makna simbolik upacara ritual dalam kesenian … · gambar 3 : hasil kerajinan dhadhak merak gambar...
Post on 06-Mar-2019
243 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MAKNA SIMBOLIK UPACARA RITUAL DALAM KESENIAN REOG
PONOROGO DI DESA KAUMAN, KECAMATAN KAUMAN,
KABUPATEN PONOROGO
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan
guna Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan
Oleh :
Dwi Surya Oktyawan
NIM 10209241014
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SENI TARI
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2014
v
MOTTO
Selalu menjadi diri sendiri dan jangan pernah menjadi orang lain meskipun
mereka tampak lebih baik.
Keberhasilan terutama berarti kebebasan: kebebasan dari kekhawatiran, ketakutan
dan kegagalan. Keberhasilan berarti rasa hormat kepada diri sendiri, terus
menerus mendapatkan kebahagiaan yang lebih rill dan kepuasan dari hidup ini,
mampu mengerjakan lebih banyak bagi yang bergantung kepada Anda dan kasih
sayangnya begitu Anda hargai.
David J.Schwartz (2002:1)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan kepada :
Ayahanda Sumarno dan ibunda Rochini yang telah memberi kebebasan dan
kepercayaan yang besar, kasih sayang yang tidak terhingga, malaikat penjagaku
di Bumi yang selalu mendoakan dan merestui setiap langkahku. Dua orang yang
paling berharga dalam hidupku dan slalu hadir dalam doa, berharap Allah SWT
memberikan kesempatan untuk dapat membanggakan dan membahagiakan
mereka dengan hasil kerja kerasku suatu saat nanti.
Kakak dan adik Mbak Ria, Mas Afwan dan Azza
Ibu Ni Nyoman Seriati M.Hum dan Wenti Nuryani, M.Pd, terimakasih atas
kesabaran dan waktu yang diluangkan untuk membimbing sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
Keluarga kecil di Jogjakarta, sahabat terhebatku Yudha, Faisal, Risa, Pandu,
Yayak, Eyin, Erin, Fio, Aya, Adie, mas Rangga, Dilla, Kak Nugra, Kak Ais, Syam,
Abang, Jatu, Kenny, Ajie dan semua anak Arrow yang telah memberi arti bahwa
bahagia itu sederhana, kebersamaan, sedih senang dan cerita 4 tahun ini tak
hanya menjadi sebuah kenangan, kalian selalu hadir di dalam doaku.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan nikmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi persyaratan
untuk dapat memperoleh gelar sarjana strata satu jurusan Pendidikan Seni Tari.
Penulisan skripsi ini dapat terselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari
beberapa pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terimakasih yang tulus kepada :
1. Prof. Dr. Zamzani, M.Pd selaku Dekan Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Yogyakarta.
2. Bapak Wien Pudji Priyanto DP, M.Pd selaku Kajur Pendidikan Seni Tari
Universitas Negeri Yogyakarta yang telah membantu dalam proses
akademik.
3. Ibu Ni Nyoman Seriati, M.Hum yang dengan tulus dan sabar memberikan
bimbingan dan ilmunya dalam proses penulisan skripsi.
4. Ibu Wenti Nuryani, M.Pd yang dengan tulus memberi bimbingan dan
semangat selama penulisan skripsi.
5. Bapak/Ibu Dosen Pendidikan Seni Tari Universitas Negeri Yogyakarta yang
telah memberi banyak ilmu dan bimbingannya.
6. Bapak Gatot Eko Triyono selaku narasumber.
7. Bapak Edi Purnomo sebagai Ketua Paguyuban Reog Desa Kauman yang
telah memberikan izin dan memfasilitasi selama proses penelitian.
8. Ayahanda Sumarno dan ibunda Rochini yang selalu memberikan doa,
semangat, dan kepercayaan yang teramat besar hingga saat ini.
viii
9. Sahabat super (Eyin, Erin, Fio, Aya, Adie, Kak Nug, Kak Ais, Syam dan
mas Rangga) yang selalu siap memberi bantuan, semangat, dan
kebahagiaan selama ini.
10. Teman – teman Pendidikan Seni Tari 2010 serta semua pihak yang tidak
bisa saya sebutkan satu persatu yang telah membantu sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
Besar harapan penulis agar skripsi ini dapat bermanfaat kendati penulis
menyadari banyak kekurangan dalam bentuk penulisan, oleh karena itu penulis
sangat mengharap kritik dan saran membangun sebagai proses pembelajaran, dan
untuk itu penulis mengucapkan banyak terimakasih.
Yogyakarta, 19 Desember 2014
Penulis,
Dwi Surya Oktyawan
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN ii
PENGESAHAN iii
PERNYATAAN iv
MOTTO v
PERSEMBAHAN vi
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
DAFTAR GAMBAR xii
DAFTAR TABEL xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiv
ABSTRAK xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Fokus Masalah 3
C. Rumusan Masalah 3
D. Tujuan Penelitian 4
E. Manfaat Penelitian 4
BAB II KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teoritik 6
1. Upacara Tradisional 6
2. Upacara Ritual 7
3. Sesaji 10
4. Budaya Jawa....................................................................... 10
5. Kesenian ............................................................................. 12
6. Seni Sebagai Simbol............................................................ 13
7. Reog Ponorogo.................................................................... 14
x
B. Kerangka Berfikir 15
C. Penelitian yang Relevan 16
BAB III METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian 17
B. Setting Penelitian 18
C. Objek Penelitian 19
D. Penentuan Subjek Penelitian 19
E. Data Penelitian 19
F. Metode Pengumpulan Data 20
1. Observasi 20
2. Wawancara 20
3. Dokumentasi 22
G. Teknik Analisis Data 22
H. Uji Keabsahan Data 24
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 27
1. Wilayah Geografis 27
2. Kependudukan/Monografi 28
a. Jumlah Penduduk........................................................... 28
b. Pendidikan..................................................................... 29
c. Pekerjaan....................................................................... 30
d. Budaya dan Adat Istiadat............................................. 33
3. Jenis Kesenian yang Berkembang 33
4. Sejarah Tari Kesenian Reog di desa Kauman 37
5. Topeng Dhadak Merak 42
B. Hasil Pembahasan 44
1. Makna Simbolik Upacara Ritual dalam kesenian Reog 44
a. Menyan 46
b. Wedang Kopi Pahitan..................................................... 47
xi
c. Wedang Gulo Asem....................................................... 48
d. Parem............................................................................. 48
e. Sego Kokoh.................................................................... 49
f. Rokok Grendho............................................................... 50
g. Kembang Kanthil........................................................... 51
h. Arang.............................................................................. 53
2. Langkah-Langkah Upacara Ritual 55
3. Fungsi Upacara Ritual dalam Kesenian Reog 57
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 57
B. Saran 58
DAFTAR PUSTAKA 59
LAMPIRAN 61
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Skema Triangulasi Sumber
Gambar 2 : Peta Desa Kauman
Gambar 3 : Hasil Kerajinan Dhadhak Merak
Gambar 4 : Kesenian Jaranan Thik
Gambar 5 : Kesenian Gajah-Gajahan
Gambar 6 : Dhadak Merak
Gambar 7 : Menyan
Gambar 8 : Wedang Kopi Pahitan
Gambar 9 : Wedang Gulo Asem
Gambar 10 : Parem
Gambar 11 : Sego Kokoh
Gambar 12 : Rokok Grendho
Gambar 13 : Kembang Kanthil
Gambar 14 : Arang
Gambar 15 : Wedang Kembang Telon
Gambar 16 : Memasang Kembang Kanthil Dan Rokok Grendho di Telinga
Dhadak Merak.
Gambar 17 : Bahan-Bahan Yang Dibutuhkan Ditaruh di Depan Dhadak Merak.
Gambar 18 : Sesepuh Desa Duduk Bersila di Depan Dhadak Merak
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 : Jumlah Penduduk Desa Kauman................................ 29
Tabel 2 : Tingkat Pendidikan.................................................... 30
Tabel 3 : Jumlah Pekerja Menurut Mata Pencaharian Penduduk
Desa Kauman ................................................................. 31
Tabel 4 : Jumlah Pemeluk Agama............................................... 32
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Pedoman Observasi
Lampiran 2 : Pedoman Wawancara
Lampiran 3 : Panduan Dokumentasi
Lampiran 4 : Surat Keterangan Penelitian
Lampiran 5 : Surat Ijin Penelitian
xv
MAKNA SIMBOLIK UPACARA RITUAL DALAM KESENIAN REOG
PONOROGO DI DESA KAUMAN, KECAMATAN KAUMAN,
KABUPATEN PONOROGO
ABSTRAK
Oleh:
Dwi Surya Oktyawan
10209241014
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna simbolik yang
terkandung di dalam upacara ritual pada kesenian Reog Ponorogo di desa Kauman,
kecamatan Kauman, kabupaten Ponorogo.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Objek penelitian ini adalah
makna simbolik upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo di desa Kauman,
kecamatan Kauman, kabupaten Ponorogo. Subjek penelitian adalah tokoh
masyarakat, penari dan sesepuh desa Kauman. Teknik pengumpulan data
menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis
data menggunakan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa : (1) Makna simbolik upacara
ritual dalam kesenian Reog Ponorogo adalah sebagai doa kepada Tuhan agar
selalu diberi perlindungan, keselamatan dan kelancaran agar tidak terjadi
halangan-halangan dalam suatu pementasan Reog Ponorogo. (2) Upacara ritual
ini dipimpin oleh sesepuh desa yang mampu dan bisa, pemimpin upacara selain
sebagai sesepuh desa biasanya sudah memiliki jiwa yang kuat sehingga hal-hal
yang bersifat duniawi sudah ditinggalkan. Sesepuh yang melakukan ritual ini
memiliki pantangan yang tidak boleh dilakukan yaitu tidak boleh sombong
(menyepelekan cikal bakal pendiri desa) karena apabila dilanggar akan ada
gangguan dalam pertunjukan kesenian Reog itu sendiri. (3) Sarana upacara ritual
dalam kesenian Reog Ponorogo ini terdiri dari menyan, wedang kopi pahitan,
wedang gulo asem, parem, sego kokoh,rokok grendho, kembang kanthil,arang,
wedang kembang telon dan Dhadak Merak.
Kata kunci : Makna Simbolik, Upacara Ritual, Reog Ponorogo
xv
MAKNA SIMBOLIK UPACARA RITUAL DALAM KESENIAN REOG
PONOROGO DI DESA KAUMAN, KECAMATAN KAUMAN,
KABUPATEN PONOROGO
ABSTRACT
Oleh:
Dwi Surya Oktyawan
10209241014
This study is purposed to describe the simbolic means that lies on Reog
Pornorogo ceremonial rite at Kauman village, Kauman, Ponorogo regency.
This study uses qualitative method. The object of this study is the simbolic
means of the ceremonial rite on Reog Ponorogo art at Kauman Village, Ponorogo
regency. The subject of the study are the community leader, dancer and the elders
of Kauman village. Data are gathered using observation, interview and
documentation method. Data analysis techniques used in this study are data
reduction, presentation and inferring.
The result of the study shows that : (1) The symbolic meaning of
ceremonial rite of Reog Ponorogo were as prayers to God so that the people are to
be given protection, welfare and streamlined so that the staging of Reog Ponorogo
can run smoothly. (2) This ceremonial rite are lead by the elder of the village
whom capable, the leader of the rite besides as the elder of the village usually have
a strong mind that he has abandoned the secular thoughts. The elder that lead this
rite are prohibited to be pompous (underestimate the candidate of village founder)
if this term is violated there will be inference while the Reog art is preformed. (3)
The tools used in Reog Ponorogo ceremonial rite are incense (menyan), bitter coffe
(wedang kopi pahitan), sour sugar (wedang gulo asem), parem, sego kokoh,
grendho cigarette, kanthil flower, coals, wedang kembang telon and Dhadak
Merak.
