„iddah perempuan hamil karena zina - perpustakaan...
Post on 14-Mar-2019
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
„IDDAH PEREMPUAN HAMIL KARENA ZINA
(STUDI PASAL 53 KHI)
Makalah Komprehensif
Disusun Guna Memenuhi Ujian Komprehensif
Jurusan Al-Ahwalusyahsiyyah
Disusun Oleh :
MOCH. ASRORI
NIM. 052111037
JURUSAN AL-AHWALUSYAHSIYYAH FAKULTAS SYARI‟AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2010
iii
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag
Jl. Tanjungsari No. 31 Tambakaji Ngaliyan Semarang
Dr. H. Ali Imron, M.Ag
Jl. Kyai Gilang kauman No. 12 Mangkang Kulon Tugu Semarang Rt 02/IV
NOTA PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (eksemplar) Hal : Naskah Skripsi
an. (Moch. Asrori) Kepada Yth.
Bapak Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang
di Semarang
Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Setelah membaca, mengadakan koreksi dan perbaikan sebagaimana
mestinya, maka kami menyatakan bahwa skripsi saudara:
Nama : Moch. Asrori
NIM : 052111037 Jurusan : Ahwal al-Syakhshiyyah Judul Skripsi : “ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG
TIDAK ADA „IDDAH WANITA HAMIL KARENA
ZINA”
Dengan ini telah kami setujui dan mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera dimunaqosyahkan. Demikian atas perhatiannya kami ucapkan
terimakasih.
Wassalamu'alaikum Wr. Wb. Semarang, 10 Januari 2011
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag Dr. H. Ali Imron, M.Ag
NIP. 19590413 198703 2 001 NIP. 19730730 200312 1 003
iv
MOTTO
“Hai orang-orang yang beriman, ruku‟ dan sujud dan sembahlah Tuhan kamu
dan perbuatlah kebaikan, supaya kamu mendapat kejayaan”.
(Q.S. Al-Hajj Ayat 77)
v
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini untuk :
Ayahanda dan ibundaku tercinta, yang telah berjuang dengan keras untuk
mendidik dan membesarkan serta mencurahkan seluruh hidupnya, kasih
sayangnya, pengorbanannya, cintanya dan do’anya hanya untuk
keberhasilanku dan tak lupa adik-adikku yang selalu memberi semangat dan
mendoakanku.
Teristimewa buat kekasihku tercinta dan tersayang yang selalu mendorong dan
memotivasiku.
Pembimbing skripsi yang senantiasa memberikan petunjuk, arahan dan tak
henti-hentinya memberikan nasehat yang membangun demi kesuksesanku.
Sahabat-sahabatku yang selalu memberikan bantuan dan motivasi demi
terselesaikannya skripsi ini.
Semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu
Semoga semua pengorbanan yang telah di berikan dengan tulus ikhlas di beri
balasan yang berlipat oleh Allah SWT. Amin…
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa
skripsi ini tidak berisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau
diterbitkan. Demikian juga dengan skripsi ini tidak berisi dari pikiran-pikiran
orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan
rujukan dalam pembuatan skripsi ini.
Semarang, Januari 2010
Deklarator,
Moch. Asrori
NIM. 052111037
vii
ABSTRAK
Sebenarnya masalah „iddah secara umum adalah sesuatu yang sudah disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan secara
eksplisit oleh nass al-Qur’an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika „iddah tersebut dihadapkan pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang
perempuan yang hamil karena zina maka „iddah tersebut membuat perbedaan pendapat di kalangan para ulama’.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti dan menelusuri
kembali permasalahan-permasalahan hukum tersebut bagaimana Pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada iddah wanita hami karena zina.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research) yaitu dengan mengadakan telaah terhadap dua sumber di antaranya sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari sumbernya
dalam hal ini adalah Kitab Radd al-Muhtar. Sumber data sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari sumber-sumber lain yang berkaitan.
Data yang penulis gunakan dalam sekripsi ini merupakan data kualitatif, sedangkan dalam menganalisis penelitian ini penulis menggunakan diskriptis analisis. Ibnu Abidin menyatakan tentang tidak
adanya iddah untuk wanita hamil karena zina, dalam arti boleh dinikahi oleh orang lain akan tetapi dilarang untuk melakukan hubungan intim
sampai wanita hamil karena zina tersebut melahirkan, dengan alasan untuk menjaga kesucian rahim dan agar tidak berkumpul dua sperma atau lebih dalam satu rahim yang mengakibatkan tercampurnya nasab dan menjadi
rusak. Metode istinbath hukum yang digunakan adalah istihsan. karena didalam al Qur’an dan sunah Rosulullah tidak ada keterangan yang
mengaturnya, akan teapi ada persamaan illat sama-sama hamil. Penulis sependapat dengan Pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada
iddah wanita hamil karen zina, karena iddah adalah akibat dari putusnya
perkawinan, tidak diperbolehkannya disetubuhi setelah dinikah dengan alasan menjaga rahim dan nasap adalah pendapat yang hati-hati dalam
pengambilan hukum, memperhatian kepada wanita tersebut agar tidak melakukan zina lagi, dan supaya lembaran baru yang dibuka dengan laki-laki yang menikahi bisa jelas.
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi besar Muhammad saw, segenap keluarga, shahabat dan
seluruh umatnya.
Adalah suatu kebanggaan tersendiri, jika suatu tugas dapat terselesaikan
dengan sebaik-baiknya. Bagi penulis, penyusunan skripsi merupakan suatu tugas
yang tidak ringan. Penulis sadar banyak hambatan yang menghadang dalam
proses penyusunan skripsi ini, dikarenakan keterbatasan kemampuan penulis
sendiri. Kalaupun akhirnya skripsi ini dapat terselesaikan, juga karena jasa banyak
pihak yang telah mambantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Untuk itu, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih
yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan bantuaannya,
khususnya kepada yang terhormat:
1. Dr. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Dra. Hj. Siti Mujibatun, M.Ag., selaku Pembimbing I yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini.
3. Dr. H. Ali Imron, M.Ag., selaku Pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan kepada penulis dari awal hingga terselesaikannya skripsi ini
4. Kedua orangtuaku tercinta, terima kasih atas cinta tulus yang kau berikan dan
atas curahan segala kasih sayang murni yang tiada habis kepada penulis,
sehingga penulis dapat menyelesaikan studi dan berhasil meraih gelar sarjana
strata satu (S-1).
5. Adik-adikku yang telah memberi semangat selama ini sehingga terdorong
untuk menyusun skripsi ini.
6. ”Seseorang” yang telah memberikan dukungan dan semangat hingga
terselesaikannya skripsi ini.
7. Sahabat-sahabatku dan teman-teman lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu.
ix
Atas jasa-jasa mereka, penulis hanya dapat memohon doa semoga amal
mereka diterima di sisi Allah SWT. Semoga skripsi yang berjudul ANALISIS
TERHADAP PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG TIDAK ADA IDDAH
WANITA HAMIL KARENA ZINA ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
berkesempatan membacanya.
Pada akhirnya penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa penulisan
skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti yang sebenarnya. Namun
penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan
para pembaca umumnya. Amin ....
Semarang, Januari 2010
Penulis
Moch. Asrori
NIM. 052111037
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ . i
PENGESAHAN................................................................................................... ii
NOTA PEMBIMBING........................................................................................ iii
MOTTO ............................................................................................................... iv
PERSEMBAHAN................................................................................................ v
DEKLARASI....................................................................................................... vi
ABSTRAK........................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
BAB I : PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 5
D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 6
E. Metode Penelitian ......................................................................... 8
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG „IDDAH .................................. 14
A. Pengertian dan Dasar Hukum ’Iddah .......................................... 14
B. Macam-macam ’Iddah ................................................................ 19
C. Hikmah ’Iddah ............................................................................ 24
D. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina Dalam Pandangan Ulama. 26
BAB III : PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG TIDAK ADA „IDDAH
WANITA HAMIL KARENA ZINA……………………………. 31
A. Biografi Ibnu Abidin ................................................................... 31
B. Pemikiran Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada ‘Iddah Bagi Perempuan
Hamil Karena Zina ……………………………………………. 35
ii
C. Metode Istinbath Hukum Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada ‘Iddah Bagi
Perempuan Hamil Karena Zina ………………………….. 39
BAB IV: ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG
TIDAK ADA „IDDAH WANITA HAMIL KARENA ZINA.......... 46
A. Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada ‘Iddah
Wanita Hamil Karena Zina ........................................................... 46
B. Analisis Terhadap Istinbath Hukum Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada
‘Iddah Wanita Hamil Karena Zina ............................................... 58
BAB V : PENUTUP ..................................................................................... 64
A. Kesimpulan ................................................................................. 64
B. Saran-saran ................................................................................. 65
C. Penutup ....................................................................................... 66
Daftar Pustaka
Lampiran-Lampiran
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam mengajak dan menganjurkan umatnya untuk menikah karena
itu merupakan cara yang paling tepat untuk menyalurkan kebutuhan
biologis seseorang. Selain itu, pernikahan merupakan cara yang ideal bagi
suami istri untuk mendapatkan keturunan yang dapat mereka bina secara
langsung. Keduanya pun memiliki komitmen untuk menjaga buah hati
mereka, menaburkan benih-benih cinta, kasih sayang, kebaikan,
kemurahan hati, kesucian, kemuliaan, ketinggian harga diri, dan kemulian
jiwa, dengan tujuan agar keturunan mereka itu dapat bangkit menghadapi
perkembangan hidup mereka dan memberikan kontribusi positif dalam
membangun dan meningkatkan kualitas hidup.
Seperti kita ketahui, Islam memang telah menetapkan cara terbaik
untuk menyalurkan kebutuhan biologis, tetapi pada saat yang sama ia
melarang umatnya untuk menyalurkan kebutuhan itu dengan cara yang
tidak benar. Islam juga melarang umatnya untuk merangsang insting seks
dengan segala cara. Hal itu agar insting itu tidak keluar dari jalan yang
telah ditetapkan. Karena itu pula, Islam melarang umatnya untuk
melakukan pergaulan bebas antar lawan jenis, berdansa, mendengar lagu
lagu yang dapat merangsang syahwat, melihat segala sesuatu yang dapat
menimbulkan gairah seks, serta semua hal yang dapat memengaruhi
1
2
insting seks seseorang, atau memancingnya untuk melakukan zina. Hal itu
dilakukan agar dapat mencegah faktor- faktor yang dapat melemahkan
pundi-pundi kehidupan rumah tangga, yang sekaligus menjadi faktor
penyebab kerusakan moral.1
Pada dewasa ini pembaharuan hukum Islam telah menjadi suatu
kebutuhan di negara-negara muslim. Meskipun pada kenyataannya
pembaharuan hukum Islam di negara-negara muslim masih terbatas pada
wilayah hukum keluarga, setidaknya fenomena tersebut mencerminkan
bahwa aktifitas ijtihad masih tetap hidup pada era globalisasi ini. Karena
tanpa adanya ijtihad pasti hukum Islam akan kehilangan sifat elastis dan
akomodatifnya dalam merespon permasalahan baru yang muncul seiring
dengan perubahan zaman.
Sejalan dengan tuntutan perkembangan jaman, manusia semakin
banyak kehilangan nilai-nilai yang diyakini sebelumnya. Manusia semakin
dihadapkan pada perbenturan dan erosi nilai-nilai moral dan keluhuran.
Budaya yang serba terbuka menjebak manusia hingga berkubang di dunia
kemaksiatan.
Pergaulan bebas hingga free sex melanda kalangan muda-mudi
hingga resiko kehamilan di luar nikah. Sementara pihak yang mengalami
selalu berusaha untuk menutupi kehamilan di luar nikah tersebut dengan
1 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, ( Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 1983 ) , hlm. 231
3
terpaksa mengawinkan anak perempuannya dengan laki- laki yang
menghamili maupun yang bukan menghamili.2
Sebenarnya masalah ‘iddah secara umum adalah sesuatu yang
sudah disepakati oleh para ulama selain juga telah dijelaskan di dalam nass
al-Qur‟an maupun Sunnah. Akan tetapi ketika ‘iddah tersebut dihadapkan
pada suatu peristiwa yang tidak lazim, seperti seorang perempuan yang
hamil karena zina maka ‘iddah tersebut menjadi sebuah masalah yang
membutuhkan pengkajian secara cermat.
Bagaimanapun ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina tersebut
akan membawa implikasi pada kebolehan akad nikah, dalam arti syah atau
tidaknya perkawinan tersebut. Selain itu ‘iddah perempuan hamil karena
zina tidak dijelaskan di dalam al-Qur‟an maupun Sunnah sehingga
mengundang perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Sementara itu jika meninjau hukum positif di Indonesia ‘iddah bagi
perempuan hamil karena zina secara implisit diatur dalam pasal 53 KHI
(Kompilasi Hukum Islam) sebagai berikut :
(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
2ibid, hlm . 232.
4
(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil,
tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung
lahir.3
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa perempuan yang dicampuri
dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang dicampuri
secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid yaitu dia harus
menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan ‘iddah kecuali jika
dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka ia cukup
menyucikan dirinya dengan satu kali haid.4
Ulama Hanabilah menyatakan bahwa ‘iddah perempuan hamil
karena zina seperti halnya ‘iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh
suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan. 5
Syafi‟iyyah dan Hanafiyyah berpendapat perempuan hamil karena
zina tidak diwajibkan untuk menjalankan ‘iddah, karena ‘iddah bertujuan
untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak
menyebabkan hubungan nasab dengan laki- laki yang menyebabkan hamil.
