keabsahan akad nikah via telepon pendekatan …eprints.unpam.ac.id/1312/1/jurnal pkn, vol.3 maret...
Post on 17-Feb-2020
17 Views
Preview:
TRANSCRIPT
89
KEABSAHAN AKAD NIKAH VIA TELEPON PENDEKATAN MASLAHAH AL-MURSALAH DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN
Oleh : TAUFIK KURROHMAN ( Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang/UNPAM)
ABSTRAK
Undang-undang No.1 Tahun 1974 adalah bagian dari transformasi
hukum Islam masuk dalam perundang-undangan di Indonesia. Dimana di
dalamnya terdapat berbagai aspek dalam konteks keilmuan hukum Islam
(Fikih) mengenai perkawinan diakomodir oleh undang-undang tersebut.
Salah satu yang substansial dari depinisi nikah yang dikemukan oleh
fuqoha bahwa pernikahan secara aksiologi suatu jalan yang dilegalkan
oleh syar‟i guna menghantarkan tabiat syahwat kemanusiaan diletakan
pada tempat yang mulia dan bernilai ibadah. Suatu hal yang harus
dijawab dari waktu-kewaktu oleh fikih kontemporer dalam hal ini adalah
problematika pernikahan yang akan terus berkembang dan dinamis
sejalan dengan perkembangan teknologi seperti saDat ini pernikahan via
telepon yang dilakukan oleh pasangan Ario Sutarto Bin Drs. Suroso
Darmoatmojo dengan Nurdiani Binti Prof. Dr. Baharudin Harahap serta
pasangan Abudurrahman wahid (Gusdur) dengan Sinta Nuriah Wahid.
Pernikahan via telepon tersebut menimbulkan problematika di dalam
masyarakat pada aspek keabsahan baik dalam konteks fikih kontemporer
dan pada aspek undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Penelitian dalam paper ini dilakukan dengan cara kualitatif, penulusuran
literature kepustakaan dan hasil dari penelitian ini Maslahah mursalah
kiranya penting sebagai bagian metode ijtihad menjawab tantangan dan
penomena hukum yang bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan
teknologi. Pernikahan via telepon bisa saja dilakukan dan sah secara
hukum ijab dan kabul meskipun tidak dalam satu majelis, jika memenuhi
syarat-syarat dan tidak bertentangan dengan maqashid assyariah,
Kata kunci : Nikah Via Telepon, Maslahah Al-mursalah dan Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
90
A. Latar Belakang Masalah
Setiap masyarakat memiliki
budaya yang menjadi ciri khas
individu-individu anggotanya
secara kolektif. salah satu di
antaranya adalah budaya hukum,
maksudnya adalah bagaimana
masyarakat memandang dan
menghayati hal-hal yang
berhubungan dengan hukum
secara umum. Hukum dalam
pandangan budaya muslim
bukanlah pengkajian berdiri sendiri
atau emperis, akan tetapi ia adalah
aspek praktis doktrin sosial dan
keagamaan yang di ajarkan oleh
nabi Muhammad SAW.
Masyarakat berkembang
merupakan masyarakat yang
berada dalam tahap menuju
masyarkat modern. Masyarakat
berkembang disatu pihak masih
mempunya ciri-ciri tradisional,
namun dilain pihak sudah mulai
menyerap ciri-ciri modern.
masyarakat modern mempunyai
ciri-ciri tertentu yakni antara lain,
mempunyai ilmu dan teknologi
yang relatif tinggi, manusianya
bersikap terbuka dan rasional,
hukum positif tertulis lebih
berperan daripada hukum adat
atau kebiasaan.1
Di Indonesia sendiri ketentuan
hukum positif yang berkenaan
dengan perkawinan telah di atur
dalam perundang-undangan
Negara yang khusus berlaku bagi
warga Indonesia. Aturan yang
dimaksud adalah dalam bentuk
undang-undang yaitu Undang-
Undang No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan peraturan
pelaksanaanya dalam bentuk
peraturan pemerintah No.9 Tahun
1975. UU ini merupakan hukum
materiil dari perkawinan,
sedangkan hukum formalnya
ditetapkan dalam Undang-Undang
No.7 Tahun 1989 jo Undang-
undang No.3 Tahun 2006 Tentang
Peradilan Agama.
Sebagian fuqoha dalam
mengemukakan hakikat
perkawinan hanya menonjokan
aspek lahiriah yang bersifat
1 Soerjono Soekanto, Pengantar
Penelitian Hukum, Cet ke-3, Jakarta:
Universitas Indonesia Press, 2014.
91
normatif. Seolah-olah akibat dari
sahnya sebuah perkawinan hanya
terbatas pada timbulnya kebolehan
terhadap sesuatu yang
sebelumnya sangat dilarang, yakni
berhubungan badan antara
seorang laki-laki dengan
perempuan. Diskursus di atas
didapatkan dari terminologi fiqih
yang mereka susun, seperti halnya
empat madzhab fiqih (Syafi’i,
Maliki, hanafi, dan Hambali)
secara comment sense
mendefisikan nikah sebagai „aqd
yang membawa kebolehan
seorang laki-laki (suami) untuk
berhubungan badan dengan
seorang perempuan (isteri).2 Salah
satu yang substansial dari depinisi
nikah yang dikemukan oleh fuqoha
bahwa pernikahan secara
aksiologi suatu jalan yang
dilegalkan oleh syar’i guna
menghantarkan tabiat syahwat
kemanusiaan diletakan pada
tempat yang mulia dan bernilai
ibadah. Sehingga melalui institusi
2 Abd Al-Rahman al-jaziri, Al-Fiqh
‘Ala Mazahib Al-‘Arba’ah, jilid VI, Beirut:
Dar Al-Fikr, 1986, hlm.2
nikah yang sebelumnya
mengandung larangan menjadi
suatu kebolehan, sebagaimana
dalam firman Allah. SWT QS :2
:187
“Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian bagi mereka” Hukum islam menggambarkan
sifat luhur bagi ikatan yang dijalin
oleh dua orang berbeda jenis yakni
ikatan perkawinan. Ikatan
perkawinan dalam hukum islam
dinamakan dengan mitsaqon
gholidjo, yaitu suatu ikatan janji
yang kokoh. Oleh karenanya suatu
ikatan perkawinan tidak begitu saja
dapat terjadi melalui beberapa
ketentuan.3 Perjanjian yang
dimaksud bukanlah transaksi yang
secara umum kita pahami namun,
pemaknaan perjanjian dalam
konteks pernikahan lebih sakral
karena bertalian dengan keturunan
3 Dalam KHI pasal 2 dan 3
disebutkan sebagai akad yang sangat kuat atau
mitsaqon ghaliidhan “ikatan lahir bathin”
artinya bahwa perkawinan disamping
mempunyai nilai ikatan secara lahir tampak
juga mempunyai aspek ubudiyah kepada
Allah dengan tujuan untuk mencapai keluarga
yang sakinah mawahdah warahmah. Lihat
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia hlm. 18.
