istilah-istilah dalam keris sabuk inten …/istilah... · c. makna leksikal dan makna kultural...
Post on 18-Aug-2018
279 Views
Preview:
TRANSCRIPT
11
ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN WARANGKA LADRANG GAYA SURAKARTA
(SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
SKRIPSI
Disusun untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
MUH TAUFIQ C0106035
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
12
SURAKARTA 2010
ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN WARANGKA LADRANG GAYA SURAKARTA
(SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
Disusun oleh
MUH TAUFIQ C0106035
Telah disetujui oleh pembimbing
Pembimbing I
Drs. Y. Suwanto, M.Hum. NIP 196110121987031002
Pembimbing II
Drs. Sujono, M.Hum. NIP 195504041983031002
Mengetahui Ketua Jurusan Sastra Daerah
13
Drs. Imam Sutarjo, M.Hum. NIP. 196001011987031004
ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN
WARANGKA LADRANG GAYA SURAKARTA (SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)
Disusun oleh
MUH TAUFIQ C0106035
Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Pada Tanggal................................................
Jabatan Nama Tanda Tangan
Ketua Drs. Imam Sutarjo, M.Hum.
NIP. 196001011987031004
……………………….
Sekretaris Drs. Sri Supiyarno, M.A.
NIP 195605061981031001
……………………….
Penguji I Drs. Y. Suwanto, M.Hum.
NIP 196110121987031002
……………………….
Penguji II Drs. Sujono, M.Hum.
NIP 195504041983031002
……………………….
Dekan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret
Drs. Sudarno, M.A.
14
NIP 195303141985061001
PERNYATAAN
Nama : Muh Taufiq NIM : C0106035 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Istilah-Istilah dalam Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Suatu Kajian Etnolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut. Surakarta, Mei 2010 Yang membuat pernyataan Muh Taufiq
15
MOTTO
Haruskah anak cucu kita kelak belajar mengenai budaya keris dari orang asing ?
(Bambang Harsrinuksmo)
16
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada
ibu, bapak, adik, almamater, masyarakat pencinta keris,
serta semua manusia pencinta nilai-nilai humanisme
17
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Berkat
curahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Istilah-
Istilah dalam Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Suatu
Kajian Etnolinguistik) ini, tepat sesuai dengan yang diharapkan. Sholawat serta
salam semoga juga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah memberi
petunjuk bagi manusia tentang jalan yang terang. Kebaikan juga semoga tercurah
kepada leluhur dan guru-guru di Tanah Jawa, terutama kepada Kangjeng Sunan
Kalijaga. Semoga Tuhan selalu menjaga beliau.
Keris memang tidak akan habis kita bahas, di dalamnya terdapat berbagai
macam hal yang mengandung rahasia yang belum terkuak. Skripsi ini merupakan
salah satu usaha penulis untuk mencoba menggali potensi pengetahuan yang ada
pada keris. Penulis mencoba untuk mengurai makna akan istilah-istilah yang
berada pada keris serta mencoba untuk menjelaskan bentuk-bentuk istilah keris
secara kebahasaan, yang kemudian diramu dalam satu kajian yang bernama
etnolinguistik.
18
Penulis juga tak lupa menghaturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya
kepada :
1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan fasilitas
dan perizinan sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan semestinya.
2. Drs. Imam Sutardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta,
yang telah memberikan izin untuk skripsi ini.
3. Drs. Y. Suwanto, M.Hum., serta Drs. Sujono, M.Hum., selaku
pembimbing skripsi, yang telah memberikan saran dan petunjuk demi
penyelesaian karya ini.
4. Drs. Supardjo, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik penulis, dari
awal perkuliahan hingga selesai, yang selalu memberi dorongan
penulis untuk mencapai yang terbaik dan segera menyelesaikan kuliah.
5. Segenap dosen Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah bersedia mengajar dan
mendidik penulis.
6. Orang tua penulis, yang telah menyokong secara moril dan spiritual
sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi.
7. Mas Kadi di Pasar Cinderamata Alun-alun Lor Keraton Surakarta,
yang telah membuka mata penulis untuk masuk ke dunia perkerisan.
19
8. YB. Basuki, Empu Subandi Suponingrat, Mr. Dietrich Dresser, Haji
Syukri, yang telah membuat penulis semakin ingin mengetahui tentang
keris.
9. R. Riyo Purbobudoyo, Sukatno Purwoprojo, S. Lumintu, MT. Arifin,
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu tentang
keris. Terutama kepada MT. Arifin yang telah menunjukkan koleksi
keris yang dahsyat kepada penulis.
10. Yayasan Sastra yang telah memberikan banyak informasi tentang
keris.
11. R. Aji Setyowijaya dari UGM, yang walaupun masih muda tetapi
pengetahuannya tentang keris sangat mengagumkan.
12. Kurnia Rahmawati yang telah bersedia memotret bilah keris objek
penelitian ini.
13. Pak Tukiyo, Bu Novia, Pak Niti, yang telah banyak memberikan
petuah hidup kepada penulis serta membolehkan rumahnya untuk
berteduh.
14. UKM MP, Radio Metta, Aikido Dojo PTPN, yang telah menjadi
wadah bagi penulis untuk beraktualisasi semasa kuliah.
15. Teman-teman Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret angkatan 2006 untuk kebersamaannya
selama ini.
Akhirnya penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam
penulisan skripsi ini terdapat berbagai macam kesalahan. Penulis menyadari
20
bahwa skripsi ini belumlah layak untuk dapat dikatakan sempurna. Kritik dan
saran yang bersifat membangun penulis harapkan demi kemajuan karya penulis
selanjutnya. Semoga hal yang sedikit ini dapat memberi sumbangan bagi dunia
perkerisan pada khususnya dan dunia ilmu pengetahuan pada umumnya. Selamat
membaca !
Surakarta, Mei 2010
Penulis
DAFTAR ISI
JUDUL ............................................................................................................ i
PERSETUJUAN ............................................................................................. ii
PENGESAHAN .............................................................................................. iii
PERNYATAAN .............................................................................................. iv
MOTTO .......................................................................................................... v
PERSEMBAHAN ........................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR............................................... ............... xii
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ................................................. xv
ABSTRAK ...................................................................................................... xviii
BAB I. PENDAHULUAN .............................................................................. 1
A. Latar belakang Masalah ................................................................ 1
21
B. Pembatasan Masalah .................................................................... 8
C. Perumusan Masalah ...................................................................... 8
D. Tujuan Penelitian........................................................................... 8
E. Manfaat Penelitian......................................................................... 9
F. Sistematika Penulisan ................................................................... 10
BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR ............................ 11
A. Kajian Pustaka ............................................................................... 11
1. Istilah, Keris Sabuk Inten, dan Warangka Ladrang
Gaya Surakarta......................................................................... 11
2. Etnolinguistik ........................................................................... 15
3. Bentuk/Struktur........................................................................ 16
4. Makna Leksikal dan Makna Kultural....................................... 18
B. Kerangka Pikir .............................................................................. 21
BAB III. METODE PENELITIAN ................................................................. 22
A. Sifat Penelitian .............................................................................. 22
B. Data ................................................................................................ 23
C. Sumber Data................................................................................... 25
D. Metode Pengumpulan Data............................................................ 26
E. Metode Analisis Data..................................................................... 27
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................... 29
A. Istilah-istilah yang Terdapat pada Keris Sabuk Inten
Warangka Ladrang Gaya Surakarta .............................................. 29
B. Bentuk Istilah ................................................................................. 29
22
1. Kategori Monomorfemis.......................................................... 29
2. Kategori Polimorfemis............................................................. 37
3. Kategori Frasa .......................................................................... 42
C. Makna Leksikal dan Makna Kultural ............................................ 52
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN............................................................... 72
A. Simpulan ......................................................................................... 72
B. Saran................................................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 74
LAMPIRAN..................................................................................................... 76
DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR
Bagan
Segitiga Ogden Richard ......................................................................... 19
Gambar 1
Angkup ................................................................................................... 30
Gambar 2
Latha ...................................................................................................... 30
Gambar 3
Patra....................................................................................................... 31
Gambar 4
Mendhak................................................................................................. 31
Gambar 5
Gandar ................................................................................................... 32
23
Gambar 6
Pendhok.................................................................................................. 32
Gambar 7
Bungkul .................................................................................................. 33
Gambar 8
Gandhik .................................................................................................. 33
Gambar 9
Ganja...................................................................................................... 34
Gambar 10
Greneng.................................................................................................. 34
Gambar 11
Janur ...................................................................................................... 35
Gambar 12
Landhep.................................................................................................. 35
Gambar 13
Wedidang ............................................................................................... 36
Gambar 14
Pesi ........................................................................................................ 36
Gambar 15
Panetes ................................................................................................... 37
Gambar 16
Godhongan............................................................................................. 38
24
Gambar 17
Ukiran .................................................................................................... 38
Gambar 18
Wilahan .................................................................................................. 39
Gambar 19
Blumbangan ........................................................................................... 40
Gambar 20
Sogokan .................................................................................................. 40
Gambar 21
Sraweyan ................................................................................................ 41
Gambar 22
Ada-ada .................................................................................................. 42
Gambar 23
Warangka ladrang ................................................................................. 43
Gambar 24
Ri cangkring ........................................................................................... 44
Gambar 25
Buntut urang .......................................................................................... 44
Gambar 26
Gulu meled ............................................................................................. 45
Gambar 27
Kembang kacang.................................................................................... 46
Gambar 28
25
Lambe gajah........................................................................................... 47
Gambar 29
Sirah cecak ............................................................................................. 48
Gambar 30
Tikel alis ................................................................................................. 49
Gambar 31
Sebit lontar ............................................................................................. 50
Gambar 32
Pamor wos wutah................................................................................... 51
DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN
A. Daftar Lambang
1. Lambang Fonetis
[a] : [aGkUp] dalam angkup ‘bagian dari sarung keris’
[O] : [OdO OdO] dalam ada-ada ‘bagian dari bilah keris’
[e] : [edan] dalam edan ‘gila’
[|] : [|nDas] dalam endhas ‘kepala’
[E] : [Es|m] dalam esem ‘senyum’
[i] : [idu] dalam idu ‘ludah’
26
[I] : [ganDI ?] dalam gandhik ‘bagian dari bilah keris’
[u] : [uraG] dalam urang ‘udang’
[U] : [janUr] dalam janur ‘daun kelapa yang masih muda’
[o] : [goDoGan] dalam godhongan ‘bagian dari sarung keris’
[b] : [buntUt] dalam buntut ‘ekor’
[c] : [cup|t] dalam cupet ‘sempit’
[d] : [dadi] dalam dadi ‘jadi’
[D] : [DapUr] dalam dhapur ‘tipe keris’
[g] : [gOnjO] dalam ganja ‘bagian dari bilah keris’
[h] : [hinggIl] dalam hinggil ‘tinggi’
[j] : [jamu] dalam jamu ‘jamu’
[k] : [k|mbaG] dalam kembang ‘bunga’
[ ?] : [kODO ?] dalam kodhok ‘katak’
[l] : [lambe] dalam lambe ‘bibir’
[m] : [m|nDa ?] dalam mendhak ‘cincin keris’
[n] : [n|su] dalam nesu ‘marah’
[G] : [GamU ?] dalam ngamuk ‘marah’
[~n] : [~naGk|m] dalam nyangkem ‘berkoar-koar’
[p] : [p|si] dalam pesi ‘bagian dari bilah keris’
[r] : [ri] dalam ri ‘duri’
[s] : [s|bit] dalam sebit ‘sobek’
[t] : [tik|l] dalam tikel ‘lipat’
[T] : [TuTU ?] dalam thuthuk ‘pukul’
27
[w] : [warOGkO] dalam warangka ‘sarung keris’
[y] : [yEn] dalam yen ‘jika’
2. Lambang Lain
+ : proses penggabungan.
→ : menjadi….
[ ] : mengapit bentuk fonetis.
“ ” : mengapit kutipan.
‘ ’ : mengapit terjemahan.
( ) : mengapit keterangan.
… : menunjukkan bagian yang terpotong pada kutipan.
B. Singkatan
N : bentuk nasal (bunyi sengau).
R : (1) bentuk reduplikasi. (2) singkatan dari gelar Raden.
28
ABSTRAK
Muh Taufiq. C0106035. 2010. Istilah-Istilah dalam Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Suatu Kajian Etnolinguistik). Skripsi : Jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu: (1) istilah-istilah apa sajakah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta? (2) bagaimanakah bentuk istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta? (3) bagaimanakah makna dalam istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta baik secara leksikal maupun kultural?
29
Tujuan penelitian ini adalah: (1) menginventarisasi istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. (2) mendeskripsikan bentuk istilah-istilah yang tedapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. (3) mendeskripsikan makna leksikal dan kultural yang terkandung dalam istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa istilah-istilah yang terdapat dalam keris ber-dhapur Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Sumber data dalam penelitian ini adalah istilah-istilah yang melekat secara inheren dalam Keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode distribusional dan metode padan.
