kesengsaraan masyarakat jawa.pdf
Post on 12-Jan-2017
252 Views
Preview:
TRANSCRIPT
u Sejarala
Model Pembelajaran
Nasiona lisrne
Fenebelaj aral Seja-rah
NDIDIKAN SE,TARAHFA-KULTAS ILMU SOSIAL
S I{EGERI YOCY,{I(ARTA
DAFTARISI
Halaman Judul - iSusunan Dewan Redaksi - iiPengantar Redaksi - iiiDaftar Isi - iv
Migrasi Orang-Orang Madura Di Ujung Timur |awa Timur:
Suatu Kajian Sosial Ekonomi - tMudji Hartono
Yunani Sebagai lcon Peradaban Barat - 1'1'
Sudrajat
Kesengsaraan Masyarakat Jawa Masa Kolonialisme (Kajian Sej.Sosial Ekonomi]- 30
Zulkarnain
Konsep Pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam Pendidikan Taman Siswa:
(Tinjauan Humanis-ReligiusJ - 47
Dyah Kumalasari
Penggunaan Museum Sebagai Model Pembelajaran 0ut-Class -60Vicensia Indah Sri Pinasti
Pembelajaran IPS sebagai Media Penanaman Nasionalisme - 75
Taat Wulandari
Implementasi Group Investig ation Report sebagai AlternatifDalam Pembelajaran Sejarah Berbasis Character Building di
Universitas Negeri Yogyakarta - 86
Wahyu Setyaningsih, Waidkha Yuliati, Margaretha H Yuliana
Pedoman Penulisan Naskah Istoria
Biografi Para Penulis
ISTORIA Volume Il Nomor 1 September 201,1
KESENGSARAAN MASYARAKAT JAWA/CULTUURSTELSEL(Kaiian Sosial Ekonomi)
Olehr
Zulkarnainl
AbstrakZaman tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktek ekonomi
Hindia Belanda. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding
sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang
sangat dibutuhkan pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan
sumbangan besar bagi modal pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-
Belanda pada tahun 1835-1940.Di atas kertas, teor\ Cultuurstelsel memang tidak terlalu membebani rakyat,
namun dalam pelaksanaannya, terbukti sangat merugikan petani terutama di Jawa,yang mengakibatkan kesengsaraan, kemiskinan, dan kematian bagi rakyat di tanahkoloni.Kata kunci : penerapan, Cultuurstelsel, daerah koloni.
AbstractThe compulsion planting (Cultuurstelsel) was the most exploitative age on
practical economic in Dutch-lndies. It was harder, and awfuler rather than VOC
trading monopoly system because there was income target for Dutch. The
complusion planting assets have contribution for the golden age of Dutchlndiescolonization in 183 5- 1940.
The theory of compulsion planting was not hard for Dutch-Indies farmer, butimplementation was hard in what have impact pover\t, misery, and dead for Dutch-
Indies people.
Keyword : implementation, Cultuurstelsel, colony.
1 Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas llmu Sosial Uniyersitos Negeri yogyakarta-
30
A. PendahuluanSelepas Syarikat Hindia Timur
Belanda (SHTB) menjadi muflis pada
akhir abad ke-18 dan selepaspenguasaan United Kingdom yangsingkat di bawah Thomas StamfordRaffles, pemerintah Belanda meng-ambil alih pemilikan SHTB pada t-ahun
1816. Bela nda berjaya menumpaskansebuah pemberontakan di Jawa dalamPerang Diponegoro pada tahun 1825-1830. Selepas tahun 1830, sis[emtanam paksa yang dikenali sebagai
negara Indonesia pada saat ini.Pembangunan ekonomi yang
dilakukan pemerintah kolonialBelanda antara tahun 1830 sampaipertengahan abad ke-19 mereka
menamakannya dengan cultuur-sfelsel. Dalam historiografi Indonesia
ISTORIA Volume II Nomor 1 Se mber 201 .1
yang tradisional istilah itu digantimenjadi "Tanam Paksa" yangmenonjolkan aspek normatif darisistem tersebut yakni kesengsaraandan penderitaan rakyat yangdiakibatkan oleh penerapan sistemtersebut. Istilah yang dipergunakanoleh Belanda tersebut selain terbataspada aspek ekonominya, sehingga
makna padanan kata Cultuurstelseltersebut dalam bahasa Indonesiasesungguhnya adalah "sistem pembu-didayaan", atau juga dapat disebutbudidaya tanam.
Namun demikian praktek dilapangan terutama dari segi penge-
lolaannya dapatlah diamati bahwaaspek politik kolonial sangatmenonjol. Usaha produksi sesung-guhnya dilaksanakan oleh rakyat ataupetani dengan pengawasan parapenguasa daerah dari tingkat bupatisampai ke tingkat desa. Pada waktuitu hubungan politik antara Belandadan Mataram yang telah menjadisaling tergantung sejak tahun 1755,dan terutama pasca Perang Dipo-negoro di mana Belanda membantupihak keraton, merupakan formatpolitik yang mendorong dan me-munculkan terselenggaranya sistemtanam paksa.
Pada saat Thomas Stanford Rafflesberkuasa di Hindia Belanda, Belandasedang mengalami kesulitan ekonomiyang lebih banyak diakibatkan olehPerang Napoleon dan isolasi ekonomiyang disebabkan .ttelsel Kontinental.Oleh sebab itu, Belanda kehilangansebagian besar perdagangannya danpelayarannya. Peranannya sebagai
30
ISTORIA Volume II Nomor l-
pasar penimbun barang mundur dan
dunia perdagangan melahirkan pusat-
pusat perdagangan baru'
Pedagang-pedagang Belanda tidak
dapat bersaing dengan Pedagang-
pedagang Inggris karena Para
pedagang Inggris dapat memasarkan
kain-kai1 Lanchashire dengan harga
yang relatif murah. Untuk mengatasi
kondisi tersebut Belanda melaksa-
nakan sistem merkantilisme Yalmi
memungut biaya yang tinggi terhadap
barang-barang yang masuk, dan
memungut pajak yang tinggi puia bagi
barang-barang buatan negeri induikyang akan dipasarkan di daerah
koloni serta memonopoli perdagang-
an pemerintah.Dalam kondisi Yang demikian, di
Parlemen Belanda terjadi perbe-daan
pandangan antara golongan konser-
vatif dengan golongan liberal.
Golongan konservarif menganggap
bahwa eksploitasi yang dijaiankan di
tanah koloni sudah sesuai dengan
tuntutan situasi, sementara sistem
ekspioitasi yang dikonsepkan oleh
golongan liberal belum sepenuhnya
meyakinkan Pemerintah'Dalam situasi Perbedaan Panda-
ngan ini, golongan liberal terpecah
menjadi dua, yakni golongan liberal
yang masih mempertahankan prinsip-
prinsip liberal seperli kebe-basan
berusaha dan camPur tangan Yang
minimal dari pihak pemerintah dalam
urusan-urusan perseorangan' Di lain
sisi, terdapat sekelomPok dari
golongan liberal Yang menekankan
pada prinsip-prinsip humaniter dan
menginterpretasikan prinsip liberal
sebagai prinsip memberi keadilan dan
perlindungan bagi kePentingan.
