kedaulatan negara (1)
Post on 14-Aug-2015
208 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HUKUM INTERNASIONAL
KEDAULATAN NEGARA
DISUSUN OLEH:
Army Anggara 110110080085
Liely Noor Qadarwati 110110080092
Lasma Natalia 110110080096
Mayang Kemulandari Yamin 110110080122
Vicky Veronika Aruan 110110080128
Gita Santika Amalia 110110080131
Tri Nurul Widia Wardhani 110110080134
Saskia Wahyu Riani 110110080135
Mulyana 110110080138
DOSEN PENGAJAR:
Prof. Dr. Eddy Damian, S. H.
Idris, S. H., M. A.
Diajeng Wulan Christianti, S. H., LL. M
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2010
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara merupakan pribadi terpenting dalam hukum internasional.
Hukum internasional pada dasarnya merupakan produk dari hubungan
antara negara-negara baik melalui praktek yang membentuk hukum
internasional atau melalui kesepakatan (perjanjian) internasional negara-
negara itu sendiri.1 Status dan peran suatu negara dalam dunia
internasional merupakan hal yang utama. Dalam menjalin hubungan
internasional dengan beberapa negara yang ada di dunia status negara
sangat diperlukan apakah negara tersebut merupakan negara yang
berdaulat, negara boneka, atau masih menjadi negara bagian dari suatu
negara lain. Status suatu negara yang berdaulat memberikan kebebasan
dalam menentukan kehidupan rumah tangga negara tersebut tanpa
campur tangan dari negara lain demi tercapainya kehidupan rakyat yang
damai dan sejahtera.
Sebagaimana yang telah diketahui bahwa syarat-syarat untuk
menjadi suatu negara adalah adanya wilayah, rakyat, pemerintahan, dan
pengakuan dari negara lain. Keempat syarat tersebut harus dipenuhi
untuk berdirinya suatu negara. Jika salah satu syarat saja tidak terpenuhi,
maka negara tersebut tidak dapat dikatakan suatu negara yang berdaulat.
Sebagai contoh: Taiwan yang sudah memiliki wilayah, rakyat, dan
pemerintahan meskipun pemerintahan yang ada adalah pemerintahan
darurat, namun pengakuan negara lain terhadap Taiwan masih sedikit
yaitu hanya 25 negara kecil yang tidak memiliki pengaruh yang besar
dalam dunia internasional. Adanya keinginan rakyat dari negara tersebut
untuk menjadikan negaranya sebagai negara yang berdaulat bukan
menjadi jaminan berdirinya suatu negara dalam dunia internasional. Harus
ada pengakuan dari negara lain dan organisasi yang memegang peran
penting dalam hubungan internasional seperti PBB karena pengakuan ini
1 Rebecca M.M Wallace, Bambang Arumanadi, Hukum Internaisonal, IKIP Semarang Press, Semarang, 1993, hlm 63.
akan mempengaruhi dapat tidaknya negara tersebut dalam menjalin
hubungan internasional dengan bekerjasama dengan negara lain untuk
meningkatkan kehidupan dalam negeri negara tersebut. Pengaruh negara
maju terhadap negara berkembang dalam menentukan kebijakan dalam
negeri dan luar negeri merupakan bentuk intervensi yang tersirat terhadap
negara tersebut.
Negara merupakan perwujudan kehidupan bersama masyarakat
yang memiliki persamaan nasib dan sejarah dalam suatu daerah tertentu.
Negara merupakan suatu organisasi yang terstruktur untuk mencapai
tujuan kehidupan negara tersebut. Berdirinya suatu negara untuk menjadi
negara yang berdaulat dapat melalui negara bekas kolonialisasi menjadi
negara yang merdeka, perpecahan dari suatu negara, penggabungan
beberapa negara menjadi suatu negara baru atau penggunaan kekerasan
untuk menduduki suatu negara.
Kedaulatan negara atas wilayah darat memiliki peran yang sangat
penting dalam kedaulatan suatu negara itu sendiri diantara kedaulatan
atas wilayah laut dan udara. Hal ini dikarenakan wilayah darat sebagai
tempat tinggal masyarakat di negara tersebut sehingga perlu adanya
pendayagunaan secara maksimal potensi sumber daya alam untuk
meningkatkan kehidupan dan kesejahteraan masyarakat di negara itu.
Selain itu juga, wilayah darat sangat berpengaruh dalam menjaga
pertahanan dan keamanan suatu negara.
Kedaulatan negara merupakan pencerminan terhadap jaminan hak
asasi manusia dalam menentukan nasib suatu bangsa karena negara
diberikan kebebasan dalam menentukan kebijakan untuk mensejahterkan
kehidupan rakyat negara itu sendiri.
1.2 Identifikasi Masalah
Pembuatan makalah ini tentu mesti didasari pada identifikasi
secara khusus sehingga tidak mengalami penyimpangan dalam
pembahasan. Adapun identifikasi masalah pada makalah ini adalah :
a. Apakah yang menjadi batasan atau definisi dari negara?
b. Apa sajakah yang menjadi syarat-syarat menjadi negara?
c. Apakah yang dimaksud dengan kedaulatan dan hak berdaulat
serta bagaimana pelaksanaannya?
d. Apakah maksud dan bagaimana suatu negara dapat memperoleh
kedaulatan atas wilayah darat ?
e. Bagaimana keseluruhan teori – teori yang ada dalam fakta dunia
internasional sekarang ini?
1.3 Tujuan Penulisan
Sesuai dengan identifikasi masalah yang dikemukakan
sebelumnya, selain sebagai memenuhi tugas pada mata kuliah hukum
internasional tujuan dari makalah ini adalah:
a. Mengatahui batasan atau definisi dari negara.
b. Mengatahui syarat-syarat terbentuknya negara.
c. Mengetahui maksud dari kedaulatan dan hak berdautan serta
pelaksanaannya.
d. Mengetahui maksud dan cara negara untuk memperoleh
kedaulatan atas wilayah negara.
e. Mengertahui dan memahami penempatan teori – teori yang telah
dikemukakan dalam fakta dunia internasional.
