makalah konsitusi
Post on 02-Aug-2015
51 Views
Preview:
TRANSCRIPT
Latar Belakang
Lembaran awal sejarah praktik pengujian Undang-undang (judicial review)
bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat
dipimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun 1803.
Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian
kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan
menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan
konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu
Undang-undang bertentangan dengan konstitusi.
Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir
pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-
1973). Hans Kelsel menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang
legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif
diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau
tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional.
Untuk itu perlu diadakan organ khusu yang disebut Mahkamah Konstitusi
(constitutional court).
Masa Penyusunan UUD 1945
Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai
pengujian Undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah
diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa
seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk
"membanding Undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan
judicial review. Namun usulan Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan
bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan
konsep pemisah kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian
kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan
Undang-undang bukan menguji Undang-undang; dan ketiga, kewenangan hakim
untuk melakukan pengujian Undang-undang bertentangan dengan konsep
supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide akan pengujian
Undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi
dalam UUD 1945.
Masa Reformasi 1998
Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-
2004), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin
menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK
diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana
dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam
Perubahan Ketiga
Masa Pembentukan Dasar Hukum
Selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut,
Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya,
akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan
disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga,
UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan
dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun
2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek
waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus
sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21.
Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi
menjadi hari lahir MKRI.
Masa Penetapan Hakim Konstitusi
Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip
keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen hakim
konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA.
Setalah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-
masing lembaga tersebut, masing-masing lebaga mengajukan tiga calon hakim
konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi.
DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H.
Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan
Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof.
H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL.Sementara
MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H.
dan Maruarar Siahaan, S.H.
Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya
dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden
Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan
para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah
mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung bekerja menunaikan tugas
konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.
Masa Pemantapan Kelembagaan
Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para hakim konstitusi
membutuhkan dukungan administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat
administrasi umum maupun administrasi yustisial. Terkait dengan hal itu, untuk
pertama kalinya dukungan administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretaris
Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR,
sejumlah pegawai memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas
konstitusional para hakim konstitusi. Sebagai salah satu wujudnya adalah Kepala
Biro Majelis MPR, Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt)
Sekretris Jenderal MK sejak tanggal 16 Agustsus 2003 hingga 31 Desember 2003.
Kemudian pada 2 Januari 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan
Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK definitif.
Dalam perkembangganya, Oka Mahendra mengundurkan diri karena sakit, dan
pada 19 Agustus 2004 terpilih Janedjri M. Gaffar sebagai Sekretaris Jenderal MK
yang baru menggantikan Oka Mahendra.
Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas
membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial.
Panitera bertanggungjawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran
permohonan dari para pemohon, pemeriksaan kelengkapan permohonan,
pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara
Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persidangan MK.
Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK
adalah Marcel Buchari, S.H. yang di kemudian hari secara definitif digantikan
oleh Drs. H, Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Lintasan perjalan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK,
pada 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai
salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mulai
beroperasinya kegiatan MK juga menandari berakhirnya kewenangan MA dalam
melaksanakan kewenangan MK sebagaimana diamanatkan oleh Pasal III Aturan
Peralihan UUD 1945.
Setelah bekerja penuh selama lima tahun, halim konstitusi periode pertama (2003-
2008) telah memutus 205 perkara dari keseluruhan 207 perkara yang masuk.
Perkara-perkara tersebut meliputi 152 perkara Pengujian Undang-undang (PUU),
10 perkara Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dan 45 perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Periode pertama hakim konstitusi
berakhir pada 16 Agustus 2008. Dalam perjalanan sebelum akhir periode tersebut
tiga hakim konstitusi berhenti karena telah memasuki usia pensiun (berdasarkan
Pasal 23 ayat (1) huruf c UU MK, usia pensiun hakim konstitusi adalah 67 tahun),
yakni Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H.yang kemudian diganti oleh
Prof. DR. Mohammad Mahfud MD., S.H., Prof. DR. H. Mohammad Laica
Marzuki, S.H. yang posisinya diganti oleh DR. H. Mohammad Alim, S.H.,
M.Hum. dan Soedarsono, S.H. yang kedudukannya diganti oleh DR. H.