Berdasarkan analisis dapat disimpulkan beberapa hal : (1) keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta ini memiliki istilah sejumlah 32 buah, yaitu : ada-ada, angkup, blumbangan, bungkul, buntut urang, gandar, gandhik, ganja, godhongan, greneng, gulu meled, janur, kembang kacang, lambe gajah, landhep, latha, mendhak, pamor wos wutah, panetes, patra, pendhok, pesi, ri cangkring, sebit lontar, sirah cecak, sogokan, sraweyan, tikel alis, ukiran, warangka ladrang, wedidang, wilahan. (2) beberapa istilah tersebut dapat dikelompokkan menjadi bentuk monomorfemis yang berjumlah 14 buah, yaitu : angkup, bungkul, gandar, gandhik, ganja, greneng, janur, landhep, latha, mendhak, patra, pendhok, pesi, wedidang. Bentuk polimorfemis berjumlah 8 buah, yaitu : ada-ada, blumbangan, godhongan, panetes, sogokan, sraweyan, ukiran, wilahan, sedangkan bentuk frasa berjumlah 10 buah, yaitu : buntut urang, gulu meled, kembang kacang, lambe gajah, pamor wos wutah, ri cangkring, sirah cecak, tikel alis, warangka ladrang, sebit lontar. (3) makna leksikal pada istilah-istilah tersebut menunjuk pada keterangan letak istilah tersebut di dalam bilah keris, sedangkan makna kultural yang terkandung pada istilah-istilah ini sebagian besar berisikan ajaran-ajaran luhur bagi manusia untuk dapat berlaku dan bertindak di dalam dunia ini agar tercapai keselamatan dan dapat menggapai kesuksesan di dunia dan akhirat.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
30
Manusia dikaruniai Tuhan dengan sifat-sifat yang mampu membuatnya
berbeda dengan mahluk yang lain. Sifat-sifat itu begitu khas sehingga atas dasar
itulah, mahluk yang bernama manusia berbeda dengan binatang. Sifat-sifat itu
adalah akal budi yang membuatnya dapat berpikir dan bertindak sesuai dengan
keinginannya. Bertindak untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu kebutuhan
yang dimiliki manusia adalah kebutuhan untuk mempertahankan dirinya dari
serangan yang membuat mereka terancam. Baik itu serangan dari alam, serangan
hewan maupun serangan manusia.
Serangan dari alam dapat diatasi oleh manusia dengan membuat
perlindungan. Suatu tempat yang dapat digunakan oleh manusia untuk
melindunginya dari panas dan dingin. Teknologi pembangunan rumah kemudian
diciptakan, sedangkan ketika manusia dihadapkan pada serangan hewan maupun
manusia, maka diciptakanlah alat untuk membela diri dan sistem pertahanan untuk
membela diri yang biasa kita sebut dengan ilmu bela diri.
Kaitannya dengan pembahasan dalam skripsi kita akan memfokuskan pada
sebuah alat yang diciptakan manusia untuk membela diri dari serangan pihak lain
yang membahayakan, yaitu sejenis senjata yang bernama keris.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa senjata adalah
“(1) alat yang digunakan untuk berkelahi atau berperang (keris, senapan dsb), (2)
sesuatu (surat, kop surat, cap, memo, dsb) yang dipakai untuk memperoleh suatu
maksud, (3) tanda bunyi pada tulisan Arab” (KBBI, 2005: 1038). Secara eksplisit
KBBI telah menyebutkan bahwa salah satu senjata yang digunakan untuk 1
31
membela diri, untuk berkelahi dan berperang adalah keris. Namun demikian,
dalam perkembangannya keris ternyata tidak hanya berfungsi sebagai senjata saja.
Asal-usul tentang keris ternyata masih belum banyak terungkap. Sebuah
prasasti yang disebut Prasasti Rukam, berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi,
yang ditemukan pada 1975 di Desa Petarongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten
Temanggung, Jawa Tengah, salah satu kalimatnya menyebutkan : “…wsi wsi
prakara wadung rimwas patuk patuk lukai tampilan linggis tatah wangkiul kris
gulumi kurumbahgi, pamajha, kampi, dom…” yang kurang lebih bermakna
‘…segala macam keperluan yang terbuat dari besi berupa kapak, kapak perimbas,
beliung, sabit, tampilan, linggis, tatah, bajak, keris, tombak, pisau, ketam, kampit,
jarum…’, ternyata telah membuktikan bahwa pada sekitar abad ke-10 keris telah
dikenal oleh masayarakat Jawa (Haryono Haryoguritno, 2006: 6). Namun, suatu
keniscayaan apabila keris juga telah dikenal jauh sebelum abad ke-10, mengingat
begitu dikenalnya keris sebagai salah satu bagian dari alat-alat yang terbuat dari
besi, menurut prasasti tersebut.
Informasi yang tampak lebih jelas tentang penggunaan keris dapat kita lihat
pada Suma Oriental karya Tome Pires, seorang musafir asal Portugis yang
melanglang buana sekitar abad ke-16 ke berbagai tempat di Nusantara. Dia
menulis : “setiap orang Jawa, kaya atau miskin, harus mempunyai keris di rumah,
maupun sepucuk tombak dan sebuah perisai….tidak ada laki-laki yang berumur
antara dua belas dan delapan puluh tahun yang berani keluar rumah tanpa keris
terselip di sabuk” (Lombard, 2008: 194). Jadi pada masa akhir Majapahit,
32
pemakaian keris telah menjadi suatu kelaziman. Bahkan dapat dikatakan suatu
keharusan, bagi kaum lelaki Jawa.
Keberadaan keris di Nusantara khususnya di Jawa memang menjadi sesuatu
yang tidak terpisahkan dari masyarakat pendukung kebudayaan Jawa. Keris telah
menjadi bagian hidup dari ritme kehidupan manusia Jawa. Seperti yang diutarakan
oleh Haryono Haryoguritno berikut.
Bagi orang Jawa masa lalu yang percaya, keris diperankan dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak ia lahir hingga mati. Ketika seorang ibu hendak bersalin dan melahirkan bayinya, dukun bayi menaruh keris bentuk brojol di bawah bantalnya. Ada pula dukun yang cukup menyimpannya sebagai bekal pendamping profesi, tanpa perlu menampakkan kerisnya. Kelak bila si bayi sudah masanya dapat berjalan, diadakan upacara tedhak siten (menapakkan kaki di atas tanah untuk yang pertama kalinya). Upacara ini dilengkapi sesajian yang didalamnya terdapat sebuah seking (keris mini). Anak lelaki yang sudah sampai waktunya untuk dikhitan, dibuatkan orang tuanya sebuah keris mainan yang lengkap, sebagai pertanda bahwa dia sudah memasuki usia akil balig. Bila kelak sudah menjadi pria dewasa yang menikah dengan seorang wanita, ia pun akan menyandang keris yang biasanya merupakan keris keluarga. Untuk selanjutnya, sesudah ia membina rumah tangga dan menjadi warga sepenuhnya, keris akan selalu disandangnya pada berbagai acara hingga menjelang akhir hayatnya. Bahkan ada pula beberapa penghayat fanatik yang menginginkan kelak ia dikubur bersama kerisnya (Haryono Haryoguritno, 2006: 3-4)
Bahkan, sampai begitu pentingnya, keris dapat digunakan sebagai wakil dari
mempelai pria dalam melaksanakan ijab kabul jika mempelai pria berhalangan
hadir karena suatu kepentingan yang sangat mendesak dan tidak bisa ditinggalkan.
Suatu peristiwa yang disebut dengan Kawin Keris (Imam Sutardjo, 2008: 73).
Seperti telah disebutkan di atas, ternyata pada perkembangannya, keris tidak
hanya berfungsi sebagai senjata an sich, namun keris telah menjadi suatu benda
yang multi fungsi. Beberapa fungsi keris yang dapat disebutkan di antaranya
adalah sebagai berikut :
33
senjata tikam, alat untuk menghukum mati, senjata pamer, atribut keprajuritan, kelengkapan busana resmi, tanda keprabon, atribut utusan raja, sengkalan, manifestasi falsafah, identitas diri atau keluarga, tanda pangkat atau status sosial, tanda jasa, lambang kedewasaan, lambang persaudaraan, lambang peringatan, lambang keturunan, wakil pribadi, tanda penghormatan atau penyerahan diri, atribut upacara, barang pusaka, azimat, medium komunikasi, tempat hunian roh, benda ekonomi, benda dekorasi, benda sejarah, benda antropologi, benda koleksi, lambang kesatuan daerah, merek dagang (Haryono Haryoguritno, tt : 9-10).
Sebagai sebuah artefak kebudayaan yang dimiliki oleh suku bangsa di
wilayah Jawa, keris memiliki keunikan tersendiri yang tidak didapatkan pada
artefak-artefak kebudayaan Nusantara yang lain. Keunikan yang dapat kita lihat
secara kasat mata adalah detailnya yang rumit dan bentuknya yang khas sebagai
senjata tikam.
Kaitannya dengan hal tersebut di atas, keris memiliki tempat tersendiri.
Masyarakat Jawa telah terkenal memiliki kebudayaan yang adiluhung di antero
dunia dan diakui keberadaannya di kancah dunia internasional (Tjaroko HP Teguh
Pranoto, 2007: 1). Perwujudan dari sebuah ke-adiluhung-an tersebut adalah
dikenalnya suatu sistem elaborasi yang rumit dan detail terhadap suatu produk
kebudayaan. Kaitannya dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah
elaborasi yang rumit dan detail terhadap produk kebudayaan yang berupa keris.
Posisi bahasa dalam kerangka kebudayaan memiliki peran yang vital, karena
bahasa bukan hanya sekedar sebagai salah satu unsur kebudayaan, tetapi bahasa
merupakan sarana khasanah kebudayaan manusia disimpan, diwariskan, dan
bahkan sebagai sarana pengembangan budaya. Melalui bahasalah manusia
mengembangkan potensi dirinya yang pada gilirannya bahasa menjadi ciri
34
kemanusiawian yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya. Bahasa memang
berkaitan dengan kebudayaan, tetapi bahasa tidak sama dengan kebudayaan.
Bahasa di dalam sekumpulan fenomena kebudayaan merupakan substruktur,
dasar, dan sekaligus sebagai alat pengembang (Khaidir Anwar, 1995: 219).
Pernyataan Khaidir Anwar tersebut memberi kita suatu kesimpulan bahwa
bahasa dan budaya atau kebudayaan adalah suatu hal yang sangat berkaitan erat.
Jika kita hendak mengetahui suatu budaya kita dapat melihat dari bahasa yang
digunakan. Begitu pula sebaliknya. Jika kita hendak mengetahui suatu bahasa
yang digunakan oleh suatu masyarakat, kita dapat melihat dulu budaya yang ada
pada masyarakat tersebut (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 166)
Kenyataan tersebut dapat kita buktikan pada istilah-istilah yang terdapat
dalam keris. Pada keris, kita akan melihat banyak bagian-bagian atau detail-
detailnya, dinamakan sedemikian rupa dalam rangka untuk memberi tanda bahwa
bagian tersebut berbeda dengan bagian yang lain. Hal ini terjadi karena begitu
pentingnya keberadaan sebuah keris dalam kebudayaan masyarakat Jawa.
Kejadian ini ternyata sejalan dengan Hipotesis Sapir-Whorf yang menyatakan
bahwa dunia yang kita ketahui terutama ditentukan oleh bahasa dalam budaya kita
(Deddy Mulyana, 2005: 120). Implikasi yang dapat kita tarik adalah bahwa jika
suatu komunitas budaya menggunakan lebih banyak kosakata untuk suatu hal atau
suatu aktivitas (baca : lebih detail) maka hal atau aktivitas tersebut adalah penting
dalam komunitas budaya tersebut. Misalnya orang Eskimo yang mempunyai
variasi nama untuk menyebut salju, karena salju dianggap penting oleh pemakai
budaya Eskimo tersebut (Deddy Mulyana, 2005: 121). Begitu pula keris bagi
35
masyarakat Jawa. Ternyata juga memiliki nama untuk detail bagian-bagiannya
yang jumlahnya tidak sedikit.
Berdasarkan keadaan tersebut kiranya perlu diadakan suatu kajian mengenai
istilah-istilah yang terdapat pada bagian-bagian keris, dalam rangka untuk
mengetahui keterkaitan antara nama-nama yang disematkan dengan bagian-bagian
yang terdapat dalam keris tersebut. Hal ini penulis lakukan, mengingat belum
banyak masyarakat Jawa sendiri yang mengetahui bagian-bagian keris. Padahal
keris sendiri adalah bagian dari artefak kebudayaan Jawa yang sudah diakui dunia
internasional sebagai hasil kreativitas manusia Jawa yang bernilai seni tinggi.
Bahkan, UNESCO (United Nation for Educational Scientific and Cultural
Organisation) dalam sidangnya di Paris, pada tanggal 25 November 2005,
mengakui keris Indonesia sebagai salah satu warisan budaya manusia yang harus
dilestarikan, bahkan tergolong sebagai suatu maha adikarya, Masterpiece of Oral
and Intangible Heritage of Humanity atau mahakarya warisan kemanusiaan yang
berwujud takbenda (Heru Pratignya, 2010: 2).
