laporan pendahuluan fraktur
Post on 26-Dec-2015
105 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN FRAKTUR
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kehidupan sehari-hari manusia selalu berinteraksi dengan lingkungan,
maka tidak menutup kemungkinan untuk terkena penyakit sebagai akibat dari pengaruh
lingkungan yang kurang baik, misalnya saja fraktur.
Fraktur atau bahasa awamnya patah tulang dapat disebabkan karena benturan,
gerakan memutar mendadak maupun kelemahan/kerapuhan struktur tulang akibat
gangguan atau penyakit primer seperti osteoporosis. Fraktur mempunyai komplikasi
yang kadang-kadang tidak diketahui oleh banyak orang. Adapun komplikasi tersebut
yang paling berbahaya adalah hypovolemik shock karena banyaknya perdarahan yang
dapat mengakibatkan kematian.
Oleh karena itu peran perawat sangan penting dalam memberikan penyuluhan tentang
bagaimana mencegah terjadinya kecelakaan dengan senantiasa berhati-hati dalam melakukan
aktifitas sehari-hari, serta memberikan asuhan keperawatan secara tepat kepada penderita
fraktur dan memberi penyuluhan tentang pentingnya asupan karbohidrat, protein dan kalsium
yang cukup untuk proses penyembuhan dan pembentukan tulang baru.
B. TUJUAN PENULISAN
a. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran umum tentang pneumonia dan proses keperawatannya.
b. Tujuan Khusus
Setelah membuat asuhan keperawatan pada klien dengan fraktur, mahasiswa diharapkan
dapat:
Mengetahui tentang pengertian fraktur
Mengetahui tentang etiologi dan tanda gejala fraktur
Mengetahui patofisiologi dari fraktur
Mengetahui tentang tinjauan teori oksigenasi pada fraktur
Melakukan pengkajian pada pasien dengan fraktur
Membuat rencana asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur
Melakukan intervensi dan implementasi pada pasien dengan fraktur
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. DEFINISI FRAKTUR
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
(Brunner & Suddarth,2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan
oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C, dalam buku
Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya
kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and
Sorensen’s Medical Surgical Nursing
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya
(Smelter & Bare, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges, 2000).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpukan bahwa fraktur adalah terputusnya
kontinuitas tulang yang dapat disebabkan oleh trauma, ruda paksa atau oleh penyebab
patologis, yang dapat digolongkan sesuai dengan jenis dan kontinuitasnya.
B. EPIDEMIOLOGI
Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi
menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat
/mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat
transportasi /kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan.
Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur
dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan
tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur. Fraktur radius ulna yang
paling sering terjadi adalah fraktur radius ulna pars sepertiga distal. Fraktur ini mencakup
14% dari kasus fraktur tulang panjang yang muncul. Untuk fraktur femur yang terbagi dalam
beberapa klasifikasi misalnya saja pada fraktur collum, fraktur subtrochanter femur ini
banyak terjadi pada wanita tua dengan usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah
mengalami osteoporotik, trauma yang dialami oleh wanita tua ini biasanya ringan (jatuh
terpeleset di kamar mandi) sedangkan pada penderita muda ditemukan riwayat mengalami
kecelakaan. Sedangkan fraktur batang femur, fraktur supracondyler, fraktur intercondyler,
fraktur condyler femur banyak terjadi pada penderita laki – laki dewasa karena kecelakaan
ataupun jatuh dari ketinggian. Sedangkan fraktur batang femur pada anak terjadi karena jatuh
waktu bermain dirumah atau disekolah. Sementara ini diperkirakan 1 dari 3 wanita dan 1 dari
12 pria di atas usia 50 tahun di seluruh dunia mengidap osteoporosis. Ini menambah kejadian
jutaan fraktur lainnya pertahunnya yang sebagian besar melibatkan lumbar vertebra, panggul
dan pergelangan tangan (wrist), dari tulang rusuk juga umum terjadi pada pria.
C. ANATOMI-FISIOLOGI
1. TULANG
Tulang membentuk rangka penunjang dan perlindungan bagi tubuh dan tempat melekatnya
otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Tulang panjang disusun untuk menyangga
berat badan dan gerakan, ruang di tengah tulang-tulang tertentu berisi jaringan hematopoietik
yang membentuk berbagai sel darah. Tulang juga merupakan tempat primer untuk
menyimpan dan mengatur kalsium
a. Fungsi tulang
Sebagai formasi krangka, dengan membentuk rangka tubuh, menentukan bentuk dan ukuran
tubuh.
Pergerakan, yaitu untuk berbagai aktifitas selama pergerakan.
Perlindungan, yaitu melindungi organ-organ yang lunak dalam tubuh.
Hemtopoiesis yaitu pembentukan sel-sel darah merah yang terjadi pada sumsum tulang merah.
Tempat penyimpanan mineral, antara lain kalsium dan fospor.
b. Komposisi jaringan tulang
Tulang terdiri dari sel-sel (osteosit, osteoblash dan osteoklas) dan matrik ekstraseluler yang
tersusun dari serat-serat kolagen organik yang tertanam pada substansi dasar dan garam-
garam anorganik tulang seperti fospor dan kalsium.
c. Klasifikasi tulang
Klasifikasi tulang menurut bentuknya terbagi atas :
Tulang panjang yaitu tulang yang berbentuk silindris, yang terdiri dari diafisis dan efifisis yang
berfungsi untuk menahan berat tubuh dan berperan dalam pergerakan.
Tulang pendek yaitu tulang yang berstruktur kuboid yang biasanya ditemukan berkelompok
yang berfungsi memberikan kekuatan dan kekompakan pada area yang pergerakannya
terbatas.
Tulang pipih yaitu tulang yang strukturnya mirip lempeng yang berfungsi untuk memberikan
suatu permukaan yang meluas untuk perlengketan otot dan memberikan perlindungan.
Tulang ireguler yaitu tulang yang bentuknya tidak beraturan dengan struktur tulang yang sama
dengan tulang pendek.
Tulang sesamoid yitu tulang kecil bulat yang masuk dalam pormasi persendian yang
bersambung dengan kartilago, ligamentum atau tulang lainnya.
2. PERSENDIAN
Persendianadalah adalah pertemuan antara 2 buah tulang atau beberapa tulang kerangka.
Suatu persendian terjadi saat permukaan dari 2 tulang bertemu yang memungkinkan adanya
pergerakan atautidak yang bergantung pada sambungannya.
a. Klasifikasi pesendian secara struktural terbagi menjadi
Persendian fibrosa, yaitu persendian yang tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
jaringan ikat fibrosa.
Persediaan kartilago yaitu persendian yang tidak memiliki rongga sendi dan diperkokoh
dengan jaringan kartilago
Persendian sinovial yaitu persendian yang memiliki rongga sendi dan diperkokoh dengan
kapsul dan ligamen artikular yang membungkusnya.
b. Klasifikasi persendian menurut fungsinya dibagi menjadi :
Sendi sinartosis (sendi mati), sendi ini dibungkus dengan jaringan ikat fibrosa atau kartilago.
Sendi jenis ini adalah antara lain :
- Sutura, yaitu sendi yang dihubungkan dengan jaringan ikat fibrosa rapat yang hanya
ditemukan pada tulang tengkorak. Contohn : sutura sagital dan parietal.
- Sinkodrosis, yaitu sendi yang tulang-tulangnya dihubungkan dengan kartilagi hialin.
Contoh : lempeng epifisis sementara antara epifisis dan diafisis pada tulang panjang anak.
Sendi amfiartosis (sendi dengan pergerakan terbatas). Sendi ini memungkinkan gerakan
terbatas sebagai respon terhadap torsi dan kompresi. Sendi jenis ini antara lain adalah :
- Simfisis, adalah sendi yang kedua tulangnya dihubungkan dengan diskus kartilago, yang
menjadi bantalan sendi dan memungkinkan terjadinya sedikit gerakan. Contoh: simpisis
pubis.
- Sindesmosis, terbentuk saat tulang-tulang yang berdekatan dihubungkan dengan serat-serat
jaringan ikat kolagen. Contoh : ditemukan pada tulang yang bersisihan seperti radius dan
ulna, serta tibia dan fibula.
- Gomposis, adalah sendi dimana tulang berbentuk kerucut masuk dengan pas dalam kantong
tulang seperti pada gigi yang tertanam pada tulang rahang.
Sendi diartosis (sendi dengan pergerakan bebas) disebut juga sendi sinovial. Sendi ini
memiliki rongga sendi yang berisi cairan sinovial yang terdiri dari :
- Sendi sferoidal yang terdiri dari sebuah tulang yang masuk kedalam rongga berbentuk
cangkir pada tulang lain.Contoh : sendi panggul dan bahu
- Sendi engsel, terdiri dari sebuah tulang yang masuk dengan pas pada permukaan konkaf
tulang kedua, sehingga memungkinkan gerakan satu arah
- Sendi kisar, yaitu tulang bentuk kerucut yang masuk pas cekungan tulang kedua dan dapat
berputar kesemua arah. Contoh : tulang atlas, persendian bagian kepala
- Sendi kondiloid, merupakan sendi biaksial yang memungkinkan gerakan kedua arah disudut
kanan setiap tulang. Contoh : sendi antara tulang radiusdan tulang karpal.
- Sendi pelana, permukaan tulang yang berartikulasi berbentuk konkaf disatu sisi dan konkaf
pada sisi lain, sehingga tulang akan masuk dengan pas seperti dua pelana yang saling
menyatu. Satu-satunya sendi pelana sejati yang ada dalam tubuh adalah persediaan antara
tulang karpal dan metakarpal pada ibu jari.
- Sendi peluru adalah salah satu sendi yang permukaan kedua tulang berartikulasi berbentuk
datar, sehingga memungkinkan gerakan meluncur antara satu tulang dengan tulang yang
lainnya. Persendian seperti ini disebut sendi nonaksia.
c. Pergerakan sendi
Pergerakan sendi merupakan hasil kerja otot rangka yang melekat pada tulang dan
membentuk artikulasi dengan cara memberikan tenaga. Tulang hanya berfungsi sebagai
pengungkit dan sendi sebagai penumpu.
Beberapa pergerakan sendi antara lain :
Fleksi, adalah gerakan memperkecil sudut antara dua tulang. Contoh : saat menekuk siku,
menekuk lutut atau menekuk torso kearah lain.
- Dorsofleksi, adalah gerakan menekuk telapak kaki dipergelangan kearah depan
(meninggalkan dairah dorsal kaki)
- Plantar fleksi adalah gerakan meluruskan telapak kaki pada pergelangan kaki.
Ekstensi, adalah gerakan yang memperbesar sudut antara dua tulang
Abduksi, adalah gerakan bagian tubuh menjauhi garis tengah tubuh seperti gerakan abduksi
jari tangan dan jari kaki.
Aduksi, adalah gerakan tubuh saat kembali keaksis utama tubuh (kebalikan dari gerakan
abduksi)
Rotasi, adalah gerakan tulang yang berputar disekitar aksis pusat tulang itu sendi tanpa
mengalami dislokasi lateral, seperti saat menggelengkan kepala untuk menyatakan tidak.
- Pronasi, adalah rotasi medial lengan bawah dalam posisi anatomis yang mengakibatkan
telapak tangan menghadap kebelakang.
- Supinasi yaitu rotasi lateral lengan bawah yang mengakibatkan telapak tangan menghadap
kedepan.
Sirkumduksi, adalah kombinasi dari semua gerakan argular dan berputar untuk membuat suatu
ruang berbentuk kerucut seperti saat menagyunkan lengan berbentuk putaran
Inversi, adalah gerakan sendi pergelangan kaki yang memungkinkan tulapak kaki menghadap
kedalam atau kearah medial
Eversi, adalah pergerakan sendi pergelangan kaki yang memungkinkan tulapak kaki
menghadap kearah luar
Protaksi, adalah memajukan bagian tubuh seperti saat menonjolkan rahang bawah kedepan
atau memfleksi girdel pektoral untuk membungkuskan dada
Retraksi, adalah gerakan menarik bagian tubuh kearah belakang seperti saat menstraksi
mandibula
Elevasi adalah pergerakan suatu struktur kearah superiorseperti saat mengatupkan mulut
Depresi adlah menggerakkan suatu struktur kearah inferior, seperti saat membuka mulut.
