kronologi kerajaan hindu
Post on 01-Feb-2016
46 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Kronologi Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia
Kerajaan Kutai
Kerajaan tertua bercorak Hindu di Indonesia adalah kerajaan Kutai. Kerajaan ini terletak di
Kalimantan, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diambil dari nama tempat
ditemukannya prasasti yang menggambarkan kerajaan tersebut. Tujuh buah yupa merupakan
sumber utama bagi para ahli untuk menginterpretasikan sejarah Kerajaan Kutai. Dari salah
satu yupa tersebut, diketahui bahwa raja yang memerintah Kerajaan Kutai saat itu adalah
Mulawarman.
Mulawarman adalah anak Aswawarman dan cucu Kudungga, Nama Mulawarman dan
Aswawarman sangat kental dengan pengaruh bahasa Sansekerta. Putra Kudungga,
Aswawarman, kemungkinan adalah raja pertama kerajaan Kutai yang bercorak Hindu. Ia juga
diketahui sebagai pendiri dinasti Kerajaan Kutai sehingga diberi gelar Wangsakerta, yang
artinya pembentuk Keluarga.
Putra Aswawarman adalah Mulawarman. Dari yupa, diketahui bahwa pada masa
pemerintahan Mulawarman, Kerajaan Kutai mengalami masa keemasan. Wilayah
kekuasaannya meliputi hamper seluruh wilayah Kalimantan Timur. Rakyat Kutai hidup
sejahtera dan makmur.
Kerajaan Tarumanegara
Sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara diperoleh dari prasasti-prasasti yang berhasil
ditemukan. Namun, tulisan pada beberapa prasati, seperti pada Prasati Muara Cianten dan
Prasasti Pasir Awi sampai saat ini belum dapat diartikan. Banyak informasi berhasil diperoleh
dari tulisan pada kelima prasasti lainnya, terutama Prasasti Tugu yang merupakan prasasti
terpanjang, Tujuh prasasti dari kerajaan Tarumanegara adalah: Prasasti Ciaruteun, Prasasti
Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Tugu, Prasasti Pasir Awi, dan
Prasasti Munjul.
Sumber sejarah penting lain yang dapat menjadi bukti keberadaan kerajaan Tarumanegara
adalah catatan sejarah pengelana Cina. Catatan sejarah pengelana Cina yang menyebutkan
keberadaan Kerajaan Tarumanegara adalah catatan perjalanan pendeta Cina Fa-Hsein, pada
tahun414 dan catatan kerajaan Dinasti Sui dan Dinasti Tang. Dari salah satu prasasti,
yakniPrasati Ciaruteun yang ditemukan di Desa Ciampea, Bogor, diketahui bahwa
Purnawarman dikenal sebagai raja yang gagah berani. Data sejarah yang lebih jelas, terdapat
pada Prasasti Tugu. Pada prasasti yang panjang ini, dikatakan bahwa pada tahun
pemerintahannya yang ke-22, Purnawarman telah menggali Sungai Gomati. Dari prasati
tersebut, dapat disimpulkan bahwa Purnawarman memerintah dalam waktu yang cukup lama.
Kerajaan Melayu
Kerajaan-kerajaan Buddha di Sumatra muncul pada sekitar abad ke-6 dan ke-7. Sejarah
mencatat ada dua kerajaan bercorak Buddha di Sumatra, yaitu Kerajaan Melayu dan Kerajaan
Sriwijaya. Nama kerajaan Sriwijaya selanjutnya mendominasi hamper seluruh informasi
tentang kerajaan dari Sumatra pada abad ke -7 hingga ke-11. Kerajaan Melayu merupakan
salah satu kerajaan tertua di Indonesia. Berdasarkan bukti-bukti sejarah yang bias ditemukan,
Kerajaan Melayu diperkirakan berpusat di daerah Jambi, tepatnya di tepi alur Sungai
Batanghari. Di sepanjang alur Sungai Batanghari ditemukan banyak peninggalan berupa
candi dan arca.
Sumber sejarah lain yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk keberadaan Kerajaan Melayu
adalah catatan dari seorang pengelana dari Cina yang bernama I-Tsing (671-695). Ia
menyebutkan bahwa pada abad ke-7 terdapat sebuah kerajaan bernama Kerajaan Melayu
yang secara politik dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Dari cerita
I-Tsing, diketahui bahwa Kerajaan Melayu terletak ke dalam Selat Malaka yang merupakan
jalur perdagangan terdekat antara India dan Cina. Menurut Kitab Negarakertagama, pada
tahun 1275, Raja Kertanegara dari kerajaan di Jawa mengadakan ekspedisi penaklukan ke
Sumatra. Ekspedisi tersebut disebut ekspedisi Pamalayu.
Setelah cukup lama di bawah kekuasaan Sriwijaya, Kerajaan Melayu muncul kembali sebagai
pusat kekuasaan di Sumatra. Pada abad 17, adityawarman, putra Adwayawarman memerintah
Kerajaan Melayu. Adityawarman memerintah hingga tahun 1375. Kemudian, digantikan oleh
anaknya Anangwarman.
Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya yang muncul pada abad ke-6, pada mulanya berpusat di sekitar Sungai
Batanghari, pantai timur Sumatra. Pada perkembangannya, wilayah kerajaan Sriwijaya
meluas hingga meliputi wilayah Kerajaan Melayu, Semenanjung Malaya, dan Sunda (kini
wilayah Jawa Barat). Catatan mengenai kerajaan-kerajaan di Sumatra didapat dari seorang
pendeta Buddha bernama I-Tsing yang pernah tinggal di Sriwijaya antara tahun 685-689 M.
Pada tahun 692, ketika I-Tsing, bias disimpilkan bahwa Sriwijaya telah menaklukan dan
menguasai kerajaan-kerajaan disekitarnya.
Dari Prasasti Kedukan Bukit (683), dapat diketahui bahwa Raja Dapunta Hyang berhasil
memperluas wilayah kekuasaannya dengan menaklukan daerah Minangatamwan, Jambi.
Daerah Jambi sebelumnya adalah wilayah kerajaan Melayu. Daerah itu merupakan wilayah
taklukan pertama Kerajaan Sriwijaya. Dengan dikuasainya wilayah Jambi, Kerajaan
Sriwijaya memulai peranannya sebagai kerajaan maritim dan perdagangan yang kuat dan
berpengaruh di Selat Malaka. Ekspansi wilayah Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-7 menuju
ke arah selatan dan meliputi daerah perdagangan Jawa di Selat Sunda.
Kerajaan Sriwijaya mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Raja Balaputradewa. Pada
masa itu, kegiatan perdagangan luar negeri ditunjang juga dengan penaklukan wilayah-
wilayah sekitar. Sepanjang abad ke-8, wilayah Kerajaan Sriwijaya meluas kea rah utara
dengan menguasai Semenanjung Malaya dan daerah perdagangan di Selat Malaka dan Laut
Cina Selatan. Sejarah tentang Raja Balaputradewa dimuat dalam dua prasasti, yaitu Prasasti
Nalanda dan Prasasti Ligor.
