madzhab shohabi dan dzariah
Post on 04-Jan-2016
252 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I.Latar Belakang
Segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat kesehatan dan kesempatan,
sehingga penulis dapat menyelesaikan tugasnya sesuai dengan apa yang penulis
harapakan. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, yang
tentunya merupakan satu-satunya nabi yang dapat member syafaat kepada umat
manusia. Dan mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang mendapatkan syafaat.
Amin Dalam kesempatan ini kami akan membahas tentang sesuatu yang berkaitan
dengan metode memproduk hukum islam, yang selama ini kita ketahui bahwa para
ulama' dalam setiap mengeluarkan produk hukum pasti menggunakan metode yang
berbeda-beda. Meskipun para ulama' berbeda dalam metode yang mereka gunakan,
tetapi yang menjadi sumber utama tetap sama yaitu Al-qur'an dan As-sunnah. Salah
satu metode yang di gunakan oleh para ulama' yaitu Madzhab Shahabi dan Dzari’ah.
Yang merupakan salah satu dari sekian metode yang telah digunakan. Oleh karena itu
pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang Madzhab Shahabi dan Dzari’ah.
II. Rumusan masalah
1. Pengertian madzhab sahabi dan dzari’ah?
2. Kondisi Sahabat pasca Nabi Muhammad?
3. Kehujjahan madzhab sahabi dan dzari’ah?
4. Pandangan para ulama terhadap madhab sahabi?
5. Macam-macam madzhab sahabi dan dzari’ah?
6. Pengertian Saad Dzariah dan fath Dzari’ah?
7. Kedudukan dan dasar Hukum saad dzari’ah?
III. DATA
Ada beberapa dalil madzhab sahabi yang tidak disepakati oleh ulama tentang
nilainya sebagai hujjah, diantaranya pendapat sahabat. Dalam hal ini Jumhur
Ulama berpendapat bahwa pendapat sahabat tidak menjadi hujjah, karena Allah
tidak mengharuskan kita untuk mrngikutinya. Kita hanya diperintahkan mengikuti
Al-Qur’an dan A-Sunnah dan para sahabat bukanlah orang-orang yang mashum.
Yang dimaksud pendapat sahabat adalah pendapat sahabat dalam masalah Ijtihad.
Pendapat kedua menetapkan bahwa pendapat sahabat menjadi hujjah dan
didahulukan daripada qiyas. Dan pendapat ketiga menyatakan bahwa pendapat
sahabat mejadi hujjah apabila dikuatkan dengan qiyas atau tidak berlawanan
dengan qiyas. Sedangkan Dzari’ah diakui dan dipakai oleh sebagian besar ulama
madzhab sebagai salah satu metode dalam istinbath hukum, walaupun ada
perbedaan dalam bagian-bagian tertentu. Bahkan ‘Allal al-Fasy, berpandangan
bahwa dzari’ah baik menutup peantara yang membawa kepada mafsadat maupun
membuka perantara yang membawa mashlahat. Pada dasarnya merupakan bagian
dari Maqasid al-Syari’ah. Lebih dari itu, dzari’ah merupakan salah satu sarana
bagi pembaharuan Hukum Islam, sehingga bisa mengikuti perkembangan zaman.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Mazhab Shahabi
Kitab-kitab ushul fiqih banyak membahas tentang persoalan Madzhab Shahabi. Ada
yang memberinya nama qaul sahabat ( perkataan sahabat ) atau juga fatwa sahabat
( fatwa sahabat ). Dalam kitab ushul fiwih dijelaskan bahwa Fatwa sahabat adalah
الكبار الضحابة من بي صحا به أفتى ما
Artinya :
“ Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang ulama shahabi.”
Atau juga
قوله بإنفراده بي الصحا قتوى
Artinya :
“Fatwa sahabat ( Nabi ) yang berbentuk ucapan dengan dasar ( pendapat )
pribadinya.”
Jadi secara sederhana adalah fatwa yang berbentuk ucapan yang dikeluarkan oleh
seseorang ulama sahabat. Atau pengertian lain ialah pendapat sahabat rasulullah
tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran
dan Sunnah Rasulullah.
