kearifan lokal (local wisdom) & ketahanan · pdf filelocal dalam bidang pertanian, ......
Post on 03-Feb-2018
253 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KEARIFAN LOKAL (LOCAL WISDOM) & KETAHANAN PANGAN
TUGAS
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Dalam Mata Kuliah
Ekologi Manusia
Dosen : Prof. Dr. Johan Iskandar, M.Sc
DISUSUN OLEH :
IID MOH. ABDUL WAHID
250120140017
MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2014
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 1
KEARIFAN LOKAL (Local Wisdom) &
KETAHANAN PANGAN
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Secara ekologis, manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem
lingkungan hidup. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan terpadu dengan
lingkungannya dan dianta-ranya terjalin suatu hubungan fungsional yang sedemikian
rupa.Dalam hubungan fungsional tersebut manusia tidak dapat dipisahkan dengan
lingkungannya. Manusia akan selalu bergantung pada lingkungan yang sekaligus
dipengaruhi dan mempengaruhi dan pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem
secara keseluruhan (Tuhulele, 2013).
Menurut Rahmawati (2012) dua krisis besar yang sedang melanda dunia saat
ini adalah krisis pangan dan krisis energi. Krisis energi dipicu oleh kian menipisnya
energi yang berasal dari bahan bakar fosil, sedangkan krisis pangan dipicu oleh
fenomena pemanasan global dan tidak meratanya distribusi pangan. Kebutuhan
pangan merupakan penggerak esensial roda perekonomian masyarakat dunia sehingga
ketika isu perubahan iklim mencuat, hal tersebut tidak ayal memunculkan kekhwatiran
tersendiri pada persoalan ketahanan pangan.
Untuk menghadapi krisis tersebut dibutuhkan komoditi alternatif untuk
diversifikasi baik bahan pangan maupun bahan energi. Indonesia memiliki potensi
pangan lokal yang luar biasa besar akan tetapi walaupun stok pangan banyak tersedia,
potensi tersebut belum termanfaatkan dengan baik. Politik pemerintah Indonesia
dalam pembangunan pertanian pangan yang diidentikkan dengan “padi”, ternyata
secara tidak langsung telah mengubah pola konsumsi masyarakat dan berdampak pada
pola diversifikasi pangan yang sudah ada sejak zaman nenek moyang. Padahal
diversifikasi pangan sebenarnya sudah merupakan budaya masyarakat secara
tradisional dan kalau pola pangan tradisional ini dikembangkan secara terencana dan
terarah maka masalah kesulitan pangan tidak perlu terjadi.
Seharusnya sebagai negara kepulauan kita mempertahankan citra kita dengan
mengembangkan segala kekayaan yang masih diwariskan para pendahulu kepada kita
saat ini yaitu kekayaan alam, budaya, serta agama. Hal ini mengajak kita bahwa kita
harus pandai-pandai memanfaatkan ekosistem-ekosistem yang ada demi
keberlanjutan pangan bagi masyarakat Indonesia. Dengan demikian penduduk negara
kepulauan selayaknya mengandalkan ketahanan pangannya bukan pada satu
komoditas unggulan saja yaitu beras tetapi pada berbagai komoditas unggulan
termasuk di dalamnya beras serta komoditi-komoditi lokal lainnya seperti jagung,
sagu, umbi-umbian, dan lain-lain
Indonesia masih banyak melakukan impor untuk bahan-bahan makanan pokok,
padahal impor tersebut seharusnya dapat ditekan, bahkan ditiadakan dengan cara lebih
mengoptimalkan potensi sumber pangan lokal yang ada di Indoensia. Ini dapat
digolongkan sebagai salah satu faktor utama yang menyebabkan kegiatan dalam
ketahanan pangan menjadi tidak maksimal. Fenomena tersebut kemudian berdampak
pada tidak stabilnya ketahanan pangan negara Indonesia. Ubi kayu, jagung, sagu,
kelapa sawit, jarak pagar, sebenarnya sangat potensial digunakan baik untuk
diversifikasi pangan dan energi maupun hanya energi.
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 2
Oleh karena itulah perlu adanya inventarisasi jenis kearifan lokal dan ketahanan
pangan yang telah ada di Indonesia.
1.2. Permasalahan
Permasalahan yang ada adalah :
1. Jenis kearifan lokal yang bagaimanakah dan di daerah mana sajakah yang
memiliki kearifan lokal untuk adaptasi keberlangsungan hidup dalam hal
ketahanan pangan?
2. Bagaimana kearifan lokal di Indonesia sangat berhubungan dengan ketahanan
pangan?
1.3. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk :
1. Mengidentifikasi jenis dan tempat kearifan lokal di seluruh Indonesia yang
berkaitan dengan ketahanan pangan.
2. Mempelajari proses dan hubungan kearifan lokal dalam ketahanan pangan
masyarakat di indonesia
1.4. Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini adalah :
1. Memberikan gambaran dan informasi tentang kearifan lokal yang ada di Indonesia
kepada para pembaca ataupun kepada seluruh masyarakat sehingga membantu
proses pengembangan pengetahuan.
2. Sebagai bahan acuan atau referensi untuk penelitian sejenis lebih lanjut di masa
mendatang.
3. Sebagai saran dan masukan bagi pemegang kebijakan dalam membuat suatu
keputusan dan kebijakan yang menyangkut ketahanan pangan.
II. TINJAUAN TEORITIS
2.1. Kearifan Lokal
Perlu dipahami juga bahwa kearifan lokal merupakan konsep yang lahir dari
peneliti/akademisi dalam mendeskripsikan respons masyarakat terhadap
lingkungannya yang dianggap arif. Kata “dianggap arif” ini tentunya lahir melalui
analisis peneliti dengan meng-konteks-kan nilai-nilai atau perilaku yang dimiliki
suatu komunitas dengan ide-ide tentang solusi atas suatu permasalan. Jika tidak hati-
hati, inilah awal dari ranjau kedua yaitu bahwa kearifan dalam konteks suatu
permasalahan belum tentu arif dalam permasalahan yang lain. Sebagai contoh,
bangunan tradisional berbagai suku bangsa di Indonesia yang didominasi dengan
bahan kayu dengan sistem sambungan yang saling mengkait seringkali dinilai sebagai
bentuk kearifan lokal terhadap lingkungan Indonesia yang rawan dengan bencana
gempa. Namun, kesimpulan semacam ini tentu tidak akan memberi jawaban yang
memuaskan terhadap konteks permasalahan lain seperti kerawanan terhadap
kebakaran atau degradasi lingkungan jika penggunaan kayu untuk perumahan
melebihi kemampuan regenarasi hutan.
Dalam definisi ini, kearifan lokal ditujukan untuk menyelesaikan persoalan
yang dihadapi. Dengan label “arif” maka penyelesaian atas permasalahan itu harus
baik dan benar. Sementara itu, berkait sifatnya kearifan lokal dapat berkekuatan
hukum ataupun tidak. Secara umum, definisi di atas menekankan bahwa kearifan lokal
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 3
lahir dari proses berpikir suatu komunitas dalam merespons permasalahan yang
dihadapi bersumber pada pengetahuan dari generasi sebelumnya yang dipandang
masih sesuai ataupun dari pengalaman-pengalaman yang dimiliki. Dengan kata lain,
definisi ini tampaknya memegang asumsi bahwa perilaku masyarakat selalu
didasarkan pada cara berpikir yang rasional. Pada titik inilah studi tentang kearifan
lokal sangat strategis untuk disandingkan dengan pandangan tentang rasionalitas
masyarakat sebagaimana diuraikan Samuel Popkin ketika mendeskripsikan kaum tani
di Vietnam.
Kearifan Lokal Masyarakat Adat dan Pengelolan Lingkungan Hidup Guna memenuhi kebutuhan hidup manusia akan memanfaatkan apa yang
tersedia di sekitar lingkungannya untuk itu manusia akan berusaha untuk beradaptasi
agar melahirkan keseimbangan dan keteraturan dalam masyarakat dan lingkungan.
salah satunya adalah di berlakukannya sistem-sistem pengendalian sosial yang berupa
norma & hukum (adat) yang merupakan produk dari masyarakat tersebut. Dalam
kelompok masyarakat tradisional indonesia atau dikenal dengan masyarakat adat dan
norma/hukum yang berlaku di dalam masyarakat tradisional ini dikenal dengan
hukum adat.
Menurut Van Apeldoorn perkataan adat semata-mata adalah peraturan tingkah
laku, kaidah-kaidah yang meletakan kewajiban-kewajiban. Peraturan tingkah laku
yang dikatakan oleh Van Apeldoorn sebagai adat yang di anut oleh masyarakatnegeri
diwariskan oleh nenek moyang atau datuk-datuk yang telah membentuk masyarakat
negeri itu untuk digunakan sebagai contoh kehidupan bagi keturunan-keturunan
mereka. Selanjutnya pudjosewojo melihat adat sebagai tingkah laku yang oleh dan
dalam satu masyarakat (sudah, sedang, akan diadakan). Peraturan tingkah laku yang
menjadi adat istiadat dari suatu masyarakat adat ini dalam perkembanganya menjadi
suatu norma hukum adat. Hukum adat untuk disebut hukum harus mengandung sanksi
tertentu, baik berupa sanksi fisik maupun denda lainnya.
Menurut Soepomo, hukum adat adalah hukum yang hidup karena ia
menjelmakan hukum yang nyata dari masyarakat, ia terus-menerus tumbuh dan
berkembang seperti hidup itu sendiri dan hukum adat berurat akar pada kebudayaan
teradisional. Jadi hukum adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang dalam
masyarakat adat karena tidak dapat dipisahkan dari keberadaan dan dinamika
masyarakat adat. Menurut Hazairin masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan
masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri
sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya,
bentuk hukum keluargannya (patrilineal, matrilineal, atau bilateral), semua
anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.
Salah satu peristiwa penting terkait dengan pengakuan dan penguatan
masyarakat hukum adat berangkat dari hasil Earth Summit di Rio de Janeiro pada 1992
dengan dikeluarkannya Rio Declaration on Environment and Development (1992).
