ilmu penyakit dalam
Post on 01-Dec-2015
77 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
TUGAS ILMU PENYAKIT DALAM
I. TATALAKSANA PADA PASIEN SIROSIS HATI
Sirosis merupakan penyakit yang ireversibel. Oleh karena itu, terapinya ditujukan untuk
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi.
A. Penatalaksanaan Sirosis Kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati, meliputi:
1. Menghilangkan etiologi atau penyebab dari sirosis, misalnya:
- Menghentikan penggunaan alkohol dan bahan atau obat yang hepatotoksik.
- Pemberian asetaminofen, kolkisisn, dan obat herbal yang dapat menghambat
kolagenik.
- Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
- Pada hemokromatosis, dilakukan flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi
besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
- Pada penyakit hati nonalkoholik, menurunkan BB akan mencegah terjadinya
sirosis.
- Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan
terapi utama. Lamivudin diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama satu
tahun. Interferon alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, 3 x 1 minggu
selama 4-6 bulan.
- Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan
terapi standar. Interferon diberikan secara subkutan dengan dosis 5 MIU, 3 x 1
minggu, dan dikombinasi ribavirin 800-1000 mg/hari selama 6 bulan.
2. Untuk pengobatan fibrosis hati, masih dalam penelitian. Interferon, kolkisin,
metotreksat, vitamin A, dan obat-obat herbal sedang dalam penelitian.
B. Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
1. Asites
- Tirah baring
- Diet rendah garam: sebanyak 5,2 gram atau 90 mmol/hari
- Diuretik: Spironolakton 100-200 mg/hari.
Respon diuretik bisa dimonitor dengan penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa
edema kaki), atau 1,0 kg.hari (dengan edema kaki). Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan furosemid 20-40 mg
hari (dosis max. 160 mg/hari)
- Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar (4-6 liter), diikuti dengan
pemberian albumin.
2. Peritonitis Bakterial Spontan
Diberikan antibiotik, seperti sefotaksim IV, amoksisilin, atau aminoglikosida.
3. Varises Esofagus
- Sebelum dan sesudah berdarah, bisa diberikan obat penyekat beta
(propanolol).
- Waktu perdarahan akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau okreotid,
diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi
4. Ensefalopati Hepatik
- Laktulosa, untuk mengeluarkan amonia.
- Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia
- Diet rendah protein 0,5 gram/kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya asam
amino rantai cabang.
5. Sindrom Hepatorenal
Sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif untuk SHR. Oleh karena itu,
pencegahan terjadinya SHR harus mendapat perhatian utama.
II. INSULIN
Insulin dihasilkan oleh kalenjar pankreas pada tubuh kita, hormon insulin yang
diproduksi oleh tubuh kita dikenal juga sebagai sebutan insulin endogen. Namun,
ketika kalenjar pankreas mengalami gangguan sekresi guna memproduksi hormon
insulin, disaat inilah tubuh membutuhkan hormon insulin dari luar tubuh, dapat berupa
obat buatan manusia atau dikenal juga sebagai sebutan insulin eksogen.
Walaupun demikian, hanyalah sebagian dari diabetesein yang membutuhkan insulin
eksogen. Seorang diabetesein yang menggunakan insulin eksogen sedikit banyak akan
memerlukan beberapa informasi serba serbi insulin eksogen tersebut.
Mulai dari cara kerja insulin eksogen, mula kerjanya, waktu tercapainya efek insulin
eksogen paling kuat, lama bekerjanya, dan waktu penyuntikan insulin eksogen
disamping pengetahuan cara pemberian insulin eksogen dan cara penyimpanannya.
A. Bagaimana insulin berfungsi
Pemberian insulin kepada penderita diabetes hanya bisa dilakukan dengan cara
suntikan, jika diberikan melalui oral insulin akan rusak didalam lambung. Setelah
disuntikan, insulin akan diserap kedalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh.
Disini insulin akan bekerja menormalkan kadar gula darah (blood glucose) dan
merubah glucose menjadi energi.
B. Efek metabolik terapi insulin :
Menurunkan kadar gula darah puasa dan post puasa.
Supresi produksi glukosa oleh hati.
Stimulasi utilisasi glukosa perifer.
Oksidasi glukosa / penyimpanan di otot.
Perbaiki komposisi lipoprotein abnormal.
Mengurangi glucose toxicity.
Perbaiki kemampuan sekresi endogen.
Mengurangi Glicosilated end product.
C. Tipe - Jenis Insulin
Insulin dapat dibedakan atas dasar:
1. Waktu kerja insulin (onset), yaitu waktu mulai timbulnya efek insulin sejak
disuntikan.
2. Puncak kerja insulin, yaitu waktu tercapainya puncak kerja insulin.
3. Lama kerja insulin (durasi), yaitu waktu dari timbulnya efek insulin sampai
hilangnya efek insulin.