Ada pun menurut Syafi‟iyyah tidak ada larangan untuk menggauli
istrinya tersebut meskipun masih dalam keadaan hamil. 6
Dari beberapa pendapat Ulama di atas pendapat ibnu abidin yang
berbeda. Tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina tetapi tidak boleh
3 Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Kompilasi Hukum Islam, cet. II, (Bandung: Fokusmedia,
2007), hal. 20. 4 Muhammad Jawad Mugniyyah, Al Fiqh ‘Ala Al-Mazhahib Al-Khamsah, Masykur A.B.,
et al.,” fiqih lima mazhab” cet.III, (Jakarta: PT Lentera Basritama,1964), hal. 474. 5 Ibid.
6 Ibid.
5
disetubuhi sampai wanita tersebut melahirkan, dengan kata lain akad nikah
wanita hamil karena zina itu syah tetapi tidak halal untuk disetubuhi,
sedangkan dalam hukum pernikahan, wanita yang boleh dinikah dan
setelah akad nikah dilaksanakan wanita tersebut halal untuk disetubuhi,
adapun ‘iddah bertujuan untuk menjaga nasab sementara persetubuhan
dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki- laki
yang menyebabkan hamil.
Berangkat dari permasalahan di atas penyusun akan melakukan
analisis terhadap pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada iddah wanita
hamil karena zina.
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana pendapat Ibnu Abidin tentang tidak adanya iddah wanita
hamil karena zina?
2) Bagaimana istinbath hukum Ibnu Abidin tentang tidak adanya iddah
wanita hamil karena zina?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui lebih dalam mengenai pendapat Ibnu Abidin
tentang tidak ada Iddah perempuan hamil karena zina.
2) Untuk mengetahui istinbath hukum Ibnu Abidin tentang tidak ada
Iddah perempuan hamil karena zina.
6
D. Tinjauan Pustaka
Bahan pustaka yang digunakan dalam penelitian ini membahas
tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Dan diantara bahan pustaka
yang akan penulis paparkan di dalam penelitian ini di antaranya adalah
buku Radd al Muhtar. Dalam buku tersebut dijelaskan pendapat Ibnu
Abidin tentang tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina tetapi tidak
boleh di setubuhi sebelum wanita tersebut melahirkan anak yang
dikandungnya.7
Dalam buku Hukum Perkawinan Islam dijelaskan perbedaan
pendapat yang berkembang di kalangan fuqaha’ tentang ‘iddah perempuan
hamil karena zina. Menurut pendapat Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan
dan Syafi‟i perkawinan wanita hamil karena zina dengan laki- laki kawan
berzinanya itu dapat dilakukan seketika tanpa harus menunggu sampai
melahirkan kandunganya. Sedangkan Abu Yusuf, Zufar, Malik, dan
Ahmad bin Hanbal berpendapat bahwa perempuan yang hamil karena zina
wajib menjalankan ‘iddah yaitu sampai melahirkan. 8
Dalam buku Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, juga
dijelaskan perbedaan pendapat fuqaha’ berkaitan dengan ‘iddah
perempuan hamil karena zina. Selain menjelaskan pendapat fuqaha’
sebagaimana telah dijelaskan dalam buku-buku sebelumnya, dalam buku
7 Ibnu abidin, „Radd al-Mukhtar’ala al-Dur al-Mukhtar, (Beirut:Dar al-Ihya‟ al-Turuki
al-„Arabiy,1407 H/1987 M ), 5 juz. Hlm. 179. 8 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, cet. IX (Yogyakarta: UII Press, 1999),
hlm.35-36.
7
ini dijelaskan pendapat An-Nawawi bahwa seorang wanita yang berzina
tidak wajib ber’iddah baik sedang dalam keadaan hamil atau tidak. 9
Ada beberapa kitab fiqh yang menjelaskan masalah ‘iddah
perempuan hamil karena zina, antara lain adalah Kitab al-Fiqh ‘ala
Madhabil al-Arba’ah, dalam juz IV Kitab at-Thalaq. Dijelaskan perbedaan
pendapat tentang ‘iddah perempuan hamil karena zina. Dari keempat
Imam Mazhab Sunni sebagaimana yang telah dijelaskan dalam buku-buku
sebelumnya. 10
Dalam kitab Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid,
dijelaskan bahwa terjadinya perbedaan pendapat antara yuris Malikiyah
dengan yuris-yuris pada umumnya (jumhur) dalam masalah ‘iddah
perempuan hamil karena zina disebabkan karena perbedaan mereka dalam
memahami larangan mengawini wanita yang berzina (Q.S.An-Nur (24):
3), apakah hanya bersifat mencela atau mengharamkan. Sebagian besar
mereka menangkap pesan ayat tersebut sebagai celaan saja dengan bukti
bahwa pernah terjadi kasus penyelewengan seorang istri yang disarankan
oleh Nabi agar diceraikan tetapi suaminya merasa keberatan hingga
akhirnya Nabi merestui meneruskan rumah tangganya tanpa istibra’ lagi.11
Dalam kitab al-Mughni, dijelaskan pendapat Ulama Hanabilah
bahwa ‘iddah perempuan hamil karena zina seperti ‘iddah yang berlaku
9 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Pekawinan
Wanita Hamil, cet.I(Yogyakarta:Pustaka
Dinamika, 2002), hlm. 105-107 10
Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ala Mazhahib Arba’ah, (Mesir: Maktabah al-
tijariyah al kubra, 1969), jus IV hlm. 519-532. 11
Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid,cetII(Beirut : Dar a l-Fikr,
1995), hlm. 32-33.
8
bagi istri yang dicerai oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai
melahirkan.12 Kemudian Fiqh as-Sunnah, dalam kitab ini dijelaskan
bahwa menurut Ulama Hanafiyyah dan Syafi‟iyyah perempuan hamil
karena zina tidak diwajibkan ‘iddah karena ‘iddah bertujuan untuk
menjaga nasab sedangkan persetubuhan dalam bentuk zina tidak
menyebabkan hubungan nasab dengan laki- laki yang menyebabkan
hamil.13 Sedangkan menurut Malik dan Ahmad perempuan hamil karena
zina wajib menjalankan ‘iddah, baik dengan tiga kali haid atau cukup
sekali haid untuk mengetahui kebersihan rahim.
Buku Hukum islam di Indonesia.14 Dalam tulisan ahmad rofiq
tentang “Materi KHI (Kompilasi Hukum Islam)” dijelaskan kebolehan
mengawini wanita hamil karna zina dengan laki- laki yang menghamilinya
tanpa menunggu kelahiran anak yang dikandungnya. Selain itu tujuan
utama kebolehan kawin hamil adalah untuk memberikan perlindungan
hukum kepada anak yang berada dalam kandungan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian pustaka (library research),
yaitu suatu jenis penelitian yang di dalam memperoleh bahan
12
Ibn Qudamah, al-Mughni, (Bairut, Maktabah al Jumhuriyah al Arabiyah, 1986), jus VI,
hlm. 601-602. 13
As-Sayyid Sabiq,Fiqh as-Sunnah, cet IV (Beirut: Dar al fikr, 1983), jus II, hlm. 282-
283. 14
Ahmad rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. III, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada,
1998), hal. 164.
9
dilakukan dengan cara menelusuri bahan-bahan pustaka.15 Dalam
penelitian ini cukup ditempuh dengan penelitian pustaka karena
sebagian besar data yang diperlukan berasal dari bahan pustaka, baik
berupa buku maupun hasil penelitian. Misalnya untuk mendiskripsikan
‘iddah perempuan hamil karena zina dapat diperoleh dari kitab-kitab
fiqih dan buku-buku yang membahas tentang hukum perkawinan.
2. Sumber Data
Untuk memudahkan mengidentifikasi sumber data, maka
penulis mengklasifikasikan sumber data tersebut menjadi dua jenis
sumber data, yaitu:
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data penelitian langsung pada subyek
sebagai sumber informasi yang diteliti.16 Adapun sumber data
dalam penelitian skripsi ini adalah buku tentang pengertian iddah
dan pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada iddah bagi wanita
hamil karena zina dalam Kitab Radd al-Muhtar. Data primer ini
penulis paparkan di bab III.
b. Sumber Data Sekunder
Yakni data yang mendukung atau data tambahan bagi data
primer. Data sekunder merupakan data yang tidak langsung
diperolah oleh peneliti dari subyek penelitiannya. Sebagai data
15 Sutrisno Hadi, Metodologi Resesrch, Jilid I, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001),
hlm 9
16
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitin Hukum, ( Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2005),hlm.185
10
sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku lain yang berisi
tentang hukum perkawinan Islam, ketentuan iddah wanita hamil
menurut Islam, dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) serta buku-
buku yang ada kaitanya dengan permasalahan yang penulis bahas
dalam sekripsi ini.
Data-data skripsi ini penulis paparkan di bab II dan bab I.
3. Metode Pengumpulan Data
Data yang penulis perlukan dalam sekripsi ini merupakan data
kualitatif, dan pemaparan tidak menggunakan angka dan statistik.
Untuk pendapatkan data tersebut penulis menggunakan metode
dokumentasi, yaitu dengan cara mengumpulkan berbagai informasi
dari buku-buku atau karya ilmiah yang berkaitan dengan pembahasan
sekripsi ini.17
4. Metode Analisis Data
Secara garis besar, analisis yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan diskriptis analisis,18 yakni suatu metode dalam meneliti
status kelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem
pemikiran, ataupun suatu peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari
penelitian dengan metode deskriptif ini adalah untuk membuat
deskripsi atau gambaran, atau lukisan secara sistematis, factual, dan
akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat, serta hubungan antara
17 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek , (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006), h lm.4
18
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet XIII, (Bandung:
Remaja Rosada Karya, 2000), hlm. 6
11
fenomena yang diselidiki.19 setelah penulis mendapatkan data-data
yang relevan tentang bagaimana pendapat Ibnu Abidin tentang tidak
ada iddah wanita hamil karena zina dan juga informasi tentang
istimbat hukum yang digunakan, juga pendapat para ahli hukum islam
yang relevan dengan kajian skripsi ini, kemudian penulis menganalisis.
Hasil analisis data ini penulis paparkan di babIV.
E. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dalam memahami, mencerna dan mengkaji
masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, maka penulis menyusun
skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut:
1. Bagian muka
Pada bagian muka ini dimuat: halaman judul, nota pembimbing,
halaman pengesahan, halaman motto, halaman persembahan, halaman
deklarasi, abstrak, kata pengantar, daftar isi.
2. Bagian Isi (Batang Tubuh)
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang permasalahan;
permasalahan skripsi; tujuan penelitian; telaah
pustaka; metode penelitian; serta sistematika
penulisan.
19
Moh Nazir hlm 63
12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG „IDDAH
Bab ini meliputi: Pengertian dan dasar hukum
„iddah; Macam-macam „iddah; hikmah „iddah;
„iddah perempuan hamil karena zina dalam
pandangan ulama
BAB III PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG TIDAK
ADA IDDAH PEREMPUAN HAMIL KARENA
ZINA
Bab ini memaparkan mengenai biografi Ibnu
Abidin; pemikiran Ibnu Abidin tentang tidak ada
„iddah bagi perempuan hamil karena zina; Metode
Istinbath hukum Ibnu Abidin tentang tidak ada
„iddah bagi perempuan hamil karena zina.
BAB IV ANALISIS PENDAPAT IBNU ABIDIN
TENTANG TIDAK ADA IDDAH PEREMPUAN
HAMIL KARENA ZINA
Merupakan Bab yang akan menjadi obyek kajian
analisis. Analisis ini meliputi: Analisis Terhadap
Pendapat Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada Iddah
Wanita Hamil Karena Zina; Analisis Terhadap
Istinbath Hukum Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada
Iddah Wanita Hamil Karena Zina.
13
BAB V PENUTUP
Pada bab ini diuraikan kesimpulan akhir dari
keseluruhan isi skripsi, saran-saran, dan penutup
3. Bagian Penutup
Pada bagian akhir skripsi ini berisi: daftar pustaka, lampiran-
lampiran, dan daftar riwayat hidup penulis
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ‘IDDAH
Bagi seorang perempuan yang putus perkawinannya baik karena talak,
fasakh, khulu‟, li‟an maupun ditinggal mati oleh suaminya maka wajib
menjalankan „iddah. Akan tetapi ketentuan ini tidak berlaku bagi laki- laki
berdasarkan makna „iddah menurut istilah, sehingga dibolehkan bagi laki- laki
untuk menikah secara langsung dengan perempuan lain setelah perceraian selama
tidak ada larangan syara‟. Secara sepintas memang tampak adanya diskriminasi
terhadap perempuan berkaitan dengan masalah kewajiban „iddah ini, akan tetapi
sebenarnya terdapat hikmah yang agung dibalik penetapan „iddah bagi
perempuan.1
Untuk dapat memahami hikmah tersebut maka di dalam bab kedua ini akan
diberikan gambaran umum tentang „iddah yang mencakup pengertian dan dasar
hukum „iddah, macam-macam „iddah, hikmah „iddah dan „iddah perempuan
hamil karena zina dalam pandangan ulama.
A. Pengertian Dan Dasar Hukum Iddah
Menurut bahasa kata „iddah berasal dari kata al-„adad. Sedangkan
kata al-„adad merupakan bentuk masdar dari kata kerja „adda-ya‟uddu yang
berarti menghitung. Kata al-„adad memiliki arti ukuran dari sesuatu yang
dihitung dan jumlahnya. Adapun bentuk jama‟ dari kata al-„adad adalah al-
1 Abdul Moqsith Ghazali dkk,Tubuh, Seksualitas,dan Kedaulatan Perempuan , editor :
Amiruddin Arani dan Faqihudin Abdul Qodir,cet.I(Yogyakarta:LKIS,2002), h lm.162 -167.
