laporan praktikum isolasi dan pengaruh terhadap dna.docx
Post on 06-Feb-2016
216 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN PRAKTIKUM BIOTEKNOLOGI“ISOLASI DNA KASAR”
Oleh :
Nama : Burhan Setia BudiNIM : 115040200111052Kelompok : Kamis, 09.15 WIBAsisten : Muhammad Arif
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012
BAB IPENDAHULUAN
1.1.LATAR BELAKANG
DNA adalah asam nukleat yang mengandung materi genetik dan berfungsi untuk mengatur perkembangan biologis seluruh bentuk kehidupan secara seluler. DNA terdapat pada nukleus, mitikondria, dan kloroplas. Perbedaan ketiganya adalah DNA nukleus berbentuk linier dan berasosiasi sangat erat dengan protein histon, sedangkan DNAmitokondria dan kloroplas berbentuk sirkular dan tidak berasosiasi dengan protein histon.Selain itu DNA mitokondria dan kloroplas memiliki ciri khas, yaitu hanya mewariskansifat-sifat yang berasal dari garis ibu. Sedangkan DNA nukleus memiliki pola pewarisansifat dari kedua orangtua. Dilihat dari organismenya, struktur DNA prokariot tidak memiliki protein histon dan berbentuk sirkular, sedangkan DNA eukariot berbentuk linier dan memiliki protein histon
DNA memiliki struktur pilinan utas ganda yang anti pararel dengan komponen-komponennya, yaitu gula pentosa (deoksiribosa), gugus fosfat dan pasangan basa. Sebuahsel memiliki DNA yang merupakan materi genetik dan bersifat herediter pada seluruhsistem kehidupan. Genom adalah set lengkap dari materi genetik (DNA) yang dimilikisuatu organisme dan terorganisasi menjadi kromosom. DNA juga dapat diisolasi, baik pada
manusia maupun tumbuhan. DNA manusia dapat diisolasi melalui darah.Komponen darah yang diisolasi yaitu sel darah putih, karena memiliki nukleus dimanaterdapat DNA didalamnya.
Pentingnya pengetahuan tentang DNA dan cara mengisolasinya ini akan dibahas dibahas tentang cara untuk mengisolasi DNA kasar dengan menggunakan alat dan bahan yang sederhana.
1.2.TUJUAN
- Mengetahui definisi isolasi DNA
- Mengetahui metode dan tahapan dalam isolasi DNA
- Mengetahui manfaat isolasi DNA
1.3.MANFAAT
- Mahsiswa dapat mengetahui dan melakukan proses-proses yang berkaitan langsung untuk melakukan isolasi DNA.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
2.1. DEFINISI ISOLASI DNA
Isolasi DNA merupakan langkah mempelajari DNA. Salah satu prinsisp isolais DNA yaitu dengan sentrifugasi. Sentrifugasi merupakan teknik untuk memisahkan campuran berdasarkan berat molekul komponennya. Molekul yang mempunyai berat molekul besar akan berada di bagian bawah tabung dan molekul ringan akan berada pada bagian atas tabung. Hasil sentrifugasi akan menunjukkan dua macam fraksi yang terpisah, yaitu supernatan pada bagian atas dan pelet pada bagian bawah.
(Arsis, 2010)
Isolasi DNA adalah proses pengeluaran DNA dari tempatnya berada (ekstraksi atau lisis) biasanya dilakukan dengan homogenasi dan penambahan buffer ekstraksi atau buffer lisis untuk mencegah DNA rusak.
(Yuwono, 2006)
DNA isolation is a routine procedure to collect DNA for subsequent molecular or forensic analysis. Isolasi DNA adalah prosedur rutin untuk mengumpulkan DNA untuk analisis molekuler atau forensik berikutnya.
(Doyle, 1990)
DNA isolation is one of the most basic and essential techniques in the study of DNA. The extraction of DNA from cells and its purification are of primary importance to the field of biotechnology and forensics. Isolasi DNA merupakan salah satu teknik yang paling dasar dan penting dalam studi DNA. Ekstraksi DNA dari sel dan pemurnian yang merupakan kepentingan utama untuk bidang bioteknologi dan forensik.
(Purwantara, A. 2001)
2.2. MACAM METODE ISOLASI DNA
a. Kitchen Preparation
ada 4 hal penting yang harus kita lakukan untuk melakukan isolasi DNA yaitu:
1. melisis sel secara fisik, dengan cara penggerusan.2. pemecahan dinding sel.3. pemecahan membran sel.4. pemisahan DNA dari bahan yang lain.
Bahan yang kita gunakan biasanya berupa jaringan tumbuhan atau jaringan hewan, untuk itu langkah pertama yang harus kita lakukan adalah memecahkan jaringan menjadi sel-sel yang mandiri. Proses dilakukan secara fisik dengan menumbuk atau menggerus bahana yang akan kita gunakan. bahkan bahan yang lunak seperti strowberry cukup hanya diremas-remas saja.
Kedua adalah memecahkan dinding sel dan membran sel lapisan pembungkus DNA. struktur utama pembentuk membran dan dinding sel adalah lemak, untuk itu kita gunakan deterjen dan garam dapur. Kedua bahan ini digunakan untuk melubangi dan merusak sel sehingga isi inti sel (DNA)bisa keluar.
Jika perlu kita dapat menambahkan proteinase (enzim pengurai protein) untuk menyingkirkan protein yang mungkin akan mengotori bahan yang kita inginkan. Proteinase alami yang dapat kita gunakan adalah papain yang merupakan ekstrak daun pepaya, atau bromelin yang merupakan ekstrak buah nanas.
Tahap selanjutnya adalah pemisahan DNA dari bahan yang lain. Pemisahan dilakukan dengan menggunakan ethanol/alkohol dingin berkonsentrasi 90-95%. Ethanol/Alkohol tidak melarutkan DNA dan berat jenis alkohol yang lebih ringan dari air membuat DNA naik dan melayang-layang di permukaan.
(Tohib, 2012)
b. CTAB
CTAB merupakan sejenis deterjen yang dapat mendegradasi dinding sel, denaturasi protein, memisahkan karbohidrat (Kaidah dan Suprapto, 2003), merusak membran sel dan melarutkan DNA ( Purwantara, 2001). Apabila dinding sel terdegradasi maka semua isi sel dapat keluar termasuk DNA dan dilepaskan ke dalam buffer ekstraksi.