Terdapat 4 buah insulin eksogen yang diproduksi dan dikategorikan berdasarkan
puncak dan jangka waktu efeknya. Berikut keterangan jenis insulin eksogen :
1. Insulin Eksogen kerja cepat.
Bentuknya berupa larutan jernih, mempunyai onset cepat dan durasi pendek. Yang
termasuk di sini adalah insulin regular (Crystal Zinc Insulin / CZI ). Saat ini
dikenal 2 macam insulin CZI, yaitu dalam bentuk asam dan netral. Preparat yang
ada antara lain : Actrapid, Velosulin, Semilente. Insulin jenis ini diberikan 30 menit
sebelum makan, mencapai puncak setelah 1– 3 macam dan efeknya dapat bertahan
samapai 8 jam.
2. Insulin Eksogen kerja sedang.
Bentuknya terlihat keruh karena berbentuk hablur-hablur kecil, dibuat dengan
menambahkan bahan yang dapat memperlama kerja obat dengan cara
memperlambat penyerapan insulin kedalam darah. Yang dipakai saat ini adalah
Netral Protamine Hegedorn ( NPH ),MonotardÒ, InsulatardÒ. Jenis ini awal
kerjanya adalah 1.5 – 2.5 jam. Puncaknya tercapai dalam 4 – 15 jam dan efeknya
dapat bertahan sampai dengan 24 jam.
3. Insulin Eksogen campur antara kerja cepat & kerja sedang (Insulin premix)
Yaitu insulin yang mengandung insulin kerja cepat dan insulin kerja sedang.
Insulin ini mempunyai onset cepat dan durasi sedang (24 jam). Preparatnya:
Mixtard 30 / 40
4. Insulin Eksogen kerja panjang (lebih dari 24 jam). Merupakan campuran dari
insulin dan protamine, diabsorsi dengan lambat dari tempat penyuntikan sehingga
efek yang dirasakan cukup lam, yaitu sekitar 24 – 36 jam. Preparat: Protamine Zinc
Insulin ( PZI ), Ultratard
D. Cara pemberian insulin
Insulin kerja singkat :
IV, IM, SC
Infus ( AA / Glukosa / elektrolit )
Jangan bersama darah (mengandung enzim merusak insulin) Insulin kerja
menengah/panjang
Jangan IV karena bahaya emboli.
Pemberian insulin secara sliding scale dimaksudkan agar pemberiannya lebih efisien
dan tepat karena didasarkan pada kadar gula darah pasien pada waktu itu. Gula darah
diperiksa setiap 6 jam sekali.
Dosis pemberian insulin tergantung pada kadar gula darah, yaitu :
Gula darah
< 60 mg % = 0 unit
< 200 mg % = 5 – 8 unit
200 – 250 mg% = 10 – 12 unit
250 - 300 mg% = 15 – 16 unit
300 – 350 mg% = 20 unit
350 mg% = 20 – 24 unit
E. Teknik Penyuntikan Insulin
Sebelum menggunakan insulin, diabetesein ataupun keluarga tentunya perlu untuk
diberikan pengetahuan dan wawasan mengenai cara dan prosedur menyuntikkan
insulin eksogen :
1 Sebelum menyuntikkan insulin, kedua tangan dan daerah yang akan disuntik
haruslah bersih. Bersihkanlah dengan cairan alkohol 70% dengan menggunakan
kapas bersih dan steril.
2 Tutup vial insulin harus diusap dengan cairan alkohol 70%.
3 Untuk semua insulin, kecuali insulin kerja cepat, harus digulung-gulung secara
perlahan-lahan denga kedua telapak tangan. Hal ini bertujuan untuk melarutkan
kembali suspensi. (Jangan dikocok).
4 Ambillah udara sejumlah insulin yang akan diberikan. Lalu suntikkanlah ke dalam
vial untuk mencegah terjadi ruang vakum dalam vial. Hal ini terutama diperlukan
bila akan dipakai campuran insulin.
5 Bila mencampur insulin kerja cepat dengan kerja cepat harus diambil terlebih
dahulu.
6 Setelah insulin masuk ke dalam alat suntik, periksa apakah mengandung
gelembung atau tidak. Satu atau dua ketukan pada alat suntik dalam posisi tegak
akan dapat mengurangi gelembung tersebut. Gelembung yang ada sebenarnya
tidaklah terlalu membahayakan, namun dapat mengurangi dosis insulin.
7 Penyuntikan dilakukan pada jaringan bawah kulit (subkutan). Pada umumnya
suntikan dengan sudut 90 derajad. Pada pasien kurus dan anak-anak, kulit dijepit
dan insulin disuntikkan dengan sudut 45 derajat agar tidak terjadi penyuntikkan
otot (intra muskular).
Perlu diperhatikan daerah mana saja yang dapat dijadikan tempat menyuntikkan
insulin. Bila kadar glukosa darah tinggi, sebaiknya disuntikkan di daerah perut dimana
penyerapan akan lebih cepat. Namun bila kondisi kadar glukosa pada darah rendah,
hindarilah penyuntikkan pada daerah perut.
Secara urutan, area proses penyerapan paling cepat adalah dari perut, lengan atas dan
paha. Insulin akan lebih cepat diserap apabila daerah suntikkan digerak-gerakkan.