14
15
a’dad begitu pula bentuk jama‟ dari kata „iddah adalah al-„idad. Secara
(etimologi) berarti: “menghitung” atau “hitungan”. Kata ini digunakan untuk
maksud Iddah karena masa itu si perempuan yang beriddah menunggu
berlakunya waktu.2
Menurut Sayyid Sabiq yang dimaksud dengan „iddah dari segi bahasa
adalah perempuan (isteri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya.3
Sementara al-Jaziri menyatakan bahwa kata „iddah mutlak digunakan untuk
menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.4
Dari sisi terminologi maka terdapat beberapa definisi „iddah yang
dikemukakan oleh para fuqaha. Meskipun dalam redaksi yang berbeda,
berbagai definisi tersebut memiliki kesamaan secara garis besarnya.
Menurut al-Jaziri „iddah secara syar‟i memiliki makna yang lebih luas
dari pada makna bahasa yaitu masa tunggu seorang perempuan yang t idak
hanya didasarkan pada masa haid atau sucinya tetapi kadang-kadang juga
didasarkan pada bilangan bulan atau dengan melahirkan dan selama masa
tersebut seorang perempuan dilarang untuk menikah dengan laki- laki lain.5
Sementara itu Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa „iddah merupakan
sebuah nama bagi masa lamanya perempuan (isteri) menunggu dan tidak
boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dari suaminya. 6
2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006),
hlm. 303 3 As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, II (Jakarta:PT Pena Pundi Aksara),h lm. 277.
4 Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh,(mesir: maktabah at tijariyah al kubra,1969), IV
, hlm. 513 5 Ibid
6 As-Sayyid Sabiq, Op.Cit., hal. 196.
16
Abu Yahya Zakariyya al-Ansari memberikan definisi „iddah sebagai
masa tunggu seorang perempuan untuk mengetahui kesucian rahim atau
untuk ta‟abbud (beribadah) atau untuk tafajju‟ (bela sungkawa) terhadap
suaminya.7
Muhammad Zaid al-Ibyani menjelaskan bahwa „iddah memiliki tiga
makna yaitu makna secara bahasa, secara syar‟i dan dalam istilah fuqaha.
Menurut makna bahasa berarti menghitung sedangkan secara syar‟i adalah
masa tunggu yang diwajibkan bagi perempuan ketika terdapat sebab. Adapun
dalam istilah fuqaha, „iddah yaitu masa tunggu yang diwajibkan bagi
perempuan ketika putus perkawinan atau karena perkawinannya syubhat.8
Dari berbagai definisi „iddah yang telah dikemukakan diatas maka
dapat dirumuskan sebuah pengertian yang komprehensif tentang „iddah yaitu
masa tunggu yang ditetapkan bagi perempuan setelah kematian suami atau
putus perkawinan baik berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan atau
dengan melahirkan untuk mengetahui kesucian rahim, beribadah (ta‟abbud)
maupun bela sungkawa atas suaminya. Selama masa tersebut perempuan
(isteri) dilarang menikah dengan laki- laki lain.
Kewajiban menjalankan „iddah bagi seorang perempuan setelah
kematian suaminya atau setelah berpisah dengan suaminya dijelaskan di
dalam al-Qur‟an maupun Sunnah. Diantara nash al-Qur‟an yang menjelaskan
tentang „iddah antara lain :
7 Abu Yahya Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab, cet. II, (Semarang : Toha Putra,
1998), hal. 103. 8 Muhammad Zaid al-Ibyani, Syarh al-Ahkam asy-Syari‟ah fi Ahwal asy-Syakhsiyyah,(
Beirut : Maktabah an-Nahdah, t.t), I : 426
17
Q. S. Al-Baqarah ayat 228.
Artinya : “Dan para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka
(menunggu) tiga kali quru‟.”9
Q. S. Al-Baqarah ayat 234.
Artinya : “Dan orang-orang mati diantara kamu serta meninggalkan istri-istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari”.10
Q. S. Al-Ahzab ayat 49.
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan”.11
Q. S. Al-Talaq ayat 4.
Artinya :“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di
antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungnnya”.12
9 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta:CV. Pustaka Agung Harapan, 2006),
hlm.228 10
Ibid, hlm. 234 11
Ibid, hlm. 49 12
Ibid, hlm. 4
18
Sementara itu masalah „iddah juga dijelaskan dalam Sunnah Nabi :
ال حيل إلمرأة تؤمن بااهلل والًىم االخر ان حتد على مًت فىق ثالث لًال اال على زوج اربعة اشهر
.وعشرا
Artinya : “Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman pada Allah
dan hari akhir untuk berhias diri atas seorang manyit lebih dari tiga malam kecuali atas seorang suami yaitu empat bulan
sepuluh hari”. 13
Nash al-Qur‟an maupun Sunnah diatas merupakan dasar hukum
penetapan „iddah. Berdasarkan Nash al-Qur‟an dan Sunnah tersebut maka
para ulama telah sepakat (ijma‟) bahwa „iddah hukumnya wajib. Mereka
hanya berbeda dalam masalah tafsil (perincian ) dalam beberapa persoalan
saja.
Selama dalam ketentuan „iddah yang telah dijelaskan oleh Nash al-
Qur‟an maupun Sunnah tidak banyak mengundang perbedaan pendapat
dikalangan ulama. Tetapi ketika ketentuan „iddah tersebut dihadapkan pada
suatu persoalan yang belum ada penjelasannya baik dalam al-Qur‟an maupun
Sunnah seperti „iddah bagi perempuan hamil karena zina telah menimbulkan
perbedaan pendapat dikalangan ulama sebagaimana akan dibahas nanti.
B. Macam–macam ‘Iddah
Berdasarkan penjelasan tentang „iddah yang terdapat dalam nas al-
Qur‟an maka para fuqaha dalam kitab-kitab fikih membagi „iddah menjadi
tiga yaitu berdasarkan masa haid atau suci, bilangan bulan dan dengan
melahirkan. Kalau dicermati penentuan „iddah itu sendiri sebenarnya
13
Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, (Makkah : Maktabah al Tijariyyah, t.t), jus III, hlm. 500.
Hadis nomor 1196. Hadis diriwayatkan oleh Zainab.
19
disesuaikan dengan sebab putusnnya perkawinan, keadaan isteri dan akad
perkawinan.14
Sebab putusnya perkawinan dapat dibedakan karena kematian suami,
talaq bain sughra maupun kubra dan faskh (pembatalan) seperti murtadnya
suami atau khiyar bulug perempuan.
Keadaan isteri dapat dibedakan menjadi isteri yang sudah dicampuri
atau belum, isteri masih mengalami haid atau belum bahkan sudah
menopause, isteri dalam keadaan hamil atau tidak, isteri seorang yang
merdeka atau dari hamba sahaya, dan isteri seorang muslim atau kitabiyah.
Sedangkan ditinjau dari jenis akad maka dapat dibagi menjadi akad
shahih dan akad fasid.
Secara umum maka „iddah dapat dibedakan sebagai berikut :
„Iddah seorang isteri yang masih mengalami haid yaitu dengan tiga kali
haid
„Iddah seorang isteri yang sudah tidak haid (menopause) yaitu t iga
bulan
„Iddah seorang isteri yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat
bulan sepuluh hari jika ia tidak dalam keadaan hamil
„Iddah seorang isteri yang hamil yaitu sampai melahirkan. 15
Adapun secara rinci pembagian „iddah dapat dijelaskan sebagai
berikut:
14
Muhammad Zaid al-Ibyani, Syarh al-ahkam asy-syari‟ah fi ahwal asy-syakhsiyyah,
(Beirut:Maktabah an nahdah, t.t), jus I, h lm. 429 15
As-Sayyid Sabiq, Op. cit. hal :277-278.
20
1. „Iddah berdasarkan haid
Apabila terjadi putus perkawinan disebabkan karena talaq baik
raj‟i maupun bain, baik bain sughra maupun kubra atau karena fasakh
seperti murtadnya suami atau khiyar bulug dari perempuan sedangkan
isteri masih mengalami haid maka „iddahnya dengan tiga kali haid. Akan
tetapi hal tersebut berlaku bagi seorang isteri yang memenuhi syarat-
syarat diantaranya :
a. Isteri yang merdeka, sedangkan bagi isteri yang hamba sahaya
„iddahnya selesai dengan dua kali haid.
b. Isteri tersebut dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila ia
hamil „iddahnya selesai sampai ia melahirkan.
c. Isteri tersebut telah dicampuri secara hakiki berdasarkan akad yang
shahih. Ulama Hanafiyyah, Hanabilah, dan Khulafa ar-Rasyidun
berpendapat bahwa khalwat berdasarkan akad yang sahih dianggap
dukhul yang mewajibkan „iddah. Sedangkan ulama Syafi‟iyyah
dalam mazhab yang baru (qaul al-jadid) berpendapat bahwa
khalwat tidak mewajibkan „iddah.16
Penetapan „iddah dengan haid ini juga berlaku bagi isteri yang
ditinggal mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dalam
dua keadaan. Pertama, apabila ia dicampuri secara syubhat dan sebelum
putus perkawinannya suaminya meninggal maka ia wajib ber‟iddah
berdasarkan haid. Kedua, apabila akadnya fasid dan suaminya meninggal
16
As-Sayyid Sabiq, Op.cit, hal: 278
21
maka ia ber‟iddah dengan berdasarkan haid tidak dengan empat bulan
sepuluh hari yang merupakan „iddah atas kematian suami karena hikmah
„iddah di sini adalah untuk mengetahui kebersihan rahim dan tidak untuk
berduka terhadap suami karena dalam hal mencampuri secara syubhat
tidak ada suami dan dalam akad yang fasid tidak ada suami secara syar‟i
maka tidak wajib berduka atas suami.
2. „Iddah berdasarkan bilangan bulan.
Apabila perempuan (isteri) merdeka dalam keadaan tidak hamil
dan telah dicampuri baik secara hakiki atau hukmi dalam bentuk
perkawinan sahih dan dia tidak mengalami haid karena sebab apapun
baik karena dia masih belum dewasa atau sudah dewasa tetapi telah
menopause yaitu sekitar umur 55 tahun atau telah mencapai umur 15
tahun dan belum haid kemudian putus perkawinan antara dia dengan
suaminya karena talak, atau fasakh atau berdasarkan sebab-sebab yang
lain maka „iddahnya adalah tiga bulan penuh berdasarkan firman Allah
dalam Surat at-Talaq (65): 4. Dalam hal ini bagi perempuan yang
ditinggal mati oleh suaminya dan ia tidak dalam keadaan hamil dan
masih mengalami haid „iddahnya empat bulan sepuluh hari berdasarkan
firman Allah dalam Surat al-Baqarah (2) : 234.
3. „Iddah karena kematian suaminya.
Sementara itu jika putusnya perkawinan disebabkan karena
kematian suami maka apabila isteri dalam keadaan hamil „iddahnya
sampai melahirkan. Mayoritas ulama menurut Ibn Rusyd berpendapat
22
bahwa masa „iddah perempuan tersebut adalah sampai melahirkan,
meskipun selisih waktu kematian suami hingga ia melahirkan hanya
setengah bulan atau kurang dari empat bulan sepuluh hari. Sementara
menurut Malik dan Ibn „Abbas dan Ali bin Abi Talib masa „iddah
perempuan tersebut diambil waktu yang terlama dari dua jenis „iddah
tersebut apakah empat bulan sepuluh hari atau sampai melahirkan.17
Menurut jumhur ulama antara lain Hanafiyyah dan jumhur shahabat
telah diriwayatkan bahwa Umar dan Abdullah bin Mas‟ud dan Zaid bin
Sabit dan Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah mengatakan : “
„iddahnya ialah dengan melahirkan kandungan yang ada d i dalam
perutnya meskipun suaminya ketika itu masih berada di atas kasur tempat
membaringkan mayatnya.” Ini berarti bahwa ayat dari Surat at-Talaq
mentakhsis ayat Surat al-Baqarah yang menjelaskan „iddah bagi isteri
yang ditinggal mati oleh suaminya adalah empat bulan sepuluh hari. Hal
ini karena ayat Surat at-Talaq diturunkan setelah ayat Surat al-Baqarah.18
Dan bagi isteri yang tidak dalam keadaan hamil „iddahnya adalah
empat bulan sepuluh hari berdasarkan Surat al-Baqarah (2) : 234. Dalam
hal ini tidak ada perbedaan baik isteri masih kecil atau sudah dewasa,
muslim atau kitabiyah begitu pula apakah sudah melakukan hubungan
atau belum karena „iddah dalam kondisi seperti ini adalah untuk
menunjukkan kesedihan dan rasa belas kasih atas kematian suami
sehingga disyaratkan bahwa akadnya sahih, jika akadnya fasid maka
17
Ibn Rusyd, Bidayatul mujtahid, cet. II, (Jakarta : Pustaka Amin, 2006), hlm. 77. 18
Muhammad Yusuf Musa, Ahkam al-Ahwal asy-Syakhsiyyah fi Fiqh al-Islami, cetI
(Mesir : Dar al-Kitab al-„Arabi, 1957M/1376H), hlm.349
23
„iddahnya dengan haid karena untuk mengetahui kebersihan rahim.