Dalam proses isolasi DNA tanaman, penambahan senyawa pereduksi seperti merchaptoetanol dapat mencegah proses oksidasi senyawa fenolik sehingga menghambat aktivitas radikal bebas yang dihasilkan oleh oksidasi fenol terhadap asam nukleat (Wilkins dan Smart, 1996). Merchaptoetanol juga berfungsi untuk melindungi RNA dari senyawa quinon, disulphide, peroksida, poliphenoksidase, dan protein (Milligan, 1992). Proses pemansan pertama bertujuan untuk melarutkan CTAB dan mercaptoetanol. Sedangkan pemanasan yang kedua bertujuan untuk memdegradasi protein dan dinding sel.
Klorofrom dan isoamilalkohol (CIAA) berfungsi untuk mengekstrak dan dan mengendapkan komponen polisakarida di dalam buffer ektraksi yang mengkontaminasi larutan DNA (Ningrum, 2008). Pemberian isopropanol dan etanol dilakukan agar terjadi dehidrasi DNA sehingga terjadi presipitasi (Purwantara, 2001). Setelah pemberian etanol, pellet yang dipeoleh dikeringanginkan. Hal ini bertujuan untuk mengeringkan pellet dari sisa-sisa buffer maupun etanol.
Tahapan terakhir dari ektraksi ini adalah penambahan buffer TE. Buffer TE berfungsi untuk melarutkan DNA yang dihasilkan dan menjaga DNA agar tidak mudah rusak. Dalam buffer TE mengandung EDTA yang berfungsi sebagai senyawa pengkelat yang mengikat ion Magnesium, yaitu kofaktor yang diperlukan untuk altivtas berbagai enzim nuclease (Sudarsono, 1996).
Metode ekstraksi DNA dengan CTAB akan menghasilkan pita DNA yang berukuran tebal dan dapat memisahkan DNA dari polisakarida karena adanya perbedaan karakteristik kelarutan (differensial of solubility). Disamping deperoleh fragmen DNA, dengan metode CTAB juga akan diperoleh RNA dengan pita tipis yang terletak jauh berada di bawah pita DNA. Keberadaan pita RNA tergantung bahan yang diekstraksi (Prasetyo, 2008).
Metode ini tidak membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan menggunakan kit. Selain itu, kelebihan dari ektraksi ini adalah pita DNA yangdiproleh lebih tebal bila dibandinglan dengan ektraksi metode fenol dan tanpa fenol. Akan tetapi, dari hasil dengan metode ini masih terdapat pita smear dan DNA yang dihasilkan lebih sedikit daripada ektraksi dengan menggunakan kit ( Ningrum, 2008). Kendala yang umum terjadi dalam
ekstraksi CTAB adalah adanya inhibitor pada inang, rendahnya konsentrasi vius dan pengaruh cara maupun lama waktu penyimpanan (Wyatt and Brown, 1996).
2.3. PERBEDAAN ISOLASI DNA KASAR DENGAN ISOLASI DNA BUFFER EKSTRAKSI
Isolasi DNA kasar (Kitchen Preparation)
Isolasi DNA halus dengan buffer ekstraksi (CTAB)
memecahkan dinding sel dan membran sel lapisan pembungkus DNA dengan megunakan deterjen dan garam dapur
Memecahkan dinding sel dan membran sel dengan detergen modifikasi CTAB dan mercaptoetanol
Tidak ada pemanasan pada proses ini
Proses pemansan pertama bertujuan untuk melarutkan CTAB dan mercaptoetanol
Tidak ada pengendapan komponen polisakarida
Klorofrom dan isoamilalkohol (CIAA) berfungsi untuk mengekstrak dan dan mengendapkan komponen polisakarida di dalam buffer ektraksi yang mengkontaminasi larutan DNA
Tidak ada penambahan buffer TE
Buffer TE berfungsi untuk melarutkan DNA yang dihasilkan dan menjaga DNA agar tidak mudah rusak
Di ambil larutan supernatan yang bercampur dengan kontaminaan lainnya
Supernatan yang diambil kontaminannya sangat sedikit
ekstraksi DNA dengan kitchen preparation akan menghasilkan DNA kasar yang menggumpal dan belum murni (masih banyak zat lain yang terkandung)
ekstraksi DNA dengan CTAB akan menghasilkan pita DNA yang berukuran tebal dan dapat memisahkan DNA dari polisakarida karena adanya perbedaan karakteristik kelarutan
(differensial of solubility)
(Yuwono, 2006)
2.4. MANFAAT ISOLASI DNA
Ada manfaat dari isolasi DNA, antara lain:
1. Mendapatkan DNA murni yang akan digunakan dalam percobaan laboratorium tertentu.
2. Visualisasi DNA dengan elektroforesis gel.3. Peninjauan pola fragmen DNA hasil pemotongan secara enzimatik melalui teknik
Hibridisasi Southern4. Isolasi DNA genomik dalam rangka pembuatan pustaka genomik.5. Isolasi plasmid atau DNA fage dalam prosedur rutin peminakan DNA,6. Isolasi DNA yang diperlukan sebagai cetakan (template) dalam prosedur perbanyakan
DNA secara in vitro melalui teknik PCR.