3. OTOT
Struktur jaringan otot dikhususkan untuk melakukan gerakan, baik oleh badan secara
keseluruhan gerakan, baik oleh badan secara keseluruhan maupun oleh berbagai bagian tubuh
yang satu terhadap yang lain. Sel-sel otot sangat berkembang dalam fungsi kontraktil dan
tidak begitu berkembang dalam hal konduktivitas. Kekhususan ini meliputi pemanjangan sel-
selnya sesuai sumbu kontroksi.
Pada jaringan otot, sel-sel atau serat otot itu biasanya bergabung dalam berkas-berkas,
sehingga jaringan otot tidak hanya terdiri atas serat-serat otot saja. Karena harus melakukan
kerja mekanis, serat-serat otot memerlukan banyak kapiler darah yang mendatangkan
makanan dan oksigen, dan mengangkut keluar produk sisa toksik. Pembuluh-pembuluh darah
itu terdapat di dalam jaringan ikat fibrosa, yang juga berguna untuk mengikat serat-serat otot
menjadi satu dan sebagai pembungkus, pelindung sehingga tarikan dapat berlangsung secara
efektif.
Komponen-komponen sel-sel otot seperti hal-hal yang lain, tetapi memiliki istilah khusus,
membran sel disebut sarkolema, sitoplasma disebut sarkoplasma, retikulum endoplasma
disebut retikulum sarkoplasma, dan mitokondria disebut sarkosoma. Ada tiga macam otot
digolongkan berdasarkan struktur dan fungsi, yaitu otot rangka, otot jantung, dan otot polos.
a. Otot Rangka
Otot rangka disebut juga otot lurik karena sesuai namanya mempunyai bagian yang gelap dan
terang menyerupai garis lurik. Otot lurik ini terdiri dari serabut-serabut otot, apabila
menggabung semuanya disebut kulit. Setiap gabungan serabut diselaputi oleh suatu selaput
disebut fasia propria.Gabungan dari seluruh serabut diseluputi lagi oleh fase supersial.
b. Otot Polos
Otot polos berbentuk kumparan, yaitu kedua ujungnya meruncing dengan bagian tengahnya
membesar dan mempunyai satu inti sel. Kerja otot polos tidak dipengaruhi oleh kehendak
kita, maka otot ini disebut otot tak sadar. Otot polos mempunyai karakteristik yang lain,
yaitu: tidak melekat pada tulang, aktivitasnya lambat dan teratur, mampu berkontraksi dalam
waktu yang lama, tidak mudah lelah, gerakannya berada dalam kendali saraf otonom (tidak
sadar), banyak dijumpai di lambung, usus, indung telur paru-paru, dan pembuluh darah.
c. Otot Jantung
Terdiri dari serabut otot yang bercabang-cabang dan berinti banyak. Kerja otot jantung
kontraksinya dipengaruhi oleh saraf tidak sadar. Otot jantung terus berkontraksisepanjang
waktu dengan gerakan yang teratur berirama dalam memompa darah keseluruh tubuh. Denyut
jantung disebabkan kontraksi otot jantung secara normal. Pada orang dewasa berlangsung 72
kali setiap menit. Setiap berkontraksi sangat memerlukan oksigen yang cukup. Bila jantung
tidak mendapat oksigen selama 30 detik saja, kontraksi jantung akan berhenti.
D. JENIS FRAKTUR
1.Berdasarkan sifat fraktur
a.Fraktur tertutup
Apabila fagmen tulang yang patah tidak tampak dari luar
b. Fraktur terbuka
Apabila fragmen tulang yang patah tampak dari luar
1. Derajat I
Luka < 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit dan tidak ada tanda luka remuk
2. Derajat II
Laserasi > 1 cm, kerusakan jaringan lunak, flap/avulsi
3. Derajat III
Kerusakan jaringan lunak yang luas meliputi struktur kulit, otot, dan neurovaskular serta
kontaminasi derajat tinggi.
2. Berdasarkan komplit / tidak komplit fraktur
a. Fraktur komplit
Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran bergeser dari
posisi normal)
b. Fraktur inkomplit
Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang
Misal : Hair line fraktur, Green stick(fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi
yang lain membengkok)
3. Berdasarkan bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme tauma
a. Fraktur transversal
Arah melintang dan merupakan akibat trauma angulasi / langsung
b. Fraktur oblik
Arah garis patah membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari
trauma langsung
c. Fraktur spiral
Arah garis patah spiral dan akibat dari trauma rotasi
d. Fraktur kompresi
Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
4. Istilah lain
a. Fraktur komunitif
Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
b. Fraktur depresi
Fraktur dengan bentuk fragmen terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan
tulang wajah).
c. Fraktur patologik
Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, tumor, metastasis tulang).
d. Fraktur avulsi
Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya.
E. ETIOLOGI
Beberapa penyebab dari fraktur diantaranya :
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana bagian
tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang mengakibatkan patah tulang,
cedera;jatuh/kecelakaan).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, yaitu terkena bukan pada bagian langsung yang
terkena trauma. misalnya penderita jatuh dengan lengan dalam keadaan ekstensi dapat terjadi
fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri rapuh/ ada
“underlying disesase” dan hal ini disebut dengan fraktur patologis, misalnya; osteoporosis,
kanker tulang metastase.
4. Penyebab lainnya, misalnya; Patah karena letih, Olahraga atau latihan yang berlebihan
D. MANIFESTASI KLINIK
Tanda dan gejala yang dapat muncul pada klien dengan fraktur, diantaranya:
a. Nyeri sedang sampai hebat dan bertambah berat saat digerakkan.b. Hilangnya fungsi pada daerah fraktur.
c. Edema/bengkak dan perubahan warna local pada kulit akibat trauma yang mengikuti fraktur.
d. Deformitas/kelainan bentuk.
e. Rigiditas tulang/ kekakuan
f. Krepitasi saat ekstremitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang akibat gesekan
fragmen satu dengan yang lain.
g. Syok yang disebabkan luka dan kehilangan darah dalam jumlah banyak.
F. PATOFISIOLOGI
Trauma merupakan penyebab mayoritas dari fraktur baik trauma karena kecelakaan
bermotor maupun jatuh dari ketinggian menyebabkan rusak atau putusnya kontinuitas
jaringan tulang. Selain itu keadaan patologik tulang seperti Osteoporosis yang menyebabkan
densitas tulang menurun, tulang rapuh akibat ketidakseimbangan homeostasis pergantian
tulang dan kedua penyebab di atas dapat mengakibatkan diskontinuitas jaringan tulang yang
dapat merobek periosteum dimana pada dinding kompartemen tulang tersebut terdapat saraf-
saraf sehingga dapat timbul rasa nyeri yang bertambah bila digerakkan. Fraktur dibagi 3
grade menurut kerusakan jaringan tulang. Grade I menyebabkan kerusakan kulit, Grade II
fraktur terbuka yang disertai dengan kontusio kulit dan otot terjadi edema pada jaringan.
Grade III kerusakan pada kulit, otot, jaringan saraf dan pembuluh darah.
Pada grade I dan II kerusakan pada otot/jaringan lunak dapat menimbulkan nyeri yang
hebat karena ada spasme otot. Pada kerusakan jaringan yang luas pada kulit otot periosteum
dan sumsum tulang yang menyebabkan keluarnya sumsum kuning yang dapat masuk ke
dalam pembuluh darah sehingga mengakibatkan emboli lemak yang kemudian dapat
menyumbat pembuluh darah kecil dan dapat berakibat fatal apabila mengenai organ-organ
vital seperti otak jantung dan paru-paru, ginjal dan dapat menyebabkan infeksi. Gejala sangat
cepat biasanya terjadi 24 sampai 72 jam. Setelah cidera gambaran khas berupa hipoksia,
takipnea, takikardi. Peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan,
mengakibatkan kehilangan fungsi permanen, iskemik dan nekrosis otot saraf sehingga
menimbulkan kesemutan (baal), kulit pucat, nyeri dan kelumpuhan. Bila terjadi perdarahan
dalam jumlah besar dapat mengakibatkan syok hipovolemik. Tindakan pembedahan penting
untuk mengembalikan fragmen yang hilang kembali ke posisi semula dan mencegah
komplikasi lebih lanjut. Selain itu bila perubahan susunan tulang dalam keadaan stabil atau
beraturan maka akan lebih cepat terjadi proses penyembuhan fraktur dapat dikembalikan
sesuai letak anatominya dengan gips.
Trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas
tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses
penyembuhan tulang nantinya
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu,
dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya
fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan pada klien dengan fraktur, diantranya:
a. Foto rontgen biasanya bisa menunjukkan adanya patah tulang.
b. CT scan atau MRI untuk bisa melihat dengan lebih jelas daerah yang mengalami kerusakan.
c. Darah lengkap: HT meningkat (hemokonsentrasi), HB menurun (akibat adanya perdarahan).
d. Arteriografi, bila diduga ada kerusakan pada vaskuler.
e. Kreatinin, trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f. Golongan darah, dilakukan sebagai persiapan transfusi darah jika ada kehilangan darah yang
bermakna akibat cedera atau tindakan pembedahan.
H. KOMPLIKASI
1) Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan
oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot,
tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar
seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur
tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk
ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan
gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang
bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2) Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang
dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang
lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan
yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga
disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan
dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan
reimobilisasi yang baik.
I. PENATALAKSANAAN MEDIK
a. Fraktur Terbuka
Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai
perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh
meresap dilakukan:
1) Pembersihan luka
2) Exici
3) Hecting situasi
4) Antibiotik
b. Seluruh Fraktur
1) Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun.
Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang
pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001).
Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur.
Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya
tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah
jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada
kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan.
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani
prosedur; harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai
ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus
ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut
Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan
traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain
dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas
untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen
tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau
reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat
pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk
melanjutkan imobilisasi.
Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan
bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat
paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya
sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau
langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat
bagi fragmen tulang.
3) OREF
Penanganan intraoperatif pada fraktur terbuka derajat III yaitu dengan cara reduksi terbuka
diikuti fiksasi eksternal (open reduction and external fixation=OREF) sehingga diperoleh
stabilisasi fraktur yang baik. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memungkinkan stabilisasi
fraktur sekaligus menilai jaringan lunak sekitar dalam masa penyembuhan fraktur.
Penanganan pascaoperatif yaitu perawatan luka dan pemberian antibiotik untuk mengurangi
risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial, darah lengkap, serta rehabilitasi berupa latihan-
latihan secara teratur dan bertahap sehingga ketiga tujuan utama penanganan fraktur bisa
tercapai, yakni union (penyambungan tulang secara sempurna), sembuh secara anatomis
(penampakan fisik organ anggota gerak; baik, proporsional), dan sembuh secara fungsional
(tidak ada kekakuan dan hambatan lain dalam melakukan gerakan)
4) ORIF
ORIF adalah suatu bentuk pembedahan dengan pemasangan internal fiksasi pada tulang yang
mengalami fraktur. Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergeseran. Internal fiksasi ini berupa Intra Medullary Nail
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur tranvers.
Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (ORIF=open reduction and internal fixation)
diindikasikan pada kegagalan reduksi tertutup, bila dibutuhkan reduksi dan fiksasi yang lebih
baik dibanding yang bisa dicapai dengan reduksi tertutup misalnya pada fraktur intra-
artikuler, pada fraktur terbuka, keadaan yang membutuhkan mobilisasi cepat, bila diperlukan
fiksasi rigid, dan sebagainya. Sedangkan reduksi terbuka dengan fiksasi eksterna
(OREF=open reduction and external fixation) dilakukan pada fraktur terbuka dengan
kerusakan jaringan lunak yang membutuhkan perbaikan vaskuler, fasiotomi, flap jaringan
lunak, atau debridemen ulang. Fiksasi eksternal juga dilakukan pada politrauma, fraktur pada
anak untuk menghindari fiksasi pin pada daerah lempeng pertumbuhan, fraktur dengan
infeksi atau pseudoarthrosis, fraktur kominutif yang hebat, fraktur yang disertai defisit tulang,
prosedur pemanjangan ekstremitas, dan pada keadaan malunion dan nonunion setelah fiksasi
internal. Alat-alat yang digunakan berupa pin dan wire (Schanz screw, Steinman pin,
Kirschner wire) yang kemudian dihubungkan dengan batang untuk fiksasi. Ada 3 macam
fiksasi eksternal yaitu monolateral/standar uniplanar, sirkuler/ring (Ilizarov dan Taylor
Spatial Frame), dan fiksator hybrid. Keuntungan fiksasi eksternal adalah memberi fiksasi
yang rigid sehingga tindakan seperti skin graft/flap, bone graft, dan irigasi dapat dilakukan
tanpa mengganggu posisi fraktur. Selain itu, memungkinkan pengamatan langsung mengenai
kondisi luka, status neurovaskular, dan viabilitas flap dalam masa penyembuhan fraktur.
Kerugian tindakan ini adalah mudah terjadi infeksi, dapat terjadi fraktur saat melepas
fiksator, dan kurang baik dari segi estetikPenanganan pascaoperatif meliputi perawatan luka
dan pemberian antibiotik untuk mengurangi risiko infeksi, pemeriksaan radiologik serial,
darah lengkap, serta rehabilitasi. Penderita diberi antibiotik spektrum luas untuk mencegah
infeksi dan dilakukan kultur pus dan tes sensitivitas. Diet yang dianjurkan tinggi kalori tinggi
protein untuk menunjang proses penyembuhan.Rawat luka dilakukan setiap hari disertai
nekrotomi untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menjadi sumber infeksi. Pada kasus
ini selama follow-up ditemukan tanda-tanda infeksi jaringan lunak dan tampak nekrosis pada
tibia sehingga direncanakan untuk debridemen ulang dan osteotomi. Untuk pemantauan
selanjutnya dilakukan pemeriksaan radiologis foto femur dan cruris setelah reduksi dan
imobilisasi untuk menilai reposisi yang dilakukan berhasil atau tidak. Pemeriksaan radiologis
serial sebaiknya dilakukan 6 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan sesudah operasi untuk
melihat perkembangan fraktur. Selain itu dilakukan pemeriksaan darah lengkap rutin
5) Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun.
Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan
logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
6) Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai
kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)
dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis.
meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan
peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki
kemandirian fungsi dan harga-diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan
sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal.
Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan
stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat
badan.
J. PATHWAY
Terlampir
K. Asuhan Keperawatan
Pengkajian
Pre Operasi
a. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan
- Kegiatan yang beresiko cidera.
- Riwayat penyakit yang menyebabkan jatuh.
- Kebiasaan beraktivitas tanpa pengamanan.
b. Pola nutrisi metabolik
- Adanya gangguan pola nafsu makan karena nyeri.
- Observasi terjadinya perdarahan pada luka dan perubahan warna kulit di sekitar luka, edema.
c. Pola eliminasi
- Konstipasi karena imobilisasi
d. Pola aktivitas dan latihan
- Kesemutan, baal
- Ada riwayat jatuh atau terbentur ketika sedang beraktivitas
- Tidak kuat menahan beban berat
- Keterbatasan mobilisasi
- Berkurangnya atau tidak terabanya denyut nadi pada daerah distal injury, lambatnya kapiler
refill tim
e. Pola tidur dan istirahat
- Tidak bisa tidur karena kesakitan
- Sering terbangun karena kesakitan
f. Pola persepsi kognitif
- Nyeri pada daerah fraktur
- Kesemutan dan baal pada bagian distal fraktur
- Paresis, penurunan atau kehilangan sensasi
g. Pola persepsi dan konsep diri
- Rasa khawatir akan dirinya karena tidak dapat beraktivitas seperti keadaan sebelumnya
h. Pola peran dan hubungan dengan sesama
- Merasa tidak ditolong
- Kecemasan akan tidak melakukan peran seperti biasanya
Post Operasi
a. Pola persepsi kesehatan-pemeliharaan kesehatan
- Kegiatan yang beresiko cidera.
- Pengetahuan pasien tentang perawatan luka di rumah
b. Pola nutrisi metabolik
- Adanya gangguan pola nafsu makan karena nyeri.
c. Pola eliminasi
- Konstipasi karena imobilisasi
d. Pola aktivitas dan latihan
- Keterbatasan beraktivitas
- Hilangnya gerakan atau sensasi spasme otot
- Baal atau kesemutan
- Pembengkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi cedera
- Perdarahan, perubahan warna
e. Pola tidur dan istirahat
- Tidak bisa tidur karena kesakitan luka operasi
- Sering terbangun karena kesakitan
f. Pola persepsi kognitif
- Keluhan lokasi, intensitas dan karakteristik nyeri
- Nyeri pada luka operasi
- Tidak adanya nyeri akibat kerusakan saraf
- Pembengkakan, perdarahan, perubahan warna
g. Pola persepsi dan konsep diri
- Rasa khawatir akan dirinya Karena tidak dapat beraktivitas seperti keadaan sebelumnya
h. Pola peran dan hubungan dengan sesama
- Merasa tidak tertolong
- Kecemasan akan tidak melakukan peran seperti
2) Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, kerusakan sekunder pada fraktur, edema.
b. Imobilisasi fisik berhubungan dengan cidera jaringan sekitar/fraktur.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan kerusakan jaringan lunak.
d. Cemas berhubungan dengan prosedur pengobatan.
e. Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi
aliran darah: cedera vaskuler langsung, edema, pembentukan trombus.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka.
g. Resiko tinggi embolik lemak berhubungan dengan fraktur tulang panjang.
Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post pembedahan.
c. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi.
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi.
e. Ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat di rumah.
Rencana Keperawatan
Pre Operasia. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, kerusakan sekunder pada fraktur, edema.
HYD: Nyeri berkurang sampai hilang ditandai dengan:- Intensitas nyeri 2-3- Ekspresi wajah rileks- Tidak merintih
Rencana Tindakan:1) Kaji lokasi nyeri dan intensitas nyeri.
Rasional: Mengetahui tindakan yang dilakukan selanjutnya.2) Pertahankan imobilisasi pada bagian yang sakitnya.
Rasional: Mengurangi nyeri3) Ajarkan teknik relaksasi.
Rasional: Mengurangi nyeri pada saat nyeri timbul.4) Jelaskan prosedur sebelum melakukan tindakan.
Rasional: Mempersiapkan pasien untuk lebih kooperatif.5) Beri posisi yang tepat secara berhati-hati pada area fraktur.
Rasional: Meminimalkan nyeri, mencegah perpindahan tulang.6) Beri kesempatan untuk istirahat selama nyeri berlangsung.
Rasional: Untuk mengurangi nyeri.7) Kolaborasi dalam pemberian terapi medik: analgetik.
Rasional: Mengatasi nyeri.
b. Imobilisasi fisik berhubungan dengan cidera jaringan sekitar/fraktur.
HYD: Pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri dalam waktu bertahap ditandai dengan: higiene perseorangan, nutrisi dan eliminasi terpenuhi dengan bantuan.Rencana Tindakan:
1) Kaji tingkat kemampuan aktivitas pasien.Rasional: Menentukan intervensi yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien.
2) Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak dapat dilakukan secara mandiri.Rasional: Mengurangi nyeri dan semakin parahnya fraktur.
3) Dekatkan barang-barang yang dibutuhkan pasien.Rasional: Meningkatkan kemandirian pasien.
4) Perhatian dan bantu personal higiene.Rasional: Mencegah komplikasi dan kerusakan integritas kulit.
5) Ubah posisi secara periodik sejak 2 jam sekali.Rasional: Mencegah komplikasi dekubitus.
6) Libatkan keluarga dalam memberikan asuhan kepada pasien.Rasional: Memberi motivasi pada pasien.
7) Kolaborasi pemberian analgetik.Rasional: Mencegah nyeri yang berlebihan.
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan kerusakan jaringan lunak.
HYD: Tidak ada tanda-tanda infeksi ditandai dengan: - Suhu normal 36-37oC- Tidak ada kemerahan, tidak ada edema, luka bersih.
Rencana Tindakan:1) Observasi TTV terutama suhu.
Rasional: Peningkatan suhu menunjukkan adanya infeksi.2) Jaga daerah luka tetap bersih dan kering.
Rasional: Luka yang kotor dan basah merupakan media yang baik untuk mikroorganisme berkembang biak.
3) Tutup daerah yang luka dengan kasa steril/balutan bersih.Rasional: Mencegah kuman/mikroorganisme masuk.
4) Rawat luka dengan teknik aseptik.Rasional: Mencegah mikroorganisme berkembang biak.
5) Kolaborasi dengan medik untuk pemberian antibiotik.Rasional: Menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
d. Cemas berhubungan dengan prosedur pengobatan.
HYD: Cemas berkurang ditandai dengan:- Pasien mengerti penjelasan yang diberikan oleh perawat mengenai pengobatan.- Pasien kooperatif saat dilakukan perawatan.- Pasien dapat mengungkapkan perasaan cemas.
Rencana Tindakan:1) Kaji tingkat kecemasan.
Rasional: Mengidentifikasi intervensi selanjutnya.2) Observasi tanda-tanda vital.
Rasional: Mengidentifikasi tingkat kecemasan.3) Jelaskan pada pasien prosedur pengobatan.
Rasional: Mengurangi tingkat kecemasan pasien.4) Berikan lingkungan yang nyaman.
Rasional: Lingkungan yang nyaman dapat mengurangi tingkat kecemasan.5) Libatkan keluarga dalam memberikan support.
Rasional: Memberi dukungan dan mengurangi rasa cemas pasien.e. Resiko tinggi disfungsi neurovaskuler perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi
aliran darah: cedera vaskuler langsung, edema, pembentukan trombus.
HYD: Mempertahankan perfusi jaringan ditandai dengan:- Terabanya nadi, kulit hangat atau kering, tanda vital stabil.
Rencana Tindakan:1) Observasi nadi perifer distal terhadap cidera melalui palpasi. Bandingkan dengan ekstremitas
yang sakit.Rasional: Penurunan/tak adanya nadi dapat menggambarkan cedera vaskuler dan perlunya evaluasi
medik segera terhadap status sirkulasi.2) Kaji aliran kapiler, warna kulit, dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional: Warna kulit putih menunjukan gangguan arterial.3) Lakukan pengkajian neuromuskuler, minta pasien untuk melokalisasi nyeri.
Rasional: Gangguan perasaan kebas, kesemutan, peningkatan/ penyebaran nyeri terjadi bila sirkulasi pada saraf tidak adekuat atau saraf rusak.
4) Beri motivasi untuk melakukan latihan pada ekstremitas yang cedera.Rasional: Meningkatkan sirkulasi dan menurunkan pengumpulan darah khususnya pada ekstremitas
bawah.5) Awasi tanda vital, perhatikan tanda-tanda pucat/sianosis umum, kulit dingin, perubahan
mental.Rasional: Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
f. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur terbuka.
HYD: Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi.Rencana Tindakan:
1) Kaji kulit pada luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna, kelabu, memutih.
Rasional: Memberikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat dan atau pemasangan gips/bebat atau traksi.
2) Observasi tanda-tanda vital.Rasional: Peningkatan terutama suhu merupakan tanda-tanda infeksi.