Semua ketentuan ini adalah bagi isteri yang merdeka sementara jika isteri
adalah hamba sahaya dan hamil maka „iddahnya sama dengan isteri yang
merdeka yaitu sampai melahirkan dan jika tidak hamil dan masih
mengalami haid „iddahnya adalah dua kali haid berdasarkan hadis Nabi :
Artinya : “Bilangan talaq untuk perempuan hamba sahaya adalah dua kali dan iddahnya dua kali haid”.19
4. „Iddah bagi isteri qabla ad-dukhul
Adapun jika putusnya perkawinan terjadi sebelum dukhul
(hubungan seks) apabila disebabkan oleh kematian suami maka wajib
bagi isteri untuk ber‟iddah sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Dan jika putusnya perkawinan disebabkan karena talaq atau fasakh maka
tidak ada kewajiban „iddah bagi isteri. Jika nikahnya berdasarkan akad
sahih tidak disyaratkan adanya hubungan seks (dukhul) hakiki akan tetapi
adanya khalwat shahih sudah mewajibkan untuk ber‟iddah sebaliknya
jika berdasarkan akad fasid maka tidak wajib ber‟iddah kecuali telah
terjadi dukhul hakiki (hubungan seks). Dan tidak ada kewajiban „iddah
bagi isteri yang dicerai sebelum dicampuri (qabla ad-dukhul)
berdasarkan firman Allah dalam Surat al-Ahzab (33) : 49.20
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: kencana,2006),
hlm. 315 20
Ibid, hlm.317
24
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu menikahi perempuan-perempuan mukmin, kemudian kamu ceraikan
mereka sebelum kamu mencampurinya maka tidak ada masa iddah atas mereka yang perlu kamu perhitungkan”.21
C. Hikmah ‘Iddah
Perlu dimengerti bahwa Allah tidaklah meninggalkan perintah bagi
kita maupun kaidah-kaidah penetapan hukum kecuali di dalamnya terdapat
hikmah yang tinggi untuk menolong manusia di dunia maupun akhirat.
Adapun hikmah disyari‟atkannya „iddah antara lain :
1. Mengetahui kebersihan rahim dan kesuciannya sehingga tidak
berkumpul benih dua laki- laki dalam satu rahim yang menyebabkan
bercampurnya keturunan.
2. Menunjukkan penghormatan terhadap akad dan mengagungkannya.
3. Memperpanjang waktu untuk ruju‟ bagi suami yang menjatuhkan talaq
raj‟i.
4. Menghormati hak suami yang meninggal dengan menunjukkan rasa
sedih atas kepergiannya.
5. Kehati-hatian (ihtiyat) terhadap hak suami yang kedua.
6. Memberikan kesempatan kepada keduanya secara bersama-sama untuk
memulai kehidupan keluarga dengan akad baru jika dalam bentuk talak
ba‟in.
21
Depag RI, Op.cit. h lm. : 49
25
7. Ihdad bagi isteri atas kematian suaminya.
8. Memuliakan isteri merdeka dari pada isteri hamba sahaya.
9. Perlindungan terhadap penyakit seks menular.
Sebenarnya dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya dalam bidang kedokteran, untuk mengetahui hamil atau tidaknya
seorang perempuan tidak harus menunggu minimal sampai satu kali haid,
akan tetapi dalam hal ini terdapat hikmah bahwa diantara maksud
ditetapkannya „iddah adalah untuk memberikan waktu bagi kedua belah pihak
untuk saling berpikir dan introspeksi terhadap diri sehingga dapat membenahi
dan mewujudkan kembali kehidupan rumah tangga yang bahagia. Selain itu
dengan ditetapkannya „iddah menunjukkan bahwa ikatan perkawinan adalah
ikatan yang kokoh dan suci ( misaqan galizan) yang tidak mudah putus hanya
dengan jatuhnya talak. 22
D. ‘Iddah Perempuan Hamil Karena Zina dalam Pandangan Ulama
Sepanjang kedua jenis „iddah bagi perempuan hamil sebagai akibat
dari perkawinan yang sah, baik karena kematian suaminya atau talak tidak
begitu banyak mengundang kontroversi karena masing-masing telah
dijelaskan oleh nass secara eksplisit. Akan tetapi dalam hal ‟iddah bagi
perempuan hamil karena zina maka tidak ada penjelasan secara eksplisit oleh
nass. Sebagai konsekuensinya maka muncul perbedaan pendapat di kalangan
ulama tentang ada tidaknya kewajiban „iddah bagi perempuan tersebut
22
Ali Ahmad al-Jurjawi, Hikmah at-Tasyri‟ wa Falsafatuh, (Bairut : Dar al-Fikr,t.t), jus II
, hal. 84-85.
26
ataupun tenggang waktu masa „iddah tersebut. Pada dasarnya ulama telah
sepakat bahwa jika perempuan hamil karena zina menikah dengan orang yang
menghamilinya tidak berlaku kewajiban „iddah. Sedangkan jika perempuan
hamil karena zina menikah dengan laki- laki yang tidak menghamilinya maka
terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama sebagai berikut :
1. Pandangan ulama Malikiyyah terhadap „iddah perempuan hamil karena
zina.
Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa perempuan yang
dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan perempuan yang
dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil maupun fasid
yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama dengan
„iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya, maka
ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid. 23 Adapun bagi
perempuan hamil karena zina maka perempuan tersebut wajib
menjalankan „iddah dengan tiga kali haid atau dengan tenggang waktu
tiga bulan, baik bagi perempuan yang telah tampak kehamilannya
maupun belum.
Sedangkan untuk menghindari bercampurnya keturunan. Dalam
riwayat lain dijelaskan bahwa seorang perempuan hamil karena zina
maka ketentuan „iddahnya adalah sampai dengan melahirkan.24
Berdasarkan firman Allah :
23
Muhammad Jawad al-Mugniyyah, al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, cet. I (Bairut : Dar al-
„Ilmi li al-Malay in, 1964), hlm. 152-153.
24
Ibn Qudamah, al-Mugni, (Bairut : Dar al-Fikr,1415 H/ 1995 M), jus II, hal. 601.
27
Q.S. At-Talaq ayat 4.
… ….
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”25
2. Pandangan ulama Hanafiyyah terhadap „iddah perempuan hamil karena
zina
Ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa perempuan hamil karena
zina tidak diwajibkan untuk menjalankan „iddah, karena „iddah bertujuan
untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak
menyebabkan hubungan nasab dengan laki–laki yang menyebabkan
hamil. Sehingga boleh menikahi perempuan hamil karena zina tanpa
harus menunggu „iddah.26
Sebagian ulama Hanafiyyah menambahkan bahwa terdapat
larangan bagi suami untuk menggauli isterinya itu selama masih dalam
keadaan hamil sampai isterinya melahirkan.27 Adapun larangan untuk
mencampuri selama perempuan tersebut masih dalam keadaan hamil
didasarkan pada hadis:
من كان يؤمن باهلل والًىم اال خر فال يسقٌ مأه ولد غريهArtinya : “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir
janganlah menyiramkan air seperma kepada anak orang
lain”. 28
25
Depag RI, Op.Cit. hlm. 817 26
As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara), jus II, h lm. 282-283. 27
Ibid. 28
Tirmizi, Op. cit., h lm. 437. Hadis nomor 1131.
28
3. Pandangan ulama Syafi‟iyyah terhadap „iddah perempuan hamil karena
zina.
Menurut ulama Syafi‟iyyah perempuan yang d icampuri secara
zina maka tidak ada kewajiban „iddah baginya dan diperbolehkan untuk
menikahi perempuan hamil karena zina serta mencampurinya. 29 Pendapat
ini didasarkan pada hadis :
الحيرم احلرام احلالل
Artinya : “perkara yang haram itu tidak bisa menghalangi perkara
yang halal”. 30
Karena mencampuri dalam bentuk zina tidak menyebabkan
hubungan nasab maka tidak diharamkan menikahi perempuan tersebut
seperti halnya jika tidak hamil.31
4. Pandangan ulama Hanabilah terhadap „iddah perempuan hamil karena
zina
Ulama Hanabilah menyatakan bahwa „iddah perempuan hamil
karena zina seperti halnya „iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai
oleh suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.32
Selain itu masih terdapat satu syarat lagi yaitu taubat. Konsekuensi dari
pendapat ini adalah larangan untuk menikahi perempuan tersebut pada
waktu hamil. Pendapat ini didasarkan pada hadis Nabi :
29
Abd ar-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh, (mesir: maktabah at tijariyah al kubra,1969),
jus IV, hlm. 523. 30
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, (Beirut : Dar al-Fikr, t.t.), jus 1, hal. 622, Hadis nomor
2041. Hadis diriwayatkan dari Ibn „Umar. 31
Ibn Qudamah, Op. cit., h lm. 601. 32
Ibid, hlm. 602
29
الحيل إلمرئ يؤمن باهلل والًىم اآلخر ان يسقى ماءه زرع غري
Artinya : “tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada allah dan
hari akhir, menyiramkan benih (air sperma) ketanaman
orang lain”. 33
Perbedaan pendapat yang muncul di kalangan ulama di atas kalau
dikelompokkan dapat dibagi menjadi dua yaitu pendapat yang mewajibkan
„iddah dan tidak mewajibkan „iddah terhadap perempuan hamil karena zina.
Sementara mengenai dengan siapa perempuan hamil tersebut akan
dikawinkan, apakah dengan laki- laki yang menghamili atau bukan sehingga
mempengaruhi boleh dan tidaknya mencampuri perempuan tersebut pada
waktu hamil, tidak ada penjelasan secara eksplisit.
Dari sisi sosiologi memang pendapat yang tidak mewajibkan adanya
„iddah (Hanafi dan Syafi’i) menguntungkan pihak wanita karena dapat
menutup aibnya dan tidak menanggung malu. Sedangkan pendapat Malik dan
Ahmad yang mewajibkan adanya „iddah jika ditinjau dari segi tegaknya
hukum, cukup positif, karena orang lebih berhati-hati dalam pergaulan, baik
bagi muda-mudi maupun orang tua dalam mengawasi putera-puteri mereka.
Di sini orang yang terlanjur melakukan zina sampai hamil memang
dikorbankan, akan tetapi menjaga masyarakat banyak lebih utama dari pada
perorangan. Biarlah satu orang menjadi korban, tetapi masyarakat tetap baik
dan kasusnya menjadi pelajaran.34
33
Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, (t.tp.: Dar al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis nomor
2158. Hadis diriwayatkan oleh Ruwaifi‟ bin Sabit al-Ansari. hal. 113 34
Chuzaimah T. Yanggo dan Hafiz Anshary A.Z (ed), Problematika Hukum Islam
Kontemporer II,cet.II ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996), hlm.55
30
BAB III
PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG TIDAK ADA IDDAH
WANITA HAMIL KARENA ZINA
A. Biografi Ibnu Abidin
Ibnu Abidin nama lengkapnya adalah Muhammad Amin bin Umar
ibn Abdul Aziz Abidin Damasqy. Ia dilahirkan pada tahun 1198 H dan
wafat pada tahun 1252 H. Beliau merupakan ahli fiqih di Syam, pemuka
golongan hanafiyah pada masanya. Ibnu Abidin merupakan tokoh fiqih pada
masa keenam (658 H sampai akhir abad ke 13 H) yaitu masa pemerintahan
Abdul Hamid I (dinasti Usmaniyah).
Muhammad Amin yang terkenal dengan nama Ibnu Abidin dalam
menulis kitab Radd al muhtar Syarah Tanwir al Absar dalam keadaan
pergolakan politik yang tidak menentu, baik di dalam negeri maupun di luar
negeri yang padawaktu itu terjadi pererangan antara Dinasti umaniyah dan
Bangsa Tartar.
Sejak kecil beliu sudah mengenal pendidikan agama secara langsung
dari ayahnya yang dilanjutkan oleh gurunya, yaitu Umar ibnu Abdul Aziz.
Beliau menghafal Al-Qur‟an pada usia yang masih sangat muda. Ayahnya
adalah seorang pedagang, sehingga ibnu Abidin sering diajak ayahnya untuk
berdagang sekaligus dilatih berdagang oleh ayahnya.
Pada suatu hari, ketika beliau sedang membaca Al-Qur‟an ditempat
ayahnya berdagang, tiba-tiba lewatlah seorang laki- laki dari kalangan orang
saleh dan ia (orang saleh itu) mengomentari bacaan Al-Qur‟an Ibnu Abidin
30
31
dengan dua komentar, yang akhirnya menghantarkan ibnu Abidin menjadi
ulama terkenal. Dua komentar tersebut adalah:
1. Dia (Ibnu Abidin) tidak tartil dalam membaca Al-Qur‟an dan tidak
menggunakan tajwid sesuai dengan hukum-hukumnya.
2. Kebanyakan manusia tidak sempat untuk mendengarkan bacaan Al-
Qur‟an karena kesibukannya dalam berdagang. Jika tidak mendengar
bacaan Al-Qur‟an tersebut maka ia berdosa. Begitu juga dengan Ibnu
Abidin berdosa karena membuat mereka berdosa tidak mendengarkan
bacaan Al-Qur‟an.
Maka bangkitlah Ibnu Abidin seketika itu dan langsung bertanya
kepada orang saleh tadi tentang ahli qiraah saat itu, yaitu syaikh al-Hamawi,
maka pergilah Ibnu Abidin kepadanya dan meminta agar diajari ilmu tajwid
dan hukum-hukum qira’ati.