Penyuntikkan insulin pada satu daerah yang sama dapat mengurangi variasi
penyerapan.
Penyuntikkan insulin selalu di daerah yang sama dapat merangsang terjadinya
perlemakan dan menyebabkan gangguan penyerapan insulin. Daerah suntikkan
sebaiknya berjarak 1inchi (+ 2,5cm) dari daerah sebelumnya. Lakukanlah rotasi di
dalam satu daerah selama satu minggu, lalu baru pindah ke daerah yang lain.
Bila proses penyuntikkan terasa sakit atau mengalami perdarahan setelah proses
penyuntikkan, maka daerah tersebut sebaiknya ditekan selama 5-8 detik. Untuk
mengurangi rasa sakit pada waktu penyuntikkan dapat ditempuh usaha-usaha sebagai
berikut:
1. Menyuntik dengan suhu kamar
2. Pastikan bahwa dalam alat suntik tidak terdapat gelembung udara
3. Tunggulah sampai alkohol kering sebelum menyuntik
4. Usahakanlah agar otot daerah yang akan disuntik tidak tegang
5. Tusuklah kulit dengan cepat
6. Jangan merubah arah suntikkan selama penyuntikkan atau mencabut suntikan
7. Jangan menggunakan jarum yang sudah tampak tumpul
F. Jenis alat suntik (syringe) insulin
1. Siring (syringe) dan jarumSiring dari bahan kaca sulit dibersihkan, mudah pecah
dan sering menjadi kurang akurat.Siring yang terbaik adalah siring yang terbuat
dari plastik sekali pakai. Walaupun banyak pasien diabetes yang menggunakan
lebih dari sekali pakai, sangat disarankan hanya dipakai sekali saja setelah itu
dibuang.
2. Pena insulin (Insulin Pen)Siring biasanya tertalu merepotkan dan kebanyakan
pasien diabetes lebih suka menggunakan pena insulin. Alat ini praktis, mudah
dan menyenangkan karena nyaris tidak menimbulkan nyeri. Alat ini
menggabungkan semua fungsi didalam satu alat tunggal.
3. Pompa insulin (Insulin Pump)Pompa insulin (insulin pump) diciptakan untuk
mneyediakan insulin secara berkesinambungan. Pompa harus disambungkan
kepada pasien diabetes (melalui suatu tabung dan jarum). Gula (Glucose) darah
terkontrol dengan sangat baik dan sesuai dengan kebutuhan.
G. Penyimpanan Insulin Eksogen
Bila belum dipakai :
Sebaiknya disimpan 2-8 derajat celcius (jangan sampai beku), di dalam gelap (seperti
di lemari pendingin) namun hindari freezer.
Bila sedang dipakai :
Suhu ruang 25-30 derajat celcius cukup untuk menyimpan selama beberapa minggu,
tetapi janganlah terkena sinar matahari.
Sinar matahari secara langsung dapat mempengaruhi percepatan kehilangan aktifitas
biologik sampai 100 kai dari biasanya.
Suntikkan dalam bentuk pena dan insulin dalam suntikkan tidak perlu disimpan di
lemari pendingin diantara 2 waktu pemberian suntikkan.
Bila tidak tersedia lemari pendingin, simpanlah insulin eksogen di tempat yang teduh
dan gelap.
H. Efek samping penggunaan insulin :
Hipoglikemia
Lipoatrofi
Lipohipertrofi
Alergi sistemik atau lokal
Resistensi insulin
Edema insulin
Sepsis
Hipoglikemia merupakan komplikasi yang paling berbahaya dan dapat terjadi bila
terdapat ketidaksesuaian antara diet, kegiatan jasmani dan jumlah insulin. Pada 25-75%
pasien yang diberikan insulin konvensional dapat terjadi Lipoatrofi yaitu terjadi
lekukan di bawah kulit tempat suntikan akibat atrofi jaringan lemak. Hal ini diduga
disebabkan oleh reaksi imun dan lebih sering terjadi pada wanita muda terutama terjadi
di negara yang memakai insulin tidak begitu murni. Lipohipertrofi yaitu pengumpulan
jaringan lemak subkutan di tempat suntikan akibat lipogenik insulin. Lebih banyak
ditemukan di negara yang memakai insulin murni. Regresi terjadi bila insulin tidak lagi
disuntikkan di tempat tersebut.