Dalam menghadapi golongan liberal
yang terpecah tersebut, golongan
konservatif dapat meyakinkan peme-
rintah bahwa sistem kumPeni
terbukti dapat dilaksanakan dan iebih
efektif, sementara sistem iiberal tidak
dapat dilaksanakan di negeri jajahan
karena tidak sesuai dengan situasi
dan kondisi ekonomi lokal.
B. Ketentuan-Ketentuan Tanam Paksa
Tanam paksa ata:u cultuur-stelsel
adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van
den Bosch yang mewajibkan setiaP
desa harus menYisihkan sebagian
tanahnya (20o/o) untuk ditanami
komoditi eksPor khususnYa koPi,
tebu, nila. Hasil tanaman ini akan
dijual kepada pemerintah kolonial
dengan harga yang sudah dipastikan
dan hasil panen diserahkan kePada
pemerintah kolonial. Penduduk desa
yang tidak memiliki tanah harus
bekerja 75 hari dalam setahun (20%)
pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam Paiak.Pada prakteknya peraturan itu
dapat dikatakan tidak berarti karena
seluruh wilayah Pertanian wajib
ditanami tanaman laku eksPor dan
hasilnya diserahkan kepada Peme-
rintahan Belanda. WilaYah Yang
digunakan untuk Praktek culturstelstelpun tetap dikenakan pajak.
Warga yang tidak memiliki lahan
pertanian wajib bekerja selama
setahun penuh di lahan Pertanian.
Tanam paksa adalah era palingeksploitatif dalam praktek ekonomiHindia Belanda. Sistem tanam paksa
ini jauh lebih keras dan kejamdibanding sistem monopoli VOC
karena ada sasaran pemasukan
penerimaan negara yang sangatdibutuhkan pemerintah. Petani yangpada jaman VOC wajib menjualkomoditi tertentu pada V0C, kiniharus menanam tanaman tertentudan sekaligus menjualnya denganharga yang ditetapkan kepadapemerintah. Aset tanam paksa inilahyang memberikan sumbangan besarbagi modal pada zaman keemasankolonialis liberal Hindia-Belanda pada
1835 hingga 1940. Akibat sistem yangmemakmurkan dan menyejahterakannegeri Belanda ini, Van den Bosch
selaku penggagas dianugerahi gelar
Graaf oleh raja Belanda, pada 25
Desember 1839.
Culturstelsel di Jawa dimulai padatahun 1836 atas inisiatif sese-orangyang berpengalaman dalam urusantersebut yaitu Van Den Bosch yang
telah memiliki pengalaman dalammengelola perkebunan di wilayahkekuasaan Belanda di KepulauanKaribia. Tujuan Van Den Bosch yangdijadikan Gubernur |enderal adalah"mentransformasikan pulau Jawamenjadi eksportir besar-besaran dariproduk-produk agraria, dengan
keuntungan dari penjualannyaterutama mengalir ke keuanganBelanda. Tujuan Van Den Bosch
dengan sistem Cultuurstelsel di Jawaitu adalah untuk memproduksiberbagai komoditi yang menjadi
ISTORIA Volume II Nomor 1 Se mber 2011
permintaan di pasaran dunia. Untukmencapai tuiuan tersebut Bosch
menganjurkan pembudidayaan ber-bagai produk seperti kopi, gula,
indigo [nila], tembakau, teh, lada,
kayumanis, jara[ dan lain sebagainya.
Petsamaan dari semua produk ituadalah bahwa petani dipaksakan olehpemerintah kolonial untuk mempro-duksinya dan sebab itu tidakdilakukan secara voluter [Fasseur,1.992:239).
Sedangkan ketentuan-ketentuanpokok dari sistem tanam paksasebagaimana tercantum dalamstaatsblad tahun 1834 No. 22 yangisinya adalah sebagai berikut.
1] Persetujuan-persetuiuan akandiadakan dengan penduduk halmana mereka menyediakansebagian dari tanahnya untukpenanaman tanaman daganganyang dapat dijual di pasaran
Eropa.
2J Bagian dari tanah pertanianyang disediakan pendudukuntuk tujuan tersebut tidakdiperbolehkan melebihi seper-lima dari tanah pertanian yangdimiliki penduduk desa.
3J Pekerjaan yang diperlukanuntuk menanam tanaman daga-ngan tidak boleh melebihipekerjaan yang diperlukanuntuk menanam padi.
4J Bagian dari tanah yangdisediakan untuk menanamtanaman dagangan dibebaskandari pembayaran pajak tanah.
5J Tanaman dagangan yang.dihasilkan di tanah-tanah yang
32
ISTORIA Volume II Nomor 1 September 2011
disediakan wajib diserahkankepada pemerintah Hindia
Belanda, jika nilai-nilai hasil
tanaman dagangan yang ditaksiritu melebihi pajak tanah yang
harus dibayar rakyat, maka
selisih posirifnya harus
diserahkan kepada rakyat.6) Apabila terjadi gagal panen pada
tanaman dagang harus dibeban-
kan kepada pemerintah, hal
tersebut berlaku apabila kega-
galan tersebut tidak disebabkan
oleh kekurangrajinan atau
ketekunan pada pihak rakyat.
7J Dalam mengerjakan tanah-tanah
untuk penanaman tanaman
dagang penduduk desa diawasioleh para pemimpin desa
mereka, sedangkan pegawai-
pegawai Eropa hanya akan
membatasi diri pada pengawa-
san apakah pembajakan tanah,panen, dan pengangkutan
tanaman-tanaman berialan
dengan baik dan tepat pada
waklunya [Sutjipto, !977: 76-
77).
Jika diamati dari segi isi staatsbladtersebut, maka Sistem Tanam Paksa
ridak begitu membe-ratkan pada
penduduk. Namun demikian dalam
pelaksanaannya ternyata telah
mengakibatkan kesengsaraan yang
berkepanjangan kepada rakyat. Dam-
paknya cukup destruktif menjadikan
rakyat miskin dan tidak teraturhidupnya. Penduduk selalu terbebanioleh perilaku-perilaku pemimpin-pemimpin mereka yang memaksakan
rakyat untuk taat terhadap peraturan
yang ditetapkannya. Fenomena ini di-
akibatkan oleh adanya penyimpangan
ketentuan-ketentuan yang tercantumdalam staatsblad yang dilakukan oleh
pemerintah Hindia Belanda. Pendu-
duk lebih banyak mencurahkanperhatian, tenaga, dan waktunyauntuk tanaman berkualitas ekspor,
sehinga tidak dapat mengerjakan
sawahnya dengan baik, bahkan dalam
suatu waktu tidak dapat mengerjakan
sawahnya sama sekali.
C, Pelaksanaan Tanam Paksa
Pada tahun 1830 pada saat
pemerintah penjajah hampir bangkrutsetelah terlibat perang Jawa terbesar
[Perang Diponegoro, 1825-1830), dan
Perang Padri di Sumatera Barat(l92t-1837), Gubernur Jenderal Van
den Bosch mendapat izin khusus
melaksanakan sistem Tanam Paksa
ICultuur Stelsel] dengan tujuan utamamengisi 'kas pemerintahan jajahan
yang kosong, atau menutup defisitanggaran pemerintah peniajahan.