Dalam Prinsip ke-22 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai peranan
penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup karena pengetahuan
dan praktik tradisional mereka. Oleh karenanya, negara harus mengenal dan
mendukung penuh entitas, kebudayaan dan kepentingan mereka serta memberikan
kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pencapaian pembangunan yang
berkelanjutan (sustainable development). Keberadaan masyarakat hukum adat diakui
eksisktensinya oleh negara dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 4
beserta hak-hak tradisionalnya”. Selanjutnya ketentuan ini juga memberikan batasan
sebagai syarat adanya pengakuan dan penghormatan yakni selama masyarakat hukum
adat masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang berlangsung
secara terus menerus.
Pengetahuan lokal yang dikenal sebagai kearifan lokal tumbuh dan berkembang
didalam masyarakat sebagai pengetahuan yang di turunkan dari generasi kegenerasi
sebagai bagian dari adaptasi terhadap lingkungannya. Demikian juga Gough (1977)
dan Triguna (2006) menambahkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge)
merupakan satu kultur masyarakat, yang diwariskan secara lisan secara turun temurun,
baik itu melalui upacara-upacara ritual, keseharian yang biasanya berbasis pada
kegiatan pertanian, penyediaan makanan, pelayanan kesehatan, pendidikan,
konservasi dan kegiatan-kegiatan yang lebih luas yang semuanya mengarah kepada
keberlanjutan masyarakat dan lingkungan
Menurut Wahyu (2007) bahwa kearifan local, dalam terminology budaya, dapat
diinterpretasikan sebagai pengetahuan local yang berasal dari budaya masyarakat,
yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang,
beradaptasi dengan system ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka
dengan tambahan pengetahuan baru. Secara lebih spesifik, kearifan local dapat
diartikan sebagai suatu pengetahuan local, yang unik yang berasal dari budaya atau
masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat
local dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan,
pengelolaan sumberdaya alam dan beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-
komunitas. Selanjutnya Wahyu juga menyatakan bahwa kemampuan memaknai
kearifan local oleh individu, masyarakat dan pemerintah yang diwujudkan dalam cara
berpikir, gaya hidup dan kebijakan secara berkesinambungan dalam mengelola
sumberdaya alam dan lingkungan dapat diharapkan untuk menghasilkan peningkatan
berkehidupan yang berkualitas dalam masyarakat dan Negara.
2.2. Ketahanan Pangan
Menurut Undang-Undang RI nomor 18 Tahun 2012, Pangan adalah kebutuhan
dasar manusia paling utama. Oleh karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian
dari hak asasi individu. Pemenuhan pangan juga sangat penting sebagai komponen
dasar untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Negara
berkewajiban mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan, dan pemenuhan konsumsi
pangan yang cukup, aman, bermutu, dan bergizi seimbang, baik pada tingkat nasional
maupun daerah hingga perseorangan secara merata di seluruh wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia sepanjang waktu dengan memanfaatkan sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal. Pangan merupakan kebutuhan jasmani yang tak
terelakkan, yang dalam istilah antropolog Melvile J. Herkovitas, merupakan the
primary determinants of survival bagi umat manusia.
Definisi :
Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk
pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang
diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi
konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan
lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,dan/atau pembuatan
makanan atau minuman (Kartasasmita, 2005)
Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 5
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup
sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan. Sedangkan ketahanan pangan
menurut Kartasasmita (2005) adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,
aman, merata, dan terjangkau.
Definisi ketahanan pangan sendiri masih banyak perdebatan dan kontroversi,
maka FAO (2004) memberikan empat kategori ketahanan pangan untuk
menjembatani perbedaan tersebut. Empat kategori tersebut yaitu:
1) kecukupan pangan;
2) stabilitas kecukupan pangan;
3) akses terhadap pangan; dan
4) kualitas pangan.
Ke empat kategori tersebut menurut FAO harus terpenuhi agar suatu negara
disebut telah mencapai ketahanan pangan. Namun kenyataan yang terjadi di Indonesia
adalah, di tengah keberhasilan swasembada pangan pada tahun 1982-1983, ternyata
masih banyak penduduk di pedesaan tidak merasakan dampak swasembada pangan
yang telah dicapai negara Indonesia. Masih banyak masyarakat merasakan sulitnya
mendapatkan pangan dan bahkan kekurangan pangan. Oleh karena itu sangat penting
dipahami bahwa swasembada pangan bukan berarti sama dengan pencapaian
ketahanan pangan (Martiningsih, 2012)
Yang perlu kita perhatikan di sini adalah bahwa konsep ketahanan pangan ini
tidaklah harus sama artinya dengan konsep swasembada pangan. Untuk negaranegara
seperti Taiwan dan Singapura yang mempunyai tingkat konsumsi yang relatif kecil
tidak diperlukan swasembada pangan untuk mencapai kondisi ketahanan pangan yang
tangguh. Kebutuhan pangan dari negara-negara tersebut dapat dipenuhi dari
perdagangan dunia dengan mudah.
Konsep Ketahanan Pangan
Achmad Suryana (2005 : 144) menjelaskan bahwa ketahanan pangan yang
kokoh di bangun pada tingkat rumah tangga yang bertumpu pada keragaman
sumberdaya lokal. Sejalan dengan dinamika pemantapan ketahanan pangan
dilaksanakan dengan mengembangkan sumber-sumber bahan pangan, kelembagaan
pangan dan budaya pangan yang dimiliki pada masyarakat masing-masing wilayah.
Keunggulan dari pendekatan ini antara lain adalah bahwa bahan pangan yang di
produksi secara lokal telah sesuai dengan sumberdaya pertanian dan iklim setempat,
sehingga ketersediaannya dapat diupayakan secara berkesinambungan. Dengan
kemampuan lokal tersebut maka ketahanan pangan masyarakat tidak mudah
terpengaruh oleh masalah atau gejolak pasokan pangan yang terjadi di luar wilayah
atau luar negeri. Pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa
Indonesia mengingat pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi
oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama.
Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri dari subsistem
ketersediaan, distribusi, dan konsumsi. Subsistem ketersediaan pangan berfungsi
menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik dari
segi kuantitas, kualitas, keragaman dan keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi
mewujudkan sistem distribusi yang efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh
rumah tangga dapat memperoleh pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup
sepanjang waktu dengan harga yang terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi
berfungsi mengarahkan agar pola pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 6
kaidah mutu, keragaman, kandungan gizi, kemananan dan kehalalannya (Coop
Indonesia Foundation, 2010 : 1).
Konsep Ketahanan pangan berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun
2012, yaitu kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau. Hal ini menegaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang
terus berkembang setiap waktu, upaya penyediaan pangan dilakukan dengan
mengembangkan sistem produksi pangan yang berbasis pada sumber daya,
kelembagaan, dan budaya lokal, mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan,
mengembangkan teknologi produksi pangan, mengembangkan sarana dan prasarana
produksi pangan dan mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif
III. FENOMENA KEARIFAN LOKAL DALAM KETAHANAN PANGAN
3.1. Masyarakat Adat Bali
Bali terkenal dengan adat dan tradisi Subak dalam sistem pertaniannya. Subak
merupakan salah satu kearifan lokal yang masih eksis di beberapa wilayah di Bali
adalah organisasi pembagian air di areal sawah secara tradisional. Organisasi subak
memiliki 4 (empat) elemen seperti :
1) lahan pertanian (sawah),
2) sumber air,
3) anggota subak dan
4) pura subak.
Jadi dalam setiap organisasi subak keempat elemen tersebut akan selalu ada dan
merupakan syarat mutlak sebuah organisasi subak. Menurut hasil survei yang
dilakukan oleh Wiguna dan Surata (2008) subak sampai saat ini masih dipercaya dan
diinginkan oleh hampir 70% masyarakat Bali untuk tetap eksis. Di samping itu
pemerhati subak seperti Pitana (1993), Windia (2002), Sutawan (2003), meyakini
bahwa melestarikan subak merupakan salah satu cara untuk tetap menjaga pelestarian
pertanian dan lingkungan dalam rangka pencapaian ketahanan pangan dan hayati
khususnya di daerah Bali. Keyakinan ini berdasarkan alasan elemen-elemen dalam
organisasi subak seperti lahan pertanian, anggota subak, pembagian air, dan kegiatan-
kegiatan ritual di pura subak masih berfungsi dengan baik.
Dari hasil-hasil penelitian tersebut secara umum subak ternyata masih
diinginkan untuk berperan dalam proses pembangunan di Bali. Pembangunan Bali
berarti pembangunan yang mampu mensejahterakan masyarakat Bali secara
keseluruhan, menjaga stabilitas Bali dari konflik-konflik adat, agama dan etnik. Di
samping itu beberapa pemerhati subak termasuk pemerintah masih meyakini bahwa
mengajegkan subak merupakan salah satu cara untuk menyelamatkan budaya Bali
dari pengaruh globalisasi pariwisata. Apalagi menurut pendapat Triguna (2006)
bahwa modal sosial kearifan lingkungan merupakan hasil abstraksi pengalaman
beradaptasi dalam pemanfaatan sumber daya untuk pemenuhan kebutuhan dasar
kehidupan, yang terwujud dalam pranata kebudayaan dan hukum-hukum adat.
Pelaksanaan tradisi subak sebagai kearifan lokal masyarakat Bali ternyata
memberikan keberlangsungan pertanian di daerah Bali sehingga dengan kata lain
Subak memberikan keuntungan lanjut berupa ketahanan pangan masyarakat Bali.
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 7
3.2. Masyarakat Desa Laelo Sekitar Kawasan Danau Tempeh, Kabupaten Wajo
Sulawesi Selatan
Berdasarkan laporan Trans 7 tanggal 10 Nopember 2014 Masyarakat Desa
Laelo merupakan salah satu masyarakat yang berada di kawasan Danau Tempeh
Sulawesi Tengah. Mata pencaharian utama masyarakat tersebut adalah nelayan ikan
air tawar. Menangkap ikan adalah hal biasa dan sudah menjadi kehidupan sehari-hari
dalam rangka memenuhi salah satu kebutuhan pangan.
Tradisi Mabeleh : Ketahanan Pangan Masyarakat Berkelanjutan
Tradisi mabeleh adalah kegiatan menangkap ikan di Danau Tempe dengan
menggunakan pagar dari bambu. Prinsipnya sama seperti keramba tetapi bersifat
alami, artinya ikan dipelihara secara alami tanpa ada pemberian pakan buatan.