I. Nama-nama produk Insulin
No Nama Generik Nama Dagang
1 Insulin Kerja Pendek :Insulin Injeksi (Reguler)Insulin LisproInsulin Asparr
Humulin R, Sansulin R, Insuman Rapid, Actrapid HumalogNovorapidApidra
2 Insulin Kerja Sedang :Isophan Insulin (NPH)Insulin Zine Saspensi
Humulin N, Sansulin N, Insulatard, Insuman Basal, Insuman Combination
3 Insulin Kerja Panjang :Extended Insulin ZineSuspensionInsulin Glargine
LevemirProtamin Zine InsulinLantus
4 Insulin Campuran :NPI-Regular CombinationPre-Mix Insulin AnalogMonotard, Humalog Mix, Novomix 30
Humulin 30/70Humulin Mixture 20/80, Humulin Mixture 30/70,Humulin Mixture 40/60, Humulin Mixture 50/50
III. OBAT YANG DIBERIKAN PADA KEGAWATAN HIPERTENSI
A. Dasar-dasar penanggulangan krisis HT :
Tekanan darah yang sedemikian tinggi haruslah segera diturunkan karena penundaan
akan memperburuk penyakit yang akan timbul baik cepat maupun lambat. Tetapi
dipihak lain, penurunan yang terlalu agresif juga dapat menimbulkan berkurangnya
perfusi dan aliran darah ke organ vital terutama otak, jantung, dan ginjal. Sampai
sejauh mana tekanan darah diturunkan ?. Untuk menurunkan TD sampai ke tingkat
yang diharapkan perlu diperhaikan berbagai faktor antara lain keadaan hipertensi
sendiri ( TD segera diturunkan atau bertahap, pengamatan problema yang menyertai
krisis hipertensi perubahan dari aliran darah dan autoregulasi TD pada organ vital dan
pemilihan obat anti hipertensi yang efektif untuk krisis hipertensi dan monitoring efek
samping obat.
B. AUTOREGULASI
Yang dimaksud autoregulasi adalah penyesuaian fisiologis organ tubuh terhadap
kebutuhan dan pasokan darah dengan mengadakan perubahan pada resistensi terhadap
aliran darah dengan berbagai tingkatan perubahan kontriksi / dilatasi pembuluh darah.
Dengan pengetahuan autoregulasi dalam menurunkan TD secara mendadak
dimaksudkan untuk melindungi organ vital dengan tidak terjadi iskemi. Autoregulasi
otak telah cukup luas diteliti dan diterangkan.
Bila TD turun, terjadi vasodilatasi, jika TD naik timbul vasokonstriksi. Pada individu
normotensi, aliran darah otak masih tetap pada fluktuasi Mean Arterial Pressure (
MAP ) 60 – 70 mmHg. Bila MAP turun dibawah batas autoregulasi, maka otak akan
mengeluarkan oksigen lebih banyak dari darah untuk kompensasi dari aliran darah
yang berkurang. Bila mekanisme ini gagal, maka dapat terjadi iskemi otak dengan
manifestasi klinik seperti mual, menguap, pingsan dan sinkope.
Autoregulasi otak ini kemungkinan disebabkan oleh mekanisme miogenic yang
disebabkan oleh stretch receptors pada otot polos arteriol otak, walaupun oleh
Kontos dkk. Mengganggap bahwa hipoksia mempunyai peranan dalam perubahan
metabolisme di otak.
Pada cerebrovaskuler yang normal penurunan TD yang cepat sampai batas hipertensi,
masih dapat ditolelir.
Pada penderita hipertensi kronis, penyakit cerebrovaskular dan usia tua, batas
ambang autoregulasi ini akan berubah dan bergeser ke kanan pada kurva, sehingga
pengurangan aliran darah terjadi pada TD yang lebih tinggi. ( gambar 1 dan 2 ).
Straagaard pada penelitiannya mendapatkan MAP rata-rata 113 mmHg pada 13
penderita hipertensi tanpa pengobatan dibandingkan dengan 73 mmHg pada orang
normotensi. Penderita hipertensi denga pengobatan mempunyai nilai diantar group
normotensi dan hipertensi tanpa pengobatan dan dianggap bahwa TD terkontrol
cenderung menggeser autoregulasi kearah normal.
Dari penelitian didapatkan bahwa baik orang yang normotensi maupun hipertensi,
ditaksir bahwa batas terendah dari autoregulasi otak adalah kira- kira 25% dibawah
resting MAP. Oleh karena itu dalam pengobatan krisis hipertensi, pengurangan MAP
sebanyak 20–25% dalam beberapa menit/jam, tergantung dari apakah emergensi atau
urgensi penurunan TD pada penderita aorta diseksi akut ataupun oedema paru akibat
payah jantung kiri dilakukan dalam tempo 15–30 menit dan bisa lebir rendah lagi
dibandingkan hipertensi emergensi lainnya. Penderita hipertensi ensefalopati,
penurunan TD 25% dalam 2–3 jam. Untuk pasien dengan infark cerebri akut ataupun
pendarahan intrakranial, pengurangan TD dilakukan lebih lambat (6 – 12 jam) dan
harus dijaga agar TD tidak lebih rendah dari 170 – 180/100 mmHg.
Gbr. I : Auto regulasi Pada orang normotensi. Aliran darah otak dipertahankan pada MAP antara 60 – 120 – 140 mmHg.
Gbr. II : Auto regulasi pada orang hipertensi aliran darah otak pada TH krinis dipertahankan pada MAP tinggi yaitu 120 – 160 – 180 mmHg. Kurva bergeser ke kanan.
