i. pendahuluan 1.1. latar belakang...
Post on 13-Mar-2019
226 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Oksida besi merupakan salah satu mineral sekunder yang umum ditemukan
di alam, baik dalam keadaan tertransport maupun tersingkap. Ketersediaan
informasi kandungan oksida besi memberikan manfaat diantaranya seperti
menujukan kondisi pH, redox potential, kelembaban, dan temperatur lingkungan
tanah (Rossel et al, 2009), mempengaruhi agregat antar partikel tanah serta
kapasitas tukar kation atau KTK (Cornell and Schwertmann, 1996). Dalam studi
geologi oksida besi tidak hanya berarti sebagai indikator pelapukan batuan, namun
juga dapat pula menandakan keberadaan beberapa bahan galian tambang dengan
nilai ekonomis, seperti bauksit dan bijih besi (Sudarno dan Sumarinda, 1990),
selain itu juga berguna dalam memperkirakan keberadaan zona alterasi
hydrothermal (Crosta & Moore, 1989) dan membantu survei marginal yang pada
umumnya memiliki karakter kapasitas serapan oleh fosfat sangat tinggi (Siradz,
2002).
Penginderaan jauh (disingkat PJ) dapat dimanfaatkan dalam kegiatan
identifikasi, invetarisasi dan pemetaan karakteristik tanah, salah satunya adalah
oksida besi (Jensen, 2007). Akan tetapi, pemanfaatan PJ untuk kajian oksida besi
di Indonesia masih sangat terbatas. Beberapa penyebabnya adalah karena
keterbatasan tersedianya data yang ideal, kondisi fisik lahan yang terlalu
kompleks dan juga keterbatasan literatur yang mendukung.
Pada umumnya ekstraksi kandungan oksida besi pada tanah dapat optimal
dilakukan dengan menggunakan citra hiperspektral. Akan tetapi, ketersediaan data
tersebut di Indonesia sangat terbatas adanya dan sebaliknya ketersediaan citra
multispektral resolusi sedang jauh lebih baik, diantaranya seperti Landsat TM dan
ALOS AVNIR-2.
Landsat TM merupakan satelit sumberdaya milik NASA, sedangkan ALOS
AVNIR-2 merupakan satelit sumberdaya milik RESTEC. Kedua citra tersebut
memiliki kesamaan dalam karakteristik resolusi radiometri, yaitu 8 bit (256
tingkat kecerahan), akan tetapi berbeda dalam karakteristik resolusi spasial dan
2
spektral. Landsat TM memiliki resolusi spektral yang lebih tinggi dibanding
ALOS AVNIR-2, oleh karena tersedianya saluran inframerah tengah 1 dan 2.
Semakin tinggi resolusi spektral maka semakin banyak variasi pantulan spektral
obyek yang dapat direkam. ALOS AVNIR-2 memiliki resolusi spasial 10 m
sedangkan Landsat TM memiliki resolusi spasial 30 m. Semakin tinggi resolusi
spasial maka semakin detil informasi yang dapat direkam dan semakin banyak
keberadaan piksel murni dibanding dengan piksel campuran, begitu pula
sebaliknya. Perbedaan karakteristik ini sangat menarik dikaji untuk mengetahui
mana yang lebih berpengaruh antara resolusi spasial dengan resolusi spektral
terhadap akurasi estimasi kandungan oksida besi.
Ekstraksi kandungan oksida besi menggunakan PJ optimalnya dilakukan
pada tanah terbuka yang kering (minim tutupan vegetasi) dan tidak tertutup awan.
Akan tetapi pada kenyataanya sangat jarang terdapat tanah terbuka di Indonesia
dan sebaliknya kondisi penutup lahan yang ada sangatlah bervariatif.
Konsekuensinya adalah keberadaan piksel campuran akan cukup mendominasi
dibandingkan dengan piksel murni, jika perekaman dilakukan menggunakan citra
multispektral resolusi sedang seperti Landsat TM dan ALOS AVNIR-2. Posisi
Indonesia yang berada pada zona beriklim tropis membuanya memiliki curah
hujan yang tinggi. Curah hujan yang tinggi akan berkorelasi dengan tutupan awan
dan tingkat kelembaban tanah yang secara langsung membuat ekstraksi
kandungan oksida besi sulit untuk dilakukan. Dengan demikian diperlukan suatu
metode pengolahan citra digital untuk dapat meminimalisir gangguan-gangguan
tersebut.
Dalam melakukan estimasi kandungan oksida besi baik melalui Landsat TM
maupun ALOS AVNIR-2 terdapat beberapa input yang dapat digunakan, yaitu
band asli, band aritmatik dan PC band. Masing-masing memiliki kelebihan,
kekurangan dan karakteristik informasi yang berbeda-beda hubungannya dengan
informasi kandungan oksida besi yang dihasilkan, hal ini sangat menarik untuk di
teliti.
Gunungsewu merupakan salah satu topografi karst yang ada di Indoensia,
yang membentang melewati tiga Kabupaten di Pulau Jawa, yaitu Gunungkdul,
3
Wonogiri, Pacitan. Pada kawasan topografi karst Gunungsewu dapat ditemukan
keterdapatan tanah dengan ciri warna merah kecoklatan, yang berdasarkan sistem
klasifikasi tanah Soepraptohardjo (1961) digolongkan pada jenis tanah mediteran
merah kuning atau dalam istilah yang lebih umum dikenal dengan tanah terra
rossa (khusus tanah mediteran merah). Warna merah sebagai salah satu penciri
tanah terra rossa umumnya muncul akibat pengendapan-pengendapan besi oksida
dari larutan alkalis yang bersentuhan dengan batu kapur (Viansse de Regny,
1964).
Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh informasi terkait
pemanfaatan citra multispektral resolusi sedang, seperti Landsat TM dan ALOS
AVNIR-2 dan pengolahan citra digital untuk estimasi kandungan oksida besi di
sebagian topografi karst Gunungsewu. Sehingga dapat memberikan sumbangsih
terhadap penelitian penginderaan jauh untuk aplikasi tanah.
1.2. Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian
1.2.1. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian sebelumnya, dibuat rumusan masalah sebagai berikut :
1. Optimalnya, dalam kajian karakteristik tanah (salah satunya oksida besi)
menggunakan PJ dibutuhkan citra hiperspektral, akan tetapi ketersedian data
tersebut di Indonesia sangat terbatas dan sebaliknya ketersediaan citra
multispektral resolusi sedang, yaitu Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 jauh
lebih baik.
2. Belum adanya Peta Kandungan Oksida Besi di Topografi Karst Gunungsewu.
3. Masih terbatasnya informasi mengenai hubungan antara perbedaan
karakteristik resolusi spasial dan resolusi spektral diantara Landsat TM dan
ALOS AVNIR-2 serta input model empiris yang digunakan, yaitu band asli,
band aritmatik dan PC band dalam kaitannya akurasi estimasi kandungan
oksida besi.
4
1.2.2. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, diambil pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
1. Apakah citra multispektral resolusi sedang, yaitu Landsat TM dan ALOS
AVNIR-2 dapat dimanfaatkan untuk memperoleh informasi kandungan oksida
besi di sebagian topografi karst Gunungsewu?
2. Bagaimana hubungan antara input model empiris yang digunakan, yaitu band
asli, band aritmatik dan PC band terhadap akurasi estimasi kandungan oksida
besi di sebagian topografi karst Gunungsewu?
3. Bagaimana hubungan antara perbedaan karakteristik resolusi spasial dan
resolusi spektral antara citra Landsat TM dengan ALOS AVNIR-2 terhadap
akurasi estimasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst
Gunungsewu?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengetahui bagaimana manfaat dari citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2
untuk estimasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.
2. Mengetahui bagaimana hubungan antara input model empiris yang digunakan,
yaitu band asli, band aritmatik dan PC band terhadap akurasi estimasi
kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.
3. Mengetahui pengaruh perbedaan karakteristik resolusi spasial dan resolusi
spektral antara citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 terhadap akurasi
identifikasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.
1.4. Hasil Akhir
Hasil akhir dari penelitian ini adalah :
1. Citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 hasil tranformasi NDVI.
2. Citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 hasil band aritmatik.
3. Citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 hasil tranformasi PCA.
5
4. Uraian mengenai pemanfaatan citra Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 untuk
estimasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.
5. Uraian mengenai hubungan antara resolusi spasial dan resolusi spektral dan
input model empiris yang digunakan (band asli, band aritmatik dan PC band)
dalam kaitannya akurasi estimasi kandungan oksida besi.
6. Peta kandungan oksida besi sebagian topografi karst Gunungsewu (dibuat dari
hasil pemodelan empiris kandungan oksida besi dengan akurasi tertinggi, baik
dihasilkan dari input band asli, band aritmatik dan PC band).
1.5. Kegunaan Penelitian
Kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi terkait pemanfaatan citra mutispektral resolusi sedang,
yaitu Landsat TM dan ALOS AVNIR-2 dan pengolahan citra digital untuk
estimasi kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu.
2. Menghasilkan peta kandungan oksida besi di sebagian topografi karst
Gunungsewu.
3. Memberikan sumbangan bagi ilmu PJ murni, khususnya untuk bidang aplikasi
tanah.
1.6. Tinjauan Pustaka
1.6.1. Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh (disingkat PJ) ialah ilmu dan seni dalam memperoleh
informasi mengenai suatu objek, area, atau fenomena melalui analisis data yang
diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau
fenomena yang dikaji (Lillesand & Kiefer, 1993). Dalam PJ terdapat dua sistem
yang saling terintegrasi satu sama lain kaitannya dengan perolehan informasi
kondisi permukaan bumi, yaitu pengumpulan atau perolehan data dan analisis
data. Sistem perolehan data PJ bekerja dengan melibatkan beberapa komponen,
yaitu : sumber energi, perjalanan energi melalui atmosfer, interaksi antara energi
dengan kenampakan di muka bumi, sensor, wahana, dan pembentukan data dalam
6
bentuk piktorial dan atau bentuk numerik. Sedangkan analisis data PJ terkait tiga
komponen, yaitu deteksi (global), identifikasi (setengah rinci) dan analisis (rinci)
1.6.1.1. Sumber Energi Penginderaan Jauh
Sumber energi PJ adalah gelombang elektromagnetik, terutama PJ
sumberdaya. Menurut Lillesand & Kiefer (1993) gelombang elektromagnetik
ialah tenaga yang bergerak dengan kecepatan sinar (3 x 108 m/detik) dengan pola
gelombang sinusoidal yang harmonis. Disamping itu pada tiap bagian tenaga
elektromagnetik terjalin hubungan (berkebalikan) yang serasi antara panjang
gelombang dengan frekuensinya. Makin lemah panjang gelombang yang
digunakan, makin rendah kandungan tenaganya.
Berdarkan sumber tenaganya PJ dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu PJ
sistem aktif dan PJ sistem pasif. PJ sistem pasif bekerja dengan memanfaatkan
sumber energi alami baik berasal dari radisi elektromagnetik matahari dan atau
dari beberapa obyek dengan suhu di atas nol derajat absolut (00
K, atau -2730C).
Sistem PJ aktif bekerja dengan menggunakan energi buatan yang dikirim oleh
sensor PJ, berupa gelomabang bunyi (sonar) dan cahaya (laser) (Sutatnto, 1986).
1.6.1.2. Interaksi Energi Dengan Atmosfer
Lillesand dan Kiefer (1993) menjelaskan bahwa atmosfer memiliki peran
vital dalam PJ, yaitu sebagai filter (serapan) dan hambatan (hamburan) energi
elektomagnetik. Energi elektromagnetik terdiri atas spektrum yang sangat luas,
mulai dari gelombang gamma, Y, X, ultraviolet, tampak, inframerah (IM), mikro,
radar dan radio (Gambar 1.2). Tidak semua spektrum tersebut dapat sampai ke
bumi, beberapa diantaranya seperti spektrum gamma dan ultraviolet dipantulkan
dan juga diserap oleh atmosfer. Hal ini sangat menguntungkan karena apabila
kedua spektrum tersebut sampai di bumi maka akan membahayakan kehidupan
mahluk hidup yang ada. Rentang julat panjang gelombang yang tidak terpantulkan
atau tertahan oleh partikel atmosferik ini disebut sebagai jendela atmosferik
(atmosferic window).
7
Serapan oleh jendela atmosfer menyebabkan kehilangan efektif tenaga
elektromagnetik akibat energi berpindah dari gelombang elektromagnetik ke
partikel atmosfer penyerap gelombang tersebut, seperti uap air, CO2 dan ozon.
Hamburan mengakibatkan terjadinya berbagai pembelokan arah pancaran
gelombang elektromagnetik dari jalurnya. Partikel-partikel penyebab terjadiya
hamburan diantaranya adalah partikel oksigen, nitrogen, dan ozon (Mather, 2004).
Terdapat tiga macam hamburan yang terjadi di atmosfer yang dapat
mempengaruhi interaksi energi elektromagnetik, yaitu hamburan Rayleigh, Mie
dan Non-Selective.
