gambaran histologi organ hepar,...
Post on 17-Sep-2018
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
GAMBARAN HISTOLOGI ORGAN HEPAR,
PANKREAS, DAN GINJAL TIKUS JANTAN STRAIN
SPRAGUE DAWLEY DENGAN TEKNIK PERFUSI
PBS
Laporan Penelitian ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar SARJANA KEDOKTERAN
Oleh:
FAISAL RAVIF
1113103000028
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
ii
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Laporan penelitian ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ciputat, 21 November 2016
Faisal Ravif
Materai
6000
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
GAMBARAN HISTOLOGI ORGAN HEPAR, PANKREAS, DAN GINJAL
TIKUS JANTAN STRAIN SPRAGUE DAWLEY DENGAN TEKNIK
PERFUSI PBS
Laporan Penelitian
Diajukan kepada Program Studi Kedokteran dan Pendidikan Dokter, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kedokteran (S.Ked)
Oleh
Faisal Ravif
NIM: 1113103000028
PROGRAM STUDI KEDOKTERAN DAN PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H/2016 M
iv
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan Penelitian berjudul GAMBARAN HISTOLOGI ORGAN HEPAR,
PANKREAS, DAN GINJAL TIKUS JANTAN STRAIN SPRAGUE
DAWLEY DENGAN TEKNIK PERFUSI PBS. yang diajukan oleh Faisal
Ravif (NIM 1113103000028), telah diujikan dalam sidang di Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan pada. Laporan penelitian ini telah diterima sebagai salah satu
syarat memperoleh gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked) pada Program Studi
Kedokteran dan Pendidikan Dokter.
Ciputat, 2 Desember 2016
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb.
Alhamdulilahirabbil’alamin, puji serta syukur saya panjatkan kehadirat
Allah SWT, karena atas segala rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan
penelitian ini. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita,
Nabi besar Muhammad SAW, yang membawa cahaya kebenaran sampai akhir
zaman.
Penelitian ini tidak dapat terlepas dari bantuan berupa masukan, kritik
maupun saran dari berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, dr. Achmad Zaki, S.Ked, M.Epid, Sp. OT selaku
Ketua Program Studi Program Studi Pendidikan Dokter FKIK UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, serta seluruh dosen Program Studi Pendidikan
Dokter yang selalu membimbing serta memberikan ilmu kepada saya
selama menjalani masa pendidikan di Program Studi Pendidikan Dokter
FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Ibu Nurlaely Mida Rachmawati, S.Si, M. Biomed, DMS dan Dr. Devy
Ariany, M. Biomed selaku dosen pembimbing penelitian saya, yang selalu
membimbing, mengarahkan, dan menyemangati saya dalam
menyelesaikan penelitian ini dengan baik.
3. Kedua orang tua saya yang tercinta, Bpk. Ir. Dadang Suryajaya Johor Ning
dan Ibu dr. Vera Linda Chen Bahrun yang selalu memberikan nasihat,
cinta serta kasih sayang, mendoakan serta menyuntikkan semangat dalam
hidup saya.
4. Dr. Flori Ratnasari selaku penanggungjawab (PJ) modul riset PSPD 2013.
drg. Laifa Annisa Hendarmin, PhD selaku Satuan Pelaksana Tugas (STP)
laboratorium Riset. Ibu Nurlaely Mida R, S. Si, M.Biomed, DMS selaku
STP Animal house. Ibu Endah Wulandari, M. Biomed selaku STP
vi
laboratorium Biokimia. Ibu Rr. Ayu Fitri Hapsari, M. Biomed selaku STP
laboratorium Histologi yang telah memberikan izin atas penggunaan lab
pada penelitian ini.
5. Untuk teman seperjuangan penelitian, Fiizhda Baqarizky, Galang
Prahanarendra, Abdul Rasyid, Fakhri Muhammad, Muhammad Azharan
Alwi, Muhammad Imam Alkautsar, Putri Junitasari, Annisa Mardhiyah,
dan Pathur Rahman Nasution.
6. Teman – teman terdekat saya, Siti Fauziah, Faraz Raihan, Rohman
Sungkono, Muhammad Azmi Awaluddin, Ichtiarsyah Suminar, Kirana
Widanarni, dan Hafiz Muhammad Ikhsan yang selalu menyemangati dan
membantu saya dalam menyelesaikan penelitian ini serta urusan akademik
lainnya.
7. Seluruh mahasiswa PSPD 2013, teman seperjuangan dalam menjalani
proses pendidikan dokter ini.
8. Laboran yang terlibat Mba Din, Ibu Ai, Ibu Lilis, Mba Suryani, Mas
Rachmadi. Juga pada Mas Haris dan Mas Panji yang sangat membantu
berlangsungnya penelitian ini.
Saya sangat mengharapkan kritik dan saran dalam penelitian ini agar dapat
terus dilanjutkan dan bermanfaat untuk berbagai pihak karena penelitian ini
masih jauh dari kesempurnaan. Demikian laporan penelitian ini saya susun,
semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca
pada umumnya.
Ciputat, 10 November 2016
vii
ABSTRAK
Faisal Ravif. Program Studi Pendidikan Dokter. Gambaran Histologi Organ
Hepar, Pankreas, dan Ginjal Tikus Jantan Strain Sprague Dawley dengan
Teknik Perfusi PBS. 2016
Histoteknik merupakan suatu metode atau cara untuk membuat sajian
histologi dari spesimen tertentu dengan suatu rangkaian proses sehingga menjadi
sajian yang siap untuk diamati dan dianalisa. Perfusi adalah proses pengaliran
cairan fiksatif atau pengganti darah ke dalam jaringan hewan coba. Dalam tahapan
histoteknik perfusi merupakan suatu teknik yang menggabungkan euthanasia
dengan fiksasi. Phosphate Buffered Saline (PBS) adalah larutan fisiologis yang
memiliki sifat isotonik, bertujuan untuk menggantikan posisi darah, sebagai
tempat pertumbuhan mikroba dan tidak beracun bagi sel. Sampel organ yang
digunakan dalam penelitian ini adalah hepar, pankreas, dan ginjal dari tikus jantan
strain Sprague dawley, yang di nekropsi dengan perfusi PBS dan diwarnai dengan
pewarnaan HE. Institusi pendidikan kedokteran seharusnya memiliki laboratorium
yang terakreditasi untuk menunjang pembelajaran dan penelitian mahasiswanya.
Faktor yang mempengaruhi validitas dan kualitas suatu penelitian meliputi
kelengkapan peralatan laboratorium, kemampuan dan pengalaman dari operator,
kemampuan mengontrol mutu dan pengendalian mutu terhadap hasil pekerjaan
dan analisisnya, serta petunjuk analisis baku atau Standard Operational
Procedure (SOP) yang digunakan. Laboratorium Animal House dan histologi
pada Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah berdiri
sejak tahun 2005 belum memiliki SOP mengenai histoteknik, lebih tepatnya SOP
mengenai perfusi. Maka, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data bagi
penyusunan SOP baku mengenai histoteknik yang dapat dilaksanakan di
laboratorium Animal House dan Histologi kampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Gambaran histologi yang dihasilkan dari organ hepar dan ginjal tikus
jantan strain Sprague dawley yang dinekropsi dengan perfusi PBS dan diwarnai
dengan pewarnaan HE cukup baik, struktur khas dari tiap organ dapat diamati
dengan cukup baik. Namun, pada gambaran histologi dari organ pankreas tikus
strain Sprague dawley yang dinekropsi dengan perfusi PBS dan diwarnai dengan
pewarnaan HE tidak baik, gambaran khas dari organ pankreas tidak dapat
diidentifikasi. Taut antar sel pada organ hepar dan ginjal terlihat agak renggang
karena kurang optimalnya pengaturan kecepatan dan tekanan pada proses perfusi.
Data yang didapat dari hasil penelitian ini tidak dapat digunakan sebagai data
acuan dalam pembuatan SOP histoteknik pada laboratorium Animal House dan
Histologi kampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Kata kunci : Perfusi, PBS, ginjal, hepar, pankreas.
viii
Histotechniques is a method to make a histologic preparation of a
specimen through a series of processes than ready to be observed and analyzed.
Perfusion is a method to distribute fixative liquids or blood substitutes into
vascular and tissues of the specimen. In histotechniques, perfusion is a method
which combine euthanasia and tissue fixation. Phosphate Buffered Saline (PBS)
is a physiological liquid that is isotonic, who has the main function of substituting
blood as a media for microbes to grow and PBS is not toxic to cells. Organs which
is used in this study are liver, pancreas, and kidney of a male Sprague Dawley
mice that is processed through PBS perfusion then stained with Hematoxylin and
Eosin staining. Medical school or institution should have an accredited laboratory
to support learning process and researches of its students. The factors which affect
the validity and quality of a research includes, the completeness of equipment’s at
the laboratory, skill and experience of the operator, quality control skills and
quality control of research result and analyses, and last, the Standard Operating
Procedure of all the treatment and analysis technique in the laboratory. Animal
House laboratory and Histology laboratory of Medical and Health Sciences
Faculty UIN Syarif Hidayatullah Jakarta do not have a Standard Operating
Procedure about histotechniques yet, especially perfusion technique. The purpose
of this study is to obtain data to form a Standard Operating Procedure about
histotechniques that can be applied to Animal House laboratory and Histology
Laboratory of Medical and Health Sciences Faculty UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Histological images from liver and kidney of Sprague dawley mice that is
processed through PBS perfusion then stained with Hematoxylin and Eosin
staining is good, the typical structures of each organ can be observed quite well.
