kebijaksanaan hakim dalam melindungi korban kejahatan pencabulan anak di pengadilan negeri...
Post on 28-Jul-2015
833 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
KEBIJAKSANAAN HAKIM DALAM MELINDUNGI KORBAN
KEJAHATAN PENCABULAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI MEDAN
Oleh :
Agung Yuriandi
Medan
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaaan anak ditinjau dari sisi agama selain merupakan amanah juga
sebagai karunia Tuhan yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Dari sudut pandang
kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang anak merupakan masa depan dan
generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak mendapatkan perlindungan
baik itu dari kejahatan, kekerasan, diskriminasi, dan bentuk apa pun lainnya yang
dapat dianggap merusak masa depan anak sebagai penerus cita-cita perjuangan
bangsa sekaligus modal sumber daya manusia bagi pembangunan nasional.
Perlindungan terhadap anak di Indonesia telah dijamin keberadaannya oleh
konstitusi yang telah mengamanahkan bahwa anak berhak untuk dilindungi dari
segala bentuk kekerasan termasuk kekerasan dalam bentuk seksual. Sebagaimana
tercantum pada Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap anak
2
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Dengan adanya jaminan dalam
konstitusi UUD 1945 tersebut dapat diartikan bahwa anak dianggap belum memiliki
kemampuan untuk berdiri sendiri baik secara rohani, jasmani maupun sosial. Dengan
demikian, berdasarkan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, negara dalam hal ini
pemerintah berkewajiban untuk melindungi anak sebagai bagian warganegara yang
harus terus dipelihara masa depannya.
Perhatian akan perlunya perlindungan khusus bagi anak berawal dari
Deklarasi Jenewa tentang Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universal
Declaration of Human Right tahun 1958. Bertitik tolak dari itu, kemudian pada
tanggal 20 Nopember 1958 Majelis Umum PBB mengesahkan Declaration of The
Rights of The Child (Deklarasi Hak-hak Anak). Sementara itu masalah anak terus
dibicarakan dalam kongres-kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The
Treatment of Offenders.
Kongres pertama di Jenewa pada tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of
Juvenile Delinquency. Kemudian pada tahun 1959 Majelis Umum PBB kembali
mengeluarkan pernyataan mengenai hak anak yang merupakan deklarasi internasional
kedua bagi hak anak. Tahun 1979 saat dicanangkannya Tahun Anak Internasional,
Pemerintah Polandia mengajukan usul bagi perumusan suatu dokumen yang
meletakkan standar internasional bagi pengakuan terhadap hak-hak anak dan
mengikat secara yuridis. Inilah awal perumusan Konvensi Hak Anak. Tahun 1989,
rancangan Konvensi Hak Anak diselesaikan dan pada tahun itu juga naskah akhir
tersebut disahkan dengan suara bulat oleh Majelis Umum PBB tanggal 20 November.
3
Konvenan ini kemudian diratifikasi oleh setiap bangsa kecuali oleh Somalia dan
Amerika Serikat.
Dalam Pasal 16 Konvensi Hak Anak disebutkan bahwa tidak ada seorangpun
anak akan dikenai campur tangan semena-mena atau tidak sah terhadap kehidupan
pribadinya, keluarga, rumah atau surat menyuratnya, atau mendapat serangan tidak
sah atas harga diri dan reputasinya. Selanjutnya pada ayat (2) disebutkan bahwa anak
berhak untuk memperoleh perlindungan hukum dari campur tangan atau serangan
semacam itu. Berdasarkan pada ketentuan tersebut itu, dapat ditarik pengertian bahwa
anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari gangguan terhadap kehidupan
pribadi, keluarga, rumah dan surat menyurat serta dari fitnah.
Di Indonesia secara yuridis perhatian terhadap anak-anak telah mulai ada
sejak adanya berbagai pertemuan ilmiah yang diselenggarakan, baik oleh pemerintah
maupun badan-badan sosial, seperti Yayasan Pra Yuwana dan Wisma Permadi Siwi
yang pada akhirnya telah mendorong pemerintah untuk menerbitkan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang secara khusus mengatur
tentang hak-hak anak.
Sebagai hak asasi, kesejahteraan anak di Indonesia diatur juga dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Namun demikian
melihat arti pentingnya anak bagi kelangsungan bangsa dan negara, pemerintah tetap
memandang perlu adanya acuan yuridis formal yang mengatur tentang pelaksanaan
perlindungan anak. Atas dasar pertimbangan tersebut, pemerintah telah menerbitkan
peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur tentang perlindungan
anak yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
4
Disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
bahwa yang dimaksud dengan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk
menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Seiring dengan perkembangan jaman, perlindungan terhadap anak semakin
dituntut pelaksanaannya. Perkembangan teknologi dan budaya yang terjadi dewasa
ini telah memunculkan beberapa efek positif dan negatif dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Efek atau dampak positif dari perkembangan teknologi dan budaya adalah
semakin canggihnya teknologi yang ada pada saat ini, sedangkan efek negatifnya
adalah adanya pergaulan bebas dan semakin meningkatnya kejahatan seks yang
terjadi, khususnya yang menimpa anak-anak.
Kewajiban negara dalam melindungi hak-hak anak merupakan kewajiban
dasar dalam perspektif HAN/HAM yang harus dilakukan oleh negara. Kewajiban itu
meliputi kewajiban menghormati (respect), kewajiban melindungi (protect) dan
kewajiban memenuhi (fulfill).1 Kewajiban menghormati berarti bahwa negara tidak
boleh merusak standart hak sebagaimana yang diakui dalam konvensi. Kewajiban ini
disebut juga sebagai kewajiban negatif. Kewajiban melindungi menghendaki negara
harus melakukan sesuatu guna melindungi agar anak tidak terlanggar hak-haknya.