Mabeleh tersebut merupakan daerah yang sudah dipagari berbentuk persegi yang
diperkirakan banyak ikannya. Satu mabeleh biasanya dikerjakan secara berkelompok.
Uniknya luas mabeleh ini biasanya dikurang 1 meter masuk ke dalam setiap hari,
artinya luas mabeleh semakin berkurang tiap harinya. Biasanya luasan mabeleh bisa
mencapai 2 Ha yang kemudian setelah sekitar 2-3 bulan semakin menyempit menjadi
ukuran 1-2 meter x 10 meter dimana ikan menjadi terkumpul dan sudah besar sehingga
mudah untuk dipanen.
Tradisi ini juga memberikan gambaran bahwa ikan yang kecil tetap dibiarkan
supaya tumbuh besar dan siap di panen. Akibatnya ketersediaan ikan sebagai sumber
pakan tetap terjaga jumlahnya.
Eceng Gondok Sebagai Sumber Energi Alternatif
Selain mabeleh masyarakat Desa Laelo juga mengembangkan energi alternatif
dari bahan eceng gondok. Eceng gondok yang melimpah di Danau Tempeh membawa
berkah bagi petani untuk sumber energi alternatif pengganti BBM. Eceng gondok,
oleh masyarakat Desa Laelo dijadikan biogas. Prosesnya cukup sederhana yaitu
memotong kecil-kecil (dicacah) eceng gondok kemudian di campur dengan kotoran
sapi sebagai sumber bakteri untuk fermentasi. Kemudian dimasukan kedalam wadah
tertutup sehingga diperoleh Biogas (gas metana) dengan bantuan bakteri methanogen.
Gas yang terbentuk ditampung dalam kantung plastik besar atau dalam tabung/tangki
penampung yang kemudian disalurkan ke kompor gas di rumah masing-masing
penduduk, sehingga tidak tergantung BBM dalam kehidupan sehari-hari.
3.3. Masyarakat Adat Dayak Kalteng
Masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memiliki kekayaan budaya/tradisi lokal
dalam pengelolaan lingkungan hidup. Budaya/tradisi local ini sarat dengan nilai-nilai
kearifan dan sudah diterapkan semenjak jaman nenek moyang dahulu kala hingga
kini. Beberapa kearifan lokal dimaksud diuraikan berikut ini.
Pola perladangan berpindah Suatu contoh nilai-nilai kearifan lokal yang diterapkan pada usaha perladangan
berpindah diuraikan oleh Alamsyah (2010) ialah :
a) Pola yang digunakan masyarakat adalah pola berladang gilir balik. Pola ini berarti
bila, suatu areal sudah dibuka dan diladangi oleh masyarakat, maka akan ditinggal
beberapa waktu tertentu untuk membuka lahan baru. Kemudian, setelah ladang
pertama subur, maka masyarakat akan kembali lagi untuk menyambung
perkebunan pada lahan tersebut.
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 8
b) Para peladang tradisional suku Dayak lebih suka memanfaatkan Jekau (hutan
sekunder) daripada Empak (hutan primer).
c) Para peladang selalu melakukan survey tentang kualitas lahannya sebelum
berladang. Kebiasaan survey ini sudah menjadi adat kebiasaan turun temurun
pada masyarakat
d) Dalam setiap kegiatan berladang, masyarakat selalu melakukan upacara-upacara
ritual adat untuk memohon kepada Sang Pencipta untuk memberikan kesuburan
tanah. Hal tersebut dapat diartikan bahwa masyarakat memang sangat dekat
dengan alamnya, dan menunjukan bahwa mereka mempunyai semangat yang
tinggi untuk pelestarian alam dan lingkungan hidup.
e) Dalam aktifitas membuka lahan, tentunya tidak semua tumbuhan dan fauna yang
dibabat, namun masih ada sebagian yang dibiarkan tumbuh subur di ladang
mereka yang dianggap bermanfaat di kemudian hari.
f) Peristiwa berladang sebenarnya adalah peristiwa budaya, dimana budaya handep
hapakat atau kerjasama sejak menebas, membakar, menanam, hingga memanen
merupakan rangkaian kearifan yang ditorehkan dalam kebersamaan dan semangat
cinta kasih.
g) Berladang adalah budaya regeneratif, dimana karet, rotan, damar dan tumbuhan
lainnya ditanam pasca perladangan sebelumnya. Budaya ini, karenanya
masyarakat Dayak menanam tumbuhan tersebut dibekas ladang terdahulu adalah
suatu keharusan.
h) Masyarakat Dayak Kalteng adalah masyarakat tradisional yang masih
menghormati dan memegang erat hukum adat mereka. Hukum adat yang masih
kuat, karenanya para tokoh masyarakat seperti, Penghulu, Damang, Kepala Adat
atau Tetua Kampung masih dominan untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan dan persoalan yang muncul di masyarakat.
i) Hukum adat memberikan sanksi kepada mereka yang merusak hutan dan lahan
dengan cara membakar. Hukum adat yang dimaksud dapat berupa Denda Adat,
Pati Pamali, Penggantian Kerugian dan yang lebih berat biasanya sampai “hukum
sosial” yaitu rasa malu yang harus ditanggung oleh pelaku jika merusak kebun
atau ladang orang lain.
Menurut Dohong (2010) dan Mukti (2010) masyarakat dayak Kalimantan
Tengah juga mempunyai adat dan kearifan lokal berupa Kaleka dan Sepan-Pahewan.
Kaleka ialah daerah peninggalan nenek moyang Suku Dayak jaman dahulu kala.
Daerah ini biasanya ditandai dengan adanya bekas tiang-tiang rumah betang/rumah
panggung, pohon-pohon besar dan berumur tua seperti durian, langsat dan sebagainya.
Lokasi tersebut umumnya dipelihara dan dilindungi oleh pihak keluarga secara turun
temurun sebagai harta waris yang peruntukan dan pemanfaatannya (misal mengambil
buah-buahan) untuk kepentingan bersama (common property). Dari perspektif
konservasi ekologis, kaleka dapat dipandang sebagai gudang plasma nutfah (genetic
pool).
Sepan-pahewan merupakan tempat sumber mata air asin dimana binatang-
binatang seperti rusa, kijang, kancil dan lain-lain meminum air asin sebagai sumber
mineral. Dalam bahasa Dayak Kenyah sepan-pahewan disebut dengan istilah
Sungan. Lokasi sepan-pahewan merupakan tempat perburuan Suku Dayak untuk
memenuhi kebutuhan hewani. Tempat perburuan karenanya, lokasi tersebut umumnya
selalu dipelihara dan dilindungi. Perlindungan lokasi sepan-pahewan sangat relevan
dengan konsepsi perlindungan satwa pada konservasi modern.
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 9
Dengan adanya Keleka dan Sepan-Pahewan maka sumber makanan bagi
masyarakat adat dayak Kalimantan Tengah dapat terjaga atau dengan kata lain
ketahanan pangan berkelanjutan pada masyarakat dapat terjaga dengan baik.
3.4. Masyarakat Adat Dayak Kalbar
Mata pencaharian orang Dayak sebagai peladang yang berotasi (shifting
cultivation), sejauh mana setiap warga komunitas dapat melakukan rotasi pembukaan
ladang dapat menjadi tanda batas-batas teritorial adat suatu komunitas orang Dayak.
Tanah adat termasuk hutan primer dan sekunder merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan secara lestari oleh warga komunitas, dengan melakukan sistem rotasi
lahan yang akan dibuka berarti petani peladang Dayak memberikan kesempatan
secara alamiah agar di tanah bekas ladang dapat tumbuh tanaman liar dan secara
perlahan akan berubah menjadi hutan sekunder kembali. Nenek moyang atau leluhur
orang Dayak memiliki kebiasaan menanam berbagai tanaman buah seperti durian,
nangka, cempedak, langsat, rambutan dan lainnya.
Hal ini berbeda dengan anggapan orang luar yang menyangka tanaman buah di
tembawang merupakan tanaman liar yang tumbuh dengan sendirinya tanpa campur
tangan orang. Tradisi lisan yang dituturkan secara turun-temurun di kalangan
masyarakat Dayak, tanaman buah dahulu sengaja ditanam di sekitar ladang yang baru
dibuka dengan tujuan untuk mengalihkan perhatian hama babi dan monyet
berdasarkan pengalaman bahwa pada musim buah serangan hama babi dan monyet
sangat berkurang (Dewi, 2006).
Tembawang adalah suatu area kebun buah-buahan, warisan dari leluhur yang
dimiliki atau dikuasai secara individual maupun kolektif oleh suatu kelompok
genealogis orang Dayak. Keberadaan tembawang juga dapat dijelaskan dalam konteks
sistem tanurial masyarakat Dayak. Hak kepemilikan dan penguasaan tanah dalam
masyarakat Dayak pada masa lalu dan sebagian masih berlaku sampai saat ini tidak
dibuktikan dalam bentuk selembar kertas yang disebut surat tanah, leter C ataupun
sertifikat tanah. Tanda kepemilikan maupun penguasaan tanah dalam masyarakat
Dayak lebih mengandalkan pada pengakuan sosial dan tanda suatu hamparan tanah
yang sudah dikuasai oleh seseorang atau satu keluarga adalah adanya tanaman buah-
buahan di lahan tersebut. Oleh karena itu tembawang dapat dianggap merupakan bukti
kepemilikan lahan atau tanah dari suatu keluarga orang Dayak. Tembawang dapat
diwariskan kepada anak cucu baik secara individual maupun kolektif yaitu satu
generasi keturunan memiliki tembawang secara bersama-sama.
Sistem bercocok tanam masyarakat Dayak di ladang yang dilakukan secara
berotasi ini sering disebut sebagai bentuk kearifan lokal karena orang Dayak tidak
melakukan aktivitas pertanian yang merusak lingkungan. Mereka memang menebang
hutan untuk membuat ladang namun mereka memberi kesempatan kepada alam untuk
memperbaiki kualitas sumber daya alamnya dengan cara membiarkan bekas ladang
selama lebih dari sepuluh tahun sehingga tanah bekas ladang tersebut telah berubah
menjadi hutan sekunder. Orang Dayak pada masa lalu tidak melakukan aktivitas
pertanian yang bersifat ekstraktif karena mereka bercocok tanam sekedar untuk
memenuhi kebutuhan pangan keluarga batih mereka.