Sejak saat itu ibnu abidin tidak pernah meluangkan waktunya kecuali
untuk belajar. Maka Imam Al-Hamawi memerintahkan untuk menghafal Al-
Jauziyah dan Syapifibiyah kemudian ia belajar nahwu dan shorof dan tak
ketinggalan fiqih. Saat itu ia pertama kali belajar fiqih adalah fiqih yang
bermadzhab Syafi‟i. 1
Bermula dari seorang guru al-Hamawi itulah beliau menjadi ulama
yang sangat terkenal. Setelah ia menguasai dengan matang ilmu tajwid dan
hokum qiraah serta ilmu fiqih terutama fiqih dari madzhab Syafi‟i pada
imam al-Hamawi, seorang ahli qiraah pada saat itu Ibnu Abidin tidak
1 Muhammad Sahir bi Ibn Abidin, Radd al-Muhtar, (Bairut : Dar al-Kitab al-Ilmiah, 1994),
jus I, hlm.53
32
berhenti sampai disitu saja, akan tetapi ia melanjutkan menuntut ilmu
dengan belajar hadits, tafsir dan manteq (logika) kepada seorang guru yaitu
Syaikh Muhammad Al- Salimi al-Amirri al-Aqd. Al-Alimi adalah seorang
penghafal hadits, dia menyarankan kepada ibnu Abidin belajar fiqih abu
Hanifah. Ibnu Abidin mengikuti nasehat itu dan belajar kitab-kitb fiqih dan
ushul fiqih madzhab Hanafi. Ia terus menggali berbagai ilmu sampai
menjadi tokoh aliran pada saat itu. Tidak hanya sampai di situ kemudian ia
pergi ke Mesir dan belajar pada syaikh al-Amir al-Mughni sebagaimana ia
belajar kepada syaikh ahli hadits dari syam, yaitu syaikh Muhammad al-
Kasbari, ia tak henti-hentinya meraih keluasan dalam mengembangkan ilmu
dengan mengkaji dan mengarang, sampai pada suatu ketika ia ditunjukkan
pada suatu daerah yaitu Bannan. Di daerah Bannan ini ia mendapatkan
pelajaran dari para tokoh ulama seperti syaikh Abdul Mughni al-Madani,
Ahmad Affandi al-Istambuli dan lain- lain.2
Dasar yang melatarbelakangi masyhurnya/terkenalnya Ibnu Abidin
adalah pendidikan yang keras dan disiplin dari orang tuanya dan didukung
oleh sikap dan kemauannya yang sangat keras dalam menuntut ilmu,
diskusi-diskusi dia lakukan dengan para ulama terkenal pada saat itu. Hal
itulah yang menjadikannya seorang tokoh ulama yang sangat terkenal di
masanya.
Ibnu Abidin juga terkenal sebagai seorang yang kokoh agamanya,
iffah (wirai), alim, dan taqwa dalam beribadah karena kedalaman ilmunya
2 Ibid.
33
terutama dalam bidang ilmu fiqih. Dan dalam bidang ilmu fiqih ini, ternyata
ia lebih cocok dengan fiqih madzhab Hanafi sehingga ia menjadi ulama
Hanafiyah yang sangat di segani.
Karena ketinggian ilmunya beliau banyak membuahkan krya-karya
ilmiah. Karangan-karangannya banyak dikoleksi oleh pustakawan-
pustakawan islam di dunia. Karyanya dapat diterima diberbagai peradaban
karena karya-karyanya mempunyai keistimewaan dalam pembahasannya
yang mendalam. keilmuan yang mendalam dan menampakkan kefasihan
bahasanya. 3
Diantara karya-karya yang sampai kepada kita antara lain :
1. Kitab fiqih
a) Radd al muhtar Syarah ad dar al-muhtar kitab tersebut adalah
kitab yang terkenal, kitab ini membahas masalah-masalah fiqih,
yang selanjutnya terkenal dengan nama Hasiyah Ibnu Abidin.
b) Raul Andar, dari karangan yang ditulis dari al-Halbi atas syarah ad
dar al- muhtar.
c) Al-Uqhud syarah tanfh al- fatawa al-Hamidiyah Aduriyah.
d) Nadmad al-Azhar syarah al-manar
e) Ar-Rahiq al-Mahtum.
2. Kitab tafsir
Kitab Hawasyi ala al-Baidawi, yang dalam hal ini terdapat hal-hal
yang tidak dijelaskan oleh para penafsir.
3 Ibid.
34
3. Kitab hadits
Dalam karya ilmiahnya tentang hadits Ibnu Abidin menulis kitab
Uqud al-Awali yang berisi sanad-sanad hadits yang bernilai tinggi.
Setelah kehidupannya yang membawa berbagai aktivitas yang luhur,
pengabdian yang mulai dan perjuangan yang sangat berarti bagi umat
islam pada umumnya dan khususnya bagi Madzhab Hanafi. Beliau
wafat di Damaskus 1252 H dengan meninggalkan warisan yang sangat
berharga. Beliau dimakamkan di pekuburan “Bab al-Saqir” Damaskus.4
B. Pemikiran Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada ‘Iddah Bagi Perempuan
Hamil Karena Zina
Masalah „iddah di Indonesia diatur dalam KHI pada Bab XVII
tentang Akibat Putusnya Perkawinan bagian kedua yaitu waktu tunggu pasal
153, 154, dan 155. Akan tetap i „iddah yang dijelaskan dalam pasal-pasal
tersebut „iddah yang telah terdapat di dalam nash Al-Qur‟an dan Sunnah
Rosululloh SAW dan juga disepakati para ulama‟.
Pasal 153 ayat (2) huruf a, KHI menjelaskan : “ apabila perkawinan
putus karena kematian, walaupun qabla ad-dukhul, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari”.5 Ini berdasarkan Surat al-Baqarah (2) : 234.
4 Ibnu Abidin,Radd al-Muhtar, (Bairut Libanon: Daar al-Fikr, t.th), hlm.1-5
5 Ahmad rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, cet. III, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada,
1998), hlm. 311.
35
Artinya : “Dan orang-orang mati diantara kamu serta meninggalkan istri-
istri hendaklah mereka (istri-istri) menunggu empat bulan sepuluh hari”.6
Ketentuan di atas berlaku bagi isteri yang ditinggal mati suaminya
dalam keadaan tidak hamil. Sedangkan apabila isteri tersebut da lam keadaan
hamil, maka waktu tunggu bagi mereka adalah sampai ia melahirkan
sebagaimana dijelaskan dalam pasal 153 ayat (2) huruf d KHI. 7 Hal ini
didasarkan pada Surat at-Talaq (65) : 4.
Artinya :“Perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa
iddahnya) maka iddahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Sedangkan perempuan-
perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungnnya”.8
Ketentuan „iddah perempuan hamil karena zina dijelaskan dalam
KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 53 sebagai berikut :
1. Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang
menghamilinya.
2. Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
6 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:CV. Pustaka Agung Harapan, 2006),
hlm. 228. 7 Ahmad rofiq, op cit, hlm. 312.
8 Depag RI, op cit, h lm. 4
36
3. Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. 9
Ketentuan perempuan hamil karena zina jika menikah dengan laki-
laki yang tidak menghamilinya juga tidak dijelaskan secara eksplisit di
dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam). Sementara dalam pasal 53 ayat 1
hanya disebutkan wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya. Dari ketentuan pasal 53 ayat 1 perlu penjelasan
hukum bagaimana jika wanita hamil karena zina di nikahi oleh laki- laki
yang tidak menghamili, seperti bayak yang terjadi dimasa sekarang.
Dalam pasal 53 ayat 2 diatas dapat diperoleh penjelasan secara
implisit bahwa jika perempuan hamil karena zina menikah dengan laki- laki
yang menghamilinya tidak ada kewajiban untuk menjalankan „ iddah.
Seperti dijelaskan dalam ayat 2 bahwa perempuan tersebut dapat langsung
dikawinkan dengan laki- laki yang menghamilinya tanpa harus menunggu
lebih dahulu kelahiran anaknya. Ketentuan pasal 53 ayat 2 perlu pemikiran
kusus juga perlu pengkajian ulang tentang „iddah untuk wanita hamil karena
zina, karena di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rosululloh SAW tidak ada
ketetapan yang mengatur tentang „iddah wanita hamil karena zina.
Memang ketentuan yang terdapat dalam pasal 53 ayat 1dan 2
merupakan suatu bagian integral dari pasal 53. Dalam arti bahwa antara ayat
yang satu dengan ayat yang lain merupakan satu kesatuan. Sehingga tidak
mungkin terjadi kontradiksi antar ayat dalam pasal 53.
9 Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Kompilasi Hukum Islam, cet.II, (Bandung, Fokusmedia,
2007), hlm. 20.
37
Dalam menanggapi permasalahan di atas ada sebagian ulama yang
kontradiktif dalam menyatakan pendapatnya salah satunya Ibnu Abidin
yang merupakan ulama Hanafiyah menyatakan pendapatnya bahwa tidak
ada iddah bagi wanita hamil karena zina, akan tetapi sebagai
konsekuensinya perempuan tersebut tidak boleh dicampuri (disetubuhi)
sampai wanita tersebut melahirkan anak yang dikandungnya, sebagaimana
yang telah beliu tulis dalam kitab Radd al-Mukhtar :
Artinya: “(Tidak ada iddah bagi wanita zina), bahkan diperbolehkan
wanita zina tersebut menikah sekalipun ia sedang dalam keadaan hamil, akan tetapi ia dilarang berhubungan intim dengan suaminya.”Apabila ia dalam keadaan tidak hamil, maka
disunahkan menunggu agar rahim benar-benar kosong dari benih laki-laki zina.
Pendapat di atas bahwa Ibnu Abidin menyatakan tentang tidak
adanya iddah untuk wanita hamil karena zina, dalam arti boleh dinikahi oleh
orang lain akan tetapi dilarang untuk melakukan hubungan intim sampai
wanita hamil karena zina tersebut melahirkan, karena Allah telah
mensyari‟atkan iddah terhadap berbagai aspek hukum dan agar tercapai
kemaslahatan.
10
Muhammad Sah ir b i Ibn Abid in, Op.Cit., juz V, hlm. 179
38
Ibnu Abidin dalam menentukan sebuah hukum terhadap
permasalahan tidak adanya „iddah wanita hamil karena zina adalah
menggunakan sumber hukum diantaranya:
Artinya: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.”(At-tholaq: 4)11
Kandungan ayat diatas secara umum menjelaskan „iddah bagi
perempuan hamil yaitu sampai ia melahirkan. Akan tetapi dalam
permasalahan yang muncul adalah perempuan yang hamil dikarenakan zina,
dari sinilah kemudian perlu adanya pengkajian yang lebih mendalam
mengenai status hukumnya yaitu melalui sumber hukum sebagai pendukung
dan penjelas agar ada kepastian hukum yang lebih khusus terhadap masalah
tersebut seperti As-Sunnah:
Artinya:“Tidak halal bagi seseorang yang beriman kepada Allah dan hari
qiyamat, menyiramkan benih (air sperma) ketanaman orang lain”. 12
Alasan Ibnu Abidin dalam memperbolehkan si wanita hamil karena
zina untuk melangsungkan akad nikah dengan laki- laki lain dengan
ketentuan tidak boleh dicampuri terlebih dahulu sampai wanita tersebut
melahirkan adalah agar tercapai sebuah kemaslahatan. Sebagaimana yang
telah Allah syari‟atkan „iddah terhadap berbagai aspek hukum diantaranya:
11
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 4
12
Abi Dawud Sulaiman, Sunan Abi Dawud, op.cit.
39
a. Untuk mengetahui bahwa rahim telah benar-benar kosong dari benih
sperma laki- laki zina.
b. Agar tidak berkumpul dua sperma atau lebih dalam satu rahim yang
mengakibatkan tercampurnya nasab dan menjadi rusak.
C. Metode Istinbath Hukum Ibnu Abidin Tentang Tidak Ada ‘Iddah Bagi
Perempuan Hamil Karena Zina.
Kata istimbath bila dihubungkan dengan hukum, seperti yang di
jelaskan oleh Muhammad bin Ali Al-Fayyumi (w.770) berarti upaya
penarikan hukum dari Al-Qur‟an dan sunnah dengan jalan ijtihad.13
Ayat-ayat Al-Qur‟an dalam menunjukkan pengertiannya
menggunakan berbagai cara, ada yang tegas dan ada yang tidak tegas, ada
yang melalui arti bahasanya dan ada yang melalui maksut hukum, di
samping itu di satu kali terdapat pula perbenturan antara satu dalil dengan
dalil yang lainnya yang memperlukan penyelesaian. Ushul fiqh menyajikan
berbagai cara dari berbagai aspeknya untuk menimba pesan-pesan yang
terkandung dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rosulullah.14
Istimbat hukum yang di gunakan oleh Ibnu Abidin di dalam „iddah
wanita hamil karena zina adalah istihsan, sebelum membahas lebih jauh
penulis akan memeberikan sedikit gambaran tetang istihsan.
Menurut bahasa, istihsan adalah menganggap sesuatu itu baik.
Sedangkan menurut ulama‟ ushul fiqih, istihsan adalah berpalingnya
13
Satria Effendi, Ushul Fiqh, cet.2, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 177. 14
Ibid.
40
seorang mujtahid dari tuntutan qiyas yang nyata kepada tuntutan qiyas yang
samar atau dari hukum yang umum kepada hukum pengecualian, ada dalil
yang menyebabkan ia mencela akalnya dan memenangkan perpalingan ini.15
Atau dengan redaksi yang lain, dapat kita katakan bahwa istihsan adalah
berpindah dari hukum yang telah ditetapkan pada suatu kasus tertentu
berdasarkan qiyas yang nyata, kepada hukum lain untuk kasus yang sama
berdasarkan qiyas yang tidak nyata atau samar karena ada dalil syara‟ yang
mengharuskan untuk melakukan hal tersebut.16
Sedangkan menurut istilah ushul fiqh, Wahbah az-Zuhaili
mengemukakan dua definisi yaitu:
Artinya: “Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada
petunjuk untuk itu.”
Artinya: “Hukum pengecualian kasuistis (juz’iyyah) dari kaidah-kaidah yang berlaku umum (kulli) karena ada petunjuk untuk hal tersebut.”17
istihsan yang disebut pertama disebut istihsan qiyasi, sedangkan
yang kedua disebut istihsan istisnai. Istihsan qiyasi terjadi pada suatu kasus
yang mungkin dilakukan padanya salah satu dari dua bentuk qiyas, yaitu
qiyas jally atau qiyas khafy. dan pada dasarnya bila dilihat dari segi
kejelasan illat-nya maka qiyas jally lebih pantas didahulukan atas qiyas
15
Satria Effendi, op.cit., hal. 142 16
Alahidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.