Kewajiban ini disebut juga sebagai kewajiban positif. Sedangkan kewajiban
1 Odi Shalahuddin, Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual, http://odishalahuddin. wordpress.com/2010/06/04/perlindungan-anak-dari-kejahatan-seksual/.
5
memenuhi yang juga merupakan kewajiban positif menghendaki negara agar
melakukan intervensi.2
Sebenarnya pengaturan hukum perlindungan anak meliputi berbagai bidang
hukum, di antaranya bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum Islam, hukum
acara perdata dan acara pidana, dan sebagainya. Akan tetapi perbedaan masalah yang
dihadapi dalam melakukan perlindungan anak, dapat mengakibatkan berbedanya
bidang hukum yang dihadapi. Menghadapi kekerasan, penganiayaan, pencabulan dan
sebagainya, penanganannya berada pada bidang hukum pidana. Prosesnya melalui
jalur penyelidikan dan penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh penuntut umum/jaksa,
kemudian dilanjutkan dalam sidang pengadilan yang dipimpin oleh hakim. Sementara
penentuan pengasuhan anak bagi orang tua yang bercerai diputuskan melalui
Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan di Pengadilan Negeri bagi yang
beragama non Islam.3 Walau banyak sekali regulasi yang mengatur tentang
pentingnya perhatian dan pemenuhan terhadap ahak anak-anak namun ternyata kasus
kekerasan terhadap anak masih sering terjadi, bahkan diantara bentuk kekerasan yang
paling banyak terjadi adalah kekerasan dalam bentuk pencabulan.4
2 Ibid.3 Nur Hasyim, Perlindungan Anak Ditinjau dari Perspektif Hukum, (makalah: KPAID
Provinsi Riau). 4 Tentang tingginya kasus kejahatan pencabulan terhadap anak ini, Odi Shalahaddin seorang
Koordinator Eksekutif Yayasan Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN), memaparkannya sebagai berikut: ”...Pusat Pariwisata UGM (1999) yang melakukan penelitian di lima kota mengenai “Child Abused“ menemukan adanya kekerasan seksual terhadap anak. Di Semarang yang menjadi salah satu lokasi penelitian, ditemukan hampir 60 % anak pernah mengalami kekerasan seksual. Pada kelompok anak yang lebih spesifik yaitu anak jalanan perempuan di Semarang, Yayasan Setara berdasarkan hasil penelitiannya pada tahun 1999 menyatakan hampir seluruh anak jalanan pernah mengalami pelecehan seksual. Perkosaan terhadap anak, dalam banyak kasus juga sering tidak dilaporkan oleh korban. Purnianti Mungunsong (Suara Merdeka, 12 Juli 1993) memperkirakan jumlah keseluruhan kasus perkosaan mencapai 1500-2000 per tahun. Mohammad Farid (1998) yang melakukan penghitungan atas berita-berita perkosaan tahun 1994-1996 yang dihimpun Kalyanamitra menemukan bahwa setiap tahunnya rata-rata 60% korban perkosaan adalah anak-anak. Mengacu kepada jumlah kasus perkosaan yang dinyatakan oleh Mangunsong, Farid memperkirakan jumlah
6
Perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan dan pelecehan seksual harus
menjadi prioritas pemerintah dan perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak.
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Kewajiban untuk melindungi anak
melekat terus dalam situasi dan kondisi apapun, baik itu kondisi darurat maupun non darurat,
baik di dalam pengadilan maupun di luar pengadilan, baik korban tindak pidana maupun
pelaku tindak pidana.
Dalam hal perlindungan terhadap anak ini, pasal 59 dan pasal 64 UU No. 22
tahun 2003 menyatakan sebagai berikut:
Pasal 59:Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.
Pasal 64:
perkosaan terhadap anak di Indonesia tak kurang dari 900-1200 kasus. Kasus perkosaan diyakini meningkat tajam setiap tahunnya dan terjadi kecenderungan korbannya lebih mengarah kepada anak–anak. Hasil monitoring di Jawa Tengah yang di lakukan oleh K3JHAM (sekarang berganti nama menjadi LRC KJHAM) pada tahun 2000 mencatat 65% korban perkosaan adalah anak-anak. Sedangkan hasil monitoring Yayasan KAKAK pada periode Januari-September 2001 di wilayah yang sama mencatat 80% korban perkosaan adalah anak-anak. (lihat: Odi Shalahuddin, “Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual”, dalam http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/06/ 04/perlindungan-anak-dari-kejahatan-seksual/), diakses 10 Juli 2010. Selain data yang dikemukakan oleh Odi tersebut diberbagai daerah juga ditemukan angka tindak kejahatan pencabulan terhadap anak yang relatif tinggi, sebagai gambaran di Sumatera Utara misalnya sebagaimana laporan KPAID Sumut menyatakan bahwa “kasus pencabulan mendominasi kasus anak di Sumut” (baca: http://www.detiknews.com/read/2010/02/26/040540/1307185/10/kasus-pencabulan-dominasi-kasus-anak-di-sumut), demikian juga di Riau (lihat: Pencabulan, Kasus Tertinggi 2009, http://www.sumutcyber.com/?open=view&newsid=6671). Di Jabodetabek juga kasus yang paling dominan adalah kekerasan seksual, (lihat: Kasus Kekerasan Anak Di Jabodetabek Meningkat, http://bataviase.co.id/detailberita-10391410.html. 11 Dec 2009). di Kalimantan selatan juga demikan (baca: Kasus Anak di Kalsel Meningkat 100 persen, http://www.kalselprov.go.id/berita/kasus-anak-dikalsel-meningkat-100-persen, Rabu, 20 Januari 2010 09:34), Kalimantan Timur (lihat: 55 Kasus KDRT di Balikpapan, http://kaltim.antaranews.com/berita/2546/55-kasus-kdrt-di-balikpapan, Senin, 14 Desember 2009 20:35 WITA).