Penelitian yang sudah pernah dilakukan berkaitan dengan keris adalah
penelitian yang dilakukan oleh Sukamti yang berjudul Tradisi Pemakaian Keris
di Keraton Surakarta Sebuah Kajian Sosiobudaya tahun 1994. Penelitian ini
hanya membahas keris dari cara penggunaannya di dalam lingkungan keraton
Surakarta. Cara penggunaan keris yang dibedakan oleh pangkat dan golongan
yang ada di lingkungan dalam keraton. Jadi, penelitian yang dilakukan Sukamti
ini membahas keris dari segi fungsionalnya yang berkaitan dengan keadaan sosial
dan budaya masyarakat pendukung. Sedangkan penelitian yang penulis lakukan
36
adalah mengkaji keris sebagai keris. Artinya berusaha mencari makna yang
terkandung di dalam keris, khususnya keris yang bertipe Sabuk Inten warangka
ladrang gaya Surakarta.
Alasan peneliti mengambil keris Sabuk Inten sebagai objek penelitian
adalah :
1. Keris Sabuk Inten merupakan keris yang memiliki komponen yang
cukup lengkap di antara beberapa keris, sehingga secara otomatis keris
tersebut memiliki istilah-istilah yang cukup banyak untuk dapat
diteliti.
2. Menurut cerita rakyat, keris Sabuk Inten yang pertama kali ada yaitu
keris yang dibuat oleh Empu Jaka Supa atas pesanan Sunan Kalijaga.
Kedua tokoh tersebut dalam khazanah budaya Jawa memiliki
kedudukan yang khusus. Jadi, pastilah keris yang dihasilkan memiliki
kandungan makna yang khusus pula. Mengingat melimpahnya budaya
Jawa akan makna-makna dan simbol-simbol dalam rangka memberi
tafsiran kepada kehidupan.
3. Keris Sabuk Inten relatif lebih banyak diketahui oleh masyarakat luas
daripada jenis keris yang lain. Hal demikian dapat terjadi karena nama
Sabuk Inten pernah diangkat menjadi salah satu judul karya sastra
ciptaan SH. Mintarja yang berjudul Nagasasra Sabuk Inten.
4. Kebanyakan orang mengetahui makna keris hanya per dhapur atau
jenisnya saja, belum mengenai detail ricikan atau bagian-bagian yang
37
membangun keris tersebut. Jadi, melalui penelitian ini penulis ingin
mengungkap makna keris khususnya keris jenis Sabuk Inten melalui
detail yang membangun keris tersebut.
B. Pembatasan Masalah
Mengingat banyaknya dhapur atau tipe keris yang ada. Maka dalam kajian
ini penulis hanya memfokuskan pada sebuah keris berluk sebelas bertipe Sabuk
Inten, pamor Wos Wutah, dengan perabot : warangka ladrang gaya Surakarta,
ukiran gaya Surakarta, pendhok gaya Surakarta, dan mendhak gaya Surakarta.
C. Perumusan Masalah
Rumusan masalah yang penulis angkat pada penelitian ini adalah :
1) Istilah-istilah apa sajakah yang terdapat pada keris Sabuk Inten
warangka ladrang gaya Surakarta?
2) Bagaimanakah bentuk istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk
Inten warangka ladrang gaya Surakarta?
3) Bagaimanakah makna dalam istilah-istilah yang terdapat pada keris
Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta, baik secara leksikal
maupun kultural?
D. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah tersebut maka dapat penulis nyatakan tujuan dari
penelitian ini adalah :
1. Menginventarisasi istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten
warangka ladrang gaya Surakarta.
38
2. Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah yang tedapat dalam keris Sabuk Inten
warangka ladrang gaya Surakarta.
3. Mendeskripsikan makna leksikal dan kultural yang terkandung dalam istilah-
istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.
E. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Manfaat Teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa konsep
kebahasaan, khususnya keterkaitan bahasa dengan budaya (etnolinguistik).
Sehingga akan sangat bermanfaat bagi perkembangan teori etnolinguistik.
Penelitian etnolinguistik ini juga dapat memberi sumbangan terhadap kajian
linguistik dan etnologi yang merupakan induk disiplin ilmu dari etnolinguistik.
Pendeskripsian bentuk-bentuk istilah dalam keris Sabuk Inten ini dapat
memantapkan teori pembentukan kata-kata bahasa Jawa, sedangkan penjelasan
tentang makna leksikal dan kultural dalam istilah keris Sabuk Inten ini dapat
memberi sumbangan terhadap disiplin ilmu etnologi berupa konsep-konsep
kebahasaan Jawa yang penuh dengan simbol-simbol. Sehingga dapat menjadi
bank data kebudayaan Jawa dalam disiplin ilmu etnologi.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang didapat dari penelitian ini adalah :
39
a. Sebagai bentuk dokumentasi budaya Jawa dalam bentuk tulisan. Keris
adalah salah satu produk dari kebudayaan Jawa. Diharapkan dengan adanya
pendokumentasian ini, generasi-generasi selanjutnya masih dapat
mengetahui dan mempelajari kekayaan budaya nenek moyangnya.
b. Memperkenalkan kembali kepada masyarakat Jawa akan makna-makna
yang terkandung dalam keris, khususnya pada keris yang ber-dhapur Sabuk
Inten, yang biasanya hanya diketahui oleh para pencinta keris saja.
c. Memberikan pemahaman kepada penutur bahasa Jawa tentang bagian-
bagian keris, sehingga istilah-istilah tersebut dapat digunakan dengan tepat
sesuai dengan konteksnya.
d. Memberi tambahan leksikon kepada para leksikograf atau pembuat kamus.
Khususnya bagi mereka yang ingin membuat kamus bahasa Jawa.
e. Memberi tambahan pengetahuan tentang budaya Jawa kepada para pelaku
pendidikan. Khususnya pelaku pendidikan yang berkaitan dengan bahasa
dan budaya Jawa. Sehingga pemahaman budaya Jawa secara holistis dan
komprehensif dapat diberikan kepada peserta didik.
F. Sistematika Penulisan
Bab I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab II memuat kajian pustaka dan kerangka pikir. Kajian pustaka berisi
tentang konsep-konsep yang mendasari penelitian ini. Konsep-konsep tersebut
40
diambil dari beberapa buku referensi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sedangkan kerangka pikir berisi suatu bagan alur pemikiran dalam penelitian ini.
Bab III memuat metode penelitian. Metode penelitian berisi tentang
penjelasan dari jenis penelitian, data, sumber data, metode pengumpulan data, dan
metode analisis data.
Bab IV memuat hasil analisis dan pembahasan. Analisis data dilakukan
dengan metode distribusional dan metode padan.
Bab V memuat penutup yang berisi simpulan dan saran.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Istilah, Keris Sabuk Inten, dan Warangka Ladrang Gaya Surakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan (2005: 446) istilah
adalah (1) kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna
konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu; (2) sebutan;
nama; (3) kata atau ungkapan khusus. Hal senada juga diutarakan oleh Harimurti
Kridalaksana (2001: 86). Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan
cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas
dalam bidang tertentu.
Keris adalah senjata tajam bersarung, berujung tajam, dan bermata dua
dengan bilah ada yang lurus dan ada yang berkeluk-keluk (KBBI, 2005: 553).
Menurut Bambang Harsrinuksmo (2008: 233) keris adalah senjata tradisional khas
41
Indonesia. Namun dalam perkembangannya, budaya keris mengikuti perjalanan
sejarah dan kini budaya ini telah tersebar hingga ke negara-negara lain. Selain
Indonesia, negara yang kini memiliki budaya keris adalah Malaysia, Brunei
Darussalam, Kamboja, Thailand, dan Filipina.
Di pulau Jawa, keris digolongkan sebagai salah satu cabang budaya tosan
aji. Selain itu, karena budaya keris memang bermula dari Pulau Jawa, maka
banyak istilah perkerisan dari daerah ini yang juga digunakan di daerah-daerah
lainnya.
Di pulau Jawa keris juga disebut curiga, dhuwung, atau wangkingan. Di
pualu Bali, senjata ini disebut kadutan atau kedutan. Di daerah lain,sebutan keris
di antaranya adalah tappi, selle, gayang, kres, kris, atau karieh.
Menurut Ensiklopedi Keris (Bambang Harsrinuksmo, 2008:9), suatu senjata
dapat disebut keris bila memenuhi kriteria :
a) Keris harus terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris
(termasuk pesi) dan bagian ganja.
b) Bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja, tidak
tegak lurus.
c) Ukuran panjang bilah keris yang lazim adalah antara 33 cm sampai 38 cm.
d) Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam, yakni
besi, baja, dan bahan pamor.
Sabuk Inten adalah nama salah satu dhapur keris. Dhapur sendiri adalah
penamaan ragam bentuk atau tipe keris, sesuai dengan ricikan (komponen-
komponen pada keris) yang terdapat dalam keris itu dan jumlah luknya (Bambang
42
Harsrinuksmo, 2008: 136). Jadi suatu keris ber-dhapur Sabuk Inten, jika
memenuhi kriteria :
a) Memiliki luk sebelas
b) Ricikan berupa :
43
1) Kembang kacang
2) Jalen
3) Lambe gajah
4) Blumbangan
5) Tikel alis
6) Sogokan ngajeng
7) Sogokan wingking
8) Sraweyan
9) Greneng
(Haryono Haryoguritno, 2006: 178)
i
Warangka adalah semacam pelindung, sarung atau pengaman untuk
menaruh mata bilah keris, tombak atau senjata lainnya (Bambang Harsrinuksmo,
2008: 517). Warangka ladrang adalah salah satu bentuk warangka yang khas dan
berbeda dengan bentuk warangka yang dikenal dalam dunia perkerisan. Ciri khas
yang dimiliki oleh warangka ladrang ini adalah terdapatnya suatu bentuk
menyerupai perahu dengan bagian-bagiannya yang pipih dan melebar.
Gaya adalah (1) sikap; gerakan, (2) irama dan lagu (dalam nyanyian, musik,
dan sebagainya), (3) ragam (cara rupa, bentuk, dan sebagainya) yang khusus
(mengenai tulisan, karangan, pemakaian bahasa, bangunan rumah, dan
sebagainya), (4) cara melakukan gerakan dalam olahraga (renang, lompat, dan
sebagainya), (5) lagak lagu; tingkah laku, (6) sikap yang elok; gerak-gerik yang
bagus, (7) elok; bergaya (KBBI, 2005: 340). Kaitannya dengan dunia perkerisan
maka gaya yang dimaksud adalah gaya yang dimaknakan pada nomor tiga dalam
KBBI tersebut yaitu ragam yang khusus, sedangkan Surakarta merupakan salah
satu kota di Provinsi Jawa Tengah. Namun secara budaya, Surakarta dapat
dimaknai sebagai sebuah sistem budaya yang bersifat khas yang berbeda dengan
daerah Jawa lainnya. Dunia budaya Jawa biasanya melihat dua kiblat sistem
budaya yang besar yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Gaya Surakarta berarti
dimaknai sebagai suatu ragam khas yang memiliki ciri berbeda dengan ragam
yang lain, sebagai contoh ragam Yogyakarta. Kaitannya dengan hal ini warangka
ladrang gaya Surakarta adalah jenis warangka yang berbentuk ladrang dan berciri
khas Surakarta. Hal ini dapat kita lihat pada bagian pipih yang melandai vertikal
ke bawah. Warangka ladrang gaya Surakarta pasti akan terkesan agak
melengkung, sedangkan untuk gaya Yogyakarta terkesan lurus. Warangka
ii
ii
ladrang gaya Yogyakarta sering disebut juga dengan sebutan warangka
branggah.
Sebenarnya istilah keris itu mengacu pada bilah keris dan perabotnya. Jadi
kalau kita menyebut keris, maka yang dimaksud adalah bilah keris lengkap
beserta ukiran, mendhak, warangka, dan pendhok. Seperti yang diungkapkan oleh
Soemodiningrat : “… Menawi tiyang Jawi mastani keris, dhuwung, wangkingan,
punika ingkang dipunkajengaken: dhuwung ingkang sampun mrabot, dados
jangkep menggah prabotipun, dados sampun mawi jejeran (ukiran) sarungan
(warangka) saha kandelan (pendhok)” , terjemahannya , ‘…jika orang Jawa
menyebut keris maka yang dimaksud adalah keris yang sudah memakai perabot,
jadi lengkap perabotannya, yaitu sudah menggunakan hulu, bersarung, dan
memakai pendhok’ (Soemodiningrat, 1976: 1). Pernyataan Soemodiningrat ini
juga senada dengan pernyataan dari Sukatno Purwoprojo, seorang sesepuh di
bidang perkerisan yang ada di Surakarta (wawancara tanggal 6 April 2010).
2. Etnolinguistik
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 309) menyebutkan bahwa
etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa
dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mengenal tulisan.
Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Beberapa Pokok
Antropologi Sosial mengemukakan definisi etnolinguistik yaitu suatu ilmu bagian
iii
iii
yang pada asal mulanya erat bersangkutan dengan ilmu antropologi, objek
penelitiannya berupa kata-kata, pelukisan-pelukisan dari ciri-ciri, pelukisan-
pelukisan tentang tata bahasa dari bahasa-bahasa lokal yang tersebar di berbagai
tepat di muka bumi, terkumpul bersama-sama dengan bahan tentang unsur
kebudayaan suatu suku bangsa (Koentjaraningrat, 1992: 2).
Istilah etnolinguistik ini muncul ketika para ahli antropologi mulai
melakukan penelitian lapangan dengan lebih serius dan profesional pada awal
abad ke-20 (Shri Ahimsa Putra, 1997: 3-4). Edward Sapir, seorang ahli
antropologi dari Amerika Serikat merupakan perintis dari studi etnolinguistik
dalam antropologi, karena dia telah membuka sebuah persoalan baru yang penting
dalam studi etnolinguistik (dalam Shri Ahimsa Putra, 1997: 4).
Bidang studi etnolinguistik itu sendiri sebenarya merupakan sebuah bidang
studi yang sangat menarik, karena di lahan inilah kita dapat menemukan sebuah
proses yang sangat penting, yakni proses terbentuknya kebudayaan dan
keterkaitannya dengan bahasa, serta bagaimana kebudayaan tersebut terus
menerus mengalami perubahan, baik secara disadari maupun tidak oleh para
pendukung kebudayaan itu sendiri. Hal ini sebagaimana tercermin dari bahasa
yang mereka gunakan. Bidang kajian etnolinguistik merupakan salah satu bidang
yang sebenarnya sangat penting untuk dikembangkan mengingat karena begitu
beragamnya bahasa daerah di Indonesia. Pada bahasa-bahasa daerah inilah
sebanarnya tersimpan khazanah budaya Indonesia yang luar biasa kompleksnya,
yang masih sedikit digali dan diketahui. Oleh karena itu Indonesia sebenarnya
merupakan tambang emas bagi kajian etnolinguistik (Shri Ahimsa Putra,1997: I).
iv
iv
Kajian tentang bahasa dimaksudkan untuk mengetahui lebih dalam
mengenai kebudayaan suatu masyarakat atau suku bangsa sudah banyak
dilakukan. Asumsi dasar yang digunakan dalam studi semacam ini adalah bahwa
khazanah pengetahuan yang dimilki oleh suatu masyarakat itu tersimpan dalam
bahasa mereka. Pengetahuan inilah yang digunakan oleh warga masyarakat untuk
menjelaskan dan memahami segala apa yang dihadapi, serta digunakan untuk
membimbing mereka mewujudkan perilaku yang tepat dalam situasi dan kondisi
tertentu. Oleh karena itu, untuk dapat memahami perilaku warga suatu masyarakat
dengan baik, khazanah pengetahuan tersebut harus diketahui, dan berarti bahwa
bahasa mereka harus dipelajari. Dalam konteks inilah sumbangan linguistik sangat
berarti bagi etnologi (Shri Ahimsa Putra,1997: 4). Demikian juga dengan
penelitian istilah-istilah dalam bilah keris Jawa ini. Melalui bahasa yang diwakili
oleh nama bagian-bagian bilah keris, selanjutnya kita dapat mengungkap makna
budaya yang terkandung di dalamnya.
3. Bentuk/Struktur
a) Monomorfemis
Monomorfemis terjadi dari satu morfem. Morfem merupakan satuan bahasa
terkecil yang maknanya secara relatif stabil, dan yang tidak dapat dibagi atas
bagian bermakna yang lebih kecil misalnya {ter-}, {di-}, {pensil} (Harimurti
Kridalaksana, 2001: 141). Menurut Djoko Kentjono (1982: 44-45) satu atau lebih
morfem akan menyusun sebuah kata. Kata dalam hal ini ialah satuan gramatikal
bebas yang terkecil. Kata bermorfem satu disebut monomorfemis dengan ciri-ciri
dapat berdiri sendiri sebagai kata, mempunyai makna dan berkategori jelas,
v
v
sedangkan kata bermorfem lebih dari satu disebut kata polimorfemis.
Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah
menggolongkan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.
Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar istilah-istilah
dalam bilah keris Jawa ini dapat dikatakan morfem bebas dengan pengertian
bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati
imbuhan, dengan kata lain, subyeknya belum mengalami proses morfologis atau
belum mendapat tambahan apapun. Belum diulang dan belum dimajemukkan.
b) Polimorfemis
Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang
berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi (1) pengimbuhan atau
afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di
tengah, di belakang, atau di depan dan belakang morfem dasar. Afiks yang
ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, yang di tengah disebut sisipan
atau infiks, yang di belakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan
belakang disebut sirkumfiks atau konfiks. (2) pengulangan atau reduplikasi adalah
proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal
(Harimurti Kridalaksana, 2001: 186), dan (3) pemajemukan atau komposisi yaitu
proses morfologis yang membentuk satu kata dari dua (atau lebih dari dua)
morfem dasar atau proses pembentukan dua kata baru dengan jalan
menggabungkan dua kata yang telah ada sehingga melahirkan makna baru. Arti
yang terkandung dalam kata majemuk adalah arti keseluruhan bukan menurut arti
yang terkandung pada masing-masing kata yang mendukungnya.
c) Frasaologis
vi
vi
Frasa adalah gabungan dua kata atau lebih yang sifatnya tidak predikatif;
gabungan itu dapat rapat, dapat renggang (Harimurti Kridalaksana, 2001 : 59).
Sedangkan M. Ramlan (1981: 121) menyatakan frasa adalah satuan gramatik yang
terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Berdasarkan
dua pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua sifat :
1. frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.
2. frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi, maksudnya
frasa itu selalu terdapat dalam satu fungsi, yaitu dalam subjek,
predikat, objek, pelaku, atau keterangan.
4. Makna Leksikal dan Makna Kultural
Pembicaraan tentang makna akan membawa kita kepada suatu teori tentang
makna yang dicetuskan oleh Ogden dan Richard. Teori tersebut menerangkan
hubungan antara bentuk, konsep, dan acuan. Seperti biasa kita kenal dengan
Segitiga Ogden dan Richards, sebagai berikut:
(b) reference
Bagan Segitiga Makna Ogden-Richards
vii
vii
Hubungan antara (a) dan (c) digambarkan dengan garis putus-putus karena
kedua hal tersebut bersifat tidak langsung. Titik (a) adalah masalah dalam-bahasa
dan (c) adalah masalah luar bahasa yang hubungannya bersifat arbitrer.
Sedangkan hubungan (a) dan (b) serta hubungan (b) dan (c) bersifat langsung.
Titik (a) dan (b) sama-sama berada di dalam bahasa; hubungan (b) dan (c) berupa
(c) adalah acuan dari (b) tersebut.
Berdasarkan teori makna tersebut, ternyata makna leksikal dan makna
kultural dapat masuk dan sesuai dengannya. Mansur Pateda (2001: 119)
menyebutkan bahwa makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri
sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya
kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca dalam kamus bahasa tertentu.
Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh
masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu. Untuk mengetahui
adanya makna kultural yang berkembang maka perlu diketahui terlebih dahulu
makna leksikalnya.
Tataran makna berada pada titik “reference” pada Segitiga Ogden-Richards.
Pada bagian “reference”, sering disebut juga dengan konsep. Menurut Harimurti
Kridalaksana konsep adalah “gambaran mental dari objek, proses, atau apapun
yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal
tersebut” (2001: 117-119). Jadi pada definisi konsep tersebut secara otomatis
makna kultural dan makna leksikal telah termasuk pada bagian yang telah
(a) symbol (c) referent
Sumber : Jos Daniel Parera, 2004: 28
viii
viii
diterangkan pada definisi itu. Hanya perbedaanya, makna leksikal lebih cenderung
berkaitan dengan ranah kebahasaan, sedangkan makna kultural lebih cenderung
menerangkan bentuk dengan menitikberatkan pada hal-hal di luar bahasa (baca :
budaya).
Bentuk bahasa yang sama dengan referen atau acuan yang sama, pada
tataran konsep ternyata memiliki perbedaan. Pada konsep makna leksikal, hal
tersebut cenderung sama, karena dibatasi oleh pengertian yang ada di dalam
kamus. Jika ada perbedaan itu biasanya hanya perbedaan dalam penyebutan
bentuk bahasa saja. Sebagai contoh, penyebutan konsep “salah satu ricikan dalam
keris yang berada di gandhik, di atas lambe gajah, di depan jalen”, dalam dunia
perkerisan ada yang menyebut kembang kacang, sekar kacang, atau tlale gajah.
Walaupun berbeda, namun makna atau konsepnya adalah sama.
Berbeda dengan makna leksikal, makna kultural lebih bervariatif dalam
perwujudan konsep atau makna, untuk sebuah bentuk bahasa dan referen yang
sama. Hal tersebut tergantung dari pemahaman orang yang mengeluarkan
keterangan tentang makna kultural itu. Karena hal inilah, makna ini disebut
dengan makna kultural, yaitu makna yang berkaitan dengan budaya masyarakat
pendukungnya. Sedangkan kita tahu bahwa pemahaman akan budaya pada setiap
manusia adalah berbeda. Tergantung dari sejauh mana manusia itu memahami
budaya yang melingkupinya.
B. Kerangka Pikir
ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN WARANGKA LADRANG
GAYA SURAKARTA
ETNOLINGUISTIK
ix
ix
BAB III
METODE PENELITIAN
Metode penelitian merupakan cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih
dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau
menganalisis fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan
serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan
sampel data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Edi Subroto, 1992: 31)
Hal-hal yang diperlukan dalam metode penelitian ini adalah: (1) sifat
penelitian, (2) data, (3) sumber data, (4) metode pengumpulan data, (5) metode
analisis data.
A. Sifat Penelitian
Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif artinya penelitian yang
mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat,
wacana, gambar-gambar atau foto, catatan harian, memorandum, video tape (Edi
Subroto, 1992: 7)
Berdasarkan uraian di atas sangat jelas bahwa dalam penelitian ini data
yang tercatat berwujud kata-kata dan hasilnya juga dalam bentuk kata-kata,
sehingga penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan data kebahasaan yang
berupa istilah dalam keris Sabuk Inten, baik yang diperoleh melalui teknik
wawancara ataupun teknik pustaka. Perolehan data melalui studi lapangan dan
studi pustaka kemudian ditelaah secara mendetail.
22
x
x
B. Data
Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 3). Data dalam penelitian
ini berupa istilah-istilah yang terdapat dalam keris ber-dhapur Sabuk Inten
warangka ladrang gaya Surakarta. Semua hal yang berada melekat pada wujud
keris ber-dhapur Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta tersebut akan
dijadikan data yang nantinya akan dianalisis secara linguistis.
Kaitannya dengan penelitian ini, data yang dimaksud adalah semua istilah
yang terdapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.
Sedangkan istilah-istilah yang ditemukan pada keris Sabuk Inten warangka
ladrang gaya Surakarta adalah :
1) ada-ada [OdO OdO]
2) angkup [aGkUp]
3) bungkul [buGkUl]
4) buntut urang [buntUt uraG]
5) blumbangan [mblumbaGan]
6) gandar [gandar]
7) gandhik [ganDI?]
8) ganja [gO~njO]
9) sebit lontar [s|bIt lontar]
10) godhongan [goDoGan]
11) greneng [grEnEG]
12) gulu meled [gulu mElEd]
13) janur [janUr]
14) kembang kacang [k|mbaG kacaG]
xi
xi
15) lambe gajah [lambe gajah]
16) landhep [lanD|p]
17) latha [lOTO]
18) mendhak [m|nDa?]
19) pamor wos wutah [pamOr wOs wutah]
20) panetes [pan|t|s]
21) patra [pOtrO]
22) pendhok [p|nDO?]
23) pesi [p|si]
24) ri cangkring [ri caGkrIG]
25) sirah cecak [sirah c|ca?] kadang biasa disebut juga dengan endhas cecak
[|nDas c|ca?]
26) sogokan [sogo?an]
27) sraweyan [sraweyan]
28) tikel alis [tik|l alIs]
29) ukiran [ukiran]
30) warangka [warOGkO]
31) wedidang [w|didaG]
32) wilahan [wilahan]
C. Sumber Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan
tindakan. Selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain
(Lofland dalam Lexy Moleong, 2002: 112). Data yang diperoleh dalam penelitian
ini adalah kata-kata (dalam hal ini adalah istilah-istilah) yang secara inheren
xii
xii
melekat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Jadi, secara
otomatis keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta ini, merupakan
sumber data utama pada penelitian.
Kemudian untuk meneliti kembali keabsahan dari istilah-istilah tersebut
maka perlu adanya tambahan keterangan dari para informan yang mengetahui
tentang keris. Selain itu, informan juga diharapkan dapat memberikan keterangan
perihal makna kultural yang terdapat pada istilah-istilah yang terdapat pada keris
Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Beberapa persyaratan yang harus
dimiliki oleh informan agar dapat memberikan keterangan yang sesuai dengan
penelitian ini adalah :
1) Penutur asli bahasa Jawa.