Raja kerajaan Sriwijaya yang terakhir adalah Sri Sanggrama Wijayatunggawarman. Pada
masa pemerintahan Sri Sanggrama Wijayatunggawarman, hubungan Kerajaan Sriwijaya dan
kerajaan Chola dari India yang semula sangat erat mulai renggang. Hal itu disebabkan oleh
seranggan yang dilancarkan Kerajaan Chola di bawah pimpinan Rajendracoladewa atas
wilayah Sriwijaya di semenanjung Malaya. Serangan-serangan tersebut menyebabkan
kemunduran kerajaan Sriwijaya.
Kerajaan Mataram Kuno
Di wilayah Jawa Tengah, pada sekitar abad ke-8, perkembangan sebuah Kerajaan Mataram
Kuno. Pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno disebut Bhumi Mataram yang terletak di
pedalaman Jawa Tengah. Daerah tersebut memiliki banyak pegunungan dan sungai seperti
Sungai Bogowonto, Sungai Progo, dan Bengawan Solo. Pusat pemerintahan Kerajaan
Mataram Kuno juga sempat berpindah ke Jawa Timur. Perpindahan Kerajaan Mataram Kuno
dari Jawa Tengah ke Jawa Timur disebabkan oleh dua hal.
Selama abad ke-7 sampai ke-9, terjadi serangan-serangan dari Sriwijawa ke Kerajaan
Mataram Kuno. Besarnya pengaruh Kerajaan Sriwijaya itu menyebabkan Kerajaan Mataram
Kuno semakin terdesak ke wilayah timur.
Terjadinya Letusan Gunung Merapi yang dianggap sebagai tanda pralaya atau kehancuran
dunia. Kemudian, letak kerajaan di Jawa Tengah dianggap tidak layak lagi untuk ditempati.
Dinasti Sanjaya
Prasasti Canggal yang ditemukan di halaman Candi Gunung Wukir memberikan
gambaran yang cukup jelas tentang kehidupan politik Kerajaan Mataram Kuno. Prasasti
ini bertuliskan tahun654 Saka atau 732, ditulis dengan huruf Palawa yang
menggunakan bahasa Sansekerta. Kerajaan Mataram Kuno didirikan oleh Raja Sanna.
Raja Sanna kemudian digantikan oleh keponakannya Sanjaya. Masa pemerintahan
Sanna dan Sanjaya dapat kita ketahui dari deskripsi kitab Carita Parahyangan. Dalam
prasasti lain, yaitu Prasasti Balitung, Raja Sanjaya dianggap sebagai pendiri Dinasti
Sanjaya, penguasa Mataram Kuno.
Sanjaya dinobatkan sebagai raja pada tahun 717 dengan gelar Rakai Mataram Sang
Ratu Sanjaya. Kedududkan Sanjaya sangat kuat dan berhasil menyejahterakan rakyat
Kerajaan Mataram Kuno. Sanjaya menyebarkan pengaruh Hindu di pulau Jawa. Hal ini
ditempuh dengan cara mengundang pendeta-pendeta Hindu untuk mengajar di Kerajaan
Mataram Kuno. Raja Sanjaya juga mulai pembangunan kuil-kuil pemujaan berbentuk
candi. Stelah Raja Sanjaya meninggal, Kerajaan Mataram Kuno diperintah oleh
putranya yang bernama Rakai Panangkaran.
Raja Rakai Panangkaran banyak mendirikan candi, seperti Candi Sewu, Candi Plaosan
dan Candi Kalasan. Dari bukti-bukti tersebut, diketahui bahwa Raja Rakai Panangkaran
beragama Buddha. Raja Mataram Kuno setelah Rakai Panangkaran berturut-turut
adalah Rakai Warak dan Rakai Garung. Raja Mataram Kuno selanjutnya adalah Rakai
Pikatan. Persaingan dengan Dinasti Syilendra yang waktu itu diperintahkan oleh Raja
Samaratungga dianggap menghalangi cita-citanya untuk menjadi Penguasa tunggal di
Pulau Jawa.
Pada abad ke-9 terjadi penggabungan kedua dinasti tersebut melalui pernikahan politik
antara Rakai Pikatan dari keluarga Sanjaya dengan Pramodawardhani (Putri Raja
Samaratungga), dari keluarga Syailendra. Namun, perkawinan antara Rakai Pikatan
dengan Pramodawardhani tidak berjalan lancer. Setelah Samaratungga wafat,
Kekuasaan beralih kepada Balaputradewa yang merupakan adik tiri dari
Pramodawardhani. Menurut beberapa Prasasti, seperti Prasasti Ratu Boko (856),
menunjukkan telah terjadinya perang saudara antara Rakai Pikatan dengan
Balaputradewa.
Balaputradewa mengalami kekalahan dan melarikan diri ke Swarnadwipa(Sumatra). Ia
kemudian berkuasa sebagai raja, mengantikan kakeknya di kerajaan Sriwijaya. Hal ini
dapat dapat diketahu dari Prasasti Nalanda (India), yang menyatakan bahwa Raja
Deewapaladewa dari Bengala menghadiahkan sebidang tanah kepada Raja
Balaputradewa dari Swarnadwipa untuk membagun sebuah biara.
Setelah Balaputradewa dikalahkan, wilayah Kerajaan Mataram Kuno menjadi semakin
luas kearah selatan (sekarang yogyakarta). Daerah ini dahulunya adalah wilayah Dinasti
Syailendra. Rakai Pikatan mengusahakan agar rakyat dinasti Sanjaya dan Syailndra
dapat hidup rukun. Pada masa ini, dibangun kuil pemujaan berbentuk candi, Seperti
Candi Prambanan. Menurut Prasasti Siwagraha, Rakai Pikatan dan raja-raja Mataram
Kuno berikutnya masih tetap menganut agama Hindu Siwa.
Berdasarkan Prasasti Balitung, setelah Rakai Pikatan wafat, kerajaan Mataram Kuno
diperintah oleh Rakai Kayuwangi dibantu oleh sebuah dewan penasehat yang juga jd
pelaksana pemerintahan. Dewan yang terdiri atas lima patih yang dipimpin oleh
seorang mahapatih ini sangat penting perananya. Raja Mataram selanjutnya adalah
Rakai Watuhumalang. Raja Mataram Kuno yang diketahui kemudian adalah Dyah
Balitung yang bergelar Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Balitung Dharmodaya
Maha Dambhu adalah Raja Mataram Kuno yang sngat terkenal. Raja Balitung berhasil
menyatukan kembali Kerajaan Mataram Kuno dari ancaman perpecahan.
Dimasa pemerintahannya, Raja Balitung menyempurnakan struktur pemerintahan
dengan menambah susunan hierarki. Bawahan Raja Mataram terdiri atas tiga pejabat
penting, yaitu Rakryan I Hino sebagai tangan kanan raja yang didampingi oleh dua
pejabat lainnya. Rakryan I Halu,dan Rakryan I Sirikan Struktur tiga pejabat itu menjadi
warisan yang terus digunakan oleh kerajaan-kerajaan Hindu berikutnya, seperti
Kerajaan Singasari dan Majapahit.