92
dan regenerasi penerus kedua
insan tersebut.
Pasal 1 undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan menyatakan : Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.4 Perjanjian dalam Perkawinan
telah diatur dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dalam pasal 29
sedangkan dalam KHI terdapat
dalam pasal 47,48,49,50,51,dan
52. Akan halnya mengenai
perjanjian perkawinan, apabila
telah disepakati oleh kedua
mempelai, maka masing-masing
wajib memenuhinya, sepanjang
perjanjian tersebut tidak memaksa
dan tidak bertentangan dengan
syari’at. Sejalan dengan hadits
nabi riwayat al-Bukhori
5
4 Lihat pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974
dan penjelasan Umum UU No.1 Tahun 1974
angka 4 huruf a.
5Al-Bukhari,Sahih al-Bukhari,juz
3,Beirut:Dar al-Fikr,hlm.185
Barang siapa kepada dirinya sendiri untuk maksud taat kepada Allah dan Rosul-Nya, dalam keadaan tidak terpaksa,maka ia wajib memenuhinya (Riwayat al-Bukhari) Kaitannya antara syarat
dalam perkawinan dengan
perjanjian dalam perkawinan
adalah karena perjanjian itu berisi
syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh pihak yang melakukan
perjanjian dalam arti pihak-pihak
yang berjanji untuk memenuhi
syarat-syarat yang harus dipenuhi
oleh pihak yang melakukan
perjanjian untuk memenuhi syarat
yang ditentukan.6
Masyarakat Indonesia
sebagian besar beragama Islam.
Dalam tata cara peribadatan
mereka berpedoman pada
berbagai sumber yang kita kenal
dengan madzhab yang berbeda.
Namun yang banyak dipahami dan
banyak pengikutnya dari berbagai
6Amir Syaripuddin,Hukum
Perkawinan Indonesia “Antara fiqih
Munakahat Dan Undang-Undang
Perkawinan,Jakarta,Prenada Media,Cet
kesatu,2006,hlm.145
93
belahan dunia yaitu ada empat
madzhab :7
1. Madzhab Hanafi, yaitu
madzhab pengikut-pengikut
imam abu hanifah (70 H-
150 H)
2. Madzhab Maliki, Yakni
madzhab pengikut-pengikut
Imam Maliki ibn Anas (93 H-
179 H)
3. Madzhab Syafi’i, yakni
mazhab pengikut-pengikut
Imam Mohammad Idris Al
Syafi’e (150 H-204 H)
4. Mazhab Hambali, yakni
madzhab pengikut-pengikut
Imam Ahmad ibn Hambal
(164 H-241 H)
Dari apa yang telah
dikemukakan di atas secara
singkat dapatlah ditegaskan
bahwasanya menurut ajaran Islam,
7 Berdasarkan surat edaran Biro
peradilan Agama tanggal 18 Februari 1958
No.B/1/735 hukum materil yang dijadikan
pedoman dalam bidang hukum Islam di
Indonesia tersebut bersumber pada 13 kitab
yang seluruhnya adalah mazhab Imam Syafi’i,
melalui isnstruksi presiden No.1 Tahun 1991
tentang Kompilasi Hukum Islam inilah direceptio berbagai sumber aturan atau
madzhab hukum yang berlaku bagi orang
yang beragama Islam. Titik Triwulan Tutik,
Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional, Cet ke-4, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2014.hlm. 23.
tujuan perkawinan adalah agar
manusia dapat menyalurkan tabiat
kemanusiaanya secara teratur dan
bertanggung jawab. Dalam sejarah
peradaban ummat manusia
adanya lembaga perkawinan
disadari atau tidak, merupakan
faktor dominan di dalam
membentuk keteraturan ummat
manusia sebagai mahluk sosial.8
Pasangan suami istri yang
taat dan serasi akan
mendatangkan kebahagiaan
individu dan keluarga, sehingga
melahirkan keluarga yang penuh
dengan kasih sayang, dan dari
keluarga yang baik itulah akan
lahir masyakarat yang baik pula
serta dari masyarakat yang baik itu
pulalah kepemimpinan dibebankan
kepada mereka sebagai khalifah
manusia di bumi. Menurut
pendapat penulis bahwa tujuan
yang substansial dari pernikahan
itu adalah rahmah untuk semesta
alam. Artinya bagaimana aturan
Allah ditaati untuk kemaslahatan
8 Chuzaimah T.Yanggo dan
HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum
Islam Kotemporer, Cet ke-5, Jakarta : Pustaka
Firdaus, 2008. hlm. 106.
94
dan keteraturan sebagaimana
landasan maqashid assyariah
yang diantaranya adalah menjaga
keturunan.
Perkembangan teknologi
sains modern9 telah merubah
pemahaman mengenai
kemudahan yang melahirkan
diskursus bernilai keabsahan atau
tidaknya dalam konteks fiqih
seperti halnya dalam tatanan
praktis ijab kabul pernikahan yang
dilakukan dengan menggunakan
via telepon ataupun teknologi
canggih lainnya yang sejenis.
Seperti beberapa kasus yang
dialami pada pernikahan pasangan
9 Pemahaman sains netral sebenarnya
telah melawan atau menyimpang dari maksud
penciptaan sains itu sendiri, tadinya sains
dibuat untuk membantu manusia dalam
menghadapi kesulitan hidupnya. Paham ini
sebenarnya telah bermakna bahwa sains itu
tidak netral atau tidak bebas nilai, sains
memihak pada kegunaan membantu manusia
menyelesaikan kesulitan yang dihadapi oleh
manusia. Sementara itu pahan sains netral
akan memberikan tambahan kesulitan bagi
manusia, kata kuncinya terletak pada tataran aksiologi sains, yaitu ketika peneliti akan
membuat suatu teori sebenarnya ia sudah
berniat untuk menyelesaikan suatu masalah
dalam kehidupan manusia. Namun dalam
penciptaannya bisa menimbulkan masalah
karena ia menganut sains netral. Lihat Ahmad
Tafsir, Filsafat ilmu Mengurai Ontologi,
Epistimologi dan Aksiologi pengetahuan, Cet
ke-7, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2013.
hlm. 48.