Sistem tanam paksa berangkatdari asumsi bahwa desa-desa di Jawa '
berutang sewa tanah kepada peme-
rintah, yang biasanya diperhi-tungkansenilai 40%o dari hasil panen utamadesa yang bersangkutan. Van den
Bosch ingin setiap desa menyisihkansebagian tanahnya untuk ditanamkomoditi ekspor ke Eropa [kopi, tebu,
dan nila]. Penduduk dipaksa untukmenggunakan sebagian tanah garapan
[minimal seperlima luas, 20%) dan
menyi-sihkan sebagian hari kerjauntuk bekerja bagi pemerintah.
33
Dengan mengikuti tanam paksa,desa akan mampu melunasi utangpajak tanahnya. Bila penda-patan desadari penjualan komoditi ekspor itulebih banyak daripada pajak tanahyang mesti dibayar, desa itu akanmenerima kelebihannya. iika kurang,desa tersebut mesti membayarkekurangan tadi dari sumber-sumberlain. Sistem tanam paksadiperkenalkan secara perlahan sejaktahun 1830 sampai tahun 1,835.
Menjelang tahun 1840 sistem ini telahsepenuhnya berjalan di Jawa.Pemerintah kolonial memobilisasilahan pertanian, kerbau, sapi, dantenaga kerja yang serba gratis.Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu,yang permintaannya di pasar duniasedang membubung dibudidayakan.
Menurut penelitian Prof. Fasseurdari Universitas Leiden, pada tahun1884 sekitar 75.5 o/o penduduk jawadikerahkan dalam Cultuurstelsel ata\tanam paksa. Penduduk diKaresidenan Batavia dan daerahkesultanan di Jawa Tengah atauVortsenlanden tidak mengambilbagian dalam sistem tersebut. Jumlahtersebut kemudian berfluktuasi tetapitidak turun secara drastis karenapemerintah Hindia Belanda berusahamempertahankan eksistensi tanahuntuk tanaman komoditi ekspor.Kemudian pada tahun 1850,umpamanya jumlah tersebut telahmenurun menjadi 46 o/o, tetapiditahun 1860 naik lagi menjadi54.5%. Kendatipun demografi belummuncul pada masa ini, dan datakependudukan yang diperoleh dari
ISTORIA Volume II Nomor l- Se r 201,1
laporan-laporan para pejabat Belandasering simpang siur, namun dapatdikatakan bahwa sistemCultuurstelsel ini jelas-jelas telahmengakibatkan dampak yangdestruktif bagi penduduk Jawa. Luastanah garapan yang digunakan untuksistem itu menurut perhitungan, padatahun 1840 hanya 6 % saja. pada
tahun 1850 menurun menjadi 4 %,dan pada tahun 1-860 naik tagi sedikitmenjadi 4.5 %.
Jenis tanah yang dibutuhkan iugaberbeda-beda untuk masing-masingtanaman. Tebu (untuk gulalmemerlukan tanah persawahan yangbaih karena tebu membutuhkanirigasi yang lancar. Tetapi kopi justrumemerlukan tanah yang agak tandus(woeste gronden). Yang tidak dapatdigunakan untuk persawahan,terutama dilereng-lereng gunung.Indigo membutuhkan daerah yangpadat penduduknya. pada dasarnyasistem ini membawa perubahan padasistem pemilikan tanah. Karenapenyelenggaraannya dilakukan perdesa, maka tanah-tanah juga dianggapmilik desa, bukan milik perorangan
[Fasseur 1992:28,29).Prof. Fasseur berhasil membuat
kalkulasi mengenai berbagaiikomoditi yang ditanam tahun 1830dan membawa hasil sekitar tahun1840 fFasseur 1993: 34]. Dalamwaktu sepuluh tahun [1830-1840)semua karesidenan [18 buah) di Jawatelah terserap dalam sistem inifkecuali karesidenan Batavia]. Kopidiusahakan mulai dari Banten hinggakaresidenan Basuki. Kopi diusahakan
34
.:1 '
mulai dari Banten hingga karesidenan
Basuki di Jawa Timur. Tetapi produksi
kopi terbesar berasall dari
karesidenan-karesidenan Priangan
fJawa BaratJ, Kedu [Jawa TengahJ,
Pasuruan dan Basuki [Jawa Timur) '
Dalam jangka walctu Yang sama
gula telah berhasil diusahakan di 13
karesidenan. Pusatnya terutama di
Jawa Timur, Yaitu karesidenan-
karesidenan Surabaya, Pasuruan, dan
Basuki [dalam tahun 1840 Produksidari wilaYah ini mencaPai hamPir
65%). Selain itu terdapat gula pula
dikaresidenan-karesidenan Japara
Semarang, Pekalongan, dan Tegal
fJawa Tengah) dan Cirebon [Jawa
Barat). Dalam iangka waktu Yang
sama pula Indigo berhasil diusahakan
dii 11 karesidenan, Tetapi produksi
utama berasal dari dua karesidenan di
Jawa Tengah, Yaitu Bagelan dan
Banyumas, Yang menghasilkan 51%'
Juga di Cirebon dan Pekalongan ada
diusahakan sedikit indigo. Tembakau
yang diusahakan melalui cultuur'
stelsel dilakukan di Karesidenan
Rembang dan sekitar Pacitan [Jawa
TengahJ. Sedangkan kaYumanis di-
selenggarakan di Karawang fJawa
BaratJ.
Dalam PenYelenggaraan cul-
tuurstelsel pihak Belanda berusaha
agar sedapat mungkin tidak
berhubungan langsung dengan petani'
Sebab itu PenYelenggaraannYa
diserahkan kePada Para buPati
dengan para kePala desa, dan
masyarakat desa sendiri. Kepentingan
pemerintah hanya pada hasilnya, yang
dihitung dalam Pikol (1 62 kgJ Yang
ISTORIA Volume II Nomor 1 z0tl
diterima oleh gudang-gudang peme-
rintah. Selain itu penyelenggara-
annya juga bervariasi dari satu
tempat ketemPat lain karena
pemerintah Pusat lebih banYak
menyerahkan penguasannYa kePada
para pejabat Belanda setempat (para
kontrolirl yang mempunyai motivasi
untuk meningkatkan produksi karena
mereka memperoleh " cultuurprocenf'
prosentase tertentu dari hasil panen'
Untuk itu sampai tahun 1860
dikerahkan tidak kurang 90 orang
kontroiir dan sekitar orang pengawas
berkebangsaan Belanda.
