karya ilmiah5
Post on 13-Jan-2015
2.973 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
1
Profesionalisme Guru SMA: Harapan, Tantangan, dan Tuntutan Mendesak dalam Rangka
Meningkatkan Mutu Pendidikan
Disusun Oleh Nama : Supriyadi N I P : 13165024
SMA NEGERI 1 PURWAREJA-KLAMPOK KABUPATEN BANJARNEGARA, JAWA TENGAH
JL RAYA PURWAREJA-KLAMPOK Telp. (0286) 479092 BANJARNEGARA 53474
2
Profesionalisme Guru SMA: Harapan, Tantangan, dan Tuntutan Mendesak dalam Rangka
Meningkatkan Mutu Pendidikan
Supriyadi*
Abstrak : Sulit untuk mengelak dari tudingan bahwa rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia bukan bagian dari tanggung jawab guru, karena gurulah yang berhadapan langsung dengan anak didik. Dan memang diakui kalau guru yang paling berkompeten terhadap SDM Indonesia melalui usaha peningkatan mutu pendidikan. Namun hal tersebut menjadi sangat sulit diwujudkan manakala guru sendiri mendapatkan masalah internal. Kemudian muncullah solusi yaitu adanya pengakuan secara formal bila guru sebagai profesi. Konsekuensinya guru sebagai professional yang harus mengedepankan profesionalisme. Dengan demikian ada dua tugas pokok yang segera dibenahi, pertama peningkatan mutu pendidikan, dan kedua pengembangan profesionalisme. Dan permasalahan yang kedua lebih merupakan prasyarat untuk pemecahan masalah yang pertama. Makna profesionalisme sebagai performance quality dari para professional tidak bisa dimaknai dengan bekerja keras sebagai layaknya oleh khalayak umum. Oleh karena itu untuk meningkatkan mutu pendidikan, profesionalisme sebagai sebuah harapan dan sekaligus sebagai tantangan bagi guru, yang mencakup (1) Pendidikan dan Rekruitmen guru, (2) Beban Kerja Guru, (3) Pembinaan dan Karier Guru, dan (4) Guru Semakin Terbelakang. Permasalahan tersebut sebagai sesuatu yang darurat prioritas untuk ditangani dan kalau tidak, profesionalisme guru mentah menjadi sebuah Utopia. Akhirnya SDM Indonesia-pun tetap terbelakang.
Kata Kunci : mutu pendidikan, masalah internal, profesi, professional,
professionalisme, rekruitmen, pembinaan karier, beban kerja, guru terbelakang.
PENDAHULUAN
Berdasarkan laporan Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP)
2004, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada pada urutan ke–111 dari 117
negara. Posisi demikian menempatkan negeri ini satu tingkat di atas Vietnam, namun
masih jauh di bawah beberapa negara tetangga semacam Singapura, Malaysia,
Philipina maupun Thailand (Kompas, 6/11/204 : 44) Angka tersebut menunjukkan
betapa tertinggalnya bangsa Indonesia bila dibandingkan dengan negara lain.
Disadari bahwa salah satu cara untuk meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) adalah melalui peningkatan mutu pendidikan. Tantangan ke depan
bukanlah semakin ringan tapi justru bertambah berat karena terpuruknya kondisi
* Supriyadi adalah guru SMA Negeri 1 Purwareja-Klampok, Banjarnegara
3
ekonomi turut memberikan kontribusi lambannya pembangunan pendidikan; artinya
permasalahan yang bakal muncul menjadi beragam yang menuntut profesionalisme
dari semua pihak yang concern terhadap pendidikan. Keterpurukan SDM Indonesia
memang tidak lepas dari peranan guru, namun tidak bisa dikatakan bahwa secara
keseluruhan hal tersebut menjadi tanggung jawab guru.
Alhumami (Kompas, 2/7/04) menyatakan bahwa guru tetap merupakan
faktor determinan dalam menentukan tinggi rendahnya mutu pendidikan. Pernyataan
tersebut berarti guru sebagai penyumbang terbesar terhadap kemerosotan atau
peningkatan kwalitas SDM Indonesia karena mereka yang terlibat langsung dalam
proses pendidikan. Keterlibatan yang intens tersebut akan mewarnai tingkat kualitas
siswa sebanding dengan tingkat professional guru. Bila perencanaan kegiatan belajar
mengajar dirancang dengan baik bisa memungkinkan proses belajar siswa
berlangsung kondusif, mampu memaksimalkan pengembangan potensi siswa. Hasil
yang demikian merupakan sumbangan yang sangat berarti bagi guru dalam ikut serta
mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional.
Dalam GBHN diamanatkan bahwa Pendidikan Nasional bertujuan untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya
yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan
Rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan (Departemen P dan K : 1999). Dari tujuan tersebut
dapatlah dipahami gambaran ke depan yang akan diwujudkan dan sekaligus gambaran
tanggung jawab yang harus diemban oleh guru.
Tanggung jawab utama guru tidak sekedar mengajar namun sekaligus
mendidik, sesungguhnya suatu kegiatan yang sangat kompleks karena kegiatan
tersebut mengandung banyak unsur yang secara serempak harus dilakukan bersama-
sama. Sedangkan unsur-unsur tersebut meliputi ilmu, teknologi, seni dan bahkan
pilihan nilai (Imron : 1995). Sudah barang tentu diperlukan suatu ketrampilan
mengajar yang beragam agar hasil yang diperoleh maksimal. Apalagi dengan
diberlakukannya Kurikulum 2004 yang berdasarkan kompetensi. Disini guru dituntut
bersikap professional agar tugas yang dilaksanakan punya makna bagi siswa. Pada
pokoknya keberhasilan pendidikan adalah terletak pada guru yang professional.
Pendidikan pada era reformasi sekarang sebagai dampak dari peubahan
sosial yang terjadi karena munculnya dinamika pemikiran tentang keadilan serta
4
demokrasi dan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
tentang pemerintahan daerah maka terjadilah pergeseran dari sentralistik ke
desentralistik. Seirama dengan otonomi daerah maka muncullah paradigma baru
dalam pengelolaan pendidikan, yaitu manajemen berbasis sekolah, yang secara
operasional dikenal dengan nama Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS). MPMBS diartikan sebagai model manajemen yang memberikan otonomi
lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan secara langsung semua warga sekolah (kepala sekolah, guru, karyawan,
orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan
kebijakan pendidikan nasional (Diretktorat Dikmenum, 2001 : 5). Dari pengertian
tersebut tampak jelas bahwa arah kebijakan masalah esensial harus dirumuskan oleh
sekolah itu sendiri karena sekolah yang paling mengetahui dan paling berkompeten,
sehingga efektivitas sekolah bisa dicapai. Tidak bisa disangkal bahwa peranan guru
pada era sekarang jauh lebih penting dari masa sebelumnya, bukan sekedar mendidik
dan mengajar namun juga ikut terlibat dalam menentukan arah kebijakan sekolah.
