kegiatan pertambangan emas rakyat
Post on 18-Jan-2016
62 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
TUGAS PENGOLAHAN BAHAN TAMBANG
RINGKASAN
“TAMBANG TRADISIONAL”
Disusun Oleh :
Edward Purna Wiratama
DBD 111 192
UNIVERSITAS PALANGKARAYA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN PERTAMBANGAN
PALANGKARAYA
2013
2PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada wilayah Propinsi Sumatera Barat terkandung Potensi sumber daya
mineral seperti emas dan mangani. Menurut laporan Dinas Pertambangan dan Energi
Propinsi Sumbar (2004), emas terdapat pada wilayah daerah Kabupaten Sijunjung, 50
Kota, Pasaman, dan Pesisir Selatan. Pada wilayah Kabupaten Sijunjung, deposit emas
diperkirakan terdapat di sejumlah lokasi seperti; Bukit Kabun, Batu Manjulur,
Silokek, Tanjung Ampalu, Palangki, Mundam Sakti, Muaro Sijunjung dan Lubuk
Karia.
Pada lokasi-lokasi yang memiliki kandungan emas ini, secara tradisional
sudah sejak lama diexploitasi oleh masyarakat dengan menggunakan cara dan teknis
sangat sederhana yang dikenal dengan mendulang emas. Pendulangan emas
dilakukan pada aliran sungai yaitu dengan cara melakukan penyaringan pasir yang
terdapat disepanjang aliran sungai, menggunakan dulang yang dibuat khusus dari
kayu. Mendulang emas secara tradisional dilakukan pada umumnya oleh kaum
perempuan sebagai pekerjaan sampingan/sambilan pada saat tidak melakukan
kegiatan usaha pertanian seperti kesawah, ladang atau pun kebun. Dengan cara dan
peralatan yang sederhana tersebut pendulang tidak mendapatkan kepastian akan
mendapatkan hasil dan kalau pun didapat hasil hanya dalam jumlah rata-rata yang
sangat kecil, tidak berpengaruh signifikan terhadap pendapatan keluarga.
3
Di Kabupaten Sijunjung mendulang emas dilakukan sepanjang aliran batang
ombilin, batang Sukam dan batang Palangki atau pada beberapa anak sungai lainnya.
Sejumlah Nagari yang dilalui aliran sungai - sungai tersebut, penduduknya memiliki
pengetahuan dan pengalaman panjang mendulang emas, salah satunya adalah
penduduk Nagari Mundam Sakti, Kecamatan IV Nagari, Kabupaten Sijunjung yang
dilalui oleh batang Palangki.
Beranjak dari pengalaman tradisonal tersebut, sejak 1990an, exploitasi emas
tidak lagi dilakukan dengan cara mendulang pasir yang ada dipinggiran batang
Palangki, tetapi sejumlah penduduk Mundam Sakti sudah melakukan penggalian
pasir pada aliran sungai dan dilakukan penyaringan secara mekanis dengan
menggunakan tenaga mesin pompa dan sedot. Melalui metoda demikian, volume
pasir yang mampu disaring jauh lebih banyak dan lebih cepat sehingga jumlah emas
yang didapatkan juga lebih banyak. Pada dekade ini, exploitasi emas di aliran sungai
Palangki tidak lagi dilakukan oleh kaum perempuan sebagai pekerjaan sampingan,
tetapi sudah dijadikan usaha dengan membutuhkan modal usaha yang relative besar.
Exploitasi emas di batang Palangki sudah melibatkan berbagai pihak diluar penduduk
nagari yang besangkutan khususnya yang bertindak sebagai investor pencarian emas.
Dengan pola yang demikian, pencarian emas dilakukan lebih intensif sehingga
membutuhkan tenaga kerja yang lebih fokus, lebih banyak dan juga lebih kuat.
Kondisi yang demikian menyebabkan tenaga kerja yang terlibat tidak lagi hanya
berasal dari penduduk setempat, tetapi sudah melibatkan sejumlah tenaga kerja yang
berasal dari luar daerah terutama dari daerah-daerah tertentu di Pulau Kalimantan
4
yang sudah berpengalaman melakukan explorasi dan exploitasi bahan galian berupa
tambang emas rakyat.
Dalam perkembangannya, tambang emas rakyat tidak lagi hanya dilakukan
pada aliran Batang Palangki di Kenagarian Mundam Sakti, tetapi juga sudah
dilakukan pada pinggiran/tebing sungai, berlanjut ke lokasi-lokasi lainnya termasuk
pada lokasi sawah, kebun, ladang dan bahkan pekarangan. Pendulangan sudah
berganti dengan penambangan yang menggunakan alat mekanis penggalian dan
penyaringan/pengayakan. Untuk penggalian sudah dilakukan dengan menggunakan
alat berat traktor maupun escavator.
Hasil kunjungan lapangan pada bulan November 2010 didapatkan informasi
bahwa diperkirakan lebih dari setengah dari jumlah penduduk pada kenagarian
Mundam Sakti terlibat pada usaha Exploitasi emas. Kehadiran tambang emas rakyat
di nagari Mundam Sakti mempengaruhi berbagai aspek dan dinamika kehidupan
masyarakat. Penambangan yang dilakukan pada lahan persawahan menyebabkan
berkurangnya potensi produksi padi pada nagari ini sehingga ketergantungan kepada
daerah lain untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk setempat tidak bisa
dihindari. Selanjutnya produktifitas tenaga kerja petani semakin menurun apabila ia
tidak memiliki alternative lain untuk usaha diluar usahatani yang sudah sejak lama
digelutinya. Selanjutnya kecendrungan masyarakat untuk melakukan explorasi emas
pada sejumlah lahan yang dimiliki keluarga tidak jarang menghadapi pro dan kontra
didalam keluarga sendiri yang pada gilirannya menyebabkan sering terjadi konflik
didalam keluarga sendiri.
5
Exploitasi sumberdaya mineral di Indonesia diatur dengan Undang-undang
nomor 4 tahun 2009, tentang pertambangan mineral dan batu bara. Di Kabupaten
Sijunjung, untuk pertambangan skala kecil di kenal dengan tambang Rakyat diatur
melalui Peraturan Bupati No 19 tahun 2007 tentang prosedur dan mekanisme
pengurusan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Surat Izin Pertambangan
Rakyat (SIPR).
Bagaimana sesungguhnya probahan itu terjadi sejauh ini belum diketahui
berdasarkan bukti empiris. Sehubungan dengan latar belakang yang dikemukakan
diatas, maka sudah dilakukan penelitian dengan judul Kegiatan Pertambangan Emas
Rakyat dan Implikasinya terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di
Kenagarian Mundam Sakti, Kecamatan IV Nagari, Kabupaten Sijunjung.