Gambar 1. 1. Hamburan atmosfer
(http://hyperphysics.phy-astr.gsu.edu/hbase/atmos/blusky.html, diakses 25 Mei 2012)
Sutanto (1986) menjelaskan bahwa hamburan Rayleigh merupakan
hamburan yang terjadi apabila gelombang elektromanetik berinteraksi dengan
molekul-melekul dan partikel-pertikel kecil di atmosfer yang diameternya jauh
lebih kecil daripada panjang gelombang yang berinteraksi dengannya. Besarnya
hamburan Rayleigh berbanding terbalik terhadap pangkat empat panjang
gelombang yang mengenainya. Panjang gelombang tampak jauh lebih peka
terhadap hamburan ini daripada panjang gelombang elektromagnetik lainnya.
Berbeda halnya dengan hamburan Rayleigh yang menyebabkan warna langit
tampak biru pada saat cerah, hamburan Mie menyebabkan atmosfer tampak putih
hingga kemerahan. Hamburan Mie terjadi disebabkan oleh hamburan butir-butir
debu, kabut, asap dan material sebagainya yang diameternya sama dengan
panjang gelombang rata-rata spektrum tampak. Hamburan Mie lebih dominan
terjadi pada panjang gelombang diluar saluran tampak pada cuaca berwarna.
Hamburan non-selektif, terjadi apabila terdapat butir-butir materi dalam atmofer
yang diameternya jauh lebih besar dari panjang gelombang yang mengenainya,
8
contohnya adalah uap air. Kabut dan awan tampak berwarna putih adalah akibat
terjadinya hamburan nonselektif.
Gambar 1. 2. Spektrum elektromagnetik (Lillesand dan Kiefer, 1993)
1.6.1.3. Interaksi Antara Obyek di Permukaan Bumi Dengan Energi
Elektromagnetik
Terdapat tiga bentuk respon obyek dipermukaan bumi terhadap energi
elektromagnetik langsung dari matahari yang telah lolos dari jendela atmosfer
(energi irradiance), yaitu diserap, ditransmisikan dan dipantulkan. Hal ini
dipengaruhi oleh variasi jenis materi dan struktur (karakteristik). Jadi, pada
dasarnya energi yang direkam oleh sensor PJ adalah fungsi penjumlahan dari
besarnya energi yang dipantulkan, energi yang diserap dan energi yang
ditransmisikan oleh obyek (hukum kekekalan energi). Variasi energi
elektromagnetik tersebut oleh sistem PJ selanjutnya dimanifestasikan dalam
variasi nilai kecerahan (brightness value).
Gambar 1. 3. Perjalanan dan interaksi energi elektromagnetik (Sutanto, 1994)
9
1.6.1.4. Sistem Penginderaan Jauh
PJ dalam menjalankan fungsinya didukung oleh serangkaian sistem, seperti:
wahana, detektor dan sensor. Wahana merupakan media atau kendaraan yang
digunakan untuk membawa sensor guna merekam kondisi obyek atau fenomena
dipermukaan Bumi dari jarak jauh. Berdasarkan ketinggian terbang, terdapat dua
jenis wahana, yaitu wahana udara (airborne) dan wahana antariksa (spaceborne).
Detektor merupakan komponen yang berfungsi menyimpan besarnya energi
elektromagnetik yang dikumpulkan oleh sensor. Terdapat dua jenis detektor, yaitu
film dan elektronik. Sensor adalah suatu bagian dari sistem PJ yang berfungsi
menangkap dan mengumpulkan energi elektromagnetik hasil dari pantulan dan
pancaran obyek di permukaan bumi. Berdasarkan tiga sistem dasar tersebut, PJ
dapat di bagi menjadi dua sistem dasar yaitu PJ sistem fotografi dan PJ sistem
non-fotografi.
PJ sistem fotografi adalah sebuah sistem PJ yang memanfaatkan sensor
fotografi (kamera) dalam merekam energi elektromagnetik, menggunakan film
sebagai detektor (media penyimpan informasi pantulan spektral obyek),
memanfaatkan wahana airborne dalam beroperasi (pesawat, layang-layang,
paralayang, balon udara, gantole) dan proses perekaman energi berlangsung
secara kimiawi menggunakan emulsi film. Output data PJ sistem fotografi disebut
dengan foto udara. PJ sistem fotografi optimal bekerja merekam panjang
gelombang pada julat tampak dan sedikit inframerah dekat, tergantung
kemampuan sensor kamera.
PJ sistem non-fotografi adalah sebuah sistem PJ yang menggunkan sensor
non-fotografik berupa sensor elektronik (scanner) dalam merekam energi
elektromagnetik, memanfaatkan satelit sebagai wahana, menggunakan pita
magnetik sebagai detektor. PJ sistem non-fotografi mampu merekam panjang
gelombang mulai dari spektrum tampak, inframerah dekat, inframerah tengah,
inframerah jauh atau inframerah termal, dan gelomabang mikro. Output dari PJ
sistem non-fotografi yaitu data digital baik berupa data piktorial maupun nominal
(citra non-fotografi) dan data analog (setelah dicetak).
10
1.6.1.5. Konsep Resolusi Dalam Penginderaan Jauh
Penilaian terhadap kualitas suatu citra pada dasarnya relatif tergantung sudut
pandang atau kebutuhan. Akan tetapi kemampuan suatu data PJ dibatasi oleh
istilah yang disebut dengan resolusi (resolving power = daya pisah). Menurut
Swain dan Davis (1978) dalam Danoedoro (1996) menjelaskan bahwa resolusi
adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk membedakan informasi
yang secara spasial berdekatan atau secara spektral mempunyai kemiripan.
Terdapat 4 konsep resolusi dalam data PJ, yaitu resolusi spasial, resolusi spektral,
resolusi radiometri dan resolusi temporal. Selain keempat resolusi tersebut dalam
aplikasi pengolahan citra digital dikenal pula resolusi layar.
Resolusi spasial merupakan ukuran terkecil objek yang masih dapat
dideteksi oleh suatu sistem pencitraan. Semakin tinggi resolusi spasial berarti
luasan yang dapat dideteksi semakin sempit atau detil, berarti obyek yang lebih
kecil luasannya dari resolusi spasial tidak akan dapat diidentifikasi dari PJ dan
begitu pula sebaliknya. Semakin tinggi resolusi spasial maka semakin banyak
keberadaan piksel murni (pure pixel). Piksel murni merupakan piksel yang
tersusun atas 1 informasi spektral. Namun sebaliknya, dengan semakin rendah
resolusi spasial maka semakin rendah keberadaan piksel murni dan semakin
banyak keberadaan piksel campuran (mixed pixel). Piksel campuran merupakan
piksel yang tersusun atas 2 atau lebih informasi spektral obyek.
Resolusi spektral adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk
membedakan objek berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya. Semakin
tinggi resolusi spektralnya ditunjukan dengan semakin lengkap ketersediaan
panjang gelombangnya. Semakin banyak dan sempit panjang gelombang, maka
semakin tinggi kemampuannya dalam mengenali objek berdasarkan respon
spektralnya.
Resolusi radiometri adalah kemampuan sensor dalam mengkodingkan
besarnya energi pantulan obyek dipermukaan bumi yang sampai ke sensor
(W.m2.sr
-1.µm
-1) menjadi skala angka digital atau digital number (DN), agar dapat
disimpan dan dikirimkan ke satelit penerima di bumi hingga dapat ditampilkan
dalam layar digital. Semakin tinggi nilai bit coding semakin besar definisi derajat
11
keabuan atau greyscale-nya. Sehingga semakin tinggi resolusi radiometrik maka
semakin peka terhadap adanya variasi obyek atau fenomena, namun
konsekuensinya selain semakin besar ukuran filenya juga kemungkinan terjadi
kegagalan sensor dalam mengkodingkan energi menjadi DN semakin tinggi pula.
Resolusi temporal adalah kemampuan suatu sistem untuk merekam ulang
daerah yang sama, dalam satuan waktu (dapat berupa jam bahkan hari). Semakin
tinggi resolusi temporal maka akan semakin menunjang kepentingan monitoring.
Sedangkan yang dimaksud resolusi layar adalah kemampuan layar monitor dalam
menyajikan kenampakan obyek pada citra secara lebih halus. Besarnya resolusi
layar sangat dipengaruhi kemampuan hardware yaitu graphic card.
1.6.2. Penginderaan Jauh Multispektral
Penginderaan jauh multispektral adalah sitem PJ yang bekerja dengan
menggunakan puluhan saluran (band) dalam sekali perekaman. Citra multispektral
memiliki julat yang lebih sempit dari pada citra saluran tunggal, namun lebih lebar
daripada citra hyperspektral. Keunggulan dari citra multispektral adalah
dimungkinkan pembuatan pewarnaan citra atau sering disebut dengan komposit
citra. Setiap warna yang muncul dari hasil komposit melambangkan perbedaan
obyek atau fenomena. Beberapa contoh citra multispektral : Landsat, SPOT,
ALOS, ASTER, ALI, Quickbird, Ikonos, dll.
1.6.3. Satelit Advanced Land Observing Satellite Data (ALOS)
ALOS merupakan citra sumberdaya milik Jepang (RESTEC). Pertama kali
diluncurkan pada 24 Januari 2006. ALOS di lengkapi oleh 3 sensor, yaitu the
Advanced Visible and Near Infrared Raiometer type-2 (AVNIR-2), the
Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) dan the
Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR). Spesifikasi citra
ALOS AVNIR-2 secara umum dapat dilihat pada Tabel 1.1.
12
Gambar 1. 4. Satelit ALOS (ALOS handbook, 2008)
Tabel 1. 1. Karakteristik sensor satelit ALOS AVNIR-2
Tanggal peluncuran 24 Januari 2006, pangkalan udara Tanegashima, Jepang
Pesawat Peluncur H-II A
Diluncurkan Oleh RESTEC
Masa Operasi 3 tahun (design life ), 5 tahun (expected life)
Orbit 98.16°, Sun-synchronous sub-recurrent
Ketinggian 691.65 kilometer
Resolusi radiometrik 8 bits per piksel (256 levels)
Cakupan Citra 70 x 70 kilometer
Waktu Lintas Ulang 26 hari
Saluran Citra (AVNIR-2)
Band 1 Visible (0.42 – 0.50 µm) 10 m
Band 2 Visible (0.50 – 0.60 µm) 10 m
Band 3 Visible (0.61 – 0.69 µm) 10 m
Band 4 Near-Infrared (0.76 – 0.89 µm) 10 m
Sumber : ALOS handbook (2008)
Citra ALOS AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dalam
bentuk utuh (archive). Keuntungan dari citra archive adalah keaslian data masih
terjaga serta memungkinkan untuk dilakukan pemrosesan yang sifatnya global
operation. Dari summary atau header Citra ALOS AVNIR-2 diketahui bahwa
citra direkam pada tanggal 20 Juni 2009 (bulan kemarau) dengan level koreksi
citra 1B2G, direkam pada posisi elevasi matahari 35.930 dan azimuth matahari
50.940
, selengkapnya dapat dilihat di Lampiran 1. Level 1B2G artinya citra sudah
terkoreksi geometri, hal ini ditegaskan dengan terlampirnya informasi sistem
proyeksi UTM zona 49 True North pada header citra ALOS AVNIR-2 yang
digunakan dalam penelitian ini. Terdapat kekeliruan karena seharusnya daerah
kajian bukan berada pada True North, namun seharusnya berada pada south
hemisphere atau true south. Lebih lanjut, setelah dilakukan perbandingan posisi
terhadap data spasial bereferensi koordinat lokal (peta RBI) diketahui bahwa
terjadi pergeseran posisi secara sistematik pada citra ALOS AVNIR-2. Oleh
karena itu masih diperlukan koreksi geometrik terhadap citra ALOS AVNIR-2.
13
Gambar 1. 5. Citra ALOS AVNIR-2 DIY dan sekitarnya komposit 341
1.6.4. Satelit Landsat TM
Landsat merupakan satelit sumberdaya milik Amarika Serikat (NASA).
Pertama kali diluncurkan pada tahun 1972 dengan nama ERTS-1 (Earth
Resources Technology Sattelite – 1). Nama landsat sebenarnya baru diberikan
setelah dilucurkannya generasi kedua. Dari awal pembuatan sampai sekarang,
dinenal beberapa generasi citra Landsat, yaitu Landsat 1, 2, 3, 4, 5, 6 dan generasi
yang terbaru adalah Landsat 7 (diluncurkan pada tanggal 15 april 1999).
Sayangnya mulai tanggal 31 mei 2003 terjadi kerusakan pada Landsat 7 berupa
kegagalan sensor disebut dengan SLC-Off. Masalah ini menyebabkan penggunaan
landsat 7 mulai berkurang, alternatifnya adalah Landsat 5 (Landsat TM).