3) Masase kulit dan penonjolan tulang. Pertahankan tempat tidur kering dan bebas kerutan.Rasional: Menurunkan tekanan pada area yang peka dan risiko abrasi/kerusakan kulit.
4) Letakkan bantalan pelindung di bawah kaki dan di atas tonjolan tulang.Rasional: Meminimalkan tekanan pada area ini.
5) Ubah posisi tidur secara periodik tiap 2 jam.Rasional: Meminimalkan resiko kerusakan kulit.
g. Resiko tinggi embolik lemak berhubungan dengan fraktur tulang panjang.
HYD: Rencana Tindakan:
1) Monitor perubahan status mental yang disebabkan oleh hipoksemia: gejala dari distress pernafasan akut seperti: kegelisahan, konfusi, nyeri dada, takipnea, sianosis, dispnea, takikardi.
Rasional: Mengidentifikasi keadaan fisik pasien. 2) Jika ada indikasi, kaji O2 saturasi dengan oksimetri.
Rasional: Mengidentifikasi intervensi selanjutnya.3) Pertahankan imobilisasi pada daerah yang fraktur.
Rasional: Mengurangi terjadinya emboli lemak.4) Berikan oksigen bila ada indikasi.
Rasional: Memenuhi kebutuhan O2. Post Operasi
a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan.
HYD: Nyeri berkurang sampai hilang ditandai dengan:- Intensitas nyeri 0-2.- Ekspresi wajah rileks.
Rencana Tindakan:1) Kaji lokasi dan intensitas nyeri.
Rasional: Mengetahui intervensi yang dilakukan selanjutnya.2) Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit.
Rasional: Menghilangkan nyeri.3) Tinggikan ekstremitas yang fraktur.
Rasional: Menurunkan rasa nyeri.4) Anjurkan teknik relaksasi nafas dalam.
Rasional: Mengurangi nyeri.5) Observasi TTV tiap 4 jam.
Rasional: Peningkatan TTV menunjukkan adanya rasa nyeri.6) Kolaborasi dalam memberikan terapi analgetik.
Rasional: Mengurangi nyeri.b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post pembedahan.
HYD: Kulit kembali utuh ditandai dengan:- Luka jahitan dapat tertutup.
Rencana Tindakan:1) Kaji kulit untuk luka terbuka.
Rasional: Mengontrol perkembangan mikroorganisme di daerah luka.2) Bantu ubah posisi.
Rasional: Mencegah luka tekan.3) Masase kulit dan penonjolan tulang.
Rasional: Mencegah luka tekan.4) Bersihkan kulit dengan sabun dan air bila menggunakan traksi.
Rasional: Mengurangi perkembangan mikroorganisme.c. Gangguan mobilisasi fisik berhubungan dengan imobilisasi.
HYD: Mempertahankan mobilitas fisik ditandai dengan:- Pasien mau beraktivitas secara perlahan.
Rencana Tindakan:1) Kaji derajat mobilitas yang dapat dilakukan.
Rasional: Untuk menyusun rencana selanjutnya.2) Bantu untuk mobilisasi menggunakan kursi roda/tongkat.
Rasional: Mempercepat proses penyembuhan.3) Bantu dalam higiene perorangan.
Rasional: Meningkatkan kesehatan diri.4) Ubah posisi secara periodik.
Rasional: Menurunkan komplikasi lesi kulit.d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi.
HYD: Infeksi tidak terjadi ditandai dengan:- Pasien tidak mengalami infeksi tulang- Suhu tubuh normal antara 36-37oC
Rencana Tindakan:
1) Observasi TTV.Rasional: Peningkatan TTV menunjukkan adanya infeksi.
2) Rawat luka operasi dengan teknik antiseptik.Rasional: Mencegah dan menghambat berkembang biaknya bakteri.
3) Tutup daerah luka dengan kasa steril.Rasional: Kasa steril menghambat masuknya kuman ke dalam tubuh.
4) Jaga daerah luka operasi tetap bersih dan kering.Rasional: Luka yang kotor dan basah menjadi media yang baik bagi berkembang biaknya bakteri.
5) Beri terapi antibiotik sesuai program medik.Rasional: Antibiotik menghambat berkembang biaknya bakteri.
e. Ketidakefektifan regimen terapeutik berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
perubahan tingkat aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat di rumah.
HYD: Pasien dapat mengetahui aktivitas yang boleh dilakukan dan perawatannya saat di rumah.Rencana Tindakan:
1) Kaji tingkat pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan perawatan di rumah.Rasional: Menilai tingkat pengetahuan pasien tentang penatalaksanaan di rumah.
2) Anjurkan pasien untuk melakukan latihan aktif dan pasif secara teratur.Rasional: Dapat mencegah terjadinya kontraktur pada tulang.
3) Beri kesempatan pada pasien untuk dapat bertanya.Rasional: Hal yang kurang jelas dapat diklarifikasikan kembali.
4) Anjurkan pasien untuk mentaati terapi dan kontrol tepat waktu.Rasional: Mencegah keadaan yang dapat memperburuk keadaan fraktur.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner and Suddarth, 2000, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 3, EGC, Jakarta
Corwin, Elizabeth J., 2000. Buku Saku Patofisiologi, EGC, Jakarta
Doengus E. Marilynn., 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta
Mansjoer, Arif., 2000, Kapita Selekta Ke
hakarangga.blogspot.com/2013/12/laporan-pendahuluan-asuhan-keperawatan.html
Askep klien dengan fraktur kompresi
ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. P DENGAN FRAKTUR KOMPRESI V Th IV Frankle A di BANGSAL DAHLIA RS. ORTOPEDI Prof. Dr. SOEHARSO SURAKARTA LANDASAN TEORI
A. PENGERTIAN Paraplegi adalah kelumpuhan kedua tungkai akibat lesi bilateral atau transversal di medula spinalis dibawah tingkat cervical (Sidharta, 1999).
Terapi latihan merupakan salah satu upaya pengobatan dalam fisioterapi yang pelaksanaannya
dengan menggunakan latihan-latihan gerak tubuh baik secara aktif maupun pasif (Kisner, 1996). Fraktur kompresi terdiri dari kata fraktur dan kompresi. Fraktur artinya keadaan patah atau diskontinuitas dari jaringan tulang, sedangkan kompresi artinya tekanan atau tindihan, jadi fraktur kompresi adalah diskontinuitas dari jaringan tulang akibat dari suatu tekanan atau tindihan yang melebihi kemampuan dari tulang tersebut (Ahmad Ramali, 1987).Fraktur kompresi adalah suatu keretakan pada tulang yang disebabkan oleh tekanan, tindakan menekan yang terjadi bersamaan. Fraktur kompresi pada vertebral umumnya terjadi akibat osteoporosis.Fraktur kompresi vertebra adalah suatu fraktur yang merobohkan ruas tulang belakang akibat tekanan dari tulang, mendorong ke arah robohan ruas-ruas tulang belakang yang kebanyakan seperti sebuah spons/bunga karang yang roboh di bawah tekanan tangan seseorang. Biasanya terjadi tanpa rasa sakit dan menyebabkan seseorang menjadi lebih pendek. Fraktur kompresi vertebra sering dihubungkan dengan osteoporosis.
B. ETIOLOGI Penyebab cedera medula spinalis dibedakan menjadi dua yaitu akibat trauma dan non trauma. Delapan puluh persen cedera medula spinalis disebabkan oleh trauma (contoh : jatuh, kecelakaan lalu lintas, tekanan yang terlalu berat pada punggung) dan sisanya merupakan akibat dari patologi atraumatis seperti carcinoma, mielitis, iskemia, dan multipel sklerosis (Garrison, 1995).
C. PATOFISIOLOGI Trauma dapat mengakibatkan cedera pada medula spinalis secara langsung dan tidak langsung. Fraktur pada tulang belakang yang menyebabkan instabilitas pada tulang belakang adalah penyebab cedera pada medula spinalis secara tidak langsung. Apabila trauma terjadi dibawah segmen cervical dan medula spinalis tersebut mengalami kerusakan sehingga akan berakibat terganggunya distribusi persarafan pada otot-otot yang dsarafi dengan manifestasi kelumpuhan otot-otot intercostal, kelumpuhan pada otot-otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah serta paralisis sfingter pada uretra dan rektum. Distribusi persarafan yang terganggu mengakibatkan terjadinya gangguan sensoris pada regio yang disarafi oleh segmen yang cedera tersebut. Klasifikasi derajat kerusakan medulla spinalis :Frankel A = Complete, fungsi motoris dan sensoris hilang sama sekali di bawah level lesi.Frankel B = Incomplete, fungsi motoris hilang sama sekali, sensoris masih tersisa di bawah level lesi.Frankel C = Incomplete, fungsi motris dan sensoris masih terpelihara tetapi tidak fungsional.Frankel D = Incomplete, fungsi sensorik dan motorik masih terpelihara dan fungsional.Frankel E = Normal, fungsi sensoris dan motorisnya normal tanpa deficit neurologisnya.D. TANDA DAN GEJALA PARAPLEGI AKIBAT SPINAL CORD INJURY.a. Gangguan motorik Cedera medula spinalis yang baru saja terjadi, bersifat komplit dan terjadi kerusakan sel-sel saraf pada medula spinalisnya menyebabkan gangguan arcus reflek dan flacid paralisis dari otot-otot yang disarafi sesuai dengan segmen-segmen medula spinalis yang cedera. Pada awal kejadian akan mengalami spinal shock yang berlangsung sesaat setelah kejadian sampai beberapa hari bahkan
sampai enam minggu. Spinal shock ini ditandai dengan hilangnya reflek dan flacid. Apabila lesi terjadi di mid thorakal maka gangguan refleknya lebih sedikit tetapi apabila terjadi di lumbal beberapa otot-otot anggota gerak bawah akan mengalami flacid paralisis (Bromley, 1991). Masa spinal shock berlangsung beberapa jam bahkan sampai 6 minggu kemudian akan berangsur - angsur pulih dan menjadi spastik. Cedera pada medula spinalis pada level atas bisa pula flacid karena disertai kerusakan vaskuler yang dapat menyebabkan matinya sel – sel saraf b. Gangguan sensorikPada kondisi paraplegi salah satu gangguan sensoris yaitu adanya paraplegic pain dimana nyeri tersebut merupakan gangguan saraf tepi atau sistem saraf pusat yaitu sel-sel yang ada di saraf pusat mengalami gangguan.(Crosbie,1993). Selain itu kulit dibawah level kerusakan akan mengalami anaesthes, karena terputusnya serabut-serabut saraf sensoris.c. Gangguan bladder dan bowelEfek gangguan fungsi bladder tergantung pada level cedera medula spinalis, derajat kerusakan medula spinalis, dan waktu setelah terjadinya injury. Paralisis bladder terjadi pada hari-hari pertama setelah injury selama periode spinal shock. Seluruh reflek bladder dan aktivitas otot-ototnya hilang. Pasien akan mengalami gangguan retensi diikuti dengan pasif incontinensia.