Ario Sutarto Bin Drs. Suroso
Darmoatmojo dengan Nurdiani
Binti Prof. Dr. Baharudin Harahap
serta pasangan Abudurrahman
wahid (Gusdur) dengan Sinta
Nuriah Wahid.
Fakta-fakta pernikahan di atas
merupakan diskursus yang terjadi
di kalangan masyarakat mengenai
sah atau tidaknya pernikahan (ijab
dan qabul)10 melalui telepon atau
media elektronik lainnya yang
sejenis seperti vidio call misalnya ?
Makalah singkat ini bermaksud
menjawab diskursus tersebut
dengan pemahaman-pemahaman
ulama fiqih klasik dan kotemporer
dengan pendekatan maslahah
mursalah dan Undang-undang No.
1 Tahun 1974 Tentang
perkawinan. Oleh karena itu
pendahuluan ini penting menurut
penulis sebagai kerangka umum
untuk mengelaborasi pendapat-
10 Salah satu rukun akad perkawinan
yang telah disepakati adalah ijab dan qabul.
Ijab oleh wali dan qabul dari calon suami.
Berkenaan dengan pelaksanaan ijab dan qabul
ini, atas pengaruh dari perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi muncul pertanyaan
sahkah atau tidaknya ijab qabul yang
dilakukan melalui telepon. Chuzaimah
T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ,
Problematika Hukum Islam
Kotemporer,Op.Cit, hlm. 107.
95
pendapat yang pro maupun yang
kontra terhadap perkawinan via
telepon ini. Untuk itu penulis hanya
akan membatasi pembahasan
terkait dengan ijab dan qabul saja
dalam pernikahan via telepon atau
media elektronik sejenisnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar
belakang masalah di atas,
penulis mengidentifikasi
beberapa permasalahan yang
akan dibahas dalam paper ini,
yaitu :
1. Bagaimanakah keabsahan
ijab kabul nikah via telepon
dari sudut pandang Maslahah
Al-mursalah (Fiqih
Kontemporer) dan undang-
undang No.1 Tahun 1974
Tentang perkawinan?
2. Bagaimana deskonstruksi
epistimologi dan aksiologi
sains modern dengan
pendekatan Maslahah A-
lmursalah dan konsep
kebolehan serta
pengkompromian nilai dalam
Fiqih kotemporer ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Maslahah Mursalah
Untuk memahami maslahah
mursalah secara baik, terlebih
dahulu perlu diketahui makna
maslahah dalam kajian ushul fiqh.
Kata maslahah semakna dengan
kata manfaat, yaitu bentuk masdar
yang berarti baik dan mengandung
manfaat. Maslahah merupakan
bentuk mufrod (tunggal) yang
jama’nya (plural) mashsaalih. Dari
makna kebahasaan ini dipahami
bahwa maslahah meliputi segala
yang mendatangkan manfaat, baik
melalui cara mengambil dan
melakukan suatu tindakan maupun
dengan menolak dan
menghindarkan segala bentuk
96
yang menimbulkan kemudharatan
dan kesulitan.11
Said Ramadhan al-Buthi
mendepinisikan Maslahah
mursalah adalah:12
Artinya:“Al-Maslahah adalah manfaat yang ditetapkan syar‟i
untuk para hambanya yang meliputi pemeliharaan agama, diri, akal, keturunan dan hartamereka
sesuai dengan urutan tertentu diantaranya.”
Sedangkan Abu Zahrah
mendepinisikan maslahah
mursalah sebagai berikut :
13
Artinya: “Maslahah mursalah
adalah kemaslahatan yang
11 Said, Ramadhan al-Buthi,
Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-
Islâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah,
1977), Cet. Ke-3, hlm. 2.
12 Ibid., hlm. 2. 13 Ibid., hlm. 2.
sejalan dengan maksud syar‟i
tetapi tidak ada nash secara
khusus yang memerintahkan
dan melarangnya.”
Dari depinisi tersebut, tampak
yang menjadi tolak ukur maslahah
adalah tujuan syara’ atau
berdasarkan ketetapan syar’i. Inti
kemaslahatan yang ditetapkan
syar’i adalah pemeliharaan lima
hal pokok (Kulliyat al-Khams).
Semua bentuk tindakan seseorang
yang mendukung pemeliharaan
kelima aspek ini adalah maslahah.
Begitu pula segala upaya yang
berbentuk tindakan menolak
kemudharatan terhadap kelima hal
ini juga disebut maslahah.14 Oleh
karena itu, al- Ghazali
mendepinisikan maslahah sebagai
mengambil manfaat dan menolak
kemadharatan dalam rangka
memelihara tujuan syara’ (Kulliat
al- Khams).15
14 Firdaus, Ushûl Fiqh Metode
Mengkaji dan Memahami Hukum Islam
Secara Komprehensif, Cet. Pertama, (Jakarta:
Zikrul Hakim, 2004), hlm. 81.
15 Abu Hamid al-Ghazali, al-
Mustashfâ fî ílmî al-ushûl, (Beirut: Dar al-
Kutub al- Ilmiyyah, 1983), Jilid 1, hlm. 286.
97
Sejalan dengan prinsip
maslahah sebelumnya, Syatibi
menjelaskan bahwa kemaslahatan
tidak dibedakan antara
kemaslahatan dunia maupun
kemaslahatan akhirat, karena
kedua bentuk kemaslahatan ini
selama bertujuan memelihara
Kulliat al-khams, maka termasuk
dalam ruang lingkup maslahah.16
Sifat dasar dari maqasid al-
syari‟ah adalah pasti, dan
kepastian di sini merujuk pada
otoritas maqasid al-syari‟ah itu
sendiri. Dengan demikian
eksistensi maqasid al-syari‟ah
pada setiap ketentuan hukum
syari’at menjadi hal yang tidak
terbantahkan baik yang bersifat
perintah wajib ataupun larangan.17
Al-Ghazali mengajukan teori
maqasid al-syari‟ah ini dengan
membatasi pemeliharaan syari’ah
pada lima unsur utama yaitu
Agama, jiwa, akal, kehormatan,
16 Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn
Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl
al-Syarî’ah, (Dar ibn Affan, 1997), Cet.