Perubahan peranan guru yang begitu besar tampak tidak bisa disikapi
dengan baik tetapi malah membuatnya menjadi kedodoran. Ada relevansi dengan
yang dikatakan oleh Soekartawi (Kompas,18/10/04) tentang SDM Indonesia yaitu
semangat kerja keras dan pengabdian sangat tipis serta inisiatif berinovasi rendah.
Secara tersirat, pernyataan tersebut mengindikasikan rendahnya motivasi guru.
berkompetisi meningkatkan karier dan kesejahteraannya melalui bidang profesinya.
Ada faktor lain yang mendasari sikap stagnan dan apatis tersebut, yaitu isu rendahnya
gaji guru. Kalau hal itu dijadikan dasar legalitas argumen maka guru bekerja bukan
atas dasar moral dan etika, yang demikian ini akan sulit diharapkan munculnya guru-
guru yang professional meskipun kita sepakat bahwa kesejahteraan guru harus
dinaikkan.
Berkait erat dengan profesional adalah masalah profesionalisme Sudah
menjadi slogan umum bahwa profesional harus menjujung profesionalisme. Dari
kalimat tersebut tersirat pengertian bahwa profesionalisme adalah semacam nilai-nilai
(good values) yang harus ditampilkan oleh seorang profesional dalam menjalankan
tugasnya atau dengan kata lain sebagai etical references.
Oleh karena itu profesionalisme guru menarik untuk dikaji sebab menjadi
Top Requirement dalam usaha meningkatkan SDM. Namun kapan guru sebagai peker
ja profesi bisa sejajar dengan profesi-profesi lainnya yang sudah mapan seperti dokter,
5
lawyer, akuntan, psikolog dan notaris? Profesionalime merupakan sebuah tantangan
besar yang harus dijawab segera oleh siapa saja yang mempunyai komitmen besar
terhadap pendidikan.
Artikel ini diharapkan bisa menjadi masukan bagi kepala sekolah dalam
rangka pembinaan profesionalisme guru. Dan bagi para pengambil kebijakan untuk
bisa merumuskan model recruitment yang bisa memenuhi standar guru sebagai
profesi.
PROFESI, PROFESIONAL DAN PROFESIONALISME
a. Profesi.
Sementara kalangan mengatakan bahwa guru bisa dianggap sebagai
profesi. Benar atau tidaknya pernyataan tersebut terlebih dahulu perlu dicermati
pengertian profesi dari pendapat beberapa para ahli. Dengan melalui rujukan
tersebut nantinya bisa diketahui bahwa guru sudah memenuhi syarat sebagai
pekerjaan profesi belum.
1) Dedi Supriadi (1999) : Profesi menunjuk pada suatu pekerjaan atau jabatan
yang menuntut keahlian, tanggung jawab, dan kesetiaan terhadap profesi.
Suatu profesi secara teori tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang yang
tidak dilatih atau disiapkan untuk itu.
Dari pengertian di atas dapat ketahui bahwa profesi itu bukan
sembarang pekerjaan tetapi pekerjaan yang berlandaskan pada keahlian. Dan
keahlian tersebut diperoleh melalui suatu pendidikan dan pelatihan melalui
suatu lembaga yang telah diberi otoritas. Secara implisit dinyatakan juga
bahwa pekerjaan tersebut menuntut lebih pada dedikasi dan kualitas hasil dari
pada imbalan atas pekerjaannya.
2) Taruna : Profesi adalah pekerjaan yang memiliki beberapa ciri yaitu melalui
pendidikan profesi, dan memiliki kode etik profesi, serta memiliki Badan
Kehormatan Profesi. ( Derap No. 61, Th. VI-Pebruari 2005)
Pernyataan di atas selain ada persamaannya juga melengkapi pendapat
Supriadi yaitu mensyaratkan adanya organisasi profesi. Dan oleh sebab itu
anggotanya terikat untuk bekerja dalam koridor kode etik profesi. Selanjutnya
apabila seseorang melanggar kode etik terebut akan mendapatkan sanksi dari
Badan Kehormatan Profesi.
6
3) Kenneth Lynn : A profession delivers esoteric knowledge systemically
formulated and applied to the needs of a client. Every profession considers
itself the proper body to set the terms some aspects of society, life or nature is
to be thought of, and to define the general lines, or even the details of public
policy concerning it. ( Wirawan, 2001 : 7)
Pernyataan di atas mengandung pengertian bahwa seorang profesi
bekerja berdasarkan pengetahuan yang tidak mudah untuk memperolehnya
hal ini menunjukkan bahwa profesi adalah pekerjaan saintifik. Sedangkan
keberadaannya muncul untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Ditekankan
juga bahwa organisasi yang tepat menjadi sangat penting dengan memper
hatikan kondisi masyarakat, kehidupan dan lingkungan termasuk juga
kebijakan publik.
4) Bullet (1981) : A profession as a field of human endeaveor with a well defined
body of knowledge, containing basic principles common to all applications
and technique, to the field, with practitioners skilled and experienced in
appliying these techniques, dedicated to the public interest (Gilley and
Eggland, 1991 : 304)
Menurut Bullet profesi sebagai bidang pekerjaan manusia yang
berpengetahuan luas, yang didalamnya mengandung prinsip-prinsip umum
yang digunakan untuk penerapan dan teknik-teknik sebagai praktisi yang
berketrampilan dan berpengalaman serta mengabdi pada kepentingan
masyarakat.
5) Carr (2000), …, it should serve our puposes here to focus upon five commonly
cited criteria of professionalism, according to which : (i) profesion provide an
important public service; (ii) they involve a theoretically as well as practically
grounded expertise; (iii) They have a distinct etical dimension which call for
expression in a code of practice; (iv) They require organization and regulation
for purposes of recruitment and discipline; and (v) professional practioners
require a high degree of individual autonomy independence of judgement – for
effective practice.
Pengertian profesi menurut Carr tampak lebih jelas diidentifikasi
dalam 5 kriteria yang secara garis besar adalah sebagai berikut (i) bahwa
7
profesi mengabdikan pada pelayanan publik; (ii) Berlatar keahlian baik secara
teori maupun praktis; (iii) Bekerja berlandaskan pada dimensi etik yang jelas
sesuai dengan tuntunan perilaku kerja; (iv) Adanya organisasi dan peraturan
untuk maksud perekrutan dan pengendalian; (v) Memiliki independensi yang
tinggi dalam melakukan pekerjaannya.
