kitin kitosan_auw, elyzabeth d.a_12.70.0060_b1_unika soegijapranata
Post on 02-Jun-2018
233 Views
Preview:
TRANSCRIPT
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
1/23
Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Auw, Elyzabeth D.A
12.70.0060
Kelompok B1
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2014
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
2/23
1
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan chitin dan chitosan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Chitin dan Chitosan
Kel Perlakuan Rendemen
Chitin I (%)
Rendemen
Chitin II (%)
Rendemen
Chitosan (%)
B1 Kulit udang +
HCl 0,75 N +
NaOH 3,5% +
NaOH 40%
54,000 28,600 20,109
B2 Kulit udang +
HCl 0,75 N +NaOH 3,5% +
NaOH 40%
29,800 29,213 20,648
B3 Kulit udang +
HCl 1 N +
NaOH 3,5% +
NaOH 50%
12,720 14,330 13,187
B4 Kulit udang +
HCl 1 N +
NaOH 3,5% +
NaOH 50%
24,000 18,500 10,752
B5 Kulit udang +HCl 1,25 N +
NaOH 3,5% +
NaOH 60%
23,020 15,950 10,600
B6 Kulit udang +
HCl 1,25 N +
NaOH 3,5% +
NaOH 60%
32,380 41,300 27,500
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa pada kelompok B1-B2 perlakuan yang diberikan
pada kulit udang adalah penambahan HCl 0,75 N; NaOH 3,5% dan NaOH 40%.
Kelompok B3-B4 perlakuan yang diberikan pada kulit udang yaitu dengan penambahan
HCl 1 N; NaOH 3,5% ; NaOH 50% dan untuk kelompok B5-B6 perlakuan yang
diberikan dengan menambah HCl 1,25 N; NaOH 3,5%; NaOH 60%. Hasil rendemen
kitin I, kitin II dan rendemen kitosan berturut-turut untuk kelompok B1 adalah
54,000%; 28,600%; 20,109%, untuk kelompok B2 adalah 29,800%; 29,213%; 20,648%,
untuk kelompok B3 yaitu 12,720%; 14,330%; 13,187%, pada kelompok B4 hasilnya
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
3/23
2
adalah 24,000; 18,500; 10,752%, pada kelompok B5 adalah 23,020%; 15,950%;
10,600%, dan untuk kelompok B6 adalah 32,380%; 41,300%; 27,590%.
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
4/23
3
2. PEMBAHASAN
Limbah kulit udang merupakan salah satu sumber pembuatan kitin dan kitosan. Indonesia
dapat dikatakan sebagai sumber limbah cangkang keras hewan invertebrata (crustaceae)
laut yang banyak mengandung kitin. Kandungan yang terdapat dalam kulit udang adalah
protein (25-40%), kitin (15-20%) dan kalsium karbonat (45-50%). Jenis udang dan
lingkungan tempat hidup udang merupakan faktor yang mempengaruhi kandungan pada
udang tersebut. Dalam industri pembuatan kitin dan kitosan, kulit udang adalah salah satu
sumber biopolimer yang sangat berpotensi (Marganov, 2003). Kitin adalah salah satu
senyawa yang tidak biasa berada sendiri di alam sehingga harus bergabung dengan senyawa
lain (Suhardi, 1992). Kitin akan berada pada crustaceandan kitin akan bergabung dengan
garam anorganik (CaCO3), protein dan pigmen. Pada cangkang udang windhu kandungan
kitin cukup tinggi sebesar 99,1% (Prasetiyo, 2006). Kitin termasuk golongan polisakarida
yang cukup melimpah ada di alam setelah selulosa. Dalam serangga dan crustacean, kitin
akan berada pada struktural eksoskeleton dan pada ragi serta jamurkitin berada di dinding
sel sekitar 30-60%. Kitin dapat dimanfaatkan untuk pendukung bahan seperti enzim papain,
kimotripsin, glukosa isomerase, laktase dan asam fosfatase. Pemanfaatan kitin terbanyak
adalah pada industri kosmetik dan industri pangan (Peter, 1995). Sifat kitin yang sukar larut
dalam pelarut polar seperti air membuat penggunaannya menjadi terbatas. Denganmemodifikasi kitin secara kimiawi sehingga didapatkan turunan kitin yang mempunyai sifat
kimia baik. Turunan yang baik tersebut adalah kitosan, dimana kitosan larut dalam asam
juga mempunyai viskositas yang bergantung pada derajat degradasi polimer dan derajat
diasetilasi.
