implementasi pengawasan balai pengawas obat dan …€¦ · konsumen pada produk kosmetik di kota...
Post on 19-Oct-2020
8 Views
Preview:
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI PENGAWASAN BALAI PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN SERTA LEMBAGA PENGKAJIAN
PANGAN, OBAT-OBATAN, DAN KOSMETIKA MAJELIS
ULAMA INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN
KONSUMEN PADA PRODUK KOSMETIK DI KOTA SERANG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANISA NOVITA SARI
NIM 11140480000065
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H /2018M
i
IMPLEMENTASI PENGAWASAN BALAI PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN SERTA LEMBAGA PENGKAJIAN
PANGAN, OBAT-OBATAN, DAN KOSMETIKA MAJELIS
ULAMA INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN
KONSUMEN PADA PRODUK KOSMETIK DI KOTA SERANG
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANISA NOVITA SARI
NIM 11140480000065
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1440H /2018M
IMPLEMENTASI PENGAWASAN BALAI PENGAWAS OBATDAN MAKANAN SERTA LE,MBAGA PENGKAJIAN
PANGAN, OBAT.OBATAN, DAN KOSMETIKA MAJELISULAMA INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN
KONSUMEN PADA PRODUKKOSMETIKDI KOTA SERANG
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANISA NOVITA SARINIM 1114048000006s
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKI.JJVT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
NIP: 197509032
1440H /2018M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "Implementasi Pengawasan Balai Pengawas Obat dan
Makanan serta Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia Sebagai Upaya Perlindungan Konsumen pada Produk Kosmetik
di Kota Serang" telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan
Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta pada 28 September 2018. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program
Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, Oktober 2018
Mengesahkan
Dekan
PANITIA UJIAN MUNAQASAH
1. Ketua
2. Sekretaris
3. Pembimbing
4. Penguji I
5. Penguji II
: Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H.,NIP. 196911211994031 00 1
: Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.NrP. I96s0908 r 99s03 I001
: Yuke Rahmawati, S.Ag., M.A.NIP. t97 s09032007 012023
: Mustolih, S.H.I., M.H.
: Fathudin, S.H.I.,
ilt
NrP. 1969 216t99603 1 00 I
11
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa.
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayahrllah Jakarta.
1 1 Oktober 2018
iv
v
ABSTRAK
Anisa Novita Sari. NIM 11140480000065. “IMPLEMENTASI PENGAWASAN
BALAI PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN SERTA LEMBAGA
PENGKAJIAN PANGAN, OBAT-OBATAN, DAN KOSMETIKA MAJELIS
ULAMA INDONESIA SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN
PADA PRODUK KOSMETIK DI KOTA SERANG”. Program studi Ilmu
Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2018 M. lx + 91 halaman + 24 halaman lampiran.
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen
mengatur adanya hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur menjadi salah
satu dasar bahwa diperlukannya informasi yang jelas dan benar mengenai
kandungan pada suatu produk kosmetik sehingga terjaminnya keamanan dan
kenyamanan konsumen dalam menggunakan produk kosmetik. Skripsi ini
membahas bagaimana upaya pengawasan yang dilakukan oleh Balai Pengawas
Obat dan Makanan di Serang selaku lembaga yang berwenang melakukan
pemeriksaan dan pengawasan terhadap peredaran produk kosmetik di Kota Serang
khususnya kosmetik yang tidak sesuai standar dan tidak mempunyai sertifikasi
halal dari Majelis Ulama Indonesia. Untuk menjelaskan dengan adanya
pengawasan ini konsumen dapat lebih waspada dan dapat lebih terlindungi.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif-empiris. Penelitian
yang dilakukan selain melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-
undangan, buku-buku, dan jurnal (library research) yang berhubungan dengan
skripsi ini, peneliti juga melakukan penelitian langsung ke lapangan dengan cara
observasi dan wawancara kepada pihak yang berhubungan, yaitu Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia, Balai Pengawas Obat dan Makanan di
Serang, Lembaga pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Provinsi
Banten, dan melakukan observasi ke sarana distribusi toko-toko kosmetik yang
ada di Pasar Rau, Serang. Selain itu, peneliti juga mencoba mengaitkan data yang
berasal dari Balai Pengawa Obat dan Makanan dengan fakta yang ada di sarana
disribusi.
Hasil penelitian menunjukan bahwa masih banyaknya produk kosmetik
yang tidak sesuai standar, beredar dan dijual di pasaran.. Serta belum adanya
pengawasan atas produk kosmetik halal dikarenakan sertifikasi halal Majelis
Ulama Indonesia masih bersifat sukarela. Hal ini menyebabkan belum
terpenuhinya hak-hak konsumen sehingga konsumen belum terjamin pula
keamanannya.
Kata Kunci : Perlindungan Konsumen, Kosmetik berbahaya, Kosmetik Halal,
BPOM, LPPOM MUI.
Pembimbing : Yuke Rahmawati, S.Ag., M.A.
Daftar Pustaka : 1987-2014
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بسم للا الر
Segala puji dan syukur peneliti panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena
berkat rahmat, nikmat serta karunia-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul “IMPLEMENTASI PENGAWASAN BALAI PENGAWAS OBAT
DAN MAKANAN SERTA LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN, OBAT-
OBATAN, DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA SEBAGAI
UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA PRODUK KOSMETIK DI
KOTA SERANG”. Sholawat serta salam peneliti panjatkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu’Alayhi wa Sallam,beserta keluarga, dan sahabat.
Dalam membuat karya ini, banyak rintangan dan dan tantangan yang peneliti
hadapi. Namun, peneliti banyak mendapatkan bimbingan, arahan, serta bantuan
dari berbagai pihak, sehingga dalam kesempatan ini peneliti mengucapkan
terimakasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. Dekan dan para Wakil Dekan Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H., Ketua Program Studi Ilmu Hukum
dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum, Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah berkontribusi dalam pembuatan
skripsi ini.
3. Terkhusus Yuke Rahmawati, S.Ag., M.A., selaku Dosen Pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran serta kesabaran dalam
memberikan bimbingan, motivasi, arahan, dan saran-saran yang sangat
berharga kepada peneliti dalam menyusun skripsi ini.
4. Staff Bidang Pelayanan Publik Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia, Ibu Yuke. Staff Bidang Sertifikasi Produk dan Sarana Produksi
dan/atau Distribusi Obat dan Makanan Balai Pengawas Obat dan Makanan Di
Serang, Ibu Retno Ayuningtyas, S.Farm, Apt. Direktur Lembaga Pengkajian
Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Provinsi Banten, Bapak Dr. H. Rodani,
vii
M.Si serta Kepala Bidang Audit dan Sistem Jaminan Halal Bapak Drs. A
Samsudin yang telah banyak membantu dalam mengumpulkan data peneliti
sehingga dapat diselesaikannya skripsi ini.
5. Kepala Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai untuk peneliti
mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
6. Pihak-Pihak lain yang telah berkontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.
Jakarta, 9 Oktober 2018
Anisa Novita Sari
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................... iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 7
D. Metode Penelitian ..................................................................... 9
E. Sistematika Penelitian .............................................................. 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................... 15
A. Kerangka Konseptual ............................................................... 15
1. Konsumen dan Pelaku Usaha .............................................. 15
2. Konsep Halal dalam Islam ................................................... 28
3. Kosmetik .............................................................................. 32
4. Peraturan Mengenai Izin Edar dan Standar Mutu Kosmetik 40
5. Sanksi Terhadap Pelanggaran Produk Kosmetik ................. 41
B. Kerangka Teori ......................................................................... 44
1. Teori Perlindungan Hukum ................................................. 44
2. Teori Pengawasan ................................................................ 52
C. Tinjauan (Review) Terdahulu ................................................... 55
ix
BAB III GAMBARAN UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN (BPOM) DAN MAJELIS ULAMA INDONESIA
(MUI) ............................................................................................ 58
A. Profil Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) ............ 58
1. Struktur Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan 59
2. Struktur Organisasi Balai Pengawas Obat dan Makanan Di
Serang ................................................................................ 59
B. Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan Pengawas
Obat dan Makanan ................................................................. 60
C. Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan ................ 63
D. Profil Majelis Ulama Indonesia (MUI) .................................. 65
E. Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Kewenangan MUI .............. 67
F. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Pusat dan Daerah . 68
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................... 71
A. Pengawasan Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM)
Terhadap Produk Kosmetik Di Kota Serang .......................... 71
B. Sertifikasi Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Provinsi Banten Terhadap Produk Kosmetik ...... 74
C. Analisis Pelanggaran Pelanggaran dan Sanksi yang dijatukan
Kepada Pelaku Usaha Kosmetik ............................................ 77
D. Upaya Hukum yang dapat Dilakukan Oleh Konsumen ......... 82
BAB V PENUTUP ..................................................................................... 85
A. Kesimpulan ............................................................................ 85
B. Rekomendasi .......................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 88
LAMPIRAN
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4. 1: Logo Halal Standar Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia ........................................ 75
Gambar 4. 2: Skema dan Alur Sertifikasi Halal ............................................... 76
Gambar 4. 3: Kosmetik Ilegal dalam Etalase Balai POM di Serang ............... 79
Gambar 4. 4: Produk Kosmetik K Brother Soap ............................................. 80
Gambar 4. 5: Produk Kosmetik K Brother Soap Bagian belakang .................. 80
Gambar 4. 6: Citra Day & Night Cream Super ............................................... 80
Gambar 4. 7: Citra Day & Night Cream Super Bagian Belakang ................... 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara berkembang yang mana salah satu aspek
yang sangat mempengaruhi perkembangannya adalah di bidang
perekonomian. Perkembangan perekonomian yang pesat ini menghasilkan
berbagai jenis barang dan jasa yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat.
Perkembangan perekonomian juga didukung oleh adanya kemajuan
teknologi dan informatika, sehingga konsumen dapat melakukan transaksi
secara luas, berhadapan dengan berbagai jenis penawaran produk yang
bervariatif, baik berupa produk domestik, maupun produk luar negeri.1
Kondisi demikian mempunyai dampak positif dan negatif bagi konsumen.
Dampak positifnya konsumen dapat lebih cepat dan mudah dalam
memperoleh produk yang diinginkan, sedangkan dampak negatifnya
konsumen dapat menjadi objek bisnis pelaku usaha dalam mencari
keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kerugian yang akan
dialami oleh konsumen tersebut.
Banyaknya produk yang bervariasi di era perdagangan bebas sekarang
ini membuat para pelaku usaha berlomba-lomba menghasilkan berbagai
macam produk untuk menarik minat konsumen, khususnya sediaaan
farmasi dalam bentuk produk kecantikan atau produk kosmetik. Sediaan
farmasi menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 adalah obat,
bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Produk kosmetik yang
awalnya merupakan perkembangan dari industri obat-obatan ini sekarang
sudah menjadi salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Bahkan, banyak
sekali orang yang tidak percaya diri ketika mereka tidak menggunakan
kosmetik, apalagi ketika hendak berpergian.
1Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 11.
2
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 1176/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Notifikasi
Kosmetika, yang dimaksud dengan kosmetik adalah “bahan atau sediaan
yang dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia
(epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi
dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik”.
Pada Tahun 2017, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia mempublikasikan daftar produk kosmetik yang mengandung
bahan berbahaya melalui public warning/peringatan publik.2 Dalam daftar
tersebut, terdapat 26 jenis kosmetik berbahaya dan bahan berbahaya yang
paling banyak ditemukan adalah merkuri (raksa), bahan pewarna merah
seperti K3 dan merah K10 (Rhodamin B), serta klindamisin.
Daftar Produk Kosmetik Berbahaya Tahun 2017
No Nama Kosmetik Bahan Yang Terkandung
1 BEAUTY G Day Cream Merkuri
2 LIXIAO Night Cream Merkuri
3 ROSE Night Cream Merkuri
4 D'SWISS Night Cream Merkuri
5 L'COME Day Cream Merkuri
6 LA WIDYA COLLAGEN Day Cream Merkuri
7 LABITHA Night Cream Merkuri
8 KOREAN WIDYA Night Cream Merkuri
9 OZERA Nail Polish Color No. 8 Merah K10
10 OZERA Lipstick-29# Merah K10
11 OZERA Lipstick-53# Merah K10
12 OZERA Lipstick-54# Merah K10
13 OZERA Lipstick-57# Merah K10
14 OZERA Lipstick-80# Merah K10
15 OZERA Lipstick-22# Merah K3
16 OZERA Lipstick-66# Merah K3
17 OZERA Lipstick-131# Merah K3
18 OZERA Lipstick-77# Merah K10 dan K3
2Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Siaran Pers”, diakses pada 04 Juli 2018 dari:
https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/391/SIARAN-PERS--AKSI-PEDULI-KOSMETIKA-
AMAN--DAN-OBAT-TRADISIONAL-BEBAS-BAHAN-KIMIA-OBAT.html.
3
19 OZERA Lipstick-82# Merah K10 dan K3
20 SALSA MEIXIIE Lip Liner Ungu Merah K10
21 SALSA MEIXIIE Lip Liner Pink Ungu Merah K10
22 SALSA Nail Polish 36 Merah K10
23 SALSA Nail Polish 38 Merah K10
24 IMPLORA Nail Polish 8 mL Merah K10
25 IMPLORA Nail Polish 8 mL (color 092) Merah K10
26 Poliekstrak Acne Cream Klindamisin
Sumber: Lampiran Public Warning No. B-IN.05.03.1.43.12.15.5963 Badan Pengawas
Obat dan Makanan Republik Indonesia.
Produk kecantikan yang diproduksi tersebut mengandung bahan yang
bersifat karsinogenik (menyebabkan kanker) dan teratogenic (menyebabkan
cacat pada janin). Selain ketiga bahan berbahaya tersebut, terdapat juga
kandungan bahan lain yang jika digunakan tanpa pengawasan ahli, melebihi
batas, dan penggunaan pada jangka waktu yang lamaakan menimbulkan
kerusakan pada wajah. Jika berlanjut, dapat menyebabkan kanker kulit,
kerusakan jaringan tubuh, cacat pada janin, hingga kematian. Bahan-bahan
tersebut adalah asam retinoat dan Hidrokinon.3
Produk kosmetik yang harusnya diharapkan memiliki fungsi yang baik
untuk kecantikan, tetapi justru mendatangkan malapetaka dan mengakibatkan
kerugian bagi orang yang menggunakannya. Salah satu contoh kasus yang
ditemukan dan berhasil digagalkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
adalah peredaran kosmetik ilegal senilai 5,4 miliar rupiah di kawasan
Pelabuhan Merak, Banten. Dalam penelusurannya, di temukan produk
kosmetik ilegal yang berasal dari Filipina dan mengandung Hydroquinone
yang diangkut menggunakan mobil jasa ekspedisi dan di dalamnya terdapat
kotak-kotak kosmetik dengan merek RDL Hydroquinone Tretinoin Babyface
sebanyak 1.055 karton.4
3Bahan Terlarang Dalam Kosmetik Tahun 2007, diakses pada 21 Mei 2017 dari:
perpustakaan.pom.go.id.
4 Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, “BPOM RI Gagalkan
Peredaran 5 Miliar Rupiah Kosmetik Ilegal”, diakses pada 08 Agustus 2018 dari
http://www.pom.go.id.
4
Setiap produk yang mengandung risiko terhadap keamanan konsumen,
wajib disertai informasi berupa petunjuk pemakaian yang jelas dan bahan-
bahan yang terkadung di dalam produk tersebut. Terlebih lagi, Indonesia
sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia yang (85 % dari 250
juta jiwa) tentu saja berkepentingan dengan peredaran produk yang aman dan
berstandar halal.5 Oleh sebab itu, sepatutnya konsumen juga mendapatkan
perlindungan dalam memperoleh kepastian tentang kehalalan produk yang
beredar, baik dari segi proses pembuatannya, maupun dari bahan yang
terkandung di dalam produk kosmetik tersebut. Untuk meyakinkan dan
menjamin bahwa produk kosmetik tersebut aman bagi konsumen muslim,
maka diperlukan adanya sertifikasi halal pada setiap produk dan dapat
diberikan berupa label atau logo “halal” yang biasanya terdapat pada
kemasan produk.
Pelaku usaha melakukan berbagai cara untuk memasarkan produk mereka.
Bahkan, seringkali informasi data yang tercantum dalam kemasan produk
dimanipulasi yaitu dengan menyembunyikan penggunaan bahan-bahan kimia
berbahaya yang terkandung dalamnya, tidak terjamin kehalalannya atau tidak
terdapat logo halal yang berarti tidak mempunyai sertfikasi halal dari Majelis
Ulama Indonesia (MUI), mencantumkan bahwa produk tersebut buatan luar
negeri yang di impor langsung ke Indonesia,6 tanpa adanya label terjemahan
dalam Bahasa Indonesia sehingga konsumen tidak mengetahui informasi
tentang produk tersebut. Bahkan sering juga ditemukan nomor Badan
Pengawasan Obat dan Makanan palsu dan logo halal palsu, tujuannya adalah
untuk mengelabui dan meyakinkan masyarakat dengan iming-iming bahan
yang terkandung di dalam produk kecantikan tersebut aman, halal, dan sudah
terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan. Selain itu beberapa
peredaran dari kosmetik tidak resmi juga sering ditemukan, misalnya tidak
5Asep Syarifuddin Hidayat dan Mustolih Siradj, “Sertifikasi Halal dan Sertifikasi Non
Halal Pada Produk Pangan Industri”, Jurnal Vol. XV, No. 2, (Juli, 2015), h. 200.
6Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 12.
5
dicantumkannya tanggal kadaluarsa, dan tidak dikemas dengan baik (tidak
disegel). Jika kemasan dalam produk memuat informasi yang tidak benar,
maka perbuatan itu memenuhi kriteria. Bentuk kejahatan ini ditandai oleh
pemakaian pernyataan yang salah (falsestatment) dan penyataan yang
menyesatkan (mislead).7
Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) dengan harapan aturan tersebut dapat
menjadi landasan bagi konsumen dan lembaga perlindungan konsumen
dalam melindungi kepentingan konsumen dan dapat menjadikan pelaku
usaha atau produsen lebih bertanggungjawab dalam memasarkan produknya.
Hak-hak konsumen tersebut diatur dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menjelaskan bahwa
konsumen memiliki hak atas kenyamanan, keamananan, dan keselamataan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa, serta mendapatkan perlindungan,
kompensasi, atau ganti rugi apabila terdapat sesuatu yang membahayakan
atau merugikan konsumen yang menggunakan barang dan/atau jasa tersebut.
Sebaliknya, pelaku usaha juga bertanggungjawab memenuhi kewajibannya
dengan memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi
barang dan/atau jasa serta memberikan penjelasan mengenai penggunaan atau
pemeliharaan barang dan/atau jasa tersebut.
Pelaku usaha bahkan cenderung tidak memperdulikan ketentuan-ketentuan
yang berlaku mengenai kosmetik berbahaya yang mereka perdagangkan.
Kesempatan ini dijadikan peluang yang sangat menguntungkan bagi pelaku
usaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa
memikirkan resiko yang ditanggung oleh konsumen. Sehingga, dalam hal ini
Badan pengawas Obat dan Makanan juga berkewajiban untuk mencegah
adanya peredaran produk yang menimbulkan keraguan dan dapat
7Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Gramedia Widia Sarana Indonesia,
2000), h. 24.
6
membahayakan konsumen terutama dalam hal kosmetik, produk tersebut
dipastikan tidak akan menimbulkan efek buruk bagi konsumen. Karena
produk yang beredar yang akan digunakan olehkonsumen harus terjamin
keamanannya demi tercapainya perlindungan konsumen.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik
untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul:
“IMPLEMENTASI PENGAWASAN BALAI PENGAWAS OBAT DAN
MAKANAN SERTA LEMBAGA PENGKAJIAN PANGAN, OBAT-
OBATAN, DAN KOSMETIKA MAJELIS ULAMA INDONESIA
SEBAGAI UPAYA PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA PRODUK
KOSMETIK DI KOTA SERANG”.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang
masalah, maka didapatkan identifikasi masalah sebagai berikut:
a. Banyaknya produk kosmetik berbahaya yang diproduksi dan tidak
terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan.
b. Banyaknya produk yang diragukan kehalalannya.
c. Kurang optimalnya pengawasan petugas Badan Pengawas Obat
dan Makanan di lapangan.
d. Kurangnya kesadaran dan kepatuhan pelaku usaha kosmetik
terhadap hukum.
e. Kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai produk kosmetik
berbahaya.
f. Kurangnya sosialisasi mengenai produk kosmetik berbahaya
sehingga produksi dan peredaran produk kosmetik berbahaya sulit
dihentikan.
2. Pembatasan Masalah
Dalam proposal skripsi ini, peneliti membatasi hanya fokus
membahas mengenai permasalahan bagaimana pengawasan Balai
7
Pengawas Obat dan Makanan Provinsi Banten dalam menanggulangi
peredaran dan penggunaan kosmetik berbahaya dan tanpa sertifikasi
halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia (selanjutnya disebut LPPOM MUI) di Kota
Serang dengan ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi permasalahan yang telah diuraikan di atas,
maka pokok permasalahan utama yang akan dijadikan dalam titik
fokus pembahasan dalam penelitian ini adalah peran Balai Pengawas
Obat dan Makanan Provinsi Banten terkait dengan maraknya
peredaran produk kosmetik yang tidak memenuhi standar dan tidak
bersertifikasi halal sehingga dapat menimbulkan keraguan dan rasa
tidak aman bagi konsumen.
Yang kemudian menjadi perlu dianalisis melalui beberapa
pertanyaan, yaitu:
a. Bagaimana peran Balai Pengawas Obat dan Makanan dan
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia di Serang dalam menanggulangi peredaran
produk kosmetik yang tidak memenuhi standar dan tidak
bersertifikasi halal?
b. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap konsumen
produk kosmetik yang tidak memenuhi standar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian
ini adalah:
a. Untuk menjelaskan kepada masyarakat upaya apa saja yang
dilakukan Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang dalam
menanggulangi penggunaan dan peredaran produk kosmetik
berbahaya dan tanpa sertifikasi halal di Kota Serang.
8
b. Untuk menjelaskan bahwa konsumen dapat terlindungi dengan
baik dengan adanya pengawasan dari Badan Pengawas Obat dan
Makanan.
c. Untuk menjelaskan bahwa pengawasan Balai Pengawas Obat dan
Makanan berdampak pada pelaku usaha kosmetik.
d. Untuk menjelaskan bagaimana bentuk perlindungan yang diperoleh
konsumen berupa sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
usaha apabila terbukti memproduksi atau memperdagangkan
produk kosmetik yang tidak sesuai standar mutu.