Hasil penelitian (Tim Peneliti, 2000) menunjukkan bahwa sampai akhir periode
1970-an setiap keluarga orang Dayak di Kabupaten Sanggau menguasai kurang lebih
40 hektar tanah pertanian. Apabila setiap keluarga batih orang Dayak hanya mampu
mengolah ladang seluas 2 hektar, dengan sistem rotasi setiap dua atau tiga kali panen,
lalu pindah ke petak tanah lainnya sampai akhirnya kembali ke lahan semula. Nico
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 10
Andasputra (2007: 2) menyatakan sistem perladangan yang telah dilakukan selama
berabad-abad lalu sebenarnya relatif tidak merusak hutan seperti yang selama ini
dituduhkan kepada orang Dayak.
Berdasarkan pengalaman, mereka berpindah secara periodik dan kembali ke
petak yang sama selang 25-40 tahun sehingga petak ladang yang pertama kali dibuka
sudah berubah menjadi hutan kembali. Sistem pertanian ladang berotasi yang
dipraktikkan oleh masyarakat Dayak merupakan suatu kearifan lokal yang sesuai
dengan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat pada masa lalu ketika kepentingan
perekonomian nasional dan global belum banyak bersentuhan dengan kehidupan
masyarakat Dayak. Dengan perladangan, kelestarian ekosistem justru terjaga dengan
baik karena perladangan merupakan miniatur dari hutan yang menjaga konservasi
tanah dan kesuburan tanaman dengan menggunakan humus dari dedaunan tanaman
hutan (Geertz dalam Hudayana, 2005: 19).
Masyarakat Dayak telah mengembangkan sistem pengelolaan sumber daya
alam berdasarkan kebudayaannya. Prinsip-prinsip dasar manajemen sumber daya
alam tersebut harus memenuhi kearifan-kearifan sebagai berikut:
1) Berkesinambungan (Sustainability). Alam tidak dipandang sebagai aset atau
kekayaan melainkan sebagai “rumah” bersama. Konsep “rumah bersama” ini
sangat jelas terlihat dalam setiap upacara yang mendahului tahap kegiatan
berladang.
2) Kebersamaan (Collectivity). Alam beserta seluruh isinya dikelola berdasarkan
prinsip kebersamaan dan demi kepentingan bersama.
3) Keanekaragaman (Biodiversity). Dalam sistem bercocok tanam orang Dayak,
unsur keanekaragaman (biodiversity) yang menjadi prioritas utama, bukan
produktivitas. Prinsip keanekaragaman tanaman ini berlaku pada ladang orang
Dayak di mana terdapat ratusan jenis tanaman seperti puluhan varietas padi,
sayuran, buah-buahan dan obat-obatan.
4) Subsistensi. Sumber daya alam yang diolah dan dimanfaatkan oleh masyarakat
Dayak umumnya dikonsumsi untuk keperluan keluarganya sendiri. Berdasarkan
prinsip subsistensi ini, pemanfaatan sumber daya alam dilaksanakan dalam skala
kecil sekedar untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
5) Tunduk pada hukum adat. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam pada
masyarakat Dayak dilakukan berdasarkan pada hukum dan adat istiadat yang telah
diformulasikan berdasarkan pengalaman turun-temurun dari nenek moyang
(Bamba, 1996: 13-23).
Dibandingkan dengan pihak-pihak berkepentingan lain, masyarakat Dayak
mempunyai motif yang paling kuat untuk melindungi hutan adatnya. Bagi masyarakat
Dayak yang tinggal di dalam dan sekitar hutan, menjaga hutan dari kerusakan
merupakan bagian paling penting dalam mempertahankan keberlanjutan
kelangsungan kehidupan mereka sebagai komunitas yang berlandaskan pada adat
istiadat dan hukum adat (Andasputra, 2007: 5). Hal tersebut itulah yang menjamin
ketahanan pangan yang berkelanjutan masyarakat dayak yang ada di Kalbar.
3.5. Masyarakat Adat Maluku
Kehidupan masyarakat Maluku yang kaya akan sumber daya alam baik di
laut maupun di darat masih berlaku hukum adat hal ini terlihat dari adanyaa kesatuan
masyarakat yang teratur yang mempunyai penguasa dan menetap disuatu wilayah
tertentu yang dikenal dengan wilayah petuanan (ulayat). Kesatuan hukum adat
masyarakat ini sejak dahulu sangat berpengaruh dalam berbagai aspek, baik
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 11
pemerintahan, ekonomi terutama pengelolaandan perlindungan lingkungan hidup, hal
ini terlihat dengan masih sangat bergantungnya masyarakat adat malukupada
ketersediaan lingkungan, kehidupan masyarakat yang masih bersifat komunal dan
masih mempertahankan kearifan lokal yag didapatnya dari pengetahuan yang
diturunkan secara turun temurun.
Masyarakat adat maluku dengan kearifan lokalnya sebagai bagian dari struktur
pemerintahan negara, harus diposisikan sebagai bagian integral dalam proses
pembangunan. Artinya partisipasi aktif masyarakat adatharus direspons secara positif
oleh pemerintah. Masyarakat adat harus diberikan kebebasan untuk berkreasi sesuai
potensi yang dimiliki, sehingga ada keseimbangan. Kebijakan pembangunan harus
terintegrasi dengan tetap berbasis pada masyarakat adat yang mempunyai hukum adat,
sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang patut diakui eksistensinya.
Kehidupan sosial dan budaya masyarakat maluku yang tidak terlepas dari
hukum adat digunakan dalam upaya pengelolaan sumber daya alam guna memenuhi
kebutuhan hidupnya sekaligus sebagai upaya pelestarian atas sumber daya hayati dan
ekosistemnya. Salah satu bentuk pengelolaan dan perlindungan atas lingkungan hidup
oleh masyarakat adat maluku adalah sasi.
Sasi merupakan praktik-praktik pengelolaan dan perlindungan sumber daya
alam yang dilaksanakan masyarakat adat maluku dinilai selaras dengan prinsip
pengelolaan lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan. Sasi juga didukung oleh
kebijakan adat sebagai bentuk pengetahuan lokal yang secara turun-temurun sudah
mengatur bahwa pengelolaan dan pemanfaatan alam harus memperhatikan kelestarian
sumber daya alam serta lingkungan.
Sasi sebagai pranata adat mengandung kekuatan hukum yang mengikat bagi
masyarakat adat tesebut karena dalam penyelangaraan sasi mengandung ketentuan
yang mengatur tentang larangan serta kebolehan bagi masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup dan perlindungannya. Keberlakuan hukum dalam sasi mengenal
pembatasan wasktu berdasarkan jenis sumber daya alam yang diaturnya.Di
Maluku masyarakat adat yang tinggal pulau-pulau kecil maupun di wilayah pesisir
memiliki sistem ‘sasi’ atau larangan memanen ataumengambil dari alam (di laut atau
didarat) sumber daya alam tertentu untuk waktu tertentu. Sasi sebagai
upaya perlindunganguna menjaga mutu dan populasi sumber daya alam hayati.
Adanya larangan pengembilan hasil sebelum waktunya, maka akan terjadi
peningkatan populasi sumber daya alam hayati.
Penerapan sasi diterapkan pada sumber daya alam di laut maupun didarat, di
darat sasi diberlakukan pada tanaman dan buah-huahan yang dilarang untuk di panen
setiap waktu, ada waktu-waktu tertentu tanaman tersebut dilarang untuk di ambil
dengan tujuan hasil yang di dapat lebih maksimal dan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat adat tersebut. Larangan dalam hukum sasi mulai berlaku sejak adanya
upacara adat “tutup sasi” dan berakhinya hukum sasi saat upacara “buka sasi “ di
lakukan.
Sasi yang dikenal masyarakat di pesisir Salah satunya adalah Sasi ikan lompa
di Pulau Haruku kabupaten maluku tengah, terkenal sebagai satu acara tahunan yang
unik bagi masyarakat di Pulau Haruku dan Ambon yang menunjukkan salah satu
bentuk kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan ditetapkannya
sasi atas spesies dan di wilayah tertentu oleh Kewang maka siapapun tidak berhak
untuk mengambil spesies tersebut. Ketentuan ini memungkinkan adanya
pengembang-biakan dan membesarnya si ikan lompa, untuk kemudian di panen ketika
sasi dibuka lagi
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 12
Keunikan sasi di pulau haruku ini karena sasi ini merupakan perpaduan antara
sasi laut dengan sasi kali (sungai). Hal ini disebabkan karena keunikan ikan lompa itu
sendiri yang, dapat hidup baik di air laut maupun di air kali. Setiap hari, dari pukul
04.00 dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap tinggal di dalam kali Learisa
Kayeli sejauh kurang lebih 1500 meter dari muara. Pada malam hari barulah ikan-ikan
ini ke luar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali lagi ke dalam kali pada
subuh hari. Pada saat mulai memberlakukan masa sasi (tutup sasi), dilaksanakan
upacara yang disebut panas sasi. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam setahun,
dimulai sejak benih ikan lompa sudah mulai terlihat.
Sasi dalam penyelengaraanya di awasi oleh suatu lembaga adat yang di sebut
kewang (semacam polisi adat di Maluku Tengah), kewang sebagai lembaga adat yang
berakses secara langsung dengan wilayah adat (wilayah ulayat/petuanan) suatu
masyarakat adat baik di darat maupun di laut. Pengawasan dan pengaman lembaga
kewang menjamin terjaganya keseimbangan hubungan antara manusia dan
lingkungan hidupnya dengan pemanfaatan sumber daya alam secara terkendali dan
bijaksana.
Lain lagi bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup Masyarakat
Adat Aru (Maluku Tenggara), berperadaban yang ecocentrism, tercermin dalam
eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan
memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem pesisir dan
kepulauan. Pada Musim Timur (Mei-Oktober) mereka bekerja di kebun membuat
kanji dari sagu dan berburu, Pada Musim Barat (November-April) lebih terfokus pada
sumberdaya laut seperti mengumpulkan Teripang dipesisir pantai yang sedang pasang
ataupun berburu Hiu.