Dari beberapa pendapat tersebut dapatlah ditarik simpulannya bahwa
suatu pekerjaan bisa dikatakan sebagai profesi apabila :
1) Berdasarkan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan atau
pelatihan.
2) Pengetahuaan tersebut memuat teknik-teknik bekerja
3) Adanya standar kompetensi yang ditetapkan
4) Adanya prosedur kerja
5) Bekerja demi pelanggan
6) Dibutuhkan oleh masyarakat
7) Mengutamakan kualitas
8) Menjunjung kode etik Profesi
9) Mempunyai Organisasi Profesi
10) Mempunyai Badan Kehormatan Profesi
Unsur-unsur profesi tersebut menurut hemat saya yang perlu mendapat
perhatian adalah bahwa profesi itu pekerjaan berkeahlian, demi pelanggan,
dan mengutamakan kualitas. Dengan demikian semestinya tidak semua orang
bisa menjadi guru karena guru bukan sembarang pekerjaan yang bisa
dilakukan oleh sembarang orang.
b. Professional
Secara kebahasaan professional berarti expert (ahli) atau specialist
(seorang spesialis). Sedangkan pemahaman umum sering dimaksudkan dengan
seseorang yang bekerja baik dan keras, tanpa menunjuk apa pekerjaan tersebut
sebagai profesi atau tidak. Hal demikian tersirat pengertian bahwa orang tersebut
bekerja sebagai layaknya profesional atau orang yang melaksanakan profesi.
Wirawan (2001) menyatakan bahwa Profesional adalah orang yang
melaksanakan profesi yang berpendidikan minimal S1 dan mengikuti pendidikan
profesi atau lulus ujian profesi. Dokter, akuntan, notaries, penasehat hukum,
psikolog disamping lulus pendidikan S1 dalam bidangnya juga harus mengikuti
8
pendidikan profesi (dokter, notaris, psikolog) atau lulus ujian profesi ( akuntan
dan penasehat hukum). Dengan cara itu professional dapat buka praktek
professional sendiri melayani masyarakat tanpa harus bekerja di suatu organisasi.
Merujuk pada pengertian tersebut di atas maka seorang pendidik bisa
disebut sebagai seorang profesional apabila ia melaksanakan profesi guru, berarti
tidak semua pendidik adalah profesional karena ia bukan guru (lihat kualifikasi
profesi) tetapi semua guru adalah profesional.
In line dengan pernyataan Wirawan, dalam UU No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen Bvab IV pasal 8, 9 dan 10 ayat (1) dan (2) disebutkan bahwa :
(1) Pasal 8. Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(2) Pasal 9. Kualifikasi akademik sebagimana dimaksud pada Pasal 8 diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
(3) Pasal 10, ayat 1. Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi social, dan kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
(4) Pasal 10, ayat 2. Ketentuan lebih lanjut mengenai kompetensi guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
Dengan demikian pendidik professional baik dari Sekolah Dasar
sampai Sekolah Menengah serendah-rendahnya berpendidikan S1 dan
memenuhi kualifikasi kompetensi profesi guru sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan.
Tetapi pada kenyataannya kondisi guru sekarang secara otomatis tidak
bisa disebut profesional seluruhnya. Mereka terbagi menjadi 2 kelompok,
yaitu kelompok pendidik dan kelompok profesional. Pendidik yang bukan
professional karena mereka melakukan pekerjaan profesi dengan sedikit
persyaratan profesional atau mereka melakukan pekerjaan diluar tuntutan
persyaratan profesi.
c. Professionalisme
Sebagaimana dibahas di atas bahwa guru adalah pekerjaan profesi oleh
karena itu profesional harus menjujung profesionalisme. Pengertian awam tentang
professionalisme menunjukkan kerja keras secara terlatih tanpa adanya
9
persyaratan tertentu. Padahal pemahaman profesionalisme secara scientific adalah
ide, aliran atau pendapat bahwa suatu profesi harus dilaksanakan oleh professional
dengan mengacu kepada norma-norma profesionalisme ( Wirawan, 2001 : 9).
Makna profesionalisme menjadi sangat penting karena mengandung
nilai-nilai etika moral yang menjadi standar bagi professional dalam menjalankan
profesinya. Pemahaman tersebut bila dikaitkan dengan konteks guru yang
professional adalah guru dengan persyaratan tertentu, bekerja dengan mengunakan
norma-norma sebagai standar profesi dalam kawasan kode etik profesi.
Supriadi (1999) mengatakan bahwa profesionalisme menunjuk pada
derajat penampilan seseorang sebagai profesional atau penampilan suatu pekerja
an sebagai profesi, ada yang profesionalismenya tinggi, sedang, dan rendah.
Profesionalisme juga mengacu kepada sikap dan komitmen anggota profesi untuk
bekerja berdasarkan standar yang tinggi dan kode etik profesinya.
Dengan demikian profesionalisme merupakan performance quality dan
sekaligus sebagai tuntunan perilaku profesional dalam melaksanakan tugasnya.
Dan konsekuensinya guru sebagai profesional dituntut untuk bisa bekerja dalam
koridor profesionalisme.
PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN
a. Pendidikan dan Rekruitmen Guru
1) Latar Belakang Guru
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Supriadi (1997) bahwa
latar belakang pendidikan guru sewaktu SLTA sebagian besar berasal dari
SMA (71,7%). Namun sayang sekali tidak disebutkan latar belakang
sekolahnya. Padahal ini penting untuk mengetahui kecenderungan sikap siswa
terhadap profesi guru.
Fakta di sekolah yang dianggap favorit pada tingkat Kabupaten atau
Kota Besar sebagian kecil atau bahkan jarang siswa yang menduduki rangking
atas di kelas mempunyai keinginan menjadi guru. Mereka lebih suka memilih
profesi yang mempunyai prospek secara ekonomis lebih menjanjikan.
Pada lapisan sekolah di bawahnya, terutama untuk sekolah yang berada
di pinggiran, jumlah siswa mendaftar pada Fakultas Keguruan agak lumayan
besar. Tetapi hal tersebut lebih menyangkut pada keterpaksaan karena kondisi
ekonomi orang tua. Dengan demikian pilihan profesi guru bukan merupakan
top priority.
