kajian hukum terhadap pelanggaran penguasaan pasar yang …
Post on 01-Oct-2021
11 Views
Preview:
TRANSCRIPT
KAJIAN HUKUM TERHADAP PELANGGARAN PENGUASAAN PASAR YANG
DILAKUKAN OLEH DISTRIBUTOR AIR MINUM DALAM KEMASAN DITINJAU
DARI UNDANG-UNDANG NO. 5 TAHUN 1999 TENTANG LARANGAN
PRAKTIK MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
(STUDI KASUS: PUTUSAN KPPU NO. 22/KPPU-I/2016)
JURNAL
Oleh:
YOHANNES UNGGUL
NIM: 140200447
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
1
CURRICULUM VITAE
A. Data Pribadi
Nama Lengkap Yohannes Unggul Julius
Jenis Kelamin Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir
Jakarta, 22 Juli 1996
Kewarganegaraan Indonesia
Status Belum Menikah
Identitas NIK KTP. 3173022207960004
Agama Kristen Protestan
Alamat Domisili
Jln. Jalan Flamboyan
No.63, Pasar 3, Padang
Bulan, Medan, Sumatera
Utara
Alamat Asal Jln. Udaka Ujung No. 20c,
Jakarta Barat, DKI Jakarta
No.Telp 081280948400
Email johannes.unggul@gmail.com
B. Pendidikan Formal
Tahun Institusi Pendidikan Jurusan IPK
2002 - 2008 SD Regina Pacis - -
2008 - 2011 SMP Regina Pacis - -
2011 – 2014 SMA Negeri 16 Jakarta IPA -
2014 - 2018 Universitas Sumatera Utara Ilmu Hukum 3,39
C. Data Orang Tua
Nama Ayah/Ibu : Alm. Domu Sagala / Lindawaty Simanihuruk
Pekerjaan : - / Pegawai Negeri Sipil
Alamat : Jln. Udaka Ujung No. 20c, Kelurahan Kemanggisan,
Kecamatan Palmerah, Jakarta Barat, DKI Jakarta
2
ABSTRACT
Yohannes Unggul*
Natasya Ningrum Sirait**
Mahmul Siregar ***
Competition among businesses that are engaged in similar business are
common. In practice, there are many business competition behaviors that occur
in Indonesia are still not in accordance with Law No. 5 of 1999. Through Decision
of KPPU No. 22 / KPPU-I / 2016, KPPU states that Aqua has been proven guilty
of violating the provisions of Article 15 paragraph (3) letter b and Article 19 letters
a and b of Law No. 5 of 1999 on Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair
Business Competition in the relevant Market, namely Bottled Drinking Water
(AMDK).
The type of research used in this study is a normative legal research
methods which conducted by the collection of existing data as well as with library
research. The purpose that want to be achieved in this study is to find out the
rules of business competition law in Indonesia, especially market control as a
prohibited activity, and to find out whether Aqua's action as a reporter indeed
violates the provisions of Law No. 5/1999 or vice versa.
It can be concluded that the definition of market control in Law No. 5/1999
is control in the negative sense when a business actor dominates the market, it
will carry out anti-competitive actions which aim to remain the market ruler and
obtain maximum profits. The results of this study are Decision of KPPU No. 22 /
KPPU-I / 2016 which has fulfilled the formal legal aspects of so that the decision
is legal. In terms of legal reasoning, KPPU has implemented sanctions in
accordance with existing laws and regulations because the reported parties have
proven to fulfill elements of Article 15 paragraph (3) letter b and Article 19 letters
a and b. Where the reported parties are proven to obstruct consumers of their
business competitors to make connections with competitors' business actors.
Keywords: Business Competition, Bottled Drinking Water.
* Student of the Faculty of Law, University of Sumatera Utara ** Supervisor I, Lecturer of the Faculty of Law, University of Sumatera Utara *** Supervisor II, Lecturer of the Faculty of Law, University of Sumatera Utara
3
ABSTRAK
Yohannes Unggul*
Natasya Ningrum Sirait **
Mahmul Siregar ***
Persaingan Usaha di antara pelaku usaha yang bergerak dalam bidang
usaha yang sejenis biasa terjadi. Dalam prakteknya perilaku persaingan usaha
yang terjadi di Indonesia masih banyak yang tidak sesuai dengan Undang-
undang No. 5 tahun 1999. Melalui Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016, KPPU
menyatakan bahwa Aqua telah terbukti bersalah melanggar ketentuan Pasal 15
ayat (3) huruf b dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-undang No. 5 tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Pasar
bersangkutan yaitu Air Minum Dalam Kemasan (AMDK).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian hukum normatif yang dilakukan dengan pengumpulan data-data yang
ada serta dengan penelitian kepustakaan. Adapun tujuan yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaturan hukum persaingan
usaha di Indonesia khususnya penguasaan pasar sebagai kegiatan yang
dilarang, dan untuk mengetahui apakah tindakan Aqua sebagai terlapor memang
benar melanggar ketentuan UU No. 5/1999 atau sebaliknya.
Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud penguasaan pasar dalam UU
No. 5/1999 merupakan penguasaan dalam arti negatif pada saat pelaku usaha
menguasai pasar maka akan melakukan tindakan-tindakan anti persaingan yang
bertujuan agar dapat tetap menjadi penguasa pasar dan mendapatkan
keuntungan yang maksimal. Adapun hasil dari penelitian ini adalah Putusan
KPPU No. 22/KPPU-I/2016 yang telah memenuhi aspek hukum formiil sehingga
putusan tersebut sah menurut hukum. Dari segi penalaran hukum, Majelis KPPU
sudah menerapkan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
ada karena para terlapor terbukti memenuhi unsur Pasal 15 ayat (3) huruf b dan
Pasal 19 huruf a dan b. Dimana para terlapor terbukti menghalang-halangi
konsumen pelaku usaha pesaingnya untuk melakukan hubungan dengan pelaku
usaha pesaingnya.
Kata Kunci: Persaingan Usaha, Air Minum Dalam Kemasan.