Berkembangnya usaha tambang rakyat berimplikasi kepada berbagai aspek,
diantaranya adalah pemanfaatan lahan pertanian untuk lokasi penambangan yang
menyebabkan berkurangnya luas garapan bagi petani. Selanjutnya tenaga kerja di
sektor pertanin lebih memilih melakukan pekerjaan di luar sektor pertanian, termasuk
sebagai tenaga kerja pada usaha tambang. Perpindahan tenaga kerja disektor
pertanian ke non-pertanian diperkirakan akan menghadapi sejumlah persoalan, baik
jangka pendek maupun dalam jangka waktu panjang. Dalam jangka
pendek,pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki petani sering kurang dan bahkan
tidak relevan dengan jenis pekerjaan diluar sektor pertanian. Oleh sebab itu, tingkat
produktivitasnya sebagai tenaga kerja cenderung rendah sehingga gaji/upah yang
6
diterima relative kecil. Petani sering hanya menjadi tenaga kerja/buruh untuk
berbagai jenis pekerjaan, dan mempunyai kedudukan sangat rapuh terhadap
pekerjaannya.
Perkembangan usaha tambang juga menyebabkan kedatangan tenaga kerja
migrant dari berbagai daerah di Indonesia. Tenaga kerja/pekerja tambang yang
seluruhnya adalah laki-laki, jumlahnya ratusan orang membawa berbagai kebiasaan
dan budaya yang berbeda dari kebiasaan dan budaya masyarakat. Dalam
kesehariannya interaksi antara pekerja migrant dengan masyarakat tempatan
memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran prilaku dari masyarakat tempatan.
Adapun rumusan masalah penelitian dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana realitas Kegiatan Penambangan Emas Masyarakat di Kanagarian
Mundam Sakti ?.
2. Bagaimana Implikasi Kegiatan Penambangan Emas Terhadap Sosial Ekonomi
Masyarakat di Kanagarian Mundam Sakti dan konversi lahan pertanian yang sudah
terjadi, bagaimana antisipasi yang dilakukan setelah lahan pertanian tidak
produktif.
7
LANDASAN TEORI
2.1. Pertambangan di Indonesia.
Pertambangan di Indonesia telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
sejarah besar bangsa ini. Menurut Mancayo A.S (2008), seberapa tua pemakaian besi
dan mineral lainnya dalam kehidupan, setua itulah umur pertambangan dilakukan
rakyat. Pertambangan dilakukan oleh masyarakat secara tradisional dengan alat-alat
sederhana. Ia mengemukakan bahwa sejarah pertambangan di Indonesia dapat dirunut
dari wilayah Minang Kabau. Pada tahun 1651 emas dapat diperoleh secara resmi dari
tangan VOC di pantai Pariaman. Perdagangan emas ini berlangsung atas perjanjian
bilateral antar Bandaharo di Sungai Tarab yang mengusai distribusi pengangkutan
emas dari Saruaso, pedalaman Minangkabau . Dua orang Bandaharo yaitu Bandaharo
Putih dan Bandaharo Kuning mengendalikan ekspor emas dari pedalaman
Minangkabau, sampai pada akhir abad XVIII, bangsa eropa yang pertama yang
menyelidiki sumberdaya alam di Tanah Datar, menyebutkan emas mulai habis
didaerah tersebut .
Panjangnya lintasan sejarah yang dilalui oleh pertambangan dalam kehidupan
rakyat, dapat dilihat pada aturan-aturan lokal (adat) dibanyak tempat , mengatur
tentang pengelolaan sumberdaya alam, termasuk pertambangan. Di Minang kabau
(Sumbar) terdapat aturan tentang pengelolaan ulayat termasuk pertambangan yang
8
harus dipatuhi oleh orang-orang yang ingin memanfaatkan ulayat-sumberdaya
tambang. Aturan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam (SDA) tersebut berbunyi:
Karimbo Babungo Kayu, ka Sungai Babungo Pasia, Kaladang Babungo Ampiang,
Katanah babungo ameh .
Pepatah adat ini menggariskan bahwa setiap pemanfaatan SDA dalam
territorial Minang kabau harus memberikan kontribusi kepada masyarakat adat
setempat. Dalam konteks pertambangan, fee untuk masyarakat adat inilah yang
disebut dengan “Bunga Emas”.
Data-data diatas menunjukkan bahwa pertambangan telah menjadi satu
bentuk usaha yang sangat tua, dikelola secara mandiri dengan alat-alat
sederhana dan diselenggarakan oleh komunitas-komunitas masyarakat
mandiri dan telah berkembang jauh sebelum republik ini ada. Uraian-urain
singkat diatas juga menunjukkan terdapat masyarakat-masyarakat didaerah
yang karena mata pencaharian dan interaksi dengan pekerjaan yang dilakukan
secara terus menerus, melahirkan budaya pertambangan, meskipun pada saat
ini dinamai dengan penambangan tradisional, penambang rakyat atau bahkan
penambang tanpa izin (PETI).
2.2. Pengertian Pertambangan Rakyat
9
Istilah tambang rakyat secara resmi terdapat pada Pasal 2 huruf n, UU No. 11
Tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok pertambangan. Dalam pasal ini
disebutkan bahwa Pertambangan Rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan -
bahan galian dari semua golongan a, b dan c yang dilakukan oleh rakyat setempat
secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk
pencaharian sendiri. Golongan A ( bahan galian strategis, seperti minyak bumi,
bitumen cair, lilin bumi, gas alam, bitumen padat, aspal, antrasit, batu bara, uranium,
nikel, kobalt dan timah), Golongan B ( bahan galian vital, seperti besi, mangan,
tembaga, timbale, emas, perak, intan, zircon, Kristal kuarsa dan belerang ) dan
golongan C ( bahan galian yang tidak termasuk golongan strategis dan vital, seperti
marmer, batu kapur, dolomit, kalsit, granit, andesit, basal, tanah liat, batu permata,
dan batu setengah permata ) yang dilakukan oleh rakyat setempat secara kecil-kecilan
atau secara gotong royong dengan alat-alat sederhana untuk pencarian sendiri.
Kegiatan pertambangan rakyat dilakukan pada wilayah yang ditetapkan oleh
pemerintah sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat ( WPR ).
2.3. Realitas Lapangan Pertambangan Rakyat
Dari semua peraturan yang ada, dapat ditarik catatan penting yaitu : 1) Berbagai
pengaturan pertambangan rakyat dalam berbagai paraturan perundangan memberikan
pembatasan keleluasaan rakyat menambang, 2) Ketidak pastian usaha pertambangan
rakyat karena kalau ada pemegang Kontrak Karya atau kontrak pertambangan lain, maka
penambang rakyat harus menyingkir, 3) Sedangkan untuk diareal yang ada Kontrak
1010
Pertambangannya tetap dibuka kemungkinan pertambangan rakyat, dengan syarat adanya
ijin pemegang kontrak pertambangan dan 4) Penertiban dan pembinaan yang dilakukan
oleh Negara lebih merupakan tindakan yang reaktif dan tidak terencana dan cendrung
dimaksudkan untuk mematikan pertambangan rakyat.
Karena itu sebagai akibat dari berbagai kebijakan terhadap pertambangan rakyat
tersebut, banyak pertambangan-pertambangan dilakukan tanpa ijin (PETI). PETI
(Penambangan Emas Tanpa Izin) adalah “cap” yang diberikan negara pada pelaku
pertambangan yang tidak mendapatkan izin dari pemerintah sebagai pemegang hak
menguasasi negara atas bahan tambang. Tak peduli apakah penambang adalah rakyat
yang melakukan kegiatan
pertambangan berdasarkan adat istiadat, atau pun mereka yang hanya “berjudi” nasib dari
bahan tambang, tetap akan menyandang label PETI jika tak mendapat izin. Stigma PETI
berkonotasi liar, merusak, dan tak menguntungkan. Oleh karena itu perlu “ditertibkan”.