10
2) Banyak Guru Tidak Layak Mengajar
Nurkholis (Suara Merdeka, 8/1/01) mengutip Data Pusat Informatika
Balitbang Dikbud 1996/1997 ada 3,72% guru SLTA berpendidikan D2, dan
menurut statistik persekolahan 1995/1996 guru yang tidak memenuhi
kualifikasi minimal pada tingkat SLTA 26%.
Angka-angka tersebut di atas menunjukkan betapa parahnya kondisi
guru yang nota bene berkompeten langsung terhadap peningkatan mutu SDM.
Mutu SDM macam apa yang diharapkan bila yang mengelola SDM itu
sendiri, standar kualifikasi minimalnya saja tidak terpenuhi. Makna lain juga
menunjukkan betapa rendahnya tingkat profesionalisme guru.
Fatah (Kompas, 9/12/05) menyatakan jumlah guru yang tidak layak
mengajar pada SMA ada 75.684 orang. Sedangkan guru yang mengajar tidak
sesuai dengan keahliannya ada 15% dari seluruh guru dari tingkat SD sampai
dengan SLTA yang berjumlah 2.6 juta guru.
Pernyataan Fatah memperkuat argumen bahwa guru masih jauh dari
nilai-nilai profesionalisme. Pertanyaan yang muncul mengapa mereka
tergolong guru yang tidak layak mengajar? Padahal pengetahuan awam,
mereka juga keluaran dari LPTK juga. Kalau begitu bisa dimungkinkan
LPTK-nya juga tidak bermutu. Ki Supriyoko (Kompas 5/3/04) menyesalkan
bahwa banyak perguruan tinggi pendidikan menyelenggarakan program
sarjana “ setengah matang”; dengan cara perkuliahan yang minim dan jaminan
lulus. Maknanya bermaksud baik meningkatkan kualifikasi akademis melalui
pensarjanaan guru namun terjebak pada formalitas belaka.
Alhumami ( Kompas, 2/7/04) menyatakan banyak guru mismatch (
mengajar tidak sesuai dengan keahlian) mengindikasikan : pertama sembarang
orang bisa menjadi guru, dan kedua jelas tidak mempunyai kompetensi untuk
mengajar mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya sehingga dapat
menurunkan mutu aktivitas pembelajaran.
Lengkap sudah wajah bopengnya guru, dan hal tersebut mengindikasi
kan perlu pembenahan secara darurat. Bagaimana mungkin sikap profesional
isme bisa diharapkan dari mereka kalau mereka sendiri sedang dalam masalah
besar. Konsekuensinya pendidikan yang bermutu masih sangat sulit
diharapkan.
11
b. Beban Kerja Guru
Aplikasi kurikulum 2004 atau yang terkenal dengan sebutan kurikulum
berbasis kompetensi (KBK) tampaknya tidak berjalan mulus sebagaimana
diharapkan. Gejala tersebut muncul karena tujuan KBK tidak dipahami dengan
benar, baik oleh guru maupun pengelola pendidikan itu sendiri. Namun yang
terjadi paradigma KBK masih disikapi dengan pola tradisional, artinya tidak
terjadi perubahan substansial pada tataran pembelajaran.
Menurut Bagir (Kompas, 20/2/04) tujuan KBK adalah menyiapkan anak
didik untuk meraih kesejahteraan dan kebahagiaan hidup (well being), yang
seharusnya menjadi tujuan puncak segenap proses pendidikan. Konsep tersebut
menuntut guru well trained dalam memandu pengembangan potensi siswa, yaitu
dengan mengedepankan penguasaan kompetensi yang hendak dibangun lewat
pemberian materi pelajaran.
Tetapi pemanduan tersebut hanya dapat terjadi pada sebagian siswa saja
karena jumlah siswa di kelas masih terlalu padat. Besarnya kelas mencerminkan
besarnya beban guru. Sebagai ilustrasi seorang guru PPKn wajib mengajar 24 jam
menurut Standar Pelayanan Minimal (SPM). Alokasi waktu yang disediakan
adalah 2 jam pelajaran / minggu. Dengan demikian dia wajib mengajar sebanyak
12 kelas. Sedangkan jumlah siswa per kelas biasanya sekitar 40 anak. Jadi jumlah
siswa yang harus dilayani oleh seorang guru PPKn adalah sebanyak 480 siswa.
Dan apabila dalam satu semester melakukan evaluasi sebanyak empat kali
berarti harus mengkoreksi minimal 1920 lembar jawaban. Seandainya waktu yang
diperlukan untuk mengkoreksi 5 menit per lembar, ia menghabiskan waktu 9600
menit atau 160 jam. Selanjutnya masih ditambah dengan waktu koreksi tugas
siswa yang rata-rata ada 3 nilai tugas. Dan bila waktu yang digunakan untuk
koreksi 3 menit per lembar, keseluruhan waktu yang dibutuhkan adalah 480 x 3 x
3 = 4320 menit atau 72 jam. Jadi khusus untuk koreksi evaluasi yang demikian
saja menghabiskan waktu 232 jam atau 29 hari kerja. Selain itu masih ada lagi
tugas tambahan yang harus di emban di sekolah.
Dengan pertimbangan di atas, tugas guru terasa begitu berat maka sistem
alokasi jumlah jam mengajar minimal perlu ditinjau kembali apalagi kurikulum
2004 (KBK) kompetensi anak sebagai sasaran. Sehingga dalam KBK jumlah
siswa dalam kelas perlu dibatasi sesuai dengan kemampuan guru yang berorientasi
pada layanan individu-individu bukan pada kelompok. Karena sasaran orientasi
12
berubah, dampak terhadap proses belajar mengajar pun bergeser kepada pengu
tamaan pelayanan prima terhadap siswa dalam mengembangkan potensi. Bisa
diprediksikan bila system alokasi jumlah jam mengajar ini terus berlanjut, guru
sulit merespond terhadap substansi KBK, sehingga kurikulum 2004 dilaksanakan
sebagaimana layaknya kurikulum 1994. Tidak ada perubahan.
Oleh karena itu, dalam KBK, besarnya kemampuan guru dalam
memberikan pelayanan kepada siswa sebaiknya menjadi bahan pertimbangan
dalam mengatur kewajiban guru mengajar, bukannya pada jumlah kewajiban
minimal guru mengajar. Sehingga guru lebih berfokus pada usaha pelayanan
terhadap individu-individu siswa, dan mempunyai peluang mengembangkan
kemampuan profesionalnya.
c. Pembinaan dan Karier Guru
1) DP3 dan Pembinaan Guru
Setiap tahun Kepala Sekolah melakukan penilaian pekerjaan terhadap
guru namun hampir bisa dipastikan bahwa keseluruhan hasil penilaian dalam
.kriteria baik. Bahkan ada kecenderungan terdapat kenaikan secara terus me
nerus seberapapun kecilnya untuk setiap tahunnya. Dengan demikian semakin
senior seorang guru semakin tinggi nilainya.