Keywords : Symbolic Meaning, Ceremonial rite, Reog Ponorogo
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia yang tumbuh dan
berkembang dan dapat menunjukkan ciri dan karakter suatu bangsa.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan sosial masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia melalui belajar. Kebudayaan itu terdiri dari tujuh unsur yaitu
bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian,
organisasi sosial dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979 :
203-204). Keberagaman budaya itu dipengaruhi oleh berbagai faktor,
misalnya letak geografis, mata pencaharian, pola hidup, pola bercocok
tanam dan kepercayaan yang dianut oleh daerah tersebut. Faktor-faktor
tersebut melahirkan sebuah keberagaman budaya, adat istiadat, bahasa
daerah, rumah adat, dan kesenian tradisi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai oleh
Tuhan dengan beraneka ragam kebudayaan. Setiap daerah memiliki
kebudayaan dengan ciri khas dan keunikan masing-masing yang patut
dipelihara kelestariannya, agar tetap menjadi salah satu aset kekayaan
bangsa. Di pulau Jawa terdapat banyak ragam budaya, sehingga menjadi
kebanggaan sekaligus tantangan untuk mempertahankan serta
mewariskannya kepada generasi selanjutnya dengan cara tertulis maupun
lisan.
2
Kabupaten Ponorogo merupakan salah satu kabupaten yang ada di
provinsi Jawa Timur yang dikenal dengan julukan kota Reog atau Bumi
Reog karena daerah ini merupakan asal dari kesenian Reog.
Reog sampai sekarang masih dilestarikan oleh masyarakat di
Kabupaten Ponorogo. Pertunjukan kesenian Reog terdiri dari beberapa
penari yakni, penari Jathil, Bujang Ganong, Warok, Klonosewandono dan
Dhadhak Merak. Kesenian ini muncul dari masyarakat pedesaan yang
sederhana, bentuk penyajiannya juga sederhana. Masyarakat Ponorogo
masih menjaga dengan baik kesenian Reog sebagai seni tradisi khas
Ponorogo.
Sumber ide dari kesenian Reog adalah petilasan kerajaan Bantar
Angin. Untuk menghormatinya maka dibangun tugu Bantar Angin di desa
Kauman, kecamatan Kauman. Pada umumnya kesenian Reog dipentaskan
saat acara bersih desa, perayaan kemerdekaan RI, perayaan pesta
pernikahan, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berhubungan dengan
sosial kemasyarakatan.
Kesenian Reog sebagai produk kreatif masyarakat memiliki tujuan,
kepentingan, dan manfaat yang berkaitan dengan kehidupan sosial
masyarakatnya. Kebutuhan sosial dalam masyarakat seperti hiburan,
upacara, dan kebutuhan lainnya yang bermakna dan memberikan dampak
sosial secara positif dalam kehidupan bersama, tercermin ketika mereka
menyatu dalam suatu kelompok dan saling menyapa di antara mereka.
3
Pementasan kesenian Reog dimulai dengan dilakukannya ritual.
Hal ini dilakukan agar kesenian Reog Ponorogo ini dapat terus
dipertahankan khususnya pada masyarakat Ponorogo. Upacara ritual
dalam kesenian Reog Ponorogo ini menggunakan syarat-syarat sesaji yang
harus disiapkan pada saat upacara ritual berlangsung. Pelaku upacara ritual
adalah sesepuh desa yang mendapat kepercayaan dari masyarakat desa
Kauman serta mampu melakukan ritual tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka peneliti tertarik untuk
meneliti makna simbolik upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo
agar para pembaca dapat mengetahui apa makna yang terkandung dalam
upacara ritual kesenian Reog Ponorogo.
B. Fokus Masalah
Fokus penelitian ini adalah makna simbolik upacara ritual dalam
kesenian Reog Ponorogo di desa Kauman, Kecamatan Kauman,
Kabupaten Ponorogo.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus masalah yang telah dikemukakan di atas, maka
masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
Makna simbolik apa sajakah yang terkandung di dalam upacara ritual
kesenian Reog di Desa Kauman, Kecamatan Kauman, Kabupaten
Ponorogo?
4
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
Mendeskripsikan makna simbolik yang terkandung di dalam
upacara ritual pada kesenian Reog di Desa Kauman, Kecamatan Kauman,
Kabupaten Ponorogo.
E. Manfaat Penelitian
Selain tujuan yang telah diuraikan, penelitian ini diharapakan dapat
memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan memberikan wawasan serta pengetahuan
baru tentang kesenian tradisional kerakyatan dan dapat meningkatkan
apresiasi khususnya pada kesenian Reog Ponorogo agar eksistensi
kesenian ini dapat diketahui secara luas, serta sebagai usaha
pelestarian dan pengembangan kebudayaan nasional.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Masyarakat Desa Kauman
Penelitian ini diharapkan dapat menambah kecintaan terhadap
kesenian Reog Ponorogo serta dapat menambah wawasan budaya
sebagai upaya pelestarian kebuadayaan tradisi.
b. Bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ponorogo
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah bukti otentik
keberadaan kesenian Reog Ponorogo serta sebagai koleksi
5
dokumentasi bagi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten
Ponorogo.
c. Bagi Kelompok Kesenian Reog Ponorogo
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan apresiasi dan lebih
menghargai kesenian yang berkembang di desa Kauman.
d. Bagi Mahasiswa Seni Tari
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan
pertimbangan penelitian selanjutnya serta menambah wawasan
tentang kesenian Reog Ponorogo.
6
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Deskripsi Teori
1. Upacara Tradisional
Upacara adalah bentuk kegiatan manusia dalam hidup bermasyarakat
yang didorong oleh hasrat untuk memperoleh ketentraman batin atau
mencari keselamatan dengan memenuhi tata cara yang ditradisikan dalam
masyarakat (Soekanto, 1985:1). Upacara yang diselenggarakan oleh warga
masyarakat sejak dahulu sampai sekarang dalam bentuk tata cara yang
relatif tetap disebut upacara tradisional. Penyelenggaraan upacara itu
memperlihatkan hubungan manusia dengan kekuatan gaib diatas kekuatan
manusia serta berpengaruh terhadap kehidupan manusia, kekuatan gaib
demikian disebut supranatural atau supernatural. Keselamatan dan
kesejahteraan hidup manusia sangat tergantung kepada kekuatan
supranatural yaitu dengan mengadakan upacara (Soekanto, 1985:1).
Upacara tradisional adalah upacara yang berkaitan dengan peristiwa
alam dan kepercayaan. Upacara digunakan sebagai salah satu sarana untuk
sosialisasi bagi warga masyarakat yang bersangkutan (Hambali, 1985:1).
Salah satu contoh upacara tradisional adalah upacara ritual dalam
kesenian Reog Ponorogo yang dilaksanakan di desa Kauman. Upacara ini
selalu dilakukan oleh masyarakat desa Kauman.
7
2. Upacara Ritual
Upacara ritual sering disebut juga upacara keagamaan. Menurut
Bustanuddin (2006 : 96) upacara yang tidak dipahami alasan konkretnya
dinamakan rites dalam bahasa Inggris yang berarti tindakan atau upacara
keagamaan. Upacara ritual merupakan kegiatan yang dilakukan secara rutin
oleh sekelompok masyarakat yang diatur dengan hukum masyarakat yang
berlaku. Hal ini sesuai dengan pendapat Koentjaraningrat (1984 : 190)
upacara ritual adalah sistem aktifasi atau rangkaian tindakan yang ditata
oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan
dengan bagaimana peristiwa tetap yang biasanya terjadi pada masyarakat
yang bersangkutan. Upacara ritual memiliki aturan dan tata cara yang telah
ditentukan oleh masyarakat atau kelompok pencipta ritual tersebut, sehingga
masing-masing ritual mempunyai perbedaan, baik dalam hal pelaksanaan
ataupun perlengkapannya.
Ritual merupakan salah satu perangkat tindakan nyata dalam beragama,
seperti pendapat Winnick (dalam Syam, 2005 : 17) ritual adalah “a set or
series of acts, usually involving religion or magic, with the sequence
estabilished by traditio”, yang berarti ritual adalah seperangkat tindakan
yang selalu melibatkan agama atau magi, yang dimantapkan melalui tradisi.
Hal tersebut senada dengan pendapat yang diungkapkan Geertz (dalam
Rostiyati, 1994 : 1) adanya ritus, selamatan atau upacara ini merupakan
suatu upaya manusia untuk mencari keselamatan, ketentraman, dan
sekaligus menjaga kelestarian kosmos. Selamatan ini pada hakekatnya
8
merupakan upacara keagamaan yang paling umum di dunia dan
melambangkan kesatuan mistis dan sosial dari mereka yang ikut hadir di
dalamnya. Melalui upacara ritual atau selamatan masyarakat berharap akan
rasa aman dan tidak terjadi bencana.
Menurut Bustanuddin (2006 : 97) ritus berhubungan dengan kekuatan
supranatural dan kesakralan sesuatu. Kerena itu istilah ritus atau ritual
dipahami sebagai upacara keagamaan yang berbeda sama sekali dengan
yang natural, profan dan aktivitas ekonomis, rasional sehari-hari. Ritual
dilakukan sebagai salah satu sarana mencari keselamatan dan bukti nyata
tentang keyakinan yang dimiliki oleh kelompok atau anggota masyarakat
tentang adanya kekuatan yang Maha Dahsyat di luar manusia.
Ritual memiliki kesakralan bagi yang menjalankannya dan dilakukan
rutin baik tiap pekan, bulan, ataupun tahunan. Menurut Koderi (1991 : 109)
upacara ritual adalah upacara yang berkaitan dengan kepercayaan terhadap
kekuatan benda alam dan roh halus atau kekuatan gaib biasanya dilakukan
pada waktu-waktu tertentu, seperti Suran, Sadranan, Sedhekah Laut, dan
Sedhekah Bumi. Sisa-sisa kepercayaan semacam itu juga menyertai dalam
kegiatan menuai padi, mendirikan rumah, dan memelihara benda-benda
yang dianggap keramat. Setiap ritual mempunyai fungsi yang berbeda-beda
tapi tujuanya sama yaitu memohon keselamatan kepada Tuhan.
Upacara tradisional ataupun ritual dilakukan oleh sekelompok
masyarakat atau golongan dengan tujuan keselamatan dan kebaikan bersama
(kelompok). Menurut Supanto (dalam Sunyata, 1996 : 2) upacara tradisional
9
ataupun ritual merupakan kegiatan sosial yang melibatkan para warga dalam
mencapai tujuan keselamatan bersama. Upacara tradisional ataupun ritual
adalah bagian yang integral dari kebudayaan masyarakat. Hal ini terwujud
karena fungsi upacara tradisional bagi masyarakat. Penyelenggaraan upacara
tradisional sangat penting artinya bagi masyarakat pendukungnya. Begitu
juga dengan Upacara Ritual dalam Kesenian Reog Ponorogo yang dilakukan
di desa Kauman, kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo.
Ritual dilakukan masyarakat Jawa sebagai bentuk penyatuan diri dalam
penyembahan terhadap Tuhan. Menurut Jarwanti, (2004 : 4) melalui
kegiatan ritual manusia Jawa ingin mengetahui serta ingin menyatakan
keagamaan itu sendiri, berupaya menyatukan diri dengan sesuatu hal yang
berarti di balik kenyataan fisik, bahkan suatu hal yang transenden. Manusia
yang terbatas tidak mampu mencapainya, karena itulah manusia
menggunakan simbol sebagai media budaya itulah akar simbolisme dalam
budaya Jawa. Karena keterbatasan kekuatan manusia sehingga menciptakan
simbol untuk meminta perlindungan dan keselamatan sebagai usaha untuk
mendekatkan diri kepada Tuhan.