Selain struktur pemerintahan baru, Raja Balitung juga menulis Prasasti Balitung.
Prasasti yang juga dikenal sebagai Prasasti Mantyasih ini adalah prasasti pertama di
Kerajaan Mataram Kuno yang memuat silsilah pemerintahan Dinasti Sanjaya di
Kerajaan Mataram Kuno. Setelah Raja Balitung wafat pada tahun 910, Kerajaan
Mataram Kuno masih mengalami pemerintahan tiga raja sebelum akhirnya pusat
kerajaan pindah ke Jawa Timur. Sri Maharaja Daksa, yang pada masa pemerintahan
Raja Balitung menjabat Rakryan i Hino, tidak lama memerintah Kerajaan Mataram
Kuno. Penggantinya, Sri Maharaja Tulodhong juga mengalami nasib serupa.
Dibawah pimpinan Sri Maharaja Rakai Wawa. Kerajaan Mataram Kuno dilanda
kekacauan dari dalam, yang membuat kacau ibu kota. Sementara itu, kekuatan ekonomi
dan politik Kerajaan Sriwijaya makin mendesak kedudukan Mataram di Jawa. Pada
masa itu, wilayah kerajaan mataram kuno juga dilanda oleh bencana letusan Gunung
Merapi yang sangat membahayakan ibu kota kerajaan. Seluruh masalah ini tidak dapat
diselesaikan oleh Rakai Wawa. Ia wafat secara mendadak. Kedudukannya kemudian
digantikan oleh Mpu Sindok yang waktu itu menjadi Rakryan i Hino.
Dinasti Syailendra
Dinasti Syailendra berkuasa didaerah Begelan dan Yogyakarta pada pertengahan abad
ke-8. Beberapa sumber sejarah tentang Dinasti Syailendra yang berhasil ditemukan,
antara lain prasasti Kalasan, Kelurak, Ratu Boko, dan Nalanda. Prasasti Kalasan (778),
menyebutkan nama Rakai Panangkaran yang diperintahkan oleh Raja Wisnu, penguasa
Dinasti Syailendra, untuk mendirikan sebuah bangunan suci bagi Dewi Tara dan sebuah
vihara bagi para pendeta. Rakai Panangkaran kemudian memberikan Desa Kalasan
kepada Sanggha Buddha. Prasasti Ratu Boko (856), menyebutkan Raja Balaputradewa
kalah dalam perang saudara melawan kakaknya, yaitu Pramodhawardani. Kemudian, ia
melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya. Prasasti Nalanda (860), menyebutkan asal usul
Raja Balaputradewa. Disebutkan bahwa Raja Balaputradewa adalah putra dari Raja
Samaratungga dan cucu dari Raja Indra.
Pada abad ke-8, Dinasti Sanjaya yang memerintah KerajaanMataram Kuno mulai
terdesak oleh dinasti Syailendra. Hal itu kita ketahui dari prasasti Kalasan yang
menyebutkan bahwa Rakai Panangkaran dari keluarga Sanjaya diperintah oleh Raja
Wisnu untuk mendirikan Candi Kalasan, sebuah candi Buddha. Dinasti Syailendra
muncul dalam sejarah Kerajaan Mataram Kuno tidak lebih dari satu abad. Pengaruh
Dinasti Syailendra terhadap kerajaan Sriwijaya juga semakin kuat karena Raja Indra
menjalankan strategi perkawinan politik. Raja Indra mengawinkan putranya yang
bernama Samaratungga dengan salah seorang putri Raja Sriwijaya.
Pengganti Raja Indra adalah Raja Samaratungga. Pada masa kekuasaannya, dibangun
Candi Borobudur. Namun, sebelum Candi tersebut selesai dibangun, Raja
Samaratungga meninggal dunia, dalam sebuah perang saudara. Balaputradewa
kemudian melarikan diri ke Kerajaan Sriwijaya dan menjadi raja disana.
Kerajaan Medang Kemulan
Kerajaan Medang kemulan diperkirakan terletak di Jawa Timur, tepatnya di muara Sungai
Brantas. Ibu kota Medang Kemulan adalah Watan Mas. Kerajaan ini didirikan oleh Mpu
Sindok, setelah ia memindahkan pusat pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dari Jawa
Tengah ke Jawa Timur. Pada awalnya, wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kemulan
mencakup daerah Nganjuk, Pasuruan, Surabaya, dan Malang.
Prasasti yang menyebutkan keberadaan Kerajaan Medang Kemulan, antara lain adalah
Prasasti Mpu Sindok dan Prasasti Kalkuta. Prasasti Mpu Sindok ditemukan di Tangeran,
Bangil, dan Nganjuk. Prasasti bertahun 933 yang ditemukan di Tangeran, Jombang,
menyebutkan bahwa Raja Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kemulan bersama
permaisurinya Sri Wardhani Mpu Kebi. Selain Prasasti Mpu Sindok, sumber sejarah yang
lain adalah Prasasti Kalkuta.
Prasasti bertahun 951 M ini berasal dari Raja Airlangga yang menyebutkan silsilah keturunan
raja-raja dari Raja Mpu Sindok. Dari beberapa sumber yang ditemukan, diketahui bahwa
sebelum menjadi raja, Mpu Sindok pernah memangku jabatan sebagai Rakai Halu dan Rakai
Mapatih i Hino pada kerajaan Mataram. Mpu Sindok memerintah Kerajaan Medang Kemulan
dari tahun 929 hingga 948. Mpu Sindok memerintah bersama permaisuri yang bernama Mpu
Kebi, yang bergelar Sri Prameswari Wardhani Mpu Kebi. Nama permaisuri Mpu Kebi atau
Dyah kebi ini dapat ditemukan dalam Prasasti Cunggrang dan Prasasti Geweg.
Dari Prasasti Pucangan, kita memperoleh keterangan tentang para pengganti Mpu Sindok.
Pengganti Mpu Sindok yang terkenal adalah Sri Dharmawangsa dengan gelar Teguh
Anantawikramattanggadewa. Dari prasasti ini di ketahui bahwa pada tahun 1016 Kerajaan
Medang Kemulan diserang oleh Kerajaan Wurawari dan Waram. Pulau Jawa digambarkan
mengalami sebuah pralaya (tragedy) yang menyebabkan banyak orang yang meninggal,
termasuk Sri Maharaja Dharmawangsa. Dalam peristiwa itu, Airlangga (menantu
Dharmawangsa) berhasil melarikan diri ke hutan Wonogiri bersama pengawalnya,
Narottama. Mereka hidup bersama dengan para pertapa selama hamper dua tahun sampai
akhirnya Airlangga berhasil menguasasi Kerajaan Medang Kemulan kembali pada tahun
1019.