* Mahasiswa
** Dosen Pembimbing II
*** Dosen Pembimbing I
4
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan pesat dunia di bidang usaha mengakibatkan pelaku usaha
harus selalu mengedepankan unsur efisiensi dalam menjalankan kegiatan
usahanya. Ilmu ekonomi memiliki prinsip yang didalamnya terkandung asas
dengan pengorbanan tertentu dapat diperoleh hasil yang maksimal. Singkatnya,
prinsip ekonomi menekankan panduan dalam kegiatan ekonomi untuk mencapai
perbandingan rasional antara pengorbanan yang dikeluarkan dengan hasil yang
diperoleh. Segala macam hal dilakukan oleh pelaku usaha agar terjalannya
prinsip ekonomi tersebut seperti melakukan inovasi-inovasi produk maupun jasa,
melakukan perjanjian dengan perusahaan lain, penggunaan teknologi yang lebih
termutakhir, hingga perbuatan-perbuatan curang yang berakibat pada kerugian
konsumen maupun pelaku usaha lain.
Banyak orang memberi argumentasi bahwa persaingan yang hidup
menurunkan harga barang dan meningkatkan pengalokasian sumber daya
secara efisien. Persaingan juga membatasi kekuasaan bisnis dalam suatu pasar
yang bersaing.1 Sejak dahulu hingga sekarang, terus bermunculan perbuatan-
perbuatan curang yang dilakukan antar pelaku usaha yang biasanya terjadi
karena rasa ingin menjadi yang paling unggul dan kuat di pasar. Namun
terkadang keinginan tersebut tidak diikuti dengan kemampuan dalam
meningkatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang dihasilkannya.
1
John W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi, (Jakarta: ELIPS II, 2002),
hlm. 9.
5
Sehingga demi mewujudkan cita-citanya tak jarang dilakukan berbagai macam
cara untuk menarik pelanggan atau klien pengusaha lain untuk memajukan
usahanya sendiri atau pemasarannya dalam menggunakan alat atau sarana
yang bertentangan dengan itikad baik dan kejujuran dalam pergaulan
perekonomian.
Oleh karena itu diperlukan suatu hukum untuk mengatur iklim
perekonomian di Indonesia. Menurut Jeremy Bentham, hukum itu sebagai
“rangkaian perintah dan larangan yang disampaikan oleh badan atau Lembaga
yang memiliki wewenang yang sah untuk membentuk hukum yang disertai sanksi
atas pelanggaran terhadap perintah dan larangan tersebut”.2
Untuk menciptakan suatu undang-undang diperlukan proses yang
panjang agar terciptanya norma hukum yang sesuai dengan sistem sosial yang
dianut Indonesia. Hukum hanya dapat dimengerti dengan jalan memahami
sistem sosial terlebih dahulu dan bahwa hukum merupakan suatu proses.3
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
(selanjutnya disebut UUD NRI 1945) merupakan dasar konstitusional
perekonomian di Indonesia. Orientasi perekonomian di Indonesia menganut
sistem ekonomi kerakyatan4 berdasarkan instruksi UUD NRI 1945. Pasal 33
UUD NRI 1945 yang merupakan dasar acuan normatif menyusun kebijakan
perekonomian nasional yang menjelaskan bahwa tujuan pembangunan ekonomi
adalah berdasarkan demokrasi yang bersifat kerakyatan dengan keadilan sosial
2 E. Sumaryono, Etika dan Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 221.
3 Soerjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, (Jakarta: Rajawali Pers,
2012), hlm. 5. 4 Ekonomi kerakyatan adalah suatu sistem perekonomian yang dibangun pada
kekuatan ekonomi yang dapat memberikan kesempatan yang luas untuk masyarakat dalam berpartisipasi sehingga perekonomian dapat terlaksana dan berkembang secara baik, Rennata Hariatna, “Pengertian Ekonomi Kerakyatan dan Ciri-cirinya”, https://dosenekonomi.com/ilmu-ekonomi/ekonomi-mikro/pengertian-ekonomi-kerakyatan, (diakses pada tanggal 24 Maret 2018).
6
bagi seluruh rakyat Indonesia melalui pendekatan kesejahteraan dan mekanisme
pasar.5
Ketentuan Pasal 33 UUD NRI 1945 secara lengkap menyatakan:
a. Perekonomian disusun sebagai usaha Bersama berdasar atas asas kekeluargaan
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, dan
c. Bumi, air dan kekayaan alam lainnya dipergunakan sebesar besarnya untuk kemakmuran rakyat indonesia
Perekonomian Indonesia berupaya menghindarkan diri dari sistem free
fight liberalism6 yang mengeksploitasi manusia atau dominasi perekonomian oleh
negara serta persaingan curang dalam berusaha dengan melakukan pemusatan
kekuatan ekonomi pada satu kelompok tertentu saja. Praktek ini muncul dalam
berbagai bentuk monopoli ataupun monopsoni yang merugikan serta
bertentangan dengan instruksi Pasal 33 UUD NRI 1945.7
Dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 5 Tahun 19998 yang
bertujuan untuk menciptakan lingkungan perekonomian yang kondusif dan demi
tercapainya asas ekonomi kerakyatan, telah muncul harapan baru bagi bangsa
Indonesia agar terwujudnya persaingan usaha yang sehat dan membangun.
Ternyata masih banyak penyimpangan dan pelanggaran yang terjadi. Selama
berlakunya UU No. 5/1999, dunia bisnis dan perdagangan di Indonesia masih
kerap diwarnai berbagai persaingan usaha tidak sehat seperti halnya masalah
persekongkolan tender, penguasaan pasar, perjanjian kartel, dan perbuatan anti
persaingan yang mengakibatkan praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
5
Ningrum Natasya Sirait (a), Hukum Persaingan di Indonesia, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2011), hlm. 1.
6 Free fight liberalism merupakan sistem persaingan bebas yang saling
menghancurkan dan dapat menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain
sehingga dapat menimbulkan kelemahan struktural ekonomi nasional, dikutip dari
“Sistem Ekonomi di Indonesia”, http://utamanyailmu.com/sistem-ekonomi-di-indonesia/
(diakses pada tanggal 24 Maret 2018) 7 Ningrum Natasya Sirait (a), op. cit, hlm. 2.
8 UU No. 5 Tahun 1999, Undang-undang tentang Larangan Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat, LN No. 33 Tahun 1999, TLN No. 3817.