Gambar 1. 6. Satelit Landsat TM
(http://landsat.usgs.gov/about landsat5.php, diakses 22 Mei 2012)
14
Tabel 1. 2. Karakteristik sensor satelit Landsat TM
Tanggal peluncuran 1 Maret 1984, pangkalan udara Vandenburg, California
Pesawat Peluncur Delta 3920
Diluncurkan Oleh NASA
Masa Operasi 3 (Tiga tahun)
Orbit 98.2°, Polar, Sun-syncronous
Ketinggian 705 kilometer
Resolusi spasial 30 m reflective, 120 m thermal
Resolusi radiometrik 8 bits per piksel (256 levels)
Cakupan Citra 170 Km x 185 Km at nadir (106 mi x 115 mi)
Waktu Melintas Ekuator 9:45 a.m. +/- 15 minutes
Waktu Lintas Ulang 16 hari, 233 lintasan orbit
Saluran Citra (TM) Band 1 Visible (0.45 – 0.52 µm) 30 m
Band 2 Visible (0.52 – 0.60 µm) 30 m
Band 3 Visible (0.63 – 0.69 µm) 30 m
Band 4 Near-Infrared (0.76 – 0.90 µm) 30 m
Band 5 Mid-Infrared (1.55 – 1.75 µm) 30 m
Band 6 Thermal (10.40 – 12.50 µm) 120 m
Band 7 Mid-Infrared (2.08 – 2.35 µm) 30 m
Sumber : http://landsat.usgs.gov/about_landsat5.php (diakses 22 Mei 2012)
Citra Landsat TM yang digunakan dalam penelitian ini juga diperoleh dalam
bentuk utuh (archive). Dari header citra Landsat TM diketahui bahwa citra
direkam pada tanggal 31 juli 2009 (musim kemarau), 41 hari setelah citra ALOS
AVNIR-2 yang digunakan dalam penelitian ini direkam. Memiliki level koreksi
1T, direkam pada posisi elevasi matahari 49.1870 dan azimuth matahari 50.95
0,
selengkapnya dapat dilihat di lampiran 2. Dicantumkannya informasi planimetrik
berupa sistem proyeksi UTM, datum WGS-84 dan zona 49 hemisphare selatan
dan level koreksi 1T menunjukan citra sudah terkoreksi medan (systematic terrain
corrected) dan terkoreksi geometrik. Pengkoreksian data level 1T dilakukan
dengan menjadikan global DEM yang bersumber dari global land survey (GLS
2000) sebagai rujukan dalam mengkoreksi pengaruh topografi global terhadap
aspek geometrik. Namun, setelah dilakukan perbandingan posisi terhadap data
spasial bereferensi koordinat lokal (peta RBI) diketahui bahwa terjadi pergeseran
posisi secara sistematik pada citra Landsat TM. Oleh karena itu masih diperlukan
koreksi geometrik terhadap citra Landsat TM.
15
Gambar 1. 7. Citra Landsat TM Jawa Tengah komposit 341
1.6.5. Karakteristik Respon Spektral Tanah
Menurut Jensen (2007) PJ dapat berperan dalam identifikasi, inventarisasi
dan pemetaan tanah yang ada di permukaan bumi, terutama pada bagian
permukaan bumi yang tidak tertutup oleh vegetasi. Tanah memiliki dua respon
terhadap panjang gelombang yang mengenainya yaitu dipantulkan dan diserap
tergantung sifat fisik dan kimia tanah, tidak ada yang ditransmisikan seperti pada
vegetasi (Hoffer, 1978). Dibanding pola pantulan spektral vegetasi dan air, tanah
memiliki respon yang lebih sederhana, yaitu relatif semakin meningkat seiring
bertambah panjangnya panjang gelombang. Menurut Jensen (2007) besarnya
energi pantulan spektral tanah adalah komulatif atau total dari besarnya energi
yang langsung dipantulan saat mengenai permukaan tanah (Lp), energi yang
dipantulkan setelah berinteraksi dengan lapisan tanah bagian atas (Ls) dan energi
yang dipantulkan setelah berinteraksi dengan material yang ada di bawah
permukaan tanah (Lv) (persamaan 1.1). Terdapat beberapa karakteristik utama
tanah yang mampu pantulan spectral tanah, yaitu : kelembaban tanah permukaan,
tekstur tanah (prosentase susunan pasir, debu, dan lempung), kandungan bahan
organik tanah, kekasaran permukaan tanah dan oksida besi (Jensen, 2007).
Total radiance (Lt) = Lp + Ls + Lv........................(1.1)
16
Gambar 1. 8. Skema tanah dalam merespon energi elektromagnetik (Jensen, 2007)
1.6.5.1. Respon Spektral Oksida Besi
Oksida besi terbentuk akibat pelapukan kimiawi (air, oksigen, karbon
dioksida dan asam organik) pada tubuh batuan yang mengandung mineral besi.
Keterdapatan kandungan oksida besi memegang peran penting dalam
mempengaruhi beberapa sifat tanah. Selain dapat mengakibatkan tanah menjadi
berwarna merah, oksida besi juga dapat mempengaruhi agregat antar partikel
tanah serta kapasitas tukar kation disingkat KTK (Cornell and Schwertmann,
1996). Pada batasan tertentu oksida besi juga dapat menujukan kondisi pH, redox
potential, kelembaban, dan temperatur linkungan tanah (Rossel et al, 2009).
Bahkan, dalam studi geologi oksida besi tidak hanya berarti sebagai indikator
pelapukan batuan, namun juga dapat pula menandakan keberadaan beberapa
bahan galian tambang dengan nilai ekonomis, seperti bauksit dan bijih besi
(Sudarno dan Sumarinda, 1990). Kandungan oksida besi juga berguna dalam
memperkirakan keberadaan zona alterasi hydrothermal (Crosta & Moore, 1989)
dan membantu survei marginal yang pada umumnya memiliki karakter kapasiatas
serapan oleh fosfat sangat tinggi (Siradz, 2002).
Menurut Ben Door (2002) spektrum tampak hingga inframerah dekat dapat
dapat digunakan untuk mengukur kelimpahan kandungan oksida besi dalam tanah.
Tanah yang mengandung mineral besi akan dikenali dengan adanya kenaikan
pantulan pada spektrum merah (600 – 700 nm), serta penurunan pantulan pada
spektrum biru, hijau dan inframerah dekat (Jensen, 2007). Pada penelitian ini jenis
oksida besi yang dikaji adalah hematite (Fe2O3), karena jenis mineral ini lebih
umum di temukan di daerah penelitian dibanding jenis lainnya.
17
Gambar 1. 9. Karakteristik pantulan oksida besi secara umum (kiri) dan
karakteristik pantulan mineral-mineral oksida besi secara khusus (kanan)
(Jensen, 2007 dan Grove et al., 1992)
1.6.6. Kualitas dan Koreksi Citra
Dalam proses akuisisi dan pembentukan data PJ pada dasarnya tidak dapat
lepas dari adanya kesalahan. Hal ini dapat diakibatkan oleh kualitas sensor atau
detektor, posisi wahana saat perekaman, kondisi topografi daerah yang diliput dan
kondisi atmosfer saat perekaman. Restorasi atau pra-pengolahan atau pre-
processing citra adalah upaya untuk memperbaiki kualitas citra akibat adanya
kesalahan agar siap digunakan. Kebutuhan terhadap pre-processing citra
bervariasi, tergantung dari kualitas citra tersebut, level pemrosesan dan tujuan
aplikasi. Secara umum terdapat beberapa tolak ukur penilaian kualitas citra, yaitu
kualitas tutupan awan, banyaknya drop out baris, kualitas korelasi antar saluran,
kualitas geometrik dan kualitas radiometrik (Danoedoro, 1996).
1.6.6.1. Kualitas Tutupan Awan dan Kabut
Adanya tutupan awan dan haze serta bayangannya secara langsung
menyebabkan kehilangan informasi spektral. Idealnya dalam pemanfaatan citra
sumberdaya disyaratkan maksimal tutupan awan dan kabut adalah 10% dari total
area perekaman (Danoedoro, 1996). Citra dengan tutupan awan berpola
mengelompok masih lebih baik dari pada citra dengan pola tutupan awan yang
menyebar hampir diseluruh areal perekaman.
18
1.6.6.2. Kualitas Korelasi Antar Saluran
Korelasi antar saluran menunjukan kekuatan hubungan antar saluran pada
suatu citra dalam menyajikan informasi spektral obyek-obyek dipermukaan bumi.
Semakin tinggi hubungan antar saluran maka semakin rendah variansi informasi
spektralnya, artinya informasi spektral antara saluran satu dengan yang lainnya
hampir mirip.
1.6.6.3. Koreksi Radiometri
Kualitas radiometri berhubungan dengan nyaman tidaknya gambar dalam
pandangan visual dan juga benar tidaknya informasi spektral yang diberikan oleh
obyek dan tercatat oleh sensor (Danoedoro, 2012). Kualitas radiometrik
dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti kualitas sensor atau detektor, posisi wahana
pada saat merekam, kondisi topografi daerah yang diliput dan juga kondisi
atmosfer pada saat perekaman. Koreksi radiometrik dilakukan atas dua tujuan
dasar yaitu untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai-nilai
piksel yang tidak sesuai dengan pantulan atau pancaran spektral objek yang
sebenarnya, akibat gangguan atmosfer, geometri sensor terhadap matahari dan
kesalahan pada sensor itu sendiri (Cambell, 2002)
Phin (2007) menjabarkan secara sistematis aliran proses koreksi
radiometrik, dapat dilihat pada Gambar 1.10. Sensor calibration atau kalibrasi
sensor adalah tehnik untuk mengembalikan nilai DN (tidak ada satuan) menjadi
at-sensor radiance atau radiance (W m-2
sr-1
µm-1
). Radiance ialah besarnya
energi dari sinar matahari yang lolos atmosfer, pada area spesifik dan pada arah
yang spesifik pula (Jensen, 2005). Sunlight correction ialah koreksi radiometri
yang bertujuan untuk mengkonfersi nilai at-sensor radiance menjadi at-sensor
reflectance atau sering pula disebut dengan Top of Atmospheric reflectance
(TOA). Jarak matahari dengan bumi dalam 1 tahun bersifat dinamis, hal ini
mempengaruhi besarnya energi total yang dapat sampai ke bumi, dengan
melakukan koreksi TOA dapat menormalisasi kondisi tersbut. Reflectance ialah
19
rasio besaran energi yang dipantulkan dibanding energi awal (irradiance),
reflectance tidak memiliki satuan, namun memiliki range nilai 0-1.
Gambar 1. 10. Tahapan Koreksi radiometrik (Phin, 2007)
At-sensor reflectance masih memuat pengaruh atmosfer, untuk
mengkoreksinya diperlukan koreksi atmosfer. Dengan melakukan koreksi
atmosfer akan dihasilkan citra at-surface reflectance. Pada kondisi tertentu
dimana bebas gangguan atmosfer besarnya nilai at-sensor reflectance dan at-
surface reflectance adalah sama. Berdasarkan pendekatan yang digunakan
terdapat dua jenis koreksi atmosfer, yaitu koreksi atmosfer absolut dan koreksi
atmosfer relatif.
Koreksi atmosferik absolut dilakukan dengan memperhitungkan kondisi
atmosfer secara kuantitatif (absolut), meliputi kandungan aerosol, uap air,
ketebalan partikel di atmosfer. Dengan demikian, apabila data tersebut tidak
tersedia maka sulit untuk dapat melakukan koreksi atmosfer absolut. Solusi dari
masalah tersebut adalah model radiatif transfer atmosfer (atmospheric radiative
transfer model). Model koreksi ini mengaplikasikan kondisi atmosfer rata-rata
sesuai dengan lokasi lintang bujur, intensitas matahari sesuai tanggal perekaman,
tinggi terbang dan keterjangkaun pandangan di udara, kadar aerosol relative
terhadap kondisi wilayah (urban, rural, maritime, tropospheric), serapan uap air
di atmosfer. Beberapa metode pendekatan kondisi atmosfer seperti : Modtran, 6-S,
ACORN, ATREM, FLAASH, ATCOR.
20
Koreksi atmosferik relatif dilakukan dengan merujuk pada kondisi ideal atau
dapat pula merujuk data lain yang dianggap memiliki kualitas atmosfer lebih baik.
Beberapa metode koreksi atmosfer relatif, antara lain:
Histogram adjusment atau dark-pixel substraction,
(Jensen, 2005; Lillesand et al, 2004; Schowengerdt, 2007;
Danoedoro, 1996)
Image-based regression adjustment (Mather 2004, Danoedoro 1996)
Scatter plot method, (Danoedoro, 1996)
Sadow calibration, (Gastellu‐Etchegorry 1988, Danoedoro 1996)
Empirical line method, (Mather 2004, Jensen 2005)
1.6.6.4. Kualitas Geometri, Koreksi dan Akurasi Geometri
1.6.6.4.1. Kualitas Geometri
Kualitas geometrik menunjukan benar tidaknya suatu citra dalam
menampilkan informasi bentuk dan posisi sesuai di lapangan (koordinat
sebenarnya). Menurut Danoedoro (2012) berdasarkan penyebabnya kesalahan
geometrik dapat dikelompokan menjadi dua, yaitu kesalahan geometrik sistematik
dan non-sistematik. Kesalahan geometrik sitematik adalah distorsi posisi dan
bentuk citra akibat dari mekanisme perekaman citra (Gambar 1.11). Kesalahan
non-sistematik umumnya disebabkan oleh proses perekaman citra secara parsial
dengan scaning mengikuti sistem lintasan atau orbit satelit terhadap rotasi bumi
serta adanya variasi jarak antara obyek yang direkam dengan posisi sensor
(Gambar 1.12). Kesalahan geometrik non-sistematik umumnya tidak dapat
diprediksi.
