makalah b.indo polemik puyer
Post on 25-Jun-2015
751 Views
Preview:
TRANSCRIPT
MENANGGAPI POLEMIK PUYER
DI INDONESIA
Diajukan untuk memenuhi tugas Bahasa Indonesia semester genap
Disusun Oleh :
1. Anthony Kesumah (04)
2. Ferik Tantomi (12)
3. Maria Inge O. (23)
4. Patrick Duffi (31)
5. Vinsensius Viktor L. (40)
SMA XAVERIUS 1
PALEMBANG
2008/2009
Kata Pengantar
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya selama pembuatan
tugas ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya. Adapun mata pelajaran yang menjadi
dasar penulisan ini adalah Bahasa Indonesia. Dalam makalah ini, kami membahas tentang
maraknya polemik puyer, suatu permasalahan yang dialami masyarakat saat ini tentang
obat-obat campuran yang membahayakan.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada ibu guru yang telah memberikan
kesempatan kepada kami untuk menyelesaikan tugas ini. Kami mengerjakan tugas ini
dengan sebaik-baiknya, meskipun masih terdapat beberapa kekurangan karena keterbatasan
kemampuan kami dan juga terbatasnya waktu yang ibu berikan. Atas keterbatasan kami
inilah, kritik dan saran yang membangun akan sangat kami harapkan, guna
menyempurnakan tugas-tugas lainnya kelak.
Terakhir, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam proses pembuatan karya ilmiah ini. Semoga makalah ini dapat
berguna dan bermutu, serta dapat menjadi salah satu bekal atau pengalaman bagi kami
untuk menjadi lebih baik lagi.
Palembang, Maret 2009
ttd.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………… i
KATA PENGANTAR …………………………………………………………….…… ii
DAFTAR ISI ………………….…………….………………………………………… iii
HALAMAN PENGESAHAN ……..…………………………………………………... iv
BAB I PENDAHULUAN ……………..………………………………………………. 1
1.1. Latar Belakang …….………….…………………………………….………1
1.2. Rumusan Masalah ………..………………………………………...…....… 2
1.3. Tujuan Penulisan ……………………………………………….………..…. 2
1.4. Manfaat Penulisan …………...………………………………………..…… 3
1.5. Metode Penelitian ……...…..………………………………………....…….. 3
BAB II LANDASAN TEORI …..…………………………………………………........ 4
BAB III PEMBAHASAN …..………………………………………………….............. 5
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………….17
4.1. Kesimpulan …..…..…………………………………………………................17
4.2. Saran ...…...…………………………………………………..............................17
DAFTAR PUSTAKA …..…………………………………………………......................18
iii
PENGESAHAN
Laporan makalah “Menanggapi Polemik Puyer di Indonesia” disusun oleh :
1. Anthony Kesumah
2. Ferik Tantomi
3. Maria Inge O.
4. Patrick Duffi
5. Vinsensius Viktor L.
Berdasarkan tugas yang diberikan oleh Ibu Rizki
Disetujui oleh :
Guru Bahasa Indonesia,
Tanggal: …………………
(Rizki Pusrikasari)
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Obat puyer sebagai alternatif bagi pengobatan masyarakat menengah ke
bawah di Indonesia telah digunakan selama berpuluh-puluh tahun. Obat puyer
merupakan obat racikan yang berasal dari beberapa campuran obat. Dalam ilmu
kedokteran, obat tentu dipergunakan untuk menyembuhkan penyakit, namun bila
telah dicampur dengan beberapa jenis obat lainnya, akankah khasiatnya bertambah?
Sesuai ilmu kimia, setiap bahan kimia yang dicampur akan menyebabkan
reaksi satu sama lain. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya
kontroversi seputar praktek polemik puyer di tengah masyarakat Indonesia yang
hangat diperbincangkan dalam beberapa pekan terakhir ini.