(Arsis, 2010)
BAB IIIMETODOLOGI
3.1. ALAT DAN BAHAN
a. AlatCutter : mengupas dan memotong manggaMortar dan pestile : menghaluskan buah manggaSpatula : mengambil bubur mangga dan menggaduk laruranBaker glass : menampung larutanGelas ukur : mengukur volume larutanTimbangan analytic : menimbang bahan yang akan dipakaiPipet : mengambil larutan
b. BahanBuah mangga : bahan yang akan di isolasi DNAnyaDetergenRinso bubuk : melisis selRinso cair : melisis selBuCream : melisis selAquadest : pelarut
Garam : mengendapkan kotoranEthanol dingin : menggumpalkan DNA
3.2. LANGKAH KERJA
Menyiapkan alat dan bahan
Mengupas mangga dan di ambil daging buahnya 5 gramsample sebanyak 3
Daging mangga dihaluskan
Di masukkan dalam baker glass dan di tambah detergen(masing-masing sample 2,5 garm dengan detergen yang berbeda)
Diaduk dan di biarkan selama 10 menit
Larutan yang di tengah di ambil sebanyak 5 ml
Di masukkan dalam tabung gelas
Ditambah dengan ethanol dingin 5 mL
Diamati penggumpalan DNA
Hasil dan dokumentasi
3.3. ANALISA PERLAKUAN
Langkah pertama yang dilakukan adalah mengupas buah mangga dan diambil daging buahnya sebanyak 5 gram utuk setiap sample. Di gunakan 3 sample dengan masing-masing bahan untuk melisis sel yang berbeda yaitu sample pertama menggunakan Rinso cair, sample kedua menggunakan Rinso bubuk, dan sample yang ketiga menggunakan BuCream. Daging mangga di haluskan dengan menggunakan mortar dan pestile. Setelah halus di masukkan ke dalam beaker glass dan di tambah detergen 2,5 gram dan garam sebanyak 2,5 gram. Di larutkan dengan menggunakan aquadest sebanyak 50 ml. Di aduk sampai semuanya tercampur merata. Di diamkan selama 10 menit supaya larutan menggendap. Setelah 10 menit larutan di ambil supernatannya sebanyak 5 ml, dan dimasukkan ke dalam gelas reaksi. Kemudian ditambah dengan ethanol dingin sebanyak 0,6 ml. Diamati penggumpalan DNAnya dan didokumentasikan.
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. HASIL
Gambar larutan setelah bahan dicampurkan (buah mangga, detergen, garam, dan aquadest)
Gambar setelah larutan diambil supernatan dan ditambah dengan ethanol dingin
Gambar sample dengan menggunakan detergen cair
Gambar sample dengan menggunakan detergen bubuk
Gambar sample dengan menggunakan detergen cream
4.2. PEMBAHASAN
Dari hasil praktikum mengenai isolasi DNA kasar didapatkan data gambar seperti diatas. Pada sample pertama yang menggunakan detergen cair cairan berwaarna bening kebiruan dengan penampakan gumpalan DNA yang sangat sedikit. Terdapat bintik-bintik putih seperti jentik yang menyebar dilarutan, itulah yang dimaksud gumpalan DNA. Jumlahnya hanya sedikit dan tersebar di seluruh larutan.
Pada sample kedua yaitu menggunakan detergen bubuk (Rinso Bubuk), di dapatkan hasil larutan yang berwarna coklat muda kebiruan. Pada larutan tersebut terdapat bintik memanjang berwarna putih. Gumpalan DNA lebih panjang dan lebih jelas terlihat. Tersebar di seluruh larutan dengan jumlah yang banyak. Pada sample ketiga yang menggunakan detergen cream (BuCream) didapatkan larutan berwarna biru muda agak keruh. Pada larutan terdapat gumpalan DNA yang agak jelas dan jumlah yang agak banyak.
Kesimpulannya adalah jumlah gumpalan DNA terlihat paling banyak di sample yang menggunakan detergen bubuk, selanjutnya adalah yang menggunakan detergen cream (BuCream), dan yang paling sedikit adalah yang menggunakan detergen cair (RinsoCair).
Menurut Jamilah (2005: 95) diantara detergen bubuk, detergen Rinso menghasilkan warna yang paling baik, yaitu putih, detergen krim memberikan warna yang kurang baik karena menyebabkan warna filtrat mendekati warna detergen, sehingga isolasi DNA yang dihasilkan berwarna sama atau hampir sama dengan filtrat. Sementara pada isolat yang dihasilkan dari filtrat yang menggunakan detergen cair tidak menunjukkan adanya prespitasi DNA yang baik, kalaupun ada, konsentrasi dan viskositasnya sangat rendah. Pernyataan Jamilah tersebut dapat kita berikan pada isolasi DNA yang terjadi pada buah dengan konsentrasi air tinggi.
Sedangkan untuk mengetahui fungsi detergen dalam isolasi DNA ini menurut (Jamilah, 2005: 11) dalam proses isolasi DNA, detergen berfungsi untuk melisiskan barier (penghalang) sel secara kimia sebagai pengganti senyawa kimia yang mampu merusak dinding dan membran sel antara lain lisozim yang dapat mendegesti senyawa polimerik yang menyebabkan
kekakuan sel dan etil endiamintetra asetat (EDTA) yang berfungsi untuk menghilangkan ion Mg2+ yang penting untuk mempertahankan keseluruhan struktur selubung sel, serta menghambat enzim-enzim seluler yang dapat merusak DNA (ion Mg2+ merupakan kofaktor penting bagi DNAse yang biasa “memakan” DNA).
Selain lisozim dan EDTA, bisa juga digunakan detergen seperti sodium dodesil sulfat (SDS) karena detergen ini bisa menyebabkan hilangnya molekul lipid pada membran sel, sehingga bisa meusak struktur membran sel (Tim Dosen Biologi FMIPA UB, tanpa tahun: 19-20). Anonim (tanpa tahun, dalam Jamilah, 2005: 11) menyatakan bahwa detergen bisa menyebabkan kerusakan membran sel engan mengemulsi lipid dan protein sel serta menyela interaksi polar yang menyatukan membran sel karena detergen mengandung disodium EDTA dan lauryl sulfat yang memiliki fungsi yang sama dengan dodesil sulfat. Dollard (2005, dalam Jamilah, 2005: 11) menambahkan bahwa detergen ini kemudian membentuk kompleks dengam lipid dan protein dan menyebabkannya terpresipitasi ke dalam larutan.
Zubaidah (2004: 38) menambahkan bahwa padasaat penghancuran jaringan sampel pada awal proses isolasi DNA, terjadi pelepasan senyawa polifenol dan polisakarida. Senyawa polifenol yang teroksidasi akan mengadakan ikatan kovalen dengan DNA yang membentuk suatu senyawa kompleks berwarna kecokelatan, sedangkan polisakarida mengalami kompresipitasi dengan asam nukleat saat presipitasi dengan penambahan alkohol sehingga terbentuk suatu matriks seperti lem dalam jumlah berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan DNA menjadi kental, sulit larut secara sempurna dan sulit di pipet meskipun telah dilarutkan dalam buffer TE. Akan tetapi jika ditinjau dari sudut pandang media, DNA yang baik adalah DNA yang serupa pintalan benang.