But, histological images from pancreas of Sprague dawley mice that is processed
through PBS perfusion then stained with Hematoxylin and Eosin staining is not
good, typical structures of the organ can’t be observed. Links between cells in the
liver and kidney looks tenuous. Data obtained from this study can not be used as
reference data to form the histotechniques SOP on Animal House laboratory and
Histology Laboratory of Medical and Health Sciences Faculty UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Keywords : Perfusion, PBS, Kidney, liver, pancreas
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian ...................................................................... 3
1.3.1 Tujuan Umum ............................................................ 3
1.3.2 Tujuan Khusus ........................................................... 3
1.4 Manfaat Penelitian .................................................................... 3
1.4.1 Bagi Peneliti ............................................................... 3
1.4.2 Bagi Institusi .............................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori .......................................................................... 4
2.1.1 Teknik Nekropsi ......................................................... 4
2.1.2 Metode Perfusi ........................................................... 4
2.1.2.1 Langkah-langkah Metode Perfusi ............... 6
2.1.3 Perfusi PBS ................................................................ 9
2.1.4 Pengolahan dan Pembuatan Blok ............................... 10
2.1.4.1 Fiksasi ......................................................... 10
2.1.4.2 Dehidrasi ..................................................... 10
2.1.4.3 Pembeningan (Clearing) ............................. 11
2.1.4.4 Penanaman (Embedding) ............................ 11
2.1.4.5 Pembuatan blok (Blocking) ......................... 12
2.1.4.6 Pemotongan organ ....................................... 12
2.1.5 Pewarnaan HE ............................................................ 15
2.1.6 Gambaran Histologi Hepar Normal ........................... 16
2.1.7 Gambaran Histologi Pankreas Normal....................... 18
2.1.8 Gambaran Histologi Ginjal Normal ........................... 19
2.2 Kerangka Teori.......................................................................... 20
x
2.3 Kerangka Konsep ...................................................................... 21
2.4 Definisi Operasional.................................................................. 21
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Desain Penelitian ....................................................................... 22
3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................... 22
3.2.1 Waktu Penelitian ........................................................ 22
3.2.2 Tempat Penelitian....................................................... 22
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ................................................ 22
3.4 Cara Kerja Penelitian ................................................................ 22
3.4.1 Alat dan Bahan Penelitian .......................................... 22
3.4.2 Adaptasi Hewan Coba ................................................ 24
3.4.2 Tahapan Nekropsi (Perfusi) ....................................... 24
3.4.2 Tahap Pemrosesan Jaringan ....................................... 25
3.4.4.1 Dehidrasi ..................................................... 25
3.4.4.2 Clearing ...................................................... 25
3.4.4.3 Blocking....................................................... 26
3.4.4.4 Pemotongan Jaringan .................................. 26
3.4.4.5 Tahapan Pewarnaan HE .............................. 27
3.4.4.6 Foto Jaringan ............................................... 28
3.5 Alur Penelitian .......................................................................... 28
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Makroskopik ............................................................ 29
4.2 Organ Hepar .............................................................................. 32
4.3 Organ Pankreas ......................................................................... 34
4.4 Organ Ginjal .............................................................................. 35
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .............................................................................. 38
5.2 Saran .......................................................................................... 38
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 39
LAMPIRAN ............................................................................................... 41
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Alat dan bahan perfusi ...................................................................... 6
Gambar 2.2 Pengaliran cairan fiksatif pada selang .............................................. 6
Gambar 2.3 Pengaliran cairan buffer pada selang ................................................ 7
Gambar 2.4 Tahapan nekropsi ............................................................................. 7
Gambar 2.5 Penusukan jarum pada jantung tikus ................................................ 8
Gambar 2.6 Pengaliran cairan buffer ke hewan coba ........................................... 8
Gambar 2.7 Pengaliran cairan fiksatif ke hewan coba ......................................... 9
Gambar 2.8.a Hepar tikus normal 4x ................................................................... 16
Gambar 2.8.b Hepar tikus normal 20x ................................................................. 16
Gambar 2.8.c Hepar tikus normal 40x ................................................................. 16
Gambar 2.9.a Pankreas tikus normal 4x ............................................................... 18
Gambar 2.9.b Pankreas tikus normal 20x ............................................................ 18
Gambar 2.9.c Pankreas tikus normal 40x ............................................................. 18
Gambar 2.10.a Ginjal tikus normal 4x ................................................................. 19
Gambar 2.10.b Ginjal tikus normal 20x ............................................................... 19
Gambar 2.10.c Ginjal tikus normal 40x ............................................................... 19
Gambar 4.1.a. Pengaturan sudut pada perfusi ...................................................... 30
Gambar 4.1.b Tanda perfusi sudah optimal ......................................................... 30
Gambar 4.1.c Perfusi selesai ................................................................................ 30
Gambar 4.2.a Hepar tikus perfusi PBS 10x (insert: trias porta) ......................... 32
Gambar 4.2.b Hepar tikus perfusi PBS 40x (insert: hepatosit) ............................ 32
Gambar 4.3.a Pankreas tikus perfusi PBS 20x ..................................................... 34
Gambar 4.3.b Pankreas tikus perfusi PBS 40x (insert: tidak dapat diidentifikasi) ..... 34
Gambar 4.4.a Ginjal tikus perfusi PBS 20x ........................................................ 36
Gambar 4.4.b Ginjal tikus perfusi PBS 40x (insert: glomerulus) ........................ 36
Gambar 4.4.c Ginjal tikus perfusi PBS 40x (insert: tubulus) .............................. 36
Gambar 6.1 Hepar PBS A perbesaran 4x .............................................................. 43
Gambar 6.2 Hepar PBS A perbesaran 10x ............................................................ 43
Gambar 6.3 Hepar PBS A perbesaran 20x ............................................................ 43
Gambar 6.4 Hepar PBS A perbesaran 40x ............................................................ 43
Gambar 6.5 Hepar PBS B perbesaran 4x .............................................................. 43
Gambar 6.6 Hepar PBS B perbesaran 10x ............................................................ 43
Gambar 6.7 Hepar PBS B perbesaran 20x ............................................................ 44
Gambar 6.8 Hepar PBS B perbesaran 40x ............................................................ 44
Gambar 6.9 Hepar PBS C perbesaran 4x .............................................................. 44
Gambar 6.10 Hepar PBS C perbesaran 10x .......................................................... 44
Gambar 6.11 Hepar PBS C perbesaran 20x .......................................................... 44
Gambar 6.12 Hepar PBS C perbesaran 40x .......................................................... 44
Gambar 6.13 Pankreas PBS A perbesaran 4x ....................................................... 44
Gambar 6.14 Pankreas PBS A perbesaran 10x ..................................................... 44
Gambar 6.15 Pankreas PBS A perbesaran 20x ..................................................... 45
Gambar 6.16 Pankreas PBS A perbesaran 40x ..................................................... 45
Gambar 6.17 Pankreas PBS B perbesaran 4x ....................................................... 45
Gambar 6.18 Pankreas PBS B perbesaran 10x ..................................................... 45
Gambar 6.19 Pankreas PBS B perbesaran 20x ..................................................... 45
Gambar 6.20 Pankreas PBS B perbesaran 40x ..................................................... 45
xii
Gambar 6.21 Pankreas PBS C perbesaran 4x ....................................................... 45
Gambar 6.22 Pankreas PBS C perbesaran 10x ..................................................... 45
Gambar 6.23 Pankreas PBS C perbesaran 20x ..................................................... 46
Gambar 6.24 Pankreas PBS C perbesaran 40x ..................................................... 46
Gambar 6.25 Ginjal PBS A perbesaran 4x ............................................................ 46
Gambar 6.26 Ginjal PBS A perbesaran 10x .......................................................... 46
Gambar 6.27 Ginjal PBS A perbesaran 20x.......................................................... 46
Gambar 6.28 Ginjal PBS A perbesaran 40x.......................................................... 46
Gambar 6.29 Ginjal PBS B perbesaran 4x ............................................................ 46
Gambar 6.30 Ginjal PBS B perbesaran 10x .......................................................... 46
Gambar 6.31 Ginjal PBS B perbesaran 20x .......................................................... 47
Gambar 6.32 Ginjal PBS B perbesaran 40x .......................................................... 47
Gambar 6.33 Ginjal PBS C perbesaran 4x ............................................................ 47
Gambar 6.34 Ginjal PBS C perbesaran 10x .......................................................... 47
Gambar 6.35 Ginjal PBS C perbesaran 20x .......................................................... 47
Gambar 6.36 Ginjal PBS C perbesaran 40x .......................................................... 47
Gambar 6.37 Hepar PBS A perbesaran 4x - 2016 ................................................ 47
Gambar 6.38 Hepar PBS A perbesaran 10x - 2016 .............................................. 47
Gambar 6.39 Hepar PBS A perbesaran 20x - 2016 .............................................. 48
Gambar 6.40 Hepar PBS A perbesaran 40x - 2016 .............................................. 48
Gambar 6.41 Hepar PBS B perbesaran 4x - 2016 ................................................. 48
Gambar 6.42 Hepar PBS B perbesaran 10x - 2016 ............................................... 48
Gambar 6.43 Hepar PBS B perbesaran 20x - 2016 ............................................... 48
Gambar 6.44 Hepar PBS B perbesaran 40x - 2016 ............................................... 48
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1 Gambaran organ hepar yang diperfusi dengan PBS ............................ 32
Tabel 4.2 Gambaran organ pankreas yang diperfusi dengan PBS ....................... 34
Tabel 4.3 Gambaran organ ginjal yang diperfusi dengan PBS ............................ 35
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Tikus Sehat .......................................................... 42
Lampiran 2 Gambar preparat ................................................................................ 43
Lampiran 3 Riwayat Hidup Penulis ..................................................................... 49
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Histoteknik merupakan cara atau metode untuk membuat sajian histologi
dari spesimen tertentu. Proses pembuatan sajian tersebut melalui serangkaian
tahapan untuk akhirnya dapat menjadi sajian yang siap untuk diamati atau
dianalisis. Sajian histologi yang baik dituntut untuk dapat memberikan hasil yang
baik dan dapat dianalisis dengan benar. 1,2,3
Proses histoteknik memiliki urutan proses yang cukup banyak, dimulai
dari nekropsi dan diakhiri dengan pewarnaan. Salah satu teknik dalam
melakukan nekropsi adalah perfusi.1,3 Teknik perfusi adalah proses dialirkannya
cairan melalu pembuluh darah. Tindakan ini bertujuan agar proses fiksasi,
berlangsung lebih cepat. Dasar dari teknik perfusi adalah menunda proses
autolisis jaringan secepat mungkin agar sajian histologi yang didapat mendekati
keadaan jaringan saat hewan hidup.3 Dengan menggunakan metode perfusi,
bahan kimia dapat mencapai setiap sudut dari organ melalui pembuluh darah,
sehingga keadaan jaringan yang dihasilkan kurang lebih sama dengan jaringan
hewan dalam keadaan hidup.4 Dengan kelebihan tersebut, teknik ini dapat
menjadi alternatif teknik fiksasi untuk jaringan tertentu yang dapat dilakukan di
UIN-SH sehingga hasil gambaran histologi yang dihasilkan lebih baik.