2. Manfaat Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, maka manfaat yang akan
diperoleh antara lain:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat menambah wawasan serta
keilmuan tentang perlindungan konsumen terutama mengenai hak-
hak yang harus didapatkan konsumen mengenai keamanan suatu
produk, khususnyan produk kosmetik. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai upaya apa saja
yang dapat dilakukan dan pertanggungjawaban pelaku usaha
terhadap produk kosmetik berbahaya. Diharapkan dapat memberi
kontribusi bagi pengembangan hukum perlindungan konsumen
serta dapat dijadikan referensi penelitian sejenis dimasa
mendatang.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi Akademis
Dapat membantu menyelesaikan permasalahan yang serupa
dan atau sehubungan dengan perlindungan konsumen mengenai
produk kosmetik berbahaya.
2) Bagi Masyarakat Umum
Diharapkan dapat memberikan penerangan, kejelasan, serta
kesadaran kepada konsumen untuk lebih berhati-hati karena
9
adanya peredaran produk kosmetik yang tidak aman, dan
mengetahui bentuk pertanggungjawabannya apabila terjadi
kerugian.
Diharapkan juga dapat memberikan penerangan bagi pelaku
usaha mengenai adanya aturan tentang hak-hak konsumen
apabila akan memproduksi produk tidak berstandar dan tidak
mempunyai sertifikasi halal mengingat mayoritas masyarakat
Indonesia adalah muslim. Serta mengetahui bentuk
pertanggungjawaban yang dilakukan apabila konsumen
menderita kerugian.
3) Bagi Pemerintah
Dapat memberikanmasukan kepada pemerintah untuk lebih
memperhatikan penanganan dan penyelesaian mengenai
peredaran produk kosmetik yang tidak berstandar.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian normatif-empiris. Penelitian normatif merupakan penelitian
yang menekankan pada pemberlakuan norma-norma di dalam
peraturan-peraturan hukum tertulis maupun tidak tertulis yang
berkaitan dengan permasalahan yang ada dalam penelitian ini.
Sedangkan penelitian empiris yaitu penelitian yang dilakukan secara
langsung berdasarkan pada kenyataan atau fakta-fakta di lapangan.
Penelitian yang dilakukan digolongkan ke dalam penelitian empiris
karena penelitian ini berfokus pada perilaku hukum masyarakat yang
pokok kajiannya dikonsepkan sebagai perilaku nyata (actual behavior)
sebagai gejala sosial yang sifatnya tidak tertulis, yang dialami setiap
orang dalam hubungan hidup bermasyarakat.8 Dalam hal ini yang
8 Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2004), h. 52.
10
menjadi objek normatif-empiris adalah norma atau aturan yang
berkaitan dengan perlindungan konsumen, peneliti terjun langsung
atau observasi ke Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang,
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Provinsi
Banten, dan pelaku usaha kosmetik di Pasar Rau, Serang.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini dengan
pendekatan Undang-Undang (statute approach) dan pendekatan kasus
(case approach). Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan
menelaah atauran yang berkaitan dengan permasalahan dalam
penelitian ini dan penelitian kasus dilakukan dengan cara menelaah
kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi.
3. Data Penelitian
Data penelitian yang digunakan yaitu data primer dan data
sekunder. Data primer adalah data yang peneliti dapatkan secara
langsung kepada sumber datanya yaitu dengan cara melakukan
observasi langsung di Balai Pengawas Obat dan Makanan Provinsi
Banten, dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika (LPPOM MUI) Provinsi Banten. Berdasarkan sumbernya
maka penelitian ini disusun berdasarkan:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh dari
hukum positif Indonesia berupa Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku. Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
4. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan
Produk Halal.
11
5. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1176/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika.
6. Peraturan-peraturan Balai Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang tidak mempunyai
kekuatan mengikat tetapi membahas atau menjelaskan topik terkait
dengan penelitian berupa buku-buku terkait, artikel dalam
majalah/media elektronik, laporan penelitian/jurnal hukum,
makalah yang disajikan dalam pertemuan kuliah dan catatan
kuliah.9
c. Bahan Non Hukum
Merupakan bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan
bermakna terhadap adanya bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti Kamus Hukum, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
jurnal dan lain-lain.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
a. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain:
1) Metode Penelitian lapangan atau field research yang dilakukan
di Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia,
Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang, dan Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika (LPPOM
MUI) Provinsi Banten. Penelitian Lapangan ini merupakan
penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan data dan
informasi yang diperoleh langsung dari responden dan
mengamati secara langsung tugas-tugas yang berhubungan
dengan tema penelitian.
9 Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003), h. 13-14.
12
2) Penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya untuk
memperoleh data atau upaya mencari dari penelusuran literatur
kepustakaan, peraturan perundang-undangan, artikel dan jurnal
hukum yang relevan dengan penelitian agar dapat dipakai
untuk menjawab suatu pertanyaan atau untuk memecah suatu
masalah.10
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini
yaitu dengan observasi, wawancara, dan studi kepustakaan. Metode
Observasi merupakan kegiatan mengamati secara langsung tanpa
mediator untuk melihat dengan dekat kegiatan suatu objek.
Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan
untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Studi
kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung
materi penelitian ini melalui Peraturan Perundang-undangan, buku,
jurnal, artikel, skripsi, tesis, dan bahan ajar perkuliahan.
c. Subjek Penelitian
Subjek penelitian pada penelitian ini, yaitu Badan Pengawas
Republik Indonesia, Balai Pengawas Obat dan Makanan Provinsi
Banten selaku lembaga yang mempunyai tugas yaitu melaksanakan
tugas pemerintah di bidang pengawasan obat dan makanan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlakudan
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Provinsi Banten sebagai lembaga
yang mengeluarkan sertifikasi halal untuk menjamin kehalalan
suatu produk sehingga terjamin pula hak-hak bagi konsumen
muslim. Jumlah subjek penelitian ini sebanyak 3 (tiga) orang,
yaitu:
10
Nomensen Sinamo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera,
2009), h. 56.
13
1) Bagian Pelayanan Publik Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia, Ibu Yuke.
2) Bidang Sertifikasi Produk dan Sarana Produksi dan/atau
Distribusi Obat dan Makanan Balai Pengawas Obat dan
Makanan Di Serang, Ibu Retno Ayuningtyas, S.Farm, Apt.
3) Kepala Bidang Audit dan Sistem Jaminan Halal Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Provinsi
Banten, Bapak Samsudin.
d. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Dalam mengolah data hasil wawancara berupa audio visual
yang dilakukan peneliti, selanjutnya peneliti mengolah data hasil
wawancara tersebut ke dalam bentuk tulisan. Data yang diperoleh
dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan akan
diolah berdasarkan analisis normatif-empiris. Normatif karena
peneliti bertumpu pada peraturan yang ada sebagai norma hukum
positif, sedangkan empiris yang yaitu analisis yang bertumpu pada
penemuan informasi dari responden.
e. Teknik Penulisan
Teknik penulisan yang digunakan dalam pembuatan sripsi ini
mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2017”.
E. Sistematika Penelitian
Sistematika penelitian hukum ini terdiri dari 5 (lima) bab yang saling
berkaitan dan berkesinambungan antara bab satu dengan bab berikutnya.
BAB I Merupakan bab pendahuluan yang membahas latar belakang
permasalahan, identifikasi masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II Bab ini berisi kajian pustaka mengenai kerangka konseptual
konsumen dan pelaku usaha, konsep halal dalam Islam,
14
kosmetik, peraturan mengenai izin edar dan standar mutu
kosmetik, sanksi terhadap pelanggaran produk kosmetik,
kerangka teori mengenai teori perlindungan hukum, teori
pengawasan, dan tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III Bab ini membahas gambaran Balai Pengawas Obat dan
Makanan dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Majelis Ulama Indonesia.
BAB IV Bab ini membahas analisis hasil penelitian mengenai
pengawasan yang dilakukan oleh Balai Pengawas Obat dan
Makanan, sertifikasi halal Majelis Ulama Indonesia, analisis
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dan sanksinya,
upaya hukum dan penyelesaian sengketa.
BAB V Merupakan penutup berisi tentang kesimpulan dan
rekomendasi
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kerangka Konseptual
1. Konsumen dan Pelaku Usaha
Dampak globalisasi dan perdagangan bebas dengan didukung oleh
kemajuan teknologi yang sangat pesat mempermudah serta memperluas
transaksi barangdan/atau jasa yang ditawarkan, sehingga dapat
mempermudah konsumen untuk memenuhi kebutuhannya. Dapat
dibayangkan berapa juta hubungan hukum atau transaksi yang terjadi
sepanjang waktu tertentu.1
Konsumen dan pelaku usaha adalah dua pihak yang saling
memerlukan. Pelaku usaha (produsen, dan/atau penjual barang dan/atau
jasa), perlu menjual barang dan/atau jasanya kepada konsumen. Serta
konsumen memerlukan barang dan/atau jasa yang dihasilkan dan dijual
oleh pelaku usaha guna memenuhi keperluannya. Kedua belah pihak saling
memperoleh manfaat dan keuntungan.
a. Pengertian Konsumen
Dalam kegiatan kita sehari-hari, seringkali kita berperan sebagai
konsumen, karena pada dasarnya manusia memiliki berbagai macam
kebutuhan hidup yang harus dipenuhi baik dari segi barang atau jasa.
Konsumen adalah “orang” atau “perusahaan” yang membeli barang
tertentu atau menggunakan jasa tertentu atau “sesuatu” atau “seseorang”
yang menggunakan suatu persediaan atau sejumlah barang”.2
Istilah konsumen berasal dari kata consumer (Inggris-Amerika)
atau consumen/konsument (Belanda) yang, secara harfiah memiliki arti
1Az. Nasution, Konsumen dan Hukum (Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen Indonesia), (Jakarta: CV. Muliasari, 1995), h. 18.
2Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran), (Bandung: Nusa Media, 2008), h. 7.
16
“(lawan dari produsen), setiap orang yang menggunakan barang”.3
Definisi lain menurut Az. Nasution, konsumen merupakan “setiap
pengguna barang atau jasa untuk kebutuhan diri sendiri, keluarga,
atau rumah tangga, dan tidak untuk memproduksi barang atau jasa lain
atau memperdagangkannya kembali”.4 Menurut Munir Fuady,
konsumen adalah “pengguna akhir (end user) dari suatu produk, yaitu
setiap pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”.5
Konsumen sebagai istilah yang sering digunakan dalam percakapan
sehari-hari ini perlu diberikan batasan pengertian agar dapat
mempermudah pembahasan tentang perlindungan konsumen. Az.
Nasution dalam bukunya yang berjudul Hukum Perlindungan
Konsumen Suatu Pengantar menegaskan beberapa batasan tentang
konsumen, yakni:
1) Konsumen antara adalah setiap orang yang mendapatkan barang
dan/jasa untuk digunakan dengan tujuan membuat barang/jasa lain
atau untuk diperdagangkan (tujuan komersial).
2) Konsumen akhir adalah setiap orang alami yang mendapat dan
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi
kebutuhan hidupnya pribadi, keluarga dan atau rumah tangga dan
tidak untuk diperdagangkan kembali (nonkomersial).6
Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, pengertian konsumen yaitu setiap
orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Pada bagian
3 Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsum Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit Media,
2002), h.21.
4Az. Nasution, Konsumen dan Hukum (Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum Pada
Perlindungan Konsumen Indonesia), (Jakarta: CV. Muliasari, 1995), h. 37.
5Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis -Menata Bisnis Modern di Era Global,
(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008), h. 227.
6Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar…, h. 13.
17
penjelasan Pasal 1 Angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen, menjelaskan bahwa: “Di dalam
kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen
antara. Pengertian konsumen dalam Undang-Undang ini adalah
konsumen akhir”.
b. Pengertian Pelaku Usaha
Konsumen dan pelaku usaha merupakan bagian penting dari
transaksi ekonomi. Pengetian pelaku usaha diatur dalam Pasal 1 Angka
3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen yaitu: “Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau
badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan
dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi”.
Selanjutnya di dalam penjelasan Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, dijelaskan bahwa, “Pelaku usaha yang
termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN,
koperasi, importir, pedagang, distributor, dan lain-lain”.
Pengertian pelaku usaha mempunyai arti luas dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha dalam pengertian
Undang-Undang ini tidak hanya para produsen yang menghasilkan
barang dan/atau jasa saja, melainkan pihak-pihak seperti agen,
distributor, serta jaringan-jaringan yang terkait dan bekerja sama dalam
kegiatan distribusi dan penawaran kepada konsumen.7 Meskipun secara
prinsip kegiatan pelaku usaha pabrikan berbeda dengan pelaku usaha
distributor, namun Undang-Undang tidak membedakan kewajiban yang
harus dipenuhi oleh kedua pelaku usaha tersebut, demikian juga
larangan untuk keduanya.
7 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 5.
18
Selanjutnya, untuk mempertegas pengertian dari barang dan/atau
jasa yang dimaksudkan, Pasal 1 Angka 4 dan 5 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen memberikan definisi barang dan jasa sebagai
berikut:
“Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud,
baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak
dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai,
dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen”. Sedangkan jasa
adalah “setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang
disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen”.
1) Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha
Hak adalah suatu peranan yang boleh atau tidak boleh dilakukan
oleh subjek hukum. Oleh karena itu, apabila hak dilanggar tidak
berakibat sanksi apapun bagi pelakunya. Pada dasarnya pelaku
usaha dan konsumen memiliki hubungan yang memuat hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban masing-masing pihak haruslah
seimbang. Hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha
sebenarnya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
a. Hak dan Kewajiban Konsumen
Sebagai pemakai barang dan/atau jasa, kosumen memiliki
sejumlah hak dan kewajiban. Pengetahuan tentang hak-hak
konsumen sangatlah penting agar konsumen bisa bertidak secara
mandiri dan kritis. Tujuannya jika diketahui adanya tindakanyang
tidak adil terhadap dirinya, ia dapat secara langsung menyadarinya.
Artinya, konsumen dapat memperjuangkan hak-haknya apabila
hak-haknya tersebut dilanggar oleh pelaku usaha.
Hak konsumen menurut Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah sebagai berikut:
1) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
19
2) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan
kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jaminan barang dan/atau jasa;
4) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan;
5) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya
penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7) Hak unduk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
8) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak
sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya
Dari 9 (Sembilan) butir hak konsumen di atas, terlihat bahwa
masalah kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan
konsumen. Barang dan/atau jasa yang tidak memberikan
kenyamanan terlebih lagi tidak aman, maka jelas tidak layak untuk
diedarkan. Untuk itu konsumen diberikan hak untuk memilih
barang dan/atau jasa yang dikehendakinya berdasarkan atas
keterbukaan informasi yang benar, jelas, dan jujur. Jika terjadi
penyimpangan, konsumen berhak mendapatkan pembinaan,
advokasi, perlakuan adil, kompensasi, serta ganti rugi.
Mantan Presiden Amerika Serikat, John F Kennedy, pernah
mengemukakan 4 (empat) hak dasar konsumen, yaitu:8
8 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 27.
20
1) Hak untuk mendapat atau memperoleh keamanan atas barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi (The right to safe products);
2) Hak untuk mendapat informasi yang jelas dan komprehensif
tentang barang dan/atau jasa (The right to be informed about
products);
3) Hak untuk memilih produk barang dan/atau jasa (The right to be
definite choice in selecting products);
4) Hak untuk didengarkan (The right to be heard regarding
consumer interests).
Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 39/248 Tahun
1985 Tentang Perlindungan Konsumen (Guidelines for Consumer
Protection), juga merumuskan berbagai kepentingan konsumen
yang perlu dilindungi, meliputi:9
1) Perlindungan konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan
dan keamanan;
2) Promosi dan perlindungan kepentingan ekonomi sosial
konsumen;
3) Tersedianya informasi yang memadai bagi konsumen untuk
memberikan kemampuan mereka melakukan pilihan yang tepat
sesuai kehendak dan kebutuhan pribadi;
4) Pendidikan konsumen;
5) Tersedianya upaya ganti rugi yang efektif;
6) Kebebasan untuk membentuk organisasi konsumen atau
organisasi lainnya yang relevan dan memberikan kesempatan
kepada organisasi tersebut untuk menyeruakan pendapatnya
dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka.
Selain hak-hak konsumen, kewajiban konsumen juga penting
dibahas. Kewajiban adalah suatu peranan yang harus atau tidak
9Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen…, h. 27-
28.
21
harus dilakukan oleh oleh subjek hukum. Oleh karena itu, apabila
kewajiban dilanggar, berakibat sanksi bagi pelakunya.10
Kewajiban
konsumen menurut Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen adalah sebagai berikut:
1) Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi
keamanan dan keselamatan. Tujuannya adalah untuk menjaga
keamanan dan keselamatan bagi konsumen itu sendiri. Oleh
karena itu, konsumen perlu membaca keterangan informasi pada
label, kandungan, serta tata cara penggunaannya.
2) Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa. Iitikad baik sangat diperlukan ketika konsumen
bertransaksi.
3) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati. Konsumen
perlu membayar barang dan/atau jasa yang dibeli, tentunya
dengan harga yang telah disepakati.
4) Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut. Apabila dirasa ada keluhan terhadap
barang dan/atau jasa yang didapat, maka konsumen perlu
menyelesaikan masalah tersebut dengan pelaku usaha. Perlu
diperhatikan bahwa penyelesaian masalah sebisa mungkin
dilakukan secara damai. Apabila tidak ditemukan titik damai,
cara hukum bisa dilakukan asalkan memerhatikan norma dan
prosedur yang berlaku.11
Kewajiban-kewajiban tersebut sangat berguna untuk konsumen
agar selalu berhati-hati dalam melakukan transaksi ekonomi.
10
Basuki Pujoalwanto, Perekonomian Indonesia Tinjauan Historis, Teoritis dan Empiris,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014), h. 213.
11
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008), h. 27.
22
Dengan demikian, setidaknya konsumen dapat mencegah dari
terjadinya kemungkinan-kemungkinan masalah yang akan
menimpanya.
b. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Untuk memberi kepastian hukum sebagai bagian dari tujuan
perlindungan konsumen, penjelasan hak dan kewajiban pelaku
usaha tidak kalah pentingnya dengan penjelasan hak dan kewajiban
konsumen. Adanya hak dan kewajiban tersebut dimaksudkan untuk
menciptakan hubungan yang seimbang antara pelaku usaha dan
konsumen. Hak dan kewajiban pelaku usaha menurut Undang-
Undang Perlindungan Konsumen antara lain:
Hak pelaku usaha menurut ketentuan Pasal 6 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen adalah:
1) Hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan
kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau
jasa yang diperdagangkan;
2) Hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan
konsumen yang beritikad tidak baik;
3) Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam
penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum
bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
Sebagai konsekuensi dari hak pelaku usaha tersebut, pelaku
usaha juga mempunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipatuhi.
Kewajiban pelaku usaha diatur dalam Pasal 7 Undang Undang
Perlindungan Konsumen, yaitu:
1) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
23
2) Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi
penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
3) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif;
4) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau
diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang
dan/atau jasa yang berlaku;
5) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji,
dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi
jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang
diperdagangkan;
6) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas
kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan
barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7) Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak
sesuai dengan perjanjian.
Jika disimak baik-baik, jelas bahwa kewajiban-kewajiban tersebut
merupakan manifestasi hak konsumen dalam sisi lain yang
“ditargetkan” untuk menciptakan “budaya” tanggung jawab dari pelaku
usaha.12
Dengan adanya kewajiban-kewajiban pelaku usaha tersebut,
diharapkan pelaku usaha dapat memenuhi tanggung jawab kepada
produk yang dihasilkan atau yang diperjual belikan, agar terciptanya
mutu kualitas produk yang baik sehingga meminimalisir adanya
sengketa konsumen.
12
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 34.
24
2) Tanggung Jawab Pelaku Usaha
Di samping dengan adanya hak dan kewajiban yang perlu
diperhatikan oleh pelaku usaha, ada juga tanggung jawab yang harus
dipikulnya. Tanggung jawab tersebut merupakan bagian dari
kewajiban yang mengikat dalam kegiatan usaha mereka. Tanggung
jawab ini juga sering di sebut dengan istilah product liability
(tanggung jawab gugat produk).13
Produsen memiliki kewajiban untuk selalu bersikap berhati-hati
dalam memproduksi barang dan/atau jasa. Karena segala bentuk
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha mau tidak mau akan
berimplikasi pada hak konsumen untuk meminta
pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang telah merugikannya.
Product liability adalah suatu tanggung jawab secara hukum dari
orang/badan yang menghasilkan suatu produk (producer,
manufacturer), dari orang/badan yang bergerak dalam suatu proses
untuk menghasilkan suatu produk (processor, assembler) atau
mendistribusikan (seller, distributor) produk tersebut.14
Intinya adalah pelaku usaha bertanggung jawab atas segala
kerugian yang timbul dari hasil barang dan/atau jasanya. Tanggung
jawab pelaku usaha atas kerugian konsumen dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen diatur dalam satu bab, yaitu Bab IV,
dimulai dar Pasal 19 sampai dengan Pasal 28 dan dapat
dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu:
a) Pasal 19, 20, 21, 24, 25, 26, dan Pasal 27 yang mengatur
pertanggungjawaban pelaku usaha.
b) Pasal 22 dan Pasal 28 yang mengatur pembuktian.
13
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008), h. 36.
14
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan…, h. 37.
25
c) Pasal 23 yang mengatur penyelesaian sengketa dalam hal pelaku
usaha tidak memenuhi kewajibannya untuk memberikan ganti
rugi kepada konsumen.
Undang-Undang perlindungan Konsumen tidak mengatur secara
jelas dan tegas soal jenis barang yang secara hukum dapat
dipertanggungjawabkan dan sampai sejauh mana
pertanggungjawaban atas barang tertentu dapat dikenakan bagi
pelaku usaha atas hubungan hukumnya dengan konsumen.15
Penerapan konsep product liability tidaklah mudah, sebab dalam
pertanggungjawaban secara konvensional, tanggung gugat produk
dissebabkan adanya wanprestasi (default) dan pebuatan melawan
hukum (fault).16
Berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUHPer), konsumen yang menderita kerugian
akibat produk barang dan/atau jasa yang cacat bisa menuntut kepada
pelaku usaha secara langsung. Tuntutan tersebut didasarkan karena
terjadi perbuatan melawan hukum yang artinya konsumen harus
dapat membuktikan kesalah yang dibuat oleh pelaku usaha.
Namun, untuk membuktikannya ternyata sulit dikareakan posisi
konsumen yang lemah dibanding pelaku usaha. Akibatnya konsumen
sulit pula untuk mendapatkan ganti rugi atau kompensasi atas
pelanggran dari pelaku usaha. Oleh karena itu diperlukan adanya
strict liability atau adanya tanggung jawab mutlak bahwa pelaku
usaha seketika itu juga bertanggung jawab atas kerugian yang
diderita konsumen tanp mempersoalkan kesalahn dari pihak
produsen.17
15
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 59
16 Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008), h. 39.