2.4. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pertambangan Rakyat
Menurut Tim Penanggulangan Pertambangan Tanpa Izin ( PETI ) Departemen
Energi dan Sumber Daya Mineral ( 2000 ), Faktor-faktor timbulnya kegiatan
pertambangan rakyat diantaranya adalah kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan
kesempatan usaha, serta keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai pemodal.
Salah satu usaha yang dilakukan oleh masyarakat untuk keluar dari kemiskinan
dan memperoleh pendapatan yang layak adalah dengan memanfaatkan sumberdaya
alam yang ada, diantaranya adalah bahan galian (Bahan tambang ) dan mudah dijual
1111
dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi, salah satunya adalah penambangan emas
dan bahan galian lainnya seperti batu bara dan timah.
Keterbatasan Lapangan Kerja
Sebagai konsekwensi dari laju pertumbuhan penduduk yang tinggi dalam dasa
warsa tahun 1960-an da 1970-an, terkonsentrasinya pemusatan pembangunan,
kuatnya arus investasi antar tempat dan ruang serta bervariasinya laju pertumbuhan
ekonomi telah menyebabkan arus mobilisasi orang dan jasa menjadi semakin deras.
Selanjutnya lapangan pekerjaan disuatu sisi tersedia seiring dengan semangkin
besarnya “ derived demand “ terhadap tenaga kerja menurut keahlian dan spesifikasi
bidang tertentu. Disisi lain, pencari kerja yang baru serta yang lama akumulasinya
semangkin membesar. Tidak disangka bahwa dalam interaksi tersebut telah pula
menghasilkan jenis lapangan kerja yang semangkin beragam dan kompleks, baik
formal maupun tidak formal ( Elfindri, 2004 ).
Adanya Pemodal
Keberadaan pihak ketiga ( penyandang dana ) yang memanfaatkan kemiskinan
masyarakat tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar merupakan salah satu
faktor yang menyebabkan mangkin maraknya kegiatan pertambangn oleh rakyat yang
sudah mengarah kepada kegiatan Pertambangan Tanpa Izin ( PETI ) sebagai mana
1212
disinyalir oleh tim penanggulangan masalah pertambangan tanpa izin Departemen
Energi dan Sumberdaya Mineral dalam publikasi yang diterbitkan dalam tahun 2000.
Pada umumnya masyarakat yang melakukan kegiatan penambangan rakyat
adalah berasal dari keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Para penambang ini
sering kali menjadi korban atau sapi perahan dari penyandang dana dengan
memberikan pinjaman modal terlebih dahulu dan dikembalikan dengan cara menjual
hasil tambangnya kepada pemodal tersebut dengan harga yang sangat murah
dibandingkan dengan harga dipasaran ( Tim Terpadu Penanggulangan Pertambangan
Tanpa Izin, 2000 ).
2.5 Dampak Pertambangan Rakyat
Sebagai mana dikemukakan pada bagian terdahulu, bahwa pertambangan
rakyat yang pada masa krisis ekonomi berkepanjangan dan munculnya era reformasi
yang terjadi di Indonesia, mengalami peningkatan luar biasa baik secara kuantitas
maupun kualitas dan sebagian besar telah bergeser kepada kategori pertambangan
tanpa izin ( PETI ). Menurut tim terpadu pusat pertambangan masalah pertambangan
tanpa izin Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral dalam publikasi mengenai
penanggulangan masalah Pertambangan Tanpa Izin tahun 2000, kegiatan
pertambangan yang masuk kepada kategori PETI pada umumnya tidak memenuhi
berbagai kriteria yang dapat diterima baik dari aspek ekonomi, konservasi,
pengelolaan lingkungan, keselamatan dan kesejahteraan kerja. Hal ini menimbulkan
danpak negatif yang banyak disoroti dari kegiatan pertambangan rakyat seperti :
1313
a. Kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, berupa terjadinya pengundulan hutan
menjadi padang pasir yang berjumlah ribuan hektar, dan pencemaran air sungai
terutama oleh unsure merkuri yang jauh diatas ambang batas
b. Kecelakaan tambang yang menyebabkan hilangnya nyawa pelaku tambang rakyat
c. Pemborosan sumberdaya mineral, berupa tertinggalnya cadangan berkadar rendah
yang tidak ekonomis lagi untuk ditambang baik karena pertambangan rakyat yang
hanya menambang cadangan berkadar tingi maupun akibat “ recovery “ pengolahan
yang rendah
d. Kawasan sosial antara lain terjadinya kerusuhan di wilayah-wilayah pertambangan
rakyat menyusul berkembangnya budaya premanisme, perjudian, prostitusi, dan
kemerosotan moral lainnya.
Disamping dampak negatif tersebut, kegiatan pertambangan rakyat juga
memberikan danpak positif, khususnya bagi masyarakat yang terlibat dalam kegiatan
pertambangan itu sendiri, yaitu sebagai lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan
utama bagi penambang dan keluarganya.
2.6 Konsep Pertambangan Skala Kecil ( PSK )
Salah satu bentuk usaha pertambangan yang dinyatakan legal di indonesia
adalah pertambangan yang dilakukan masyarakat melalui pertambangan skala kecil (
Small Scale Mining ), yang telah berjalan sejak tahun 1990, sebagai salah satu upaya
pemberdayaan usaha kecil/menengah dalam bentuk Badan Usaha Koperasi/KUD.
1414
Menurut Wiriosudarmo (1999), Pertambangan Skala Kecil ( PSK ) diartikan
sebagai operasi dan investasi pertambangan dimana investor maupun operatornya
adalah rakyat kecil atau masyarakat secara bersama-sama ( kolektif ). Jadi, suatu
operasi pertambangan yang secara fisik kecil, namun kalau dimiliki oleh pengusaha
besar, maka pertambangan tersebut tidak dapat digolongkan sebagai PSK.
Masalah utama yang banyak dihadapi dalam proses pengelolaan usaha
pertambangan skala kecil diantaranya adalah :
a. Masalah kewilayahan, seringkali wilayah yang dimohonkan untuk wilayah
pertambangan skala kecil lokasinya tumpang tindih dengan kegiatan lain, sehingga
proses perizinannya terkendala
b. Masalah permodalan, masyarakat yang terlibat dalam kegiatan penambangan skala
kecil atau koperasi/KUD kurang memiliki pengetahuan dan kemampuan pengakses
perbankan/lembaga keuangan lainnya dalam rangka memperoleh pinjaman modal
untuk usaha pertambangan skala kecil
c. Masalah manajemen, masyarakat yang terlibat dalam kegiatan penambangan skala
kecil atau koperasi/KUD kurang memiliki pengetahuan dan kemampuan mengenai
manajemen usaha/perkoperasian
d. Kekurangmampuan dalam penguasaan teknologi dan penggunaan peralatan semi
mekanis serta perawatannya, sehingga peralatan yang dimiliki cepat rusak
e. Ketidaktahuan mengenai peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
kegiatan pertambangan.
