hubungan antara stres kerja dengan burnout pada perawat di … · 2017. 1. 9. · hubungan . antara...
Post on 22-Jan-2021
14 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DENGAN BURNOUT PADA PERAWAT DI
RSUD DR. M. HAULUSSY KOTA AMBON
OLEH
FEMMY LEKAHENA
80 2011 060
TUGAS AKHIR
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
HUBUNGAN STRES KERJA DENGAN BURNOUT PADA PERAWAT DI
RSUD DR. M. HAULUSSY KOTA AMBON
Femmy Lekahena
Sutarto Wijono
Program Studi Psikologi
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2015
i
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara stres kerja
dengan burnout. Sebanyak 87 orang diambil sebagai sampel yang dilakukan dengan
menggunakan teknik sampel incidental sampling. Metode penelitian yang dipakai
dalam pengumpulan data dengan metode skala, yaitu Expanded Nurses Stress Scale
yang disusun oleh Grey-Toft & Anderson (1981) sebagai skala stres kerja pada
perawat dan Maslach Burnout Inventory yang disusun oleh Maslach et. al. (1981)
sebagai skala burnout. Teknik analisa data yang dipakai adalah teknik korelasi
product moment. Dari hasil analisa data diperoleh koefisien korelasi (r) 0,728 dengan
nilai signifikansi 0,000 (p< 0,05) yang berarti ada hubungan positif yang signifikan
antara antara stres kerja dengan burnout. Hal ini bermakna bahwa stres kerja perawat
yang tinggi akan diikuti pula dengan burnout yang tinggi.
Kata Kunci : Stres Kerja, Burnout
ii
Abstract
The aim of this research is to know about the significance of the relationship between
job stress and burnout. A total of 87 people were taken as samples with using
incidental sampling as the technique sampling. The research method that used in data
collection is scale methods, that is Expanded Nurses Stress Scale that composed by
Grey-Toft & Anderson (1981) as the job stress scale for nurses and Maslach Burnout
Inventory that composed by Maslach et. al. (1981) as burnout scale. The data analysis
technique that we used is correlation product moment technique. From the data
analysis, we found that correlation coeficient (r) is 0,728 with significance value at
0,000 (p<0,05), which means there is a significant positive relationship between the
job stress with burnout. It means that high job stress in nurses will be followed by a
high burnout.
Keywords : Job Stres, Burnout
1
PENDAHULUAN
Pada saat ini, rumah sakit dihadapkan pada tingkat persaingan yang ketat,
sehingga rumah sakit perlu mempersiapkan kualitas layanan secara optimal agar dapat
memenangkan persaingan secara kompetitif. Rumah sakit harus berupaya meningkatkan
kualitas jasa layanannya secara berkelanjutan kepada masyarakat pengguna jasa.
Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kesehatan untuk
mempertahankan kualitas hidup, maka masyarakat pengguna jasa layanan di rumah
sakit akan semakin kritis dalam memilih rumah sakit yang berkualitas. Oleh karena itu,
peningkatan kualitas layanan rumah sakit perlu dilakukan secara berkelanjutan
(Gunawan & Djati, 2011).
Rumah sakit sebagai organisasi sosial yang bertanggung jawab terhadap
pelayanan kesehatan bagi masyarakat dituntut untuk selalu memberikan pelayanan yang
baik dan memuaskan bagi setiap pengguna yang memanfaatkannya. Keperawatan
merupakan salah satu profesi yang membantu para dokter dalam melayani pasien.
Selama 24 jam perawat mendampingi para dokter dan berada di sekitar pasien dan
bertanggung jawab terhadap pelayanan perawatan pasien. Sementara itu, Gunarsa
(1995) menjelaskan bahwa perawat sebagai seseorang yang telah dipersiapkan melalui
pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang yang sakit, usaha
rehabilitasi, pencegahan penyakit yang dilaksanakannya sendiri atau di bawah
pengawasan dokter atau suster kepala.
Pada suatu kesempatan, Schaufeli & Jauczur (1994) mengatakan bahwa dalam
menjalankan peran dan fungsinya seorang perawat dituntut memiliki keahlian,
pengetahuan, dan konsentrasi yang tinggi. Selain itu, seorang perawat selalu dihadapkan
pada tuntutan idealisme profesi dan sering menghadapi berbagai macam persoalan baik
2
dari pasien maupun teman sekerja. Itu semua menimbulkan rasa tertekan pada perawat,
sehingga mudah mengalami burnout.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa perawat di RSUD Dr.
M. Haulussy Kota Ambon pada tanggal 19 Oktober 2014, sebagian perawat mengeluh
bahwa layanannya melebihi waktu dan perawat merasa lelah, letih, lesu, merasa bekerja
terlalu keras, dan merasa tertekan karena melayani pasien mereka seharian penuh.
Tetapi, sebaliknya ada sebagian perawat yang menganggap tugasnya seharusnya
demikian dan tetap melayani pasien dengan senang dan menikmati pekerjaan mereka.
Sebagian perawat juga ada yang merasa tidak dapat menyelesaikan masalah mereka
sendiri dengan tenang dan mereka kadang merasa sulit menciptakan suasana dengan
santai dengan pasien mereka, karena mereka menganggap apabila mereka bersikap
santai, maka pasien tidak akan menuruti perintah mereka, misalnya untuk minum obat
yang mereka berikan. Meskipun demikian, sebaliknya ada sebagian perawat yang dapat
menyelesaikan masalah mereka dengan tenang dan dapat menciptakan suasana yang
santai dengan pasien mereka. Selain itu, berdasarkan hasil observasi peneliti, beberapa
perawat di RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon berperilaku kasar dan sinis kepada
pasien, meskipun ada sebagian perawat yang tetap memperlakukan pasien mereka
dengan baik.