17
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan…, h. 39.
26
3) Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha
Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sendiri terdapat
dalam BAB IV Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dan
terdapat 10 (sepuluh) pasal di mulai dari Pasal 8 sampai dengan
Pasal 17. Meskipun pada prinsipnya kegiatan pelaku usaha dan
distributor berbeda, tetapi Undang-Undang Perlindungan Konsumen
tidak membedakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua
pelaku usaha tersebut, begitu pula dengan larangannya. Ketentuan
Pasal 8 merupakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen
merupakan satu-satunya ketentuan umum yang berlaku secara
general bagi kegiatan usaha dari pelaku usaha pabrikan atau
distributor di Negara Republik Indonesia.18
Pasal 8 Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya
ditujukan kepada 2 (dua) hal, yaitu larangan memproduksi barang
dan/atau jasa dan larangan memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang dicantumkan di dalam pasal ini. Larangan-larangan ini
dimaksudkan untuk mengupayakan agar barang dan/atau jasa yang
beredar merupakan produk yang layak. Secara garis besar larangan
yang dikenakan dalam Pasal 8 ini dapat dibagi dalam 2 (dua)
larangan pokok, yaitu:19
a. Larangan mengenai produk itu sendiri yang tidak memenuhi
syarat dan standar yang layak untuk dipergunakan atau
dimanfaatkan atau dipakai oleh konsumen. Larangan tersebut,
baik berupa barang dan/atau jasa pada dasarnya berhubungan
erat dengan karakteristik dan sifat dari barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan tersebut.
b. Larangan mengenai ketersediaaan informasi yang tidak benar
dan tidak akurat yang menyesatkan konsumen.
18
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 37.
19
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen…, h. 39
27
Pasal 9 Undang-Undang Perlindungan Konsumen memberikan
larangan bagi setiap pelaku usaha untuk menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan, maupun memperdagangkan suatu
barang dan/atau jasa secara tidak benar.
Pasal 10, pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
yang ditujukan untukdiperdagangkan dilarang menawarkan,
mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang
tidak benar atau menyesatkan mengenai harga atau tarif, kegunaan,
kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang
dan/atau jasa, tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan, bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11, pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan
melalui cara obral atau lelang, dilarangmengelabui/menyesatkan
konsumen dengan menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-
olahtelah memenuhi standar mutu tertentu, tidak mengandung
cacattersembunyi, tidak berniat untuk menjual barang yang
ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain,
tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah
yang cukup dengan maksud menjual barang dan/atau jasa yang lain,
menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan
obral.
Pasal 12 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
berhubungan dengan larangan bagi pelaku usaha yang menawarkan,
mempromosikan atau mengiklankan suatu barangdan/atau jasa
dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu,
jika pelakuusaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya
sesuai dengan waktu dan jumlahyang ditawarkan, dipromosikan,
atau diiklankan.
Pasal 13 Undang-Undang perlindungan Konsumen melarang
pelaku usaha untuk menawarkan, mempromosikan, atau
mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan
28
pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-
cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak
sebagaimana yang dijanjikannya. Dan juga menawarkan,
mempromosikan atau mengiklankan obat tradisional, suplemen
makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara
menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14 Undang-undang Perlindungan Konsumen melarang
pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah
melalui cara undian, dilarang untuk tidak melakukan penarikan
hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan, mengumumkan hasilnya
tidak melalui media massa, memberikan hadiah tidak sesuai dengan
yang dijanjikan, mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai
hadiah yang dijanjikan.
Pasal 15 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan
bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang
dilarang melakukan dengancara pemaksaan atau cara lain yang
dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap
konsumen.
Pasal 16 pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa
melalui pesanan dilarang untuk tidak menepati pesanan dan/atau
kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan,
tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan
pasal yang secara khusus ditujukan pada pelaku usaha periklanan
yang mengelabui konsumen melalui iklan yang diprosuksinya.
2. Konsep Halal Dalam Islam
Halal adalah sesuatu yang diperbolehkan menurut ajaran Islam, kata
“halal” berasal dari Bahasa Arab yang artinya “melepaskan” dan “tidak
terikat” secara etimologi halal berarti hal-hal yang boleh dan dapat
dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang
29
melarangnya, lawan kata dari halal ini adalah haram yang berarti dilarang
atau tidak diperbolehkan.20
Dalam pandangan Islam, untuk mengonsumsi suatu produk yang halal
atau haram merupakan persoalan yang sangat penting, karena setiap orang
yang akan menggunakan atau mengonsumsi suatu produk sangat dituntut
oleh agama untuk memastikan terlebih dahulu kehalalan dan keharamannya.
Jika halal, ia boleh melakukan, menggunakan atau mengonsumsinya.
Namun jika jelas keharamannya maka harus dijauhkan dari seorang
muslim.21
Selanjutnya Islam memberi penjelasan mengenai persoalan-
persoalan mana saja yang halal dan mana saja yang haram. Dalam masalah
makanan misalnya, pada dasarnya Islam menghalalkan semua jenis
makanan dan minuman yang baik dan bergizi (at-thayyibat) dan
mengharamkan semua jenis makanan dan inuman yang menjijikan (al-
khaba’its).22
Ketentuan tersebut kemudian diperinci lagi oleh Allah dalam
surat Al-Baqarah [2]: 173.
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah,
daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain
Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang
dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak
ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”.
Sementara itu hanya ada satu jenis minuman yang diharamkan, yaitu
khamr seperti dijelaskan dalam surat Al-Maidah [5]: 90.
20
Adisasmito, dan Wiku.“Analisis Kebijakan Nasional MUI dan Badan Pengawas Obat
dan Makanan Dalam Labeling Obat dan Makanan”. Jurnal Kebijakan Nasional MUI dan Badan
Pengawas Obat dan Makanan Fakultas Kesehatan Masyarakat Univertitas Indonesia, 2010. h. 4.
21
Asep Syarifuddin Hidayat dan Mustolih Siradj, “Sertifikasi Halal dan Sertifikasi Non
Halal Pada Produk Pangan Industri”, Jurnal Vol. XV, No. 2, (Juli, 2015), h. 202.
22
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika), (Jakarta: GP Press, 2013), h. 2.
30
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah,
adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan”.
Di luar itu, hadis-hadis Nabi Saw menambahkan beberapa jenis
binatang yang haram dikonsumsi seperti binatang buas yang bertaring,
berkuku tajam, binatang hidup di dua alam (darat dan laut), potongan dari
binatang yang masih hidup, dan sebagainya.23
Ketentuan tersebut harus
ditaati dan dijadikan sebagai pedoman oleh setiap muslim dalam
mengonsumsi, makanan, obat-obatan, dan kosmetika. Diantara yang halal
dan haram itu terdapat cukup banyak pangan yang masih samar-samar
(syubhat). Produk-produk olahan, baik makanan, minuman, obat-obatan
maupun kosmetik kiranya dapat dikategorikan sebagai musytabihât
(syubhat), apalagi produk-produk tersebut berasal dari negara yang
berpenduduk mayoritas non muslim, sekalipun bahan baku halal tetapi
proses penyimpanan atau pengolahannya bisa saja tercampur atau
menggunakan bahan-bahan haram.
a. Pengertian Sertifikasi Halal
Sertifikasi halal terdiri dari dua kata yaitu “sertifikasi” dan “halal”.
Kata “sertifikasi” berasal dari bahasa Inggris “certificate”, yang
mempunyai 3 (tiga) arti yaitu akte, surat keterangan, diploma atau
ijazah.24
Pengertian sertifikat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sertifikat merupakan tanda atau surat keterangan atau pernyataan
tertulis atau tercetak yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang yang
dapat digunakan sebagai bukti. Sementara itu, sertifikasi berarti
23
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika)…, h. 2.
24
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika)…, h. 12.
31
kegiatan penyertifikatan atau proses menjadikan sertifikat.25
Sedangkan,
kata “halal” berasal dari bahasa Arab yang artinya “melepaskan” dan
“tidak terikat” atau dapat dikatakan sesuatu yang diperbolehkan
menurut ajaran Islam. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
sertifikasi halal merupakan proses kegiatan pembuatan surat keterangan
halal (Fatwa halal) atas suatu produk yang dibuat secara tertulis dan
dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai pihak yang
berwenang mengeluarkan fatwa di Indonesia.26
Sertifikat halal dibuat
dalam bentuk “piagam” atau “penghargaan”. Sertifikat halal ini
merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada
kemasan produk dari instansi yang berwenang dalam hal ini adalah
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM).
Dalam sertifikat halal disebutkan identitas produk secara lengkap,
yaitu menyangkut jenis produknya, nama produk, dan nama perusahaan
yang memproduksinya, berikut alamatnya, tanggal keluarnya sertifikat
dan masa berlakunya. Pada bagian akhir terdapat tanda tangan tiga
pejabat Majelis Ulama Indonesia yang terkait yaitu ketua Lembaga
Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia sebagai pihak yang melakukan audit di lapangan, ketua
komisi fatwa Majelis Ulama Indonesia sebagai pihak yang melakukan
pengkajian dari aspek hukum Syara’, dan Ketua Umum Majelis Ulama
Indonesia.
b. Urgensi Sertifikasi Halal
Di era perdagangan bebas telah membuka peluang impor produk
yang besar dalam negeri kita termasuk di dalamnya pangan olahan,
obat-obatan, dan kosmetika. Sehingga peluang produk yang tidak
terjamin kehalalannya pun semakin banyak beredar, terlebih lagi
25
KBBI Daring, “Sertifikasi”, diakses pada 07 Juli 2018 dari
https://kbbi.kemdikbud.go.id.
26
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika)…, h. 13.
32
produk tersbut di impor dari negara yang mayoritas non-muslim.
Pengolahan produk dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi memungkinkan percampuran antara yang halal dengan
yang haram, baik disengaja maupun tidak. Allah melarang kita untuk
menggunakan atau mengonsumsi barang yang kotor, rusak atau
kadaluarsa, tercampur najis, dan diperoleh dengan cara yang haram.
Dengan demikian, kita diperintahkan untuk menggunakan atau
mengonumsi produk yang bersih, tidak menganduk najis, dan tidak
membahayakan tubuh. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan adanya suat
kajian khusus yang membutuhkan pengetahuan multidisiplin, seperti
pengetahuan di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industry,
biologi, farmasi, dan pemahaman tentang syariat. Sertifikasi halal MUI
dilakukan untuk memberi kepastian status kehalalan, sehingga dapat
mententramkan batin konsumen yang mengonsumsinya dan
terjaminnya proses produksi halal yang dilakukan oleh produsen karena
menerapkan sistem jaminan halal.27
3. Kosmetik
a. Pengertian Kosmetik
Manusia mengenal kosmetik sudah berabad-abad, kosmetik sudah
dikenal orang sejak zaman dahulu kala. Pemakaian kosmetik mulai
mendapat perhatian terutama pada abad 19, diantaranya digunakan
untuk kecantikan dan juga kesehatan. Manusia mengenal kosmetik
berdasarkan nalurinya yang ingin selalu tampil cantik, sehingga
manusia senantiasa melakukan eksperimen untuk menemukan cara
bagaimana agar bisa menonjolkan kecantikannya. Karena
perkembangannya cukup pesat, kosmetik menjadi bagian sektor usaha
dan banyak dilirik oleh pelaku usaha. Saat ini kosmetik begitu maju dan
bahkan terjadi perpaduan antara kosmetik dengan obat. Kata kosmetik
27
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosemtika Majelis Ulama Indonesia
(LPPOM MUI) Provinsi Banten, “Tujuan Sertifikasi Halal”, diakses pada 07 Juli 2018, dari:
lppom-muibanten.org
33
sendiri berasal dari bahasa Yunani kosmetike tekhne, yang berarti
“teknik berpakaian dan berhias”, dari kata kosmetikos yang berarti
“terampil menyusun atau mengatur”, dan juga dari kata kosmos yang
berarti “sususan” dan “hiasan”.28
Sedangkan pengertian kosmetik menurut Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1176/MENKES/PER/VIII/2010
Tentang Notifikasi Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang
dimaksudkan untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia
(epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi
dan mukosa mulut terutama untuk membersihkan, mewangikan,
mengubah penampilan dan/atau memperbaiki bau atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik.
Pada awalnya kosmetik dibuat dengan bahan-bahan yang alami dan
dengan proses yang sangat sederhana. Teknik pembuatan kosmetik
pada zaman dahulu menggunakan bahan-bahan alami yang dipilih dari
bahan yang terbaik, dibuat dengan cara tertentu, dan dikemas dengan
baik. Ilmu yang mempelajari kosmetik disebut “kosmetologi”, yaitu
ilmu yang berhubungan dengan pembuatan, penyimpanan, aplikasi
penggunaan, dan efek samping kosmetika.29
Tidak dapat disangkal bahwa produk kosmetik sangat diperlukan
oleh manusia, baik perempuan maupun laki-laki. Hal tersebut
menyebabkan diperlukannya persyaratan bahwa produk kosmetik
tersebut aman untuk dipakai. Untuk itu pembuatan produk kosmetik
harus memperhatikan Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik (CPKB).
Cara Pembuatan Kosmetika yang Baik adalah seluruh aspek kegiatan
pembuatan kosmetika yang bertujuan untuk menjamin agar produk
28
Wikipedia, “Kosmetik”, diakses pada 06 Mei 2018 dari:
https://id.m.wikipedia.org/wiki/kosmetik.
29
Landasan Teori, “Pengertian Kosmetika, Definisi, Kandungan Efek Samping, dan
Hidrokuinon, diakses pada 07 Mei 2018 dari: www.landasanteori. Com/2015/09/pengertian-
kosmetika-definisi-kandungan.html?m=1
34
yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditetapkan
sesuai dengan tujuan penggunaannya.
b. Perbedaan Kosmetik dengan Obat
Kosmetik yang beredar di pasaran tidak hanya umtuk
membersihkan, melembabkan, dan memperindah penampilan, tetapi
juga digunakan untuk memperbaiki struktur dasar kulit yang rusak,
melindungi dan mempertahankan integritas kulit. Contohnya pada
bahan kosmetik asam glikolat (glycolic acid) yang sering digunakan
oleh ahli kulit sebagai bahan dasar pengelupasan kulit demi merangsang
pertumbuhan sel-sel kulit baru dari bagian bawah kulit atau merangsang
pembentukan sel-sel kolagen yang berfungsi mempertahankan bentuk
dan integritas kulit.30
Kosmetik adalah sediaan atau paduan bahan yang siap untuk
digunakan pada bagian luar badan untuk membersihkan, menambah
daya tarik, mengubah penampakan, melindungi supaya tetap dalam
keadaan baik, memperbaiki bau badan tetapi tidak dimaksudkan untuk
mengobati atau menyembuhkan suatu penyakit. Berdasarkan definisi
tersebut, kosmetik bukanlah suatu obat yang dipakai untuk diagnosis,
pengobatan, atau pencegahan penyakit. Obat bekerja lebih kuat dan
dalam, sehingga dapat mempengaruhi struktur dan faal tubuh.
c. Penggolongongan Kosmetik
Jumlah produk kosmetik yang beredar di pasaran pada saat ini
sangat banyak dan tidak terhitung jumlahnya, baik itu kosmetik local
maupun kosmetik impor. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 300
pabrik kosmetik yang terdaftar secara resmi yang merupakan usaha
rumah tangga maupun salon kecantikan.31
30
Dewi Muliyawan dan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik, (Jakarta: PT. Elex Media
Komputindo, 2013), h. 32.
31
Sjarif M. Wasitaatmadja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, (Depok: UI Press, 1997), h.
29.
35
1) Penggolongan kosmetik menurut sifat dan cara pembuatan sebagai
berikut:
a) Kosmetik modern, diramu dari bahan kimia dan diolah secara
modern.
b) Kosmetik tradisional.
2) Penggolongan menurut kegunaannya bagi kulit, yaitu:32
a) Kosmetik perawatan kulit (skin care cosmetics), jenis kosmetik
ini diperlukan untuk merawat kebersihan dan kesehatan kulit.
b) Kosmetik riasan (dekoratif atau make up), jenis ini diperlukan
untuk merias dan menutup cacat pada kulit
sehinggamenghasilkan penampilan yang lebih menarik serta
menimbulkan efek psikologis yang baik, contohnya percaya diri.
Pasal 3 Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK. 00.05.4.1745 Tentang Kosmetik,
berdasarkan bahan dan penggunaannya serta untuk maksud evaluasi
produk kosmetik dibagi 2 (dua) golongan:
1) Kosmetik golongan I, adalah:
a) Kosmetik yang digunakan untuk bayi;
b) Kosmetik yang digunakan disekitar mata, rongga mulut dan
mukosa lainnya;
c) Kosmetik yang mengandung bahan dengan persyaratan kadar
dan penandaan;
d) Kosmetik yang mengandung bahan dan fungsinya belum lazim
serta belum diketahui keamanan dan kemanfaatannya.
2) Kosmetik golongan II adalah kosmetik yang tidak termasuk
golongan I
Menurut Jellinek, penggolongan kosmetik dapat digolongkan
menjadi pembersih, deodorant dan anti prespirasi, protektif, efek
dalam, superficial, dekoratif, dan untuk kesenangan.33
32
Retno Iswari Tranggono dan Fatma Latifah, Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 8.
36
Dengan adanya penggolongan ini, dapat menampung sediaan
kosmetik yang beredar di masyarakat (bedak, cairan, krim, pasta,
semprotan, dan lainnya) dan setiap tempat pemakaian kosmetik
(kulit, mata, kuku, rambut, seluruh badan, alat kelamin, dan
sebagainya).34
Serta konsumen dapat mengenal setiap jenis
kosmetik dan kegunaannya sehingga dapat dijadikan acuan untuk
memilih kosmetik.
d. Notifikasi Kosmetik
Untuk memproduksi dan memperdagangkan suatu produk kosmetik
maka perlu dilakukan pendaftaran terlebih dahulu ke Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Terdapat serangkaian proses yang panjang dan
disebut proses registrasi. Proses registrasi umumnya bisa berlangsung
1-3 tahun dikarenakan memerlukan banyak dokumen, validasi, formula,
stabilitas produk, dan kandungan produk tersebut aman atau tidak. Jika
nomor registrasi sudah keluar, maka produk tersebut akan diberi
barcode.
Akan tetapi, sejak adanya Harmonisasi ASEAN pada tahun 2010 di
mana barang impor dapat masuk lebih mudah ke negara-negara Asia
Tenggara tanpa proses yang panjang dan waktu yang lama, maka
dibentuklah suatu sistem yang disebut notifikasi.
Proses notifikasi produk impor hanya cukup didaftarkan saja dan
tidak dilakukan pengujian pada bahan yang terkandung dalam produk,
sehingga masalah keamanan produk tersebut diserahkan kepada
produsen dari negara asal.
Perbedaan sistem registrasi dan harmonisasi ASEAN (sistem
notifikasi) adalah pada sistem registrasi ada pengawasan sebelum
beredar (pre market approval) oleh pemerintah, sedangkan pada
33
Sjarif M. Wasitaatmadja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik, (Depok: UI Press, 1997), h.
29.
34 Sjarif M. Wasitaatmadja, Penuntun Ilmu Kosmetik Medik…, h. 30.
37
harmonisasi ASEAN tidak ada, dan hanya ada pengawasan setelah
beredar (post market surveillance).35
Nomor izin edar kosmetik pada sistem registrasi terdiri atas 12-14
digit, terdiri dari: 2 digit huruf (kode) + 10 digit angka +1 sampai 2
digit huruf (tergantung produk). Kode huruf untuk produk kosmetik
pada sistem registrasi terdiri dari dua macam, yaitu CD (kosmetik
dalam negeri) dan CL (kosmetik luar negeri/impor). Sedangkan nomor
izin edar kosmetik harmonisasi ASEAN, terdiri atas 13 digit, terdiri dari
2 digit huruf (kode) + 11 digit angka (2 digit kode negara, 2 digit tahun
notifikasi, 2 digit kode kelompok produk, dan 5 digit nomor urut
notifikasi). Kode huruf untuk produk kosmetik harmonisasi ASEAN
terdiri dari:
C = Kosmetik A = Kode Benua Asia
NA = Produk Asia (termasuk produk lokal) NB= Produk Australia
NC = Produk Eropa ND = Produk Afrika
NE = Produk Amerika
Setiap produsen kosmetik yang akan memasarkan produknya harus
menotifikasi produk tersebut terlebih dahulu dan setiap produsen yang
menotifikasi produknya harus menyimpan data, mutu, dan keamanan
produk (Product Information File/Dokumen Informasi Produk) yang
siap diperiksa sewaktu-waktu oleh Badan Pengawas Obat dan
Makanan. Berdasarkan Pasal 10 Ayat (1) Keputusan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.4.1745 Tentang
Kosmetik menyebutkan bahwa “Kosmetik sebelum diedarkan harus
didaftarkan untuk mendapatkan izin dari Kepala Badan”. Dengan
adanya peraturan ini diharapkan setiap produk yang beredar di
masyarakat mendapat izin edar secara sah di Indonesia, terdaftar di
35
Wawancara Pribadi dengan Ibu Retno Ayuningtyas, S.Farm, Apt., Bagian Sertifikasi
Produk dan Sarana Produksi dan/atau Distribusi Obat dan Makanan Balai Pengawas Obat dan
Makanan Di Serang, tanggal 10 September 2018.
38
Badan Pengawas Obat dan Makanan sehingga memudahkan
pengawasan terhadap produk kosmetik yang beredar.
Pasal 2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1176/MENKES/PER/VIII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika
mengatur bahwa “Setiap kosmetika yang beredar wajib memenuhi
standar dan/atau persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sesuai
peraturan perundang-undangan”. Dengan adanya kewajiban pemenuhan
standar tersebut maka setiap produk kosmetik seharusnya hanya dapat
diedarkan ketika mendapatkan izin edar berupa notifikasi.
Notifikasi hanya dapat dimohonkan kepada Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan. Hal ini diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
HK.03.1.23.12.10.11983 Tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan
Notifikasi Kosmetika, yaitu “Pemohon yang akan mengajukan
permohonan notifikasi harus mendaftarkan diri kepada Kepala Badan”.
Pemohon notifikasi sebagaimana Pasal 6 Ayat (2) Peraturan tersebut,
terdiri atas:
a. Industri kosmetika yang berada di wilayah Indonesia yang telah
memiliki izin produksi;
b. Importir yang bergerak di bidang kosmetika sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
c. Usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi
dengan industri kosmetika yang telah memiliki izin produksi.