Dalam penelitian ini, akan dibahas salah satu zat yang digunakan dalam
proses nekropsi, yaitu teknik perfusi dengan Phosphate-Buffered Saline (PBS)
steril. PBS merupakan cairan isotonik yang berfungsi sebagai pengganti darah,
sebagai tempat perkembangan mikroba untuk memperlambat proses
pembusukan.5 Berdasarkan hasil dari penelitian M. Imam (2016), teknik
nekropsi pada organ ginjal, hepar, dan pankreas dengan perfusi Akuades-
Formalin akan menghasilkan sajian histologi yang baik, sehingga dapat
digunakan sebagai salah satu acuan dalam pembuatan SOP histoteknik pada
laboratorium Animal House dan laboratorium histologi kampus FKIK UIN
2
Syarif Hidayatullah Jakarta.6 Sementara, hasil dari penelitian Putri Junita (2015),
gambaran histologi organ ginjal, hepar, dan pankreas yang dihasilkan dari
penggunaan teknik nekropsi dengan perfusi PBS-Formalin pada organ ginjal,
hepar, dan pankreas akan menghasilkan sajian histologi yang kurang baik.7
Laboratorium memiliki peranan yang besar dalam suatu institusi
pendidikan kedokteran. Keberadaan laboratorium dalam sebuah institusi
kedokteran juga dapat menjadi representatif dari kualitas institusi tersebut.
Dalam pelaksanaan kegiatan percobaan yang dilakukan di dalam laboratorium,
dibutuhkan sebuah pedoman baku atau yang biasa disebut dengan Standard
Operating Procedure (SOP) untuk membantu peneliti dalam proses pengerjaan
penelitian sehingga dapat memberikan hasil yang baik. Laboratorium Animal
House dan Histologi di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah berdiri sejak tahun 2005 belum memiliki
pedoman baku mengenai histoteknik, khususnya teknik perfusi. Oleh karena itu,
tujuan peneliti melakukan penelitian ini untuk membantu mengumpulkan data
yang akan dijadikan SOP dalam teknik perfusi laboratorium Animal House dan
Histologi Fakultas Kedokteran dan Ilmu kesehatan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran histologi dari organ hepar, ginjal, dan pankreas
tikus jantan strain Sprague dawley yang dinekropsi dengan perfusi PBS yang
diwarnai dengan pewarnaan Hematoksilin-Eosin (HE)?
3
1.3 Tujuan Penelitian
a. Tujuan Umum
Mendapatkan data untuk menyusun SOP baku histoteknik,
yang akan digunakan di laboratorium Animal House dan laboratorium
Histologi kampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Tujuan Khusus
i. Mengetahui gambaran histologi organ hepar, ginjal dan
pankreas tikus jantan strain Sprague dawley yang diperfusi
dengan PBS.
ii. Mengetahui kelebihan serta kekurangan dari organ hepar,
ginjal dan pankreas yang dinekropsi dengan perfusi PBS
yang diwarnai dengan pewarnaan HE.
1.4 Manfaat Penelitian
a. Bagi Peneliti
i. Meningkatkan pengetahuan dan pengalaman terkait
penelitian yang bersifat eksperimental serta menambah
wawasan terkait dengan histoteknik.
ii. Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Kedokteran di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
b. Bagi Institusi
i. Didapatkannya protokol nekropsi yang baik bagi Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Teknik Nekropsi
Nekropsi dapat digunakan untuk mengetahui pengaruh dari sebuah perlakuan
yang dilakukan terhadap organ/jaringan/sel dari hewan coba. Prosedur dari nekropsi
ini cukup rumit dan membutuhkan teknik yang tidak mudah dalam pengerjaan nya.
Nekropsi dilakukan segera setelah hewan coba mati, hal ini bertujuan agar tidak
terjadinya degenerasi jaringan hewan coba setelah kematian. Setelah kematian hewan
coba, akan terjadi proses autolisis yang berawal di sel epitel saluran cerna dan
sumsum tulang belakang, lalu berlanjut ke organ hati, limpa, dan ginjal.3
2.1.2. Metode Perfusi
Perfusi merupakan metode pada histoteknik, untuk proses fiksasi cairan ke
dalam jaringan dengan waktu yang cukup cepat, sehingga gambaran histologi yang
diperoleh mewakili keadaan sesaat sebelum kematian. Metode ini membutuhkan
peran pembuluh darah, yang akan menyalurkan dan memberikan akses ke setiap
jaringan dalam waktu yang cepat. Sel akan memulai proses autolisis segera setelah
terjadinya anoksia (kekurangan oksigen). Jadi, semakin cepat larutan fiksatif sampai
ke setiap sel, maka proses autolisis pun semakin cepat berhenti.4,8
Metode perfusi sudah banyak dilaksanakan di berbagai laboratorium riset.
Darah akan dikeluarkan dan dikuras dengan menyuntikkan larutan garam fisiologis.
Cara memasukkan larutan pada metode ini ada 2 macam, yaitu metode gravitasi dan
pompa peristaltik. Metode gravitasi menggunakan bantuan dari gaya gravitasi
sehingga metode ini paling mudah dilakukan. Kelemahan dari metode ini adalah,
apabila ada sel darah yang menyumbat suatu pembuluh darah kapiler akan
menyebabkan cairan yang dimasukkannya tidak dapat sampai pada daerah tersumbat
secara bersamaan sehingga tujuan keseragaman hasil akan sulit didapatkan.
5
Sedangkan metode pompa peristaltik merupakan proses mendorong cairannya
menggunakan bantuan pompa peristaltik, metode ini membuat hasil yang didapat
akan lebih maksimal dan keseragaman hasil akan lebih optimal.4,8
Salah satu kelemahan dari metode perfusi adalah jaringan yang lunak akan
menyusut setelah dilakukan perfusi. Untuk mencegah hal tersebut perlu dijaga
perbandingan jumlah cairan di dalam dan di luar sel. Setiap sel memiliki pompa ion
pada permukaannya, umumnya berupa pompa natrium. Secara kontinu natrium akan
masuk ke dalam sel, dan kalium dipompa ke luar agar perbandingan 10:1 antara
jumlah natrium di luar dan di dalam sel tetap terjaga. Salah satu faktor yang dapat
mengganggu metabolisme energi sel, adalah perlakuan perfusi ini, yang dapat
menyebabkan rusaknya pompa ion. Akibatnya, natrium, air, dan cairan ekstraseluler
akan masuk ke dalam sel hingga keseimbangan konsentrasi zat-zat tersebut di luar
dan di dalam sel tercapai. Hal ini menyebabkan sel membengkak dan mengisi ruang
ekstraseluler. Pada akhir perfusi, permeabilitas membran akan meningkat dan cairan
perfusi akan keluar dari sel menuju ke ruang pembuluh darah. sel tidak mengembang
kembali dan organ akan kolaps ke arah dalam seluruhnya, sehingga pengerutan
jaringan dapat dihindarkan.4,8
Larutan perfusi dialirkan dengan kecepatan 20-25 ml/menit untuk tikus
dewasa. Teknik perfusi juga menggunakan tekanan awal 80 mmHg dan
dipertahankan sampai larutan perfusi selesai. Selain itu, tekanan dapat ditingkatkan
maksimal sampai 130 mmHg. Selama perfusi, kecepatan dan tekanan yang
dianjurkan harus dipertahankan agar mencegah kerusakan pada organ yang telah
dilakukan perfusi sehingga hasil gambaran yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang
diharapkan.9
6
2.1.2.1. Langkah-langkah Metode Perfusi
Siapkan perlengkapan perfusi sesuai dengan gambar berikut.
Gambar 2.1 Alat dan bahan perfusi (sumber: Fixation and Fixatives, popular
Fixative Solutions, 2012).10
Gambar 2.2 Pengaliran cairan fiksatif pada selang (sumber: Fixation and
Fixatives, popular Fixative Solutions, 2012).10
Selanjutnya, persiapkan perlengkapan perfusi. Mulai dengan jalur fiksasi.
Letakkan syringe pada pipa fiksasi dan siram lubang pipa dengan buffer untuk
7
menghilangkan gelembung udara. Tutup katup pada ujung jarum. Letakkan pipa
fiksatif ke dalam botol fiksatif tanpa terkena gelembung udara.4
Gambar 2.3 Pengaliran cairan buffer pada selang (sumber: Fixation and
Fixatives, popular Fixatives Solutions, 2012).10
Buka katup pada ujung jarum, lalu putar katup buffer seperti posisi nomor 2
pada gambar agar cairan dapat mengalir. Siram pipa buffer dengan cairan buffer
untuk mengeluarkan udara pada pipa dan terakhir tutup katup pada ujung jarum.
Letakkan pipa pada botol buffer, lalu uji tekanan dan pastikan pipa telah berjalan
dengan sempurna dengan memompa bulb manometer sembari melihat melihat jarum
pengukurannya. Alat perfusi sudah siap untuk memulai prosedur.4
Gambar 2.4 Tahapan nekropsi (sumber: Fixation and Fixatives, popular
Fixative Solutions, 2012).10
8
Lakukan insisi lateral pada hewan coba melewati kulit dan dinding perut.
Dilanjutkan dengan insisi pada diafragma secara horizontal untuk melihat jantung.
Kemudian potong bagian kanan dan kiri tulang iga (costae) hingga tulang scapulae.