Berbagai tanggapan dari berbagai pihak telah muncul seiring dengan
maraknya perbincangan tentang polemik puyer ini. Ada yang pro dan ada juga
kontra. Sebagian masyarakat menganggap puyer tidak higienis sehingga tidak aman
untuk dikonsumsi. Di lain pihak, ada yang berpendapat puyer aman dikonsumsi asal
diracik sesuai dengan prosedur.
Obat puyer sangat mudah diperoleh di apotek-apotek manapun. Harganya
yang terjangkau bagi keluarga berpenghasilan rendah juga menjadi salah satu alasan
mengapa obat puyer masih dipergunakan sampai saat ini.Pemerintah pun sampai
1
2
saat ini belum menetapkan adanya larangan beredarnya obat puyer. Hal ini karena
puyer masih menjadi andalan dalam hal pengobatan di Indonesia. Selain itu
perekonomian Indonesia masih belum cukup memadai bila harus mengganti obat
puyer dengan obat lain. Tak heran hingga saat ini puyer masih dipakai walaupun
banyak yang meragukan higienitas obat tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Mengapa polemik puyer dapat terjadi?
2. Mengapa obat puyer berbahaya?
3. Apa upaya pemerintah dalam menyikapi hal ini?
4. Apa saja kelemahan puyer?
5. Apakah obat jadi lainnya lebih aman ataukah sama saja?
6. Mengapa dokter perlu memberikan puyer?
7. Siapa yang bertanggung jawab tentang pembuatan puyer?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan mengenal puyer secara lebih rinci
2. Mengetahui bahaya obat puyer bagi kesehatan anak
3. Mengetahui dampak-dampak yang ditimbulkan obat puyer
4. Mengetahui apa saja upaya yang dapat dilakukan menyikapi polemik puyer
3
1.4 Manfaat Penulisan
1. Membantu masyarakat mengenal obat puyer
2. Sebagai bahan pertimbangan masyarakat dalam memilih obat yang baik dan aman
untuk dikonsumsi.
1.5 Metode Penelitian
Dalam pembuatan makalah ini, kami menggunakan metode studi kepustakaan dengan
mencari sejumlah bahan di internet.
BAB II
LANDASAN TEORI
Puyer merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi (selain sirup, tablet, cream, dsb)
yang terdiri atas dua atau lebih campuran homogen obat yang digerus yang dibagi dalam
bobot kurang lebih sama, dibungkus dengan kertas perkamen atau bahan pengemas.
Racikan puyer itu bisa langsung dikonsumsi dengan dicampur air, biasanya untuk anak-
anak atau bisa juga dimasukkan kapsul untuk orang dewasa.
Awal mula terjadinya polemik adalah adanya fakta bahwa selama ini puyer cenderung
lebih banyak memiliki sisi negatif dibanding positifnya. Beberapa sisi negatif yang disorot
antara lain karena puyer merupakan wujud pengobatan tidak rasional, rentan sebagai media
polifarmasi, pembuatannya tidak sesuai dengan CPOB dan sebagainya. Akhirnya,
muncullah desakan agar puyer dilarang secara resmi. Sayang karena ‘kelalaian’ apoteker,
puyer dieksploitasi sedemikian rupa demi menggapai beberapa tujuan sekaligus. Kasus
polifarmasi, penggunaan obat yang tidak rasional, munculnya interaksi obat atau masalah-
masalah lain dalam bentuk sediaan puyer sangat mungkin karena ketidaktahuan dokter
yang meresepkan dikombinasi dengan kelalaian apoteker dalam menjalankan tugasnya.
Kasus tersebut sifatnya situasional. Sepanjang dokter memegang teguh prinsip pengobatan
yang rasional dan apoteker menerapkan good pharmacy practise dalam menjalankan
profesinya maka sisi negatif puyer tidak akan muncul.
4
BAB III
PEMBAHASAN
Puyer merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi (selain sirup, tablet, cream, dsb)
yang terdiri atas dua atau lebih campuran homogen obat yang digerus yang dibagi dalam
bobot kurang lebih sama, dibungkus dengan kertas perkamen atau bahan pengemas.