7
tidak sehat. Berkumpulnya para pelaku usaha untuk menguasai pasar adalah
tindakan kolusif yang dapat mendistorsi pasar.9
Salah satu pelanggaran yang muncul dan menjadi sorotan publik adalah
penguasaan pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha yang menguasai pasar dari
hulu hingga hilir. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus yang masih
dalam proses pemeriksaan maupun yang sudah diputus oleh Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (selanjutnya disebut sebagai KPPU). Pada dasarnya hukum
persaingan memperbolehkan penguasaan pasar dengan persyaratan
penguasaan pasar tersebut diperoleh dan dipergunakan dengan cara persaingan
usaha yang sehat. Tolak ukur persaingan usaha yang sehat yaitu jika para
pelaku usaha bersaing meningkatkan mutu barang dan jasa dari produk masing-
masing pelaku usaha, tanpa adanya penyimpangan dan perbuatan terlarang
yang melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, salah
satu parameter untuk menentukan persaingan usaha yang sehat adalah tidak
adanya hambatan bagi pelaku usaha pesaing untuk masuk pasar (barrier to
entry10).
Kasus pelanggaran penguasaan pasar objek perkara Air Minum Dalam
Kemasan (AMDK) yang dilakukan PT. Tirta Investama (Danone Indonesia)
selaku produsen dan PT. Balina Agung Perkasa sebagai distributor merupakan
bukti sikap tidak sportif dalam menjalankan usaha ataupun perdagangan dalam
dunia bisnis. Kasus dengan nomor putusan 22/KPPU-I/2016 merugikan pelaku
usaha pesaingnya dan dapat mematikan usaha pelaku usaha pesaingnya.
Dimana dalam putusan KPPU, terbukti secara sah dan meyakinkan bahwa
9
Ningrum Natasya Sirait (b), Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat, (Medan:
Pustaka Press, 2003), hlm. 16. 10
Barrier to entry adalah kegiatan yang menghalangi atau menghambat pelaku
usaha lain masuk ke dalam persaingan terhadap produk barang, jasa, atau barang dan
jasa yang sama. Lihat Susanti Adi Nugroho, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), hlm. 233.
8
Terlapor I dan Terlapor II melanggar Pasal 15 ayat (3) huruf b Undang-undang
No. 5/1999 dan Pasal 19 huruf a dan b Undang-undang No. 5/1999. Terlapor I
yaitu PT. Tirta Investama dikenakan sanksi denda sebesar Rp.13.845.450.000
(Tiga Belas Miliar Delapan Ratus Empat Puluh Lima Juta Empat Ratus Lima
Puluh Ribu Rupiah) dan Terlapor II untuk membayar denda sebesar
Rp.6.294.000 (Enam Miliar Dua Ratus Sembilan Puluh Empat Juta Rupiah). 11
Larangan yang terdapat pada Pasal 15 ayat (3) b dikaitkan dengan suatu
prakondisi, yaitu pemberian insentif dalam kaitannya dengan harga atau
potongan harga tertentu atas produk yang diperjualbelikan mensyaratkan bahwa
pembeli produk tersebut tidak akan membeli produk yang sama atau sejenis dari
pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari pemasok.12 Sedangkan pasal 19
huruf a dan b dikaitkan dengan indikasi menolak atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan hubungan usaha dengan pelaku usahanya serta
membatasi peredaran penjualan barang dan atau jasa pada pasar
bersangkutan.13
Perkara ini bermula dari laporan para pedagang ritel maupun eceran ke
Kantor KPPU pada September 2016. Pedagang mengaku dihalangi oleh pihak
PT Tirta Investama untuk menjual produk Le Minerale yang diproduksi PT Tirta
Fresindo Jaya (Mayora Group). Salah satu klasul perjanjian ritel menyebutkan,
apabila pedagang menjual produk Le Minerale maka statusnya akan diturunkan
dari star outlet (SO) menjadi whole saler (eceran). Atas perbuatan itu, PT Tirta
Fresindo Jaya selaku Pelapor ini melayangkan somasi terbuka terhadap PT Tirta
Investama di surat kabar pada 1 Oktober 2017. Somasi ini selanjutnya ditanggapi
11
Putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 12
Suhasril dan Mohammad Taufik Makarao, Hukum Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm.
131. 13
Ibid, hlm. 137.
9
oleh otoritas persaingan usaha. KPPU mengendus praktik persaingan usaha
tidak sehat dalam industri Air Minum Dalam Kemasan Kemasan (selanjutnya
disebut sebagai AMDK).14
Walaupun volume kasus penguasaan pasar yang masuk ke dalam KPPU
tidak sebanyak kasus persekongkolan tender15, perilaku penguasaan pasar juga
sangat merugikan bagi pelaku usaha pesaing serta konsumen. Kondisi tersebut
menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam
judul: “Kajian Hukum Terhadap Pelanggaran Penguasaan Pasar yang Dilakukan
Oleh Distributor Air Minum Dalam Kemasan Ditinjau Dari Undang-undang No. 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat”. Untuk itu, penulis akan membahas tentang kegiatan yang dilarang dalam
hal ini penguasaan pasar, serta menganalisis Putusan KPPU Nomor: 22/KPPU-
I/2016 tentang penguasaan pasar Air Minum Dalam Kemasan yang dilakukan
oleh Aqua (PT Tirta Investama selaku produsen dan PT Balina Agung Perkasa
selaku distributor) terhadap Le Minarale (PT Tirta Fresindo Jaya).
14
Deliana Prahita Sari dkk., Persaingan Usaha Tidak Sehat: Asal Mula Kasus Aqua versus Le Minerale, dikutip dari http://kabar24.bisnis.com/read/ 20170711/16/670224/persaingan-usaha-tidak-sehat-asal-mula-kasus-aqua-vs.-le-minerale, diakses pada tanggal 9 Maret 2018.
15 Hingga 2017, kata Hakim, KPPU sudah menerima 2.537 laporan masyarakat
terkait dugaan pelanggaran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999. Sebanyak 1.278 laporan di antaranya terkait tender. Wahyudi Aulia Siregar, Kasus Persaingan Usaha Tidak Sehat Paling Banyak Terjadi di Jakarta, dikutip dari https://economy.okezone.com/read/2017/06/15/320/1717063/wah-kasus-persaingan-usaha-tidak-sehat-paling-banyak-terjadi-di-jakarta, diakses pada tanggal 9 Maret 2018.
10
II. HASIL PENELITIAN
A. Metodologi
Sifat penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian deskriptif
yaitu penelitian yang menggambarkan dan memaparkan kembali secara detail
serta melakukan analisis terhadapnya mengenai hukum yang berkaitan dengan
pelanggaran penguasaan pasar yang dilakukan oleh distributor air minum dalam
kemasan di Indonesia. Sifat deskriptif analisis mengarah pada penelitian yuridis
normatif, yaitu sesuatu penelitian yang dilakukan pada peraturan yang tertulis
dan bahan hukum yang lain. Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian
hukum doktrinal, khususnya penelitian yang berupa inventarisasi hukum positif.