1.4 Kegunaan Penulisan
Berdasarkan latar belakang masalah, identifikasi dan rumusan
masalah serta maksud dan tujuan penulisan, maka manfaat yang akan
diperoleh dari penulisan ini adalah: kegunaan secara akademis,
diharapkan hasil penulisan ini dapat menambah wawasan dan sebagai
referensi tambahan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
hukum internasional khususnya mengenai kedaulatan suatu negara.
1.5 Metode Penulisan
Metode penulisan yang penulis gunakan dalam makalah ini adalah
tinjauan kepustakaan melalui web research dan analisis data dan teori
dari buku.
BAB II
LANDASAN TEORI
1. Syarat-syarat Terbentuknya Negara
Negara adalah subjek hukum internasional dan hal ini sudah ada
sejak munculnya hukum internasional. Banyak para ahli yang telah
memberikan berbagai definisi yang mengggambarkan negara.
Pasal 1 Konvensi Montevideo (Pan American) “Convention on
Rights and Duties of States of 1933” mengenai hak-hak dan kewajiban-
kewajiban negara mengemukakan karateristik-karateristik suatu negara.
Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
“The states as a person of international law should prossess the
following qualifications:
(a) a permanent population;
(b) a defined territory;
(c) a government;
(d) a capacity to enter into relations with other states.”
Berikut adalah uraian tentang masing-masing unsur tersebut.
1. Permanent population
Harus ada rakyat yang permanen. Yang dimaksud dengan rakyat
yaitu sekumpulan manusia yang hidup bersama di suatu tempat tertentu
sehingga merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diatur oleh suatu
tertib hukum nasional. Sekumpulan manusia ini mungkin saja berasal dari
keturunan yang berlainan, menganut kepercayaan yang berbeda dan
memiliki (kelompok) kepentingan yang saling bertentangan. Syarat
penting untuk unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus
terorganisir dengan baik (organised population). Sebab sulit dibayangkan,
suatu negara dengan pemerintahan yang terorganisir dengan baik ‘hidup’
berdampingan dengan masyarakat disorganised.2
Negara yang terdiri dari individu-individu tersebut, tidak diisyaratkan
jumlah minimal penduduk. Naura, dengan jumlah penduduk 10.000 telah
2 Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional: Edisi Revisi, RajaGrafindo Perkasa, Jakarta, 2002, hlm 3.
dianggap sebagai satu negara, demikian pula Liechtenstein dengan
jumlah penduduk 20.000.3
2. Defined Territory4
Harus ada wilayah atau daerah yang tetap, dimana rakyat tersebut
menetap. Rakyat yang hidup berkeliaran dari suatu daerah ke daerah lain
(a wandering people) bukan termasuk ke dalam unsur ini. Tetapi tidak
penting apakah daerah yang didiami secara tetap itu besar atau kecil.
Dapat saja wilayah tersebut hanya terdiri dari satu kota saja, sebagaimana
halnya dengan suatu negara kota. Tidak dipersoalkan pula apakah
seluruh wilayah tersebut dihuni atau tidak. Unsur ini tidak ada batas
tertentu. Sebagai contoh, Nauru mempunyai penduduk 10.000 orang
dengan luas negeri hanya 8 mil persegi. Vatikan lebih kecil lagi, baik
penduduk maupun luas wilayah. Negeri-negeri kecil ini disebut juga
dengan negara ‘mini’, ‘mikro’, atau sarjana lain menyebut juga sebagai
negara ‘liliput’, ‘dwarf’, atau ‘diminutive state’. Untuk menjadi negara
tidaklah perlu memiliki wilayah yang tetap atau memiliki batas-batas
negara yang tidak sedang dalam sengketa. Sebagai contoh, sejak
merdeka hingga kini, RI masih memiliki batas-batas wilayah laut yang
belum jelas, bahkan menjadi sengketa di pengadilan internasional.
Dalam putusan pengadilan. lahir suatu prinsip bahwa suatu negara
dapat diakui sebagi negara asalkan ia mempunyai wilayah betapapun
besar kecilnya sepanjang wilayah tersebut cukup konsisten (sufficient
consistency). Selain itu, dalam keadaan tertentu suatu negara pun tetap
diakui sebagai subjek hukum internasional, meskipun negara tersebut
tidak memiliki wilayah yang tetap atau ‘tidak’ mempunyai wilayah tertentu.
Contoh adalah PLO. Setelah wilayah negeri ini (Palestina) diserobot
Israel, praktis negeri ini ‘tidak memiliki wilayah sama sekali’. Namun
demikian negara-negara masih menganggapnya sebagai negara,
menerima kantor perwakilan PLO di negaranya atau ikut serta dalam
konperensi-konperensi atau perjanjian internasional.
3 Rebecca M.M Wallace, Op cit, hlm 64.4 Huala Adolf, Op cit, hlml 3-5.
Demikian pula perubahan-perubahan yang terjadi, baik menambah
atau mengurangi luasnya wilyah negara tertentu, tidak dengan sendirinya
mengubah identitas negara tersebut. Wilayah tersebut juga tidak perlu
merupakan kesatuan geografis; suatu negara mungkin terdiri dari
beberapa wilayah territorial, yang kurang berhubungan atau saling
berjauhan satu sama lain.5
3. A government
Harus ada pemerintah, yaitu seorang atau beberapa orang yang
mewakili rakyat dan memerintah menurut hukum negaranya. Suatu
masyarakat yang anarchis bukan termasuk negara. Bengt Broms
menyebut kriteria ini sebagai ‘organized government’ (pemerintahan yang
terorganisir). Bentuk pemerintahan yang berlaku atau diterapkan
sepenuhnya bergantung kepada rakyat. Apakah itu berupa republic,
kerajaan, atau bentuk lainnya yang rakyat kehendaki. Lauterpacht
menyatakan unsur pemerintah merupakan syarata utama untuk adanya
suatu negara. Jika pemerintah tersebut ternyata kemudian secara hukum
atau secara fakta menjadi negara boneka atau negara satelit dari suatu
negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat digolongkan sebagai
suatu negara. Sebagai contoh kasus adalah ‘Manchukuo’.6
4. A capacity to enter into relations with other states
Kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain
merupakan hal yang sangat penting. Suatu negara harus memiliki
kemampuan untuk menyelenggarakan hubungan-hubungan ekstern
dengan negara-negara lain.