Upacara ritual Jawa merupakan ritual yang dilakukan masyarakat Jawa
atau kelompok kejawen sebagai bentuk penghormatan terhadap para leluhur
dan roh-roh nenek moyang mereka yang diyakini dapat mendatangkan
berkah dan bahaya. Upacara ritual bagi orang Jawa merupakan sesuatu yang
sakral dan mempunyai nilai mistis sehingga kegiatan ritual wajib dilakukan.
10
3. Sesaji
Menurut Koentjaraningrat (2002 : 349) sesaji merupakan salah satu
sarana upacara yang tidak bisa ditinggalkan, dan disebut juga dengan
sesajen yang dihaturkan pada saat-saat tertentu dalam rangka kepercayaan
terhadap makluk halus, yang berada di tempat-tempat tertentu. Sesaji
merupakan jamuan dari berbagai macam sarana seperti bunga, kemenyan,
uang recehan, makanan, yang dimaksudkan agar roh-roh tidak mengganggu
dan mendapatkan keselamatan.
Perlengkapan sesaji biasanya sudah menjadi kesepakatan bersama yang
tidak boleh ditinggalkan karena sesaji merupakan sarana pokok dalam
sebuah ritual. Setiap kegiatan ritual yang dilakukan masyarakat Jawa
mengandung makna simbolik yang terdapat didalamnya, baik dari sesaji,
doa, waktu, dan lain sebagainya. Sesaji mempunyai makna simbolik tertentu
dan dijadikan sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang
Maha Esa.
4. Budaya Jawa
Kebudayaan merupakan hasil budi daya manusia yang tumbuh dan
berkembang dan dapat menunjukkan ciri dan karakter suatu bangsa.
Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya
manusia dalam rangka kehidupan sosial masyarakat yang dijadikan milik
diri manusia melalui belajar. Kebudayaan itu terdiri dari tujuh unsur yaitu
bahasa, kesenian, sistem religi, sistem teknologi, sistem mata pencaharian,
11
organisasi sosial dan sistem ilmu pengetahuan (Koentjaraningrat, 1979 :
203-204).
Jawa (Java), atau sebutan lain Djawa Dwipa atau Jawi adalah pulau
yang terletak di tepi selatan kepulauan Indonesia. Orang Jawa adalah orang
yang memakai bahasa Jawa sebagai bahasa ibu dan merupakan penduduk
asli bagian tengah dan timur pulau Jawa (Suseno, 2003:15).
Orang Jawa itu sendiri berpendapat bahwa kebudayaan tidak
merupakan sesuatu yang homogen. Mereka sadar akan adanya
keanekaragaman yang sifatnya regional, sepanjang daerah Jawa Tengah dan
Jawa Timur. Keanekaragaman regional kebudayaan Jawa ini sedikit banyak
cocok dengan daerah logat bahasa Jawa dan tampak juga dalam unsur-unsur
seperti makanan, upacara-upacara, rumah tangga, kesenian rakyat dan seni
suara (Koentjaraningrat, 1994:25).
Kehidupan masyarakat Jawa tidak dapat dilepaskan dari lingkungan
tempat tinggalnya. Mereka akan selalu bergantung dan berinteraksi dengan
lingkungan hidupnya melalui serangkaian pengalaman dan pengamatannya,
baik secara langsung maupun tidak langsung.
Ponorogo merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang kental akan
budaya Jawa. Salah satu kebudayaannya adalah upacara ritual dalam
kesenian Reog Ponorogo. Kebudayaan ini berlangsung secara turun temurun
dari nenek moyang dan dilestarikan oleh masyarakat Ponorogo khususnya
desa Kauman.
12
5. Kesenian
Kesenian adalah salah satu unsur yang menyangga kebudayaan. Sejauh
mana seseorang mampu menghayati kesenian, maka hal tersebut akan
nampak pada pengekspresiannya terhadap suatu kesenian. Melalui media
kesenian manusia dapat berekspresi sesuai dengan apa yang dirasakan dan
dengan suatu bentuk keindahan (Kayam, 1981: 15). Adapun menurut Ki
Hajar Dewantara, seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dari
perasaannya dan bersifat indah, sehingga mampu menggerakkan jiwa serta
perasaan manusia tersebut (Soedarso, 1990: 1-2). Jadi yang disebut dengan
seni adalah karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-
pengalaman batinnya, dan pengalaman batin tersebut disajikan secara indah
atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin juga
kepada manusia lain yang menghayatinya (Soedarso, 1990: 5).
Seni adalah kegiatan rohani manusia yang merefleksikan realitas
(kenyataan) dalam suatu karya yang berkat bentuk dan isinya mempunyai
daya membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam rohani si
penerimanya (Miharja, 1961:17). Kesenian universal dapat dipahami dan
dimaknai sebagai refleksi kehidupan manusia yang dituangkan ke dalam
ekspresi.
Apabila setiap manusia mempelajari jejak-jejak peninggalan pada masa
lampau, maka akan diperoleh gambaran bahwa kesenian itu tumbuh dan
berkembang sejajar dengan perkembangan kehidupan manusia di muka
bumi ini.
13
6. Seni Sebagai Simbol
Simbol dalam kehidupan manusia memegang peranan penting, karena
dengan simbol manusia dapat menungkapkan atau menyatakan gagasan
pikiran, atau maksud seseorang kepada orang lain. Bentuk simbol atau
lambang dapat berupa bahasa (cerita, perumpamaan, pantun, syair,
peribahasa), gerak tubuh (tari), suara atau bunyi (lagu, musik), warna dan
rupa (lukisan, hiasan, ukiran, bangunan) (Wiryanarta dalam Herusatoto,
1983:14). Simbol baik yang berupa benda atau kata-kata merupakan media
komunikasi di dalam kehidupan manusia untuk mengekspresikan gagasan
atau ide.
Smith (1985: 290), mengungkapkan dalam suatu tulisan tentang manusia
sebagai makhluk yang mampu menggunakan simbol, menunjuk pentingnya
konteks dalam makna simbol. Smith (1985: 310), berpendapat bahwa tanpa
suatu kompleks simbol, pikiran relasional tidak akan mungkin terjadi.
Manusia memiliki kemampuan untuk mengisolasi hubungan dan
mengembangkannya dalam makna abstrak.
Manusia berfikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan
yang simbolis. Ungkapan-ungkapan simbolis ini merupakan ciri khas
manusia yang membedakannya dari hewan. Cassirer (1990:41) menegaskan,
bahwa manusia adalah animal symbolicum artinya pemikiran simbolis dan
tingkah laku simbolis merupakan ciri yang betul-betul khas manusiawi dan
bahwa seluruh kemajuan kebudayaan manusia mendasarkan diri pada
kondisi-kondisi itu. Hanya manusia yang dapat melakukan simbolisasi
14
terhadap sesuatu. Manusia merupakan makhluk yang mampu menggunakan,
mengembangkan, dan menciptakan lambang-lambang atau simbol-simbol
untuk berkomunikasi dengan sesamanya (Ahimsa dalam Sumandiyo,
2003:54). Penggunaan simbol dalam wujud budaya, tentunya dilakukan
penuh kesadaran, pemahaman, dan penghayatan yang tinggi, serta dianut
secara tradisional dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap
oleh manusia sebagai ciri khas sesuatu yang lain. Suatu simbol menstimulasi
atau membawa suatu pesan yang mendorong pemikiran atau tindakan.
Begitu juga yang terdapat pada masyarakat desa Kauman yang penuh
dengan simbol-simbol dalam upacara ritual kesenian Reog Ponorogo.
7. Reog Ponorogo
Reog ini dikenal sebagai tari rakyat Ponorogo yang digemari
masyarakat dan mempunyai berbagai nilai. Selain itu nilai-nilai yang ada di
dalamnya mengandung pesan moral yang bisa membentuk moral generasi
muda yang ada di Ponorogo. Kesenian Reog diperkirakan lahir sekitar tahun
1235 dan mengalami perkembangan dalam bentuk penyajiannya.
Kesenian Reog merupakan salah satu dari sekian banyak jenis kesenian
yang ada di daerah Kabupaten Ponorogo yang mengalami perkembangan
dan kemajuan yang sangat pesat pada tahun 1994. Reog Baku merupakan
hasil standardisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Ponorogo pada tahun 1994. Standardisasi tersebut terjadi mulai dari gerakan
15
Reog yang tidak teratur dan menurut selera penari masing-masing, menjadi
gerakan yang memiliki patokan-patokan baku. Selain gerak yang dibakukan,
dalam Reog jenis ini unsur-unsur tari yang lain juga ikut dibakukan. Tujuan
pembakuan ini agar kesenian tersebut mudah untuk dipelajari oleh
masyarakat umum, dengan tujuan supaya keberadaan kesenian Reog tetap
dilestarikan. Dengan dibakukannya gerakan kesenian Reog tersebut, hal itu
bertujuan untuk proses pembelajaran dalam pendidikan dan dapat
dimasukkan dalam kurikulum sekolah baik sebagai mata pelajaraan
ekstrakurikuler maupun intrakurikuler. Hingga sekarang Reog Baku
dipentaskan untuk festival-festival Reog dan untuk diajarkan pada siswa-
siswa SMP dan SMA guna melestarikan kesenian ini agar tidak punah.
B. Kerangka Berfikir
Simbol atau lambang adalah suatu hal atau keadaan yang
merupakan perantara sebagai jembatan pola fikir manusia untuk memaknai
suatu objek dengan suatu pemahaman makna. Manusia berfikir,
berperasaan dan bersikap diungkapkan melalui sebuah simbol. Sepanjang
sejarah peradaban manusia simbolisme telah mewarnai tindakan-tindakan
manusia baik tingkah laku, bahasa, ilmu pengetahuan maupun religinya
serta setiap produk hasil kebudayaan.
Upacara ritual sebagai hasil produk kebudayaan sudah barang tentu
memiliki makna di dalamnya. Setiap hasil karya manusia pasti memiliki
maksud dan tujuan. Upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo
16
tentunya juga memiliki makna simbolis di dalamnya. Dengan demikian,
peneliti tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang makna simbolik
upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo di desa Kauman, kecamatan
Kauman, kabupaten Ponorogo. Hal tersebut dianggap penting karena
pemahaman simbol akan membuka wawasan masyarakat tentang begitu
besarnya makna yang terkandung dalam upacara ritual kesenian Reog
Ponorogo sehingga akan menambah nilai positif dalam pelestariannya di
masyarakat.
C. Penelitian Relevan
Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang telah
dilakukan yaitu:
Penelitian yang dilakukan oleh Aprilia Priastuti mahasiswa
Universitas Negeri Yogyakarta Fakultas Bahasa Dan Seni tahun 2013
yang berjudul “ Nilai-Nilai Sosiologis Dalam Kesenian Reog Obyog Di
Desa Kauman Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo” dalam
penelitian ini mengungkapkan dan mendeskripsikan tentang bagaimana
sejarah kesenian Reog Obyog, fungsi keseniannya dan nilai-nilai sosial
yang terkandung dalam kesenian Reog Obyog Di Desa Kauman
Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Hasil penelitian tersebut
memiliki relevansi dengan penelitian yang dilakukan yakni, Reog yang
ditinjau dari nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang ada dan juga makna
simbolik yang terkandung di dalamnya.
17
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Sebuah penelitian harus menggunakan metode yang dapat
dipertanggung jawabkan kebenarannya oleh penelitinya. Dengan demikian
apa yang menjadi tujuan sebuah penelitian dapat tercapai, sehingga metode
penelitian yang digunakan harus sesuai objek, jenis dan tujuan penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif karena
permasalahan yang akan diteliti belum jelas, dinamis, kompleks dan memiliki
kedalaman makna, sehingga mengharuskan peneliti untuk terjun secara
langsung memahami situasi sosial yang terjadi secara mendalam.