Sedangakan yang dimaksud shahabat seperti yang dikemukakan oleh Muhammad
‘Ajjaj al- Khatib, ahli hadis berkebangsaan Syiria, dalam karyanya ushul al-hadis
adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul bersama rasulullah dalam waktu yang
cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Misalnya, Umar bin Khattab,
‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Sabit, ‘Abdullah bin Umar bin Khattab, ‘Aisyah, dan
‘Ali bin Abi Thaib. Atau juga ada yang mengartika bahaw sahabat adalah seorang
yang hidup pada masa nabi atau pernah bertemu dengan beliau dan mati dalam Islam.
B. Kondisi Sahabat Pasca Nabi Muhammad
Setelah rasulullah wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam
dan mengenal fiqih untuk memberikan fatwa kepada umat islam daan membentuk
hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan rasulullah dan
telah memahami Alquran serta hukum-hukumnya. Dari merekalah keluar fatwa-fatwa
mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan tabi’in dan tait
tabi’n telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka.
Diantara mereka ada yang mengkodifikasikannya bersama sunnah-sunnah rasul,
sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber hukum yang disamakan
dengan nash. Bahkan, seorang mujtahid harus mengembalikan sesuatu permasalahan
kepada fatwa mereka sebelum kemabali kepada qiyas, kecuali kalau hanya pendapat
perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat islam.
Dengan demikian, jelaslah bahwa pendapat para sahabat diianggap sebagai hujjah
bagi umat islam, terutama dalam hal-hal yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Ini
karena pendapat mereka bersumber langsung dari rasulullah. Dan mereka mengetahui
tentang rahasia-rahasia syari’at dan kejadian-kejadian lain yang bersumber dari dalil-
dalil yang qath’I, seperti kesepakatan mereka atas pembagian waris untuk nenek yang
mendapat bagian seperenam, ketentuan tersebut wajib diikuti, karena tidak diketahui
adanya perselisihan dari umat Islam.
C. Kehujjahan Madzhab Shahabi
Para ulama sepakat bahwa pendapat sahabat Nabi tidak menjadi alasan ( hujjah ) bagi
sahabat yang lain. Yang menjadi pertentangan adalah apakah pendapat sahabat itu
dapat dijadikan hujjah bagi orang yang hidup sesudah masa sahabat. Berkaitan
dengan ini ada empat pendapat ulama, yaitu :
1. Pendapat sahabat tidak dapat dijadikan sebagai hujjah secara kesuluruhan. Ini
adalah pendapat jumhur ulama yang terdiri dari ulama asy’ariyah, mu’tazilah,
syi’ah, pendapat yang kuat di kalangan ulama syafi’iyah, salah satu riwayat
dari Ahmad bin Hanbal, ulama mutaakhirin hanafiyah dan malikiyah, dan
Ibnu Hazm dari madzhab Zhahiri.
2. Pendapat sahabat dapatdijadikan hujjah dan didahulukan dari pada qiyas,.
Pendapat ini dikemukakan oleh beberapa ulama hanafiyah, malikiyah, qaul
qadim al-Syafi’I, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hanbal.
3. Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila tidak bertentangan
dengan perkataan sahabat yang lain. Dalam hal seperti ini, perkataan sahabat
didahulukan dari pada qiyas. Akan tetapi, jika berlawanan dengan perkataan
shahabat yang lain, maka dipilih yang sesuai dengan kandungan Kitab Suci,
hadis ijma’, dan qiyas. Ini Pendapat Imam as-syafi’I dalam qaul jadid nya.
4. Pendapat sahabat dapat dijadikan sebagai hujjah apabila bertentangan dengan
qiyas, karena dengan perlawanan itu berarti pendapat sahabat bukan
bersumber dari qiyas, tetapi dari sunnah. Pendapat terakhir ini bersumber dari
kalangan hanafiyah.
Al-Syaukani cenderung untuk tidak menerima pendapat sahabat sebagai hujjah dan
metode ijtihad. Menurutnya, memang kedudukan para sahabat dipandang lebih tinggi
karena kedekatan mereka dengan Nabi, namun mereka tidak memiliki wewenangan
menentukan syari’at.
D. Pandangan para ulama terhadap madzhab shahabi
Secara umum, adanya perbedaan pendapat biasanya terjadi pada pendapat sahabat
yang keluar dari pendapat sendiri, belum ada kesepakatan dari sahabat yang lain.