Pada defekasi, kegiatan susunan parasimpatetik membangkitakan kontraksi otot polos sigmoid dan rectum serta relaksasii otot spincter internus. Kontraksi otot polos sigmoid dan rectum itu berjalan secara reflektorik. Impuls afferentnya dicetuskan oleh gangglion yang berada di dalam dinding sigmoid dan rectum akibat peregangan, karena penuhnya sigmoid dan rectum dengan tinja. Defekasi adalah kegiatan volunter untuk mengosongkan sigmoid dan rectum. Mekanisme defekasi dapat dibagi dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tinja didorong kebawah sampai tiba di rectum kesadaran ingin buang air besar secara volunter, karena penuhnya rectum kesadaran ingin buang air besar timbul. Pada tahap kedua semua kegiatan berjalan secara volunter. Spincter ani dilonggarkan dan sekaligus dinding perut dikontraksikan, sehingga tekanan intra abdominal yang meningkat mempermudah dikeluarkannya tinja. Jika terjadi inkontinensia maka defekasi tak terkontrol oleh keinginan (Sidharta, 1999).d. Gangguan fungsi seksual• Gangguan seksual pada pria Pasien pria dengan lesi tingkat tinggi untuk beberapa jam atau beberapa hari setelah cidera. Seluruh bagian dari fungsi sexual mengalami gangguan pada fase spinal shock. Kembalinya fungsi sexual tergantung pada level cidera dan komplit/tidaknya lesi.Untuk dengan lesi komplet diatas pusat reflex pada conus, otomatisasi ereksi terjadi akibat respon lokal, tetapi akan terjadi gangguan sensasi selama aktivitas seksual. Pasien dengan level cidera rendah pusat reflek sakral masih mempunyai reflex ereksi dan ereksi psychogenic jika jalur simpatis tidak mengalami kerusakan, biasanya pasien mampu untuk ejakulasi, cairan akan melalui uretra yang kemudian keluarnya cairan diatur oleh kontraksi dari internal bladder sphincter. Kemampuan fungsi seksual sangat bervariasi pada pasien dengan lesi tidak komplit, tergantung seberapa berat kerusakan pada medula spinalisnya. Gangguan sensasi pada penis sering terjadi dalam hal ini. Masalah yang terjadi berhubungan dengan locomotor dan aktivitas otot secara volunter. Dapat dilakukan tes untuk mengetahui potensi sexual dan fertilitas. Selain itu banyak pasangan yang memerlukan bantuan untuk belajar teknik-teknik keberhasilan untuk hamil (Hirsch, 1990; Brindley,
1984).• Gangguan seksual pada wanita Gangguan siklus menstruasi banyak terjadi pada wanita dengan lesi komplit atau tidak komplit. Gangguan ini dapat terjadi untuk beberapa bulan atau lebih dari setahun. Terkadang siklus menstruasinya akan kembali normal.Pada pasien wanita dengan lesi yang komplit akan mengalami gangguan sensasi pada organ genitalnya dan gangguan untuk fungsi seksualnya. Pada paraplegi dan tetraplegi, wanita dapat hamil dan mempunyai anak yang normal dengan lahir normal atau dengan caesar (SC) jika memang indikasi. Kontraksi uterus akan terjadi secara normal untuk cidera diatas level Th6, kontraksi uterus yang terjadi karena reflek otonom. Pasien dengan lesi complet pada Th6 dan dibawahnya. Akan mengalami nyeri uterus untuk pasien dengan lesi komplet Th6, Th7, Th8 perlu mendapatkan pengawasan khusus biasanya oleh rumah sakit sampai proses kehamilan.e. Autonomic desrefleksiaAutonomic desrefleksia adalah reflek vaskuler yang terjadi akibat respon stimulus dari bladder, bowel atau organ dalam lain dibawah level cedera yang tinggi, fisioterapi harus tanggap terhadap tanda-tanda terjadinya autonomic desrefleksia antara lain 1) keluar banyak keringat pada kepala, leher, dan bahu, 2) naiknya tekanan darah, 3) HR rendah, 4) pusing atau sakit kepala.Overdistension akibat terhambatnya kateter dapat meningkatkan aktifitas dari reflek ini jika tidak cepat ditanggulangi dapat menyebabkan pendarahan pada otak, bahkan kematian. Dapat juga disebabkan oleh spasme yang kuat dan akibat perubahan pasisi yang tiba-tiba, seperti saat tilting table.
E. KOMPLIKASI Komplikasi yang sering muncul pada kasus paraplegi adalah antara lain : a. Chest complicationIstirahat ditempat tidur mengakibatkan gangguan tahanan mekanik akibat dari penurunan seluruh dan pengurangan pengembangan otot-otot intercostal, diafragma, dan abdominal saat pernafasan supinasi. Sendi kostovertebral dan kostokondral serta otot-otot abdominal bisa jadi terfiksasi dalam proses okspirasi. Sehingga menyebabkan penurunan inspirasi maksimal dan berakibat pada penuruan kapasitas pernafasan vital dan fungsional. Hal ini menyebabkan perbedaan regional dalam rasio vertilasi /perfusi di daerah yang kontilasinya buruk serta daerah yang perfusinya berlebihan dan pirauarterio venosa. Jika terjadi peningkatan kebutuhan metabolisme maka terjadilah hipoksia. Fungsi mukosiliaris juga terganggu maka sekresi mukus mengumpul pada bronkioli saluran nafas yang tergantung, sehingga menimbulkan atelektasis dan pneumonia hipostatik (Garrison, 1995)b. Deep vein thrombosis (DVT) dan emboli paruPasien paraplegi beresiko tinggi mengalami DVT. (Garrison, 1995). DVT ditandai dengan adanya pembengkakan pada kaki, eritema dan suhu yang cenderung rendah. Sering ditemukan oleh fisioterapis ketika melakukan pemeriksaaan gerak pasif pada salah satu atau kedua anggota gerak bawah. Jika DVT positif maka latihan dihentikan sampai diberikan anti koagulan sehingga sistem vaskuler menjadi stabil kembali. Jika DVT tidak terdiagnosis maka perlu diperhatikan terjadinya emboli yang biasanya terjadi pada hari ke 10 – 40 (Bromley, 1991).c.Pressure sorePressure sore disebut juga ulcus decubitus, disebabkan karena lamanya penekanan yang menyebabkan iskemik kemudian nekrosis pada jaringan lunak diatas tonjolan-tonjolan tulang seperti
sacrum, iscium, trocanthor, dan tumit. Pembengkakan, malnutrisi, anemia, hipoalbuminemia dan kelumpuhan merupakan faktor-faktor pedukung (Garrison, 1995).d. Kontraktur Kontraktur adalah hilangnya jangkauan gerak suatu sendi. Hal ini merupakan akibat dari hilangnya fleksibilitas jaringan lunak yang dikarenakan imobilisasi. Timbulnya kontraktur merupakan salah satu kecacatan yang paling parah karena berpengaruh besar pada hasil akhir fungsional dan rehabilitasi (Garrison, 1995) e. Osteoporosis dan fraktur Dalam pembentukan tulang dan penyerapan kalsium pada tulang sangat dipengaruhi oleh rangsangan dari tumpuan berat badan, gravitasi, dan kontraksi otot. Pada kondisi paraplegi karena adanya kelumpuhan maka rangsangan tersebut tidak terjadi sehingga berpotensi timbulnya osteoporisis dan bila berkepanjangan dapat menyebabkan atrofi tulang. Osteoporosis dapat menyebabkan fraktur kompresi pada corpus vertebra dan tulang panjang penumpu berat badan hanya dengan trauma kecil serta mempermudah pasien untuk mengalami fraktur panggul (Garrison, 1995).f. Heterotopic ossificationHeteroptopic ossification merupakan pembentukan tulang pada jaringan lunak, biasanya terjadi pada sendi besar seperti hip dan knee. Umumnya baru diketahui satu hingga empat bulan setelah cedera dan lebih sering terjadi pada cedera komplit. Patogenesisnya tidak jelas. (Garrison, 1995).g. Neuropathic atau spinal cord painKerusakan dari tulang vertebra, medula spinalis, saraf tepi, dan jaringan disekitarnya dapat menyebabkan neuropatik. Rasa nyeri pada akar saraf bisa berupa nyeri tajam teriris dan menjalar sepanjang perjalanan saraf tepinya bahkan mungkin terjadi pada phantom limb pain (Garrison, 1995).h. SyringomyeliaSyringomyelia merupakan pembesaran kanalis centralis dari medula spinalis pasca trauma, terjadi pada satu hingga tiga persen pasien spinal cord injury. Resikonya adalah gangguan fungsi diatas level cedera.(Bromley,1991).
F. PROGNOSIS Prognosis pada kasus paraplegi ini tergantung pada level cedera dan klasifikasi spinal cord injuri dan prognosis ini dilihat dari segi quo ad vitam (mengenai hidup metinya penderita), segi quo ad sanam (mengenai penyembuhan), segi quo ad cosmetican (ditinjau dari kosmetik) dan segi quo ad fungsionam (ditinjau dari segi aktifitas fungsional). Sehingga prognosis yang terjadi kemungkinan baik, dubia (ragu-ragu) dan jelek. Dubia dibagi menjadi 2 yaitu ragu-ragu kearah baik (dubia ad bonam) dan dubia kearah jelek (dubia ad malam). Secara garis besar prognosis dari paraplegi akibat cedera medula spinalis adalah jelek karena medula spinalis merupakan salah satu susunan saraf pusat dan bila mengalami kerusakan akan terjadi kecacatan yang permanen.(Garrison,1995)
TRAUMA MEDULA SPINALISPENDAHULUANTrauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tuylang belakang pada tulang belakang ,ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek,bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut terputus .Cedera sumsum tulang belakang merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang penatalaksanaannya.kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh dari ketionggian seperti pohon kelapa , pada masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti lkecelakaan lalu lintas,jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah raga.Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih gagalginjal,pneumoni/decubitus. II. PENYEBAB DAN BENTUKCedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal.cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang.didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulanmg belakang dapat beruypa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat doisebabkan hipoksemia dana iskemia.iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.Perlu disadar bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.
III. PATOFISIOLOGI Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap.akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi).lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa).hematomielia adalah perdarahan dlam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea.trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio.kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis.pada trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible.jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema aaanastomosis anterial anterior spinal.IV. GAMBARAN KLINIKGambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.kerusakan meningitis;lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal.shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat .peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama.tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan
hipotensi.setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiper ekstensi.gambaran klinik berupa tetraparese parsial.gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu.Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokafernosa.V. PERAWATAN DAN PENGOBATANPerhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder.untuk maksud tersebut dilakukan immobilisasi ditempat kejadian dengan memanfaatkan alas yang keras.pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu atau sarana papun yang beralas keras.selalu harus diperhatikan jalan nafas dan sirkulasi.bila dicurigai cedera didaerah servikal harus diusahakan agar kep[ala tidak menunduk dan tetap ditengah dengan menggunakan bantal kecil untuk menyanngga leher pada saat pengangkutan.Perawatan penderita memegang peranan penting untuk mencegah timbulnya penyakit.perawatn ditujukan pada pencegahan :• Kulit : agar tidak timbul dekubitus karena daerah yang anaestesi.• Anggota gerak : agar tiadak timbul kontraktur.• Traktus urinarius : menjamin pengeluaran air kemih.• Traktus digestivus : menjamin kelancaran bab.• Traktus respiratorius : apabila yang terkena daerah servikal sehingga terjadi pentaplegi.KULITPerawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu dengan cara miring kanan kiri telentang dan telungkup.ANGGOTA GERAKKarena kelainan saraf maka timbul pula posisi sendi akibat inbalance kekuatan otot.pencegahan ditujukan terhadap timbulnya kontraktur sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan pergerakan sendi serta meletakkan anggota dalam posisi netral.TRAKTUS URINARIUSUntuk ini perlu apakah ganggua saraf menimbulkan gejala UMN dan LMN terhadap buli-buli, karenanya maka kateterisasi perlu dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan infeksi.TRAKTUS DIGESTIVUSMenjamin kelancaran defekasi dapat dikerjkaka secara manual .TRAKTUS RESPIRATORIUSApabila lesi cukup tinggi (daerah servikal dimana terdapat pula kelumpuhan pernapasan pentaplegia), maka resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan.