Perawat di RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon dapat diduga memiliki masalah
dengan burnout. Menurut Maslach, et. al. (1981), ada tiga aspek burnout, yaitu
kelelahan emosional, depersonalisasi, dan penurunan pencapaian pribadi. Perawat
RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon dapat diduga mengalami kelelahan emosional
yang ditunjukkan dengan adanya keluhan tentang sistem layanannya melebihi waktu
dan tugas-tugasnya yang semakin kompleks, sehingga akhirnya perawat mengalami
3
kejenuhan secara psikis dan fisik. Perawat juga dapat diduga mengalami
depersonalisasi, yang terlihat dengan sikap perawat yang sinis dan kasar kepada klien.
Selain itu, perawat dapat diduga mengalami penurunan pencapaian pribadi yang
ditunjukkan dengan adanya perasaan tidak bahagia tentang diri mereka sendiri dan
perasaan tidak puas dengan prestasi mereka pada pekerjaan.
Hasil penelitian Ribeiro, et. al. (2014) menyatakan bahwa gejala burnout
terdeteksi dalam berbagai profesi dengan prevalensi sangat tinggi seperti, dalam
pelayanan dan perawatan pekerja, terutama dalam bidang kesehatan. Hal tersebut
diperkuat dengan pendapat Kleiber & Ensman (dalam Prestiana & Purbandini, 2012),
bibliografi terbaru yang memuat 2.496 publikasi tentang burnout di Eropa menunjukkan
43% burnout dialami perawat, 32% dialami guru (pendidik), 9% dialami pekerja
administrasi dan manajemen, 4% pekerja di bidang hukum dan kepolisian, dan 2%
dialami pekerja lainnya. Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa perawat
memiliki presentase burnout yang sangat tinggi jika dibandingkan dengan profesi yang
lainnya, yakni hampir setengah dari jumlah keseluruhan pekerja. Apabila semakin
banyak perawat yang mengalami burnout maka semakin rendah kualitas pelayanan yang
diberikan. Hal ini tentu berdampak buruk bagi masyarakat karena akan memperoleh
kualitas pelayanan yang kurang maksimal. Hal tersebut dapat diperkuat dengan
pendapat Pines & Aronson (1989) yang menekankan bahwa semua jenis pekerjaan yang
memerlukan kontak langsung dengan orang-orang melibatkan beberapa derajat stres.
Kategori tertentu pelayanan manusia, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan
sosial-psikologis, sangat rentan terhadap burnout.
Fenomena burnout perawat menjadi penting untuk diteliti karena apabila
perawat mengalami burnout, maka bukan hanya dirinya saja yang terkena dampak yang
4
ditimbulkan, melainkan lingkungan sekitarnya pun akan ikut terkena dampaknya,
seperti keluarga dan tempat ia bekerja (Andarika, 2004). Maslach (1981)
mengungkapkan burnout berdampak bagi individu, orang lain, dan organisasi. Dampak
pada individu terlihat adanya gangguan fisik seperti sulit tidur, rentan terhadap
penyakit, munculnya gangguan psikosomatik, maupun gangguan psikologis yang
meliputi penilaian yang buruk terhadap diri sendiri yang dapat mengarah pada
terjadinya depresi. Dampak burnout yang dialami individu terhadap orang lain
dirasakan oleh penerima pelayanan dan keluarga. Selanjutnya, dampak burnout bagi
organisasi adalah meningkatnya frekuensi tidak masuk kerja, berhenti dari pekerjaan
atau job turnover, sehingga kemudian berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi kerja
dalam organisasi (Cherniss, 1980). Namun, pada beberapa orang, burnout dapat
membawa dampak yang positif. Greenhaus et. al (2000) menjelaskan bahwa kondisi
burnout yang semakin meningkat berdampak pada semangat dan produktivitas kerja
karyawan. Artinya, untuk beberapa orang, burnout dapat meningkatkan semangat dan
produktivitas mereka.
Menurut Lee & Ashforth (1996) ada dua faktor yang menyebabkan burnout,
yaitu dukungan sosial dan tekanan pekerjaan, seperti ambiguitas, konflik peran, stres
kerja, dan beban kerja. Lebih lanjut, Lee & Ashforth (1996) menjelaskan bahwa stres
kerja dapat terjadi apabila tekanan yang dialami seseorang pekerja bersifat menetap
dalam jangka waktu yang lama, maka akan menyebabkan burnout karena kondisi
tubuhnya tidak mampu membangun kembali kemampuannya untuk menghadapi
stressor. Menurut Leatz & Stolar (1993) apabila keadaan stres terjadi dalam jangka
waktu yang lama dengan intensitas yang cukup tinggi, ditandai dengan kelelahan fisik,
5
kelelahan emosional, dan kelelahan mental, maka akan mengakibatkan perawat
mengalami gejala burnout.