7
(1) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
(2) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:a. perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-
hak anak;b. penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini;c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak;e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak
yang berhadapan dengan hukum;f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua
atau keluarga; dang. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk
menghindari labelisasi.(3) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui:a. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;b. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan
untuk menghindari labelisasi;c. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik
fisik, mental,maupun sosial; dand. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai
perkembangan perkara.
Berdasarkan pasal 59 dan 64 UU No. 22 tahun 2003 sebagaimana tersebut di
atas, maka anak-anak yang berhadapan dengan hukum baik sebagai pelaku maupun
sebagai korban wajib dilindungi hak-haknya oleh pemerintah. Seorang anak yang
menjadi korban tindak pidana berhak mendapat rehabilitasi dari pemerintah baik
secara phisik maupun secara mental spritual dan sosial, selain itu privasinya wajib
untuk dilindungi, nama baiknya wajib dijaga dan dipelihara, keselamatannya juga
sebagai saksi korban menjadi tanggungjawab pemerintah, dan anak yang jadi korban
tersebut berhak untuk senantiasa mengetahui perkembangan perkara yang
dihadapinya.
8
Salah satu institusi pemerintah/negara yang relatif banyak berhadapan
langsung dengan anak-anak korban tindak pidana adalah institusi pengadilan, hal ini
karena kasus-kasus pidana yang dihadapi anak muaranya akan diselesaikan di
pengadilan. Ketika penyelesaian kasus-kasus di pengadilan inilah, anak yang menjadi
korban tindak pidana berinteraksi dengan hakim baik secara langsung maupun tidak
langsung. Selama proses peradilan tersebut hakim di pengadilan mempunyai
kewajiban untuk melindungi anak yang menjadi korban kejahatan (tindak pidana).
Berdasarkan laporan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID)
Sumatera Utara, di Kota Medan sering terjadi kejahatan pencabulan terhadap anak, bahkan
untuk tingkat Sumatera Utara, kota Medan adalah daerah yang paling angka kejahatan
pencabulannya.5 Secara logika, jika pada suatu daerah banyak terjadi tingkat kejahatan
pencabulan terhadap anak maka pengadilan negeri setempat akan banyak menangani kasus-
kasus pencabulan anak tersebut. Namun di lapangan masih banyak ditemui adanya korban
yang enggan melaporkan kasus yang menimpanya ke pengadilan. Padahal kesaksian korban
di pengadilan merupakan salah satu hal yang sangat penting untuk membuktikan terjadinya
suatu tindak pidana.
Sebagaimana diungkapkan oleh Muchamad Iksan,6 bahwa dalam penegakan
hukum pidana Indonesia pembuktiannya menganut sistem negatif wettelijke (Pasal
183 KUHAP) yang harus didasarkan pada sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah (dari lima alat bukti sah menurut Pasal 184 KUHAP) dan adanya keyakinan
hakim tentang kesalahan terdakwa. Salah satu alat bukti yang sah dalam proses
5 Baca “Pencabulan Mendominasi Kasus Anak di Sumut” dalam http://www.detiknews.com/ read/ 2010/02/26/ 040540/1307185/10/kasus-pencabulan-dominasi-kasus-anak-di-sumut, diakses 20 Juli 2010.
6 Muchamad Iksan, Hukum Perlindungan Saksi: Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Surakarta: Fakultas Hukum UMS, 2008), hal. 82.
9
peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat,
atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan
menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak
pidana.
Kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan
oleh Saksi dan Korban takut memberikan kesaksian kepada penegak hukum karena
mendapat ancaman dari pihak tertentu. Selain itu barangkali ada juga faktor
kurangnya kepercayaan untuk memperoleh keadilan lewat persidangan di pengadilan.
Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak
memberikan kesaksian dipersidangan.7 Pelapor dapat juga sebagai korban dari tindak
pidana itu sendiri, seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pada Pasal 1 ayat (1) ”Saksi adalah
orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.” dan ayat (2)
“Korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.” Pelapor yang
demikian itu harus diberi perlindungan hukum dan keamanan yang memadai atas
laporannya, sehingga ia tidak merasa terancam atau terintimidasi baik hak maupun
jiwanya. Dengan jaminan perlindungan hukum dan keamanan tersebut, diharapkan
tercipta suatu keadaan yang memungkinkan masyarakat tidak lagi merasa takut untuk
7 Ibid., hal. 76.
10
melaporkan suatu tindak pidana yang diketahuinya kepada penegak hukum, karena
khawatir atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu.
Selain itu dalam rangka untuk lebih memberi rasa keadilan bagi para korban,
para hakim seyogianya mempertimbangkan pemberian ganti kerugian terhadap si
korban dalam tuntutannya, karena merupakan suatu hal yang wajar apabila
penderitaan atau kepedihan yang menimpa si korban itu diringankan dengan diberi
kemungkinan mendapat penggantian kerugian.8
Sehubungan dengan pentingnya perlindungan dan perlakuan yang baik
terhadap korban tindak kejahatan, Arif Gosita berkomentar sebagai berikut:
Adalah wajar apabila kita sebagai bangsa yang mempunyai Pancasila dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang juga memperhatikan kepentingan para korban berbagai macam tindakan yang merugikan, benar-benar mencurahkan perhatian dan melaksanakan pelayanan kepada para korban kejahatan tertentu sesuai dengan kemampuan dan dengan berbagai cara. Apabila para pelaku dan para residivies yang pernah melakukan kejahatan mendapat pelayanan demi peri kemanusiaan, maka para korban kejahatan yang bukan penjahat, jelas patut mendapatkan pelayanan juga.9
Masalahnya adalah bahwa sampai dewasa ini pengaturan hukum pidana
terhadap korban kejahatan pencabulan belum menampakkan pola yang jelas.10
Selanjutnya, bagaimanakah hakim melakukan perlindungan terhadap korban tindak
kejahatan. Barangkali di sinilah perlunya kebijaksanaan seorang hakim.
Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis tertarik untuk meneliti
bagaimana perlindungan hakim terhadap korban kejahatan pencabulan anak di
Pengadilan Negeri Medan, yang mana nantinya penelitian ini akan dituangkan dalam
8 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1981), hal 194.9 Arief Gosita, Masalah Korban Kejahatan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1983), hal. 155.10 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit UNDIP,
1995), hal. 72.
11
bentuk tesis dengan judul “Kebijaksanaan Hakim Dalam Melindungi Korban
Kejahatan Pencabulan Anak di Pengadilan Negeri Medan”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas, maka ada beberapa
masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini, yang mana masalah-masalah tersebut
dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk perlakuan korban kejahatan pencabulan anak di Kota
Medan?
2. Bagaimana perlindungan hukum kepada anak yang menjadi korban kejahatan
pencabulan anak di Kota Medan?
3. Bagaimana kebijaksanaan hakim dalam melindungi korban kejahatan
pencabulan anak di Pengadilan Negeri Medan?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dan menganalisis bentuk perlakuan korban kejahatan
pencabulan anak di Kota Medan
2. Untuk mengetahui dan menganalisis perlindungan hukum kepada anak yang
menjadi korban kejahatan pencabulan anak di Kota Medan
3. Untuk mengetahui dan menganalisis kebijaksanaan hakim dalam melindungi
korban kejahatan pencabulan anak di Pengadilan Negeri Medan.
D. Manfaat Penelitian
12
1. Secara Teoritis,
Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi
pemikiran bagi upaya peningkatan perlindungan hukum terhadap anak yang
menjadi korban kejahatan tindak pidana, serta dapat menjadi bahan rujukan
dan atau perbandingan untuk kepentigan penelitian ilmiah selanjutnya.
2. Secara praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat membarikan masukan dan
manfaat bagi aktivis lembaga-lembaga perlindungan anak serta masukan bagi
para hakim pidana dalam mengambil kebijakan terhadap perlindungan anak di
dalam pengadilan.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan telaah pustaka yang telah dilakukan di kepustakaan USU
penelitian mengenai masalah “Kebijaksanaan Hakim dalam Melindungi Korban
Kejahatan pencabulan Anak di Pengadilan Negeri Medan” belum pernah dilakukan
dalam topik dan permasalahan yang sama, walaupun ada topik penelitian tentang
perlindungan anak yang ditulis oleh Syawal Aswad Siregar dengan judul
Perlindungan Hukum terhadap Anak Dalam Peroses Peradilan Pidana Sesuai
dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang peradilan Anak: Studi Kasus di
Wilayah Pengadilan Negeri Tebing Tinggi Deli akan tetapi topik dan permasalahan
yang akan dibahas ini berbeda dengan apa yang telah dibahas oleh Syawal tersebut,
karena Syawal dengan topiknya tersebut diatas meneliti masalah sebagai berikut:
13
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana
di wilayah hukum Tebing Tinggi Deli?
2. Hambatan-Hambatan apa saja yang terjadi dalam peroses peradilan pidana
anak yang merintangi perlindungan hukum terhadap anak?
3. Program apakah untuk membina anak-anak selama mereka berada di Rutan
Tebing Tinggi?
Jadi dilihat dari topik dan permasalahan yang dikaji oleh Syawal serta topik
dan permasalahan yang akan penulis kaji jelas-jelas sangat berbeda, oleh karena itu
penelitian ini dapat disebut asli sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional,
objektif, dan terbuka. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan
kebenaran ilmiah, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
a. Teori Keadilan Hukum
Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah mewujudkan keadilan
(rechtgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum
(rechtszekerheid).11 Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith (1723-1790),
Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dari Glasgow
University pada tahun 1750,12 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice).
11 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), PT. Gunung Agung Tbk., Jakarta, 2002, hlm. 85.
12 Bismar Nasution, Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar USU – Medan, 17 April 2004, hlm. 4-5. Sebagaimana
14
Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari
kerugian” (the end of justice is to secure from injury).13
Menurut Aristoteles Keadilan itu ada dua macam, yaitu; keadilan distributif
(distributief) dan keadilan komutatif (commutatief), namun pakar hukum lain
membedakan keadilan atas enam macam, yaitu :
1. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan kepada tiap orang
jatah menurut jasanya;
2. Keadilan komutatif, ialah keadilan yang memebrikan jatah kepada setiap
orang sama banyaknya tanpa harus menginagt jasa-jasa perseorangan.
3. Keadilan vindikatif, yaitu keadilan yang memberikan ganjaran atau
hukuman kepada seseorang atau lebih sesuai dengan kesalahan yang
dilakukannya.
4. Keadilan kreatif, yaitu keadilan yang memberikan perlindungan kepada
seseorang yang dianggap kreatif dalam mengahsilkan karya ciptanya.
5. Keadilan protektif, yaitu keadilan yang memberikan bantuan dan
perlindungan kepada setiap manusia, sehingga tidak seorang pun dapat
diperlakukan sewenang-wenang.
6. Keadilan legalis, adalah keadilan yang ingin diciptakan oleh Undang-
Undang.14
Aspek keadilan adalah aspek terpenting dalam penegakan hukum. Hukum tanpa
dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law” dalam Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981, hlm. 244.