Awal mula terjadinya polemik adalah adanya fakta bahwa selama ini puyer
cenderung lebih banyak memiliki sisi negatif dibanding positifnya. Beberapa sisi negatif
yang disorot antara lain karena puyer merupakan wujud pengobatan tidak rasional, rentan
sebagai media polifarmasi, pembuatannya tidak sesuai dengan CPOB dan sebagainya.
Namun, sepanjang dokter memegang teguh prinsip pengobatan yang rasional dan apoteker
menerapkan good pharmacy practise dalam menjalankan profesinya maka sisi negatif
puyer tidak akan muncul.
Maka dari itu melarang peresepan puyer bukanlah tindakan bijaksana jika dokter
penulis resep tidak mengubah kebiasaan meresepkan obat secara tidak rasional dan
apoteker tidak menerapkan good pharmacy practise. Bagaimanapun, sebagai bentuk
sediaan yang sifatnya darurat, puyer masih diperlukan agar tujuan pengobatan tercapai.
Bila mengacu pada good pharmacy practise , apoteker - atas permintaaan dokter
melalui resep - bertanggungjawab penuh dalam proses pembuatan/peracikan puyer dan
mengeluarkan jaminan terhadap kualitas termasuk stabilitasnya sehingga aman dikonsumsi
oleh pasien. Dalam konteks ini apoteker berkewajiban untuk melakukan screening resep
5
6
agar kemungkinan adanya ketidakrasionalan penggunaan, polifarmasi maupun interaksi
obat dapat diminimalkan.
Namun dalam prakteknya kerap terjadi penyimpangan. Apoteker tidak selalu berada di
apotek atau dokter melakukan dispensing obat langsung kepada pasien meski ditengah
kerumunan apotek. Ketidakhadiran apoteker di apotek menyebabkan tidak terselenggaranya
good pharmacy practise secara optimal dan dokter yang melakukan pekerjaan kefarmasian
(dipensing) luput dari mekanisme kontrol yang seharusnya tidak boleh terlewatkan dalam
proses pengobatan.
Polemik tentang puyer hanya sebuah permukaan dari gunung es. Ruang lingkup
pekerjaan kefarmasian demikian luas dan selama ini banyak pihak yang tidak kompeten
melakukannya. Sebut saja misalnya penjualan obat daftar G di toko obat, dokter dispensing
diluar ketentuan, pencampuran bahan kimia obat dalam jamu dan masih banyak lagi
lainnya.
Berikut ini adalah sejumlah sisi negatif dan bahaya puyer:
1. Bentuk pengobatan tidak rasional
2. Tidak sesuai dengan CPOB (Cara Pembuatan Obat yang Baik)
3. Rentan Polifarmasi
4. Proses peracikan tidak higienis
5. Potensi Human Error sangat besar
6. Stabilitas obat terganggu
7. Sejumlah jenis obat mudah rusak jika digerus
7
8. Kemungkinan terjadi toksid atau jamur
9. Ketepatan takaran diragukan
10. Sebagian bubuk terbuang
11. Resiko kontaminasi tinggi
Dengan mendudukkan masalah pada proporsi yang semestinya, polemik tentang puyer
menyadarkan kita bahwa pekerjaan kefarmasian memang perlu diatur lebih kongkrit.
Sesuai pasal 63 UU No 23/1992 tentang Kesehatan dikatakan bahwa pekerjaan kefarmasian
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk
itu dan Pemerintah perlu menetapkan peraturan mengenai pelaksanaan pekerjaan
kefarmasian. Sebenarnya, rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan Kefarmasian
(PP-PK) sudah persiapkan sejak lebih dari 4 tahun yang lalu. Pembahasannya juga telah
berulangkali dilakukan dengan melibatkan apoteker dan pihak-pihak lain yang terkait. Tapi
entah mengapa sampai saat ini tanda-tanda akan disyahkannya peraturan tersebut belum
juga nampak.