Fakta tersebut di atas menunjukkan seolah-olah telah terjadi peningkat
an kinerja guru dari tahun ke tahun namun sebetulnya adalah pelestarian
budaya senioritas di sekolah. Guru senior, mengajarnya lebih lama, akan tetap
memperoleh nilai lebih baik dari pada guru yunior. Padahal sesungguhnya
belum tentu guru senior mempunyai kinerja lebih baik. Bila penilaian DP3
dilakukan dengan fair dan obyektif diprediksikan dapat menimbulkan konflik
tersembunyi antara Kepala Sekolah dengan guru senior tersebut. Kondisi ini
terjadi karena budaya yang dibangun sejak awal oleh Kepala Sekolah, lebih
suka menghindari konflik daripada mengelolanya.
Dampak terhadap Kepala Sekolah dapat menimbulkan kesulitan bila
mana pada suatu saat akan menindak guru yang betul-betul indisipliner.
Apalagi Kepala Sekolah sendiri tidak mempunyai data atau file kinerja guru
tersebut secara baik. Sedang dampaknya terhadap guru, DP3 dianggap
sebagai formalitas belaka untuk memenuhi syarat administratif, tidak ada
13
kaitannya dengan kinerjanya, toh hasilnya sudah bisa diketahui. Model
penilaian kinerja guru dengan DP3 yang sudah tidak ada objektivitasnya; akan
menyulitkan Kepala Sekolah dalam kerangka membangun budaya kerja yang
sehat di sekolah. Simpulannya pembinaan profesionalisme guru melalui
instrumen DP3 sulit untuk diwujudkan.
2) Guru Berprestasi Minim Penghargaan
DP3 berfungsi untuk persyaratan kenaikkan pangkat pegawai. Namun
sistem penilaian DP3 tidak lagi bisa mencerminkan kinerja guru yang
sesungguhnya. Guru tidak perlu bekerja keras agar DP3-nya mendapat nilai
baik, karena kinerja guru seperti apapun, Kepala Sekolah tidak akan berani
memberikan penilaian yang obyektif. Sehingga bisa saja terjadi guru yang
sering membolos kenaikan pangkatnya lancar dibanding dengan guru yang
rajin. Kasus ini terjadi karena guru yang malas, rajin mengurus kenaikan
pangkat, sedangkan guru yang rajin malah sebaliknya.
Pengaruh penilaian DP3 demikian terhadap guru berprestasi dapat
menimbulkan kecemburuan karena dedikasi dan prestasinya tidak mendapat
penghargaan yang memadai. Hal ini lebih disebabkan oleh DP3 itu sendiri
yang tidak mempunyai daya pembeda; skor bisa saja berbeda tetapi masih
dalam rentang kriteria yang sama, yaitu baik. Sehingga efek yang ditimbulkan
sama, yaitu sama-sama bisa digunakan untuk kenaikan pangkat, dan mendapat
honor yang sama bila kedua guru tersebut dalam golongan pangkat yang sama.
Maknanya hak-hak guru berprestasi belum bisa diberikan oleh
pemerintah secara fair karena semua guru mendapat perlakuan yang sama dari
pemerintah. Oleh karena itu DP3 yang demikian dapat memunculkan
kekhawatiran surutnya motivasi berprestasi dan menurunkan semangat
profesionalisme guru.
3) Senioritas Dalam Promosi Kepala Sekolah
Pepatah yang mengatakan “The right man in the right place” mempu-
nyai makna yang dalam berkait erat dengan penempatan seseorang pada suatu
jabatan tertentu. Karena setiap jabatan pada dasarnya mempunyai sifat dan
karakter tertentu yang memerlukan orang dengan ketrampilan dan keahlian
yang tertentu pula. Sebagaimana layaknya jabatan kepala sekolah, tidak bisa
14
sembarang orang menduduki jabatan tersebut. Oleh karena itu guru yang akan
menduduki jabatan Kepala Sekolah berkewajiban memenuhi beberapa
persyaratan yang sudah ditentukan. Sehingga dasar yang menjadi landasan
seseorang untuk menduduki jabatan Kepala Sekolah bukan masalah senioritas
melainkan kecakapannya.
Sebagai ilustrasi, untuk Kabupaten Banjarnegara dalam petunjuk teknis
pelaksanaan bagi Guru yang akan diberi tugas tambahan sebagai Kepala
sekolah, komponen masa kerja mendapatkan penilaian yang signifikan.
Seorang guru dengan masa kerja di atas 20 tahun memperoleh skor 5 dengan
bobot 2,5 = 12,5. Sedangkan guru yang bermasa kerja 10 s.d 12 tahun
mendapatkan skor 1 dengan bobot 2 = 2. Tampak sekali bahwa peraturan ini
mengindikasikan paham senioritas terasa kental dan memberikan peluang
yang sangat besar, seolah-olah jabatan tersebut dianggap layaknya harta
warisan dimana yang tertua berpeluang besar untuk menguasainya.
Berkait erat dengan masa kerja adalah usia maksimum seseorang
masih diperkenankan untuk menjadi kepala sekolah, yaitu 56 tahun.
Sementara Usia pensiun guru adalah 60 tahun. Bila guru tersebut diangkat
menjadi Kepala Sekolah, berarti tinggal 4 tahun. Dengan mempertimbangkan
umur dan sisa masa kerja, bisa diprediksikan bahwa Kepala Sekolah tersebut
tentu sudah tidak menyukai perubahan karena bisa menimbulkan konflik
meskipun sebagai dinamika.
Hal yang demikian tentu bertentangan dengan fungsi kepala sekolah
sebagai the agent of changes yang mengandung banyak resiko. Padahal
pengambilan keputusan yang bermutu bisa diukur dari kandungan resiko yang
ditimbulkan, pengertiannya kemungkinan resiko itu muncul bila faktor
pendukungnya ada. Dan disinilah akan terlihat bobot leadership seseorang
karena dia mampu memperhitungkan serta mengantisipasi resiko.
Dari pemaparan di atas, konsep seleksi kepala sekolah dengan
memasukkan unsur senioritas sangat jelas bertentangan dengan pembinaan
profesionalisme. Dan juga senioritas tidak mesti identik dengan pengalaman.