Tata cara pengajuan pendaftaran sebagai pemohon notifikasi diatur
dalam Pasal 7 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika. Notifikasi
memiliki jangka waktu tertentu. Menurut Pasal 4 Ayat (2) Peraturan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, notifikasi berlaku dalam
jangka waktu 3 (tiga) tahun. Dan apabila jangka waktu tersebut sudah
habis masa berlakunya, maka harus diperbaharui. Permohonan
pembaharuan notifikasi untuk kosmetika yang telah habis masa
39
berlakunya, diajukan paling lama 1 (satu) bulan sebelum habis masa
berlaku notifikasi seperti sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 13
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Tentang Kriteria
dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika.
Selain itu, terdapat juga pembatalan notifikasi yang diatur pada
Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI
Nomor 34 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Cara Pengajuan Notifikasi
Kosmetika. Notifikasi menjadi batal atau dapat dibatalkan, apabila:
a. Izin produksi kosmetika, izin usaha industri, tanda daftar industri,
Surat Izin Usaha Perdagangan, dan/atau Angka Pengenal lmportir
(API) sudah tidak berlaku;
b. Berdasarkan evaluasi, kosmetika yang telah beredar tidak
memenuhi persyaratan teknis (keamanan, kemanfaatan, mutu,
penandaan dan klaim);
c. Atas permintaan pemohon notifikasi;
d. Perjanjian kerjasama antara pemohon dengan perusahaan pemberi
lisensi/industri penerima kontrak produksi, atau surat penunjukkan
keagenan dari produsen negara asal sudah berakhir dan tidak
diperbaharui;
e. Kosmetika yang telah beredar tidak sesuai dengan data dan/atau
dokumen yang disampaikan pada saat permohonan notifikasi;
f. Pemohon notifikasi tidak memproduksi, atau mengimpor dan
mengedarkan kosmetika dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah
dinotifikasi; atau
g. Terjadi sengketa dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
e. Kaidah Halal Produk Kosmetik
Kaidah halal yang berlaku pada kosmetika tidak bersifat khusus
karena kosmetika juga dibuat dari baan-bahan yang dikonsumsi
manusia seperti tumbuh-tumbuhan, ekstrak hewan, sintesis dan semi
sintesis, bahan tambang (mineral), biologi, mikroba, dan virus dan bisa
40
juga terbuat dari campuran bahan-bahan tersebut. Oleh karena itu,
kaidah hukum Islam dalam makanan dan minuman juga berlaku untuk
kosmetika.36
Dengan demikian, pembuatan kosmetika harus terhindar
dari bahan-bahan yang haram baik yang berasal dari tumbuh-tumbuhan,
hewan, atau campuran keduanya. Bahan tersebut juga harus bersih dari
najis dan apabila kosmetik tersebut terbuat dari unsur kimia, maka
bahannya harus aman dan tidak membahayakan manusia.
4. Peraturan Mengenai Izin Edar dan Standar Mutu Produk Kosmetik
Secara umum, izin edar mengenai produk kosmetik telah diatur
sedemikian rupa melalui perundang-undangan, hal ini terlihat dengan
terdapatnya peraturan yang mengatur tentang kosmetik dan izin edanya,
antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen.
Dalam Pasal 8 Ayat (1) butir a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan bahwa pelaku usaha
dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa
yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang
dipersyaratkan dan ketentuan perundang-undangan. Dan disebutkan
juga pasal 8 Ayat (1) butir h diatur mengenai ketentuan berproduksi
secara halal. Selanjutnya dalam Pasal 19 mengatur mengenai tanggung
jawab pelaku usaha dalam memperdagangkan produk kosmetik.
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 98
Ayat (1) menjelaskan sediaan farrnasi harus aman,
berkhasiat/bermanfaat, bermutu, dan terjangkau. Pasal 105 Ayat (2)
menjelaskan bahwa kosmetika harus memenuhi standar dan/atau
persyaratan yang ditentukan. Dan Pasal 106 mengenai pengamanan
sediaan farmasi.
36
Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika), (Jakarta: GP Press, 2013), h. 97.
41
c. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk
Halal, Pasal 3 menjelaskan tujuan dari jaminan produk halal adalah
untuk memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian
ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan
menggunakan produk.
d. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/MenKes/Per/VIII/2010
Tentang izin Produksi Kosmetika.
e. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1176/MenKes/PER/VIII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika.
f. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
220/Men.Kes/Per/IX/76 Tentang Produksi dan Peredaran Kosmetika
dan Alat Kesehatan.
g. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 96/MenKes/Per/V/77 Tentang
Wadah, Pembungkus, Penandaan, serta Periklanan Kosmetika dan Alat
Kesehatan.
h. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2015 Tentang Persyaratan Teknis Bahan
Kosmetika , Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010
Tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika, dan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 19
Tahun 2015 Tentang Persyaratan Teknis Kosmetika.
5. Sanksi Terhadap Pelanggaran Produk Kosmetik
Pelaku usaha yang melanggar hak-hak konsumen akan dikenakan sanksi.
Pada dasarnya, hubungan antara konsumen dengan pelaku usaha adalah
hubungan hukum keperdataan, tapi Undang-Undang Perlindungan Konsumen
juga mengenakan sanksi kepada pelanggar hak-hak konsumen.37
37
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008), h. 41.
42
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen pelaku usaha diwajibkan beritikad baik dalam melakukan kegiatan
usahanya, sedangkan bagi konsumen diwajibkan beritikad baik dalam
melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa.38
Pelaku usaha yang
melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi. Sanksi yang dapat dijatukan
kepada pelaku usaha adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
1) Sanksi Administratif
Sanksi administratif diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen. Sanksi administratif merupakan suatu “hak
khusus” yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen
kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) untuk
menyelesaikan persengketaan konsumen di luar pengadilan.
Menurut ketentuan Pasal 60 Ayat (2) Jo. Pasal 60 Ayat (1)
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sanksi administratif yang
dapat dijatuhkan oleh BPSK adalah berupa penetapan ganti rugi
sampai setinggi-tingginya Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah)
terhadap pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 19 Ayat (2)
dan (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26 Undang-Undang
Perlindungan Konsumen.
2) Sanksi Pidana Pokok
Sanksi pidana pokok adalah sanksi yang dapat dikenakan dan
dijatuhkan oleh pengadilan atas tumtutan jasa penuntut umumterhadap
pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha.39
Rumusan Pasal 62
Undang-Undang Perlindungan Konsumen menentukan bahwa pelaku
usaha dan/atau pengurusnya yang melakukan pelanggaran terhadap:
38
Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Sinar Grafika,
2011) h. 44.
39
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), h. 84.
43
a) Pasal 8, 9, 10, 13 Ayat (2), 15, 17 Ayat (1) huruf a, b, c, dan e, dan
Pasal 18. Dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau pidana denda sebanyak Rp. 2.000.000.000 (dua
milyar rupiah).
b) Pasal 11, 12, 13 Ayat (1), 14, 16, 17 Ayat (1) huruf d dan f. Dapat
dikenakan sanksi pidana penjara 2 (dua) tahun atau denda Rp.
500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
c) Sanksi pidana lain di luar ketentuan Undang-Undang Perlindungan
Konsumen jika konsumen mengalami kematian, cacat berat, sakit
berat, atau luka berat (Pasal 62 Ayat (3)).
3) Sanksi Pidana tambahan
Menurut Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 63,
dimungkinkan diberikannya sanksi pidana tambahan di luar sanksi
pidana pokok yang dijatuhkan berdasarkan Pasal 62. Sanksi-sanksi
tersebut berupa: perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan
hakim, pembayaran ganti rugi, pencabutan izin usaha, dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa, wajib menarik barang
dan/atau jasa dari peredaran, dan hasil pengawasan disebarkan kepada
masyarakat umum.
b. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan,
menjelaskan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar
dan/atau persyaratan keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 Ayat (2) dan Ayat (3) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”
c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 19 Tahun
2015 Tentang Persyaratan Teknis Kosmetika
Pasal 15 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor
19 Tahun 2015 Tentang Persyaratan Teknis Kosmetika menyatakan bahwa
44
pelanggaran terhadap ketentuan yang ada pada peraturan tersebut dapat
dikenai sanksi berupa:
1) Peringatan tertulis.
2) Larangan mengedarkan kosmetika untuk sementara.
3) Penarikan kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan keamanan,
kemanfaatan, mutu, penandaan, dan/atau klaim dari peredaran.
4) Pemusnahan kosmetik.
5) Penghentian sementara kegiatan produksi dan/atau impor kosmetika.
6) Pembatalan notifikasi.
Dengan adanya ketentuan-ketentuan mengenai sanksi yang dapat
dijatuhkan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran, diharapkan
dapat memberikan efek jera kepada pelaku usaha sehingga mengikuti
aturan yang berkaitan dengan produk kosmetik.
B. Kerangka Teori
1. Teori Perlindungan Hukum
Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam
manifestasinya bisa berwujud konkrit. Suatu ketentuan hukum baru dapat
dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah
kebaikan, kebahagian yang sebesar-besarnya, dan berkurangnya
penderitaan.40
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum hadir dalam
masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
kepentingan-kepentingan yang bisa bertubrukan saru sama lain yang
dilakukan dengan cara membatasi dan melindungi kepentingan-
kepentingan tersebut. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan
cara memberikan kekuasaan kepadanya untuk bertindak dan memenuhi
kepentingannya. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur,
dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang
demikian itulah yang disebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam
40
Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem (Bandung; Remaja
Rosdakarya, 1993), h. 79.
45
masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu
yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.41
Perlindungan hukum dalam Bahasa Inggris disebut legal Protection,
sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut rechtsbecherming. Perlindungan
hukum bagi setiap warga negara Indonesia tanpa terkecuali dapat
ditemukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Oleh karena itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislatif
harus senantiasa memberikan jaminan perlindungan hukum bagi setiap
orang.
Menurut Satjipto Rahardjo, Perlindungan hukum adalah memberikan
pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain
dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati
semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum dapat difungsikan
untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan
fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Hukum dibutuhkan
untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan
politik untuk memperoleh keadilan sosial.42
Menurut pendapat Phillipus M. Hadjon bahwa perlindungan hukum
bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan
represif. Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah
terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-
hati dalam pengambilan keputusan bedasarkan diskresi, dan perlindungan
yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa,
termasuk penangananya di lembaga peradilan.43
Perlindungan hukum merupakan suatu hal yang melindungi subjek-
subjek hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
41
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53.
42
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum…, h. 55.
43
Phillipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 1987), h. 29.
46
dipaksakan pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:44
a) Perlindungan hukum preventif merupakan perlindungan yang
diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum
terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-
undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta
memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan
sutu kewajiban.
b) Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa
sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan
apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu
pelanggaran.
Perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat Indonesia merupakan
implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia. Dari uraian di atas memberikan pemahaman bahwa
perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum
untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan,
serta kepastian hukum dan setiap orang atau subjek hukum berhak
mendapatkan perlindungan dari hukum.
a. Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
Konsumen akan selalu berhadapan dengan produsen atau pelaku
usaha yang akan memproduksi atau menyediakan barang dan/atau jasa
yang nantinya akan digunakan oleh konsumen. Hubungan ini tidak
selamanya berjalan dengan lancar, adakalanya timbul suatu masalah
yang biasanya dialami oleh konsumen. Permasalahan yang dihadapi
oleh konsumen di Indonesia saat ini tidak hanya mengenai cara memilih
barang, tetapi juga mengenai kesadaran semua pihak, baik dari pelaku
usaha, pemerintah, maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya
perlindungan konsumen. Hukum perlindungan konsumen pada
dasarnya lahir dari kesadaran masyarakat yang bertindak sebagai
konsumen untuk melindungi dirinya dalam sebuah transaksi dengan
pelaku usaha.
44
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), h. 38.
47
Hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua
bidang yang sulit dipisakan dan ditarik batasnya.45
. Pada dasarnya
hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen membahas hal
yang sama, yaitu mengenai kepentingan konsumen. Menurut Az.
Nasution, pengertian hukum perlindungan konsumen merupakan bagian
dari hukum konsumen yang memuat asas-asas atau kaidah-kaidah
bersifat mengatur, dan juga mengandung sifat yang melindungi
kepentingan konsumen.46
Pengertian hukum konsumen sendiri adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan dan
masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa)
antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.47
Dalam Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Perlindungan Konsumen
menjelaskan bahwa perlindungan konsumen merupakan segala upaya
yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan
kepada konsumen.
Sebelum terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen
ini, ada Undang-Undang yang secara tidak langsung mengatur
mengenai kepentingan konsumen, seperti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1982 Tentang Wajib Daftar Perusahaan, dan lain-lain. Salah satu
ketentuan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 64
(Bab XIV Ketentuan Peralihan) menyebutkan bahwa:
“Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan
melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-Undang ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/atau bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-
Undang ini”.
Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa Undang-Undang
Perlindungan Konsumen merupakan ketentuan khusus (lex specialis)
45
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2004), h.11.
46
Az. Nasution, Konsumen dan Hukum, (Jakarta: CV. Muliasari, 1995), h. 65.
47
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, (Jakarta: Diadit
Media, 2002), h. 22.
48
terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang telah ada
sebelumnya, sesuai asas lex specialis derogate legi generalis yang
artinya ketentuan-ketentuan di luar Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dalam
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan/atau tidak bertentangan
dengan Undang-Undang Perlindungan Konsumen.48
Kepastian hukum untuk melindungi hak-hak konsumen,
memberikan harapan agar pelaku usaha tidak lagi bertindak sewenang-
wenang yang selalu merugikan hak-hak konsumen. Dengan adanya
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, konsumen memiliki hak dan
posisi yang seimbang dan konsumen juga dapat menggugat jika
ternyata hak-haknya telah dilanggar oleh pelaku usaha.
Perbandingan Hukum Konsumen dan Hukum Perlindungan Konsumen
Hukum Konsumen Hukum Perlindungan Konsumen
1) Hukum konsumen adalah
keseluruhan asas-asas dan kaidah-
kaidah yang mengatur hubungan
dan masalah penyediaan dan
penggunaan produk (barang
dan/atau jasa) antara penyedia dan
penggunanya, dalam kehidupan
masyarakat.
2) Hukum konsumen mengatur
secara umum mengenai hubungan
dan masalah penyediaan barang
dan/atau jasa
3) Hukum konsumen wilayah
1) Hukum perlindungan konsumen
adalah keseluruhan asas-asas dan
kaidah-kaidah yang mengatur dan
melindungi konsumen dalam
hubungan dan masalah penyediaan
dan penggunaan produk (barang
dan/atau jasa) konsumen antara
penyedia dan penggunanya dalam
kehidupan bermasyarakat.
2) Hukum perlindungan konsumen
sebagai baian khusus dari hukum
konsumen dan lebih menitik beratkan
pada masalah hukum terhadap
konsumen.
3) Hukum perlindungan konsumen
48
Yusuf Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya, (Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2000), h. 26.
49
hukumnya lebih banyak
menyangkut pada transaksi-
transaksi konsumen (consumer
transaction) antara pelaku usaha
dan konsumen yang berobjekkan
barang dan/atau jasa. Perlindungan
hukumnya berwujud hak-hak dan
kewajiban pelaku usaha dan
konsumen.
4) Pengaturan mengenai kepentingan
konsumen terdapat di dalam
beberapa Undang-Undang yang
tidak menyatakan langsung adanya
perlindungan konsumen (terdapat
di dalam Undang-Undang lain di
luar Undang-Undang Perlindungan
Konsumen).
kajian mendalamnya terdapat pada
perlindungan hukum yang diberikan
kepada konsumen dalam melakukan
transaksi-transaksi tersebut.
Perlindungan hukunya merupakan
campur tangan negara untuk
melindungi individu konsumen dari
praktik-praktik bisnis yang tidak
jujur.
4) Diatur dalam Undang-Undang
Perlindungan Konsumen, yang
artinya secara khusus diatur dalam
Undang-Undang Perlindungan
Konsumen. Ketentuan di luar
Undang-Undang Perlindungan
Konsumen tetap berlaku sepanjang
tidak diatur secara khusus di dalam
Undang-Undang Perlindungan
Konsumen.
Sumber: Buku Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar, dan Yusuf
Sofie, Perlindungan Konsumen dan Instrumen-Instrumen Hukumnya.
b. Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen di Indonesia
Upaya perlindungan konsumen di tanah air didasarkan pada sejumlah
asas dan tujuan yang telah diyakini bisa memberikan arahan dalam
implementasinya di tingkatan praktis. Dengan adanya asas dan tujuan yang
jelas, hukum perlindungan konsumen mempunyai pijakan yang kuat.49
1) Asas Hukum perlindungan Konsumen di Indonesia
Asas hukum adalah prinsip yang dianggap dasar atau fundamen
hukum. Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi
49
Happy Susanto, Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan, (Jakarta: Transmedia Pustaka,
2008), h. 17.
50
lahirnya suatu peraturan hukum. Asas perlindungan konsumen di
Indonesia diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen yaitu “perlindungan konsumen
berdasarkan manfaat, keadilan, keseimbangan, dan keselamatan
konsumen, serta kepastian hukum”.
a) Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala
upaya dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen
dan pelaku usaha secara keseluruhan.
b) Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat
diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada
konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil.
c) Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan
antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil dan spiritual.
d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang
dan/jasa yang dikonsumsi dan digunakan.
e) Asas kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin
kepastian hukum.
Memperhatikan substansi Pasal 2 Undang-Undang Perlindungan
Konsumen dan penjelasannya, tampak bahwa perumusannya mengacu
kepada filosofi pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia
seutuhnya yang berlandaskan pada falsafah Negara Republik
Indonesia.50
50
Ahmad Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2010), h. 26.
51
2) Tujuan Perlindungan Konsumen di Indonesia
Selain kelima asas tersebut, Undang-Undang Perlindungan
Konsumen juga menyebutkan tujuan perlindungan konsumen. Tujuan
Perlindungan Konsumen menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu:
a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen
untuk melindungi diri.
b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau
jasa.
c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.
d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yangmengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi.
e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha.
f) Meningkatkan kualitas barang dan/jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut
merupakan isi pembangunan nasional sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 2, karena tujuan perlindungan konsumen yang ada itu merupakan
sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di
bidang hukum perlindungan konsumen.51
Hal tersebut juga tampak dari
peraturan
Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang mengatur
mengenai tujuan khusus perlindungan konsumen, sekaligus
51
Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar…, h. 71.
52
membedakan dengan tujuan umum sebagaimana dikemukakan
berkenaan dengan ketentuan Pasal 2.52
2. Teori Pengawasan
Pengawasan merupakan tindakan yang dilakukan oleh instansi atau
suatu badan dalam suatu pelaksanaan kegiatan untuk meminimalisir
adanya suatu penyimpangan. Pengawasan merupakan proses pengamatan
dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua
pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana yang
telah ditentukan sebelumnya.53
Tujuan dilakukannya pengawasan adalah untuk menjamin ketetapan
pelaksanaan sesuai dengan rencana mencegah pemborosan dan
penyelewengan, menjamin terwujudnya kepuasan masyarakat atas barang
dan jasa yang dihasilkan, dan membina kepercayaan masyarakat.54
Menurut Maringan, pengawasan terdiri dari beberapa jenis, yaitu:55
a) Pengawasan dari dalam perusahaan, yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh atasan untuk mengumpulkan data atau informasi yang diperlukan
oleh perusahaan untuk menilai kemajuan atau kemunduran perusahaan.
b) Pengawasan dari luar perusahaan, yaitu pengawasan yang dilakukan
oleh unit di luar perusahaan untuk kepentingan tertentu.
c) Pengawasan preventif, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum
rencana dilaksanakan dengan tujuan untuk mencegah terjadunya
kesalahan/kekeliruan dalam pelaksanaan kerja.
d) Pengawasan represif yaitu pengawasan yang dilakukan setelah adanya
pelaksanaan pekerjaan agar hasilnya sesuai yang direncanakan.
Berkaitan dengan proses pengawasan yang diatur dalam peraturan
pemerintah tersebut, kemudian di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun
1999 Tentang Perlindungan Konsumen juga diatur mengenai pembinaan dan
52
Ahmad Meru dan Sulaiman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen…, h. 35.
53
Makmur, Efektifitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan, (Bandung: Refika Aditama,
2011), h. 176.
54
Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, Aspek Hukum Pengawasan Melekat: Dalam
Lingkungan Aparatur Pemerintah, (Yogyakarta: Rineka Cipta, 1994), h. 26.
55
Maringan Masry Simbolon, Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004), h. 62.
53
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen dengan tujuan
untuk melindungi kepentingan konsumen dari segala akibat buruk yang
ditimbulkan peredaran suatu barang dan/atau jasa.
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan
Konsumen mengatur mengenai pembinaan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, sebagai berikut:
a) Pemerintah bertanggungjawab atas pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen yang menjamin diperolehnya hak konsumen
dan pelaku usaha serta dilaksanakannya kewajiban konsumen dan
pelaku usaha.
b) Pembinaan oleh pemerintah atas penyelenggaraan perlindungan
konsumen sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dilaksanakan oleh
Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
c) Menteri sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) melakukan koordinasi
atas penyelenggaraan perlindungan konsumen.
d) Pembinaan penyelenggaraan perlindungan konsumen sebagaimana
dimaksud pada Ayat (2) meliputi upaya untuk:
(1) Terciptanya iklim usaha dan tumbuhnya hubungan yang sehat
antara pelaku usaha dan konsumen;
(2) Berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat;
(3) Meningkatnya kualitas sumberdaya manusia serta meningkatnya
kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang perlindungan
konsumen.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan penyelenggaraan
perlindungan konsumen diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen juga mengatur mengenai pengawasan,
yaitu sebagai berikut:
(1) Pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan konsumen serta
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangannya
54
diselenggarakan oleh pemerintah, masyarakat, dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat.
(2) Pengawasan oleh pemerintah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dilaksanakan oleh Menteri dan/atau menteri teknis terkait.
(3) Pengawasan oleh masyarakat dan lembaga perlindungan konsumen
swadaya masyarakat dilakukan terhadap barang dan/atau jasa yang
beredar di pasar.
(4) Apabila hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (3)
ternyata menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan membahayakan konsumen, Menteri dan/atau menteri teknis
mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang
berlaku.
(5) Hasil pengawasan yang diselenggarakan masyarakat dan lembaga
perlindungan konsumen swadaya masyarakat dapat disebarluaskan
kepada masyarakat dan dapat disampaikan kepada Menteri dan menteri
teknis.
(6) Ketentuan pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana dimaksud pada
Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Pengawasan terhadap kosmetik mempunyai permasalahan yang luas dan
merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan
pelaku usaha. Untuk menekan resiko yang bisa terjadi dikarenakan
pengawasan obat dan makanan pada produk kosmetik memiliki permasalahan
yang berdimensi luas dan kompleks. Oleh karena itu, diperlukan sistem
pengawasan yang komprehensip dari sejak awal proses suatu produk sampai
produk tersebut beredar. Sistem Pengawasan Obat dan Makanan dilakukan
tiga lapis, yakni:56
a. Sub-sistem pengawasan Produsen
Sistem pengawasan internal oleh produsen melalui pelaksanaan cara-
cara produksi yang baik atau good manufacting practices agar setiap
56
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, diakses pada 05 Agustus 2018
dari: http://www.pom.go.id/new/view/direct/kksispom.