Pengumpulan teripang oleh masyarakat adat Aru tidak mengunakan alat apapun
tetapi memanfaatkan pengetahuan/kearaifan lokal (indigenous knowledge) mengenai
kehidupan Tripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada
cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya. Melalui pengetahuan lokal
inilah komunitas lokal Aru mengorganisasikan kekuatannya mengelola sumberdaya
alam yang satu ini secara lestari. Sebagai contoh: Di Musim Barat saat pasang naik
merupakan saat yang tepat untuk “memanen”Tripang; tetapi dibatasi dari November
sampai Maret saja karena Tripang (khususnya Tripang Putih dan Tripang Matahui)
berproduksi pada bulan April. Masyarakat adat Aru sangat kuat memegang
kepercayaan yang dianutnya yang berhubungan erat dengan mitologi.hal ini menjadi
instrumen tangguh dalam menjaga kelestarian alam dan keberlanjutanya, karena alam
dan seluruh isinya dianggap sebagi milik leluhurnya yang senantiasa memantau agar
pengunaan sumber daya alam sehemat mungkin sekedar untuk memenuhi kebutuhan
hidup dan memikirkan mereka yang akan hidup.
Kepala adat sebagi mediator antara leluhur dan anak cucunya pada waktu-
waktu tertentu akan melakukan dialog, hasil dialog tersebut berupa kesepakatan untuk
hanya menagambil teripang yang berukuran besar dan ada masa larangan (restriction)
untuk mengambil teripang atau yang dikenal dengan sasi teripang selama ± 3 (tiga)
tahun, hal ini dimaksud agar memberikan kesempatan pada alam untuk melakukan
regenerasi. Jika hal ini dilanggar maka akan terjadi penyimpangan yang
dimanifestasikan dengan bencana alam.
Melihat bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup masyarakat
adat Maluku dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari sasi di Maluku merupakan
wujud dari kesadaran dan kearifan lokal masyarakat adat maluku dalam pengelolaan
dan perlindungan serta pelestarian lingkungan hidup sebagai modal dasar. Dengan
adanya sasi warga masyarakat adat tidak mengelola sumberdaya alamnya secara
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 13
sembarangan sehingga sumber daya alam yang ada dapat berdaya guna dan lestari
demi kepentingan dan kesejahtraan masyarakat
3.6. Masyarakat Galesong dengan Adat Patorani
”Patorani” menunjukkan sekelompok orang dengan pekerjaan khusus pencari
ikan terbang. Ikan bersayap ini diburu oleh para ”patorani” bukan karena jenis
ikannya, tetapi yang utama adalah mengumpulkan telurnya sebagai komoditas
ekonomi yang sangat penting bagi mata dagangan untuk konsumsi ekspor yang
diminati oleh banyak negara seperti; Jepang, Korea dan Cina. Namun yang pasti
bahwa patorani telah ada sejak dahulu kala, sejak manusia mengenal ikan torani. Telur
ikan terbang ini, selain sebagai salah satu primadona nelayan Galesong, sekaligus juga
menjadi simbol langgengnya sistem ekonomi pesisir patron-client.
Ikan Terbang Ikan ini merupakan salah satu komoditas laut yang sangat
digemari oleh berbagai kelompok masyarakat. Ikan juga dipercayai sebagai salah satu
jenis makanan yang dapat meningkatkan beberapa aspek kesehatan tubuh. Salah satu
jenis ikan yang akhir-akhir ini mendapat perhatian tidak hanya dari kelompok nelayan
yang menghasilkannya namun juga oleh konsumen baik dalam maupun luar negeri.
Salah satu bagian penting dari ikan terbang adalah telurnya. Telur ikan terbang
dianggap berguna untuk pengobatan karena mengandung karagenan.
Kepercayaan dan Upacara Tradisional
Kepercayaan masyarakat Galesong menganggap bahwa di laut terdapat
kekuatan gaib yang dapat mengancam kehidupan nelayan tetapi juga dapat
memberikan kesejahteraan hidup. Hal ini telah berakar dalam jiwa masyarakat
nelayan, sejak nenek moyang mereka. Oleh karena itu dalam menghadapi kekuatan-
kekuatan gaib yang penuh misteri itu, mereka adakan suatu upacara. Berhasil tidaknya
mereka membujuk atau menenangkan kekuatan gaib tersebut tergantung pada kualitas
upacara yang diselenggarakan. Pelaksanaan upacara sangatlah hati-hati menjaga
segala pantangan yang tabu dilakukan agar tidak terjadi sesuatu yang dapat
menyebabkan kegagalan.
Kearifan Lokal Mengenai Laut
Patorani adalah salah satu bentuk kelompok nelayan Makassar yang telah ada
sejak lama di Sulawesi Selatan. Dalam kondisi realitasnya sampai saat ini masih
mengelola, memelihara dan memanfaatkan sumber daya hayati laut berdasarkan
norma-norma dan nilai-nilai budaya. Melalui perilaku nelayan dalam bentuk
penggunaan teknologi cara (soft ware technolgy) maupun teknologi alat (hard ware
technology) yang bersifat partisipatif, asosiatif, analogik dan orientif yang melembaga
serta masih tetap dipertahankan dalam konteks kekinian. Sejumlah bentuk strategi
adaptif nelayan yang sering digunakan antara lain:
1. Tanda Alam Sebagai Pedoman Melaut
Dalam kaitannya dengan kegiatan melaut, para nelayan berpedoman pada berbagai
gejala alam seperti gugusan bintang yang bertaburan di angkasa ataupun gumpalan
awan yang berarak di samping peredaran musim, peredaran matahari dan bintang,
bahkan juga arah angin dan arus gelombang laut. Aktivitas penangkapan ikan laut
bagi para nelayan di Galesong turut dipengaruhi oleh adanya perangkat
pengetahuan tradisional tentang laut dan gejala-gejala alam, termasuk astronomi
dan meteorologi tradisional yang diwarisi dari generasi terdahulu.
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 14
2. Pola Produksi
Pengetahuan dan teknologi penangkapan ikan diwarisi dari generasi terdahulu,
selanjutnya ditransformasikan pula kepada angkatan generasi yang lebih muda
melalui proses sosialisasi. Pola produksi dilakukan bisa dengan perorangan atau
dilakukan secara berkelompok. Produksi tersebut dilakukan dengan menangkap
ikan terbang tetapi yang dikhususkan adalah pengambilan telor-telor ikannya.
3. Wilayah Tangkapan
Secara garis besar batas wilayah tangkapan para nelayan patorani di Galeson tidak
hanya terbatas di perairan yang dangkal, melainkan sampai jarak jauh melintasi
perairan wilayah provinsi atau pulau terluar dari batas geografis daerahnya.
Menurut keterangan yang diperoleh, mereka sampai di wilayah perairan perbatasan
pulau Kalimantan dan bahkan hingga perairan Fak Fak di Jayapura.
4. Ritus Tradisi Patorani
Masyarakat nelayan di Galesong Utara menyadari betul, bahwa hidup dalam
ekologi kelautan harus dihadapi dengan spirit kejuangan yang tinggi. Ritus para
komunitas Patorani yang dilakukan secara tradisional ini, paling tidak bertujuan
untuk memperoleh keselamatan dalam aktivitas penangkapan ikan terbang (torani)
dan berharap memperoleh hasil tangkapan yang maksimal. Para nelayan menyadari
bahwa sumber daya laut memberikan berbagai kemungkinan agar mereka dapat
bertahan (survive), bukan semata-mata tingkat subsistensi, tetapi bahkan nelayan
dapat mencapai surplus yang memungkinkan mereka mampu untuk hidup
sejahtera.
Upacara tradisional patorani adalah sebuah upacara sakral yang penuh
muatan nilai-nilai magis-religius, sehingga harus dilakukan secermat dan
senormatif mungkin menurut tata cara yang sudah baku, sebagaimana pernah
dilakukan oleh nenek moyang mereka. Upacara ini biasanya dimulai menjelang
para nelayan melakukan operasi penangkapan ikan di laut. Kegiatan itu dilakukan
menjelang musim kemarau atau akhir bulan April sampai September pada setiap
tahun. Tetapi biasanya upacara tersebut dilaksanakan sekitar bulan April atau Mei
setiap tahunnya. Ada tiga tempat (tahapan) penyelenggaraan upacara tradisional
pa’torani dilakukan, yaitu pertama di rumah punggawa yang kemudian dilanjutkan
di pinggir pantai dan upacara terakhir sebagai simpul dari rangkaian upacara
diselenggarakan di sebuah pulau yaitu pulau Sanrobengi yang dipercayai sebagai
pintu gerbang menuju samudra lepas menemukan telur ikan terbang.
Perburuan ikan terbang oleh masyarakat di Galesong Kabupaten Takalar,
adalah sebuah peristiwa kenelayanan yang tidak hanya bernilai ekonomi semata,
tetapi merupakan ritus kehidupan yang sarat dengan nilai-nilai sosial dan spiritual
yang mengandung makna yang sangat dalam, tentang suatu hubungan sesama
manusia, alam (lingkungan), dan Tuhannya. Koneksi ini, tergambarkan secara
gamblang melalui rangkaian-rangkaian acara, sejak dimulai upacara
pemberangkatan, perburuan ikan di laut lepas, sampai pada upacara syukuran yang
dilakukan ketika mereka pulang kembali ke pantai membawa hasil yang
menggembirakan.
Doa syukuran melalui acara selamatan selama musim penangkapan berakhir,
yaitu sekitar bulan September dan puncak acara dilakukan di pinggir pantai dengan
mempersembahkan sejumlah ekor ayam dan kambing untuk dikorbankan, bahkan
kerbau dan sapi (dipotong) sebagai tanda sukacita atas keberhasilan mereka.
Apabila acara itu telah usai, maka seluruh peralatan dan perlengkapan dibersihkan
termasuk perahu yang digunakan melaut untuk kemudian disimpan pada tempatnya
dengan rapi dan menunggu musim penangkapan berikutnya tiba. Menangkap ikan
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 15
terbang pun kembali dilakukan secara turun temurun sebagai bentuk alih
pengetahuan (transfer knowledge) dan keberlanjutan tradisi. Pencarian dan
pengumpulan telur ikan terbang sampai saat ini masih tetap berlanjut, sesuai
dengan hukum ekonomi adanya pengiriman (supply) karena didorong oleh
permintaan (demand).