Metode penelitian kualitatif merupakan sebuah metode penelitian
yang memandang realitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh, kompleks,
dinamis dan penuh makna. Penelitian dilakukan pada objek yang alamiah dan
berkembang apa adanya tanpa ada manipulasi dan campur tangan peneliti.
Dalam penelitian kualitatif, peneliti merupakan instrumen utama (human
instrument) sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi
(gabungan). Analisis data bersifat induktif berdasarkan data yang ditemukan
di lapangan agar mendapatkan data yang memiliki kedalam makna
(Sugiyono, 2012:34).
Dari pernyataan mengenai kualitatif di atas peneliti berupaya
mengungkapkan makna simbolis yang terkandung di dalam upacara ritual
18
kesenian Reog Ponorogo, kemudian menganalisis dan mendeskripsikannya
berdasarkan keadaan yang sebenarnya di lapangan.
B. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Kauman, Kecamatan Kauman,
Kabupaten Ponorogo. Desa Kauman merupakan salah satu desa yang ada di
Kabupaten Ponorogo yang masih mempertahankan kesenian Reog sebagai
kebanggaan desa. Wilayah tersebut dipilih sebagai setting penelitian
dikarenakan Desa Kauman, Kecamatan Kauman merupakan salah satu desa
yang terkenal dengan Reognya. Hal tersebut disebabkan adanya tugu Bantar
Angin yang merupakan petilasan kerajaan Bantar Angin sebagai sumber
cerita dalam kesenian Reog.
Untuk memasuki setting penelitian, peneliti melakukan beberapa
usaha untuk menjalin keakraban dengan para informan. Usaha yang ditempuh
peneliti antara lain, (1) memperkenalkan diri, menyampaikan maksud dan
tujuan kedatangan apa saja yang akan dilakukan, dan berapa lama waktu yang
dibutuhkan peneliti untuk mengadakan penelitian, (2) menetapkan waktu
pengumpulan data sesuai dengan perizinan yang diperoleh peneliti, (3)
melakukan pengambilan data dengan bekerja sama secara baik dengan para
informan.
19
C. Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah makna simbolik upacara ritual
dalam kesenian Reog Ponorogo di desa Kauman, kecamatan Kauman,
kabupaten Ponorogo.
D. Penentuan Subjek Penelitian
Subjek penelitian ini terdiri dari para penari, mantan penari, tokoh
masyarakat, seniman daerah, masyarakat, serta narasumber dari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ponorogo yang mengetahui tentang
kesenian Reog. Berikut ini adalah keseluruhan informan penelitian yang
bersedia memberikan keterangan dan dapat dijadikan sebagai sumber data
penelitian.
E. Data Penelitian
Data dalam penelitian ini adalah kumpulan informasi yang
diperoleh melalui berbagai sumber, baik sumber yang diperoleh secara
langsung melalui wawancara dengan para nara sumber yang mengetahui
tentang kesenian Reog, rekaman video, foto-foto, maupun data-data yang
berupa dokumen yang dimiliki oleh instansi atau lembaga yang berkaitan
dengan penelitian. Selain data-data tersebut didukung juga oleh data-data
yang berupa catatan-catatan yang diperoleh selama dilakukannya observasi.
20
F. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data-data yang diperlukan dalam penelitian ini,
dilakukan beberapa cara. Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pengumpulan data sebagai berikut.
1. Observasi (Pengamatan)
Observasi dilakukan dengan melihat secara langsung
pertunjukan kesenian Reog. Pada saat observasi, peneliti mengamati
dan mencermati prosesi sebelum pementasan berlangsung, sehingga
peneliti bisa mengetahui secara jelas yang dibutuhkan penari dan
persiapan penari sebelum pentas. Pementasan Reog yang dipentaskan
saat observasi tersebut untuk memperingati dan menjemput datangnya
bulan purnama. Pementasan tersebut berlangsung sore hari. Observasi
secara langsung yang dilakukan oleh peneliti mulai dari persiapan
pementasan hingga pementasan berakhir ini bertujuan agar diperoleh
data yang relevan dan objektif.
2. Wawancara
Dalam tahapan ini, peneliti menemui beberapa nara sumber
yang mengetahui seluk beluk seputar kesenian Reog. Metode ini
dilakukan untuk mencari data dan informasi yang diperlukan serta
sejelas-jelasnya dari informan seperti penari, mantan penari, seniman,
tokoh masyarakat, dan orang-orang yang terlibat dalam kesenian
Reog. Peneliti terjun langsung ke lapangan agar dapat mengetahui
21
dengan jelas keadaan masyarakat serta lebih akrab dengan
narasumber. Adapun narasumber utama yang telah diwawancara
adalah Gatot Eko Triono (45 tahun, Pelatih kesenian Reog), Mbah
Daman (70 tahun, sesepuh Reog), Mbah Tobron (78 tahun, sesepuh
Reog). Pada proses pencarian data melalui wawancara, peneliti
melakukan wawancara dengan narasumber utama tersebut sebanyak
satu kali, namun disaat peneliti merasa ada yang perlu ditanyakan
yang dilakukan adalah melakukan wawancara kembali. Selain
narasumber utama, ada juga narasumber pendukung yang telah
diwawancara, antara lain Sugiyono (39 tahun, penari Dhadhak
Merak), Sumarno (54 tahun, pengrawit), Poniman (52 tahun, lurah
Desa Kauman). Masing-masing narasumber tersebut diwawancarai
sebanyak satu kali. Pada saat melakukan wawancara, peneliti
menggunakan panduan wawancara yang telah dipersiapkan
sebelumnya. Hal ini dilakukan agar wawancara yang dilakukan lebih
terarah dan memperoleh data yang diperlukan untuk keperluan
penelitian. Proses wawancara dilakukan dengan perekaman, agar hasil
wawancara dapat tersimpan dengan baik. Selain itu, hasil wawancara
tersebut didengar kembali agar data-data yang diperlukan untuk
menjawab pertanyaan penelitian benar-benar lengkap, dan jika masih
ada kekurangannya dilakukan wawancara kembali.
22
3. Dokumentasi
Data berupa foto dan video didapatkan melalui
pendokumentasian dengan cara pengambilan gambar objek dengan
menggunakan kamera digital maupun handycam pada saat
pertunjukan berlangsung. Dokumentasi yang berupa gambar foto
maupun gambar video bertujuan untuk melengkapi data-data yang
telah diperoleh sebelumnya yaitu observasi dan wawancara. Dari
semua data yang telah dikumpulkan tersebut, kemudian dilakukan
pengecekan ulang agar diperoleh data yang lebih reliabilitas untuk
memberikan gambaran tentang makna simbolik upacara ritual dalam
kesenian Reog. Data yang berupa foto dan video diperoleh secara
langsung saat upacara ritual dilakukan serta sebagian dokumentasi
tersebut diperoleh dari Kantor Desa Kauman.
G. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengaturan dan pengorganisasian
data ke dalam suatu pola, kategori, dan satuan uraian dasar yang dapat
memberikan arti penting terhadap analisis, menjelaskan pola uraian dan
mencari hubungan di antara dimensi-dimensi (Moleong, 2000: 103). Data-
data yang terkumpul melalui beberapa teknik pengumpulan tersebut
selanjutnya disusun dalam satu kesatuan data. Data-data tersebut
diklasifikasikan menurut jenis, sifat, dan sumbernya. Cara demikian
dilakukan mengingat permasalahan yang berkaitan dengan upacara ritual
23
dalam kesenian Reog relatif kompleks meliputi wujud dan isi dalam
upacara ritualnya. Dalam hal ini, analisis data diarahkan pada tercapainya
usaha mengkaji makna simbolik upacara ritual yang terkandung dalam
kesenian Reog.
Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif, sehingga
data-data tersebut digambarkan dengan kata-kata atau kalimat-kalimat.
Data-data yang terkumpul akan dianalisis secara kualitatif. Peneliti
memaparkan dan berusaha mengembangkan rancangan yang telah
diperoleh dari hasil observasi dan wawancara sesuai dengan topik
permasalahan. Tahap-tahap yang ditempuh peneliti adalah sebagai berikut.
1. Reduksi Data
Reduksi data dapat diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data
“kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi
data berlangsung terus-menerus selama proses penelitian kualitatif
berlangsung (Miles dan Huberman, 1992: 16). Pada tahap reduksi ini,
peneliti mencatat dan merangkum uraian panjang kemudian memisah-
misahkan dan mengklasifikasikan data mengenai upacara ritual dalam
kesenian Reog menjadi beberapa kelompok sehingga lebih mudah dalam
menganalisis.
24
2. Display Data
Display atau penyajian data merupakan sekumpulan informasi
tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Dalam langkah ini, peneliti menampilkan data-data
yang sudah diklasifikasikan sehingga mendapatkan gambaran secara
keseluruhan mengenai makna simbolik upacara ritual dalam kesenian
Reog.
3. Pengambilan Kesimpulan
Setelah hasil reduksi dan display data diperoleh, maka langkah
terakhir yang peneliti lakukan adalah mengambil kesimpulan sesuai
dengan objek penelitian. Data yang disajikan dalam bentuk teks deskriptif
tentang upacara ritual dalam kesenian Reog diambil kesimpulan atau garis
besar sesuai dengan objek penelitian. Dalam langkah-langkah tersebut,
peneliti menganalisis data menjadi suatu catatan yang sistematis dan
bermakna, sehingga pendeskripsian menjadi lengkap.
H. Uji Keabsahan Data
Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sesuatu yang lain dari luar data itu untuk pengecekan atau
sebagai perbandingan dari data itu. Ada tiga macam triangulasi yaitu
sumber, peneliti, dan teori. Triangulasi sumber berarti peneliti mencari data
lebih dari satu sumber untuk memperoleh data, misalnya pengamatan dan
25
wawancara. Triangulasi peneliti berarti pengumpulan data lebih dari satu
orang dan kemudian hasilnya dibandingkan dan ditemukan kesepakatan.
Triangulasi teori artinya mempertimbangkan lebih dari satu teori atau acuan
(Moleong, 2000: 178).
Ide tentang triangulasi bersumber dari ide tentang multiple
operationism yang mengesankan bahwa kesahihan temuan-temuan dan
tingkat konfidensinya akan dipertinggi oleh pemakaian lebih dari satu
pendekatan untuk pengumpulan data.
Tujuan menggunakan metode triangulasi, adalah untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik apabila dibandingkan dengan
menggunakan satu metode saja dalam suatu penelitian. Kelebihannya adalah
bisa mendapatkan akurasi data dan kebenaran hasil yang diinginkan, dapat
meningkatkan kedalaman pemahaman peneliti baik mengenai fenomena
yang diteliti maupun konteks dimana fenomena itu muncul. Kekurangannya
adalah perlu adanya tambahan waktu, biaya serta tenaga yang dibutuhkan
dalam pelaksanaannya. Sebagai tehnik pengecekan keabsahan data
triangulasi secara sederhana dapat disimpulkan sebagai upaya untuk
mengecek data dalam suatu penelitian, dimana peneliti tidak hanya
menggunakan satu sumber data, satu metode pengumpulan data atau hanya
menggunakan pemahaman pribadi peneliti saja tanpa melakukan
pengecekan kembali dengan peneliti lain.
Berdasarkan triangulasi di atas, maka triangulasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber yaitu membandingkan dan
26
mengecek informasi yang diperoleh dalam pendokumentasi, observasi, dan
wawancara mendalam tentang kesenian Reog. Data yang diperoleh melalui
wawancara diupayakan berasal dari banyak responden, kemudian
dipadukan, sehingga data yang diperoleh akan benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan.