Gambar 1. 11. Bentuk kesalahan geometrik sistematik (garis putus-putus menunjukan citra
terdistorsi, sedangkan garis tegas menunjukan bentuk citra yang telah terestorasi); distorsi arah
melintah scaner (a), distorsi variasi kecepatan cermin (b), kemencengan (c)
(Danoedoro, 2006)
Time
Normal Velocity
Actual Velocity
No
rmal
An
gel
(a) (b) (c)
21
Gambar 1. 12. Bentuk kesalahan gemetrik non-sistmatik (garis putus-putus menunjukan citra yang terdistorsi,
sedangkan garis tegas menunjukan bentuk citra yang telah terestorasi), (a) rotasi bumi; (b) variasi ketinggian
wahana; (c) variasi pitch; (d) pengaruh kecepatan wahana; (e) variasi roll; (f) variasi yaw.
(Danoedoro, 2006)
1.6.6.4.2. Koreksi Geometrik
Koreksi geometrik adalah suatu upaya untuk membenarkan aspek posisi dan
bentuk citra, dilakukan dengan mentransformasi geometri atau posisi piksel
diikuti dengan perubahan informasi spektral (Danoedoro, 1996). Mather (2004)
dalam Danoedoro (2012) mengelompokan koreksi geometrik dalam dua
kelompok, yaitu model koreksi orbital dan model transformasi berdasarkan titik
kontrol lapangan atau ground control point (GCP). Model koreksi geometri
orbital merupakan model fisikal yang mencoba mengenali parameter-parameter
penyebab kesalahan secara deduktif, kemudian direkontruksi. Terdapat tiga
metode koreksi geometrik orbiltal, yaitu koreksi aspect ratio (koreksi untuk
menyamakan dimensi piksel), koreksi kemencengan (terjadi akibat pengaruh
sudut inklinasi) dan koreksi rotasi bumi. Koreksi model transformasi berdasarkan
GCP menerapkan cara pandang empiris, dengan membandingkan posisi-posisi
antara obyek yang ada di citra dengan obyek yang sama pada data lapangan atau
peta sesuai dengan daerah liputan citra. Prinsip dasar dari metode tranformasi
berdasarkan GCP adalah dengan merelokasi seluruh piksel pada citra sehingga
membentuk konfigurasi piksel baru yang secara mental dipersepsikan sebagai
citra (Danoedoro, 2012).
Menurut Jensen (2005) GCP ialah suatu lokasi pada permukaan bumi yang
dapat diidentifikasi pada citra dan sekaligus dikenali posisinya pada peta. Akan
tetapi tidak menutup kemungkinan di gunakan sumber GCP lain, seperti koordinat
(d) (e) (f)
(a) (b) (c)
22
lapangan yang diambil secara langsung menggunakan GPS. Dari pasangan titik
yang sama antara posisi citra dengan posisi rujukan (peta/ lapangan), digunakan
untuk membangun fungsi matematis yang menyatakan hubungan antara posisi
sembarang titik pada citra dengan titik obyek yang sama pada peta maupun
lapangan. Hasil dari koreksi akan mengikat koordinat pusat dari setiap piksel.
Kualitas dan kuantitas dari GCP sangat mempengaruhi hasil koreksi
geometrik. Kualitas GCP dipengaruhi oleh tingkat ketelitian user dalam
menentukan GCP. Obyek yang ideal dijadikan sebagai GCP adalah obyek buatan
manusia, karena obyek buatan manusia cenderung memiliki bentuk yang teratur
serta tidak berubah terpengaruh alam dan waktu. Kuantitas GCP dipengaruhi oleh
kondisi morfologi atau relief permukaan bumi (orde) yang akan dikoreksi serta
metode koreksi geometrik yang akan di gunakan. Jumlah orde GCP tidak terbatas,
tergantung kebutuhan terhadap tingkat keakuratan koreksi yang diinginkan,
kualitas geometrik citra yang akan dikoreksi, serta metode koreksi geometrik yang
akan digunakan. Persebaran posisi GCP adalah hal yang paling penting dalam
koreksi geometrik. Semakin berbukit atau bergunung maka sebaiknya jumlah
GCP diperbanyak dibanding jumlah GCP pada morfologi datar, begitu pula
sebaliknya. Terdapat formulasi sederhana untuk menentukan jumlah GCP
berdasarkan kondisi morfologi daerah, yaitu:
GCP = (1 + n)^2 , ............................... (1.2)
Keterangan :
n = Orde wilayah
Image-to-map rectification adalah metode koreksi geometrik citra yang
bekerja dengan cara memberikan sistem proyeksi dan sistem koordinat dari peta
dasar sebagai referensi atau base (peta dasar, data spasial yang memiliki referensi
koordinat lebih akurat, koordinat lapangan terukur menggunakan GPS) ke suatu
citra yang belum terkoreksi (warp). Metode koreksi ini mampu meminimalisir
distorsi geometrik akibat topographic relief displacement pada citra.
Image-to-image registration dilakukan dengan mengoreksi citra yang
sebelumnya telah memiliki aspek planimetric berupa sistem proyeksi, diberikan
23
sistem koordinat baru dengan merujuk citra lain yang sudah terkoreksi. Tehnik ini
digunakan ketika kita tidak membutuhkan setiap piksel pada citra untuk
mempunyai koordinat x dan y seperti pada peta. Citra yang dapat dijadikan
rujukan atau referensi dalam metode koreksi ini disyaratkan merekam daerah yang
sama dan memiliki kesamaan dalam aspek resolusi spasial. Metode image-to-
image registration memiliki konsekuensi perambatan kesalahan yang lebih besar
dari pada metode image-to-map rectification, karena pada citra lain yang
digunakan sebagai rujukan dalam mengkoreksi sebenarnya telah memiliki error
geometrik (Jensen, 2005).
Pemilihan GCP image-to-map rectification
Pemilihan GCP image-to-image registration
Gambar 1. 13. Metode koreksi geometri (Jensen, 2005)
Proses warping atau relokasi posisi piksel citra adalah alogaritma untuk
menempatkan suatu piksel lama ke jaring-jaring proyeksi baru sesuai data
rujukan. Terdapat tiga metode warping, diantaranya seperti : RST, Polynomial dan
24
Triangulation. Dalam interpolasi nilai spektral dikenal tiga alogaritma dimana
masing-masing memiliki memiliki efek yang berbeda satu dengan yang lain
terhadap kenampakan citra, yaitu : nearest neighbour, bi-linear dan cubic
convolution.
Alogaritma nearest neighbour bekerja dengan memperhatikan nilai piksel
terdekat yang telah tergeser ke posisi baru. Hasil metode nearest neighbour
apabila dibandingkan dengan kedua metode yang lain secara visual akan tampak
kurang begitu bagus, karena muncul kenampakan dengan batas yang tegas atau
tidak smoth. Walaupun demikian, metode ini jauh lebih baik dalam hal
mempertahankan keaslian informasi spektral dari pada metode interpolasi yang
lain. Metode bi-linear interpolation bekerja dengan mempertimbangkan keempat
nilai piksel yang berdekatan, untuk selanjutnya dirata-rata secara proporsional
sesuai dengan jaraknya terhadap posisi baru. Metode cubic convolution
menggunakan pripsip interpolasi yang hampir sama dengan alogaritma bi-linier,
hanya saja piksel terdekat yang dipertimbangkan lebih banyak yaitu sejumlah 16
piksel. Hasil interpolasi dengan metode bi-linear akan diperoleh kenampakan citra
yang tampak halus dan citra hasil interpolasi cubic convolution akan memiliki
kenampakan yang jauh lebih halus lagi (Danoedoro, 1996).
Gambar 1. 14. Metode interpolasi spektral koreksi gemoterik (Kerle, 2004 dalam kamal, 2010)
1.6.6.4.3. Akurasi Koreksi Geometri
Setiap koreksi geometrik akan membawa konsekuensi error (root mean
square error atau RMSE). Secara sederhana nilai RMSE diperoleh berdasarkan
selisih antara posisi sumbu x dan sumbu y dengan koordinat rujukan. Perhitungan
nilai RMS apabila dirumuskan adalah sebagai berikut :
25
RMSE = 1
𝑛 Ệ − 𝐸𝑖
2𝑛𝑖=1 .................................................................. (1.3)
RMSN = 1
𝑛 Ĥ − 𝐻𝑖
2𝑛𝑖=1 *
1
𝑛 Ệ − 𝐸𝑖
2𝑛𝑖=1 *
1
𝑛 Ñ −𝑁𝑖 2𝑛𝑖=1 ... (1.4)
RMSEN = 1
𝑛 𝛿Ñ𝑖
2 − 𝛿𝐸𝑖2
2𝑛𝑖=1 *
1
𝑛 Ệ − 𝐸𝑖
2𝑛𝑖=1 .............................. (1.5)
Keterangan :
n = Jumlah total GCP yang digunakan dalam koreksi atau rektifikasi
Ei dan Hi = Berturut-turut koordinat X (timur, E) dan Y (utara, N) dari GCP ke-i,
yang dihitung dari fungsi transformasi f1 dan f2 yang digunakan dalam
rektifikasi
E dan N = Koordinat referensi terturut-turut untuk X (timur, E) dan Y (utara, N)
yang diperoleh dari peta topografi atau hasil pengukuran GPS
𝞭 = Rectification residual (selisih antara setiap pasangan titik koordinat
referensi dengan titik koordinat hasil estimasi)
1.6.7. Principal Component Analysis (PCA)
Principal component analysis (PCA) atau analisis komponen utama
merupakan tehnik rotasi yang diterapkan pada sistem koordinat multisaluran
sehingga menghasilkan citra baru dengan jumlah saluran yang lebih sedikit namun
dengan informasi yang bersifat lebih efisien, menghasilkan citra dengan saluran
yang saling tidak berkorelasi, serta menghilangkan noise. Jensen (2005)
menjelaskan bahwa PCA bekerja dengan merotasi sumbu data original sehingga
nilai kecerahannya terdistribusi ulang (terproyeksi) menjadi beberapa sumbu baru
atau dimensi baru, x1’ dan x
2’, hasil dari tansformasi PCA, PC1 (sumbu utama)
terletak pada sumbu baru dengan distribusi piksel yang paling besar variansinya,
sedangkan PC2 yang akan dibuat tegak lurus terhadap PC1 memiliki variansi data
terbesar kedua setelah PC1 dan seterusnya.
26
Gambar 1. 15. Diagram proses transformasi Principal Component,
X1 dan X2 adalah band 1 dan band 2, 1 dan 2 adalah mean band 1 dan mean band 2
(Jensen, 2007)
Algoritma transformasi PCA dimulai dengan cara menghitung statistik antar
saluran (mean, standar deviasi, variasi, kavariansi dan korelasi antar saluran)
secara urut, dilanjutkan dengan memplotkannya pada matrik variansi-kovariansi,
terakhir adalah menhitung final data. Informasi mean dibutuhkan untuk dapat
menghitung variansi masing-masing saluan. Informasi variasi antar saluran
dibutuhkan untuk dapat menghitung nilai kovariansi antar saluran. Nilai variansi
dan kovariansi antar saluran dibutuhkan untuk dapat menghitung korelasi antar
saluran. Nilai kovariansi menunjukkan besar kecilnya hubungan antara saluran
satu dengan yang lain. Nilai kovariansi antara (CovB1,B2) akan selalu sama
dengan (CovB2,B1). Semakin tinggi nilainya maka hubungan antara kedua
saluran akan semakin tinggi, hal ini berarti informasi yang dimuat keduanya
terlalu mirip dan tidak dapat saling melengkapi satu sama lain. Korelasi pada
dasarnya memiliki fungsi sama dengan matrik kovariansi, yaitu menunjukan kuat
lemahnya hubungan. Perbedaanya hanya terletak pada julat nilai koefisien
hubungan yang disederhanakan, yaitu berkisar -1 hingga +1. Dimana nilai 1
berarti berhubungan kuat, nilai 0 berarti tidak berhubungan dan tanda positif
menyatakan hubungan yang searah, tanda negatif menyatakan hubungan yang
berkebalikan.