Menurut Abu Hanifah bahwa pendapat seorang shahabat itu sebagai hujjah, karena
beliau apabila ada permasalahan yang tidak terdapat dalam Alquran dan Assunnah
beliau mengambil pendapat sahabat yang dia kehendaki. Beliau juga tidak
memperkenankan untuk menentang pendapat-pendapat mereka keseluruhan. Menurut
Abu Hanifah, perselisihan antara dua orang sahabat mengenai hukum suatu kejadian
sehingga terdapat dua pendapat, bisa dikatakan ijma; diantara keduanya. Oleh karena
itu, kalau keluar dari pendapat mereka secara keseluruhan berarti telah keluar dari
ijma’ mereka.
Berbeda dengan imam Syafi’I beliau berpendapat bahwa pendapat orang tertentu
dikalangan saahabat tidak dipandang sebgai hujjah. Beliau memperkenankan untuk
menentang Pendapat mereka secara keseluruhan, dan melakukan ijtihad untuk
menginsitnbathkan pendapat lain. Alasannya, pendapat mereka adalah pendapat
ijtihadi secara perseorangan dari orang yang tidak ma’sum.
E. macam-macam Madzhab sahabi Menurut ibu Qayyim al-jauziyyah.
Menurut Ibnu Qayyim dalam kitabnya I’lam al- Muwaqqi’in mengatakan bahwa
shahabat tidak keluar dari enam bentuk berikut yaitu :
1. Fatwa yang didengar shahabat dari Nabi Muhammad.
2. Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi Muhammad
3. Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap ayat Alquran yang
masih belum jelas maksudnya bagi kita.
4. Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh shahabat yang sampai kepada
kita melalui salah seorang ssahabat.
5. Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya, baik bahasa
maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi
Muhammad dan maksud-maksudnya, tentang keadaan nabi Muhammad
dan maksud-maksudnya.
Kelima model fatwa ini wajjib untuk diikuti.
6. Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari nabi
Muhammad, dan pemahamannya itu salah. Yang seperti ini tidak menjadi
hujjah.1
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidan membagi Pendapat sahabat ke
dalam empat kategori yaitu :
a) Fatwa sahabat yang bukan merupakan hasil ijtihad. Misalnya, fatwa Ibnu
Mas’ud, bahwa batas minimal waktu haid tiga hari, dan batas minimal mas
kawin sebanyak sepuluh dirham. Fatwa- fatwa seperti bukan merupakan
merupakan hasil ijtihad sahabat dan besar kemungkinan hal itu mereka terima
dari RAsulullah. Oleh Karena itu, fatwa seperti ini dapat dijadikan landasan
hokum bagi generasi selanjutnya.
1 Djazuli,Ilmu Fiqh (Jakarta: Kencana,2005), hlm.97-98.
b) Fatwa sahabat yang disepakati secara tegas di kalangan mereka dikenal
dengan ijma’ sahabat. Fatwa seperti ini dapat dijadikan pegangan bagi
generasi seseudahnya.
c) Fatwa shabat secara perseoragb yang tidak mengikat sahabat lain. Para
mujtahid memang berbeda Pendapat dalam satu masaah, namun dalam hal ini
fatwa seorang sahabat tidak mengikat sahabat lain.
d) Fatwa sahabat secara perseorangan yang didasarkan oleh ra’yu dan ijtihad. 2
Dzari’ah
A. Definisi Dzari’ah
Ditinjau dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”, sebagian ulama
mengkhususkan pengertian dzari’ah degnan sesuatu yang membawa pada perbuatan
yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetapi, Pendapat tersebut
ditentang oleh para ulama ushul fiqih lainnya, diantaranya Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
yang mengatakan bahwa dzari’ah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang,
tetapi ada juga yang dianjurkan., lebih tepat kalau dzari’ah dibagi menjadi dua yaitu
Sadd Dzari’ah dan Fath al-Dzari’ah.
Dengan demikiann yang dilihat dalam adzariah ini adalah perbuatan-perbuatan yang
menyampaikan kita kepada terlaksananya yang wajib dan mengakibatkan kepada
yang terjadinya yang haram, Allah telah melarang menghna berhala, meskipun
berhala sesuatu yang bathil. Karena mennghuna berhala mengakibatkan dihinana
Allah oleh orang-orang penyembah berhala. Sebagaimana firman Allah dalam surat
al-An’am ayat 108.