Menteri Kesehatan menyatakan bahwa puyer masih merupakan bentuk sediaan yang
masih dibutuhkan di Indonesia, hari ini pemberitaan tentang polemik puyer menegaskan
pentingnya keberadaan apoteker untuk menjamin kualitas dan rasionalitas puyer.
Sementara itu dalam Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal
80 Ayat b: Barang siapa dengan sengaja memproduksi dan atau mengedarkan sediaan
farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan
8
atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp300 juta.
Terdapat beberapa hal yang kami rangkum dalam kontroversi yang disampaikan oleh
para klinisi dalam suatu seminar dan opini di media tentang masalah kelemahan puyer yang
ternyata tidak pada substansi masalah utama bahaya obat puyer itu sendiri.
1. Menurunnya kestabilan obat karena obat-obatan yang dicampur tersebut
punya kemungkinan berinteraksi satu sama lain.
Sebenarnya bila dicermati interaksi obat tidak hanya pada pemberian puyer
pemberian sediaan kapsul atau sirup mempunyai resiko interaksi obat satu dengan
yang lain. Dokter dibekali limu farmasi tentang masalah interaksi dan kestabilan
obat. Kalaupun ada interaksi obat mungkin, dokter sudah memperhitungkan hal
tertsebut tidak terlalu berbahaya. Bila dokter tidak memahami farmakoterapi dari
suatu jenis obat, sebaiknya dokter tidak menuliskan resep obat baik puyer maupun
sirup.
2. Pemberian puyer beresiko terjadi pemberian polifarmasi.
Sebenarnya penggunaan polifarmasi bisa juga terjadi pada penggunaan obat kapsul
dan sirup. Seorang dokter ada juga yang meresepkan berbagai macam botol sirup
dalam satu kali pemberian. Bahkan seorang ibu sempat mengeluh ketakutan karena
anaknya dalam sekali berobat diberikan sekaligus 6 botol sirup. Padahal dalam satu
botol sirup itu juga kadang terdiri dari dua atau lebih kandungan obat. Pengalaman
9
lain beberapa penderita yang berobat di luar negeri khususnya Singapura, penderita
memang tidak mendapatkan puyer tetapi membawa segepok obat sirup dan kapsul
kalo dijumlah lebih dari 7 macam. Masalah pemberian polifarmasi ini juga
tergantung pengetahuan dan pengalaman dokter.
3. Sulitnya mendeteksi obat mana yang menimbulkan efek samping -
karena berbagai obat digerus jadi satu dan terjadi reaksi efek samping
terhadap pasien, akan sulit untuk melacak obat mana yang menimbulkan
reaksi.
Hal ini juga tidak akan terjadi, karena dalam penulisan obat puyer pasien dapat
meminta kopi resep dari apoteker atau apotik tempat pembelian obat. Di Puskesmas
memang menjadi masalah karena seringkali tidak disertai kopi resep, tetapi bila
pasien meminta hal itu pasti akan diberikan oleh dokter yang memberikan di
psukesmas. Adalah sesuatu yang tidak etis bila dokter tidak mau memberikan kopi
resepnya.
4. Pembuatan puyer dengan cara digerus atau diblender, sehingga akan ada sisa
obat yg menempel di alatnya.
Hal itu wajar terjadi, dalam ilmu meracik obat itu sudah diperhitungkan dengan
menambah sekian prosen untuk kemungkinan hal tersebut. Kalaupun ada
kekurangan dan kelebihannya sebenarnya hanya dalam jumlah kecil yang tidak
10
terlalu bermakna, kecuali pada obat tertentu. Dalam pemakaian obat sirup pun pasti
wajar bila kelebihan atau kekurangan seperti terjadi sisa sedikit sewaktu
memberikan obat dalam sendok sirupnya atau kelebihan sedikit dalam menuang
obat dalam sendok. Bahkan seorang peneliti pernah melaporkan bahwa sekitar 20%
obat paten ternyata sewaktu diteliti lebih cermat sering membulatkan jumlah dosis
seperti yang tercantum dalam kemasannya atau tidak sesuai dengan kandungan yang
ada, seperti pesudoefedrin yang seharusnya dikapsul 17 mg dibulatkan menjadi 20
mg.