Muhammad Arsyad Sanusi, S.H., M.Hum. Tiga nama yang baru menggantikan
tersebut sekaligus meneruskan jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk periode
kedua (2008-2013).
Di periode kedua ini, enam hakim konstitusi lainnya terpilih Prof. H. Abdul
Mukthie Fadjar, S.H., M.S. (untuk yang kedua kali), Prof. DR. Achmad Sodiki,
S.H. dan Prof. DR. Maria Farida Indrati, S.H. yang diajukan Presiden. Kemudian
Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H. (untuk yang kedua kali) dan Muhammad Akil
Mochtar, S.H., M.H. yang diajukan DPR. Sementara MA mengajukan kembali
Maruarar Siahaan, S.H. yang sebelumnya telah menjadi hakim konstitusi periode
pertama. Dengan demikian di periode kedua MK terdapat tina nama lama dan
enam nama baru. Akan tetapi dalam perkembangannya, Prof. DR. Jimly
Asshiddiqie, S.H. mengundurkan diri sebagai hakim konstitusi yang berlaku
efektif mulai tanggal 1 November 2008 dan digantikan oleh DR. Harjono, S.H.,
MCL. yang mengucapkan sumpah pada tanggal 24 Mare 2009, sedangkan Prof.
H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan Maruarar Siahaan, S.H. mulai 1 Januari
2010 memasuki usia pensiun dan digantikan oleh DR. Hamdan Zoelva, S.H.,
M.H. dan Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum. yang mengucapkan
sumpah pada tanggal 7 Januari 2010. Formasi sembilan hakim konstitusi inilah
yang sekarang menjalankan tuga-stuga konstitusional Mahkamah Konstitusi.
Setelah sembilan Hakim Konstitusi mengucapkan sumpah di Istana Negara pada
16 Agustus 2003, belum ada aparatur yang ditugaskan memberikan pelayanan dan
dukungan terhadap pelaksanaan tugas para Hakim Konstitusi. Demikian pula
belum ada kantor sebagai tempat bekerja para Hakim Konstitusi. Pada saat itu,
alamat surat menyurat menggunakan nomor telepon seluler Prof. DR. Jimly
Asshiddiqie, S.H
Masa Pemenuhan Sarana dan Prasarana
Keterbatasan sarana dan kurangnya dukungan teknis bagi pelaksanaan tugas-tugas
Hakim Konstitusi merupakan persoalan yang menjadi prioritas untuk diselesaikan
dengan segera. Setelag melalui pembahasan di kalangan Hakim Konstitusi,
akhirnya diputuskan dua hal.
Pertama, meminta bantuan tenaga dari Sekretariat Jenderal MPR untuk
memberikan dukungan administrasi umum dan MA untuk tenaga administrasi
justisial. Kedua, menyewa ruangan di Hotel Santika yang terletak di Jalan KS.
Tubun, Slipi, Jakarta Barat, untuk dijadikan kantor sementara. Tidak lama
kemudian, MK berpindah kantor dengan menyewa ruangan di gedung Plaza
Centris di Jalan HR. Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, tepatnya di lantai 4
dan lantai 12A. Namun demikian, ruangan yang tersedia bagi MK di Plaza Centris
masih jauh dari memadai. Karena keterbatasan ruang tersebut, para pegawai MK
berkantor di lahan parkir kendaraan yang disulap menjadi ruang kantor modern.
Seiring dengan itu, Ketua MK mengangkat Janedjri M. Gaffar sebagai Plt. Sekjen
pada tanggal 4 September 2003 dan pada 1 Oktober 2003 menangkan Marcel
Buchari, S.H. sebagai Plt. Panitera.