104 17
Satria Effendi, op.cit., hal, 142-143
41
khafy. namun, menurut madzhab Hanafi bila mana mujtahid memandang
bahwa qiyas khafy lebih besar kemaslahatannya yang dikandungnya
dibandingkan dengan qiyas jally, maka qiyas jally itu boleh ditinggalkan
dan yang dipakai adalah hasil dari qiyas khafy.18
Istihsan istisna’i ialah istihsan yang faktor pendorongnya bukannya
illat khafy yang lebih kuat pengaruhnyadari illat jally. Akan tetapi ada faktor
pendorong lain, pertentangan disini bukan pertentangan dua illat yakni
anatara illat jally dan illat khafy akan tetapi pertentangan dalil qiyas dengan
dalil lainnya.19
Alasan dari Ibnu Abidin sebagai madzhab hanafiyah. menggunakan
istihsan sebagai salah satu dalil hukum syara‟ dan merupakan hujjah dalam
istimbath hukum adalah bahwa istidlal dengan jalan istihsan hanya
merupakan istidlal dengan qiyas khofi yang dimenangkan atau di utamakan
dari qiyas jali, atau merupakan kemenangan, atau merupakan istidlal dengan
jalan maslahah mursalah terhadap pengecualian hukum kulliy . semua ini
merupakan istidlal yang benar.20
Di dalam masalah ini Ibnu Abidin menggunakan metode istihsan
karena wanita yang hamil karena zina ada kesamaan illat dengan wanita
hamil yang menikah, yaitu sama-sama hamil akan tetapi wanita zina tidak
ada pernikahan, sedangkan ketentuan „iddah yang diatur dalam al-Quran
adalah masa tunggu bagi wanita hamil yang putus pernikahannya, dengan
kata lain ada pernikahan. istihsan-nya disini adalah tidak adanya pernikahan
18
Satria Effendi, op.cit., hal. 142 19
Muhammad abu Zahra, usul fiqh, (Jakarta: pustaka firdaus, 1994) hlm. 408. 20
Abdul Wahab Khallaf, op.cit., hlm. 84
42
oleh wanita yang hamil karena zina mendorong untuk meninggalkan dalil
tersebut. dengan alasan anak hasil zina tidak mempunyai tali nasab kepada
bapak biologisnya. sedangkan tujuan „iddah sendiri adalah untuk menjaga
nasab dan kesucian rahim.
43
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU ABIDIN TENTANG TIDAK
ADA ‘IDDAH WANITA HAMIL KARENA ZINA
A. Analisis terhadap Pendapat Ibnu Abidin tentang Tidak Ada ‘Iddah
Wanita Hamil karena Zina
Pada bab III, penulis telah menjelaskan pendapat Ibnu Abidin
tentang tidak ada ’iddah bagi wanita hamil karena zina dan metode istinbath
hukum yang di gunakan Ibnu Abidin dalam menentukan pendapat. di dalam
bab IV ini penulis akan menganalisisnya.
Kita di ciptakan untuk berpasang-pasangan, tetapi semua itu ada
ketentuan yang mengatur agar kita terhindar dari perbuatan zina, seperti
melangsungkan akad nikah. dan di dalam al-Qur’an juga sudah diatur
tentang tata cara akad nikah. salah satu yang diatur dalam al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah adalah Kondisi yang tidak memperbolehkan wanita
untuk menikah adalah ketika sedang hamil. Tetapi disini bukan kehamilan
secara umum, melainkan zina, kehamilan melainkan sebatas yang
dipersyaratkan dalam ketentuan-ketentuan ’iddah, satu rentang waktu bagi
seorang wanita yang ditinggal suaminya (akibat cerai atau meninggal) tidak
diperbolehkan menikah dengan orang lain dan tidak termasuk didalamnya
hamil diluar nikah. Persepsi hamil diluar nikah adalah penghalang
pernikahan, adalah pandangan yang tidak benar. Para ulama’ bersepakat
memperbolehkan pernikahan semacam ini. Di dalam kitab al-mahalli,
44
wanita hamil yang kehamilannya dengan jelas diketahui dari hasil perzinaan
tetap diperbolehkan menikah.1
Di dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia iddah perempuan
yang berzina diatur dalam pasal 53 sebagai berikut :
1). Seorang wanita yang hamil diluar nikah dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya.
2). Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya.
3). Dengan dilangsungkannyâ perkawinan pada saat wanita hamil tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. 2
Kebolehan kawin dengan wanita hamil menurut ketentuan di atas
terbatas bagi laki- laki yang menghamilinya. ini sejalan dengan firman Allah
dalam surat al-Nur, 24:3:
Artinya: “Laki-laki zina tidak patut kecuali dengan perempuan zina
atau musyrik; dan perempuan zina tidak patut dikawin kecuali oleh laki-laki zina atau musyrik, sedang perbuatan tersebut haram bagi orang-orang mu‟min.”(QS. An-Nuur:3)3
Ayat diatas dapat dipahami bahwa kebolehan kawin dengan
perempuan hamil bagi laki- laki yang menghamilinya adalah merupakan
1Amir Mahmud, et al. Dialog Dengan KH MA Sahal Mahfudh-Telaah Fiqh Sosial,
(Semarang: Yayasan Karyawan Suara Merdeka, 1997), h lm.96 2 Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Kompilasi Hukum Islam, cet. II, (Bandung, Fokusmedia,
2007), hlm. 20. 3 Depag RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Jakarta:CV. Pustaka Agung Harapan, 2006),
hlm. 543
45
perkecualian. karena laki- laki yang menghamili itulah yang tepat menjadi
jodohnya. pengidentifikasian dengan laki- laki musyrik menunjukkan
keharaman wanita yang hamil tadi, adalah isyarat larangan bagi laki- laki
baik untuk mengawini mereka.
Persoalannya sekarang adalah, bagaimana menghadapi persoalan
yang muncul apabila seorang perempuan hamil dinikah oleh laki- laki yang
tidak menghamilinya. tanpa bermaksud menuduh apalagi membuka ’aib
orang lain, kemungkinan pernikahan antara seorang laki- laki yang bukan
menghamili perempuan yang hamil, sebagai ”bapak” formal sebagai
pengganti, karena laki- laki yang menghamilinya tidak bertanggung jawab,
bisa terjadi, untuk tidak mengatakan sering. menghadapi persoalan
demikian, pegawai pencatat sedikitnya mengalami kemuskilan. pertama,
jika pernikahan dilangsungkan, status hukum perkawinannya terancam tidak
sah, yang apa bila berlanjut dengan hubungan suami istri, berarti hubungan
tersebut tidak sah.
Dengan mengambil analogi (qiyas) kepada wanita hamil yang
dicerai atau ditinggal mati, sebenarnya telah jelas bahwa masa ’iddah,
adalah sampai melahirkan dengan kata lain, pada masa wanita tersebut
hamil tidak dibenarkan untuk kawin dengan laki- laki lain. dengan demikian
alasan kehamilan, cukup kongkrit bahwa wanita hamil diluar nikah pun,
tidak dibenarkan kawin dengan laki- laki yang tidak menghamilinya. kedua,
apabila pernikahan terhadap perempuan hamil dengan laki- laki yang tidak
menghamilinya, tidak dapat dilangsungkan dalam batas tertentu, akan
46
menimbulkan dampak psikologis bagi keluarga perempuan tersebut, dan
juga bagi bayi yang dikandungnya, pada masa pertumbuhan akan mendapat
sorotan dari teman-temannya, yang akan menjadi beban mental yang
berkepanjangan bagi dia. 4
Menurut hemat penulis, pemahaman yang tidak membolehkan
seorang laki- laki nikah dengan perempuan hamil, sementara dia bukan yang
menghamili lebih tepat. karena, akibat hukum yang ditimbulkan, seakan-
akan kebolehan tersebut memberi peluang kepada orang-orang yang kurang
atau tidak kokoh keberagamaannya, akan dengan gampang menyalurkan
kebutuhan seksualnya di luar nikah. padahal akibatnya jelas dapat merusak
tatanan moral dan juga kehidupan keluarga dan sendi-sendi hukum
masyarakat.
Bahkan yang lebih ironis apa yang terjadi dalam aplikasi hukum
islam di Indonsia, karena kehamilan wanita diluar nikah tidak diuji secara
medis, petugas pencatat nikah sering mencatat sebuah perkawinan wanita
hamil dengan laki- laki hanya berdasarkan pengakuan.
Hamil di luar nikah bagi masyarakat adalah ‘aib yang harus
disembunyikan, kadang seorang wanita tidak mengakui suatu perbuatan zina
dengan laki- laki selain calon suaminya. Hal ini akan berdampak pada
permainan hukum oleh aparat yang berwenang.
Hal lain yang perlu diperhatikan berkenaan dengan kehamilan diluar
nikah adalah anak yang dilahirkan dari kehamilan tersebut, bahwa tidak
4 Ahmad Rofiq, Hukum isLam Di Indonesia,( Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.1998).
hlm.165
47
mempunyai hubungan nasab dengan orang yang menyetubuhi ibunya, yang
dipandang dari sudut biologis murni dapat disebut sebagai ayahnya. Dengan
demikian diantara keduanya tidak terdapat jalur keturunan dan nasab,
meskipun anak tersebut lahir dalam keadaan kedua orang tua biologisnya
telah menikah.5
Pernikahan wanita hamil karena zina juga membuat perbedaan
pendapat dikalangan para ulama’. Ulama Malikiyyah berpendapat bahwa
perempuan yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan
perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan akad yang batil
maupun fasid yaitu dia harus menyucikan dirinya dalam waktu yang sama
dengan „iddah kecuali jika dikehendaki untuk dilakukan hadd atas dirinya,
maka ia cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.
Ulama Hanabilah menyatakan bahwa „iddah perempuan hamil
karena zina seperti halnya „iddah yang berlaku bagi isteri yang dicerai oleh
suaminya dalam keadaan hamil yaitu sampai dengan melahirkan.
Syafi’iyyah dan Hanafiyyah berpendapat perempuan hamil karena
zina tidak diwajibkan untuk menjalankan „iddah, karena „iddah bertujuan
untuk menjaga nasab sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak
menyebabkan hubungan nasab dengan laki- laki yang menyebabkan
hamil.6
5 Sasongko Tedjo, Dialog Dengan KH Sahal Mahfudh Telaah Fiqh Sosial ,(Semarang:
Yayasan Karyawan Suara Merdeka, 1997.) hlm: 98. 6 Abdurrohman al Jazairi, Kitab al-Fiqh Ala Madzhabil Arba‟ah, (Bairut: Daru l Kitab al-
Ilmiyah, 1990) hlm. 456-463.
48
Ada pun menurut Syafi’iyyah tidak ada larangan untuk menggauli
istrinya tersebut meskipun masih dalam keadaan hamil.
Dari beberapa pendapat Ulama di atas pendapat Ibnu Abidin yang
berbeda. Tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina tetapi tidak boleh
disetubuhi sampai wanita tersebut melahirkan, dengan kata lain akad nikah
wanita hamil karena zina itu syah tetapi tidak halal untuk disetubuhi,
sedangkan dalam hukum pernikahan, wanita yang boleh dinikah dan
setelah akad nikah dilaksanakan wanita tersebut halal untuk disetubuhi,
adapun „iddah bertujuan untuk menjaga nasab sementara persetubuhan
dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki- laki
yang menyebabkan hamil.
Allah telah mensyari’atkan iddah terhadap berbagai aspek hukum
dan agar tercapai kemaslahatan diantaranya:
1. Untuk mengetahui bahwa rahim telah benar-benar kosong dari benih
sperma laki- laki.
2. Agar tidak berkumpul dua sperma atau lebih dalam satu rahim yang
mengakibatkan tercampurnya nasab dan menjadi rusak. 7
Dari pendapat Ibnu Abidin yang di jelaskan di bab sebelumnya,
bahwa iddah wanita yang hamil diluar nikah adalah tidak diperlakukan
untuk iddah, seperti layaknya iddah wanita hamil yang melalui pernikahan,
tetapi Ibnu Abidin menambahkan bahwa wanita hamil diluar nikah tidak
diperbolehkan untuk disetubuhi oleh laki- laki yang menikahi sampai wanita
7 Amir Syamsuddin, Hukum Perkawinan islam Di Indonesia, ( Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2006), hlm.305.
49
hamil tersebut melahirkan anak yang dia kandung dari hasil zina, tetapi
diperbolehkan untuk melangsungkan akad pernikahan.
Analisis penulis dari Pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada iddah
untuk perempuan hamil diluar nikah yang diperbolehkan langsung dinikah
adalah di dalam al-Qur’an dan sunnah rosulallah tidak ada ketentuan yang
mengatur tentang ’iddah bagi wanita yang hamil karena zina, di dalam al-
Qur’an dan sunnah rosulallah hanya menjelaskan ketentuan iddah pada
wanita yang telah putus pernikahanya. Pengertian iddah yang sudah penulis
jelaskan di dalam bab sebelumnya, ’iddah adalah efek dari putusnya
pernikahan baik ditinggal mati atau ditalaq oleh suaminya baik dalam
keadaan hamil atau tidak. ketika wanita yang putus pernikahannya maka
diwajibkan untuk iddah. secara rasional wanita yang hamil karena zina tidak
ada kewajiban untuk ’iddah karena sebelum kehamilannya tidak ada akad
nikah.
Syafi’iyah mendefinisikan nikah adalah sebuah akad yang
mengandung kepemilikan untuk melakukan hubungan badan dengan kata-
kata menikahkan atau mengawinkan, pada hakikinya nikah itu pada akad
tidak pada persetubuhannya, sedangkan ’iddah berfungsi memelihara nasab,
sedang perempuan hamil karena zina tidak menimbulkan hubungan nasab.
karena wanita yang hamil karena zina tidak ada akad nikah sebelumnya. Ini
merupakan konsekwensi dari pendapatnya bahwa nikah bagi ulama
Syafi’iyah adalah aqad, dan aqad ini yang menimbulkan hubungan nasab
keluarga.