Kitosan yang sudah kering tidak mempunyai titik lebur karena jika disimpan terlalu lama,
viskositas dan kelarutannya akan berubah. Kitosan juga harus disimpan dalam wadah
tertutup agar tidak kontak dengan oksigen atau udara. Jika kontak dengan udara, kitosan
akan terdekomposisi, warna berubah kekuningan dan terjadi penurunan viskositas. Kitosan
bersifat larut dalam asam encer seperti asam format, asam asetat dan asam sitrat. Dalam
asetat terkandung gugus karboksil dimana gugus ini akan membuat pelarutan kitosan
menjadi lebih mudah karena gugus amina dan gugus karboksil dari kitosan akan bereaksi
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
5/23
4
dengan hidrogen (Dunn et al., 1997).
Kitin dengan rumus kimia (C8H13NO5)n adalah biopolimer yang berasal dari unit penyusun
N-asetil-D-glukosamin yang berikatan dengan (1,4) (Muzzarelli, 1985). Kitosan
mempunyai rumus kimia polimer 2-amino-2-dioksi--D-Glukosa yang merupakan hasil
dari proses hidrolisis kitan dengan basa kuat. Karakteristik dari kitosan antara lain :
o Bentuk padatan yang amorf
o Berwarna putih
o Mempunyai struktur kristal tetap seperti bentuk kitin awal yang murni
o
Rantainya lebih pendek dibanding kitin
Kitosan memiliki bentuk yang hampir sama dengan selulosa bedanya ada pada gugus
hidroksi C ke dua, dimana gugus itu diganti dengan gugus amino (NH2) (Robert, 1992).
Adanya gugus amino ini membuat kitin dijadikan sebagai pengawet, karena mempunyai
muatan positif yang dapat berikatan dengan muatan negatif yang berasal dari senyawa lain.
Dibandingkan dengan kitosan yang memmpunyai muatan netral, kitosan tidak mempunyai
muatan netral. Kitosan terletak pada dinding sel fungi dan insekta. Kitin yang diberi
perlakuan deasetilasi dengan larutan basa 40-50% dalam suhu 120-160oC akan dihasilkan
kitosan. Kelebihan kitosam sebagai bahan biomaterial antara lain tidak toksik, mudah
terdegradasi dan antithromboganicdan kompatibel (Radhakumary et al., 2005).
Kitin yang ada pada tubuh organisme dibagi menjadi tiga bentuk kristal berdasarkan
susunan rantai molekul yang ada dalam struktur kristalnya yaitu rantai antipararel (-kitin),
rantai pararel (-kitin) dan rantai campuran (-kitin) (Abun et al., 2007). Kitosan dapat
dipakai sebagai agen penggumpal dalam menangani limbah yang mengandung senyawa
protein karena adanya sifat kitosan seperti polikationik (Subianto, 2001 dalam Hartati et al.,
2002). Kitosan jika diberikan penambahan crosslinked agent seperti glioksial, glutaraldehid
dan kation Cu2+
dapat membentuk ikatan crosslink (Cahyaningrum et al., 2007). Kitin dan
kitosan saat ini banyak dipakai dalam industri pertanian, farmasi, pangan, kesehatan dan
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
6/23
5
lingkungan (Balley, et al, 1977). Berikut adalah contoh struktur kimia dari kitin dan kitosan
:
Gambar 1. Struktur Kimia Kitin (Abun et al., 2007).
Gambar 2. Struktur Kimia Kitosan (Muzzarelli, 1985).
Kitin dapat diturunkan menjadi berbagai macam produk seperti chito-olygosaccharides,
kitosan dan glukosamin. Selain itu kitin dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan
bioplastik. Kitin dan kitosan mempunyai karakteristik unik yang dapat membentuk
polyixysalt dalam membentuk film juga berguna untuk mengkelat ion logam karena adanya
struktur optik. Berat molekul dan derajat deasetilasi berpengaruh terhadap karakteristik dari
kitosan seperti reologi, kelarutan dan sifat fisiknya (Zaku et al., 2011). Sifat kelarutan dari
kitosan juga dipengaruhi oleh gugus amino yang mengalami proteinasi pada rantai polimer
sehingga dihasilkan glukosamin yang terasetilasi dan glukosamin yang tidak terasetilasi
(Alvarenga, et al., 2010). Limbah udang yang dipakai dalam praktikum ini diberikan
perlakuan demineralisasi dan deproteinasi untuk dihasilkan kitin dan setelah kitin didapat
dilakukan proses deasetilasi untuk mendapatkan kitosan.
2.1. Pembuatan Kitin (Demineralisasi)
Langkah awal proses pembuatan kitin ini dengan mencuci limbah kulit udang dengan air
mengalir. Pencucian limbah kulit udang ini menurut Bastaman (1989) dimaksudkan untuk
membersihkan kulit dari kotoran yang masih ada sehingga tidak membuat ektraksi kitin
menjadi tercemar. Setelah dicuci dengan air mengalir, limbah kulit udang dicuci lagi tapi
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
7/23
6
menggunakan air panas. Penggunaan air panas menurut Bastaman (1989) yaitu untuk
mensterilkan kulit udang agar tidak terkontaminasi oleh mikroorganisme. Setelah dicuci
dengan air panas, kulit udang harus dikeringkan agar kadar air yang ada pada kulit udang
dapat hilang dan dihasilkan kulit udang dalam kondisi yang sudah kering. Kulit udang yang
sudah kering selanjutnya di haluskan atau dihancurkan agar luas permukaan bahan menjadi
semakin luas sehingga mempermudah kontak pelarut dengan bahan. Setekah hancur, bahan
di ayak untuk memisahkan padatan berdasarkan ukurannya sampai didapatkan serbuk
dengan ukuran 40-60 mesh (Prasetyo, 2006).