2) Memahami bahasa dan budaya Jawa serta paham dunia perkerisan.
3) Berumur 25-70 tahun dan belum pikun.
4) Memiliki alat ucap sempurna.
5) Kaitannya dengan penelitian maka harus memiliki pemahaman yang memadai
tentang tosan aji atau pengetahuan tentang besi-besi yang dimuliakan.
6) Memiliki waktu yang cukup untuk wawancara
7) Bersedia untuk diwawancarai
8) Dapat berbahasa Indonesia secara pasif.
Informan yang dimintai keterangan adalah : R. Riyo Purbobudoyo, seorang
mranggi kraton (pembuat warangka dan ukiran untuk keris keraton) di Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, Sukatno Purwoprojo, seorang ahli keris di Surakarta,
MT.Arifin, seorang pengamat dan kolektor keris di Mangkubumen Surakarta,
xiii
xiii
Subandi Suponingrat, seorang “empu” pembuat keris di daerah Palur
Karanganyar,
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data menggunakan metode simak yaitu pengumpulan
data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Teknik
dasarnya adalah teknik sadap yaitu dengan menyadap keterangan dari informan
terpilih yang menjelaskan tentang detail dan istilah pada keris Sabuk Inten
warangka ladrang gaya Surakarta. Teknik lanjutannya adalah :
1) Teknik rekam, yaitu merekam informasi yang keluar dari informan tentang
istilah-istilah yang terdapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya
Surakarta.
2) Teknik kerja sama atau wawancara, yaitu dengan mewawancarai informan
terpilih. Kemudian direncanakan dengan pertanyaan agar terarah sesuai
dengan tujuan penelitian.
3) Teknik pustaka, yaitu dengan menggunakan data dari sumber tertulis yaitu
berupa buku atau yang lain yang intinya berupa data tulis yang membantu
memberikan informasi mengenai apa yang menjadi objek penelitian.
4) Teknik catat juga digunakan dalam metode pengumpulan data ini, yaitu
dengan mencatat data kebahasaan atau istilah-istilah yang relevan dilakukan
dengan transkripsi tertentu menurut kepentingan.
E. Metode Analisis Data
Penulis menggunakan metode distribusional dan metode padan. Kedua
metode ini digunakan dalam upaya menemukan kaidah dalam tahap analisis data.
xiv
xiv
1) Metode Distribusional
Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat penentunya
adalah unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993:
15). Metode ini digunakan untuk menganalisis bentuk dalam istilah-istilah
yang terdapat bilah keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.
Teknik dasarnya adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik ini
digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan
unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung
membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Teknik
Bagi Unsur Langsung (BUL) ini digunakan untuk membagi satuan lingual
data menjadi beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut dipandang sebagai bagian
yang langsung pembentuknya. Jadi, dalam hal ini digunakan untuk
menganalisis bentuk lingual dalam istilah yang terdapat pada keris Sabuk
Inten warangka ladrang gaya Surakarta, yaitu apakah berupa kata, atau frasa.
2) Metode Padan
Metode padan yaitu analisis data dengan alat penentunya di luar bahasa
yang merupakan konteks sosial terjadinya peristiwa penggunaan bahasa di
dalam masyarakat (Sudaryanto, 1993: 13). Referen bahasa adalah segala
sesuatu yang ditunjuk bahasa benar-benar berada di luar bahasa terlepas dan
tidak menjadi bagian dari bahasa. Referen-referen tersebut antara lain benda,
objek, tindakan, peristiwa, perbuatan, sifat, kualitas, keadaan, derajat, jumlah
dan sebagainya. Identitas satuan lingual tertentu disesuaikan berdasarkan
derajat kesepadanan, kesesuaian, kecocokan, atau kesamaan arti konsep yang
terkandung dalam kata itu dengan referennya (Edi Subroto, 1992: 56). Metode
xv
xv
padan ini digunakan untuk menganalisis makna yang terkandung dalam istilah
yang terdapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta, baik
makna leksikal maupun makna kultural.
xvi
xvi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Istilah-istilah yang Terdapat pada Keris Sabuk Inten
Warangka Ladrang Gaya Surakarta
Berdasarkan data yang diperoleh, penulis menemukan sejumlah 32 istilah
pada Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta. Istilah-istilah tersebut
adalah : ada-ada, angkup, blumbangan, bungkul, buntut urang, gandar, gandhik,
ganja, godhongan, greneng, gulu meled, janur, kembang kacang, lambe gajah,
landhep, latha, mendhak, pamor wos wutah, panetes, patra, pendhok, pesi, ri
cangkring, sebit lontar, sirah cecak, sogokan, sraweyan, tikel alis, ukiran,
warangka ladrang, wedidang, wilahan.
B. Bentuk Istilah
Beberapa istilah yang ada pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya
Surakarta dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu istilah yang termasuk
kategori bentuk monomorfemis, bentuk polimorfemis, dan bentuk frasa.
1. Kategori Monomorfemis
a. angkup [aGkUp]
Angkup adalah bagian dari warangka yang berbentuk melengkung ke dalam.
Jika dipasangi ukiran maka bagian ini adalah bagian yang dekat dengan ukiran.
29
xvii
xvii
b. latha [lOTO]
Latha adalah bagian dari warangka yang terletak dekat dengan ri cangkring.
Berbentuk seperti sebuah cekungan.
c. patra [pOtrO]
Patra adalah bagian dari ukiran yang berupa cekungan-cekungan yang teratur
berbentuk semacam guratan-guratan yang berpola yang terletak di bagian sudut
yang melengkung sebelah atas dan bagian yang dekat dengan cembungan di
bagian bawah.
Gambar 1 angkup
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 2 latha
Sumber : dokumen pribadi
xviii
xviii
d. mendhak [m|nDa ?]
Mendhak adalah cincin keris. Bagian yang melingkari pesi di antara ganja dan
ukiran.
e. gandar [gandar]
Gandar adalah bagian dari warangka yang berfungsi sebagai pelindung bilah
keris secara langsung. Merupakan suatu selongsong dari kayu lurus di bawah
bentuk perahu dari warangka.
Gambar 3 patra
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 4 mendhak
Sumber : dokumen pribadi
xix
xix
f. pendhok [p|nDO?]
Pendhok adalah pelindung dari gandar yang biasa terbuat dari logam kuningan,
perak, emas, tembaga, atau suasa.
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 5 gandar
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 6 pendhok
xx
xx
g. bungkul [buGkUl]
Bungkul adalah bagian keris yang terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di
atas ganja.
h. gandhik [ganDI?]
Gandhik adalah besi yang menggemuk dan tebal di bagian muka keris.
Merupakan tempat kembang kacang, jalen, dan lambe gajah.
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 8 gandhik
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 7 bungkul
xxi
xxi
i. ganja [gO~njO]
Ganja adalah bagian pangkal, dasar, atau alas dari sebuah kerangka bangun
suatu bilah keris. Secara fisik terlihat bagaikan kerangka bawah yang berfungsi
sebagai pilar dasar dari bilah keris, yang bentuknya lebih melebar ke depan dan
ke belakang untuk memberi perlindungan kepada tangan si pemegang keris.
j. greneng [grEnEG]
Greneng adalah ornamen berbentuk huruf Jawa dha yang berderet dan letaknya
di bagian bawah ujung ganja, dan sering dibuat rangkap sehingga terletak
sampai ujung bilah keris.
Sumber : dokumen pribadi
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 9 ganja
Gambar 10 greneng
xxii
xxii
k. janur [janUr]
Janur adalah bentuk yang menyerupai lidi yang berada di antara sogokan.
l. landhep [lanD|p]
Landhep adalah bagian keris yang tajam di sisi samping.
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 12 landhep
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 11 janur
xxiii
xxiii
m. wedidang [w|didaG]
Wedidang adalah bagian dari bilah keris bagian bawah yang berada di atas
greneng. Bagian ini merupakan bagian belakang dari sebuah keris.
n. pesi [p|si]
Pesi adalah besi yang bundar dan memanjang antara lima sentimeter hingga
delapan sentimeter yang menjadi tangkai keris yang masuk ke dalam pegangan
atau ukiran.
Gambar 14 pesi
Sumber : dokumen pribadi
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 13 wedidang
xxiv
xxiv
2. Kategori Polimorfemis
a. panetes [pan|t|s]
Panetes merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata
dasar tetes yang mendapat prefiks paN-.
paN + tetes → panetes
Panetes adalah bagian bilah keris yang paling ujung atas.
b. godhongan [goDoGan]
Godhongan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi
kata dasar godhong yang mendapat sufiks –an.
godhong + -an → godhongan
Godhongan adalah bagian warangka yang terlihat melebar dan tipis seperti
daun.
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 15 panetes
xxv
xxv
c. ukiran [ukiran]
Ukiran merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata
dasar ukir yang mendapat sufiks –an.
ukir + -an → ukiran
Ukiran adalah bagian dari perabot keris tempat pegangan bilah keris dalam
keadaan terhunus dan tempat memasukkan pesi keris.
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 16 godhongan
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 17 ukiran
xxvi
xxvi
d. wilahan [wilahan]
Wilahan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata
dasar wilah yang mendapat sufiks –an.
wilah + -an → wilahan
Wilahan adalah bagian terbesar dari wujud bilah keris itu sendiri, tempat
sebagaian besar detail keris berada. Terletak di atas ganja.
e. blumbangan [mblumbaGan]
Blumbangan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi
kata dasar blumbang yang mendapat sufiks –an.
blumbang + -an → blumbangan
Blumbangan adalah bagian yang cekung di belakang gandhik.
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 18 wilahan
xxvii
xxvii
f. sogokan [sogo?an]
Sogokan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata
dasar sogok yang mendapat sufiks –an.
sogok + -an → sogokan
Sogokan adalah bagian keris yang membujur seperti parit, memanjang terletak di
depan dan di belakang janur.
Gambar 19 blumbangan
Sumber : dokumen pribadi
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 20 sogokan
xxviii
xxviii
g. sraweyan [sraweyan]
Sraweyan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata
dasar srawe yang mendapat sufiks –an.
srawe + -an → sraweyan
Sraweyan adalah bagian keris yang bentuknya tebalan melandai yang terletak di
belakang sogokan paling belakang sampai ke greneng.
h. ada-ada [OdO OdO]
Ada-ada merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses reduplikasi
kata ada.
ada R→ ada-ada
Ada-ada dalam dunia perkerisan merupakan bagian dari bilah keris yang berada
di bagian tengah. Dimulai dari arah pangkal keris sampai ujung keris.
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 21 sraweyan
xxix
xxix
3. Kategori Frasa
a. warangka ladrang [warOGkO ladraG]
Warangka ladrang termasuk dalam frasa nomina karena intinya yaitu kata
warangka termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata
ladrang. Kata ladrang pada kasus ini berkategori ajektif.
Warangka ladrang adalah jenis sarung keris yang berbentuk seperti perahu dan
memiliki bagian yang tipis melebar di bagian belakang, serta tipis melengkung
ke dalam pada bagian depan.
warangka ladrang warangka ladrang
nomina +
ajektif frasa nomina
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 22 ada-ada
xxx
xxx
b. ri cangkring [ri caGkrIG]
Ri cangkring termasuk dalam frasa nomina karena intinya yaitu kata ri
termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata cangkring.
Kata cangkring pada kasus ini berkategori nomina.
Ri cangkring adalah bagian dari warangka berada di samping latha. Berbentuk
seperti duri yang keluar dari sisi samping warangka.
ri cangkring ri cangkring
nomina +
nomina frasa nomina
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 23 warangka ladrang
Gambar 24 ri cangkring
xxxi
xxxi
c. buntut urang [buntUt uraG]
Buntut urang termasuk dalam frasa nomina, karena intinya yaitu kata buntut
termasuk dalam kategori nomina, sedangkan yang menjadi atributnya adalah
kata urang. Kata urang pada kasus ini berkategori nomina.
Buntut
urang adalah bagian dari ganja yang berada paling ujung belakang.
d. gulu meled [gulu mElEd]
buntut urang buntut urang
nomina +
nomina frasa nomina
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 25 buntut urang
xxxii
xxxii
Gulu meled termasuk dalam frasa nomina, karena intinya yaitu kata gulu
termasuk dalam kategori nomina, sedangkan yang menjadi atributnya adalah
kata meled. Kata meled pada kasus ini berkategori verba.
Gulu meled adalah bagian dari ganja yang berada di belakang sirah cecak
sebelum bagian yang menggembung di bagian tengah ganja.
e. kembang kacang [k|mbaG kacaG]
gulu meled gulu meled
nomina +
verba frasa nomina
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 26 gulu meled
xxxiii
xxxiii
Kembang kacang termasuk dalam frasa nomina, karena intinya yaitu kata
kembang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata
kacang. Kata kacang pada kasus ini berkategori nomina.