Mobilisasi Penduduk dilakukan
sejalan dengan kebiasaan-kebiasaan
yang berlaku dalam tatanan politik
Mataram, yaitu apa yang oleh Belanda
dinamakan "heerendiensten" (Djuliati
Suryo, 1993). Yaitu kewajiban ralryat
untuk melakukan berbagai tugas
dengan tidak mendaPat imbalan
bayaran. Hak ini kemudian beralih
pada Belanda Yang seiak Perang
Diponegoro dianggaP sebagai
penguasa, kecuali di Vortsenlanden'
"Kapan sala Pemerintahan membu-
tuhkan tenaga rakYa! maka Para
bupati, sesuai dengan instruksi yang
diberikan pada mereka, harus
mengupayakan agar setiaP desa
menyediakan tenaga kerja secara
adil." BeberaPa jumlah Pendudukyang harus dikerahkan disetiap desa
itu diserahkan sepenuhnya pada para
bupati. Tetapi sesuai kebiasaan pula,
hanya mereka yang memiiiki hak atas
penggarapan tanah (sikep) yang wajib
memenuhi panggilan bupati tersebut.
pula sebabnYa selama
35
dilaksanakannya Cultuurstelsel,diada-kan pembagian tanah bagrpenduduk yang tidak memiliki
[numpangJ, sehingga kemudianmuncul sikep-sikep baru yang walibmelaksa-nakannya " heerendiensten"pula [Fasseur, 1992: 30).
Tugas petani bukan sekedarmenanam, tetapi juga memproseshasil panennya untuk diserahkan digudang-gudang pemerintah. Peng-
angkutannya ke gudang-gudangtersebut adalah tugas petani pula.Terutama produksi kopi seluruhnyadalam tangan petani, dalam hal gulamuncul pula pabrik-pabrik guna yangdikelola secara modern dengan modalasing fFasseur, 1993: 3 3].
Penduduk mendapat bayaranuntuk hasil kerjanya. Tetapi para ahlisejarah belum bisa memastikanbagaimana pemerintah menentukantinggi rendahnya upah itu. Maksudsemula Van den Bosch adalah agarupah disesuaikan dengan fluktuasiharga pasar, namun hal ini dinggaptidak praktis. Mungkin karena parapetani belum memahami kaitanpekerjaan mereka dengan mekanismepasar. Menurut penelitian Prof. R. VanNiel dari Universitas Hawaii, jumlahupah disesuaikan dengan jumlahpajak tanah (Iand rent) yang harusdibayar petani. Tetapi sejak semulaVan den Bosch menginginkan agarupah yang diterima petani harusmemungkinkan mereka "menikma-tinya" dan itu berarti harus lebihbanyak dari hasil pesawahan. Tetapikemudian ternyata berbagai faktorlain turut menentukan tinggi
IST0RIA Volume II Nomor 1 2017
rendahnya upah petani. Masalahkesuburan tanah (sawah untuk tebuJtentu diperkirakan lebih tinggipembayaran pajak tanahnya diban-dingkan dengan tanah gersang untukkopi. Masalah iklim, teknologi yangdigunakan, dan lain sebagainya, turutmenentukan tinggi rendahnya upah.Dengan demikian upah bervariasi,bukan saja untuk masing-masingkomoditi tetapi juga dari karesidenan-karesidenan [Fasseur, 1992 : 42).
Contoh yang diberikan oleh Prof.Fasseur mengenai masalah upah inidiambil dari dua komoditi yangberbeda, yaitu gula dan indigo [nilaJ.
Dengan demikian salah satudampak dari Cultuurstelsel adalahmasuknya ekonomi uang di pedesaan.
Penduduk membayar pajak tanah(land rent) yang diintroduksi olehRaffles dengan uang. Kenyataan inisaja sudah menunjuk adalahperubahan dalam kehidupan pede-saan. Suatu masalah yang pentingpula adalah apa yang dinamakan" cultuur procenf' fFasseur, 1,993: 46-501, yaitu jumlah persentase yangditerima para pejabat Belandamaupun sesuai dengan produksi yangdiserahkan pada gudang-gudangpemerintah. Jumlah itu tidak jarangjauh lebih besar dari gaji yangditerima. Van den Bosch sengajamenambah hal ini untuk mendorongpara pejabat tersebut bekerja keras.Lagi pula cara itu juga sudah dipakaidalam Preangerstelsel. Dengandemikian, cara ini sesungguhnyabukan ciptaan Van den Boseh.
36
iSTORIA Volume II Nomor 1 tember 2011
,'Cultuur procenten" ternyata
membawa damPak Yang kurang baik
dalam korPs kePegawaian Belanda
karena menimbulkan Perbedaan
pendaPatan Yang mencolok antara
mereka Yang terlibat dengan
Cultuurstelsel dan Yang tidak dan
antara mqreka yang bekeria di daerah
"kurus". i{etidak puasan pada pihak
pejabat Belanda namPak dari
p".*lnt""tt untuk di Pindahkan ke
daerah lain.
Dalam gambaran Yang
komPrehensif, Pelaksanaan Sistem
fanum Paksa mengalami banYak
penYimPangan-PenYimPangan Yang
serius. Penyimpangan pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa tersebut lebih
banyak diakibatkan oleh adanYa
cultuur-Procenten, sehingga Para
pengawas tanam paksa yang
menYetorkan tanaman wajib akan
mendaPatkan imbalan' DamPaknY4
semua Pengawas berusaha
menYetorkan hasil Produksi se-
banYak-banYaknYa dengan memeras
rakyat. Akhirn ya yafig meniadi sapi
perahan adaiah rakYat Yang tidak
memiliki otoritas dalam menetapkan
hasil Panen tanamannya' Ditambah
lagi dengan sikap-sikap para kepala
aJr" Yung lebih sering meniadi kaki
tangan pemerintah kolonial' sehingga
t<euilat<annYa seenaknYa dalam
-"n"tuPka,, luas lahan Penduduk
Yang akan digunakan untuk areal
p"rrln"*"n waiib, beraPa Penduduk
yung hur.-r, bekerja sebagai buruh'
t"rrir.tt menetapkan beraPa hasil
produksi Yang harus dibaYar oleh
pendudulc
Ketimpangan Yang diwuludkan
oleh pelaksanaan politik tanam paksa
ini mulai mendaPat Perhatian di
Belanda, dimana hal ini berhubungan
dengan kemunculan gerakan liberal di
negeri induk tersebut' Secara umum
m".eka daPat digolongkan ke dalam
dua kategori yaitu goiongan humanis
dan golongan kaPitalis' Golongan
humanis mengatakan bahwa Siatem
Tanam Paksa harus segera
dihapuskan karena telah banYak
m"nindas dan menYengsarakan
penduduk di tanah iajahan' Dalam
terminologinya, padahal tanah jajahan
telah memiliki kontribusi yang sangat
besar dalam menYelamatkan negara
dari kebangkrutan' Dengan demikian'
perlu diuPaYakan Perbaikan-
perbaikan nasib rakyat tanah jaiahan'
Sementara golongan kaPitalis
beranggaPan bahwa Sistem Tanam
Paksa tidak menciptakan kehidupan
ekonomi Yang sehat' Sistem Tanam
Paksa memPerlakukan rakYat tanah
jajahan sebagai objek bukannYa
melibatkannYa dalam kegiatan
ekonomi Yang menambah ruwetnYa
sistem perekonomian Hindia Belanda'
Dalam rangka mengikat Para
penguasa lokal ini, Pemerintahgelanda tidak hanya mengembalikan
kekuasaan mereka saja' melainkan
juga meningkatkan prestise mereka
dengan gaii beruPa tanah Yang akan
m"-b"ri mereka tenaga keria dan
penghasilan iain yang dihasilkannya'
bi t"*Plng itu, Van Den Bosch
menerapkan sistem prosentase yakni
hadiah bagi Petugas Yang berhasii
menYerahkan hasil tanaman Yang
37
I
melebihi dari yang ditentukan. Namunyang menjadi permasalahan lanjutadalah bahwa kebijakan tersebutmenjadi sember dan ladang korupsiserta penyelewengan-penyelewenganyang merugikan rakyat. Sistemprosentase dianggap sebagailegalisasi pemerintah kolonialterhadap segala bentuk pemerasanseperti luas tanah yang diusahakanpemerintah tidak terbatas, wajib kerjapenduduk melebihi ketentuan yangtelah ditetapkan, tanaman wajib,pajak-paja( dan kerja wajib tidakdihapus. Sementara hasil darikebijakan cultuur stelsel sangatmemuaskan dan menguntungkanpemerintah Belanda (Kartodirdjo,1990: 15J.