Langkah selanjutnya yaitu mengambil serbuk kulit udang sebesar 10 gram dan diberikan
tambahan HCl dengan perbandingan 10:1 (pelarut:kulit). Penambahan HCl ini dibagi
menjadi tiga konsentrasi, kelompok B1-B2 dengan konsentrasi HCl 0,75 N; kelompok B3-
B4 dengan konsentrasi HCl 1 N dan kelompok B5-B6 dengan konsentrasi HCl 1,25 N.
Penggunaan HCl yang ditambahkan ini adalah untuk merusak permukaan biopolimer pada
kitin sehingga komponen mineral dapat terekstrak keluar dari kulit udang (Mudasir, 2008).
Kandungan mineral dalam kulit udang sebesar 30-50% dari berat kering. Kalsium karbonat
dan kalsium fosfat adalah mineral utama pada kulit udang atau kitin kasar. Mineral tersebut
harus disingkiran saat ektraksi kitin dilakukan. Menghilangkan mineral tersebut dapat
dilakukan dengan menambahkan asam encer sperti yang dilakukan dalam praktikum iniyaitu HCl. Asam encer lain yang dapat digunakan adalah H2SO4, atau asam laktat
(Bastaman, 1989).
Setelah HCl ditambahkan, langkah berikutnya yaitu mengaduk kitin pada suhu 90oC selama
satu jam. Dengan menggunakan suhu panas, mineral pada kitin akan semakin cepat dirusak.
Sedangkan perlakuan pengadukan ini, dimaksudkan agar saat dipanaskan tidak terjadi
luapan gelembung udara sebagai akibat dari proses pemisahan mineral pada proses
demineralisasi (Puspawati et al., 2010). Hendy (2008) juga mengatakan bahwa saat proses
demineralisasi akan dihasilkan gelembung CO2karena adanya pemisahan mineral dengan
HCl. Berikut ini reaksi yang terjadi :
CaCO3(s) + 2HCl(l)CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g).
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
8/23
7
Kemudian langkah berikutnya yang dilakukan adalah mencuci kitin dengan air mengalir
sampai pH nya menjadi netral. Dalam mengukur pH kitin ini digunakan kertas pH meter
dan kitin siap untuk dikeringkan pada suhu 800C selama 24 jam. Metode demineralisasi ini
memiliki tujuan untuk menghilangkan mineral pada kitin seperti kalsium karbonat (CaCO3)
dan garam anorganik (Hargono & Haryani, 2004). Dengan metode ini CaCO3 akan berekasi
dengan HCl sehingga akan terbentuk CaCl, asam fosfat dan asam karbonat yang dapat larut
air. Sedangkan residu yang tidak larut air inilah yang disebut kitin. Itulah sebabnya
penetralan pH kitin dilakukan agar mineral yang larut air dapat terpisah dari residu yang
berupa kitin (Bastaman, 1989).
Dari hasil pengamatan diperoleh hasil bahwa persen rendemen kitin yang dihasilkan dari
proses demineralisasi ini berkisar pada 12,720-54,000%. Hasil rendemen kitin I terendah
didapat oleh kelompok B3 dengan konsentrasi HCl 1 N sebesar 12,720% dan hasil
rendemen kitin I tertinggi ada pada kelompok B1 dengan konsentrasi HCl 0,75 N sebesar
54,000%. Penambahan asam seperti HCl ini dengan konsentrasi tinggi dalam proses waktu
yang lama akan membuat ikatan protein dan mineral juga bahan organik pada kitin menjadi
lepas dan renggang (Johnson dan Peterson, 1974). Jika konsentrasi HCl yang ditambahkan
semakin besar maka rendemen kitin yang akan dihasilkan juga semakin banyak. Hal
tersebut dikarenakan kandungan mineral pada serbuk udang semakin mudah untuk dilepas(Laila & Hendri, 2008). Hasil pengamatan yang didapat kurang sesuai dengan teori
seharusnya kelompok B5 dan B6 mendapatkan hasil rendemen kitin yang lebih besar
dibanding kelompok B1-B4. Ketidak sesuaian ini menurut Lehninger (1975) disebabkan
karena adanya pengadukan dalam pemanasan setelah diberikan tambahan HCl sehingga
hasil rendemen akan meningkat. Selain itu ketidakcocokaan hasil dengan teori dapat juga
dikarenakan saat proses pencucian untuk menetralkan pH masih ada residu kitin yang
terbawa larut sehingga mempengaruhi hasil nilai rendemen kitin. Dalam hal ini, pelarut
yang baik dalam proses demineralisasi kitin ini adalah HCl dengan konsentrasi 1 N
(Ramadhan et al., 2010).