Pengecekan data tersebut dengan mewawancarai penari, mantan
penari, seniman, tokoh masyarakat, dan orang-orang yang berkompeten di
bidang seni. Adapun model triangulasi yang digunakan dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.
Triangulasi Sumber :
Observasi
Wawancara Dokumentasi
Gambar 1. Skema Triangulasi
27
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Wilayah Geografis
Kecamatan Kauman merupakan salah satu kecamatan yang ada
di Kabupaten Ponorogo, dengan luas wilayah 36,61 Km². Secara
geografis Kecamatan Kauman terletak antara 7 ° 51’58 – 56’’ Lintang
Selatan dan 111 ° 24’31 – 78’’ Bujur Timur. Wilayah Kecamatan
Kauman ini terletak pada ketinggian antara 150 meter sampai dengan
200 meter dari permukaan air laut. Adapun batas-batas wilayah
Kecamatan Kauman sebagai berikut :
- Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Sukorejo,
- Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Balong,
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Sampung,
dan
- Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Badegan.
Secara geografis, kecamatan Kauman terletak di arah Barat
Kabupaten Ponorogo dengan jumlah desa sebanyak 16. Di antara
desa-desa tersebut, Kauman merupakan desa yang menjadi tempat
untuk melakukan penelitian tentang kesenian Reog.
Desa Kauman memiliki luas 401 ha, dengan jarak tempuh ke
ibu kota kecamatan sejauh 1 Km, sementara jarak tempuh ke ibu kota
kabupaten sejauh 8 Km. Jarak tempuh Desa Kauman ke ibu kota
28
provinsi sejauh 220 Km. Desa Kauman mayoritas masyarakatnya
bermata pencaharian sebagai petani. Baik petani tanaman padi,
jagung, kacang kedelai, dan sebagainya.
Gambar 2. Peta Desa Kauman
(Sumber Data: Kantor Desa Kauman 2014)
2. Kependudukan/Monografi
a. Jumlah Penduduk
Secara administratif Kecamatan Kauman terdiri atas 16
desa seperti yang tertera sebelumnya, dan terbagi lagi menjadi 114
RW, 309 RT, serta 50 dusun. Desa Kauman merupakan salah satu
desa di kabupaten Ponorogo. Luas wilayah dari Desa Kauman itu
adalah 401 ha yang di dalamnya terdiri atas 13 RW dan 36 RT.
Jumlah penduduk Desa Kauman berdasar data yang diperoleh
berjumlah 6.201 jiwa yang terdiri atas 1768 KK dengan jumlah
29
3.142 orang laki-laki dan 3.059 orang perempuan. Lebih jelasnya
lihat pada table di bawah ini.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Desa Kauman
Jenis Kelamin Jumlah
Laki-laki
Perempuan
3.142
3.059
Jumlah total 6.201
Sumber Data : Kantor Desa Kauman 2014
b. Pendidikan
Dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, maka
dibutuhkan sarana dan prasarana pendidikan yang memadai. Pada
dasarnya pendidikan sebenarnya tidak hanya terdapat dilingkup
formal saja, namun pendidikan juga terdapat di lembaga-lembaga
informal. Pendidikan yang terdapat di lembaga formal misalkan
saja Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan
Perguruan Tinggi. Adapun pendidikan informal bisa diperoleh dari
kursus, pendidikan dari keluarga, dan sebagainya.
Berdasarkan data dari Kantor Desa Kauman dapat dilihat
tingkat pendidikan yang ada di wilayah tersebut. Tingkat
pendidikan tersebut tentu saja akan berkaitan dengan daya
kreatifitas, pola pikir, dan daya cipta seseorang terhadap suatu
30
kesenian. Desa Kauman memiliki 7 unit gedung sekolah yang
terdiri atas 1 gedung untuk Sekolah Menengah Atas (SMA), 1
gedung untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP), 2 gedung untuk
Sekolah Dasar (SD), dan 3 gedung untuk Taman Kanak-Kanak
(TK). Berikut ini tingkat pendidikan di Desa Kauman, Kecamatan
Kauman, Kabupaten Ponorogo.
Tabel 2. Tingkat Pendidikan
No. Pendidikan
Jenis kelamin
Jumlah Laki-laki Perempuan
1. S2 4 1 5
2. S1 220 213 433
3. D3 12 11 23
4. D2 34 38 72
5. D1 5 9 14
6. SMA 635 639 1274
7. SMP 565 575 1140
8. SD 781 782 1563
Sumber Data: Kantor Desa Kauman 2014
c. Pekerjaan
Masyarakat atau penduduk Desa Kauman memiliki mata
pencaharian yang beraneka ragam, misalkan sebagai petani/buruh
tani, Pegawai Negeri Sipil (PNS), pengrajin industri rumah tangga,
montir, pembantu rumah tangga, karyawan, sopir, dan sebagainya.
Data terperinci tentang mata pencaharian penduduk Desa Kauman
dapat dilihat pada tabel berikut.
31
Tabel 3. Jumlah pekerja menurut mata pencaharian
penduduk Desa Kauman
Sumber Data : Kantor Desa Kauman 2014
D
a
Sumber Data : Kantor Desa Kauman 2014
Dari tabel yang tertera di atas dapat dilihat, bahwa sebagian besar
masyarakat Desa Kauman bermata pencaharian sebagai petani, baik petani
pemilik lahan maupun petani penggarap. Petani di Desa Kauman
merupakan petani tradisional yang masih menggunakan patokan musim
untuk menentukan jenis tanaman yang akan ditanam di lahan pertanian.
Saat musim kemarau, para petani menanam palawija, antara lain: kacang
hijau, jagung, kedelai, dan sebagainya. Adapun pada musim penghujan,
para petani menanam padi, sebagai makanan pokok warga Desa Kauman.
No Jenis Pekerjaan Jumlah Penduduk
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
Petani/ buruh tani
PNS
Pengrajin industri rumah tangga
Montir
Pembantu rumah tangga
TNI
Polri
Seniman
Karyawan
Sopir
Tukang becak
Tukang cukur
Tukang batu/kayu
Pengusaha
3520
121
891
5
23
5
6
19
42
5
5
8
65
81
Jumlah 4796
32
d. Agama
Keyakinan atau agama itu adalah suatu keyakinan yang muncul
dari hati nurani dan biasanya diajarkan turun-temurun.
Berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Desa Kauman,
penduduk Desa Kauman sebagian besar memeluk agama Islam.
Fasilitas peribadatan agama yang ada di Desa Kauman terdiri dari
30 masjid dan 6 mushola/langgar. Sementara penganut agama lain
adalah agama Kristen. Data tersebut dapat dilihat dalam tabel di
bawah ini.
Tabel 4. Jumlah pemeluk agama
Jumlah
Penduduk
Agama
Islam Kristen Katolik Hindu Budha
6.201 6.172 29 - - -
Sumber Data: Kantor Desa Kauman 2014
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa hampir seluruh
penduduk, Desa Kauman memeluk dan menganut agama Islam.
Hal ini dikarenakan Kota Ponorogo adalah pusat kota santri yang
terkenal di Asia Tenggara yang terletak di Gontor. Bukan hanya di
Kauman saja, namun mayoritas penduduk di beberapa daerah
Kabupaten Ponorogo memang memeluk agama Islam.
33
e. Budaya dan Adat-Istiadat
Kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Ponorogo
dipengaruhi oleh kebudayaan dan adat-istiadat masyarakat Jawa
Tengah. Beberapa budaya masyarakat Ponorogo adalah Larung
Risalah Doa, Grebeg Suro, dan Kirab Pusaka. Masyarakat
Ponorogo memiliki adat-istiadat yang sangat khas yaitu , becekan
(suatu kegiatan dengan mendatangi dan memberikan bantuan
berupa bahan makanan; beras, gula, dan sejenisnya kepada
keluarga, tetangga atau kenalan yang memiliki hajat pernikahan
atau khitanan) dan sejarah (silahturahmi ke tetangga dan sanak
saudara pada saat hari raya Idul Fitri yang biasa dilakukan dengan
mendatangi rumah orang yang berumur lebih tua).
3. Jenis Kesenian Yang Berkembang
Kesenian berasal dari kata seni yang mempunyai pengertian
sebagai karya manusia yang mengkomunikasikan pengalaman-
pengalaman batinnya dan pengalaman batin tersebut disajikan secara
indah atau menarik sehingga merangsang timbulnya pengalaman batin
juga kepada manusia lain yang menghayatinya (Soedarso, 1990: 5).
Kesenian yang tumbuh dan berkembang di kecamatan Kauman yaitu:
1. Kesenian Reog merupakan salah satu kesenian yang ada di
kabupaten Ponorogo yang berkembang sangat pesat. Sampai saat
ini kesenian Reog merupakan simbol identitas kabupaten Ponorogo
34
sehingga dalam kancah regional, nasional maupun internasional
kabupaten Ponorogo dikenal sebagai kota Reog. Kesenian Reog
diperkirakan lahir sekitar tahun 1235 dan mengalami
perkembangan yang pesat dalam pertumbuhannya. Perkembangan
ini menunjukkan bahwa kesenian Reog Ponorogo benar-benar
diminati oleh masyarakat. Kesenian Reog terbagi menjadi tiga
yaitu Reog Pusaka, Reog Baku, dan Reog (wawancara Pak Gatot
tanggal 11 Agustus 2014).
2. Kesenian wayang kulit adalah salah satu kesenian yang digemari di
Ponorogo dan biasanya dilaksanakan di alun-alun serta tampak
ramai dengan permainan dan tontonan tradisional.
3. Kesenian campur sari merupakan perpaduan antara musik
tradisional dengan tembang jawa.
4. Kesenian karawitan yaitu kesenian yang memainkan lagu jawa
dengan diiringi alat musik yang disebut gamelan.
5. Kesenian thek thur yaitu jenis kesenian yang memainkan alat
musik pukul yang terbuat dari bambu.
6. Sentra pengrajin Dhadhak Merak yaitu topeng yang digunakan
dalam tarian Reog yang menggunakan serangkaian bulu-bulu
merak. Topeng ini berukuran panjang sekitar 2,25 meter, lebar
sekitar 2,3 meter dan beratnya mampu mencapai 50 kilogram.
35
Gambar 3. Hasil kerajinan Dhadhak Merak
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
7. Jaranan thik adalah satu jenis tarian jalanan dengan beberapa
penari. Tarian Ini dimainkan oleh satu orang pemain yang disebut
celengan (babi), jaranan (kuda lumping), dan ulo-ulonan (ular).
Tidak ada pakem untuk jumlah penari jaranan thik. Hal ini
disesuaikan dengan keadaan lingkungannya.
Gambar 4. Kesenian Jaranan Thik
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
36
8. Hadrah dan Samprah adalah kesenian yang menggunakan musik
shalawatan atau pujian-pujian. Alat musik yang digunakan hampir
sama dengan alat musik pada kesenian Gajah-gajahan pada zaman
dahulu. Karena kedua kesenian ini sama-sama berfungsi sebagai
sarana dalam syi’ar Islam dan pada awalnya berkembang
dilingkungan santri atau pondok pesantren.
9. Kesenian Gajah-gajahan adalah kesenian yang ditarikan oleh
seorang penari yang duduk diatas Gajah-gajahan yang dipanggul
oleh dua orang penari laki-laki.
Gambar 5. Kesenian Gajah-gajahan.