Pasang klem pada ujung sternum dengan hemostat lalu letakkan hemostat di atas
kepala hewan coba.4
Gambar 2.5 Penusukan jarum pada jantung tikus (sumber: Fixation and
Fixatives, popular Fixative Solutions, 2012).10
Kemudian, gunting ujung ventrikel untuk membuat lubang kecil. Tusukkan
jarum perfusi melalui potongan ventrikel menuju aorta asendens, kemudian fiksasi
posisi jarum perfusi dengan 1 set hemostat. Lalu fiksasi sekitar ujung jarum perfusi
menggunakan satu hemostat untuk mencegah kebocoran. Lanjutkan dengan membuat
insisi kecil pada atrium kanan.4
Gambar 2.6 Pengaliran cairan buffer ke hewan coba (sumber: Fixation and
Fixatives, popular Fixative Solutions, 2012).10
9
Kemudian, pasang jarum pada pipa perfusi. Buka katup dan pompa cairan
buffer ke dalam jaringan, pastikan tidak ada udara yang bercampur selama proses ini.
Pompa dengan tekanan 80 mmHg dan jaga tekanan hingga selesai.4
Gambar 2.7 Pengaliran cairan fiksatif ke hewan coba (sumber: Fixation and
Fixatives, popular Fixative Solutions, 2012). 10
Ketika perfusi dengan buffer akan habis (200 ml), tutup keran buffer untuk
membiarkan cairan fiksatif masuk. Tekanan dapat ditingkatkan hingga 130 mmHg.4
2.1.3. Perfusi PBS
PBS (Phosphate Buffer Saline) adalah larutan fisiologis yang bisa digunakan
dalam prosedur immune-histokimia, immunoassays, prosedur mikrobiologi, kultur
jaringan dan sel, serta pengenceran suatu sampel. Larutan ini bersifat isotonik dan
tidak beracun terhadap sel serta bertujuan untuk menjaga kadar pH dan
mempertahankan osmolaritas sel.5
Jika suatu sel di perfusi menggunakan larutan yang hipertonik maka sel
tersebut akan mudah menyusut, sebaliknya apabila menggunakan larutan yang
hipotonik maka sel tersebut akan membengkak. Maka dari itu, dianjurkan
menggunakan pelarut isotonik seperti PBS.5
10
2.1.4. Pengolahan Pembuatan Blok
2.1.4.1. Fiksasi
Fiksasi merupakan suatu usaha untuk mempertahankan komponen sel agar
tidak mudah rusak dan tidak mengalami perubahan. Fiksasi dilakukan dengan
merendam bahan/jaringan dalam larutan formalin.1,2 Pada reaksi fiksasi, akan terjadi
reaksi cross-link antara larutan formalin dengan protein jaringan, larutan formalin
sebagai larutan fiksasi memiliki permeabilitas yang tinggi terhadap membran sel
sehingga memungkinkan untuk terjadinya cross-linking dengan sel yang utuh.12
Teknik fiksasi dibagi menjadi 2 metode, perfusi dan non-perfusi.2 Tujuan dari fiksasi
ini adalah untuk mencegah atau menahan proses degeneratif yang terjadi sesaat
setelah jaringan kehabisan pasokan darah. Proses penghancuran sel oleh enzim
intraselular yang keluar saat membran organel ruptur, dan dekomposisi bakterial yang
dilakukan oleh mikroorganisme yang mungkin sudah terjadi pada organ adalah proses
yang harus dicegah. Difusi dan kehilangan zat mudah larut harus dihindarkan sejauh
mungkin dengan menggunakan metode cross-link ke komponen yang tidak mudah
larut.13
Fiksasi jaringan dilakukan dengan merendam jaringan ke dalam larutan
fiksasi. Larutan formalin adalah larutan fiksasi yang paling sering digunakan.1,2
2.1.4.2. Dehidrasi
Dehidrasi adalah proses pengeluaran seluruh cairan dari jaringan agar jaringan
tersebut nantinya dapat diisi oleh parafin untuk membuat blok preparat. Proses
dehidrasi sangat penting karena apabila air tidak dihilangkan dapat mempengaruhi
kualitas sediaan, karena air tidak dapat bercampur dengan parafin. Bahan kimia yang
sering digunakan untuk proses dehidrasi diantaranya adalah etil alkohol.1,2
Proses dehidrasi dilakukan bertahap dengan menggunakan alkohol bertingkat.
Dimulai dari alkohol pada konsentrasi 30%, 50%, 70%, 80%, 95%, dan akhinya
sampai ke tingkat alkohol absolut. Proses dehidrasi ini akan berjalan lebih cepat
apabila botol yang berisi alkohol tersebut digoyangkan secara terus-menerus.
11
Jaringan tidak boleh terlalu lama dicelupkan karena akan menyebabkan jaringan
tersebut menjadi rapuh dan sangat keras.1,2
2.1.4.3. Pembeningan (Clearing)
Pembeningan adalah suatu tahap untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan
dan menggantinya dengan suatu larutan yang dapat berikatan dengan parafin. Bahan
kimia yang digunakan adalah xylol dan toluol. Proses ini dimaksudkan untuk
membuat sediaan/jaringan menjadi jernih, transparan, tembus sinar sehingga
memungkinkan bagian/komponen jaringan dapat diamati dengan bantuan mikroskop
cahaya. Pembeningan dapat dilakukan dengan menggunakan zat penjernih seperti
xylol, toluol, minyak cedar, kloroform, minyak cengkeh, ataupun minyak anilin.1,2
Xylol atau xylene memiliki kelebihan yaitu prosesnya cepat, mudah didapat
dan harganya tidak terlalu mahal, akan tetapi kekurangan dari menggunakan xylol
adalah jaringan yang dijernihkan tidak begitu jelas menjadi transparan.1,2
Pada toluol atau toluene, bahan kimia ini lebih sering digunakan di
laboratorium karena harganya relatif murah, mudah didapat, prosesnya cepat, dan
jaringan akan menjadi jernih atau transparan bila prosesnya telah selesai dan
sempurna. Sedangkan kekurangan dari menggunakan toluol adalah, jika jaringan
terlalu lama direndam dalam toluol jaringan akan menjadi keras dan sulit diiris.
Jaringan hanya dapat dipindahkan ke bahan kimia ini dari alkohol absolut.1,2
2.1.4.4. Penanaman (Embedding)
Penanaman (Embedding) merupakan proses untuk mengeluarkan cairan
pembening dari jaringan dan digantikan dengan parafin. Jaringan harus terbebas dari
cairan pembening karena nantinya akan mengkristal, dan saat dipotong jaringan akan
mudah robek. Berdasarkan metode prosesnya, jaringan akan dibenamkan dalam
larutan parafin selama 3x dan dalam jangka waktu tertentu sembari dipanaskan agar
parafin tidak membeku. Keuntungan dari menggunakan parafin dengan titik lebur
12
rendah adalah jaringan tidak mudah menjadi rapuh. Sedangkan keuntungan memakai
paraplast, sifat parafin nya sangat elastis sehingga tidak murah sobek atau rusak
ketika dipotong.1,2
2.1.4.5. Pembuatan blok (Blocking)
Pembuatan blok merupakan proses pembuatan preparat agar dapat dipotong
menggunakan mikrotom. Proses ini menggunakan parafin sebagai alat perekat
jaringan agar mudah dipotong. Proses pembuatan blok dimulai dengan menyiapkan
tempat blocking, menuangkan parafin, dan dilanjutkan dengan memasukan organ
kedalam parafin yang sudah disediakan. Selanjutnya setelah blok parafin mengeras,
dapat dikeluarkan dari tempat blocking dan dapat dilanjutkan ke proses selanjutnya.
1,2
Blok parafin yang sudah mengeras dan akan dipotong harus diberi label atau
disebut affixing, metode ini bertujuan agar organ yang akan dipotong nanti diketahui.
Pengecoran (Blocking) adalah proses pembuatan blok preparat agar dapat dipotong
dengan mikrotom.1,2
2.1.4.6. Pemotongan organ
Pemotongan organ dilakukan menggunakan pisau khusus yang biasa disebut
mikrotom. Mikrotom adalah alat yang dilengkapi dengan pisau yang tajam dan dapat
mengiris potongan block dengan sangat tipis dan sesuai dengan ukuran ketebalan
yang kita inginkan.13
Terdapat berbagai jenis mikrotom yaitu:
1. Hand microtome
Merupakan jenis mikrotom yang sangat sederhana dan biasanya digunakan
untuk memotong tumbuhan dan jaringan hewan, tetapi mikrotom jenis ini sangat
terbatas kemampuannya untuk memotong jaringan setipis mungkin.
13
2. Rocking microtome
Mikrotom jenis ini merupakan jenis yang hanya bisa memotong jaringan yang
lembut dan tingkat kesulitannya rendah. Untuk jaringan yang lebih sulit,
contohnya jaringan yang tingkat kekakuannya tinggi dapat menggunakan jenis
rotary microtome atau base sledge microtome dibandingkan dengan rocking
microtome.
3. Rotary microtome
Mikrotom jenis ini memiliki banyak keuntungan dan jenis yang paling cocok
dengan metode blok parafin. Mikrotom ini juga dapat memotong jaringan
yang sangat besar dan tingkat kesulitan yang besar. Dengan metode ini, blok
dapat dipotong hingga ketebalan 0,5 sampai 2 mikrometer.
4. Freezing microtome
Metode ini memiliki banyak keuntungan, diantaranya prosesnya cepat,
jaringan yang mengkerut lebih sedikit dibandingkan dengan metode parafin
serta hampir semua metode pewarnaan dapat dilakukan menggunakan metode
ini. Selain keuntungan ada juga keburukannya yaitu irisan yang tipis dan
irisan yang seri sulit untuk diperoleh.
5. Base sledge microtome
Mikrotom jenis ini merupakan jenis yang paling banyak digunakan. Karena
mikrotom jenis ini dapat memotong berbagai jenis, ukuran, dan tingkat
kekerasan suatu jaringan. Cara pengoperasian dari mikrotom ini secara
hidrolik, sehingga memudahkan pemotongan dan dapat memotong bahan
yang sangat keras sekalipun.11
Prosedur persiapan pemotongan jaringan yaitu:
1. Mempersiapkan pisau mikrotom
Jaringan yang akan dipotong harus menggunakan pisau yang tajam.