Meskipun sudah memiliki kantor, keterbatasan saran masih menjadi persoalan
bagi MK. Selama berkantor di Hotel Santika dan Plaza Centris, MK harus
meminjam Gedung Nusantara IV (Pusaka Loka) Kompleks MPR/DPR, salah satu
ruang di Mabes Polri dan salah satu ruang di Kantor RRI sebagai ruang sidang
karena belum memiliki ruang sidang yang representatif. Hal ini tentu saja menjadi
hambatan bagi mobilitas kerja para Hakim Konstitusi sekaligus ironi bagi
lembaga negara sekaliber MK yang mengawal konstitusi sebagai hukum tertinggi
di negeri ini. Karena itu, ketika merumuskan Cerak Biru "Membangun Mahkamah
Konstitusi sebagai Institusi Peradilan Konstitusi yang Modern dan Terpercaya",
gagasan pembangunan gedung MK mendapat penekanan tersendiri.
Setelah menempati gedung di Jalan Medan Merdeka Barat No. 7 Jakarta Pusat
milik Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi (Kominfo) pada tahun
2004, barulah MK bisa menggelar persidangan di kantor sendiri. Meski demikian,
ruangan dan fasilitas yang tersedia di gedung tersebut masih belum memadai,
terutama ketika MK harus menangani perkara yang menumpuk dan membutuhkan
peralatan-peralatan canggih sebagaimana terjadi pada Pemilu 2004. Ketika
melakukan pemeriksaan perkara perselisihan hasil pemilihan umum Legislatif
2004, ruang persidangan yang ada di gdung MK tidak mencukupi sehingga MK
meminjam ruang di gedung RRI yang terletak tidak jauh dari kantor MK. Begitu
juha ketika haru menggelar persidangan jarak jauh, MK harus meminjam ruang
dan fasilitas teleconference di Ma
Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah:
Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil
Pemilihan Umum Wajib memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut UUD 1945.
Ketua
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa
jabatan 3 tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU
24/2003 ini sedikit aneh, karena masa jabatan Hakim Konstitusi sendiri adalah 5
tahun, sehingga berarti untuk masa jabatan kedua Ketua MK dalam satu masa
jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2 tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.. Guru besar
hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada
rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus
2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18
Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr.
M. Laica Maerzuki, SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari
generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica
Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang
menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di Indonesia. Di akhir
masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah
satu ikon keberhasilan reformasi Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan
Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada
para hakim generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana
bagi mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.
Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk
dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah
dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan
tempat mengadakan studi tour. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang
baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan untuk memilih
Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan
menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar
sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober
2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, SH mengunduran diri dari anggota MK dan
kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.
Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh
Presiden. Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah
Agung, 3 orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa
jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun, dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali
masa jabatan berikutnya.
Hakim Konstitusi periode 2008-2013 adalah:[1]
1. Mohammad Mahfud MD (Ketua)
2. Harjono (2009-), menggantikan Jimly Asshiddiqie (2008-2009)
3. Maria Farida Indrati
4. Ahmad Fadlil Sumadi (2009-), menggantikan Maruarar Siahaan (2008-
2009)
5. Hamdan Zoelva (2009-), menggantikan Abdul Mukthie Fajar (2008-2009)
6. Muhammad Alim
7. Achmad Sodiki
8. Muhammad Arsyad Sanusi
9. Muhammad Akil Mochtar
Pada akhir 2009, Maruarar Siahaan dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa
pensiun. Mereka kemudian digantikan oleh 2 hakim baru, yakni Hamdan Zoelva
yang menggantikan Abdul Mukthie Fajar dan Fadlil Sumadi yang menggantikan
Maruarar Siahaan.
Kepaniteraan
Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang
administrasi justisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri dari sejumlah
jabatan fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting unit hakim
konstitusi dalam penanganan perkara di MK
Rapat Permusyawaratan Hakim
Rapat Permusyawaratan Hakim (disingkat RPH) bersipat tertutup dan rahasia.
Rapat ini hanya dapat diikuti oleh Hakim konstitusi dan Panitera. Dalam rapat
inilah perkara dibahas secara mendalam dan rinci serta putusan MK diambil yang
harus dihadiri sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. Pada saat RPH,
Panitera mencatat dan merekam setiap pokok bahasan dan kesimpulan
Sidang Pleno
Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh majelis hakim konstitusi minimal
dihadiri oleh tujuh hakim konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka untuk
umum dengan agenda pemeriksaan persidangan atau pembacaan putusan.