Skripsi ini merupakan hasil inventarisasi hukum positif yang berkaitan dengan
pelanggaran penguasaan pasar yang dilakukan oleh distributor air minum dalam
kemasan di Indonesia yang kemudian dilakukan analisis terhadap berbagai
hukum positif yang terkait. Sumber data penelitian ini terdiri dari data primer,
sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini
adalah dengan menggunakan studi kepustakaan. Analisis data yang digunakan
adalah analisis normatif kualitatif, yaitu data yang diperoleh kemudian disusun
secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif untuk mencapai
kejelasan masalah yang akan dibahas dan hasilnya dituangkan dalam bentuk
skripsi.
B. Hasil Penelitian
Indonesia sudah cukup dikenal dengan kebudayaannya yang berorientasi
pada kebersamaan, gotong royong. Hal-hal tersebut merupakan nilai hidup pada
kehidupan masyarakat. Bersaing kerap dikatakan kegiatan yang bersifat
individualistis dan hanya berorientasi pada kepentingan sepihak dengan cara
11
melakukan berbagai cara dan upaya semaksimal mungkin untuk mencapai
keuntungan yang sebesar besarnya. Pandangan tersebut menjadi salah apabila
dilakukan dengan cara yang tidak jujur.16 Di dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia dijelaskan, bahwa terminologi „persaingan‟ berasal dari kata dasar
„saing‟ yang memiliki dua makna. Pertama, artinya “perihal berlomba (bersaing);
konkurensi”. Dan kedua, artinya “suatu usaha memperlihatkan keunggulan
masing-masing yang dilakukan perseorangan (perusahaan, negara pada bidang
perdagangan, produksi, persenjataan, dan lain sebagainya)”17. Istilah persaingan
pada umumnya adalah suatu proses sosial ketika ada dua pihak atau lebih saling
berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai kemenangan tertentu. 18
Disamping mendapat kesempatan untuk melihat dan sekaligus mendapatkan
hasil yang terbaik dari suatu persaingan, banyak hasil positif yang ditemukan
dalam persaingan. Fenomena ini sering muncul secara alamiah diantara para
pelaku bisnis di dunia usaha. Persaingan memang timbul secara natural demi
untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar besarnya dari masyarakat
konsumen produknya merupakan tujuan utama dari para pelaku usaha.19
Pada dasarnya hubungan antara pelaku usaha dan konsumen merupakan
hubungan yang bersifat ketergantungan, karena pelaku usaha membutuhkan
dukungan konsumen sebagai pelanggan, dan sebaliknya konsumen juga
kebutuhannya sangat bergantung dari pelaku usaha. Kebutuhan kedua pihak
tersebut dapat menciptakan hubungan yang bersifat terus-menerus dan
16
Ningrum Natasya Sirait (a), op.cit, hlm. 14-15.
17 Kemdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikutip dari
http://kbbi.kemendikbud.go.id, diakses pada tanggal 23 Mei 2018. 18
Pengertian persaingan dan contohnya, dikutip dari
http://artikelsiana.com/2015/06/pengertian-persaingan-competition-contoh.html, diakses
pada tangga 23 Mei 2018. 19
Ibid, hlm. 15.
12
berkesinambungan, sesuai dengan tingkat ketergantungan akan kebutuhan yang
tidak terputus-putus.20
Dalam aktivitas bisnis dapat dipastikan terjadi persaingan diantara pelaku
usaha. Pelaku usaha akan berusaha menciptakan, mengemas, serta
memasarkan produk yang dimilikinya sebaik mungkin agar diminati dan dibeli
oleh konsumen. Persaingan dalam usaha dapat berimplikasi positif, sebaliknya
dapat juga menjadi negatif jika dijalankan dengan perilaku negatif dan sistem
ekonomi yang menyebabkan tidak kompetitif.21
Para ekonom dan praktisi hukum persaingan sepakat bahwa umumnya
persaingan menguntungkan bagi masyarakat. Pembuat kebijakan persaingan
pada berbagai jenjang pemerintahan perlu memiliki pemahaman yang jelas
mengenai keuntungan persaingan, tindakan apa saja yang dapat membatasi
maupun mendorong persaingan dan bagaimana kebijakan yang mereka terapkan
dapat berpengaruh terhadap proses persaingan. Pemahaman ini akan
membantu pembuat kebijakan untuk bisa mengevaluasi dengan lebih baik
apakah kebijakan tertentu, misalnya dalam hukum persaingan usaha atau
perdagangan menciptakan suatu manfaat luas bagi rakyat.22
Indonesia baru memiliki aturan hukum dalam bidang persaingan usaha,
setelah atas inisiatif DPR disusun RUU Larangan Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat. RUU tersebut akhirnya disetujui dalam sidang paripurna
DPR pada tanggal 18 Februari 1999, dalam hal ini pemerintah diwakili oleh
20
Amad Sudiro, “Nilai Keadilan Pada Hubungan Pelaku Usaha dan Konsumen
Dalam Hukum Transportasi Udara Niaga” dalam Amad Sudiro dan Deni Bram (ed),
Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional & Internasional), (Depok: Rajagrafindo Persada,
2013), hlm. 7. 21
Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.8.
22 Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks,
deutch gesellschaft fur technische zusammenarbeit (GTZ), 2009, hlm. 3.
13
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rahardi Ramelan. Setelah seluruh
prosedur legislasi terpenuhi, akhirnya Undang-undang tentang Larangan
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat ditandatangani Presiden
Bachruddin Jusuf Habibie dan diundangkan pada tanggal 5 Maret 1999 serta
berlaku satu tahun setelah diundangkan. Sebelumnya persaingan usaha tidak
sehat dan tindak pidana monopoli, diatur baik secara eksplisit maupun implisit
dalam berbagai perundang-undangan yang ada.