Maka dari itu, pisau harus dipastikan ketajamannya dan harus diasah
terlebih dahulu agar jaringan nantinya akan terpotong dengan baik.
Selanjutnya, pisau mikrotom diletakkan dengan sudut tertentu dan diatur
14
ketebalan yang diinginkan. Kemudian blok parafin yang telah direkatkan
pada holder, diletakkan pada tempatnya di mikrotom.
2. Persiapkan kaca objek
Sebelum jaringan yang telah dipotong dimasukkan ke kaca objek,
terlebih dahulu dilakukan pelapisan kaca objek menggunakan zat perekat
contohnya albumin, gelatin, starch, cellulose, sodium siliate, resin, poly-L-
lysine.
3. Persiapkan water bath dengan suhu 37-40ºC
4. Persiapkan kuas untuk memudahkan pengambilan jaringan yang telah
dipotong.1
Prosedur pemotongan blok parafin yaitu:
1. Blok parafin yang berisi jaringan diletakkan pada dudukan mikrotom dan
dikunci dengan kuat.
2. Atur sudut kemiringan pisau mikrotom, sudut biasanya berkisar 20-30
derajat.
3. Atur ketebalan yang diinginkan, ketebalan yang dipakai biasanya 5-7
mikrometer.
4. Gerakkan blok preparat ke arah pisau sedekat mungkin dan potonglah
blok preparat secara teratur ketebalannya. Buang pita-pita parafin yang
tanpa jaringan sampai mendapatkan potongan yang mengandung preparat
jaringan.
5. Pita parafin yang mengandung jaringan dipindahkan menggunakan kuas
kedalam water bath dengan suhu 37-40ºC dan diamkan beberapa saat
sampai pita parafin yang berisi potongan jaringan mengembang dan tidak
menggulung.
6. Setelah pita parafin mengembang dengan baik, tempelkan pita parafin
pada kaca objek yang sebelumnya sudah direkatkan dengan albumin.
Masukkan kaca objek kedalam water bath sampai mendapatkan pita
parafin beserta jaringannya dan keluarkan secara perlahan.
15
7. Letakkan kaca objek yang berisi pita parafin diatas hotplate dengan suhu
40-45°C dan biarkan beberapa jam. Atau, kaca objek dapat dilewatkan di
atas api hingga pita parafin melekat di kaca objek.
8. Setelah air mengering dan pita parafin sudah melekat dengan kuat, kaca
objek dapat dilanjutkan ke proses pewarnaan.1
2.1.5. Pewarnaan HE
Pewarnaan HE merupakan salah satu jenis pewarnaan yang sering digunakan
untuk mewarnai inti dan sitoplasma. Pewarnaan ini terdiri atas dua zat pewarna, yaitu
Hematoksilin yang dipakai untuk mewarnai inti sel menjadi biru, sedangkan yang
kedua adalah Eosin yang dipakai untuk mewarnai sitoplasma dan berperan juga
sebagai counterstain dari Hematoksilin, Eosin akan mewarnai sitoplasma menjadi
merah.13,14
i. Hematoksilin:
Hematoksilin akan mengikat inti sel dengan ikatan yang lemah, ikatan
yang lemah ini dapat berubah apabila ditambahkan dengan senyawa
lain seperti tembaga, aluminium, krom dan besi. Sebelum dapat
dijadikan sebagai pewarna inti sel, hematoksilin harus di oksidasi
terlebih dahulu menjadi hematein. Hematein tidak mudah terlarut
dalam air dan alkohol, namun hematein dapat larut pada etilen glikol
dan gliserol.14
ii. Eosin:
Eosin merupakan zat warna turunan dari fluorescein, dimana
fluorescein ini banyak digunakan untuk mewarnai antibodi akan tetapi
tidak terlihat pada mikroskop cahaya biasa. Pewarna ini juga
fluoresens, akan tetapi pada umumnya digunakan sebagai pewarna
16
merah. Eosin merupakan pewarna sitoplasmik yang sangat baik,
karena eosin memberikan beberapa corakan pada jaringan. Berbagai
macam corakan pada jaringan ini dapat bertambah apabila pewarna
yang digunakan lebih dari satu.14
2.1.6 Gambaran Histologi Hepar Normal
a)
c)
Gambar 2.8 Hepar tikus (a) Gambaran normal perbesaran 4x, terlihat gambaran trias
porta (TP) ; (b) Gambaran normal perbesaran 20x, terlihat gambaran vena porta (VP),
duktus biliaris (DB), arteri hepatika (AH), sel Kupffer (SK), dan hepatosit (He) ; (c)
Gambaran normal perbesaran 40x, terlihat gambaran duktus biliaris (DB), hepatosit
(He), arteri hepatika (AH), dan sel Kupffer (SK). (Atlas of Laboratory Mouse
Histology, 2004).15
b)
17
Gambaran hepar pada tikus memiliki 4 lobus utama yang pembagiannya
didasari oleh jaringan ikat yang memisahkan 4 lobus tersebut. Terdapat gambaran
vena sentralis pada bagian tengah dan pinggir dari trias portal (Cabang dari arteri
hepatika, sel poligonal, dan saluran empedu). Parenkim hati terdiri atas sel hepar atau
hepatosit, yang berupa sel poligonal besar dengan nukleus sentral yang berukuran
besar. Diantara hepatosit terdapat sinusoid yang berjejer dengan endothelium
fenestrata. Permukaan apikal dari hepatosit membentuk kanalikuli empedu, yang
bersatu membentuk bile duct dengan epitel kubus sebagai pelapisnya.15
Pada perbesaran 4x memperlihatkan bagian dari lobus hepar, termasuk trias
portal dan vena sentralis. Pada perbesaran 10x dan 20x menunjukan gambaran ductus
biliaris, arteri hepatica, dan vena portal, dan pada perbesaran 20x dan 40x
menunjukan gambaran sel hepatosit dan sel kupfer secara lebih mendetail.
18
2.1.7 Gambaran Histologi Pankreas Normal
a) (b)
(c)
Gambar 2.10 Pankreas tikus perbesaran (a.) 4x, terlihat gambaran pulau langerhans
(PL) dan pankreas eksokrin (ExPa) ; (b.) 20x, terlihat gambaran pulau langerhans
(PL) ; (c) 40x, terlihat gambaran pulau langerhans (PL) dan sel acini (Ac) (Atlas of
Laboratory Mouse Histology, 2004).15
Pankreas memiliki dua fungsi, yaitu fungsi endokrin (pulau Langerhans) dan
eksokrin (serous acini). Pulau Langerhans berbentuk seperti sel poligon berwarna
putih yang dikelilingi oleh sinusoid. Pulau Langerhans terletak dekat dengan
pembuluh darah dan duktus pankreas. 15
Pada perbesaran 4x pankreas dipisahkan menjadi lobulus oleh septa. Pada
perbesaran 20x dan 40x menunjukan detail dari pulau Langerhans yang dikelilingi
oleh acini dari fungsi eksokrin pankreas. Pada perbesaran tersebut vasklular dari
pulau Langerhans dapat terlihat.
19
2.1.8 Gambar Histologi Ginjal Normal
a) b)
c)
Gambar 2.8 Ginjal normal (a) Perbesaran 4x, terlihat gambaran tubulus (Tu) dan
glomerulus (Gl) ; (b) Perbesaran 20x, terlihat gambaran glomerulus (Gl), tubulus
kontortus proksimal (TKP), dan tubulus kontortus distal (TKD); (c) Gambaran
glomerulus Perbesaran 40x, terlihat gambaran glomerulus (Gl), kapsula bowman
(KB), tubulus kontortus proksimal (TKP), dan tubulus kontortus distal (TKD). (Atlas
of Laboratory Mouse Histology, 2004).15
Secara umum bagian dari ginjal terdiri atas korteks, medula, dan sebuah
papila yang sangat panjang. Papila masuk menuju pelvis renalis. Satu bagian
fungsional ginjal terdiri atas glomerolus, kapsula Bowman, dan tubulus ginjal.
Pada lapisan korteks ginjal dapat ditemukan gambaran glomerolus, yang
berukuran kecil pada gambaran histologis ginjal tikus. Selain glomerulus dapat juga
20
diidentifikasi gambaran tubulus kontortus distal. Gambaran epitel pada kapsula
bowman adalah epitel squamosa. Sedangkan gambaran epitel pada tubulus kontortus
proksimal menunjukan gambaran berupa sel epitel kubus dengan mikrovili.15
Pada perbesaran 4x dapat terlihat gambaran kapsula ginjal, pada perbesaran
4x dan 10x akan nampak gambaran glomerulus dan tubulus kontortus pada korteks.
Lalu pada perbesaran 20x dan 40x akan nampak epitel dari tubulus ginjal. Selain itu
pada perbesaran tersebut akan tampak glomerolus dan kapsula bowman.
2.2. Kerangka Teori
Fiksasi
Dehidrasi
Clearing
Embedding
Perawatan Hewan
Nekropsi
Perfusi
Perfusi dengan
Phosphate-
Buffered Saline
Pembuatan Blok
Pemotongan
Jaringan
Pewarnaan HE
Identifikasi
Mikroskopik
Blocking
21
2.3. Kerangka Konsep
2.4. Definisi Operasional
No Variabel Definisi operasional Alat ukur Cara pengukuran
1 Gambaran preparat
organ ginjal tikus
-Gambaran glomerulus
-Gambaran tubulus
kontortus.