Pada tahun 1029, Airlangga berhasil mengalahkan Raja Wishnupraba dari Waratan. Setahun
Kemudian, Raja Wengker berhasil ditaklukannya. Akhirnya, pada tahun 1032, Raja
Wurawari yang dulu menghancurkan Dharmawangsa berhasil dikalahkan. Setelah musuh-
musuhnys dikalahkan, Airlangga mulai menata negaranya. Ia dibantu oleh Narottama yang
diberi gelar Rakryan Kanuruhan. Airlangga kemudian mengangkat putrinya yang bernama
Sanggraman Wijayatunggadewi menjadi Rakryan Mahamantri i Hino untuk menjadi raja.
Namun, rupanya sang putrid tidak berambisi menjadi raja dan memilih menjadi pertapa.
Dengan mundurnya putri mahkota, pada tahun 1044, Airlangga memutuskan untuk membagi
kerajaan menjadi dua. Kedua kerajaan ini masing-masing dipimpin oleh dua putranya. Hal itu
dilakukan Raja Airlangga untuk mencegah terjadinya perang saudara. Dengan bantuan
seorang Brahmana bernama Mpu Bharada, Kerajaan Medang Kemulan dibagi dua. Kerajan
Jenggala (yang berarti hutan) dan Kerajaan Panjalu (Kediri). Jenggala beribu kota di
Kahuripan dan Panjalu beribukota di Daha.
Kerajaan Kediri
Raja Sri Jayawarsha merupakan raja pertama Kerajaan Kediri. Raja yang bergelar Sri
Jayawarsha Digjaya Shastra Prabhu ini mengaku dirinya sebagai titisan Dewa Wisnu seperti
Airlangga. Raja kerajaan kediri selanjutnya adalah Bameswara. Bameswara bergelar Sri
Maharaja Rakai Sirikan Sri Kameshwara Sakalabhuwanatushtikarana
Sarwwaniwaryyawiryya Parakrama Digjayatunggadewa. Dalam kitab Kakawin
Smaradahana, karangan Mpu Dharmaja, diceritakan bahwa Raja Bameswara adalah
keturunan pendiri Dinasti Isyana yang menikah dengan Chandra Kirana, putrid Jayabhaya.
Jayabhaya bergelar Sri Maharaja Sri Warmmeswara Madhusudanawataranindita Suhrtsingha
Parkrama Digjayotunggadewa Jayabhayalanchana. Pada masa pemerintahan Jayabhaya,
terjadi perang saudara ini diabadikan dalam bentuk Kakawin Bharatayuddha yang ditulis oleh
Mpu Sedah dan Mpu Punuluh. Jayabhaya berhasil memenangkan perang saudara tersebut
sehingga wilayah Kediri berhasil disatukan lagi dengan wilayah Jenggala. Peristiwa
kemenangan ini diabadikan dalam Prasasti Ngantang. Pengganti Jayabhaya yaitu Sarweswara
dari Aryyeswara, tidak banyak diketahui. Raja berikutnya adalah Gandra. Pada masa
pemerintahannya, Gandra menyempurnakan struktur pemerintahan yang diwariskan Kerajaan
Medang Kamulan.
Para pejabat diberi gelar tertentu dengan nama-nama hewan, seperti Gajah atau Kebo.
Penggunaan nama-nama tersebut menjadi tanda pengenal kepangkatan tertentu di Kerajaan
Kediri. Setelah Gandra, pemerintahan Kerajaan Kediri dipimpin oleh Raja Kameshwara.
Pemerintahan Kameshwara ditandai dengan pesatnya hasil karya sastra Jawa. Pada masa
pemerintahannya, cerita-cerita panji atau kepehlawanan banyak dihasilkan seperti juga bentu
cerita kakawin.
Raja kerajaan Kediri berikutnya adalah Kertajaya atau Srengga. Pada masa pemerintahannya,
Kediri mulai mengalami masalah dan ketidakstabilan. Hal ini karena Kertajaya berusaha
membatasi dan mengurangi hak istimewa para kaum Brahmana saat itu, di daerah Tumapel
(sekarang Malang) muncul kekuatan baru di bawah pimpinan Ken Arok. Perlahan-lahan,
terjadi arus pelarian para Brahmana dari wilayah Kediri menuju Tumampel. Kertajaya
menyikapi arus pelarian ini dengan mengerahkan tentara Kerajaan Kediri untuk menyerbu
Tumapel.
Perang antara pasukan Kertajaya dan Ken Arok terjadi di Ganter (1222). Pasukan Ken Arok
berhasil menghancurkan kekuasaan pasukan Kertajaya dan dengan sendirinya mengakhiri
kekuasaan Kerajaan Kediri.
Kerajaan Singasari
Sumber sejarah tentang Kerajaan Singasari di Jawa Timur adalah kitab-kitab kuno, seperti
Pararaton (Kitab Raja-Raja) dan Negarakertagama. Kedua kitab itu berisis sejarah raja-raja.
Kerajaan Singasari dan majapahit yang saling berhubungan erat. Ketika Ken Arok berkuasa
di Tumapel, di Kerajaan Kediri berlangsung perselisihan antara Raja Kertajaya dengan para
Brahmana. Para Brahmana tersebut melarikan diri ke Tumapel. Namun, dalam pertempuran
di Ganter, ia mengalami kekalahan dan meninggal. Kemudian, Ken Arok menyatukan
Kerajaan Kediri dan Tumapel, serta mendirikan Kerajaan Singasari. Ia bergelar Sri Rangga
Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindrawangsa di Jawa Timur.
Dari istri yang pertamanya yang bernama Ken Umang, Ken Arok mempunyai empat orang
anak, yaitu Panji Tohjaya, Panji Sudhatu, Panji Wregola, dan Dewi Rambi. Dari
perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok mempunyai empat orang anak, yaitu Mahisa
Wong ateleng, Panji Sabrang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Ken Arok juga memiliki
seorang anak tiri, yaitu Anusapati yang merupakan anak Tunggal Tunggul ametung dan Ken
Dedes. Tunggul Ametung adalah Bupati Tumapel yang dibunuh Ken Arok.
Pada tahun1227, masa pemerintahan Ken Arok berakhir ketika ia dibunuh oleh anak tirinya
Anusapati, sebagai balas dendam terhadap kematian Ayahnya. Diceritakan bahwa Ken Arok
dibunuh dengan menggunakan keris Mpu Gandring yang di pakai untuk membunuh Tunggul
Ametung. Kemudian Ken Arok dimakamkan di Kagenengan (sebelah selatan Singasari).
Setelah Ken Arok wafat, Anusapati yang bergelar Amusanatha, naik tahta sebagai raja kedua
Kerajaan Singasari. Anusapati memerintah sampai tahun 1248. Tohjaya yang mengetahui
bahwa ayahnya dibunuh oleh Anusapati, merencanakan pembalasan dendam. Tohjaya
membunuh Anusapati juga dengan mengunakan keris Mpu Gandring.
Setelah Wafat, jenazahanusapati diperabukan di Candi Kidal. Tohjaya kemudian
mengantikan Anusapati menjadi Raja di Kerajaan singasari pada tahun 1248. Ia tidak lama
memerintah karena terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Sinelir dan
Rajasa yang digerakkan oleh Ranggawuni, anak Anusapati. Ranggawuni dibantu oleh Mahisa
Cempaka, anak Mahisa Wong Ateleng, saudara tiri Anusapati dari ibu yang sama.