Pertama, jilid 2, hlm. 17-18.
17 Hasbi Umar, Nalar Fiqih
Kotemporer, Cet. Ke-1, (Jakarta: Gaung
Persada Pers, 2007), h. 129.
dan harta benda.18Konsep
pemeliharaan tersebut dapat
diimplementasikan dalam dua
metode: pertama, metode
konstruktif (bersifat membangun)
dan kedua, metode preventif
(bersifat mencegah). Dalam
metode konstruktif, kewajiban-
kewajiban Agama dan berbagai
aktivitas sunat yang baik dilakukan
dapat dijadikan contoh dalam
metode ini. Sedangkan berbagai
larangan pada semua perbuatan
bisa dijadikan sebagai contoh
preventif kedua metode tersebut
bertujuan mengukuhkan elemen
maqasid al- syari‟ah sebagai jalan
menuju kemaslahatan.19 Menurut
pendapat penulis sebagai salah
satu pendekatan fiqih maslahah
almursalah terkait erat dengan
maqashid assyariah, dalam hal ini
pernikahan adalah salah satu
tujuan dari maqhasid assyariah
yang di antaranya adalah menjaga
keturunan (Hifzunnasl) sehingga
pendekatan ini menurut penulis
adalah pendekatan yang
deskonstruktif baik secara
18 Al- Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî
al-ushûl , hlm. 286. 19 Ibid., hlm. 238.
98
epistimologi mapun aksiologis
yang sesuai dengan
perkembangan dan tantangan
zaman.
B. Terminologi Ijab dan Kabul serta
Keabsahannya Dalam Pernikahan
Suatu Pendekatan Maslahah
Almursalah.
Al-jazairi menyimpulkan
bahwa rukun nikah ada dua.
Pertama, al-ijab yaitu lafaj yang
muncul dari wali atau orang lain
yang menempati kedudukan wali.
Kedua al-qabul yaitu shigat/lafaz
yang muncul dari atau suami atau
orang lain yang menempati
kedudukannya. Dengan ini,
dapatlah diketahui bahwa esensi
akad nikah terdiri dari tiga faktor
yaitu al ijab, al-qabul dan ikatan
yang timbul atas akibat
terlaksananya al-ijab dan al-qabul
tersebut.20
20 Al-Jazairi tidak hanya
memaparkan rukun nikah yang dua tersebut
namun ia juga mengelaborasi beberapa
pendapat para mujtahid tentang rukun-rukun
nikah. Fuqoha dari kalangan Malikiyah
misalnya, menyebutkan bahwa rukun nikah
ada lima yaitu wali, mas kawin, calon suami,
calon istri, dan shigat. Al-Syafi’iyyah
Fuqoha telah bersepakat
bahwa al-ijab dan al-qabul adalah
rukun dari nikah namun secara
teknis pelafalannya harus
bersambung. Yang dimaksud
dengan bersambung di sini ada
beberapa pendapat mujtahid yang
berbeda pendapat misalnya
bersambung di sini maksudnya
tanpa jeda atau satu majelis.
Menurut pemahaman penulis al-
ijab dan al-qabul di sini tidak harus
bersambung namun memberikan
makna ikatan yang pasti dari
keduanya ketika al-ijab dan al-
qabul tersebut dilafalkan selagi
tidak diselingi oleh tindakan yang
lain baik secara sengaja maupun
tidak disengaja. Oleh karena itu
akan menjadi masalah keabsahan
ketika pernikahan itu dilakukan
dengan via telepon jika ada
berpendapat kurang lebih sama dengan
malikiyah dengan satu poin pembeda rukun nikah terdiri dari lima yaitu calon istri, calon
suami, wali, dua orang saksi dan shighat.
Namun Al-Jazairi meringkas dari kedua
pendapat mujtahid tersebut dengan
berpendapat rukun nikah hanya dua saja yaitu
Ijab dan kabul dengan interpretasi bahwa
rukun-rukun yang lainnya secara tersirat
sudah ada dalam rukun ijab dan qabul.
Misalnya calon suami sudah ada dalam qabul
sedangkan ijab sudah ada pada wali atau yang
mewakilkannya sedangkan syahadah masuk
dalam syarat nikah. Lihat Aljazairi, hlm. 12.
99
keharusan antara al-ijab yang
diucapkan oleh wali calon istri atau
yang mewakilinya dengan calon
suami karena tidak dalam satu
majelis.
Dalam tataran epistimologi
dan aksiologi21 pengetahuan kita
bisa memahami bahwa penemuan
telepon adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari kebutuhan
manusia yang bisa memudahkan
untuk berinteraksi satu sama lain
tanpa menghilangkan hal yang
substansial dalam komunikasi
tersebut. Salah satu manfaat yang
bisa didapatkan dari telepon
tersebut adalah pengucapan ijab
dan kabul pernikahan jarak jauh.
Tujuan yang ingin dicapai oleh
pembuat hukum islam sehingga
menetapkan suatu hukum kepada
manusia, dapat diketahui melalui
petunjuk suatu ayat hukum dan
juga dapat diketahui melalui
21 Landasan epistimologi metode
ilmiah yang berupa gabungan logika deduktif
dan logika induktif dengan pengajuan
hipotesis atau yang disebut dengan logico-
hypotetico-verifikasi dan landasan aksiologi
kemaslahatan manusia artinya segenap wujud
ketahuan itu secara moral ditujukan untuk
kebaikan manusia. lihat Jujun S.
Suriasumantri,Filsafat ilmu Sebuah Pengantar
populer, Cet ke-17, Jakarta: 2003.hlm. 294.
penelitian sejumlah kebijaksanaan
tasyrik dari Allah SWT atau melalui
petunjuk ayat atau hadis
ahkam,22melalui metode kajian
dengan ijtihad istinbathi atau ijtihad
tatbiqi.23 Dalam hal ijab dan qabul
via telepon ini misalnya penulis
berpendapat bahwa titik beratnya
pada keyakinan para pihak dalam
hal ini wali dan calon suami tidak
meragukan suara calon suami
ataupun sebaliknya, oleh karena
itu syarat yang paling
dikedepankan adalah pertama
antara wali dan calon suami sudah
sama-sama mengenal satu sama
lainnya sehingga kharakter suara
akan terlihat dalam komunikasi
telepon tersebut. Kedua, jika mau
diuji apakah calon suami yang
tidak pada satu tempat tersebut
memberikan jawaban secara
langsung atau komunikatif
22 Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum,
Cet ke-6, Jakarta: Sinar Grafika Offset,
2014.hlm. 70.