Oleh karena itu faktor yang paling rasional dalam pengangkatan kepala seko-
lah adalah berdasarkan pada kompetensi kepala sekolah, bukan pada yang
lain termasuk senioritas.
15
d. Guru Semakin Terbelakang
1) Penggajian Guru dan Kesejahteraan
Sejak diberlakukan angka kredit kenaikan pangkat, guru golongan III
kenaikan pangkatnya rata-rata dapat ditempuh dalam waktu 2 tahun dan sangat
jarang yang ditempuh dalam 3 tahun apalagi sampai 4 tahun. Sehingga dalam
jangka waktu yang relatif pendek sekitar 8-10 tahunan guru sudah bisa
menduduki golongan IV/a. Pada masa penilaian tersebut dapat disebut
layaknya jalan bebas hambatan karena hampir semua guru bisa dipastikan naik
pangkat dalam waktu yang sangat cepat. Dalam keadaan demikian sulit untuk
dibedakan mana guru yang berdedikasi dan berkomitmen dengan yang tidak.
Sedangkan motivasi yang mendasari dapat diasumsikan karena dengan
percepatan kenaikan pangkatnya berdampak pada perubahan peningkatan
finansial dan status. Berapapun kecilnya penambahan gaji dapat merangsang
guru peduli pada kenaikan pangkatnya. Efek berikutnya adalah peningkatan
status pada Daftar Urut Kepangkatan yang dapat membawa pengaruh
psikologis pada guru tersebut. Oleh karena itu apapun bentuknya kesejahtera
an merupakan faktor pendorong kuat bagi guru dalam meningkatkan kinerja
nya. Padahal semua orang tahu bahwa tambahan penghasilan untuk setiap
jenjang kenaikan pangkat yang dicapai ≥ 2 tahun tidak lebih dari tujuh puluh
lima ribu rupiah, dan kebutuhan hidup meningkat dengan cepat layaknya deret
hitung. Kondisi ini berarti posisi kesejahteraan guru tetap dalam keadaan
jomplang tidak sebanding dengan pengabdianya bilamana guru disebut
sebagai profesi.
Namun dalam perjalanan karier kenaikan pangkat berikutnya fakta
menunjukkan bahwa hampir-hampir seluruh guru macet tak bergeming dari
golongan IV/a. Hal tersebut disebabkan adanya persyaratan pengembangan
profesi untuk kenaikan dari IV/a ke IV/b. Bermula dari sini baru bisa terlihat
siapa-siapa guru yang potensial dan yang tidak. Bagi guru berkomitmen
rendah persyaratan pengembangan profesi dianggap beban yang sangat berat
yang perolehan finansialnya dari kenaikkan golongan IV/b dinilai tidak
sebanding.
Keadaan ini bertolak belakang bagi guru yang berkomitmen tinggi,
kinerjanya tak berpengaruh oleh persyaratan pengembangan profesi tetapi
16
malah menjadikan persyaratan tersebut sebagai sarana pengembangan
profesinya menuju profesionalisme. Meskipun penambahan finansial dari
kenaikan golongan IV/a ke IV/b juga tidak seberapa. Idealnya peningkatan
gaji pokok pada golongan tersebut perlu ditinjau kembali, sebab tidak semua
guru bisa mencapai ke jenjang IV/b dan seterusnya, sehingga ada korelasi
yang signifikan dengan pembinaan professionalisme.
Kondisi kesejahteraan guru yang memprihatinkan, mengisyaratkan
perlunya perubahan secepatnya system penggajian guru berbeda dengan
pegawai negeri lainnya. Dampak dari system penggajian sekarang, guru tidak
mampu mengalokasikan gajinya untuk membeli buku apalagi melakukan
saving. Dapatlah dimaklumi kalau referensi bacaan guru kebanyakan berupa
LKS-LKS atau buku-buku untuk siswa dari penerbit sebagai kompensasi atas
dipakainya buku tersebut untuk siswanya. Maka tidaklah mengherankan bila
guru bukannya semakin maju tetapi malah berjalan ditempat atau bahkan
mundur karena LKS atau buku tersebut tidak dapat memberikan nilai tambah
pengetahuan baru bagi guru. Dan guru sudah bukan lagi sumber ilmu bagi
anak didiknya karena mereka sudah memperoleh nya dari berbagai media baik
cetak atau elektronika. Tetapi semoga guru tidak ditinggalkan oleh murid-
muridnya.
2) Ekonomi Lemah dan Budaya Hedonis
Indonesia yang berpenduduk besar berpeluang dijadikan sasaran pasar
ekonomi kapitalis Pengaruh. Globalisasi dan modernisasi memberikan corak
akselerasi perubahan life style, dan. berbagai jenis barang dari luar negeri
mengalir deras ke Indonesia sehingga banyak products ditawarkan di pasaran.
Dengan produk tersebut menyebabkan hidup menjadi mudah dan nyaman, dan
semua orang menginginkannya.
Namun konsekuensi yang harus dibayar cukup mahal, yaitu
konsumerisme. Dan gurupun, tak terkecuali, terjebak pada gaya hidup
hedonis. Resikonya fatal, mereka terjerat oleh Bank karena gaji guru yang
sudah terlalu kecil; tidak cukup untuk membiayai kebutuhan yang bersifat
primer apalagi membiayai gaya hidup, jelas tidak tercover.
17
Berikut gambaran penerimaan gaji seorang guru Golongan IV/a,
dengan seorang isteri dan dua anak :
Penerimaan
1. Gaji Pokok Rp. 1.276.600 2. Tunjangan Isteri Rp. 127.660 3. Tunjangan Anak Rp. 51.064 3. Tunjangan Fungsional Rp. 262.500 4. Tunjangan Beras Rp. 120.360 5. Tunjangan PPh Rp. 29.541 6. Pembulatan Rp. 48 Jumlah Penerimaan Rp. 1.867.773 Potongan 1. Taspen Rp. 145. 532 2. PPh Rp. 29.541 3. Perumahan Rp. 10.000 Jumlah Potongan Rp. 185.073 Penerimaan Bersih Rp. 1.682.700
Dari gaji Rp. 1.682.700 dialokasikan untuk kebutuhan hidup di kota
kecil dengan standard minimal yang meliputi : Makan, transportasi,
telekomunikasi, PAM, Listrik, kesehatan, biaya sekolah, sosial, dan
perumahan, dll.