1515
Pengusahaan pertambangan skala kecil yang ada di Indonesia saat ini dapat
digolongkan atas beberapa klasifikasi. Klasifikasi tersebut didasarkan pada klasifikasi
yang digunakan dalam pedoman pengembangan pengusahaan penambangan skala
kecil yang dibuat oleh Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral ( 2004 ), yaitu :
a. Penambangan skala kecil pemula
b. Penambangan skala kecil utama
c. Penambangan skala kecil mantap
2.7 Konsep Ketenagakerjaan di Sektor UMKM
Beberapa pengertian yang berhubungan dengan ketenagakerjaan menurut
Subri ( 2003 ), yaitu :
Tenaga kerja ( manpower ) adalah penduduk dalam usia kerja ( berusia 15-64
tahun ) atau jumlah penduduk dalam suatu Negara yang dapat memproduksi barang
dan jasa jika ada permintaan terhadap tenaga mereka, dan jika mereka mau
berpartisipasi dalam aktivitas tersebut. Angkatan kerja ( labor force ) adalah bagian
dari tenaga kerja yang sesungguhnya terlibat, atau berusaha untuk terlibat dalam
kegiatan produktif, yaitu produksi barang dan jasa.
Lapangan pekerjaan utama seseorang adalah bidang utama pekerjaan tersebut.
Lapangan pekerjaan utama digolongkan atas : ( a ). Pertanian, perburuan, kehutanan,
perikanan, ( b ). Pertambangan dan galian, ( C ). Industri pengolahan, ( d ). Listrik gas
dan air, ( e ). Bangunan, ( f ). Perdagangan besar, enceran dan rumah makan, ( g ).
Angkutan, pergudangan dan komunikasi, ( I ). Dan jasa kemasyarakatan.
1616
Jenis pekerjaan utama seseorang adalah macam pekerjaan yang dilakukan
pekerjaan tersebut. Jenis pekerjaan utama biasanya digolongkan atas : ( a ). Tenaga
professional, teknisi dan sejenisnya, (b). Tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanana,
( c ). Tenaga tata usaha dan tenaga yang sejenis ( d ). Tenaga usaha penjualan, ( e ),
Tenaga usaha jasa, ( f ). Tenaga usaha pertanian, perburuan dan perikanan, ( g ). Dan
tenaga produksi, operator alat-alat angkut, dan pekerja kasar.
2.8 Konsep Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat
Menurut ilmu antropologi, masyarakat berasal dari kata arab, yaitu syaraka
yang berarti “Ikut serta berpartisipasi “( Koentjaraningrat, 2000 ). Jadi masyarakat
berarti sekumpulan manusia yang saling bergaul atau dalam istilah ilmiah saling
berintegrasi antara warga-warganya, adat istiadat, norma-norma, hukum dan aturan-
aturan khusus yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga Negara, kota dan desa
atau suatu komuditas,dalam suatu waktu dan suatu rasa identitas kuat yang mengikat
semua warganya ( Koentjaraningrat, 2000 ).
Masyarakat dalam kegiatan pertambangan emas adalah masyarakat yang
terlibat dalam aktifitas pertambangan rakyat ( skala kecil ), yaitu masyarakat
pedesaan yang merupakan suatu komuditas penduduk yang umumnya memiliki
keterkaitan erat dengan usaha pertambangan emas rakyat yang ada di daerah tersebut.
Konsep perubahan sosial umumnya diartikan dengan sangat biasa. Menurut
Moore ( 1967 ) dalam Lauer ( 1993 ), perubahan sosial didefinisikan sebagai
perubahan penting dari struktur sosial dalam hal ini dimaksudkan sebagai pola -pola
1717
prilaku dan interaksi sosial. Ekspresi tentang struktur adalah norma, nilai dan
fenomena kultural.
Faktor-faktor penyebab timbulnya perubahan sosial budaya menurut Murdock
( 1960 ) dalam Manan ( 1977 ), adalah :
a. Pertambahan dan pengurangan jumlah penduduk
b. Perubahan lingkungan geografis
c. Perpindahan kelingkungan baru
d. Kontak dengan orang yang berlainan kebudayaan
e. Malapetaka alam dan sosial seperti banjir, kegagalan panen, epidemic, perang dan
depresi ekonomi
f. Kelahiran atau kematian seseorang pemimpin
2.9 Hubungan Kegiatan Pertambangan Rakyat Dengan Perubahan Sosial
Ekonomi
Setiap aktivitas pembangunan akan berpengaruh terhadap sosial masyarakat,
termasuk kegiatan penambangan yang dilakukan oleh masyarakat, hal ini sesuai
dengan pendapat Spengler dan Harington dalam Lauer ( 1993 ), yang menekankan
bahwa pada kenyataan manusia mampu mengendalikan perubahan dan memberikan
tanggapan kepadanya, dan apabila manusia tidak berjuang mengendalikan jalannya
perkembangan, manusia akan menjadi budak sendiri.
Untuk menganalisis hubungan suatu pembangunan dengan perubahan sosial,
dimulai oleh pandangan Steward dalam Lauer ( 1993 ) dengan pendekatan evolusi,
1818
yaitu gagasan mengenai evolusi menurut garis lurus banyak ( multilinier ), yang
merupakan salah satu pendekatan utama untuk memahami perkembangan
kebudayaan yang berhubungan dengan pembangunan. Steward dalam Gama ( 1992 )
menyatakan bahwa pendekatan multilinier ini merupakan kritik teori garis lurus
menyatu ( Unilinier ), yang mencakup hal-hal umum, dan bahwa perubahan sosial itu
bergerak ketahapan masyarakat yang lebih tinggi, baik dan matang. Teori ini
merupakan suatu upaya untuk mempelajari bagai mana faktor-faktor dalam suatu
situasi tertentu akan membentuk perkembangan suatu jenis masyarakt, yang berarti
Steward memberikan penekanan bahwa adanya perubahan budaya yang khas untuk
masing-masing masyarakat.
Febriamansyah ( 2003 ) menyatakan bahwa dalam suatu upaya
pembangunan, kebutuhan suatu perubahan kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal
adalah suatu yang tidak dapat dihindari. Pada saat perkembangan masyarakat
berintegrasi dengan masyarakat lainnya terjadi suatu perubahan yang menuntut
peningkatan pemanfaatan potensi ekonomi lokal lebih dari yang biasanya, yang
dibutuhkan tidak hanya konsumsi lokal, tetapi juga untuk kebutuhan konsumsi
masyarakat lainnya.
3.0 Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh kantor wilayah Departemen Pertambangan
dan Energi Provinsi Sumatera Barat pada tahun 1988 dan Dinas Pertambangan dan
Energi Provinsi Sumatera Barat tahun 2010, diketahui bahwa kegiatan pertambangan
emas oleh masyarakat di Kabupaten Sijunjung telah dimulai jauh sebelum masa
1919
penjajahan Belanda secara turun temurun, umumnya dilakukan dengan mendulang
emas alluvial disungai-sungai. Selain pendulang emas alluvial di sungai, pada
beberapa lokasi juga dilakukan penambangan emas primer di daerah perbukitan
sekitar Batang malandu., Mudiak Simpang, Tanjung Bungo dan Padang Bubus.