Dalam realisasinya tergantung pada tanggapan dari pelaku-pelaku
lain di atas panggung internasional. Pemenuhan ketiga kriteria pertama
pada dasarnya faktual, tetapi pemenuhan kriteria ini tergantung pada
pengakuan. Dengan kata lain, suatu satuan mungkin mempunyai
kemampuan untuk menjalin hubungan luar negeri, tetapi jika negara-
5J.G Starke QC, Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1997, hlm 128.
6 Huala Adolf, Op cit, hlm 5.
negara lain menolak masuk dalam hubungan dengannya, satuan yang
dimaksud itu ditolak untuk menunjukkan kapasitas dalam praktek.7
Dari ke empat unsur-unsur diatas, unsur yang ke empat menjadi
hal yang penting. Mempunyai kapasitas untuk menjalin hubungan berarti
akan dipengaruhi oleh pengakuan yang diberikan oleh negara-negara lain
dalam dunia internasional. Negara-negara sebagai subjek hukum
internasional bersifat dinamis, ada negara yang dikuasai negara lain, atau
negara baru yang lahir. Perubahan-perubahan ini, anggota masyarakat
dihadapkan dalam dua pilihan dalam menanggapinya. Pilihan tersebut
adalah menyetujui atau menolaknya. Dalam hal ini lembaga pengakuan
memainkan peranannya, dan peranan tersebut sangat penting. Tanpa
mendapatkan pengakuan ini, negara tersebut sedikit banyak akan
mengalami kesulitan dalam mengadakan hubungan dengan negara
lainnya. Brierly menyatakan bahwa pemberian pengakuan ini merupakan
tindakan politik daripada tindakan hukum. Lauterpacht menegaskan
bahwa pengakuan bukanlah masalah hukum. Ia menyatakan bahwa
praktek negara-negara tidak beragam dan tidak menunjukkan adanya
aturan-aturan hukum dalam masalah pengakuan.
Walaupun lembaga pengakuan ini bersifat politik, konsekuensi
yang ditimbulkan dapat berupa konsekuensi politis tertentu dan
konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan negara yang
mengakui. Konsekuensi politis yang dimaksud misalnya saja kedua
negara dapat dengan leluasa dapat mengadakan hubungan diplomatik.
Sedangkan konsekuensi yuridis dapat berupa: Pertama, pengakuan
tersebut merupakan pembuktian atau keadaan yang sebenarnya dari
lahirnya suatu negara atau pemerintahan baru. Kedua, pengakuan
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan
tingkat hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan diakui.
Ketiga, pengakuan memeprkukuh status hukum negara yang diakui di
hadapan pengadilan negara yang mengakui. Sehingga fungsi pengakuan
7 Rebecca M.M Wallace, Op cit, hlml 66-67.
ini untuk memberikan tempat yang sepantasnya kepada suatu negara
atau pemerintahan baru sebagai anggota masyarakat internasional.
Teori Pengakuan
Dalam pasal pengakuan terhadap negara baru terdapat dua teori
pengakuan8
a. Teori Konstitutif
Teori ini berpendapat bahwa suatu negara menjadi subjek hukum
internasional hanya melalui pengakuan, jadi hanya dengan pengakuanlah
suatu negara baru itu dapat diterima sebagai anggota masyarakat
internasional. Dan karenanya memperoleh status sebagai subjek hukum
internasional. Penganut teori ini, yaitu Oppenheim, Lauterpacht, Chen,
Gugenheim, Anziloti, dan Hans Kelsen. Ada dua alasan yang
melatarbelakangi teori ini. Pertama, mereka berpendapat bahwa hukum
internasional lahir karena kesepakatan negara-negara. Kedua, yaitu
bahwa suatu negara atau pemerintah yang tidak diakui tidak mempunyai
status hukum sepanjang negara atau pemerintah itu berhubungan dengan
negara-negara yang tidak mengakui.
b. Teori Deklaratif
Teori ini lahir sebagai reaksi dari teori konstitutif. Menurut teori ini
pengakuan hanyalah merupakan penerimaan suatu negara baru oleh
negara-negara lainnya. Suatu negara mendapatkan semuanya dalam
hukum internasional bukan berdasarkan kesepakatan dari negara-negara
yang telah ada terlebih dahulu, namun berdasarkan situasi-situasi nyata
tertentu. Kemampuan tersebut secara hukum ditentukan oleh usaha-
usahanya serta keadaan-keadaannya yang nyata dan tidak perlu
menunggu negara lain mengakuinya. Negara tersebut mempunyai
kompetensi menurut hukum internasionalnya.
Suatu negara atau pemerintah tidak akan mendapatkan status
hukum di negara lain kecuali negara tersebut diakui oleh negara yang
8 Huala Adolf, Op cit, hlm 75-78.
bersangkutan (teori konstitutif). Namun hal ini tidak berarti bahwa negara
atau pemerintah itu tidak ada sama sekali (teori deklaratif). Jadi suatu
negara tetap ada meskipun tidak diakui namun negara tersebut hanya
dapat mengadakan hubungan dengan negara yang mengakuinya.
Bentuk-Bentuk Pengakuan
1. Pengakuan Negara Baru
Pada dasarnya pengakuan terhadap negara baru tidaklah sulit.
Kebanyakan negara diakui setelah negara tersebut merdeka dan
memenuhi empat unsur negara menurut hukum internasional. Akan
menimbulkan masalah jika suatu negara lahir diperoleh dengan cara-cara
damai.
2. Pengakuan Pemerintah Baru
Dalam praktek pengakuan terhadap negara dan pemerintah
biasanya berjalan bersama-sama. Namun karena adapula pengakuan
terpisah maka pemberian atau penolakan pemberian pengakuan terhadap
pemerintah baru tidak ada hubungannya dengan pengakuan negara.
Sehingga jika suatu negara menolak pengakuan suatu pemerintahan baru
yang berkuasa di suatu negara tidak mengakibatkan negara tersebut
kehilangan statusnya sebagai subjek hukum internasional. Dalam
memberikan pengakuan biasanya ada beberapa kriteria yang menjadi
pertimbangan negara untuk memutuskan mengakui atau tidak mengakui
pemerintahan baru tersebut. Kriteria tersebut adalah pemerintah yang
permanen, pemerintahan yang ditaati oleh rakyatnya, dan penguasaan
wilayah secara efektif.