-Gambaran ruang
kapsula Bowman
Mikroskop
Olympus
BX-41
Identifikasi dengan
perbesaran 4x, 10x,
20x, dan 40x
2 Gambaran preparat
organ hepar tikus
-Gambaran hepatosit
-Gambaran vena porta
Mikroskop
Olympus
BX-41
Identifikasi dengan
perbesaran 4x, 10x,
20x, dan 40x
3 Gambaran preparat
organ pankreas tikus
-Gambaran kelenjar
eksokrin
-Gambaran kelenjar
endokrin
Mikroskop
Olympus
BX-41
Identifikasi dengan
perbesaran 4x, 10x,
20x, dan 40x
Belum memiliki SOP Baku di
Animal House dan Laboratorium
Histologi FKIK UIN-SH Jakarta
SOP perfusi pada
Animal House FKIK
UIN-SH Jakarta
Laboratorium Fakultas
Kedokteran Ilmu Kesehatan
UIN-SH Jakarta
SOP pewarnaan
jaringan pada
Laboratorium Histologi
FKIK UIN-SH Jakarta Pembuatan SOP
Histoteknik
Laboratorium FKIK
UIN-SH Jakarta
22
BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah desain eksperimental.
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian
3.2.1. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Agustus 2014.
3.2.2. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Animal House, Biokimia, Biologi,
Farmakologi, dan Histologi, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan jl.
Kertamukti No. 05, Pisangan Ciputat 15419, Tangerang Selatan.
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian
Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus jantan strain
Sprague dawley, 80 hari, memiliki berat badan 200 gram. Hewan coba
tersebut diperoleh dari Departemen Patologi Institut Pertanian Bogor (IPB)
(Lampiran 1).13
Pada penelitian ini, digunakan organ hepar, pankreas, serta ginjal dari hewan
coba.
3.4. Cara Kerja Penelitian
3.4.1. Alat dan Bahan Penelitian
a. Tahap Nekropsi
Kapas, minor set surgeon, Zipline plastic bag, papan potong, dan eter
untuk anestesi.
b. Tahap Perfusi
23
Alat perfusi menggunakan set infus dengan ukuran jarum 23G dan
PBS (Phosphate-Buffered Saline).
c. Tahap Dehidrasi
Gelas ukur 1000 ml dan 500 ml, Beaker glass 1000 ml dan 250 ml,
corong kaca, akuades, alkohol absolut CH3CH2OH Mallinckrodt
Chemicals, dan alkohol 95%
d. Tahap Parafinnisasi
Incubator dan Paraplast Leica Microsystem.
e. Tahap Clearing dan Embedding
Hotplate stirrer (sRS 710 HA), vials stopper tools neck.
f. Tahap Blocking
Cetakan blocking dan Spiritus
g. Tahap Pemotongan
Bunsen, mikrotom geser, korek api gas, water bath, kulkas, beaker glass
200 ml, putih telur, gliserin, dan es batu.
h. Tahap Pewarnaan
Kaca objek, cover glass, staining jar, mikroskop shimadzu T025A, spatula
kaca, timer, Hematoksilin, eosin, xylol, Canada balsam, akuades, H2SO4,
alcohol absolut CH3CH2OH, alcohol 95%.
i. Tahap Foto Jaringan
Kotak preparat, kamera preparat, computer lab, DVD foto, mikroskop
Olympus BX41.
24
j. Tahap keseluruhan
Tissue, tissue berpori
3.4.2. Adaptasi Hewan Coba
Setelah hewan coba tiba di laboratorium Animal House, hewan coba diberikan
makan dan minum ad libitum dan dipindahkan dalam kandang yang berisikan 3 ekor
tikus. Lalu perilaku hewan coba diamati dan diadaptasi selama 14 hari.16
3.4.3. Tahapan Nekropsi (Perfusi)
Siapkan alat dan bahan. Alat serta bahan yang dipakai di laboratorium Animal
House untuk metode perfusi adalah set infus dengan ukuran jarum 23G, penyangga
set infus dengan ketinggian 72,5 cm, dan PBS (Phosphate Buffer Saline). PBS
merupakan larutan yang bersifat isotonik yang digunakan untuk menggantikan darah
sebagai tempat tumbuhnya mikroba, saat PBS digunakan sebagai larutan perfusi,
mikroba memiliki tempat untuk hidup sehingga proses pembusukan jaringan dapat
dihambat. Karena proses pembusukan jaringan dihambat, gambaran histologi yang
didapat akan menyerupai keadaan jaringan saat hewan coba hidup. Lakukan anestesi
menggunakan eter. Bila dilakukan rangsang tekan pada kaki atau ekor tikus dan tikus
tidak memberi respon, maka proses anestesi sudah berjalan dengan baik. Tikus
diletakkan pada papan nekropsi dan dilakukan pembedahan pada bagian
abdominothoracal. Setelah alat perfusi telah disambungkan dengan botol cairan
perfusi pada ketinggian 72,5 cm dari papan nekropsi, jarum perfusi ditusuk pada
bagian vena kava inferior dan potong vena kava inferior di bagian belakang jarum
dengan hati-hati. Larutan perfusi PBS dialirkan dengan kecepatan 20 ml/menit.
Pembuluh darah arteri dan vena intercostalis serta hepar diperhatikan hingga menjadi
pucat, hal ini menandakan bahwa proses perfusi sudah selesai. Lakukan nekropsi
organ-organ yang dibutuhkan (hepar, pankreas, ginjal). Organ dipotong dengan
ketebalan 0,5 cm dan direndam ke dalam larutan formalin 10%.
3.4.4. Tahap Pemrosesan Jaringan
25
3.4.4.1. Dehidrasi
Proses dehidrasi menggunakan alkohol dengan variasi konsentrasi
50%, 70%, 80%, 90%. Pengenceran alkohol dilaksanakan dengan cara
penghitungan sebagai berikut:
1. Pengenceran alkohol 50% = 500 ml alkohol 95% + 450 ml akuades
2. Pengenceran alkohol 70% = 700 ml alkohol 95% + 250 ml akuades
3. Pengenceran alkohol 80% = 800 ml alkohol 95% + 150 ml akuades
4. Pengenceran alkohol 90% = 900 ml alkohol 95% + 50 ml akuades
Setiap konsentrasi larutan alkohol tersebut dipindahkan ke 3 buah pot
plastik, dimana masing-masing pot terisi setinggi 2/3 pot plastik. Setiap pot
dengan konsentrasi alkohol yang sama diberi label I, II, III untuk
menandakan urutan proses dehidrasi.
Tahap dehidrasi dimulai dengan memasukkan potongan hepar, ginjal
dan pankreas ke dalam pot plastik berlabel I, II, lalu III. Potongan organ
direndam selama 15 menit secara berurutan ke dalam larutan alkohol 50%,
70%, 80%, 90% dan 95%.
3.4.4.2. Clearing
Tahapan Clearing bertujuan untuk mengeluarkan alkohol dari jaringan, karena
alkohol dan parafin tidak dapat bersatu, sehingga larutan yang akan dimasukkan
ke dalam jaringan dapat berikatan dengan parafin. Pada tahapan ini digunakan
larutan toluol : alkohol (1:1) dan toluol murni.
Pertama, potongan organ dimasukkan ke dalam larutan toluol : alkohol (1:1)
dan direndam selama 25 menit. Kemudian potongan organ tersebut dipindahkan
dan direndam kembali ke dalam larutan toluol murni selama 60 menit hingga
berubah warna menjadi bening. Perendaman di larutan toluol murni diperpanjang
26
sampai potongan menjadi bening apabila dalam waktu 60 menit potongan belum
berubah bening, dengan batas maksimal perendaman 120 menit, karena nantinya
akan menyebabkan pengerasan pada jaringan sehingga sulit untuk dilakukan
pemotongan.
3.4.4.3. Blocking
Tahapan ini merupakan proses pembuatan blok preparat agar nantinya dapat
dipotong dengan mikrotom. Cairkan parafin di hotplate stirrer dan tuangkan
sedikit ke dalam cetakan blok. Masukkan potongan organ secara perlahan dan
diposisikan agak di atas dari parafin, lalu tuangkan kembali parafin hingga organ
terendam.
3.4.5. Pemotongan Jaringan
Proses ini merupakan proses pemotongan jaringan dengan menggunakan
mikrotom. Tahapan pertama, rekatkan blok parafin diatas blok kayu dengan cara
memanaskan salah satu bagian di sisi blok parafin sampai agak mencair,
kemudian langsung tempelkan ke blok kayu. Letakkan blok parafin dan balok
kayu tersebut pada holder (pemegang) mikrotom dan kencangkan. Lakukan
pemotongan jaringan ini dengan ketebalan 6 µm. Jika diperlukan, atur sudut
kemiringan pisau mikrotom pada sudut 20-30 derajat.
Setelah blok parafin berhasil dipotong, angkat potongan dengan kuas dan
rendam potongan tersebut dalam water bath dengan suhu air 37-40oC hingga
potongan terlihat meregang. Kemudian, oleskan putih telur yang telah dicampur
dengan gliserin pada kaca objek secukupnya. Ambil potongan dengan kaca objek
yang dimasukkan ke dalam water bath. Letakkan kaca objek tersebut pada
hotplate dengan suhu 40-45oC hingga kering. Setelah kaca objek kering dan
potongan melekat dengan kuat pada kaca objek, angkat dari hotplate dan
potongan dapat diwarnai.
27
3.4.6. Tahapan Pewarnaan HE
Sebelum proses pewarnaan dimulai masukkan xylol, alkohol dengan
konsentrasi 70%, 80%, 90%, alkohol absolut, alkohol asam, hematoksilin, eosin
dan aquades ke dalam staining jar dengan isi ¾ dari volume maksimum.
Masukkan dan rendam cawan yang berisi preparat kedalam staining jar yang
berisi xylol selama 10 menit, rendam 2 kali. Lalu pindahkan dan rendam cawan ke
dalam staining jar berisi alkohol absolut selama 5 menit, rendam 2 kali.
Pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol konsentrasi
90% selama 1 menit.
Pindah dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi alkohol konsentrasi
80% selama 1 menit. Lalu pindah dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi
alkohol konsentrasi 70% selama 1 menit. Pindah dan rendam cawan ke dalam
staining jar berisi akuades selama 4 menit. Pindahkan kembali cawan tersebut
dan rendam ke dalam staining jar yang berisi Hematoksilin dengan durasi hepar 4
menit; ginjal 2 menit; pankreas 1 menit. Selama durasi itu dilakukan pengamatan
dibawah mikroskop untuk menghindari terjadinya overstaining hematoksilin.