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
9/23
8
2.2. Pembuatan Kitin (Deproteinasi)
Langkah berikutnya setelah dilakukan proses demineralisasi adalah deproteinasi. Langkah
pertama yang dilakukan yaitu mencampur tepung kitin dari proses sebelumnya dengan
NaOH perbandingan 6:1. Selanjutnya larutan yang sudah tercampur tadi diaduk selama satu
jam pada suhu 900C. Dengan menambah basa seperti NaOH dapat membantu
menghilangkan kandungan proteinnya. Sedangkan pemanasan yang dilakukan adalah untuk
membuat NaOH menjadi terkonsentrat dan menghilangkan air yang terkandung didalamnya
sehingga kitin yang diperoleh akan lebih maksimal. Pengadukan yang diberikan saat
dipanaskan ini bertujuan agar proses berjalannya deproteinasi dapat berjalan dengan lancar
(Puspawati et al., 2010). Selanjutnya, residu kitin dicuci dengan air sampai pHnya netral.
Sama dengan proses sebelumnya yaitu demineralisasi, penetralan pH ini dimaksudkan
untuk memberikan efek penggembungan kitin dengan basa atau alkali. Dengan begitu,
proses hidrolisis oleh basa terhadap gugus asetamida yang ada pada rantai kitin dapat lebih
efektif (Rogers, 1986). Setelah dinetralkan, residu kitin dikeringkan dengan suhu 800C
selama satu malam. Larutan NaOH yang digunakan dalam proses ini akan mengalami
ionisasi dengan air sehingga akan terbentuk ion hidroksida dan ion natrium. Penambahan
larutan basa tersebut perlahan ke dalam larutan asam akan membentuk molekul air dari ion
hidroksida dan ion hidrogen. Larutan akan menjadi bersifat asam jika ion hidrogen berada
dalam larutan tersebut, sedangkan jika ion hidrogen yang ada jumlahnya sama dengan
penambahan ion hidroksida akan membuat larutan menjadi netral (Rogers, 1986).
Pada metode deproteinasi ini dilakukan dengan tujuan memisahkan antara kitin dengan
protein. Metode ini dilakukan setelah proses demineralisasi. Hal ini sesuai dengan teori
yang diungkapkan Alamsyah et al. (2007) bahwa pengisolasian kitin pada tahap
demineralisasi sampai tahap deproteinasi ini dapat menghasilkan rendemen kitin yang
banyak dibandingkan dengan mengisolasi kitin tanpa kedua tahap tersebut. Hal tersebut
dikarenakan mineral akan melindungi kulit udang dimana pelindung itu bersifat keras.
Mineral mempunyai struktur yang lebih keras jika dibanding dengan protein hal inilah yang
menjadi alasan mineral harus dihilangkan terlebih dahulu agar pada tahapan deproteinasi
berjalan maksimal (Alamsyah et al., 2007).
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
10/23
9
Dari hasil yang sudah diperoleh, rendemen kitin II berkisar pada persentase 14,330-
41,300%. Hasil rendemen kitin II terendah didapatkan oleh kelompok B3 sebesar 14,330%
dan hasil rendemen kitin II terbesar ada pada kelompok B6 sebesar 41,300%. Kitin yang
bersumber dari limbah kulit udang biasanya menghasilkan rendemen kitin >20%
(Puspawati et al., 2010). Sesuai dengan teori Puspawati et al. (2010) untuk kelompok B1,
B2 dan B6 hasil rendemen kitin menunjukkan lebih dari 20%. Sedangkan untuk kelompok
B3-B5 kitin yang dihasilkan
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
11/23
10
mentransform kitin menjadi kitosan (Robert, 1992). Pada tahapan deasetilasi ini gugus
asetil akan dihilangkan dari kitin dan mengubah menjadi amina hingga dihasilkan kitosan
(Ramadhan et al., 2010). Besarnya gugus asetil yang dapat dihilangkan dari rendemen kitin
dan kitosan ini dijadikan sebagai seberapa baik mutu kitosan. Standart mutu kitosan ini
disebut derajat deasetilasi. Semakin tinggi gugus asetil kitosan maka semakin rendah
derajat deasetilasi kitosan sehingga dapat membuat ikatan antar ion dengan ikatan hidrogen
menjadi semakin kuat (Knoor, 1984). Tahapan deasetilasi ini akan memutus ikatan kovalen
yang ada pada gugus asetil dengan gugus asetamida yang mengandung nitrogen sehingga
akan diubah menjadi gugus amina terdeasetilasi (Azhar et al., 2010). Berikut ini adalah
proses penghilangan gugus asetil :
Gambar 3. Penghilangan gugus asetil menjadi gugus amina (Azhar et al., 2010)
Kitosan dapat dimanfaatkan untuk bahan antimikrob karena kitosan mengandung sejumlah
gugus aminopolisakarida dan enzim lisozim yang berperan dalam mencegah pertumbuhan
mikroorganisme. Kefektifan kitosan sebagai bahan anti mikrob ini dipengaruhi oleh faktor
konsentrasi dari pelarut kitosan. Kitosan hanya efektif dalam menurunkan pertumbuhan
kapang dan bakteri (Cahyaningrum, 2007). Dalam tahapan deasetilasi ini, kitin dari hasil
proses sebelumnya ditambah dengan NaOH dengan konsentrasi yang berbeda-beda tiap
kelompoknya. Konsentrasi NaOH yang digunakan kelompok B1 dan B2 adalah 40%.