Macam-macam Pengakuan Negara
1. Pengakuan Kolektif
Ada dua bentuk pengakuan yaitu pengakuan dalam bentuk
deklarasi bersama oleh sekelompok negara dan pengakuan yang
diberikan melalui penerimaan suatu negara baru untuk menjadi peserta
atau pihak ke dalam suatu perjanjian multilateral.
2. Pengakuan Terpisah
Pengakuan itu diberikan kepada suatu negara baru namun tidak
kepada pemerintahannya atau sebaliknya pengakuan diberikan kepada
suatu pemerintahan baru yang berkuasa namun tidak kepada negaranya.
3. Pengakuan Mutlak
Yaitu suatu pengakuan yang telah diberikan kepada suatu negara
baru tidak dapat ditarik kembali. Institut hukum internasional dalam suatu
resolusi yang disahakan pada tahun 1936 menyatakan pengakuan de jure
suatu negara tidak dapat ditarik kembali.
4. Pengakuan Bersyarat
Yaitu pengakuan yang diberikan kepada suatu negara baru yang
disertai dengan syarat-syarat tertentu untuk dilaksanakan oleh negara
baru tersebut sebagai imbangan pengakuan. Ada dua macam, yaitu
pengakuan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum
pengakuan diberikan dan pengakuan dengan syarat-syarat yang harus
dipenuhi detelah pengakuan diberikan
Macam-Macam Pengakuan Pemerintahan Baru
1. Pengakuan de facto
Yaitu pengakuan yang diberikan oleh suatu negara semata-mata
didasarkan bahwa pemerintah tersebut secara nyata berkuasa
diwilayahnya.
2. Pengakuan de jure
Yaitu pengakuan yang diberikan kepada suatu pemerintah baru
apabila negara tersebut tidak ragu-ragu lagi terhadap eksistensi
pemeirntah baru. Pengakuan diberikan berdasarkan atas penilaian faktor-
faktor faktual dan faktor-faktor hukum.
Cara-cara Pemberian Pengakuan
1. pengakuan yang tegas (express recognition)
Deklarasi atau pernyataan umum (public statement or declaration)
Dilakukan dengan mengirimkan pernyataan pengakuan terhadap
pemerintah atau negara baru. Dilakukan dengan hanya mengirimkan nota
diplomatik dan biasanya oleh negara yang mengakui.
Pengakuan oleh perjanjian
Biasanya dipraktekan oleh Inggris di dalam memberikan
kemerdekaan kepada negara kolonial
2. Pengakuan diam-diam
Tindakan-tindakan yang dapat menjadi indikasi bahwa suatu
negara telah memberikan pengakuan secara diam-diam yaitu
pemnhiriman ucapan selamat kepada kepala negara yang baru,
pengiriman perwakilan suatu negara untuk menghadiri pengangkatan atau
pengambilan sumpah suatu negara yang baru, surat-menyurat untuk
pembukaan tukar-menukar perwakilan diplomatik atau konsuler,
perpanjangan hubungan diplomatik, memberikan suara voting kepada
negara baru agar dapat diterima sebgaia anggota PBB, dan membuat
perjanjian dengan negara tersebut.
2. Kedaulatan Negara dan Hak Berdaulat
Pengertian Unsur-unsur Negara
Menurut Hendry C. Black, Negara yaitu sekumpulan orang yang
secara permanen menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh
ketentuan-ketentuan hukum yang melalui pemerintahan, mampu
menjalankan kedaulatannya yang merdeka dan mengawasi masyarakat
dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya, mampu menyatakan
perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan internasional
dengan masyarakat internasional lainnya. Unsur-unsur suatu negara
diatur dalam Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on Rights
and Duties of State of 1933.
Disamping ke empat ciri yang telah disebutkan dalam Pasal 1
Konevensi Montevideo, ada dua ciri lain yang juga seyogyanya dimiliki
oleh suatu negara. Ciri kelima, yakni bahwa negara tersebut harus dapat
mempertanggungjawabkan tindakan pejabatnya terhadap pihak/negara
lain. Ciri kelima demikian yakni bahwa negara tersebut harus mempunyai
kemampuan international (international capacities). Ciri keenam, yakni
bahwa negara-negara tersebut harus merdeka. Tanpa merdeka suatu
negara bukan merupakan subjek hukum internasional. Menurut Craw
Ford, kriteria ini merupakan kriteria sentral dari suatu negara. Parry and
Grant juga mengatakan kriteria kemerdekaan merupakan kriteria sentral
suatu negara disamping kemerdekaan.
Ciri selanjutnya, yaitu derajat atau tingkat kelanggengan suatu
negara tersebut (permanent), kesediaan atau kemampuan untuk menaati
hukum internasional, tingkat peradaban negara itu, pengakuan negara
lain, tertib hukum negara tersebut, keabsahan berdirinya negara itu dalam
hukum internasional dan masalah penentuan nasib sendiri negara yang
bersangkutan.
Bentuk-bentuk Negara
Dalam membahas bentuk-bentuk negara dalam hukum
internasional fokus bahasannya hanya tertuju pada bentuk-bentuk
dibawah ini:
a. Negara kesatuan
Negara dengan bentuk ini (unitary states) yaitu suatu negara yang
memiliki suatu pemerintah yang bertanggung jawab mengatur seluruh
wilayahnya. Contohnya: Indonesia, Singapura.
b. Dependent states
Adalah negara-negara yang bertanggung jawab kepada negara-
negara lain baik karena adanya perjanjian untuk menyerahkan hubungan
luar negeri kepada negara lain atau karena adanya pendudukan sebagai
akibat perang. Contoh: Negara Jerman.
Ciri-ciri dependent states, diantaranya:
1. Tidak adanya sifat kenegaraan, terutama kemampuan untuk
mengadakan hubungan dengan negara lain.
2. Yurisdiksi dan pemerintahannya berada pada negara lain.
3. Kekuasaan luar negerinya ada pada perwakilan negara lain.
4. Adanya campur tangan dari negara lain secara politik.
5. Merupakan subjek hukum dengan ciri khusus (a legal person of a
special type) yang dapat muncul dalam masyarakat internasional hanya
untuk maksud-maksud tertentu saja.