Penerimaan gaji Rp. 1.682.700 Pengeluaran 1. Transport guru (24 x Rp. 4000) Rp. 96.000 2. Makan (4 orang x 3 x 30 x Rp. 3000) Rp. 1.080.000 3. Rekening Telpon rumah Rp. 75.000 4. Rekening PAM Rp. 45.000 5. Rekening Listrik Rp. 80.000 6. Gas Rp. 56.000 6. Transport dan uang saku (2x5000x24) Rp. 240.000 7. Dana kesehatan (4x Rp. 35.000) Rp. 140.000 8. Dana Sosial (2x20.000) Rp. 40.000 9. Dana Perumahan Rp. 50.000 Jumlah Pengeluaran Rp. 1.852.000 Saldo Minus Rp. 170.000
Status ekonomi guru yang begitu lemah, dengan hidup gali lobang
tutup lobang jelas-jelas tidak dapat mendukung kinerja guru. Dan sampai
kapanpun profesionalisme akan masih tetap menjadi barang langka apabila
kebutuhan yang bersifat primer saja belum terpenuhi. Oleh karena itu bila
negara komit pada pengembangan SDM maka yang pertama kali perlu
dipertimbangkan adalah gaji guru, setelah itu profesionalisme. Tuntutan
profesionalisme tidak akan jalan tanpa perimbangan gaji yang memadai.
18
PENUTUP
a. Kesimpulan
Tak pelak lagi bahwa guru tak bisa lepas dari tudingan sebagai salah satu
penyebab terpuruknya SDM Indonesia karena guru dianggap sebagai faktor
determinan. Pemerintah menyadari, meskipun terlambat, pemberdayaan guru
masalah yang sangat urgen dan darurat untuk ditangani. Dan gaungnyapun begitu
keras sehingga guru diwacanakan sebagai profesi sebagaimana profesi pengacara,
dokter ataupun akuntan. Profesi yang dipahami secara ilmiah dengan pengertian
sebagai berikut :
1. Berdasarkan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan atau
pelatihan.
1. Pengetahuaan tersebut memuat teknik-teknik bekerja
2. Adanya standar kompetensi yang ditetapkan
3. Adanya prosedur kerja
4. Bekerja demi pelanggan
5. Dibutuhkan oleh masyarakat
6. Mengutamakan kualitas
7. Menjunjung kode etik Profesi
8. Mempunyai Organisasi Profesi
9. Mempunyai Badan Kehormatan Profesi
Karena guru sebagai profesi, berdasarkan criteria tersebut sudah barang
tentu tidak semua orang yang mengajar bisa disebut guru. Dan secara otomatis
para guru adalah Profesional yang harus bekerja dalam koridor Profesionalisme.
Dan kesemua itu merupakan tantangan dan tuntutan agar ke depan guru bertindak
professional.
Program pemberdayaan yang demikian baik, sudah diduga sebelumnya
tentu tidak akan berjalan mulus, banyak kendala yang dihadapi. Karena guru
sendiri masih terbelenggu pada permasalahan sendiri yang sangat sulit untuk
diatasi. Dan permasalahan tersebut sangat beragam yang diantaranya adalah :
1. Pendidikan dan Rekruitmen Guru
Pendidikan dan rekruitmen guru yang tidak mendapatkan peluang
memperoleh input siswa yang baik, bermotivasi tinggi untuk menjadi guru.
Atau guru menjadi profesi terbuka karena sembarang orang ,tanpa
19
memeperhatikan persyaratannya, bisa menjadi guru. Sehingga guru bukan
merupakan pilihan prioritas profesi dalam hidupnya. Dan akibatnya banyak
guru yang tak layak mengajar di SMA.
2. Beban Kerja Guru.
Standard Pelayanan Minimal yang mewajibkan guru harus mengajar
24 jam per minggu tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan dengan
Kurikulum 2004 (KBK) yang lebih mengedepankan prioritas layanan kepada
pengembangan potensi siswa, dengan model tuntas belajar. KBK menuntut
guru bekerja ekstra pada focus kompetensi individu siswa. Oleh karena itu
semakin kecil alokasi jam mengajar suatu mata pelajaran berarti semakin besar
beban guru mengajar. Permasalahan lain yang muncul adalah bahwa
paradigma KBK masih disikapi dengan pola tradisional, artinya tidak terjadi
perubahan substansial pada tataran pembelajaran.
3. Pembinaan dan Karier Guru
Instrumen DP3 tidak lagi mencerminkan performance seseorang
karena lebih berfungsi sebagai formalitas belaka. Dan hampir bisa dipastikan
bahwa DP3 bukan merupakan penilaian tahunan tetapi lebih merupakan
penilaian kumulatif sehingga semakin senior seseorang, semakin tinggi nilai
yang diperolehnya. Oleh karena itu pembinaan guru melalui DP3 tidak bisa
efektif.
Karena DP3 tidak dapat berfungsi dengan baik konsekuensinya semua
guru mendapat prestasi yang sama. Dengan kata lain DP3 tidak mempunyai
daya pembeda yang mampu membedakan guru potensial dan yang bukan.
Perlakuan yang demikian tentu tidak adil karena guru yang kinerjanya baik
atau guru berprestasi mendapat apresiasi minim penghargaan yang tidak layak
sehingga bisa menyurutkan achievement motivation.
Model pembinan dengan DP3 memungkinkan guru senior memperoleh
skor yang sangat tinggi namun karena implementasinya senioritas umur belum
tentu sama dengan senioritas pengalaman. Konsep The right man in the right
place” berkait erat dengan penempatan seseorang pada suatu jabatan tertentu.
Karena setiap jabatan pada dasarnya mempunyai sifat dan karakter tertentu
yang memerlukan orang dengan ketrampilan dan keahlian yang tertentu pula.
Dengan demikian pembinaan guru menjadi kepala sekolah melalui senioritas
sudah tidak bisa dipertahankan
20
4. Guru Semakin Terbelakang
Diketahui bahwa tambahan penghasilan untuk setiap jenjang kenaikan
pangkat yang dicapai ≥ 2 tahun tidak lebih dari tujuh puluh lima ribu rupiah,
dan kebutuhan hidup meningkat dengan cepat layaknya deret hitung. Sehingga
posisi kesejahteraan guru tetap dalam keadaan jomplang tidak sebanding
dengan pengabdianya bilamana guru disebut sebagai profesi. Dan dampaknya
dari system penggajian sekarang, guru tidak mampu mengalokasikan gajinya
untuk membeli buku apalagi melakukan saving. Akibat selanjutnya adalah
guru selalu tertinggal dari perkembangan ilmu pengetahuan.