PENDAHULUANA. LATAR BELAKANGCidera medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.Cidera medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi fungsi motorik volunter total dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan fungsi motorik volunter.Cidera medulla spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi 150.000 orang di Amerika Serikat, dengan perkiraan10.000 cedera baru yang terjadi setiap tahun. Kejadian ini lebih dominan pada pria usia muda sekitar lebih dari 75% dari seluruh cedera. Data dari bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati didapatkan dalam 5 bulan terakhir terhitung dari Januari sampai Juni 2003 angka kejadian angka kejadian untuk fraktur adalah berjumlah 165 orang yang di dalamnya termasuk angka kejadian untuk cidera medulla spinalis yang berjumlah 20 orang (12,5%).Pada usia 45-an fraktur banyak terjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena olahraga, pekerjaan, dan kecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan perubahan hormonal (menopause).Klien yang mengalami cidera medulla spinalis khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan cidera medulla spinalis dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah yang paling buruk.Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya malkalah yang berjudul “cedera medulla spinalis” dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan.B. RUANG LINGKUPRuang lingkup pembahasan dalam makalah ini tentang pengertian cidera medulla spinalis, etiologi,patofosiologi, tanda dan gejala,penanganan kegawatdaruratan.dan asuhan keperawatan cedera medulla spinalis.C. TUJUAN PENULISAN1. Tujuan Umum
Agar mahasiswa mampu memahami tentang asuhan keperawatan pada cedera medulla spinalis2. Tujuan Khususa. Mampu mengidentifikasi pengertian cedera medulla spinalisb. Mampu mengerti tentang penyebab dan tanda cedera medulla spinalisc. Mampu memberikan penanganan awal pada pasien cedera medulla spinalisd. Mampu memberikan asuhan keperawatan dengan benar.D. SISTEMATIKA PENULISANJudulKata PengantarDaftar isiBAB I : Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, ruang lingkup, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan.BAB II : Pembahasan yang terdiri dari konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatanBAB III : Penutup, yang terdiri dari kesimpulan dan saranDaftar PustakaBAB IIPEMBAHASANA. KONSEP DASARI. ANATOMI FISIOLOGIColumna Vertebralis adalah pilar utama tubuh yang berfungsi melindungi medula spinalis dan menunjang berat kepala serta batang tubuh, yang diteruskannya ke lubang-lubang paha dan tungkai bawah. Masing-masing tulang dipisahkan oleh disitus intervertebralis.(Gambar 1:Diagram otak, tulang belakang dan medulla spinalis)Vertebralis dikelompokkan sebagai berikut :a. Vetebrata Thoracalis (atlas)Vetebrata Thoracalis mempunyai ciri yaitu tidak memiliki corpus tetapi hanya berupa cincin tulang. Vertebrata cervikalis kedua (axis) ini memiliki dens, yang mirip dengan pasak. Veterbrata cervitalis ketujuh disebut prominan karena mempunyai prosesus spinasus paling panjang.b. Vertebrata ThoracalisUkurannya semakin besar mulai dari atas kebawah. Corpus berbentuk jantung, berjumlah 12 buah yang membentuk bagian belakang thorax.c. Vertebrata LumbalisCorpus setiap vertebra lumbalis bersifat masif dan berbentuk ginjal, berjumlah 5 buah yang membentuk daerah pinggang, memiliki corpus vertebra yang besar ukurnanya sehingga pergerakannya lebih luas kearah fleksi.d. Os. SacrumTerdiri dari 5 sacrum yang membentuk sakrum atau tulang kengkang dimana ke 5 vertebral ini rudimenter yang bergabung yang membentuk tulang bayi.e. Os. CoccygisTerdiri dari 4 tulang yang juga disebut ekor pada manusia, mengalami rudimenter.Lengkung koluma vertebralis.kalau dilihat dari samping maka kolumna vertebralis memperlihatkan empat kurva atau lengkung antero-pesterior : lengkung vertikal pada daerah leher melengkung kedepan daerah torakal melengkung kebelakang, daerah lumbal kedepan dan daerah pelvis melengkung kebelakang. Kedua lengkung yang menghadap pasterior, yaitu torakal dan pelvis, disebut promer karena mereka mempertahankan lengkung aslinya kebelakang dari hidung tulang
belakang, yaitu bentuk (sewaktu janin dengna kepala membengkak ke bawah sampai batas dada dan gelang panggul dimiringkan keatas kearah depan badan. Kedua lengkung yang menghadap ke anterior adalah sekunder → lengkung servikal berkembang ketika kanak-kanak mengangkat kepalanya untuk melihat sekelilingnya sambil menyelidiki, dan lengkung lumbal di bentuk ketika ia merangkak, berdiri dan berjalan serta mempertahankan tegak. (lihat gambar A1)Fungsi dari kolumna vertebralis. Sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus bekerja sebagai penyangga kedengan prantaraan tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungnya memberikan fleksibilitas dan memungkinkan membonkok tanpa patah. Cakramnya juga berguna untuk menyerap goncangan yang terjadi bila menggerakkan berat badan seperti waktu berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum belkang terlindung terhadap goncangan. Disamping itu juga untuk memikul berat badan, menyediakan permukaan untuk kartan otot dan membentuk tapal batas pasterior yang kukuh untuk rongga-rongga badan dan memberi kaitan pada iga.(Eveltan. C. Pearah, 1997 ; 56 – 62)(Gambar 2:ensephalon dan sumsum tulang belakang (Latin: ‘medulla spinalis’).Medulla spinalis atau sumsum tulang belakang bermula ada medula ablonata, menjulur kearah kaudal melalu foramen magnum dan berakhir diantara vertebra-lumbalis pertama dan kedua. Disini medula spinalis meruncing sebagai konus medularis, dna kemudian sebuah sambungan tipis dasri pia meter yang disebut filum terminale, yang menembus kantong durameter, bergerak menuju koksigis. Sumsum tulang belakang yang berukuran panjang sekitar 45 cm ini, pada bagian depannya dibelah oleh figura anterior yang dalam, sementara bagian belakang dibelah oleh sebuah figura sempit.Pada sumsum tulang belakang terdapat dua penebalan, servikal dan lumbal. Dari penebalan ini, plexus-plexus saraf bergerak guna melayani anggota badan atas dan bawah : dan plexus dari daerah thorax membentuk saraf-saraf interkostalis. Fungsi sumsum tulang belakang : a. Mengadakan komunikasi antara otak dan semua bagian tubuh dan bergerak refleks.Untuk terjadinya geraka refleks, dibutuhkan struktur sebagai berikut :1). Organ sensorik : menerima impuls, misalnya kulit2). Serabut saraf sensorik ; mengantarkan impuls-impuls tersebut menuju sel-sel dalam ganglion radix pasterior dan selanjutnya menuju substansi kelabu pada karnu pasterior mendula spinalis.3). Sumsum tulang belakang, dimana serabut-serabut saraf penghubung menghantarkan impuls-impuls menuju karnu anterior medula spinalis.4). sel saraf motorik ; dalam karnu anterior medula spinalis yang menerima dan mengalihkan impuls tersebut melalui serabut sarag motorik.5). Organ motorik yang melaksanakan gerakan karena dirangsang oleh impuls saraf motorik.6). Kerusakan pada sumsum tulang belakang khususnya apabila terputus pada daerah torakal dan lumbal mengakibatkan (pada daerah torakal) paralisis beberapa otot interkostal, paralisis pada otot abdomen dan otot-otot pada kedua anggota gerak bawah, serta paralisis sfinker pada uretra dan rektum.2. PENGERTIANCedera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001)Cedera medulla spinalis adalah buatan kerusakan tulang dan sumsum yang mengakibatkan gangguan sistem persyarafan didalam tubuh manusia yang diklasifikasikan sebagai :- komplet (kehilangan sensasi dan fungsi motorik total)- tidak komplet (campuran kehilagan sensori dan fungsi motorik)
Cedera medullan spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan sering kali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila cedera itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan dan tungkai mata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserang maka dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan.3. ETIOLOGIPenyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :a. kecelakaan otomobil, industrib. terjatuh, olah-raga, menyelamc. luka tusuk, tembakd. tumor.4. PATOFISIOLOGIKerusakan medulla spinalis berkisar dari kamosio sementara (pasien sembuh sempurna) sampai kontusio, laserasi dan kompresi substansi medulla, (lebih salah satu atau dalam kombinasi) sampai transaksi lengkap medulla (membuat pasien paralisis).Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut.Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.Kerusakan medula spinalisHemoragiSerabut- serabut membengkak/hancurSirkulasi darah tergangguCidera medulla spinalis dapat terjadi pada lumbal 1-5- Lesi L1 : kehilangan sensorik yaitu sama menyebar sampai lipat paha dan bagian dari bokong.- Lesi L2 : ekstremitas bagian bawah kecuali 1/3 atas dari anterior paha.- Lesi L3 : Ekstremitas bagian bawah.- Lesi L4 : Ekstremitas bagian bawah kecuali anterior paha.- Lesi L5 : Bagian luar kaki dan pergelangan kaki.5. MANIFESTASI KLINISa. nyeri akut pada belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkenab. paraplegiac. tingkat neurologikd. paralisis sensorik motorik totale. kehilangan kontrol kandung kemih (refensi urine, distensi kandung kemih)f. penurunan keringat dan tonus vasomotog. penurunan fungsi pernafasanh. gagal nafas(Diane C. Baughman, 200 : 87)6. PEMERIKSAN DIAGNOSTIKa. Sinar X spinalMenentukan lokasi dan jenis cedera tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
b. Skan ctMenentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun strukturalc. MRIMengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresid. Mielografi.Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).e. Foto ronsen torak, memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis)f. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal) : mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).g. GDA : Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi(Marilyn E. Doengoes, 1999 ; 339 – 340)7. KOMPLIKASIa. Neurogenik shock.b. Hipoksia.c. Gangguan paru-parud. Instabilitas spinale. Orthostatic Hipotensif. Ileus Paralitikg. Infeksi saluran kemihh. Kontrakturi. Dekubitusj. Inkontinensia bladerk. Konstipasi8. PENATALAKSANAANa. Penatalaksanaan KedaruratanPenatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara , cedera olahraga kontak, jatuh,atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai bukti cedera ini disingkirkan.1) Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung) ,dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah cedera komplit.2) Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi atau ekstensi kepala.3) Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.4) Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat merusak medula spinais ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra terputus, patah, atau memotong medula komplit.Sebaiknya pasien dirujuk kecedera spinal regional atau pusat trauma karena personel multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa
jam pertama setelah cedera.Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan . Pemindahan pasien ketempat tidur menunjukkan masalah perawat yang pasti. Pasien harus dipertahankan dalam posisi eksternal . Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk, juga tidak boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini bukan cedera medula, pasien dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa bahaya.Sebaliknya kadang- kadang tindakan ini tidak benar. Jika stryker atau kerangka pembalik lain tidak tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras padat dengan papan tempat tidur dibawahnya.b. Penatalaksanaan Cedera Medula Spinalis ( Fase Akut)Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mencegah cedera medula spinalis lebih lanjut dan untuk mengobservasi gejala perkembangan defisit neurologis. Lakukan resusitasi sesuai kebutuhan dan pertahankan oksigenasi dan kestabilan kardiovaskuler.FarmakoterapiBerikan steroid dosis tinggi (metilpredisolon) untuk melawan edema medulla.Tindakan Respiratori1) Berikan oksigen untuk mempertahankan PO2 arterial yang tinggi.2) Terapkan perawatan yang sangat berhati-hati untuk menghindari fleksi atau eksistensi leher bila diperlukan inkubasi endrotakeal.3) Pertimbangan alat pacu diafragma (stimulasi listrik saraf frenikus) untuk pasien dengan lesi servikal yang tinggi.Reduksi dan Fraksi skeletal1) Cedera medulla spinalis membutuhkan immobilisasi, reduksi, dislokasi, dan stabilisasi koluma vertebrata.2) Kurangi fraktur servikal dan luruskan spinal servikal dengan suatu bentuk traksi skeletal, yaitu teknik tong /capiller skeletal atau halo vest.3) Gantung pemberat dengan batas sehinga tidak menggangu traksiIntervensi bedah = LaminektomiDilakukan Bila :1) Deformitas tidak dapat dikurangi dengan fraksi2) Terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal3) Cedera terjadi pada region lumbar atau torakal4) Status Neurologis mengalami penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla.(Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89)9. PENCEGAHANFaktor – faktor resiko dominan untuk cedera medula spinalis meliputi usia dan jenis kelamin. Frekuensi dengan mana faktor- faktor resiko ini dikaitkan dengan cedera medula spinalisbertindak untuk menekankan pentingnya pencegahan primer. Untuk mencegah kerusakan dan bencana ini , langkah- langkah berikut perlu dilakukan :1) Menurunkan kecepatan berkendara.2) Menggunakan sabuk keselamatan dan pelindung bahu.3) Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda.4) Program pendidikaan langsung untuk mencegah berkendara sambil mabuk.