23 Ijtihad istinbathi dilakukan untuk
mengetahui secara teliti inti masalah yang
dikandung oleh wahyu. Inti dari permasalahan
tersebut aken menjadi tolak ukur bila hukum
dikaitkan pada suatu masalah dan ijtihad
tatbiqi yaitu suatu penelitian terhadap suatu
masalah yang akan diterapkan hukum padanya
yang sumbernya adalah Al-qur’an. Lihat
.Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum, Ibid.,hlm.71.
100
tidaknya bisa memberikan
keyakinan ketiga, jika dibutuhkan
bisa menggunakan teknologi visual
yang kita kenal dengan vidio call
atau skyp dan teknologi sejenis
lainnya. Dari komunikasi yang
bersifat visual tersebut meskipun
tidak dalam satu majlis akan tetapi
satu sama lain bisa saling melihat
dan mempertegas dengan
pertanyaan-pertanyaan
komunikatif yang sesuai dengan
kebutuhan dan pernikahan
tersebut,maka oleh sebab itu
penulis mempunyai kesimpulan
bahwa pernikahan via telepon
walapun tidak dalam satu majlis
namun tidak akan menghilangkan
esensi dari tujuan ijab qabul,
karena pada substansinya moral
hazard para pihak yang menjadi
landasan utama dari pernikahan
yang dilakukan via telepon
tersebut.
Saksi dua orang laki-laki
24dalam pernikahan merupakan
24 Fungsi saksi bukan hanya sekedar
untuk menyiarkan bahwa telah terjadi
pernikahan antara para pihak, akan tetapi juga
berfungsi sebagai alat bukti dalam hal terjadi
pengingkaran, apapun interpretasi fungsi
saksi, tidak akan merubah keabsahan
pernikahan via telepon, meskipun tidak
suatu syarat menurut pendapat
sebagian besar ulama meskipun
bersifat i‟lan atau menyiarkan.
Fuqoha dalam menerapkan
persyaratan saksi dalam
pernikahan menggunakan jalan
istidlal25 bukan berdasarkan pada
nash. Peranan saksi yang
berkurang dalam prosesi
pernikahan via telepon oleh karena
tidak bisa menyaksikan tidak
dalam satu majelis menurut
penulis bisa diselesaikan dengan
penambahan jumlah saksi pada
meninggalkan masalah karena berkurangnya
fungsi saksi disebabkan terpecahnya majlis
pernikahan menjadi dua majlis yaitu majlis al-
ijab pihak wali dan majelis al-qabul pihak
mempelai laki-laki (jauz) yang menjadi
pertanyaan apakah terpisahnya tempat wali dengan jauz tersebut akan sekaligus
membatalkan persyaratan dalam satu majelis
sebagaimana pendapat fuqoha. Lihat 24
Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary
AZ, Problematika Hukum Islam Kotemporer,
Cet ke-5, Loc.,Cit, hlm.112.
25 Jalan istidlal adalah kaidah
fiqhiyyah yang maksudnya keberadaan saksi
tersebut untuk tercapainya ikatan perkawinan
dari pelaksanaan akad nikah diperlukan pengakuan semua pihak yang terlibat dalam
akad tersebut tentang sahnya akad, yang salah
satunya adalah peranan saksi dalam hal
menyaksikan bahwa telah terjadi ijab dan
qabul antara wali dan jauz serta iapun
membenarkan keabsahan dari ijab dan qabul
tersebut meskipun itu tidak dilakukan dalam
satu majelis. Akan tetapi esensi dari fungsi
saksi tersebut tidak hilang dengan adanya dua
majelis nikah.Lihat Chuzaimah T.Yanggo dan
HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum
Islam Kotemporer,Ibid.,hlm.113.
101
masing-masing majelis akad. Pada
majelis wali (ijab) dua orang saksi
dan pada majelis jauz (qabul) dua
orang saksi, sehingga peranan
saksi tidak kurang secara esensial
dengan adanya dua majelis.
Menurut pemahaman penulis
jika dilihat dari pendekatan
maslahah bahwa pernikahan via
telepon adalah bukan pernikahan
yang dijadikan sebagai kelajiman,
namun nikah tersebut bisa saja
dilakukan sebagai jalan dharurat
dengan mengedepankan moral
hazard maksud dan tujuan
dilakukannya pernikahan tersebut
asalkan memenuhi ketentuan
syara dan tidak bertentangan
dengan kaidah fiqih dan maqasid
assyariah. Maksud dan tujuan
pernikahan via telepon tersebut
secara substansial sejalan dengan
maslahah Al-mursalah yang pada
esensinya menjalankan sunnah
dan menjaga keturunan. Meskipun
pernikahan dilakukan secara tidak
lajim yaitu dengan ijab dan qabul
tidak dalam satu majelis namun
perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi memungkinkan
untuk dilakukan pernikahan
dengan tidak dalam satu majelis.
Mengenai pendapat mujtahid
dalam menetapkan ijab dan qabul
harus dalam satu majelis bahwa
ilmu pengetahuan dan teknologi
pada saat itu belum bisa
menjawab pernikahan bisa
dilakukan tidak dalam satu majelis.
Tantangan para mujtahid dalam
berijtihad menjawab kenyataan
ilmu pengetahuan dan teknologi
dan dibutuhkannya pleksibilitas
fiqih, yang secara umum kita
pahami sebagai problematika fiqih
kotemporer. Dengan tetap
berpedoman pada Al-qur’an dan
sunnah serta kaidah-kaidah
usulliyyah sebagai pijakan dalam
menetapkan suatu hukum.
Oleh karena itu berdasarkan
maslahah almursalah penulis
berkesimpulan pada konteks
keabsahan pernikahan via telepon
tidak menghilangkan esensi
keabsahan pernikahan tersebut,
karena tujuan dari dilakukannya
pernikahan tersebut adalah
kemaslahatan bagi yang
melakukannya. Kemaslahatan
yang dimaksud adalah mencegah
102
segala sesuatu perbuatan buruk
dari menundanya pernikahan,
mempercepat pernikahan adalah
bagian yang dianjurkan oleh
agama.