C. GANGGUAN HEMODINAMIK PADA KRISIS HIPERTENSI
Tekanan darah ditentukan oleh 2 faktor utama yaitu : Cardiac output ( C.O ) dan
systemic vasculer resistance ( SVR ). Cardiac output ditentukan oleh Stroke Volume (
SV ) dan Hearth Rate ( HR ). Resistensi perifer terjadi akibat peripheral vascular
resistensi ( PVRB) dan renal vascular resistence ( RVR ).
TD = CO >< SVR
SV HR PVR RVR
Pada HT primer, CO berkurang 25% dan VR bertambah 20 – 25%. Pada hipertensi
maligna, SVR bertambah akibat sekunder dari perubahan struktur hipertensi kronis dan
perubahan perubahan vasekonstriksi akut.
Secara logika disukai obat anti hipertensi yang dapat memperbaiki gangguan
hemodinamik pada krisis hipertensi. Obat yang mengurangi SVR tanpa mengurangi
CO lebih disukai oleh sebagian besar penderita krisis hipertensi dengan kekcualian
bagi disecting aneurysma aorta.
Obat yang menambah SVR dan mengurangi CO seperti beta blocker tanpa intrinsic
sympathomimetic activity ( ISA ) haruslah dihindari karena akan menyebabkan
eksaserbasi gangguan hemodinanamik seperti payah jantung, kongestive dan oedem
paru.
Status volume cairan
Umumnya kebanyakan penderita krisis hipertensi mempunyai intravaskuler volume
depletion, oleh karena itu jangan diberi terapi diuretika, kecuali bila secara klinis
dibuktikan adanya volume over load seperti payah jantung kongestif atau oedema
paru. Perlu diketahui bahwa pembatasan cairan dan garam ( natrium ) serta diretika
pada hipertensi maligna akan menyebabkan bertambahnya volume depletion
sehingga bukannya menurunkan TD malah meningkatkan TD.
Pemberian diuretika dapat dilakukan bila setelah diberikan obat anti hipertensi non
diuretikal beberapa hari dan telah terjadi reflex volume retention.
D. PENANGGULANGAN HIPERTENSI EMERGENSI :
Bila diagnosa hipertensi emergensi telah ditegakkan maka TD perlu segera diturunkan.
Langkah-langkah yang perlu diambil adalah :
1. Rawat di ICU, pasang femoral intraarterial line dan pulmonari arterial catether (bila
ada indikasi). Untuk menentukan fungsi kordiopulmonair dan status volume
intravaskuler.
2. Anamnese singkat dan pemeriksaan fisik.
tentukan penyebab krisis hipertensi
singkirkan penyakit lain yang menyerupai krisis HT
tentukan adanya kerusakan organ sasaran
3. Tentukan TD yang diinginkan didasari dari lamanya tingginya TD sebelumnya,
cepatnya kenaikan dan keparahan hipertensi, masalah klinis yang menyertai dan
usia pasien.
Penurunan TD diastolik tidak kurang dari 100 mmHg, TD sistolik tidak
kurang dari 160 mmHg, ataupun MAP tidak kurang dari 120 mmHg
selama 48 jam pertama, kecuali pada krisis hipertensi tertentu ( misal :
disecting aortic aneurysm ). Penurunan TD tidak lebih dari 25% dari MAP
ataupun TD yang didapat.
Penurunan TD secara akut ke TD normal / subnormal pada awal
pengobatan dapat menyebabkan berkurangnya perfusike ke otak, jantung dan
ginjal dan hal ini harus dihindari pada beberapa hari permulaan, kecuali
pada keadaan tertentu, misal : dissecting anneurysma aorta.
TD secara bertahap diusahakan mencapai normal dalam satu atau dua
minggu.
Pemakaian obat-obat untuk krisis hipertensi
Obat anti hipertensi oral atau parenteral yang digunakan pada krisis hipertensi
tergantung dari apakah pasien dengan hipertensi emergensi atau urgensi. Jika
hipertensi emergensi dan disertai dengan kerusakan organ sasaran maka penderita
dirawat diruangan intensive care unit, ( ICU ) dan diberi salah satu dari obat anti
hipertensi intravena ( IV ).
1. Sodium Nitroprusside : merupakan vasodelator direkuat baik arterial maupun
venous. Secara i. V mempunyai onsep of action yang cepat yaitu : 1 – 2 dosis
1 – 6 ug / kg / menit.
Efek samping : mual, muntah, keringat, foto sensitif, hipotensi.
2. Nitroglycerini : merupakan vasodilator vena pada dosis rendah tetapi bila
dengan dosis tinggi sebagai vasodilator arteri dan vena. Onset of action 2 – 5
menit, duration of action 3 – 5 menit.
Dosis : 5 – 100 ug / menit, secara infus i. V.
Efek samping : sakit kepala, mual, muntah, hipotensi.
3. Diazolxide : merupakan vasodilator arteri direk yang kuat diberikan secara i.V
bolus.
Onset of action 1 – 2 menit, efek puncak pada 3 – 5 menit, duration of action 4 –
12 jam.
Dosis permulaan : 50 mg bolus, dapat diulang dengan 25 – 75 mg setiap 5
menit sampai TD yang diinginkan.