Stres kerja pada perawat penting diteliti karena berdasarkan hasil survei yang
dilakukan Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) tahun 2006, bahwa sebanyak
50,9 % perawat Indonesia yang bekerja mengalami stres kerja, sering merasa pusing,
lelah, kurang ramah, kurang istirahat akibat beban kerja terlalu tinggi serta penghasilan
yang tidak memadai (Russeng, dkk., 2007). Selain itu, menurut Wright (2014), perawat
lebih mungkin untuk mengalami sakit karena stres dibandingkan profesional kesehatan
lainnya, dengan 2.730 kasus cuti sakit karena stres yang berhubungan dengan pekerjaan
pada tahun 2011 dan 2012 per 100.000 perawat. Lebih lanjut, Wright (2014)
menjelaskan bahwa rata-rata mereka mengambil 24 hari libur kerja. Dalam sebuah
survei terhadap 10.000 perawat oleh Royal College of Nursing (RCN), 62% dari
perawat melaporkan bahwa mereka telah dianggap meninggalkan profesi karena stres.
Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan stres kerja
dengan burnout. Penelitian Prestiana & Purbandini (2012) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif dan signifikan antara variabel stres kerja dengan variabel burnout. Ini
berarti semakin tinggi tingkat stres kerja seseorang maka semakin tinggi pula
burnoutnya. Penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Xie, et al (2011) yang
menyatakan bahwa perawat dari sebuah rumah sakit di Shanghai mengalami stres yang
berhubungan dengan pekerjaan dan burnout, terutama yang bertugas pada shift atau
bekerja di rumah sakit terkemuka. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan
oleh Wu, et. al (2011), bahwa stres kerja merupakan faktor resiko penting untuk
burnout.
6
Sebaliknya, ada hasil penelitian yang mengungkap bahwa hubungan stres kerja
dan burnout tidak signifikan. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian Himle,
Jayarathne, & Chess (1988), yang memperlihatkan bahwa pekerja yang memperoleh
skor tinggi pada skala kejenuhan kerja mempunyai keinginan yang kuat untuk berhenti
bekerja. Selain itu, kejenuhan kerja juga terkait dengan kelambanan dalam
menyelesaikan tugas, kecelakaan kerja, pencurian dan kelalaian dalam bertugas. Lebih
lanjut, mereka menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja dengan
burnout, karena stres kerja lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jenis kelamin, usia,
harga diri, karakteristik individu, dan masa kerja.
Dengan demikian peranan perawat semakin jauh terlibat dalam proses
penyembuhan pasien dan kepuasan pelayanan terhadap pasiennya. Andriani (2004)
mengungkapkan tugas utama perawat dalam membantu kesembuhan pasien,
memulihkan kondisi kesehatan bahkan menyelamatkan pasien dari kematian
menjadikan profesi perawat sangat rentan mengalami stres kerja. Selain itu, apabila
perawat tidak mampu menghadapi tuntutan-tuntutan di lingkungan kerjanya, maka akan
muncul kelelahan fisik dan emosional yang pada akhirnya akan muncul burnout pada
perawat (Sulistyowati, 2007).
Stres dan burnout memiliki presentase yang besar pada perawat. Sebanyak
50,9% perawat mengalami stres (PPNI, 2006) dan 43% mengalami burnout (Kleiber &
Ensman (dalam Prestiana & Purbandini, 2012), sehingga perawat menjadi profesi yang
rentan mengalami stres dan burnout. Setiap harinya, perawat bertemu banyak orang. Hal
ini yang mengakibatkan perawat dapat mengalami stres kerja. Stres kerja merupakan
faktor resiko untuk terjadinya burnout, sehingga stres kerja dan burnout adalah dua hal
yang rentan terjadi pada perawat.
7
Berangkat dari fenomena yang ada di RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon,
perbedaan pandangan dan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan oleh peneliti
sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan
stres kerja dengan burnout pada perawat RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan stres dengan burnout pada perawat
RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon.
TINJAUAN PUSTAKA
Burnout
Maslach, et. al. (1981) mendefinisikan burnout sebagai gejala kelelahan
emosional dan sinisme yang sering terjadi antara individu-individu yang melakukan
beberapa jenis pekerjaan. Maslach, et. al. (1981) juga mengemukakan tiga aspek
burnout, yaitu:
1. Kelelahan emosional
Perasaan kehabisan atau terlampau banyak kehilangan energi emosi akibat terlalu
banyaknya pekerjaan.
2. Depersonalisasi
Depersonalisasi merupakan sikap kurang menghargai atau kurang memiliki
pandangan yang positif terhadap orang lain yang ditandai dengan menjauhnya
individu dari lingkungan sosial, apatis, tidak peduli terhadap lingkungan atau orang-
orang di sekitarnya. Reaksi negatif ini muncul dalam tingkah laku seperti
memandang rendah dan meremehkan klien, bersikap sinis terhadap klien, kasar dan
tidak manusiawi dalam hubungan dengan klien, serta mengabaikan kebutuhan dan
tuntutan klien. Sindrom ini merupakan akibat lebih lanjut dari adanya upaya
penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan orang lain.
8
3. Penurunan Pencapaian Pribadi
Hal ini merupakan kecenderungan untuk mengevaluasi diri negatif, terutama yang
berkaitan dengan pekerjaan seseorang dengan klien. Pekerja merasa tidak bahagia
tentang diri mereka sendiri dan tidak puas dengan prestasi mereka pada pekerjaan.
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya burnout
Menurut Lee dan Ashforth (1996), ada beberapa faktor yang menyebabkan
burnout, yaitu tekanan pekerjaan dan dukungan.
Tekanan pekerjaan
1) Ambiguitas, yaitu keadaan di mana karyawan tidak tahu apa yang harus dilakukan,
menjadi bingung, dan menjadi tidak yakin karena kurangnya pemahaman atas hak-
hak dan kewajiban yang dimiliki karyawan yang melakukan pekerjaan.