C. Pernikahan Via Telepon Persfektif
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan.
Di dalam menganalis
pernikahan via telepon ini penulis
memfokuskan pada hal yang
bersifat administratif yaitu
pencatatan pernikahan26 sebagai
26 Analisis mengenai pencatatan
perkawinan tidak diberikan perhatian secara
khusus oleh fiqih maupun Al-quran
diantaranya pertama, larangan untuk menulis
sesuatu selain Al-Qur;an akibatnya kultur tulis
tidak begitu berkembang dari kultur hafalan,
kedua, pada saat itu kebiasaan menghafal
adalah sebagai kultur yang dapat diandalkan,
sehingga mengingat pernikahan bukanlah
menjadi suatu masalah ketiga, tradisi
walimatul uru’syi walaupun dengan seekor
kambing merupakan saksi di samping saksi syar’i dalam sebuah perkawinan keempat, ada
kesan perkawinan yang berlangsung pada
masa-masa awal Islam belum terjadi antar
wilayah yang berbeda, di mana perkawinan
pada saat itu berlangsung dimana calon suami
dan calon istri berada dalam suatu wilayah
yang sama. Lihat Amiur Nuruddin dan Azhari
Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di
Indonesia Studi kritis perkembangan Hukum
Islam dari Fiqih,UU No.1/1974 sampai KHI,
Cet ke-5, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama,
2014, hlm. 121.
bagian prasyarat ketika akan
dilakukan pernikahan.
Sebagaimana berdasarkan
Undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang perkawinan pasal 2 ayat
2, yaitu :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”27 Pencatatan pernikahan hanya
satu ayat yang terdapat dalam
UUP dan tidak dapat ditafsirkan,
meskipun demikian namun
peranan pencatatan tidak dapat
dikesampingkan bahkan menjadi
hal yang pokok sehingga para
ulama fiqih saat ini
menggolongkan pernikahan dalam
syarat administratif yang
menjadikan sah atau tidaknya
pernikahan.
Dalam pernikahan via telepon
penulis berpandangan bahwa
27 Ini adalah satu-satunya ayat yang
mengatur tentang pencatatan perkawinan. Di
dalam penjelasannya tidak ada uraian yang
lebih rinci kecuali yang dimuat di dalam PP
No.9 tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1
yang di dalam penjelasannya dikatakan (i)
tidak ada perkawinan di luar hukum agama
dan (ii) maksud hukum agama termasuk
ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Ibid.,hlm.122.
103
prasayarat administratif juga
merupakan yang harus dipenuhi
oleh pihak wali (ijab) dan beserta
dua orang yang menyaksikannya
dan di pihak jauz (suami) beserta
dua orang yang menyaksikannya
dengan tidak mengabaikan
ketentuan yang ada pada masing-
masing majelis akad dimana jauz
berdomisili. Karena pencatatan
perkawinan adalah suatu
kepatuhan dan kepatutan dalam
perkawinan sebagai konsekuensi
logis ikatan pertanggungjawaban
sebab akibat dari terjadinya ijab
dan qabul. Adapun persyaratan
nikah via telepon yang dijadikan
dasar pernikahan itu dapat
dilangsungkan tentu ada alasan-
alasan syar‟i yang menungkinkan
itu bisa dilakukan di antaranya
pihak calon suami dan istri
mengharuskan mereka untuk
berbeda negara dalam kurun
waktu tertentu karena ada
kewajiban yang berkaitan dengan
hajat yang bersifat primer. Di saat
yang sama mereka khawatir jika
tidak dilangsungkan pernikahan
dengan cepat akan membawa
mereka pada keburukan sikap,
sehingga hal itu yang menjadi
dasar dilakukannya pernikahan via
telepon. Permasalahan yang
berkaitan dengan administratif
tentu suatu hal yang harus
dikomunikasikan dengan baik oleh
pihak berwenang dengan pihak
yang mempunyai kepentingan
nikah, karena tidak semua
lembaga pencatat nikah akan
memberikan begitu mudah
pernikahan via telepon tersebut
jika prasyarat yang pokok dalam
pernikahan tidak dipenuhi oleh
pihak yang berkepentingan.
Oleh karena itu jika kondisi
mempelai tidak dalam keadaan
yang mengharuskan mereka tidak
dalam satu wilayah akan tetapi
tidak mengenai hajat pokok, maka
menurut hemat penulis pernikahan
via telepon tersebut seyogyanya
tidak bisa dilakukan. Karena
pernikahan sesuatu hal yang
bersifat sakral dan diperlukan
kesungguhan untuk
melakukannya, maka penerapan
satu majlis dalam konteks fiqih
yang menjadi kesepakatan para
ulama adalah suatu keharusan,
jika hal tersebut dilakukan dengan
104
menikah via telepon padahal
sesungguhnya tidak ada hajat
yang pokok bagi mereka maka
penulis menilai ijab dan qabul
tersebut tidak sah.
Dalam tatanan praktisnya
hukum islam memberikan suatu
kebolehan jika mewakilkan28
dalam suatu pernikahan. Penulis
berpendapat bahwa muwakil atau
mewakilkan dalam pernikahan
secara teknis dianalogikan sama
dengan pernikahan via telepon,
namun dalam konteks pernikahan
via telepon jauz sendiri yang
mengucapkan qabul yang secara
fisik tidak terlihat langsung oleh
28 Ada kesamaan dalam tataran teknis
pernikahan ketika Nabi Muhammad SAW
menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan, di
mana nabi mewakilkan Umar bin Umayyah
Al-Dlamiriy untuk menerima nikahnya,
meskipun belum diperoleh keterangan lebih
lanjut tentang mengapa Nabi mewakilkan
pelaksanaan akad nikah tersebut. Maka para
ulama berpendapat pertama, kalaupun
diwakilkan karena nabi berhalangan maka
pengahalang itu karena sesuatu yang baik kedua, Al-Dlamiriy yang mendapat
kepercayaan nabi pastilah orang yang layak
dipercaya mengemban amanah ketiga, suatu
hal yang tidak mungkin nabi melaksanakan
pernikahan tersebut karena khawatir
terjerumus melakukan perbuatan keji oleh
karenanya pelaksanaan nikah tidak bisa
ditunda walaupun dengan mewakilkan kepada
orang lain. Lihat Chuzaimah T.Yanggo dan
HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum
Islam Kotemporer,Op.,Cit.,hlm.116.
yang menyaksikan sedangkan
pernikahan dengan cara
mewakilkan fihak jauz mewakilkan
kepada orang lain untuk menjawab
qabulnya yang secara substansial
keberadaan jauz tidak dalam satu
majlis.