55
bentuk penyimpangan dari standar mutu dapat dideteksi sejak awal. Secara
hukum produsen bertanggungjawab atas mutu dan keamanan produk yang
dihasilkannya. Apabila terjadi penyimpangan dan pelanggaran terhadap
standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik
administratif maupun pidana.
b. Sub-sistem pengawasan Konsumen
Sistem pengawasan oleh masyarakat konsumen sendiri melalui
peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas
produk yang digunakan dan cara-cara penggunaan produk yang rasional.
Pengawasan ini sangat penting karena pada akhirnya masyarakatlah yang
mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk.
c. Sub-sistem pengawasan pemerintah/Badan Pengawas Obat dan Makanan
Sistem pengawasan oleh pemerintah melalui pengaturan dan
standardisasi, penilaian keamanan, khasiat dan mutu produk sebelum
diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel dan
pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada
publik yang di dukung penegakan hukum.
3. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Dalam skripsi yang ditulis oleh Ayu Ezra Tiara, mahasiswa Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Program Studi Ilmu Hukum
Fakultas Syariah dan Hukum dengan judul “Perlindungan Konsumen
dalam Peredaran Kosmetik Berbahaya Cream Syahrini”. Skripsi ini
membahas tentang faktor-faktor apa saja yang menyebabkan konsumen
membeli produk Cream Syahrini dan meninjau bagaimana efektifitas
Undang-Undang Perlindungan Konsumen dalam melakukan perlindungan
terhadap konsumen. Sedangkan perbedaan penelitian yang dilakukan oleh
peneliti yaitu menganalisis tentang peran Balai Pengawas Obat dan
Makanan Provinsi Banten dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan,
dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia dalam menanggulangi peredaran
produk kosmetik berbahaya dan tanpa sertifikasi halal yang digunakan
56
konsumen serta upaya merealisasikan perlindungan konsumen terhadap
produk kosmetik berbahaya di Kota Serang.
2. Skripsi yang disusun oleh Cahaya Setia Nuarida Triana, Prodi Ilmu
Hukum, Fakultas Hukum, Universitas Jenderal Soedirman pada tahun
2015. Berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Terhadap
Peredaran Kosmetik Yang Mengandung Bahan Berbahaya di Kabupaten
Banyumas”. Penelitian ini lebih menjelaskan perlindungan terhadap
produk kosmetik dalam negeri yang mengandung bahan berbahaya di
Kabupaten Banyumas. Sedangkan perbedaan penelitian yang dilakukan
oleh peneliti adalah menganalisis tentang peran Balai Pengawas Obat dan
Makanan Provinsi Banten dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan,
dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia dalam menanggulangi peredaran
produk kosmetik berbahaya dan tanpa sertifikasi halal yang digunakan
konsumen serta upaya merealisasikan perlindungan konsumen terhadap
produk kosmetik berbahaya di Kota Serang.
3. Buku yang ditulis oleh Celina Tri Siwi Kristianti “Hukum Perlindungan
Konsumen” pada tahun 2008. Buku ini menguraikan secara detail
mengenai hukum perlindungan konsumen meliputi latar belakang hukum
perlindungan konsumen, pengertian, hak, dan kewajiban konsumen serta
pelaku usaha, peraturan perundang-undangan hukum konsumen dan
hukum perlindungan konsumen, tinjauan pada berbagai aspek hukum
perlindungan konsumen, prinsip-prinsip hukum perlindungan konsumen,
lembaga/instansi dan perannya dalam perlindungan konsumen, isu-isu
hukum perlindungan konsumen, dan penyelesaian sengketa konsumen
4. Jurnal yang digunakan dalam studi review yakni Jurnal Ilmu Hukum yang
ditulis oleh Kurniawan, Budi Sutrisno, dan Dwi Martini, mahasiswa
jurusan hukum bisinis Universitas Mataram dengan judul: “Tanggung
Jawab Pelaku Usaha Terhadap Pemberian Label Halal Pada Produk
Makanan dan Minuman Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen”.
Jurnal ini menganalisis tentang tangung jawab dan sanksi bagi pelaku
usaha yang mencantumkan label halal yang tidak sah pada produk pangan.
57
Sedangkan perbedaan penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah
menganalisis tentang peran Balai Pengawas Obat dan Makanan Provinsi
Banten dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia dalam menanggulangi peredaran produk
kosmetik berbahaya dan tanpa sertifikasi halal yang digunakan konsumen
serta upaya merealisasikan perlindungan konsumen terhadap produk
kosmetik berbahaya di Kota Serang.
58
BAB III
GAMBARAN UMUM BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
(BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN) DAN MAJELIS ULAMA
INDONESIA (MUI)
A. Profil Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM)
Kemajuan teknologi telah membawa perubahan-perubahan yang cepat dan
signifikan pada industri farmasi, obat asli Indonesia, makanan, kosmetika dan
alat kesehatan. Dengan menggunakan teknologi modern, industri-industri
tersebut kini mampu memproduksi dalam skala yang besar. Dengan
dukungan kemajuan teknologi tersebut, maka produk-produk lokal ataupun
impor dalam jangka waktu yang singkat dapat menyebar secara luas dan
mampu menjangkau seluruh strata masyarakat.1
Konsumsi masyarakat cenderung terus meningkat. Sementara itu
pengetahuan masyarakat masih belum memadai untuk dapat memilih dan
menggunakan produk secara tepat, benar dan aman. Di sisi lain iklan dan
promosi secara gencar mendorong konsumen untuk mengkonsumsi secara
berlebihan dan seringkali tidak rasional. Kecenderungan peningkatan
konsumsi masyarakat ini pada realitasnya dapat meningkatkan resiko dengan
implikasi yang luas kepada konsumen terhadap kesehatan dan
keselamatannya. Terlebih jika terdapat produk yang rusak atau terkontaminasi
bahan berbahaya maka risiko yang terjadi akan berskala besar dan luas serta
berlangsung secara cepat.
Untuk itu Indonesia harus memiliki Sistem Pengawasan Obat dan
Makanan (SisPOM) yang efektif dan efisien yang mampu mendeteksi,
mencegah dan mengawasi produk-produk termaksud untuk melindungi
keamanan, keselamatan, dan kesehatan konsumennya baik didalam maupun
di luar negeri. Untuk itu telah dibentuk Badan Pengawas Obat dan Makanan
1 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Latar Belakang”, diakses pada 01 Juni 2018 dari:
https://www.pom.go.id/new/view/direct/background.
59
yang memiliki jaringan nasional dan internasional serta kewenangan
penegakan hukum dan memiliki kredibiltas profesional yang tinggi.2
Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM) merupakan lembaga
pemerintah non kementerian yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Dalam melaksanakan tugasnya Badan Pengawas Obat dan Makanan
dikoordinasikan oleh Menteri Kesehatan, serta kerja sama dengan berbagai
lintas sektor terutama Pemerintah Daerah (PEMDA) diperlukan untuk
memperluas cakupan pengawasan obat dan makanan, khususnya dalam
perumusan kebijakan yang berkaitan dengan instansi pemerintah lainnya serta
penyelesaian permasalahan yang timbul dalam pelaksanakan kebijakan yang
dimaksud.
1. Struktur Organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2017
mengatur susunan organisasi Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia yang terdapat pada BAB II, yaitu sebagai berikut:
a. Kepala
b. Sekretariat Utama
c. Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, Prekursor,
dan Zat Adiktif
d. Deputi Bidang Pengawasan Obat Tradisional, Suplemen Kesehatan,
dan Kosmetik
e. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan
f. Deputi Bidang Penindakan
g. Inspektorat Utama
2. Struktur Organisasi Balai Pengawas Obat dan Makanan Di Serang
Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang menurut Peraturan
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 12 Tahun 2018 Tentang
2Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Latar Belakang”, diakses pada 01 Juni 2018 dari:
https://www.pom.go.id/new/view/direct/background.
60
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Di Lingkungan Badan
Pengawas Obat dan Makanan merupakan Unit Pelaksana Teknis di
lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan yang bersifat mandiri,
melaksanakan tugas teknis operasional tertentu atau tugas teknis
penunjang tertentu di bidang pengawasan obat dan makanan.
Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang di Serang berlokasi di
Kota Serang dan mempunyai wilayah kerja di Kota Setang, Kabupaten
Lebak, Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kota Tangerang, Kota
Tangerang Selatan, dan Kabupaten Pandeglang. Susunan Organisasi
Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang terdiri dari:
a. Kepala
b. Bidang Pengujian
c. Bidang Pemeriksaan
d. Bidang Penindakan
e. Bidang informasi dan Komunikasi
f. Baguan Tata Usaha
g. Kelompok jabatan Fungsional
B. Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Badan Pengawas Obat
dan Makanan
Badan Pengawas Obat dan Makanan dibentuk berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen,3 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang Badan Pengawas Obat
dan Makanan, dengan kedudukan, tugas, fungsi dan wewenang Badan
Pengawas Obat dan Makanan sebagai berikut:
3 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Laporan Kinerja Badan Pengawas Obat dan
Makanan Tahun 2016”, diakses pada 03 Juni 2016 dari: http:// laporan%20kinerja%20Badan
Pengawas Obat dan Makanan%202016&source.
61
1. Kedudukan
Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah Lembaga Pemerintah Non
Kementerian yang dibentuk untuk melaksanakan tugas Pemerintah tertentu
dari Presiden. Badan Pengawas Obat dan Makanan berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden. Dalam melaksanakan tugasnya,
Badan Pengawas Obat dan Makanan dikoordinasikan oleh Menteri
Kesehatan dan dipimpin oleh Kepala.
2. Tugas
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan
mempunyai tugas utama yaitu:
a. Menyelenggarakan tugas pemerintahan di bidang pengawasan Obat
dan Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b. Obat dan Makanan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) terdiri atas
obat, bahan obat, narkotika, psikotropika, prekursor, zat adiktif, obat
tradisional, suplemen kesehatan, kosmetik, dan pangan olahan.
3. Fungsi
Berdasarkan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan
mempunyai fungsi:
a. Penyusunan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat da
Makanan;
b. Pelaksanaan kebijakan nasional di bidang pengawasan Obat dan
Makanan;
c. Penyusunan dan penetapan norma, standar, prosedur, dan kriteria di
bidang Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama Beredar;
d. Pelaksanaan Pengawasan Sebelum Beredar dan Pengawasan Selama
Beredar;
e. Koordinasi pelaksanaan pengawasan obat dan makanan dengan instansi
pemerintah pusat dan daerah;
62
f. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang pengawasan obat
dan makanan;
g. Pelaksanaan penindakan terhadap pelanggaran ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang pengawasan obat dan makanan;
h. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Badan
Pengawas Obat dan Makanan;
i. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung
jawab Badan Pengawas Obat dan Makanan;
j. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkup Badan Pengawas Obat
dan Makanan;
k. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan.
4. Wewenang
Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 Tentang
Badan Pengawas Obat dan Makanan, Badan Pengawas Obat dan Makanan
mempunyai kewenangan:
a. Menerbitkan izin edar produk dan sertifikat sesuai dengan standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat dan mutu, serta pengujian obat
dan makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. Melakukan intelijen dan penyidikan di bidang pengawasan Obat dan
Makanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
c. Pemberian sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Badan Pengawas Obat dan Makanan juga memiliki 23 Unit Kerja di
Pusat dan di 33 provinsi (Balai Besar/Balai POM) sebagai unit pelaksana
teknis di daerah.4 Salah satu struktur organisasi Badan Pengawas Obat dan
4 Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Laporan Kinerja Badan POM Tahun 2016”,
diakses pada 03 Juni 2016 dari: http:// laporan%20kinerja%20Badan POM%202016&source.
63
Makanan adalah Tugas dan fungsi Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan
Makanan sebagai unit pelaksana teknis di Daerah, yaitu:
a. Tugas: kebijakan di bidang pengawasan Obat dan Makanan, yang
meliputi pengawasan atas produk terapetik, narkotika, psikotropika,
zat adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, serta
pengawasan atas keamanan pangan dan bahan berbahaya.
b. Fungsi:
1) Penyusunan rencana dan program pengawasan Obat dan Makanan;
2) Pelaksanaan pemeriksaan secara laboratorium, pengujian dan
penilaian mutu produk terapetik, narkotika, psikotropika, zat
adiktif, obat tradisional, kosmetik, produk komplemen, pangan dan
bahan berbahaya;
3) Pelaksanaan pemeriksaan laboratorium, pengujian dan penilaian
mutu produk secara mikrobiologi;
4) Pelaksanaan pemeriksaan setempat, pengambilan contoh dan
pemeriksaan sarana produksi dan distribusi;
5) Pelaksanaan investigasi dan penyidikan pada kasus pelanggaran
hukum;
6) Pelaksanaan sertifikasi produk, sarana produksi dan distribusi
tertentu yang ditetapkan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan;
7) Pelaksanaan kegiatan layanan informasi konsumen;
8) Evaluasi dan penyusunan laporan pengujian Obat dan Makanan;
9) Pelaksanaan urusan tata usaha dan kerumahtanggaan.
10) Pelaksanaan tugas lain yang ditetapkan oleh Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan, sesuai dengan bidang tugasnya.
C. Pengawasan Badan Pengawas Obat dan Makanan
Pemerintah dalam hal ini adalah Badan Pengawas Obat dan Makanan
melakukan tindakan dalam rangka meningkatkan pengamanan kosmetik
dengan melakukan pengawasan. Badan Pengawas Obat dan Makanan
64
melakukan 2 (dua) tahap pengawasan yaitu pengawasan Pre-Market dan
Post-Market.
1. Pengawasan Pre-Market
Pengawasan Pre-Market adalah pengawasan sebelum beredar sebagai
tindakan pencegahan untuk menjamin produk yang beredar memenuhi
standar dan persyaratan keamanan, manfaat, dan mutu produk yang
ditetapkan. Dalam hal ini Badan atau Balai Pengawas Obat dan Makanan
melakukan standarisasi, pembinaan, dan audit cara pembuatan kosmetika
yang baik (CPKB), serta penilaian dan pengujian atas mutu keamanan
sebelum produk diedarkan.
Registrasi mempunyai arti penting dalam pengawasan kosmetik karena
dalam proses registrasi tersebut dilakukan evaluasi dan pengujian secara
seksama yang meliputi mutu bahan, formulasi, metode produksi, maupun
aspek keamanan penggunaan. Pelaku usaha yang ingin mendaftarkan izin
usahanya dapat melakukan pendaftaran dengan cara mengisi form surat
permohonan izin produksi di Badan atau Balai Pengawas Obat dan
Makanan dan juga membuat surat permohonan persetujuan layout yang
ditujukan ke Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Surat permohonan izin produksi yang telah disetujui akan ditindak
lanjuti oleh Kementrian Kesehatan (untuk industri kosmetik) atau Dinas
Kesehatan Provinsi (untuk usaha kecil kosmetik) dan kemudian
ditembuskan ke Badan dan Balai Pengawas Obat dan Makanan serta Dinas
Kesehatan Provinsi. Setelah Kementerian Kesehatan memberikan izin
produksi, Kementerian Kesehatan memberikan surat kepada Badan atau
Balai Pengawas Obat dan Makanan untuk melakukan inspeksi ke Sarana
Produksi untuk melihat kesesuaian layout yang diberikan dengan kondisi
real di lapangan serta memperhatikan apakah sarana produksi sudah
memenuhi syarat dalam melakukan kegiatan produksi. Jika syarat-syarat
belum lengkap, maka akan dilakukan inspeksi ulang oleh Balai Pengawas
Obat dan Makanan sampai sarana produksi memenuhi syarat.
65
Jika dalam inspeksi tersebut syarat-syarat yang ditetapkan sudah
terpenuhi, maka akan dilanjutkan dengan pemberian surat rekomendasi
dan hasil pemeriksaan yang ditujukan ke Badan Pengawas Obat dan
Makanan dan diserahkan ke Direktorat Jenderal Binaan Farmasi dan Alat
Kesehatan. Kemudian setelah mendapat persetujuan keduanya, maka
pelaku usaha mendapatkan izin produksi. Setelah mendapatkan izin
produksi, pelaku usaha dapat mengajukan surat izin edar dengan
memberikan sampel produk ke Badan Pengawas Obat dan Makanan pusat
untuk dilakukan uji laboratorium guna memperoleh izin edar.
2. Pengawasan Post-Market
Pengawasan Post-Market merupakan pengawasan produk selama
beredar untuk memastikan produk yang beredar memenuhi standar dan
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk yang ditetapkan
serta tindakan penegakan hukum. Dalam pengawasan Post-Market Balai
Pengawas Obat dan Makanan melakukan pengawasan langsung di
lapangan, yang diantaranya melakukan pemeriksaan produksi dan
distribusi, pemeriksaan sampling, pemeriksaan iklan, dan public warning.
4. Profil Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Majelis Uama Indonesia (MUI) merupakan wadah ulama Indonesia untuk
berhimpun dan bekerja sama dalam rangka mengemban tugas sebagai ahli
waris para nabi (waratsah al-anbiya’). Wadah tersebut pada mulanya
dibentuk pada tiap daerah (provinsi) dan akhirnya dibentuk di tingkat pusat di
jakarta pada 17 Rajab1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975
Masehi.5 Terbentuknya MUI merupakan hasil Musyawarah Nasional I Majelis
Ulama Indonesia yang berlangsung sejak tanggal 21-27 Juli 1975 di Balai
Sidang Jakarta.
Berdirinya MUI dilatarbelakangi oleh respon atas kebangkitan kembali
bangsa Indonesia setelah 30 tahun merdeka, keprihatinan terhadap
5 Sopa, Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika), (Jakarta: GP Press, 2013), h. 34.
66
sektarianisme yang mendominasi perpolitikan umat Islam pada tahun 1970-
an, sehingga mulai mengabaikan masalah kesejahteraan umat.6 Selain itu,
kemajuan sains dan teknologi yang dapat menerobos sekat-sekat etika dan
moral, dan budaya global yang didominasi alam pikir Barat, pendewaan atas
kebendaan dan hawa nafsu dapat melunturkan aspek rohani umat, menjadi
dasar para ulama untuk mengfungsikan kembali agama sebagai penggerak
umat Islam.7 Tujuan didirikannya MUI sebagaimana disebutkan dalam Pasal
5 Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia adalah untuk menggerakan
kepemimpinan dan kelembagaan Islam yang dinamis dan efektif sehingga
mampu mengarahkan dan mendorong umat Islam untuk melaksanakan akidah
Islamiyah, ibadah, mu’amalah duniawiyah sesuai dengan tuntuna Islam dan
ahlak al-karimah untuk mewujudkan masyarakat yang aman, damai, adil, dan
makmur rohaniah dan jasmaniah yang di ridhai Allah Swt.
Berdasarkan Pasal 7 Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia, susunan
organisasi Majelis Ulama Indonesia meliputi:
1. MUI Pusat berkedudukan di Ibukota Negara RI.
2. MUI Provinsi berkedudukan di Ibukota Provinsi.
3. MUI Kabupaten/Kota berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota.
4. MUI Kecamatan berkedudukan di Ibukota Kecamatan.
Susunan kepengurusan Majelis Ulama Indonesia Pusat dan Daerah
menurut Pasal 9 Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia adalah:
1. Dewan Pertimbangan (terdiri dari ketua, wakil ketua, sekretaris, dan
wakil sekretaris).
2. Dewan Pimpinan Harian (terdiri dari ketua umum, wakil ketua umum,
ketua-ketua, sekretaris jenderal, wakil sekretaris jenderal, bendahara
umum, dan bendahara).
3. Anggota Pleno, Komisi dan Lembaga.
6 Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Majelis Ulama Indonesia”, diakses pada 10 Juli 2018
dari: https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia.
7 Sejarah RI, “Sejarah Berdirinya MUI dan Perkembangannya”, diakses pada 10 Juli 2018
dari: sejarahri. Com/sejarah-berdirinya-mui-dan-perkembangannya/.
67
5. Kedudukan, Tugas, Fungsi, dan Kewenangan Majelis Ulama Indonesia
Majelis Ulama Indonesia menurut Pasal 1 Peraturan Presiden Nomor 151
tahun 2014 Tentang Bantuan Pendanaan Kegiatan Majelis Ulama Indonesia
adalah wadah musyawarah para ulama, pemimpin, dan cendikiawan muslim
dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami serta
meningkatkan partisipasi umat Islam dalam pembangunan nasional.
Kedudukan MUI dalam ketatanegaraan Indonesia sebenarnya adalah berada
dalam elemen infrastruktur ketatanegaraan, sebab MUI adalah organisasi alim
ulama umat Islam yang mempunyai tugas dan fungsi untuk pemberdayaan
masyarakat, artinya MUI merupakan organisasi yang ada di dalam
masyarakat dan bukan merupakan institusi milik negara.
Pada Pasal 6 diatur mengenai tugas Majelis Ulama Indonesia. Pada
dasarnya Majelis Ulama Indonesia mempunyai 4 (empat) tugas pokok, yaitu:
1. Memberi fatwa dan nasehat baik kepada pemerintah dan kaum muslimin
(fatwa-fatwa keagamaan; fatwa-fatwa yang berkaitan dengan ekonomi
Islam; dan fatwa-fatwa yang berkaitan dengan produk pangan, obat-batan
serta kosmetika).
2. Menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam sehingga terbentuk
kepemimpinan yang efektif dan mempresentasikan kepemimpinan umat
Islam di negara Indoensia yang majemuk.
3. Sebagai penengah antara pemerintah dengan umat (tidak boleh berpihak
pada pemerintah dan mengabaikan aspirasi umat Islam).
4. Mewakili (representasi) kaum muslimin dalam pemusyawaratan antar
golongan agama.
Fungsi Majelis Ulama Indonesia seperti yang disebutkan pada Pasal 4
Pedoman Dasar Majelis Ulama Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Sebagai wadah musyawarah para ulama, zuama dan cendekiawan muslim
dalam mengayomi umat dan mengembangkan kehidupan yang Islami.
2. Sebagai wadah silaturahmi para ulama, zuama dan cendekiawan muslim
untuk mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam dan menggalang
ukhuwah Islamiyah.
68
3. Sebagai wadah yang mewakili umat Islam dalam hubungan dan konsultasi
antar umat beragama.
4. Sebagai pemberi fatwa kepada umat Islam dan pemerintah, baik diminta
maupun tidak diminta.