2) Konflik peran, yaitu suatu perangkat harapan atau lebih berlawanan dengan lainnya
sehingga dapat menjadi penekanan yang penting bagi sebagian orang.
3) Stres kerja, apabila tekanan yang dialami karyawan bersifat menetap dalam jangka
waktu yang lama, maka akan menyebabkan burnout karena kondisi tubuhnya tidak
mampu membangun kembali kemampuannya untuk menghadapi pemicu stres.
4) Beban kerja, apabila seorang karyawan menanggung banyak pekerjaan dalam waktu
relatif singkat, maka dapat membuat karyawan tertekan dan akan menyebabkan
burnout.
Dukungan
1) Dukungan sosial, yaitu tersedianya sumber yang dapat dipanggil ketika dibutuhkan
untuk memberi dukungan, sehingga orang tersebut cenderung lebih percaya diri dan
sehat karena yakin ada orang lain yang membantunya saat kesulitan.
9
2) Dukungan keluarga, keluarga mempunyai andil besar untuk meringankan beban yang
dialami meskipun hanya dalam bentuk dukungan emosional, yaitu perilaku memberi
perhatian dan mendengarkan dengan simpatik.
3) Dukungan teman sekerja, teman sekerja yang suportif memungkinkan karyawan
menanggulangi tekanan pekerjaan.
4) Kekompakan suatu kelompok, beberapa ahli mengatakan bahwa hubungan yang baik
antara beberapa anggota kelompok kerja merupakan faktor penting dalam
kesejahteraan dan kesehatan organisasi.
Stres Kerja
Menurut Gray-Toft & Anderson (1981), stres kerja merupakan isyarat internal
dalam lingkungan fisik, sosial, atau psikologis yang mengancam keseimbangan dari
individu. Dalam teorinya, Gray-Toft & Anderson (1981) juga mengungkapkan delapan
aspek stres kerja pada perawat, yakni:
a. Beban kerja
Ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan pasien merupakan keprihatinan besar
karena hal ini berhubungan dengan perasaan perawat tentang anggapan mereka
tentang peran mereka sebagai perawat. Namun, perawat sering tidak mampu
melakukannya karena kekurangan staf, yang mengurangi waktu perawatan yang
tersedia untuk masing-masing pasien. Selain karena kekurangan staf, beberapa hal
yang menyebabkan perawat tidak mampu mengerjakan tugas mereka adalah
kurangnya peralatan, kelebihan beban kerja dan peran, kesempatan pelatihan yang
tidak memadai dalam penggunaan teknologi medis baru dan aspek struktur
organisasi. Hal ini meningkatkan stres perawat, sering mengakibatkan kegagalan
untuk mempertahankan standar keperawatan yang tinggi dan ketidakpuasan dengan
10
ketidakmampuan mereka untuk memenuhi apa yang mereka anggap sebagai
kebutuhan pasien.
b. Kematian dan sekarat
Kebanyakan perawat merawat pasien akan mengalami kematian sebagai bagian dari
pekerjaan mereka. Pengalaman ini sering menyebabkan kecemasan. Memberikan
perawatan kepada pasien yang sekarat telah diidentifikasi sebagai salah satu sumber
internal yang lebih umum dan penting dari stres di antara staf keperawatan.
c. Dukungan staff yang sedikit
Perawat khususnya sering merasa marah karena supervisor dan rekan kerja telah
berbuat banyak untuk meningkatkan harga diri mereka. Perasaan marah dan frustrasi
sering menunjuk ke arah administrator keperawatan, ahli bedah, dan perawat lainnya,
seperti perawat yang dilihat oleh administrator mereka yang absen dari hari ke hari
dalam pekerjaan, akan memberikan dukungan dan pengakuan yang minim.
d. Persiapan emosional yang tidak cukup
Dalam yang tertentu mengajukan pertanyaan oleh pasien yang perawat tidak
memiliki jawaban yang memuaskan dinilai sebagai stres yang paling sering terjadi.
Merasa tidak cukup siap untuk membantu dengan kebutuhan emosional pasien juga
dinilai sering mengalami stres. Selain itu, perasaan tidak cukup siap untuk membantu
dengan kebutuhan emosional keluarga pasien juga dapat membuat perawat
mengalami stres.
e. Ketidakpastian tentang pengobatan
Perawat takut membuat kesalahan dalam merawat pasien, yang bertanggung jawab
dengan pengalaman memadai, dan ketakutan bahwa dokter tidak akan hadir dalam
keadaan darurat medis. Pada saat ini, kurangnya pengetahuan dan pengalaman
11
frustrasi mereka, karena mereka merasa mereka tidak dapat memberikan pasien
informasi yang benar
f. Konflik dengan dokter
Secara khusus, kritik oleh dokter adalah peristiwa stres yang paling sering terjadi.
Hal ini diikuti dengan membuat keputusan tentang pasien ketika dokter tidak tersedia
di posisi kedua dan konflik dengan dokter di posisi ketiga. Hal lain adalah
ketidaksepakatan dengan pengobatan pasien dan harus mengatur pekerjaan dokter.
g. Menghadapi pasien dan keluarga pasien
Secara khusus, ketika keluarga pasien membuat tuntutan tidak masuk akal, ketika
perawat disalahkan untuk apa pun yang tidak beres, dan ketika mereka tidak tahu
apakah pasien keluarga akan melaporkan mereka untuk perawatan yang tidak
memadai menempatkan perawat dalam situasi sangat sulit, dapat menyebabkan
banyak perawat mengalami stres ketika berhadapan dengan pasien dan keluarga
pasien yang kasar. Sangat mungkin bahwa dampak pengalaman tersebut akan
menyebabkan tekanan psikologis, keraguan diri dan sejumlah besar kehilangan rasa
hormat.
h. Diskriminasi
Diskriminasi tertentu dialami karena ras atau etnis yang paling sering terjadi sebagai
peristiwa stres di tempat kerja. Selain itu, kadang perawat mengalami diskriminasi
karena berdasarkan jenis kelamin dan pelecehan secara seksual.