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
37
4. Sejarah Kesenian Reog di Desa Kauman
Reog dimanfaatkan sebagai sarana mengumpulkan massa dan
merupakan saluran komunikasi yang efektif bagi penguasa pada waktu
itu. Ki Ageng Mirah kemudian membuat cerita legendaris mengenai
Kerajaan Bantaranangin yang oleh sebagian besar masyarakat
Ponorogo dipercaya sebagai sejarah. Adipati Batorokatong yang
beragama Islam juga memanfaatkan barongan ini untuk menyebarkan
agama Islam. Nama Singa Barongan kemudian diubah menjadi Reog,
yang berasal dari kata Riyoqun, yang berarti khusnul khatimah yang
bermakna walaupun sepanjang hidupnya bergelimang dosa, namun
bila akhirnya sadar dan bertaqwa kepada Allah, maka surga
jaminannya. Selanjutnya kesenian reog terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman. Kisah reog terus menyadur cerita
ciptaan Ki Ageng Mirah yang diteruskan mulut ke mulut, dari generasi
ke generasi (Wawancara dengan Pak Gatot, 09 Agustus 2014).
Menurut legenda Reog atau Barongan bermula dari kisah
Demang Ki Ageng Kutu Suryonggalan yang ingin menyindir Raja
Majapahit, Prabu Brawijaya V. Sang Prabu pada waktu itu sering tidak
memenuhi kewajibannya karena terlalu dipengaruhi dan dikendalikan
oleh sang permaisuri. Oleh karena itu dibuatlah barongan yang terbuat
dari kulit macan gembong (harimau Jawa) yang ditunggangi burung
merak. Sang prabu dilambangkan sebagai harimau sedangkan merak
yang menungganginya melambangkan sang permaisuri. Selain itu agar
38
sindirannya tersebut aman, Ki Ageng melindunginya dengan pasukan
terlatih yang diperkuat dengan jajaran para warok yang sakti
mandraguna. Di masa kekuasaan Adipati Batorokatong yang
memerintah Ponorogo sekitar 500 tahun lalu, reog mulai berkembang
menjadi kesenian rakyat. Pendamping Adipati yang bernama Ki Ageng
Mirah menggunakan reog untuk mengembangkan kekuasaannya
(Wawancara dengan Pak Gatot, 09 Agustus 2014).
Versi lain dari cerita kesenian Reog yang berkembang di desa
Kauman diperkirakan lahir sekitar tahun 1235 dan mengalami
perkembangan dalam bentuk penyajiannya. Kesenian Reog merupakan
salah satu dari sekian banyak jenis kesenian yang ada di daerah
Kabupaten Ponorogo yang mengalami perkembangan dan kemajuan
yang sangat pesat pada tahun 1994. Reog Baku merupakan hasil
standardisasi yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten
Ponorogo pada tahun 1994. Standardisasi tersebut terjadi mulai dari
gerakan Reog yang tidak teratur dan menurut selera penari masing-
masing, menjadi gerakan yang memiliki patokan-patokan baku. Selain
gerak yang dibakukan, dalam Reog jenis ini unsur-unsur tari yang lain
juga ikut dibakukan. Tujuan pembakuan ini agar kesenian tersebut
mudah untuk dipelajari oleh masyarakat umum, dengan tujuan supaya
keberadaan kesenian Reog tetap dilestarikan. Dengan dibakukannya
gerakan kesenian Reog tersebut, hal itu bertujuan untuk proses
pembelajaran dalam pendidikan dan dapat dimasukkan dalam
39
kurikulum sekolah baik sebagai mata pelajaraan ekstrakurikuler
maupun intrakurikuler. Saat ini Reog Baku dipentaskan untuk festival-
festival Reog dan menjadi materi pembelajaran di sekolah-sekolah baik
di SMP dan SMA, dengan tujuan melestarikan kesenian Reog agar
tidak punah (Wawancara dengan Pak Gatot, 09 Agustus 2014).
Perkembangan ini menunjukkan bahwa kesenian Reog
Ponorogo benar-benar diminati oleh masyarakat (wawancara Pak Gatot
pada tanggal 09 Agustus 2014). Kesenian Reog pada dasarnya
membawakan kisah tentang raja Bantar Angin ketika meminang puteri
raja Kediri, Dewi Songgolangit yang berakhir dengan kegagalan.
Peristiwa tersebut terjadi sekitar abad ke 13 (sekitar tahun 1200 M) di
Desa Somoroto, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo. Kerajaan
Bantar Angin dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Kelono
Sewandono, seorang raja muda gagah berani, tampan, dan perkasa
dengan pusaka andalan miliknya yang bernama cemeti Samandiman
(Wawancara dengan Pak Gatot, 09 Agustus 2014).
Kerajaan Bantar Angin memiliki patih yang bernama patih
Pujonggo Anom atau Bujang Ganong, dia merupakan adik dari Prabu
Kelono Sewandono. Bujang Ganong memiliki wajah yang jelek karena
dia terkena sumpah dari raja Kediri bahwa topeng yang dipakainya
tidak bisa lepas dari wajahnya. Kisah inilah yang kemudian menjadi
inspirasi kesenian Reog Ponorogo (Soemarto, 2009: 34).
40
Menurut Soemarto (2009: 37), setelah sang patih Bujang
Ganong menghadap dan menyampaikan maksud dan tujuannya datang
di Kediri, maka terkejutlah Prabu Kertojoyo (raja Kediri). Sangat tidak
diduga jika yang menghadap tersebut adalah seorang patih, karena
wajahnya dinilai sangat jelek. Raja tersebut berpikir, jika patihnya
berpenampilan seperti itu, kemungkinan besar Raja Bantar Angin tidak
akan jauh berbeda dengan wujud patihnya. Raja Kediri merasa berat
hati apabila harus menerima lamaran itu untuk puterinya, namun di sisi
lain raja Kediri tersebut khawatir jika menolak lamaran tersebut
Bujang Ganong akan marah, sedangkan kesaktian raja maupun patih
dari Bantar Angin terkenal sangat sakti. Pada akhirnya raja Kediri
menyodorkan berbagai persyaratan antara lain membuat suatu
pertunjukan dengan iringan gamelan yang belum pernah ada dan
ditarikan oleh harimau dan burung merak. Pada hari yang telah
disepakati berangkatlah rombongan dari kerajaan Bantar Angin
menuju ke kerajaan Kediri, disaksikan oleh rakyat Bantar Angin dan
diiringi dengan suara gamelan yang belum pernah ada di muka bumi.
Gamelan tersebut terbuat dari bambu dan diberi nama gong Gumbeng
(wawancara Pak Gatot 10 Agustus 2014). Rombongan tersebut terdiri
dari Prabu Kelono Sewandono, Patih Bujang Ganong, pasukan
berkuda, para warok, dan warokan yang memainkan gong Gumbeng.
Di tengah-tengah perjalanan, rombongan itu dihadang oleh
kelompok Singo Lodra, orang sakti yang memiliki ilmu hitam dan bisa
41
menjelma menjadi seekor macan jadi-jadian. Pertempuran heboh pun
terjadi antara Raja Bantar Angin dan Singo Lodra. Singo Lodra
akhirnya bisa dilumpuhkan dengan cemeti Samandiman. Bersoraklah
para rombongan dengan membunyikan gong Gumbeng. Suasana itu
bertambah heboh di saat ada seekor burung merak besar yang hinggap
di kepala harimau jadi-jadian tersebut. Raja Bantar Angin
menginginkan kejadian yang baru saja terjadi itu dijadikan sebuah
pertunjukan yang akan dipersembahkan untuk memenuhi persyaratan
raja Kediri. Sampai di Kediri, rombongan diterima, ketika Dewi
Songgolangit akan dipertemukan dengan Raja ia ditemukan telah mati
karena bunuh diri. Prabu Kelono Sewandono akhirnya memutuskan
untuk kembali ke Bantar Angin beserta rombongannya (Wawancara
dengan Pak Gatot, 09 Agustus 2014).
Nama kesenian yang ditujukan untuk lamaran tersebut oleh
Prabu Kelono Sewandono dinamakan kesenian Reog. Kata Reog
berasal dari kata sak-riyeg yang mempunyai arti sangat banyak. Kata
“banyak” bersumber dari banyaknya masyarakat yang menyaksikan
Prabu Kelono Sewandono bersama rombongannya saat akan melamar
Dewi Songgolangit (Wawancara dengan Pak Gatot, 09 Agustus 2014).
Selain itu, kata Reog juga diambil dari kata reyat-reyot (berjalan
terseok-seok). Kata tersebut bersumber dan diambil dari peristiwa
kelelahan yang dialami oleh rombongan dari Bantar Angin menuju
Kediri. Mereka berjalan sudah tidak dapat tegak lagi dan terseok-seok.
42
Waktu demi waktu kesenian tersebut juga semakin populer dan
disenangi oleh masyarakat (Wawancara dengan Pak Gatot, 09 Agustus
2014).
5. Topeng Dhadak Merak
Mendengar kata kesenian Reog Ponorogo tentulah gambaran di
benak kita adalah burung Merak yang hinggap di atas kepala Harimau
yang dipadu dengan seperangkat gamelan pelog slendro. Sebagai
komponen utama kesenian Reog, kapala Harimau (Barongan) dan bulu -
bulu burung Merak (yang disebut Dhadak Merak) mempunyai nilai -
nilai yang sangat penting dalam pertunjukan kesenian reog. Misalnya,
ada gamelan lengkap tetapi tidak ada Dhadak Merak namanya bukanlah
Reog, ada Dhadak Merak namun tidak ada gamelan pengiringnya,
suasana tidak akan hidup. Betapa pentingnya keberadaan Dhadak
Merak dalam pertunjukan Reog Ponorogo. Dua binatang Harimau dan
Merak ini memang mempunyai suatu mitos tersendiri yang saling
terkait. Mitos - mitos tentang hewan banyak mengilhami seniman jaman
dahulu untuk membuat suatu kesenian atau pemujaan. Kesenangan
burung merak memamerkan bulunya mengilhami untuk diwujudkan
dalam sebuah seni. Tarian burung merak menduduki kedudukan
istimewa dalam cerita rakyat, mitologi kesenian, kerajinan tangan dan
kesusastraan (wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014).
43
Lain burung merak, lain lagi dengan Harimau. Keperkasaan
harimau sudah tidak diragukan lagi, karena sebutan yang melekat pada
dirinya adalah Raja Hutan. Meskipun Harimau adalah binatang buas
namun keindahan kulitnya, ketajaman matanya, taring sudah membuat
pesona tersendiri bagi yang melihatnya. Perpaduan antara keindahan,
kewibawaan, keangkuhan, keganasan, kemolekan inilah yang membuat
kesenian Reog mempunyai sifat yang mirip dengan kedua binatang itu,
angkuh dan egois tetapi menyimpan suatu keindahan yang luar biasa
(wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014).
Gambar 6. Dhadak Merak
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
44
Dhadak Merak dipercaya oleh warga desa Kauman sebagai
perantara doa paling cepat kepada nenek moyang agar diberikan ijin
dalam melaksanakan pertunjukan kesenian Reog Ponorogo dan diberi
kelancaran selama pertunjukan. Topeng dalam Reog Ponorogo bisa
memiliki arti sebagai pengubah atau pembentuk ekspresi muka. Bentuk
dan struktur bidang muka topeng tidak harus selalu sama dengan manusia.
Seperti topeng Dhadak Merak yang merupakan simbolisasi karakter
khayalan.
Topeng Dhadak Merak diwujudkan dengan bentuk campuran
binatang harimau dan merak sehingga membentuk binatang khayal.
Gambaran ini menunjukkan :
1. Gaya atau bentuk representasinya
2. Unsur yang direpresentasikan atau disimbolkannya. Harimau melambangkan
kekuatan, kekuasaan. Merak melambangkan kecantikan, keanggunan. Merak di
atas harimau menggambarkan kekuatan dan kekuasaan dibawah kendali
kecantikan (wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014).