Majelis Ulama Indonesia adalah lembaga yang berwenang mengeluarkan
fatwa, Hal ini dikarenakan MUI telah mengeluarkan banyak fatwa sejak
pendiriannya hingga sekarang, baik yang berkaitan dengan ritual keagamaan,
pernikahan, kebudayaan, politik, ilmu pengetahuan, maupun transaksi
ekonomi. Fatwa MUI ini bukanlah hukum negara yang mempunyai
kedaulatan yang bisa dipaksakan bagi seluruh rakyat, tidak mempunyai sanksi
dan tidak harus ditaati oleh seluruh warga negara. Fatwa MUI hanya
mengikat dan ditaati oleh komunitas umat Islam yang merasa mempunyai
ikatan terhadap MUI itu sendiri.
6. Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Pusat dan Daerah
Karena srtruktur MUI terdapat dari pusat sampai daerah, maka diperlukan
pembagian wilayah kerja dalam kegiatan sertifikasi tersebut. Hal ini
dilakukan agar kewenangan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
Pembagian wilayah kerja dilakukan berdasarkan kewenangan masing-masing.
Dalam Pedoman dan Prosedur Penetapan Fatwa MUI Bab VI Tentang
Kewenangan dan Wilayah Fatwa Pasal 17 dijelaskan bahwa MUI Pusat
berwenang menetapkan fatwa mengenai masalah-masalah keagamaan yang
dialami umat Islam yang bersifat nasional. Sedangkan, MUI Daerah
berwenang menetapkan fatwa masalah-masalah keagamaan yang bersifat
lokal atau kedaerahan.
Berdasarkan kewenangan tersebut, dalam hal sertifikasi halal, maka MUI
Pusat berwenang untuk memproses sertifikasi halal dari perusahaan-
perusahaan yang berskala nasional dan multinasional. Kegiatan auditnya
dilakukan oleh LPPOM MUI Pusat. Sedangkan produsen yang berskala lokal
cukup mengajukan sertifikat halalnya kepada MUI Daerah yang sudah
69
mempunyai tenaga ahli sebagai pendukungnya dari LPPOM MUI daerah
tersebut.
Pembentukan LPPOM MUI sendiri didasarkan atas mandat dari
Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam
meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1988. LPPOM MUI
didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan
sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi LPPOM MUI menjalankan fungsi
sertifikasi halal, maka pada tahun 1996 ditandatangani Nota Kesepakatan
Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan
MUI.8 Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan
Keputusan Menteri Agama (KMA) Nomor 518 Tahun 2001 dan Keputusan
Menteri Agama Nomor 519 Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai
lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan
fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal.
Salah satu Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika
Majelis Ulama Indonesia di daerah terletak di Provinsi Banten. LPPOM MUI
Provinsi Banten ini dibentuk pada tahun 2006 yang ditetapkan berdasarkan
Surat Keputusan Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi
Banten Nomor 47/MUI-BTN/XII/2006, dengan tujuan untuk mengakomodir
kebutuhan makanan dan minuman obat dan kosmetik yang halal dari segi
syariat Islam.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia Provinsi Banten teridiri dari beberapa bidang, diantaranya:
a) Bidang Pelatihan, Sosialisasi, dan Informatika
Bidang Pelatihan, Sosialisasi, dan Informatika mempunyai tugas yaitu:
1) Melakukan sosialisasi kepada masyarakat diantaranya dengan dinas
atau stakeholders berkaitan dengan kehalalan produk mulai dari
8 Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Banten, “Sejarah LPPOM MUI”, diakses pada 10 Juli 2018 dari: http://lppom-
muibanten.org/?page=Statis&id=1
70
pengenalan bahan baku, pengenalan titik kritis bahan sampai pada
pengenalan prosedur sertifikasi halal, serta yang tidak kalah penting
adalah melakukan kerjasama pada berbagai pihak melalui suatu
program atau kegiatan tertentu.
2) Menyiapkan kurikulum program pelatihan baik sasarannya untuk
internal pengurus dan auditor LPPOM MUI Provinsi Banten sendiri,
maupun pelatihan dengan sasaran pada industri atau pihak luar.
b) Bidang Audit dan Sistem Jaminan Halal
Bidang Audit dan Sistem Jaminan Halal mempunyai tugas untuk melihat
dan menemukan fakta kegiatan produksi halal di perusahaan, melakukan
pemeriksaan proses produksi, fasilitas, dan bahsn-bahan yang digunakan
dalam produksi tersebut.
c) Bidang Pengkajian dan Penelitian
Bidang Pengkajian dan Penelitian mempunyai tugas yaitu:
a) Mendukung proses sertifikasi halal dengan melakukan pemeriksaan dan
pengkajian secara laboratorium untuk produk yang ditetapkan
memerlukan pemeriksaan laboratorium.
b) Melakukan pengkajian atas bahan baku (alternatif maupun baru) dan
produk akhir (jika diperlukan) yang akan digunakan oleh perusahaan
selama dalam masa sertifikat halal berlaku.
c) Melakukan pengkajian dan penelitian dengan mencari metode baru
dalam menunjang kegiatan sertifikasi halal LPPOM MUI.
d) Membuat perencanaan dan realisasi pendirian Laboratorium Halal
LPPOM MUI Propinsi Banten.
e) Mengevaluasi dan membuat laporan hasil kerja dan program kerja yang
dilaporkan dalam rapat pengurus pelaksana setahun dua kali
d) Bidang Administrasi Sertifikasi Halal
Administrasi Sertifikasi Halal meliputi kegiatan pelayanan kebersihan dan
keindahan, pelayanan tamu, pelayanan telepon, pelayanan kepegawaian,
pelayanan keuangan, pelayanan umum, pelayanan surat menyurat dan
ekspedisi.
71
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengawasan Balai Pengawas Obat dan Makanan (Balai POM) Terhadap
Produk Kosmetik Di Kota Serang
Skema Sistem Pengawasan 3 (tiga) Lapis:
Sistem Pengawasan Obat dan
Makanan
Pengawasan Produsen Pengawasan Konsumen Pengawasan
Pemerintah (Badan
Pengawaas Obat dan
Makanan)
1. Pre
Market
Pelaksanaan cara-cara
produksi yang baik 2. Post
Market
1. Pendaftaran
2. penilaian
3. Pengujian
sebelum beredar
1. Pemeriksaan
produksi distribusi
2. Pemeriksaan
sampling
3. Pemeriksaan iklan,
dan public
warning.
72
Untuk lebih jelasnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan bekerja
sama untuk meningkatkan keamanan pada produk kosmetik dengan cara:
1. Pendaftaran, penilaian, dan penguji terhadap produk kosmetik sebelum
beredar ke masyarakat.
Registrasi mempunyai arti penting dalam pengawasan kosmetik
karena dalam proses registrasi tersebut dilakukan evaluasi dan
pengujian secara seksama yang meliputi mutu bahan, formulasi, metode
produksi, maupun aspek keamanan penggunaan. Proses registrasi antara
produk lokal dan impor sama yang penting sudah mempunyai izin
produksi, hanya saja untuk produk impor, pendaftarannya di Badan
Pengawas Obat dan Makanan pusat dan harus mempunyai angka
pengenal importir.1
2. Pembinaan dan pemeriksaan terhadap cara produksi dan distribusi serta
pengujian mutu
3. Penetapan spesifikasi dan pembakuan mutu, Departemen Kesehatan
telah menerbitkan Buku Kodeks Kosmetik Indonesia yang berisi uraian
dan persyaratan bahan kosmetik. Kodeks Kosmetik merupakan
pedoman yang harus digunakan dalam pemilihan bahan produksi
kosmetik di Indonesia.
4. Monitoring efek samping kosmetik.
5. Penyuluhan dan penyebaran informasi kepada masyarakat.2
Berikut adalah skema sosialisasi yang dilakukan oleh Badan Pengawas
Obat dan makanan dalam rangka menanggulangi peredaran dan
penggunaan produk kosmetik berbahaya, khususnya sosialisi yang
dilakukan oleh Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang:
1 Wawancara Pribadi dengan Ibu Yuke, Bagian Pelayanan Publik Badan Pengawas Obat
dan Makanan Republik Indonesia, tanggal 13 Agustus 2018.
2 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsudin, Kepala Bidang Audit dan Sistem Jaminan
Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Banten, tanggal 07 Agustus 2018.
73
Skema Penyuluhan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan
Badan Pengawas Obat dan Makanan khususnya Balai Pengawas Obat
dan Makanan di Serang telah melakukan sosialisasi melalui media sosial,
terjun langsung ke masyarakat melalui Komunikasi, Informasi, dan
Edukasi (KIE) bersama anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dengan memberikan informasi baik terkait pangan, obat,
maupun kosmetik, melalui talk show di radio, melalui media cetak dan
siaran pers pada website Badan Pengawas Obat dan Makanan berupa
public warning, dan pemeriksaan di lapangan melalui produsen atau
penjual dengan melakukan edukasi terlebih dahulu dan menjelaskan
bahwa produk kosmetik ilegal dan berbahaya apabila dijual secara bebas
dapat merugikan konsumen. Langkah yang lebih sering dilakukan oleh
Badan Pengawas Obat dan Makanan adalah Public Warning dengan cara
menginformasikan produk-produk yang harus diwaspadai oleh konsumen
melalui media cetak, siaran pers pada website Badan Pengawas Obat dan
Makanan, dan melalui brosur-brosur.
Sosialisasi Badan POM
Sosialisasi
Melalui Talk
Show Radio
Sosialisasi Badan POM
Sosialisasi
Kepada
Masyarakat
Sosialisasi Melalui
Public Warning
Sosialisasi
Kepada
Pelaku Usaha
1. Siaran Pers
Badan POM
2. Media Cetak
3. Brosur
74
Selanjutnya, apabila ketika pemeriksaan di lapangan ditemukan produk
yang sudah pasti ilegal, maka Balai Pengawas Obat dan Makanan akan
langsung melakukan penyitaan, dalam hal ini dilakukan serah terima
barang dari penjual ke Balai Pengawas Obat dan Makanan agar penyitaan
tidak bersifat ilegal. Setelah melakukan penyitaan, Balai Pengawas Obat
dan Makanan mengadakan pemusnahan barang-barang sitaan setiap
setahun sekali dan mengambil beberapa sample untuk diperlihatkan pada
pameran. Mengenai jadwal pengawasan yang dimiliki Balai Pengawas
Obat dan Makanan bersifat rahasia sehingga dalam pemeriksaan dan
pengawasan dilakukan secara mendadak. Namun dalam melakukan
pengawasan dan pemeriksaan di lapangan, Balai Pengawas Obat dan
Makanan memberikan jangka waktu minimal 1 (satu) tahun sekali.
B. Sertifikasi Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan
Kosmetika Provinsi Banten Terhadap Produk Kosmetik
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis
Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Provinsi Banten ini hanya mengkaji dan
mengeluarkan sertifikasi halal untuk usaha-usaha kecil dan menengah,
sedangkan untuk perusahaan-perusahaan besar pendaftarannya dilakukan di
LPPOM MUI yang ada di pusat.3 Selain pengawasan terhadap produk dengan
ilegal dan berbahaya, pengawasan terhadap produk tanpa sertifikasi halal
juga diperlukan untuk meyakinkan konsumen muslim di Indonesia. Dalam
hal ini Balai POM bekerjasama dengan LPPOM MUI, yakni LPPOM MUI
bertugas untuk mengkaji, memeriksa, dan memutusukan apakah produk yang
diproduksi, baik dari bahan maupun cara pengolahannya tersebut halal atau
tidak, kemudian mengeluarkan sertifikat halal dapat digunakan sebagai bukti
untuk pencantuman label halal di Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Pemberian atau penolakan sertifikat halal sepenuhnya berada di MUI.
Berdasarkan fatwa MUI ini, Badan POM akan memberi persetujuan
3 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsudin, Kepala Bidang Audit dan Sistem Jaminan
Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Banten, tanggal 07 Agustus 2018.
75
pencantuman label halal bagi yang memperoleh sertifikat halal, atau memberi
penolakan bagi yang tidak mengantongi sertifikat halal. Hal ini, memberikan
kepastian bagi konsumen dalam menggunakan suatu produk.
Gambar 4.1.
Logo Halal Standar LPPOM MUI
NOMOR SERTIFIKAT HALAL
Sumber: halalmui.org
Namun, settifikasi halal pada produk, khususnya produk kosmetik masih
bersifat sukarela. Artinya, produk kosmetik tidak wajib mendapatkan
sertifikasi halal. Sertifikasi halal saat ini hanya dilakukan oleh produsen yang
sadar akan kepentingan dan kepercayaan konsumennya.4 Di LPPOM MUI
Provinsi Banten sendiri, yang mendaftar sertifikasi halal hanya dari usaha-
usaha kecil dan menengah, maka pendaftaran untuk sertifikasi produk
kosmetik, khususnya di wilayah Kota Serang tidak banyak produsen-
produsen yang mendaftarkan produknya ditambah lagi sifat sertifikasi halal
yang masi sukarela. Oleh karena itu, pengawasan terhadap produk kosmetik
halal jarang atau bahkan sama sekali tidak dilakukan. LPPOM MUI, atau
dalam hal ini LPPOM MUI Provinsi Banten tidak mempunyai kewajiban
untuk turut melakukan pengawasan terhadap ptoduk halal dikarenakan sifat
sertifikasi halal tersebut masih bersifat sukarela.
Padahal dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang
Jaminan Produk halal menjelaskan bahwa produk yang masuk, beredar, dan
diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Meskipun
Undang-Undang Jaminan Produk Halal ini sudah disahkan empat tahun yang
lalu, namun dikarenakan belum ada Peraturan Pemerintah yang terbit sebagai
4 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsudin, Kepala Bidang Audit dan Sistem Jaminan
Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Banten, tanggal 07 Agustus 2018.
76
peraturan pelaksana Undang-Undang, sehingga belum berfungsinya Badan
Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).5 Dan pada Pasal 67 Undang-
Undang tersebut juga dijelaskan bahwa kewajiban bersertifikasi halal pada
Pasal 4 sebelumnya mulai berlaku 5 (lima) tahun setelah Undang-Undang ini
dikeluarkan.
Proses yang ditempuh untuk mendaftar sertifikasi halal di LPPOM
MUI Provinsi Banten, hanya dibutuhkan waktu satu minggu dan paling
lama satu bulan. Sertifikasi tersebut akan berlaku selama dua tahun. Dan
apabila masa berlaku habis, maka dilakukan pendaftaran ulang.
5 Wawancara Pribadi dengan Bapak Samsudin, Kepala Bidang Audit dan Sistem Jaminan
Halal Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia
Provinsi Banten, tanggal 07 Agustus 2018.
Gambar 4.2
Skema Alur Sertifikasi Halal
Sumber: lppom-muibanten.org
77
C. Analisis Pelanggaran dan Sanksi yang Dijatuhkan Kepada Pelaku
Usaha Kosmetik
Data Jumlah Produk Kosmetik yang Tidak Memenuhi Standar dari Tahun 2013-
2017
1. Data Produk Kosmetik yang Mengandung Bahan Berbahaya
Tahun 2013 2014 2015 2016 2017
Jumlah
Jenis
Kosmetik
17 item 68 item 30 item 43 item 26 item
Total 184 Jenis Produk Kosmetik Sumber: Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang, 2017
Pada data di atas, terdapat total 184 jenis produk kosmetik
berbahaya dengan merek yang berbeda telah ditarik oleh Badan POM dari
peredaran. Peneliti tidak mendapatkan data mengenai berapa jumlah
keseluruhan dari 184 item tersebut. Kriteria kosmetik berbahaya adalah
kosmetik yang mengandung bahan-bahan yang dilarang dan menggunakan
zat atau bahan yang melebihi ambang batas sesuai dengan oleh ketentuan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia
Nomor HK.00.05.42.1018 Tentang Bahan Kosmetik. Bahan-bahan
tersebut antara lain mengandung merkuri (air raksa), pewarna merah K3
dan K10, asam retinoat, Diethylene Glyco, dan penggunaan hidrokinon
yang melebihi batas. Dapat dilihat bahwa temuan produk kosmetik
berbahaya terbanyak selama 5 (lima) tahun terakhir adalah di tahun 2014.
Dan semakin mengalami penurunan sampai tahun 2017. Produk-produk
tersebut didominasi oleh krim pemutih kulit dan pewarna bibir (lipstick).
f. Data Produk Kosmetik Ilegal (Tanpa Izin Edar) dan Pembatalan izin Edar
Tahun 2013 2014 2015 2016 2017
Jumlah
Jenis
Kosmetik
43 109 41 - 2
Jumlah
Pcs/satuan
222 320 301 - -
Sumber: Balai Pengawas Obat dan Makanan di Serang, 2017
78
Data tersebut menunjukan produk kosmetik tanpa izin edar dan produk
yang nomor notifikasinya dibatalkan karena mendapatkan sanksi
administrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Kriteria produk ilegal
adalah produk yang tidak melakukan pendaftaran notifikasi ke Badan
Pengawas Obat dan Makanan dan produk tersebut didominasi oleh produk
impor. Pada tahun 2016 dan 2017, peneliti tidak dapat menemukan data
yang rinci terkait produk kosmetik tanpa izin edar.
Untuk di Kota Serang, Balai Pengawas Obat dan Makanan tidak
mempunyai data akurat tentang keseluruhan sarana distribusi kosmetika,
sarana distribusi kosmetika di sini adalah toko-toko kosmetik. Tidak
lengkapnya data tersebut dikarenakan toko-toko kosmetik selalu meningkat
setiap tahunnya. Dan untuk pelanggarannya sendiri, tidak banyak data yang
ditemukan mengenai pelanggaran produk kosmetik. Hal ini karenakan
produsen kosmetik di wilayah Kota Serang juga tidak banyak, dan yang
paling sering ditemukan pelanggaran adalah di wilayah Tangerang.6
Berdasarkan wawancara peneliti dengan pihak Balai POM di Serang,
pelaku usaha yang terbukti melakukan pelanggaran pada produk kosmetik
akan dilakukan tindakan administrasi dan tidak bisa diperlihatkan secara
umum. Akan tetapi, terdapat beberapa produk yang berhasil disita oleh Balai
Pengawas Obat dan Makanan dan kemudian di tempatkan di sebuah etalase
di Balai Pengawas Obat dan Makanan Serang.
Produk-produk tersebut merupakan produk yang ditarik oleh Badan
Pengawas Obat dan Makanan dikarenakan produk-produk tersebut sebagian
besar merupakan produk-produk ilegal dan berbahaya yang apabila
digunakan oleh konsumen akan berakibat buruk bagi konsumen bahkan akan
membahayakan kesehatan konsumen.
6Wawancara Pribadi dengan Ibu Retno Ayuningtyas, S.Farm, Apt., Bagian Sertifikasi
Produk dan Sarana Produksi dan/atau Distribusi Obat dan Makanan Balai Pengawas Obat dan
Makanan Di Serang, tanggal 10 September 2018.
79
Gambar 4.3.
Kosmetik Ilegal dalam Etalase Balai POM di Serang
Sumber: Dokumentasi Peneliti di Balai POM Serang, 2018
Selain melakukan penelitian terhadap data yang diperoleh dari Balai
POM Serang, Peneliti juga melakukan observasi di lapangan untuk
memastikan implementasi dari pengawasan produk kosmetik. Peneliti
mendatangi toko-toko kosmetik yang ada di Pasar Rau, Serang, Banten.
Peneliti mendatangi 5 (lima) toko kosmetik yang ada di Pasar Rau,
kemudian melakukan kuesioner dan tanya jawab. Faktanya, ternyata masih
banyak pelaku usaha yang menjual produk yang illegal dan tidak memenuhi
standar tersebut, Padahal Badan Pengawas Obat dan Makanan selaku
lembaga pemerintah melakukan pengawasan peredaran kosmetik di
masyarakat, telah melakukan upaya untuk menemukan adanya kecurangan
yang dilakukan oleh pelaku usaha yang berkaitan dengan produk kosmetik,
khususnya di wilayah Kota Serang.
Ada beberapa produk kosmetik yang dijual sama dengan produk
kosmetik yang ada di etalase Balai Pengawas Obat dan Makanan. Beberapa
produk ini adalah produk kosmetik K Brothers Soap (gambar 4.4. dan
gambar 4.5) dan Citra Day & Night Cream Super (gambar 4.6. dan gambar
4.7.).
80
Gambar 4.4.
Produk Kosmetik K Brother
Soap
Sumber: Dokumentasi Peneliti di
Pasar Rau, 2018
Gambar 4.5.
Produk Kosmetik K Brother
Soap bagian belakang
Sumber: Dokumentasi Peneliti di Pasar
Rau, 2018
Gambar 4.6.
Citra Day & Night Cream
Super
Sumber: Dokumentasi Peneliti
di Pasar Rau, 2018
Gambar 4.7.
Citra Day & Night Cream Super
Bagian Belakang
Sumber: Dokumentasi Peneliti di Pasar Rau,
2018
Produk-produk tersebut merupakan produk ilegal. Pada produk K Brothers
Soap (gambar 1 dan gambar 2), tidak adanya nomor notifikasi, kadaluarsa,
dan tidak adanya terjemahan dalam Bahasa Indonesia, walaupun terdapat
logo halal, tetapi logo tersebut bukan logo sertifiksi dari Majelis Ulama
Indonesia. Sedangkan pada produk Citra Day & Night Cream Super (gambar
81
3 dan gambar 4), produk tersebut sudah masuk dalam daftar Public Warning
Badan Pengawas Obat dan Makanan pada tahun 2011. Keberadaan distribusi
kosmetik di Provinsi Banten, khususnya di Kota Serang memang dalam
pengawasan Balai Pengawas Obat dan Makanan Serang. Meskipun
keberadaannya dalam pengawasan, tidak semua penjual produk kosmetik
menjual produk dengan izin Balai Pengawas Obat dan Makanan.
Produk kosmetik tersebut masih bisa lolos dari pengawasan Balai
Pengawas Obat dan Makanan meski sudah dinyatakan ilegal. Menurut data
yang didapatkan peneliti dari kuesioner, pelaku usaha sudah memahami
tentang adanya produk kosmetik yang tidak memenuhi standar dan
menyadari bahwa suatu produk kosmetik harus mempunyai sertifikasi halal
demi kepentingan konsumen. Mereka juga mengetahui dan menerima
sosialisasi dari Balai Pengawas Obat dan Makanan. Menurut salah satu
pemilik toko kosmetik di Pasar Rau, produk-produk ilegal sudah tidak dijual
lagi di toko-toko kosmetik yang ada di Pasar Rau karena dilarang oleh Balai
Pengawas Obat dan Makanan Serang.7 Tetapi, tetap saja produk ilegal dan
berbahaya masih bisa ditemukan dan dijual dibeberapa toko dengan alasan
produk tersebut masih laku terjual. Berikut ini temuan pelanggaran pada
produk kosmetik tanpa izin edar dan berbahaya jika dilihat dari peraturan
perundang-undangan:
Jenis-jenis Pelanggaran Pada Produk Kosmetik dan Sanksi yang Dikenakan
Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
Jenis Pelanggaran Pada Produk
Kosmetik
Sanksi yang dikenakan
Berdasarkan Peraturan Perundang-
Undangan
Produk kosmetik mengadung
bahan berbahaya
Melanggar ketentuan Pasal 7 huruf
dan Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen,
Pasal 2 Ayat (1) Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.23.12.10.11983
7Wawancara Pribadi dengan Pemilik Toko Kosmetik “Chelsea” Pasar Rau Serang, 12
September 2018.