13 Ibid., hlm. 247, sebagaimana dikutip dari R. L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, ed. Lecture of Jurisprudence, Indianapolis, Liberty Fund, 1982, hlm. 9.
14 Lihat Hasanuddin AF, dkk, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru bekerjasama dengan UIN Jakarta, 2004), hal. 64-65.
15
keadilan bukanlah hukum. Keadilan itu sesungguhnya merupakan esensi dari hukum,
hukum adalah keadilan, dan keadilan adalah hukum “ius quia iustum.”
Dalam hal perlindungan terhadap anak yang menjadi korban tindak pidana
pencabulan sesuai dengan jenis-jenis keadilan sebagaimana tersebut diatas, berarti
seorang anak yang dalam hal ini merupakan korban tindak pidana pencabulan berhak
untuk memperoleh keadilan protektif, yaitu keadilan yang memberikan bantuan dan
perlindungan kepada setiap manusia, dalam hal ini anak yang menjadi korban
pencabulan.
Seorang anak korban kejahatan pencabulan jikalau tidak dilindungi baik
secara pisik, mental, sosial maupun spritual berpotensi untuk mengalami
ketidakadilan yang lebih besar disebabkan berbagai hal, misalnya tekanan dari pelaku
untuk tidak memaparkan kejadian yang dialaminya di muka persidangan,
pemeberitaan media massa yang bisa jadi akan membuat dirinya merasa tidak senang
dan tidak nyaman akibat pemberitaan tersebut, maupun perasaan malu karena dirinya
telah pernah dicabuli, hal-hal seperti itu bisa menyebabkan dirinya merasa dirugikan
secara mental. Oleh sebab itu seorang anak yang menjadi korban kejahatan
pencabulan berhak untuk dilindungi baik secara fisik, mental maupun sosial, baik itu
dilembaga pengadilan maupun di luar lembaga pengadilan, dan pemerintah serta
masyarakat wajib memenuhi hak anak tersebut.
b. Teori Kebijakan Hukum
Untuk mewujudkan tercapainya tujuan negara yaitu negara yang makmur
serta adil dan sejahtera maka diperlukan suasana yang kondusif dalam segala aspek
16
termasuk aspek hukum. Untuk mengakomodasi kebutuhan dan aspirasi
masyarakatnya tersebut, negara Indonesia telah menentukan kebijakan sosial (social
policy) yang berupa kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial (social welfare
policy) dan kebijakan memberikan perlindungan sosial (social defence policy).15
Kebijakan untuk memberikan perlindungan sosial (social defence policy)
salah satunya dengan upaya-upaya memberikan perlindungan terhadap anak,
pencegahan dan penanggulangan tindak pidana atau kejahatan yang aktual maupun
potensial terjadi. Segala upaya untuk mencegah dan menanggulangi tindak
pidana/kejahatan ini termasuk dalam wilayah kebijakan kriminal (criminal policy).16
Dua masalah sentral dalam kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana penal
(hukum pidana) ialah masalah penentuan:17
1. perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan
2. sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada sipelanggar.
Masalah menentukan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana
merupakan suatu kebijakan dalam menetapkan suatu perbuatan yang semula bukan
tindak pidana (tidak dipidana) menjadi suatu tindak pidana (perbuatan yang dapat
dipidana). Jadi, pada hakikatnya kebijakan kriminalisasi merupakan bagian dari
kebijakan kriminal (criminal policy) dengan menggunakan sarana hukum pidana
15 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan,PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001. hal. 73.
16 Ibid, hal. 73.17 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2002), hal. 32.
17
(penal) dan oleh karena itu termasuk bagian dari kebijakan hukum pidana (penal
policy).18
Upaya untuk menanggulangi semua bentuk kejahatan senantiasa terus
diupayakan, kebijakan hukum pidana yang ditempuh selama ini tidak lain merupakan
langkah yang terus menerus digali dan dikaji agar upaya penanggulangan kejahatan
tersebut mampu mengantisipasi secara maksimal tindak pidana yang secara faktual
terus meningkat. Penggunaan hukum pidana sebagai sarana untuk melindungi
masyarakat dari ancaman maupun gangguan kejahatan sebenarnya merupakan
masalah politik kriminal yaitu usaha rasional untuk menanggulangi kejahatan. Dalam
kehidupan tata pemerintahan hal ini merupakan suatu kebijakan aparatur negara.
Istilah kebijakan dalam tulisan ini diambil dari istilah policy (Inggris) atau
politiek (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah‚ kebijakan
hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana. Dalam
kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai
istilah antara lain penal policy.
Menurut Barda Nawawi Arief, sekiranya dalam kebijakan penanggulangan
kejahatan atau politik kriminal digunakan upaya/sarana hukum pidana (penal), maka
kebijakan hukum pidana harus diarahkan pada tujuan dari kebijakan sosial (social
policy) yang terdiri dari kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan sosial (social
welfare policy) dan kebijakan/upaya-upaya untuk perlindungan masyarakat (social
18 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 240.
18
defence policy).19 Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan
utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai
kesejahteraan. Penggunaan hukum pidana sebagai suatu upaya untuk mengatasi
masalah sosial (kejahatan) termasuk dalam bidang penegakan hukum (khususnya
penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering dikatakan bahwa politik atau
kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law
enforcement policy).20 Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa politik kriminal
pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial.