X2
Nilai Kecerahan
X1 1
Nil
ai K
ecer
ahan
2 x1’
X2’
Nila
i K
ecer
ahan
Nilai Kecerahan
X1
X2
1
2
PC2
X1
Nilai Kecerahan
2
1
PC1
X2
Nil
ai K
ecer
ahan
(c) (b) (a)
27
Gambar 1. 16. Diagram alir PCA (Wicaksono, 2008)
𝑥𝑎 = 𝑋𝑎𝑛𝑎=1
𝑛 ...................................................... .(1.6)
𝑠𝐷𝑒𝑣 𝑎 = 𝑋𝑎−𝑋 𝑎
2𝑛𝑎=1
𝑛−1 ..................................... (1.7)
𝑉𝑎𝑟 𝑎 = (𝑋𝑎−𝑋 𝑎 )²𝑛𝑎=1
(𝑛−1) ........................................ (1.8)
𝐶𝑜𝑣 𝑎, 𝑏 = 𝑋𝑎−𝑋𝑎 (𝑋𝑏−𝑋𝑏 )𝑛𝑎=𝑏=1
(𝑛−1) ....................... (1.9)
𝑟 𝑎, 𝑏 =𝐶𝑜𝑣 (𝑎 ,𝑏)
𝑣𝑎𝑟 (𝑎) 𝑣𝑎𝑟 (𝑏) ................................ (1.10)
Keterangan :
𝑥𝑎 : Mean nilai piksel saluran a
𝑋𝑎 : Piksel pada saluran a
𝑋 b : Mean nilai piksel saluran b
𝑋𝑏 : Piksel pada saluran b
n : Jumlah piksel pada saluran a atau b
𝑠𝐷𝑒𝑣 𝑎 : Standar deviasi saluran a
var (a) : Variansi saluran a
𝑣𝑎𝑟 (𝑏) : Variansi saluran b
𝐶𝑜𝑣 𝑎, 𝑏 : Kovariansi antara saluran a dan saluran b
𝑟 𝑎, 𝑏 : Korelasi antara saluran a dan saluran b
28
Tabel 1. 3. Matriks variansi-kovariansi 3 x 3 untuk 3 salauran spektral
Saluran 1 Saluran 2 Saluran 3
Saluran 1 Var1 Cov1,2 Cov1,3
Saluran 2 Cov2,1 Var2 Cov2,3
Saluran 3 Cov3,1 Cov3,2 Var3
𝐴 − 𝜆 𝑉 = 0 ....................(1.11)
Keterengan :
𝐴 : Matriks korelasi,
λ : Eigenvalue dan
𝑉 : Eigenvektor.
Eigenvektor menunjukan arah dari sumbu–sumbu komponen utama yang
terbentuk dan bagaimana suatu kumpulan data dengan banyak dimensi
dihubungkan sepanjang vektor tersebut. Eigenvalue menunjukkan panjang dari
sumbu utama. Semakin besar nilai eigen maka semakin panjang sumbunya dan
informasi yang terkandung didalamnya akan semakin banyak. Komponen pertama
(PC1) merupakan komponen yang memiliki nilai eigen paling tinggi dan PC2
(komponen kedua) memiliki nilai eigen terbanyak kedua dan seterusnya semakin
kecil.
FinalData = RowFeatureVektor x RowDataAdjust ....................(1.12)
FinalData adalah nilai piksel baru hasil transformasi. RowFeatureVektor
adalah transposed dari matrik eigenvektor. Sedangkan RowDataAdjust adalah
transposed dari nilai piksel asli yang telah dinormalisasi (Wicaksono, 2008).
FinalData akan terdiri dari sejumlah saluran yang jumlahnya sesuai dengan
jumlah saluran asli yang dijadikan sebagai input, dimana setiap saluran memiliki
derajat kandungan informasi yang berbeda ditunjukan dengan besarnya nilai eigen
value. Menurut Jensen (2005), PC1 akan memiliki > 90% total informasi dan PC2
akan memiliki kandungan informasi 2-10%, dan seterusnya secara gradual PC ke-
n memiliki kandungan informasi yang semakin kecil atau bahkan hanya tersusun
atas kumpulan noise. Untuk mengetahui saluran yang paling berkontribusi dalam
besarnya kandungan informasi baik di PC1, PC2 dan PC3, dapat dilakukan
dengan menghitung Factor Loading.
29
1.6.8. Band Arithmetic atau Aljabar Band
Band arithmetic atau aljabar band merupakan tehnik pengolahan citra digital
dengan menerapkan operasi matematis layaknya penjumlahan, pengurangan,
perkalian, pembagian, logaritma atau aritmatika lainnya yang diaplikasikan pada
band-band citra PJ. Band aritmatika bertujuan untuk memperoleh informasi baru
yang khas yang tidak dapat disajikan secara langsung oleh band asli. Terdapat
pertimbangan dalam pemilihan jenis aritmatika yang akan digunakan serta band
inputnya, namun tidak menutup kemungkinan aplikasi ini dilakukan dengan
faham induktif, artinya berangkat dari fikiran kosong untuk mendapatkan
kesimpulan baru yang bermanfaat.
Danoedoro (2012) menjelaskan beberapa prinsip dasar aljabar citra beserta
fungsi dari masing-masing, seperti penjumlahan, pengurangan, pembagian dan
perkalian. Prinsip aljabar penjumlahan dan pengurangan hampir sama, dimana
baik penjumlahan maupun pengurangan akan menghasilkan nilai baru yang diberi
bobot. Pemberian bobot pada setiap saluran dan selanjutnya dibagi dengan jumlah
saluran masukan menghasilkan nilai rerata dan masih masuk di dalam julat asli.
Penjumlahan citra dengan efek mereratakan seluruh nilai pada seluruh saluran
akan membagi noise pada satu piksel dengan jumlah saluran yang ada (Liu dan
Mason (2009) dalam Danoedoro (2012). Selain itu, dapat pula menghasilkan citra
baru (rerata) yang mempunyai signal-to-noise ratio (nisbah sinyal dengan noise)
yang lebih tinggi. Sebaliknya, aljabar pengurangan dapat mengurangi signal-to-
noise ratio, sebab pengurangan mampu mengurangi fitur kenampakan bersama
pada kedua citra dan sekaligus mempertahankan noise acak pada kedua citra.
Akan tepati, pengurangan citra memiliki efek positif terkait peningkatan kontras
informasi yang bersifat intrinsik pada vegetasi dan tanah, seperti kandungan
klorofil dan mineral lempung. Perkalian citra mampu menghasilkan citra baru
dengan nilai yang jauh lebih besar dari nilai maksimum citra asli (masukan).
Pembagian citra mampu menghasilkan citra baru dengan tingkat gangguan
atmosfer yang relatif lebih ringan, mengurangi efek bayangan, penonjolan aspek
vegetasi dan litologi. Penerapan aljabar citra sebaiknya dilakukan pada citra yang
telah terkoreksi geometrik, paling tidak aspect ratio. Salah satu contoh aplikasi
30
aljabar citra yang berkaitan dengan kajian oksida besi adalah iron oxide index atau
indeks oksida besi. Index terbesut dibangun dengan meratiokan saluran merah
dengan saluran biru.
1.6.9. Normalized Diverent Vegetation Index (NDVI)
Transformasi NDVI merupakan transformasi indeks vegetasi yang dibangun
dari persamaan matematis kombinasi antara penisbahan, pengurangan dan
penambahan saluran inframerah dekat dan saluran merah. Hasil dari tranformasi
NDVI adalah sebuah citra indeks dimana julat nilai pikselnya antara -1 sampai 1.
Nilai 1 berkorelasi dengan obyek vegetasi, nilai 0 berkorelasi dengan obyek tanah
atau obyek lain yang bermaterial dasar tanah dan nilai -1 berkorelasi dengan air
atau obyek air dan obyek yang mengandung air. Oleh karena itu dengan membagi
julat tersebut dapat diperoleh kondisi penutuplahan secara relatif, namun dengan
akurasi cukup kasar.
1.6.10. Tanah
Hanafiah (2007) mendefinisikan tanah sebagai bahan mineral yang tidak
padat (unconsolidated) terletak di permukaan bumi, yang telah dan akan tetap
mengalami perlakuan dan dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik dan lingkungan
yang meliputi bahan induk, iklim (termasuk kelembaban dan suhu), organisme
(makro dan mikro) dan topografi pada suatu periode waktu tertentu. Setiap tanah
di muka bumi akan memiliki tiga fungsi dasar, yaitu fungsi fisik, kimia dan
biologi. Fungsi tanah secara fisik adalah sebagai tempat tumbuh-berkembangnya
perakaran, penopang tegak tumbuhnya tanaman dan pensuplai kebutuhan air dan
udara. Secara kimiawi, tanah berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara dan
nutrisi (senyawa organik dan anorganik sederhana dan unsur-unsur esensial
seperti N, P, K, Ca, Mg, S, Cu, An, Fe, Mn, B, Cl, dan lain-lain). Secara biologis
tanah berfungsi sebagai habitat biota (organisme) yang berpartisipasi aktif dalam
penyediaan hara tersebut dan zat-zat aditif (pemacu tumbuh, proteksi) bagi
tanaman (Hanafiah, 2007).
31
1.6.10.1. Pelapukan Tanah
Pelapukan adalah sebuah proses akibat bekerjanya gaya dari alam baik yang
bersifat fisik maupun kimiawi, sehingga mampu merusak, memecah sampai
mentransformasikan bebatuan dan mineralnya menjadi material lepas-lepas
(regolit) di permukaan bumi. Terdapat dua jenis pelapukan yang mengakibatkan
terbentuknya regolit, yaitu pelapukan fisik dan pelapukan kimiawi. Pelapukan
fisik terjadi lebih dikontrol oleh perubahan suhu secara dranstis dan oleh aktivitas
air menerobos celah bebatuan. Sedangkan mekanisme pelapukan kimiawi
disebabkan oleh proses pelarutan (solubitasi), pelapisan permukaan oleh matel
hidrat (hidratasi), ionisasi air menjadi ion H+ dan OH
- (hidrolisasi), oksidasi,
reduksi, karbonisasi dan pengasaman (asidifikasi).
1.6.10.2. Pembentukan dan Perkembangan Tanah
Menurut Hanafiah (2007) terdapat lima 5 faktor yang bekerja secara integral
dan kontinyu baik melalui mekanisme fisik, kimiawi maupun biologis yang dapat
mempengaruhi pembentukan (genesis) dan perkembangan tanah (differensiasi
horizon), yaitu iklim, jasad hidup, bahan induk, topografi dan waktu. Iklim dan
cuaca berperan aktif dalam mengubah energi matahari menjadi energi mekanik
atau energi panas, energi ini secara langsung dapat berpengaruh terhadap genesis
dan diferensiasi tanah. Curah hujan berperan dalam kaitannya pelarutan dan
transport material tanah. Selain itu, air hujan juga berpengaruh dalam komposisi
kimiawi mineral-mineral penyusun tanah, kedalaman dan diverensiasi profil tanah
serta sifat fisik tanah. Temperatur berperan sebagai pemicu proses fisik dalam
pembentukan liat dari mineral-mineral induk tanah, keanekaragaman hayati yang
aktif dan kesempurnaan proses dekomposisi biomass tanah hingga
mineralisasinya. Tanah yang terbentuk pada temperatur rendah akan cenderung
berkadar biomass rendah dan mentah (fibrik). Tanah yang terbentuk pada
temperatur sedang akan memiliki jenis dan populasi mikrobia yang ideal sehingga
aktivitas dekomposisi biomass juga akan ideal. Tanah yang terbentuk pada
temperatur tinggi akan berkadar biomass rendah tapi matang (saprik).
32
Jasad hidup berperan dalam genesis dan perkembangan profil tanah.
Vegetasi yang mati dan terdekomposisi oleh mikrobia heterotrofik akan berubah
menjadi bahan organik tanah (BOT). Jenis bahan induk akan mempengaruhi sifat
fisik dan kimia tanah. Terdapat tiga jenis batuan induk berdasarkan cara
pembentukannya, yaitu batuan beku (igneous rock), batuan sedimen
(sedimentrary rock) dan batuan metamorf (metamorf rock).
Topografi secara langsung akan berhubungan dengan jumlah air hujan yang
dapat meresap atau tersimpan oleh massa tanah, kedalaman air tanah, besarnya
erosi dan arah pergerakan air membawa bahan-bahan terlarut. Keempat faktor
tersebut dapat mempengaruhi genesis dan perkembangan tanah, seperti ketebalan
solum, kadar bahan organik tanah (BOT) pada horizon O, warna, temperatur,
perkembangan horizon, reaksi tanah, kadar garam mudah larut, jenis dan taraf
perkembangan lapisan padas serta sifat bahan induk tanah.
Waktu atau periode pembentukan tanah dapat berpengaruh kepada jenis dan
sifat-sifat tanah. Semakin lama waktu genesis dan perkembangan tanah maka akan
semakin lengkap diferensiasi horizon tanah tersebut.
Proses pekembangan tanah atau diferensiasi horizon dipengaruhi oleh air
hujan yang masuk kedalam tanah dengan air yang hilang melalui evapotranspirasi,
suplai O2 dan CO2 dari atmosfer dan bahan organik dari aktivitas biologis dengan
pelepasan CO2 dari proses dekomposisi bahan organik secara biologis, suplai N,
Cl dan S dari atmosfer dari air hujan dengan volatisasi (penguapan) N lewat
denitrifikasi, pertukaran antara bahan-bahan sedimen dalam aliran air permukaan
dengan bahan-bahan yang terangkut oleh erosi.
1.6.10.3. Tanah Merah
Sejak dimulainya survei tanah di Indonesia dikenal berbagai pemberian
nama pada jenis tanah merah yang ditemukan di seluruh tanah air, kecuali
beberapa pulau di Nusa Tenggara dan Maluku Selatan (Darmawijaya, 1990).
Beberapa nama jenis tanah merah tersebut seperti : rotterden (Vagelar, 1930);
lateritic soils (Mohr, 1993); Latosol, podzolik merah-kuning, mediteran merah
33
kuning dan lateritik (Soepraptohardjo, 1961). Terakhir sistem penamaan tanah
merah yang diikuti Indoneisa adalah sistem taxonomi USDA.