Pemeriksaan persidangan meliputi mendengarkan pemohon, keterangan saksi, ahli
dan pihak terkait serta memeriksa alat-alat bukti
Anggaran
Sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman, pelaksanaan tugas-tugas
MK berikut aktivitas dukungan yang diberikan oleh Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MK dibiayai oleh Anggaaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Dalam setiap tahunnya, MK mendapat anggaran berdasarkan Dokumen Isian
Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan Opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan MK tahun anggaran 2006. Kemudian
pada laporan keuangan tahun 2007, 2008 dan 2009 MK kembali meraih predikat
WTP berturut-turut dari BPK.
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman
bersama-sama dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-
cabang kekuasaan lainnya. Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara
Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa
penjajahan atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia ini. Hal mana terbukti
dengan adanya kurun-kurun waktu, dimana bumi Indonesia sebagian waktunya
dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh Pemerintah Inggris dan terakhir oleh
Pemerintah Jepang. Oleh karenanya perkembangan peradilan di Indonesia pun
tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebu
Hindia Belanda
Pada tahun 1807 Mr. Herman Willem Deandels diangkat menjadi Gubernur
Jenderal oleh Lodewijk Napoleon untuk mempertahankan jajahan-jajahan Belanda
di Indonesia terhadap serangan-serangan pihak Inggris. Deandels banyak sekali
mengadakan perubahan-perubahan di lapangan peradilan terhadap apa yang
diciptakan oleh VOC, diantaranya pada tahun 1798 telah mengubah Raad van
Justitie menjadi Hooge Raad. Kemudian tahun 1804 Betaafse Republiek telah
menetapkan suatu Piagam atau Regeringsreglement buat daerah-daerah jajahan di
Asia. Dalam Pasal 86 Piagam tersebut, yang merupakan perubahan-perubahan
nyata dari zaman pemerintahan Daendels terhadap peradilan di Indonesia,
ditentukan sebagai berikut :
“Susunan pengadilan untuk bangsa Bumiputera akan tetap tinggal menurut
hukum serta adat mereka. Pemerintah Hindia Belanda akan menjaga dengan
alat-alat yang seharusnya, supaya dalam daerah-daerah yang langsung ada
dibawah kekuasaan Pemerintahan Hindia Belanda sedapat-dapatnya dibersihkan
segala kecurangan-kecurangan, yang masuk dengan tidak diketahui, yang
bertentangan dengan tidak diketahui, yang bertentangan degan hukum serta adat
anak negeri, lagi pula supaya diusahakan agar terdapat keadilan dengan jalan
yang cepat dan baik, dengan menambah jumlah pengadilan-pengadilan negeri
ataupun dengan mangadakan pengadilan-pengadilan pembantu, begitu pula
mengadakan pembersihan dan pengenyahan segala pengaruh-pengaruh buruk
dari kekuasaan politik apapun juga.”
Piagam tersebut tidak pernah berlaku, oleh karena Betaafse Republiek segera
diganti oleh Pemerintah Kerajaan, akan tetapi ketentuan di dalam “Piagam” tidak
sedikit memengaruhi Deandels di dalam menjalankan tugasnya.
Inggris
Sir Thomas Stamford Raffles, yang pada tahun 1811 diangkat menjadi Letnan
Gubernur untuk pulau Jawa dan wilayah di bawahnya, mengadakan perubahan-
perubahan antara lain :
Di kota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya dimana dulu ada Raad van Justitie,
didirikan Court Of Justice, yang mengadili perkara perdata maupun pidana. Court
of Justice yang ada di Batavia merupakan juga Supreme Court of Justice,
pengadilan banding terhadap putusan-putusan Court onvoeldoende gemotiveerd
Justitie yang ada di Semarang dan Surabaya.