Efek samping : hipotensi dan shock, mual, muntah, distensi abdomen,
hiperuricemia, aritmia, dll.
4. Hydralazine : merupakan vasodilator direk arteri.
Onset of action : oral 0,5 – 1 jam, i.v : 10 – 20 menit duration of action : 6 –
12 jam.
Dosis : 10 – 20 mg i.v bolus : 10 – 40 mg i.m
Pemberiannya bersama dengan alpha agonist central ataupun Beta Blocker untuk
mengurangi refleks takhikardi dan diuretik untuk mengurangi volume
intravaskular.
Efeksamping : refleks takhikardi, meningkatkan stroke volume dan cardiac out
put, eksaserbasi angina, MCI akut dll.
5. Enalapriat : merupakan vasodelator golongan ACE inhibitor. Onsep on action
15 – 60 menit.
Dosis 0,625 – 1,25 mg tiap 6 jam i.v.
6. Phentolamine ( regitine ) : termasuk golongan alpha andrenergic blockers.
Terutama untuk mengatasi kelainan akibat kelebihan ketekholamin.
Dosis 5 – 20 mg secar i.v bolus atau i.m.
Onset of action 11 – 2 menit, duration of action 3 – 10 menit.
7. Trimethaphan camsylate : termasuk ganglion blocking agent dan menginhibisi
sistem simpatis dan parasimpatis.
Dosis : 1 – 4 mg / menit secara infus i.v.
Onset of action : 1 – 5 menit.
Duration of action : 10 menit.
Efek samping : opstipasi, ileus, retensia urine, respiratori arrest, glaukoma,
hipotensi, mulut kering.
8. Labetalol : termasuk golongan beta dan alpha blocking agent.
Dosis : 20 – 80 mg secara i.v. bolus setiap 10 menit ; 2 mg / menit secara infus
i.v.
Onset of action 5 – 10 menit
Efek samping : hipotensi orthostatik, somnolen, hoyong, sakit kepala,
bradikardi, dll.
Juga tersedia dalam bentuk oral dengan onset of action 2 jam, duration of
action 10 jam dan efek samping hipotensi, respons unpredictable dan
komplikasi lebih sering dijumpai.
9. Methyldopa : termasuk golongan alpha agonist sentral dan menekan sistem
syaraf simpatis.
Dosis : 250 – 500 mg secara infus i.v / 6 jam.
Onset of action : 30 – 60 menit, duration of action kira-kira 12 jam.
Efek samping : Coombs test ( + ) demam, gangguan gastrointestino, with drawal
sindrome dll. Karena onset of actionnya bisa takterduga dan kasiatnya tidak
konsisten, obat ini kurang disukai untuk terapi awal.
10. Clonidine : termasuk golongan alpha agonist sentral.
Dosis : 0,15 mg i.v pelan-pelan dalam 10 cc dekstrose 5% atau i.m.150 ug dalam
100 cc dekstrose dengan titrasi dosis.
Onset of action 5 –10 menit dan mencapai maksimal setelah 1 jam atau
beberapa jam.
Efek samping : rasa ngantuk, sedasi, hoyong, mulut kering, rasa sakit pada
parotis. Bila dihentikan secara tiba-tiba dapat menimbulkan sindroma putus obat.
Walaupun akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk memberikan obat-obat oral
yang cara pemberiannya lebih mudah tetapi pemberian obat parenteral adalah lebih
aman. Dengan Sodium nitrotprusside, Nitroglycirine, Trimethaphan TD dapat
diturunkan baik secara perlahan maupun cepat sesuai keinginan dengan cara
menatur tetesan infus. Bila terjadi penurunan TD berlebihan, infus distop dan TD dapat
naik kembali dalam beberapa menit.
Demikian juga pemberian labetalol ataupun Diazoxide secara bolus intermitten
intravena dapat menyebabkan TD turun bertahap. Bila TD yang diinginkan telah
dicapai, injeksi dapat di stop, dan TD naik kembali. Perlu diingat bila digunakan obat
parenteral yang long acting ataupun obat oral, penurunan TD yang berlebihan sulit
untuk dinaikkan kembali.
Hal yang kurang menguntungkan dengan obat parenteral adalah perlu pengawasan
yang tepat bagi pasien di ICU.
Yang menjadi adalah kebanyakan obat-obat parenteral tidak dapat diperoleh secara
komersil di Indonesia. Obat parenteral yang tersedia adalah clonidine. Pengguna
clonidone untuk krisis hipertensi lebih banyak dipakai di Eropa, sedangkan di Amerika
bentuk injeksi clonidine tidak tersedia.
Van Der Hem ( Belanda, 1973 ) menggunakan clonidine intra vena 0,15 mg dan bagi
pasien yang tidak respons dengan satu kali injeksi, digunakan clonidine 0,9 – 1,05
mg dalam 500 ml Dekstrose dan disis ditittrasi. Hasil yang diperoleh cukup baik dan
efek samping yang minimal.