Penambangan emas primer dilakukan dengan peralatan sederhana
diantaranya linggis, pahat, palu, sekop dan cangkul. Dibeberapa tempat penggalian
telah membentuk lubang bukaan menyerupai bentuk goa dengan kedalaman 3 -25
meter dan diameter lubang bukaan antara 1-1,5 meter mengikuti urat ( Vein ) batuan
kuarsa yang mengandung logam emas
Biji emas diolah dengan cara memecah batu yang mengandung emas hingga
berukuran split ( diameter kira-kira 2,5 cm ), lalu ditumbuk hingga menjadi halus
( seperti pasir hingga tepung ). Batu yang telah dihaluskan tersebut selanjutnya
dimasukkan kedalam gerondong ( sejenis rod mill ) dan dicampur dengan air raksa
dengan perbandingan berat antara batu dan air raksa berkisar antara 10 : 1 hingga 25 :
1. Gerondong untuk pengolahan biji emas ada yang digerakan oleh tenaga kincir air
dan ada juga yang menggunakan mesin disel yang berkekuatan 25 PK.
Implikasi positif penambangan emas terhadap ketahanan sosial budaya
masyarakat mandor, pada aspek ekonomi, secara fisik berupa berkembangnya
lapangan kerja baru bagi masyarakat. Sedangkan secara non fisik berupa
meningkatnya penghasilan masyarakat dan menguatnya daya beli masyarakat yang
berakibat pada mendorong lancarnya roda perekonomian masyarakat.
2020
Penelitian-penelitian tersebut sebagaimana diuraikan diatas masing-masing
membahas dampak pertambangan rakyat terhadap lingkungan fisik, sosial budaya
dan ekonomi secara parsial, sebelum terfokus pada aspek sosial ekonomi penambang
secara terpadu. Oleh karena itu penelitian ini difokuskan pada pembahasan mengenai
pengaruh sosial ekonomi secara terpadu guna mendapatkan informasi yang lebih
lengkap mengenai pengaruh positif kegiatan pertambangn emas rakyat.
2121
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Nagari Mundam Sakti, Kecamatan IV Nagari,
Kabupaten Sijunjung.
Penelitian dilakukan selama 3 (tiga) bulan yaitu pada bulan Agustus sampai
dengan bulan November 2011.
3.2 Metode Penelitian.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode Survey. Dengan demikian
hasil dari yang didapatkan berdasarkan penelitian ini tidak serta m erta dapat
digeneralisasikan pada semua nagari yang ada. Namun demikian, temuan penelitian
ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi nagari-nagari lainnya yang memiliki
karakteristik hampir sama dengan Nagari Mundam Sakti yang dijadikan sebagai
kasus penelitian ini.
a. Data, Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
Adapun sumber data sekunder yang digunakan meliputi: dokumen, laporan dan
publikasi dari kantor Wali Nagari, dokumen dan laporan dari SKPD yang relevan di
tingkat Kabupaten dan dokumen serta arsip pada pelaku tambang.
Sedangkan sumber data primer adalah Informan kunci (key informan) yang
terdiri dari : Wali Nagari, pemuka masyarakat di nagari, pelaku usaha dan tenaga
kerja yang berasal dari penduduk Nagai Mundam Sakti.
Teknik Pengumpulan data dilakukan sebagai berikut:
(1). Merekam dokumen dan arsip
2222
(2) Wawancara mendalam dengan menggunakan pertanyaan terbuka terhadap
informan
(3). Observasi lapangan
3.3 Analisa Data
Sesuai dengan tujuan penelitian dan jenis data yang digunakan maka analisa data
yang akan digunakan adalah analisas kualitatif.
Sedangkan analisis kulitatif akan dilkukan dengan menggunakan bentuk-bentuk
analisis dominan seperti yang dikemukakan Yin K.R. (1996) yaitu : Perjodohan pola,
Penjelasan tandingan dan analisis Deret Waktu
Logika perjodohan pola dilkukan dengan memperbandingkan kondisi empiris
dengan kondisi yang diprediksikan. Jika keduanya didapatkan persamaan maka akan
dikatakan bahwa terdapat validitas internal dari apa yang ingin disimpulkan.
Penjelasan tandingan akan dilakukan dengan melakukan komparasi dengan teori
dan temuan-temuan penelitian lain untuk kasus yang sama. Sedangkan analisis deret
waktu dilakukan untuk mendiskripsikan fenomena yang di analisis dalam rentetan
waktu tertentu guna mendapatkan pemahaman tentang perkembangan dan proses
yang terjadi dalam periode waktu tertentu.
2323
4.1. Kondisi Umum Nagari Mundam Sakti
Berdasarkan cerita rakyat yang dituturkan dari generasi ke generasi, nama
Mundam Sakti diambil dari nama bukit yang terdapat dalam wilayah ini yatu bukit
Mundam. Di kisahkan bahwa pada wilayah ini konon dahulu kala ada dua orang
kuat (penguasa) yaitu Datuak Bagindo Saik dan Datuak Sati. Dengan dua orang
penguasa ini, maka wilayah dan masyarakatnya terbelah menjadi dua yaitu :
Pertama dinamakan Tungku Nan Tigo yang dikuasai oleh Datuak Bagindo
Saik sebagai Rajo Adat.
Kedua dinamakan Tungku Nan Ampek yang dikuasai oleh Datuak Sati sebagai
Rajo Ibadat.
4.1.1. Penduduk
Berdasarkan data terakhir yang diperoleh dari kantor Wali Nagari, Jumlah
penduduk Nagari Mundam Sakti adalah 2.560 jiwa dengan jumlah kepala keluarga
sebanyak 610 KK, yang terdiri dari laki-laki 1.257 jiwa dan perempuan sebanyak
1303 jiwa.
4.1.2. Kondisi Sosial Budaya
2424
Sebagaimana halnya orang Minang Kabau, semua penduduk Nagari Mundam
Sakti adalah pemeluk agama Islam. Nuansa dan pola kehidupan keseharian mereka
diwarnai oleh ajaran - ajaran agama islam. Kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual
keagamaan dan aktifitas keagamaan seperti pengajian dan majlis taklim sudah
menjadi melekat dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan wirid-wirid pengajian
senantiasa dilaksanakan di Mesjid maupun Surau/Mushalla pada malam hari yang
dapat diikuti oleh semua kalangan. Selain itu kaum ibu juga melaksnakan pengajian
rutin pada pagi hari.
4.1.3. Mata Pencaharian
Berdasarkan data profil Nagari diketahui bahwa pada umumnya masyarakat
Mundam Sakti (91 %) mempunyai ketergantungan ekonomi terhadap sektor pertanian
secara umum. Yang bekerja diluar sektor pertanian hanya segelintir saja diantaranya
perdagangan (3,3 %), Tukang bangunan (3,2 %) PNS/Polri 1.8% dan sopir (0.2 %).
4.2. Kegiatan Penambangan Emas Rakyat dan Implikasi Sosial Ekonominya.
4.2.1. Fenomena Penambangan Rakyat Secara Umum.
Tonggak awal bagi penguasaan sumberdaya pertambangan setelah
kemerdekaan adalah pasal 33 UUD 1945. Pasal tersebut merupakan deklarasi
fundamental pengambilalihan penguasaan sumberdaya alam (termasuk tambang) dari
tangan rakyat pada bangunan kekuasaan yang lebih besar yaitu negara. Negara
menegaskan diri sebagai penguasa tunggal dari seluruh sumberdaya alam dengan
maksud digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Model pengusaan
2525
begini kemudian popular disebut dengan Hak Mengusai Negara (HMN). Inilah yang
menjadi idiologi penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia.