3.7. Masyarakat / Komunitas Petungkriyono Kabupaten Pekalongan Jawa Tengah
Petungkriyono melingkupi kawasan seluas 7.236 ha, secara administratif
Petungkriyono merupakan bagian dari Kabupaten Pekalongan. Wilayah ini terbagi
menjadi sembilan desa. Sembilan desa tersebut adalah Tlagapakis, Kayupuring,
Kasimpar, Yosorejo, Songgodadi, Curugmuncar, Simego, Gumelem, dan
Tlagahendro. kawasan ini merupakan hamparan pegunungan dengan ketinggian
bervariasi antara 500-1.634 m di atas permukaan laut (dpl). Seluruh kecamatan ini
merupakan daerah dengan kelembaban udara yang relatif tinggi. Sebuah laporan
penelitian telah menuliskan bahwa suhu rata-rata di Petungkriyono berkisar antara 12-
18 derajat celcius, dengan curah hujan rata-rata 5000-6000 mm/tahun.
Dengan iklim basah ini sebagian besar masyarakat sekitar hutan di
Petungkriyono bekerja sebagai petani kecil. Populasi terus meningkat dari tahun ke
tahun, tapi lahan mereka tidak bertambah menyebabkan akses petani Petungkriyono
terhadap lahan semakin kecil. Dengan peningkatan populasi tersebut lahan pertanian
tiap keluarga di Petungkriyono pun tidaklah lebih dari 0,4 ha (Haryanto 1994; Murtijo
2002).
Dengan lahan yang sempit tersebut selain menanam padi, ketela, ubi dan jagung
sebagai sumber makanan sehari-hari, mereka juga menanam bermacam tanaman
komoditas seperti bawang daun, kopi, cabai, tomat, ataupun wortel. Dari lahan
tegalan, pohon aren yang sering tumbuh terutama di daerah yang tak terlalu tinggi
seperti Kasimpar dan Kayupuring pun dimanfaatkan masyarakat dengan mengolahnya
menjadi gula aren. Sementara di daerah yang relatif tinggi seperti Gumelem dan
Simego tanaman teh dan tembakau banyak ditanam sebagai penyokong perekonomian
masyarakat. Pemeliharaan sapi turut berperan penting pula dalam perekonomian
orang Petungkriyono1. Selain memelihara sapi peranakan Ongole yang telah ada di
Jawa dan Sumatra sejak awal tahun 1900-an, kini orang Petung juga banyak
memelihara sapi peranakan Kobis (Dutch Friesian), Charolais, Simmental, dan
Brahman (Nusrat, 2003). Sapi-sapi ini dikandangkan di sekitaran rumah, sedang
pakannya diperoleh dari merumput di lahan tegalan ataupun hutan pinusan. Di
Petungkriyono, usaha pemeliharaan sapi hanya diupayakan untuk pembesaran sapi.
Sapi yang masih kecil (pedet) diberi makan terus hingga besar, dan setelah besar
ditukar (dilambang) dengan dua ekor pedet demikian berulang seterusnya. Namun
demikian, adanya kebutuhan-kebutuhan yang besar seperti pernikahan, pengobatan
kerabat yang sakit, ataupun biaya sekolah seringkali memaksa orang Petung menjual
sapi mereka. Dengan praktik semacam ini keberadaan ternak sapi dipandang sebagai
salah satu investasi sekaligus tabungan yang dimiliki masyarakat.
Seiring berbagai perubahan fisik dan lansekap, perubahan besar dalam sistem
pertanian pun terjadi. Untuk pertanian padi, masyarakat mulai mengenal bibit padi
kucir (padi Semeru). Dengan masa panen yang hanya 4-5 bulan masyarakat mampu
panen dua kali setahun yaitu dengan tetap menanam varietas padi Jawi dalam masa
tanam pertama dan menanam padi kucir di masa tanam kedua. Akibatnya, kebutuhan
tenaga kerja pun semakin besar. Apalagi jika masa tanam dan masa panen tiba. Untuk
mengatasi permasalahan tenaga kerja ini masyarakat membangun sebuah mekanisme
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 16
kerja bersama bernama sambatan. Melalui sambatan seseorang yang hendak
menggarap lahannya dapat minta bantuan kerabat dan tetangganya untuk turut dalam
kerja di lahan pertaniannya. Dengan demikian keberlanjutan dan ketahanan pangan
masyarakat Petungkriyono dapat terjaga dengan baik.
3.8. Komunitas Masyarakat Kampung Sarongge Kecamatan Cisarua, Bogor
Leuit adalah sebutan lokal bagi lumbung penyimpan padi atau gabah hasil
panen komunitas petani di Kampung Sarongge, Desa Cisarua, Kecamatan Sukajaya,
Bogor. Selama puluhan tahun dan dari generasi ke generasi masyarakat kampung itu
masih mempertahankan tradisi menyimpan padi dalam lumbung keluarga baik untuk
kepentingan konsumsi maupun benih musim tanam berikutnya. Sistem pertanian yang
menempatkan leuit sebagai bagian sitem pangan lokal ini merupakan satu bukti ---di
tingkat tertentu--- masih adanya kedaulatan pangan di tingkat komunitas petani
Tradisi Agraris di Kampung Sarongge
Kampung Sarongge adalah salah satu kampung di Desa Cisarua. Terletak di
lereng Gunung Halimun bagian utara kurang lebih 40 km arah barat daya kota Bogor.
Mayoritas warga kampung Sarongge hidup dari pertanian, khususnya padi sawah.
Tidak ada satupun keluarga yang tidak menanam padi. Praktek pertanian padi ini telah
berkembang secara turun temurun dari generasi ke generasi yang klemudianj
membentuk sistem pengetahuan dan tradisi bertani sendiri, seperti menjaga
keberagaman jenis benih, persiapan lahan, persiapan benih, penanaman,awatan,
pemanenan, penyimpanan sampai pada pola konsumsi dan distribusinya. Semua
rangkaian proses budidaya otu dikawal oleh berbagai aturan dan ritual. Pertanian padi
adalah sistem pengetahuan yang hidup dan menghidupi pemiliknya.
Hampir semua produksi padi di Sarongge dikonsumsi sendiri oleh masyarakat.
Budaya menjual padi atau gabah hampir tidak ada dan tidak dikenal. Beras merupakan
makanan pokok mereka sejak lama dan ada semacam tabu untuk menjualnya. Benih
padi yang ditanam juga merupakan jenis lokal yang dihasilkan sendiri. Masih ada 29
jenis varietas padi lokal yanng dikembangkan. Pola tanam dan teknologi masih sangat
sederhana dan mengandalkan tenaga manusia. Hanya saja kuatnya pengaruh revolusi
hijau sangat terasa di Kampung ini dengan adanya ketergantungan pada pupuk dan
pestisida kimia.
Leuit dan Ketahanan Pangan
Hampir setiap rumah penduduk mempunyai tempat penyimpanan hasil panen
padi yang dinamakan LEUIT dengan kapasitas yang berbeda. Leuit sendiri merupakan
semacam kotak/peti besar atau lumbung padi. Masih ada 14 leuit di kampung ini yang
letaknya tersebar di dalam kampung maupun di lokasi pesawahan. Peti biasanya
merupakan tempat menyimpan hasil panen keluarga yang hampir setiap rumah
memilikinya. Sementara leuit lebih bersifat komunal atau dimiliki oleh keluarga
dengan kapasitas produksi yang besar. Di dalam leuit inilah padi hasil panen mereka
disimpan sampai bertahun-tahun lamanya.
Saat ini padi dalam leuit ada yang sampai berumur 10 tahun. Umur padi yang
sudah lama ini biasanya terjadi karena padi yang lama tertumpuk oleh padi yang baru
dipanen begitu seterusnya sehingga tidak sempat dikonsumsi. Masyarakat disana
menyebut padi yang sudah tua dengan Indung Pare (tumbal). Indung pare ini sengaja
dibiarkan terus di tumpukan bagian bawah. Menyimpan padi tua di leuit sebenarnya
lebih didasarkan pada adanya konsep “Menabung” supaya mempunyai cadangan
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 17
makanan untuk setiap musim baik panen maupun paceklik agar terjaminnya
kehidupan yang berkelanjutan.
Perubahan cara pandang terhadap leuit untuk sekarang juga sudah mengalami
perubahan. Kalau dulu indung pare jangan sampai digunakan tetapi untuk saat ini
boleh digunakan untuk situasi dan kondisi tertentu seperti hajatan dan ritual, tetapi
tetap harus ada penggantinya dengan padi baru yang disimpan di leuit jika sudah
panen tiba.
Padi di leuit baik untuk dikonsumsi setelah minimal disimpan 40 hari dan
intensitas pengambilan hanya boleh 1 kali seminggu dalam jumlah ikatan padi yang
tetap dan dalam hitungan ganjil. Maknanya adalah masyarakat punya kesadaran untuk
berhemat dan memiliki standar pangan yang cukup untuk keluarga dalam satu minggu
sampai dengan musim panen berikutnya. Hal inilah yang menyebabkan adanya
ketahanan pangan di kampung Sarongge tetap terjaga dengan baik sampai sekarang.
Prosesi ritual memasukkan padi didahului dengan membakar kemenyan sambil
membaca do’a kemudian dilakukan Rasulan ngelepkeun (nitipkeun pare) di leuit atau
peti.
Konservasi Benih Padi
Agar hasil panen padi menjadi baik maka masyarakat Kampung Sarongge,
sebelum menanam padi terlebih dahulu memilih bibit padi yang baik yang kemudian
dipisahkan dari padi yang akan disimpan di leuit. Benih padi biasanya disimpan
digantung di atas atap atau kayu dekat dapur paling lama 1 tahun. Karena jika
disimpan lebih dari 1 tahun biasanya kualitas padi yang dihasilkan kurang baik dan
tidak optimal. Padi benih tidak boleh tercampur dengan padi tua “indung pare” dalam
leuit. Secara keilmuan modern sebenarnya dapat dijelaskan bahwa menyimpan padi
di dapur adalah untuk menghindari kelembaban yang tinggi.