� �ٍم ْل ِع� �ِر� �َغْي ِب � ِعْد�وًا �َه ًالْل � �وًا ُّب ُس� َفْي �َه� ًالْل ُد�وِن� ِم�ن ْد�ِع�وِن َي �ِذ�َين ًال � �وًا ُّب ُس� َت وَال
� �وًا اُن َك �َما ِب �ُه�ٍم )ُئ ُّب �َن َفْي ِج�ُع�ُه�ٍم� ِم�ِر� )ُه�ٍم ِب َر �لى ِإ �ٍم� ُث ُه�ٍم� ِعَمْل ِم�ٍة�� ُأ �ِّل) �ُك ل �ا �َن َي َز �َك ِذل َك
�وِن ُع�َمْل َي2 Satria Effendi,Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana,2005), hlm.169.
Artinnya: “Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah, selain
Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melewati batas tanpa
pengetahuan”.3
B. Definisi Sadd Dzari’ah
Sadd Dzari’ah adalah
إلىمفسدة مصلحة هو بما صل التو
Artinya :
“Suatu pekerjaan yang semula mengandung kemaslahatan, tetapi kemudian dapat
menyampaikan kepada suatu kemafsadatan.”
Sedangkan Muhammad al-Syaukani mendefinisikan Sadd Dzari’ah adalah :
المحظور فعل إلى بها ويتوصل حة با إال ها التيظاهر المسألة
Artinya :
“Masalah (sesuatu ) yang dilihat secara lahir adalah mubah ( boleh ), tetapi
membawa kepada perbuatan yang terlarang.”
Dengan demikian, secara singkat dapat dikatakan Sadd Dzari’ah adalah perbuatan
yang dilakukan seeorang yang sebelumnya mengandung kemaslhatan, tetapi berakhir
dengan suatu kerusakan. Misalnya, seseorang yang telah dikenai kewajiban zakat,
namun sebelum haul ( genap tahun ) ia menghibahkan harta tersebut kepada anaknya,
sehingga dia terhindar dari kewajiaban zakat.
C. Kedudukan dan Dasar Hukum Sadd Dzari’ah
Kedudukan Sadd Dzari’ah pada pandangan ulama, mendapatka perhatian yang cukup
serius terhadap Dzari’ah ini. Seluruh ulama mengakaji Sadd Dzari’ah ini pada kajian
dalil-dalil yang tidak disepakati.
Dasar hokum adanya Sadd Dzari’ah adalah seperti yang dijelaskan dalam Alquran
dan Assunnah dalam Alquran dicontohkan surat Al-baqarah yang berbunyi :
واسمعوا أنظرنا وقولوا راعنا تقولوا ال أمنوا الذين أيها يا
3Djazuli,Op.Cit., hlm.98-99.
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu berkata : “ra ina”, tetapi katakanlah:
“ undhurna” dan dengarlah.”
Larangan menyebut ra’ina, karena orang yahudi menggunakan kata-kata ra’ina unutk
mencela atau menghina Nabi Muhammad. Oleh karena itu, umat islamdilarang untuk
mengatakan ra’ina sebagai suatu dzari’ah. Dari sini, tampak bahwa saddu al-dzari’ah
ada dasardalil nya dari alquran, sedangkan dari Assunnah diantaranya :
1. Nabi Muhammad melarang membunuh orang munafiq, karena membunuh
orang munafiq dapat meneybabkan nabi Muhammad dituduh membunuh
shahabat-shahabat-Nya.
2. Nabi melarang kepada kreditur untuk mengambil atau menerima hadiah dari
debitur, karena cara demikian dapat berakibat jatuh kepada riba.
3. Nabi melarang memotong tangan pencuri pada waktu perang dan
ditangguhkan sampai selesainya perang, kakrena memotong tangan pencuri
pada waktu perang membawa akibat tentara-tentara lari menggabungkan diri
dengan musuh.
4. Nabi melarang Bani Hasyim untuk mendapatkan zakat kecuali menjadi amil,
hal ini dilakukan agar tidak terjadi fitnah.
5. Nabi melarang penimbunan, karena penmbunan itu menimbulkan pada
dzari’ah kepada kesempitan atau kesulitan manusia.4
D.Macam – Macam Dzari’ah
Para ulama membagi Dzari’ah berdasarkan dua segi yaitu segi kualitas kemafsadatan
atau tigkat kerusakan, dan segi jenis kemafsadatan atau dampak yang
ditimbulkannya.