50
Hanabilah berpendapat nikah adalah sebuah akad yang
menggunakan kata menikahkan atau mengawinkan atas dasar kemanfaatan
untuk bersenang-senang, dan wanita yang sudah disetubuhi baik secara
subhat, zina, maupun dipaksa itu harus membayar mahar mishil kepada
wanita tersebut. secara hakiki adalah aqad dan wathi (persetubuhan), tanpa
memisahkannya. Tapi status anak zina tetap tidak mempunyai hak-hak
seperti anak nikah shahih yang berhubungan dengan nasab ayahnya.
Malikiyah berpendapat bahwa nikah adalah suatu akad yang hanya
bersenang-senang kepada seorang wanita tanpa harus membayar sebuah
qimah (harga) dengan menggunakan saksi dan tidak harus diketahui oleh
orang yang mengawinkan. nikah pada hakikinya adalah persetubuhannya.
Hanafiyah berpendapat bahwa nikah adalah suatu akad yang
berfaedah untuk memiliki dalam hal bersenang-senang kepada seorang
wanita secara sengaja.8
Ibnu Abidin sebagai madzhab Hanafiyah menerapkan bahwa tidak
diberlakukan iddah bagi wanita hamil karena zina, ’iddah adalah sebab dari
putusnya pernikahan, maka wanita yang hamil diluar nikah tidak memiliki
kewajiban untuk ’iddah. seperti yang sudah dijelaskan diatas definisi nikah
menurut hanafiyah nikah pada hakikinya adalah terletak pada akad. dengan
kata lain wanita tersebut boleh langsung dinikah tanpa harus menunggu
masa ’iddah. Ibnu Abidin menambahkan wanita tersebut boleh langsung di
nikah tapi tidak boleh disetubuhi.
8 op cit. juz 4, hlm. 2.
51
Hikmah yang terkandung dalam perintah iddah di antaranya yaitu:
1. Rahim wanita menjadi bebas dan bersih sehingga tidak terkumpul di
dalamnya air mani dari dua orang laki- laki atau lebih pada satu rahim.
Kalau seandainya air mani bercampur berarti keturunannya akan
bercampur. Hal yang semacam itu sangat berbahaya dan sangat tidak
diridlai Allah.
2. Menunjukkan penghormatan dan pengagungan akad nikah.
3. Memperpanjang masa kemungkinan ruju‟ bagi laki- laki yang mentalaq
dengan talaq ruju‟, karena barang kali jika laki- laki itu petunjuk dan
menyesal atas talaq yang dijatuhkan, maka ada masa yang cukup untuk dia
kembali.
4. Memperbesar penghormatan terhadap hak suami jika suami tersebut
berpisah karena meninggal dunia, menunjukkan rasa berduka cita atas
kematian suaminya, yang demikian itu ditunjukkan dengan adanya iddah.
5. Berhati-hati terhadap hak suami baru biar jelas.9
Diantara hikmah terpenting diaturnya masalah ‘iddah, selain untuk
mengetahui dan memastikan keadaan rahim benar-benar bersih, demi
menentukan hubungan nasab anak yang dikandung, memberi lokasi waktu
untuk perenungan atas tindakan perceraian (introspeksi), bagi istri yang
ditinggal mati suaminya adalah untuk berduka cita atau berkabung dan
sekaligus untuk menjaga timbulnya fitnah.
9 Ali Ahmat Al-Jurjawi, Falsafah dan Hikmah Hukum Islam, cet. 1, (Semarang: Cv. Asy
syifa’,1999), h lm. 321-322.
52
Ibnu Abidin sangat berhati-hati dan mengutamakan kemaslahatan
di dalam berijtihad. Perempuan yang hamil di luar nikah boleh langsung
dinikah tetapi tidak diperbolehkan untuk disetubuhi sampai perempuan
tersebut melahirkan anak yang dikandungnya, menurut penulis alasan Ibnu
Abidin dalam hal ini mengacu pada hakikat dibalik hikmah ‘iddah yaitu,
untuk mengetahui dan memastikan keadaan rahim perempuan hamil diluar
nikah benar-benar bersih dari seperma laki- laki lain. Bersihnya rahim
perempuan hamil adalah untuk memberi kejelasan nasab untuk suami
selanjutnya. Yang artinya laki- laki yang akan membuahi dari rahim
perempuan tersebut jelas secara otomatis nasabnya juga jelas. Selain alasan
bersihnya rahim, Ibnu Abidin juga mempunyai alasan agar tidak
tercampurnya dua bibit atau sperma dari dua laki- laki atau lebih di dalam
satu rahim, karena jika terjadi di dalam satu rahim ada dua sperma atau lebih
maka ketentuan nasabnya tidak jelas bahkan bisa rusak. Karena dari awal
penentuan nasab tersebut seseorang mengawali untuk melakukan ketentuan-
ketentuan yang diperintahkan oleh Allah dan sesuatu yang dilarangNya,
seperti ketentuan waris dan perwalian. Dari pendapat Ibnu Abidin dalam hal
ini sangat bijaksana dan sangat hati-hati dalam berijtihad. Demi
kemaslahatan dari beberapa pihak baik untuk perempuan yang hamil diluar
nikah, laki- laki yang menikahi, maupun untuk anak yang dikandungnya
tanpa meninggalkan ketentuan dari Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah.
Secara sosial tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina
menguntungkan perempuan tersebut. Dari penjelasan faedah atau manfaat
53
pernikahan diatas, wanita adalah bersifat lemah maka perempuan perlu ada
laki- laki yang menjaga dari kebinasaan dalam arti menjaga keselamatan dan
kehormatannya, apa lagi perempuan yang hamil diluar nikah pasti akan
malu dan menyesal atas perbuatan yang telah dilakukannya sampai
mengakibatkan dia hamil, perempuan tersebut juga hidup ditengah-tengah
masyarakat pasti dia akan jadi bahan omongan dan pengucilan oleh
masyarakat yang mengetahui hal itu. Maka perempuan tersebut perlu laki-
laki yang melindunginya, selain itu perempuan juga membutuhkan laki- laki
yang menafkahi untuk kelangsungan hidup juga kebutuhan anak yang
dikandungnya, Jika perempuan hamil karena zina harus menunggu kelahiran
anak yang dikandungnya terlebih dahulu tidak menutup kemungkinan
perempuan tersebut akan tertekan pisikisnya.
Tidak dihalalkan kawin dengan perempuan zina, begitu pula bagi
perempuan tidak halal kawin dengan laki- laki zina, kecuali mereka itu sudah
bertaubat. Hal demikian berdasarkan ayat al-Qur’an yang berbunyi :
Nikah yang dimaksud disini ialah mengadakan ikatan suami istri.
Perbuatan tersebut diharamkan, maksudnya bahwa bagi orang-orang barisan
haram bersuami istri dengan orang-orang yang berbuat zina atau musyrik.
Sebab hanya orang yang berzina atau musyrik sajalah yang mau kawin
dengan orang berzina atau musyrik.
Laki- laki dan perempuan berbuat zina apabila hendak
melangsungkan pernikahannya, sebelumnya mereka harus bertaubat dengan
sungguh-sungguh, meminta ampun kepada allah, menyesal, membersihkan
54
diri, dari dosa dan mulai hidup dengan yang bersih serta menjauhkan diri
dari dosa, maka allah akan menerima taubatnya dan memasukkan mereka
dengan rahmatnya kedalam hamba-hambanya yang baik seperti di dalam
firman Allah10
Artinya: “Orang-orang yang tidak menyekutukan sesuatu dengan
Allah, tidak membunuh jiwa yang telah di haramkan Allah, kecuali karena alasan yang benar, dan tidak berzina, barang
siapa berbuat demikian ia akan mendapat dosa di hari kiamat siksanya dilipat gandakan, dan tinggal kekal disana dengan hina, kecuali yang mau bertaubat, beriman dan
beramal sholeh. Kejelekan mereka akan Allah ganti dengan kebaikan dan adalah Allah maha pengampun dan maha
penyayang.”(QS. Al Furqan: 68-70)11
Dari ketentuan al-qur’an diatas maka penulis menggambarkan
bahwa diperbolehkannya wanita hamil karna zina boleh untuk
melangsungkan pernikahan, tetapi wanita tersebut harus bertaubat
terlebih dahulu untuk mengawali lembaran baru dengan laki- laki yang
menikahinya.
10
Imam al-Ghazali, Benang Tipis Antara Halal Dan Haram, cet. 1, (Surabaya: Putra
Pelajar, 1985), h lm. 105 11
Depag RI, Al-Qur‟an Dan Terjemahannya, hlm. 569.
55
A. Analisis Terhadap Metode Istinbath Hukum Ibnu Abidin Tentang
Tidak Ada Iddah Wanita Hamil Karena Zina.
Dalam rangka pembaharuan hukum Islam yang sedang berlangsung
sampai sekarang ini, dan agar umat Islam tidak terjepit dalam pendapat
yang sempit, maka ijtihad terhadap masalah baru atau masalah yang tidak
lazim dengan metode yang tepat mutlak diperlukan. Hal ini penting
dilakukan karena tidak semua masalah yang baru dan yang tidak lazim
yang timbul dalam kehidupan ini sudah disediakan pemecahannya di
dalam al-qur’an dan al-hadist. Saat ini ijtihad dalam rangka pembaharuan
hukum Islam bukan saja menjadi kebutuhan, tetapi sudah menjadi
sunatullah yang tidak dapat di tinggalkan dalam menghadapi arus
globalisasi. Dengan dilaksanakannya ijtihad dalam menyelesaikan segala
masalah hukum yang timbul, diharapkan hukum Islam tetap eksis dan
dapat mengikuti perkembangan zaman serta tetap diperlukan oleh umat
Islam dalam mengatur kehidupannya.
Istinbath adalah suatu cara kaidah dalam ilmu ushul fiqh yaitu
menetapkan hukum dengan cara ijtihad. istinbath hukum, merupakan suatu
institusi yang sejak awal telah diletakkan sebagai kerangka metodologi
dalam menjawab persoalan-persoalan hukum.12
Dalam menganalisis pendapat Ibnu Abidin tentang tidak ada ‘iddah
bagi wanita hamil karena zina, maka penulis menganggap perlu adanya
12
Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada,1982), hlm, 166.
56
analisis terhadap metode istinbath hukumnya karena dengan demikian
akan lebih memperjelas pendapatnya.
Jika dilihat dari metode istinbath hukum Ibnu Abidin dalam
masalah tidak ada ‘iddah wanita hamil karena zina seperti yang sudah
dijelaskan pada bab sebelumnya. maka dapat diketahui bahwa dalam
beristinbath, ia menggali dari sumber hukum yang ke enam, yaitu istihsan.
Karena dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak dijelaskan dalil yang
mengatur pada permasalahan ini.
Sebelum membahas lebih jauh sebaiknya perlunya mengetahui
istihsan itu sendiri yaitu: Istihsan secara bahasa berarti menganggap
sesuatu baik (al-husnu), sedangkan menurut istilah ushul fiqh, wahbah az-
Zuhaili mengemukakan dua definisi yaitu:
Artinya: “Memakai qiyas khafi dan meninggalkan qiyas jali karena ada petunjuk untuk itu.”
Qiyas jali, yaitu qiyas yang di dasarkan atas „illat yang di tegaskan
dalam Al- Qur’an dan Sunnah Rosululloh, atau tidak disebutkan secara
tegas dalam salah satu sumber tersebut, tetapi berdasarkan penelitian, kuat
dugaan bahwa tidak ada ‘illat-nya.
Qiyas khafi yaitu qiyas yang didasarkan ‘illat yang di istimbatkan
(di tarik) dari hukum ashal.
Artinya: “Hukum pengecualian kasuistis (juz‟iyyah) dari kaidah-kaidah
yang berlaku umum (kulli) karena ada petunjuk untuk hal tersebut.”13
13
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005), hlm. 142-
143.
57
Golongan Hanafi membagi istihsan menjadi dua macam, yang
pertama istihsan Qiyas dan istihsan yang disebabkan oleh adanya
kontradiksi antara Qiyas dan dalil-dalil syar’i yang lain.
Pertama, Istihsan Qiyas ialah apabila di dalam suatu masalah
terdapat dua sifat yang menuntut diterapkan dua Qiyas yang saling
bertentangan. sifat yang pertama: jelas (zhahir) lagi mudah dipahami. dan
inilah yang disebut Qiyas istilahiy. sedangkan sifat yang kedua: samar
(khafi) yang harus dihubungkan dengan sumber hukum (ashl) yang lain.
dan ini yang dinamakan istihsan. artinya, seorang ahli fiqih ketika
melakukan analisa untuk melakukan diktum hukumnya, di hadapkan pada
dua ilhaq (acuan). di satu pihak ia dihadapkan pada ilhaq yang zhahir,
yang bisa dipakai sebagai dasar dalam menetapkan hukum terhadap
masalah-masalah yang sejenis dengan masalah ini. Dilain fihak, ia di
hadapkan pada ilhaq yang khafy (samar) yang dipandang lebih kuat
pengaruhnya terhadap masalah ini disbanding ilhaq yang zhahir. oleh
karena itu, dalam masalah ini segala ketetapan pada masalah yang yang
sejenis tidak berlaku. istihsan pada hakekatnya adalah dua qiyas. Qiyas
yang pertama yaitu qiyas jaly (jelas) tapi dha‟if (lemah) pengaruhnya.
inilah yang disbut qiyas. Sedangkan yang kedua: khafy (samar) tapi kuat
pengaruhnya. ini yang kemudian dinamakan istihsan.14
Termasuk contoh istihsan qiyas. ialah masalah Sisa minuman dari
burung-burung buas, seperti burung elang, gagak dan lain sebagainya.
14
Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqh, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994) h lm. 404-405.