82
Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Tata
Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika,
dapat dikenakan sanksi administratif
yang dapat dijatuhkan yang berupa
penetapan ganti rugi sampai setinggi-
tingginya Rp. 200.000.000 (dua ratus
juta rupiah), pencabutan izin usaha,
dilarang memperdagangkan
produknya, wajib menarik barang dari
peredaran, pembatalan notifikasi dan
sanksi dapat dikenakan sanksi pidana
penjara.
Produk kosmetik ilegal atau tanpa
izin edar
Melanggar ketentuan Pasal 7 huruf a
Undang-undang Perlindungan
Konsumen dan Pasal 106 Undang-
Undang Nomor 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan. Dapat dikenakan
sanksi administrasi berupa peringatan
tertulis, larangan mengedarkan
kosmetika untuk sementara,
penarikan, pemusnahan kosmetik,
penghentian sementara kegiatan
produksi dan/atau impor kosmetika,
pembatalan notifikasi.
Produk kosmetik tanpa informasi
yang benar, jelas, jujur pada label
(tidak ada keterangan Bahasa
Indonesia, keterangan tentang
halal, kegunaan, komposisi, cara
pemakaian, dan efek samping)
Melanggar ketentuan Pasal Pasal 7
huruf b, Pasal 8 Ayat (1) huruf i, j,
dan h Undang-Undang Perlindungan
Konsumen, Pasal 106 huruf b
Undang-Undang Kesehatan, Pasal 5
Ayat (1) dan (2), dan Pasal 8 Ayat (1)
dan (2). Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor
19 Tahun 2015 Tentang Persyaratan
teknis Kosmetika. Dapat dikenakan
sanksi administrasi dan pidana
penjara.
D. Upaya Hukum yang Dapat Dilakukan Oleh Konsumen
Konsumen memiliki hak yang harus dihormati dan dilindungi dari pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran. Selain itu, konsumen juga mempunyai
kewajiban yang harus ditaati agar seimbangnya dengan hak yang diperoleh.
Mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha terkait dengan
83
produk kosmetik, konsumen yang merasa dirugikan dapat melakukan upaya
hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 45 Ayat (2) Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, yaitu melalui jalur
di luar pengadilan atau melalui jalur pengadilan.
1) Penyelesaian Sengketa di Luar Jalur Pengadilan (Non Litigasi)
Penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan dapat diselenggarakan
oleh pihak-pihak yang bersangkutan (konsumen, pelaku usaha, dan pihak
lain yang bersangkutan). Penyelesaian di luar pengadilan terkait dengan
pelanggaran pada produk kosmetik dapat diselenggarakan apabila terdapat
konsumen yang mengalami kerugian setelah menggunakan suatu produk
kosmetik. Konsumen dapat menyampaikan keluhannya terlebih dahulu
kepada pelaku usaha yang bertanggungjawab dan pihak-pihak yang
berkaitan dengan masalah ini harus mempunyai persetujuan bahwa mereka
memilih penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan.
Penyelesaian sengketa di luar jalur pengadilan ini dapat di lakukan
melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan dilakukan
dengan 3 (tiga) cara persidangan yaitu, persidangan dengan cara konsiliasi,
persidangan dengan cara mediasi, dan persidangan dengan cara arbitrase.
a. Persidangan dengan cara konsiliasi
Persidangan dengan cara konsiliasi ditempuh atas inisiatif para pihak,
sedangkan majelis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bersifat
pasif. Majeslis Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen bertugas
sebagai perantara antara pihak yang bersengketa.
b. Persidangan dengan cara mediasi
Penyelesaian dengan cara mediasi tidak jauh berbeda dengan cara
konsiliasi dimana cara ini ditempuh atas inisiatif para pihak.
Perbedaannya adalah majelis BPSK bersifat aktif sebagai perantara
dan penasehat.
c. Persidangan dengan cara arbitrase
Cara penyelesaian sengketa dengan cara arbitrase berbeda dengan cara
penyelesaian sengketa sebelumnya (konsiliasi dan mediasi). Majelis
84
yang akan menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara arbitrase,
ketua Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen tidak berwenang
untuk menentukan siapa yang akan menjadi ketua majelis dan anggota
majelis. Adapun yang berwenang adalah para pihak yang bersengketa.
2) Penyelesaian Sengketa di Pengadilan (Litigasi)
Penyelesaian melalui jalur pengadilan hanya dapat dilakukan apabila
penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak memperoleh hasil yang
maksimal atau tidak berhasil, maka konsumen yang merasa dirugikan
dapat melakukan gugatan kepada pelaku usaha sesuai dengan ketentuan
peradilan umum (Pasal 45 Ayat (4)). Penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan dapat menggunakan hukum acara baik perdata maupun pidana.
Dalam hukum perdata, konsumen dapat meminta ganti kerugian kepada
pelaku usaha apabila pelaku usaha melanggar hukum dan membawa
kerugian, seperti yang dijelaskan oleh Pasal 1365 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan mempunyai
beberapa kekurangan, yaitu:
a. Penyelesaian sengketa membutuhkan waktu lama/sangat lambat.
b. Biaya perkara yang mahal.
c. Pengadilan pada umumnya tidak responsif.
85
BAB V
PENUTUP
B. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan temuan-temuan di lapangan, maka dapat
ditarik kesimpulan dari permasalahan yang telah dikemukakan dalam skripsi
ini, yaitu sebagai berikut:
1. Pengawasan yang dilakukan Balai Pengawas Obat dan Makanan di
Serang adalah pengawasan pre market (sebelum beredar) dan post
market (sesudah atau selama beredar). Pengawasan yang dilakukan sudah
sesuai standar operasional, akan tetapi pengawasan Balai Pengawas Obat
dan Makanan terhadap peredaran produk kosmetik yang tidak memenuhi
syarat belum berjalan secara optimal. Hal ini dibuktikan dengan masih
adanya produk kosmetik yang tidak memenuhi syarat dijual di pasaran.
Faktor yang menyebabkan tidak optimalnya pengawasan adalah
dikarenakan jadwal pelaksanaan pengawasan, rendahnya kesadaran
pelaku usaha serta rendahnya kepedulian dan partisipasi masyarakat
dalam melawan peredaran kosmetik yang tidak memenuhi syarat. Data
mengenai sarana distribusi di Kota Serang sendiri masih belum akurat
mengingat jumlah sarana distribusi selalu mengalami peningkatan setiap
tahunnya, sehingga tidak dapat dipastikan berapa banyak sarana
distribusi yang ada di Kota Serang untuk saat ini. Untuk pengawasan
produk halal pada kosmetik sendiri belum dapat direalisasikan
dikarenakan sertifikasi halal sendiri masih bersifat volunteer (sukarela),
dikarenakan belum ada Peraturan Pemerintah yang terbit sebagai
peraturan pelaksana Undang-Undang, sehingga belum adanya
pengawasan tentang halal pada produk kosmetik.
2. Ketika dilakukan observasi di lapangan pada toko-toko kosmetik yang
ada di Kota Serang, para penjual sebagian besar telah mengetahui dan
menyadari mengenai adanya produk berbahaya dan pentingnya kehalalan
produk yang digunakan. Walaupun begitu, masih saja ditemukan produk
86
yang dilarang pada toko mereka. Sehingga dapat dikatakan mereka
belum peduli tentang kepentingan konsumen.
3. Setiap pelaku usaha yang mengedarkan atau memperdagangkan produk
kosmetik yang tidak memenuhi persyaratan wajib
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sedangkan terhadap pelaku
usaha yang terbukti melakukan pelanggaran dapat dibebankan tanggung
jawab atas pelanggaran yang ia lakukan, berupa ganti kerugian. Namun
tidak menutup kemungkinan pelaku bisa dijerat dengan tuntutan pidana.
Selain itu, pelaku usaha juga dapat diberikan sanksi berupa larangan
mengedarkan produk kosmetik, penarikan barang, sampai dengan
pembatalan notifikasi. Sedangkan sanksi untuk pelaku usaha yang tidak
mempunyai sertifikasi halal pada produk kosmetik yang diedarkan, saat
ini belum adanya sanksi yang jelas dikarenakan sifat sertifikasi halal
belum bersifat wajib.
4. Konsumen juga dapat melakukan upaya hukum apabila haknya
dirugikan. upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen dapat
ditempuh melalui jalur non litigasi dan jalur litigasi.
C. Rekomendasi
Adapun rekomendasi dari peneliti sebagai berikut:
1. Instansi yang berwenang yaitu Badan Pengawas Obat dan Makanan
hendaknya melakukan pengawasan yang lebih rutin mengenai sosialisasi,
pembinaan, dan penindakan terhadap produk kosmetik yang tidak
memenuhi syarat. Perlu diadakannya pembinaan yang lebih optimal
berupa pemberian edukasi atau penyuluhan terhadap konsumen dan
pelaku usaha serta melakukan pendataan sarana distribusi setiap
tahunnya.
2. Pelaku usaha dalam menjalankan usahanya harus menunjukkan iktikad
baik dan memberikan informasi yang jelas atas barang dan/atau jasa yang
diedarkan serta memperhatikan hak-hak konsumen dan kewajibannya
sebagai pelaku usaha seperti yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
87
3. Diharapkan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran diberikan
sanksi yang tegas sehingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku
usaha yang lainnya.
4. Diperlukan adanya partisipasi masyarakat dalam melakukan pengawasan
dan hendaknya kosumen sadar akan bahaya yang ditimbulkan akibat
produk kosmetik yang tidak memenuhi syarat dan lebih hati-hati dalam
membeli dan menggunakan produk kosmetik.
88
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Suci
Al-Qur’anul Karim
Bahan Buku
Barkatulah, Abdul Halim. Hukum Perlindungan Konsumen (Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran). Bandung: Nusa Media, 2008.
Fuady, Munir. Pengantar Hukum Bisnis-Menata Bisnis Modern di Era Global.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2008.
Hadjon, Philipus M. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia. Surabaya: PT.
Bina Ilmu. 1987.
Kristiyanti, Celina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar
Grafika, 2011.
Makmur, Efektifitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan. Bandung: Refika
Aditama, 2011.
Mertohadikusumo, Sudikno. Penemuan Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti,
2009.
Miru, Ahmad dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2010.
Muhammad, Abdul Kadir. Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2004.
Muliyawan, Dewidan Neti Suriana, A-Z Tentang Kosmetik. Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo, 2013.
Nasution, Az, Hukum Perlindungan Konsum Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit
Media, 2002.
Nasution, Az. Hukum Perlindungan Konsumen: Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit
Media, 2002.
Nasution, Az. Konsumen dan Hukum (Tinjauan Sosial, Ekonomi, dan Hukum
Pada Perlindungan Konsumen Indonesia). Jakarta: CV. Muliasari, 1995.
89
Pujoalwanto, Basuki. Perekonomian Indonesia Tinjauan Historis, Teoritis dan
Empiris. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2014.
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Rasjidi, Lili dan I. B. Wyasa Putra. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1993.
Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: Grasindo, 2004.
Shidarta. Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Gramedia Widia Sarana
Indonesia, 2000.
Simbolon, Maringan Masry. Dasar-Dasar Administrasi dan Manajemen. Jakarta:
Ghalia Indonesia, 2004.
Sinamo, Nomensen. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Bumi Intitama Sejahtera,
2009.
Situmorang, Victor M. dan Jusuf Juhir. Aspek Hukum Pengawasan Melekat:
Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah. Yogyakarta: Rineka Cipta,
1994.
Soekanto, Soerjono. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003.
Sofie, Yusuf. Perlindungan Konsumen dan Instrumen-instrumen Hukumnya.
Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
Sopa. Sertifikasi Halal Majelis Ulama Indonesia (Studi Atas Fatwa Halal MUI
Terhadap Produk Makanan, Obat-obatan dan Kosmetika). Jakarta: GP
Press, 2013.
Susanto, Happy. Hak-hak Konsumen Jika Dirugikan. Jakarta: Transmedia
Pustaka, 2008.
Tranggono, Retno Iswari dan Fatma Latifah, Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan
Kosmetik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Wasitaatmadja, Sjarif M. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Depok: UI Press, 1997.
Widjaja, Gunawan, dan Ahmad Yani. Hukum Tentang Perlindungan Konsumen.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
90
Bahan Jurnal
Adisasmito, dan Wiku. “Analisis Kebijakan Nasional MUI dan Badan Pengawas
Obat dan Makanan Dalam Labeling Obat dan Makanan”. Jurnal Kebijakan
Nasional MUI dan Badan Pengawas Obat dan Makanan Fakultas
Kesehatan Masyarakat Univertitas Indonesia. (2010).
Hidayat, Asep Syarifuddin dan Mustolih Siradj. “Sertifikasi Halal dan Sertifikasi
Non Halal Pada Produk Pangan Industri”, Jurnal Vol. XV, No. 2, (Juli,
2015),
Undang-Undang dan Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1963 Tentang Farmasi.
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/MenKes/Per/VIII/2010 Tentang izin
Produksi Kosmetika.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1176/MenKes/PER/VIII/2010 Tentang Notifikasi Kosmetika.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 220/Men.Kes/Per/IX/76
Tentang Produksi dan Peredaran Kosmetika dan Alat Kesehatan.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2015 Tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor
HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Tata Cara
Pengajuan Notifikasi Kosmetika.
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 19 Tahun 2015
Tentang Persyaratan Teknis Kosmetika.
91
Website
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, “BPOM RI Gagalkan
Peredaran 5 Miliar Rupiah Kosmetik Ilegal”, http://www.pom.go.id.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia,
http://www.pom.go.id/new/view/direct/kksispom.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Laporan Kinerja Badan Pengawas Obat
dan Makanan Tahun 2016”, http:// laporan%20kinerja%20Badan
Pengawas Obat dan Makanan%202016&source.
Badan Pengawas Obat dan Makanan, “Siaran Pers”,
https://www.pom.go.id/new/view/more/pers/391/SIARAN-PERS--AKSI-
PEDULI-KOSMETIKA-AMAN--DAN-OBAT-TRADISIONAL-BEBAS-
BAHAN-KIMIA-OBAT.html.
Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama
Indonesia Provinsi Banten, “Sejarah LPPOM MUI”, http://lppom-
muibanten.org/?page=Statis&id=1.
Sejarah RI, “Sejarah Berdirinya MUI dan Perkembangannya”, sejarahri.
com/sejarah-berdirinya-mui-dan-perkembangannya/.
Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Majelis Ulama Indonesia”,
https://id.wikipedia.org/wiki/Majelis_Ulama_Indonesia.
92
1
Lampiran 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika
JENIS SEDIAAN KOSMETIKA
No Tipe Produk Kategori Sub Kategori
1 Krim, emulsi, cair, cairan kental, gel, minyak untuk kulit (wajah, tangan, kaki, dan lain-lain)
Creams, emulsions, lotions, gels and oils for skin (hands, face, feet, etc.)
Sediaan Bayi Baby oil
Baby lotion
Baby cream
Sediaan Kebersihan Badan
Perawatan kaki
Sediaan Perawatan Kulit Penyegar kulit
Nutritive cream
Krim malam (Night cream)
Cold cream
Krim siang (Day cream)
Pelembab (Moisturizer)
Krim untuk pijat (Massage cream)
Minyak untuk pijat (Massage oil)
Gel untuk pijat (Massage gel)
Anti jerawat
Perawatan kulit, badan, tangan
Sediaan perawatan kulit lainnya
Pelembab untuk mata (Eye moisturizer)
Krim untuk mata (Eye cream)
2 Masker wajah (kecuali produk peeling/pengelupasan kulit secara kimiawi)
Face masks (with the exception of chemical peeling products)
Sediaan Perawatan Kulit Masker
Peeling
Masker mata
3 Alas bedak (cairan kental, pasta, serbuk)
Sediaan Rias Wajah Dasar Make up (Make up Base)
Vanishing cream
2
No Tipe Produk Kategori Sub Kategori
Tinted bases (liquids, pastes, powders) Alas bedak (Foundation)
Sediaan Rias Mata Alas bedak untuk mata (Eye foundation)
4 Bedak untuk rias wajah, bedak badan, bedak antiseptik dan lain lain
Make-up powders, after-bath powder, hygienic powders, etc.
Sediaan Kebersihan Badan
Bedak Badan
Bedak badan antiseptik
Sediaan bayi Bedak bayi
Sediaan Rias Wajah Bedak wajah (Face powder)
Bedak cair (Liquid powder)
Sediaan Perawatan Kulit Bedak dingin
5 Sabun mandi, sabun mandi antiseptik, dan lain-lain
Toilet soaps, deodorant soaps, etc
Sediaan bayi Sabun mandi bayi, padat
Sediaan mandi Sabun mandi, padat
Sabun mandi antiseptik, padat
6 Sediaan wangi-wangian
Perfumes, toilet waters and eau de Cologne
Sediaan bayi Baby cologne
Sediaan wangi-wangian Eau de toilette
Eau de parfum
Eau de cologne
Pewangi badan
Parfum
Sediaan wangi-wangian lainnya
7 Sediaan mandi (garam mandi, busa mandi, minyak, gel dan lain-lain)
Bath or shower preparations (salts, foams, oils. gels, etc.)
Sediaan mandi Sabun mandi cair
Sabun mandi antiseptik (cair)
Busa mandi
Minyak mandi (Bath oil)
Garam mandi (Bath salt)
Serbuk untuk mandi (Bath powder)
Sediaan untuk mandi lainnya
Sediaan Bayi Sabun mandi bayi, cair
Sediaan Perawatan Kulit Lulur
3
No Tipe Produk Kategori Sub Kategori
Mangir
8 Sediaan Depilatori
Depilatories
Sediaan rambut Depilatori
9 Deodoran dan anti-perspiran
Deodorants and anti-perspirants
Sediaan Kebersihan Badan
Deodoran
Sediaan Kebersihan Badan
Antiperspiran
Deodoran-Antiperspiran
10 Sediaan rambut
Hair care products
Sediaan Pewarna Rambut
Pewarna rambut
Pemudar warna rambut (Hair lightener)
Aktivator
Tata rias rambut fantasi
Sediaan Rambut
Pengeriting rambut (Permanent wave)
Neutralizer
Pelurus rambut (Hair straightener)
Hair styling
Sampo
Sampo ketombe
Pembersih rambut dan tubuh (Hair and body wash)
Pomade (Hair dressing)
Kondisioner (Hair conditioner)
Hair creambath
Tonik rambut (Hair tonic)
Sediaan Bayi Sampo bayi
11 Sediaan cukur (krim, busa, cair, cairan kental, dan lain-lain)
Shaving product (creams, foams, lotions, etc.)
Sediaan cukur Sediaan pra cukur
Sediaan cukur
Sediaan pasca cukur
12 Sediaan rias mata, rias wajah, sediaan Sediaan Rias mata Pensil alis
4
No Tipe Produk Kategori Sub Kategori
pembersih rias wajah dan mata Bayangan mata
Eye liner
Products for making-up and removing make-up from the face and the eyes
Mascara
Sediaan rias mata lainnya
Pembersih rias mata (Eye make-up remover)
Sediaan Rias wajah Bedak padat (Compact powder)
Pemerah pipi (Blush on)
Tata rias “panggung”
Tata rias “pengantin”
Make-up kit
Sediaan rias wajah lainnya
Sediaan perawatan kulit Pembersih kulit muka
Penyegar kulit muka
Astringent
13 Sediaan perawatan dan rias bibir
Products intended for application to the lips
Sediaan Rias Wajah Lip color
Lip liner
Lip gloss
Lip shine
Lip care
14 Sediaan perawatan gigi dan mulut
Products for care of the teeth and the mouth
Sediaan Hygiene Mulut Pasta gigi (Dentrifices)
Mouth washes
Penyegar mulut (Mouth freshener)
Sediaan hygiene mulut lainnya
15 Sediaan untuk perawatan dan rias kuku
Products for nail care and make-up
Sediaan Kuku Base coat
Top coat
Nail dryer
Nail extender/Nail elongator
Nail strengthener
5
No Tipe Produk Kategori Sub Kategori
Nail hardener
Pewarna kuku (Nail color)
Pembersih pewarna kuku (Nail polish remover)
Cuticle remover/softener
Sediaan kuku lainnya
16 Sediaan untuk organ kewanitaan bagian luar
Products for external intimate hygiene
Sediaan Kebersihan Badan
Feminine hygiene
17 Sediaan mandi surya dan tabir surya
Sunbathing products
Sediaan tabir surya Sediaan tabir surya
Sediaan mandi surya Sediaan mandi surya
18 Sediaan untuk menggelapkan kulit tanpa berjemur
Products for tanning without sun.
Sediaan menggelapkan kulit
Sediaan untuk menggelapkan kulit tanpa berjemur
19 Sediaan pencerah kulit
Skin whitening products
Sediaan Perawatan Kulit Krim pencerah kulit sekitar mata [Eye cream (whitening)]
Pencerah kulit (Skin lightener)
20 Sediaan anti-wrinkle
Anti-wrinkle products
Sediaan Perawatan Kulit Wrinkle smoothing remover
Anti aging cream
Krim antiwrinkle kulit sekitar mata [Eye cream (antiwrinkle)]
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
KUSTANTINAH
1
Lampiran 2 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika
CONTOH TEMPLATE PENDAFTARAN PEMOHON NOTIFIKASI
1. Status Pemohon Notifikasi: (pilih salah satu) Ada 3 (tiga) pilihan:
Industri Kosmetika Importir Kosmetika Usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi
Catatan: Tampilan yang akan muncul sesuai dengan status yang dipilih Industri Kosmetika:
Nama Perusahaan : ......................................... Alamat : ......................................... Kota/Kabupaten : ......................................... Kode Pos : ......................................... Provinsi : ......................................... Telepon : ......................................... Fax : ......................................... Alamat Email : ......................................... NPWP : ......................................... File NPWP (pdf) : (upload file pdf) No. Izin Produksi Kosmetika : ......................................... Masa Berlaku Izin Produksi Kosmetika: (diisi dengan tgl,bln,thn) File Izin Produksi Kosmetika (pdf): (upload file pdf)
Importir Kosmetika: Nama Perusahaan : ......................................... Alamat : ......................................... Kota/Kabupaten : ......................................... Kode Pos : ......................................... Provinsi : ......................................... Telepon : ......................................... Fax : ......................................... Alamat Email : ......................................... NPWP : ......................................... File NPWP (pdf) : (upload file pdf) Angka Pengenal Impor : ......................................... File Angka Pengenal Impor (pdf): (upload file pdf) File Surat Penunjukan Keagenan (pdf): (upload file pdf) Merek yang diageni : ......................................... Masa berlaku Surat Penunjukan Keagenan (Tgl/Bl/Th): ..