5. Proses pembuatan obat itu harus steril.
Memang dalam penyajian dan penyediaan obat harus higenis dan bersih, dan itu
sudah merupakan prosedur tetap yang harus dilakukan oleh semua apoteker.
Meskipun dalam penyediaan obat oral tidak harus super steril seperti penyediaan
obat suntik. Obat oral mungkin relatif sama seperti penyajian makanan lain yang
masuk ke mulut, beda dengan obat injeksi yang harus melalui pembuluh darah yang
harus sangat steril.
6. Bisa jadi obatnya sudah rusak sebelum mencapai sasaran karena
proses penggerusan.
Masalah tersebut sebenarnya masalah knowledge (pengetahuan) dan ketrampilan
dokter. Hal itu juga tidak akan terjadi karena dokter sudah diberikan ilmu farmasi
11
bahwa terdapat beberapa obat yang tidak boleh digerus. Kalaupun ada yang tidak
boleh digerus tapi digerus, mungkin tidak membahayakan tetapi hanya membuat
khasiat obat tidak optimal.
7. Dosis yang berlebihan karena dokter tidak mungkin hafal setiap merek
obat. Jadi akan ada kemungkinan dokter meresepkan 2 merek obat yang
berbeda, namun kandungan aktifnya sama.
Hal seperti ini juga sebenarnya masalah knowledge (pengetahuan) dan ketrampilan
dokter. Setiap dokter tidak boleh menuliskan resep obat bila tidak hafal dosis dan
merek obatnya. Kekhawatiran inipun juga terjadi pada penulisan resep sediaan
sirup.
8. Kesalahan dalam peracikan obat - bisa jadi tulisan dokter bisa jadi nggak
kebaca sama apoteker, sehingga bisa membuat salah peracikan.
Hal inipun juga terjadi pada sediaan sirup. Penulisan dokter tidak jelas memang
sering terjadi, dalam hal ini apoteker harus menanyakan lagi kepada dokter
Lalu apakah obat jadi lainnya juga tidak sama saja? Semua berpulang pada pengetahuan
dan keterampilan dokter serta apoteker. Dua profesi kesehatan itu telah cukup dibekali dan
tidak ada larangan untuk berkomunikasi. Sudah jamak jika apotek kesulitan membaca
resep, ragu-ragu tentang dosis obat, akan langsung menghubungi dokter penulis resep.
12
Satu lagi yang sangat penting adalah komunikasi ke pasien terkait dengan aturan pakai
obat, cara pakai (ada puyer yang tidak boleh dicampur dengan susu), serta cara
penyimpanan (menyangkut stabilitas obat).
Jika semua sudah dilakukan sesuai tatanan norma hukum dan etika profesi, tidak ada
lagi yang perlu dikhawatirkan. Maka, sebagaimana dikatakan dr Widodo Judarwanto (lihat
tulisan lain di halaman ini), perdebatan soal puyer tidak pada substansinya.
Juga, sudah ditegaskan oleh Ketua IDAI dr. Badriul Hegar Sp.A. (K) dan Ketua Umum
IDI Fahmi Idris, puyer adalah bentuk sediaan obat yang tidak berbahaya selama syarat
ketentuan serta prosedur dilakukan secara baik dan benar. Menteri Kesehatan Siti Fadilah
Supari juga mengamini. Tidak semua obat puyer berbahaya.
Mengapa sih dokter kok perlu memberikan puyer?
1. Dengan sediaan puyer dokter bisa memberikan obat yang dosisnya disesuaikan
dengan berat badan anak. Karena dengan dosis sesuai berat badan itulah yang paling
tepat dalam pemberian obat.
2. Dengan pemberian puyer dokter bisa mencampurkan beberapa obat sekaligus, yang
memang diperlukan untuk kesembuhan pasien.