Pada tahun 1848, Sistem TanamPaksa mendapat kritikan melaluiperdebatan di Parlemen Belanda.Perdebatan terjadi antara golonganliberal dengan golongan konservatif,seputar evaluasi penerapan sistemtanam paksa di Hindia Belanda. Kaumliberal berkeyakinan bahwa tanahjajahan akan memberikan keuntungankepada negeri induk apabila masalah-masalah perekonomian diserahkankepada pihak swasta. Dengandemikian, pemerintah kolonial hanyamemungut pa jan dan mengawasijalannya pemerintahan. Pemerintahtidak perlu campur tangan dalamurusan perdagangan hasil bumi ditanah jajahan. Berbeda dengan kaumliberal, kaum konservatif tetapberkeyakinan bahwa tanah jajahanakan memberikan keuntungan kepadanegeri induk apabila urusan ekonomi
ISTORIA Volume II Nomor 1 r 201.1
ditangani langsung oleh pemerintah.Pemerintah harus campur tangandalam pemungutan hasil bumi ditanah jajahan. Bagi kaum konservatif,Hindia Belanda dianggap belum siapuntuk menerima kebijakan politikliberal. Dari perdebatan keduagolongan tersebut, golongan liberalmenang dan dapat meluruskan sistempemerintahan di tanah koloni. Duaorang sebagai pembela nasibpenduduk koloni adalah DouwesDekker dan Baron Van Hoevell. Dilammkaryanya yang berjudul ,'Max
Havelar", Douwes Dekker memben-tangkan kekejaman sisten tanampaksa. Sementara Fransen Van DerPutte juga menulis Zuker Contracten,yang juga banyak mengkritikketidakadilan dalam sistem tanampaksa.
Berkat kecaman dan kegigihankaum liberal tersebut, makapemerintah Hindia Belandamenghapuskan sistem tanam paksa,melainkan tidak sekaligus melainkansecara bertahap atau berangsur-angsur. Proses penghapusan sistemtanam paksa secara bertahap yakni:pertama kali penghapusan sistemtanam paksa lada pada tahun 1g60.Penghapusan tanam paksa untuk ehdan nila pada tahun 1865, dan padatahun 1870 hampir semua jenistanaman paksa sudah dihapuskan,kecuali tanaman paksa kopi dipriangan.
D . Culturstelsel di Luar fawaSelain di Jawa, cultuur srelsel jugi
dijalankan di luar Pulau Jawa meski-
pun dalam skala yang tidak sebandingdengan di pulau Jawa. Sejak tahunL822 di Minahasa telah dilaksanakancultuur stelsel untuk tanaman kopi.Sistem tanam paksa di daerah iniberlangsung cukup lama, sampaidihapuskannya pada tahun 1899.Sementara di Sumatera Barat padatahun 1847 pasca Perang Padri, juga
diselengarakan cultuur stelsell unluktanaman kopi yang baru dihapus padatahun 1908. Sedangkan di Madurajuga dijalankan cultuur stelsel untlktanaman tembakau. Di samping itu, diMaluku juga sistem ini dijalankanbahkan sejak masa VOC, yakni untuktanaman cengkeh di KepulauanAmbon, dan pala di kepulauan Banda.
Sistem tanam paksa di kepuiauanMaluku ini baru dihapuskan padatahun 1860. Dengan demikian,meskipun secara umum dikatakanbahwa sistem tanam paksa berlang-sung dari tahun 1-830-1"870, tetapidalam praktek yang sesungguhnyabahwa sistem tersebut telahberlangsung jauh sebelum tahun1830, dan berakhir secara total padaawal abad ke-20. Ini dapat dijadikanreferensi baru bahwa melihat sejarahtanam paksa harus ditampilkansecara utuh mengingat kompleksnyakajian sistem ini baik secara makromaupun mikro,
Pada masa VOC, Minahasa telahterkait dengan pola-pola pelayaranniaga VOC yakni sebagai daerahpemasok beras. Kewajiban sebagaipemasok beras ini beru dihentikanpada tahun 1852. Sementara itu didaerah ini pemerintah Hindia Belanda
ISTORIA Volume II Nomor 1 2017
telah menerapkan sistem tanam paksasemenjak tahun 1822. Daerah yangpaling cocok untuk budi daya kopiwaktu ilu adalah di Dataran TinggiTondano yang sesuai dengan ekologikopi. Wilayah tersebut merupakanbagian dari Minahasa yang penduduk-nya tergolong padat.
Dengan potensi tenaga kerja yangbanyak di wilayah ini, maka sangatmemungkinkan untuk dilakukanmobilisasi tenaga kerja secaratradisional baik yang diper-lukanuntuk penanaman kopi itu sendiri,maupun untuk membangun prasa-rananya. Tanaman kopi lebih banyakdibudidayakan di distrik Rombokendan meluas ke distrik-distriksekitarnya seperti Tomohon, Kawa-nokoan, dan Sonder (Schouten, 1993:s1.-72).
Untuk pembudidayaan kopi,lahan-lahan yang dimanfaatkanadalah tanah kalekeran, yaitu suatutanah milik distrik yang kosong dantidak digarap oleh penduduk karenakeadaan tanahnya kurang baik untukkebun atau persawahan. Pembukaanlahan-lahan kalekeran ini sangatmemberatkan penduduk karena letak-nya yang cukup jauh dari tempattinggal mereka.
Dalam hal lain upah yangdiberikan juga tidak mencukupi untukkebutuhan mereka. Setiap pikolpemerintah Belanda hanya membayarf 10, padahal setiap keluarga hanyadapat menghasilkan satu plkol belumlagi dengan adanya kecurangan-kecurangan yang dijalankan oleh p'arapetugas lapangan dalam menimbang
39,,
kopi. Dalam hal lain, penduduk jugadibebani oleh biaya pengangkutan,dimana pengangkutan kopi kegudang-gudang pemerintah yangberada di wilayah pantai cukup jauh,padahal mereka harus denganmemikulnya. Baru sejak tahun 1851pemerintah membuka gudang-gudangdi daerah pegunungan, sehinggapekerjaan penduduk menjadi lebihringan. Sedangkan pengangkutan darigudang-gudang pegunungan kegudang-gudang di daerah pantaidilakuna oleh para pekerja yangdiberi upah [Leirissa, 1996: 62).