Berdasarkan genesanya tanah merah dapat terbentuk dari batuan induk
karbonat dan juga dapat pula dari sisa aktivitas vulkanisme. Berdasarkan sistem
klasifikasi tanah menurut Soepraptohardjo (1961) tanah merah yang terbentuk dari
sisa aktivitas vulkanisme adalah tanah latosol dan tanah laterik. Tanah podzolik
merah kuning dan mediteran merah kuning yang ditemukan di Indonesia berasal
dari bahan induk bermaterial karbonat dan mengandung silika. Seperti halnya
tanah merah yang ada di Gunungsewu menurut Soepraptohardjo (1958) dapat
digolongkan ke dalam jenis tanah mediteran merah, dalam istilah yang lebih
umum dikenal dengan istilah tanah terra rosa.
Pembentukan tanah terra rossa oleh Zippe (1953) dalam Darmawijaya
(1990) dijelaskan sebagai hasil pelapukan batu gamping. Vinasse de Regny (1964)
dalam Darmawijaya (1990) menambahkan suatu teori yang menyatakan adanya
pengendapan besi dari larutan alkalis yang bersentuhan dengan batu gamping
diperkaya dengan besi menyebabkan warna merah pada tanah terra rossa.
1.6.10.4. Survei Tanah
Survei tanah ialah serangkaian kegiatan untuk mendeskripsikan karakteristik
tanah di suatu daerah, mengklasifikasikannya menurut sistem klasifikasi baku dan
memplot batas tanah pada peta serta membuat prediksi tentang sifat tanah (USDA,
2010). Suvei tanah merupakan kegiatan yang kompleks, diperlukan persiapan dan
pemahaman yang matang sebelum memulainya. Mulai dari pengenalan bentang
lahan, berbagai faktor pembentuk tanah, kemampuan mendeskripsikan
karakteristik masing-masing profil tanah dan hingga memplotkan kesimpulannya
pada peta tanah. Dalam sebuah peta tanah memuat tiga informasi dasar, yaitu
satuan tanah, satuan bahan induk dan satuan wilayah. Kedetilan satuan tanah
dapat bervariasi tergantung dari skala peta dan variasi dilapangan.
Dalam manajemen tanah di Amerika Serikat dikenal suatu konsep yang
disebut dengan pedon dan pelipedon. Pedon adalah sereal tanah yang mempunyai
karakter dan ciri yang relatif homogen. Suatu kawasan yang memiliki banyak
34
pedon yang berbeda disebut dengan pelipedon. Satuan terkecil dari pedon adalah
seluas 1–10 m2 (tergantung variabilitas tanah). Darmawijaya (1990) menjelaskan
bahwa pedon adalah tubuh tanah asli berdimensi tiga berupa profil tanah yang
memperlihatkan semua horizon tanah yang ada dan saling keterkaitannya pada
luasan 1–10 m2 dengan batas bawah berupa bidang permukaan yang kabur antara
“tanah” dan “non tanah”. Terdapat tiga tahapan utama dalam survei tanah, yaitu
persiapan, kerja lapangan dan penyelesaian (Darmawiyaya, 1990),
1. Tahap Persiapan Survei Tanah
Tahap persiapan survei meliputi pemahaman sistematika survei, penentuan
sistem klasifikasi tanah, membuat rencana sampel tanah, dan persiapan
bahan dan alat, meliputi : peta topografi daerah survei, bor tanah, kompas
geologi, altimeter, kantong sampel tanah, pH meter, buku munsell soil color
chart, pisau, pita ukur, cangkul, sekop garpu tanah, kertas label dan daftar
chek list sampel tanah.
2. Tahap Kerja Lapangan
Dalam tahap kerja lapangan terdapat beberapa kegiatan utama, yaitu
orientasi lapangan, pemboran, penyelidikan profil tanah dan data lahan.
Dalam memilih lokasi pemboran sebaiknya dipilih dimana penggunaan
lahannya masih alami. Hasil pemboran tanah dianalisis secara relatif
dilapangan dan di bawa ke laboratorium tanah untuk diuji secara kuantitatif.
Pedoman dalam memilih lokasi pengamatan profil tanah harus mengikuti
syarat, seperti : benar-benar mewakili satuan tanah, baru (belum dipengaruhi
faktor luar), sampel berada ditengah area satuan tanah atau jauh dari batas
seri tanah, serta mudah dijangkau. Informasi tambahan yang harus selalu
dicatat selain kondisi tanah pada intinya adalah kondisi topografi wilayah,
iklim, vegetasi, dan tindakan pengolahan manusia dalam mengolah tanah
tersebut.
3. Tahap Penyelesaian
Sampel yang telah diambil dilapangan diuji di laboratorium hingga akhirnya
diperoleh informasi yang bersifat kuantitatif terkait sifat tanah (fisik dan
kimia). Hasil dari sampel uji tanah yang sifatnya kuantitatif diintegrasikan
35
dengan data deskripsi tanah di lapangan setiap horizon tanah untuk
mencapai kesimpulan mengenai klasifikasi seri/ jenis tanah. Dalam
pengklasifikasian karakteristik tanah menjadi jenis tanah saat ini mengikuti
sistem klasifikasi soil taxonomy USDA (2011). Tahap akhir dari survei
tanah adalah memplotkan hasil survei tanah kedalam peta tanah. Pemplotan
data hasil sampel di lakukan pada setiap satuan tanah, sehingga setiap
bagian permukaan bumi akan memiliki informasi tanah, kecuali bagian
tubuh air. Layaknya sebuah peta pada umumnya, hasil akhir peta tanah perlu
dideseminasikan ke kalangan ahli tanah dan praktisi. Dengan maksud
memberikan hasil temuan dari survei tanah dan apabila terdapat kesalahan
dapat segera direvisi.
1.6.11. Karst
Karst berasal dari kata kras (bahasa Jerman) berarti lahan gersang berbatu.
Ford dan Williams (1989) mendefinisikan karst sebagai medan dengan kondisi
hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan mempunyai
porositas sekunder yang berkembang baik. Achmad (2011) menambahkan bahwa
karst ialah daerah batuan karbonat (CaCO3 dan MgCO3) atau campuran dari
keduanya, yang telah mengalami pelarutan oleh CO2 di atmosfer malalui air hujan,
maupun CO2 iogenetik yang berasal dari sisa tanaman atau humus.
Menurut Esteban and Klappa (1983), karst dicirikan oleh kenampakan
permukaan yang berupa lavies, dolina dan poljes, sedangkan kenampakan bawah
permukaan dalam bentuk pori, gua, vug dan saluran di dalam gua, terdapat
speleotem dalam bentuk stalagtit, stalagmit, flowstone, rimstone, giobulit, cave
pearis/ mutiara gua, lily pad, helictit dan moon-like, serta adanya collapse struktur
runtuhan sebagai akibat hilangnya bagian bawah tubuh batuan. Keberadaan karst
tidak hanya terjadi di daerah berbatuan karbonat, namun terdapat pula pada batuan
lain yang mudah larut dan mempunyai porositas sekunder (kekar dan sesar
intensif), seperti batuan gipsum dan batugaram.
36
1.6.11.1. Karstsifikasi
Pembentukan karst atau disebut dengan karstsifikasi dikontrol oleh proses
solusional atau pelarutan. Menurut Haryono dan Aji (2004) terdapat dua faktor
yang mendukung karstsifikasi, yaitu faktor pengontrol dan faktor pendorong.
Faktor pengontrol karstsifikasi ialah faktor yang menentukan proses karstsifikasi
berlangsung atau tidak, sendangkan faktor pendorong karstsifikasi ialah faktor
yang menentukan kecepatan dan kesempurnaan proses karstifikasi. Faktor
pengontrol karsifikasi terdiri dari kondisi litologi (batuan mudah larut, kompak,
tebal, dan mempunyai banyak rekahan), curah hujan yang cukup (>250
mm/tahun) dan batuan tersingkap di ketinggian yang memungkinkan
perkembangan sirkulasi air/drainase secara vertikal. Faktor pendorong karsifikasi
ialah temperatur, penutupan hutan, curah hujan.
1.6.11.2. Bentukan Karst
Karren adalah lubang kecil pada perpotongan celah-celah alur akibat
pelarutan oleh air hujan. Karren dapat diklasifikasikan menjadi empat kelompok,
yaitu bentuk membulat, bentuk memanjang yang terkontrol oleh kekar, bentuk
linier yang terkontrol proses hidrolik dan bentuk poligonal Karren
Menurut Ford dan williams (1996), morfologi karst makro terdiri dari
bentukan negatif dan positif. Contoh bentukan makro negatif adalah doline,
cockpit, uvala, polje atau ponor, swallow hole, vertical shaft , collapse atau
runtuhan Cockpit, dry valley dan spring, sedangkan contoh bentukan positif
berupa kegel, mogote atau pinacle. Doline merupakan cekungan tertutup
berbentuk bulat atau lonjong dengan ukuran beberapa meter hingga lebih kurang
satu kilometer (Ford dan Williams, 1992). Cockpit merupakan doline di daerah
tropis yang berbentuk menyerupai bintang. Collapse disebut pula dengan runtuhan
Cockpit, merupakan bentuk lembah yang ada di dalam cone karst daerah tropik
yang lembab. Uvala merupakan cekungan karst yang luas, dasarnya lebar dan
tidak rata (Cjivic, 1901). Polje merupakan bentuklahan karst yang mempunyai
elemen : cekungan yang lebar, dasar yang rata, drainase karstik, bentuk
37
memanjang yang sejajar dengan struktur lokal, dasar polje mempunyai lapisan
batuan tersier (Cvijic, 1985). Swallow hole merupakan lokasi yang mana aliran
permukaan seluruhnya atau sebagian mulai menjadi aliran bawah permukaan yang
terdapat pada batugamping. Ponor merupakan Swallow hole yang terdapat pada
polje atau lubang yang mempunyai aliran vertikal (kebawah tanah). Sink hole
merupakan bentuk depresi berbentuk mangkuk dengan diameter kecil sampai
1000 m lebih (White, 1988). Dry valley merupakan lembah dengan kondisi tidak
ada aliran kecuali setelah adanya pencairan es yang cepat (G.T. Warwick, 1976).
Mogote atau pinacle bukit karst yang berdiri sendiri atau berkelompok tetapi
terpisah satu sama lain
1.7. Deskripsi Wilayah
1.7.1. Letak, Luas dan Batas Daerah Penelitian
Penelitian ini dilakukan di kawasan topografi Karst Gunungsewu yang
secara administrasi berada di Kabupaten Gunungkidul. Akan tetapi tidak semua
kawasan topografi karst Gunungsewu dijadikan wilayah kajian. Pemilihan daerah
kajian didasarkan pada faktor (1) penginderaan jauh, yaitu relatif minim dari
tutupan awan dan vegetasi, serta kesamaan areal liputan baik pada ALOS
AVNIR-2 maupun Landsat TM, (2) kondisi fisik wilayah yang mencakup variasi
warna tanah, morfologi wilayah, penggunaan lahan, penutup lahan dan
aksesbilitas. Berdasarkan kriteria tersebut ditetapkan bahwa wilayah kajian
meliputi sebagian Kecamatan Paliyan, Wonosari, Saptosari, Tanjungsari, Semanu,
Tepus dan Pongjong.
Secara geografis daerah penelitian terletak antara 7059’44.34” LS -
805’47.37” LS dan 110
031’24.98”BT - 110
041’56.83”BT atau dalam sistem
koordinat UTM terletak antara 447500.967 mT - 466850.972 mT dan
9116151.966 mU - 9105023.829 mU. Pada dasarnya batas daerah penelitian
bukan merupakan batas administrasi, melainkan piksel-piksel yang masuk pada
topografi Karst Gunungsewu. Namun demikian untuk mempermudah dalam
menunjukan batas daerah penelitian maka digunakan batas administrasi, yaitu :
38
Sebelah utara : Kecamatan Playen, Kecamatan Gendangsari, Kecamatan
Nglipar, Kecamatan Karangmojo dan Kecamatan Semin
Sebelah timur : Kecamatan Eromoko, Kecamatan Pracimantoro (DIY)
dan Kecamatan Paranggupito (Jawa Tengah)
Sebelah selatan : Samudera Hindia
Sebelah barat : Kecamatan Panggang dan Kecamatan Playen (DIY)
Berdasarkan analisis peta RBI skala 1:25.000 tahun 1995 lembar Semanu
dan Karangduwet luas daerah penelitian keseluruhannya adalah 14163,8468 Ha.
Luas masing-masing kecamatan di daerah kajian disajikan pada Tabel 1.4 dan
Peta Administrasi Lokasi Daerah Penelitian dapat di lihat pada Gambar 1.17.