Selanjutnya Barda Nawawi Arief mengemukakan sebagai berikut :
Usaha penanggulangan kejahatan lewat pembuatan Undang-Undang (hukum) pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian integral dari usaha perlindungan masyarakat (social Defence) dan usaha mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Dan oleh karena itu wajar pulalah apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral dari kebijakan atau politik sosial (social policy). Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus tercakup didalamnya “social welfarepolicy”dan “social defence policy.21
Muladi mengemukakan, penggunaan upaya hukum (termasuk hukum pidana)
sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang
kebijakan penegakan hukum.22 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu pula, Sudarto
berpendapat bahwa dalam kebijakan penegakan hukum dalam rangka
19 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 73-74.
20 Barda Nawawi Arief, loc.cit., hal 26.21 Ibid.22 Muladi, “Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana” (Semarang: Penerbit UNDIP, 1995),
hal. 35.
19
penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana harus diperhatikan
hal-hal sebagai berikut:23
a. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata
materiel spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan pengugeran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat.
b. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan perbuatan yang tidak dikehendaki, yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (material dan atau spiritual) atas warga
masyarakat.
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil.
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampauan beban tugas (overvelasting).
Jadi, kebijakan hukum pidana (penal policy) atau penal-law enforcement
policy operasionalisasinya melalui beberapa tahap yaitu tahap formulasi (kebijakan
legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial) dan tahap eksekusi (kebijakan
eksekutif/administratif). Dari ketiga tahap tersebut, tahap formulasi merupakan tahap
yang paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui
23 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana,( Bandung: Alumni, 1997), hal. 44-48.
20
kebijakan hukum pidana. Kesalahan/ kelemahan kebijakan legislatif merupakan
kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan
penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.
c. Teori Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan suatu usaha mewujudkan ide-ide yang bersifat
abstrak menjadi kenyataan, jadi penegakan hukum adalah suatu proses untuk
mewujudkan keinginan-keinginan hukum yang dalam hal ini tidak lain merupakan
pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-
peraturan hukum itu.24
Hukum yang telah dipilih sebagai sarana untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat, bernegara dan berbangsa yang berwujud peraturan perundang-
undangan melalui aparatur negara, maka perlu ditindaklanjuti usaha pelaksanaan
hukum itu secara baik sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Disini kita telah
masuk ke dalam bidang penegakan hukum. Dalam hal ini perlu diperhatikan
komponen-komponen yang terdapat dalam sistem hukum yaitu struktur, substansi dan
kultur.25
Menurut Satjipto Rahardjo,26 Penegakan hukum merupakan suatu usaha
mewujudkan ide-ide yang bersifat abstrak menjadi kenyataan, jadi penegakan hukum
24 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologi, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hal. 24.
25 Lihat Harkristuti Harkrisnowo, “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan” dalam Jurnal Keadilan Vol. 3, No. 6 Tahun 2003/2004.
26 Satjipto Rahardjo, op.cit.
21
adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum yang dalam hal
ini tidak lain merupakan pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.
Kalau penegakan hukum diartikan sebagai proses perwujudan ide-ide, nilai-
nilai, yang terkandung didalam hukum maka sebenarnya telah masuk pada bidang
manajemen. Kebutuhan untuk pengelolaan hukum ini memerlukan wadah yang
disebut organisasi beserta birokrasinya. Dalam masyarakat yang semakin kompleks
kehadiran suatu organisasi untuk mengelola segala kebutuhan hidup sangat menonjol.
Untuk bisa menjalankan tugasnya, organisasi itu dituntut untuk mewujudkan tujuan-
tujuan hukum itu mempunyai suatu tingkat otonomi tertentu.
Otonomi ini dibutuhkan untuk bisa mengelola sumber daya yang tersedia
dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Sumber-sumber daya ini berupa:
1. Sumber daya manusia seperti hakim, polisi, jaksa, panitera.
2. Sumber daya fisik seperti gedung, perlengkapan, kendaraan.
3. Sumber daya keuangan, seperti belanja negara dan sumber lain.
4. Sumber-sumber daya yang selebihnya yang dibutuhkan untuk menggerakkan
organisasi dalam usahanya mencapai tujuannya.27
Secara konsepsional maka inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai
27 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, BPHN Departemen Kehakiman, Tanpa Tahun, hal. 18.
22
tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.28
Lebih lanjut Soerjono Soekanto mengatakan bahwa “Penegakan hukum
sebagai suatu proses, pada hakekatnya merupakan penerapan diskresi yang
menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum,
akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.” Roscoe Pound menyatakan, bahwa
pada hakekatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti
sempit).29
Joseph Goldstein membedakan penegakan hukum pidana menjadi 3 bagian
yaitu:
1. Total enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana
sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (subtantive law
of crime). Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan
sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana
yang antara lain mencakup aturanaturan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan pendahuluan. Disamping itu
mungkin terjadi hukum pidana substantif sendiri memberikan batasan-batasan.
Misalnya dibutuhkan aduan terlebih dahulu sebagai syarat penuntutan pada
delik-delik aduan (klacht delicten). Ruang lingkup yang dibatasi ini disebut
sebagai area of no enforcement.
28 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hal. 47.
29 Ibid, hal. 4
23
2. Full enforcement, setelah ruang lingkup penegakan hukum pidana yang
bersifat total tersebut dikurangi area of no enforcement dalam penegakan
hukum ini para penegak hukum diharapkan penegakan hukum secara
maksimal.
3. Actual enforcement, menurut Joseph Goldstein full enforcement ini dianggap
not a realistic expectation, sebab adanya keterbatasanketerbatasan dalam
bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang
kesemuanya mengakibatkan keharusan dilakukannya discretion dan sisanya
inilah yang disebut dengan actual enforcement.30
Sebagai suatu proses yang bersifat sistemik, maka penegakan hukum pidana
menampakkan diri sebagai penerapan hukum pidana (criminal law application) yang
melibatkan pelbagai sub sistem struktural berupa aparat kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan pemasyarakatan. Termasuk didalamnya tentu saja lembaga penasehat
hukum. Dalam hal ini penerapan hukum haruslah dipandang dari 3 dimensi:
1. penerapan hukum dipandang sebagai sistem normatif (normative system) yaitu
penerapan keseluruhan aturan hukum yang menggambarkan nilai-nilai sosial
yang didukung oleh sanksi pidana.