6. Suatu negara yang tidak merdeka untuk melaksanakan suatu tindakan-
tindakan tertentu oleh organ-organnya.
Contoh Dependent States ini dengan membentuk negara
protektorat yaitu negara yang kekuasaan luar negerinya sepenuhnya
berada di bawah kekuasaan negara lain. Selain itu ada namanya Wilayah
Trust/Mandat (wilayah perwakilan) merupakan wilayah yang tidak mandiri
yaitu wilayah yang tidak mampu mengadakan hubungan dengan pihak
asing tanpa dukungan dari negara yang mendukungnya. Maksud dari
pembentukan wilayah perwakilan ini untuk meningkatkan kemampuan
politik, ekonomi, sosial, dan pendidikan di wilayah tersebut.
c. Federal states
Salah satu bentuk negara yang cukup penting dewasa ini adalah
negara federal (federasi). Negara yang menganut sistem ini adalah
Amerika Serikat, India, Canada, Australia. Bentuk dasar dari negara
federal ini yaitu bahwa wewenang terhadap urusan dalam negeri dibagi
menurut konstitusi antara pejabat federal dengan anggota-anggota
federasi. Sedangkan urusan luar negerinya biasanya dipegang oleh
pemerintah federal pusat. Karena negara federasi ini dianggap sebagai
suatu negara atau subjek hukum internasional, tetapi untuk anggota-
anggota negara dari federasi ini tidak dianggap sebagai negara dalam arti
sesungguhnya.
Bentuk negara yang mirip dengan negara federal (federasi) ini
adalah konfederasi. Kata konfederasi ini tidak lain adalah negara federal
juga, tetapi kekuasaan anggota negara federal (provinsinya) lebih besar.
d. Members of Commonwealth (Negara Persemakmuran)
Persemakmuran dilatarbelakangi oleh adanya proses dekolonisasi
pada negara-negara tersebut.Proses dekolonisasi terjadi karena ada 2
kemungkinan. Pertama, negara tersebut merdeka penuh, berdaulat, dan
terpisah dari negara yang pernah mendudukinya. Kedua, negara tersebut
terpaksa tergantung kepada negara yang mendudukinya karena negara
tersebut kecil atau terbelakang (miskin), sehingga memberinya
kemerdekaan bukanlah jalan yang terbaik. Untuk negara-negara ini
kekuasaan untuk mengatur urusan dalam negerinya tetap berada pada
kekuasaannya, namun ketergantungannya kepada negara yang pernah
mendudukinya dalam beberapa urusan-urusan luar negeri dan pertahanan
diserahkan kepada negara induknya. Contoh: Negara Inggris
e. Negara netral
Adalah suatu negara yang kemerdekaan, politik, dan wilayahnya
dengan kokoh dijamin oleh suatu perjanjian bersama negara-negara besar
dan negara-negara ini tidak akan pernah berpegang melawan negara lain,
kecuali untuk pertahanan diri, dan tidak akan pernah mengadakan
perjanjian aliansi yang dapat menimbulkan peperangan. Tujuan netralisasi
ini adalah untuk memelihara perdamaian dengan cara:
1. Melindungi negara-negara kecil dari negara-negara kuat yang
berdekatan dengannya.
2. Melindungi dan menjaga kemerdekaan negara netral ini diantara
negara negara kuat.
Salah satu negara federal adalah Swiss. Swiss menerima jaminan
sebagai negara netral pada kongres Wina tahun 1815 dan dikuatkan
kembali dalam pasal 435 Perjanjian Versailles tahun 1919 dan dengan
Pertukaran Nota antara Inggris dan Itali tahun 1938. Kewajiban negara
netral diantaranya:
1. Tidak menyerang atau mengancam wilayah negara netral
2. melakukan intervensi dengan kekuasaan militer apabila negara netral
ini diserang oleh negara lainnya dan negara-negara penjamin ini
diminta pertolongannya.
Doktrin Hak dan Kewajiban Dasar Negara
Pembahasan tentang hal ini didasarkan pada aliran kontrak sosial,
yaitu bahwa hak seseorang yang berkecimpung dalam masyarakat berada
diluar atau terlepas dari kekuasaan negara. Artinya bahwa suatu negara
yang berkecimpung dalam pergaulan masyarakat internasional, hak
dasarnya pun tidak dipengaruhi atau terlepas dari pengaruh negara lain.
a) Hak-hak negara:
1. hak atas kemerdekaan
2. hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap wilayah, orang dan
benda yang berada di dalam wilayahnya
3. hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan
negara-negara lain
4. hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif.
b) Kewajiban negara:
1. kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-
masalah yang terjadi di negara lain
2. kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di negara lain
3. kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di
wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia.
4. kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakan
perdamaian dan keamanan internasional
5. kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai
6. kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman senjata
7. kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh
melalui cara-cara kekerasan.
Doktrin Monroe
Doktrin ini berkaitan dengan pesan Presiden Amerika Serikat yang
menyinggung soal ancaman pendudukan Soviet terhadap Alaskadan
ancaman intervensi terhadap Aliansi Suci Amerika. Doktrin ini
mengandung dua prinsip penting sebagai berikut:
1. Prinsip nonkolonisasi, yaitu Amerika Serikat berkepentingan untuk
menjamin bahwa tidak ada satu bagian pun dari Benua Amerika yang
bersifat terra nullius (tidak ada yang memiliki) dan menjadi wilayah
kolonisasi negara Eropa.
2. Prinsip nonintervensi yang pada pokoknya menetapkan bahwa setiap
upaya negara asing untuk memperluas sistem politiknya ke Benua
Amerika akan merupakan ancaman bahaya terhadap perdamaian dan
keamanan Amerika.
Doktrin Persamaan Kedudukan Negara
Persamaan kedudukan negara merupakan refleksi dari salah satu
bagian dari atribut dari negara, yaitu kedaulatan. Yang menjadi ciri utama
dari topik ini yaitu adanya latar belakang pemikiran bahwa hukum
internasional didasarkan pada kesepakatan bersama dari negara-negara
yang berdaulat, yaitu masyarakat internasional yang sederajat satu sama
lainnya sebagai subjek hukum internasional. Menurut J.L.Brierly
mengatakan bahwa kata persamaan (equality) disini harus dibaca sebagai
persamaan didepan hukum (equality before the law).