Disadari juga hal-hal yang merupakan dasar pembentukan setiap undang-
undang antimonopoli, yaitu justru pelaku usaha itu sendiri yang cepat atau
lambat melumpuhkan dan menghindarkan dari tekanan persaingan usaha
dengan melakukan perjanjian atau penggabungan perusahaan yang
menghambat persaingan serta penyalahgunaan posisi kekuasaan ekonomi untuk
merugikan pelaku usaha yang lebih kecil. Disadari adanya keperluan bahwa
negara menjamin keutuhan proses persaingan usaha terhadap gangguan dari
pelaku usaha dengan menyusun undang-undang, yang melarang pelaku usaha
mengganti hambatan perdagangan oleh Negara yang baru saja ditiadakan
dengan hambatan persaingan swasta.23
Fenomena diatas berkembang dan didukung oleh adanya hubungan yang
terkait antara pengambilan keputusan dengan para pelaku usaha, baik secara
langsung maupun tidak langsung, sehingga makin memperburuk keadaan, serta
cenderung menunjukkan corak yang monopolistik. Para pelaku usaha yang dekat
dengan elit kekuasaan mendapatkan kemudahan-kemudahan yang berlebihan
sehingga berdampak pada kesenjangan sosial. Dengan memperhatikan situasi
dan kondisi tersebut di atas, menuntut kita untuk mencermati dan menata
kembali kegiatan usaha di Indonesia, agar dunia usaha dapat tumbuh dan
berkembang secara sehat dan wajar, sehingga tercipta iklim persaingan usaha
23
Ibid.
14
yang sehat, terhindarnya pemusatan kekuatan ekonomi pada perorangan atau
kelompok tertentu, antara lain dalam bentuk praktek monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat yang merugikan masyarakat, yang bertentangan dengan cita-
cita keadilan sosial.24
Tahun-tahun awal reformasi di Indonesia memunculkan rasa keprihatinan
rakyat terhadap fakta bahwa perusahaan-perusahaan besar yang disebut
konglomerat menikmati pangsa pasar terbesar dalam perekonomian nasional
Indonesia. Dengan berbagai cara mereka berusaha mempengaruhi berbagai
kebijakan ekonomi pemerintah sehingga mereka dapat mengatur pasokan atau
supply barang dan jasa serta menetapkan harga-harga secara sepihak yang
tentu saja menguntungkan mereka.25
Koneksi yang dibangun dengan birokrasi Negara membuka kesempatan
luas untuk menjadikan mereka sebagai pemburu rente. Apa yang mereka
lakukan sebenarnya hanyalah mencari peluang untuk menjadi penerima rente
(rent seeking) dari pemerintah yang diberikan dalam bentuk lisensi, konsesi, dan
hak-hak istimewa lainnya. Kegiatan pemburuan rente tersebut, oleh pakar
ekonomi William J. Baumol dan Alan S. Blinder dikatakan sebagai salah satu
sumber utama penyebab infisiensi dalam perekonomian.26
Implementasi kebijakan persaingan usaha (competition policy) yang efektif
dibentuk dari sinergi positif terhadap kewenangan persaingan usaha di suatu
negara. Efektivitas implementasi itu diyakini mampu meningkatkan keberhasilan
suatu lembaga persaingan dalam penegakan hukum persaingan usaha itu
sendiri. Negara yang memiliki hukum persaingan usaha berada dalam kondisi
24
Hermansyah, Pokok-pokok Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 11. 25
Andi Fahmi Lubis, loc.cit. 26
William J. Baumol dan Alan S Bliner, Economic, Principles and Policy, 3rd
ed.
(Florida: Harcourt Brace Jovanovich Publisher Orlando, 1985) p.550 dalam Andi Fahmi
Lubis, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks (Jakarta: GTZ, 2009), hlm. 13.
15
aktual yang berbeda dalam sistem penegakan hukum persaingan dan
kewenangan Lembaga persaingan usahanya.27
Di Indonesia, esensi keberadaan undang-undang No. 5 Tahun 1999 pasti
memerlukan pengawasan dalam rangka implementasinya. Berlakunya undang-
undang No. 5/1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha
tidak sehat sebagai landasan kebijakan persaingan (competition policy) diikuti
dengan berdirinya Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) guna
memastikan dan melakukan pengawasan terhadap dipatuhinya ketentuan dalam
undang-undang Antimonopoli tersebut28 demi terwujudnya perekonomian
Indonesia yang efisien melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dan
kompetitif, yang menjamin adanya kesempatan berusaha.29
Tugas dari KPPU dijabarkan dalam Pasal 35 UU Antimonopoli meliputi 30:
a. Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
sebagaimana diatur di dalam pasal 4 sampai dengan pasal 16;
b. Melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dana tau tindakan pelaku
usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal 17
sampai dengan pasal 24;
c. Melakukan penilaian terhadap ada atau tidak adanya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli
dan atau persaingan usaha tidak sehat sebagaimana diatur dalam pasal
25 sampai dengan pasal 28;
27
Hermansyah, op. cit, hlm. 73. 28
Ibid 29
Hermansyah, op.cit, hlm. 75. 30
Destivano Wibowo dan Harjon Sinaga, Hukum Acara Persaingan Usaha,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005), hlm. 3.
16
d. Mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi sebagaimana
diatur di dalam pasal 36;
e. Memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan pemerintah
yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat;
f. Menyusun pedoman dana tau publikasi yang berkaitan dengan undang-
undang ini;
g. Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebagai sebuah Lembaga Penegak Hukum independen, KPPU dalam
melaksanakan tugasnya memiliki visi yaitu “menjadi lembaga pengawas
persaingan usaha yang efektif dan kredibel untuk meningkatkan kesejahteraan
rakyat”. KPPU memiliki misi, yaitu (1) menegakkan hukum persaingan, (2)
menginternalkan nilai-nilai persaingan, (3) membangun kelembagaan yang efektif
dan kredibel.31
Sedangkan wewenang Komisi, sebagai tindak lanjut dari tugas yang
diberikan Pasal 35 huruf d. Dan wewenang Komisi tersebut diatur dalam Pasal
36, sebagai berikut:
a. Menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha tentang
dugaan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
b. Melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan atau
tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
31
Suhasril, op. cit, hlm. 150.
17
c. Melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan
praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang dilaporkan
oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang ditemukan oleh
Komisi sebagai hasil penelitiannya.
d. Menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang ada
atau tidak adanya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak
sehat.
e. Memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan undang-undang ini.
f. Memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli, dan setiap orang yang
dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang
ini.
g. Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi,
saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e dan huruf f
yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi.
h. Meminta keterangan dari instansi pemerintah dalam kaitannya dengan
penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha yang
melanggar ketentuan undang-undang ini.
i. Mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen, alat bukti lain
guna penyelidikan dan atau pemeriksaan.
j. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak
pelaku usaha lain atau masyarakat.
k. Memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
l. Menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku usaha
yang melanggar ketentuan undang-undang ini.