39
Gambar 1. 17. Peta administrasi daerah penelitian
40
Tabel 1. 4. Luas Wilayah Administrasi Daerah Penelitian
No Kabupaten Kecamatan Luas (Ha)
1 Gunungkidul Wonosari 1392,7632
2 Gunungkidul Ponjong 59,4894
3 Gunungkidul Semanu 4263,1952
4 Gunungkidul Paliyan 1310,1622
5 Gunungkidul Sapto Sari 1429,1529
6 Gunungkidul Tanjungsari 3782,6902
7 Gunungkidul Tepus 1926,3937 Sumber : Analisis Peta RBI skala 1:25.000 tahun 1995
lembar Semanu dan Karangduwet (2012)
1.7.2. Kondisi Bentanglahan Daerah Penelitian
Secara umum bentuk fisiografi atau morfologi wilayah daerah penelitian
adalah berbukit dengan ketinggian antara 100 – 350 mdpal. Bukit-bukit yang ada
di daerah penelitian memiliki bentuk yang khas, yaitu tumpul, tidak terjal dan
seolah apabila di lihat secara vertikal dari udara tampak seperti mangkok yang
terbalik, memiliki diameter 25 - 300 m dan tinggi berkisar dari 30 - 200 m. Bukit
semacam ini diistilahkan dengan conical hills. Beberapa ahli karst menyebutkan
bahwa conical hills merupakan bentukan positif yang jarang ditemukan di
kawasan karst lain di seluruh dunia kecuali di daerah tropis dan karst tipe kagel.
Doline merupakan bentukan negatif yang banyak ditemukan di atas permukaan
tanah daerah kajian. Bagi masyarakat lokal doline tidak hanya sekedar berarti
bentukan negatif atau cekungan tertutup berbentuk bulat atau lonjong, namun
merupakan areal tampungan air saat musim penghujan. Doline yang terisi air
hujan disebut dengan danau doline. Danau doline sangatlah berarti bagi
masyarakat Gunungsewu mengingat pada kondisi kemarau cukup sulit mencari
keberadaan air permukaan di wilayah yang terkenal tandus ini. Arti penting
lainnya dari doline adalah menjadi areal yang relatif potensial untuk diolah
menjadi lahan budidaya, oleh karena tanahnya yang relatif tebal.
41
Gambar 1. 18. Danau doline (kiri) di sekitar sampel 19 dan Conical hill di sekitar sampel 4 (kanan)
(Foto lapangan, 2012)
Kondisi hidrologi permukaan daerah penelitian cukup unik apabila
dibandingkan dengan bentuklahan lainnya. Selain danau doline terdapat pula
sungai dengan pola aliran multibasinal (Gambar 1.18). Pola aliran multibasinal
memang umum ditemukan pada kawasan karst, bahkan dapat dijadikan kunci
interpretasi bentanglahan karst. Pola aliran multibasinal dapat terbentuk oleh
karena adanya lubang dengan aliran vertikal atau disebut dengan ponor. Ponor
menyebabkan air yang semula mengalir dalam bentuk aliran permukaan seolah-
olah alirannya mehilang ditelan bumi. Kondisi hidrologi bawah permukaan daerah
kajian dilewati oleh sistem sungai bawah tanah (disingkat SBT) Bribin. Menurut
hasil inventarisasi oleh MacDonalds and Partners (1984), SBT bribin memiliki
debit cukup melimpah kurang lebih 1500 lt/dt. Sejak diketahuinya potensi air
tanah yang sangat melimpah tersebut dilakukan usaha untuk menaikan air tanah
sehingga dapat dialirkan ke wilayah-wilayah yang kesulitan air di Gunungkidul.
Hingga akhirnya usaha tersebut terealisasi sekarang.
Gambar 1. 19. Pola aliran multibasinal (garis berwarna biru) dan Ponor (di lingkari kuning)
di Kecamatan Paliyan,
(ALOS AVNIR-2, 2009)
42
Berdasarkan analisis terhadap Peta Geologi Bersistem Indonesia lembar
1408-3 (Surakarta) dan 1407-6 (Giritontro) skala 1:100.000 buatan tahun 1992
oleh Surono, B. Toha dan I. Sudarno diketahui bahwa daerah kajian penelitian
berada pada Formasi Wonosari – Punung (Tmw1). Formasi ini tersusun atas batu
gamping, batu gamping napalan-tufan, batu gamping kolongmerat, batugamping
tufan dan batu lanau.
Tabel 1. 5. Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan menurut Bulan di Kabupaten Gunungkidul
Tahun 2004 – 2009
Tahun Curah Hujan (mm/ tahun) Lama Hari Hujan
2004 1.382,1 75
2005 3.827,1 88
2006 1.523,3 109
2007 1.720,86 90
2008 1.602,74 87
2009 1.175,56 64
Sumber : Gunungkidul dalam angka tahun 2010
Kondisi klimatologi daerah kajian menurut data pada website resmi
Kabupaten Gunungkidul (www.gunungkidulkab.go.id) termasuk daerah beriklim
tropis, begitu pula dengan wilayah Gunungkidul yang lainnya. Curah hujan rata-
rata yang jatuh pada Tahun 2009 di wilayah Gunungkidul sebesar 1.175,56
mm/tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 64 hari/ tahun (Gunungkidul dalam
angka, 2010). Kondisi ini apabila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya
relatif lebih kecil (Table 3.2). Secara umum lama periode bulan basah berkisar 7
bulan dalam satu tahun, sedangkan bulan kering berkisar 5 bulan. Suhu udara rata-
rata harian berkisar 27,7° C. Suhu minimum 23,2°C dan suhu maksimum 32,4°C.
Kelembaban nisbi berkisar antara 80 % - 85 %. Dimana kelembaban tidak terlalu
dipengaruhi oleh tinggi tempat, namun lebih dipengaruhi oleh musim.
43
Tabel 1. 6. Jumlah Hari Hujan dan Curah Hujan menurut Kecamatan dan Bulan
di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2009
Kecamatan Curah Hujan (mm/ bulan)
Jan. Feb. Mar. April Mei Juni Juli Agust. Sept. Okt. Nov. Des.
Paliyan 268 382 265 86 119 36 0 0 0 17 103 109
Saptosari 254 331 50 170 127 26 6 0 0 28 55 75
Tepus 455 743 145 193 297 161 0 0 0 0 105 210
Tanjungsari 421 365 188 190 94 57 2 0 0 19 22 79
Semanu - - - - - - - - - - - -
Ponjong 281 291 192 123 80 18 0 0 0 28 0 232
Wonosari 126 259 128 255 49 4 0 0 0 21 173 219
ket : “ – “ : tidak ada data atau data rusak
Sumber : Gunungkidul dalam angka tahun 2010
Berdasarkan analisis pada peta RBI lembar Semanu dan Karangduwet skala
1:25.000 tahun 1995 diketahui penggunaanlahan di daerah kajian di dominasi oleh
tegalan, kurang lebih seluas 8518,26 Ha atau 60,141 % dari keseluruhan luas
daerah kajian. Selebihnya adalah belukar (878,76 ha), kebun campur (598,1 Ha),
rumput atau tanah kosong (6,29 Ha), sawah irigasi (218,17 Ha), sawah tanah
hujan (2678,47 Ha), danau (33,14 Ha) dan permukiman (1232,69 Ha). Keunikan
dari daerah kajian dan wilayah lain yang ada di Gunungsewu adalah perubahan
penggunaan lahan terjadi sangat lambat. Analisis yang dilakukan dengan
menggunakan peta RBI tahun 1995 ternyata tidak berbeda jauh dengan apa yang
di temukan baik dari interpretasi visual citra ALOS AVNIR-2 perekaman tahun
2009 maupun dari survey lapangan tahun 2012. Lebih lanjut, baik di daerah kajian
dan di Gunungkidul pada umumnya penggunaan lahan bersifat dinamis
dipengaruhi musim. Pada kondisi penghujan masyarakat akan relatif memiliki
pertanian lahan basah dan pada musim kemarau akan beralih ke pertanian lahan
kering. Vegetasi yang dapat tumbuh baik di daerah kajian adalah jenis yang tidak
membutuhkan konsumsi air relatif banyak dan juga memiliki akar dengan
kemampuan penetrasi ke dalam tanah cukup baik. Terkait kondisi pemukiman,
terdapat dua pola permukiman baik di daerah kajian khususnya maupun di
Gunungkidul pada umumnya, yaitu mengelompok mendekati daerah datar atau
dekat dengan sumber air dan linier mengikuti jalan.
44
Gambar 1. 20. Kondisi penggunaan lahan pada citra ALOS AVNIR-2 komposit 341 (kiri) dan
Peta RBI (kiri), di sekitar Desa Giring dan sekitarnya;
(ALOS AVNIR-2 tahun 2009 dan Peta RBI Lembar Karangduwet skala 1:25.000 tahun 1995)
Dalam lingkungan topografi karst umumnya terbentuk tanah-tanah terra
rossa dan tanah redzina (M. Nurcholis dkk, 2003). Tanah terra rossa dalam
sistem klasifikasi Supraptohardjo (1961) di sebut dengan jenis tanah mediteran
merah kuning. Tanah terra rossa ini di Indonesia telah lanjut mengalami
pembentukan dengan cara lixiviasi dan kalsifikasi lemah, bertekstur geluh
lempungan, konsistensi lekat, kadar bahan organik rendah, reaksi alkalis, derajat
penjenuhan basa tinggi, horizon B berwarna kuning merah, mengandung
konkresi-konkresi kapur-kapur dan besi, horizon eluvial umumnya tererosi,
berasal dari lapukan batu kapur (Darmawijaya, 1990). Tanah redzina atau disebut
dengan tanah karbonat, kaya humus di topografi karst berkembang pada lereng
yang curam dengan kemiringan 60-75%, kaya akan kerakal, tekstur geluh pasiran,
struktur granuler, pH berkisar 6,5 – 7,8 tergantung pada posisi profil dan reaksi
CaCO3.
1.8. Penelitian Sebelumnya Terkait dengan Penelitian ini
Penelitian mengenai oksida besi dengan memanfaatkan citra PJ telah banyak
dilakukan dengan didasari berbagai latar belakang, lokasi penelitian, metode dan
jenis citra yang berbeda-beda. Penelitian terbaru adalah yang dilakukan oleh
Rossel et al., (2010) dengan judul “Mapping iron oxides and the color Of
Australian soil using visible–near‐infrared reflectance spectra”. Walaupun
penelitian ini tidak memanfaatkan data PJ dalam metodeloginya, namun prinsip
Penggunaan Lahan
Sawah Irigasi
Sawah Tadah Hujan
Kebun/ Perkebunan
Hutan
Semak Belukar
Tegalan/ Ladang
Rumput/ Tanah Kosong
Hutan Rawa
(450633 mT, 9112597 mU)
45
dasar interaksi antara gelombang elektromagnetik digunakan guna mengukur
kelimpahan oksida besi (hematite dan geothite) dalam tanah di Australia melalui
panjang gelombang tampak - inframerah dekat, membandingkan hasil pengukuran
warna tanah dengan kandungan oksida besi dan menyajikan gambaran distribusi
kandungan hematite dan geotide dalam tanah. Dalam proses perolehan data
lapangan Rossel et al., (2010) menggunakan spektrometer visible – near infrared
(julat panjang gelombang 350 – 2500 nm). Spektrometer bermanfaat dalam
perekaman pola pantulan spektral tanah yang diindikasikan telah terpengaruh
kandungan oksida besi, selain itu spektrometer juga dimanfaatkan dalam
mendefinisikan warna tanah dalam susunan warna RGB untuk selanjutnya
dikonversi menjadi derajat hue, value dan chroma munsell soil chart. Masing-
masing warna tanah di bandingkan dengan peta NIODI (normalized iron oxide
difference index). NIODI merupakan index yang dibangun dari ratio saluran
dengan panjang gelombang 880nm dengan saluran dengan panjang gelombang
990nm. Hasil dari penelitian ini adalah panjang gelombang tampak – inframerah
dekat dapat digunakan untuk mengestimasi kelimpahan hematite dan goethite di
permukaan tanah Australia, selain itu dapat pula digunakan untuk mengukur
warna tanah, NIODI sangat bermanfaat untuk menunjukan batas dari hematite dan
goethite, geostatistik dapat digunakan untuk memetakan kandungan oksida besi di
Australia.
White et al., (1997) menerapkan tehnik linear mixture model terhadap citra
Landsat TM untuk memetakan kandungan oksida besi di gurun pasir Namid,
Namibia. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa penerapan tehnik linear
mixture model terhadap citra Landsat TM dapat digunakan untuk memetakan
kandungan oksida besi di gurun pasir Namid. Hal ini ditandai dengan besarnya
hubungan antara input data PJ yang digunakan dengan kandungan oksida besi
dilapangan, yaitu r sebesar = 0,91. Secara teknis penerapan Linier mixture model
menggunakan input endmember yang diambil dari diagram scatterplot dari
saluran PC4 dan PC3, yang dibangun dari 6 saluran citra Landsat TM. Kurva
tersebut mampu menunjukan adanya pola pengelompokan piksel murni dari tiga
mineral utama yang ada di daerah kajian, yaitu quartz, oksida besi dan karbonat.
46
Peta kandungan oksida besi yang dihasilkan menunjukan area dengan kandungan
oksida besi tertinggi adalah di bagian timur (menjorok ke darat) dan area dengan
kandungan oksida besi terendah ada di bagian barat (pantai).
Irfan (2009) melakukan penelitian dengan tema identifikasi kandungan
oksida besi menggunakan metode Crosta (dengan modifikasi) pada permukaan
lahan terbuka menggunakan citra Landsat 7 ETM+, studi kasus sebagian
kabupaten Rembang dan sekitarnya. Hasilnya aplikasi metode Crosta (dengan
modifikasi), ditambah kombinasi saluran, serta analisis korelasi berbagai citra PC
terhadap citra Landsat 7 ETM+ dapat diterapkan untuk identifikasi kandungan
oksida besi daerah kajian. Hanya saja kajian yang diterapkan oleh Irfan (2009)
masih terbatas pada lahan kosong baik itu masih berupa batuan maupun tanah.