Lakukan perendaman cawan di dalam staining jar berisi akuades sebanyak 3 kali
dengan durasi 1 menit. Pindahkan dan rendam cawan ke dalam staining jar berisi
alkohol asam selama 30 detik.
Kemudian pindahkan dan rendam cawan kedalam staining jar yang sudah
dialiri air mengalir selama 1 menit. Pindahkan dan rendam cawan ke dalam
staining jar berisi Eosin selama 1 menit. Selama durasi itu dilakukan pengamatan
dibawah mikroskop untuk menghindari terjadinya overstaining eosin.
Lakukan pemindahan dan perendaman cawan di dalam staining jar berisi
akuades sebanyak 3 kali dengan durasi 1 menit. Pindahkan secara berurutan dan
rendam cawan ke dalam staining jar yang berisi alkohol dengan konsentrasi
28
meningkat dari 70% sampai alkohol absolut selama 1 menit dan xylol sebanyak 2
kali 3 menit.
Segera teteskan dan ratakan canada balsam secukupnya di atas preparat dan
ditutup dengan cover glass. Amati di bawah mikroskop dan jangan biarkan ada
gelembung udara pada preparat. Berikan nama organ/kode organ serta tanggal
pembuatan. Tunggu hingga kering. Preparat siap disimpan.
3.4.7. Foto Jaringan
Preparat diamati dan difoto dengan menggunakan mikroskop Olympus BX41
dan software Olympus DP2-BSW. Preparat diamati dari perbesaran 4x, 10x, 20x,
dan 40x.
3.5. Alur Penelitian
29
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Makroskopik
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Gregory J. Gage et, al. alat yang
seharusnya digunakan adalah alat perfusi yang memiliki pengukur kecepatan dan
tekanan. Kecepatan normal perfusi pada umumnya 20-25 ml/menit, sedangkan
tekanan yang dibutuhkan di awal adalah 80 mmHg, yang akan ditingkatkan secara
bertahap sampai batas maksimal 130 mmHg. Tujuan dari pengaturan tekanan dan
kecepatan tersebut agar hasil organ tikus yang diperfusi dapat tetap baik, maksimal
dan keseragaman hasil dapat tercapai. Pada penelitian kali ini, alat yang digunakan
berbeda dengan teori, kecepatan dan tekanan aliran larutan perfusi pada set infus
tidak dapat diatur agar tetap konstan, sehingga hasil yang didapat pada beberapa
organ tidak sesuai dengan teori.4,8
Berdasarkan artikel yang disusun oleh Miles Cunningham et al.8 disebutkan
bahwa untuk mengeluarkan seluruh darah dari dalam kapiler hewan yang diperfusi
tanpa menimbulkan kerusakan apapun dibutuhkan tekanan sebesar 300 mm Hg,
tekanan ini dapat dicapai dengan meletakkan alat perfusi pada ketinggian 4,08 m.
Pada artikel disebutkan pula untuk mencapai tekanan fisiologis sebesar 120 mm Hg,
alat perfusi harus diletakkan pada ketinggian 1,63 m. Dengan alat perfusi yang
digunakan, berupa infus set dengan penyangga setinggi 72,5 cm tekanan yang
didapatkan sebesar 53,37 mm Hg, hasil ini didapat dengan menghitung menggunakan
perbandingan tinggi dengan tekanan, dengan penghitungan . Saat tekanan
perfusi berada dibawah tekanan fisiologis dapat menyebabkan darah tidak seluruhnya
keluar dari kapiler. Saat darah tidak keluar seluruhnya dari kapiler, akan
menyebabkan cairan perfusi tidak dapat mencapai jaringan yang terhalangi oleh darah
pada daerah yang diperdarahi oleh kapiler tersebut, saat cairan perfusi tidak mencapai
jaringan tertentu, maka akan terjadi autolisis sel yang seharusnya dihentikan saat
proses perfusi.4,8
30
Pada penelitian kali ini, jarum berukuran 23G dimasukkan melalui ventrikel kiri
(Gambar 4.1.a). Selain itu, keterampilan teknik penusukan dan pengaliran cairan
perfusi haruslah terlatih dan cepat, karena akan mempengaruhi keberhasilan dari
perfusi.
Gambar 4.1 Gambaran Makroskopik hasil perfusi. (a) Pengaturan sudut pada perfusi
; (b) Tanda perfusi sudah optimal ; (c) Perfusi selesai.
Pada penelitian kali ini, perfusi dilaksanakan dalam waktu kurang lebih 60
menit, mengalirkan larutan PBS dengan kecepatan 20 ml/menit, melalui apeks dari
(a) (b)
(c)
31
jantung tikus. Sembari larutan PBS dialirkan, darah yang ada di dalam pembuluh
darah arteri dan vena dari seluruh tubuh tikus akan keluar melalui lubang yang dibuat
di vena kava inferior tikus, dan digantikan dengan larutan PBS. Dalam waktu kurang
lebih 30 menit, organ hepar akan mulai berubah warna menjadi pucat, hal ini
dikarenakan hepar, sebagai tempat perombakan sel darah merah, kehilangan sel darah
merah selama dilakukan proses perfusi dan digantikan dengan larutan PBS. Arteri
dan vena interkostalis juga akan berubah pucat karena kehilangan darah yang
digantikan oleh larutan PBS, berubah pucatnya warna organ hepar dan arteri serta
vena interkostalis dari tikus merupakan indikator perfusi sudah dilaksanakan dengan
optimal.
32
4.2 Organ Hepar
Tabel 4.1 Gambaran organ Hepar yang diperfusi dengan PBS
No. Kode Organ Hepatosit Vena Porta
1. A Normal Normal
2. B Normal Normal
3. C Normal Tidak dapat di identifikasi
(a)
(b)
Gambar 4.2. Hepar tikus (a) kiri: Perfusi PBS perbesaran 10x (insert: vena porta), kanan: gambaran
hepar normal perbesaran 10x, terlihat gambaran vena porta (VP) dan duktus biliaris (DB); (b) kiri:
Perfusi PBS perbesaran 40x (insert: hepatosit), kanan: gambaran hepar normal perbesaran 40x, terlihat
gambaran duktus biliaris (DB), hepatosit (He), arteri hepatika (AH), dan sel Kuppfer (SK).
33
Pada hepar perfusi PBS (Gambar 4.2.a) terlihat taut antar sel rapat, bentuk sel
polyhedral, batas antar sel tidak dapat diidentifikasi, sitoplasma berwarna dominan
merah gelap, tetapi ada banyak sebaran sel berwarna ungu (sel Kupffer), nucleus dari
hepatosit berbentuk bulat dan berwarna ungu dengan sitoplasma berwarna merah
gelap, pada perbesaran 10x dapat dilihat adanya gambaran trias porta yang terdiri atas
vena porta, duktus biliaris, dan arteri hepatika. Namun saat perbesaran lensa
mikroskop dinaikkan, arteri hepatika tidak terlihat. Gambar berwarna kekuningan
dikarenakan waktu pengambilan gambar berselang 2 tahun dari pembuatan
sediaan.4,17
34
4.3 Organ Pankreas
Tabel 4.2 Gambaran organ Pankreas yang diperfusi dengan PBS.
No. Kode Organ Kelenjar Eksokrin Kelenjar Endokrin
1. A Tidak dapat teridentifikasi Tidak dapat teridentifikasi
2. B Tidak dapat teridentifikasi Tidak dapat teridentifikasi
3. C Tidak dapat teridentifikasi Tidak dapat teridentifikasi
(a)
(b)
Gambar 4.3. Pankreas tikus (a) kiri: Perfusi PBS perbesaran 20x, kanan: gambaran normal
pankreas perbesaran 20x, terlihat gambaran pulau langerhans (PL); (b) kiri: Perfusi PBS
perbesaran 40x (insert: tidak dapat di identifikasi), kanan: gambaran normal pankreas perbesaran
40x, terlihat gambaran pulau langerhans (PL) dan sel acini (Ac).
35
Pada pankreas perfusi PBS (Gambar 4.4.b insert), didapatkan jaringan yang
bertumpuk-tumpuk sehingga terlihat sebagai keadaan overstain hematoksilin.
Keadaan tersebut disebabkan karena pada proses pembuatan blok, ada tahapan
yang kurang maksimal dalam pengerjaannya, sehingga pankreas menjadi keras
dan sulit dipotong. Dan karena tekanan yang diberikan saat perfusi kurang dari
tekanan fisiologis, sehingga darah tidak seluruhnya keluar, menyebabkan perfusi
tidak maksimal dan terjadi perubahan sel karena proses autolisis sudah terjadi,
karena terjadinya autolisis, menyebabkan jaringan tidak dapat di identifikasi.
4.4 Organ Ginjal
Tabel 4.3 Gambaran organ ginjal yang diperfusi dengan PBS.
No. Kode Organ Glomerulus Tubulus Ruang Kapsula Bowman
1 A Normal Normal Normal
2 B Normal Normal Normal
3 C Normal Normal Normal
36
(a)
(b)
(c)
Gambar 4.4 Ginjal tikus (a) kiri: Perfusi PBS A perbesaran 20x, kanan: gambaran normal ginjal
perbesaran 20x, terlihat gambaran glomerulus (Gl), tubulus kontortus proksimal (TKP), dan tubulus
kontortus distal (TKD) ; (b) kiri: Perfusi PBS A perbesaran 40x (insert: glomerulus dengan sel epitel
yang tersusun tidak beraturan serta penampakan kapsula bowman), kanan: gambaran normal ginjal
perbesaran 40x, terlihat gambaran glomerulus (Gl), kapsula bowman (KB), tubulus kontortus
proksimal (TKP), dan tubulus kontortus distal (TKD) ; (c) kiri: Perfusi PBS A perbesaran 40x (insert:
tubulus), kanan: gambaran normal ginjal perbesaran 40x, terlihat gambaran glomerulus (Gl), kapsula
bowman (KB), tubulus kontortus proksimal (TKP), dan tubulus kontortus distal (TKD).