18
Komisi juga mempunyai fungsi sebagaimana diatur dalam Keputusan
Presiden RI No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha,
dalam Pasal 5 menyebutkan:
a. Penilaian terhadap perjanjian, kegiatan usaha, dan penyalahgunaan
posisi dominan;
b. Pengambilan tindakan sebagai pelaksanaan kewenangan;
c. Pelaksanaan administratif.
Kewenangan Komisi yang cukup strategis adalah peran konsultatif ketika
memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal yang
berkaitan keputusan suatu Lembaga yang menyangkut kebijakan ekonomi.
Kewenangan komisi yang menyerupai Lembaga yudikatif adalah kewenangan
komisi melakukan fungsi penyelidikan, memeriksa, memutus, dan akhirnya
menjatuhkan hukuman administratif atas perkara diputusnya. Demikian juga
kewenangannya menjatuhkan sanksi ganti rugi atau denda kepada terlapor.
Kewenangan legislatif pada KPPU adalah kewenangan komisi menciptakan
peraturan baik secara internal mengikat pada pekerjanya, maupun eksternal
kepada publik, misalnya guidelines, tata cara prosedur penyampaian laporan dan
penanganan perkara.32 Selanjutanya kewenangan yang menyerupai Lembaga
eksekutif dapat dilihat pada kewenangan KPPU untuk dapat melaksanakan atau
mengeksekusi kewenangan yang diberikan oleh UU No. 5/1999 serta peraturan
pelaksanaannya seperti Keputusan KPPU. Kewenangan tersebut dibuat oleh
KPPU dalam rangka mengimplementasikan Hukum Persaingan di Indonesia.33
Sementara itu guna menjamin independensi dan menghindari benturan
kepentingan, maka anggota Komisi terikat oleh kode etik internal Komisi atau
32
Natasya Ningrum Sirait (a), op. cit, hlm. 111. 33
CICODS FH-UGM, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan
Perkembangannya, Yogyakarta: CICODS, 2009, hlm. 159.
19
disebut juga dengan Tata Tertib Komisi yang melarang anggota Komisi untuk
aktif pada posisi berikut ini34:
a. Anggota dewan komisaris atau pengawas, atau direksi suatu
perusahaan;
b. Anggota pengurus atau badan pemeriksa suatu koperasi;
c. Pihak yang memberikan layanan jasa kepada suatu perusahaan, seperti
konsultan, akuntan publik, dan penilai; dan
d. Pemilik saham mayoritas.
Dalam BAB III UU No. 5/1999 diatur mengenai beberapa pasal tentang
perjanjian yang dilarang, yaitu dari pasal 4 sampai dengan pasal 16. Beberapa
perjanjian tersebut adalah35:
1. Oligopoli (Pasal 4)
Pengertian oligopoli dalam Kamus Lengkap Ekonomi Edisi Kedua
yang disusun oleh Christopher Pass dan Bryan Lowes adalah suatu
tipe struktur pasar (market structure) yang mempunyai sifat-sifat
sebagai berikut36:
a. Sedikit perusahaan dan banyak pembeli
b. Produknya homogen atau dibedakan
c. Pasar yang sulit dimasuki
2. Penetapan Harga
Ketentuan Pasal 5 adalah perjanjian menetapan harga atas suatu
barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau
pelanggan. Penetapan harga ini dapat dilakukan sesama pelaku
usaha yang menghasilkan produk barang dan/atau jasa yang sama
34
Ibid, hlm. 112. 35
Andi Fahmi Lubis, op.cit, hlm. 92. 36
Hermansyah, op.cit, hlm. 25.
20
dengan menetapkan harga yang harus dibayar oleh konsumen. Untuk
Pasal 6 yang berbicara mengenai diskriminasi harga dimana
diskriminasi harga itu sendiri dapat menguntungkan maupun
merugikan. Sebagai contoh diskriminasi harga yang digunakan
sebagai alat untuk mendorong sebuah pabrik untuk melakukan
produksi dengan kapasitas penuh sehingga memungkinkan produksi
ekonomi yang berskala besar untuk dicapai. Di sisi lain diskriminasi
harga mungkin digunakan sebagai suatu alat untuk memperbesar
laba monopoli dengan demikian jelaslah dilarang dalam UU No.
5/1999 itu adalah diskriminasi harga yang digunakan sebagai alat
atau instrumen yang dapat menimbulkan monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.37 Penetapan terdiri dari 4 bentuk yaitu :
a. Penetapan Harga (Pasal 5)
b. Diskriminasi Harga (Pasal 6)
c. Jual Rugi (Pasal 7)
d. Pengaturan Harga Jual Kembali (Pasal 8)
3. Pembagian Wilayah (Pasal 9)
Pembagian wilayah adalah perjanjian yang bertujuan untuk membagi
wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan/atau
jasa. Perjanjian wilayah ini dapat bersifat vertikal atau horizontal.
Perjanjian ini dilarang karena pelaku usaha meniadakan atau
mengurangi persaingan dengan cara membagi wilayah pasar atau
alokasi pasar. Wilayah pemasaran dapat berarti wilayah negara
Republik Indonesia atau bagian wilayah negara Republik Indonesia
misalnya kabupaten, provinsi, atau wilayah regional lainnya. Membagi
37
Ibid, hlm. 28.
21
wilayah pemasaran atau alokasi pasar berarti membagi wilayah untuk
memperoleh atau memasok barang, jasa, atau barang dan jasa,
menetapkan dari siapa saja dapat memperoleh atau memasok
barang, jasa, atau barang dan jasa.38
4. Pemboikotan (Pasal 10)
5. Kartel (Pasal 11)
6. Trust (Pasal 12)
7. Oligopsoni (Pasal 13)
8. Integrasi Vertikal (Pasal 14)
9. Perjanjian Tertutup, terbagi atas
a. Exclusive distribution agreement (Pasal 15 ayat 1)
b. Tying agreements (Pasal 15 ayat 2)
c. Vertical agreement on discount (Pasal 15 ayat 3)
10. Perjanjian Dengan Pihak Luar Negeri (Pasal 16)
Untuk mencegah timbulnya persaingan usaha yang tidak sehat, dalam
Pasal 17 sampai dengan Pasal 24 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat telah ditentukan secara
jelas terstruktur mengenai kegiatan-kegiatan yang dilarang yang berdampak
merugikan persaingan pasar, meliputi kegiatan-kegiatan sebagai berikut:
a. Kegiatan Monopoli (Pasal 17)
Bentuk monopoli39 (Pasal 17) yang dilarang ialah apabila memenuhi
unsur-unsur melakukan kegiatan penguasaan atas produk barang, jasa,
atau barang dan jasa tertentu, melakukan kegiatan penguasaan atas
pemasaran produk barang, jasa, atau barang dan jasa tertentu,
38
Ibid, hlm. 31. 39
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan pengertian monopoli
(pasal 1(1)) yaitu suatu bentuk penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang
dan atau penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku atau satu kelompok pelaku usaha.