Pemberontakan Ranggawuni berhasil menyerbu masuk ke istana dan melukai Tohjaya
dengan tombak. Tohjaya berhasil dilarikan oleh para pengawalnya ke luar Istana, tetapi
akhirnya meninggal di Katalang Lumbang. Dengan wafatnya Tohjoyo. Tahta kerajaan
Singasari kembali kosong.
Setelah tohjaya wafat, Ranggawuni naik tahta pada tahun 1248 M dengan gelar Sri Jaya
Wishnuwardhana. Mahisa Cempaka yang telah membantunya merebut tahta, memperoleh
anugrah kedudukan sebagai Ratu Angabhaya, pejabat terpenting kedua di Kerajaan
Singgasari dengan gelar Narasinghamurti. Pada tahun 1254. Wishnuwardhana menobatkan
anaknya yang bernama Kertanegara sebagai Yuwaraja atau Kumararaja (Raja Muda).
Kertanegara mendampingi ayahnya memerintah sampai tahun 1268. Ketika Wishnuwardhana
meninggal di Mandaragiri, ia dimuliakan di dua tempat yang berbeda. Di Candi Jago
(Jajaghu) sebagai Buddha Amoghapasha dan di Candi Weleri sebagai Siwa.
Setelah ayahnya wafat, Kertanegara sebagai raja muda langsung dinobatkan sebagai Raja
Singasari. Dalam menjalankan pemerintahan, Kertanegara dibantu oleh tiga orang pejabat
bawahan, yaitu Rakryan i Hino, Rakryan i Sirikan dan Rakryan i Halu. Dibawah ketiga
Mahamantri, masih terdapat pula tiga orang pejabat bawahan, yaitu Rakryan Apatih, Rakryan
Demung, dan Rakryan Kanuruhan. Untuk mengatur soal keagamaan, diangkat pejabat yang
disebut Dharmadhyaksa ri Kasogatan.
Raja Kertanegara adalah raja yang terkenal dan terbesar dari kerajaan Singasari. Ia
mempunyai semangat Ekspansionis. Kertanegara bercita-cita memperluas Kerajaan Singasari
hingga keluar Pulau Jawa yang disebut dengan istilah Cakrawala Mandala. Pada tahun 1275,
ia mengirim pasukan ke Sumatra untuk menguasai Kerajaan Melayu yang disebut sebagai
ekspedisi Pamalayu. Dalam ekspedisi tersebut, Kerajaan Melayu berhasil di taklukan
tahun1260. Peristiwa ini diabadikan pada alas patung Amoghapasha di Padangroco (Sungai
Langsat) yang berangka tahun 1286.
Raja Melayu saat itu, Tribhuwana atau Raja Mulawarmandewa, beserta rayatnya menyambut
hadiah itu dengan suka cita. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Melayu secara resmi
berada dibawah kekuasaan Raja Kertanegara. Kertanegara juga membawa putrid Melayu
kembali ke Singasari untuk dinikahkan dengan salah seorang bangsawan Singasari. Tujuh
pengiriman arca dan penaklukan Kejaan Melayu adalah untuk menghadang rencana perluasan
kekuasaan Kaisar Kubilai Khan dari Cina.
Diceritakan bahwa sudah beberapa kali utusan dari Cina dating ke Kerajaan Melayu menurut
pengakuan untuk tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau utusan
sebagai pernyataan tunduk kepada Cina. Raja Kertanegara menolak mengirim upeti atau
utusan sebagai pernyataan tunduk.
Pada tahun 1289, utusan Cina bernama Meng K’i dikirim pulang ke Cina sehingga Kaisar
Kubilai Khan marah dan mengirim pasukan untuk menyerang Kerajaan Singasari. Sebagian
besar pasukan Kerajaan Singasari sedang dikirim ke Sumatra untuk menghadapi serangan
pasukan Cina. Sementara itu, Raja Jayakatwang di Kerajaan Kediri yang menjadi bawahan
Kerajaan Singasari melihat kesempatan yang baik untuk merebut kekuasaan. Pada tahun
1292, Raja Jayakatwang dengan pasukan Kerajaan Kediri menyerang Ibu kota Kerajaan
Singasari.
Menurut cerita, pada saat serangan musuh dating, Raja Kertanegara beserta para pejabat dan
pendeta sedang melakukan upacara Tantrayana sehingga dapat dengan mudah mereka semua
dibunuh oleh musuh. Kerajaan Singasari akhirnya berhasil direbut oleh Jayakatwang, Raja
Kediri.
Kerajaan Bali
Informasi tentang raja-raja yang pernah memerintah di Kerajaan Bali diperileh terutama dari
prasasti Sanur yang berasal dari 835 Saka atau 913. Prasasti Sanur dibuat oleh Raja Sri
Kesariwarmadewa. Sri Kesariwarmadewa adalah raja pertama di Bali dari Dinasti
Warmadewa. Setelah berhasil mengalahkan suku-suku pedalaman Bali, ia memerintah
Kerajaan Bali yang berpusat di Singhamandawa. Pengganti Sri Keariwarmadewa adalah
Ugrasena. Selama masa pemerintahannya, Ugrasena membuat beberapa kebijakan, yaitu
pembebasan beberapa desa dari pajak sekitar tahun 837 Saka atau 915. Desa-desa tersebut
kemudian dijadikan sumber penghasilan kayu kerajaan dibawah pengawasan hulu kayu
(kepala kehutanan). Pada sekitar tahun 855 Saka atau 933, dibangun juga tempat-tempat suci
dan pesanggrahan bagi peziarah dan perantau yang kemalaman.
Pengganti Ugrasena adalah Tabanendra Warmadewa yang memerintah bersama
permaisurinya, ia berhasil membagun pemandian suci Tirta Empul di Manukraya atau
Manukaya, dekat Tampak Siring. Pengganti Tabanendra Warmadewa adalah raja Jayasingha
Warmadewa. Kemudian Jayasadhu Earmadewa. Masa pemerintahan kedua raja ini tidak
diketahu secara pasti. Pemerintahan kerajaan Bali selanjutnya dipimpin oleh seorang ratu.
Ratu ini bergelar Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Ia memerintah pada tahun 905 Saka
atau 938. Beberapa ahli memperkirakan ratu ini adalah putrid Mpu Sindok dari kerajaan
Mataram Kuno.
Pengganti ratu ini adalah Dharma Udayana Warmadewa. Pada masa pemerintahan Udayana,
hubungan Kerajaan Bali dan Mataram Kuno berjalan sangat baik. Hal ini disebabkan oleh
adanya pernikahan antara Udayana dengan Gunapriya Dharmapatni, cicit Mpu Sendok yang
kemudian dikenal sebagai Mahendradata. Pada masa itu banyak dihasilkan prasasti-prasasti
yang menggunakan huruf Nagari dan Kawi serta bahasa Bali Kuno dan Sangsekerta.