Penelitian lain di Australia ( 1974 ) menggunakan clonidine intra vena 150 mg atau
300 mg dalam 10ml NaCl 0,9% secara i.v 5 menit dan mendapat respons yang baik dan
efek samping maksimum dalam 30-60 menit.
Di bagian penyakit Dalam FK USU Medan ( 1989 ), telah diteliti pemakaian clonidine
pada krisis hipertensi dengan cara : Dosis yang digunakan adalah 150mcg ( 1 ampul )
dalam 1000 ml deksmenit 5% didalam mikrodrid dan dimulai dengan 12
tetes/menit. Setiap 15 menit dosis dititrasi dengan menaikkan tetesan dengan 4
tetes setiap kalinya sampai TD yang diingini diperoleh. Bila TD ini telah dicapai
diawasi selama 4 jam dan selanjutnya dengan obat per oral. Dengan tetesan
berkisar 12-104 tetes/menit dapat dicapai TD yang diingini dan penderita tidak
mengalami penurunan TD yang berlebihan.
Hasil yang diperoleh yaitu TD diastolik dapat diturunkan <120mmHg dalam 1 jam
dan respons yang baik pada 90,5% kasus.
Kerugian obat ini adalah efek samping yang sering timbul seperti mulut kering,
mengantuk dan depresi. Pada hipertensi dengan tand iskemi cerebral ataupun
stroke, obat ini akan memperberat gejala.
Dari berbagai jenis hipertensi emergensi, obat pilihan yang dianjurkan maupun
yang sebaiknya dihindari adalah sbb :
1. Hipertensi ensenpalopati : Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, diazoxide.
Hindarkan : B-antagonist, Methyidopa, Clonidine.
2. Cerebral infark : Anjuran : Sodium nitropsside, Labetalol, Hindarkan : B-
antagonist, Methydopa, Clonidine.
3. Perdarahan intacerebral, perdarahan subarakhnoid : Anjuran : Sodiun nitroprusside
Labetalol, Hindarkan : B-antagonist, Methydopa, Clonodine.
4. Miokard iskemi, miokrad infark :
Anjuran : Nitroglycerine, Labetalol, Caantagonist, Sodium
Nitroprusside dan loopdiuretuk. Hindarkan : Hyralazine, Diazoxide, Minoxidil.
5. Oedem paru akut : Anjuran : Sodium nitroroprusside dan loopdiuretik. Hindarkan :
Hydralacine, Diazoxide, B-antagonist, Labeta Lol.
6. Aorta disseksi : Anjuran :Sodium nitroprussidedan B-antagonist, Trimethaohaan
dan B-antagonist, labetalol.
Hindarkan : Hydralazine, Diaozoxide, Minoxidil
7. Eklampsi : anjuran : Hydralazine, Diazoxxide, labetalol,cantagonist, sodium
nitroprusside.
Hindarkan: Trimethaphan, Diuretik, B-antagonist
8. Renal insufisiensi akut : anjuran : Sodium nitroprusside, labetalol, Ca-antagonist
Hindarkan : B- antagonist, Trimethaphan
9. KW III-IV : Anjuran : Sodium nitroprusside, Labetalol, Ca–antagonist.
Hindarkan : B-antagonist, Clonidine, Methyldopa.
10. Mikroaangiopati hemolitik anemia : Anjuran :
Sodium nitroprosside, Labetalol, Caantagonist.
Hindarkan : B-antagonist.
Dari berbagai sediaan obat antu hipertensi parenteral yang tersedia, Sodium
nitroprusside merupakan drug of choice pada kebanyakan hipertensi emergensi. Karena
pemakaian obat ini haruslah dengan cara tetesan intravena dan harus dengan
monitoring ketat, penderita harus dirawat di ICU karena dapat menimbulkan hipotensi
berat. Alternatif obat lain yang cukup efektif adalah Labetalol, Diazoxide yang
dapat memberikan bolus intravena. Phentolamine, Nitroglycerine Hidralazine
diindikasikanpada kondisi tertentu.
Nicardipine suatu calsium channel antagonist merupakan obat baru yang diperukan
secara intravena, telah diteliti untuk kasus hipertensi emergensi (dalam jumlah kecil)
dan tampaknya memberikan harapan yang baik.
Obat oral untuk hipertensi emergensi :
Dari berbagai penelitian akhir-akhir ini ada kecenderungan untuk menggunakan obat
oral seperti Nifedipine (Ca antagonist) Captopril dalam penanganan hipertensi
emergensi.
Bertel dkk 1983 mengemukakan hal yang baik pada 25 penderita dengan dengan
pemakaian dosis 10mg yang dapat ditambah 10mg lagi menit. Yang menarik adalah
bahwa 4 dari 5 penderita yang diperiksa, aliran darah cerebral meningkat, sedang
dengan clonidine yang diselidiki menurun, walaupun tidak mencapai tahap
bermakna secara statistik.
Pada tahun 1993 telah diteliti penggunaan obat oral nifedipine sublingual dan
captoprial pada penderita hipertensi krisis memberikan hasil yang cukup memuaskan
setelah menit ke 20. Captoprial dan Nifedipine sublingual tidak berbeda bermakna
dam Menurunkan TD.