Kembalinya Pemerintahan Hindia Belanda
Setelah peperangan di Eropa berakhir dengan jatuhnya Kaisar Napoleon, maka
menurut Konvensi London 1814, semua daerah-daerah jajahan Belanda yang
diduduki oleh Inggris, dikembalikan kepada negeri Belanda. Penyerahan kembali
Pemerintahan Belanda tersebut di atur dalam Staatsblad 1816 No.5, yang berisi
ketetapan bahwa akan dibuat Reglement yang mengatur acara pidana dan acara
perdata yang berlaku bagi seluruh Jawa dan Madura, kecuali Jakarta, Semarang
dan Surabaya dengan daerah sekitarnya. Bagi Jakarta, Semarang dan Surabaya
dengan daerah sekitarnya untuk perkara pidana dan sipil tetap menjadi kekuasaan
Raad van Justitie. Dengan demikian ada perbedaan dalam susunan pengadilan
buat Bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di kota-kota dan sekitarnya dan
bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di “desa-desa” (di pedalaman).
Untuk bangsa Eropa, berlaku susunan Pengadilan sebagai berikut :
Hooggerechtshof di Jakarta dengan Raad van Justitie yaitu masing-masing
di Jakarta, Semarang dan Surabaya.
Dengan Keputusuan Gubernur Jenderal tanggal 3 Desember 1847 No.2a (St.1847
No.23 yo No.57) yang diperlakukan tanggal 1 Mei 1948 (R.O) ditetapkan bahwa
Susunan Peradilan di Jawa dan Madura sebagai berikut :
1. Districtgerecht
2. Regentschapsgerecht
3. Landraad
4. Rechtbank van Omgang
5. Raad van Justitie
6. Hooggerechtshof
Dalam fungsi judisialnya, Hooggrechtshof memutus perkara-perkara banding
mengenai putusan–putusan pengadilan wasit tingkat pertama di seluruh Indonesia,
jikalau nilai harganya lebih dari £.500 dan mengenai putusan-putusan
residentiegerechten – di luar Jawa dan Madura.
Pendudukan Jepang
Setelah pulau Jawa diduduki dan dikuasai sepenuhnya oleh Bala tentara Jepang,
maka dikeluarkanlah Undang-Undang No.1 tanggal 8 Maret 1942, yang
menentukan bahwa buat sementara segala Undang-Undang dan peraturan-
peraturan dari Pemerintahan Hindia Belanda dahulu terus berlaku, asal tidak
bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang.
Mengenai peradilan sipil, maka dengan Undang-Undang 1942 No.14 ditetapkan
“Peraturan Pengadilan Pemerintah Balatentera Dai Nippon”. Atas dasar peraturan
ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil yang akan mengadili perkara-perkara
pidana dan perdata. Disamping itu dibentuk juga Kejaksaan.
Pengadilan-pengadilan bentukan Dai Nippon adalah sebagai berikut :
1. Gun Hooin (Pengadilan Kewedanaan) lanjutan districtsgerecht dahulu.
2. Ken Hooi (Pengadilan Kabupaten) lanjutan regentschapgerecht dahulu.
3. Keizai Hooin (Pengadilan Kepolisian) lanjutan landgerecht dahulu.
4. Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri)lanjutan Landraad dahulu, akan tetapi
hanya dengan seorang hakim saja (tidak lagi majelis ), kecuali terhadap
perkara tertentu apabila Pengadilan Tinggi menentukan harus diadili
dengan 3 orang Hakim.
Dengan dicabutnya Undang-Undang 1942 No.14 dan diganti dengan Undang-
Undang 1942 No.34, maka ada penambahan badan pengadilan diantaranya
Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi), lanjutan dari Raad van Justitie dahulu dan
Saikoo Hooin (Mahkamah Agung), lanjutan dari Hooggerechtshof dahulu.
Susunan
Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, dan seorang
sekretaris. Pimpinan dan hakim anggota Mahkamah Agung adalah hakim agung.
jumlah hakim agung paling banyak 60 (enam puluh) ora
impinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan
beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil
ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua bidang
yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda
agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang
nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.
Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh
Presiden.
impinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, 2 (dua) wakil ketua, dan
beberapa orang ketua muda. Wakil Ketua Mahkamah Agung terdiri atas wakil
ketua bidang yudisial dan wakil ketua bidang nonyudisial. wakil ketua bidang
yudisial yang membawahi ketua muda perdata, ketua muda pidana, ketua muda
agama, dan ketua muda tata usaha negara sedangkan wakil ketua bidang
nonyudisial membawahi ketua muda pembinaan dan ketua muda pengawasan.