2. penerapan hukum dipandang sebagai sistem administratif (administrative
system) yang mencakup interaksi antara pelbagai aparatur penegak hukum
yang merupakan sub sistem peradilan diatas.
30 Muladi, op.cit.
24
3. penerapan hukum pidana merupakan sistem sosial (social system), dalam arti
bahwa dalam mendefinisikan tindak pidana harus pula diperhitungkan
pelbagai perspektif pemikiran yang ada dalam lapisan masyarakat.
Sehubungan dengan pelbagai dimensi di atas dapat diakatakan bahwa
sebenarnya hasil penerapan hukum pidana harus menggambarkan keseluruhan hasil
interaksi antara hukum, praktek administratif dan pelaku sosial.31
d. Teori Perjanjian Masyarakat
Teori perjanjian masyarakat merupakan teori asal usul negara yang paling tua
yang pernah dikemukakan dalam catatan sejarah manusia.32 Selain itu, teori perjanjian
masyarakat juga dikenal sebagai teori mengenai asal usul negara yang paling bersifat
universal karena teori ini dapat dijumpai baik dalam budaya barat maupun budaya
timur, serta dapat juga ditemui dalam hukum Islam maupun hukum Nasrani.
Universalitas dari teori ini disebabkan karena kesederhanaannya, karena secara
logika, pemerintahan dan hukum lahir dari sebuah kelompok individu (masyarakat)
seperti yang dikatakan dalam adagium ubi societas ibi ius. Dari adagium tersebut
dapat kita tarik kesimpulan bahwa hukum lahir dari masyarakat (ataupun bagian dari
masyarakat yang berwenang mengenainya) dan ditetapkan atas persetujuan anggota-
anggotanya. Persetujuan itu dapat diberikan secara tegas (expressed) atau dianggap
telah diberikan secara diam-diam (tacitly assumed).33
31 Ibid, hal. 41.32 Naskah tertua yang dapat ditemui dalam peradaban barat yang membahas mengenai teori
perjanjian masyarakat ini ditemukan di Yunani yaitu merupakan naskah Plato yang ditulis antara tahun 428 – 347 Sebelum Masehi, sedangkan naskah tertua di budaya timur ditemukan di India yang ditulis oleh Kautilya yang ditulis antara tahun 321 – 300 Sebelum Masehi.
33 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Cetakan Kesembilan, (Bandung: Putra A Bardin, 1999), hal. 136.
25
Persetujuan diberikan oleh masyarakat dalam rangka mendapatkan
perlindungan terhadap hak-hak individu dan personal mereka pula. Hal tersebut
membawa pada fungsi dan tujuan negara pada umumnya, yaitu menjalankan
pemerintahan atau kepemimpinan dengan baik serta melindungi kesejahteraan dan
ketertiban masyarakatnya. Terhadap fungsi dan tujuan negara pun, banyak ahli yang
mengemukakan pendapatnya. Terdapat beberapa kelompok ahli yang mengemukakan
bahwa sesungguhnya fungsi negara adalah untuk memberikan kesejahteraan materiil
dan kebahagiaan bagi setiap individunya. Aliran ini didukung oleh pemikiran dari
James Wilford Garner.34
2. Konsepsional
Konsepsional adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang akan diteliti dan konsep itu sendiri merupakan salah satu
unsur konkrit dari teori. Namun demikian masih diperlukan penjabaran lebih lanjut
dari konsep itu dengan jalan memberikan defenisi operasionalnya. Berikut ini akan
dikemukakan depenisi operasional dari konsep-konsep yang akan diteliti.
1. Kebijaksanaan hakim
Secara etimologis kata kebijaksanaan berasal dari kata bijaksana yang
kemudian mendapat imbuhan gabung ke--an. Kata ini mengandung makna
“kepandaian menggunakan akal budi. (wisdom).” Pada kata bijaksana
34 Garner mengatakan bahwa negara memiliki tiga tujuan yakni: Tujuan Negara yang Asli dimana fungsi negara adalah mengutamakan kebahagiaan individu, Tujuan Negara Sekunder yang mengatakan bahwa fungsi negara adalah mensejahterakan warganegara secara kolektif, dan Tujuan Peradaban yang bertujuan memajukan peradaban negara. Ibid., hal. 174. Lihat juga J.W. Garner, Politicxal Science and Government, hal. 69-73.
26
terkandung makna bijak, yakni akal budi, arif atau tajam pikiran, sehingga
kata bijaksana dapat berarti “ pandai dan cermat serta teliti ketika menghadapi
kesulitan dan sebagainya.
Makna kata kebijaksanaan lebih luas daripada makna kata bijaksana.35
Adapun defenisi hakim menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan
adalah (1) orang yang mengadili perkara (di pengadilan atau mahkamah); (2)
pengadilan; atau (3) juri penilai.36
Berdasarkan pengertian kedua kata tersebut, maka kebijaksanaan hakim dalam
hal ini dimaksudkan sebagai kepandaian, kecermatan serta ketelitian hakim
menggunakan akal budinya dalam mengadili suatu perkara.
2. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk anak yang masih dalam kandungan.37
3. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi
anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.38
4. Korban kejahatan diartikan sebagai “mereka yang menderita jasmaniah dan
rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan
kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan
35 http://www.indonesia.co.jp/bataone/ruangbahasa24.html . diakses tanggal 20 Juli 2010.36 Pengertian sebagaimana tersebut dikutip oleh http://www.lexregis.com/ ?
menu=news&idn=434. Diakses tanggal 20 Juli 2010.37 UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 1 butir 1.38 UU No. 32 Tahun 2002 Pasal 1 butir 2.