Kembang kacang adalah bagian keris yang berada pada gandhik yang
berbentuk seperti belalai gajah, berada di atas lambe gajah.
f. lambe gajah [lambe gajah]
kembang kacang kembang kacang
nomina +
nomina frasa nomina
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 27 kembang kacang
xxxiv
xxxiv
Lambe gajah termasuk dalam frasa nomina karena intinya yaitu kata lambe
termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata gajah.
Kata gajah pada kasus ini berkategori nomina.
Lambe gajah adalah bagian dari keris yang berada di gandhik di sebelah bawah
kembang kacang. Wujud berupa tonjolan seperti bibir. Beberapa keris ada yang
memilikinya lebih dari satu buah.
g. sirah cecak [sirah c|ca?]
lambe gajah lambe gajah
nomina +
nomina frasa nomina
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 28 lambe gajah
xxxv
xxxv
Sirah cecak termasuk dalam frasa nomina karena intinya yaitu kata sirah
termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata cecak. Kata
cecak pada kasus ini berkategori nomina.
Sirah cecak adalah bagian paling depan dari sebuah ganja. Jika dilihat dari arah
pesi, terlihat seperti kepala cicak. Dunia perkerisan juga mengenal sirah cecak
dengan sebutan endhas cecak [|nDas c|ca?].
h. tikel alis [tik|l alIs]
sirah cecak sirah cecak
nomina +
nomina frasa nomina
Gambar 29 sirah cecak
Sumber : dokumen pribadi
xxxvi
xxxvi
Tikel alis termasuk dalam frasa nomina karena intinya yaitu kata alis termasuk
dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata tikel. Kata tikel pada
kasus ini berkategori ajektif.
Tikel alis adalah bagian dari keris yang terletak di atas blumbangan di depan
sogokan yang berwujud alur pendek.
i. sebit lontar [s|bIt lontar]
tikel alis tikel alis
ajektif +
nomina frasa nomina
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 30 tikel alis
xxxvii
xxxvii
Sebit lontar termasuk dalam frasa nomina karena intinya yaitu kata lontar
termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata sebit. Kata
sebit pada kasus ini berkategori verba.
Sebit lontar adalah bagian ganja yang melandai ke bawah di bagian ekor.
j. pamor wos wutah [pamOr wOs wutah]
sebit lontar sebit lontar
verba +
nomina frasa nomina
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 31 sebit lontar
xxxviii
xxxviii
Pamor wos wutah termasuk dalam frasa nomina karena intinya yaitu kata
pamor termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata wos
dan wutah. Kata wos pada kasus ini berkategori nomina dan kata wutah
berkategori verba.
Pamor wos wutah adalah pola pamor yang bentuknya berupa bulatan dengan
garis yang tidak beraturan, berlapis-lapis dan menyebar ke seluruh permukaan
bilah.
C. Makna Leksikal dan Makna Kultural
pamor wos wutah pamor wos wutah
nomina +
nomina +
verba frase nomina
Sumber : dokumen pribadi
Gambar 32 pamor wos wutah
xxxix
xxxix
1. angkup [aGkUp]
a. Makna leksikal :
Makna angkup menurut Poerwadarminta (1939: 16) adalah bungkus dari
buah atau bunga pada waktu masih kuncup. Sedangkan makna angkup
yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari warangka yang berbentuk
melengkung ke dalam. Jika dipasangi ukiran maka bagian ini adalah
bagian yang dekat dengan ukiran.
b. Makna kultural :
Manusia itu harus andhap asor, yaitu berlaku rendah hati kepada sesama
manusia. Sedangkan kepada Tuhan harus bersikap tawakal. Selalu
meningkatkan keimanan dan ketakwaan. (Arifin, 2006: 328).
2. latha [lOTO]
a. Makna leksikal :
Makna latha menurut Poerwadarminta (1939 : 263) adalah: (1) lekukan
yang ada di dagu; (2) tumbuhan yang merambat. Sedangkan makna latha
yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari warangka yang terletak
dekat dengan ri cangkring. Berbentuk seperti sebuah cekungan.
b. Makna kultural :
Latha berhubungan dengan kata dilatha yang berarti wajah pengantin yang
dihiasi. Hal ini bermakna, manusia harus dihiasi dengan tindak-tindak
yang menyenangkan jika ingin memperoleh kebahagiaan di dunia dan di
akhirat.
3. patra [pOtrO]
xl
xl
a. Makna leksikal :
Makna patra menurut Poerwadarminta (1939 : 477) adalah: (1) daun; (2)
surat. Sedangkan makna patra yang berkaitan dengan keris adalah bagian
dari ukiran yang berupa cekungan-cekungan yang teratur berbentuk
semacam guratan-guratan yang berpola yang terletak di bagian sudut yang
melengkung sebelah atas dan bagian yang dekat dengan cembungan di
bagian bawah.
b. Makna kultural :
Patra merupakan perlambangan dari kawula ‘hamba’ dan Gusti ‘Tuhan’.
Gusti dilambangkan oleh ukiran yang ada di bagian kepala, sedangkan
kawula dilambangkan pada ukiran yang berada di bagian bawah dekat
dengan cembungan. Persatuan antara kawula dan Gusti mewujudkan
manusia yang ideal. Manusia yang bisa menjadi contoh bagi manusia lain.
Karena sifat-sifat ketuhanan yang telah melekat pada dirinya. Hal seperti
inilah yang hendaknya dituju oleh semua manusia.
4. mendhak [m|nDa ?]
a. Makna leksikal :
Makna mendhak menurut Poerwadarminta (1939 : 307) adalah: (1) agak
menunduk sebagai tanda penghormatan; (2) agak turun, agak ambles,
berkurang. Sedangkan makna mendhak yang berkaitan dengan keris adalah
cincin keris atau bagian yang melingkari pesi di antara ganja dan ukiran.
b. Makna kultural :
xli
xli
Mendhak memiliki makna bahwa manusia harus berusaha untuk
menundukkan diri pribadi agar dapat menjadi manusia yang sempurna.
Mendhak berarti merendahkan diri (Lumintu, 2004: 26).
5. gandar [gandar]
a. Makna leksikal :
Makna gandar menurut Poerwadarminta (1939: 130) adalah: (1) kayu
sarung dari keris; (2) sifat atau bentuk yang baik. Poerwadarminta telah
menyebutkan secara eksplisit tentang makna gandar yang langsung
berkaitan dengan keris. Namun, perlu kiranya untuk dilengkapi lagi.
Gandar adalah bagian dari warangka yang berfungsi sebagai pelindung
bilah keris secara langsung. Gandar merupakan suatu selongsong dari
kayu lurus di bawah bentuk perahu dari warangka.
b. Makna kultural :
Gandar adalah perlambangan dari bentuk dedeg pangadeg (bangun suatu
badan), sebagai suatau keadaan yang sudah pinasthi, ditentukan bagi
masing-masing manusia (Arifin, 2006: 328)
6. pendhok [p|nDO?]
a. Makna leksikal :
Makna pendhok menurut Poerwadarminta (1939 : 484) adalah selubung
gandar keris yang terbuat dari perak, emas dan lain sebagainya.
b. Makna kultural :
Suatu pesan moral terhadap manusia, yang mengandung makna ingkang
andhok tata kramanireki atau yang jelas sikap sopan santunnya (Arifin.
xlii
xlii
2006: 328). Manusia harus bisa bersopan santun jika ingin dihargai oleh
orang lain.
7. bungkul [buGkUl]
a. Makna leksikal :
Makna bungkul menurut Poerwadarminta (1939: 54) adalah: (1) bagian
yang menggelembung kecil pada tongkat atau pegangan payung; (2) alat
bantu hitung untuk bawang atau kapas, sedangkan makna bungkul yang
berkaitan dengan keris adalah bagian keris yang terletak di tengah-tengah
dasar bilah dan di atas ganja. Berbentuk membulat.
b. Makna kultural :
Bungkul merupakan perlambangan tekad yang bulat dan pasti. Ketika
sesorang telah memiliki cita-cita, maka sudah sewajarnya jika cita-cita
tersebut diusahakan untuk dicapai dengan suatu tekad yang bulat serta
mantap.
8. gandhik [ganDI?]
a. Makna leksikal :
Makna gandhik menurut Poerwadarminta (1939: 131) adalah: (1) batu
yang berbentuk silinder yang dipakai untuk menggerus sesuatu; (2)
berjodohan untuk kucing, sedangkan makna gandhik yang berkaitan
dengan keris adalah besi yang menggemuk dan tebal di bagian muka keris.
Gandhik merupakan tempat kembang kacang, jalen, dan lambe gajah.
b. Makna kultural :
Gandhik melambangkan kepasrahan kepada Sang Maha Pencipta. Manusia
diharapkan membaktikan dan menyerahkan dirinya hanya kepada Tuhan.
xliii
xliii
Bukan kepada benda-benda yang ada dunia. Sebab Tuhan telah
mengetahui apa yang terbaik bagi manusia.
9. ganja [gO~njO]
a. Makna leksikal :
Makna ganja menurut Poerwadarminta (1939: 130) adalah: (1) dasar pesi
keris yang lekat dengan bilah; (2) penyangga di ujung pilar.
Poerwadarminta telah menerangkan ganja yang berkaitan dengan keris.
Namun, perlu kiranya untuk ditambahkan lagi maknanya menjadi bagian
pangkal, dasar, atau alas dari sebuah kerangka bangun suatu bilah keris,
yang secara fisik terlihat bagaikan kerangka bawah yang berfungsi sebagai
pilar dasar dari bilah keris, yang bentuknya lebih melebar ke depan dan ke
belakang untuk memberi perlindungan kepada tangan si pemegang keris.
b. Makna kultural :
Ganja adalah perlambangan dari wanita, sedangkan perlambangan pria
adalah pesi. Penyatuan antara ganja dan pesi yang membentuk kesatuan
keris secara utuh melambangkan proses kelahiran manusia yang
memerlukan pria dan wanita untuk dapat menjadi manusia.
10. greneng [grEnEG]
a. Makna leksikal :
Makna greneng menurut Poerwadarminta (1939 : 162) adalah: (1) sesuatu
yang mirip seperti kaitan kecil; (2) bentuk yang seperti gigi pada hiasan.
Sedangkan makna greneng yang berkaitan dengan keris adalah ornamen
berbentuk huruf Jawa dha yang berderet dan letaknya di bagian bawah
xliv
xliv
ujung ganja, dan sering dibuat rangkap sehingga terletak sampai ujung
bilah keris.
b. Makna kultural :
Greneng merupakan perlambangan dari dada, karena di dalam greneng
terdapat beberapa bentuk ornamen berbentuk huruf Jawa dha. Sehingga
terdapat bacaan dhadha atau dada dalam bahasa Indonesia. Kaitannya
dengan keris, dada merupakan perlambangan dari kejujuran. Tanpa
kejujuran maka manusia pasti akan menemui kecelakaan dalam hidupnya.
11. janur [janUr]
a. Makna leksikal :
Makna janur menurut Poerwadarminta (1939 : 80) adalah daun kelapa
yang masih muda, sedangkan makna janur yang berkaitan dengan keris
adalah bentuk yang menyerupai lidi yang berada di antara sogokan.
b. Makna kultural :
Janur adalah daun kelapa yang masih muda. Lemes. Istilah perkerisan
memaknai hal tersebut sebagai watak yang luwes. Manusia diharapkan
memiliki watak yang luwes, tidak kaku dan suka bermusyawarah.
12. landhep [lanD|p]
a. Makna leksikal :
Makna landhep menurut Poerwadarminta (1939 : 259) adalah: (1) tidak
tumpul; (2) mudah mengerti; (3) perkataan yang menyakitkan hati.
Sedangkan makna landhep yang berhubungan dengan keris adalah bagian
keris yang tajam di sisi samping
xlv
xlv
b. Makna kultural :
Bagian sisi keris yang tajam melambangkan penyembahan kepada Tuhan
secara lahir dan batin. Dua sisi tersebut (lahir dan batin) dilambangkan
pada dua sisi yang tajam pada bilah keris. Penyembahan kepada Tuhan
harus dilakukan dengan sebenar-benarnya. Jangan sampai hanya lahir saja
tapi batin tidak ikut, begitu juga sebaliknya. Lahir tanpa batin seperti orang
munafik. Sedangkan batin saja tanpa lahir seperti orang yang kurang
sempurna.
13. wedidang [w|didaG]
a. Makna leksikal :
Makna wedidang menurut Poerwadarminta (1939 : 659) adalah: (1)
diantara lutut dan telapak kaki; (2) otot pada tumit. Sedangkan makna
wedidang yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari bilah keris
bagian bawah yang berada di atas greneng. Bagian ini merupakan bagian
belakang dari sebuah keris.
b. Makna kultural :
Makna wedidang secara kultural ternyata memiliki makna yang sama
dengan buntut urang yaitu kita harus mengikuti nasihat guru. Manusia
yang sedang menuntut ilmu hendaknya selalu mengikuti nasihat guru dan
patuh kepadanya. Sebab, apapun yang dikatakan oleh guru pasti untuk
kebaikan sang murid. Jadi, jika ingin sukses maka patuh pada nasihat guru
harus dilaksanakan.
xlvi
xlvi
14. pesi [p|si]
a. Makna leksikal :
Makna pesi menurut Poerwadarminta (1939 : 488) adalah: (1) tonjolan
dari pisau atau keris yang masuk pada bagian pegangan; (2) burung.