3. Dengan puyer anak tidak perlu meminum banyak obat (misal : sirup a, sirup b, sirup
c, dan seterusnya). Dengan sediaan puyer anak tersebut tidak perlu minum terlalu
banyak, dokter cukup dengan mencampurkan obat dengan kandungan spt sirup a,
sirp b, dan sirup c, menjadi satu puyer. Yang tentunya bisa mempermudah
pemberian obat kepada anak.
13
4. Dengan pemberian puyer, dokter bisa memberikan dosis yang lebih rendah dari
seharusnya, tapi memberikan efek yang sama dengan dosis normal. Hal itu
dikarenakan adanya interaksi antar obat yang ada didalam puyer tersebut.
5. Dengan pemberian obat puyer maka dokter bisa menerapkan tarif yang jauh lebih
murah.
Siapa saja yang harusnya bertanggung jawab tentang pembuatan puyer ?
1. Dokter selaku pembuat resep. Dokter harus meresepkan obat-obat yang rasional,
dan harus menjelaskan kepada pasien obat apa saja yang akan diberikan, baik
manfaat ataupun efek samping yang kemungkinan bisa timbul. Dan sebaiknya
dokter tidak melakukan Polifarmasi.
2. Apoteker selaku pembuat sediaan. Apoteker harus melaksanakan pembuatan
sediaan puyer dengan higienis dan dosis yang benar sesuai dengan perintah dokter.
Higienis tempat, alat, dan bahan, serta petugas pembuatnya tidak sedang sakit.
3. Industri Farmasi sebagai produsen obat. Pabrik farmasi harus dapat menyediakan
obat yang terjangkau baik dari harga yang murah maupun ketersediaannya di
seluruh pelosok indonesia. Tanpa ketersediaan dan harga yang mahal, tentunya
puyer masih tetap digunakan.
4. Masyarakat sebagai konsumen. Masyrakat harusnya berperan aktif dalam mencari
tahu jenis obat apa saja yang diberikan dan kegunaan obatnya apa, serta efek
14
samping dari obat itu apa saja? Tapi kenyataannya masyarakat indonesia cenderung
untuk pasif dan percaya apa saja yang diberikan dokter.
5. Tentunya Pemerintah Indonesia yang harus mengontrol penggunaan obat dan puyer,
dalam hal ini Departemen Kesehatan dan Badan POM. Apa kedua instansi itu sudah
bekerja dengan baik?
Berikut merupakan tanggapan tentang puyer dari sudut pandang asisten apoteker :
Polemik puyer semakin ramai dan membingungkan banyak masyarakat awam apalagi
setelah membaca banyaknya sumber yang mengatakan puyer tidak aman, berbahaya dan
sebagainya. Sebagai salah satu yang berkecimpung di dunia per-puyer-an setiap hari saya
ingin ikut memberi masukan yang semoga bisa menenangkan hati masyarakat yang masih
bingung dan pro kontra.
Tentang hal higienis atau tidaknya, semua kembali pada si pembuat puyer yang dalam
hal ini adalah apoteker dan asisten apoteker. Bila memang dari manusianya memiliki hati
dan tidak hanya asal bekerja, pastilah semua peralatan dipastikan higienis sebelum dipakai.
Tentang harus memakai timbangan khusus, kami merasa hal itu harus disesuaikan
dengan kondisi dulu. Lagipula, puyer itu sudah berisi campuran berbagai obat yang
dosisnya sudah dihitung dokter berdasar umur, berat badan, dan masalah alergi atau
tidaknya tubuh terhadap campuran obat tersebut. Jadi mau dibagi berapapun, tiap
bungkusnya sudah mengandung jumlah dan isi yang sama.
15
Memang diakui masih banyak dokter yang meresepkan puyer berisi lebih dari enam
macam dan dengan dosis tinggi. Hal itu tentunya bukan masalah dari puyernya tapi dari
komunikasi dokter dengan pasien sedikit menyimpang dari jalur. Namun, karena banyak
mengetahui dari cerita orang dan pengalaman pribadi, masalah komunikasi dengan dokter
memang sering diperbicangkan.