Setelah Udayana wafat, Marakatapangkaja naik tahta sebagai raja Kerajaan Bali. Putra kedua
Udayana ini menjadi raja Bali berikutnya karena putra mahkota Airlangga menjadi raja
Medang Kemulan. Airlangga menikah dengan putrid Darmawngasa dari kerajaan Medang
Kemulan. Dari prasasti-prasasti yang ditemukan terlihat bahwa Marakatapangkaja sangat
menaruh perhatian pada kesejahteraan rakyatnya. Wilayah kekuasaannya meliputi daerah
yang luas termasak Gianjar, Buleleng. Tampaksiring dan Bwahan (Danau Batur). Ia juga
mengusahakn pembangunan candi di Gunung Kawi.
Pengganti raja Marakatapangkaja adalah adiknya sendiri yang bernama Anak Wungsu. Ia
mengeluarkan 28 buah prasasti yang menunjukkan kegiatan pemerintahannya. Anak Wungsu
adalah raja dari Wangsa Warmadewa terakhir yang berkuasa di kerajaan Bali karena ia tidak
mempunyai keturunan. Ia meninggal pada tahun 1080 dan dimakamkan di Gunung Kawi
(Tampak Siring).
Setelah anak Wungsu, kerajaan Bali dipimpin oleh Sri Sakalendukirana. Raja ini digantikan
Sri Suradhipa yang memerintah dari tahun1037 Saka hingga 1041 Saka. Raja Suradhipa
kemudian digantikanJayasakti. Setelah Raja Jayasakti, yang memerintah adalah Ragajaya
selitar tahun 1155. Ia digantikan oleh Raja Jayapangus (1177-1181). Raja terakhir Bali adalah
Paduka Batara Sri Artasura yang bergelar Ratna Bumi banten (Manikan Pulau Bali). Raja ini
berusaha mempertahahankan kemerdekaan Bali dari seranggan Majapahit yang di pimpin
oleh Gajah Mada. Sayangnya upaya ini mengalami kegagalan. Pada tahun 1265 Saka tau
1343, Bali dikuasai Majapahit. Pusat kekuasaan mula-mula di Samprang, kemudian dipindah
ke Gelgel dan Klungkung.
Kerajaan Pajajaran
Pusat Kerajaan Pajajaran awalnya terletak di daerah Galuh, jawa Barat. Raja pertama
Kerajaan Pajajaran bernama Sena. Namun, tahta Kerajaan Pajajaran kemudian direbut oleh
saudara Raja Sena yang bernama Purbasora. Raja Sena dan keluarganya terpaksa
meninggalkan keratin. Tidak lama kemudian, Raja Sena berhasil merebut kembali tahta
Kerajaan Pajajaran.
Raja Pajajaran selanjutnya adalah Jayabhupati. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan
Pajajaran mengembangkan ajaran Hindu Waisnawa. Setelah Jayabhupati, Kerajaan diperintah
oleh Rahyang Niskala Wastu Kencana. Pada masa pemerintahannya, pusat kerajaan
dipindahkan ke Kawali. Raha Wastu kemudian digantikan oleh Hayam Wuruk. Peristiwa ini
terjadi pada tahun 1357 dan disebut dalam kitab Pararaton sebagai Perang Bubat.
Ketika perang Bubat terjadi, Sri Baduga Maharaja bersama seluruh pengiringnya tewas.
Kerajaan Pajajaran diambil alih oleh Hyang Bunisora (1357-1371), pengasuh putra mahkota
Wastu Kencana yang masih kecil. Hyang Bunisora berkuasa selama 14 tahun. Pada Prasasti
Batu Tulis, raja ini disebut juga Prabu Guru Dewataprani.
Kerajaan Pajajaran selanjutnya diperintah secara berurutan oleh Wastu Kencana. Tohaan, lalu
Sang Ratu Jayadewata. Pada masa pemerintahan Sang Ratu Jayadewata, diperkirakan bahwa
di Kerajaan Pajajaran telah terdapat penduduk yang beragama islam. Hal ini tergambar dari
tulisan seorang ahli sejarah Portugis yang bernama Tome Pires (1513) yang mengatakan
bahwa di wilayah timur kerajaan ini terdapat banyak penganut Islam. Tampaknya pengaruh
Islam belum masuk ke pusat kerajaan. Namun, pengaruh Islam dari Kerajaan Demak di Jawa
Tegah mulai mengancam Kerajaan Pajajaran.
Oleh karena itu Jayadewata bermaksud meminta bantuan Portugis di Malaka untuk
menghadapi kerajaan Demak. Usaha itu terlambat karena pada tahun1527, pasukan yang
dipimpin oleh Falatehan dari Demak berhasil menguasai pelabuhan Sunda Kelapa, pelabuhan
terbesar Kerajaan Pajajaran. Ketika itu, yang berkuasa di Pajajaran adalah Ratu Samiam,
putra Jayadewata.
Setelah pelabuhan Sunda Kelapa direbut oleh Kerajaan Demak, Kerajaan Pajajaran harus
menghadapi serangan Kerajaan Banten dari arah barat. Pengganti Samiam, yaitu Prabu Ratu
Dewata, berusaha mempertahankan ibu kota Pajajaran dari pasukan Maulana Hasanuddin dan
putranya, Maulana Yusuf. Pada tahun1579, Kerajaan Pajajaran akhirnya runtuh setelah
Kerajaan Banten yang bercorak Islam berhasil menguasai Ibu kota kerajaan. Orang-orang
Hindu Pajajaran yang tidak mau tunduk pada penguasa Islam akhirnya melarikan diri
kedaerah pedalaman dan kemudian hidup sebagai suku Badui.
kerajaan Majapahit
Kerajaan bercorak Hindu yang terakhir dan terbesar di pulau Jawa adalah Majapahit. Nama
kerajaan ini berasal dari buah maja yang pahit rasanya. Ketika orang-orang Madura bernama
Raden Wijaya membuka hutan di Desa Tarik, mereka menenukan sebuah pohon maja yang
berubah pahit. Padahal rasa buah itu biasanya manis. Oleh karena itu mereka menamakna
permukiman mereka itu sebagai Majapahit. Daerah ini merupakan daerah yang diberikan
Raja Jayakateang dari Kerajaan Kediri kepada Raden Wijaya. Raja Wijaya adalah menantu
Raja Kertanegara dari kerajaan Singasari. Pada saat Kerajaan Singasari diserbu dan
dikalahkan oleh Jayakatwang, Raden Wijaya berhasil melarikan diri. Ia mencari perlindungan
kepada Bupati Madura yang bernama Arya Wiraraja. Dengan bantuan orang-orang Madura,
ia membangun pemuliman di Desa Tarik yang kemudian diberi nama Majapahit tersebut.
Pada tahun 1292, armada Cina yang terdiri dari 1.000 buah kapal dengan 20.000 orang
prajurit tiba di Tuban, Jawa Timur. Tujuan mereka adalah menghukum Raja Kertanegara
yang menyatakan tidak mau tunduk kepada Kaisar Kubilai Khan dari Cina. Mereka tidak
mengetahui bahwa Raja Kertanegara dari Singasari itu telah meninggal dikalahkan oleh Raja
Jayakatwang dari Kediri.