Hubungan Stress dengan Burnout
Menurut Gray-Toft & Anderson (1981), stres kerja merupakan isyarat internal
dalam lingkungan fisik, sosial, atau psikologis yang mengancam keseimbangan dari
individu. Stres dapat berdampak negatif pada berbagai hal, yakni kinerja tugas,
12
kesehatan, desk rage, dan burnout (Greenberg & Baron, 2008). Maslach, dkk (1981)
mendefinisikan burnout sebagai gejala kelelahan emosional dan sinisme yang sering
terjadi antara individu-individu yang melakukan beberapa jenis pekerjaan.
Ada beberapa hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan stres kerja
dengan burnout. Penelitian Prestiana & Purbandini (2012) menunjukkan bahwa terdapat
hubungan positif dan signifikan antara variabel stres kerja dengan variabel burnout. Ini
berarti semakin tinggi tingkat stres kerja seseorang maka semakin tinggi pula
burnoutnya. Penelitian tersebut didukung oleh hasil penelitian Xie, et al (2011) yang
menyatakan bahwa perawat dari sebuah rumah sakit di Shanghai mengalami stres yang
berhubungan dengan pekerjaan dan burnout, terutama yang bertugas pada shift atau
bekerja di rumah sakit terkemuka. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan
oleh Wu, et. al (2011), bahwa stres kerja merupakan faktor resiko penting untuk
burnout. Sebaliknya, ada hasil penelitian yang mengungkap bahwa hubungan stres kerja
dan burnout tidak signifikan. Hasil penelitian tersebut didukung oleh penelitian Himle,
Jayaranthne, & Chess (1988), yang memperlihatkan bahwa pekerja yang memperoleh
skor tinggi pada skala kejenuhan kerja mempunyai keinginan yang kuat untuk berhenti
bekerja. Selain itu, kejenuhan kerja juga terkait dengan kelambanan dalam
menyelesaikan tugas, kecelakaan kerja, pencurian dan kelalaian dalam bertugas. Lebih
lanjut, mereka menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara stres kerja dengan
burnout, karena stres kerja lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor jenis kelamin, usia,
harga diri, karakteristik individu, dan masa kerja.
Jadi, stres kerja adalah pemicu terjadinya burnout. Stres yang berlebihan akan
mengakibatkan terjadinya burnout pada perawat. Dengan demikian, stres yang dapat di
atasi akan memperkecil kemungkinan mengalami burnout.
13
Hipotesis
Berdasarkan tinjauan yang telah dikemukakan di atas, maka rumusan hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan
antara stres kerja dengan burnout pada perawat di RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon.
METODE PENELITIAN
Variabel Penelitian
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah Stres Kerja sedangkan Variabel
terikat dalam penelitian ini adalah adalah Burnout.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan perawat RSUD dr. M.
Haulussy Kota Ambon yang berjumlah 369 perawat.
Teknik sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah insidental
sampling, yang merupakan teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa
saja yang secara kebetulan atau insidental bertemu dengan peneliti dapat digunakan
sebagai sampel. Ruangan yang menjadi subjek penelitian yaitu ruang UGD dengan 10
subjek, ruang neurologi dengan 10 subjek, ruang bedah wanita dengan 10 subjek, bedah
laki-laki dengan 10 subjek, ruang kebidanan dengan 10 subjek, ruang anak dengan 8
subjek, ruang paru-paru dengan 5 subjek, ruang internal laki-laki dengan 8 subjek,
ruang internal wanita dengan 8 subjek, dan ruang cendrawasih dengan 8 subjek.
Pembagian ruang dengan subjek ini telah ditentukan oleh pihak administrasi RSUD Dr.
M. Haulussy Kota Ambon.
14
Alat Ukur Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua skala, yaitu skala Stres Kerja dan skala Burnout.
Skala stres kerja menggunakan Expanded Nurses Stress Scale (ENSS) dengan tingkat
koefisien reabilitas sebesar 0,89. ENSS disusun oleh Grey-Toft & Anderson (1981)
terdiri atas melalui delapan aspek, yakni beban kerja, kematian dan sekarat, dukungan
staff yang sedikit, persiapan emosional yang tidak cukup, ketidakpastian tentang
pengobatan, konflik dengan dokter, menghadapi pasien dan keluarga pasien, serta
diskriminasi diskriminasi. Sedangkan, skala burnout menggunakan skala Maslach
Burnout Inventory (MBI) dengan tingkat koefisien reabilitas sebesar 0,83. MBI disusun
oleh Maslach, et. al., (1981) yang terdiri dari 3 aspek, yaitu: kelelahan emosional,
depersonalisasi, penurunan pencapaian pribadi.
Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan skala
pengukuran psikologi, yang terdiri dari 2 skala, yaitu skala stres kerja dan skala
burnout. Item dalam skala-skala tersebut dikelompokkan dalam pernyataan favorable
dan unfavorable dengan menggunakan 4 alternatif jawaban dari skala Likert yang telah
dimodifikasi yaitu, Sangat Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS), dan Sangat Tidak
Sesuai (STS). Keseluruhan data diperoleh dari skala psikologi yang telah dibagikan
kepada subjek.