Untuk kelompok B3 dan B4 digunakan konsentrasi 50% sedangkan untuk kelompok B5
dan B6 menggunakan konsentrasi NaOH sebesar 60%. Penggunaan NaOH ini sesuai
dengan teori Hirano (1989) jika NaOH dapat mengubah struktur kitin menjadi renggang
sehingga enzim akan semakin mudah bekerja dan polimer kitin terdeasetilasi. Adanya
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
12/23
11
ikatan yang kuat antara gugus karboksil dengan ion nitrogen pada strutur kristal kitin akan
dihasilkan kitosan dengan penambahan NaOH pada konsentrasi 40-50% dalam suhu tinggi.
Semakin tinggi konsentrasi alkali maka ikatan gugus karboksil dengan ion nitrogen akan
semakin mudah diputus (Martinou, 1995). Jika konsentrasi NaOH yang ditambahkan
semakin tinggi maka kitosan dengan derajat asetilasi yang dihasilkan juga meningkat. Hal
tersebut dikarenakan gugus asetil yang disubstitusi oleh gugus amino menjadi semakin aktif
dalam larutan sehingga deastilasi akan berjalan baik. Adanya pemakaian suhu tinggi juga
menjadi faktor lepasnya guus asetil dari kitin (Mekawati et al., 2000).
Langkah berikutnya setelah ditambahkan NaOH yaitu dengan pengadukan dan pemanasan
selama 1 jam dan didiamkan 30 menit. Setelah itu dipanaskan pada suhu 900C selama 60
menit tanpa pengadukan. Suhu akan mempengaruhi derajat deasetilasi pada kitosan. Suhu
yang digunakan semakin tinggi, semakin tinggi derajat deasetilasi kitosan. Sedangkan
perlakuan pengadukan ini bertujuan untuk mencampur kitin dengan larutan basa NaOH
menjadi lebih homogen sehingga proses perlakuan deasetilasi juga dapat berjalan optimal
(Puspawati et al., 2010). Pendiaman selama 30 menit adalah dengan tujuan agar serbuk
kitosan dalam larutan dapat mengendap sempurna sehingga tidak terbuang saat dicuci
(Rogers, 1986). Setelah disaring, residu dicuci dengan menggunakan air sampai pHnya
netral. Selanjutnya kitosan dikeringkan selama 24 jam pada suhu 70
0
C. Warna akhir daribubuk kitosan adalah putih kekuningan / krem, hal ini tepat dengan teori Ramadhan et
al.(2010) bahwa kitosan mempunyai warna putih kekuningan.
Dari hasil pengamatan diperoleh data bahwa rendemen kitosan berkisar pada 10,600-
27,590%. Hasil tertinggi rendemen kitosan dengan perlakuan penambahan NaOH 60%
adalah 27,590% pada kelompok B6 dan hasil rendemen kitosan terendah dengan
penambahan NaOH 60% sebesar 10,600% oleh kelompok B5. Dengan penggunaan
konsentrasi yang sama sebesar 60% NaOH hasil rendemen kitosan yang didapatkan dua
kelompok berbeda jauh. Seharusnya semakin tinggi konsentrasi penggunaan NaOH maka
hasil rendemen kitosan yang didapat akan semakin rendah atau berbanding terbalik. Hal ini
dikarenakan adanya tambahan NaOH mengakibatkan depolimerisasi rantai pada molekul
kitosan sehingga berat dari kitosan akan semakin menurun (Hong et al., 1989). Ketidak
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
13/23
12
sesuaian hasil pengamatan rendemen kitosan dengan teori yang ada dapat disebabkan dari
jenis udang yang digunakan dan dari proses penetralan yang tidak sempurna sehingga saat
dinetralkan dengan air, ada kitosan yang terlarut dan terbuang bersama air.