Sekali lagi semua kembali pada pribadi masing-masing. Ada dokter yang siap
dihubungi dan ditanya bila kami susah membaca resep, tapi ada pula dokter yang susah
diajak bicara bahkan sering tidak mau memberitahukan nomor teleponnya. Saya sangat
mendukung semua opini dari dokter, apoteker yang lebih berpengalaman dan tahu
kesehariannya bagaimana pembuatan puyer ini karena itu saya juga memohon dengan
sangat pada salah satu stasiun televisi swasta agar tidak memberitakannya dengan sangat
tidak berimbang hingga masyarakat percaya saja bahwa puyer berbahaya bagi anak.
Seperti sudah dikatakan para profesional tentang apa itu puyer yang berisi campuran
beberapa obat yang tidak mungkin bisa didapat dalam sebuah sirup apalagi bila harus
menghitung dosis sudah pasti puyer lebih bisa dipercaya karena puyer menggunakan
perhitungan umur, berat badan dan juga memikirkan apakah pasien ini akan alergi atau
tidak dengan tiap komponen puyer.
Dengan kata lain, dalam puyer dokter bisa membuat berbagai pilihan obat yang
jelas tidak bisa dilakukan sirup. Lalu soal obat berinteraksi dengan metal, bukankah semua
obat bahkan sirup sendiri juga dibuat di tempat-tempat yang berbahan metal dan logam?
Bila masih ada yang ingin didiskusikan, saya senang sekali menerima email dari Anda.
16
Untuk masyarakat awam jangan takut puyer itu aman selama apoteknya menjaga
kehigienisan pembuatan puyer.
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Jadi, yang dapat kami simpulkan dari semua yang tersebut diatas adalah bentuk
sediaan puyer sebenarnya tidak bermasalah, yang bermasalah adalah polifarmasi
(pemberian obat yang berlebihan/dobel dalam satu puyer), pembuatannya (baik dari
segi higienis, dan ketepatan dosis), ketersediaan obat (ada tidaknya obat sirup), harga
(mahalnya harga sirup). Jadi, pemberitaan yang sering diliput di berbagai media tidak
salah, hanya saja pemberitaan itu tidak dilakukan riset terlebih dahulu dan
pemberitaannya tidak seimbang yang akibatnya menimbulkan keresahan di
masyarakat. Tapi dari semua itu, yang menentukan segalanya adalah anda sendiri, jadi
pikirkanlah dengan sebaik-baiknya, pertimbangkan masak-masak, pelajari dengan
sejelas-jelasnya.
4.2. Saran
Dari informasi-informasi yang telah ada, kami menyarankan agar kita sebagai
konsumen lebih cermat dalam memilih obat alternatif. Pilihlah apotek yang terpercaya
kehigienisannya sehingga tidak berdampak buruk bagi kesehatan.