Melihat peluang ini, Raden Wijaya mengambil kesempatan untuk merebut kembali Kerajaan
Singasari. Ia menggabungkan diri dengan pasukan cina dan menyerang Raja Jayakatwang di
Kediri. Kerajaan Kediri tidak mampu menghadapi serangan itu. Raja Jayakatwang berhasil
dikalahkan. Kemenangan itu membuat pasukan Cina bergembira dan berpesta pora. Mereka
tidak menyaka kalau kesempatan itu dipakai oleh Raden Wijaya untuk balik menyerang
mereka. Pasukan Raden Wijaya berhasil mengusir armada Cina kembali ketanah airnya.
Sejak saat itu Kerajaan Majapahit dianggap sudah berdiri.
Raden Wijaya naik tahta sebagai Raja Majapahit pada tahun 1293 dengan gelar Sri
Kertarajasa Jayawardhana. Pada tahun 1295., berturut-turut pecah pembrontakan yang
dipimpin oleh Rangga lawe dan disusul oleh Saro serta Nambi. Pembrontakan-pembrontakan
itu bisa dipadamkan. Raden Wijaya wafat pada tahun 1309 dan mendapat penghormatan di
dua tempat, yaitu Candi Simping (Sumberjati) dan Candi Artahpura.
Setelah Raden Wijaya wafat, putera permaisuri Tribuwaneswari yang bernama Jayanegara
menggantikannya sebagai Raja Majapahit. Pada awal pemerintahannya Jayanegara harus
menghadapi sisa pemberontakan yang meletus dimasa ayahnya masih hidup. Selain
pembrontakan Kuti dan Sumi, Raja Jayanegara diselamatkan oleh pasukan pengawal
(Bhayangkari) yang dipimpin oleh Gajah Mada ia kemudian diungsikan ke Desa Bedager.
Raja Jayanegara wafat tahun1328 karena dibunuh oleh salah seorang anggota dharmaoutra
yang bernama Tanca. Oleh karena ia tidak mempunyai putra ia kemudian digantikan oleh
adik perempuannya Bhre Kahuripan yang bergelar Tribuanatunggadewi
Jayawishnuwardhani. Suaminya bernama Cakradhara yang berkuasa di Singasari dengan
gelar Kertawerdhana.
Dari kitab Negarakertagama, digambarkan adanya beberapa pemberontakan di masa
pemerintahan Ratu Tribuanatunggadewi. Pembrontakan yang paling berbahaya adalah
pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331. Namun pemberontakan itu
pemberontakan itu dapat dipadamkan oleh Gajah Mada. Setelah itu Gajah Mada bersumpah
di hadapan Raja dan para pembesar kerajaan bahwa ia tidak akan amukti palapa (memakan
buah palapa), sebelum ia dapat menundukan Nusantara.
Pada tahun 1334, lahirlah putra mahkota Kerajaan Majapahit yang diberi nama Hayam
Wuruk. Pada tahun 1350, Ratu Tribuanatunggadewi mengundurkan diri setelah berkuasa 22
tahun. Ia wafat pada tahun 1372. Pada tahun 1350, Hayam Muruk dinobatkan sebagai raja
Majapahit dan bergelar Sri Rajasanagara. Gajah Mada diangkat sebagai Patih
Hamangkubumi. Dibawah pemerintahan Hayam Wuruk dan Gajah Mada, Kerajaan
Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan Majapahit menguasai wilayah yang
sangat luas. Hampir seluruh wilayah Nusantara tunduk pada Majapahit.
Gajah Mada meninggal tahun 1364. Meninggalnya Gajah Mada menjadi titik tolak
kemunduran Majapahit. Setelah Gajah Mada tidak ada negarawan yang kuat dan bijaksana.
Keadaan semakin memburuk setelah Hayam Wuruk juga meninggal pada tahun 1389. Hayam
Wuruk tidak memiliki putra mahkota. Tahta kerajaan Majapahit diberikan pada menantunya
yang bernama Wikramawardhana (suami dari putri mahkota Kusumawardhani). Hayam
Wuruk sebenarnya memiliki putra yang bernama Bhre Wirabhumi. Namun, dia bukan anak
dari permaisuri sehingga tidak berhak mewarisi tahta Kerajaan Majapahit.
Meskipun demikian, Wirabhumi tetap diberi kekuasaan di wilayah kekuasaan di wilayah
Kerajaan sebelah Timur, yaitu Blambangan. Dengan cara tersebut, kemungkinan perpecahan
antara Bhre Wirabhumi dan Wikramawardhana berhasil diredam. Masalah kembali timbul
ketika tahta Kerajaan Majapahit kembali kosong setelah Kusumawardhani meninggal dunia
pada tahun 1400. Wikramawardhana berniat untuk menjadi pendeta dan menunjuk putrinya,
Suhita, menjadi ratu Kerajaan Majapahit.
Pada tahun 1401, pecah perang antara keluarga Wikramawardhana dan Wirabhumi yang
dikenal sebagai Perang Paregreg. Perang Paregreg baru berakhir pada tahun 1406 dengan
terbunuhnya Bhre Wirabhumi. Parang saudara ini semakin melemahkan Kerajaan Majapahit.
Satu demi satu daerah kekuasaannya melepaskan diri. Tidak ada lagi raja yang kuat dan
mampu memerintah kerajaan yang demikian luas. Menurut catatan. Kerajaan Majapahit
runtuh sekitar tahun 1500-an yang didasarkan pada tahun bersimbol Sirna Ilang Kertaning
Bhumi.
Percandian Batujaya
Kompleks Percandian Batujaya adalah sebuah suatu kompleks sisa-sisa percandian
Buddha kuna yang terletak di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten
Karawang, Provinsi Jawa Barat. Situs ini disebut percandian karena terdiri dari sekumpulan
candi yang tersebar di beberapa titik.
Lokasi
Situs Batujaya secara administratif terletak di dua wilayah desa, yaitu Desa Segaran,
Kecamatan Batujaya dan Desa Talagajaya, Kecamatan Pakisjaya di Kabupaten Karawang,
Jawa Barat. Luas situs Batujaya ini diperkirakan sekitar lima km2. Situs ini terletak di
tengah-tengah daerah persawahan dan sebagian di dekat permukiman penduduk dan tidak
berada jauh dari garis pantai utara Jawa Barat (Ujung Karawang). Batujaya kurang lebih
terletak enam kilometer dari pesisir utara dan sekitar 500 meter di utara Ci Tarum.
Keberadaan sungai ini memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keadaan situs sekarang
karen tanah di daerah ini tidak pernah kering sepanjang tahun, baik pada musim kemarau atau
pun pada musim hujan.