1. Dzariah ditinjau dari segi kualitas kemafsadatan atau tingkat kerusakannya terbagi
atas empat macam berikutnya :
a. Perbuatan yang dilakukan (dzari’ah ) tersebut membawa kepada kemafsadatan
yang pasti. Misalnya, menggali sumur di dipan rumah orang lain pada waktu
4Djazuli,Op.Cit., hlm, 100.
malamm, yang meneyebabkan pemilik rumah jatuh ke dalam sumur tersebut.
Karenanya, ia dapat dikenai hukuman karena melakukan perbuatan tersebut
dengan sengaja.
b. Dzari’ah yang boleh diakukan ( mubah) namun dijadikan jalan perbuatan yang
merusak. Misalnya, seorang laki-laki menikahi perempuan yang ditalak tiga
kali dengan tujuan agar wanita itu bisa kembali dengan suaminya yang
pertama (nikah tahlil).
c. Dzari’ah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk
kerusakan, namun biasanya sampai juga pada kerusakan yang mana kerusakan
itu lebih besar dari kebaikannya.Misalnya, berhiasnya seorang perempuan
yang baru suaminya meninggal dalam masa iddah.
d. Dzariah yang semula ditentukan mubah, namun terkadang membawa
kemafsadatan, sedang kerusakannya itu lebih kecil. Misalnya, melihat wajah
perempuan saat dipinang.
2. Dzari’ah ditinjau dari segi kemafsadatannya yang ditimbulkan atau dampak yang
ditimbulkannya terbagi menjdadi empat macam yaitu :
a. Dzari’ah yang membawa kepada suatu kerusakan yang pasti. Artinya, bila
perbuatan dzari’ah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kersakan.
b. Dzari’ah yang mambawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kalau
dzari’ah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan
dilakukannya perbuatan yang dilarang..
c. Dzari’ah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakannya. Hal
ini berarti bila dzari’ah itu tidak di hindarkan sering kali sesudah itu akan
mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang terlarang.
d. Dzari’ah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang.
Dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan
kerusakan.5
5. Kehujjahan Sadd Dzariah
5 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2,( Jakarta: Logos Wacana Ilmu,2001), hlm, 402-403.
Dalam buku yang ditulis oleh Ade Dedi Rohayana dijelaskan bahwa jumhur
ulama menerima saddu dzari’ah sebagai salah satu dalil syara’ akan tetapi kadar
penerimaanya berbeda Pendapat, seperti Imam malikiyah dan Hanabilah dapat
menerima khujjahannya sebagai salah satu dalil syara’ dengan dasar surat Al-An’am
ayat 108 dan Hadis rasull yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Abu
Dawud yang artinya :
“ Sesungguhnya sebesar-besarnya dosa besar adalah seseorang melaknat kedua orang
tunya. Lalu Rasulullah ditanya, “ Wahai Rasulullah, bagaimana mungkin seseorang
akan melaknat ibu dan bapaknya? Rasululah menjawab : “ Seseorang yang mencaci
makiayah orang lain, maka ayahnya juga akan dicaci maki orang lain, dan seseorang
mencaci maki ibu orang lain,maka orang lainpun akan mencaci-maki Ibunya.”
Ulama hanafiyah, syafi’iyah dapat menerima sad al-dzari’ah dalam masalah-
masalah lain. Dan menurut Husain hamid, salah seorang uru besar ushul fiqih fakultas
Hukum universitas kairo, ulama hanafiyah dan syafi’iyah menerima shadd al-dzari’
apabila kemafsadatannya benar-benar terjadi atau sekurang-kurangnya kumngkinan
besar akan terjadi. Sedangkan Imam Al-Syafi’I menerimanya dalam keadaan udzur,
misalnya seorang musafir atau yng sakit diperbolehkan meninggalkan shalat jum’aat,
dan boleh menggantinya dengan salat dzhuhur.namun, shalat dhuhur harus
dilaksanakan dalam keadaan diam-diam, agar tidak dituduh sengaja meninggalkan
shalat jum’at.
Dalam memandang dzari’ah, ada dua sisi yang dikemukakan ple para ulama ushul
fiqih :
1. Motivasi seseorang dalam melakukan sesuatu. Seperti : laki-laki menikahi
perempuan yang ditalak tiga dengan tujuan wanita itu kembali kepada suaminya yang
pertama( nikah at-tahlil )
2. Dari segi dampaknya ( akibatnya ). Misalnya, mencaci maki sesembahan rang
musyrik yang berakibat merekapun mencaci Allah.