4.2.2. Fenomena Tambang Rakyat di Kabupaten Sijunjung
Di Kabupaten Sijunjung penambangan emas sebenarnya sudah dimulai sejak lama.
Sebelum menggunakan peralatan berat dan kapal bermesin dompeng, dulu warga hanya
menambang dengan menggaruk pasir demi pasir di dasar sungai menggunakan dulang kayu
sederhana. Tapi sejak munculnya dompeng dan alat berat lainnya, persolan mulai muncul.
Tanah yang tidak direklamasi, air sungai yang berubah warna, dan perebutan wilayah
tambang, menjadi sorotan bagi pemerintah daerah dan pihak kepolisian (Padang Expres, 24
Juli 2010).
Perebutan wilayah tambang diantara anggota masyarakat juga sering terjadi
dan menimbulkan konflik horizontal. Namun demikian, usaha penambangan emas
juga memberikan berpengaruh positif terhadap perekonomian masyarakat didaearh
ini. Sebagaimana yang dikatakan Bupati Sijunjung “Kami sadar, sejak adanya
pertambangan emas dengan menggunakan alat canggih berupa alat berat di
wilayah ini, berdampak besar pada perekonomian masyarakat. Dapat kita lihat
pesatnya pembangunan rumah permanen dan penambahan kendaraan roda empat
di daerah kita ini sangat berkembang pesat. Namun di balik itu, sawah, ladang,
serta sungai yang kita jaga selama ini menjadi hilang dan tercemar (dikutip dari
Padang Express, 11/12/2011).
2626
Selanjutnya Bupati Sijunjung menambahkan “Kerugian yang diakibatkan
penambangan liar akan dirasakan oleh masyarakat sendiri. Walaupun perekonomian
sebagian masyarakat menjadi lebih baik, namun itu bukanlah masyarakat kelas
menengah ke bawah. Melainkan yang memiliki modal untuk menambang dengan
menggunakan alat berat. Sementara, hutan lindung dan lingkungan hidup menjadi
korban karena tidak adanya reklamasi tanah kembali,” tutur nya.
Dalam dua tahun belakangan, tambang emas menjadi persoalan yang paling
fenomenal di Kabupaten Sijunjung. Mulai dari persoalan perizinan, penambang
meninggal, konflik antara warga dengan pemerintah daerah, hingga demo besar -
besaran warga ke DPRD. Tidak tanggung-tanggung, masalah ini melibatkan berbagai
pihak. Berangkat dari kondisi demikian, maka Pemerintah Daerah melakukan upaya
penertiban karena dinilai sudah berimplikasi negative yang besar terhadap berbagai
aspek baik sosial, ekonomi, budaya maupun terhadap lingkungan alam. Kebijakan
inilah yang menyebabkan sekitar 4.000 pekerja PETI (Penambangan Emas Tanpa
Izin) Nagari yang tergabung dalam Asosiasi Penambang Rakyat Anak Nagari
(PERAN) melakukan aksi demonstrasi di halaman kantor DPRD Sijunjung, pada
tanga 15/6 2011. Para buruh dari kecamatan Sijunjung, Kupitan, Koto VII dan Koto
IV itu menuntut agar pemda setempat membuka kembali pertambangan.
Upaya Pemerintah Daerah Kabupaten Sijunjung untuk melakukan pengaturan
penambangan rakyat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dan
2727
Peraturan Bupati Nomor 23 Tahun 2010. UU No 4 tahun 2009 tentang pertambangan
Mineral dan Batu bara (minerba). Pada produk hukum ini dijelaskan peraturan Bupati
No 23 tahun 2010 tentang Prosedur dan Mekanisme Pengurusan Wilayah Pertam-
bangan Rakyat (WPR) dan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Usaha pertambangan
pada wilayah pertambangan rakyat di kabupaten Sijunjung dapat dilakukan apabila
telah mengantongi IPR. “Setiap penambang, baik perorangan maupun kelompok
dapat melaksankan usaha pertambangan pada WPR setelah mendapatkan IPR.
4.3. Fenomena Penambangan Emas Rakyat di Kenagarian Mundam Sakti
Pencarian emas yang dilakukan masyarakat di Kenagarian Mundam Sakti
sudah menjadi kegiatan yang turun temurun. Dalam cerita lisan yang disampaikan
informan (GF, Ketua KAN Nagari Mundam Sakti,) ada kisah bahwa suatu ketika
dulu terjadi banjir di wilayah nagari ini. Setelah bajir surut, dijalan-jalan penduduk
dapat memungut butiran-butiran emas yang muncul bersamaan dengan pasir setelah
lapisan tanah terkikis oleh aliran air yang bajir. Cerita lisan ini setidaknya
memberikan gambaran bahwa masyarakat kenagarian Mundam Sakti mempunyai
persepsi bahwa tanah yang ada dinagari ini mempunyai kandungan emas yang
banyak.
Pencarian emas dimulai dengan cara mendulang emas dari pasir yang terdapat
dipinggiran sungai Palangki menggunakan alat sederhana terbuat dari kayu.
2828
Gambar 2. Dulang emas terbuat dari kayu, alat mengayak pasir untuk mencari emas di aliran sungai Palangki.
Pesatnya penambahan jumlah kelompok penambang emas di sungai palangki
menyebabkan lokasi penambangan sudah semakin menyempit. Berdasarkan
informasi yang didapatkan dari informan, pada wilayah kenagarian Mundam Sakti
didapatkan sebanyak 19 kelompok penambang dengan jumlah tenaga kerja yang
terlibat sebanyak 240 orang. Adapun diskripsi pelaku penambangan emas di aliran
batang Palangki dalam kenagarian Mundam Sakti seperti terlihat pada Lampiran L3.
Usaha penambangan emas pada aliran sungai Palangki tersebar pada 2 jorong
yang ada dalam kenagarian Mundam Sakti. Terdapat sebanyak 19 kelompok usaha
dengan menggunakan 30 unit mesin dompeng yang melibatkan sebanyak 240 orang
pekerja yang sehari-hari melakukan pengerukan pasir sungai. Pengerukan pasir
2929
dilakukan sampai ke lapisan” Napar” yang berkedalaman 8-10 m dari dasar sungai.
Untuk itu tenaga kerja/pekerja melakukan penyelaman yang memerlukan
keterampilan khusus.
4.4. Implikasi Sosial Ekonomi Dari Penambangan Emas Rakyat di NagariMundam Sakti.
kenagarian Mundam Sakti yang dipandang sebagai implikasi dari adanya usaha
penambangan emas yang dilakukan di dalam wilayah Kanagariannya. Untuk lebih
fokusnya pembahasan, maka implikasi sosial ekonomi dibatasi untuk 5 (lima) hal
yaitu : (1) Etos Kerja masyarakat sebagai dasar untuk peningkatan produktifitas; dan
(2) Partisipasi dan aktifitas Sosial dalam Kenagarian Mundam Sakti; (3) Penyerapan
tenaga kerja langsung maupun tidak langsung; (4) Perekonomian dan Perilaku
Ekonomi Ekonomi masyarakat.