B. Pembahasan
1. Makna Simbolik Upacara Ritual dalam Kesenian Reog
Masyarakat desa Kauman, kecamatan Kauman, kabupaten
Ponorogo secara turun temurun mengadakan upacara ritual sebelum
pementasan kesenian Reog dimulai. Seperti halnya kesenian lain, kesenian
45
Reog juga memiliki beberapa prosesi yang dilakukan sebelum pertunjukan
dimulai. Persiapan dilakukan selama kurang lebih 15 menit.
Upacara ritual ini diadakan di tempat yang akan digunakan untuk
pementasan Reog, biasanya dilakukan di rumah yang punya hajat. Waktu
pelaksanaan upacara ritual ini adalah sebelum dimulai pementasan Reog.
Upacara ritual dipimpin oleh sesepuh desa yang mampu dan bisa,
pemimpin upacara selain sebagai sesepuh desa biasanya sudah memiliki
jiwa yang kuat sehingga hal-hal yang bersifat duniawi sudah ditinggalkan.
Sesepuh yang melakukan ritual ini memiliki pantangan yang tidak boleh
dilakukan yaitu tidak boleh sombong (menyepelekan cikal bakal pendiri
desa) karena apabila dilanggar akan ada gangguan dalam pertunjukan
kesenian Reog itu sendiri. Tidak ada yang berubah dari upacara ritual ini
sejak dulu sampai sekarang (wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9
Agustus 2014).
Adapun sarana ritual ini terdiri dari menyan, wedang kopi pahitan,
wedang gula asem, parem, sego kokoh dan beberapa lainnya yang masing-
masing memiliki makna tersendiri yang merupakan representasi dari
filosofi hidup masyarakat setempat. Adapun makna sarana tersebut sebagai
berikut :
46
a. Menyan
Gambar 7. Menyan
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
Suhardi (1992:65) mengungkapkan bahwa asap kemenyan yang
dibakar merupakan sarana untuk memanggil arwah leluhur untuk hadir dan
berkenan menerima sesaji yang telah disediakan untuk kemudian
memberkahinya, sehingga masyarakat mendapatkan kenikmatan dalam
hidupnya.
Makna simbolis kemenyan yang disebutkan di atas sesuai dalam
upacara ritual kesenian Reog Ponorogo yaitu sebagai penghantar doa
kepada Tuhan. Selain itu kemenyan sebagai sarana memanggil arwah
leluhur untuk hadir dan berkenan menerima sesaji yang telah disediakan
untuk kemudian memberkahinya serta pertunjukkan Reog berjalan dengan
lancar (wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014).
47
b. Wedang Kopi Pahitan
Gambar 8. Wedang kopi pahitan
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
Wedang kopi merupakan minuman tradisional yang cukup populer
di Indonesia. Wedang kopi pahitan adalah minuman kopi yang tidak
diberi gula. Tujuan dari wedang kopi ini konon melambangkan dari
ajaran Sunan Kalijaga yang selalu mengingatkan untuk mengatur syariat
arah hidup, bahwa manusia dalam perjalanan hidupnya tidak selalu
mulus namun sering juga menemukan hambatan. Makna simbolik kopi
pahitan ini mengingatkan kepada seluruh orang yang terlibat dalam
pementasan Reog baik dari yang punya hajat, penari, pengrawit dan
penonton untuk bersandar pada Tuhan Yang Maha Esa dalam menjalani
kehidupannya, terutama dalam melewati rintangan kehidupan untuk
48
selanjutnya mencapai tujuan hidup yang lebih baik (wawancara dengan
Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014).
c. Wedang Gulo Asem
Gambar 9. Wedang Gulo Asem
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
Wedang gulo asem disini adalah sebagai perlambang untuk
memperingati Panembahan Suryongalam supaya diberikan kecerahan hati.
Suryongalam adalah pepunden atau pendiri tanah Jawa (wawancara
dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014). Alkaf (2013: 219-220)
menyebutkan bahwa wedang gulo asem dimaknai sebagai wedang yang
membuat kemepyar yang melambangkan doa dan harapan yang
dipanjatkan agar kesenian Reog yang ditampilkan dapat dikenal oleh
masyarakat luas.
d. Parem
49
Parem adalah sejenis minuman yang dibuat dari asam, kunyit, gula dan
garam yang direbus kemudian diambil airnya. Makna simbolisnya adalah
supaya lega dan supaya semua pihak termasuk dari yang punya hajat,
penari, pengrawit dan penonton merasakan ketenangan hati. Makna
wedang parem juga melambangkan agar manusia selalu merasa marem
(puas) dalam menjalani kekurangan dan kelebihan yang ada dalam
kehidupan sehingga dapat senantiasa hidup dalam ketenangan hati
(wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014).
Gambar 10. Parem
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
e. Sego Kokoh
Sego kokoh melambangkan kemakmuran dan untuk keselamatan para
anggota paguyuban kesenian Reog dan masyarakat tersebut (wawancara
50
dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014). Jandra (1990:175)
menambahkan bahwa nasi putih melambangkan keberuntungan dan
penyajian nasi tersebut mengundang permohonan agar semua pihak yang
terlibat dalam upacara dapat selamat dan dikabulkan permohonannya.
Dengan demikian makna sego kokoh yaitu untuk meminta keselamatan
dan kemakmuran.
Gambar 11. Sego kokoh
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
Sajian sego kokoh yang memiliki komponen lauk yang berupa
tempe dan tahu memiliki peran simbolik bahwa setiap manusia
hendaknya dapat berbaur dengan siapa saja agar dapat hidup makmur dan
tentram, dengan tetap bermanfaat bagi sesama (Alkaf, 2013: 20).
51
f. Rokok Grendho
Rokok grendho ini dikenal dengan sebutan “ Bakune Roso Kang
Pokok” yang artinya adalah rasa penjiwaan pada harimau. Jadi
diharapkan penari Dhadak Merak ketika menarikan tarian ini dapat
menyatu dengan Reog (wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus
2014).
Gambar 12. Rokok Grendho
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
g. Kembang Kanthil
Kembang kanthil ini memiliki sebutan Seng Ngetutne (yang
mengikuti jiwa raga). Rokok grendho dan kembang kanthil ini harus
jadi satu. Dengan tujuan supaya penari Dhadak Merak bisa satu rasa
dengan Dhadak Merak sehingga bertujuan agar seolah-olah topengnya
bisa hidup dan menyatu seperti harimau (wawancara dengan Pak Edi
Purnomo, 9 Agustus 2014).
52
Gambar 13. Kembang Kanthil
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
Alkaf (2013: 22) menyebutkan bahwa kembang kanthil merupakan
simbol pengingat yang menyiratkan bahwa untuk meraih ilmu spiritual
serta meraih kesuksesan lahir dan batin maka setiap orang tidak cukup
hanya dengan memohon doa, dimana kesadaran spritual tidak akan bisa
dialami secara lahir dan batin tanpa adanya penghayatan akan nilai-nilai
luhur dalam kehidupan sehari-hari (lakutama atau perilaku yang
utama). Kembang kanthil berarti pula adanya tali rasa atau tansah
kumanthil-kanthil yang bermakna kumanthil kepada Tuhan serta
bermakna pengabdian yang tiada terputus untuk senantiasa bermanfaat
kepada seluruh umat manusia.
53
h. Arang
Digunakan sebagai alat atau media untuk membakar menyan. Arang
terbuat dari hasil pembakaran kayu. Kayu dalam kehidupan masyarakat
desa Kauman sangat penting karena memiliki banyak manfaat. Arang
yang berwarna hitam dalam upacara ritual kesenian Reog Ponorogo
melambangkan keagungan (wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9
Agustus 2014).
Gambar 14. Arang
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
i. Wedang Kembang Telon
Wedang kembang telon terdiri dari bunga mawar, melati, kenanga.
Bunga mawar melambangkan keberanian, bunga melati melambangkan
suci hati dan bunga kenanga melambangkan agar kita selalu mengenang
warisan leluhur. Jadi ketiga hal tersebut dapat diseleraskan maka akan
mendatangkan hal positif supaya semua mulai dari yang punya hajat,
54
penari, pengrawit dan penonton merasakan ketenangan hati (wawancara
dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014).
Gambar 15. Wedang Kembang Telon
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
Alkaf (2013: 22) menambahkan bahwa wedang kembang telon
biasanya menggunakan bunga mawar putih, mawar merah dan kanthil,
atau melati dan kenanga. Telon berasal dari kata telu (tiga) dimana
diharapkan dapat meraih tiga kesempurnaan dan kemuliaan dalam
hidup yang sering disebut tri tunggal jaya sampurna. Tiga
kesempurnaan dalam hidup antara lain sugih banda, sugih ngelmu dan
sugih kuasa yang bermakna kaya harta, kaya ilmu dan tinggi derajatnya.
55
2. Langkah-langkah upacara ritual
Terdapat beberapa langkah yang harus diperhatikan dalam upacara
ritual kesenian Reog supaya sesuai dengan apa yang sudah diwariskan oleh
para leluhurnya secara turun temurun. Adapun langkah-langkah yang
dilakukan dalam prosesi ini adalah :
a. Memasang Dhadak Merak.
b. Memasang kembang kanthil dan rokok grendho di telinga Dhadak Merak.
c. Sesaji yang dibutuhkan ditaruh di depan Dhadak Merak.
d. Sesepuh desa duduk bersila di depan Dhadak Merak kemudian bakar
menyan dan berdoa sambil membakar menyan, setelah selesai kemudian
menyan yang tadi dibakar diusapkan pada mata, telinga, rambut, hidung,
dan mulut Dhadak Merak.
e. Setiap akan memulai prosesi dan ritual gamelan Reog tidak boleh
dibunyikan.
Beberapa prosesi tersebut akan terlihat jelas pada gambar di bawah ini :
Gambar 16. Memasang Kembang Kanthil Dan Rokok Grendho di Telinga
Dhadak Merak
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
56
Gambar 17. Sesaji Yang Dibutuhkan Ditaruh di Depan
Dhadak Merak.
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
Gambar 18. Sesepuh Desa Duduk Bersila di Depan Dhadak
Merak
(Foto: Dwi Surya, 10 Agustus 2014)
57
3. Fungsi Upacara Ritual dalam Kesenian Reog
Suatu upacara dan sistem simbol-simbol yang ada mempunyai fungsi
tertentu. Sehubungan dengan fungsi upacara adat keagamaan Subur Budhiantoso,
(1948 : 18) mengemukakan bahwa fungsi dari upacara yang ideal dapat dilihat
dalam kehidupan sosial budaya masyarakat pendukungnya yaitu adanya
pengendalian sosial, media sosial serta norma sosial.
Upacara ritual dalam kesenian Reog pada masyarakat Desa Kauman
memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :
a. Sebagai doa kepada Tuhan agar selalu diberi perlindungan, keselamatan dan
kelancaran agar tidak terjadi halangan-halangan dalam suatu pementasan Reog
(wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014).
b. Sebagai persembahan untuk alam agar diberikan ijin kepada cikal bakal
(pendiri daerah sekitar) agar diberikan keselamatan dan ritual ini wajib
dilakukan apabila ada pementasan Reog di desa Kauman. Apabila ritual ini
tidak dilakukan di desa Kauman biasanya akan terjadi sesuatu hal pada penari
contohnya adalah kesurupan dan keseleo pada penari Dhadak Merak dan yang
paling mempunyai resiko besar adalah penari Dhadak Merak dan Bujang
Ganong (wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9 Agustus 2014)
c. Supaya topeng Dhadak Merak yang digunakan dalam pementasan kesenian
Reog Ponorogo terlihat hidup atau seolah-olah harimau sungguhan dan bisa
menyatu dengan penari Dhadhak Merak, serta penari Dhadak Merak kuat
untuk mengangkat dan menarikan topeng Dhadak Merak tersebut. Topeng
dalam Reog Ponorogo bisa memiliki arti sebagai pengubah atau pembentuk
58
ekspresi muka, seperti topeng Dhadak Merak yang merupakan simbolisasi
karakter harimau dan burung merak (wawancara dengan Pak Edi Purnomo, 9
Agustus 2014).