22
penguasaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli
dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
b. Kegiatan Monopsoni (Pasal 18)
Kemudian Pasal 18 mengatur tentang Monopsoni yang dijelaskan
bahwa pelaku usaha yang dapat dikatakan melakukan kegiatan
monopsoni apabila dilakukan oleh satu pelaku usaha atau satu
kelompok pelaku usaha atau yang bertindak sebagai pembeli tunggal,
kemudian telah menguasai lebih dari 50% pangsa pasar satu jenis
barang atau jasa tertentu, dan yang terpenting adalah kegiatan tersebut
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat.
c. Penguasaan Pangsa Pasar (Pasal 19 – Pasal 21)
Penguasaan pasar tidak dapat dilakukan oleh pelaku usaha biasa yang
tidak memiliki power dalam pangsa pasar. Pihak yang dapat melakukan
penguasaan pasar adalah pelaku usaha yang mempunyai market
power, yaitu pelaku usaha yang dapat menguasai pasar, sehingga dapat
menentukan harga barang dan/atau jasa di pasar yang bersangkutan.
Kriteria penguasaan pasar tersebut tidak harus 100%, satu pelaku
usaha atau satu kelompok pelaku usaha telah menguasai lebih dari 50%
pangsa pasar satu jenis produk tertentu, sudah dapat dikatakan
mempunya market power.40 Wujud penguasaan pasar dapat terjadi
dalam bentuk penjualan barang dan/atau jasa dengan cara41:
(1) Jual rugi (predatory pricing) dengan maksud untuk mematikan
pesaingnya.
40
Ibid, hlm. 225. 41
Andi Fahmi Lubis, op. cit, hlm.139.
23
(2) Melalui praktik penetapan biaya produksi secara curang serta
biaya lainnya yang menjadi komponen harga barang.
(3) Melakukan perang harga maupun persaingan harga.
Dalam pasal 19 diatur perbuatan yang dilarang mengenai penguasaan
pasar. Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan,
baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan/atau persaingan usaha
tidak sehat, yakni:
(1) Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
(2) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya
untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu
(3) Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa
pada pasar bersangkutan
(4) Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
Untuk Pasal 20 diatur mengenai Dumping, pelaku usaha dilarang
melakukan pemasokan barang, jasa, atau barang dan jasa dengan cara
menjual rugi atau menetapkan harga yang sangat rendah (dumping) dari
harga produksi yang sejenis dengan maksud untuk menyikirkan atau
mematikan usaha pelaku usaha pesaingnya di pasar yang sama,
kegiatan tersebut dengan sendirinya dapat mengakibatkan praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21 merupakan larangan bagi pelaku usaha yang melakukan
kegiatan memanipulasi biaya produksi dan biaya lain yang nantinya
akan diperhitungkan sebagai salah satu komponen harga barang, jasa,
24
atau barang dan jasa yang akan dipasarkan kepada konsumen,
sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha yang tidak
sehat atau merugikan masyarakat. Indikasi biaya yang dimanipulasi
terlihat dari harga yang lebih rendah dari harga seharusnya.42
d. Persekongkolan (Pasal 22 – Pasal 24)
Selanjutnya, Persekongkolan juga merupakan kegiatan yang dilarang
dalam UU No. 5/1999. Persekongkolan berarti kerjasama antar pelaku
usaha untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku
usaha yang bersekongkol. Ada beberapa bentuk persekongkolan yang
dilarang oleh UU No. 5/1999 dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 24,
yaitu:
(1) Dilarang melakukan persekongkolan dengan pihak lain untuk
mengatur dan/atau menentukan pemenang tender sehingga
mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
(2) Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk dapat informasi
kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan rahasia
perusahaan/rahasia dagang.
(3) Dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat
produksi dan/atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha
pesaing dengan maksud agar barang dan atau jasa yang
ditawarkan menjadi berkurang, baik jumlah, kualitas maupun
kecepatan waktu yang dipersyaratkan.
42
Tri Anggraini, Hukum Persaingan Usaha: studi konsep pembuktian terhadap
perjanjian penetapan harga dalam persaingan usaha, (Malang: Setara Press, 2013), hlm.
23.
25
Berdasarkan ketentuan Pasal 19 UU No. 5/1999, pelaku usaha dilarang
melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama
pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan/atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
(1) Menolak dan/atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
(refuse to deal).
Refusal to deal yang dianggap menghambat persaingan adalah43:
i. Harus dibuktikan bahwa motivasi utama tindakan refusal to deal
itu adalah untuk menguasai pasar.
ii. Harus dibuktikan bahwa tindakan refusal to deal tersebut dapat
mengarah pada penguasaan pasar.
iii. Harus dibuktikan bahwa penguasaan pasar itu pada gilirannya
akan memberikan kekuatan pasar yang memungkinkannya
untuk menerapkan harga supra competitive atau menghambat
persaingan berikutnya.
(2) Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya
untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya itu.
(3) Membatasi peredaran dan/atau penjualan barang dan/atau jasa
pada pasar bersangkutan.
(4) Melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu
43
Ibid
26
III. PENUTUP
1. Kesimpulan
Penguasaan pasar merupakan salah satu kegiatan yang dilarang yang
terdapat dalam UU No. 5/1999. Kegiatan tersebut biasanya dilakukan oleh
pelaku usaha yang cenderung menguasai pangsa pasar. Dimana pelaku usaha
yang memiliki nama besar dalam pasar bersangkutan, cenderung melakukan
perbuatan menyimpang agar dia bisa tetap menjadi penguasa pasar (market
power) dan bisa menjadi price setter dalam suatu pasar. Pengaturan mengenai
penguasaan pasar terdapat dalam Pasal 19 UU No.5/1999 yang terdiri dari 4
poin. Poin pertama yang mengatur tentang penolakan pelaku usaha tertentu
untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan (refuse to
deal). Poin kedua mengenai penghalangan terhadap konsumen pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya. Kemudian yang ketiga mengenai pembatasan peredaran dan/atau
penjualan barang dan/atau jasa pada pasar bersangkutan. Dan yang terakhir
pengaturan tentang larangan melakukan praktek diskriminasi terhadap pelaku
usaha tertentu. Kegiatan yang dilarang dalam UU No. 5/1999 ini memiliki
beberapa bentuk yaitu monopoli, monopsoni, penguasaan pasar, dan
persekongkolan. Pengaturan kegiatan yang dilarang ini bertujuan untuk
menghukum para pelaku usaha yang memiliki perilaku anti persaingan dalam
berusaha. Akibat hukum dalam penguasaan pasar diatur dalam Bab 8 mengenai
sanksi Pasal 47 dan 48 UU No. 5/1999. Dimana terdapat sanksi administratif
serta sanksi pidana.