Demikianlah, bahwa dzari’ah telah di pakai oleh kebanyakan ulama sebagai salah
satu metode dalam menggali hukum syara’. Meskipun demikian, pemakaian
Dzari’ah tidak dilakukan secara berlebihan. 6
6.Fath Adz-Dzariah
Satu dari sekian tujuan Islam adalah menghindari kerusakan (mafsadah) dan
mewujudkan kemaslahatan, maka jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi
sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah suatu perbuatan
yang menjadi sarana tersebut (fath al-dzari’ah), dan jika sebaliknya suatu perbuatan
yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah) maka
dilaranglah hal-hal yang mengarah kepada perbuatan tersebut (saddu al-dzari’ah).
Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah dan imam Al-Qarafi , mengatakan, bahwa Dzariyah itu
adakalanya dilarang yang disebutkan Sadd adz-Dzariah dan adakalanya dianjurkan
bahkan diwajibkan yang disebut Fath adz-Dzariah.
7.Contoh-contoh Fathu al-Dzari’ah
Dzara’i adalah persoalan yang harus diketahui umat Islam, hal ini diungkapkan oleh
al-Qorofiy contoh-contoh fathu dzara’iah, yaitu :
1. Memberikan harta rampasan perang/fasilitas kepada musuh (dalam perang),
sebagai tebusan untuk membebaskan tawanan/sandera.
2. Menyuap seseorang atau pihak tertentu untuk keputusan hukum yg
sebenarnya, pada saat ia didzalimi (dianiaya atau direkayasa dalam
pengadilan). Artinya, status hukum yg seharusnya ia terima tidak bisa
didapatkan kecuali dengan mengeluarkan uang/harta.
3. Membayar sejumlah harta kepada Negara atas perlindungan dari bahaya, agar
kekuatan umat Islam tetap terjaga di Negara tersebut
6 Maghfud Ahmad dkk, Islamic Law Studies (Yogyakarta: Gama Media,2007), hlm.45.
4. Memberikan potongan harga/menurunkan harga bagi calon jamaah haji yang
ingin ke baitullah
5. Jika mengerjakan shalat jum’at wajib, maka meninggalkan jual beli ketika
akan melaksanakan shalat jum’at pun menjadi wajib
6. Menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka segala sesuatu yang
menghubungkan dengan menuntut ilmu adalah wajib
Maka atas beberapa hal diatas, oleh beberapa ulama membolehkan pelaksannannya
dengan alasan fath dzara’i (membuka jalan) untuk sesuatu yang lebih maslahat bagi
masyarakat/umat Islam.7
BAB III
7 http://anumb66.blogspot.com/2013/01/makalah-ushul-fiqih-madzhab-sahabi-dan.html. diakses tanggal 12 November 2013.
PENUTUP
Kesimpulan
Dari penjelasan mengenai madzhab shahabi di atas dapat disimpulkan bahwa yang
dinamakan dengan madzhab shahabi adalah perkataan shahabat Rasulullah saw,
mengenai suatu masalah yang hukumnya tidak didapatkan dalam Al-Qur'an maupun
As-sunnah. Dan mengenai kehujahannya terdapat sebagian ulama' yang menerima
madzhab shahabi dijadikan hujjah secara mutlak, dan ada juga sebagian ulama' yang
menolak atas kehujjan madzhab shahabi. Dan mungkin perbedaan tersebut sangatlah
wajar karena dilihat dari persepektif sudut pandang yang berbeda-beda dan tentunya
dengan alasan yang berbeda-beda pula.
Dari pembahasan yang telah kami paparkan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan adzariah berarti wasilah atau
jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd al-zariah berarti menutup
jalan yang mencapaikan kepada tujuan dengan demikian sadd- Dzariah berarti
menutup jalan yang mencapai kepada tujuan, menurut imam Asy Syatibi sadd-
Dzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung
kemaslahatan tetapi berakhir seuatu kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Mahfud.2007.Islamic Law Studies Yogyakarta: Gama Media.
Djazul. 2005. Ilmu Fiqh. Jakarta: Kencana.
Effendi, Satria .2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir.2001.Ushul Fiqh jilid 2. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
http://anumb66.blogspot.com/2013/01/makalah-ushul-fiqih-madzhab-sahabi-
dan.html. diakses tanggal 12 November 2013.
top related