Captoprial 25mg atau Nifedipine 10mg digerus dan diberikan secara sublingual
kepada pasien. TD dan tanda Vital dicatat tiap lima menit sampai 60 menit dan juga
dicatat tanda-tanda efek samping yang timbul. Pasien digolongkan nonrespons bila
penurunan TD diastolik <10mmHg setelah 20 menit pemberian obat. Respons bila
TD diastolik mencapai <120mmHg atau MAP <150mmHg dan adanya perbaikan
simptom dan sign dari gangguan organ sasaran yang dinilai secara klinis setelah 60
menit pemberian obat. Inkomplit respons bila setelah 60 menit pemberian obat.
Inkomplit respons bila setelah 60 menit TD masih >120mmHg atau MAP masih
>150mmHg, tetapi jelas terjadi perbaikan dari simptom dan sign dari organ sasaran.
Penaggulangan hipertensi urgensi :
Penderita dengan hipertensi urgensi tidak memerlukan rawat inap di rumah sakit.
Sebaiknya penderita ditempatkan diruangan yang tenang, tidak terang dan TD diukur
kembali dalam 30 menit. Bila TD tetap masih sangat meningkat, maka dapat dimulai
pengobatan. Umumnya digunakan obat-obat oral anti hipertensi dalam menggulangi
hipertensi urgensi ini dan hasilnya cukup memuaskan.
Obat-obat oral anti hipertensi yang digunakan antara lain :
1. Nifedipine : pemberian bisa secara sublingual (onset 5-10 menit).Buccal (onset
5 –10 menit),oral (onset 15-20 menit),duration 5 – 15 menit secara
sublingual/buccal). Efek samping : sakit kepala, takhikardi, hipotensi, flushing,
hoyong.
2. Clondine : Pemberian secara oral dengan onset 30 – 60 menit Duration of
Action 8-12 jam. Dosis : 0,1-0,2 mg,dijutkan 0,05mg-0,1 mg setiap jam s/d
0,7mg. Efek samping : sedasi,mulut kering.Hindari pemakaian pada 2nd degree
atau 3rd degree, heart block, brakardi,sick sinus syndrome.Over dosis dapat diobati
dengan tolazoline.
3. Captopril : pemberian secara oral/sublingual. Dosis 25mg dan dapat diulang
setiap 30 menit sesuai kebutuhan. Efek samping : angio neurotik oedema, rash,
gagal ginjal akut pada penderita bilateral renal arteri sinosis.
4. Prazosin : Pemberian secara oral dengan dosis 1-2mg dan diulang perjam bila
perlu.Efek samping : first dosyncope, hiponsi orthostatik, palpitasi, takhikaro sakit
kepala.
Dengan pemberian Nifedipine ataupun Clonidine oral dicapai penurunan MAP
sebanyak 20 % ataupun TD<120 mmHg. Demikian juga Captopril, Prazosin terutama
digunakan pada penderita hipertensi urgensi akibat dari peningkatan katekholamine.
Perlu diingat bahwa pemberian obat anti hipertensi oral/sublingual dapat menyebabkan
penurunan TD yang cepat dan berlebihan bahkan sampai kebatas hipotensi (walaupun
hal ini jarang sekali terjadi).
Dikenal adanya “first dose” effek dari Prozosin. Dilaporkan bahwa reaksi hipotensi
akibat pemberian oral Nifedifine dapat menyebabkan timbulnya infark miokard dan
stroke.
Dengan pengaturan titrasi dosis Nifedipine ataupun Clonidin biasanya TD dapat
diturunkan bertahap dan mencapai batas aman dari MAP.
Penderita yang telah mendapat pengobatan anti hipertensi cenderung lebih
sensitive terhadap penambahan terapi.Untuk penderita ini dan pada penderita
dengan riwayat penyakit cerebrovaskular dan koroner, juga pada pasien umur tua
dan pasien dengan volume depletion maka dosis obat Nifedipine dan Clonidine harus
dikurangi.Seluruh penderita diobservasi paling sedikit selama 6 jam setelah TD turun
untuk mengetahui efek terapi dan juga kemungkinan timbulnya orthotatis. Bila ID
penderita yang obati tidak berkurang maka sebaiknya penderita dirawat dirumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Siti Nurdjanah, Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi
Keempat, Penerbit FKUI, Jakarta, 2007, p.443-53.
2. Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit, Volume 1, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran ECG, Jakarta, 2005, p.493-95.
3. www.library.usu.ac.id/download/fk/penydalam.pdf
4. Anavekar S.N. : Johns C.I; 1974 : Management of Acute Hipertensive Crissis with
Clonidine (catapres ), Med. J. Aust. 1 :829-831.
5. Anwar C.H. ; Fadillah. A ; Nasution M. Y ; Lubis H.R; 1991 : Efek akut obat anti
hipertensi (Nifedipine, Klonodin Metoprolol ) pada penderita hipertensi sedang dan
berat ; naskah lengkap KOPARDI VIII, Yogyakarta, 279-83.
top related