Ketentuan Hubungan Bertetangga Antar Negara
Prinsip dari ketentuan hubungan bertetangga antara negara ini
mempunyai kemiripan dengan larangan ‘abuse of rights” atau “misbruik
van recht”. Prinsip yang dimaksud yaitu suatu negara dilarang untuk
menggunakan wilayahnya yang dapat merugikan atau mengancam
kepentingan negara lain.
Hidup Berdampingan Secara Damai
Berdampingan secara damai ini hanya terhadap kaidah-kaidah
yang menjamin bahwa negara-negara dengan sistem politik dan ekonomi
yang berbeda agar saling hormat-menghormati. Sebagai contoh konkret
dari kristalisasi prinsip hidup seperti dalam bentuk keputusan penting.
Misalnya: Dasa Sila Bandung
Kedaulatan Negara Atas Kekayaan Alamnya
Dalam membahas tentang kedaulatan negara, maka kedaulatan
negara atas kekayaan alamnya pun dewasa ini menjadi sangat penting.
1. Dalam suatu resolusi Majelis Umum PBB 21 Desember 1952
Ditegaskan tentang prinsip “penentuan nasib sendiri ekonomi setiap
negara”
2. Kedaulatan Permanen terhadap kekayaan alam di dasar laut dan tanah
dibawahnya dan diperairan laut yang masih berada dalam yurisdiksi
nasional suatu negara.
3. Kedaulatan Atas Wilayah Darat
Kedaulatan Tertorial adalah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu
negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wilayahnya. D.P.
O,Connell berpendapat, karena pelaksanaan kedaulatan didasarkan pada
wilayah, maka wilayah adalah konsep fundamental hukum internasional.
Pada prinsipnya suatu negara hanya dapat melaksanakan jurisdiksi
secara eksklusif dan penuh di dalam wilayahnya saja. Karena itu pula
suatu negara yang tidak memiliki wilayah, tidaklah mungkin menjadi suatu
negara.9
Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yang
terdiri dari tanah atau daratan (yang mencakup segala yang ada di bawah
dan di atas tanah tersebut, misalnya kekayaan tambang dan segala
sesuatu yang tumbuh di tanah tersebut), laut dan udara.
Dilihat dari segi wilayah, hukum mengenai 4 bentuk rezim pengaturan:
a) kedaulatan teritorial
b) wilayah yang tidak berada di bawah kedaulatan negara lain dan yang
memiliki status tersendiri (misalnya mandat atau trust)
c) res nullius, yaitu wilayah yang tidak dimiliki atau tidak berada dalam
kedaulatan suatu negara
d) res communis, yaitu wilayah yang tidak dapat berada di bawah suatu
kedaulatan tertentu (no-State’s land)
9 Ibid, hlm 111-131.
Prinsip dan Cara Memperoleh Wilayah
1. Prinsip Efektivitas
Prinsip ini diperkenalkan oleh Hans Kelsen bahwa kepemilikan
negara atas suatu wilayah ditentukan oleh berlakunya secara efektif
peraturan hukum nasional di wilayah tersebut. Disamping menggunakan
prinsip ini, Martin Dixon juga memperkenalkan 2 prinsip lain, yaitu (a)
adanya kontrol atau pengawasan dari negara terhadap suatu wilayah dan
(b) adanya pelaksanaan fungsi-fungsi negara di wilayah tersebut secara
damai.
2. Prinsip Uti Possidetis
Menurut prinsip ini, pada prinsipnya batas-batas wilayah suatu
negara baru akan mengkuti batas-batas wilayah dari negara yang
mendudukinya. Dinyatakan pada prinsipnya karena dalam kenyataannya
batas-batas wilayah suatu negara (yang atau yang baru) dapat saja
berubah.
Karena cukup banyaknya sengketa perbatasan diselesaikan dengan
menerapkan prinsip ini, Martin Dixon berpendapat bahwa prinsip usi
possidetis sudah menjadi suatu prinsip hukum kebiasaan yang berlaku
umum (a principle of cutomary law of general application)
a. Pendudukan (Occupation)
Pendudukan adalah pendudukan terhadap terra nullius, yaitu wilayah
yang bukan dan sebelumnya pun belum pernah dimiliki oleh suatu negara
ketika pendudukan terjadi. Pendudukan mengandung dua unsur pokok:
yaitu penemuan (discovery) atau the taking of Possesion, dan
pengawasan yang efektif (effective control).
Kriteria lebih lanjut untuk menentukan efektifitas occupation:
Penemuan harus diikuti dengan tindak lanjut untuk membuktikan telah
dilaksanakannya kedaulatan di wilayah yang diduduki.
Penemuan suatu wilayah harus diikuti oleh pengawasan terhadapnya.
Adanya niat dari suatu negara untuk mendudukinya.
Tindakan yang tidak sah bukan syarat pendudukan.
Klain untuk memelihara status terra nullis.
b. Penaklukan atau Aneksasi (Annexation)
Penaklukan atau penulis lain menyebutnya pula sebagai subjugasi
(subjugation) adalah suatu cara pemilikan suatu wilayah berdasarkan
kekerasan (penaklukan). Cara ini umumnya baisa terjadi dan diakui
ssebelum tahun 1928 ketika the Briand-Kellog Pact ditandatangani. Saat
ini hukum internasional melarang keras cara-cara penggunaan kekerasan
(militer) untuk mendapatkan suatu wilayah.
c. Akresi atau Pertambahan (Accretion dan Avulsion)
Akresi adalah cara perolehan suatu wilayah baru melalui proses
alam (geografis). Melalui proses ini suatu tanah (wilayah) baru terbentuk
dan menjadi bagian dari wilayah yang ada. Misalnya, pembentukan pulau
di mulut sungai atau perubahan arah suatu sungai yang menyebabkan
tanah menjadi kering yang sebelumnya dilalui oleh air.