Secara lebih rinci makna pesi yang berkaitan dengan keris adalah besi
yang bundar dan memanjang antara lima sentimeter hingga delapan
sentimeter yang menjadi tangkai keris yang masuk ke dalam pegangan
atau ukiran.
b. Makna kultural :
Pesi merupakan lambang pria, sebagai lawan dari ganja yang merupakan
lambang wanita. Persatuan antara pria dan wanita (pesi dan ganja) telah
melahirkan suatu makhluk yang disebut dengan manusia. Jadi dua jenis
manusia itu adalah suatu keniscayaan yang harus ada demi berlangsungnya
kehidupan.
15. panetes [pan|t|s]
a. Makna leksikal :
Panetes berasal dari kata dasar tetes yang bermakna: (1) kebal; (2) bentuk
krama inggil dari berkhitan; (3) tindik; (4) pas, persis sama; (5) nyata
(Poerwadarminta, 1939 : 604). Awalan pa- biasa membentuk kata benda.
Panetes adalah alat yang digunakan untuk membuat lubang. Sedangkan
makna panetes yang berkaitan dengan keris adalah bagian bilah keris yang
paling ujung atas.
xlvii
xlvii
b. Makna kultural :
Panetes merupakan bagian yang tajam pada keris di bagian ujung.
Merupakan wujud dari penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih.
Bagian yang tajam berarti ketika menyembah Tuhan, harus dilandasi
dengan ketajaman atau kesungguhan. Penyembahan hanya dilkukan
kepada Tuhan.
16. godhongan [goDoGan]
a. Makna leksikal :
Menurut Poerwadarminta (1939: 158) godhong adalah: (1) bagian dari
tumbuh-tumbuhan yang berwujud lembaran hijau dengan pegangan; (2)
penutup dari jendela atau pintu; (3) bagian dari sesuatu yang bersifat
melebar. Akhiran –an biasanya membentuk makna sesuatu yang bersifat
seperti. Maka, godhongan dapat kita maknai sebagai sesuatu yang bersifat
seperti daun. Sedangkan makna godhongan yang berkaitan dengan keris
adalah bagian warangka yang terlihat melebar dan tipis seperti daun.
b. Makna kultural :
Godhongan merupakan suatu perlambang tentang keadaan jiwa manusia
yang merupakan loro-loroning atunggal, antara Gusti dan kawula,
sehingga harus merupakan satu abipraya atau satu tekad, kehendak, dan
niat (Arifin, 2006: 328).
17. ukiran [ukiran]
a. Makna leksikal :
Ukiran berasal dari kata dasar ukir yang bermakna: (1) gunung; (2)
menatah kayu dengan bentuk tanaman (Poerwadarminta, 1939 : 437).
xlviii
xlviii
Akhiran –an membentuk kata benda atau hasil dari proses. Sehingga
ukiran bermakna sebagai hasil dari barang yang telah diukir. Kaitannya
dengan keris ukiran bermakna sebagai bagian dari perabot keris tempat
pegangan bilah keris dalam keadaan terhunus dan tempat memasukkan
pesi keris.
b. Makna kultural :
Ukiran menandakan bahwa Tuhan adalah Mahaluhur selalu melebihi apa
saja yang diunggulkan. Hal ini tidak boleh dipungkiri. (Lumintu, 2004:
26).
18. wilahan [wilahan]
a. Makna leksikal :
Wilahan bersal dari kata dasar wilah yang berarti: (1) potongan bambu ;
(2) besi dari keris; (3) bagian dari gender, saron, atau gambang yang
ditabuh (Poerwadarminta, 1939 : 663). Akhiran –an membentuk kata
benda. Secara tersurat Poerwadarminta telah menyebutkan makna wilahan
yang berkaitan dengan keris seperti di atas. Lebih lengkapnya wilahan
adalah bagian terbesar dari wujud bilah keris itu sendiri, tempat sebagian
besar detail keris berada, terletak di atas ganja.
b. Makna kultural :
Wilahan merupakan lambang penyembahan kepada Tuhan Yang Maha
Pengasih. Suatu penyembahan yang dilandasi oleh tiga ketajaman, yaitu
tajam di ujung (panetes) dan tajam di kedua sisi (landhep). Tajam diujung
berarti hanya menyembah satu Tuhan sedangkan tajam di sisi merupakan
perlambangan bahwa penyembahan kepada Tuhan harus dengan lahir dan
xlix
xlix
batin. Menyembah satu Tuhan dengan perwujudan lahir dan batin akan
membawa dampak yang luar biasa bagi manusia. Dampak yang terjadi
adalah manusia akan memperoleh ketenangan. Baik ketenangan lahir
maupun ketenangan batin. Kedua hal tersebut nantinya akan dapat menjadi
modal dasar untuk membentuk kehidupan manusia dengan lebih baik.
Tidak ada lagi permusuhan di antara manusia karena yang dituju hanyalah
kedamaian dan keselarasan dengan Tuhan dan manusia.
19. blumbangan [mblumbaGan]
a. Makna leksikal :
Makna blumbangan menurut Poerwadarminta (1939: 50) adalah iket atau
kemben yang hiasan batiknya hanya ada di tepi kain, sedangkan makna
blumbangan yang berkaitan dengan keris adalah bagian yang cekung di
belakang gandhik.
b. Makna kultural :
Manusia diharapkan mampu untuk menampung berbagai macam
persoalan. Ketika banyak sekali masalah yang dihadapi, maka tidak serta
merta berputus asa dan menyerahkan semuanya kepada keadaan. Tapi
yang dilakukan adalah bersabar serta menyerahkan semua urusan kepada
Tuhan. Namun tetap harus ada usaha untuk menyelesaikan persoalan
tersebut.
20. sogokan [sogo?an]
a. Makna leksikal :
Makna sogok menurut Poerwadarminta (1939 : 578) adalah: (1) segala
sesuatu yang agak panjang digunakan untuk mengorek; (2) kunci; (3)
l
l
bengis. Akhiran –an membentuk kata benda, sehingga sogokan adalah alat
yang digunakan untuk mengorek (menyogok), sedangkan makna sogokan
yang berkaitan dengan keris adalah bagian keris yang membujur seperti
parit, memanjang terletak di depan dan di belakang janur.
b. Makna kultural :
Sogokan berbentuk alur yang mengarah ke atas seakan mendesak bilah.
Hal ini melambangkan manusia hendaknya selalu berusaha untuk mencari
tahu tentang ilmu. Karena ilmu itu begitu luas dan tidak ada habisnya,
maka kita harus selalu dengan tekun untuk menuntut ilmu.
21. sraweyan [sraweyan]
a. Makna leksikal :
Makna sraweyan menurut Poerwadarminta (1939 : 581) adalah: (1) terlihat
berumbai-rumbai; (2) bergerak-gerak tangannya melambai, sedangkan
makna sraweyan yang berkaitan dengan keris adalah bagian keris yang
bentuknya tebalan melandai yang terletak di belakang sogokan paling
belakang sampai ke greneng.
b. Makna kultural :
Sraweyan dikatakan sebagai orang yang suka usil mencari-cari cacat atau
kekurangan orang. Hal ini mengingatkan manusia agar tidak mencari
keslahan atau cacat orang lain, karena kita sendiri pun masih penuh
dengan kesalahan dan cacat yang tidak diketahui oleh orang lain.
li
li
22. ada-ada [OdO OdO]
a. Makna leksikal :
Makna ada-ada menurut Poerwadarminta (1939: 1-2) adalah: (1) serat
yang tegak pada daun; (2) bagian untuk pegangan pada bulu; (3) alat
untuk menopang; (4) tanda dalam sistem penulisan aksara Jawa; (5)
memulai melakukan sesuatu yang belum pernah ada; (6) pendapat yang
pertama kali; (7) suluk dalam pertunjukan wayang. Sedangkan makna ada-
ada yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari bilah keris yang berada
di bagian tengah. Dimulai dari arah pangkal keris sampai ujung keris.
b. Makna kultural :
Manusia harus berhati-hati di dalam segala tindakannya. Tanpa kehati-
hatian yang dilakukan maka akan menyebabkan kejelekan dan kecelakaan
bagi manusia. Manusia harus berjalan tepat pada jalurnya. Jalan yang lurus
yaitu jalan yang telah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Pengasih. Bahasa
Jawa mengenal kata ada-ada sebagai ‘sesuatu gagasan yang baru’. Oleh
karena itu, ada-ada juga dapat dimaknai hendaknya manusia selalu
memiliki inisiatif dalam hidupnya, supaya semakin kreatif dan akhirnya
dapat membawa kemajuan bagi lingkungan sekitar
23. warangka ladrang [warOGkO]
a. Makna leksikal :
Makna warangka menurut Poerwadarminta (1939 : 669) adalah: (1)
penjara; (2) kayu sarung keris dan tombak, sedangkan ladrang adalah (1)
bentuk sarung keris; (2) bentuk dari musik karawitan (Poerwadarminta,
1939 : 254). Dua keterangan di atas secara eksplisit menerangkan bahwa
lii
lii
ladrang merupakan salah satu jenis warangka atau sarung keris. Secara
lengkap warangka ladrang adalah jenis sarung keris yang berbentuk
seperti perahu dan memiliki bagian yang tipis melebar di bagian belakang,
serta tipis melengkung ke dalam pada bagian depan.
b. Makna kultural :
Wrangka ladrang terbuat dari kayu. Istilah kayu diambil dari penggunaan
kata bahasa Arab yakni syajaratul yakin (pohon keyakinan), yang
mengandung kepastian bahwa hidup itu tidak mati.
24. ri cangkring [ri caGkrIG]
a. Makna leksikal :
Makna ri menurut Poerwadarminta (1939 : 529) adalah: (1) duri yang ada
di pohon; (2) tulang pada ikan yang tajam-tajam; (3) hari; (4) adik; (5) di,
ketika, oleh, sedangkan cangkring adalah pohon sebangsa dhadhap yang
mempunyai duri (Poerwadarminta, 1939 : 626). Jadi, ri cangkring secara
harfiah berarti duri pohon cangkring. Makna ri cangkring yang berkaitan
dengan keris adalah bagian dari warangka berada di samping latha.
Berbentuk seperti duri yang keluar dari sisi samping warangka
b. Makna kultural :
Ri cangkring berarti pundak (Lumintu, 2004: 25). Manusia harus mampu
memikul semua tanggung jawab yang telah diberikan Tuhan kepadanya,
yaitu sebagai pemimpin di dunia ini. Minimal menjadi pemimpin bagi diri
sendiri.
liii
liii
25. buntut urang [buntUt utaG]
a. Makna leksikal :
Makna buntut menurut Poerwadarminta (1939: 53) adalah: (1) bagian tubuh
hewan lanjutan dari tulang belakang; (2) perkara yang menyusul.
Sedangkan urang adalah udang. Maka, buntut urang bermakna ekor dari
udang. Selain itu, Poerwadarminta juga menyebutkan bahwa buntut-urang
memiliki arti berupa rambut yang berada di tengkuk (1939: 53). Makna
buntut urang yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari ganja yang
berada paling ujung belakang.
b. Makna kultural :
Buntut urang bermakna kita harus mengikuti nasihat guru. Manusia yang
sedang menuntut ilmu hendaknya selalu mengikuti nasihat guru dan patuh
kepadanya. Sebab, apapun yang dikatakan oleh guru pasti untuk kebaikan
sang murid. Jadi, jika ingin sukses maka patuh pada nasihat guru harus
dilaksanakan.
26. gulu meled [gulu mElEd]
a. Makna leksikal :
Makna gulu menurut Poerwadarminta (1939 : 154) adalah: (1) bagian
badan manusia antara kepala dan tubuh; (2) bagian yang mengecil untuk
kendi, botol, dan lain sebagainya; (3) laras bilah gamelan yang kedua.
Sedangkan meled bermakna keluar lidahnya (Poerwadarminta, 1939 :
301). Jadi, gulu meled dapat diartika sebagai leher yang menjulur keluar.
Makna gulu meled yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari ganja
liv
liv
yang berada di belakang sirah cecak sebelum bagian yang menggembung
di bagian tengah ganja.
b. Makna kultural :
Gulu meled secara harfiah bermakna leher yang atau leher terjulur yang
memanjang. Istilah lain dalam bahasa Jawa adalah manglung ‘menunduk’
(Poerwadarminta, 1939 : 294). Hal ini senada dengan ungkapan dalam
dunia pewayangan yang berbunyi : “nganglungaken jangga, nilingaken
karna”. Kurang lebih bermakna leher memanjang (menunduk) telinga
dipasang. Hal ini berarti seseorang yang melakukan itu sedang benar-benar
meperhatikan lawan bicaranya. Gulu meled memberikan kita contoh
bahwa sebagai seorang manusia kita harus dapat mendengarkan pendapat
orang lain, dan menghargai pendapat yang berbeda dengan kita.