Dengan demikian penulis
menitik beratkan pada analisis
pernikahan via telepon persfektif
undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan pada aspek
prasyarat administratif yang
mengharuskan pencatatan dalam
pernikahan. Karena sesungguhnya
pintu keabsahan dan pengakuan
pernikahan tersebut pintunya
adalah dengan jalan cara
mencatatkan pernikahan tersebut
pada lembaga yang diberikan
kewenangan.
D. Deskonstruksi Epistimologi dan
Aksiologi Sains Modern Dengan
Pendekatan Maslahah A-lmursalah
dan Konsep Kebolehan serta
Pengkompromian Nilai dalam Fiqih
kotemporer
Sumber utama penemuan
hukum adalah peraturan
105
perundang-undangan, kemudian
hukum kebiasaan, yurisprudensi,
perjanjian internasional dan yang
terkahir doktrin. Jadi terdapat
hierarki dalam sumber hukum,
oleh karena itu kalau terjadi konflik
dua sumber, sumber hukum yang
tertinggi akan melumpuhkan
sumber hukum yang lebih
rendah.29 Demikian juga halnya
dengan konsep hukum islam ada
tingkatan-tingkatan sumber hukum
dan sumber hukum yang paling
tertinggi adalah Al-qur’an. Konsep
maslahah almursalah merupakan
ijtihad yang maknanya, yaitu :
“Maslahah mursalah adalah kemaslahatan yang sejalan dengan maksud syar‟i tetapi tidak ada nash secara khusus yang memerintahkan dan melarangnya.”30
29 Sudikno Mertokusumo, Penemuan
Hukum sebuah pengantar, Cet ke Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2014. hlm, 63. Said,
Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al-Maslahah fî
al-Syarî’ah al-Islâmiyah, (Beirut: Muassah al-
Risalah, 1977), Cet. Ke-3, hlm. 2.
30 Said, Ramadhan al-Buthi,
Dhawabit al-Maslahah fî al-Syarî’ah al-
Islâmiyah, (Beirut: Muassah al-Risalah,
1977), Cet. Ke-3,Log.,Cit,hlm. 2.
Dalam era ilmu pengetahunan
dan teknologi31, ilmu sebagai hasil
aktivitas manusia yang mengkaji
berbagai hal, baik diri manusia itu
sendiri maupun realitas di luar
dirinya, sepanjang sejarah
perkembangannnya sampai saat
ini selalu mengalami keterangan
dengan berbagai aspek lain dari
kehidupan manusia. Pada tataran
praktis-operasional selalu
diperbincangkan kembali
hubungan timbal balik antara ilmu
dan teknologi.32perkembangan
teknologi telah merubah tatanan
fiqh33 yang ada pada saat ini,
31 Teknologi adalah penerapan dari
pengetahun ilmiah (natural science)
pengertian ini adalah pengertian teknologi
yang paling banyak dilakukan berbagai
lingkup kehidupan, bunge menyatakan bahwa
teknologi adalah ilmu terapan yang dipilahnya
menjadi empat cabang, yakni teknologi fisik
(misal teknik mesin dan teknik sipil),
teknologi biologis (farmakologi), teknologi
sosial (riset operasi), teknologi pikir (ilmu
komputer), Feibleman memandang teknologi
sebagai pertengahan antara ilmu murni dan ilmu terapan, atau merujuk pada makna
teknologi sebagai keahlian. Lihat Ridjaluddin,
Filsafat ilmu, Cet ke-2, Jakarta : Gaung
Persada Press, 2013.hlm,105.
32 Ibid.,.hlm,105.
33 Fiqh itu bermakna paham dan
ilmu. Akan tetapi urf ulama telah menjadikan
suatu ilmu yang menerangkan hukum-hukum
syara’tertentu bagi perbuatan-perbuatan para
mukallaf, seperti wajib, haram, mubah, sunah,
106
sehingga problematikan hukum
yang berkaitan dengan hukum fiqih
kotemporer sebagai bagian
tantangan para mujtahid saat ini
untuk berijtihad menetapkan suatu
hukum yang berkaitan dengan
teknologi.
Pernikahan via telepon adalah
penomena baru dalam konteks
fiqih, karena peristiwa tersebut ada
seiring dengan kemajuan ilmu dan
teknologi, yang menungkinkan ijab
dan qabul bisa dilakukan tidak
dalam satu majelis dan berbeda
negara. Sehingga dengan adanya
penomena baru maka harus ada
jawaban dengan melalui suatu
pendekatan ijtihad seperti masalah
almursalah misalnya, sehingga
pemahaman fiqih akan selalu ada
menjawab tantangan zaman yang
selaras dengan maqashid
assyariah.
Dalam tataran epistimologi34
ilmu pengetahuan bahwa
makruh, sahih, fasid, batil, qhada dan ada yang sepertinya. Abd. Shomad,Hukum Islam
Penormaan PrinsipSyariah Dalam Hukum
Indonesia, Cet ke-2, Jakarta: kharisma Putra
Utama, 2012.hlm.,26.
ditemukannya suatu ilmu
pengetahuan pada dasarnya
sebagai jalan untuk memudahkan
manusia menghadapi kesulitan-
kesulitan yang ada, sehingga pada
dasarnya tujuan dari pada
ditemukannya teknologi tersebut
bukannya bermaksud memberikan
kesulitan atau bahkan sampai
menghancurkan tatanan
kehidupan manusia. Oleh sebab
itu penulis memandang bahwa
deskontruksi epististimologi dalam
pengetahuan sains modern
dengan pendekatan agama
merupakan suatu keniscayaan
guna menjawab tantangan zaman
dan tujuan dari penemuan atau
epistimologi ilmu dan teknologi
tersebut tidak bertentangan pada
aspek aksiologi pengetahuan.