4.4.1. Penambagan Emas Rakyat dan Implikasibya Terhadap Etos KerjaMasyarakat di Kenagarian Mundam Sakti
Dalam perjalanan waktu, nilai-nilai etis tertentu, yang tadinya tidak menonjol
atau biasa-biasa saja bisa menjadi karakter yang menonjol pada masyarakat atau
bangsa tertentu. Muncullah etos kerja Miyamoto Musashi, etos kerja Jerman, etos
kerja Barat, etos kerja Korea Selatan dan etos kerja bangsa-bangsa maju lainnya.
Bahkan prinsip yang sama bisa ditemukan pada pada etos kerja yang berbeda
sekalipun pengertian etos kerja relatif sama. Sebut saja misalnya berdisiplin, bekerja
keras, berhemat, dan menabung. Nilai-nilai ini ditemukan dalam etos kerja Korea
3030
Selatan dan etos kerja Jerman atau etos kerja Barat (Wilkipedia, diunduh Desember
2011).
4.4.2. Penambangan Emas Rakyat dan Implikasinya Tehadap Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan dan Aktifitas sosial di Kenagarian Mundam Sakti.
Pengertian tentang partisipasi masyarakat dikemukakan oleh para penulis dan
pakar dalam berbagai bentuk. Partisipasi bisa diartikan sebagai keterlibatan seseorang
secara sadar ke dalam interaksi sosial dalam situasi tertentu. Dengan pengertian itu,
seseorang bisa berpartisipasi bila ia menemukan dirinya dengan atau dalam
kelompok, melalui berbagai proses berbagi dengan orang lain dalam hal nilai, tradisi,
perasaan, kesetiaan, kepatuhan dan tanggungjawab bersama.
4.4.3. Penambangan Emas Rakyat dan Implikasinya Terhadap PenyerapanTenaga Kerja di Nagari Mundam Sakti
Secara umum di Indonesia terdapat sejumlah persoalan lapangan kerja yang
sifatnya mendasar. Adapun persoalan-persoalan tersebut diantaranya adalah ; Pertama
adalah ketidak- seimbangan secara umum antara penyediaan lapangan kerja dan
kebutuhan lapangan kerja. Jumlah yang dibutuhkan melebihi jumlah yang dapat
disediakan. Kedua adalah kekurangseimbangan struktur dalam lapangan kerja.
Ketiga adalah kekurangseim- bangan antara kebutuhan jumlah dan jenis tenaga
terdidik dengan penyediaan tenaga terdidik. Keempat adalah adanya kecenderungan
semakin meningkatnya peranan dan aspirasi angkat- an kerja wanita dalam seluruh
struktur angkatan kerja Indonesia. Kelima adalah adanya kekurang seimbangan antar
daerah dalam penyediaan dan pemanfaatan tenaga kerja
3131
Indonesia.
Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Nagari Mundam Sakti untuk usia
20 -50 tahun lebih kurang 1.500 orang, dan separohnya adalah laki-laki maka dapat
dikatakan bahwa seluruh penduduk laki-laki yang berusia antara 20 -50 tahun di
nagari Mundam Sakti terserap pada usaha penambangan emas rakyat. Dengan
demikian secara sederhana dapat dikemukakan bahwa kegiatan penambangan emas
berimplikasi positif terhadap penyerapan tenaga keraja khususnya di kenagarian
Mundam Sakti.
Fenomena yang menarik dikemukakan oleh informan berkenaan dengan
tenaga kerja ini. Menurutnya, berbeda dari daerah lain, di kanagarian Mundam Sakti
penambangan pada suatu lokasi biasanya dilakukan oleh keluarga dan kerabat
dekatnya. Sangat jarang tenaga kerja yang berasal dari luar nagari Mundam Sakti
dipekerjakan pada usaha penambangan. Kalaupun ada biasanya tidak terlibat
langsung dalam lobang penambangan atau hanya pada penambangan yang dilakukan
dialiran sungai Palangki karena harus dilakukan penyelaman kedalam air.
Untuk melakukan pekerjaan pada penambangan emas rakyat, kekuatan dan
ketahan fisik serta keberanian menghadapi resiko sangat dibutuhkan. Oleh sebab itu,
usaha penambangan rakyat secara langsung hanya menyerap tenaga kerja laki-laki
dan berusia antara 20 - 50 tahun. Sangat jarang ditemukan tenaga kerja yang berusia
lanjut terlibat dalam pekerjaan penambangan emas yang dilakukan di Nagari
3232
Mundam Sakti. Sebaliknya pencarian emas dengan cara mendulang pada umumnya
dilakukan oleh perempuan dan angkatan kerja berusia muda.
Namun demikian, secara tidak langsung keberadaan usaha tambang rakyat
berimplikasi terhadap terbukanya lapang usaha yang mendukung aktifitas pekerja
tambang.
4.4.4. Panambangan Emas Rakyat dan Implikasinya Terhadap Perekonomian dan Perilaku Ekonomi Masyarakat di Kenagarian Mundam Sakti.
Secara umum, pemerintah Kabupaten Sijunjung mengklaim bahwa penduduk
miskin pada daerah sudah menurun dan kesejahteraan meningkat. Hal ini dapat
dibaca dari pernyataan pemerintah pada Website Kabupaten Sijunjung yang
selengkapnya sebagai berikut :
Akhir-akhir ini kesejahteaan masyarakat sudah semakin meningkat. Peningkatan kesejahteraan dapat dari banyaknya rumah penduduk yang kondisinya lebih baik dari sebelumnya. Disamping itu, di era sekarang, hampir tidak ada rumah yang penghuninya tidak memiliki sepeda motor.
Terlepas dari dikredit atau dibeli kesnya sepeda motor itu, yang pasti memiliki sepeda motor sudah merupakan bukti bahwa tingkat ekonomi dan kesejahtraan rakyat sudah lebih baik dari sebelumnya.
Namun bukan berarti penduduk miskin tidak ada lagi di kabupaten ini. Masih banyak, sehingga masih diperlukan upaya dan kerja keras Pemkab dan DPRD untuk mengatasinya.
3333
Berdasarkan data dari Kantor Kecamatan IV Nagari, dalam 5 (lima) tahun
terakhir perkembangan jumlah keluarga miskin pada nagari ini seperti terlihat pada
grafik berikut ini.
140
120
100
80
60
40
20
0
Thn2005
Thn2006
Thn2007
Thn2008
Thn2009
Thn2010
Keluarga Miskin
Gambar 6. Grafik perkembangan KK miskin di Nagari Mundam Sakti
Grafik diatas memperlihatkan bahwa jumlah penduduk miskin
memperlihatkan trend yang menurun dalam periode 2005 - 2010. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, penurunan jumlah kk miskin di nagari Mundam Sakti
dapat diduga salah satunya sebagai implikasi dari banyaknya penduduk yang
melakukan dan bekerja pada usaha penambangan emas, secara langsung
maupun multiflier effect dari ekonomi penambangan emas. Selain itu, juga
diduga berimplikasi terhadap perilaku ekonominya.