Analisis Data
Teknik yang digunakan untuk menguji hubungan antara kedua variabel
penelitian adalah korelasi Product Moment dari Pearson. Dalam penelitian ini, analisis
data akan dilakukan dengan bantuan program khusus komputer statistik yaitu SPSS
version 17.0 for windows.
15
HASIL PENELITIAN
Hasil Uji Seleksi Item dan Reliabilitas
1. Stres Kerja
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala stres kerja
yang terdiri dari 57 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 4 item dengan
koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,318-0,720. Untuk menguji
reliabilitas digunakan teknik koefisien Alpha Cronbach dengan koefisien Alpha pada
skala stres kerja sebesar 0,960. Hal ini berarti skala kompetensi sosial reliabel.
2. Burnout
Berdasarkan pada perhitungan uji seleksi item dan reliabilitas skala burnout
yang terdiri dari 22 item, diperoleh item yang gugur sebanyak 1 item dengan
koefisien korelasi item totalnya bergerak antara 0,306-0,615. Untuk menguji
reliabilitas digunakan teknik koefisien Alpha Cronbach dengan koefisien Alpha pada
skala burnout sebesar 0,869. Hal ini berarti skala burnout reliabel.
Uji Deskriptif Statistika
1. Variabel Stres Kerja
Tabel Kategorisasi Pengukuran Skala Stres Kerja
Interval Kategori Mean N Persentase
180,2 ≤ x ≤ 212 Sangat
Tinggi
18 20,69%
148,4 ≤ x < 180,2 Tinggi 163,01 51 58,62%
116,6 ≤ x < 148,4 Sedang 16 18,39%
84,8 ≤ x < 116,6 Rendah 1 1,15%
53 ≤ x < 84,8 Sangat
Rendah
1 1,15%
Jumlah 87 100%
SD = 22,574 Min = 73 Max = 207 Keterangan: x = Stres Kerja
16
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa 18 subjek memiliki skor stres
kerja yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 20,69%, 51 subjek
yang memiliki skor stres kerja yang berada pada kategori tinggi dengan persentase
58,62%, 16 subjek memiliki skor stres kerja yang berada pada kategori sedang
dengan persentase 18,39%, 1 subjek memiliki skor stres kerja yang berada pada
kategori rendah dengan persentase 1,15%, dan 1 subjek memiliki skor stres kerja
yang sangat rendah dengan persentase 1,15%. Berdasarkan rata-rata sebesar 163,01,
dapat dikatakan bahwa rata-rata stres kerja subjek berada pada kategori tinggi. Skor
yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 73 sampai dengan skor
maksimum sebesar 207 dengan standard deviasi 22,574.
2. Variabel Burnout
Tabel Kategorisasi Pengukuran Skala Burnout
Interval Kategori Mean N Persentase
71,4 ≤ x ≤ 84 Sangat
Tinggi
14 16,09%
58,8 ≤ x < 71,4 Tinggi 64,30 59 67,82%
46,2 ≤ x < 58,8 Sedang 12 13,79%
33,6 ≤ x < 46,2
Rendah 2 2,30%
21 ≤ x < 33,6
Sangat
Rendah
0 0%
Jumlah 87 100%
SD = 8,239 Min = 38 Max = 84 Keterangan: x = Burnout
Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa 14 subjek memiliki skor
burnout yang berada pada kategori sangat tinggi dengan persentase 16,09%, 59
subjek memiliki skor burnout yang berada pada kategori tinggi dengan persentase
67,82%, 12 subjek memiliki skor burnout yang berada pada kategori sedang dengan
persentase 13,79%, 2 subjek memiliki skor burnout yang berada pada kategori
rendah dengan persentase 2,30%, dan tidak ada subjek memiliki skor burnout yang
17
berada pada kategori sangat rendah dengan persentase 0%. Berdasarkan rata-rata
sebesar 64,30, dapat dikatakan bahwa rata-rata burnout berada pada kategori tinggi.
Skor yang diperoleh subjek bergerak dari skor minimum sebesar 38 sampai dengan
skor maksimum sebesar 84 dengan standard deviasi 8,239.
Uji Asumsi
Uji asumsi yang dilakukan terdiri dari uji normalitas dan uji linearitas, yaitu:
Uji Normalitas
Pada skala stres kerja diperoleh nilai K-S-Z sebesar 0,1012 dengan probabilitas
(p) atau signifikansi sebesar 0,258 (p>0,05). Sedangkan, pada skor burnout memiliki
nilai K-S-Z sebesar 0,1043 dengan probabilitas (p) atau signifikansi sebesar 0,227.
Dengan demikian kedua variabel memiliki distribusi yang normal.
Uji Linearitas
Hasil uji linearitas diperoleh nilai Fbeda sebesar 0,2957 dengan sig.= 0,001
(p<0,05) yang menunjukkan stres kerja dengan burnout adalah tidak linear.