PT Tirta Investama dan PT Balina Agung Perkasa terbukti secara sah
melanggar Pasal 15 ayat 3 huruf b dan pasal 19 huruf a dan b sebagaimana
dalam putusan KPPU No. 22/KPPU-I/2016 berdasarkan terpenuhinya segala
27
unsur yang terdapat dalam pasal 15 ayat 3 huruf b dan pasal 19 huruf a dan b.
Adapun unsur melakukan praktek monopoli dalam kasus ini terbukti karena dari
alat bukti yang didapat selama persidangan berupa pengakuan para sub-
distributor yang dilarang oleh Terlapor II (PT. Balina Agung Perkasa) untuk
menjual produk Le Minerale yang dikategorikan sebagai penghambat persaingan
usaha. Perilaku ini juga sekaligus dinyatakan telah memenuhi unsur menghalangi
konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing untuk tidak melakukan
hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya. Penulis menyatakan
pertimbangan hukum yang diberikan oleh majelis KPPU sudah tepat dan tidak
melampaui batas sanksi dalam UU No.5/1999.
B. Saran
1. Sebaiknya, amandemen UU No. 5/1999 yang sedang berlangsung dapat
memperbaharui sanksi administratifnya. Karena, ukuran sanksi administratif
maksimum yang terdapat dalam UU No. 5/1999 hanya
Rp.25.000.000.000,00 (dua puluh lima miliar). Ukuran dua puluh miliar
tersebut termasuk besar pada tahun dimana Undang-undang tersebut lahir.
Namun sekarang, dua puluh lima miliar termasuk rendah jika dibandingkan
dengan penghasilan pelaku usaha yang melakukan praktik monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
2. Penulis juga menyarankan agar KPPU mengamandemen Peraturan KPPU
No. 1 Tahun 2010 tentang Tata Cara Penanganan Perkara untuk
mengadopsi kembali metode perubahan perilaku dalam mekanisme
pemeriksaan pendahuluan yang dulu pernah diatur dalam Peraturan KPPU
No. 1 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara. Namun metode
tersebut dihilangkan sejak berlakunya peraturan KPPU No. 1 tahun 2010
tentang Tata Cara Penanganan Perkara dan dicabutnya peraturan KPPU
28
No. 1 tahun 2006. Karena dengan adanya metode perubahan perilaku, akan
sangat efektif untuk meminimalisir perkara atau laporan yang masuk ke
KPPU. Sehingga KPPU juga akan semakin produktif dalam menyelesaikan
semua perkara atau laporan yang diterimanya. Kemudian, metode
perubahan perilaku ini juga termasuk langkah awal yang baik dalam
pencegahan praktik persaingan tidak sehat dan sebagai pembinaan untuk
para Terlapor yang diduga melakukan praktik monopoli dan persaingan
usaha tidak sehat.
29
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Anggraini, Tri. Hukum Persaingan Usaha: Studi Konsep Pembuktian Terhadap
Perjanjian Penetapan Harga Dalam Persaingan Usaha. Malang: Setara
Press, 2013.
CICODS FH-UGM. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan
Perkembangannya. Yogyakarta: CICODS, 2009.
Head, John W. Pengantar Umum Hukum Ekonomi, Jakarta: ELIPS II, 2002.
Hermansyah. Pokok-pokok Hukum Persaingan di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2008.
Lubis, Andi Fahmi, dkk. Hukum Persaingan Usaha Antara Teks & Konteks,
deutch gesellscahft fur technische zusammenarbeit (GTZ), 2009.
Nugroho, Susanti Adi. Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Kencana,
2012.
Rokan, Mustafa Kamal. Hukum Persaingan Usaha Teori dan Praktiknya di
Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
Sumaryono, E. Etika & Hukum. Yogyakarta: Kanisius, 2002.
Soekanto, Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: Rajawali Pers,
2012.
Sirait, Ningrum Natasya (a). Hukum Persaingan di Indonesia. Medan: Pustaka
Bangsa Press, 2011.
Sirait, Ningrum Natasya (b). Asosiasi & Persaingan Usaha Tidak Sehat. Medan:
Pustaka Bangsa Press, 2003.
30
Sudiro, Amad dan Deni Bram (ed). Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional &
Internasional). Depok: Rajagrafindo Persada, 2013.
Suhasril. Mohammad Taufik Makarao. Hukum Larangan Praktik Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia,
2010.
Wibowo, Destivano dan Harjon Sinaga. Hukum Acara Persaingan Usaha.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2005.
B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
C. Artikel Ilmiah/ Jurnal, Skripsi, dan Tesis Melalui Media Cetak Maupun
Elektronik
Amad Sudiro, Nilai Keadilan Pada Hubungan Pelaku Usaha dan Konsumen
Dalam Hukum Transportasi Udara Niaga
Deliana Prahita Sari dkk, Persaingan Usaha Tidak Sehat: Asal Mula Kasus Aqua
vs. Le Minerale,
http://kabar24.bisnis.com/read/20170711/16/670224/persaingan-usaha-
tidak-sehat-asal-mula-kasus-aqua-vs.-le-minerale, diakses pada tanggal 9
Maret 2018.
Kemdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, dikutip dari
http://kbbi.kemendikbud.go.id, diakses pada tanggal 23 Mei 2018.
Wahyudi Aulia Siregar, Kasus Persaingan Usaha Tidak Sehat Paling Banyak
Terjadi di Jakarta,
https://economy.okezone.com/read/2017/06/15/320/1717063/wah-kasus-
31
persaingan-usaha-tidak-sehat-paling-banyak-terjadi-di-jakarta, diakses
pada tanggal 9 Maret 2018.
Pengertian persaingan dan contohnya,
http://artikelsiana.com/2015/06/pengertian- persaingan-competition-contoh.html,
diakses pada tangga 23 Mei 2018.
top related