4.5. Konversi Lahan Pertanian dan Antisipasi Setelah Lahan Tidak Produktif.
Hasil penelitian di kenagarian Mundam Sakti memperlihatkan bahwa sejauh ini
sudah dilakukan penambangan emas pada lahan sawah seluas 18 dan pada lahan
kebun seluas 17 Ha. Bila dibandingkan dengan lahan sawah yang ada pada
kenagarian ini yaitu seluas 483 Ha (Tabel 4.3.), maka berarti tambang emas rakyat
sudah mengalihkan fungsi sawah ± 4 % dari luas sawah yang ada. Selain alih fungsi
untuk lokasi penambangan, perkembangan penambangan emas juga berimplikasi
terhadap peningkatan jumlah pembangunan rumah yang diataranya dilakukan pada
lahan sawah. Disisi lain, pada kenagarian ini dalam periode 20 tahun terakhir tidak
pernah dilakukan pencetakan sawah baru untuk menambah luas areal persawahan
rakyat.
Selain sawah, alih fungsi lahan perkebunan juga terjadi pada kenagarian ini.
Pada umumnya lokasi penambangan dilakukan pada lahan perkebunan khusunya
kebun karet yang sebelumnya menjadi tumpuan ekonomi keluarga. Banyak
penambangan tidak melakukan reklamasi lahan kembali setelah panambangan
dilakukan. Pada usaha tambang yang tidak menghasilkan emas dalam jumlah yang
memadai, maka lahan pada umumnya ditinggalkan begitu saja sehingga tidak dapat
dimanfaatkan lagi untuk usaha pertanian.
Pada lahan yang direklamasi, untuk mengembalikan lagi fungsinya sebagai
sawah merupakan sesuatu yang sangat sulit. Dengan demikian keberadaan usaha
penambangan emas pada lahan sawah jelas akan berimplikasi negative terhadap
produksi padi. Oleh sebab itu, dalam jangka panjang usaha penambangan emas rakyat
jika tetap dilakukan tanpa pembatasan yang jelas maka akan dapat mengancam
swasembada pangan pada nagari ini.
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, Robert, 1993. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang, LP3ES Jakarta.
Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Sumatera Barat, 2004. Potensi BahanGalian Sumatera Barat, Padang.
Direktorat Pengusahaan Mineral dan Batubara, Direktoral Jenderal Geologi dan Sumberdaya Mineral, 2004. Pedoman Pengembangan Pengusahaan Pertambanagan Skala Kecil, Jakarta.
Elfindri,. Bachtiar, Nasri, . 2004. Ekonomi Ketenaga Kerjaan, Andalas UniversityPress, Padang.
Exploitasi Sumberdaya Mineral di Indonesia diatur dengan Undang-undang nomor 4 tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara.
Fadillah T. 2010. Tambang Rakyat dan Dilema Kemanusiaan. Teknik Tambang ITB.Bandung
Haryono, 1999. Analisis Bandingan Perolehan Penambangan Emas dan Budidaya Tanaman (Kopi dan Cengkeh) di Desa Tobongan, Bolaang Mongondow Sulawesi Utara.
Herianto, 2008. Studi Identifikasi Dampak Lingkungan Pertambangan Emas Skala Kecil di Kabupaten Garut (Studi kasus di Desa Mulyajaya), Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, Bandung.
Koentjaradiningrat, 2000,. Pembangunan Masyarakat Tinjauan Aspek : Sosiologi, Ekonomi, dan Perencanaan, Liberty, Yogyakarta.
Kustiwan I .1997., Fenomena Konversi atau Alih Fungsi Lahan Pertanian kePenggunaan Non Pertanian.
Lauer, R. H. 1993, Perspektif tentang Perubahan Sosial, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Mahdi, Marsuki ., 1998, Laporan monitoring penambangan / pendulangan emas rakyat di Kabupaten Pasaman, Kanwil Dep. Pertambanagan dan Energi Provinsi Sumatera Barat, Padang.
M.Rasyid Manggis Dt. Radjo Panghulu. 1971. Minangkabau. Sejarah Ringkas danAdatnja Pertambangan Rakyat. Sridharma, Padang.
Manan,Imran,1997, Perubahan Sosial, Budaya dan Pendidikan, Dalam ForumPendidikan, Tahun II No. 2, Padang.
Mantra, I. B. 1985, Pengantar Kependudukan Demografi, Gajah Mada UniversityPress, Yogyakarta.
Ngadiman, 2000. Dampak Sosial Penambangan Emas di Kecamatan Mandor Kabupaten Landak Provinsi Kalimantan Barat, Program Studi Ketahanan Nasional, Program Pascasarjana University Gajah mada, Yogyakarta.
Pemerintah Nagari Mundam Sakti 2010, Buku Data Dasar Profil Nagari MundamSakti Tahun 2010, Kantor Nagari Mundam Sakti.
Peraturan Bupati No 19 tahun 2007, tentang Mekanisme Pengurusan WilayahPertambangan Rakyat (WPR) dan Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR)
Pudjiastuti N.T. 2009. Strategi Pengembangan Wilayah Pertambangan Rakyat diKabupaten Bombana. Lapoan Penelitian. Dept.ESDM. Jakarta.
Ramelan R (1994). Konsepsi Dan Strategi Peningkatan Produktivitas Nasional . paper disampaikan pada “Seminar Gerakan Produktivitas Nasional" pada tanggal13 Juli 1994 di Departemen Tenaga Kerja RI, Jakarta
Soemitro R, Sutyastie, dan Tjiptoherjanto,. 2002. Kemiskinan dan Ketidakmerataan di Indonesia (Suatu Analisis Awal), Rineka Cipta, Jakarta.
Subri, M., 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudradjat, A., 1999. Teknologi & Manajemen Sumber Daya Mineral, Penerbit ITB,Bandung.
Sugihen dan Bahrein, T. 1997, Sosiologi Pedesaan (suatu pengantar), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Undang-undang No 11 tahun 1967, tentang Ketentuan-ketentuan PokokPertambangan
Utomo, M., Eddy Rifai dan Abdulmutalib Thahir. 1992. Pembangunan dan AlihFungsi Lahan. Lampung: Universitas Lampung.
Tim Terpadu Pusat Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin (PETI), 2000, Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin (PETI), Inplementasi Inpres No. 3 Tahun 2000, Jakarta.
Tim Terpadu Pusat Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin (PETI), 2001.Laporan Penanggulangan Masalah Pertambangan Tanpa Izin (PETI),Inplementasi Inpres No. 3 Tahun 2000, Jakarta.
Tim Inventarisasi Pertambangan Tanpa Izin (PETI), Dinas Pertambangan dan EnergiProvinsi Sumatera Barat, 2001.
Wiriosudarmo, R. 1999. Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Melalui Usaha Pertambangan Skala Kecil, Yayasan Ecomine NL, Makalah pada Seminar Kebijakan dan Manajemen Pertambangan Berskala Kecil, Jakarta.
Wooda,M. 1975. Culture Change, WM.C. Brown Company Publishers, Lowa.Yin. K.R. 1996. Analisas Kualitatif dan Kuantitatif, yaitu : Perjodohan pola,
Penjelasan tandingan dan analisis Deret Waktu.
top related