5) Mengajarkan penggunaan air yang aman.6) Mencegah jatuh.7) Menggunakan alat- alat pelindung dan tekhnik latihan.Personel paramedis diajarkan pentingnya memindahkan korban kecelakaan mobil dari mobilnya dengan tepat dan mengikuti metode pemindahan korban yang tepat kebagian kedaruratan rumah sakit untuk menghindari kemungkinan kerusakan lanjut dan menetap pada medula spinalis.B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA MEDULLA SPINALIS1. Pengkajiana. Pengkajian Primer1). Airway.Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas.2). BreathingBantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat. Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal1,3,5,6,7,8.3). CirculationStatus sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik4). DisabilityMelihat secara keseluruhan kemampuan pasien diantaranya kesadaran pasien.5). ExprosureMelihat secara keseluruhan keadaan pasien. Pasien dalam keadaan sadar (GCS 15) dengan :Simple head injury bila tanpa deficit neurologya) Dilakukan rawat lukab) Pemeriksaan radiologyc) Pasien dipulangkan dan keluarga diminta untuk observasi bila terjadi penurunan kesadaran segera bawa ke rumah sakitb. Pengkajian Skunder1). Aktifitas /IstirahatKelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).2). SirkulasiHipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.3). EliminasiRetensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti kopi
tanah /hematemesis.4). Integritas Ego5). Takut, cemas, gelisah, menarik diri.6). Makanan /cairanMengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)7). HigieneSangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)8). NeurosensoriKelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok spinal).Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal sembuh).Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh yang terkena karena pengaruh trauma spinal.9). Nyeri /kenyamananMengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.10). PernapasanPernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat, sianosis.11). KeamananSuhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).12). SeksualitasEreksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur.2. Diagnosa Keperawatana. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.b. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan sesorik.c. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan immobilitas, penurunan sensorik.d. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara spontan.e. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan autonomik.f. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, cedera psikis dan alt traksi3. Perencanaan dan ImplementasiTujuan perencanaan dan implementasi dapat mencakup perbaikan pola pernapasan, perbaikan mobilitas, pemeliharaan integritas kulit, menghilangkan retensi urine, perbaikan fungsi usus, peningkatan rasa nyaman, dan tidak terdapatnya komplikasi.4. Intervensia. Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuatKriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal, jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH = 7,35 – 7,45Rencana Tindakan1). Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekretR/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh terhadap kemampuan batuk.2). Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)R/ Menutup jalan nafas.
3). Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kulturR/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.4). Lakukan suction bila perluR/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.5). Auskultasi bunyi napasR/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.6). Lakukan latihan nafasR/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.7). Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasiR/ Mengencerkan sekret8). Berikan oksigen dan monitor analisa gas darahR/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.9). Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologiR/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.b. Tujuan : Memperbaiki mobilitasKriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur, footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi, mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali aktifitas.Rencana Tindakan1). Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.2). Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan kenyamanan pasien.R/ Mencegah terjadinya dekubitus.3). Beri papan penahan pada kakiR/ Mencegah terjadinya foodrop4). Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplitsR/ Mencegah terjadinya kontraktur.5). Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah cedera 4-5 kali /hariR/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.6). Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.7). Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splintsR/ Memberikan pancingan yang sesuai.c. Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulitKriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi pada lokasi yang tertekan.Rencana Tindakan1). Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulitR/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder /bowel.2). Kaji keadaan pasien setiap 8 jamR/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.3). Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas4). Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi meningkatkan sirkulasi darah.5). Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit6). Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2 jam dengan gerakan memutar.R/ Meningkatkan sirkulasi darah7). Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi proteinR/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan8). Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hariR/ Mempercepat proses penyembuhand. Tujuan : Peningkatan eliminasi urineKriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbangRencana tindakan1). Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemihR/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih2). Kaji intake dan output cairanR/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.3). Lakukan pemasangan kateter sesuai programR/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga perlu bantuan dalam pengeluaran urine4). Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hariR/ Mencegah urine lebih pekat yang berakibat timbulnya ……..5). Cek bladder pasien setiap 2 jamR/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia6).Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitasR/ Mengetahui adanya infeksi7). Monitor temperatur tubuh setiap 8 jamR/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.e. Tujuan : Memperbaiki fungsi ususKriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.Rencana tindakan1). kaji pola eliminasi bowelR/ Menentukan adanya perubahan eliminasi2). Berikan diet tinggi seratR/ Serat meningkatkan konsistensi feses3). Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasiR/ Mencegah konstipasi4). Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomenR/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik5). Hindari penggunaan laktasif oralR/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan6). Lakukan mobilisasi jika memungkinkanR/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
7). Berikan suppositoria sesuai programR/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi8). Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasiR/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoriaf. Tujuan : Memberikan rasa nyamanKriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman, mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.Rencana tindakan1). Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri, misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat cedera misalnya dada / punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer2). Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres hangat / dingin sesuai indikasi.R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan, selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi pernafasan.3). Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi, latihan nafas dalam.R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat meningkatkan kemampuan koping4). Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren (dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk menghilangkan-ansietas dan meningkatkan istrirahat.5. Evalusia. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuatb. Klien dapat memperbaiki mobilitasc. Klien dapat mempertahankan integritas kulitd. klien mengalami peningkatan eliminasi urinee. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasif. Klien menyatakan rasa nyaman(Marilyn E. Doenges 1999 ; 340 – 358, Diane C Baurghman, 2000 : 91 – 93)BAB IIIPENUTUPA. KESIMPULANCidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).Penyebab dari cidera medulla spinalis yaitu :kecelakaan otomobil, industri terjatuh, olah-raga, menyelam ,luka tusuk, tembak dan tumor.Bila hemoragi terjadi pada daerah medulla spinalis, darah dapat merembes ke ekstradul subdural atau daerah suaranoid pada kanal spinal, segera sebelum terjadi kontusio atau robekan pada cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke medulla spinalis menjadi terganggu, tidak hanya ini saja tetapi proses patogenik menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cidera medulla spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulakn iskemia, hipoksia, edema, lesi, hemorargi.
Penatalaksanaan pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan mengalami cedera medula spinalis sampai bukti cedera ini disingkirkan. Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan.Asuhan Keperawatan yang diberikan pada pasien dengan cedera medula spinalis berbeda penanganannya dengan perawatan terhadap penyakit lainnya,karena kesalah dalam memberikan asuhan keperawatan dapat menyebabkan cedera semakin komplit dan dapat menyebabkan kematian.B. SARANDengan adanya makalah ini diharapkan kepada mahasiswa agar dapat menjaga kesehatannya terutama pada bagian tulang belakang agar cedera medula spinalis dapat terhindar. Adapun jika sudah terjadi , mahasiswa dapat melakukan perawatan seperti yang telah tertulis dalam makalah iniDAFTAR PUSTAKADoengoes, M. E, 1999, Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta ; EGChttp://akhmadrapiuddin.blogspot.com/2009/06/makalah-medula-spinalis.html.http://harnawatiaj.wordpress.com/2008/04/17/trauma-medula-spinalisMansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Edisi 3 Jakarta : FKUISmeltzer,Suzanna C.2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal- Bedah Edisi 8.Jakarta: EGC
Diposkan oleh abil hasn di 16.48
Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook Bagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Poskan Komentar
Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda
Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Pengikut
Arsip Blog
▼ 2010 (4) o ▼ Desember (4)
tekanan intra kranial Patofisiologi Askep klien dengan fraktur kompresi askep klien dengan diabetes melitus
Mengenai Saya
abil hasn
Assalamu"alaikum......Q abil nama panjangq ABIL HASAN SADALI Q gag banyak tingkah apa adanya yang jelas dan terpenting lagi Q beragama islam
Lihat profil lengkapku
Template Awesome Inc.. Diberdayakan oleh Blogger.
http://abil-hasan.blogspot.com/2010/12/askep-klien-dengan-fraktur-kompresi.html
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR
LAPORAN PENDAHULUANFRAKTUR
I. Konsep DasarA. Definisi
Menurut Suddarth (2002:2353) Fraktur adalah diskontiunitas jaringan tulang yang banyak disebabkan karena kekerasan yang mendadak atau tidak atau kecelakaan.
Menurut Santoso Herman (2000:144) Fraktur adalah terputusnya hubungan normal suatu tulang atau tulang rawan yang disebabkan oleh kekerasan.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa (Carpenito 2000:43)
Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2000:625)
B. Klasifikasi FrakturFraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi
beberapa kelompok, yaitu:a. Berdasarkan sifat fraktur.1) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. 2) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang seperti terlihat pada foto.2) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut).b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang
spongiosa di bawahnya.
c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.1) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat
trauma angulasi atau langsung.2) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan
meruakan akibat trauma angulasijuga.3) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma
rotasi.4) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke
arah permukaan lain.5) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang.d. Berdasarkan jumlah garis patah.1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak
bergeser dan periosteum nasih utuh.2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen, terbagi atas:a) Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).d) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.e) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.
(Suddarth, 2002:2354-2356)
C. EtiologiFraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang
yang biasanya di akibatkan secara langsung dan tidak langsung dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau luka yang di sebabkan oleh kendaraan bermotor.
Penyebab patah tulang paling sering di sebabkan oleh trauma terutama pada anak-anak, apabila tulang melemah atau tekanan ringan. (Doenges, 2000:627)
Menurut Carpenito (2000:47) adapun penyebab fraktur antara lain:1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2) Kekerasan tidak langsungKekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan ototPatah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2000:627) adapun penyebab fraktur antara lain:1) Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang mengakibatkan fraktur
2) Trauma Tak LangsungYaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3) Fraktur PatologikStuktur yang terjadi pada tulang yang abnormal(kongenital,peradangan, neuplastik dan metabolik).
D. Manifestasi Klinis Manifestasi klinik dari faktur ,menurut Brunner and Suddarth,(2002:2358)
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai tulang diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai almiah yang di rancang utuk meminimalkan gerakan antar fregmen tulang
b. Setelah terjadi faraktur, bagian-bagian tidak dapat di gunakan dan cenderung bergerak secara alamiah (gerak luar biasa) bukanya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen tulang pada fraktur lengan dan tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui membandingkan ekstermitas yang normal dengan ekstermitas yang tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu samalain sampai 2,5-5 cm (1-2 inchi)
d. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya (uji krepitus dapat mengaibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal terjadi sebagai akibat trauma dari pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru bisa terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera.Menurut Santoso Herman (2000:153) manifestasi klinik dari fraktur adalah:
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema.
Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit.
E. Patofisiologi Patah tulang biasanya terjadi karena benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu
karena trauma langsung misalnya: tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak langsung misalnya: seseorang yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep dan bisep mendadak berkontraksi. (Doenges, 2000:629)
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan
sel mast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darahketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati Carpenito (2000:50)
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembengkakan yg tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringanyg mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (Brunner & suddarth, 2002: 2387). Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Doenges, 2000:629).