27
kepentingan dan hak asasi yang menderita”.39 Sedangkan kejahatan menurut
diartikan sebagai perbuatan anti sosial yang melanggar hukum atau undang-
undang pada suatu waktu tertentu dan yang dilakukan dengan sengaja,
merugikan ketertiban umum dan yang dapat dihukum oleh negara40 Adapun
korban kejahatan dapat diartikan sebagai orang-orang yang menderita atau
merasa dirugikan baik secara badaniyah maupun secara rohaniyah akibat
perbuatan jahat yang dilakukan seseorang.
5. Pencabulan adalah semua segala perbuatan yang dimaksudkan untuk
mendapatkan kenikmatan seksual yang mana perbuatan dimaksud
mengganggu kesusilaan dan diancam dengan pidana.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang akan dilakukan dalam penulisan tesis ini adalah
penelitian yuridis empiris. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro, yuridis empiris artinya
adalah mengidentifikasikan dan mengkonsepsikan hukum sebagai institusi sosial
yang riil dan fungsional dalam sistem kehidupan yang mempola. Dalam penelitian
ini, selain mendasarkan pada penelitian lapangan, penulis juga melakukan penelaahan
secara mendalam terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pelaksanaan perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan.
2. Sumber Bahan Penelitian
39 Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak: Kumpulan Karangan, (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2004), hal. 97.
40 Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan, (Bandung: Refika Aditama, 2000), hal. 200.
28
a. Bahan hukum primer:
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
3) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;
4) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
b. Bahan hukum sekunder
1) Referensi berupa buku-buku perpustakaan yang berkaitan dengan
perlindungan hukum terhadap anak dari tindak pidana pencabulan;
2) Tulisan atau artikel yang berkaitan dengan judul skripsi.
c. Bahan hukum tertier:
1) Kamus Besar Bahasa Indonesia
2) Kamus Hukum.
3. Metode Pengumpulan Bahan Penelitian
Setelah mendapatkan sumberr bahan hukum primer dan sekunder, metode
pengumpulan bahan penelitian dilakukan dengan menelaah putusan-putusan hakim
yang berkaitan dengan korban kejahatan pencabulan anak. Untuk selanjutnya
pengumpulan data ini dilakukan dengan studi atau penelitian kepustakaan (library
research), yaitu dengan mempelajari peraturan-peraturan, dokumen-dokumen
maupun buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti, dan doktrin
atau pendapat para sarjana.
4. Metode Analisis
29
Sumber bahan penelitian yang telah dikumpulkan dengan studi kepustakaan
tersebut selanjutnya dianalisis dengan landasan berpikir nalar induktif-deduktif.
Dipilihnya metode tersebut adalah agar gejala-gejala normatif yang diperhatikan
dapat dianalisis dari berbagai aspek secara mendalam dan terintegral antara aspek
yang satu dengan yang lainnya. Setelah bahan penelitian dikumpulkan, kemudian
diabstraksi untuk menentukan konsep-konsep yang lebih umum. Konsep yang lebih
umum sebagai hasil abstraksi merupakan jawaban-jawaban dari permasalahan yang
didukung oleh argumentasi-argumentasi yang diperoleh dari bahan-bahan hukum
yang sudah ada. Dengan demikian dari hasil analisis yang dilakukan diharapkan akan
diperoleh temuan-temuan dan kesimpulan yang bersifat deskriptif-analitis sehingga
pokok permasalahan yang dijawab dalam permasalahan ini dapat dijawab.41
DAFTAR PUSTAKA
41 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 196.
30
A. BUKU
Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001).
Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002).
Ali, Achmad. Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis. (Jakarta: Gunung Agung, 2002).
F. Isjwara. Pengantar Ilmu Politik. Cetakan Kesembilan. (Bandung: Putra A Bardin, 1999).
Hasanuddin A.F., dkk. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pustaka Al Husna Baru, 2004).
Iksan, Muchamad. Hukum Perlindungan Saksi: Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. (Surakarta: Fakultas Hukum UMS, 2008).
Kapita Selekta Hukum Pidana. (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003).
Muladi. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. (Semarang: Badan Penerbit UNDIP, 1995).
Rahardjo, Satjipto. Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologi. (Bandung: Sinar Baru, 1983).
Soekanto, Soerjono. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: Rajawali Press, 1983).
Sudarto. Hukum dan Hukum Pidana. (Bandung: Alumni, 1997).
31
B. INTERNET
“Pencabulan Mendominasi Kasus Anak di Sumut,” dalam http://www.detiknews.com/read/2010/02/26/040540/1307185/10/kasus-pencabulan-dominasi-kasus-anak-di-sumut
Shalahuddin, Odi. “Perlindungan Anak dari Kejahatan Seksual”, dalam http://odishalahuddin.wordpress.com/2010/06/04/perlindungan-anak-dari-kejahatan-seksual/, diakses 10 Juli 2010.
C. JURNAL DAN MAKALAH
Harkrisnowo, Harkristuti. “Reformasi Hukum: Menuju Upaya Sinergistik Untuk Mencapai Supremasi Hukum yang Berkeadilan”, Jurnal Keadilan Vol. 3, No. 6 Tahun 2003/2004.
Hasyim, Nur. “Perlindungan Anak Ditinjau dari Perspektif Hukum”, dalam Makalah KPAID Provinsi Riau.
Nasution, Bismar. “Mengkaji Ulang Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar USU – Medan, 17 April 2004.
D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
top related