34
Istilah epistimologi pertama kali
digunakan oleh J.F.Ferrier pada tahun 1854
untuk membedakannya dengan cabang filsafat lainnya yaitu ontology, secara kebahasaan
istilah epistimologi berasal dari yunani yakni
epistime dan logos. Jika kata yang pertama
disebutkan berarti pengetahuan (knowledge),
maka yang belakangan disebutkan berarti ilmu
atau teori (theory). Jadi, jika melihat dari
silsilah kebahasaan tersebut, epistimologi
dapat dimengerti sebagai teori pengetahuan
(theory of knowledge). Ahkyar Yusuf Lubis,
Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kotemporer, Cet
ke-1, Jakarta : Rajawali Pers, 2014.,hlm.31.
107
Penomena pernikahan via
telepon adalah bagian
perkembangan ilmu dan teknologi,
kalau kita lihat pada aspek
aksiologi maka secara epistimologi
telepon sebagai produk riset ilmiah
telah memberikan kemudahan
yaitu dengan pernikahan via
telepon namun tidak lepas dari
pertentangan mengenai
keabsahan. Maka deskonstruksi
aspek epistimologi sains dalam
konteks pernikahan via telepon
adalah pendekatan maslahah
almursalah dalam tataran aksiologi
sudah bermanfaat, yang
menghantarkan pemahaman
bahwa pernikahan tersebut tidak
hilang esensi keabsahannya.
Oleh karena itu penulis
berkesimpulan bahwa konsep
kebolehan dan pengkompromian
nilai dalam fiqh merupakan suatu
keniscayaan, diantaranya dengan
pendekatan maslahah almursalah.
Adapun mengenai deskonstruksi
sains modern perlu pendekatan
agama jika bersentuhan dengan
hal-hal yang bertentangan dengan
tujuan epistimologi ilmu dan
teknologi itu sendiri. Misalnya
adalah kloning, atau penciptaan
senjata nuklir dll.
BAB III
KESIMPULAN
1. Maslahah mursalah kiranya
penting sebagai bagian
metode ijtihad menjawab
tantangan dan penomena
hukum dari waktu ke waktu.
Pernikahan via telepon bisa
saja dilakukan dan sah secara
hukum ijab dan qabul
meskipun tidak dalam satu
majelis, jika memenuhi syarat-
syarat dan tidak bertentangan
dengan maqashid assyariah,
diantara yang prasyarat
terpenting dalam pernikahan
tersebut adalah aspek
pencatatan, yang mana hal
tersebut adalah kepatuhan dan
kepatutan sebagai kosekuensi
logis lahirnya hak dan
kewajiban dari sebab akibat
ijab dan qabul tersebut.
2. Pendekatan maslahah
almursalah menurut penulis
adalah bagian dari
108
pengkompromian nilai dan
konsep kebolehan dalam
proses menetapkan hukum,
deskonstruksi epistimologi ilmu
dan teknologi melalui
pendekatan agama
merupakan suatu
keniscayaan, jika secara
aksiologi bertentangan dengan
konsep maqashid assyariah
dan konsep epistimologi dari
keberadaan ilmu dan sains
modern itu sendiri. Jika secara
aksiologi sains modern itu
bermanfaat namun disisi lain
harus bertentangan dengan
aspek hukum islam (fiqh)
misalnya atau nilai-nilai
hukum, maka harus ditemukan
jalan sebagai upaya
pengkompromian nilai dan
konsep kebolehan. Sehingga
fiqh dalam hal ini bisa memberi
jalan meskipun perubahan
ilmu sains modern
berkembang dengan pesat
dari waktu ke waktu
3. .
109
DAFTAR PUSTAKA
Amir Syarifuddin,Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Cet ke-2, Jakarta, Prenada Media, 2007.
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum perdata Islam di Indonesia
Studi kritis perkembangan Hukum Islam dari Fiqih,UU No.1/1974 sampai KHI, Cet ke-5, Jakarta: PT Kharisma Putra Utama, 2014
Ahkyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kotemporer, Cet ke-1, Jakarta :
Rajawali Pers, 2014 Antonius Cahyadi dan E.Fernando M.Manullang, Pengantar ke Filsafat Hukum,
Cet ke-3, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Ahmad Tafsir, Filsafat ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
pengetahuan, Cet ke-7, Bandung: PT.Remaja Rosdakarya, 2013.
Abd. Shomad,Hukum Islam Penormaan PrinsipSyariah Dalam Hukum Indonesia,
Cet ke-2, Jakarta: kharisma Putra Utama, 2012. Al Bukhori, Shahih al-Bukhori, jilid II, Istanbul : al maktabah “al Islami”. Abd Al-Rahman al-jaziri, Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-„Arba‟ah, jilid VI, Beirut: Dar
Al-Fikr, 1986.
Abu Hamid al-Ghazali, al-Mustashfâ fî ílmî al-ushûl, Jilid ke-1,Beirut: Dar al-
Kutub al- Ilmiyyah, 1983.
Abu Ishak Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-Syatibi, Al-Muwâfâqât fî Ushûl al-Syarî‟ah, Cet ke-1,Dar ibn Affan,Jilid 2, 1997. Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta. Akademika Pressindo,
1997
Chuzaimah T.Yanggo dan HA.Hafiz Anshary AZ, Problematika Hukum Islam
110
Kotemporer, Cet ke-5, Jakarta : Pustaka Firdaus, 2008. Firdaus, Ushûl Fiqh Metode Mengkaji dan Memahami Hukum Islam Secara
Komprehensif, Cet. Ke-1, Jakarta: Zikrul Hakim, 2004. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat ilmu Sebuah Pengantar populer, Cet ke-17,
Jakarta: 2003. Ridjaluddin, Filsafat ilmu, Cet ke-2, Jakarta : Gaung Persada Press, 2013. Umar Hasbi, Nalar Fiqih Kotemporer, Cet. Ke-1,Jakarta: Gaung Persada Pers,
2007.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Undang-undang Pokok
Perkawinan.
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cet ke-3, Jakarta: Universitas
Indonesia Press, 2014. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Cet ke-Yogyakarta:
Cahaya Atma Pustaka, 2014.
Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabit al- maslahah fi al syari‟ah al Islamiyah, Cet.
Ke-3, Beirut: Muassah al- Risalah, 1977. Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet ke-4,
Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2014.
Zaenuddin Ali, Filsafat Hukum, Cet ke-6, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2014.
top related