Namun demikian, dalam rangkamemperlancar proses pengangkutankopi, penduduk tetap terbebani untukmembangun prasarana yang terkikatsecara tradisional. Maka semenjaktahun 1851 jalan-jalan dan jembatanpenghubung daerah pegunungandengan daerah pantai mulai dibangun.Dalam pelaksanaannya, pendudukdiharuskan bekerja secara bergilirandan sukarela tanpa upah. Sehinggasewaktu-waktu, mereka harus siapdipanggil untuk bekerja dalampembuatan sarana dan prasarana.
Pada umumnya mereka dipimpinoleh pemimpin tradisional merekayaitu para kepala walak yang memilikiotoritas tradisional untuk meme-rintah setiap warga yang berada dibawah pimpinannya. pekerjaan
tersebut seringkali membawa keseng-saraan kepada rakyat karena letakproyek-proyek tersebut jauh dari desatempat tinggal mereka, atau dapatpula pada lokasilokasi yang sangatsulit sehingga mengancam kese-
ISTORIA Volume II Nomor 1 201.!
lamatannya. Pekerjaan umum terse-but juga sangat membebankan danmemberatkan karena pada suatuketika penduduk harus memanentanaman untuk memenuhi kebutuhanpokoknya, mereka dapat panggilanuntuk kerja bakti membangun saranaumum tersebut.
Jika dibandingkan dengan kopiJawa, baik dari segi ekonomi maupunkualitas, hasilnya tidak terlalu rendah.Bahkan banyak para pejabat Belandayang secara langsung mengakuibahwa Kopi Menado jauh lebih baikketimbang Kopi Padang. Malahanpada bagian kedua abad ke-19 KopiMenado sempat mengungguli Kopijawa. Namun demikian dari segikuantitas, produksi Minahasa jauhlebih rendah dibanding Kopi padangyang rata-rata menghasilkan 191.000pikul setiap tahun. Sedangkan KopiJawa lebih benyak lagi yakni dapatmencapai 2 juta pikul setiap tahun-nya. Namun demikian, Minahasa telahmemiliki sejarah sosial yang cukupberperan dalam pengayaan sejarahnasional, terutama masa diterapkan-nya sistem tanam paksa.
Semenjak tahun j,820 hinggatahun 1840, di Minangkabau kopitelah dibudidaya secara perorangansebelum diberlakukannya cultuurstelsel. Sebagaimana halnya diMlnahasa, di Minangkabau jugapenanaman kopi dilakukan di daerah-daerah pegunungan. Lahan-lahanyang dipakai juga dalam kategorilahan tidur yang kurang produktifuntuk pertanian lain. Karena sebagianbesar kopi ditanam di daerah daerah
40
pegunungan terutama lahan-iahan
yang berada dalam kawasan hutan,
maka kopi Minangkabau lebih sering
dekenal sebagai "kopi hutan"' Seperti
halnya di Minahas4 di Minangkabau
juga penduduk dibebani dengan keria
tanpa uPah untuk membangun
sarana-sarana terutama jalan-jalan
dan jembatan untuk kePerluan
pengangkutan koPi dari daerah
pegunungan ke Padang. Sementara
para pemimPin tradisional Yang
bertugas menggerakkan Pendudukadalah para Penghulu, sehingga
dengan ikatan tradisional tersebut
penduduk Patuh Pada atasannYa'
Dalam Penelitian Prof. Kenneth
Young disimPulkan beberaPa
penyebab atau faktor Pendorong
keberhasilan budi daya tanam kopi di
Minangkabau. Pertama adalah kebi-
jakan mengenai pemberian upah yang
tidak membingungkan Para Petani,
karena telah diatur dengan ielas'
Harga per pikul ditetapkan f 20 atau
sekitar 32 sen Per kg, dan setelah
dipotong berbagai ongkos yang harus
dibayar, petani menerima f 4 per pikul
atau 5 sen per kg. Kedua tersedianya
tenaga kerja yang cukup banyak yang
dapat dikerahkan untuk kePerluan
penerapan budibaYa tanam koPi
tersebut. Ketiga adalah adanya tradisi
dagang yang telah tertanam dan
menjiwai masYarakat Minangkabau
yang menYebabkan orang terdorong
untuk menialankan Pekeriaan Yang
menghasilkan uang [Young, L988:
736-1.64).
Young daiam PenelitiannYa iuga
menyimpulkan sebab-sebab kegagai-
ISTORIA Volume II Nomor l- Se 20lL
an dari penerapan sistem fti. Pertama
adalah habisnya lahan pertanian yang
cocok untuk budi daya kopi sehingga
tidak dapat dilakukan ekspansi secara
terus menerus. Kedua adalah
munculnya PenYakit tanaman koPi
yang sulit untuk di atasi, sehingga
produksi semakin ber-krnang. Ketiga
Perang Aceh yang berlangsung relatif
lama sehingga banYak menguras
perhatian pemerintah Belanda untuk
menanganinYa, sementara budidaYa
kopi menjadi kurang diperhatikan'
Keempat adalah cara-cara pengelo-
laan yang kurang baik karena terbiasa
dengan pola budidaya perseorangan
yang telah berlangsung sebelum
cultuur stel s eI diteraPkan'
E. Iftitik TerhadaP Tanam Paksa
Pada tahun 1830 Pada saat
pemerintah peniajah hampir bangkrut
setelah terlibat perang Jawa terbesar
[Perang Diponegoro, 1825-1830), dan
Perang Padri di Sumatera Barat
(1827-1837), Gubernur Jenderal Van
den Bosch mendaPat izin khusus
melaksanakan sistem Tanam Paksa
[Cultuur Stelsel] dengan tuiuan utama
mengisi kas Pemerintahan iajahanyang kosong, atau menutuP defisit
anggaran pemerintah Penjaiahan.Sistem tanam Paksa berangkat
dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa
berutang sewa tanah kePada
pemerintah, Yang biasanYa diPer-
hitungkan senilai 40% dari hasil
panen utama desa yang bersangkutan.
Van den Bosch ingin setiaP desa
menyisihkan sebagian tanahnYa
untuk ditanam komoditi eksPor ke
Etrilr*f,lEl4tw
Eropa [kopi, tebu, dan nila]. Pendu-duk dipaksa untuk meng-gunakansebagian tanah garapan (minimalseperlima luas, 20o/o) dan menyi-sihkan sebagian hari kerja untukbekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa,
desa akan mampu melunasi utangpajak tanahnya. Bila pendapatan desadari penjualan komoditi ekspor itulebih banyak daripada pajak tanahyang mesti dibayar, desa itu akanmenerima kelebihannya. Jika kurang,desa tersebut mesti membayarkekurangan tadi dari sumber-sumberlain. Sistem tanam paksa diperke-nalkan secara perlahan sejak tahun1-830 sampai tahun 1835. Menjelangtahun 1840 sistem ini telahsepenuhnya berjalan di Jawa.Pemerintah kolonial memobilisasilahan pertanian, kerbau, sapi, dantenaga kerja yang serba gratis.Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu,yang permintaannya di pasar duniasedang membubung dibu-didayakan.