58
Menurut qiyas adalah najis, sedang menurut istihsan adalah suci. Menurut
qiyas, sisa minuman dari burung-burung yang diharamkan dagingnya
adalah sama dengan sisa minuman dari binatang-binatang buas. Seperti,
singa. Harimau, serigala dan lain sebagainya. Karena hukum sisa minuman
dari hewan-hewan tersebut mengikuti kepada hukum dagingnya, yakni
haram, jadi ia adalah najis.Sedang istihsan adalah suci, tidak diharamkan.
Adapun istihsannya ialah bahwa burung-burung buas itu walaupun
diharamkan dagingnya untuk dimakan, tetapi ludahnya yang keluar dari
perutnya (dagingnya) sekali-kali tidak akan bercampur dengan sisa bekas
yang diminumnya. Sebab burung-burung itu jika minum menggunakan
paruh, yaitu sejenis tulang yang suci. Berlainan dengan binatang buas
selain burung, jika minum menggunakan mulutnya, yakni sebangsa
daging, hingga sisa minuman tersebut mudah bercampur dengan ludahnya.
Oleh karena itu sisa minumannya adalah najis.15
Kedua, ialah istihsan yang faktor pendorongnyabukannya illat
khafy yang lebih kuat pengaruhnya dari illat zhahir, akan tetapi ada factor
pendorong lain. denga ungkapan lain, pertentangan disini bukan
pertentangan antara illat zhahir dan illat khafy, akan tetapi pertentangan
antara illat qiyas dengan dalil lain selain qiyas. Dilihat dari segi
mu‟aridnya (dalil lain yang bertentangan), istihsan ini dibagi menjadi tiga
macam: pertama, istihsan sunnah, kedua, istihsan ijma‟, dan ketiga
istihsan dlarurat.
15
Ibid, hlm. 407.
59
Istihsan Sunnah ialah istihsan yang disebabkan oleh adanya
ketetapan Sunnah yang mengharuskan meninggalkan dalil qiyas pada
kasus yang bersangkutan. seperti contoh, Hadits tentang sahnya puasa
orang yang makan dan minum disiang hari karena lupa. Padahal menurut
qiyas, puasa tersebut batal. Akan tetapi ada hadits yang menetapkan
sahnya puasa tersebut, maka golongan Hanafi meninggalkan dalil qiyas
dalam masalah diatas.
Istihsan Ijma‟ ialah Istihsan yang meninggalkan penggunaan dalil
qiyas karena adanya ijma‟ ulama yang menetapkan hukum yang berbeda
dari tuntutan qiyas.seperti contoh, ketetapan ijma’ tentang sahnya akad
istihshna’(perburuhan/pesanan). menurut qiyas, semestinya akad itu batal.
sebab sasaran (obyek) akad tidak ada ketika akad itu dilangsungkan. akan
tetapi akad seperti itu sudah menjadi tradisi maka ijma’ memandang
bahwa akad tersebut sah dan meninggalkan qiyas.
Istihsan dharurat ialah istihsan yang disebabkan oleh keadaan
dharurat (terpaksa) dalam suatu masalah yang mendorong seorang
mujtahit meninggalkan dalil qiyas. seperti cotoh, mensucikan kolam atau
sumur yang tidak mungkin dilakukan jika kita tetap berpegang pada qiyas.
dalam masalah ini untuk mensucikan kolam atau sumur yang terkena najis,
tidaklah mungkin menuangkan air kedalamnya. air yang masuk akan
menjadi najis. maka para ulama sepakat untuk meninggalkan dalil qiyas.16
16
ibid, hlm. 408-409.
60
Dari pengertian istihsan diatas, penulis mencoba untuk
menganalisis, sama halnya dengan Penerapan istimbat hukum istihsan di
dalam masalah tidak ada ‘iddah wanita hamil karena zina, di dalam al-
Qur’an dan sunnah rasulallah tidak ditemukan hukum yang mengatur
wanita yang hamil karena zina, kewajiban ‘iddah pada umumnya di
peruntukan untuk wanita yang putus pernikahannya baik ditalaq maupun
ditinggal mati oleh suaminya, wanita yang hamil karena zina mempunyai
kesamaan illat yaitu sama-sama hamil, didalam ketentuan al-qur’an wanita
yang hamil yang ingin menikah maka diwajibkan untuk menunggu atau
masa ‘iddah sampai wanita tersebut melahirkan. tetapi wanita yang hamil
karena zina tidak mempunyai hubungan pernikahan dengan laki- laki yang
menghamilinya, maka tidak ada kwajiban untuk ‘iddah, karena ‘iddah
diwajibkan untuk wanita yang putus pernikahanya.
Adapun istihsannya ialah bahwa wanita yang hamil karena zina
sama halnya dengan wanita yang hamil pada umumnya, tetapi kehamilan
wanita akibat zina tidak bisa diberi kewajiban ‘ iddah, ‘iddah hanya
diwajibkan untuk wanita yang putus pernikahannya, karena wanita hamil
karena zina tidak ada ikatan pernikahan dengan laki- laki yang
menghamilinya, ‘iddah adalah masa tunggu yang disebabkan putusnya
pernikahan, menurut Ibnu Abidin hakiki pernikahan terletak pada akad.
pada hikmah ‘iddah untuk wanita hamil salah satunya adalah untuk
menjaga nasab dan agar tidak tercampur dua benih sperma didalam rahim.
anak dari hasil perzinahan putus nasabnya. Ibnu Abidin menambahkan
61
wanita yang hamil karena zina boleh langsung dinikah tanpa harus
menunggu kelahiran anak yang dikandungnya, tetapi tidak diperbolehkan
untuk disetubuhi, supaya tidak tercampur dua sperma di dalam rahim
wanita tersebut.
Apa bila di dalam satu masalah terdapat dua sifat yang menuntut
diterapkan dua qiyas yang saling betentangan. menerapkan qiyas khafy dan
meninggalkan qiyas istilahy karena qiyas khafy lebih kuat pengaruhnya,
yang disebut dengan Istihsan Qiyas.
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah uraian pada bab-bab sebelumnya yang mencakup pendahuluan,
tinjauan umum tentang ‘iddah, pendapat Ibnu Abidin terhadap ketentuan ‘iddah
perempuan hamil karena zina maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai
berikut :
1. Bahwa tidak ada kewajiban ‘iddah bagi perempuan hamil karena zina
dapat dinikah langsung tanpa harus menunggu terlebih dahulu kelahiran
anak yang ada dalam kandungan. Akan tetapi wanita tersebut tidah boleh
di setubuhi sampai wanita tersebut melahirkan anak yang di kandungnya.
Alasan dari Pendapat ibnu abidin tentang tidak adanya iddah bagi wanita
hamil karena zina adalah karena di dalam al-qur’an dan sunnah Rasulullah
tidak ditemukan dasar untuk adanya iddah yang mengatur tentang iddah
bagi wanita hamil karena zina, ketentuan iddah yang tercantum dalam
nash hanya berlaku untuk wanita yang ditinggal mati suaminya dan karna
akibat putusnya perkawinan atau yang lainnya, dengan kata lain iddah
adalah masa tunggu akibat dari putusnya perkawinan. wanita yang hamil
karena zina tidak ada iddah, karena kehamilannya tidak ada pernikahan,
hakiki pernikahan terletak pada akad. maka wanita yang hamil karena zina
63
boleh langsung dinikah. Setelah dinikah Wanita yang hamil Karen zina
tidak boleh disetubuhi sampai dia melahirkan anak yang dikadungnya di
karena untuk memastikan rahim wanita tersebut benar-benar bersih dari
seperma laki- laki lain. karena diantara hikmah ‘iddah adalah supaya tidak
tercampur nasapnya, maka laki- laki yang menikahi wanita tersebut bisa
melanjutkan dan membuka lembaran baru.
2. Dari pendapat Ibnu Bidin diatas dengan mengambil metode istimbat
hukum istihsan karena di dalam al-qur’an dan Sunnah Rasulullah tidak
ditentukan yang mengatur tentang ‘iddah wanita hamil karena zina.
Persamaan ‘illat dari permasalahan ini adalah sama-sama hamil akan
tetapi hamil karena zina tidak ada pernikahan, sedangkan ketentuan ‘iddah
diperuntukan untuk wanita hamil sebab nikah, maka dari sini ada
pengecualian tidak diberlakukan ‘iddah.
B. Saran-saran
1. Perlu dipahami bahwa jenis perkawinan perempuan hamil karena zina
baik dengan laki- laki yang menghamilinya atau bukan adalah jenis
perkawinan darurat, sehingga jangan sampai dijadikan tradisi. Dengan
kata lain tidak ada iddah bagi wanita hamil karena zina bukan berarti
mempermudah atau menyepelekan ketentuan hukum pernikahan.
2. Berkaitan dengan kebolehan kawin hamil ini kita tidak boleh terpaku
kepada legalitas hukum, akan tetapi merumuskan bagaimana agar tidak
64
membuka peluang yang lebih besar bagi perzinaan merupakan hal yang
sangat perlu untuk dipikirkan.
C. Penutup
Demikianlah skripsi yang dapat penulis susun, kiranya masih banyak
kekurangan yang terdapat di dalam skripsi ini, tentunya kritik dan saran dari
pembaca selalu kami harapkan, agar skripsi ini bisa lebih sempurna dan layak
untuk dibaca sebagai bahan wawasan, terutama bagi mahasiswa fakultas
syari’ah.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin. Ibnu, ‘Radd al-Mukhtar’ala al-Dur al-Mukhtar, (Beirut:Dar al-Ihya’ al-Turuki al-‘Arabiy,1407 H/1987 M).
Abu Yahya Zakariyya al-Ansari, Fath al-Wahhab, cet. II, (Semarang : Toha
Putra, 1998). Abu Zahrah Muhammad, Ushul fiqh, cet.X, (Jakarta, Penerbit Pustaka Firdaus,
2007).
Azhar Basyir. Ahmad, Hukum Perkawinan Islam, cet. IX (Yogyakarta: UII Press, 1999).
Al-Jaziri. Abd ar-Rahman, Kitab al-Fiqh ala Mazhahib Arba’ah, (Mesir: Maktabah at tijariyah al kubra,1969).
Ash-Shiddiqy. Hasbi, Pokok-Pokok Pegangan Imam-Imam Madzhab dalam
Membina Hukum Islam, jilid I, (Jakarta, Bulan Bintang, 1973).
Al-Ghazali. Imam, Benang Tipis antara Halal dan Haram, (Surabaya : Putra
Pelajar, 1985). Arikunto. Suharsimi, Prosedur Penelitian:Suatu Pendekatan Prakter, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2006).
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta:CV. Pustaka Agung Harapan, 2006)
Effendi. Satria, Ushul Fiqh, cet.2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008).
Ghazali. Abdul Moqsith dkk,Tubuh, Seksualitas,dan Kedaulatan Perempuan,
editor : Amiruddin Arani dan Faqihudin Abdul Qodir,cet.I
(Yogyakarta:LKIS,2002)
Hadi. Sutrisno, Metodologi Resesrch, Jilid I, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2001)
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid, II, (Jakarta: Pustaka Amin, 2006).
Imam at-Tirmizi, Sunan at-Tirmizi, (Beirut : Dar al-Fikr), III. Hadis nomor
1131. Hadis diriwayatkan dari ar-Ruwaifi’ ibn Sabit.
Jawad al-Mugniyyah. Muhammad, al-Ahwal asy-Syakhsiyyah, cet. I (Bairut : Dar al-‘Ilmi li al-Malayin, 1964).
Koto. Alahidin, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006).
Muzarie. Mukhlisin, Kontroversi Pekawinan Wanita Hamil, cet.I
(Yogyakarta:Pustaka Dinamika, 2002).
Moleong. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet XIII, (Bandung: Remaja
Rosada Karya, 2000)
Majah. Ibn, Sunan Ibn Majah, (Beirut : Dar al-Fikr), I. Hadis nomor 2041. Hadis diriwayatkan dari Ibn ‘Umar.
Mahmud. Amir, et al. Dialog dengan KH MA Sahal Mahfudh-Telaah Fiqih Sosial, (Semarang: Yayasan Karyawan Suara Merdeka, 1997).
Manan. Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta, PT
RajaGrafindo Persada, 1982).
Qudamah. Ibn, al-Mughni, (Bairut, Maktabah al Jumhuriyah al Arabiyaht).
Rasjid. Sulaiman, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995). Rofiq. Ahmad, Hukum Islam Di Indonesia, cet. III, (Jakarta, PT RajaGrafindo
Persada, 1998).
Sabiq. Sayyid, Fiqih Sunnah, ( Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 1983). Sunggono. Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, ( Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada,2005).
Syarifuddin. Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006).
Sulaiman. Abi Dawud, Sunan Abi Dawud, (Dar al-Fikr, t.t.), II: 248. Hadis
nomor 2158. Hadis diriwayatkan oleh Ruwaifi’ bin Sabit al-Ansari.
T. Yanggo. Chuzaimah dan Hafiz Anshary A.Z (ed), Problematika Hukum Islam Kontemporer II,cet.II ( Jakarta : Pustaka Firdaus, 1996)
Tim Redaksi FOKUSMEDIA, Kompilasi Hukum Islam, cet.II, (Bandung, Fokusmedia, 2007).
Wahab Khallaf. Abdul, Ilmu Usul Fiqh, (Kairo : Maktabah al-Dakwah al-
Islamiyah, 1990).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Moch. Asrori
Tempat tanggal lahir : Grobogan, 11 April 1984
Alamat : Jl. KH. Ma’ruf Bandungsari Ngaringan Grobogan
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan Formal 1990-1996 SDN 4 Bandungsari 1996-1999 MTs Khozinatul Ulum Blora
2001-2004 SMA Pancasila Purwodadi 2005-2011 S 1 Hukum Perdata Islam IAIN Walisongo Semarang
Demikian daftar riwayat pendidikan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Semarang, 8 Juni 2010
Moch. Asrori
NIM. 052111037
top related