17
DAFTAR PUSTAKA
http://www.apotekkita.com/2009/02/polemik-puyer-cermin-mendesaknya-pengaturan-
pekerjaan-kefarmasian/
http://www.apotekkita.com/2009/02/polemik-puyer-menegaskan-pentingnya-no-pharmacist-no-
service/
http://www.apotekkita.com/2009/02/siapa-menikmati-polemik-puyer/
http://www.apotekkita.com/2009/02/sekali-lagi-tentang-puyer/
http://news.okezone.com/SP/index.php/ReadStory/2009/02/22/220/195109/puyer-dari-sudut-
pandang-asisten-apoteker
http://www.wikimu.com/news/DisplayNews.aspx?id=13076
http://fangky.web.id/2009/02/polemik-puyer/
www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=53061
http://news.okezone.com/read/2009/02/13/1/192440/1/idi-sesuai-prosedur-obat-puyer-tak-
masalah
http://www.averroes.or.id/lifestyle/ada-apa-dengan-puyer.html
http://wechubbyfamily.blogspot.com/2009/02/polemik-bahaya-obat-puyer.html
18
Contoh mengapa dokter memberikan puyer :
Misalnya ada anak dengan umur 5 tahun dengan berat badan 20 kg, untuk obat
antibiotik amoxicilin dalam bentuk sirup biasanya 1 botol sirup amoxicilin volumenya 60
cc yang persendok takarnya (5 cc) adalah 125 mg. Padahal anak dengan berat badan
tersebut membutuhkan dosis sebesar 3 x 250 mg (2 sendok takaran/10 cc). jika untuk
pemberian 3 hari maka diperlukan obat sebanyak 3 x 3 x 10 cc = 90 cc, yang berarti
diperlukan 2 botol obat tersebut. Padahal jika memberikan antibiotik seharusnya minimal
diberikan 5 hari tanpa berhenti, karena hal itu diperlukan untuk menghindari terjadinya
resistensi (kebal) kuman terhadap obat. Bayangkan jika anak tersebut sedang sakit Typus
disertai dengan batuk, pilek, dan panas. maka dia akan mendapatkan :
Sirup Antibiotik untuk typoidnya sebanyak 2 botol sirup
Sirup Panas untuk menurunkan panas mungkin cukup 1 botol sirup, tapi bila dalam
dua hari sirup panas habis dan masih terasa panas, tentu diperlukan sirup panas 1
botol lagi.
Sirup batuk dan pilek ini juga sama dengan sirup panas, bisa saja diperlukan sampai
2 botol sirup.
Bayangkan waktu meminum ketiga obat tersebut, masing2 dosisnya 3 x 2 sendok takar, jadi
sekali minum obat, anak tersebut harus meminum sebanyak 6 sendok takar? apa tidak
kebanyakan? apa anak tersebut mau meminumnya? tentunya ada yang mau ada yang tidak.
Bila dokter memberikan puyer maka cukup dengan memberikan resep 5 tablet Amoxicilin
500 mg dibagi menjadi 10 bungkus puyer, dan puyer kedua berisikan Obat penurun panas
19
dan batuk pilek yang juga dijadikan 10 bungkus puyer. Pada waktu meminumnyapun puyer
antibiotik dan puyer batuk pilek panas bisa dicampur jadi satu, bisa ditambah dengan
pemanis (gula). Jadi anak tersebut cukup dengan sekali minum obat sudah meminum semua
obatnya. Kira-kira lebih enak mana? itu semua terserah anda dan anak anda.
Bila pemberian puyer dilarang, maka bagaimana dengan daerah indonesia yang masih
pedesaan, dan kota-kota kecil yang tentunya ketersediaan obat sirup yang terbatas itu-itu
saja? apa nanti setiap ada pasien anak diberikan sirup yang ada, trus pil-pil yang untuk
orang dewasa dan disuruh untuk membagi sendiri ( jadi nanti aturan pakainya bisa seperti
ini : 3 x 1/5 tablet, 3 x 1/3 tablet ), apakah bisa keluarga pasien membagi dengan tepat?
ketersediaan obat, menurut ahli farmasi yang diwawancara di RCTI, memang benar, semua
telah disediakan dalam bentuk sirup. Tapi apakah semua daerah telah mendapatkan sediaan
obat sirup itu? yang jelas pastinya cuma kota besar saja yang selalu tersedia.
Kemudian masalah harga/biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien/keluarga, menurut
contoh diatas yang bisa sampai membutuhkan 4 – 6 botol sirup, misalnya bila setiap sirup
kita hargai Rp. 5000,00 maka harga obat yang harus dibayar minimal 4 x Rp. 5000 = Rp.
20.000,00. Harga itu belum termasuk jasa madis, dan pemeriksaan lainnya (itu kalau harga
tiap sirupnya cuman Rp. 5000 dan dibutuhkan 4 botol sirup, kalau lebih??). Dengan
pembuatan puyer harga obat yang seperti itu bisa dipangkas menjadi 1/4 nya saja, jadi
dengan Rp. 20.000,00 pasien sudah dapat obat + jasa periksa dokternya, malah bisa kurang
dari itu.
20
top related