Bagi pemerintah kolonial HindiaBelanda, sistem ini berhasil luar biasa.Karena antara 1831'1871 Bataviatidak hanya bisa membangun sendiri,melainkan punya hasil bersih 823 jutagulden untuk kas di Kerajaan Belanda.Umumnya, lebih dari 30 persenanggaran belanja kerajaan berasalkiriman dari Batavia. Pada 1860-an,720/0 penerimaan Kerajaan Belandadisumbang dari Oosf Indische ata,tHindia Belanda. Langsung atau tidaklangsung, Batavia menjadi sumbermodal. Misalnya, membiayai keretaapi nasional Belanda yang serba
IST0RIA Volume II Nomor 1 201.1
mewah. Kas kerajdan Belanda punmengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksaNederlandsche Handels Maatchappij
[NHM] merupakan reinkarnasi VOC
yang telah bangkrut. Akibat tanampaksa ini, produksi beras semakinberkurang dan harganya punmelambung. Pada tahun 1.843, munculbencana kelaparan di Cirebon, JawaBarat. Kelaparan juga melanda JawaTengah, tahun 1850. Sistem tanampaksa yang kejam ini, setelahmendapat protes keras dari berbagaikalangan di Belanda, akhirnyadihapus pada tahun 1870, meskipununtuk tanaman kopi diluar Jawamasih terus berlangsung sampai1915.
Cultuurstelsel ternyata membawakeuntungan yang sangat besar bagipara pemegang saham Neder-landsche Handel-Maatschappij dantentunya juga raja Belanda- di negeriBelanda, Pemerintah Belanda sertapemerintah India Belanda. Hal inidapat dilihat dari peningkatan ekspordari India-Belanda, terutama keEropa. Ekspor tahun 1830 hanyaberjumlah 13 juta gulden, dan tahun1840 ekspor meningkat menjadi 74juta gulden. Penjualan hasil bumitersebut dilakukan oleh NHM;keuntungan yang masuk ke kasBelanda -antara 1830 sampai 1840-setiap tahun sekitar 1-8 juta gulden, iniadalah sepertiga dari anggaranbelanja Pemerintah Belanda.
Seorang mahasiswi Belanda,Annemare van Bodegom, pada tahun1996 mengadakan penelitian untuk
42
menyusun slcipsinya. Ia menyorotiperiode antara 1830 Pada awal
diterapkannya Cultuurstelsel oleh
Gubernur Jenderal Johannes Graaf van
den Bosch [1830-1833) sampai tahun
L877. Keuntungan Yang dirauP
Beianda yang dinamakan batig sIoI
atau surnlus akhir mencapai 850 juta
gulden, yang antara lain digunakan
untuk membiayai Pembangunaninfrastruktur di Belanda seperti jaian
kereta api, saluran air dan lainlain' Di
sisi lain, Cultuurstelsel ini membawa
keseng-saraan dan bahkan kematian
rakyat yang dijajah. Antara tahun
1849-1850 saia, tercatat lebih dari
140.000 orang pribumi meninggal
sebagai akibat kerja dan tanam paksa.
Apabila nilai 850 juta gulden dihirung
dengan indeks tahun l-992, maka
nilainya setara dengan 15,4 milYar
gulden. Tak dapat dibaYangkan,
berapa keuntungan yang diraup oleh
Belanda dari Indonesia antara 1.602-
1942 apabila dihitung dengan indeks
tahun 2002.
Di atas kertas, teori Cultuurstelsel
memang tidak terlalu memembebani
rakyaq namun dalam pelaksanaannya,
Cultuurstelsel Yang sangat
menguntungkan Belanda, terbuktisangat merugikan petani terutama di
Jawa dan mengakibatkan keseng-
saraan dan kematian bagi rakYat
banyak, sehingga Cultuurstelsel
tersebut lebih dikenai sebagai sistem
tanam paksa, karena Petanidiharuskan menanam komoditi Yangsangat diminati dan mahal di Pasar
Eropa, yang mengakibatkan merosot-
nya hasil tanaman pangan sehingga di
ISTORIA Volume II Nomor l- 20tl
beberapa daerah timbul kelaParan,
seperti yang terjadi di Cirebon tahun
18+4, di Demak tahun 1848 dan di
Grobogan tahun 1849.
Sejak 1840, selama 60 tahun
berikutnya nilai ekspor dari India-
Belanda ke Belanda meningkat 10 kali
lipa! dari 107 juta gulden menjadi
1-,16 milyar gulden. Selama kurun
waktu itu, juga terjadi Perubahankomoditi ekspor; selain kopi, teh, gula
dan tembakau, yang masih terus
diekspor, kini eksPor bahan baku
untuk industri seperti karet, timah
dan minyak, menjadi lebih dominan.
Seiring dengan perkembangan ekspor
dan jenis ekspor, titik beratperkebunan pindah ke Sumatera
Timur, di mana didirkan perkebunan-
perkebunan besar, terutama untuktembakau dan karet.
Selain monopoly Perdagangankomodiri "normal", ternyata Belandajuga memperoleh keuntungan besar
dari perdagangan opium [canduJ,yang kemudian juga dimonopoli oleh
VOC dan penerusnya, Pemerintah
lndia-Belanda. Semula impor opium
dari Bengali pada tahun 1602 hanYa
sebanyak satu setengah Peti,meningkat menjadi 2.000 peti Padatahun 17 42. Keuntungan Per Petidapat mencapai 1.800 sampai 2.000
gulden, dan agar penjualannYa
terjamin, Belanda juga mendorongpribumi untuk mengkonsumsi opium.
Pada akhir abad 19, Konsulat Belanda
di Singapura melaporkan, eksPor
candu dari Bengali ke India-Belanda
mencapai hampir 3.700 peti.
4i
Ewald van Vugd, seorangwartawan dan penerbit berkebang,saan Belanda, pada 1985 menyorotipolitik perdagangan opium Belandayang dipaparkan dalam bukunyaWetig Opium. Menurut van Vugt,candu mulai menjadi sumberpenghasilan utama Belanda sejaktahun 1743. Antara tahun 1848-1866,laba perdagangan candu mencapai155,9 juta gulden, yakni 8,2 %pemasukan total dari tanah jajahan,dan kontribusi pemasukan darijajahan Belanda terhadap seluruhanggaran Belanda sebesar 12,5%lAntara tahun 1860-1915, laba candumeningkat 15 persen per tahun. Labacandu antara 1-904-1,940 sebesar 465juta guldenl Tak heran apabila vanVugt tahun 1988 menerbitkan bukudengan judul yang menggemparkan,yaitu Het dubbele Gezicht van deKoloniaal (wajah ganda daripenjajahanl, yang memuat sisi negatifpenjajahan Belanda, sepertipedagangan candu, perdaganganbudak, kerja paksa, kekerasan senjatadn.