Data Pabrik: Nama : ......................................... Alamat : ......................................... Kota/Kabupaten : ......................................... Kode Pos : ......................................... Provinsi : ......................................... Negara : .........................................
2
File Sertifikat CPKB atau surat keterangan penerapan CPKB* (pdf): (upload file pdf)
Usaha perorangan/badan usaha yang melakukan kontrak produksi Nama Perusahaan : ......................................... Alamat : ......................................... Kota/Kabupaten : ......................................... Kode Pos : ......................................... Provinsi : ......................................... Telepon : ......................................... Fax : ......................................... Alamat Email : ......................................... NPWP : ......................................... File NPWP (pdf) : (upload file pdf) Nomor SIUP : ......................................... File SIUP (pdf) : (upload file pdf) Surat Perjanjian Kerjasama yang dilegalisir Notaris (pdf): (upload file
pdf) Data Pabrik: Nama : ......................................... Alamat : ......................................... Kota/Kabupaten : ......................................... Kode Pos : ......................................... Provinsi : ......................................... Negara : ......................................... Telepon : ......................................... File Sertifikat CPKB atau surat keterangan penerapan CPKB* (pdf):
(upload file pdf)
2. Data Pimpinan Perusahaan: Nama : ......................................... Alamat : ......................................... Kota/Kabupaten : ......................................... Kode Pos : ......................................... Provinsi : ......................................... Telepon : .........................................
3. Data Penanggung jawab teknis: Nama : ......................................... Alamat : ......................................... Kota/Kabupaten : ......................................... Kode Pos : ......................................... Provinsi : ......................................... Telepon : .........................................
Bila semua informasi sudah diisi, klik:
Saya setuju (daftarkan sekarang)
Keterangan: * 1) sertifikat CPKB atau surat pernyataan penerapan CPKB sesuai dengan bentuk
sediaan yang akan dinotifikasi untuk pabrik yang berlokasi di negara ASEAN.
3
2) sertifikat atau surat keterangan yang menyatakan pabrik kosmetika di negara asal telah menerapkan CPKB sesuai dengan bentuk sediaan yang akan dinotifikasi dari pejabat pemerintah yang berwenang atau lembaga yang diakui di negara asal dan dilegalisir oleh Kedutaan Besar/Konsulat Jendral Republik Indonesia setempat untuk pabrik yang berlokasi di luar negara ASEAN.
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
KUSTANTINAH
1
Lampiran 3 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika
PERUBAHAN DATA PEMOHON NOTIFIKASI
Jenis Perubahan Tindakan Data Pendukung
A. Data Industri Kosmetika:
1. Nama perusahaan:
a. Status kepemilikan berubah
Mengajukan pendaftaran kembali sebagai pemohon notifikasi
-
b. Tanpa mengubah status kepemilikan
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat persetujuan perubahan izin produksi dari Menteri Kesehatan
2. Alamat perusahaan:
a. Lokasi pabrik berubah
Mengajukan pendaftaran kembali sebagai pemohon notifikasi
-
b. Tanpa mengubah lokasi pabrik
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat persetujuan perubahan izin produksi dari Menteri Kesehatan
3. Nomor telepon/fax Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat pemberitahuan perubahan nomor telepon/fax
4. Alamat email Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat pemberitahuan perubahan alamat email
5. NPWP Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• NPWP baru
6. Izin Produksi Kosmetika (perubahan golongan dan/atau penambahan bentuk dan jenis sediaan)
Mengajukan pendaftaran kembali sebagai pemohon notifikasi
-
7. Nama dan/atau alamat Pimpinan Perusahaan
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat persetujuan perubahan izin produksi dari Menteri Kesehatan
8. Nama dan/atau alamat Penanggung jawab teknis
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat persetujuan perubahan izin produksi dari Menteri Kesehatan
B. Importir kosmetika
1. Nama Perusahaan
a. Status kepemilikan berubah
Mengajukan pendaftaran kembali sebagai pemohon notifikasi
-
2
Jenis Perubahan Tindakan Data Pendukung
b. Tanpa perubahan hak untuk mengimpor dan mengedarkan atau status kepemilikan
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Akte Notaris perubahan nama perusahaan
2. Alamat Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat keterangan domisili dari pejabat yang berwenang di alamat yang baru
3. Telepon/fax Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat pemberitahuan perubahan nomor telepon/fax
4. Alamat email Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat pemberitahuan perubahan alamat email
5. NPWP Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• NPWP baru
6. Angka Pengenal Impor Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Angka Pengenal Impor Baru
7. Surat Penunjukan Keagenan Mengajukan pendaftaran kembali sebagai pemohon notifikasi
-
8. Surat Penunjukan Keagenan (Perpanjangan Masa Berlaku)
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat keterangan dari produsen/pemilik produk di negara asal yang dilegalisir notaris
9. Nama dan/atau alamat Pimpinan Perusahaan
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat pemberitahuan
10. Nama dan/atau alamat Penanggung jawab teknis
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat pemberitahuan
C. Badan Usaha Pemberi Kontrak
1. Nama Perusahaan
a. Status kepemilikan berubah
Mengajukan pendaftaran kembali sebagai pemohon notifikasi
-
b. Tanpa merubah status kepemilikan
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Akte Notaris perubahan nama perusahaan
2. Alamat Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat keterangan domisili dari pejabat yang berwenang di alamat yang baru
3. Telepon/fax Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat pemberitahuan perubahan nomor telepon/fax
4. Alamat email Mengajukan perubahan • Surat pemberitahuan
3
Jenis Perubahan Tindakan Data Pendukung
data pemohon notifikasi perubahan alamat email
5. NPWP Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• NPWP baru
6. SIUP Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• SIUP baru
7. Nama dan/atau alamat Pimpinan Perusahaan
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat pemberitahuan
8. Nama dan/atau alamat Penanggung jawab teknis
Mengajukan perubahan data pemohon notifikasi
• Surat pemberitahuan
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd. KUSTANTINAH
1
Lampiran 4 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 Tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika
CONTOH TEMPLATE NOTIFIKASI
1. Pilihan (pilih salah satu):
Template Baru Template Tersimpan (saved)
2. Informasi Produk Merek : .................... Nama Produk : .................... Warna Sediaan : .................... Versi : ....................
3. Status Produk (pilih salah satu) Dalam Negeri Impor Lisensi Kontrak
4. Daftar Kemasan Produk Kemasan : .................... Bentuk; Tambahkan pilihan:
Cair Cairan kental Krim Gel Pasta Setengah padat Padat Serbuk Aerosol Suspensi
Netto/isi bersih (ditulis dalam angka Arab) : .................... Satuan (mL/L/mg/g/Kg) : ....................
5. Kategori produk (pilih salah satu) 6. Kegunaan Produk (diisi lengkap sesuai dengan yang tercantum dalam penandaan)
: .................... 7. Tampilan produk (pilih salah satu)
Produk tunggal Varian produk dengan komposisi dasar
yang sama namun berbeda warna, rasa, dsb
Pallette dalam satu tipe produk Produk kombinasi dalam satu single kit Lainnya silahkan sebutkan
(bila memilih lainnya, maka akan muncul kotak isian)
8. Produsen (pilih sesuai dengan data produk dan pilihan yang ditampilkan) 9. Pengemas (pilih sesuai dengan data produk dan pilihan yang ditampilkan)
2
10. Pemohon Notifikasi otomatis tergenerate dari login dan sesuai status yang dipilih, yaitu:
Status dalam negeri: Nama Perusahaan Alamat Kota/Kabupaten Kode Pos Provinsi Telepon Fax Alamat Email NPWP No. Izin Produksi Kosmetika Masa berlaku Izin Produksi Kosmetika Nama Pimpinan Perusahaan Nama Penanggung jawab teknis
Status Impor Nama Perusahaan Alamat Kota/Kabupaten Kode Pos Provinsi Telepon Fax Alamat Email NPWP Angka Pengenal Importir Negara Asal Nama Pimpinan Perusahaan Nama Penanggung jawab teknis
Harus diisikan: Apakah produk telah diperdagangkan : .................... secara resmi di luar negeri
Sebutkan nama negara tempat kosmetika : .................... File Certificate of Free Sale dari negara asal (untuk kosmetika dari negara non ASEAN) : (upload file pdf)
Sebutkan nama negara tempat kosmetika : .................... diedarkan
Status Lisensi
Nama Perusahaan Alamat Kota/Kabupaten Kode Pos Provinsi Telepon Fax Alamat Email NPWP Nama Pimpinan Perusahaan Nama Penanggung jawab teknis
3
Harus diisikan: Nama produsen/perusahaan pemberi : .................... lisensi
Alamat produsen/perusahaan pemberi : .................... Lisensi
Surat lisensi : (upload file pdf) Status Kontrak
Nama Perusahaan Alamat Kota/Kabupaten Kode Pos Provinsi Telepon Fax Alamat Email NPWP Nomor SIUP Nama Pimpinan Perusahaan Nama Penanggung jawab teknis
11. Daftar Bahan Kosmetik Pilih berdasarkan database Isikan
Fungsi : .................... Kadar : .................... Group (untuk pallete dan produk kombinasi dalam satu single kit) :....................
4
Pernyataan
12. Klik tab “saya setuju” 13. Pilihan :
Simpan (save) Kirim (submit)
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd. KUSTANTINAH
Bertindak untuk dan atas nama perusahaan tersebut diatas, dengan ini ......Saya (nama dan jabatan)...menyatakan bahwa:
1. kosmetika yang dinotifikasi telah memenuhi semua persyaratan dalam peraturan perundang‐undangan di bidang kosmetika;
2. saya menjamin tersedianya Dokumen Informasi Produk untuk diperiksa atau diaudit setiap saat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan, dan menyimpan semua catatan peredaran kosmetika untuk memudahkan penelusuran kembali;
3. saya akan memberitahukan semua reaksi atau efek kosmetika yang tidak diinginkan yang berakibat fatal atau mengancam keselamatan jiwa secepat mungkin kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan melalui telepon, faksimili, e‐mail, atau secara tertulis, paling lama dalam waktu 7 (tujuh) hari kalender sejak reaksi atau efek diketahui;
4. saya akan melengkapi informasi sebagaimana dimaksud dalam butir 3 dengan data berupa Formulir Pelaporan Efek Samping Kosmetika dalam waktu 8 (delapan) hari kalender sejak tanggal pemberitahuan,dan menyediakan semua informasi lain yang dipersyaratkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan;
5. saya akan melaporkan kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan semua reaksi atau efek yang tidak diinginkan yang serius lainnya namun tidak fatal atau mengancam jiwa, paling lama dalam waktu 15 (lima belas) hari kalender setelah reaksi diketahui dengan menggunakan Formulir Pelaporan Efek Samping Kosmetika;
6. saya akan menarik kosmetika yang tidak memenuhi persyaratan dari pasaran dan tidak melanjutkan peredaran kosmetika yang bersangkutan, atas inisiatif sendiri atau berdasarkan perintah dari Badan Pengawas Obat dan Makanan;
7. saya bertanggungjawab atas data dan informasi yang diberikan dalam notifikasi ini sudah benar dan sesuai dengan kriteria dan persyaratan berdasarkan ketentuan peraturan perundang‐undangan di bidang kosmetika;
8. saya tidak akan memindahkan tanggung jawab hukum atas kosmetika yang dinotifikasi kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan, jika kosmetika tersebut tidak memenuhi kriteria dan persyaratan yang sudah saya nyatakan sebelumnya kepada Badan Pengawas Obat dan Makanan.
- 11 -
LAMPIRAN
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2015
TENTANG PERSYARATAN TEKNIS KOSMETIKA
PEDOMAN KLAIM KOSMETIKA
I. PENDAHULUAN
Sebagai komitmen Indonesia dalam kesepakatan Harmonisasi ASEAN
dibidang Kosmetika, Indonesia menerapkan mekanisme notifikasi untuk
Kosmetika sejak 1 Januari 2011 (sebagai pengganti mekanisme registrasi
yang telah diterapkan sebelumnya).
Konsekuensi dari mekanisme notifikasi, Badan Pengawas Obat dan
Makanan tidak melakukan evaluasi premarket secara komprehensif
sebagaimana dilakukan saat mekanisme registrasi. Oleh karenanya
pihak industri/pelaku usaha kosmetika diminta untuk memiliki
kemampuan melakukan penilaian mandiri terhadap kebenaran klaim
kosmetika yang akan diedarkan (setelah mendapatkan nomor notifikasi).
Sebelum dilakukan penilaian terhadap objektivitas dan kebenaran Klaim,
industri/pelaku usaha dibidang kosmetika harus dapat terlebih dahulu
menentukan bahwa produk dimaksud memang masuk dalam kategori
kosmetika. Terdapat 5 (lima) langkah untuk mengidentifikasi suatu
produk dapat dipertimbangkan sebagai Kosmetika.
Pedoman klaim kosmetika disusun sebagai acuan khususnya bagi
industri/pelaku usaha dibidang kosmetika untuk menentukan klaim
kosmetika sesuai dengan kandungan bahan/ingridient dalam produk
kosmetika. Pedoman ini juga memuat beberapa contoh Klaim yang tidak
diperbolehkan sesuai dengan jenis kosmetika yang dibuat.
- 12 -
II. TUJUAN
A. Melindungi masyarakat terhadap Klaim Kosmetika yang tidak objektif,
tidak benar, dan menyesatkan.
B. Memberikan panduan bagi industri/pelaku usaha dibidang kosmetika
dalam menetapkan Klaim Kosmetika.
III. KLAIM KOSMETIKA
Klaim kosmetika harus memenuhi unsur objektivitas, kebenaran serta
tidak menyesatkan. Hal tersebut menjadi penting karena menjadi
landasan bagi konsumen untuk menentukan pilihan Kosmetika sesuai
dengan yang dibutuhkan. Untuk memenuhi hal tersebut, pihak
industri/pelaku usaha dibidang kosmetika harus memiliki kemampuan
untuk menentukan klaim yang memenuhi ketiga unsur diatas dengan
memperhatikan serta memahami sifat serta fungsi/mekanisme kerja dari
bahan/ingridient yang ada dalam produk kosmetika.
Klaim untuk kosmetika harus mencerminkan adanya manfaat untuk
konsumen pada kondisi yang baik, sehingga klaim untuk kosmetika
tidak dibenarkan untuk hal-hal yang bersifat menyembuhkan atau
mengobati.
Berikut beberapa contoh Klaim yang tidak diperbolehkan berdasarkan
jenis Kosmetika:
Jenis Kosmetika Klaim yang tidak diperbolehkan
Sediaan rambut
Menghilangkan ketombe secara permanen;
Memperbaiki sel-sel rambut;
Mencegah kerontokan rambut;
Merangsang pertumbuhan rambut.
Depilatori Menghentikan/memperlambat/mencegah
pertumbuhan rambut.
Sediaan untuk
perawatan dan rias
kuku
Merangsang pertumbuhan kuku melalui
nutrisi.
- 13 -
Jenis Kosmetika Klaim yang tidak diperbolehkan
Perawatan kulit
Mencegah, mengurangi atau mengembalikan
perubahan fisiologi dan kondisi degenerasi
yang disebabkan faktor usia;
Menghilangkan bekas luka;
Menimbulkan efek kebas/mati rasa;
Mencegah, mengobati, atau menghentikan
jerawat;
Mengobati selulit;
Mengurangi ukuran tubuh (contoh: ukuran
lingkar pinggang);
Mengurangi/mengontrol pembengkakan/
udem;
Menghilangkan/membakar lemak;
Memiliki efek antifungi/antijamur;
Memiliki efek antivirus;
Memiliki efek antimikroba;
Memiliki efek germisidal.
Sediaan perawatan gigi
dan mulut
Mengobati atau mencegah abses pada gigi,
gumboils, peradangan mulut/gigi, luka pada
mulut, periodontitis, pyorrhoea, periodontal
disease, stomatitis, sariawan atau masalah
lain pada gigi/mulut.
Deodoran dan
Antiperspiran
Mencegah keringat secara total.
Sediaan wangi-
wangian
Menimbulkan efek afrodisiak atau pengaruh
hormonal.
- 14 -
IV. LANGKAH UNTUK IDENTIFIKASI DALAM MENENTUKAN SUATU
PRODUK SEBAGAI KOSMETIKA (GAMBAR 1)
Berikut lima (5) langkah proses identifikasi suatu produk sebagai
Kosmetika:
1. Komposisi Kosmetika
Kosmetika tidak boleh mengandung bahan yang dilarang dan/atau
melebihi batas kadar dan/atau tidak sesuai dengan ketentuan
yang dipersyaratkan.
2. Area penggunaan Kosmetika
Kosmetika dimaksudkan hanya untuk bagian luar tubuh manusia
(epidermis, rambut, kuku, bibir dan organ genital bagian luar) atau
gigi dan membran mukosa mulut.
Produk yang digunakan secara oral, injeksi, atau bersentuhan
dengan bagian lain dari tubuh manusia, misalnya membran
mukosa hidung atau organ genital bagian dalam, bukan termasuk
Kosmetika.
3. Fungsi Utama Kosmetika
Berfungsi untuk membersihkan, mewangikan, mengubah
penampilan, memperbaiki bau badan dan atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik.
4. Peruntukan produk (product presentation)
Kosmetika tidak digunakan untuk mengobati atau mencegah
penyakit. Dengan demikian hal-hal dibawah ini harus diperhatikan
sehingga tidak menyimpang dari peruntukannya sebagai
kosmetika:
a. klaim manfaat/kegunaan produk yang dikaitkan dengan jenis
kosmetika;
b. bentuk sediaan dan cara penggunaan;
c. Penandaan;
d. materi pendukung;
e. target kelompok konsumen tertentu. Populasi dengan penyakit
tertentu atau kondisi efek samping dari penyakit tertentu tidak
diperbolehkan, contoh: melembabkan kulit untuk penderita
psoriasis.
- 15 -
5. Efek fisiologi produk
Kosmetika mempunyai efek fisiologi yang tidak permanen, dimana
untuk mempertahankan efeknya, beberapa Kosmetika perlu
digunakan secara teratur.
Gambar1. Alur Proses Untuk Mengidentifikasi
Produk dan Klaim Kosmetika
Produk
1.
Komposisi
2.
Area penggunaan
3.
Fungsi Utama
4.
Peruntukan
Non Kosmetika
5.
Fungsi
Non Kosmetika
Produk Kosmetika
Bukan Kosmetika
Bukan Kosmetika
Bukan Kosmetika
Bukan Kosmetika
Ya
Ya
Ya
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
1. Apakah produk mengandung bahan sesuai
dengan peraturan perundangan-undangan dan tidak
mengandung bahan yang dilarang dalam peraturan
tersebut?
2. Apakah produk dimaksudkan untuk digunakan pada
bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku,
bibir dan organ genital bagian luar) atau gigi dan
membran mukosa mulut?
3. Apakah produk dimaksudkan untuk
membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan,
memperbaiki bau badan dan atau melindungi atau
memelihara tubuh pada kondisi baik?
4. Apakah produk dimaksudkan untuk mengobati
atau mencegah penyakit pada manusia?
5. Apakah produk secara permanen mengembalikan,
memperbaiki atau mengubah fungsi fisiologi
dengan mekanisme farmakologi,
imunologi atau metabolik?
Bukan Kosmetika
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ROY A. SPARRINGA
LAMPIRAN I
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2017
TENTANG KRITERIA DAN TATA CARA PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN
KOSMETIKA
LAPORAN PENARIKAN
(Contoh)
........,......................
Nomor : B-IN.06.03.432.11.16.
Lampiran : 4 (empat) lembar
Perihal : Laporan Hasil Penarikan Kosmetika
Kepada Yth. Kepala Badan POM
c.q. Direktur Inspeksi dan Sertifikasi
Obat Tradisional, Kosmetik dan Produk Komplemen
di
Tempat
Menindaklanjuti surat perintah penarikan dari ...................................... No.........................
tanggal ..................., bersama ini kami sampaikan bahwa PT/CV. ......................................
telah melaksanakan penarikan kosmetika terhadap :
No. Nama Kosmetika No. Notifikasi/
No. Batch
Jumlah Keterangan
1
2
3
4
Terlampir kami sampaikan :
1. Surat pemberitahuan penarikan ke distributor
2. Surat hasil penarikan dari distributor
3. Catatan distribusi kosmetika
4. Hasil inventarisasi kosmetika yang ditarik dan diedarkan sebagaimana contoh catatan
penarikan kembali produk jadi
5. Foto hasil penarikan kosmetika
Demikian kami sampaikan, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.
Pimpinan perusahaan,
(...................................)
-2-
CATATAN PENARIKAN KEMBALI PRODUK JADI
Nama Produk : No. Batch :
Bentuk Produk Jadi : Ukuran Batch :
No. Produk : Jumlah yang Di-
serahkan ke
Gudang
:
Ukuran Kemasan :
Mulai Penarikan : Jumlah yang Di-
distribusikan
:
Akhir Penarikan : Sisa di Gudang :
PENERIMAAN
TANGGAL No. SURAT DIKEMBALIKAN JUMLAH YANG
PENERIMAAN PENGIRIMAN OLEH DIKEMBALIKAN
JUMLAH TOTAL :
Jumlah yang dikembalikan
Tingkat % Pengembalian = x 100 % = ………. %
Jumlah yang didistribusikan
Tanggal : ……………….
Dilaporkan oleh
…………………………..
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PENNY K. LUKITO
LAMPIRAN II
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 2017
TENTANG
KRITERIA DAN TATA CARA PENARIKAN DAN PEMUSNAHAN KOSMETIKA
BERITA ACARA
PEMUSNAHAN KOSMETIKA
Pada hari ini .......tanggal .........bulan .........tahun ........., sekitar jam .......WIB, saya
yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
Jabatan :
Perusahaan :
Alamat :
dengan disaksikan oleh :
No. Nama NIP Pangkat Jabatan
1.
2.
3.
Bertempat di…………, alamat ………., telah melakukan pemusnahan terhadap:
No Nama
Kosmetika
No.
Notifikasi
No.
Batch
Nama
Produsen /
Importir
Kemasan Jumlah Keterangan/
Alasan
Pemusnahan
1.
2.
3.
dst.
-2-
dengan cara sebagai berikut:
........................................................................................................................................
............................................................................................................
…………………………………………………………………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………
Demikian Berita Acara Pemusnahan Kosmetika ini dibuat dengan sebenarnya dan
ditandatangani di…………………
Yang Memusnahkan
…………………………………
Saksi-saksi
1. 2. 3.
…………………………..*)
…………………………*)
………………………**)
*) Petugas Badan POM/Balai Besar/Balai POM
**) perusahaan yang bersangkutan
KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PENNY K. LUKITO
top related