F. Proses Penyembuhan Tulanga. Tahap Hematoma.
Pada tahap terjadi fraktur, terjadi kerusakan pada kanalis Havers sehingga masuk ke area fraktur setelah 24 jam terbenutk bekuan darah dan fibrin yang masuk ke area fraktur, terbenuklah hematoma kemudian berkembang menjadi jaringan granulasi.
b. Tahap Poliferasi.Pada aerea fraktur periosteum, endosteum dan sumsum mensuplai sel yang berubah menjadi fibrin kartilago, kartilago hialin dan jaringan panjang.
c. Tahap Formiasi Kalus atau Prakalus. Jaringan granulasi berubah menjadi prakalus. Prakalus mencapai ukuran maksimal pada 14 sampai 21 hari setelah injuri.
d. Tahap Osifikasi kalus, Pemberian osifikasi kalus eksternal (antara periosteum dan korteks), kalus internal (medulla) dan kalus intermediet pada minggu ke-3 sampai dengan minggu ke-10 kalus menutupi lubang.
e. Tahap consolidasi, Dengan aktivitas osteoblasi dan osteoklas, kalus mengalami proses tulang sesuai dengan hasilnya.
Faktor – faktor yang mempengaruhi proses pemulihan :a. Usia klienb. Immobilisasic. Tipe fraktur dan area frakturd. Tipe tulang yang fraktur, tulang spongiosa lebih cepat sembuh dibandingkan dengan tulang
kompak.e. Keadaan gizi klien.f. Asupan darah dan hormon – hormon pertumbuhan yang memadai.g. Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang.h. Komplikasi atau tidak misalnya infeksi biasa menyebabkan penyembuhan lebih lama.
i. Keganasan lokal, penyakit tulang metabolik dan kortikosteroid. (Doenges, 2000:632-633)
G. Komplikasia. SyokSyok hipovolemik akibat perdarahan dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak sehingga terjadi kehilangan darah dalam jumlah besar akibat trauma.
b. Mal union. Gerakan ujung patahan akibat imobilisasi yang jelek menyebabkan mal union, sebab-sebab lainnya adalah infeksi dari jaringan lunak yang terjepit diantara fragmen tulang, akhirnya ujung patahan dapat saling beradaptasi dan membentuk sendi palsu dengan sedikit gerakan (non union).c. Non unionNon union adalah jika tulang tidak menyambung dalam waktu 20 minggu. Hal ini diakibatkan oleh reduksi yang kurang memadai.
d. Delayed unionDelayed union adalah penyembuhan fraktur yang terus berlangsung dalam waktu lama dari proses penyembuhan fraktur.
e. Tromboemboli, infeksi, kaogulopati intravaskuler diseminata (KID).Infeksi terjadi karena adanya kontaminasi kuman pada fraktur terbuka atau pada saat pembedahan dan mungkin pula disebabkan oleh pemasangan alat seperti plate, paku pada fraktur.
f. Emboli lemakSaat fraktur, globula lemak masuk ke dalam darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler. Globula lemak akan bergabung dengan trombosit dan membentuk emboli yang kemudian menyumbat pembuluh darah kecil, yang memsaok ke otak, paru, ginjal, dan organ lain.
g. Sindrom KompartemenMasalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Berakibat kehilangan fungsi ekstermitas permanen jika tidak ditangani segera.
h. Cedera vascular dan kerusakan syaraf yang dapat menimbulkan iskemia, dan gangguan syaraf. Keadaan ini diakibatkan oleh adanya injuri atau keadaan penekanan syaraf karena pemasangan gips, balutan atau pemasangan traksi. (Brunner & suddarth, 2002: 2390).
H. Pemeriksaan Penunjang1. X.Ray2. Foto Ronsen3. Bone scans, Tomogram, atau MRI Scans4. Arteriogram : dilakukan bila ada kerusakan vaskuler.5. CCT kalau banyak kerusakan otot.
(Carpenito 2000:50)H. Penatalaksanaan Medis1. Pengobatan dan Terapi Medis
a. Pemberian anti obat antiinflamasi.b. Obat-obatan narkose mungkin diperlukan setelah fase akutc. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme ototd. Bedrest, Fisioterapi
Pembedahan dapat mempermudah perawatan dan fisioterapi agar mobilisasi dapat berlangsung lebih cepat. Pembedahan yang sering dilakukan seperti disektomi dengan peleburan yang digunakan untuk menyatukan prosessus spinosus vertebra; tujuan peleburan spinal adalah untuk menjembatani discus detektif, menstabilkan tulang belakang dan mengurangi angka kekambuhan. Laminectomy mengangkat lamina untuk memanjakan elemen neural pada kanalis spinalis, menghilangkan kompresi medulla dan radiks. Microdiskectomy atau percutaeneus diskectomy untuk menggambarkan penggunaan operasi dengan mikroskop, melihat potongan yang mengganggu dan menekan akar syaraf. (Carpenito 2000:50)
II. Manajemen KeperawatanI. Pengkajian
B1 (Breathing) : Napas pendekB2 (Blood) : Hipotensi, bradikardi,
B3 (Brain) : Pusing saat melakukan perubahan posisi, nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma dan mengalami deformitas pada daerah trauma.
B4 (Bleader) : Inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut dan peristaltic hilang B5 ( Bowel) : Mengalami distensi perut dan peristaltik usus hilang
B6 (Bone) : Kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama syok spinal, hilangnya sensasi dan hilangnya tonus otot dan hilangnya reflek.
J. Diagnosa KeperawatanAdapun diagnosa yang yang mungkin kita angkat dan menjadi perhatian pada fraktur
servikal, diantaranya :a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragmakerusakanb. Mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan gangguan rasa nyaman nyeric. Berhubungan dengan adanya cedera gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungand. Dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum. e. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.
(Brunner & suddarth, 2002: 2392).
K. Intervensi Keperawatan 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragmakerusakanTujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen Kriteria hasil : Pentilasi adekuatIntervensi :
1) Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak.R/: Pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/
mempertahankan jalan nafas.
2) Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.
R/ : Jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3) Kaji fungsi pernapasan.R/: Trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot
pernapasan mengalami kelumpuhan.4) Auskultasi suara napas.
R/ : Hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.5) Observasi warna kulit.
R/: Menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera.6) Kaji distensi perut dan spasme otot.
R/: Kelainan penuh pada perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma.7) Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari.
R/: Membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.8) Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan.
R/: Menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan pernapasan.
9) Pantau analisa gas darah.R/: Untuk mengetahui adanya kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2
rendah dan PaCO2 meningkat.10) Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan isufisiensi
pernapasan.R/: Membentu pasien dalam bernafas.
11) Lakukan fisioterapi nafas.R/: Mencegah sekret tertahan
(Brunner & suddarth, 2002: 2392-2393).
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan.Tujuan perawatan : Selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan
pembedahan. Kriteria hasil : Tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas kembali secara
bertahap. Intervensi :
1) Kaji secara teratur fungsi motorik.R/: Mengevaluasi keadaan secara umum.
2) Lakukan log rolling.R/: Membantu ROM secara pasif
3) Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki.R/: Mencegah footdrop
4) Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling.R/: Mengetahui adanya hipotensi ortostatik
5) Inspeksi kulit setiap hari.R/: Gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.
6) Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam.R/: Berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.
(Brunner & suddarth, 2002: 2394).3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera Tujuan keperawatan : Rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
Kriteria hasil : Melaporkan rasa nyerinya berkurang Intervensi:
1) Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional.
R/: Pasien melaporkan nyeri biasanya diatas tingkat cedera.2) Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus.R/: Nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan
berbaring lama.3) Berikan tindakan kenyamanan.
R/: memberikan rasa nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.4) Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi.
R/: Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.5) Berikan obat antinyeri sesuai pesanan.
R/: Untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.
(Brunner & suddarth, 2002: 2394).4. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan
rectum Tujuan perawatan : Pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi Kriteria hasil : Pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali Intervensi:
1) Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.R/: Bising usus mungkin tidak ada selama syok spinal.
2) Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT.R/: Pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
3) Berikan diet seimbang TKTP cairR/: Meningkatkan konsistensi feces
4) Berikan obat pencahar sesuai pesanan.R/: Merangsang kerja usus
(Brunner & suddarth, 2002: 2395).5. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : Pola eliminasi kembali normal selama perawatan Kriteria hasil : Produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada Intervensi :
1) Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam.R/: Mengetahui fungsi ginjal
2) Palpasi R/: Kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3) Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari.R/: membantu mempertahankan fungsi ginjal.
4) Pasang dower kateter.R/: Membantu proses pengeluaran urine
(Brunner & suddarth, 2002: 2395).L. Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan keperawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Ada tiga fase dalam tindakan keperawatan, yaitu :1. Fase PersiapanMeliputi pengetahuan tentang rencana, validasi rencana, pengetahuan dan keterampilan menginterpretasikan rencana, persiapan klien dan lingkungan.
2. Fase Intervensi
Merupakan puncak dari implementasi yang berorientasi pada tujuan dan fokus pada pengumpulan data yang berhubungan dengan reaksi klien termasuk reaksi fisik, psikologis, sosial dan spiritual. Tindakan keperawatan dibedakan berdasarkan kewenangan dan tanggung jawab secara professional, yaitu :
a. Secara Mandiri (Independen)Adalah tindakan yang diprakarsai sendiri oleh perawat untuk membantu pasien dalam mengatasi masalahnya atau menanggapi reaksi karena adanya stressor (penyakit), misalnya :
1) Membantu klien dalam melakukan kegiatan sehari – hari 2) Melakukan perawatan kulit untuk mencegah dekubitus
3) Memberikan dorongan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya secara wajar. 4) Menciptakan lingkungan terapeutik
b. Saling ketergantungan/ kolaborasi (Interdependen)Adalah tindakan keperawatan atas dasar kerja sama sesama tim perawatan atau kesehatan lainnya seperti dokter, fisiotherapy, analisis kesehatan, dsb.
c. Rujukan/ KetergantunganAdalah tindakan keperawatan atas dasar rujukan dari profesi lain diantaranya dokter, psikologis, psikiater, ahli gizi, fisiotherapi, dsb.Pada penatalaksanaanya tindakan keperawatan dilakukan secara :
1). Langsung : Ditangani sendiri oleh perawat2). Delegasi : Diserahkan kepada orang lain/ perawat lain yang dapat dipercaya
3. Fase DokumentasiMerupakan terminasi antara perawat dan klien. Setelah implementasi dilakukan dokumentasi terhadap implementasi yang dilakukan. Ada tiga sistem pencatatan yang digunakan :
a. Sources Oriented Recordb. Problem Oriented Recordc. Computer Assisted Record
(Deonges, 2000:643-644)M. Evaluasi Keperawatan
Adalah mengukur keberhasilan dari rencana dan pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan dalam memenuhi kebutuhan klien. Teknik penilaian yang didapat dari beberapa cara, yaitu :1. Wawancara : Dilakukan pada klien dan keluarga
2. Pengamatan : Pengamatan klien terhadap sikap, pelaksanaan, hasil yang dicapai dan perubahan tingkah laku klien.Jenis evaluasi ada dua macam, yaitu :
a. Evaluasi FormatifEvaluasi yang dilakukan pada saat memberikan intervensi dengan respon segera.b. Evaluasi Sumatif
Merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status pasien pada saat tertentu berdasarkan tujuan rekapitulasi dari hasil yang direncanakan pada tahap perencanaan. Ada tiga alternatif yang dapat dipergunakan oleh perawat dalam memutuskan/ menilai :
1) Tujuan tercapai : Jika klien menunjukkan perubahan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian : Jika klien menunjukkan perubahan sebagian dari standar dan kriteria yang telah ditetapkan.
3) Tujuan tidak tercapai : Jika klien tidak menunjukkan perubahan dan kemajuan sama sekali dan akan timbul masalah baru.(Deonges,2000: 635)
Daftar Pustaka
http://tntangkeperawatan.blogspot.com/2013/07/laporan-pendahuluan-fraktur.html
top related