Pada kondisi dimana tertutup vegetasi identifikasi tidak dilakukan. Dengan
memanfaatkan bentuklahan sebagai satuan medan diketahui metode Crosta dapat
digunakan untuk identifikasi kandungan oksida besi baik tersingkap maupun
tertransportasi dengan overall accuracy = 66,67% (kappa = 0,54). Dari hasil
penelitian diketahui citra PC3 kombinasi 357 (landsat 7 ETM+) baik untuk
identifikasi kandungan oksida besi pada lahan terbuka untuk zona berformasi
batuan komplek (r = -0.522) dan non vulkan (r = - 0,452) dan PC 2 kombinasi 157
baik untuk zona berformasi batuan vulkan (r = 0,630).
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah hampir sama dengan
beberapa penelitian sebelumnya. Dimana data yang digunakan adalah citra
multispketral resolusi sedang, yaitu ALOS AVNIR-2 (20 Juni 2009) dan Landsat
TM (31 Juli 2009). Metode yang digunakan adalah pemodelan empiris dengan
menerapkan tehnik regresi linier sederhana yang menghubungkan antara
kandungan oksida besi dilapangan dengan nilai digital dari citra PJ (meliputi :
citra asli, aljabar band dan PC band). Perbedaan antara penelitian ini dengan
penelitian lain yang sejenis adalah pada daerah kajian. White et al., (1997)
mengkaji kandungan oksida besi di gurun pasir Namid, Irfan (2009) mengkaji
kandungan oksida besi di pesisir kabupaten Rembang dan Rossel et al., (2010)
mengkaji kandungan oksida besi di seluruh benua Australia. Sedangkan daerah
47
kajian peneliti ini adalah topografi karst Gunungsewu, sehingga dari sisi
geomorfologi relatif berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya
1.9. Kerangka Pemikiran
Tanah merupakan salah satu komponen dari tiga penutup lahan utama
dipermukaan bumi, selain vegetasi dan air. Setiap komponen penutup lahan utama
memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam merespon energi elektromagnetik
yang lolos dari jendela atmosfer yang datang kepadanya. Bentuk respon dapat
berupa diserap, ditransmisikan dan dipantulkan. Fungsi tersebut tidak hanya
dipengaruhi jenis, namun juga struktur (karakteristik) dan kondisi masing-masing
komponen penutuplahan. Dampaknya akan terbentuk suatu pola variasi respon
spektral (energi elektromagnetik) baik antar jenis komponen pentup lahan utama
maupun masing-masing komponen penutup lahan itu sendiri.
Khusus pada tanah, saat datang energi elektromagnetik hingga sampai ke
permukaan tanah akan terjadi 2 bentuk respon, yaitu diserap dan dipantulkan
tanpa ada yang ditransmisikan (Hoffer, 1976). Secara teoritis dalam ilmu tanah
dikenal 3 komponen karakteristik tanah, yaitu fisik, kimia dan biologi, akan tetapi
hanya sifat fisik dan kimia saja yang mampu mempengeruhi baik serapan maupun
pantulan energi elektromagnetik (Shepherd and Walsh, 2002). Hoffer (1976)
menyebutkan terdapat enam sifat tanah (fisik dan kimia) yang mampu
mempengaruhi respon spektral tanah dan salah satunya adalah oksida besi, selain
itu adalah kelembaban tanah permukaan (lengas), bahan organik tanah (BOT),
tekstur tanah (prosentase lempung, debu dan pasir) serta kekasaran permukaan
tanah. Baik sifat kimia maupun fisik tanah tersebut dapat mempengaruhi respon
spektral mulai saat energi mengenai permukaan tanah (langsung dipantulkan
membentuk pemantulan sempurna), setelah berinteraksi dengan material dari
lapisan tanah paling atas, serta setelah diserap dan berinteraksi dengan susunan
internal tanah pada kedalaman tertentu (Jensen, 2007).
Dalam perjalanan energi baik dalam bentuk pantulan (reflectance) maupun
pancaran (emittance) setelah berinteraksi dengan karakteristik fisik dan kimia
tanah sebelum sampai ke sensor akan selalu melewati lapisan atmosfer.
48
Konsekuensinya, selalu ada kemungkinan untuk terjadi pelemahan dan penguatan
energi akibat berinteraksi dengan partikel-partikel di atmosfer. Oleh karena itu
pada dasarnya besarnya respon spektral tanah yang direkam oleh sensor PJ adalah
tidak hanya berasal dari energi yang dipantulkan dan dipancarkan dari obyek itu
sendiri, namun juga besarnya energi radiance yang telah berinteraksi dengan
partikel-partikel di atmosfer. Seperti konsep yang dikemukakan oleh Mather
(2004) dalam Danoedoro (2012) bahwa terdapat lima faktor yang berpengaruh
terhadap sinyal yang diterima dari obyek oleh detektor pada sensor, yaitu :
pantulan obyek itu sendiri, bentuk dan besaran interaksi atmosfer, kemiringan dan
arah hadap lereng daerah liputan terhadap azimut matahari, sudut pandang sensor,
sudut ketinggian matahari.
Kedetelan respon spektral (tanah) yang mampu terekam oleh PJ sangat
dipengaruhi resolusi (resolving power). Baik meliputi resolusi spasial, spektral,
radiometrik dan temporal. Dalam lingkup kajian tanah, resolusi spasial
berhubungan dengan prosentase keberadaan pure pixel dan mixed pixel tanah.
Pure pixel merupakan suatu piksel yang tersusun atas satu informasi spektral,
akibat kondisi obyek yang homogen. Apabila muncul variasi antara masing-
masing pure pixsel tanah, maka hal tersebut adalah pengaruh dari variasi kondisi
struktur atau karaktersitik tanah itu sendiri, yaitu sifat fisik dan kimia tanah. Akan
tetapi apabila hal sebaliknya yang terjadi, yaitu semakin banyak mixed pixel
terutama akibat bervariasinya kondisi penutup lahan maka akan sulit dijelaskan
mengenai karakteristik tanah penyusunnya termasuk kandungan oksida besi,
karena bercampur dengan informasi spektral penutup lahan yang lain. Resolusi
spektral berhubungan dengan kemampuan sensor dalam membedakan variasi
obyek berdasarkan variasi pantulan dan pancaran spektralnya. Semakin banyak
kelengkapan panjang gelombang elektromagnetik serta dengan julat yang sempit,
maka semakin tinggi kemampuan sensor tersebut dalam merekam variasi obyek,
termasuk kandungan oksida besi. Resolusi radiometrik berhubungan dengan
kemampuan sensor dalam merekam atau mencatat variasi respon spektral yang
sampai ke sensor menjadi kumpulan angka digital yang bersifat biner (0 dan 1)
dengan cara mengkodingkannya (bit koding). Semakin tinggi bit koding maka
49
semakin banyak variasi respon spektral yang dapat direkam oleh sensor dan
diwujudkan dalam variasi nilai digital (bit). Sedangkan resolusi temporal
berhubungan dengan periode ulang perekaman suatu sistem sensor PJ, satuannya
dapat hari maupun jam. Semakin tinggi resolusi temporal maka semakin
mendukung dalam mengakuisisi dinamika perubahan kondisi bentangalam,
termasuk tanah. Hal ini sangat penting karena tanah bersifat dinamis. Oleh karena
itu apabila semakin lebar jarak perekaman dengan pengambilan sampel tanah di
lapangan maka semakin mungkin terdapat bias diantara keduanya.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa dalam sebuah piksel dengan
suatu luasan tertentu, terekam respon spektral dari komponen penutuplahan salah
satunya adalah tanah. Lebih dari itu terekam pula kondisi setiap karakteristik
penyusun komponen penutup lahannya, termasuk salah satunya oksida besi pada
tanah. Oleh karena itu pada dasarnya dapat dilakukan estimasi kanduangan oksida
besi pada tanah menggunakan data PJ, dengan cara menghubungkan nilai spektral
citra PJ dan data lapangan kandungan oksida besi. Akan tetapi, perlu diperhatikan
adanya potensi percampuran piksel akibat pengaruh penutuplahan, terutama
vegetasi, serta adanya perbedaan karakteristik resolusi spasial dan spektral antara
ALOS AVNIR-2 dan Landsat TM.
50
Gambar 1. 21. Diagram kerangka pemikiran
Karaktersitik tanah :
- Sifat kimia
- Sifat fisik
- Sifat biologi
Tingkat kedetilan informasi :
- Resolusi spasial
- Resolusi spektral
- Resolusi temporal
- Resolusi Rradiometrik
Sinar Matahari
(sumber energi
elektromagnetik)
Sensor penginderaan jauh
(Merekam interaksi energi
elektromagnetik)
Vegetasi Air
Penutuplahan
Tanah
Jendela atmosfer
(menyebabkan hambatan &
serapan energi
elektromagnetik)
Interaksi energi elektromagnetik
dengan sifat fisik dan kimia
tanah
Sampel tanah
Pemodelan Empiris
(regresi linier sederhana)
Analisis
kandungan
oksida besi di
laboratorium
Masih terbatasnya pemanfaatan penginderaan jauh mutispektral resolusi sedang
untuk estimasi kandungan oksida besi di Indonesia secara umumnya dan
khususnya di topografi karst
Faktor Pembatas
Topografi karst Gunungsewu
Hasil Akhir Penelitian :
Informasi mengenai pemanfaatan citra multipektral resolusi sedang, seperti Landsat TM dan
ALOS AVNIR-2 untuk estimasi kandugan oksida besi sebagian topografi karst Gunungsewu.
Informasi mengenai hubungan perbedaan resolusi spasial dan resolusi spektral antara Landsat
TM dan ALOS VNIR-2, input model empiris yang digunakan, yaitu saluran asli, PCA dan
aritmatika band terhadap akurasi estimasi kandungan oksida besi.
Peta kandungan oksida besi di sebagian topografi karst Gunungsewu
Estimasi Kandungan
Oksida Besi
kandungan
oksida besi
Pantulan spektral tanah
tercerminkan dalam nilai
reflectance (at surface) citra
51
1.10. Batasan Istilah
Karst : dalam bahasa jerman disebut dengan kras, karst ialah medan dengan
kondisi hidrologi yang khas sebagai akibat dari batuan yang mudah larut dan
mempunyai porositas sekunder yang berkembang baik (Ford dan Williams,
1989)
Mixed pixel (piksel campuran) : satu piksel yang memuat lebih dari satu jenis
objek, (Danoedoro, 1996)
NDVI (Normalized Diverent Vegetation Index) : merupakan transformasi index
vegetasi yang dibuat dengan mengkombinasikan tehnik penisbahan dengan
tehnk pengurangan citra, sebagai input transformasi adalah band merah dan
band inframerah dekat (Danoedoro, 1996).
Oksida Besi : mineral sekunder yang umum di temukan di alam dalam keadaan
tertransport dan tersingkap, terbentuk akibat pelapukan kimiawi (air, oksigen,
karbon dioksida dan asam organik) pada tubuh batuan yang mengandung
mineral besi, keberadaannya pada tanah dan batuan membuat berwarna merah
kecoklatan (Anonim, 2012)
Principal Component Analysis (PCA) : teknik rotasi yang diterapkan pada
koordiant multisaluran untuk menghasilkan citra dengan saluran baru yang
tidak saling berkorelasi, menghilangkan gangguan (noise) dan mengurangi
dimensionalitas data sehingga diperoleh citra baru dengan saluran lebih
sedikit namun dengan informasi yang efisien (Danoedoro, 1996).
Penginderaan jauh (PJ) : ilmu dan seni memperoleh informasi tentang objek,
daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat
tanpa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji
(Lillesand, 1993).
Piksel : satuan unsur terkecil yang tidak dapat dibagi lagi dari suatu permukaan
penayangan, atau suatu citra, yang dapat diakses secara independen (P.H.
Crown, 1995).
Pure pixel (piksel murni) : Satu piksel yang memuat satu jenis objek saja
(Danoedoro, 1996)
52
Resolusi spasial : merupakan ukuran terkecil objek yang masih dapat dideteksi
oleh suatu sistem pencitraan (Danoedoro, 1996).
Resolusi spektral : adalah kemampuan suatu sistem optik-elektronik untuk
membedakan objek berdasarkan pantulan atau pancaran spektralnya
(Danoedoro, 1996).
Survei tanah : serangkaian kegiatan untuk mendeskripsikan karakteristik tanah-
tanah, mengklasifikasikannya menurut sistem klasifikasi baku, memplotkan
batas tanah pada peta dan membuat prediksi tentang sifat tanah (USDA,
2011).
Tanah : Tubuh alam yang tersusun atas campuran kompleks material lepas-lepas
yang bersifat dinamis, terbentuk akibat bekerjanya proses eksogen dan
endogen terhadap batuan induk dalam kurun waktu yang cukup lama, serta
memiliki sifat-sifat spesifik (fisik, kimia, biologi dan mineralogi) yang
bervariasi tergantung jenis batuan induk dan komponen pembentuk tanah
yang bekerja (Darmawijaya, 1990)
top related