Dengan masih tersimpannya padi lokal maka keanekaragaman jenis padi masih
terjaga dan masyarakat Kampung Sarongge tidak memerlukan benih dari luar karena
sudah tercukupi benihnya sehingga ketahanan pangan pun dapat terjaga dengan baik.
3.9.Kearifan Lokal Masyarakat Tatar Sunda
Pada umumnya masyarakat pedesaan tatar pasundan mempunyai kearifan lokal
dalam memelihara lingkungan pekarangan dengan menanam berbagai macam tanaman
serta adanya kolam ikan. Hal ini berfungsi sebagai sumber pangan yang bersifat
subsisten dan berlaku terus menerus sampai sekarang. Karakteristik pekarangan di
daerah tatar sunda biasanya ditanami aneka tanaman kayu semusim dan dilengkapi
dengan kolam pekarangnan (Iskandar, 2014).
Pada kolam pekarangan biasanya dipelihara berbagai macam jenis ikan seperti
: sepat, sepat siyem, nilem, gurami dan lele. Sementara itu pematang-pematang kolam
umumnya ditanami talas, serawung, singkong, ubi jalar, bawang daun, dan waluh
siyem. Tanaman tersebut tumbuh subur karena tanahnya yang gembur berasal dari
lumpur/tanah kolam yang diangkat ke pematang ketika kolam “dibedahkeun”
(dipanen). Hasil tanaman pinggir kolam dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan
kebutuhan sehari hari atau sebagian digunakan untuk pakan ikan sendiri.
Dengan demikian penduduk desa di tatar pasundan yang mengembangkan
sistem pekarangan tersebut di atas dapat dikatakan telah mengembangkan dan
melestarikan keanekaragaman hayati sekaligus meningkatkan ketahanan pangan dan
memellihara kesehatan penduduk, disamping sistem tersebut cukup adaptif terhadap
perubahan iklim yang kian tidak menentu. (Iskandar, 2014).
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 18
3.10. Komunitas Punan Benalui
Komunitas Punan Benalui berada di daerah hulu Sungai Bahau, Kec. Long
Pujungan, Kabupaten Malinau, Kalimantan Timur. Dalam pemenuhan kebutuhan hidup
sehari-hari terutama pangan dilakukan dengan berburu dan meramu meskipun sudah
ada yang mengerjakan perladangan berpindah. Kehidupan komunitas Punan Benalui
hidup berkelana di hutan-hutan primer secara berpindah pindah dalam kelompok yang
terdiri dari 20-100 orang. Biasanya tinggal selama 1-2 tahun atau berpindah kembali
dan ditinggalkan selamanya jika ada salah satu warganya meninggal. (Iskandar, 2009).
Pada umumnya , aktivitas sehari-hari komunitas Punan Benalui terdiri dari 2
kegiatan utama yaitu tinggal di kamp pondok-pondok (moko) dan pergi ke luar kamp
pondok/kampung (tei melakau). Sementara itu bahan panngan mereka diperoleh dengan
cara memungut hasil-hasil tumbuhan liar dan berburu berbagai jenis binatangn liar di
hutan. Jika ditinjau dari segi kehidupan ekonominya komunitas Punan mempraktekkan
sistem ekonomi subsisten. Mereka mengkonsumsi sagu dari tumbuhan nanga
(Eugeissona utilis) dan jakah (Arenga undulatifolia). Selain itu mereka mengkonsumsi
buah buahan yang ada di hutan primer. (Iskandar, 2009).
Selain mengkonsusmsi buah buahan, ketika musim buah mereka melakukan
perbuaruan binatang liar. Hal ini disebabkan banyak binatang liar muncul mencari
makan berupa buah buahan. Jenis binatangn yang diburu antara lain : babi hutan, rusa,
kijang, planduk, landak, musanng, kalong, kera, kera beruk dsb. Perburuan binatang liar
tersebut dilakukan hanya dengan peralatan sederhana berupa tombak (mabang satong),
menirukan bunyi binatang (nedok) dan menggunakan perangkap (nyaut). Proses
penangkapan juga dengan selalu memperhatikan keserasian dan keseimbangan
ekosistem sehingga jumlah dan populasi binatang liar tersebut tetap terjaga.
3.11.Sistem Agroforestry Masyarakat Baduy, Banten Selatan
Pada masyarakat Baduy, mata pencaharian utama mereka adalah berhuma atau
berladang. Setiap tahun Suku Baduy menggarap huma dan tabu untuk bertani sawah.
Lahan yang digunakan untuk huma biasanya adalah hutan sekunder tua (reuma kolot)
yang ditanami padi gogo dan tanaman semusim lainnya. Jika telah dipanen maka
ditanami kembali, digarap ulang atau diberakan. Lahan yang diberakan setelah dipanen
akan membentuk reuma ngora atau hutan sekunder muda yang kemudian tumbuh
menjadi hutan sekunder tua (reuma kolot). (Iskandar, 2009).
Jika lahan yang diberakan tersebut dikonversikan menjadi rumah tempat tinggal
maka daerah tersebut dinamakan babakan atau kampung baru. Sekitar babakan banyak
ditanami aneka ragam tanaman keras, buah-buahan, dan pohon-pohon kayu yang
kemudian dinnamakan dukuh lembur.Berdasarkan adat masyarakat adat Baduy, dukuh
lembur tidak boleh (tabu) dibuka dijadikan ladanng. Konsekuensinya dukkuh lembur
menjadi suatu bentuk hutan buatan manusia (man-made forest), yang struktur
vegetasinya menyerupai hutan. Dukuh lembur tersebut selain memberikan fungsi
ekologis seperti fungsi hutan, juga mempunyai fungsi penting sosial ekonomi. Sehingga
sistem dukuh lembur, reuma dan huma dapat dikategorikan sebagai sistem agroforesty
tradisional yang menganut kearifan lokal. Hal ini pula mendukung ketahanan pangan
masyarakat Baduy.
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 19
IV. STRATEGI MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN
4.1. Permasalahan Strategis Ketahanan Pangan Nasional
Perumusan strategi ketahanan pangan khususnya di Indonesia tentunya tidak
terlepas dari masalah strategis ketahanan pangan nasional. Ketujuh masalah strategis
ketahanan pangan tersebut adalah :
1. Ketersediaan pangan pokok yang harus dapat mengejar laju konsumsi akibat
tingginya laju pertumbuhan penduduk.
2. Masalah lambatnya penganekaragaman pangan menuju gizi seimbanng.
3. Masalah keamanan pangan
4. Kerawanan pangan dan gizi buruk yang masih cukup memprihatinkan
5. Alih fungsi lahan pertanian dan konservasi lahan dan air
6. Pengembangan infrastruktur pedesaan
7. Belum berkembangnya kelembagaan pangan baik struktural maupun kelembagaan
pangan masyarakat seperti kelembagaan sarana produksi, keuangan mikro pasca
panen di beberapa daerah.
Sedangkan menurut Kartasasmita (2005), permasalahan lain dalam mewujudkan
ketahanan pangan andalah belum terpenuhinya pangan yang layak dan memenuhi syarat
gizi bagi masyarakat miskin, rendahnya kemampuan daya beli, masih rentannya stabilitas
ketersediaan pangan secara merata dan harga yang terjangkau, masih ketergantungan yang
tinggi terhadap makanan pokok beras, kurangnya diversifikasi pangan, belum
efisiensiennya proses produksi pangan serta rendahnya harga jual yang diterima petani,
masih ketergantungan terhadap import pangan.
Dari permasalahan di atas diharapkan nantinya dapat dirumuskan strategi untuk menuju
ketahanan pangan.
4.2. Strategi Nyata Untuk Ketahanan Pangan
Beberapa permasalahan yang sudah diketahui sebagaimana dinyatakan
sebelumnya, dianalisis dan dirumuskan cara pemecahannya. Beberapa strategi untuk
mewujudkan ketahanan pangan tersebut sebagaimana dinyatakan oleh Kartasasmita
(2005) adalah sebagai berikut :
a. Demokratisasi Sistem Pemerintahan
Sesungguhnya ruh dari program ketahanan pangan adalah ketersediaan dan
aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan secara adil dan merata. Ketersediaan
mengandung nilai semangat produktifitas, adapun aksesibilitas mencakup bagaimana
pemenuhan hak asasi serta keterjangkauan termasuk daya beli seluruh rakyat akan
pangan. Produktifitas mengandung nilai kemandirian dan keberdayaan. Adapun
pemenuhan hak asasi rakyat akan pangan berhubungan bagaimana proses
demokratisasi pemerintahan berjalan dengan baik.
Demokrasi yang genuin dapat diwujudkan apabila hak dasar akan pangan pada seluruh
masyarakat sudah terpenuhi secara adil dan merata. Terdapat hubungan timbal balik
antara ketahanan pangan atau perkembangan kemajuan ekonomi dengan kualitas
demokrasi di suatu bangsa
b. Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Proses desentralisasi dan otonomi daerah membuka peluang keberlangsungan
ketahanan pangan nasional dengan berbagai keunikan dan keanekaragam hayatidan
budaya lokalnya. Dalam konteks otonomi daerah, ketahanan pangan nasional sangat
ditentukan oleh ketahanan pangan di daerah Semakin mandiri dan berdaya daerah
dalam ketahanan pangannya, semakin memungkinkan kemandirian nasional dan
keberdayaan nasional dalam ketahanannya pangannya.
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 20
c. Kemandirian Pembangunan Perdesaan
Kemandirian pembangunan perdesaan sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan
nasional hanya dapat terwujud bila kondisi saling ketergantungan tersebut dibangun
atas dasar kekuatan modal sosial yang tinggi. Budaya silih-asih, silihasah, silih-asuh,
gotong-royong, ulah pareumeun obor, tikaracak ninggang batu launlaun jadi legok,
kudu nyaah ka sasama, ulah poho ka karuhun jeung ka-anak incu, serta ngajaga
amanah sesungguhnya merupakan nilai-nilai dalam transformasi sistem
pembangunan pertanian masa datang yang tuntutannya lebih holistik
d. Pemberdayaan (empowerment)
Tidak ada suatu kemandirian tanpa proses pemberdayaan. Pemberdayaan berarti
memampukan masyarakat dan pemerintah daerah dalam aspek material, intelektual,
moral dan manajerial. Pemberdayaan dalam program ketahanan pangan berarti pula
proses sistematis, berkesinambung dan terpadu dalam sistem ketahanan pangan yang
berakarkan kekuatan rakyat serta kearifan budaya lokal untuk menghadapi tantangan
dan kebutuhan pangan secara nasional dan global
Sedangkan menurut Cahyanto, dkk (2012), strategi untuk mewujudkan ketahan pangan
nasional adalah dengan penguatan kearifan lokal dan penguatan desa sebagai basis
lumbung pangan nasional.