Pada jurnal mengenai ekstraksi kitin kitosan dari B.cereus, kitin merupakan polisakarida
yang ada pada kulit crustacea. Bacillus cereus mempunyai enzim protease yang dapat
dipakai untuk ekstraksi kitin dari limbah kulit udang Metapenaeus Monoceros. Sedangkan
kitosan didapat melalui tahapan N-deasetilase sehingga dapat diketahui aktivitas dari
aktivasi antibakteri pada kitosan. Produksi oksidan dan protease dari B. Cereus SV 1 saat
ditumbuhkan dalam media yang mengandung limbah udang berbentuk bubuk dapat
dijadikan sebagai sumber karbon. Kitin juga diperoleh dari proses deproteinisasi limbah
udang dengan enzim SV 1 protease atau dengan ekstraksi menggunakan senyawa kimia.
Limbah udang sebelum diberikan perlakuanpre-treatment mempunyaki kandungan protein
yang cukup besar. Sedangkan untuk proses demineralisasi dimaksudkan untuk mengurangi
kandungan mineral yang masih ada dalam kitin. Dari hasil penelitian didapatkan hasil
bahwa kandungan abu yang terdapat dalam kitin sudah sangat rendah, hal ini berarti bahwa
kalsium karbonat yang ada pada kitin dan mineral lain yang ada pada kitin sudah
dihilangkan atau diminimalisir. Namun berbeda dengan kandungan protein yang ada pada
kitin masih sangat tinggi dengan perlakuan isolasi enzim deproteinisasi. Meskipunpersentase deproteinisasi lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kimia, proses
deproteinisasi secara enzimatik harus tetap dilakukan untuk menghindari adanya senyawa
kimia yang akan kembali ke kitin seperti residu logam berat, hidrolisis yang berlebihan,
pemecahan kitin dan lain sebagainya. Kitosan jika berada dalam kondisi asam dapat
berfungsi sebagai antibakteri. Kitosan ini merupakan hasil konversi kitin yang mengalami
proses enzimatik dan deproteinisasi alkali. Kitosan menunjukkan aktivitas yang tinggi
dalam menghambat bakteri sepertiE.coli (Manni et al., 2010).
Jurnal berikutnya membahas tentang pemanfaatan biopolimer dari kitin dan kitosan. Kitin
dan kitosan merupakan biopolimer yang saat ini diaplikasikan pada berbagai bidang seperti
untuk koagulan pengolahan air limbah, bahan pertanian, pengawet makanan, bahan untuk
membuat kosmetik dan lain sebagainya. Adanya unit monomer penyusun kitosan seperti
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
14/23
13
glukosamin berpengaruh terhadap kesehatan dalam mengobati penyakit osteoarthritis.
Selama proses isolasi, kelompok N-asetil akan hilang dan dihasilkan kitin dengan derajat
N-asetilasi sebesar 0,9. Adanya degradasi rantai utama dengan asam hidroklorat
menghasilkan kitin dengan berat molekul yang rendah. Kitin yang sudah kering tidak bisa
larut dalam air sehingga harus disimpan dalam larutan dispersi didalam refrigerator.
Perlakuan itin dan kitosan dengan penggunaan asam hidroklorat pada suhu tinggi akan
menyebabkan terjadi proses hidrolisis dan didapatkan monomer gula berupa glukosamin.
Kemampuan udang dalam menyerap logam sangat berpengaruh terhadap proses asetilasi.
Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan menyerap logam tidak hanya karena kandungan
asam amino bebas dalam udang tetapi juga karena adanya sifat hidrofilik dari molekul
adsorbent yang digunakan untuk menghilangkan senyawa toksik.
Kemudian jurnal yang dibahas selanjutnya adalah tentang purifikasi pada kitin yang
menggunakan limbah kulit atau cangkang udang. Kitin merupakan hasil purifikasi dari
cangkang Penaeus monodon dan Crangon dengan menggunakan dua tahapan fermentasi
yaitu deproteinasi anaerob dengan dekalsifikasi melalui homofermentatif atau fermentasi
asam laktat. Selam proses pembuatan kitin dibutuhkan suhu tinggi saat proses perlakuan
dengan asam kuat dan basa kuat. Suhu tinggi ini dibutuhkan untuk menghilangkan
kandungan protein dan mineral. Kegunaan senyawa kimia seperti asam dan basa kuat iniuntuk memicu terjadinya depolimerisasi dari kitin yang akan mempengaruhi berat molekul
dan viskositas dari kitin. Dalam memproduksi kitin ini dilakukan menggunakan
bioteknologi. Dengan bioteknologi ini kitin dan kitosan yang dihasilkan akan memiliki
viskositas yang tinggi dan dapat digunakan untuk industri farmasi dan biomedicine.
Pemanfaatan untuk farmasi ini boleh dilakukan karena pada kitin mempunyai kelarutan
yang rendah. Sedangkan kitosan atau yang merupakan hasil deasetilasi kitin memiliki
kelarutan yang bersifat larut dalam asam organik. Keefektifan dekalsifikasi dengan
menggunakan asam laktat bakteri didasarkan pada jumlah karbon yang ditambahkan.