Ditinjau dari faktor penambahan garam ke dalam larutan detergen pada proses isolasi DNA, garam digunakan untuk melarutkan DNA, karena ion Na+ yang dikandung oleh garam mampu memblokir (membentuk ikatan) dengan kutub negatif fosfat DNA, yaitu kutub yang bisa menyebabkan molekul-molekul saling tolak mnolak satu sama lain sehinggga pada saat ion Na+ membentuk ikatan dengan kutub negatif fosfat DNA, DNA akan terkumpul (Dollard, 1994, dalam Jamilah, 2005: 21). Dari pernyataan tersebut, nampak bahwa selain digunakan untuk menghilangkan protein dan karbohidrat dan menjaga kesetabilan pH lysing buffer, garam juga membantu proses pemekatan DNA.
Konsentrasi DNA yang terpresipitasi tergantung dari beberapa hal, antara lain: keenceran sumber DNA yang digunakan dan suhu ethanol. Semakin encer filtrat, maka DNA yang terpresipitasi akan semakin sedikit. Sementara semakin dingin ethanol, DNA yang terpresipitasi semakin pekat. (Jamilah, 2005: 21).
Menurut (Jamilah, 2005: 21-22) pada saat penambahan ethanol, larutan akan tampak terbalik untuk beberapa saat, dan pada akhirnya ethanol akan berada di bagian atas tabung, sementara filtrat berada di bagian dasar tabung karena ethanol memiliki densitas (kerapatan) yang lebih kecil dibandingkan air. DNA akan tampak nyata sebagai strands (unting) putih atau suatu bahan yang kental dengan gelembung udara yang terperangkap di dalamnya. Gelembung ini yang akan menyebabkan DNA naik ke bagian atas larutan.
Ditinjau dari jenis buah yang digunakan sebagai sumber DNA, buah yang memiliki kadar air rendah menghasilkan presipitasi DNA yang lebih baik daripadabuah yang kadar airnya tinggi Kecepatan pembentukan DNA juga dipengaruhi oleh jenis detergen yang digunakan, dalam hal ini detergen cair (Rinso cair) memiliki kualitas kurang baik dalam pembentukan DNA
pada ekstrak buah. Ini karena dalam detergen bubuk, kandungan senyawa kimia untuk melisiskan sel terdapat dalam konsentrasi yang lebih tinggi daripada detergen jenis lain.
BAB VPENUTUP
5.1. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum didapatkan data sebagai berikut : Dari ketiga sample yang digunakan ( detergen cair, detergen bubuk, dan detergen cream), DNA yang paling banyak terlihat adalah pada sample yang menggunakan detergen bubuk, setelah itu detergen cream, dan yang paling sedikit adalah yang menggunakan detergen cair. Detergen pada isolasi DNA ini berfungsi untuk melisis dinding sel, dan garam untuk mengendapkan kotoran yang terbawa, sedangkan ethanol dingin berfungsi untuk presipitasi atau penggumpalan kembali DNA.
5.2. SARAN
Laporannya terlalu banyak dan rumit, waktunya sebaiknya ditambah buat mengumpulkan laporannya.
DAFTAR PUSTAKA
Asris.2010.Definisi Isolasi DNA dan Manfaat Isolasi DNA.http://asris07.student.ipb.ac.id/2010/06/19/isolasi-dna/.diakses pada 1 Desember 2012
Doyle. J. J and Doyle J. L. 1990. Isolation of Plant DNA from Fresh Tissue Focus. Moscow. 12 (1): 13.
Jamilah. 2005. Pengaruh Berbagai Macam Detergen, Penambahan Enzim, dan Ekstrak Nanas (Ananas comusus (L) Merr) Terhadap Hasil Isolasi DNA Berbagai Macam Buah Sebagai Topik Praktikum Matakuliah Genetika. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas Negeri Malang
Purwantara, A. 2001. Principles of DNA Isolation and Manipulation. Workshop on Plant Pathogens Detection by Moleculae Tehniques. 24-26 Januari 2001.
Tohib.2012.Macam Metode Isolasi DNA. http://www.tohib.web.id/2012/09/isolasi-dna-metode-kitchen-preparation.html diakses pada 1 Desember 2012
Yuwono, Triwibowo.2006. BioteknolgiPertanian. GadjagMada University Press. Yogyakarta
http://burhansetiabudi.wordpress.com/2013/01/05/laporan-isolasi-dna-kasar/
maharsiwi_wenang@apps.ipb.ac.id
maharsiwi_wenang.student.ipb.ac.id
Wenang Maharsiwi
Pengaruh panas dan pH terhadap DNA
Metabolisme merupakan salah satu ciri kehidupan yang merupakan bentuk transformasi
tenaga atau pertukaran zat melalui serangkaian reaksi biokimia. Dalam mahkluk hidup, reaksi
metabolisme berlangsung dengan melibatkan suatu senyawa protein yang disebut enzim.
Enzim merupakan protein yang khusus disintesis oleh sel hidup untuk mengkatalisis reaksi
yang berlangsung di dalamnya. Fungsi khusus dari enzim adalah untuk menurunkan energi
aktivasi, mempercepat reaksi pada suhu dan tekanan yang tetap tanpa mengubah besarnya
tetapan keseimbangan dan sebagai pengendali reaksinya (Martoharsono, 1994).
Enzim adalah substansi yang dihasilkan oleh sel-sel hidup dan berperan sebagai katalisator
pada reaksi kimia yang berlangsung dalam organisme. Katalisator adalah substansi yang
mempercepat reaksi tetapi pada hasil reaksi, substansi tersebut tidak berubah. Enzim
mempunyai ciri dimana kerjanya dipengaruhi oleh lingkungan. Salah satu lingkungan yang
berpengaruh terhadap kerja enzim adalah pH. pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral)
dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis enzim mengalami inaktivasi
(Gaman & Sherrington, 1994).
Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan hilangnya secara
total aktivitas enzim. Pada sel hidup, perubahan pH sangat kecil. Enzim hanya aktif pada
kisaran pH yang sempit. Oleh karena itu media harus benar-benar dipelihara dengan
menggunakan buffer (larutan penyangga). Jika enzim memiliki lebih dari satu substrat, maka
pH optimumnya akan berbeda pada suatu substrat (Tranggono & Sutardi, 1990). Tiap enzim
memiliki karakteristik pH optimal dan aktif dalam range pH yang relatif kecil, dalam banyak
kasus, bentuk kurva menandakan dari keaktifan enzim berbanding pH yang terkandung di
dalamnya (Almet & Trevor, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat
diartikan sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen dan polisakarida yang
lain. Tumbuhan mengandung α dan β amilase, hewan memiliki hanya α amilase, dijumpai
dalam cairan pankreas dan juga (pada manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah.
Amilase memotong rantai polisakarida yang panjang, menghasilkan campuran glukosa dan
maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang
saling berikatan membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodin
memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991).
Ada beberapa faktor untuk menentukan aktivitas enzim berdasarkan efek katalisnya yaitu
persamaan reaksi yang dikatalis, kebutuhan kofaktor, pengaruh konsentrasi substrat dan
kofaktor, pH optimal, daerah temperatur, dan penentuan berkurangnya substrat atau
bertambahnya hasil reaksi. Penentuan ini biasa dilakukan di pH optimal dengan konsentrasi
substrat dan kofaktor berlebih, menjadikan laju reaksi yang terjadi merupakan tingkat ke 0
(zero order reaction) terhadap substrat. Pengamatan reaksinya dengan berbagai cara kimia
atau spektrofotometri. Ada dua teori tentang mekanisme pengikatan substrat oleh enzim,
yaitu teori kunci dan anak kunci (lock and key) dan teori induced fit (Wirahadikusumah,
1989).
Enzim sebagai protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya
kerja enzim menurun. Pada suhu 45°C efek predominanya masih memperlihatkan kenaikan
aktivitas sebagaimana dugaan dalam teori kinetik. Tetapi lebih dari 45°C menyebabkan
denaturasi ternal lebih menonjol dan menjelang suhu 55°C fungsi katalitik enzim menjadi
punah (Gaman & Sherrington, 1994). Hal ini juga terjadi karena semakin tinggi suhu semakin
naik pula laju reaksi kimia baik yang dikatalisis maupun tidak. Karena itu pada suhu 40 oC,
larutan tidak ada gumpalan, begitu juga pada suhu ruang, sedngkan pada suhu 100oC masih
ada gumpalan – gumpalan yang menunjukkan kalau enzim rusak. Pada suhu ruang, enzim
masih dapat bekerja dengan baik walaupun tidak optimum (Gaman & Sherrington, 1994).
Amilase adalah enzim pemecah karbohidrat dari bentuk mejemuk menjadi bentuk yang lebih
sederhana. Misalnya, pati dan glikogen dipecah menjadi maltosa, maltotriosa atau
oligosakarida. Enzim ini terdapat dalam air liur (ptialin) dan getah pankreas yang membantu
pencernaan karbohidrat dalam makanan. Darah normal juga mengandung sedikit amilase dari
hasil pemecahan sel yang berlangsung secara normal. Pada penyakit radang pankreas,
gondongan, kencing manis, kadarnya dalam darah meningkat. Sebaliknya pada penyakit hati,
kadarnya menurun (Anonim, 1990).
Sifat-sifat enzim antara lain :
1. Spesifitas
Aktivitas enzim sangat spesifik karena pada umumnya enzim tertentu hanya akan
mengkatalisis satu reaksi saja. Sebagai contoh, laktase menghidrolisis gula laktosa tetapi
tidak berpengaruh terhadap disakarida yang lain. Hanya molekul laktosa saja yang akan
sesuai dalam sisi aktif molekul (Gaman & Sherrington, 1994).
2. Pengaruh suhu
Aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim hewan suhu optimal antara
35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktivitas
enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein
terdenaturasi. Pada suhu 100°C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim
tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat banyak berkurang (Gaman &
Sherrington, 1994). Enzim memiliki suhu optimum yaitu sekitar 180-230C atau maksimal
400C karena pada suhu 450C enzim akan terdenaturasi karena merupakan salah satu
bentuk protein. (Tranggono & Setiadji, 1989).
Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim namun sebaliknya juga akan
mendenaturasi enzim (Martoharsono, 1994). Peningkatan temperatur dapat meningkatkan
kecepatan reaksi karena molekul atom mempunyai energi yang lebih besar dan
mempunyai kecenderungan untuk berpindah. Ketika temperatur meningkat, proses
denaturasi juga mulai berlangsung dan menghancurkan aktivitas molekul enzim. Hal ini
dikarenakan adanya rantai protein yang tidak terlipat setelah pemutusan ikatan yang
lemah sehingga secara keseluruhan kecepatan reaksi akan menurun (Lee, 1992).
3. Pengaruh pH
pH optimal enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau
sangat alkalis enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi
dalam keadaan asam atau alkalis. Sebagai contoh, pepsin, enzim yang dikeluarkan ke
lambung, hanya dapat berfungsi dalam kondisi asam, dengan pH optimal 2 (Gaman &
Sherrington, 1994).
Enzim memiliki konstanta disosiasi pada gugus asam ataupun gugus basa terutama pada
residu terminal karboksil dan asam aminonya. Namun dalam suatu reaksi kimia, pH untuk
suatu enzim tidak boleh terlalu asam maupun terlalu basa karena akan menurunkan
kecepatan reaksi dengan terjadinya denaturasi. Sebenarnya enzim juga memiliki pH
optimum tertentu, pada umumnya sekitar 4,5–8, dan pada kisaran pH tersebut enzim
mempunyai kestabilan yang tinggi (Williamson & Fieser, 1992).
4. Ko-enzim dan aktovator
Ko-enzim adalah substansi bukan protein yang mengaktifkan enzim. Beberapa ion
anorganik, misalnya ion kalsium dan ion klorida, menaikkan aktivitas beberapa enzim
dan dikenal sebagai aktivator (Gaman & Sherrington, 1994).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase, khususnya pada
tanaman yang mengandung banyak karbohidrat seperti pisang dan beberapa serealia serta
bahan makanan pokok. Dimana amilase ini akan mengkatalis hidrolisis karbohidrat yang
berupa pati menjadi dekstrin dan kemudian menjadi maltosa, yang terjadi saat
perkecambahan serealia. Pati yang merupakan polisakarida dan tidak larut dalam air dingin
serta membentuk koloid pada air panas memiliki reaksi spesifik dengan iodium.