d. Preskripsi (Prescription)
Preskripsi adalah pemilikan suatu wilayah oleh suatu negara yang
telah didudukinya dalam jangka waktu yang lama dengan sepengetahuan
dan tanpa keberatan dari pemiliknya. Preskripsi sebenarnya adalah
tindakan yang melanggar hukum internasional. Namun sifat pelanggaran
ini tampaknya menjadi hilang (dibenarkan) karena adanya sepengatahuan
atau pengakuan dari pemilik yang seolah-olah menyetujui perbuatan
tersebut.
e. Cessi (Cession)
Cessi adalah pengalihan wilayah secara damai dari suatu negara
lain dan kerapkali berlangsung dalam rangka suatu perjanjian (treaty of
cessio) yang biasanya berlangsung setelah usainya perang. Prinsip yang
penting dalam cessi ini yaitu: pertama, bahwa dalam pengalihan, hak yang
diserahkan tidak boleh melebihi hak yang dimiliki oleh si pengalih
(pemilik). Kedua, di dalam pengalihan suatu wilayah, negara yang
mengalihkan wilayah harus pemilik sah atas wilayah tersebut.
f. Plebisit (Plebiscite)
Plebisit adalah pengalihan suatu wilayah melalui pilihan
penduduknya, menyusul dilaksanakannya pemilihan umum, referendum,
atau cara-cara lainnya yang dipilih oleh penduduk.
BAB III
PEMBAHASAN
Bagian pembahasan bab ini akan dibahas hubungan landasan teori
yang telah dikemukan dalam bab sebelumnya dengan permasalahan
mengenai kedaulatan negara yang terjadi saat ini. Penulis akan
membahas Taiwan yang saat ini masih dipermasalahkan kedaulatannya
sebagai suatu negara dalam dunia internasional. Meskipun Taiwan sudah
memenuhi empat syarat berdirinya suatu negara menurut Konvensi
Montevideo 1933, secara de facto Taiwan telah memenuhi seluruh kriteria
tersebut berdasarkan Pasal 1 Montevideo (Pan American) Convention on
Rights and Duties of State of 1933. Pasal tersebut berbunyi:
The State as a person of international law should possess the following
qualifications:
a) a permanent population
b) a defined territory
c) a government
d) a capacity to enter into relations with other states
Namun secara de jure Taiwan belum dapat disebut sebagai negara
karena Taiwan saat ini belum diakui sebagai sebuah negara oleh dunia
internasional termasuk PBB, walaupun terdapat sebagian kecil negara
yang mengakui Taiwan sebagai sebuah negara. Oleh karena itu mungkin
tampak bahwa sebutan de jure dan de facto secara tegas tidak
merupakan deskripsi atas proses pengakuan itu sendiri, tetapi mempunyai
hubungan dengan status negara atau pemerintah tertentu untuk siapa
pengakuan itu dikeluarkan.10
Proses berdirinya Taiwan dapat dilihat dari terjadinya perang
saudara di Cina antara partai Komunis dengan partai Kuomintang. Partai
Komunis yang memenangkan perang saudara tersebut mendirikan negara
Republik Rakyat Cina pada tahun 1949. Kemudian partai Kuomintang
beralih ke Provinsi Taiwan yang terdiri dari beberapa pulau, pulau yang
10 J.G Starke QC, Op cit, hlm 187.
teresar adalah Formosa dan mendirikan pemerintahan yang baru. Sampai
saat ini Republik Rakyat Cina yang memerintah di Cina daratan tidak mau
mengakui Taiwan sebagai negara, RRC menganggap Taiwan masih
bagian dari salah satu provinsi negara tersebut. Berbagai upaya damai
telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah Taiwan dengan Cina mulai
dari penyelesaian dengan Satu Negara Dua Sistem namun hingga saat ini
masalah tersebut belum terselesaikan karena perbedaan ideologi,
ekonomi, politik maupun sistem keamanan di dua wilayah tersebut.
Taiwan hanya diakui oleh 25 negara yang mayoritas adalah
negara-negara kecil yang tidak mempunyai pengaruh yang besar di dunia
internasional. Diperlukan ¾ suara dari negara-negara anggota PBB yang
mengakui Taiwan sebagai suatu negara yang berdaulat. Kurangnya
pengakuan dari negara-negara lain mengakibatkan kerjasama Taiwan di
dunia internasional menjadi terhambat. Berikut beberapa kelemahan
hukum yang utama bagi Taiwan bila tidak diakui sebagai suatu negara
adalah:
a. Taiwan tidak dapat berpekara di pengadilan negara-negara yang belum
mengakuinya.
b. Tindakan dari pemerintah Taiwan tidak akan berakibat hukum di
pengadilan negara yang tidak mengakuinya sebagaimana yang biasa
diberikan menurut aturan ‘komitas’.
c. Perwakilan Taiwan tidak dapat menuntut imunitas dari proses
peradilan.
d. Harta kekayaan Taiwan sesungguhnya dapat dimiliki oleh wakil-wakil
dari rezim yang telah digulingkan.
Masa depan Taiwan sebenarnya tidak dapat ditentukan oleh
rakyatnya sendiri karena menyangkut stabilitas regional Asia Timur dan
Pasifik. Negara-negara yang sangat menaruh perhatian dan terlibat
langsung atas masalah Taiwan adalah Amerika Serikat dan Cina. Amerika
Serikat berpengaruh langsung terhadap masalah Taiwan karena posisi
Amerika Serikat yang memberikan perlindungan kepada Taiwan dari
serangan Cina. Tujuan Amerika Serikat melindungi Taiwan adalah
menjadikan Taiwan sebagai negara kedua di Asia Pasifik sebagai tempat
pertahanan terhadap pengaruh Cina terhadap dunia baik dari segi
ekonomi maupun militer. Sedangkan yang terlibat secara tidak langsung
adalah Jepang.
Saat ini, Taiwan hanya mempunyai 3 kemungkinan masa depan:
Reunifikasi damai dengan Cina
Sistem persekutuan (Uni Cina-Taiwan)
Satu negara dua sistem (model Hong Kong)
Kemerdekaan Taiwan yang mungkin berdarah-darah melalui jalan
damai seperti referendum Republik Taiwan Status quo Republik Cina
yang tidak mempunyai kedaulatan internasional.