Lokasi percandian ini jika ditempuh menggunakan kendaraan sendiri dan datang dari
Jakarta, dapat dicapai dengan mengambil Jalan tol Cikampek. Keluar di gerbang tol
Karawang Barat dan mengambil jurusan Rengasdengklok. Selanjutnya mengambil jalan ke
arah Batujaya di suatu persimpangan. Walaupun jika ditarik garis lurus hanya berjarak sekitar
50 km dari Jakarta, waktu tempuh dapat mencapai tiga jam karena kondisi jalan yang ada.
Situs Batujaya terletak di lokasi yang relatif berdekatan dengan Situs Cibuaya (sekitar 15km
di arah timur laut) yang merupakan peninggalan bangunan Hindu dan situs temuan pra-Hindu
"kebudayaan Buni" yang diperkirakan berasal dari masa abad pertama Masehi. Kenyataan ini
seakan-akan mendukung tulisan Fa Hsien yang menyatakan: "Di Ye-po-ti (Taruma,
maksudnya Kerajaan Taruma) jarang ditemukan penganut Buddhisme, tetapi banyak
dijumpai brahmana dan orang-orang beragama kotor".
Lokasi candi ini dahulu merupakan danau dan candi dibangun di tepi danau. Danau
ini terbentuk akibat beralihnya sungai Citaruum dari arah Utara ke Barat Laut (lihat gambar).
Hal ini juga di tandakan dengan nama desa yang ada yaitu Segaran yang berarti Laut atau
badan air seperi danau dalam bahasa Sangsekerta dan Telaga Jaya.
Penelitian
Situs Batujaya pertama kali diteliti oleh tim arkeologi Fakultas Sastra Universitas
Indonesia (sekarang disebut Fakultas Ilmu Budaya UI) pada tahun 1984 berdasarkan laporan
adanya penemuan benda-benda purbakala di sekitar gundukan-gundukan tanah di tengah-
tengah sawah. Gundukan-gundukan ini oleh penduduk setempat disebut sebagai onur atau
unur dan dikeramatkan oleh warga sekitar. Semenjak awal penelitian dari tahun 1992 sampai
dengan tahun 2006 telah ditemukan 31 tapak situs sisa-sisa bangunan. Penamaan tapak-tapak
itu mengikuti nama desa tempat suatu tapak berlokasi, seperti Segaran 1, Segaran 2,
Telagajaya 1, dan seterusnya.
Sampai pada penelitian tahun 2000 baru 11 buah candi yang diteliti (ekskavasi) dan
sampai saat ini masih banyak pertanyaan yang belum terungkap secara pasti mengenai
kronologi, sifat keagamaan, bentuk, dan pola percandiannya. Meskipun begitu, dua candi di
Situs Batujaya (Batujaya 1 atau Candi Jiwa, dan Batujaya 5 atau Candi Blandongan) telah
dipugar dan sedang dipugar.
Ekskavasi dan penelitian dilaksanakan oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan
Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dan dibantu oleh EFEO (École Français d’Extrême-
Orient) dan dukungan dana dari Ford Motor Company digunakan untuk kegiatan kajian situs
ini.
Dari segi kualitas, candi di situs Batujaya tidaklah utuh secara umum sebagaimana
layaknya sebagian besar bangunan candi. Bangunan-bangunan candi tersebut ditemukan
hanya di bagian kaki atau dasar bangunan, kecuali sisa bangunan di situs Candi Blandongan.
Candi-candi yang sebagian besar masih berada di dalam tanah berbentuk gundukan bukit
(juga disebut sebagai unur dalam bahasa Sunda dan bahasa Jawa). Ternyata candi-candi ini
tidak memperlihatkan ukuran atau ketinggian bangunan yang sama.
Candi Jiwa
Candi yang ditemukan di situs ini seperti candi Jiwa, struktur bagian atasnya
menunjukkan bentuk seperti bunga padma (bunga teratai). Pada bagian tengahnya terdapat
denah struktur melingkar yang sepertinya adalah bekas stupa atau lapik patung Buddha. Pada
candi ini tidak ditemukan tangga, sehingga wujudnya mirip dengan stupa atau arca Buddha di
atas bunga teratai yang sedang berbunga mekar dan terapung di atas air. Bentuk seperti ini
adalah unik dan belum pernah ditemukan di Indonesia.
Bangunan candi Jiwa tidak terbuat dari batu, namun dari lempengan-lempengan batu bata.
Menurut keterangan penduduk setempat kata jiwa berasal dari sifat unur (gundukan
tanah yang mengandung candi) yang dianggap mempunyai "jiwa". Karena beberapa kali
kambing diikat diatasnya mati. Sehingga tidak ada hubungan dengan Dewa Syiwa.
Kata "jiwa" sangat dekat dengan nama salahsatu nama dewa dalam agama Hindu
yaitu Dewa Syiwa. Perubahan dari "syiwa" menjadi "jiwa" bisa terjadi karena perjalanan
waktu, atau karena aksen Sunda. Barangkali kedekatan kata syiwa dan jiwa bisa dijadikan
salah satu objek penelitian meskipun agak aneh jika data yang telah didapat bahwa candi Jiwa
lebih kepada Budha daripada Hindu. Di Budha tidak ada dewa Syiwa.
Penanggalan
Berdasarkan analisis radiometri karbon 14 pada artefak-artefak peninggalan di candi
Blandongan, salah satu situs percandian Batujaya, diketahui bahwa kronologi paling tua
berasal dari abad ke-2 Masehi dan yang paling muda berasal dari abad ke-12.
Di samping pertanggalan absolut di atas ini, pertanggalan relatif berdasarkan bentuk
paleografi tulisan beberapa prasasti yang ditemukan di situs ini dan cara analogi dan tipologi
temuan-temuan arkeologi lainnya seperti keramik Cina, gerabah, votive tablet, lepa (pleister),
hiasan dan arca-arca stucco dan bangunan bata banyak membantu.
Protosejarah
Protosejarah mengacu pada periode dalam sejarah, khususnya wilayah atau bangsa,
yang telah memiliki sumber-sumber tertulis (sejarah) namun tidak berasal dari dari wilayah
atau bangsa itu sendiri, atau telah ada sumber tertulis dari wilayah atau bangsa itu sendiri
namun sumber itu belum bisa dibaca/ditafsirkan.
Dalam rentang sejarah Indonesia, periode protosejarah terjadi pada masa permulaan
tahun Masehi, dengan adanya sumber-sumber Yunani dan Tionghoa yang menyebutkan
adanya wilayah di ujung timur yang menghasilkan rempah-rempah serta emas. Berita
Tionghoa menyebutkan adanya pemukim di pantai utara Jawa. Periode ini dianggap berakhir
sejak temuan prasasti di Kutai yang diduga berasal dari abad ke-5 Masehi.
Periode ini juga umum dijumpai pada sejarah bangsa lain. Dalam sejarah Jerman,
umpamanya, periode protosejarah terjadi ketika berita-berita Yunani Kuno dan Romawi
menyebutkan adanya bangsa "biadab" yang menghuni utara Pegunungan Alpen. Sejarahwan
Romawi juga menulis beberapa kronik mengenai hubungan antara orang-orang Romawi dan
taklukannya dengan orang-orang Jermanik.
top related