Poligalakturonase, peroksidase dan fosfatase semuanya merupakan enzim yang berfungsi
menguraikan komponen kompleks menjadi sederhana sehingga bisa dikonsumsi
(Kartasapoetra, 1994).
Kecepatan reaksi enzim dipengaruhi oleh berbagai kondisi fisik dan kimia. Beberapa faktor
penting yang mempengaruhi kerja enzim adalah konsentrasi berbagai komponen (seperti
substrat, produk, enzim, kofaktor, dll), pH, temperatur, dan gaya irisan. Kecepatan reaksi
enzim sangat dipengaruhi oleh pH larutan baik secara in vivo maupun secara in vitro. Jenis
hubungan antara kecepatan reaksi dan pH ditunjukkan dengan kurva berbentuk lonceng.
Setiap enzim mempunyai pH optimum yang berbeda–beda (Lee, 1992).
Aktivitas enzim juga dipengaruhi oleh suhu. Untuk enzim, suhu optimal antara 35◦ C dan 40◦
C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas dan di bawah optimalnya, aktifitas enzim akan
berkurang. Di atas suhu 50◦ C enzim secara bertahap menjadi inaktif karena protein
terdenaturasi. Pada suhu 100◦ C semua enzim rusak. Pada suhu yang sangat rendah, enzim
tidak benar-benar rusak tetapi aktivasinya sangat banyak berkurang (Gaman & Sherrington,
1994).
Kebanyakan enzim membutuhkan medium cair untuk mendukung aktivitas katalisasi air
penting untuk menyusun struktur enzim. Hasil dari protein dalam air terdiri dari 3 bagian:
Tipe I : molekul air mempunyai penyusun seperti larutan murni dan tidak memiliki interaksi
dengan protein.
Tipe II : molekul air tidak sepenuhnya terikat pada protein.
Tipe III : molekul air terikat kuat dengan protein menghasilkan bagian yang berkembang
dalam struktur protein (Fox, 1991).
Salah satu enzim yang diperlukan untuk pertumbuhan adalah amilase. Amilase dapat
diartikan sebagai segolongan enzim yang merombak pati, glikogen, dan polisakarida yang
lain. Tumbuhan mengandung α dan ß amylase; hewan memiliki hanya α amylase, dijumpai
dalam cairan pankreas dan juga (pada manusia dan beberapa spesies lain) dalam ludah.
Amilase memotong rantai polisakarida yang panjang, menghasilkan campuran glukosa dan
maltosa. Amilosa merupakan polisakarida yang terdiri dari 100-1000 molekul glukosa yang
saling berikatan membentuk rantai lurus. Dalam air, amilosa bereaksi dengan iodine
memberikan warna biru yang khas (Fox, 1991). Pada manusia, α amilase pada ludah dan
pankreas berguna dalam hidrolisis pati yang terkandung dalam makanan ke dalam bentuk
aligosakarida, di mana dalam perubahan tersebut dapat dihidrolisis oleh disakarida atau
trisakarida dalam jumlah kecil. Contohnya, α amilase pada mamalia memiliki pH optimum 6-
7, bergantung pada ada atau tidaknya ion halogen (Whitackr, 1994).
α amilase mempunyai beberapa sifat, antara lain :
a. Di dalam larutan pati, kehilangan daya viskositas yang lebih cepat.
b. Warna iodine akan lebih cepat hilang.
c. Proses produksi maltosa lebih lambat.
d. Tidak memproduksi glukosa.
e. Suhu tinggi konsentrasi α amylase akan mempercepat proses kerja dari viskositas dan
perubahan warna iodine (Whitackr, 1994).
Larutan buffer adalah larutan yang tahan terhadap perubahan pH dengan penambahan asam
atau basa. Larutan seperti itu digunakan dalam berbagai percobaan biokimia dimana
dibutuhkan pH yang terkontrol dan tepat ( Fardiaz, 1992 ). Larutan buffer bermanfaat untuk
melarutkan kotoran yang masih terikut di dalam endapan enzim tersebut sekaligus bisa
mencegah enzim dari denaturasi dan kehilangan fungsi biologisnya ( Fox, 1991 ). Buffer
dapat mempertahankan kondisi enzim presipitat agar tidak terjadi perubahan pH dan
mencegah agar enzim tidak mengalami inaktivasi (Winarno, 1995 ).
1.2. Tujuan Praktikum
Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah untuk mengetahui efek dari nilai pH yang berbeda
dan pemanasan terhadap aktivitas enzim.
2. MATERI DAN METODE
2.1. Materi
2.1.1. Alat
Alat yang digunakan dalam pratikum ini adalah water bath, spektofotometer, tabung reaksi,
timbangan analitik, penjepit, pipet volume, pompa, stopwatch, beaker glass, vortex, cawan
dan batang porselin.
2.1.2. Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah reagen Benedict, larutan Buffer pada pH
3,5,7,9, larutan pati 1%, air destilasi, kacang hijau segar, kacang tanah segar, kecambah
kacang hijau, kecambah kacang tanah dan pepaya (menatah dan mendidih).
2.2. Metode
Kecambah dan buah ditimbang dalam beaker glass sebanyak 15 g. Setelah itu ditambahkan
dengan 30 ml larutan buffer. Larutan campuran tersebut disaring dengan kain mori dan filtrat
yang dihasilkan ditampung. Larutan tersebut ada yang tidak dipanaskan(kelompok 1, 2, 3, 4,
5, 6, 7, 8) dan ada yang dipanaskan (kelompok 9, 10, 11, 12, 13). Kemudian masing-masing
tabung reaksi diberi label dan diisi dengan 2 ml larutan pati dan ditambahkan pula ke
dalamnya masing – masing tabung berbeda yaitu 1 ml aquadestilata, 1 ml buffer pH 3, 1 ml
buffer pH 5, 1 ml buffer pH 7, dan 1 ml buffer pH 9 seperti tabel di bawah ini :
TabungLarutan pati 2 2 2 2 2Enzim = tidak dididihkan (setelah inkubasi 2 menit)
4 4 4 4 4
1 Aquades 2 - - - -2 Buffer pH 3 - 2 - - -3 Buffer pH 5 - - 2 - -
4 Buffer pH 7 - - - 2 -5 Buffer pH 9 - - - - 2
Kelima tabung reaksi tersebut di-vortex. Kemudian di-inkubasi dalam waterbath 38oC selama
2 menit. Setelah itu, 2 ml larutan enzim yang didinginkan atau dipanaskan tadi ditambahkan
ke masing – masing tabung reaksi dan di-vortex. Inkubasi selama 10 menit dilakukan kembali
terhadap tabung–tabung reaksi tersebut. Setelah itu, 0,5 ml larutan reagen Benedict
ditambahkan ke setiap tabung reaksi dan diukur besar OD ( Optical Density ) pada λ 620.