Dimana karbon tersebut berasal dari proses fermentasi (homofermentatif) (Xu, 2008).
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
15/23
14
Jurnal selanjutnya dikatakan bahwa ekstraksi secara kimia dari limbah kulit udang Egyptian
menghasilkan kitin. Kitin yang dihasilkan ini akan berubah menjadi kitosan yang lebih
bersifat larut. Limbah kulit udang merupakan salah satu sumber kitosan yang baik. Kitosan
lebih efektif dalam mereduksi atau mengurangi luka pada akar tomat dibandingkan dengan
kitin. Kitosan bersifat non toksik dan merupakan polimer bidegradasi dan dapat
berpengaruh terhadap aktivitas estisida pada mikroorganisme. Kitin dan kitosan yang
merupakan turunan dari limbah kulit udang bereperan dalam meningkatkan struktur tanah
dengan stimulasi fertilisasi dan memicu pertumbuhan tanaman (Radwan, 2012).
Untuk jurnal terakhir, kitosan, kitin, kitin-glukan dan kitin glukan hidrolisat yang berasal
dari fungi diuji untuk menghilangkan mineral seperti Fe, Pb dan Cd juga senyawa organik
yang dapat mengkontaminasi wine. Kitosan, kitin, kitin-glukan dan kitin glukan hidrolisat
ini ternyata efektif dalam mencegah anggur dari kontaminasi fungi dan dapat membuat
warna anggur menjadi lebih bening karena kandungan logam berat seperti Pb, Cd, Fe dan
mikotoksin menjadi berkurang. Dengan penambahan polisakarida juga dapat mengurangi
konsentrasi dari logam berat pada anggur. pH pada anggur atau wine juga berpengaruh
terhadap pengurangan kadar logam. pH optimal untuk mengurangi cemaran logam ini
berkisar pada ph 3,1 sampai 4,1. Kandungan asam sitrat pada wine menjadi iron yang baik
karena iron ini berperan dalam mengkelat polisakrida pada wine. Semakin meningkatkandungan polisakarida pada wine maka semakin banyak kandungan logam yang
dikurangi. Biopolimer seperti kitosan, kitin glukan dan kitin hidrolisat glukan memang
mengurangi level kandungan logam pada wine sehingga wine akan aman untuk dijadikan
sebagai beverages (Bornet, 2008).
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
16/23
15
3. KESIMPULAN
Limbah kulit udang mengandung senyawa kitin dan kitosan.
Kitin merupakan biopolimer yang tersusun dari unit monomer N-asetil-D-
glukosamin yang berikatan dengan ikatan (1,4).
Kitosan mempunyai rumus kimia 2-amino-2-dioksi--D-Glukosa.
Dalam tahapan demineralisasi dan deproteinasi akan dihasilkan rendemen kitin.
Pada tahapan deasetilasi kitin akan diubah menjadi kitosan.
Sifat kelarutan dalam asam dan viskositas kitosan dipengaruhi oleh faktor derajat
deasetilasi dan derajat degradasi polimer.
Kitosan diperoleh dari penghilangan gugus asetil pada kitin menjadi gugus amina. Konsentrasi HCl yang semakin tinggi digunakan akan menghasilkan kitin yang
semakin banyak.
Larutan HCl yang digunakan pada tahapan demineralisasi berfungsi melarutkan
kandungan mineral pada limbah kulit udang.
Dalam tahapan deproteinasi NaOH 3,5% yang ditambahkan berfungsi untuk
menghilangkan kandungan mineral dan protein pada kitin secara optimal.
Adanya NaOH dapat menyebabkan proses depolimerisasi rantai molekul pada
kitosan dan akibatnya berat molekul kitosan menjadi turun.
Tingginya konsentrasi NaOH yang ditambahkan pada tahapan deasetilasi akan
membuat rendemen kitosan yang dihasilkan semakin rendah.
Semarang, 1 Oktober 2014 Asisten Dosen :
Praktikan : - Stella Gunawan
Auw, Elyzabeth D.A
12.70.0060
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
17/23
16
4. DAFTAR PUSTAKA
Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair
Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai ImbuhanPakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler.
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstra
ksi_kitin1.pdf.
Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang
sebagai Bahan Baku Industri.http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.
Alvarenga, E. S; Cristiane P.; amd Carlos Roberto. (2010). An Approach to
Understanding the Deacetylation Degree of Chitosan. Carbohydrate Polymers 80 1155-
1160.
Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina. (2010). Pengaruh
Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit
Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.
Balley, J.E., & Ollis, D.F. (1977). Biochemical Engineering Fundamental. Mc. Graw
Hill Kogakusha. Tokyo.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradationb and Extraction of Chitin and Chitosan
from Prawn Shells. Thesis. The Depatment of Mechanical. Manufacturing Aeronautical
and Chemical Engineering. The Queen's University. Belfast.