4.3. Penguatan Kearifan Lokal Solusi Ketahanan Pangan Nasional
Indonessia kaya akan sumber daya keanekaragaman hayati dan
keanekaragaman budaya. Potensi yang besar ini harus dimanfaatkan sesuai dengan
kondisi fisik, sosial budaya daerahnya masing masing. Kearifan lokal adalah salah
satunya. Dengan mengembangkan kearifan lokal yang dinamis selaras dengan
ekologi, kemiskinan tidak hanya dapat dikurangi tetapi juga dapat dihindari karena
lestarinya sumber daya bagi generasi berikutnya. Kearifan lokal mengandung nilai
dan norma norma sosial yang mengatur bagaimana seharusnya membangun
keseimbangan antara daya dukung lingkungan alam dengan gaya hidup dan kebutuhan
manusia.
Variasi jenis dan macam pangan lokal Indonesia sangat beragam, hal ini
tergantung dari budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Nasi jagung, Sagu dan
Gaplek bukan mencerminkan keadaan sosial ekonomi masyarakat yang rendah tetapi
kebiasaan dan kearifan masyarakat setempat dalam memanfaatkan keadaan alam yang
harmonis dan selaras. Salah satu upaya nyata untuk meningkatkan percepatan gerakan
penganekaragaman konsumsi pangan dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan
adalah dengan mengembalikan pola penganekaragaman konsumsi pangan yang telah
mengakar di masyarakat sebagai kearifan lokal (Tupan, 2011).
Beberapa ragam jenis pangan yang sudah disesuaikan dengan kategori budaya
dan kearifan lokal masing masing daerah antara lain adalah 1). Ketela pohon; 2) Garut
atau Arairut; 3) Sukun; 4) jagung; 5) sagu; 6) kentang; 7) ubi jalar; 8) talas dan lain
sebagainya
Dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian tanaman pangan, kearifan
lokal ini dapat dijadikan pendamping dari ilmu-ilmu serta teknologi modern. Karena
kearifan lokal merupakan internalisasi dari pengalaman hidup yang panjang dan
menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat lokal dengan norma-norma sosialnya.
Kearifan lokal ini dapat sekaligus menjadi penyaring modernisasi yang dapat
berdampak negatif bagi kehidupan sosial dan budaya masyarakat setempat, maupun
merusak alam lingkungan.
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 21
Kearifan lokal menjadi benteng yang sangat penting dalam meningkatkan
peranan dunia usaha di bidang pertanian tanaman pangan. Peran dunia usaha
memproduksi komoditas pangan memang sulit dihindari, sebaliknya peran tersebut
perlu didorong. Sementara peran pemerintah lebih terfokus pada regulasi dalam
penyediaan infrastruktur pertanian. Meski demikian peranan dunia usaha tetap harus
sejalan dengan kearifan lokal yang telah tumbuh dan berkembang pada kehidupan
masyarakat pedesaan selama ini. Dengan begitu ketahanan pangan nasional akan
terwujud dengan adanya diversifikasi konsumsi pangan yang berbasis kearifan lokal
(Tupan, 2011).
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kearifan lokal masyarakat Indonesia yang beranekaragam merupakan modal
yang sangat besar dalam proses mewujudkan ketahanan pangan nasional. Beberapa
kearifan lokal yang telah mengakar dan tetap eksis sampai sekarang antara lain adalah:
1) kearifan lokal masyarakat bali dengan subaknya; 2) masyarakaat desa Laelo,
Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan dengan Mabeleh nya; 3) masyarakat adat dayak
kalimantan tengah dengan pola ladang bergilir, kaleka dan sepan-pahewan nya; 4)
masyarakat adat dayak kalbar dengan pola ladang bergilir dan tembawangnya; 5)
masyarakat adat maluku dengan sasi; 6) Masyarakat Galesong dengan Pattorani; 7)
Kearifan lokal masyarakat Petung kriyono, Pekalongan Jawa Tengah; 8) masyarakat
kampung Sarongge, Cisarua, Bogor dengan Leuit; 9) Kearifan lokal masyarakat tatar
Pasundan dengan sistem pekarangan agroforestry; 10) masyarakat Dayak Punan
dengan sistem berburu dan meramu; dan 11) masyarakat baduy dengan sistem
perladangan di reuma dan huma nya.
Terdapat hubungan yang tidak dapat terpisahkan antara kearifan lokal dan
ketahanan pangan. Sehingga untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional harus
tetap mempertahankan dan menguatkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi sosial,
budaya daerahnya masing-masing. Hal ini disebabkan karena untuk mewujudkan
ketahanan pangan nasional basisnya adalah ketahanan pangan daerah dan ketahanan
pangan daerah sendiri berbasis pada kearifan lokalnya.
5.2. Saran
Beberapa saran yang harus diperhatikan untuk mewujudkan ketahanan pangan
nasional adalah sebagai berikut :
1. Budaya daerah dan kearifan lokal yang ada jangan sampai terkikis habis oleh arus
globalisasi.
2. Pemerintah sudah selayaknya terus melakukan internalisasi kearifan lokal tiap
daerah untuk mewujudkan ketahanan pangan di daerah tersebut demi mewujudkan
ketahanan pangan nasional.
3. Diversifikasi pangan harus segera dilakukan untuk mendukung terwujudnya
ketahanan dan keamanan serta kemandirian pangan nasional.
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 22
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. Adaptasi Bioekologi Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan
Iklim. Departemen Kehutanan. Jakarta
............., 2011. Buku Kearifan Lokal di Tengah Modernisasi. Kementerian Kebudayaan dan
Pariwisata Republik Indonesia. Jakarta. P. 161-280
Bahua, Muhammad Ikbal. 2010. Strategi Penguatan Lumbung Pangan Desa Dalam
Menunjang Pemenuhan Ketahanan Pangan. Fakultas Pertanian. Universitas Negeri
Gorontalo
Budiyanto, Moch. Agus Krisno. 2010. Model Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis
Pisang Melalui Revitalisasi Nilai Kearifan Lokal. Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2,
Agustus 2010: 170–177
Cahyanto, S.S, Bonifasius S.P. dan Attabik Muktaman, 2012. Penguatan kearifan lokal.
Prosiding the 4th International Conference on Indonesian Studies. https://icssis. files.
Wordpress.com/2012 /05/09102012 -66.pdf diakses tanggal 5 nopember 2014 jam
10.10 WIB
Iskandar, J. 2009. Ekologi Manusia dan Pembangunan Berkelanjutan. PSMIL. Universitas
Padjajaran. Bandung.
Iskandar, Johan. 2014. Manusia dan Lingkungan Dengan Berbagai Perubahannya. Graha
Ilmu. Yogyakarta.
Kartasasmita, Ginanjar. 2005. Ketahanan Pangan dan Ketahanan Bangsa. Seminar
“Pengembangan Ketahanan Pangan Berbasis Kearifan Lokal”. Bandung, 26
November 2005. www.ginandjar.com. Diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 10.15
WIB
Listinawati, Endang. 2010. Diversifikasi Pangan Dalam Mencapai Ketahanan Pangan. Jurnal
Agrobis Vol. 2 No. 4 Tahun 2010. Hal. 11-17
Martiningsih, N.G.A.G.E., 2012. Pelestarian Subak Dalam Upaya Pemberdayaan Kearifan
Lokal Menuju Ketahanan Pangan dan Hayati. Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 2,
Agustus 2012, hlm. 303 - 312
Mentayani, Ira. 2008. Jejak Hubungan Arsitektur Tradisional Suku Banjar Dan Suku
Bakumpai. Thesis. Jurnal Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 36 nomor 1. Universitas
Lambung Mangkurat. Banjarmasin.
Miharja, Arif,. 2000. Leuit Kearifan Lokal Dalam Kedaulatan Pangan, Wacana ELSPPAT,
Edisi 30/VIII
Iid Moh. Abdul Wahid (250120140017)
Tugas Mata Kuliah Ekologi Manusia 23
Mukti, A. 2010. Beberapa Kearifan Lokal Suku Dayak Dalam Pengelolaan Sumber Daya
Alam. Universitas Brawijaya. https://abdulmuktirusydi. files.wordpress.com /2011/07
/kearifan-lokal1.pdf diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 09.53 WIB
Rahmawati, Farida. 2012. Potensi Pangan Lokal Menuju Ketahanan Pangan Nasional.
Skripsi. http://farobsess.blogspot.com/2012/12/potensi-pangan-lokal-menuju-ketahanan
.html diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 10.02 WIB
Qodriyatun, Sri Nurhayati. 2013. Bencana Hidrometeorologi dan Upaya Adaptasi Perubahan
Ikllim. Jurnal Kesejahteraan Sosial. Vol. V, No. 10/II/P3DI/Mei/2013
Soemarwoto, O. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan.
Jakarta.
Syafa’at, R. 2011. Ringkasan Ketahanan Pangan dan Kearifan Lokal.
http://eprints.undip.ac.id /40821/1/RINGKASAN.pdf diakses tanggal 5 Nopember 2014
jam 12.30 WIB
Tupan. 2011. Wujudkan Ketahanan Pangan dengan Kearifan Lokal. http://accountability.
humanitarianforumindonesia.org/LinkClick.aspx?fileticket = GNVCYk54hCw%3D &
tabid =648&mid=1526 diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 10.25 WIB
Tuhulele, P. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Adat Maluku Dalam Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG
DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50
Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013. http://fhukum.unpatti.ac.id/artikel
/lingkungan-hidup-pengelolaan-sda-dan-perlindungan-hak-hak-adat/269-kearifan-lokal-
masyarakat-adat-maluku-dalam-perlindungan-dan-pengelolaan-lingkungan-hidup,
diakses tanggal 5 Nopember 2014 jam 09.59 WIB
top related