Grafik hubungan antara nilai pH terhadap OD digambar.
3. HASIL PENGAMATAN
Hasil percobaan tentang pengaruh pH yang berbeda dan pemanasan terhadap aktivitas
enzim, dapat dilihat pada Tabel 1 dan Grafik 1.
Tabel 1. Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
KelTabung
1aquades
2pH 3
3pH 5
4pH 7
5pH 9
B1 + B2 0,9581 1,1245 0,8719 0,9199 0,9213B3 + B4 1,3486 1,3844 1,2830 1,4868 1,4480B5 + B6 0,2706 0,2289 0,1968 0,2388 0,2415B7 + B8 0,8425 0,3041 0,5631 1,0240 1,1146B9 + B10 0,1237 0,1879 0,1180 0,1219 0,1552
B11
B12
B13
0,99480,33910,4248
0,94580,24120,2143
0,85610,19570,5701
0,78780,21200,6078
0,90050,20800,6193
Kelompok B1-B8 mengalami perlakuan enzim tidak didihkan dan kelompok B9-B13
mengalami perlakuan enzim didihkan. Dengan perincian kelompok B1 + B2 & B9 + B10
Kacang Hijau Segar, B3 + B4 & B11 Kecambah Kacang Hijau, B5 + B6 & B12 Pepaya
Mentah, B7 + B8 & B13 Pepaya Matang.
Grafik 1. Grafik Pengamatan Nilai Absorbansi pada Larutan
Pada Tabel 1 dan Grafik 1 nilai absorbansi yang didapat oleh semua kelompok berbeda satu
dengan yang lain. Dapat dilihat bahwa nilai absorbansi pada kelompok B9-B13 (enzim
mendidih) jika dibandingkan dengan nilai absorbansi kelompom B1-B8 (enzim tidak
mendidih) memiliki nilai yang jauh lebih rendah pada bahan dan pH yang sama.
4. PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, data dan grafik kelompok B1-B8 dengan kelompok
B9-B13 tidaklah sama. Pada percobaan kelompok B1-B8 enzim tidak dididihkan sedangkan
pada percobaan kelompok B9-B13 enzim dididihkan dengan perlakuan pH yang sama dari
percobaan tersebut terdapat perbedaan hasil pengamatan. Pada enzim yang tidak dididihkan
dihasilkan nilai OD berada ditingkat nilai absorbansi yang lebih tinggi, sedangkan pada
enzim yang dipanaskan cenderung nilai OD-nya berada ditingkat absorbansi yang lebih
rendah. Hal tersebut terlihat bahwa enzim dipengaruhi oleh panas atau suhu, yang
ditunjukkan dengan nilai absorbansinya. Semakin tinggi suhunya, nilai absorbansinya
semakin turun, karena enzim mengalami inaktivasi pada suhu tinggi. Enzim memiliki suhu
optimum yaitu sekitar 180-230C atau maksimal 400C karena pada suhu 450C enzim akan
terdenaturasi karena merupakan salah satu bentuk protein, pernyataan ini sesuai dengan
Tranggono & Setiadji (1989). Pada enzim yang dididihkan, enzim akan bertahap menjadi
inaktif karena terjadi perubahan struktur enzim. Sesuai dengan pernyataan Gaman &
Sherrington (1994), bahwa suhu optimal enzim antara 35oC dan 40oC. Sehingga jika suhu
berada di atas optimal, maka aktivitasnya akan berkurang yang terlihat dari menurunnya nilai
absorbansinya.
Sedangkan pada pengaruh pH didapatkan bahwa setiap bahan memiliki nilai pH optimum
untuk melakukan aktivitas enzimnya, yang dapat dilihat dari nilai absorbansinya. Pada bahan
yang tidak dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh bahwa nilai absorbansi
tertinggi diperoleh pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang hijau pada pemberian pH 7,
pada pepaya mentah pada pemberian aquades dan pada pepaya matang pada pemberian pH 9.
Sedangkan pada bahan yang dipanaskan enzimnya dengan kacang hijau segar diperoleh
bahwa nilai absorbansi tertinggi diperoleh pada pemberian pH 3, pada kecambah kacang
hijau pada pemberian aquades, pada pepaya mentah pada pemberian aquades dan pada
pepaya matang pada pemberian pH 9. Seharusnya, menurut Gaman & Sherrington (1994)
semakin besar atau basa pH yang digunakan maka semakin rendah nilai OD-nya dikarenakan
enzim mengalami denaturasi. Suhu yang tinggi akan menaikkan aktivitas enzim tapi suhu
yang terlalu tinggi pun dapat mendenaturasi enzim. Ketika temperatur meningkat, pH optimal
enzim adalah sekitar pH 7 (netral) dan jika medium menjadi sangat asam atau sangat alkalis
enzim mengalami inaktivasi. Akan tetapi beberapa enzim hanya beroperasi dalam keadaan
asam atau alkalis, sedangkan aktivitas enzim sangat dipengaruhi oleh suhu. Hal ini dapat
terjadi karena terjadi kesalahan saat praktikum saat pengukuran absorbasi atau mungkin juga
setiap bahan yang berbeda memang memiliki pH optimumnya masing-masing.
Untuk enzim hewan suhu optimal antara 35°C dan 40°C, yaitu suhu tubuh. Pada suhu di atas
dan di bawah optimalnya, aktivitas enzim berkurang. Di atas suhu 50°C enzim secara
bertahap menjadi inaktif karena protein terdenaturasi. Pada suhu 100°C semua enzim rusak.