Status ekonomi guru yang begitu lemah, dan masih diperparah dengan
gaya hidup hedonis menyebabkan guru terjerat hutang pada Bank. Sehingga
guru sudah tidak bisa mengharapkan gaji untuk kesejahteraannya melainkan
hanya untuk menutup hutang. Dan resiko yang paling mungkin adalah guru
bekerja bukan karena profesi untuk memberikan layanan pengembangan
potensi siswa tetapi bagaimana mencari celah agar memperoleh uang di luar
pekerjaannya untuk menutupi kebutuhannya.
Permasalahan guru yang begitu kompleks, bisa jadi profesionalisme guru
mentah menjadi sebuah Utopia. Dan SDM Indonesia-pun tetap terbelakang.
b. Saran-Saran
Besarnya tuntutan masyarakat terhadap guru dapat dilihat dari banyaknya
sorotan yang ditujukan kepadanya baik melalui media cetak maupun elektronika.
Dan kritikan yang paling tajam tentang keterlibatan guru dalam mengkontribusi
rendahnya SDM Indonesia. Namun guru sendiri sebetulnya sedang menghadapi
masasalah internal sehubungan dengan profesionalisme. Ada prasyarat yang harus
dipenuhi bila mengharap para pendidik menjadi professional. Oleh karena itu
wacana guru sebagai profesi perlu diberikan apresiasi yang sepadan, sehingga
tidak seperti yang terjadi sekarang penuh dengan permsalahan. Dengan
mencermati pemahaman pengertian tentang profesi, professional dan professional
isme serta kondisi permasalahan guru yang di hadapi, secepat dilakukan
pembenahan-pembenahan yang diantaranya meliputi :
1) Pendidikan dan Rekruitmen guru
Untuk mendapat input calon guru yang berkualitas dalam rekruitmen
perlu dipertimbangkan kembali keberadaan Sekolah Pendidikan Guru (SPG).
21
Namun tidak perlu membangun sekolah SPG lagi, cukup dengan
memanfaatkan keberadaan SMA. Sedangkan lulusannya diarahkan untuk
memasuki LPTK, bukan untuk perguruan tinggi yang lain.
Tentang keberadaan LPTK, kuantitasnyapun harus dibatasi dan dikelo
la oleh Perguruan Tinggi yang berkualitas. Dalam penerimaan siswa calon
guru SLTA di LPTK, konsisten mempertimbangkan keseimbangan antara
lulusan dan kebutuhan guru. Dengan demikian LPTK mampu menyediakan
guru secara kontinyu, sehingga tidak sembarang lulusan bisa menbjadi guru.
2) Beban Kerja guru
Kewajiban mengajar dengan alokasi jam mengajar memunculkan
permasalahan serius bagi guru dan sekaligus sebagai kendala yang bisa
mengganggu peningkatan mutu siswa. Konsep tuntas belajar pada Kurikulum
2004 mengisyaratkan kepedulian layanan individu menjadi prioritas. Oleh
karena itu konsep beban kewajiban jam mengajar tidak relevan, dan perlu
disesuaikan dengan substansi Kurikulum 2004, sehingga perlu merujuk pada
besarnya layanan guru kepada siswa.
3) Pembinaan dan Karier guru
Fungsi DP3 sebagai sarana pembinaan guru tidak berjalan dengan baik
karena budaya yang dibangun sejak awal tidak mencerminkan performance
guru. Konsekuensinya, dengan DP3 guru potensial tidak mendapat apresiasi
yang wajar atas prestasinya. Bertalian dengan konsep guru sebagai profesi
yang bekerja demi pelanggan dan mengutamakan kualitas maka sudah
selayaknya kalau suara siswa mulai dipertimbangkan. Sesungguhnya apresiasi
berawal dari siswa untuk selanjutnya sekolah dapat menindaklanjuti.
4) Kesejahteraan dan Kompetensi Guru
Kondisi kesejahteraan guru yang memprihatinkan, mengisyaratkan
perlunya perubahan secepatnya system penggajian guru berbeda dengan
pegawai negeri sipil lainnya. Dan di dalamnya juga dimasukkan tunjangan
pengembangan profesi. Sehingga melalui system yang baru tersebut
diharapkan guru mampu mengikuti perkembangan jaman dan mengembang
kan profesinya.
22
DAFTAR PUSTAKA
Alhumami, Amich. 2004. 2 Juli. Tiga Isu Kritis Pendidikan. Kompas, h. 5 Bagir, Haidar. 2004, 20 Pebruari. Salah Paham Ihwal KBK. Kompas, h. 5 Biro Hukum dan Organisas Depdiknas. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia :
Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta Carr, David. 2000. Profesionalism and Ethics in Teaching. London : Routledge Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-undang Sisdiknas no 20. Jakarta. Direktorat Dikmenum Depdiknas. 2003. Pedoman Penyusunan StandarPelayanan
minimal Penyelenggaraan Persekolahan Bidang Dikdasmen. Jakarta Direktorat Dikmenum Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis
Sekolah Ed. 3. Jakarta Fatah, Nanang. 2005, 9 Desember. Banyak Guru Tidak Layak Mengajar. Kompas, h.
12 Gilley, Jerry W. Dan Eggland, Steven A. 1991. Principles of Human Resource
Development. Massachusetts : Addison-Wessley Publising Company, INC. Imron, Ali. 1995. Pembinaan guru di Indonesia. Jakarta : Pustaka Jaya Ki Supriyoko. 2004, 5 Maret. Problem Kultural Pendidikan Kita. Kompas h. 4 LPMI. 2004, 6 Nopember. Fokus : Menanti Lonjakan Kualitas Bangsa. Kompas, h.
44. Muzaki dan Komalasari, Dewi. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Th 2005 Tentang Guru dan Dosen. Jakarta : BP. Pustaka Karya. Nata, Abudin. 2003. Manajemen Pendidikan : Mengatasi Kelemahan pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta : Prenada Media. Nurkolis. 2001, 8 Januari. Kurikulum Baru VS Kualitas Guru. Suara Merdeka, h. VI Sinar Grafika. 2001. Undang-Undang Otonomi Daerah 1999. Jakarta Soekartawi. 2004, 18 oktober. Pembangunan Pendidikan Perlu Keberanian Kerja
Keras, dan Skala Prioritas. Kompas, h. 45 Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra Guru dan Martabat Guru. Yogyakarta :
Adicita Karya Nusa. Taruna. 2005. Februari. Guru Sebagai Profesi dan/atau Pekerja. Derap Guru No. 61
Th. V, h. 26 Wirawan, 2001. Evaluasi Program Pendidikan : Bahan Kuliah Program Studi
Magister Pendidikan. Jakarta : UHAMKA Press.
top related