27. kembang kacang [k|mbaG kacaG]
a. Makna leksikal :
Makna kembang menurut Poerwadarminta (1939 : 205) adalah calon buah
yang umumnya mempunyai lembaran, tangkai sari, bakal buah, serta indah
bentuknya. Sedangkan kacang adalah salah satu jenis tumbuhan yang
buahnya ada yang di dalam tanah juga ada yang menggantung berjulur-
julur panjang berwarna hijau. Jadi, kembang kacang dapat diartikan
sebagai bunga dari tumbuhan kacang. Makna kembang kacang yang
berkaitan dengan keris adalah bagian keris yang berada pada gandhik yang
berbentuk seperti belalai gajah, berada di atas lambe gajah.
lv
lv
b. Makna kultural :
Kembang kacang yang akan menjadi buah pasti merunduk, lalu putiknya
menjadi isi. Ilmu perkerisan mengartikan sebagai manusia yang memiliki
ilmu lebih tidak akan berlaku sombong, malah akan selalu menunduk.
28. lambe gajah [lambe gajah]
a. Makna leksikal :
Makna lambe menurut Poerwadarminta (1939 : 258) adalah: (1) tepi dari
mulut; (2) tepi dari cangkir, piring dan sebagainya; (3) tepi dari jurang,
perahu, sumur, dan sebagainya; (4) perkataan, sedangkan gajah adalah
hewan yang memiliki belalai dan gading. Lambe gajah secara harfiah
berarti bibir dari gajah. Makna lambe gajah yang berkaitan dengan keris
adalah bagian dari keris yang berada di gandhik di sebelah bawah
kembang kacang. Wujudnya berupa tonjolan seperti bibir. Beberapa keris
ada yang memilikinya lebih dari satu buah.
b. Makna kultural :
Lambe gajah adalah untuk berbicara. Maka dalam arti perkerisan,manusia
diharapkan berhati-hati dalam berbicara dan mengeluarkan tutur kata.
Kata-kata yang keluar tidak dengan pertimbangan, dapat menyebabkan
suatu hubungan di antara sesama manusia menjadi tidak baik. Maka sudah
menjadi suatu keharusan bagi manusia untuk menjaga semua
perkataannya, dalam rangka memayu hayuning bawana, menjaga
keseimbangan dunia.
lvi
lvi
29. sirah cecak [sirah c|ca?]
a. Makna leksikal :
Makna sirah menurut Poerwadarminta (1939 : 565) adalah: (1) kepala; (2)
alat bantu hitung untuk manusia; (3) sumber air yang besar, sedangkan
cecak adalah: (1) hewan sebangsa tokek tetapi kecil; (2) titik; (3) bentuk
diakritik dalam sistem penulisan aksara Jawa (Poerwadarminta, 1939 :
636). Sirah cecak secara harfiah berarti kepala cicak. Makna sirah cecak
yang berkaitan dengan keris adalah bagian paling depan dari sebuah ganja.
Jika dilihat dari arah pesi, terlihat seperti kepala cicak. Dunia perkerisan
Jawa juga mengenal istilah lain dari sirah cecak yang mengacu pada
referen yang sama yaitu endhas cecak.
b. Makna kultural :
Sirah cecak melambangkan kepala. Kepala adalah tempat berfikir bagi
manusia. Seorang manusia yang baik hendaknya suka menggunakan
pikirnya untuk menyelesaikan masalah. Suka belajar, dan menerima ilmu
atau petuah-petuah.
30. tikel alis [tik|l alIs]
a. Makna leksikal :
Makna tikel menurut Poerwadarminta (1939 : 605) adalah: (1) patah; (2)
tekuk; (3) rangkap, sedangkan alis adalah rambut di atas mata
(Poerwadarminta, 1939 : 7). Tikel alis sendiri, menurut Poerwadarminta
adalah alis yang bertemu (1939 : 605). Makna tikel alis yang berkaitan
dengan keris adalah bagian dari keris yang terletak di atas blumbangan di
depan sogokan yang berwujud alur pendek.
lvii
lvii
b. Makna kultural :
Tikel alis berarti alis yang bertemu. Suatu pertanda orang yang sedang
berpikir atau sedang keheranan. Hal ini bermakna bahwa manusia harus
selalu bersikap penuh tanda tanya terhadap segala sesuatu. Artinya selalu
bersikap waspada.
31. sebit lontar [s|bIt lontar]
a. Makna leksikal :
Makna sebit menurut Poerwadarminta (1939 : 551) adalah robek.
Sedangkan lontar adalah daun tal yang pada waktu dahulu digunakan
sebagai media untuk menulis (Poerwadarminta, 1939 : 282). Jadi, sebit
lontar secara harfiah bermakna robekan daun tal. Makna sebit lontar yang
berkaitan dengan keris adalah bagian ganja yang melandai ke bawah di
bagian ekor.
b. Makna kultural :
Sebit lontar berbentuk melingkar menurun ke bawah. Seperti air yang
memancur. Hal ini bermakna manusia yang baik adalah manusia yang
selalu mengamalkan ilmunya kepada orang lain. Jika ada kesulitan di
pihak lain, maka kita bersedia untuk menolongnya sesuai dengan
kemampuan kita.
32. pamor wos wutah [pamor wOs wutah]
a. Makna leksikal :
Pamor adalah : (1) campuran, hal bercampur, bercampur jadi satu ; (2)
logam putih yang ditempa pada pada keris, tombak dan sebagainya yang
berwujud motif bermacam-macam (Poerwadarminta, 1939 : 462). Wos
lviii
lviii
adalah beras, sedangkan wutah adalah tumpah. Pamor wos wutah pada
dunia perkerisan diartikan sebagai pola pamor yang bentuknya berupa
bulatan dengan garis yang tidak beraturan, berlapis-lapis dan menyebar ke
seluruh permukaan bilah.
b. Makna kultural :
Pamor wos wutah melambangkan kesejahteraan dalam hal keduniaan.
Seorang pemilik keris diharapkan ketika memiliki keris dengan pamor wos
wutah, maka kehidupannya akan tercukupi semua.
lix
lix
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
1. Keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta ini memiliki istilah
sejumlah 32 (tiga puluh dua) buah, yaitu : ada-ada, angkup, blumbangan,
bungkul, buntut urang, gandar, gandhik, ganja, godhongan, greneng, gulu
meled, janur, kembang kacang, lambe gajah, landhep, latha, mendhak, pamor
wos wutah, panetes, patra, pendhok, pesi, ri cangkring, sebit lontar, sirah
cecak, sogokan, sraweyan, tikel alis, ukiran, warangka ladrang, wedidang,
wilahan.
2. Beberapa istilah tersebut dapat dikelompokkan menjadi bentuk
monomorfemis yang berjumlah 14 (empat belas buah), yaitu : angkup,
bungkul, gandar, gandhik, ganja, greneng, janur, landhep, latha, mendhak,
patra, pendhok, pesi, wedidang. Bentuk polimorfemis berjumlah 8 (delapan)
buah, yaitu : ada-ada, blumbangan, godhongan, panetes, sogokan, sraweyan,
ukiran, wilahan, sedangkan bentuk frasa berjumlah 10 (sepuluh) buah, yaitu :
buntut urang, gulu meled, kembang kacang, lambe gajah, pamor wos wutah,
ri cangkring, sirah cecak, tikel alis, warangka ladrang, sebit lontar.
3. Makna leksikal pada istilah-istilah tersebut menunjuk pada keterangan letak
istilah tersebut di dalam bilah keris, sedangkan makna kultural yang
terkandung pada istilah-istilah ini sebagian besar berisikan ajaran-ajaran luhur
bagi manusia untuk dapat berlaku dan bertindak di dalam dunia ini agar
tercapai keselamatan dan dapat menggapai kesuksesan di dunia dan akhirat.
72
lx
lx
B. Saran
1. Terdapat kemungkinan besar bahwa istilah-istilah yang terdapat pada keris
dapat diperluas, sehingga penelitian lebih lanjut dapat dilakukan.
2. Jenis bentuk keris (dhapur) sangat beraneka ragam, bukan hanya Sabuk Inten
saja. Selain itu jenis pamor yang ada pada keris juga beraneka ragam. Hal ini
dapat digunakan sebagai ladang untuk peneliti selanjutnya yang ingin meneliti
dhapur keris maupun pamor keris secara etnolinguistik.
3. Keris Indonesia telah diakui sebagai Masterpiece of Oral and Intangible
Heritage of Humanity oleh UNESCO, maka kita sebagai pemilik kebudayaan
keris hendaknya mengenal keris secara lebih dekat. Banyak sisi dari keris
yang dapat kita dekati. Baik dari sisi eksoteri (tampilan yang kasat mata)
maupun esoteri (tampilan yang tak kasat mata).
4. Pemerintah hendaknya sering mengadakan pameran keris dalam rangka
memperkenalkan kembali kepada masyarakat akan keberadaan keris yang
memang unik dan khas bangsa kita.
5. Perlu ada perumusan bersama terhadap eksistensi keris di masyarakat atas
anggapan yang merugikan keberadaan keris. Seperti pendapat yang
menyatakan bahwa keris adalah benda yang harus dijauhi karena dekat dengan
kegiatan menyekutukan Tuhan.
6. Pembahasan tentang keris yang penulis lakukan belum mengungkapkan fungsi
keris bagi pemakai atau masyarakat Jawa. Oleh karena itu, perlu penelitian
lebih lanjut yang memfokuskan fungsi keris yang terkait dengan makna
filosofisnya.
lxi
lxi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta : PT Rineka Cipta. Arifin, MT. 2006. Keris Jawa Bilah Latar Sejarah hingga Pasar. Jakarta : Hajied
Pustaka. Bambang Harsrinuksmo. 2008. Ensiklopedi Keris. Jakarta : Gramedia Pustaka
Utama. Deddy Mulyana. 2005. Komunikasi Efektif Suatu Pendekatan Lintas Budaya.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Djoko Kentjono. 1982. Dasar-dasar Linguistik Umum. Jakarta : Fakultas Sastra
UI. Edi Subroto. 1992. Pengantar Metode Penelitian Linguistik Struktural. Surakarta :
Sebelas Maret University Press. Harimurti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama. Haryono Haryoguritno. 2006. Keris Jawa antara Mistik dan Nalar. Jakarta : PT
Indonesia Kebanggaanku. _______. tt. “Keris antara Mitos dan Realita” dalam Ilmu Keris Seri 1.
Yogyakarta : Pametri Wiji. Heru Pratignya. 2010. “Padhuwungan” dalam Kawruh Sepala Babagan
Panatacara Pamedhar Sabda Lumantar Pawiyatan. Salatiga : Dewan Pengurus PERMADANI Kota Salatiga.
Imam Sutardjo. 2008. Kajian Budaya Jawa. Surakarta : Jurusan Sastra Daerah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Jos Daniel Parera. 2004. Teori Semantik Edisi Kedua. Jakarta : Penerbit Erlangga. Khaidir Anwar. 1995. Beberapa Aspek Sosio-Kultural Masalah Bahasa.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Koentjaraningrat. 1992. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Balai
Pustaka. Lexy Moleong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Remaja
Rosdakarya.
lxii
lxii
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa Silang Budaya Bagian II Jaringan Asia (edisi
terjemahan oleh Winarsih Partaningrat Arifin, et.al). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Lumintu, S. 2004. “Sekilas tentang Wrangka dan Etika Keris” dalam Ilmu Keris.
Yogyakarta : Pametri Wiji. Mansoer Pateda. 2001. Semantik Leksikal edisi kedua. Jakarta : PT Rineka Cipta. Poerwadarminta, WJS. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: JB Wolters Uitgevers
Maatschappij. Ramlan, M. 1981. Sintaksis. Yogyakarta : UP.Karyono. Riyo Purbobudoyo, R. tanpa tahun. “Warangka dan Falsafah Keris” dalam Ilmu
Keris Seri 1. Yogyakarta : Pametri Wiji. Shri Ahimsa Putra. “Etnolinguistik Beberapa Bentuk Kajian” sajian makalah
dalam Temu Ilmiah Bahasa dan Sastra di Yogyakarta tanggal 26 – 27 Maret 1997. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Balai Penelitian Bahasa.
Soemodiningrat. 1976. “Kerisologi” dalam Dhuwung Warni-warni Yayasan
Sastra Surakarta. Sudaryanto. 1990. Aneka Konsep Kedataan Lingual dalam Linguistik. Yogyakarta
: Duta Wacana University Press. _______. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta
Wacana University Press. Sukamti. 1994. Tradisi Pemakaian Keris di Keraton Surakarta Sebuah Kajian
Sosiobudaya (skripsi). Surakarta : Universitas Sebelas Maret. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka. Tjaroko HP Teguh Pranoto. 2007. Spiritualitas Kejawen. Yogyakarta : Kuntul
Press.
top related