Bornet, A. Teissedre, P.L. (2008). Chitosan, chitin-glucan and chitin eVects on minerals
(iron, lead, cadmium) and organic (ochratoxin A) contaminants in wines. Eur Food Res
Technol 226:681689
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang
Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA,
Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties
of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdfhttp://www.bbia.go.id/ringkasan.pdfhttp://www.bbia.go.id/ringkasan.pdfhttp://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf -
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
18/23
17
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New
York.
Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam ProsesDemineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor
yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam
Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2,
NO. 1 : 68-77.
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor
yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam
Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2,
NO. 1 : 68-77.
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin
from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II.
The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Knoor. (1984). Faktor- Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi
Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan
(Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77.
Kurita, K. (2006). Chitin and Chitosan: Functional Biopolymers from Marine
Crustaceans. Marine Biotechnology Vol 8, 203-226.
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media
Pendukung Amobilisasi Enzim -Amilase. http://lemlit.unila.ac.id
/file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
19/23
18
Manni, L. Bellaj, O.G. Jellouli, K. Younes, I. Nasri, M. (2010). Extraction and
Characterization of Chitin, Chitosan, and Protein Hydrolysates Prepared from Shrimp
Waste by Treatment with Crude Protease from Bacillus cereus SV1. Appl Biochem
Biotechnol 162:345357
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal,
Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/
marganof.htm.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995).Chitin deacetylation by
enzymatic means.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi
Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal
Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.
Mudasir. (2008). Immobilization of Dithizone onto Chitin Isolated from Prawn
Seawater Shells (P. merguensis) and its Preliminary Study for the Adsorption of Cd(II)
Ion. Chemistry Department, Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Gadjah
Mada University. Yogyakarta.
Muzzarelli, R.A.A. (1985). Chitin in the Polysaccharides Vol. 3. Academic Press Inc.
Orlando. San Diego.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and
Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-
639.
Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit
Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui
Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 7990.
http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htmhttp://rudyct.topcities.com/pps702_71034/%20marganof.htm -
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
20/23
19
Radhakumary, C., P.D. Nair, S. Mathew, C.P.R. Nair. (2005). Biopolymer Composite
of Chitosan and Methyl Methacrylate for Medical Applications. Trends Biomater. Artif.
Organs. Vol 18(2) : 117-124.
Radwan, M.A. Farrag, S.A.A. Elamayem, M.M.A. Ahmed, N.S. (2012). Extraction,
characterization, and nematicidal activity of chitin and chitosan derived from shrimp
shell wastes. Biol Fertil Soils 48:463468
Ramadhan, L.O.A.N., C.L. Radiman, D. Wahyuningrum, V. Suendo, L.O. Ahmad, S.
Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap
Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia. Vol 5 : 17-21.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk
Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Xu, Y. Gallert, C. Winter, J. (2008). Chitin Purification from Shrimp Wastes byMicrobial Deproteination and Decalcification. Appl Microbiol Biotechnology 79: 687-
697
Zaku, S. G.; S.A. Emmanuel; O. C. Aguzue; and S.A. Thomas. (2011). Extraction and
Characterization of Chitin; a Functional Biopolymer Obtained from Scales of Common
Carp Fish (Cyprinus carpio I.) : A lesser known source. African Journal of Food
Science Vol 5(8), pp 478-483.
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
21/23
20
5. LAMPIRAN
5.1.
Perhitungan
Perhitungan Chitin Chitosan
Rumus :
Rendemen Chitin I =
Rendemen Chitin II =
Rendemen Chitosan =
Kelompok B1
Rendemen Chitin I =
= 54,000 %
Rendemen Chitin II =
= 28,600 %
Rendemen Chitosan =
= 20,109 %
Kelompok B2
Rendemen Chitin I =
= 29,800 %
Rendemen Chitin II =
= 29,313 %
Rendemen Chitosan =
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
22/23
21
= 20,648 %
Kelompok B3
Rendemen Chitin I =
= 12,720 %
Rendemen Chitin II =
= 14,330 %
Rendemen Chitosan =
= 13,187 %
Kelompok B4
Rendemen Chitin I =
= 24,000 %
Rendemen Chitin II =
= 18,500 %
Rendemen Chitosan =
= 10,752 %
Kelompok B5
Rendemen Chitin I =
= 23,020 %
Rendemen Chitin II =
= 15,952 %
-
8/11/2019 Kitin Kitosan_Auw, Elyzabeth D.A_12.70.0060_B1_Unika Soegijapranata
23/23
22
Rendemen Chitosan =
= 10,600 %
Kelompok B6
Rendemen Chitin I =
= 32,380 %
Rendemen Chitin II =
= 41,300 %
Rendemen Chitosan =
= 27,590 %
5.2. Laporan Sementara
5.3. Diagram Alir
top related