37
Pada ginjal perfusi PBS (Gambar 4.3.a) gambaran glomerulus dan tubulus
ginjal dapat dikenali, tubulus ginjal pada perfusi PBS terlihat cukup jelas dan agak
renggang.
Bentuk glomerulus pada preparat tampak baik. Sel endotel glomerulus dapat
dikenali dan terlihat cukup banyak sel endotel, kapsula Bowman terlihat normal dan
dapat di identifikasi (Gambar 4.3.b insert). Gambaran dari inti sel tubulus ginjal yang
diperfusi PBS tersusun tidak teratur (Gambar 4.3.c insert). Kondisi tersebut
disebabkan oleh teknik perfusi. Pada penelitian ini teknik perfusi dilakukan dengan
kecepatan 20 ml/menit dengan tekanan yang tidak dapat diukur. Tekanan yang rendah
dapat merusak jaringan dengan mekanisme jejas sel yaitu autolisis, dikarenakan
larutan PBS tidak dapat menjangkau seluruh jaringan, sehingga mikroba memulai
proses pembusukan.4,17
38
BAB 5
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan:
1. Perfusi PBS tidak memberikan gambaran yang baik pada organ pankreas,
gambaran khas dari organ pankreas tidak dapat diidentifikasi berupa
kelenjar eksokrin dan endokrin dikarenakan pada saat perfusi
dilaksanakan, pengaturan kecepatan dan ketinggian tidak optimal sehingga
data yang digunakan pada penelitian ini tidak dapat digunakan sebagai
data dalam pembuatan SOP baku histoteknik di laboratorium Animal
House dan laboratorium Histologi kampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Gambaran histologi dari organ hepar dan ginjal memberikan gambaran
yang cukup baik. Gambaran khas dari organ ginjal dapat diidentifikasi,
seperti glomerulus dan tubulus, serta gambaran khas dari organ hepar,
seperti vena porta dan hepatosit dapat diidentifikasi. Pada organ hepar,
ginjal dan pankreas taut antar sel terlihat renggang akibat kurang
optimalnya pengaturan kecepatan dan tekanan pada proses perfusi.
5.2 Saran
1. Pengadaan alat yang sesuai dengan standar dan literatur.
2. Setelah alat yang sesuai dengan standar dan literatur tersedia, dilakukan
uji coba sehingga dapat menghasilkan SOP yang dapat digunakan pada
laboratorium Animal House dan laboratorium Histologi kampus FKIK
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Untuk penelitian selanjutnya, apabila alat belum tersedia yang sesuai
dengan standar, dapat mengatur ketinggian dari tiang penyangga infus set
untuk perfusi dengan bantuan gravitasi, agar tekanan yang dihasilkan saat
perfusi dapat mengeluarkan keseluruhan darah dari kapiler hewan coba.
39
4. Untuk penelitian selanjutnya agar banyak berlatih menggunakan
microtome sehingga saat melakukan pemotongan organ tidak
mendapatkan hasil potongan yang terlalu tebal sehingga sulit
diidentifikasi.
5. Untuk penelitian selanjutnya agar mendokumentasikan setiap tahapan dan
perlakuan, agar memudahkan penyusunan pembahasan sesuai dengan apa
yang sudah dikerjakan.
40
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusuf, Ahmad Aulia. Histoteknik Dasar. Bagian Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009.
2. Suntoro, Handari. Metode Pewarnaan: Histologi dan Histokimia. Bagian
Anatomi dan Mikroteknik Hewan Fakultas Biologi UGM. Jakarta: Penerbit
Bhiratara Karya Aksara. 1983
3. Hedrich, Hans. The Laboratory Mouse. Amsterdam, Netherlands: Elsevier.
2004
4. Gage, Gregory J. Klipke, Daryl R. et al. Whole Animal Perfusion Fixations for
Rodents. Pubmed. 2012 (65)
5. Medicago, AB. Smartbuffers Phosphate Buffered Saline (PBS) pH 7,4 and 7,2.
2011
6. Alkautsar, Imam. Studi Awal Histoteknik: Perfusi dan Gambaran Aqua
Formalin Terhadap Organ Ginjal, Hepar, dan Pankreas Tikus Strain Sprague
Dawley. Laporan Penelitian FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016
7. Junita Sari, Putri. Studi Awal: Histoteknik Perfusi PBS-Formalin dan
Gambaran Histologi Organ Hepar, Pankreas, dan Ginjal Tikus Strain
Sprague Dawley. Laporan Penelitian FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2015
8. Cunningham, Miles. Scouten, Charles W. et al. Sacrifice Perfusion in Animal
Research. Leica Biosystems, Wetzlar, Germany. McLean Hospital of Harvard
University, Belmont, MA, USA. 2012
9. Tian Du, Fu et al. A Modified Perfusion Method to Improve the Quality of
Procured Donor Pancreas in Rats. Gastroenterology Research. 2012. 5(6):
227-231
10. Rolls, Geoffrey. Fixation and Fixatives: Popular Fixative Solutions. Leica
Biosystems, Wetzlar, Germany. 2012
41
11. Clockenbush, Cordula. Kast, Juergen. Optimization of Formaldehyde Cross-
Linking for Protein Interaction Analysis of Non-Tagged Integrin β1. Journal
of Biomedicine and Biotechnology. 2010
12. Rolls, Geoffrey. Fixation and Fixatives: Process of Fixation and the Nature
of Fixatives. Leica Biosystems, Wetzlar, Germany. 2012
13. Steven, Leary et al. AVMA Guidelines for the Euthanasia of Animals: 2013
Edition. Schaumburg: American Veterinary Medical Association. 2013
14. Waheed, Usman. Histotechniques Laboratory Techniques in Histopathology:
a Handbook for Medical Technologist. LAP LAMBERT Academic
Publishing. 2012
15. Conti, Claudio J. Benavides, Fernando. et al. Atlas of Laboratory Mouse
Histology. Texas Histopages. 2004
16. Askary, Fadel. Efek Pemberian Ekstrak Nigella sativa Terhadap Kadar
Glukosa Darah dan Trigliserida Pada Tikus Diabetes Mellitus yang Diinduksi
Streptozotocin. Laporan Penelitian FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2014
17. Kumar V, Cotran RS, Robbin SL. Buku Ajar Patologi Edisi ke-7. Vol 1.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007.
42
LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Keterangan Tikus Sehat
43
Lampiran 2
Gambar Preparat
Gambar 6.1 Hepar PBS A perbesaran 4x Gambar 6.2 Hepar PBS A perbesaran 10x
Gambar 6.3 Hepar PBS A perbesaran 20x Gambar 6.4 Hepar PBS A perbesaran 40x
Gambar 6.5 Hepar PBS B perbesaran 4x Gambar 6.6 Hepar PBS B perbesaran 10x
44
Gambar 6.7 Hepar PBS B perbesaran 20x Gambar 6.8 Hepar PBS B perbesaran 40x
Gambar 6.9 Hepar PBS C perbesaran 4x Gambar 6.10 Hepar PBS C perbesaran 10x
Gambar 6.11 Hepar PBS C perbesaran 20x Gambar 6.12 Hepar PBS C perbesaran 40x
Gambar 6.13 Pankreas PBS A perbesaran 4x Gambar 6.14 Pankreas PBS A perbesaran 10x
45
Gambar 6.15 Pankreas PBS A perbesaran 20x Gambar 6.16 Pankreas PBS A perbesaran 40x
Gambar 6.17 Pankreas PBS B perbesaran 4x Gambar 6.18 Pankreas PBS B perbesaran 10x
Gambar 6.19 Pankreas PBS B perbesaran 20x Gambar 6.20 Pankreas PBS B perbesaran 40x
Gambar 6.21 Pankreas PBS C perbesaran 4x Gambar 6.22 Pankreas PBS C perbesaran 10x
46
Gambar 6.23 Pankreas PBS C perbesaran 20x Gambar 6.24 Pankreas PBS C perbesaran 40x
Gambar 6.25 Ginjal PBS A perbesaran 4x Gambar 6.26 Ginjal PBS A perbesaran 10x
Gambar 6.27 Ginjal PBS A perbesaran 20x Gambar 6.28 Ginjal PBS A perbesaran 40x
Gambar 6.29 Ginjal PBS B perbesaran 4x Gambar 6.30 Ginjal PBS B perbesaran 10x
47
Gambar 6.31 Ginjal PBS B perbesaran 20x Gambar 6.32 Ginjal PBS B perbesaran 40x
Gambar 6.33 Ginjal PBS C perbesaran 4x Gambar 6.34 Ginjal PBS C perbesaran 10x
Gambar 6.35 Ginjal PBS C perbesaran 20x Gambar 6.36 Ginjal PBS C perbesaran 40x
Gambar 6.37 Hepar PBS A perbesaran 4x - 2016 Gambar 6.38 Hepar PBS A perbesaran 10x –
48
2016
Gambar 6.39 Hepar PBS A perbesaran 20x -
2016
Gambar 6.40 Hepar PBS A perbesaran 40x -
2016
Gambar 6.41 Hepar PBS B perbesaran 4x - 2016 Gambar 6.42 Hepar PBS B perbesaran 10x -
2016
Gambar 6.43 Hepar PBS B perbesaran 20x -
2016
Gambar 6.44 Hepar PBS B perbesaran 40x -
2016
49
Lampiran 3
Riwayat Hidup Penulis
Identitas
Nama : Faisal Ravif
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 24 Juni 1995
Agama : Islam
Alamat : Telaga Kahuripan, Bukit Indraprasta blok A2/11
Parung - Bogor.
e-Mail : faisalravif@gmail.com
Riwayat Pendidikan
2000 - 2001 : TK Bustanul Anfal Ciseeng
2001 - 2007 : SDBI Madania Parung
2007 - 2010 : SMP Negeri 1 Kota Bogor
2010 - 2013 : SMA Negeri 3 Kota Bogor
2013 - sekarang : UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
top related