Demikianlah wajah penjajahanBelanda waktu itu, demi keuntunganmateri untuk para tuan besar, merekamengorbankan rakyat di jajahanmereka, bahkan secara sistematismerusak mental dan kesehatan rakyatdengan menganjurkan untukmengisap candu. Tidaklah meng-herankan apabila sekarang keluargakerajaan Belanda termasuk keluargapaling kaya di dunia dan Belandatermasuk salah satu negara ter-makmur di Eropa Baral berkat
ISTORIA Volume II Nomor 1 Se r 2Ol7
perdagangan budak perdagangancandu, tanam paksa dan berbagaipraktek pelanggaran HAM. Hal-halyang sangat tidak manusiawi sepertiini, telah menggerakkan hati beberapaorang Belanda yang humanis, sepertiEduard Douwes Dekker, yangkemudian melancarkan kritikterhadap politik Pemerintah India-Belanda melalui berbagai tulisan, jugadalam bentuk roman dengan nama"Max Havelaar" , yang ditulis padatahun 19860,
Namun kritikan yang dilon-tarkantersebut tidak menyurutkanPemerintah Kolonial Belanda untukmembuat berbagai peraturan untukmenakut-nakuti rakyat jajahannyayang berniat membangkang. pada
tahun 1880 diberlakukan peraturanyang dinamakan Poenale Sanctie,yaitu peraturan yang memuatancaman hukuman badan fkurungandan pukulanl bagi kuli-kuli yangmelanggar peraturan kerja. Tujuanutama Poenale Sanctie adalahmenjamin tenaga buruh bagi majikan,juga membatasi kemerdekaan buruhuntuk meninggalkan perkebunantempat bekerja. Mohammad Hattamenunjuk buku tulisan H.F. Tillemayang berjudul "Kromo Belanda" yangberisi keluhan dan pengaduan tentangbagaimana Pemerintah Belandamelalaikan kesehatan rakyat. Hattamenunjukkan keadaan buruk dikalangan buruh, misalnya bahwaseorang kuli [buruhJ di Sumateradipaksa bekerja dengan kekerasandan diperlakukan sewenang-wenang'oleh majikan Belanda. pukulan-
44
I
ISTORIA Volume II Nomor 1 September 2011
pukulan dengan rotan, Penahananmelawan hukum, Penelanjanganburuh yang dianggaP saiah oleh
rnajikan merupakan kebiasaan pada
waktu itu.Poenale Sanctie Yang keiam dan
tidak berperikemanusiaan menambah
kesengsaraan rakyat Indonesia, dan
memperpanjang daftar PelanggaranHAM oleh Belanda, serta mening-
katkan kemarahan dan keben-cian di
kalangan bangsa Indonesia. Pers dan
para pemimpin bangsa Indonesia
mengecam Poenale Sanctie ini'
Setelah gencar kritik dan kecaman di
negeri Belanda sendiri, baru Pada
tahun 1924 Majelis Rendah Belanda
mengajukan protes atas Poenale
Sancrie tersebut, namun Poenale
Sanctie baru dicabut tahun 1941,
ketika Perang Dunia di EroPa telah
dimulai dan ancaman JePang di Asia
telah di depan mata.
F. SimpulanTidak salah lagi Sistem Tanam
Paksa yang diteraPkan di Hindia
Belanda telah mendatangkan
perubahan sosial masYarakat baik
secara makro mauPun mikro. Pada
pokoknya, Sistem Tanam Paksa
merupakan penghisaPan dan
pemerasan secara brutal Yang
dikelola oieh orang-orang yang tamak
dan haus akan kekuasaan, yang nilai-
nilainya dibentuk oleh latarbelakang
kebudayaan masing-masing. Sistem
Tanam Paksa menialankan suatu lipumuslihat pada lingkungan sosio-
ekonomi secara lebih canggih dan
rumit. Dalam membahas Sistem
Tanam paksa, akan lebih komPre-
hensif apabila dikaji tidak secara
tradisional, agar berbagai aspek yang
menyertai dilaksana-kannya sistem
dapat teungkaP. Karena jika tidak,
maka gambaran utuh dari sistem ini
tidak akan ditemukan. Namun
demikian secara riil adalah tidak
dapat diabaikan bahwa pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa mengkondisikan
hal-hal sebagai berikut'Pertama, AdanYa Pemben'tukan
modai. Aspek ini tidak daPat
disangkal oleh Peneliti manapun
bahwa pelaksanaan Sistem Tanam
Paksa telah menimbulkan Permoda-lan di Hindia Belanda' Pembentukan
modal yang meruPakan asPek dari
sejarah kolonial Yang terutama
melibatkan orang-orang EroPa dan
Cina, ketimbang bangsa Indonesia
sendiri, bahwa modal Perusahaan di
Eropaiah yang menYebabkan terPe-
cah-pecahnya Sistem Tanam Paksa
yang diawasi oleh Pemerintah itu.
Pembentukan modal Yang utama,
yang bedampak pada meluasnYa
tanam paksa di Jawa, terjadi di Jawa
sendiri, dan kondisi tersebut terjadi
selama berjalannya Sistem Tanam
Paksa dan merupakan bagian dari
Sistem Tanam Paksa tersebut.
Kedua adanya tenaga buruh Yang
murah yang menandai kehiduPan dijawa yang telah lama berlangsung
jauh sebelum Sistem Tanam Paksa
diterapkan. Rakyat kelas bawah sudah
menjadi tradisi bekerja wajib untukpara pemimpin tradisional Yang
memiliki otoritas tradisional sebagai
pemimpin dalam masYarkatnYa'
+l
ISTORIA Volume II Nomor 1 September 2011
Hubungan-hubungan ketergan-tungan di samping adanya perbu-
dakan dalam kebanyakan hal,
merupakan kunci yang menentukan
dari perbedaan-perbedaan sosial
dalam masyarakat.
Ketiga ekonomi pedesaan yang
berubah selama penerapan Sistem
Tanam Paksa dan sesudahnya.
Struli:lur politik dan ekonomi pede-
saan yang selama abad ke-19
menunjukkan kenyataan-kenyataansosial-ekonomi dari kehidupan orang-
orang jawa, dengan mengubah hasilpanen dan tenaga buruh yang murah
menjadi pengaturan fungsional. Desa-
desa merupakan sumber dari mana
tenaga buruh dan hasil pertanian
ditarik, walaupun hanya daribeberapa penduduk desa.
Pada awal abad ke-19, golongan
atas di pedesaan Jawa menjadi lebihkuat karena penunjukkan tugas-tugas
dan kewenangan-kewenangan baruyang memungkinkan para kepala
desa dan para kroninya yang memilikiotoritas atas pengawasan lahan,
tenaga buruh dan hasil pertanian
sampai ke tingkat yang lebih besar
daripada yang yang pernah terjadisebelumnya.
Daftar Pustaka
Anne Booth, William J.0' Malley, AnnaWeidemann [ed), 1988. Sejarah
Ekonomis Indonesia. Jakarta:LP3ES.
Ardiansyah, Syamsul. Cultuur Pro-centeen.
Hutagalung, 8.R' Batig Sloot dariCultuurstelsel. MonopoliPerdagangan Opium oleh
Pemerintah India-Belanda.
Robert Van Niel, !992. Java Under the
Cultivation System: Collected
Writings. Leiden: KITLV Press.
R.E. Elson, ],978. The CultivationSystem and 'AgriculturalInvolution'. Melbourne: Monash
University.
Fasseur, 1975. Kultuurstelsel en
Koloniale Baten: De NederlandseExploitatie Van Java 1-840-1860.
Leiden: University Press.
Wikipedia Indonesia, ensiklopediabebas berba hasa lndonesia.
46
top related