Ketua Mahkamah Agung dipilih dari dan oleh hakim agung, dan diangkat oleh
Presiden.
Kewajiban dan wewenang
Menurut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh Undang-Undang
Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberikan grasi dan
rehabilitasi
Yurisprudensi Mahkamah Agung Indonesia adalah putusan Majelis Hakim
Agung di Mahkamah Agung Indonesia yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap berisi kaidah hukum yang diberlakukan dalam memeriksa dan memutus
perkara dalam lingkup Peradilan Pidana, Perdata, Tata Usaha Negara, Agama dan
Niaga yang dikualifikasi. Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung RI yang
telah beberapa kali dipergunakan sebagai acuan bagi para Hakim untuk memutus
suatu perkara yang sama sehingga menjadi sumber hukum yang memiliki
kekuatan mengikat secara relatif.
Putusan Mahkamah Agung tersebut akan diseleksi oleh Tim Khusus dan apabila
dianggap layak untuk menjadi Yurisprudensi maka akan dipublikasikan oleh
Mahkamah Agung. Judul atau Nama dari publikasi tersebut disesuaikan dengan
tahun terbitannya misalnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Tahun 2006.
Penerbitkan buku tersebut biasanya dilakukan setiap tahun. Sedangkan putusan
yang diterbitkan oleh Puslitbang adalah hasil kajian atau penelitian terhadap
putusan suatu kasus yang dianggap menarik. Penerbitan oleh Puslitbang ini belum
dilakukan secara reguler. Sayangnya jumlah eksemplar cetakannya dibatasi, yakni
disesuaikan dengan jumlah hakim yang ada di seluruh Indonesia dan jumlah
perpustakaan yang akan dikirimi publikasi tersebut.
Buku yurisprudensi ini dibagikan secara gratis. Namun karena banyak pihak lain
di luar korps hakim dan perpustakaan, khususnya kalangan pengacara, yang ingin
memiliki Yurisprudensi MA, maka biasanya pihak MA akan mencari dana di luar
dana APBN untuk mencetak lebih banyak lagi buku yurisprudensi tersebut dan
menjualnya ke masyarakat yang berminat.
TUGAS POKOK DAN FUNGSI
1. FUNGSI PERADILAN
a Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan
pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan
hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar
semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan
secara adil, tepat dan benar.
b Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung
berwenang memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir
o semua sengketa tentang kewenangan mengadili.
o permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33 dan 34
Undang-undang Mahkamah Agung No. 14 Tahun 1985)
o semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan
muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia berdasarkan
peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan Pasal 78 Undang-undang
Mahkamah Agung No 14 Tahun 1985)
c Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu
wewenang menguji/ menilai secara materiil peraturan perundangan
dibawah Undang-undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari
isinya (materinya) bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih
tinggi (Pasal 31 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).
2. FUNGSI PENGAWASAN
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya
peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan
yang dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama
dan wajar dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan, tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa
dan memutuskan perkara (Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b. Mahkamah Agunbg juga melakukan pengawasan :
- terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan
perbuatan Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal
menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara
yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal yang
bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran
dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal
32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut
peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).
3. FUNGSI MENGATUR
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan
bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang
belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung
sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum
yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan (Pasal 27
Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79 Undang-undang No.14
Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana
dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur
Undang-undang.
4. FUNGSI NASEHAT
a Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain
(Pasal 37 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985).
Mahkamah Agung memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala
Negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-
undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan
Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1),
Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan
pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga
rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum
mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan perundang-
undangan yang mengatur pelaksanaannya.
b Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi
petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38
Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).
5. FUNGSI ADMINISTRATIF
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10
Ayat (1) Undang-undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris,
administrative dan finansial sampai saat ini masih berada dibawah
Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-
undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah kekuasaan
Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab,
susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-
undang No. 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang
No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman).
6. FUNGSI LAIN-LAIN
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat
(2) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan
kewenangan lain berdasarkan Undang-undang.
top related