Menurut pendapat Lauterpacht, pemberian pengakuan itu
merupakan suatu keharusan sebagai kewajiban hukum. Pendapat ini
menekankan bahwa suatu negara tidak dapat ada sebagai subjek hukum
tanpa adanya pengakuan ini. Maka hukum internasional membebankan
kewajiban kepada negara-negara yang telah ada untuk memberikan
pengakuannya agar negara baru itu ada.
Dengan nada yang sama namun berbeda dengan redaksinya,
Chen berpendapat bahwa karena negara baru itu ada dan mempunyai
hak maka suatu kewajiban bagi negara-negara lain untuk mengakuinya
agar hak negara tersebut berlaku. Namun pendapat ini ditentang keras
oleh pendapat Ian Brownlie dengan alasan bahwa pengakuan yang
merupakan tindakan publik negara adalah suatu tindakan pilihan atau
opsional atau bersifat politis karena tidak ada kewajiban suatu negara
untuk melaksanakannya11. Brierly pun menyatakan bahwa pemberian
pengakuan ini merupakan tindakan politik dari pada tindakan hukum.
Yang lebih tepat untuk menentukan apakah pengakuan ini merupakan
suatu keharusan atau bukan, nampaknya, tepat apa yang dikatakan oleh
Podesta Costa, bahwa tindakan pengakuan ini merupakan tindakan
fakultatif artinya suatu negara bebas untuk mengakui lahirnya suatu
11 Ian Brownlie, Principles of Public International Law, Oxford University Press, 1975, Hlm 95.
negara baru tanpa adanya keharusan untuk melakukannya atau larangan
untuk tidak melakukannya.
Konsekuensi yang akan ditimbulkan dapat berupa konsekuensi
politis dan konsekuensi yuridis antara negara yang diakui dengan negara
yang mengakui. Konsekuensi politis dimaksud misalnya saja, kedua
negara kemudian dapat dengan leluasa mengadakan hubungan
diplomatik sedangkan konsekuensi yuridisnya dapat berupa : Pertama,
pengakuan tersebut merupakan pembuktian atas keadaan yang
sebenarnya (evidence of the factual situation). Kedua, pengakuan
mengakibatkan akibat-akibat hukum tertentu dalam mengembalikan
tingkat hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang
diakui. Ketiga, pengakuan memperkukuh status hukum (judicial standing)
negara yang diakui dihadapan pengadilan negara yang mengakui12.
Menurut J.B. Moore makna pengakuan itu sebagai suatu jaminan
yang diberikan kepada suatu negara baru bahwa negara tersebut diterima
sebagai anggota masyarakat internasional. Dari fakta dan definisi tersebut
pula, maka dapat ditarik fungsi pengakuan ini yaitu untuk memberikan
tempat yang sepantasnya kepada suatu negara atau pemerintah baru
sebagai anggota masyarakat Internasional.
Melihat empiris yang terjadinya, Kemerdekaan Taiwan ini
terkendala oleh Negara Cina itu sendiri yang tidak mau mengakui
kemerdekaan Taiwan sebagai negara baru. Selain itu juga, Taiwan
mempunyai bargaining power yang lemah untuk melakukan lobi-lobi
politik dalam mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain
dikarenakan Cina memperingatkan atau memberikan peringatan kepada
negara-negara lain untuk tidak memberikan pengakuan kemerdekaan
kepada Taiwan. Hal ini menjadikan negara-negara lain mengurungkan
niatnya untuk memberikan pengakuan kedaulatan kemerdekaan kepada
Taiwan yang secara nyatanya Taiwan sudah mampu dan sudah
terpenuhinya syarat-syarat menjadi menjadi sebuah negara yang berdiri
sendiri. Sehingga sekarang ini Taiwan diibaratkan sebagai negara semu
12 D.W.Greig, International Law, London:Butterworths, edisi ke-2, 1976, hlm.120.
yang secara de facto bisa disebut sebagai suatu negara yang merdeka
tetapi secara de jure belum memenuhi sebagai suatu negara yang
merdeka penuh dikarenakan belum mendapat pengakuan kedaulatan dari
Negara Cina itu sendiri dan Negara-negara lain, serta yang tidak kalah
pentingnya seperti yang telah disebutkan sebelumnya yaitu pengakuan
Taiwan sebagai negara belum memenuhi syarat minimal negara baru
yang oleh PBB harus mendapatkan ¾ dari negara-negara anggota PBB.
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Untuk berdirinya suatu negara harus memenuhi syarat-syarat yang
telah ditentukan dalam perjanjian internasional yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap yaitu Konvensi Montevideo 1923. Negara
merupakan sujek hukum internasional yang terpenting dalam menjalin
hubungan kerjasama internasional dengan negara lain.
Akan tetapi kita juga menyadari bahwa sekadar terpenuhinya
syarat-syarat tersebut juga belum ada jaminan pengakuan sehingga
kedaulatan suatu negara tidak memiliki eksistensi dalam dunia
internasional. Inilah yang dimaksud sesuai dengan teori politis dari
Lautrpacht. Kepentingan politik yang lebih dominan menguasai dunia
internasional.
Meski demikian dalam kasus Taiwan, dalam teori deklaratif
keberadaan Taiwan sebagai negara tetaplah ada. Dengan penjelasan
bahwa Taiwan dianggap ada bagi negara-negara yang memiliki hubungan
diplomatik dengannya.
4.2 Saran
Makalah ini tentulah sangat terbatas untuk dapat memberikan
masukan dengan pertimbangan fakta dalam dunia internasional mengenai
kekuasaan dan kepentingan politik. Namun demikian sebagai bahan
pembelajaraan tentu hukum internasional perlu memiliki suatu
perkembangan lebih mengenai kepastian hukum. Terutama dalam
memberikan hak berdaulat bagi negara baru atau dengan kata lain
kepastian hukum terhadap pengakuan berdirinya negara baru.
Daftar Pustaka
Brownlie, Ian, Principles of Public International Law, Oxford University
Press, 1975.
Greig, D.W, International Law, London: Butterworths, 1976.
Huala Adolf, Aspek-aspek Negara dalam Hukum Internasional, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2002.
Rebecca M.M Wallace, Bambang Arumanadi, Hukum Internaisonal,
Semarang: IKIP Semarang Press, 1993.
J.G Starke QC, Bambang Iriana Djajaatmadja, Pengantar Hukum
Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.
top related