Pada suhu yang sangat rendah, enzim tidak benar-benar rusak tetapi aktivitasnya sangat
banyak berkurang, hal ini sesuai pernyataan Gaman & Sherrington (1994). Enzim sebagai
protein akan mengalami denaturasi jika suhunya dinaikkan. Akibatnya daya kerja enzim
menurun. Suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein dan
hilangnya secara total aktivitas enzim. Larutan buffer adalah larutan yang tahan panas
terhadap perubahan pH dengan penambahan asam atau basa. Dengan menggunakan larutan
buffer inilah kita mendapatkan pH yang terkontrol dan tepat.
5. KESIMPULAN
· Enzim pada umumnya memiliki pH optimum 7 atau sekitarnya sehingga kerja enzim
optimum, karena suasana yang terlalu asam atau alkalis menyebabkan denaturasi protein
dan hilangnya secara total aktivitas enzim.
· Suhu optimum enzim yaitu 30-40oC, pada suhu 50oC enzim menjadi inaktif karena protein
terdenaturasi, dan pada suhu 100oC enzim rusak.
· Larutan Buffer digunakan untuk menjaga aktivitas enzim agar tidak rusak dan mengalami
aktivasi saat penambahan pH.
· Nilai absorbansi pada percobaan ini dapat menunjukkan nilai aktivitas enzim yang
dipengaruhi oleh pH dan suhu tertentu.
6. DAFTAR PUSTAKAAnonim. (1990). Ensiklopedi Nasional Indonesia.PT Cipta Adi Pustaka. Jakarta.
Fardiaz, S. (1992). Mikrobiologi Pangan 1. Gramedia Pustaka. Jakarta.
Fox, P.F. (1991). Food Enzymology Vol 2. Elsevier Applied Science. London.
Gaman, P.M & K.B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi dan
Mikrobiologi. Universitas Gadjah Mada press. Yogyakarta.
Kartasapoetra,A.G. (1994). Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta. Jakarta.
Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall Inc. New Jersey.
Martoharsono, S. (1994). Biokimia jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Tranggono,B.S. (1989). Petunjuk Laboratorium Biokimia Pangan. Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Yogyakarta.
Tranggono & Sutardi. (1990). Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Gajah Mada university
Press. Yogyakarta.
Williamson,K.L & L.F.Fieser. (1992). Organic Experiment 7th Edition. D C Health ang
Company. United States of America.
Wirahadikusumah, M. (1989). Biokimia : protein, enzim, dan asam nukleat. Institut
Teknologi Bandung. Bandung.
6. LAMPIRAN
6.1. Laporan Sementara
6.2. Lampiran Artikel
Struktur berutas rangkap (DNA) dalam larutan dapat dilebur oleh kenaikan suhu atau penurunan konsentrasi garam. Tidak hanya dua kumpulan basa dijauhkan, tetapi basa-basa itu sendiri tidak tertumpuk sementara masih tetap dihubungkan dalam polimer oleh tulang punggung fosfodiester. Bersamaan dengan denaturasi molekul DNA ini adalah kenaikan daya serap optik basa purin dan pirimidin, peristiwa ini disebut tuperkromisitas dari denaturasi. Karena penumpukan molekul berutas rangkap DNA menunjukkan sifat suatu serabut dan dalam larutan merupakan suatu zat kental yang kehilangan viskositasnya pada denaturasi (Kimball, 1996).
Kimball, A.W. 1996. Biology. Erlangga : Jakarta
Denaturasi Protein Kebanyakan protein pangan terdenaturasi jika dipanaskan pada suhu yang moderat (60-90 oC)
selama satu jam atau kurang. Denaturasi adalah perubahan struktur protein dimana pada keadaan terdenaturasi penuh, hanya struktur primer protein saja yang tersisa, protein tidak lagi memiliki struktur sekunder, tersier dan quarterner. Akan tetapi, belum terjadi pemutusan ikatan peptida pada kondisi terdenaturasi penuh ini. Denaturasi protein yang berlebihan dapat menyebabkan insolubilisasi yang dapat mempengaruhi sifat-sifat fungsional protein yang tergantung pada kelarutannya.
Denaturasi protein dapat terjadi dengan berbagai macam perlakuan, antara lain dengan perlakuan panas, pH, garam dan tegangan permukaan. Laju denaturasi protein dapat mencapai 600 kali untuk tiap kenaikan 10o. Suhu terjadinya denaturasi sebagian besar protein terjadi berkisar antara 55-75oC. Pada protein yang mengalami denaturasi, proteinnya akan mengendap karena gugus-gugus yang bermuatan positif dan negatif dalam jumlah yang sama atau netral atau dalam keadaan titik isoelektrik.
Pada denaturasi terjadi pemutusan ikatan hidrogen, interaksi hidrofobik dan ikatan garam hingga molekul protein tidak punya lipatan lagi. Garam-garam seperti misalnya natrium klorida dalam konsentrasi tertentu dapat menyebabkan denaturasi atau koagulasi. Pada protein telur mudah terdenaturasi oleh adanya panas dan tegangan permukaan bila putih telur tersebut diaduk sampai menjadi buih. Protein yang telah mengalami denaturasi akan memberikan beberapa perubahan dalam beberapa hal seperti :
1. Viskositas naik (karena mol menjadi asimetris dan lipatan hilang), 2. Rotasi optis larutan protein meningkat.
Dari segi gizi, denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan ketersediaan biologisnya. Pemanasan yang moderat dapat meningkatkan daya cerna protein tanpa menghasilkan senyawa toksik. Disamping itu, dengan pemanasan yang moderat dapat menginaktivasi beberapa enzim seperti protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase dan enzim oksidatif dan hidrolotik lainnya. Jika gagal menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan mengakibatkan off-flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan. Sebagai contoh, kacang-kacangan kaya enzim lipoksigenase. Selama penghancuran bahan, untuk mengisolasi protein atau lipidnya, dengan adanya oksigen enzim ini bekerja sehingga dihasilkan senyawa hasil oksidasi lipid yang menyebabkan off-flavour. Oleh karena itu, sering dilakukan inaktivasi enzim dengan menggunakan pemanasan sebelum penghancuran. Sebagai tambahan, perlakuan panas yang moderat juga berguna untuk menginaktivasi beberapa faktor aninutrisi seperti enzim antitripsin dan lektin
https://docs.google.com/a/apps.ipb.ac.id/document/d/1L_CmLoUJiXP9QM_WKjktbmsb26Y_vbXSpga4XLuBQM0/edit?hl=en
top related