mendapatkan penanganan intensif.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. I.Japardi, Iskandar DR. dr. SpBS. 2004. Cedera Kepala: Memahami Aspek-aspek Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
2. Segun T, Dawodu, MD, JD, MBA, LLM, FAAPMR, FAANEM. 2013. Traumatic Brain Injury. Accessed on: http://emedicine.medscape.com/article/326510-overview#showall. Update on 6 Maret 2013
3. Ollerton, Joe, Dr. 2007. Emergency Airway Management CPG in the Trauma Patient. Institute of Trauma & Injury Management. Liverpool Hospital.
4. Rao, BK,. Singh, Vinod K., Ray, Sumit,. Mehra, Manju. 2004. Airway Management in Trauma. Volume 8 Issue 2 Page 98-105.
5. Rosner, Greg, BS, MFS, NREMT. 2003. The Important of Airway Management and Oxygenation of the Traumatic Brain Injury Patient. Center for Emergency Medicine, JEMS.
6. Rao, Umamaheswara, Dr. Airway Management in Neurosurgical Patients. 2005. In: Indian Journal Anaesthesi 49(4): 336-343.
7. Cranshaw, Julius, MRCP, FRCA, PhD. Nolan, Jerry, FRCA, FCEM. Airway Management after major trauma. 2006. Continuiting Education in Anaesthesia, Critical Care and Pain. Volume 6 Number 3.
8. Aritonang, Sahat. Hubungan Kadar Gula Darah dengan Outcome Cedera Kepala Tertutup Derajat Sedang-Berat dengan gambaran Ct-Scan dalam batas normal. 2007. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro
20
top related