Uji Korelasi
Dari perhitungan uji korelasi antara variabel bebas dan terikat, dapat dilihat pada
tabel berikut:
Tabel Hasil Uji Korelasi antara Stres Kerja Dengan Burnout Correlations
Stres Kerja Burnout
Stres Kerja Pearson Correlation 1 .728**
Sig. (1-tailed) .000
N 87 87
Burnout Pearson Correlation .728** 1
Sig. (1-tailed) .000
N 87 87
**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
18
Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi diperoleh koefisien korelasi antara
stres kerja dengan burnout sebesar 0,728 dengan sig. = 0,000 (p < 0.05) yang berarti ada
hubungan yang positif signifikan antara stres kerja dengan burnout.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian mengenai hubungan antara stres kerja burnout pada
perawat RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon, didapatkan hasil bahwa terdapat
hubungan yang signifikan dan positif antara stres kerja dengan burnout pada perawat
RSUD Dr. M. Haulussy Kota Ambon. Berdasarkan hasil uji perhitungan korelasi,
keduanya memiliki r sebesar 0,728 dengan signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) yang
berarti kedua variabel yaitu stres kerja dengan burnout memiliki hubungan yang positif.
Dengan kata lain, semakin tinggi stres, maka semakin tinggi burnout atau sebaliknya.
Variabel stres kerja memberi peran utama terhadap variabel burnout. Ada
beberapa kemungkinan, pertama, sebagian besar perawat merasakan bahwa tugas-tugas
dan tanggung jawab dalam melayani pasien membuat mereka merasakan adanya
berbagai beban kerja yang tinggi yang dialami mereka, sehingga dapat membuat mereka
mengalami burnout yang tinggi pula. Kedua, sebagian besar perawat menganggap
bahwa pekerjaan sebagai perawat menghadapi stres kerja yang dianggapnya sebagai
suatu tekanan kerja yang mengancam diri mereka, sehingga mereka mengalami burnout.
Pernyataan-pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Lee & Asforth (1996)
yang menyatakan bahwa stres kerja dapat terjadi apabila tekanan kerja yang dialami
oleh seorang pekerja bersifat menetap dalam jangka waktu yang lama, maka akan
menyebabkan terjadinya burnout karena kondisi tubuhnya tidak mampu membangun
kembali kemampuannya untuk menghadapi stressor. Lebih lanjut, Lee & Asforth
(1996) juga mengemukakan bahwa jika seorang karyawan memiliki beban kerja dan
19
menanggung banyak pekerjaan dalam waktu relatif singkat, maka dapat membuat
karyawan tertekan dan akan menyebabkan terjadinya burnout.
Dari uraian di atas, penulis dapat mengatakan bahwa semakin tinggi stres kerja
yang ada pada diri perawat, maka tinggi pula burnout yang dialami, sehingga dapat
menurunkan kualitas pelayanan perawat. Hal tersebut dikarenakan para perawat RSUD
Dr. M. Haulussy Kota Ambon memiliki tingkat stres kerja yang tinggi, sehingga
menyebabkan terjadinya burnout dalam diri mereka.
Hal ini terlihat dari hasil kajian penelitian di atas, bahwa antara stres kerja
dengan burnout memiliki hubungan yang positif signifikan. Berdasarkan hasil analisis
deskriptif dalam penelitian ini, diperoleh data bahwa stres kerja sebesar 58,62% yang
berada pada kategori tinggi, dengan skor tertinggi adalah 207 dan skor terendah adalah
73. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar perawat RSUD Dr. M. Haulussy Kota
Ambon memiliki tingkat stres kerja yang tinggi. Pada burnout, data sebesar 67,82%
yang berada pada kategori tinggi, dengan skor tertinggi adalah 84 dan skor terendah
adalah 38. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perawat RSUD Dr. M.
Haulussy Kota Ambon memiliki tingkat burnout yang tinggi.
Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Xie, et al (2011) yang menyatakan
bahwa perawat dari sebuah rumah sakit di Shanghai mengalami stres yang berhubungan
dengan pekerjaan dan burnout, terutama yang bertugas pada shift atau bekerja di rumah
sakit terkemuka. Hasil penelitian Lorenz, et. al. (2014) juga menyatakan bahwa perawat
rentan untuk terkena burnout karena stres yang dialami di lingkungan rumah sakit.
Banyak faktor yang menyebabkan tinggi rendahnya burnout, stres kerja
merupakan salah satu faktor pendukung dari semua faktor yang memengaruhi tinggi
rendahnya burnout (Lee & Ashforth, 1996), Jika dilihat sumbangan efektif yang
20
diberikan stres kerja terhadap burnout, stres kerja memberikan kontribusi sebesar 53%
dan sebanyak 47% dipengaruhi oleh faktor lain di luar stres kerja yang dapat
berpengaruh terhadap burnout, seperti dukungan sosial, ambiguitas, konflik peran, dan
beban kerja.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres kerja
memberikan kontribusi terhadap burnout, sehingga nampak jelas bahwa stres kerja
mempunyai hubungan positif dengan burnout.
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian yang telah dipaparkan, maka dapat
disimpulkan bahwa stres kerja memberikan kontribusi terhadap burnout, sehingga
nampak jelas bahwa stres kerja mempunyai hubungan positif dengan burnout.
SARAN
Setelah penulis melakukan penelitian dan pengamatan langsung dilapangan
serta melihat hasil penelitian yang ada, maka berikut ini beberapa saran yang penulis
ajukan:
1. Bagi pihak manajemen rumah sakit.
Disarankan agar lebih memperhatikan perawat dengan membuat program relaksasi
dan menyediakan fasilitas relaksasi bagi para perawat untuk melakukan akitivitas
relaksasi minimal sekali dalam seminggu, agar perawat dapat perawat dapat
menetralisir pada tingkat stres yang moderat untuk dapat mengurangi burnout di
dalam diri mereka.
21
2. Bagi subjek penelitian.
Para perawat menggunakan kewajiban untuk mengikuti latihan relaksasi sekali dalam
seminggu untuk mengurangi adanya stres kerja dan burnout.