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.
1. Makna simbolik upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo adalah
sebagai doa kepada Tuhan agar selalu diberi perlindungan, keselamatan
dan kelancaran agar tidak terjadi halangan-halangan dalam suatu
pementasan Reog Ponorogo
2. Upacara ritual ini dipimpin oleh sesepuh desa yang mampu dan bisa,
pemimpin upacara selain sebagai sesepuh desa biasanya sudah memiliki
jiwa yang kuat sehingga hal-hal yang bersifat duniawi sudah ditinggalkan.
Sesepuh yang melakukan ritual ini memiliki pantangan yang tidak boleh
dilakukan yaitu tidak boleh sombong (menyepelekan cikal bakal pendiri
desa) karena apabila dilanggar akan ada gangguan dalam pertunjukan
kesenian Reog itu sendiri.
3. Sarana upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo ini terdiri dari
menyan, wedang kopi pahitan, wedang gulo asem, parem, sego
kokoh,rokok grendho, kembang kanthil,arang, wedang kembang telon dan
Dhadak Merak.
58
B. Saran
Kesenian Reog merupakan kesenian yang ada di Kabupaten Ponorogo.
Kesenian Reog memiliki fungsi dan makna simbolik di dalamnya, maka
peneliti mengajukan beberapa saran sebagai berikut.
1. Pemerintah Kabupaten Ponorogo melalui Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata hendaknya lebih memperhatikan keberadaan kesenian Reog
yang merupakan salah satu kekayaan budaya daerah. Upaya tersebut dapat
dilakukan dengan seringnya menampilkan kesenian Reog pada acara-acara
yang berkaitan dengan tradisi yang ada di Kabupaten Ponorogo khususnya
Desa Kauman.
2. Untuk masyarakat, khususnya di Desa Kauman, harus lebih mengenal
kesenian Reog, tetap menjaga, dan melestarikan upacara ritual dalam
kesenian tersebut.
3. Kelompok kesenian Reog Desa Kauman, hendaknya lebih menjaga,
melestarikan, dan mengembangkan kesenian tersebut sehubungan dengan
fungsi-fungsi serta makna simbolik yang melekat pada kesenian Reog.
59
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. 2006. Agama dalam Kehidupan Manusia / Pengantar
Antropologi Agama. Jakarta. PT Raja Grafindo.
Alkaf, Mukhlas. 2013. Berbagai Ragam Sesajen pada Pementasan Tari Rakyat
dalam Ritual Slametan. Gelar: Jurnal Seni Budaya. (11): 2. Hal. 211-223.
Aulia, Abadi. Teori Semiotika Dalam Komunikasi.
http://abadiaulia.blogspot.com/2012/12/teori-semiotika-dalam-
komunikasi.html (Jumat, 22 Agustus 2014)
Hambali, Hasan dkk. 1985. Upacara Tradisional yang Berkaitan dengan
Peristiwa Alam dan Kepercayaan Sumatera Selatan. Jakarta.
Jarwanti, Sony. 2004. “Makna Simbolis yang Terkandung dalam Upacara
Thedak Sinten Pada Masyarakat Jawa Yogyakarta”. Skripsi Fakultas
Filsafat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Kayam, Umar. 1981. Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Sinar Harapan.
Koderi, M. 1991. Banyumas Wisata dan Budaya. Purwokerto : CV Metro Jaya.
Koentjaraningrat 1997. Kebudayaan Mentalis dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Umum.
Magnis, Dr Franz dan Suseno SJ. 2003. Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi
Tentang Kebijaksaan Hidup Jawa. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Milles B. & Huberman A. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI-Press.
Moleong, Lexy. 2000. Metodologi Penelitian Kualitataif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Priastuti, Aprilia. 2013. Nilai-Nilai Sosiologis Dalam Kesenian Reog Obyog Di
Desa Kauman Kecamatan Kauman Kabupaten Ponorogo. Universitas
Negeri Yogyakarta.
Rostiyati, ANI. 1994. Fungsi Upacara Tradisonal Bagi Masyarakat
Pendukungnya Masa Kini. Yogyakarta : Depdikbud.
Soedarso, SP. 1990. Tinjauan Seni Sebuah Pengantar untuk Apresiasi Seni.
Yogyakarta : Saku Dayar Sana.
60
Soedarsono. 1978. Pengantar Pengetahuan dan Komposisi Tari. Yogyakarta:
ASTI.
Soemarto. 2009. Menelusuri Perjalanan Reyog Ponorogo. [t.p.]: Ponorogo.
Soerjono, Soekanto. 1985. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : Rajawali Pers.
Sunyata, dkk. 1996. Fungsi, Kedudukan dan Struktur Cerita Rakyat Jawa Barat.
Jakarta : Depdikbud.
Syafiraelrin . Tari Reog Ponorogo, dari http://syafiraelrin.blogspot.com
/2010/03/tari-reog-ponorogo.html (Selasa, 26 Agustus 2014).
Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta : PT LKIS Pelangi Aksara.
61
Lampiran 1
PEDOMAN OBSERVASI
A. Tujuan
Peneliti melakukan observasi untuk mengetahui atau memperoleh data
yang relevan tentang makna simbolik upacara ritual dalam kesenian Reog
Ponorogo di desa Kauman, kecamatan Kauman, kabupaten Ponorogo
B. Pembatasan
Dalam melakukan observasi dibatasi pada:
1. Sejarah kesenian Reog Ponorogo di desa Kauman
2. Makna simbolik upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo di desa
Kauman, kecamatan Kauman, kabupaten Ponorogo
C. Kisi-kisi Observasi
Tabel 5. Pedoman Observasi
No. Aspek yang diamati Hasil
1.
2.
Sejarah kesenian Reog Ponorogo di desa
Kauman
Makna simbolik upacara ritual dalam
kesenian Reog Ponorogo di desa
Kauman, kecamatan Kauman, kabupaten
Ponorogo
62
Lampiran 2
PEDOMAN WAWANCARA
A. Tujuan
Wawancara dalam penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data baik
dalam bentuk tulisan maupun rekaman tentang “Makna simbolik upacara
ritual dalam kesenian Reog Ponorogo di desa Kauman, kecamatan
Kauman, kabupaten Ponorogo”.
Pembatasan
Dalam melakukan wawancara peneliti membatasi materi pada:
1. Sejarah kesenian Reog Ponorogo di desa Kauman
2. Makna simbolik upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo di desa
Kauman, kecamatan Kauman, kabupaten Ponorogo
1. Responden
1. Pegawai Dinas Kebudayaan dan Pariwisata
2. Tokoh masyarakat
3. Seniman kesenian Reog Ponorogo
4. Masyarakat setempat
63
B. Kisi-kisi Wawancara
Tabel 6. Pedoman Wawancara
KISI KISI WAWANCARA
NO ASPEK
WAWANCARA BUTIR WAWANCARA KETERANGAN
1 Sejarah - Bagaimana sejarah
kesenian Reog
Ponorogo?
- Tahun berapa
kesenian Reog
tercipta?
- Siapakah pencipta
pertama upacara
ritual kesenian
Reog?
- Apakah ada
perbedaan upacara
ritual di Desa
Kauman dengan
Desa lain?
- Bagaimana
perkembangan
upacara ritual Reog
dari awal tercipta
sampai saat ini?
- Apakah makna
simbolik sesaji
yang digunakan?
- Apakah fungsi
upacara ritual
dalam kesenian
64
Reog Ponorogo?
C. Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana sejarah kesenian Reog Ponorogo?
2. Bagaimana sejarah upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo ?
3. Apa makna simbolik sesaji yang digunakan ?
4. Apa fungsi upacara ritual dalam kesenian Reog Ponorogo bagi
masyarakat Desa Kauman, Kecamatan Kauman, Kabupaten Ponorogo?
5. Adakah perubahan dari upacara ritualnya ?
6. Kapan upacara ritual ini dilakukan?
7. Bagaimana langkah-langkah upacara ritual ini?
65
Lampiran 3
PANDUAN DOKUMENTASI
A. Tujuan
Dokumentasi dalam penelitian ini bertujuan untuk menambah kelengkapan
data yang berkaitan dengan makna simbolik upacara ritual dalam kesenian
Reog Ponorogo di Desa Kauman, Kecamatan Kauman, Kabupaten
Ponorogo
B. Pembatasan
Dokumentasi pada penelitian ini dibatasi pada:
1. Foto-foto
2. Buku catatan
3. Rekaman hasil wawancara dengan responden
4. Rekaman video upacara ritual kesenian Reog Ponorogo
66
C. Kisi-kisi Dokumentasi
Tabel 7. Pedoman Dokumentasi
No. Indikator Aspek-aspek Hasil
1. Foto-foto a. Bahan ritual
2. Buku catatan a. Catatan tentang kesenian
Reog Ponorogo
b. Buku yang berkaitan
dengan ritual sesaji
3. Video
rekaman
a. Video rekaman upacara
ritual Reog
67
GLOSARIUM
Bantar Angin : nama suatu kerajaan yang menjadi pusat asal usulnya
kesenian Reyog Ponorogo
Bujang Ganong : salah satu elemen penari Reyog yang diambil dari tokoh
Patih Bujang Ganong
Celengan : binatang babi
Dhadhak Merak : barongan yang terdiri dari kepala harimau dan susunan
bulu merak yang disusun sedemikian rupa sehingga
berbentuk seperti kipas raksasa
Display : mempertunjukkan atau mempertontonkan suatu hasil
karya di depan umum
Gajah-gajahan : kesenian yang berupa imitasi gajah dan di dalamnya
terdapat seseorang yang memainkannya
Gong Gumbeng : sekelompok alat musik tradisional yang semuanya terbuat
dari bamboo
Jaranan : kesenian yang memakai kuda lumping
Jathil : penari yang menggambarkan seorang pasukan berkuda
dalam kesenian Reyog (perempuan)
Kejawen : sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa
Kelono Sewandhono : seorang tokoh Prabu (Raja) dalam kesenian Reyog
Khitanan : upacara sunatan
Marem : puas
Menyan : kayu atau getah yang jika dibakar berbau harum
Obyog : istilah untuk menyebut Reyog yang tidak baku dan identik
dengan proses iring-iring
Pepunden : pendiri tanah Jawa
Reog : kesenian khas Ponorogo
Reog Obyog : kesenian Reyog yang tidak menggunakan patokan-
patokan baku dan bersifat fleksibel
Sadranan : ritual yang rutin digelar kaum Kejawen
Sak Riyeg : sangat banyak
Samandiman : pecut sakti
Sedhekah Bumi : ritual tradisional masyarakat Jawa sebagai bentuk rasa
syukur dari hasil kekayaan alam
Sedhekah Laut : ritual tradisional masyarakat Jawa sebagai bentuk rasa
syukur dari hasil kekayaan alam
Sego Kokoh : nasi campur
Sejarah : silahturahmi ke tetangga dan sanak saudara
Sesajen : warisan budaya Hindu dan Budha yang biasa dilakukan
untuk memuja para dewa, roh dan penunggu tempat yang
mereka yakini dapat mendatangkan keberuntungan dan
menolak kesialan
Singo Lodra : harimau penguasa hutan
Songgolangit : putri Kediri
Thek Thur : permainan alat musik pukul dari bambu
68
Warok : elemen penari Reyog yang memakai baju hitam
Warokan : menyerupai warok
Wayang : properti yang digunakan oleh dalang
Wedang Gulo Asem : minuman orang Jawa
Wedang Kopi Pahitan : minuman dari kopi
Sugih Banda : kaya harta
Sugih Ngelmu : kaya ilmu
Sugeh Kuasa : tinggi derajatnya
top related