3. Bagi Peneliti selanjutnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada faktor lain di luar stres kerja yang
memengaruhi burnout sebesar 47%. Diharapkan peneliti selanjutnya dapat meneliti
lebih lanjut penelitian ini dengan mengembangkan variabel-variabel lain yang dapat
digunakan, sehingga terungkap faktor-faktor lain yang memengaruhi burnout, seperti
dukungan sosial, ambiguitas, konflik peran, dan beban kerja.
22
DAFTAR PUSTAKA
Andarika, R. (2004). Burnout Pada Perawat Puteri RS St. Elizabeth Semarang Ditinjau
Dari Dukungan Sosial. Jurnal Psyche 1 (1), 1-8.
Andriani, R. (2004). Pengaruh Persepsi Mengenai Kondisi Lingkungan Kerja dan
Dukungan Sosial terhadap Tingkat Burnout pada Perawat IRD RSUD dr.Soetomo
Surabaya. Jurnal Insan, 6 (1), 49-67.
Anoraga. (2009). Psikologi Kerja. Jakarta : Rineka Cipta
Baron, R. A. & Greenberg, J. (2008). Behavior in organizations: Understanding and
managing the human side of work (8th ed.). Upper Saddle River: Pearson
Education.
Chernis. C. (1980). Staff Burnout Job in the Human Services. London: Sage Publication.
Cozby, P. C. (2009). Methods in behavioral research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Damit, Abd Rahim. (2007). Identifying Sources of Stress and Level of Job Satisfaction
amongst Registered Nurses within the First Three Years of Work as a Registered
Nurse in Brunei Darussalam. Queensland: Queensland University of Technology
School of Nursing.
Gray-Toft, P. & Anderson, J. (1981). Stress among hospital nursing staff: Its causes and
effects, Social Science and Medicine 15(1), 639-647.
Greenhaus, J. H., Callanan, G. A. & Godshalk, V. M. (2000). Career Management.
Third Edition. The Dryden Press. Harcourt College Publishers.
Gunarsa, D. (1995). Psikologi Perawatan. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Gunawan, K. & Djati, S. (2011). Kualitas Layanan dan Loyalitas Pasien (Studi pada
Rumah Sakit Umum Swasta di Kota Singaraja–Bali). Jurnal Manajemen dan
Kewirausahaan, 13 (1), 32-39.
Himle, D. P., Jayarathne, S. K., & Chess, W. A. (1988). Dealing with Work Stress and
Strain: Is the Perception of Support more Important than its Use?. The
Journal of Applied Behavioral Science, 24(2), 191-202.
Leatz, Christine A. & Stolar, Mark W. (1993). When Works Gets to be Too Much.
World Executive Digest 14(11), 40-55.
Lee R.T. & Ashforth B.E. (1996). A Meta-Analytic Examination of the Correlates of the
Three Dimensions of Job Burnout. Journal of Applied Psychology, 81, 123-133.
Lorenz, Vera R., Benatti, Maria C., Sabino, Marcos O. (2010). Burnout and Stress
Among Nurses in a University Tertiary Hospital. Rev Latino-Am. Enfermagem,
18(6), 1084-1091.
23
Mangkunegara, A. (1998). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung :
Remaja Rosdakarya.
Masclah & Jackson. (1981). The measurement of experienced burnout. Journal Of
Occupational Behaviour, 2, 99-113.
Prestiana, Novita D. I., & Purbandini, Dewanti. (2011). Hubungan Antara Efikasi Diri
(Self Efficacy) dan Stres Kerja Dengan Kejenuhan Kerja (Burnout) pada Perawat
IGD dan ICU RSUD Kota Bekasi. Jurnal Soul, 5(2), 1-14.
Ribeiro, V. F., Celso Filho, Vitor, E., Marcello, F., & Luis de Abreu. (2014). Prevalence
of burnout syndrome in clinical nurses at a hospital of excellence. International
Archive of Medicine, 7(22), 1-16.
Rosyid, H. F. (1996). Burnout: Penghambat Produktivitas yang Perlu Dicermati. Buletin
Psikologi, (1)19-24.
Russeng, S. S. (2007). Stres Kerja pada Perawat di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit
Dr. Tadjuddin Chalid Makassar. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia, 3
(2), 20-24.
Pines, A. & Aronson, E. (1989). Career Burnout: Causes and Cures. New York: The
Free Press.
Schaufeli, W.B., and Janczur, B. (1994). Burnout Among Nurses: A Polish Dutch
Comparison. Journal of Cross Cultural Psychology, 25 (7): 95-113.
Sulistyowati, P. (2007). Hubungan Antara Burnout dengan Self Efficacy pada Perawat
di Ruang Rawat Inap RSUD Prof. Dr Margono Soekarjo Purwokerto. Jurnal
Keperawatan Soedirman, 2 (3), 162-167.
Wright, K. (2014). Alleviating stress in the workplace: advice for nurses. Art & Science
Occupational Health, 28 (20), 37-42.
Wu, Si-Ying, Huang-Yuan Li, Xiao-Rong Wang, Shu-Juan Yang, & Hong Qiu. (2011).
A Comparison of the Effect of Work Stress on Burnout and Quality of Life
Between Female Nurses and Female Doctors. Archives of Environmental &
Occupational Health, 66 (4), 193-200.
Xie, Zhenyu, Aolin Wang, & Bo Chan. (2011). Nurse burnout and its association with
occupational stress in a cross-sectional study in Shanghai. Journal of
Advanced Nursing, 67(7), 1537–1546.
top related